Anda di halaman 1dari 43

01

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N

transisi demografi dan epidemiologi:


permintaan pelayanan kesehatan
di indonesia

DIREKTORAT KESEHATAN DAN GIZI MASYARAKAT


KEDEPUTIAN PEMBANGUNAN MANUSIA, MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN
KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL /
BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
transisi demografi dan epidemiologi:
permintaan pelayanan kesehatan di indonesia
© 2019 by Kementerian PPN/Bappenas

Pengarah
Dr. Ir. Subandi Sardjoko, MSc

Penulis
Diahhadi Setyonaluri, Ph.D
Flora Aninditya, S.E., M.S.E.
transisi demografi dan epidemiologi:
Reviewer dan Editor permintaan pelayanan kesehatan
Dewi Amila Solikha, SKM, MSc
Renova Glorya Montesori Siahaan, SE, MSc
Pungkas Bahjuri Ali, STP, MS, PhD
di indonesia
Prof. dr. Ascobat Gani, MPH., Dr.PH.

Foto: UNICEF Indonesia

KAJIAN SEKTOR KESEHATAN


Diterbitkan dan dicetak oleh
Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat
Kedeputian Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan
Kementerian PPN/Bappenas
Jalan Taman Suropati No. 2, Jakarta Pusat, 10310
Telp: (021) 31934379, Fax: (021) 3926603
Email: kgm@bappenas.go.id

Cetakan pertama: April 2019


ISBN: 978-602-50133-8-6
DIREKTORAT KESEHATAN DAN GIZI MASYARAKAT
KEDEPUTIAN PEMBANGUNAN MANUSIA, MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN
Hak Penerbitan @ Kementerian PPN/Bappenas
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari penulis dan penerbit, sebagian KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/
atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, photoprint, microfilm dan sebagainya. BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
iv • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia Kajian Sektor Kesehatan • v

Kata Pengantar

Laporan Health Sector Review (HSR) 2018 dengan tema Transisi Demografi dan Epidemiologi:
Permintaan Pelayanan Kesehatan ini disusun untuk menganalisis perubahan permintaan
pelayanan kesehatan yang dipengaruhi oleh perubahan struktur umur penduduk serta pola
beban penyakit (Burden of Disease – BoD). Analisis ini penting dalam upaya mencapai
Universal Health Coverage (UHC) pada tahun 2030, dimana perubahan demografis dan beban
penyakit akan menentukan arah permintaan pelayanan kesehatan.

Transisi epidemiologi di Indonesia ditandai tidak saja dengan peningkatan penyakit tidak
menular, tetapi penyakit menular seperti TB, HIV-AIDS, Malaria dan berbagai penyakit
terabaikan cenderung masih tinggi. Hal ini menyebabkan adanya beban ganda dalam
pengendalian dan penanggulangan penyakit yaitu penyakit tidak menular yang meningkat
dan penyakit menular yang masih tinggi, yang disebut dengan double burden of diseases.

Tujuan utama dari kajian ini adalah menganalisis tren dan pola permintaan pelayanan
kesehatan yang dipengaruhi oleh perubahan demografis dan pola BoD. Cakupan laporan
ini antara lain analisis perubahan demografis dan epidemiologi; melihat pengaruh transisi
demografi dan epidemiologi terhadap pola permintaan pelayanan kesehatan dalam hal ini
pemanfaatan fasilitas kesehatan serta pengeluaran untuk kesehatan; proyeksi permintaan
pelayanan kesehatan yang memasukkan faktor perubahan demografis masa depan serta
perubahan pola BoD serta adanya jaminan kesehatan universal. Implikasi dari proyeksi
permintaan layanan kesehatan serta rekomendasi kebijakan/strategi yang bertujuan untuk
merespon perubahan tren permintaan layanan kesehatan juga dikemukakan pada laporan ini.

Kombinasi antara pertambahan jumlah penduduk, transisi epidemiologi dan jaminan kesehatan
nasional menciptakan tantangan-tantangan baru yang cukup rumit bagi pelayanan kesehatan
secara keseluruhan. Apalagi dengan adanya mekanisme JKN yang sedikit banyak merubah
sistem dan pola permintaan pelayanan kesehatan. Kajian ini melakukan analisa terhadap
berbagai fenomena di atas, mengidentifikasi tantangan dan masalah serta memberikan
alternatif rekomendasi yang perlu ditempuh.

Kami yakin kajian ini akan bermanfaat bagi pembaca umum, khususnya pengambil kebijakan,
mahasiswa, akademisi dan peneliti serta pihak-pihak lain yang terkait, serta sebagai masukan
masukan awal dalam rangka penyusunan RPJMN 2020-2024.

Semoga kajian ini dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan kesehatan di Indonesia.

Jakarta, April 2019

Subandi Sardjoko
Deputi Bidang Pembangunan Manusia,
Masyarakat dan Kebudayaan
Kementerian PPN/Bappenas
vi • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia Kajian Sektor Kesehatan • vii

Ucapan Terima Kasih dan Penghargaan Daftar Isi

Penghargaan dan terima kasih kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Kementerian Kesehatan, Republik Indonesia yang telah memberikan akses bagi pemanfaatan Kata Pengantar iv
berbagai data dari Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018, SDKI 2017, Riset Tenaga
Ucapan Terima Kasih dan Penghargaan vi
Kesehatan (RISNAKES) 2017, serta kajian Burden of Disease yang telah dilakukan bersama
IHME. Terimakasih juga disampaikan kepada Badan Pusat Statistik pada pemberian data Daftar Isi vii
SUPAS 2015 dan data terkait lainnya, termasuk masukan teknis untuk laporan. Apresiasi
dan terima kasih kepada seluruh pakar dan narasumber yang telah memberikan input untuk Daftar Tabel viii
perbaikan tulisan, terutama Dr. Soewarta Kosen, Dr. Teguh Dartanto, Prof. Peter Berman dan
Daftar Gambar ix
Hiddo Huitzing.
Daftar Singkatan xii
Kajian ini disusun oleh sebuah tim Kajian Sektor Kesehatan (Health Sector Review) di bawah
bimbingan Bapak Subandi Sardjoko (Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat Ringkasan Eksekutif xiv
dan Kebudayaan, Bappenas, pada saat kajian ini disusun) dengan supervisi dari Bapak
1. Pendahuluan 1
Pungkas Bahjuri Ali (Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas). Adapun koordinator
teknis pelaksanaan Health Sector Review 2018 adalah Renova Glorya Montesori Siahaan 2. Analisis Situasi 3
(Bappenas) yang di bantu oleh Prof. Ascobat Gani sebagai team leader HSR 2018.
2.1. Transisi Demografi di Indonesia 4
Kajian ini merupakan bagian dari Kajian Sektor Kesehatan (Health Sector Review) yang
2.1.1. Transisi Fertilitas 6
dilakukan pada tahun 2018 oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
dengan dukungan dari UNICEF and DFAT, serta didukung oleh mitra pembangunan lain seperti 2.1.2. Transisi Mortalitas 8
ADB, WHO, World Bank, USAID, UNFPA, WFP, FAO, JICA, UNDP, GIZ, dan Nutrition International.
Proses edit dan cetak laporan kajian ini didukung oleh UNICEF Indonesia. 2.1.3. Mobilitas Penduduk 10

Kajian sektor kesehatan dilakukan secara paralel untuk 10 topik meliputi: 2.1.4. Konsekuensi Perubahan Struktur Umur Penduduk: Bonus Demografi 14

1 Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia 2.2. Transisi Epidemiologi dan Beban Penyakit di Indonesia 17

2.3. Faktor Risiko dan Kerentanan terhadap Penyakit menurut Daur Hidup 26
2 Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security
2.3.1. Bayi dan Balita (Usia 0-4 Tahun) 27
3 Kesehatan Reproduksi, Ibu, Neonatal, Anak dan Remaja
2.3.2. Anak dan Remaja (5 – 14 Tahun) 33
4 Pembangunan Gizi di Indonesia
2.3.3. Transisi Masa Dewasa – Berkeluarga/ Memiliki Anak
5 Sumber Daya Manusia Kesehatan
(Perempuan 15-49 Tahun) 37
6 Penyediaan Obat, Vaksin, dan Alat Kesehatan
2.3.4. Dewasa Usia Produktif (15 – 64 Tahun) 41
7 Pengawasan Obat dan Makanan, termasuk Keamanan Pangan
2.3.5. Lanjut Usia (65 Tahun ke Atas) 47
8 Pembiayaan Kesehatan dan JKN
2.3.6. Cross-cutting Issues 50
9 Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan
3. Proyeksi Penduduk dan Beban Penyakit tahun 2020-2024 55
10 Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan
4. Implikasi Transisi Demografi dan Epidemiologi
terhadap Permintaan Pelayanan Kesehatan 59

Referensi 64
viii • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia Kajian Sektor Kesehatan • ix

Daftar Tabel Daftar Gambar

Tabel 1 Jumlah Penduduk Total, menurut Kelompok Umur, dan Jumlah Kelahiran, Gambar 1 Kerangka Pikir Analisis: Transisi Kesehatan 2
Indonesia, 1961-2035 5
Gambar 2 Laju Pertumbuhan Penduduk dan Jumlah Penduduk Indonesia, 1971-2045 4
Tabel 2 Persentase Penduduk Komuter dan Penduduk yang Melakukan Mobilitas Musiman 13
Gambar 3 Proyeksi Jumlah Penduduk menurut Kelompok Umur, Indonesia 2015-2045 6
Tabel 3 Angka Standar Usia Kematian Penyakit menurut Provinsi, 2017 (Hasil Sementara) 24
Gambar 4 Total Fertility Rate (TFR), Indonesia, 1971-2017 7
Tabel 4 Proporsi Kunjungan Neonatal Pertama (6-28 jam setelah lahir)
Gambar 5 Total Fertility Rate menurut Provinsi, Indonesia (2012 dan 2017) 8
pada Anak Umur 0-59 Bulan menurut Provinsi, 2013 – 2018 28
Gambar 6 AKN, AKB, AKBA, AKA, Indonesia 1991-2017 9
Tabel 5 Persentase Remaja menurut Perilaku Konsumsi Minuman Beralkohol
dan Narkoba, Indonesia, 2007 & 2012 35 Gambar 7 Angka Kematian Ibu (AKI), Indonesia, 1997-2015 9

Tabel 6 Jumlah Penduduk Indonesia menurut Kelompok Umur 56 Gambar 8 Migrasi Neto menurut Provinsi, Indonesia 2015 & 2020 11

Tabel 7 Profil Penyakit menurut Kelompok Umur, 2016 57 Gambar 9 Persentase Penduduk Perkotaan menurut Provinsi, Indonesia 2015 12

Tabel 8 Proyeksi DALYs Indonesia 2020-2024 57 Gambar 10 Rasio Ketergantungan di Indonesia menurut Berbagai Proyeksi 14

Tabel 9 Proyeksi Prevalensi Indonesia 2017-2024 58 Gambar 11 Estimasi TFR Tahun 2015 dan Prediksi Tahun RK
Mencapai Nilai Terendah di Setiap Provinsi Indonesia 15
Tabel 10 Arah Kebijakan dalam Merespons Perubahan Demografi dan Epidemiologi
Tahun 2020-2024 62 Gambar 12 “Concerted Effort” untuk Mengoptimalkan Bonus Demografi 16

Gambar 13 Gambaran Beban Penyakit (Burden of Disease) di Indonesia, 2000 dan 2016 17

Gambar 14 Perubahan Angka Kematian menurut Jenis Penyakit, 1990, 2006, dan 2016 19

Gambar 15 10 Penyakit Penyebab Kematian Tertinggi Tahun 2007 dan 2017 19

Gambar 16 Perubahan DALYs menurut Jenis Penyakit Tahun 1990, 2006 dan 2016 21

Gambar 17 Sepuluh Penyakit Penyebab Disabilitas Tertinggi


(Years Lived with Disability-YLDs) Tahun 2007-2017 21

Gambar 18 DALYs Beberapa Penyakit menurut Kelompok Umur 23

Gambar 19 DALYs menurut Provinsi, Indonesia 2017 25

Gambar 20 Proporsi CMNN, PTM dan Kecelakaan dalam DALYs menurut Provinsi, 2017 25

