BAB I PENDAHULUAN
BAB II PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN
Majapahit tercatat telah tiga kali pindah pusat pemerintahan. Tiga pusat pemerintahan tetap
berada di wilayah Jawa Timur.
1. Mojokerto
Pusat pemerintahan atau ibu kota kerajaan Majapahit yang pertama terletak di kota
Mojokerto. Saat itu ibu kota diperintah oleh raja pertama, yaitu Kertarajasa Jayawardhana
atau Raden Wijaya. Lokasi pusat pemerintahan tersebut berada di tepi Sungai Brantas.
2. Trowulan
Pusat pemerintahan kemudian berpindah mengikuti masa kepimimpinan Sri Jayanegara, raja
kedua kerajaan Majapahit. Jayanegara memindahkan pusat pemerintahan ke Trowulan. Kota
tersebut berjarak 12 km dari Mojokerto.
3. Daha
Daha atau disebut Kediri saat ini merupakan kota ketiga dari pusat pemerintahan kerajaan
Majapahit. Kepindahan pusat pemerintahan Majapahit ke Daha berkaitan erat dengan
masalah internal di kerajaan dan ancaman dari kerajaan Islam, kerajaan Demak yang
merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa.
B. Raja-Raja Majapahit
Raden Wijaya atau disebut juga Dyah Wijaya (wafat: Majapahit, 1309) adalah pendiri
dan raja pertama Kerajaan Majapahit yang memerintah pada tahun 1293-1309, bergelar Sri
Kertarajasa Jayawardana, atau lengkapnya Nararya Sanggramawijaya Sri Maharaja
Kertarajasa Jayawardhana. Catatan Dinasti Yuan mengisahkan, pada tahun 1293, pasukan
Mongol sebanyak 20.000 orang yang dipimpin Ike Mese, Kau Hsing dan Shih Pi mendarat di
Jawa untuk menyerang Kertanagara, karena pada tahun 1289 Kertanagara telah melukai
utusan yang dikirim Kubilai Khan raja Mongol. Raden Wijaya memanfaatkan kedatangan
pasukan Mongol ini untuk menghancurkan Jayakatwang. Ia pun mengajak Ike Mese untuk
bekerjasama. Wijaya meminta bantuan untuk merebut kembali kekuasaan Wangsa Rajasa di
Jawa dari tangan Jayakatwang, dan setelah itu baru ia bersedia menyatakan tunduk kepada
bangsa Mongol.
Jayakatwang yang mendengar persekutuan Wijaya dan Ike Mese segera mengirim
pasukan Kadiri untuk menghancurkan mereka. Namun pasukan itu justru berhasil dikalahkan
oleh pihak Mongol. Selanjutnya, gabungan pasukan Mongol, Majapahit dan Madura bergerak
menyerang Daha, ibu kota Kerajaan Kadiri. Jayakatwang akhirnya kalah dan ditawan
bersama putranya Ardharaja dalam kapal Mongol. Perang melawan Yuan-Mongol. Setelah
Jayakatwang dikalahkan, Wijaya meminta izin pada pihak Mongol untuk kembali ke
Majapahit mempersiapkan penyerahan dirinya. Ike Mese mengizinkannya tanpa curiga.
Sesampainya di Canggu, Majapahit, Wijaya dan pasukannya membunuh para prajurit Mongol
yang mengawalnya. Pada 19 April 1293, Raden Wijaya memimpin pasukannya menyerang
tentara Mongol. Tentara Mongol yang sedang berpesta di Daha diserbu oleh pasukan
Majapahit. Setelah kehilangan 3.000 orang tentaranya, Ike Mese memutuskan mundur. Sisa
pasukan Mongol akhirnya meninggalkan Jawa pada 24 April 1293. Kemudian Wijaya
menobatkan dirinya menjadi raja Majapahit yang pertama dengan gelar Sri Maharaja
Kertarajasa Jayawardana. Menurut Kidung Harsa Wijaya, penobatan tersebut terjadi pada
tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 Saka, atau bertepatan dengan 12 November 1293.
2. Jayanagara (1309-1328 M)
Jayanagara (lahir: 1294 - wafat: 1328) adalah raja kedua Kerajaan Majapahit yang
memerintah pada tahun 1309-1328, dengan bergelar Sri Maharaja Wiralandagopala Sri
Sundarapandya Dewa Adhiswara. Pada waktu itu, Jayanagara masih berusia sekitar 15 tahun.
