Anda di halaman 1dari 1

“Tuan-tuan kolonial kita telah menurutkan ‘nafsu’ mereka yang tak terkendali, dan dengan

tidak peduli menghamili anak-anak perempuan negeri kita, anak-anak haram yang mereka
nyatakan mendapat bagian ‘yang mulia’ dari darah Eropa mereka.
(E.F.E Douwes Dekker)
Kudengar sayup-sayup gema suara lembut itu berkumandang. Di antara kabut tebal yang
masih menyelimuti sebuah desa kecil, tempat di mana aku, Bapak Ibuk, dan juga Mas
Subkhan tinggal. Barang kali itu adalah suara Bapak yang melantunkan ayat suci sebelum
nanti gema adzan Subuh berkumandang. Iya, suara Bapak bersama beberapa santrinya
yang ada di langgar.
“Nduk, Sati, bangun Nduk.” Tentu saja itu suara Ibuk yang memanggilku dengan suara
lembutnya. Tak pernah kudengar Ibuk menyeru dengan suara keras.
Memanglah. Katanya, kata Ibuk, wanita harus lah lembut. Tidak pantas jika wanita
menyuarakan suaranya terlalu keras. Barang saat sendiri sekalipun. Karena, wanita itu
kelembutan, sudah selayaknya mereka menyeru dengan suara hati mereka.
Aku bangun dari tidur, melipat jarik yang aku gunakan untuk tidur dan juga mengkibasi
ranjangku dengan sapu lidi. Mengebasi tempat tidur setelah tidur bagi anak gadis di daerah
tempat kami tinggal wajib hukumnya. Karena untuk mengusir kesendirian dan berdoa
supaya nanti cepat ada pendamping untuk tidur.

Anda mungkin juga menyukai