Gambar 21 Risiko dan Kerentanan Terkait Kesehatan menurut Daur Hidup 26

Gambar 22 Faktor Risiko Penyebab Kematian dan Disabilitas, 2007 dan 2017 27

Gambar 23 Kecenderungan Proporsi Pemeriksaan Kehamilan K4


pada Perempuan Umur 10-54 Tahun menurut Provinsi, 2013-2018 28

Gambar 24 Persentase Perempuan yang Tercakup dalam Antenatal Care (ANC) 29


x • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia Kajian Sektor Kesehatan • xi

Gambar 25 Persentase Perempuan Berusia 15-49 Tahun yang Pernah Kawin Gambar 44 Prevalensi Merokok Pada Penduduk Umur 15+ Tahun
yang Ditolong oleh Tenaga Penolong Kelahiran Tradisional 30 menurut Kelompok Umur, 2016 44

Gambar 26 Proporsi Status Gizi Sangat Pendek dan Pendek Gambar 45 Proporsi Konsumsi Tembakau Hisap dan Kunyah pada Penduduk
pada Balita-menurut Provinsi, 2013-2018 30 Usia 15 Tahun ke Atas, 2018 45

Gambar 27 Proporsi Status Kurus dan Sangat Kurus pada Gizi Balita Gambar 46 Jumlah Kecelakaan Lalu Lintas di Indonesia, 2017-2018 45
menurut Provinsi, 2018 31
Gambar 47 Proporsi Penggunaan Helm pada Umur 5 Tahun ke Atas Saat Mengendarai/
Gambar 28 Proporsi Status Gizi Gemuk pada Balita menurut Provinsi, 2018 32 Membonceng Sepeda Motor menurut Kelompok Umur, 2018 46

Gambar 29 Cakupan Imunisasi Dasar Lengkap pada Anak Usia 12-23 Bulan, 2013-2018 32 Gambar 48 Jumlah Kecelakaan menurut Jenis Kendaraan, Triwulan Pertama
dan Kedua Tahun 2018 46
Gambar 30 Prevalensi Merokok Penduduk Usia 15-19, Indonesia 2013 33
Gambar 49 Prevalensi Diabetes Mellitus berdasarkan Diagnosis Dokter
Gambar 31 Prevalensi Tembakau & Merokok Penduduk Usia 13-15 tahun, menurut Provinsi, Tahun 2018 47
Indonesia 1995-2013 34
Gambar 50 Prevalensi Hipertensi berdasarkan Diagnosis Dokter pada Penduduk
Gambar 32 Jumlah Korban Kecelakaan Lalu Lintas menurut Umur 18 Tahun ke Atas, menurut Provinsi, Tahun 2018 48
Jenis Cedera dan Kelompok Umur, Triwulan Kedua Tahun 2018 35
Gambar 51 Prevalensi Penyakit Stroke (permil) berdasarkan Diagnosis pada Penduduk
Gambar 33 Proporsi Kejadian Cedera menurut Tempat Kejadian 36 Umur ≥15 tahun menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2018 48

Gambar 34 Proporsi Cedera yang Disebabkan Kecelakaan Lalu Lintas Gambar 52 Prevalensi Penyakit Jantung menurut Diagnosis Dokter pada Penduduk
menurut Provinsi, 2018 36 Semua Umur menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2018 49

Gambar 35 Persentase Perempuan usia 20-24 tahun yang Menikah Gambar 53 Proporsi Tingkat Ketergantungan Lansia Usia 60 Tahun ke Atas,
Sebelum 18 tahun, 2013 & 2015 37 menurut Penyakit yang Diderita, 2018 49

Gambar 36 Age Specific Fertility Rate (ASFR), 2012-2017 38 Gambar 54 Proyeksi Pertumbuhan Persentase Penduduk Perkotaan Tahun 2020-2025
menurut Provinsi 50
Gambar 37 Contraceptive Prevalence Rate (CPR), 1987-2017 40
Gambar 55 Korelasi angka DALYs Tahun 2017 dan Angka Urbanisasi Provinsi Tahun 2015 51
Gambar 38 CPR Alat KB Modern di antara Perempuan Menikah Usia 15-49 tahun,
2012-2017 40 Gambar 56 Persentase Rumah Tangga di Indonesia menurut Sumber Air Utama
yang Digunakan untuk Minum, 2017 52
Gambar 39 Proporsi Penggunaan KB Pasca Salin pada Perempuan Usia 10-54 tahun,
menurut Provinsi, 2018 41 Gambar 57 Persentase Rumah Tangga di Indonesia yang Memiliki Fasilitas
Tempat Buang Air Besar menurut Tempat Pembuangan Akhir Tinja, 2017 53
Gambar 40 Prevalensi Berat Badan Lebih dan Obesitas Penduduk 18 tahun ke atas,
2000-2016 42 Gambar 58 Pola Utilisasi Fasilitas Kesehatan Modern dan DALYs
menurut Kelompok Umur, Indonesia 2014 dan 2016 54
Gambar 41 Proporsi Berat Badan Lebih dan Obesitas, 2018 43
Gambar 59 Hubungan antara DALYs dan Utilisasi Fasilitas Kesehatan Modern
Gambar 42 Proporsi Obesitas pada Dewasa Umur 18 Tahun ke Atas menurut Kelompok Umur, Indonesia 2014 dan 2016 54
menurut Provinsi, 2018 43

Gambar 43 Prevalensi Merokok Penduduk Usia 15+, 2000-2016 44


xii • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia Kajian Sektor Kesehatan • xiii

Daftar Singkatan

AKA Angka Kematian Anak MMR Maternal Mortality Ratio


AKB Angka Kematian Bayi NCDs Non-Communicable Diseases
AKBa Angka Kematian Balita NRR Net Replacement Rate
AKI Angka Kematian Ibu NTB Nusa Tenggara Barat
AKN Angka Kematian Neonatal NTT Nusa Tenggara Timur
ANC Antenatal Care PDB Produk Domestik Bruto
AS Amerika Serikat PUS Pasangan Usia Subur
ASFR Age-Specific Fertility Rate RK Rasio Ketergantungan
Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional PKPS Perencanaan Kependudukan dan Perlindungan Sosial
BKKBN Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional PTM Penyakit Tidak Menular
BoD Biological Oxygen Demand PM Penyakit Menular
BPS Badan Pusat Statistik Riskesdas Riset Kesehatan Dasar
CMNN Communicable, Maternal, Neonatal and Nutritional RKTL Rencana Kerja Tindak Lanjut
COPD Chronic Obstructive Pulmonary Diseases RPJMN Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
CPR Contraceptive Prevalence Rate SDKI Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
DALYs Disability Adjusted Life Years SDM Sumber Daya Manusia
DBM Double Burden Malnutrition SDGs Sustainable Development Goals
Faskes Fasilitas Kesehatan SKRRI Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia
FEB Fakultas Ekonomi dan Bisnis SMAM Singulate Mean Age at Marriage
GBD Global Burden of Disease SP Sensus Penduduk
GDP Gross Domestic Product SUPAS Survei Antar Sensus Penduduk
HSR Health Sector Review TB Tuberculosis
IFLS Indonesia Family Life Survey TFR Total Fertility Rate
IHD Ischaemic Heart Disease TNP2K Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
IMR Infant Mortality Rate UHC Universal Health Coverage
Jamkesmas -KIS Jaminan Sosial Masyarakat-Kartu Indonesia Sehat UHH Umur Harapan Hidup
JKN Jaminan Kesehatan Nasional UKP Usia Kawin Pertama
KB Keluarga Berencana UNFPA United Nations Population Fund
KN1 Kunjungan Neonatal 1 UNICEF United Nations Children’s Fund
KN2 Kunjungan Neonatal 2 UU Undang-Undang
KN3 Kunjungan Neonatal 3 U5MR Under 5 Mortality Rate
Korlantas Polri Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia WHO World Health Organization
LPP Laju Pertumbuhan Penduduk
MDGs Millenium Development Goals
MKJP Metode KB Jangka Panjang
xiv • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia Kajian Sektor Kesehatan • xv

Ringkasan Eksekutif

Transisi demografi telah mengubah struktur penduduk di Indonesia yang diperkirakan akan Pola kunjungan ke fasilitas kesehatan (faskes) modern menurut kelompok umur membentuk
mengalami akhir Bonus Demografi (BD) di tahun 2015-2030. Terdapat dua kesempatan BD yang kurva “sleeping S”. Terdapat kunjungan tinggi pada usia 0-4 tahun kemudian menurun hingga
dihadapi Indonesia: (1) BD pertama adalah saat terjadi peningkatan pendapatan per kapita 20-24 tahun dan meningkat kembali hingga mencapai nilai tertinggi pada usia 45-54 tahun
sebagai hasil dari peningkatan penduduk usia produktif relatif terhadap usia non-produktif; yang mirip (resemble) dengan pola DALYs. Artinya, kebutuhan akan layanan kesehatan yang
dan (2) BD kedua adalah saat terjadi peningkatan aset oleh penduduk usia kerja (saat ini) untuk ditunjukkan oleh angka DALYs yang tinggi kurang lebih telah direspon oleh sistem pelayanan
membiayai konsumsi mereka di masa depan. Bonus demografi dapat diraih dengan perbaikan kesehatan dalam bentuk utilitasi/kunjungan ke faskes modern.
sumber daya manusia (SDM) sehingga berkualitas dan produktif (dengan pendidikan dan
pelatihan sesuai permintaan pasar), serta akumulasi aset sejak dini. Dengan komposisi Namun, hasil scatterplot menunjukkan bahwa keterkaitan antara DALYs dan utilisasi faskes
penduduk yang didominasi oleh penduduk usia kerja, Indonesia berpeluang memaksimalkan modern relatif rendah. Kesimpulan tersebut diperkuat dengan angka koefisien korelasi
bonus demografi dengan syarat: penduduk dalam kondisi sehat dan produktif. Pearson yang tidak terlalu tinggi, yaitu sebesar 0,69 untuk tahun 2014 dan 0,58 pada tahun
2016. Analisis sederhana tersebut mengindikasikan bahwa sistem pelayanan kesehatan belum
Selama tahun 1990-2016, profil beban penyakit bergeser dari yang didominasi oleh penyakit merespon kebutuhan akan layanan kesehatan yang diwakili oleh angka DALYs.
menular menjadi penyakit tidak menular (PTM). Hal tersebut didukung oleh berbagai faktor
risiko yang mempengaruhi kesehatan masing-masing kelompok umur penduduk. Dalam Jika diasumsikan tidak ada faktor-faktor lain yang memengaruhi dan tidak ada perubahan
kurun waktu tersebut, kematian yang disebabkan penyakit menular serta kondisi maternal, signifikan di sektor kesehatan, profil beban penyakit di Indonesia diproyeksikan tidak banyak
perinatal dan neonatal (communicable, maternal, neonatal and nutritional - CMNN) menurun mengalami perubahan dibandingkan tahun 2016. Pada tahun 2020, penyakit menular masih
sebesar 52,6%; kematian akibat PTM meningkat sebesar 82%; dan kematian akibat cedera berkontribusi pada 20% nilai DALYs, sementara 71% berasal dari penyakit tidak menular.
meningkat 1,2%. Tiga PTM tertinggi penyebab kematian dan berkontribusi terhadap tingginya Kontribusi tuberkulosis dan diare akan menurun meskipun nilai DALYs tidak banyak berubah
DALYs1 PTM tahun 2017 adalah stroke (penyakit pembuluh otak), penyakit jantung iskemik pada periode proyeksi. Cedera akan terus menunjukkan persistensi kontribusi terhadap nilai
(PJK), dan diabetes. Tiga penyakit tertinggi penyebab kematian dan berkontribusi terhadap DALYs sebesar 8% antara tahun 2016 dan 2024. Penyakit kardiovaskular terus mengalami
tingginya DALYs-CMNN adalah tuberkulosis, diare, dan infeksi saluran pernapasan bawah. peningkatan karena meningkatnya jumlah penduduk lansia yang memang memiliki risiko
Meskipun telah mengalami penurunan, kontribusi penyakit menular masih persistent dalam lebih tinggi dibanding usia lainnya. Depresi serta sakit pinggang bawah dan leher terus
menyebabkan kematian di Indonesia. menunjukkan persistensi sebagai penyebab DALYs sebesar 1% dan 4% pada tahun 2020-2024.