Berbeda dari ayahnya, Jayanagara tidak memiliki kecakapan dalam memerintah, sehingga ia
mendapat julukan “Kalagemet” yang berarti lemah dan jahat. Menurut Pararaton,
pemerintahan Jayanagara diwarnai banyak pemberontakan oleh para pengikut ayahnya. Hal
ini disebabkan karena Jayanagara adalah raja berdarah campuran Jawa-Melayu, bukan
keturunan Kertanagara murni.
Pemberontakan pertama terjadi ketika Jayanagara naik takhta, yaitu dilakukan oleh
Ranggalawe pada tahun 1309 dan kemudian Lembu Sora pada tahun 1300. Di antara
pemberontakan-pemberontakan yang diberitakan Pararaton, yang paling berbahaya adalah
pemberontakan Ra Kuti tahun 1319. Ibu kota Majapahit bahkan berhasil direbut kaum
pemberontak. Namun Gajah Mada yang saat itu menjadi bhayangkara (sebutan untuk
pasukan pengawal raja) berhasil memadamkannya. Ia menyelamatkan Jayanagara dengan
mengungsikannya ke sebuah desa bernama Badander. Kemudian, Gajah Mada kembali ke ibu
kota menyusun kekuatan. Berkat kerja sama antara para pejabat dan rakyat ibu kota,
Kelompok Ra Kuti dapat dihancurkan. Sewaktu menjadi raja, Jayanagara masih berusia muda
sehingga dimanfaatkan orang-orang yang merasa tidak puas untuk memberontak. Mereka
merasa tidak puas terhadap kebijakan Raja terdahulu, yaitu Raden Wijaya, yang menurut
ukuran mereka tidak memberikan kedudukan yang mereka inginkan, dianggap tidak sepadan
dengan jasanya sewaktu berjuang bersama Raden Wijaya. Maka, timbullah beberapa
pemberontakan pada masa Raja Jayanagara, diantaranya adalah:
Jayanagara akhirnya wafat akibat operasi (penyakit) oleh seorang tabib bernama
Tancha, yang menaruh dendam terhadap Jayanagara. Tancha kemudian dibunuh oleh Gajah
Mada.
Gajah Mada (lahir: 1290 – wafat: 1364), dikenal dengan nama lain Jirnnodhara adalah
seorang panglima perang dan Mahapatih yang merupakan tokoh yang sangat berpengaruh
pada zaman kerajaan Majapahit. Menurut berbagai sumber, ia memulai kariernya tahun 1313,
dan semakin menanjak setelah peristiwa pemberontakan Ra Kuti pada masa pemerintahan Sri
Jayanagara, yang mengangkatnya sebagai Patih. Ia menjadi Mahapatih (Menteri Besar) pada
masa Ratu Tribhuwanatunggadewi, dan kemudian sebagai Amangkubhumi (Perdana
Menteri) yang mengantarkan Majapahit ke puncak kejayaannya. Pada saat pengangkatan
sebagai Mahapatih Hamengkubumi Majapahit tahun 1336 M Gajah Mada mengucapkan
sumpah terkenalnya, yang disebut Sumpah Tanamukti Palapa. Yang berisi bahwa ia tidak
akan menikmati palapa atau rempah-rempah (yang diartikan kenikmatan duniawi) pantang
bersenang-senang sebelum dapat menyatukan Nusantara. Kawasan yang dimaksud Nusantara
adalah pulau-pulau yang meliputi Malaka, Sumatra, Jawa, Madura, Bali, Kalimantan, Sunda
kecil (Nusa Tenggara), dan Maluku. Sebagaimana tercatat dalam kitab Pararaton dalam teks
Jawa pertengahan yang berbunyi sebagai berikut:
“Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: "Lamun
huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung
Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun
amukti palapa".
Artinya:
“Kamu Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Kamu Gajah Mada,
Jika telah menundukkan seluruh Nusantara dibawah kekuasaan Majapahit, saya (baru akan)
melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo,
Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa".
Dari naskah tersebut dapat diketahui bahwa pada masa diangkatnya Gajah Mada,
sebagian wilayah Nusantara yang disebutkan pada sumpahnya belum dikuasai Majapahit.
