Anda di halaman 1dari 9

MEREKA TELAH MEMBAKAR MEUNASAH KITA

( Seorang perempuan remaja memakai kruk berjalan tertatih-tatih ke tengah panggung. Berhenti
Diam. Matanya menerawang jauh ke depan. Kemudian dia duduk di tengah panggung. Menangis
terisak )

Aisyah
Emak akan pulang, kan ? Lihat, lihat aku telah menemukan beberapa butir peluru yang
membuat Bang Yunus terkapar dan mati ? Peluru yang manghadiahkan kematian bagi Bang
Yunus saat ulang tahunnya yang ke-25. Sebelum dia berangkat di pagi itu menuju Jawa, tempat
dia menuntut ilmu.
Tapi mereka siapa, Mak ? Meraka siapa, Yah ? Orang –orang yang berbaju doreng itu ? Katanya,
mereka datang hendak membebaskan kita dari penderitaan yang berkepanjangan ini ? Orang-
orang itu menuduh Bang Yunus sebagai mata-mata, entah mata-mata siapa. Mereka hanya bisa
menuduh tanpa alasan yang jelas, atau memang itu sudah tabiat mereka ?
Mengapa kita tak pernah merdeka, Mak ? Tapi, merdeka itu sebenarnya artinya apa, Mak ? Dan
peluru tak mungkin bisa diajak bicara. Dan di Meunasah juga tak pernah diajari apa itu peluru,
untuk apa peluru dan bagaimana cara membunuh dengan peluru.

( Dari dalam ada suara memanggil-manggil )

Noora :
Aisyah, Aisyah, dimana kau ? Hari sudah menjelang maghrib.

Aisyah :
Hari sudah menjelang maghrib ? Bagiku hari sama saja. Bagiku waktu sama saja. Penindasan
dan kekejaman.

Noora :
Aisyiah, Aisyiah, dimana kau ? Tak baik Inong keluyuran maghrib-maghrib. Kau dimana ?

Ada suara anak-anak menyanyi :


Bungong jeumpa…..,bungong jeumpa….meugah di Aceh
Bungong telebeh…bungong telebeh..indah lagoina..

Hening. Aisyah bangkit. Seperti mencari sesuatu.

Aisyah :
Bungong jeumpanya sudah gak ada lagi ( sedih ). Wanginya pun juga sudah tidak ada meski sisa
di angin lalu. Hanya amis darah, bungong jeumpanya amis darah. Di bawah pohon bungong
jeumpa itu Bang Yunus ditembak mati para pengecut itu. Mereka benar-benar pengecut !

Ada suara anak-anak menyanyi, sayup-sayup :


Bungong jeumpa..bungong jeumpa..meugah di Aceh
Bungong lelebeh..bungong lelebeh..indah lagoina
Puteh kuneng mejampu mirah
Keumang siulah cidah that rupa..

Aisyah menangis. Suara terputus-putus.

Aisyah :
Bungong jeumpanya sudah tidak wangi. Inong sudah tidak wangi. Mana ada di tanah air ini yang
masih wangi. Hanya darah. Tanah ini penuh cerita tentang darah dari dahulu. Sampai Cut Nyak
Dien pun dikhianati. Anak-anak pun dibunuhi. Bukankah darah lebih merah dari bunga mawar
mana pun yang tercantik ? Tapi ada kriteria cantik dan tak cantik, apa ? Suara rentetan bedil yang
memberondong anak-anak Meunasah pun bukankah terdengar indah bagi telinga para penembak
jahanam itu ?
Ya, ya, aku dengar suara itu. Suara ketawa yang nyinyir di antara jerit tangis anak-anak
Meunasah. Dan Bu Salehah ? Kau tahu apa yang terjadi dengan Bu Salehah ?
Aku tak pernah menceritakan kepadamu. Banyak dan terlalu banyak nestapa ditaburkan di atas
tanah ini. Mungkin kau akan bosan dengan cerita-cerita pembantaian di tanah kami. Mungkin
kau tak tahu berapa jumlah anak-anak yang dibunuhi setiap harinya di tanah ini ? Mungkin kau
tak tahu berapa jumlah anak-anak yang tak sekolah lagi di tanah penderitaan ini ?