Beberapa jenis gangguan yang memiliki kontribusi tinggi dalam morbiditas penduduk Selain DALYs, proyeksi angka prevalensi juga menunjukkan pola yang sama. Pertumbuhan
Indonesia pada tahun 2017 adalah sakit pinggang bawah, sakit kepala, dan diabetes. Penyakit penyakit menular dan juga tidak menular menurun dan penurunan tersebut melambat
yang terkait dengan kesehatan mental, seperti depresi dan anxiety disorders juga menunjukkan pada tahun 2020-2024 meskipun penurunan PM lebih cepat dibanding PTM. Sementara itu,
peningkatan sebagai penyebab DALYs antara tahun 2007 dan 2017. prevalensi kecelakaan secara umum meningkat cukup pesat sebesar 13,8% antara tahun 2017-
2020. Hal ini dikontribusikan oleh adanya desakan penduduk usia kerja muda yang memang
Pola DALYs pada stroke menunjukkan angka yang semakin tinggi seiring dengan kelompok memiliki risiko tertinggi mengalami kecelakaan, terutama kecelakaan lalu lintas.
umur yang lebih tua dan mencapai nilai tertinggi pada kelompok umur 55-59 tahun. Artinya,
morbiditas penduduk Indonesia mencapai yang terburuk ketika memasuki usia pensiun. Hal ini Perubahan struktur umur penduduk usia 0-14 tahun berimplikasi pada menurunnya kuantitas
berimplikasi pada meningkatnya beban pembiayaan kesehatan karena beban penyakit yang permintaan layanan terkait kesehatan ibu dan anak karena jumlah kelahiran yang menurun,
diderita oleh penduduk yang tidak lagi produktif dan menunjukkan menunjukkan rendahnya dan peningkatan kuantitas permintaan pelayanan kesehatan anak usia sekolah khususnya
kualitas kesehatan penduduk usia kerja. Pola DALYs tuberkulosis menunjukkan angka yang 5-14 tahun. Selain itu, di satu sisi, penduduk usia kerja yang besar menjadi sumber akselerasi
tinggi pada kelompok usia kerja. Hal ini tidak saja mengurangi produktivitas ekonomi, tetapi pertumbuhan ekonomi apabila kelompok penduduk ini produktif secara ekonomi. Di sisi lain,
juga menambah beban biaya kesehatan yang seharusnya hanya berasal dari penduduk usia penduduk usia kerja yang memiliki skill (atau keterampilan) serta status kesehatan rendah
anak dan lanjut usia. Sementara itu, pola DALYs dari kecelakaan menunjukkan angka tertinggi juga memiliki produktivitas rendah dan menjadi beban. Perubahan struktur umur penduduk
didapati pada kelompuk umur remaja dan pemuda. juga menghasilkan peningkatan jumlah penduduk lansia, yang akan segera memasuki masa
pensiun. Selain itu, implikasi dari perubahan struktur umur yang berbeda antar wilayah adalah
Konsumsi dan pola hidup yang tidak sehat berkontribusi tinggi terhadap kematian dan adanya disparitas bonus demografi di Indonesia.
disabillitas. Risiko metabolisme dan perilaku tidak sehat seperti konsumsi rendah diet, tekanan
darah tinggi, gula darah puasa tinggi, merokok, malnutrisi dan indeks massa tubuh yang
tinggi, adalah kontributor utama DALYs.

1 DALY adalah pengukuran beban penyakit yang dinyatakan dalam bentuk tahun kehidupan yang hilang
karena kematian dan tahun kehidupan dengan cacat yang dikaitkan dengan derajat cacat yang diderita.
xvi • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia

1.
Pendahuluan

Transisi Demografi dan Epidemiologi:


Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N
2 • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia

Pemerintah Indonesia saat ini sedang mempersiapkan Rencana Pembangunan Jangka


Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024. Kajian Sektor Kesehatan atau Health Sector
Review (HSR) ini digunakan sebagai dasar penyusunan Backround Study RPJMN 2020-2024. 2.
Secara khusus, tema Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan
ini disusun untuk menganalisis perubahan permintaan pelayanan kesehatan yang dipengaruhi
oleh perubahan struktur umur penduduk serta pola beban penyakit (Burden of Disease – BoD). Analisis situasi
Karena Indonesia akan menuju Universal Health Coverage (UHC) pada tahun 2030, peningkatan
akses terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas sangat penting dalam pencapaian UHC.
Sementara itu, permintaan akan pelayanan kesehatan sangat ditentukan oleh perubahan
demografis dan juga pola beban penyakit.

Tujuan utama dari kajian ini adalah menganalisis tren dan pola permintaan pelayanan kesehatan
yang dipengaruhi oleh perubahan demografis dan pola BoD. Cakupan dari analisis ini adalah:
analisis perubahan demografis dan epidemiologi (BoD); melihat pengaruh transisi demografi
dan epidemiologi terhadap pola permintaan pelayanan kesehatan dalam hal ini pemanfaatan
fasilitas kesehatan serta pengeluaran untuk kesehatan; proyeksi permintaan pelayanan
Transisi Demografi dan Epidemiologi:
kesehatan yang memasukkan faktor perubahan demografis masa depan serta perubahan
pola BoD serta adanya jaminan kesehatan universal. Bagian akhir dari kajian ini membahas
Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia
implikasi dari proyeksi permintaan layanan kesehatan serta rekomendasi kebijakan/strategi
yang bertujuan untuk merespon perubahan tren permintaan layanan kesehatan.
K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N
Kerangka berpikir yang digunakan dalam kajian ini adalah kerangka Health Transition yang
merangkum hubungan antara transisi demografi dan transisi epidemiologi (Gambar 1). Transisi
demografi yang didorong oleh kemajuan dari pembangunan yang tercermin dari ekspansi
Pendidikan, teknologi kesehatan serta industrialisasi dan urbanisasi akan menurunkan angka
kematian dan kelahiran. Selanjutnya penurunan kelahiran dan kematian mempengaruhi
perubahan struktur umur penduduk dari yang awalnya didominasi anak-anak karena
tingginya kelahiran menjadi didominasi penduduk usia kerja dan kemudian lanjut usia. Hal ini
menyebabkan perubahan pada tren pola penyakit dari menular yang umumnya diderita
anak-anak ke penyakit tidak menular serta kecelakaan. Kedua transisi tersebut pada akhirnya
menentukan pelayanan kesehatan apakah yang diperlukan masyarakat.

Gambar 1. Kerangka Pikir Analisis: Transisi Kesehatan

Sumber: Moesly et al (1993)


4 • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia 2. Analisis Situasi • 5

Pada bagian ini akan dibahas perubahan struktur umur penduduk dan determinannya serta Selain LPP yang melambat, transisi demografi juga mengubah struktur umur penduduk
transisi epidemiologi selama lima tahun terakhir untuk memberikan konteks terkait kondisi Indonesia. Indonesia mengalami perubahan dari penduduk yang didominasi usia anak
demografis dan epidemiologis yang akan menentukan permintaan pelayanan kesehatan (0-14) ke usia kerja (15-64 tahun) sejak tahun 1971-2010 (Tabel 1 dan Gambar 3). Pertumbuhan
tahun 2020-2024, maupun selanjutnya. penduduk usia 0-14 tahun diproyeksikan akan melambat antara tahun 2015-2024 namun
jumlahnya tidak banyak mengalami perubahan yaitu sekitar 66 juta dan 65,7 juta antara
tahun 2020-2024. Perlambatan tersebut terjadi karena penurunan jumlah penduduk usia
2.1. Transisi Demografi di Indonesia 0-4 tahun sebesar 0,43% pada periode yang sama. Sementara itu penduduk usia 5-14 tahun
masih akan meningkat karena angka kelahiran pada tahun 2010-2015 yang masih relatif tinggi
Sejak awal tahun 1980, Indonesia mengalami transisi demografi yang ditandai dengan dibandingkan 2020-2024.
penurunan angka kematian dan angka kelahiran sebagai konsekuensi dari peningkatan
kesejahteraan dari pembangunan ekonomi. Para ahli demografi berpendapat bahwa transisi Selanjutnya, jumlah penduduk usia kerja diproyeksikan akan terus meningkat sebesar 6%
demografi di Indonesia terjadi dalam tempo yang lebih cepat dibandingkan pengalaman negara antara tahun 2015-2020. Laju pertumbuhan penduduk kelompok ini akan melambat antara
maju. Penurunan angka kematian dan fertilitas yang hampir simultan, terjadi dalam periode tahun 2020-2024, yaitu sebesar 0,92% per tahun. Dengan masuknya kelompok baby boomer
yang relatif singkat, yaitu 30 tahun. Pembangunan infrastruktur kesehatan serta penerapan kelahiran tahun 1960-1970-an ke masa pensiun, maka jumlah penduduk usia 65 tahun ke atas
program KB sejak akhir tahun 1970-an dianggap berkontribusi signifikan pada berkurangnya akan meningkat dengan LPP sekitar 5% per tahun. Pada tahun 2024, Indonesia akan memiliki
jumlah kelahiran dan kematian di Indonesia. 21,8 juta penduduk lansia atau sekitar 7,8% dari total penduduk Indonesia. Perubahan LPP
serta struktur umur penduduk tersebut merupakan hasil dari transisi fertilitas dan mortalitas
Proses transisi demografi di Indonesia telah sampai pada tahapan dimana angka kematian dan yang terjadi sejak awal tahun 1970-an.
kelahiran telah rendah dan menurunkan Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) hingga di bawah
1% (Gambar 2). Tren menunjukkan bahwa LPP menurun dari 1,49% pada periode 2000-2010
menjadi 1,38% tahun 2010-2015 (1). Berdasarkan hasil Proyeksi Penduduk berdasarkan SUPAS Tabel 1. Jumlah Penduduk Total, menurut Kelompok Umur, dan Jumlah Kelahiran,
2015, LPP diperkirakan akan terus menurun menjadi 0,93% pada tahun 2020-2025 (2). Meskipun Indonesia, 1961-2035
LPP melambat, jumlah penduduk Indonesia secara absolut masih sangat besar. Hasil Proyeksi
Penduduk berdasarkan hasil SUPAS 2015 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia 1961 1971 1980 1990 2000 2010 2015 2020 2025 2030 2035
mencapai 296,6 juta dan 298 juta antara tahun 2020-2024 (2).
Jumlah penduduk
90,1 118,3 146,7 179,2 205,8 237,6 255,6 269,6 282,5 294,1 304,2
(juta)

Gambar 2. Laju Pertumbuhan Penduduk dan Jumlah Penduduk Indonesia, 1971-2045


Jumlah penduduk
41 52 60 65,7 63,2 68,1 66,4 66,1 65,7 65,8 65,9
0-14 tahun (juta)

Jumlah penduduk
usia kerja, 15-64 53,4 63,3 81,9 106,8 133,1 157,01 174,7 185,3 193,9 200,0 204,2
tahun (juta)
Jumlah penduduk
lansia 65 tahun+ 2,6 3 4,8 6,8 9,6 11,9 14,5 18,2 22,9 28,3 34,1
(juta)

Jumlah kelahiran
3,8 5,1 5,3 5 4,2 5 4,5 4,43 4,47 4,48 4,47
per tahun (juta)

Sumber: Sensus Penduduk 1961-2010 (BPS berbagai tahun); Proyeksi Penduduk 2015-2045 (2)

Sumber: Sensus Penduduk 1961-2010 (BPS berbagai tahun); Proyeksi Penduduk 2015-2055 (2)
6 • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia 2. Analisis Situasi • 7

Gambar 3. Proyeksi Jumlah Penduduk menurut Kelompok Umur, Indonesia 2015-2045 dan kebijakan yang bersifat antisipatif, khususnya yang terkait perencanaan kelahiran
(melalui program Keluarga Berencana/KB) dan kesehatan reproduksi (seperti penyediaan
metode kontrasepsi yang sesuai). Di masa lalu, program Keluarga Berencana (KB) berhasil
mengurangi jumlah kelahiran hingga berhasil memperlambat LPP. Namun demikian,
saat ini masih terdapat berbagai tantangan dalam menjaga kesinambungan keberhasilan
tersebut. Sejak tahun 2002/2003, peningkatan prevalensi pemakaian kontrasepsi berjalan
lambat, bahkan terkesan stagnan sampai dengan 2012. Perlambatan ini kemungkinan
besar dikarenakan beralihnya pengelolaan program KB dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah sehubungan dengan desentralisasi administrasi pemerintahan (11).

