Anda di halaman 1dari 10

PRAKTEK LAPANGAN

KEBUTUHAN DASAR MANUSIA 2

RUMAH SAKIT ANTON SUJARWO


ALAMAT JLN KS TUBUN
PONTIANAK MASA WAKTU : 19 –
30 APRIL 2021

AKHMAL TRI
OKTAFA’IQ
1910151003

JKG POLTEKKES
PONTIANAK 2021

PEMBIMBING :
1. Dr. Drg. Omry
Pakpahan, M.Kes
2. Sumiyem, S. Tr.Kes
3. Rahmayanti, SKM MAHASISWA
WEBSITE: NAMA : AKHMAL TRI OKTAFA’IQ
-

EMAIL:
-

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Rumah Sakit
Anton Sujarwo yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar akademik Program
Diploma III Kesehatan Gigi Politeknik Kesehatan Kemenkes Pontianak tanpa ada halangan
apapun sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Selain itu, Praktek Kerja Lapangan (PKL)
merupakan elemen yang sangat penting bagi perkuliahan karena berorientasi pada dunia kerja.
Dalam pelaksanaannya, penulis dituntut untuk terampil dan menerapkan ilmu pengetahuan yang
telah didapat dalam menyelesaikan pekerjaan yang diberikan. Laporan ini sebagai bukti bahwa
penulis telah melaksanakan dan menyelesaikan PKL pada Rumah Sakit Anton Sujarwo.

Penulis menyadari bahwa Praktek Kerja Lapangan ini tidak dapat terlaksana dengan baik
tanpa dukungan dari berbagai pihak. Dengan demikian pada kesempatan ini dengan segala
ketulusan hati penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Drg. Omry Pakpahan, M.Kes selaku pembimbing mata kuliah KDM yang telah
menyediakan waktu, perhatian dan kesabarannya dalam membimbing kami
2. Ibu Sumiyem, S. Tr.Kes selaku pembimbing mata kuliah KDM yang telah menyediakan
waktu, perhatian dan kesabarannya dalam membimbing kami
3. Ibu Rahmayanti, SKM selaku pembimbing mata kuliah KDM yang telah menyediakan
waktu, perhatian dan kesabarannya dalam membimbing kami

Pontianak, Mei 2021


Penulis

2
PEMBAHASAN LAPORAN

A. JUDUL
Pasien AG berusia 14 tahun dengan jenis kelamin laki-laki yang beralamat rumah di Jl.
Khatulistiwa Gg. Teluk Betung 1 yang di diagnosis mengidap penyakit tifus dan sedang dilakukan
perawatan tempat fankes Rs. Anton Sujarwo dikamar Catur Prasetya I mulai dirawat pada tanggal
21 april 2021.

B. DEFINISI
Demam tifoid atau tifus adalah salah satu penyakit infeksi yang menyebabkan morbiditas
dan mortilitas yang tinggi di seluruh dunia khususnya di negara- negara berkembang.
Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica
serovar typhi (S.typhi) (Parry, 2004) . Di Indonesia yang merupakan salah satu negara
berkembang demam tifoid termasuk penyakit endemis. Angka kejadian di Indonesia
masih tinggi dan menjadi masalah kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan
kesehatan lingkungan dan sanitasi yang buruk (Retnosari, 2000 ; Dewi, 2013).
Demam tifoid atau tifus abdominalis banyak ditemukan dalam kehidupan masyarakat
kita, baik diperkotaan maupun di pedesaan. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi
akut pada usus halus dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan
pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran (Rampengan, 2007).

C. ETIOLOGI
Demam tifoid atau tifus disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi, sumber infeksi
Salmonella typhi selalu manusia, baik orang sakit maupun orang sehat pembawa kuman.
Penyakit ini tergolong penyakit menular yang dapat menyerang banyak orang, mulai dari
usia balita, anak-anak, dan dewasa. Sebagian penderita demam tifoid kelak akan menjadi
carrier, baik sementara atau menahun (Sjamsuhidajat, 2010).Selain itu demam tifoid atau
tifus dapat menimbulkan komplikasi bila tidak diobati dengan tepat. Pada kenyataannya,
masyarakat menganggap bahwa demam tifoid merupakan penyakit yang sudah biasa
terjadi dan tidak berbahaya.