Noora :
Mainnya jangan jauh-jauh, Aisyah. Ayo, pulang ke rumah, Inong.

( Noora datang mendekati Aisyah. Membelai-belai kepalanya. Sambil lirih menyanyikan lagu
bungong jeumpa.
Hening. Sesaat )

Aisyah :
Bagaimana keadaan Meunasah, Noora ? Apakah anak-anak itu, teman-teman kita sudah pada
masuk lagi untuk mengaji, Noora ? Apakah mereka sudah siap mengikuti ujian, Noora ? Apa Bu
Salehah….

Noora :
Sst. Ayo, kita pulang Aisyah. Hari menjelang malam. Sebentar lagi banyak binatang malam yang
jahat keluar dari sarangnya. Apalagi kita kaum perempuan, harus segera pulang ke rumah.
Mengunci pintu rapat-rapat. Ayo kita pulang, Aisyah. Tak baik kita tetap di sini. Nanti
keluargamu kelabakan mencarimu. Kita tak ingin seperti Malika, teman sekolah kita, yang
jenazahnya ditemukan dipinggir kali, seperti habis diperkosa dan dibunuh dengan sadis.

Aisyah :
Dan kesadisan mereka tak memandang siapa, meski gadis cacat seperti Malika. Tak ada yang
peduli. Juga para penguasa itu, mereka tetap saja bisa tidur nyenyak padahal rakyatnya berteriak-
teriak minta dilindungi. Sudahlah, siapa yang mau peduli pada rakyat kecil seperti kita.
Aku tidak mau pulang. Aku mau menjaga Meunasah kita. Aku tak mau binatang-binatang malam
jalang itu merusak Meunasah kita. Memperkosa dan membakar hidup-hidup Bu Salehah. Aku tak
mau. Meunasah itu adalah rumah kita juga, Noora. Apakah kita rela jika rumah kita dihancurkan
orang lain, Noora ? Dimana kita bisa berlindung dari hujan, dingin, sengatan matahari, Noora ?
Dimana kita dan teman-teman kita belajar ? Aku tak ingin, aku tak ingin ada yang merampas
Meunasah itu apalagi membakarnya !

Noora :
Tak ada yang akan membakar Meunasah kita, Aisyah. Percayalah. Yakinlah. Semua akan aman-
aman saja.

Aisyah :
Kau jangan bohong, Noora. Kamu jangan terpengaruh apa kata-kata mereka. Meunasah adalah

juga pusaka kita. Tanpa Meunasah kekuatan kita akan lemah dan mudah dibodohi lalu dibunuhi.

Meunasah itu punya sejarah panjang, Noora. Para pejuang tanah air ini yang membangunkannya,

sejak jaman kejayaan tanah air ini. Aku tak yakin orang-orang jahat itu akan membiarkan

Meunasah itu tetap berdiri. Mereka takut pada gemuruh suara anak-anak mengaji, suara anak-

anak bersyalawatan, anak-anak berpuisi dari dalam Meunasah itu. Mereka takut. Maka mereka

berusaha membakar Meunasah kita dan membunuh kita dan teman-teman kita. Sadarlah, Noora.

Lihat pelor-pelor di tanganku ini, Noora. Ini yang telah membunuh Bang Yunus, Hasan, Ibrahim,
Laka, Maryam, Fatimah dan teman-teman kita yang lain. Lihat, darah kering mereka masih ada.
Dan ini sebutir peluru yang menghajar pahaku dan membuat kaki satuku pincang. Mereka tak
peduli siapapun, mereka akan menghancurkan Meunasah itu meski yang menghalang-halangi
mereka, anak-anak seperti kita, mereka tidak peduli bahkan kalau perlu menembaki membunuhi.
Mungkin mereka tak pernah mengalami masa remaja seperti kita dan juga tak pernah punya anak
seusia kita. Karena mereka sudah disiapkan hidup sebagai makhluk yang buas, yang membunuhi
siapa saja.

Terdengar lirih anak-anak bersholawatan. Tapi tiba-tiba terdengar rentetan senapan. Ada isak
tangis. Ada jeritan menyayat.
Aisyah menutupi kedua telinganya. Tubuhnya bergetar. Noora berusaha menenangkan.