Gambar 4. Total Fertility Rate (TFR), Indonesia, 1971-2017

Sumber: Proyeksi Penduduk 2015-2045 (BPS, Bappenas dan UNFPA 2018)

2.1.1. Transisi Fertilitas

Angka fertilitas total atau Total Fertility Rate (TFR) di Indonesia mengalami penurunan
yang cukup cepat dari 5,6 menjadi 2,6 anak per perempuan antara tahun 1971 dan 2012
(Gambar 4) (3,4). Meskipun angka TFR berbeda dari hasil estimasi beberapa sumber
data, tren menunjukkan bahwa TFR menurun selama 10 tahun terakhir. Estimasi TFR dari
Sensus Penduduk (SP) tahun 2010 serta Survei Penduduk Antara Sensus (SUPAS) tahun
2015 menunjukkan angka TFR yang menurun dari 2,41 ke 2,28 anak per perempuan (5) Sumber: Sensus Penduduk (SP) 1971-2010, Survei Antar Sensus Penduduk (SUPAS)
(6). Sementara itu estimasi dari data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 1985-2015, IDHS 1987-2017
menunjukkan bahwa akhirnya TFR Indonesia mengalami penurunan menjadi 2,4 anak
perempuan pada tahun 2017 setelah bertahan pada angka 2,6 dari tahun 2002 hingga
2012 (7,8). Disparitas Angka Fertilitas antar Provinsi

Berbagai literatur sepakat bahwa Program KB dan meningkatnya pendidikan perempuan RPJMN tahun 2015-2019 menargetkan angka TFR sebesar 2,3 anak per perempuan
memegang peranan penting dalam transisi fertilitas di Indonesia. Kampanye tentang tercapai pada tahun 2019 dengan angka CPR sebesar 66%. Hasil estimasi dari SUPAS
keluarga kecil serta peningkatan akses alat kontrasepsi pada era tahun 1980-1990 dilakukan 2015 dan SDKI 2017 menunjukkan bahwa target TFR telah dilampaui dimana TFR hasil
secara masif hingga ke tingkat desa (9). Program KB berhasil menginstitusionalisasikan SUPAS 2015 adalah sebesar 2,3 anak per perempuan sementara SDKI sebesar 2,4 anak
norma keluarga kecil dengan dua orang anak, terlihat dari meningkatnya permintaan alat per perempuan (6,7).
KB di antara perempuan usia muda untuk menunda kelahiran pada akhir tahun 1990-an
(10). Namun bila dilihat di tingkat provinsi, estimasi TFR hasil SUPAS dan SDKI menunjukkan
perbedaan yang cukup besar (Gambar 5). Estimasi TFR hasil SUPAS 2015 menunjukkan
Meski menurun, jumlah kelahiran masih relatif besar pada tahun 2015-2035. Implikasi bahwa provinsi seperti DI Yogyakarta, DKI Jakarta, Jawa Timur dan Bali sudah mencapai
dari kemungkinan jumlah kelahiran yang tinggi di masa depan adalah perlunya upaya below net replacement level (2.1 anak per perempuan) dan provinsi dengan TFR tinggi
8 • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia 2. Analisis Situasi • 9

seperti NTT sudah mencapai di bawah 3 anak per perempuan. Sementara SDKI 2017 Gambar 6. AKN, AKB, AKBA, AKA, Indonesia 1991-2017
menunjukkan angka TFR yang meningkat di provinsi tersebut. DI Yogyakarta diestimasi
mengalami peningkatan TFR dari 2,1 ke 2,2 pada tahun 2012 dan 2017, sedangkan NTT
memiliki TFR di atas 3. Disparitas TFR antar provinsi ini juga berimplikasi pada timing
bonus demografi yang berbeda antar wilayah yang akan dijelaskan lebih lanjut pada
bagian lain dalam laporan ini.

Gambar 5. Total Fertility Rate menurut Provinsi, Indonesia (2012 dan 2017)

Sumber: SDKI (1991-2017)

Gambar 7. Angka Kematian Ibu (AKI), Indonesia, 1997-2015

Sumber: SDKI 2012-2017

2.1.2. Transisi Mortalitas

Angka kematian menurun cukup signifikan dalam lima dekade terakhir, meskipun
penurunan berlangsung lebih lambat dari angka fertilitas. Dengan ekspansi akses
ke pelayanan kesehatan terutama di tahun 1980 dan 1990-an, indikator vital, seperti
Angka Kematian Neonatal (AKN), Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Kematian Balita
(AKBA), Angka Kematian Anak (AKA) dan Angka Kematian Ibu (AKI), telah menunjukkan
perbaikan (Gambar 6). AKN menurun dari 32 ke 15 kematian per 1.000 kelahiran hidup,
AKB menurun dari 68 ke 24 kematian per 1000 kelahiran hidup, AKBA menurun 97 ke 32
kematian per 1.000 kelahiran hidup antara tahun 1991 dan 2017, dan AKA menurun dari
32 ke 8 per 1.000 bayi lahir dan hidup hingga usia 1 tahun (4).

Sumber: SDKI (BPS, 1991-2017), SP (BPS 2010), SUPAS (BPS 2015)


10 • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia 2. Analisis Situasi • 11

Khusus untuk AKI, meskipun data SDKI tahun 2007-2012 menunjukkan peningkatan, hasil Gambar 8. Migrasi Neto menurut Provinsi, Indonesia 2015 & 2020
estimasi SUPAS 2015, yang surveinya dirancang untuk menangkap kejadian kematian ibu
dengan sampel yang lebih besar dibandingkan SDKI, menunjukkan adanya penurunan 2015 2020
AKI hingga 305 kematian per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015 (Gambar 7).
PAPUA PAPUA
PAPUA BARAT PAPUA BARAT

Dengan menurunnya tingkat kematian, Umur Harapan Hidup (UHH) Indonesia semakin MALUKU UTARA MALUKU UTARA
MALUKU MALUKU
panjang, dari 58,6 tahun pada tahun 1980 menjadi 71 tahun pada tahun 2010 (1). Pada SULAWESI BARAT SULAWESI BARAT
tahun 2015, UHH meningkat 2 tahun menjadi 72,1 tahun (2). Implikasi dari transisi GORONTALO GORONTALO
SULAWESI TENGGARA SULAWESI TENGGARA
demografi (fertilitas dan mortalitas) tersebut antara lain adalah bahwa laju pertumbuhan SULAWESI SELATAN SULAWESI SELATAN
penduduk semakin melambat dan terjadi perubahan struktur umur penduduk yang akan SULAWESI TENGAH SULAWESI TENGAH
SULAWESI UTARA SULAWESI UTARA
berdampak pada perubahan pola penyakit serta pergeseran struktur permintaan akan
KALIMANTAN TIMUR KALIMANTAN TIMUR
pelayanan kesehatan. KALIMANTAN SELATAN KALIMANTAN SELATAN
KALIMANTAN TENGAH KALIMANTAN TENGAH
KALIMANTAN BARAT KALIMANTAN BARAT
2.1.3. Mobilitas Penduduk NUSA TENGGARA TIMUR NUSA TENGGARA TIMUR
NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA BARAT
BALI BALI
Komponen lain yang berpengaruh terhadap pertumbuhan penduduk adalah perpindahan
BANTEN BANTEN
atau mobilitas penduduk, yang salah satunya terefleksi melalui urbanisasi. Urbanisasi, JAWA TIMUR JAWA TIMUR

atau pengembangan suatu wilayah menjadi urban atau perkotaan, menandakan DI YOGYAKARTA DI YOGYAKARTA
JAWA TENGAH JAWA TENGAH
pembangunan suatu wilayah yang semakin pesat, yang pada umumnya diikuti dengan JAWA BARAT JAWA BARAT
perubahan gaya hidup dalam bermobilitas dan mengonsumsi makanan, serta dalam DKI JAKARTA DKI JAKARTA
KEP. RIAU KEP. RIAU
hal interaksi sosial masyarakat urban. Perubahan tersebut pada akhirnya berpengaruh KEP. BANGKA BELITUNG KEP. BANGKA BELITUNG
terhadap kesehatan. LAMPUNG LAMPUNG
BENGKULU BENGKULU
SUMATERA SELATAN SUMATERA SELATAN
Gambar 8 menunjukkan angka migrasi neto antara tahun 2015 dan 2020 (1). Kepulauan JAMBI JAMBI
RIAU
Riau akan terus menjadi penerima migran tertinggi, diikuti Kalimantan Timur dan Tengah. RIAU
SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT
Sementara itu, DKI Jakarta memiliki angka migrasi neto yang negatif namun Jawa Barat SUMATERA UTARA SUMATERA UTARA
dan Banten memiliki angka yang positif. Hal ini mengindikasikan bahwa Jakarta tidak ACEH ACEH

-6 -4 -2 0 2 4 6 8 10 12 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10 12
lagi menarik bagi migran melainkan wilayah peripheralnya. Migran yang ingin mencari
kerja di Jakarta akan memilih tinggal di wilayah Bodetabek karena tingginya harga tanah
dan perumahan di Jakarta. Tingginya migran masuk di wilayah peripheral Jakarta akan Sumber: Proyeksi Penduduk Hasil SP 2010
berdampak pada peningkatan jumlah serta kepadatan penduduk di wilayah Bodetabek
dan juga komuter dari dan ke Jakarta. Hal ini menimbulkan perbedaan signifikan jumlah
penduduk di waktu siang atau waktu kerja dan malam di wilayah Jakarta. Selain itu, Indonesia juga mengalami urbanisasi sejak tahun 1960-an yang utamanya
dipengaruhi oleh perpindahan dari desa ke kota2 . Proporsi penduduk yang tinggal di
1

wilayah perkotaan meningkat dari 22,4% menjadi 53,5% antara tahun 1980 dan 2015. Hasil
Proyeksi Penduduk hasil Sensus Penduduk tahun 2010 (1) memperkirakan bahwa pada
tahun 2020, proporsi penduduk perkotaan akan mencapai 56,4% dan terus meningkat
hingga 64% pada tahun 2025. Kepulauan Riau dan Jawa Barat akan memiliki persentase
penduduk perkotaan terbesar pada tahun 2025.