3
D. PATOFISIOLOGI
Penularan bakteri salmonella typhi dan salmonella paratyphi terjadi melalui makanan dan
minuman yang tercemar serta tertelan melalui mulut. Sebagian bakteri dimusnahkan oleh
asam lambung. Bakteri yang dapat melewati lambung akan masuk ke dalam usus,
kemudian berkembang. Apabila respon imunitas humoral mukosa (immunoglobulin A)
usus kurang baik maka bakteri akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan
selanjutnya ke lamina propia. Didalam lamina propia bakteri berkembang biak dan
ditelan oleh sel-sel makrofag kemudian dibawa ke plaques payeri di ilium distal.
Selanjutnya Kelenjar getah bening mesenterika melalui duktus torsikus, bakteri yang
terdapat di dalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi darah mengakibatkan bakteremia
pertama yang asimtomatik atau tidak menimbulkan gejala. Selanjutnya menyebar
keseluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa diorgan-organ ini
bakteri meninggalkan sel-sel fagosit dan berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid,
kemudian masuk lagi kedalam sirkulasi darah dan menyebabkan bakteremia kedua yang
simtomatik, menimbulkan gejala dan tanda penyakit infeksi sistemik.

E. TANDA DAN GEJALA


Setelah 7-14 hari tanpa gejala (asimptomatis) dapat muncul keluhan atau gejala yang
bervariasi mulai dari yang ringan dengan demam yang tidak tinggi, malaise, dan batuk
kering sampai dengan gejala yang berat dengan demam yang berangsur makin tinggi
setiap hari, serta rasa tidak nyaman. Gejala lain yang biasa dijumpai adalah demam sore
hari dengan serangkaian keluhan klinis, seperti anoreksia, mialgia, nyeri abdomen , dan
obstipasi, dapat disertai dengan lidah kotor, nyeri tekan perut, dan pembengkakan pada
stadium lanjut dari hati dan limpa atau dapat keduanya (Nelwan,2012). Sekitar 10-15%
dari pasien demam tifoid akan mengalami komplikasi, terutama pada pasien yang sudah
sakit selama lebih dari 2 minggu. Komplikasi yang sering dijumpai adalah reaktif
hepatitis, perdarahan gastrointestinal, perforasi usus, ensefalopati tifosa, serta gangguan
pada sistem retikuloendotelial, karena penyebaran bakteri S.typhi pada demam tifoid
adalah secara hematogen. Bila tidak ada komplikasi, gejala klinis akan mengalami
perbaikan dalam waktu 2-4 minggu (Bhutta, 2006).
Demam tifoid memiliki 4 fase yang akan dialami oleh penderita yaitu :

4
 Fase prodormal, pada fase ini belum ada tanda-tanda gejala penyakit, terjadi pada
minggu-minggu pertama (dari mulai penderita terinfeksi kuman) sampai dengan
awal minggu kedua. Pada fase ini terjadi bakterimia primer (pertama).
 Fase klinis (minggu 2), pada fase ini, terlihat gejala-gejala klinis dari penyakit
demam tifoid tetapi pada fase ini bakterimia mulai menurun. Gejala klinis yang
mulai tampak diantaranya adalah pusing, panas dapat mencapai 40 ‘C, denyut
nadi lemah, malaise, anoreksia, perut terasa tidak enak, diare dan sembelit yang
berganti-ganti.
 Fase Komplikasi (minggu 3), fase komplikasi ini adalah fase paling berbahaya
karena pada fase ini terjadi komplikasi lain yang mungkin lebih membahayakan
dari penyakit tifoid itu sendiri. Sering pula terjadi dimana penyakit demam tifoid
nya sendiri telah sembuh , tetapi timbul penyakit yang baru lagi yang merupakan
komplikasi dari penyakit demam tifoid. Komplikasi yang sering ditimbulkan
antara lain peradangan usus (usus menjadi berlubang) sehingga terjadi peritonitis.
Komplikasi serius yang sering terjadi adalah perdarahan dan perforasi usus halus
termasuk juga sepsis, meningitis, pneumonia, dan dapat pula terjadi miokarditis.
Selain itu komplikasi lain yang dapat terjadi andalah terjadinya septisemi karena
adanya endotoksin yang dihasilkan oleh S.typhi. Pada sepsis sering terjadi seperti
syok, septik dan kematian pada penderita. Endotoksin dari S.typhi dapat
menimbulkan gangguan sirkulasi perifer dan gangguan pada multi organ.
 Fase penyembuhan (minggu 4), fase ini adalah fase akhir dari demam tifoid,
merupakan perjalanan menuju sembuh. Pada fase ini penderita akan menuju
sembuh jika diberi pengobatan dan tanpa terjadi komplikasi serta telah dapat
diatasi (Rofiqi, 2009).