Aisyah :
Dengar, dengar derap langkah mereka mulai mendekat. Mereka bersiap menghancurkan

Meunasah kita. Mereka akan membakar Meunasah kita. Mereka akan membakar Meunasah kita.

Aisyah panik. Berlari ke sana ke sini. Noora kewalahan menenangkannya.

Noora :
Tak ada yang hendak membakar Meunasah kita, Aisyah. Tenanglah. Tenanglah. Sebutlah nama
Allah banyak-banyak, Aisyah !

Aisyah :
Mereka sudah datang, Noor. Mereka semuanya membawa bedil dan api. Mereka akan membakar
Meunasah kita dan menembaki siapa saja yang bersikeras mempertahankannya. Kita harus
menolong Bu Salehah dan teman-teman kita. Mereka tak pantas dibunuh dengan cara kejih
seperti itu. Mereka biadab, Noor. Meunasah kita akan dibakar, Noor. Meunasah kita akan
dibakar.

Aisyah tetap panik. Kemudian terdengar gemuruh api membakar.

Aisyah :
Mereka telah membakar Meunasah kita, Noor. Sedang kita tak berbuat apa-apa untuk
mencegahnya. Kita pengecut, kita munafik. Mengapa kita takut mati.

Aisyah menangis. Menjerit.

Noora :
Tenanglah, Aisyah. Tak ada yang membakar Meunasah kita, lihat Meunasah kita masih berdiri
megah.
Noora menenangkan Aisyah. Membelai-belai kepalanya, mendekapnya. Hening, senyap. Cahaya
redup.

Perlahan ada iring-iringan jenazah. Anak-anak remaja mengusung sebuah keranda. Lamat-lamat.
Bisu. Sunyi. Lenyap. Kemudian lagu bungong jeumpa muncul kembali.

Aisyah bangkit.
Matanya sayu. Kemudian Noora memeluk erat tubuh Aisyah kembali. Membenamkan kepalanya
dalam dekapannya. Lalu menyenandungkan lagu bungong jeumpa beriringan dengan nyanyian
bungong jeumpa yang sayup dinyanyikan anak-anak.

Aisyah :
Noor, pohon bungong jeumpa di halaman Meunasah kita, yang merupakan pohon bungong
jeumpa satu-satunya di kampung kita, masih hidup ? Masih ada bunganya ? Beberapa hari yang
lalu, bunganya mekar lebat-lebat. Aku memetiknya kemudian kusuling menjadi minyak, lalu aku
berikan untuk Bu Salehah dan kubagi-bagikan kepada teman-teman kita agar semua merasakan
wanginya. Dan untuk Bu Salehah, itu hadiahku untuk acara pernikahan dia, agar kedua mempelai
itu lebih wangi. Dan akan aku nyanyikan lagu bungong jeumpa sewaktu mereka melangsungkan
pernikahan nanti. Pohon bungong jeumpa itu masih ada, kan ?

Noora :
Pohon bungong jeumpa itu masih ada. Kamu jangan khawatir. Penghuni Meunasah itu juga kita
akan selalu menjaganya, akan selalu merawatnya agar bunganya lebat, agar kita bisa
memetiknya, agar kita bisa menyuling minyaknya, agar kita bisa membagi wanginya kepada
siapa saja.

Aisyah :
Membagi wanginya kepada siapa saja ? Aku tidak mau membagi wanginya kepada orang-orang
yang ingin membakar Meunasah kita dan membunuhi orang-orang kampung kita, Noor. Aku
tidak rela membagi wangi bungong jeumpa kepada mereka, aku pun tak rela jika kau
melakukannya.

Noora :
Aisyah, bukankah kebaikan kita untuk siapa saja, hatta mereka adalah musuh kita. Bukankah
Sang Nabi melarang kita untuk mendendam. Ketika batu-batu Taif dilemparkan tangan-tangan
kasar itu sampai melukai tubuhnya, sampai darahnya menggenangi terompahnya, beliau tidak
mengumpat, ataupun menyumpah serapahi manusia-manusia itu, tapi malah beliau mendoakan
dengan doa yang indah. Jangan menyimpan dendam, Aisyah.