Menurut sejarawan Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, sumpah Gajah
Mada itu menimbulkan kegemparan. Para petinggi kerajaan seperti Ra Kembar, Ra Banyak,
Jabung Tarewes, dan Lembu Peteng merespons dengan negatif. Tindakan mereka membuat
Gajah Mada sangat marah karena ditertawakan. Hal ini diperkuat juga oleh Muhammad
Yamin dalam Gajah Mada: Pahlawan Pemersatu Nusantara. Gajah Mada pun meninggalkan
paseban dan terus pergi menghadap Batara Kahuripan, Tribhuana Tunggadewi. Dia sangat
berkecil hati karena dapat rintangan dari Kembar, walaupun Arya Tadah membantu sekuat
tenaga. Arya Tadah memang pernah berjanji akan memberi bantuan dalam segala kesulitan
kepada Gajah Mada. Namun, menurut Slamet Muljana, Arya Tadah sebenarnya juga ikut
menertawakan program politik Gajah Mada itu karena pada hakikatnya, Arya Tadah alias
Empu Krewes tidak rela melihat Gajah Mada menjadi patih amangkubumi sebagai
penggantinya. Pengepungan Sadeng dan Keta di Jawa Timur terjadi pada tahun 1331. Ketika
itu yang menjadi mahapatih adalah Arya Tadah. Dia menjanjikan kepada Gajah Mada,
sepulang dari penaklukkan Sadeng dia akan diangkat menjadi patih, bukan mahapatih.
Alangkah kecewanya Gajah Mada, karena Kembar mendahuluinya mengepung Sadeng.
Untuk menghindari sengketa antara Gajah Mada dan Kembar, Rani Tribhuana Tunggadewi
datang sendiri ke Sadeng membawa tentara Majapahit. Kemenangan atas Sadeng tercatat atas
nama Sang Rani sendiri. Semua peserta penaklukan Sadeng dinaikkan pangkatnya. Gajah
Mada mendapat gelar angabehi, dan Kembar dinaikkan sebagai bekel araraman. Saat itu,
Gajah Mada sendiri telah menjadi patih Daha.
Gajah Mada melaksanakan politik penyatuan Nusantara selama 21 tahun, yakni antara
tahun 1336 sampai 1357. Isi program politik ialah menundukkan negara-negara di luar
wilayah Majapahit, terutama negara-negara di seberang lautan, yakni Gurun (Lombok),
Seram, Tanjung Pura (Kalimantan), Haru (Sumatra Utara), Pahang (Malaya), Dompo, Bali,
Sunda, Palembang (Sriwijaya), dan Tumasik (Singapura). Bahkan, dalam kitab
Nagarakretagama pupuh 13 dan 14 nama-nama negara yang disebutkan jauh lebih banyak
daripada yang dinyatakan dalam sumpah Nusantara.
Hayam Wuruk (lahir 1334, meninggal 1389) adalah raja keempat Majapahit yang
memerintah tahun 1350-1389. Ia bergelar Maharaja Sri Rajasanagara. Di bawah
pemerintahannya, Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya. Wilayahnya sangat
luas, seluas wilayah Indonesia sekarang, bahkan pengaruhnya sampai ke beberapa negara lain
di wilayah Asia Tenggara. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk pula karya sastra
mengalami kemajuan pesat. Pada tahun 1965, ditulis kitab Nagarakretagama oleh Mpu
Prapanca, demikian juga kitab-kitab lain, seperti Sutasoma dan Arjunawijaya oleh Mpu
Tantular. Seorang musafir Tiongkok, Ma-Huan, menulis pada masa pemerintahan Hayam
Wuruk Majapahit telah mengenal kemajemukan budaya, agama, dan adat istiadat. Hal ini
karena pada waktu itu Majapahit juga dihuni oleh penduduk yang berasal dari Samudera
Pasai dan Malaka, orang-orang Tionghoa yang telah memeluk agama Islam, serta penduduk
asli yang beragama Hindu dan Buddha.
Sumber sepak terjang Hayam Wuruk dalam pemerintahannya diceritakan dalam kitab
Desawarnana atau Negarakertagama, suatu kitab yang didedikasikan untuk menghormatinya.