2 Urbanisasi terjadi karena industrialisasi dan modernisasi suatu wilayah. Menurut definisi BPS,
sebuah desa dapat diklasifikasikan sebagai kota apabila desa tersebut terletak di wilayah perkotaan
atau ibukota kabupaten atau 80 persen penduduknya bekerja di sektor non-pertanian dan paling tidak
memiliki tiga fasilitas “kota”: rumah sakit/klinik, sekolah dan listrik.
12 • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia 2. Analisis Situasi • 13

Gambar 9. Persentase Penduduk Perkotaan menurut Provinsi, Indonesia 2015 Tabel 2. Persentase Penduduk Komuter dan Penduduk
yang Melakukan Mobilitas Musiman

Provinsi % Komuter % Mobilitas Musiman

Aceh 1.63 14.37

Sumatera Utara 2.94 17.37

Sumatera Barat 1.7 19.21

Riau 1.04 42.68

Jambi 1.69 30.37

Sumatera Selatan 0.82 22.65

Bengkulu 0.94 30.02

Lampung 1.72 24.32

Kepulauan Bangka Belitung 1.74 20.22

Kepulauan Riau 0.29 60.56

DKI Jakarta 12.09 65.98

Sumber: SUPAS 2015 (BPS 2016) Jawa Barat 4.44 20.07

Jawa Tengah 2.96 9.97

Mobilitas yang tinggi oleh penduduk Indonesia juga dapat dilihat dari persentase DI Yogyakarta 9.97 22.07
penduduk komuter dan persentase penduduk yang melakukan mobilitas musiman Jawa Timur 2.09 13.22
di beberapa wilayah metropolitan di Indonesia. DKI Jakarta, adalah provinsi dengan Banten 7.01 27.31
persentase komuter tertinggi karena wilayahnya yang bersinggungan dengan kota-kota
Bali 6.16 30.68
penyangga seperti Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. DKI Jakarta bersama dengan
Kepulauan Riau dan Papua Barat memiliki persentase penduduk yang melakukan Nusa Tenggara Barat 1.59 11.67

mobilitas musiman tertinggi. Tingginya arus keluar masuk penduduk di ketiga Nusa Tenggara Timur 0.37 14.12
provinsi tersebut tidak hanya memengaruhi interaksi sosial dan ekonomi, namun juga Kalimantan Barat 0.95 13.77
berpeluang memengaruhi perubahan struktur penduduk usia kerja di provinsi-provinsi
Kalimantan Tengah 0.21 28.13
yang menerima penduduk yang bermobilitas tersebut.
Kalimantan Selatan 2.7 23.03

Kalimantan Timur 0.49 40.19

Kalimantan Utara 0.04 34.29

Sulawesi Utara 2.17 23.63

Sulawesi Tengah 0.76 23.78

Sulawesi Selatan 1.37 20.6

Sulawesi Tenggara 0.58 34.23

Gorontalo 2.84 10.98

Sulawesi Barat 0.33 23.12

Maluku 0.97 30.96

Maluku Utara 0.19 17.21

Papua Barat 0.36 53.84

Papua 0.15 25.29

Sumber: SUPAS 2015 (BPS 2016)


14 • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia 2. Analisis Situasi • 15

2.1.4. Konsekuensi Perubahan Struktur Umur Penduduk: Bonus Demografi Perubahan struktur umur penduduk serta penurunan rasio ketergantungan terjadi hampir
di semua provinsi namun dengan pace (kecepatan) yang berbeda. Gambar 11 menunjukkan
Penurunan angka kelahiran dan peningkatan UHH menyebabkan perubahan struktur bahwa provinsi dengan angka TFR yang rendah, akan mencapai RK terendah lebih cepat
umur penduduk di Indonesia yang pada gilirannya berpengaruh terhadap pertumbuhan dibandingkan provinsi yang saat ini memiliki angka TFR tinggi. Sebagian besar provinsi
ekonomi. Dampak perubahan struktur umur penduduk terhadap ekonomi tersebut di Indonesia saat ini masih memiliki TFR di atas Net Replacement Rate (NRR) atau 2,1
dikenal dengan bonus demografi. ‘Bonus’ atau keuntungan ekonomi yang dimaksud anak per perempuan. Provinsi tersebut, seperti NTB, Lampung, Papua dan Aceh, akan
diperoleh melalui peningkatan pendapatan per kapita atau akumulasi aset sebagai akibat mengalami RK terendah antara tahun 2020-2030. Provinsi dengan TFR di bawah NRR,
dari berkurangnya jumlah penduduk yang ditanggung oleh penduduk usia kerja. Potensi seperti DKI Jakarta, DI Yogyakarta dan Bali, mengalami RK terendah lebih cepat, yaitu
bonus demografi umumnya diukur dari angka Rasio Ketergantungan (RK). Sebuah antara tahun 2015-2020. Sementara itu NTT baru akan mendapatkan RK terendah setelah
negara akan mendapatkan keuntungan ekonomi ketika RK mengalami penurunan. tahun 2040. Jika provinsi lain akan menikmati RK terendah sekitar 40-45%, RK terendah
Indonesia sendiri telah memasuki era bonus demografi setelah tahun 1980 dimana RK NTT hanya akan mencapai 52%. Hal ini dipengaruhi oleh tingginya TFR di NTT dan tren
total terus mengalami penurunan dari 80,7% pada tahun 1980 menjadi 51% pada tahun menunjukkan angka tersebut masih akan tetap menjadi yang tertinggi hingga tahun 2045
2010 (Gambar 10). (12).

Rasio ketergantungan akan terus menurun dan mencapai titik terendah antara tahun
2020-2035 (12). Bila mengikuti Proyeksi Penduduk berdasarkan hasil SUPAS 2015, RK Gambar 11. Estimasi TFR Tahun 2015 dan Prediksi Tahun RK Mencapai Nilai Terendah
terendah tercapai pada angka 45,5% tahun 2020. Sementara Hasil Proyeksi Penduduk di Setiap Provinsi, Indonesia
hasil Sensus Penduduk (SP) 2010 (2013) serta UN Population Division (2017) menunjukkan
RK terendah terjadi pada tahun 2030 dengan nilai sekitar 46%.

Gambar 10. Rasio Ketergantungan di Indonesia menurut Berbagai Proyeksi

Sumber: Background Study RPJMN 2020-2024 Direktorat PKPS Bappenas (2018)

Perubahan RK mencerminkan setidaknya terdapat dua kesempatan bonus demografi


Sumber: Background Study RPJMN 2020-2024 Direktorat PKPS Bappenas (2018) yang terbuka bagi Indonesia. Bonus demografi pertama, diraih saat terjadi peningkatan
pendapatan per capita sebagai hasil dari peningkatan penduduk usia produktif relatif
terhadap usia non-produktif. Namun demikian, bonus ini bersifat sementara atau
transisi (13). Sementara itu, bonus demografi kedua diprediksikan akan dapat diraih
saat terjadi peningkatan aset oleh penduduk usia kerja (saat ini) untuk membiayai
16 • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia 2. Analisis Situasi • 17

konsumsi mereka di masa depan (14). Kedua bonus tersebut baru dapat direalisasikan 2.2. Transisi Epidemiologi dan Beban Penyakit di Indonesia
ketika memenuhi prasyarat sumber daya manusia berkualitas dan produktif sehingga
optimal pendapatannya serta melakukan akumulasi kekayaan sejak dini. Pendidikan dan Transisi demografi dan yang terjadi juga mempengaruhi pola beban penyakit di Indonesia.
pelatihan yang sesuai dengan permintaan pasar tenaga kerja serta sumber daya manusia Dengan meningkatnya akses terhadap pelayanan kesehatan dan teknologi obat-obatan serta
yang sehat merupakan bagian dari mengoptimalkan SDM untuk bonus demografi. kedokteran, angka kematian mengalami penurunan dan penduduk hidup lebih lama. Menurut
Kebijakan dan strategi untuk mengoptimalkan bonus demografi memerlukan upaya dari data Global Burden of Disease (GBD), Umur Harapan Hidup (UHH) atau life expectancy at birth
berbagai sektor (Gambar 12). Salah satu investasi yang penting untuk meraih bonus mengalami peningkatan sebesar 8 tahun antara tahun 1990 dan 2016, dari 63,6 tahun menjadi
demografi adalah investasi kesehatan. Berbeda dengan investasi di sektor pendidikan, 71,7 tahun, dengan UHH untuk perempuan meningkat 7,4 tahun dari 62,4 tahun ke 69,8 tahun
investasi di sektor kesehatan memerlukan upaya dan kebijakan terpadu karena kesehatan sedangkan perempuan dari 64,9 tahun ke 73,6 tahun (15)1990–2016: Summary Background
memiliki ukuran yang beragam dan mencakup konsep yang multidimensional (11). As Indonesia moves to provide health coverage for all citizens, understanding patterns of
Selain itu, untuk menghasilkan penduduk yang sehat dan produktif, investasi kesehatan morbidity and mortality is important to allocate resources and address inequality. The Global
perlu dilakukan sejak dini hingga memasuki masa lansia. Oleh karena itu, identifikasi Burden of Disease 2016 study (GBD 2016).
awal berbagai risiko dan kerentanan di setiap siklus hidup akan dilakukan pada bagian
selanjutnya pada laporan ini. Meskipun meningkat, UHH Indonesia masih lebih rendah dibandingkan Turki, Thailand,
Malaysia, Brazil dan Vietnam pada tahun 2016. Peningkatan UHH di negara-negara tersebut
dipengaruhi penurunan yang sangat signifikan dari persentase kematian akibat PTM,
Gambar 12. “Concerted Effort” untuk Mengoptimalkan Bonus Demografi sementara Indonesia lebih disebabkan adanya penurunan penyakit menular, kondisi
maternal, perinatal dan neonatal relatif terhadap PTM dan cedera. Antara tahun 2000 dan
2016, PTM terus menjadi penyebab utama kematian (Gambar 13) (16). Kontribusi PTM sebagai
penyebab kematian meningkat dari 61% ke 73% pada periode yang sama.

Gambar 13. Gambaran Beban Penyakit (Burden of Disease) di Indonesia, 2000 dan 2016

Sumber: WHO (2018). Global Health Estimates 2016:


Sumber: Adioetomo (2017)
Deaths by Cause, Age, Sex, by Country and by Region,
2000-2016 (16)
18 • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia 2. Analisis Situasi • 19

Transisi epidemiologi di Indonesia secara detil dapat dilihat antara lain dari kontribusi jenis- Gambar 14. Perubahan Angka Kematian menurut Jenis Penyakit, 1990, 2006, dan 2016
jenis penyakit terhadap angka kematian dan Disability Adjusted Life Years (DALYs atau beban
akibat penyakit3 .2

Selama tahun 1990-2016, Indonesia mengalami penurunan kematian yang disebabkan


penyakit menular serta kondisi maternal, perinatal dan neonatal (CMNN) (Gambar 13) (15,17).
Total kematian akibat CMNN menurun sebesar 52,6%, dari 658.789 kematian menjadi 311.977
kematian antara 1990-2016. Sementara jumlah kematian akibat PTM meningkat 82% dari
617.903 kematian menjadi 1.127.544 kematian pada periode yang sama. Jumlah kematian
akibat cedera juga mengalami peningkatan sebesar 1,2%.

Pada tahun 1990, penyakit CMNN, terutama diare dan tuberkulosis (TB) masih menjadi
penyakit penyebab kematian tertinggi. Pada tahun 2016 dan 2017 (Gambar 14), kontribusi
penyakit menular berkurang dengan PTM menjadi penyebab kematian tertinggi. Penyakit
kardiovaskular dan diabetes merupakan 2 penyakit penyebab kematian tertinggi. Penyakit
Paru Obstruktif Kronik (Chronic Obstructive Pulmonary Diseases – COPD) juga mengalami
peningkatan sebesar 14,9% dari 43.443 menjadi 49.933 kematian tahun 2006-2016 atau sebesar
10,5% antara tahun 2007-2017. Penyakit Alzheimer masuk ke dalam 10 penyakit penyebab
kematian tertinggi dengan peningkatan jumlah kematian dari 32.531 menjadi 45.591 kematian
pada periode 2006-2016. Antara tahun 2007 dan 2017, kontribusi Alzheimer terhadap angka
kematian meningkat hampir 50 persen.

Meskipun telah mengalami penurunan, kontribusi penyakit menular dalam menyebabkan


kematian masih tinggi di Indonesia. tuberkulosis, diare, dan infeksi saluran pernapasan
bawah masih masuk dalam 10 penyebab kematian utama tahun 2016 dan 2017. Meskipun
angka kematian akibat TB menurun sebesar 26,5% antara tahun 1990-2016, TB masih menjadi
penyakit pembunuh ke-4 pada tahun 2017. Kasus tersebut lebih besar bila dibandingkan angka
kematian akibat Diabetes Mellitus pada tahun 2016 yaitu 89.431 kematian. Jumlah kematian Sumber: Global Burden of Diseases, Balitbangkes Kemkes dan IHME (15)
akibat diare juga masih relatif besar, yaitu 49.676 kematian diikuti Infeksi Saluran Pernapasan
Bawah sebesar 38.139 kematian. Sementara itu, cedera akibat kecelakaan lalu lintas masih
terus berada pada urutan ke-8 dari penyebab kematian antara tahun 2006 dan 2016. Meski Gambar 15. 10 Penyakit Penyebab Kematian Tertinggi Tahun 2007 dan 2017
terdapat penurunan, secara total, jumlah kematian akibat kecelakaan masih cukup besar, yaitu
44.302 pada 2016, dan 46.515 pada tahun 2006. Pola yang sama juga ditemukan antara tahun
2007 dan 2017. Persentase perubahan angka kematian akibat PTM meningkat pada periode
tersebut dengan Diabetes memiliki persentase tertinggi (50%) diikuti dengan Alzheimer
(49,7%). Kontribusi penyakit ini diperkirakan akan terus meningkat karena masih rendahnya
upaya promosi gaya hidup sehat dan juga adanya penuaan penduduk sehingga prevalensi
penderita Alzheimer akan meningkat.