Aisyah :
Tapi hendak membakar Meunasah kita. Bukankah Sang Nabi juga menyuruh agar kita tidak lari

ketika bertemu musuh, apalagi musuh hendak menghabisi kita. Noora, aku tak rela jika mereka

menghanguskan Meunasah juga pohon bungong jeumpa kita. Aku tak rela. Aku tak rela. Lihat ini

buktinya, pelor-pelor ini, Noora ! Apa tak cukup kekejaman mereka, yang membunuhi tidak

hanya bapak dan ibu-ibu kita, bahkan anak-anak seperti kita. Apa artinya peperangan ini, Noora.

Apa artinya ? Apakah orang-orang tua hanya bisa menyelesaikan dengan jalan kekerasan ? Dan

kematian, Noora ? Bukankah terlalu indah jika atas nama Allah, seperti yang dikisahkan pada

Hikayat Perang Sabil. Kita tak perlu takut pada kematian, Noora meski kita merasa masih

remaja.

Karena kematian akan datang menjemput siapa saja tak memandang usia.
Kematian lebih pasti meminang kita. Saat bunga-bunga sejati diberikan pada kita. Dan Meunasah
kita akan ada yang menjaganya, meski kita mati dahulu, insya Allah, meski hanya ruhnya.
Jangan-jangan kau pikir remaja-remaja yang hadir adalah remaja-remaja teroris, bukan, tapi
remaja-remaja yang punya keberanian mempertahankan kedaulatan negeri ini. Bahkan remaja-
remaja pengecut yang bersembunyi di ketiak harta dan narkoba. Dan pohon jeumpa itu akan
selalu rimbun bunga-bunganya, akan menaburkan semerbak wangi ke penjuru negeri.
( Kemudian ada seorang anak perempuan berlari tergesa-gesa )
Seorang anak perempuan :
Cepat, cepat lari, selamatkan diri kalian. Mereka telah datang hendak menghancurkan kampung
kita. Juga Meunasah kita.

Aisyah terperanjat. Juga Noora.

Aisyah :
Sudah kubilang apa. Mereka sama saja. Untuk apa kita berlari dari mereka. Aku tak mau mati
dalam kepengecutan dan kemunafikkan. Aku akan melawan mereka. Meunasah itu tak boleh
hancur. Aku tak rela jika Meunasah itu hancur. Aku tak rela.

Noora menarik-narik tangan Aisyah untuk segera pergi menghindar dari bahaya yang
mengancam, tapi Aisyah meronta-ronta. Sampai akhirnya tangan Aisyah lepas dari pegangan
Noora dan Aisyah pun bergegas tertatih menyongsong maut. Sedangkan Noora mengejar Aisyah
sambil kebingungan.

Kemudian terdengar sayup nyanyian


bungong jeumpa..bungong jeumpa meugah di Aceh
bungong lelebeh..bungong lelebeh indah lagoina
puteh kuneng mejampu mirah
keumang siulah cidah that rupa…

sayup. Redup. Hanya suara rentetan bedil dan api yang menggejolak.

Bogor,1425
Zakh Syairum Majid ( Surono B Tjasmad )

BIODATA PENULIS
Zakh Syairum Majid (Surono B Tjasmad), lahir di Pekalongan, 16 Mei 1980, alumni Institut
Pertanian Bogor. Aktif sebagai Wakil Ketua Forum Lingkar Pena Bogor. Karya berupa cerpen
dan puisi pernah dimuat dalam : Republika, Suara Karya, Tabloid MQ, Elegi Gerimis Pagi
(Antologi Cerpen Mini KSI Award 2002), Yang Dibalut Lumut (Antologi Cerpen Lomba
Kreativitas Pemuda 2003, Depdiknas), Muli Sikep (Antologi Cerpen Krakatau Award 2003), dll.
Cerpennya yang bertajuk “Elegi Gerimis Pagi” memenangkan Komunitas Sastra Indonesia
Award 2002, sedangkan cerpennya yang berjudul “Jejak-Jejak Terhapus Hujan” memenangkan
juara III Lomba Cipta Cerpen Kreativitas Pemuda Depdiknas 2003. tinggal di Wisma Dolphin
Balebak 32 Balumbangjaya, Bogor. (0251) 621628 / 081310326178.

Anda mungkin juga menyukai