Pada tahun 1351, Hayam Wuruk naik tahta dalam usia relatif muda, 17 tahun, menggantikan
ibundanya, Tribhuwana Tunggadewi. Tribhuwana sebenarnya memerintah Majapahit
"mewakili" ibunya Gayatri (Rajapatni), yang memilih menjalani hidup sebagai bhiksuni
(pendeta wanita). Ketika Gayatri meninggal, Tribhuwana menyatakan tidak lagi berkuasa dan
menyerahkan kekuasaan kepada Hayam Wuruk. Hayam Wuruk dalam pemerintahannya
banyak dibantu oleh Mahapatih andalannya, Gajah Mada. Di bawah kekuasaan Hayam
Wuruk, Majapahit melakukan politik ekspansi untuk menjamin kekuatannya di bidang
perdagangan lewat laut, sekaligus sebagai pelaksanaan Sumpah Palapa yang dinyatakan oleh
patih Gajah Mada. Majapahit juga menaklukkan Kerajaan Pasai dan Kerajaan Aru (kemudian
bernama Kesultanan Deli).
Pada tahun 1357, terjadilah Perang Bubat yaitu pertempuran antara pasukan
Majapahit yang dipimpin oleh Gajah Mada melawan rombongan kerajaan Sunda yang
dipimpin oleh raja Linggabuana. Dalam peristiwa ini raja Linggabuana dan putrinya Dyah
Pitaloka beserta seluruh rombongan Kerajaan Sunda-Galuh tewas. Pada tahun 1364,
Mahapatih Gajah Mada meninggal tanpa keterangan yang jelas mengenai penyebabnya. Pada
tahun 1367, melalui sidang Dewan Sapta Prabu, Hayam Wuruk mengangkat Gajah Enggon
menggantikan Gajah Mada sebagai Mahapatih Majapahit.
Namun terdapat golongan lain di luar lapisan tersebut, seperti Candala, Melccha,
Tuccha. Golongan tersebut merupakan orang-orang terbawah dari lapisan sosial masyarakat
di kerajaan Majapahit. Berdasarkan aspek kedudukan sosial dalam masyarakat di Kerajaan
Majapahit, status wanita lebih rendah dibandingkan dengan pria. Hal ini terlihat dari
kewajiban wanita hanya melayani suami, tidak boleh ikut campur dalam urusan apapun.
Peraturan ini tertera dalam perundang-undangan di kerajaan Majapahit dengan tujuan
menghindari pergaulan bebas antara kaum pria dan wanita.
1. PERANG BUBAT
Insiden Pasunda Bubat disinggung di dalam Carita Parahyangan (abad ke-16) dan
Pararaton (abad ke-15), tetapi tidak terdapat di dalam Nagarakretagama (abad ke-14). Perang
Bubat diawali dari rencana perkawinan politik antara Raja Hayam Wuruk (Sri Rajasanagara)
dengan Dyah Pitaloka Citraresmi, putri raja Sunda, Prabu Linggabuana. Hayam Wuruk
kemudian mengirimkan surat kehormatan kepada Linggabuana untuk melamar putrinya dan
menyatakan pernikahan akan dilangsungkan di Majapahit. Meski Linggabuana sebenarnya
keberatan dengan lokasi pernikahannya, ia tetap berangkat bersama rombongan ke Majapahit.
Rombongan Linggabuana diterima dan ditempatkan di Pesanggrahan Bubat. Gajah Mada
yang berambisi menguasai Kerajaan Pajajaran (Sunda) demi memenuhi Sumpah Palapa,
menganggap kedatangan rombongan Sunda sebagai bentuk penyerahan diri. Gajah Mada
mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka Citraresmi bukan sebagai
pengantin, tetapi sebagai upeti.
Hal inilah yang memicu perselisihan antara pihak Sunda dengan Gajah Mada.
Sebelum Hayam Wuruk memberikan keputusannya, Gajah Mada telah mengerahkan
pasukannya ke Pesanggrahan Bubat dan memaksa Linggabuana mengakui superioritas
Majapahit. Pihak Sunda yang tidak terima dan merasa dihina akhirnya memutuskan untuk
melawan meski jumlah tentara yang dibawa hanya sedikit. Pertempuran tidak seimbang
antara tentara Kerajaan Sunda dengan Majapahit memakan banyak korban. Bahkan seluruh
rombongan Linggabuana dikabarkan tewas, menyisakan Dyah Pitaloka Citraresmi. Dyah
Pitaloka Citraresmi kemudian memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri dengan
menancapkan tusuk konde ke jantungnya. Setelah Dyah Pitaloka Citraresmi meninggal,
Hayam Wuruk meratapi kematiannya dan menyesalkan tindakan Gajah Mada. Akibat Perang
Bubat, hubungan Hayam Wuruk dan Gajah Mada menjadi renggang.