F. KLASIFIKASI
1. Epidemik Tifus

Umumnya, kutu membawa bakteri penyebab tifus yang berjenis Rickettsia


prowazekii. Kutu yang membawa bakteri ini juga banyak ditemukan pada tubuh
manusia. Biasanya kutu pembawa bakteri jenis ini juga banyak ditemukan pada

5
daerah-daerah yang memiliki sanitasi dan kebersihan yang buruk. Kondisi ini
mendorong kutu untuk berkembang biak lebih banyak sehingga masyarakat akan
lebih rentan alami tifus jenis ini.

2. Endemik Tifus

Jenis ini dikenal juga dengan tifus murine. Tifus jenis ini disebabkan oleh kutu yang
terinfeksi Murine tifus menggigit manusia. Kutu dapat terinfeksi saat ia menggigit
hewan yang terinfeksi, seperti kucing, tikus, serta tupai. 

3. Scrub Tifus

Melansir dari Centers for Disease Control and Prevention, tifus jenis ini disebabkan
oleh Orientia tsutsugamushi. Bakteri ini nyatanya dibawah oleh larva yang ada pada
hewan pengerat atau yang dikenal juga dengan sebutan chiggers. Sebaiknya hindari
untuk bersentuhan langsung dengan kutu yang dapat membawa berbagai jenis bakteri
penyebab tifus. Kamu bisa menjaga kebersihan lingkungan agar terhindar dari tikus
maupun rutin membersihkan hewan peliharaan seperti kucing agar tidak menjadi
hewan perantara untuk penyakit tifus.

G. KOMPLIKASI

Komplikasi yang paling mudah terjadi, yakni timbulnya dehidrasi karena cairan banyak
yang hilang saat diare. Komplikasi lain yang bisa terjadi, yakni:

 Perdarahan dan robeknya bagian usus


 Peradangan otot-otot jantung
 Peradangan selaput jantung
 Peradangan paru-paru
 Peradangan ginjal
 Peradangan selaput otak

6
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang tifoid untuk menegakkan diagnosis dapat dinilai


melalui pemeriksaan darah lengkap (complete blood count), widal, serologi, maupun
kultur darah. Pada pemeriksaan darah lengkap (complete blood count) akan didapatkan
leukopenia dan neutropenia.

I. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan yang disebutkan dalam teori dan ditemukan dalam kasus nyata
adalah sebagai berikut :

a. Hipertermi berhubungan dengan meningkatnya pengaturan suhu tubuh. Hipertermi


merupakan keadaaan ketika seseorang individu mengalami atau beresiko untuk
mengalami kenaikan suhu tubuh terus menerus lebih tinggi dari 37,8⁰C per oral atau
38,8⁰C per rektal karena faktor eksternal. ( Carpenito, 2007 ). Pada kasus ini
ditemukan data pasien suhu tubuh 38,5⁰C.
b. Penulis menegakkan diagnosa ini karena didukung oleh data subyektif yaitu pasien
mengatakan badannya panas, dan data obyektif berupa suhu tubuh pasien 38,5⁰C. b.
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, mual. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan adalah suatu
keadaan ketika individu yang tidak puasa, mengalami atau beresiko mengalami
penurunan berat badan yang berhubungan dengan asupan yang tidak adekuat atau
metabolisme nutrisi yang tidak adekuat untuk kebutuhan metabolik (Carpenito,
2007). Penulis menegakkan diagnosa ini karena di dukung oleh data subyektif yaitu
pasien mengatakan tidak nafsu makan dan mual, dan data obyektif pasien tampak
lemas, makan tidak habis hanya ½ porsi.
c. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik. Intoleransi merupakan
penurunan dalam kapasitas fisiologis seseorang untuk melakukan aktivitas sampai
tingkat yang diinginkan atau yang dibutuhkan. Penulis menegakkan diagnosa ini
karena didukung data subyektif yaitu pasien mengatakan semua aktifitas dibantu