11 12
3 DALY adalah ukuran dampak keseluruhan suatu penyakit pada suatu populasi. DALY menggabung-
kan dampak kematian prematur (usia kematian di bawah angka harapan hidup) dengan dampak dari
cacat/hidup tidak aktif akibat suatu penyakit).
Sumber: Global Burden of Diseases, Balitbangkes Kemkes dan IHME (15)
20 • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia 2. Analisis Situasi • 21

Jenis-jenis penyakit yang menyebabkan perubahan angka beban akibat penyakit (DALYs) Gambar 16. Perubahan DALYs menurut Jenis Penyakit Tahun 1990, 2006 dan 2016
juga menunjukkan pola yang sama seperti pada angka kematian (Gambar 16) (15,17). CMNN
mengalami penurunan sekitar 58,6%, PTM meningkat 58,7% dan cedera menurun sedikit yaitu
3,1% pada periode 1990-2016.

Penyakit jantung iskemik terus menjadi penyebab tertinggi beban akibat penyakit pada tahun
2006 dan 2016. Total angka beban akibat penyakit dari PJK meningkat 10,5% dari tahun 2006
dan 2016. Angka beban akibat penyakit stroke atau penyakit serebrovaskuler yang menduduki
peringkat kedua di tahun 2016 juga mengalami peningkatan cukup besar yaitu 30,2% pada
periode yang sama. Diabetes mengalami peningkatan DALYs yang sangat signifikan dan
bergeser dari penyebab DALYs nomor 10 ke nomor 3 antara 2006-2016 dengan peningkatan
angka beban akibat penyakit sebesar 54,9%.

Untuk CMNN, ada tiga penyakit yang masih masuk dalam 10 penyebab kematian dan DALYs
tertinggi di Indonesia pada tahun 2016. Sama halnya dengan penyebab kematian, TB, diare
dan infeksi saluran pernapasan bawah masih merupakan sepuluh penyakit penyebab DALYs
terbesar. Meskipun telah menurun sebesar 28%,TB masih menempati urutan ke-empat dengan
nilai DALYs sebesar 3.026.140,81. Hal yang sama juga terjadi pada DALYs dari penyakit diare
dan infeksi saluran pernapasan bawah yang mengalami penurunan total DALYs dari 28,2%
serta 43% selama tahun 2006-2016, tetapi nilai DALYs pada tahun 2016 masih cukup besar
(1.953.206,169 dan 1.751.739,329).

Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah persistensi kelahiran pre-term atau premature
dalam menyumbang DALYs. Meskipun menunjukkan penurunan, baik pada tahun 2006 dan
2016, kelahiran prematur berada pada posisi ke-enam penyumbang DALYs tertinggi.

Meskipun tidak menyebabkan kematian, beberapa jenis penyakit memiliki kontribusi tinggi
dalam morbiditas penduduk Indonesia pada tahun 2016 seperti nyeri pinggang dan leher (low
back and neck pain), sense organ diseases, dan penyakit kulit. Pada tahun 2017, nyeri pinggang,
sakit kepala dan diabetes merupakan tiga penyebab disabilitas tertinggi (Gambar 17).
Sumber: Global Burden of Diseases, Balitbangkes Kemkes dan IHME (15)

Gambar 17. Sepuluh Penyakit Penyebab Disabilitas Tertinggi


(Years Lived with Disability-YLDs) Tahun 2007-2017

Sumber: Global Burden of Diseases, Balitbangkes Kemkes dan IHME (15)


22 • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia 2. Analisis Situasi • 23

Nyeri pinggang dan leher merupakan outcome dari gaya hidup yang kurang aktif (sedentary Gambar 18. DALYs Beberapa Penyakit menurut Kelompok Umur
behavior) dan merupakan occupational hazard terutama pada penduduk usia produktif.
Ischemic Heart Disease Cerebrovascular Disease
Gangguan tesebut juga akan menyebabkan disabilitas berkepanjangan apabila tidak 1000000 800000

mendapatkan penanganan yang tepat. Umumnya, obat-obatan analgesik digunakan untuk 900000

800000
700000

mengobati sakit pinggang. Pengobatan lanjutan meliputi fisioterapi, rehabilitasi hingga 700000
600000

500000
operasi (18). Di Indonesia sendiri, obat herbal/tradisional dan pengobatan alternatif untuk nyeri
600000

500000
400000

pinggang sangat banyak jenisnya dan cukup populer karena mudah didapat dan terjangkau. 400000
300000
300000

Namun, regulasi serta pengawasan obat herbal atau tradisional dan praktek pengobatan 200000 200000

alternatif hingga kini masih belum mendapat perhatian yang adekuat. 100000 100000

0
1-4 5-9 10-14 15 - 19 20 - 24 25 - 29 30 - 34 35 - 39 40 - 44 45 - 49 50 - 54 55 - 59 60 - 64 65 - 69 70 - 74 75 - 79 80 plus 0
1-4 5-9 10-14 15 - 19 20 - 24 25 - 29 30 - 34 35 - 39 40 - 44 45 - 49 50 - 54 55 - 59 60 - 64 65 - 69 70 - 74 75 - 79 80 plus
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

Penyakit yang terkait dengan kesehatan mental, seperti depresi dan anxiety disorders juga
Diabetes Mellitus Alzheimer
menunjukkan peningkatan sebagai penyebab DALYs antara tahun 2006 dan 2016 dan juga 600000
250000

antara tahun 2007-2017. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018, 500000 200000

prevalensi penderita gangguan mental emosional mencapai 9,8% sementara prevalensi 400000
150000
gangguan jiwa skizofrenia/psikosis mencapai 7% (19). Di Indonesia, penderita gangguan 300000

mental masih banyak mendapatkan diskriminasi serta kekerasan seperti pemasungan karena 200000
100000

kurangnya pemahaman tentang kesehatan mental. Stigma buruk terhadap penderita gangguan 50000
100000

mental tersebut dapat berpotensi pada underreporting kasus depresi dan anxiety. Selain itu,
0 0

sumber daya manusia (SDM) kesehatan yang khusus menangani kesehatan mental masih 1-4 5-9 10-14 15 - 19 20 - 24 25 - 29 30 - 34 35 - 39 40 - 44 45 - 49 50 - 54 55 - 59 60 - 64 65 - 69 70 - 74 75 - 79 80 plus

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016


1-4 5-9 10-14 15 - 19 20 - 24 25 - 29 30 - 34 35 - 39 40 - 44 45 - 49 50 - 54 55 - 59 60 - 64 65 - 69 70 - 74 75 - 79 80 plus

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

kurang. Tidak hanya psikiater, tetapi juga termasuk SDM manajemen dan pendukung untuk
Tuberculosis Diare
pelayanan kesehatan mental yang komprehensif (20). Gambar 18 menunjukkan pola DALYs 400000 600000

menurut kelompok umur untuk beberapa jenis penyakit (17). Untuk kelompok PTM yaitu PJK, 350000
500000

stroke dan diabetes mellitus, pola DALYs meningkat mulai kelompok umur 25-29 tahun dan 300000

400000
250000

mencapai angka tertinggi pada kelompok umur 55-59 tahun. Artinya, morbiditas penduduk 200000 300000

Indonesia mencapai yang terburuk ketika memasuki usia pensiun. Selain itu, meningkatnya 150000
200000

DALYs untuk penyakit PTM sejak umur 25 tahun menunjukkan rendahnya kualitas kesehatan 100000

100000

penduduk usia kerja. Ditambah lagi dengan tingginya DALYs pada kelompok usia tersebut 50000

0
karena depresi serta nyeri pinggang dan leher.
0
0-4 5-9 10-14 15 - 19 20 - 24 25 - 29 30 - 34 35 - 39 40 - 44 45 - 49 50 - 54 55 - 59 60 - 64 65 - 69 70 - 74 75 - 79 80 plus 1-4 5-9 10-14 15 - 19 20 - 24 25 - 29 30 - 34 35 - 39 40 - 44 45 - 49 50 - 54 55 - 59 60 - 64 65 - 69 70 - 74 75 - 79 80 plus

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

Depressive Disorder
Sementara itu, pola DALYs penyakit menular menunjukkan tingginya morbiditas pada kelompok 100000
Low Back and Neck Pain
400000

penduduk usia anak akibat penyakit tersebut, terutama penyakit diare pada penduduk usia 0-4 90000
350000
80000

tahun. Namun, pola DALYs TB menunjukkan angka yang tinggi pada kelompok usia 20 hingga 70000
300000

49 tahun. Pola DALYs yang tinggi pada kelompok usia kerja, baik dari penyakit menular dan
250000
60000

50000 200000

tidak menular menunjukkan beban ganda penyakit diderita oleh penduduk usia kerja. Hal ini 40000 150000

tidak saja mengurangi produktifitas ekonomi, tetapi juga menambah beban biaya kesehatan
30000
100000
20000

yang seharusnya hanya berasal dari penduduk usia anak dan lanjut usia.
50000
10000

0
0
1-4 5-9 10-14 15 - 19 20 - 24 25 - 29 30 - 34 35 - 39 40 - 44 45 - 49 50 - 54 55 - 59 60 - 64 65 - 69 70 - 74 75 - 79 80 plus
1-4 5-9 10-14 15 - 19 20 - 24 25 - 29 30 - 34 35 - 39 40 - 44 45 - 49 50 - 54 55 - 59 60 - 64 65 - 69 70 - 74 75 - 79 80 plus

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

Depressive Disorder
100000

90000

80000

70000

60000

50000

40000

30000

20000

10000

0
1-4 5-9 10-14 15 - 19 20 - 24 25 - 29 30 - 34 35 - 39 40 - 44 45 - 49 50 - 54 55 - 59 60 - 64 65 - 69 70 - 74 75 - 79 80 plus

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

Sumber: Global Burden of Diseases, Balitbangkes Kemkes dan IHME (7)


24 • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia 2. Analisis Situasi • 25