2. PERANG PAREGREG
Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dan Wijayarajasa, hubungan antara
Majapahit istana barat dan timur masih diliputi perasaan segan, mengingat Wijayarajasa
adalah mertua Hayam Wuruk. Wijayarajasa meninggal tahun 1398. Ia digantikan anak angkat
sekaligus suami cucunya, yaitu Bhre Wirabhumi sebagai raja istana timur. Sementara itu
Hayam Wuruk meninggal tahun 1389. Ia digantikan keponakan sekaligus menantunya, yaitu
Wikramawardhana. Ketika Indudewi meninggal dunia, jabatan Bhre Lasem diserahkan pada
putrinya, yaitu Nagarawardhani. Tetapi Wikramawardhana juga mengangkat
Kusumawardhani sebagai Bhre Lasem. Itulah sebabnya, dalam Pararaton terdapat dua orang
Bhre Lasem, yaitu Bhre Lasem Sang Halemu (Bhre Lasem yang gemuk) istri Bhre
Wirabhumi, dan Bhre Lasem Sang Ahayu (Bhre Lasem yang cantik) istri Wikramawardhana.
Sengketa jabatan Bhre Lasem ini menciptakan perang dingin antara istana barat dan timur,
sampai akhirnya Nagarawardhani dan Kusumawardhani sama-sama meninggal tahun 1400.
Wikramawardhana segera mengangkat menantunya sebagai Bhre Lasem yang baru, yaitu istri
Bhre Tumapel. Setelah pengangkatan Bhre Lasem baru, perang dingin antara istana barat dan
timur berubah menjadi perselisihan.
Menurut Pararaton, Bhre Wirabhumi dan Wikramawardhana bertengkar tahun 1401
dan kemudian tidak saling bertegur sapa. Perselisihan antara kedua raja meletus menjadi
Perang Regreg tahun 1404. Regreg artinya perang setahap demi setahap dalam tempo lambat.
Akhirnya, pada tahun 1406 pasukan barat dipimpin Bhre Tumapel putra Wikramawardhana
menyerbu pusat kerajaan timur. Bhre Wirabhumi menderita kekalahan dan melarikan diri
menggunakan perahu pada malam hari. Ia dikejar dan dibunuh oleh Raden Gajah alias Bhra
Narapati yang menjabat sebagai Ratu Angabhaya istana barat. Raden Gajah membawa kepala
Bhre Wirabhumi ke istana barat. Bhre Wirabhumi kemudian dicandikan di Lung bernama
Girisa Pura. Perang ini berakhir dengan kemenangan Wikramawardhana, sementara
Wirabhumi ditangkap dan dipancung.
Tampaknya perang saudara ini melemahkan kendali Majapahit atas daerah-daerah
taklukannya. Negara-negara kecil yang selama ini menjadi taklukan Majapahit satu persatu
melepaskan diri. Kondisi ini tertulis dengan jelas dalam kitab Pararaton dan dalam beberapa
prasasti di sawentar Kanigoro, Blitar, Jawa timur. Pada 1456, Majapahit diperintah oleh Bhre
Wengker dan setelah itu masih tercatat pemerintahan Bhre Ranawijaya (Brawijaya) hingga
kemudia Majapahit dikuasai oleh Demak, kerajaan Islam pertama di Indonesia yang muncul
pada tahun 1522.
H. Peninggalan
Isi Kitab Negarakertagama menguraikan kisah keagungan Prabu Hayam Wuruk dan
puncak kejayaan Kerajaan Majapahit. Selain itu, kitab ini juga menceritakan banyak hal
tentang Kerajaan Majapahit. Mulai dari asal-usul, hubungan keluarga raja, para pembesar
negara, jalannya pemerintahan, serta kondisi sosial, politik, keagamaan, dan kebudayaan
Kerajaan Majapahit. Kitab ini sebetulnya tidak ditemukan dalam Kakawin Nagarakertagama.