7
keluarganya, dan data obyektif nampak semua aktifitas dibantu keluarganya, tangan
kiirinya terpasang infus, pasien BAK dengan pispot.

J. PENATALAKSANAAN

Evaluasi hasil dari masing – masing diagnosa :

1. Hipertermi berhubungan dengan meningkatnya pengaturan suhu tubuh. Pada diagnosa


pertama berdasarkan evaluasi, setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
suhu tubuh pasien sudah normal ( 36 - 37⁰C ) dengan kriteria hasil vital sign : tekanan
darah 140/100 mmHg, suhu tubuh 36,8⁰C. Setelah dibandingkan dengan kriteria hasil
yang penulis cantumkan pada intervensi menunjukkan bahwa suhu tubuh pada batas
normal yaitu 36,8⁰C, maka penulis menyimpulkan analisa masalah teratasi. Dan rencana
yang penulis susun selanjutnya adalah mempertahankan intervensi yang telah ada, seperti
mengkaji tanda – tanda vital pasien dan berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian
terapi obat sesuai dosis.

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


anoreksia, mual. Pada diagnosa ketiga berdasarkan evaluasi, setelah dilakukan asuhan
keperawatan 3x24 jam, hasil evaluasi pada diagnosa keperawatan ini adalah pasien sudah
mau makan habis ½ porsi yang disediakan di Rumah sakit. Data yang didapatkan
dibandingkan dengan kriteria hasil yang ditetapkan bahwa masalah sudah tercapai yaitu
makan sudah habis ½ porsi yang disediakan di rumah sakit. Maka rencana tindakan
keperawatan yang ditetapkan teratasi dan rencana yang perlu dilanjutkan adalah
kolaborasi dengan ahli gizi.

3. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik. Pada diagnosa ketiga


berdasarkan evaluasi , setelah dilakukan asuhan keperawatan 3x24 jam, hasil evaluasi
pada diagnosa keperawatan ini adalah pasien belum mampu beraktifitas sendiri. Data
yang didapatkan dibandingkan dengan kriteria hasil yang ditetapkan masih ada yang
belum tercapai yaitu kemampuan beraktifitas pasien belum mandiri, sehingga dapat dia
analisa bahwa masalah aktifitas belum tercapai. Maka rencana tindakan keperawatan

8
yang ditetapkan masih perlu ditindak lanjuti oleh penulis dengan mendelegasikannya
dengan perawat ruang sofa bahwa agar masalah yang ada pada pasien dapat teratasi
sepenuhnya, dan rencana yang perlu dilanjutkan adalah membantu aktifitas secara
bertahap, dekatkan barang – barang yang dibutuhkan, dan mengkolaborasi dengan dokter
dalam pemberian obat sesuai dengan terapi.

DAFTAR PUSTAKA

9
Carpenito, 2007. Diagnosa Keperawatan. Aplikasi pada Praktek Klinis. Edisi IX.
Alih Bahasa: Kusrini Semarwati Kadar. Editor: Eka Anisa Mardella, Meining Issuryanti.
Jakarta: EGC.

Doenges, Maryllin. 2003. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Alih Bahasa:


Yasmin Asih. Jakarta: EGC. Manjsoer, Arif. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III.
Jakarta: EGC.

Dinas Kesehatan Jawa Tengah. 2011. Demam Typhoid di Jawa Tengah. Diunduh
dari http://www. Profil Kesehatan Jawa Tengah.go.id/dokumen/profil 2011/htn.

10

Anda mungkin juga menyukai