Bila dilihat dari aspek kewilayahan, beban penyakit masih timpang dan lebih tinggi terjadi di fasilitas dan tenaga kesehatan, upaya promosi kesehatan serta pendidikan yang relatif rendah
provinsi wilayah timur Indonesia (Tabel 3). Stroke menempati urutan pertama sebagai penyakit menjadi faktor-faktor yang dapat menyebabkan tingginya beban penyakit di Indonesia bagian
penyebab kematian di hampir semua provinsi di Indonesia, kecuali di Kalimantan Tengah, Timur.
Gorontalo dan Jawa Timur di mana PJK adalah penyebab angka kematian tertinggi. Angka
kematian tertinggi akibat TB terjadi di Papua, sedangkan diare penyebab kematian tertinggi di Selain itu, perbedaan kesadaran akan keamanan terutama terkait berlalu lintas juga terlihat
Maluku. Dibandingkan provinsi lain, Sulawesi Barat nampaknya memiliki beban penyakit yang dari perbedaan DALYs karena cedera. Pembangunan infrastruktur jalan meningkatkan
lebih berat dengan angka kematian yang sangat tinggi akibat sirosis hati (500 kematian per akses ke berbagai fasilitas serta meningkatkan kegiatan ekonomi. Namun eksternalitas dari
1.000 penduduk) disusul dengan PPOK (74 kematian per 1.000 penduduk). Sulawesi Barat juga pembangunan jalan tersebut adalah meningkatnya volum atau penggunaan kendaraan
memiliki angka kematian akibat stroke yang termasuk tertinggi di antara provinsi lain. bermotor. Tanpa diikuti dengan penegakkan peraturan berlalu lintas serta kesadaran akan
keselamatan di jalan (road safety), pembangunan infrakstruktur jalan berpotensi meningkatkan
kasus kecelakaan lalu lintas.
Tabel 3. Age Standardized Death Rate berdasarkan penyakit dan Provinsi, 2017
(Hasil Sementara)
Penyakit
Gambar 19. DALYs menurut Provinsi, Indonesia 2017
Penyakit Infeksi saluran
paru Ginjal Neonatal Kecelakaan
Stroke jantung Diabetes TB Diare Alzheimer Sirosis pernapasan
obstruktif kronis disorders lalu lintas
iskemik bawah
kronik
Indonesia 164 148 47 44 43 42 35 27 26 20 19 18
Aceh 260 108 44 46 51 57 34 27 40 21 24 24
Sumatra Utara 170 142 66 41 50 48 34 27 25 21 22 23
Sumatra Barat 187 182 45 31 79 44 42 42 30 25 22 21
Riau 184 140 52 32 43 42 40 28 23 23 13 17
Jambi 188 83 26 29 48 30 28 5 23 8 15 17
Sumatra Selatan 147 142 52 47 49 43 36 39 22 20 17 25
Bengkulu 227 203 79 36 55 55 34 13 21 22 17 31
Lampung 178 86 40 42 40 41 33 20 23 20 14 14
Bangka-Belitung 224 146 73 34 34 32 34 20 24 40 14 25
Kepulauan Riau 224 104 41 23 31 54 34 25 17 18 17 6
Kalimantan Utara 149 121 64 10 42 17 27 10 14 26 18 18
Jakarta 150 155 63 38 36 33 38 19 22 18 13 14
Jawa Barat 135 132 36 43 35 31 33 19 21 14 20 11
Jawa Tengah 174 168 43 38 39 42 37 24 24 21 13 16
Yogyakarta 216 122 39 20 46 55 36 26 19 23 12 25
Jawa Timur 133 148 43 34 35 46 34 30 24 15 15 16
Banten 240 185 72 87 51 50 39 32 32 25 18 22
Bali 148 154 50 25 50 43 39 19 29 21 14 15
NTB 220 170 60 34 64 46 37 42 40 26 26 31
NTT 145 109 40 63 64 49 35 22 31 23 28 15
Kalimantan Barat 200 131 15 68 54 33 34 31 35 49 25 22
Kalimantant Tengah 91 265 86 46 46 49 34 49 25 28 15 19
Kalimantan Selatan 213 175 60 76 34 51 33 39 42 45 21 28
Sumber: Global Burden of Diseases, Balitbangkes Kemkes dan IHME, 2017
Kalimantan Timur 259 173 80 33 56 23 34 13 43 28 18 30
Sulawesi Utara 209 177 93 42 58 19 40 20 23 41 18 36
Sulawesi Tengah 162 167 74 50 69 53 35 20 44 24 24 23
Sulawesi Selatan 131 144 45 45 59 31 36 25 28 17 19 22
Sulawesi Tenggara 262 122 120 115 37 63 39 35 28 44 27 18
Gorontalo 109 178 56 100 48 60 31 32 31 29 30 15
Gambar 20. Proporsi CMNN, PTM dan kecelakaan dalam DALYs menurut Provinsi, 2017
Sulawesi barat 248 121 73 53 74 44 35 34 39 38 26 32
Maluku 296 131 66 100 57 72 32 28 40 29 37 29
Maluku Utara 242 158 60 86 64 34 30 77 34 26 26 21
Papua Barat 222 176 84 58 54 38 39 31 37 38 22 26
Papua 231 94 34 169 60 64 35 50 33 15 45 30

Sumber: Global Burden of Diseases (Balitbangkes Kemkes dan IHME), unpublished report, 2018.

Beratnya beban penyakit di Indonesia bagian timur juga ditunjukkan oleh sebaran nilai DALYs
yang tinggi di provinsi seperti Papua, Maluku, Sulawesi Tenggara, dan NTB (Gambar 19). Pada
hampir semua provinsi, kontribusi dari kematian prematur lebih tinggi sebagai beban penyakit
(DALY) dibandingkan kontribusi disabilitas yang diakibatkan. Penyakit menular berkontribusi
tertinggi pada DALYs di provinsi Papua diikuti Maluku dan Gorontalo (Gambar 20). Sementara
DALYs karena PTM yang tertinggi terdapat pada provinsi Sulawesi Utara, diikuti Nusa Tenggara
Barat dan Sumatra Barat. Provinsi Papua, KalimantanTimur dan Jambi merupakan tiga provinsi
dengan angka DALYs karena cedera tertinggi dibanding provinsi lainnya. Perbedaan DALYs
antar wilayah mengindikasikan ketimpangan status kesehatan sebagai hasil dari disparitas
pembangunan kesehatan antara wilayah Timur dan Barat Indonesia. Selain masalah akses ke
Sumber: Global Burden of Diseases (Balitbangkes Kemkes dan IHME), unpublished report (2017).
26 • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia 2. Analisis Situasi • 27

2.3. Faktor Risiko dan Kerentanan terhadap Penyakit Menurut Daur Hidup
Gambar 22. Faktor Risiko Penyebab Kematian dan Disabilitas, 2007 dan 20173
Sebagaimana dijelaskan di bagian sebelumnya, salah satu mekanisme pencapaian bonus
demografi adalah melalui penduduk usia kerja yang bisa bekerja dan beraktivitas secara
produktif. Namun, situasi terkini beban penyakit di Indonesia menunjukkan potensi hambatan
produktivitas yang dihadapi oleh penduduk Indonesia. Penduduk yang terpapar oleh potensi
hambatan tersebut bukan hanya mereka yang sedang bekerja dan dalam usia kerja, namun
juga penduduk usia muda, yaitu calon penduduk usia kerja di masa depan; dan penduduk usia
tua, dengan usia yang semakin panjang. (9)

Beban penyakit yang bervariasi menurut kelompok umur tersebut merefleksikan variasi
keterpaparan risiko dan kerentanan di setiap tahapan daur hidup (Gambar 21) (11).
Artinya, dalam setiap tahap hidup, terdapat kondisi-kondisi berisiko dan kerentanan yang
memengaruhi kondisi kesehatan dan produktivitas seseorang. Namun terdapat juga risiko-
risiko dan kerentanan yang melampaui batas usia dan tahap hidup namun turut memengaruhi
kesehatan seseorang, seperti kondisi lingkungan, urbanisasi, dan kemiskinan. Upaya untuk
mengatasi berbagai risiko di sepanjang daur hidup merupakan bagian penting dari rangkaian
Sustainable Development Goals (SDGs) dan tercermin dari indikator-indikator di dalamnya.

Gambar 21. Risiko dan Kerentanan Terkait Kesehatan menurut Daur Hidup
Sumber: Global Burden of Diseases, Balitbangkes Kemkes dan IHME (7)

2.3.1. Bayi dan Balita (Usia 0-4 Tahun)

Dalam tahap awal kehidupan, baik bayi maupun balita menghadapi faktor-faktor risiko
seperti (1) kematian (neonatal, bayi, balita, dan anak), (2) kelahiran tanpa penolong
persalinan terlatih, (3) imunisasi yang rendah, dan (4) status gizi balita (pendek, kurus,
dan gemuk). Secara umum, data menunjukkan terdapat risiko dan kerentanan terhadap
kondisi kesehatan bayi dan balita yang berbeda antarprovinsi.

Kematian Anak (SDGs Tujuan 3, indikator 3.2.1, 3.3.2, 3.2.2a)

Secara umum, risiko kematian di tahap awal kehidupan menurun. Hal tersebut ditunjukkan
melalui penurunan Angka Kematian Neonatal (AKN), Angka Kematian Bayi (AKB), dan
AKBa (Angka Kematian Balita). Keberhasilan penurunan indikator-indikator tersebut
Sumber: Adioetomo (2018) salah satunya dipengaruhi oleh peningkatan akses terhadap pelayanan kesehatan yang
terefleksi melalui antenatal care (ANC), yaitu pelayanan kesehatan yang diberikan
Gambar 22 menunjukkan 10 faktor risiko yang paling banyak mempengaruhi kematian dan oleh tenaga kesehatan untuk ibu selama kehamilannya, dan kunjungan neonatal, yang
disabilitas pada tahun 2007 dan 2017. Pola diet yang buruk menduduki ranking pertama bertujuan untuk mengurangi risiko kematian bayi.
dari keseluruhan faktor risiko diikuti dengan tekanan darah tinggi, gula darah puasa yang
tinggi serta tembakau atau perilaku merokok, yang mengindikasikan risiko terhadap penyakit Menurut Riskesdas tahun 2018, proporsi pemeriksaan kehamilan pada perempuan usia
kardiovaskular dan diabetes. Malnutrisi4 serta indeks massa tubuh yang tinggi menduduki 10-54 tahun minimal 1 kali (dikenal dengan ANC K1), adalah sebesar 86%, meningkat
ranking 5 dan 6 dimana hal ini menunjukkan Indonesia mengalami double burden of nutrition. dari 81,6% di tahun 2013. Pemeriksaan kehamilan lengkap (K4) pada perempuan usia 10-
Air, sanitasi dan higienitas masih termasuk dalam 10 faktor risiko tertinggi yang berkontribusi 54 tahun meningkat dari 70,4% di tahun 2013 menjadi 74,1% di tahun 2018. Selain itu,
pada masih tingginya kontribusi penyakit infeksi pada kematian dan DALYs. proporsi bayi yang mendapat kunjungan neonatal pertama (kunjungan di usia 6-28 jam
adalah 84,1%, dimana angka ini lebih tinggi daripada tahun 2013 yang sebesar 71,3%.

4 Malnutrisi yang dimaksud adalah malnutrisi pada anak dan ibu, yang terdiri atas suboptimal
breastfeeding, non-exclusive breastfeeding, discontinued breastfeeding, child growth failure,
underweight, wasting, stunting, BBLR, dan short gestation for birth weight, defisiensi zat besi,
vitamin A dan zinc.
28 • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia 2. Analisis Situasi • 29

Namun demikian, keberhasilan dalam menurunkan risiko kematian di tahap awal daur Gambar 24. Persentase Perempuan yang Tercakup dalam Antenatal Care (ANC)
hidup tersebut belum dapat dinikmati secara merata. Menurut Riskesdas 2018, dalam
hal pemeriksaan kehamilan K4 pada perempuan 10-54 tahun bervariasi antar provinsi.
Proporsi terendah didapati di Provinsi Papua dan beberapa provinsi di wilayah Indonesia
Timur dan proporsi tertinggi ditemui di provinsi DI Yogyakarta. Variasi tersebut juga
didapati dalam hal kunjungan neonatal pertama pada anak umur 0-59 bulan di mana
proporsi terendah didapati di wilayah Indonesia timur.

Gambar 23. Kecenderungan Proporsi Pemeriksaan Kehamilan K4


pada Perempuan Umur 10-54 Tahun menurut Provinsi, 2013-2018

Sumber: Riskesdas 2013 (Kementerian Kesehatan 2014)

Dengan demikian, penurunan indikator-indikator kematian pada tahap awal daur


hidup tersebut menunjukkan bahwa Indonesia berada di jalur yang tepat dalam upaya
menurunkan kematian neo-natal dan balita sesuai target SDGs (menurunkan Angka
Kematian Neonatal hingga 12 per 1.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Balita hingga
25 per 1000 kelahiran hidup). Namun upaya penurunan risiko kematian pada bayi yang
baru lahir, balita, dan anak perlu memperhatikan juga upaya pemerataan dan percepatan
Sumber: Riskesdas 2018 penurunan angka kematian.

