Anda di halaman 1dari 9

Miskonsepsi

Belajar
Miskonsepsi Belajar

Belajar hanya untuk Kendali belajar berada Pelajar mempunyai kebutuhan &
ujian pada guru minat belajar yang sama

Belajar itu menghafal dan Keberhasilan belajar ditandai Penilaian belajar sepenuhnya
menggunakan rumus dengan nilai angka terstandar wewenang guru
Apa itu Belajar ?

Bila pertanyaan tersebut dilontarkan, pasti


menghasilkan banyak variasi jawaban. Sebagian
akan menjawab belajar sebagai perilaku
membaca buku pelajaran, mengerjakan soal,
berdiskusi atau bahkan ada juga yang
menjawab belajar sebagai berangkat sekolah.

Bila tidak di sekolah, maka anak tidak belajar.


Jadi mari kita refleksikan kembali makna belajar
dengan mengenali miskonsepsi tentang
belajar.

3
Belajar hanya untuk Ujian

Bila tidak ada ujian, maka tidak belajar.


Di sekolah dan kampus, ujian dibuat jadwal
berkala yang mengukuhkan ujian sebagai ritual
penting. Lahir kebiasaan SKS, sistem kebut
semalam. Upaya habis-habisan menguasai
pelajaran pada malam menjelang hari ujian.

Ujian selesai, belajar pun usai. Pelajaran tak


diingat lagi. Padahal dalam kehidupan, tidak ada
jadwal ujian. Ujian kehidupan bisa datang
sewaktu-waktu, tidak menunggu jadwal ujian
tiba.
Kendali belajar
berada pada guru
Karena kinerja pelaku dan manajemen
pendidikan ditentukan oleh hasil ujian murid,
maka proses belajar pun dikendalikan oleh
guru. Guru yang mempunyai wewenang
sepenuhnya dalam menentukan strategi,
aktivitas dan asesmen belajarnya. Guru menjadi
subyek, pelajar menjadi obyek. Belajar menjadi
milik guru.

Karena tidak dilibatkan, murid tidak mempunyai


rasa memiliki terhadap proses belajar. Ketika
sasaran belajar tidak tercapai, seringkali guru
yang lebih cemas dibandingkan pelajarnya.
Padahal belajar harusnya milik pelajar,
sehingga sudah sepatutnya guru melibatkan
pelajar dalam mengatur proses belajar.
Pelajar mempunyai kebutuhan
dan minat belajar yang sama

Guru bukan mengajar murid, tapi mengajar


materi pelajaran. Karena itu, guru tidak perlu
mengenal apalagi memahami kebutuhan dan
minat belajar pelajarnya. Guru menggunakan 1
resep untuk kelas mana pun, siapa pun
pelajarnya.

Resep yang disebut sebagai Pengajaran


Langsung, proses belajar yang berpusat pada
guru. Padahal kenyataannya, murid butuh
mengalami diferensiasi pengalaman belajar
sesuai minat, cara belajar dan ketersediaan
sumber belajar di sekitarnya.
Belajar itu menghafal dan
menggunakan rumus
Orientasi belajar untuk ujian mendorong
guru mengajar dengan cara yang
memastikan pelajar bisa mengerjakan ujian
dengan benar dan cepat. Cara belajar
tersebut adalah menghafal dan
menggunakan rumus.

Selama lebih dari 12 tahun, pelajar belajar


dengan cara tersebut. Tidak heran bila
pelajar mempunyai keterampilan yang khas,
terampil mengerjakan ujian. Padahal banyak
tantangan kehidupan tidak seragam
sebagaimana ujian standar. Pelajar butuh
menalar sebelum memahami dan
mengatasi tantangan kehidupan.
Penilaian belajar sepenuhnya
wewenang guru
Karena tujuan dan cara belajar ditentukan oleh
guru maka sewajarnya penilaian belajar
ditentukan juga oleh guru. Guru yang tahu
benar dan salah. Guru yang layak menentukan
nilai dari jawaban murid. Seringkali kriteria dan
cara penilaian hanya diketahui oleh guru.
Pelajar diharapkan menerima begitu saja hasil
penilaian, meski tidak paham maknanya.

Pelajar tidak tahu perbedaan antara mendapat


skor 8 dengan skor 9. Pelajar tidak mendapat
informasi tentang apa konsep yang perlu
diperkuat atau cara belajar yang harus
diperbaiki. Padahal pelajar pun perlu belajar
melakukan penilaian. Dalam kehidupan, pelajar
dituntut bisa membedakan benar dan salah
atau baik dan buruk.
Miskonsepsi & Konsep Tujuan Pendidikan

Siap Ujian Siap Hidup

Nilai angka Kompetensi

Ujian standar Ujian bermakna

Menghafal Menalar

Kepatuhan Kemandirian

Anda mungkin juga menyukai