Sebab, Mpu Prapanca menyebut karyanya dengan judul Dewacawarnana yang berarti "uraian
mengenai desa-desa." Kitab ini berisi tentang istilah raja-raja Majapahit, keadaan kota raja,
candi makam raja, upacara Sradha, wilayah Kerajaan Majapahit, dan negara-negara bawahan
Majapahit.
Kitab Pararaton adalah salah satu karya sastra peninggalan Kerajaan Majapahit yang
ditulis dalam bahasa Jawa Kawi. Isinya memuat tentang sejarah raja-raja Kerajaan Singasari
dan Majapahit. Kitab ini juga dikenal dengan nama Pustaka Raja atau Kitab Raja-Raja.
4. Candi Tikus
Candi Tikus pertama kali ditemukan pada tahun 1914 oleh Bupati Mojokerto saat itu,
candi ini sebagai peninggalan Kerajaan Majapahit pada abad ke-14 di pemerintahan Hayam
Wuruk. Candi ini diperkirakan sebagai tempat mandi raja dan upacara tertentu yang
dirayakan dalam kolam-kolam candi. Candi Tikus dianggap sebagai simbol Gunung Meru
dengan puncak utama yang dikelilingi delapan puncak lebih kecil. Secara mitologi, Gunung
Meru dihubungkan dengan tirta amarta atau air kehidupan, yang dipercaya memberi kekuatan
hidup pada semua mahkluk.
5. Candi Panataran
Di halaman Candi Panataran, ditemukan prasasti Palah berangka tahun 1119 Saka
atau 1197 Masehi. Prasasti yang dikeluarkan Raja Srengga dari Kediri ini menyebutkan,
ketika Hayam Wuruk dalam kirabnya keliling Jawa Timur, ia singgah di sebuah bangunan
suci bernama Palah. Angka tahun tersebut diperkirakan mengacu pada awal pembangunan
komplek Candi Panataran sebagai tempat pemujaan.
6. Candi Jabung
Candi Jabung ditemukan di Desa Jabung Candi, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur.
Menurut kitab Negarakertagama, bangunan ini dikunjungi Hayam Wuruk pada tahun 1359
Masehi. Dalam kitab Pararaton, candi ini disebut Sajabung, tempat pemakaman Bhra Gundal,
salah seorang keluarga raja. Candi yang berhias motif sulur ini bercorak agama Buddha
karena juga disebut sebagai Bajrajinaparamitapura.
7. Gapura Bajangratu
A. Kesimpulan
Majapahit tercatat telah tiga kali pindah pusat pemerintahan. Tiga pusat pemerintahan
tetap berada di wilayah Jawa Timur yaitu, Mojokerto, Trowulan, Daha. Raja yg
memiliki kejayaan di Kerajaan Majapahit ada 3 yaitu : raden Wijaya, Jayanegara, dan
Hayam Wuruk, di sertai Mahapati yang terkenal di kerajaan Majapahit yaitu, patih
gajah mada.
Kehidupan sosial politik dibawah pemerintahan Hayam Wuruk bersama patih Gajah
Mada, kerajaan Majapahit mengalami puncak kejayaan dengan berhasil menaklukkan
berbagai kerajaan di Nusantara. Kekuasaan di kerajaan Majapahit bersifat teritorial
dan desentralisasi, didukung dengan birokrasi yang rinci. Raja Majapahit dianggap
sebagai penjelmaan dewa tertinggi, maka memiliki otoritas politik tertinggi sebagai
penguasa. Seorang raja dibantu oleh pejabat-pejabat birokrasi. Di Majapahit pernah beberapa
kali terjadi pemberontakan, diantaranya adalah :
A. Pemberontakan Ranggalawe (1309)
B. Pemberonakan Lembu Sora (1311)
C. Pemberontakan Nambi (1316)
D. Pemberontakan Ra Kuti (1319)
Kemakmuran Majapahit diduga karena majunya pertanian lembah Sungai Brantas serta
dikuasainya jalur perdagangan rempah-rempah Maluku. faktor pendukung yang menunjang
kemajuan kehidupan ekonomi Majapahit ada dua yaitu, keberadaan Sungai Brantas dan
Bengawan Solo serta adanya beberapa pelabuhan atau bandar dagang milik Majapahit di
pantai utara Jawa.