Kelahiran Tanpa Tenaga Penolong Terlatih (SDGs Tujuan 1, indikator 3.1.2)

Tabel 4. Proporsi Kunjungan Neonatal Pertama (6-28 jam setelah lahir) Risiko kematian di awal tahap daur hidup telah berhasil diminimalisir, salah satunya adalah
pada Anak Umur 0-59 Bulan menurut Provinsi, 2013 – 2018 melalui peningkatan akses ibu hamil dan melahirkan untuk bersalin dengan bantuan
penolong kelahiran terlatih. Pada tahun 2017, secara nasional, persentase kelahiran yang
ditolong oleh tenaga terlatih telah mencapai 93,25% (21). Temuan yang sama juga didapati
di Riskesdas 2018 yang menunjukkan proporsi penolong persalinan pada perempuan
umur 10-54 tahun dari tenaga kesehatan sebesar 93,1%. Namun, jika ditelaah lebih lanjut
menurut level provinsi (Gambar 25), masih terdapat provinsi-provinsi dengan persentase
penolong proses kelahiran dengan cara tradisional yang masih tinggi, yaitu Provinsi
Maluku (32,67%), Maluku Utara (27,57%), Nusa Tenggara Timur (15,97%), Kalimantan Barat
(15,94%), Kalimantan Tengah (15,28%) dan Sulawesi Barat (14,95%). Penolong kelahiran
dengan cara tradisional ternyata juga ditemukan di provinsi Banten, yang berlokasi di
Pulau Jawa (12,34%). Di provinsi-provinsi ini, risiko kematian di tahap awal hidup bisa
dihindari dengan memperhatikan ketersediaan tenaga penolong kelahiran terlatih dan
mendorong ibu hamil untuk mengunjungi tenaga terlatih tersebut.

Sumber: Riskesdas 2018


30 • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia 2. Analisis Situasi • 31

Gambar 25. Persentase Perempuan Berusia 15-49 Tahun yang Pernah Kawin Stunting memiliki dampak terhadap perkembangan anak. Dalam jangka pendek, stunting
yang Ditolong oleh Tenaga Penolong Kelahiran Tradisional terkait dengan perkembangan sel otak yang akhirnya akan menyebabkan tingkat
kecerdasan menjadi tidak optimal. Hal ini berarti bahwa kemampuan kognitif anak
dalam jangka panjang akan lebih rendah dan akhirnya menurunkan produktifitas dan
menghambat pertumbuhan ekonomi (24). Laporan TNP2K tahun 2017 (25) menyebutkan
bahwa ada empat faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting: 1) Praktek pengasuhan
yang dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan orang tua tentang kesehatan gizi sebelum
dan pada masa kehamilan serta

sesudah melahirkan; 2) Pelayanan ANC – Antenatal Care dan Post-Natal Care yang
berkualitas; 3) Akses ke makanan bergizi yang masih kurang, karena harga makanan
bergizi yang relatif mahal; 4) dan kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi yang dapat
mempengaruhi terjadinya infeksi berulang yang berdampak pada perkembangan anak.
Berbagai penelitian menemukan bahwa stunting umumnya ditemukan pada anak-anak
dari orang tua berpendidikan rendah. Penelitian oleh Dartanto et al. pada tahun 2018
(26) menemukan bahwa konsumsi rokok orang tua memiliki dampak positif terhadap
Sumber: Statistik Kesejahteraan Rakyat (BPS, 2017) kemungkinan terjadinya stunting pada anak-anaknya. Selain itu, anak-anak dari perokok
akan memiliki skor kognitif yang lebih rendah dibanding anak dari bukan perokok.
Sehingga kebijakan untuk mengurangi kejadian stunting tidak bisa dilakukan hanya oleh
Gizi Balita (SDGs Tujuan 2, indikator 2.1.1, 2.2.1, 2.2.2) sektor kesehatan, tetapi memerlukan kerjasama dari sektor lain, seperti kementerian
pendidikan, industri dan keuangan.
Meskipun angka kematian balita sudah menurun, masih terdapat permasalahan terkait
kesehatan anak, yaitu stunting (pendek), wasting (kurus), dan kegemukan, atau yang Selain masalah gizi terkait tinggi badan, masalah lain yang muncul di tahap ini adalah
dikenal dengan double burden malnutrition (DBM). Saat ini, masalah stunting, yang balita yang kurus (wasting), yang diukur dari perbandingan berat badan terhadap tinggi
diukur dengan standar tinggi badan menurut umur (sangat pendek dan pendek), menjadi badan. Pada tahun 2018, 10,2% balita mengalami masalah wasting, dimana 3,5% di
permasalahan karena prevalensinya yang meningkat dari 35,6% di tahun 2007, menjadi antaranya mengalami masalah sangat kurus, dan 6,7 % di antaranya mengalami masalah
36,8% di tahun 2010, dan meningkat lagi menjadi 37,2% di tahun 2013 dan menurun kurus (24). Meski secara nasional, proporsi ini telah menurun dari 12,1 % di tahun 2013
menjadi 30,8% di tahun 2018 (19), dimana 11,5% adalah prevalensi anak sangat pendek menjadi 10,2% di tahun 2018, pada tingkat provinsi masih terdapat masalah balita kurus
dan 19,3% adalah prevalensi untuk anak pendek (22)(23). Sementara itu, proporsi stunting (Gambar 27).
balita kelompok umur 0-23 bulan mencapai 29,9% dimana 12,8% adalah prevalensi anak
sangat pendek dan 17,1% untuk anak pendek (Riskesdas 2018). Berdasarkan provinsi,
prevalensi terbesar untuk status balita sangat pendek berada di Provinsi Nusa Tenggara Gambar 27. Proporsi Status Kurus dan Sangat Kurus pada Gizi Balita
Timur (18%) dan Papua (15,9%) (Gambar 26). menurut Provinsi, 2018

Gambar 26. Proporsi Status Gizi Sangat Pendek dan Pendek pada Balita menurut
Provinsi, 2013-2018

Sumber: Riskesdas 2018

Sumber: Riskesdas 2018


32 • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia 2. Analisis Situasi • 33

Di sisi lain, terdapat juga masalah gizi dalam hal kegemukan. Secara nasional, 8% balita Salah satu dampak berkurangnya cakupan imunisasi tersebut pada tahun 2016-2017
mengalami masalah kegemukan, dimana prevalensi tertinggi ditemukan di Papua (13,2%) adalah munculnya kembali outbreak penyakit Diphteria. Pada tahun 2016, terdapat 415
(Gambar 28) (23). kasus dimana 51 %nya terjadi pada anak-anak yang tidak menerima vaksin difteri (22).
Jawa Barat dan Jawa Timur adalah dua provinsi yang memiliki kasus Difteri tertinggi
pada tahun 2016. Selain terus melakukan advokasi dan promosi manfaat imunisasi untuk
Gambar 28. Proporsi Status Gizi Gemuk pada Balita menurut Provinsi, 2018
mencegah penyebaran penyakit menular, kebijakan juga perlu diarahkan pada perluasan
akses imunisasi. Hal ini termasuk memastikan kualitas jalur penyediaan (supply chain)
dan logistik vaksin, terutama di perdesaan dan wilayah pedalaman.

2.3.2. Anak dan Remaja (5 – 14 Tahun)

Dalam tahap daur hidup anak dan remaja, beberapa faktor risiko yang memengaruhi
kesehatan para anak dan remaja berhubungan dengan keterpaparan mereka terhadap
gaya hidup dan pengaruh lingkungan sekitar. Gaya hidup yang tidak sehat di masa anak
dan remaja teridentifikasi melalui tingginya prevalensi merokok remaja, prevalensi
konsumsi rokok dan narkoba, serta keterpaparan terhadap penyakit infeksi. Berbeda
dengan kerentanan di tahap usia bayi dan anak, kerentanan di tahap daur hidup ini tidak
terdapat perbedaan yang besar antarprovinsi.

Prevalensi Merokok Remaja (SDGs Tujuan 3, indikator 3.4.1a)


Sumber: Riskesdas 2018

Indonesia masih menjadi salah satu negara dengan prevalensi merokok tertinggi di dunia.
Cakupan Imunisasi (Tujuan 1, indikator 1.4.1 b) Dari tahun 2013-2018, prevalensi merokok pada penduduk umur 10-18 tahun meningkat
dari 7,2% ke 9,1% (Riskesdas 2018). Dalam kurun waktu 2010- 2013, prevalensi perokok
usia remaja laki-laki menurun meskipun kecil sementara perempuan meningkat dari 0,9%
Kelompok umur bayi dan balita juga menghadapi kerentanan kesehatan melalui
ke 3,1%. Khusus untuk kelompok usia 13-15 tahun, estimasi dari Global Youth Tobacco
rendahnya cakupan imunisasi. Padahal, persentase anak umur 12-23 bulan yang menerima
Survey tahun 2014 menunjukkan adanya 11,5% remaja yang merokok dengan prevalensi
imunisasi dasar lengkap merupakan bagian dari tujuan pertama dari SDGs. Meskipun
untuk remaja laki-laki sebesar 21,4% dan 1,5% untuk perempuan (Gambar 30). Selain itu,
cakupan imunisasi pada tingkat nasional mencapai 57,9% pada tahun 2018, tetapi
data SKRRI 2007 dan SDKI 2012 juga menunjukkan peningkatan tren pertama kali merokok
terdapat ketimpangan cakupan antar provinsi dari sekitar 20% di provinsi Aceh dan lebih
sebelum umur 15 tahun di kalangan remaja. Pada tahun 2012, 55% remaja pria mulai
dari 90% di Provinsi Bali (Gambar 29) (21). Pada tahun 2018, Aceh, Papua dan Sumatera
merokok sebelum umur 15 tahun. Sementara 59% remaja putri mulai merokok sebelum
Barat merupakan tiga provinsi yang memiliki cakupan imunisasi terendah dibandingkan
umur 15 tahun. Jika inisiasi dini merokok ini terus meningkat, penduduk usia muda
provinsi lainnya.
Indonesia akan semakin terpapar dengan berbagai risiko penyakit yang menyebabkan
disabilitas dan kematian dini.
Gambar 29. Cakupan Imunisasi Dasar Lengkap pada Anak Usia 12-23 Bulan, 2013-2018

Gambar 30. Prevalensi Merokok Penduduk Usia 15-19, Indonesia 2013

Sumber: Riskesdas 2018 Sumber: Riskesdas 2013 (Kementerian Kesehatan 2014)


34 • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia 2. Analisis Situasi • 35

Tabel 5. Persentase Remaja menurut Perilaku Konsumsi


Gambar 31. Prevalensi Tembakau & Merokok Penduduk Usia 13-15 tahun, Minuman Beralkohol dan Narkoba, Indonesia, 2007 & 2012
Indonesia 1995-2013
2007 2012
Perilaku Berisiko
Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki
Konsumsi minuman beralkohol
Bukan peminum 93,7 60,7 95,4 61,2
Mantan (pernah minum) 4,1 20,3 3,5 22,9
Kadang-kadang 1,6 18,4 1 15,6
Setiap hari 0 0,5 0 0,2
Konsumsi narkoba
Tidak pernah 94,2 95,7
Dihisap 4,5 3
Dihirup 0,6 0,6
Disuntik 0,1 0,1
Diminum 1,8 1,7
Sumber: Riskesdas 2013 (Kementerian Kesehatan 2014) Sumber: SDKI 2007 dan 2012 (BPS 2008, 2013)

Kecelakaan Lalu Lintas (SDGs Tujuan 3, indikator 3.6.1)


Kebijakan terkait penurunan prevalensi konsumsi rokok dan tembakau telah dituangkan
dalam Peraturan Menteri Kesehatan no. 40/2013 tentang Peta Jalan Pengendalian Seperti telah dijelaskan pada bagian Transisi Epidemiologi, kontribusi cedera terutama
Konsumsi Rokok. Target capaian Peta Jalan ini pada tahun 2015-2019 adalah menurunkan dari kecelakaan lalu lintas terhadap angka kematian dan DALYs menunjukkan tren yang
prevalensi perokok sebesar 1% per tahun serta penurunan perokok pemula sebesar 1% persisten. Sama seperti pola DALYs, data dari Korlantas Polri (Korps Lalu Lintas Kepolisian
per tahun. Pada tahun 2020-2024, peta jalan mentargetkan untuk melanjutkan penurunan Negara Republik Indonesia menunjukkan bahwa risiko kecelakaan lalu lintas ditemukan
prevalensi perokok hingga 10 % antara tahun 2013-2024, perubahan normal sosial tinggi di kelompok usia remaja (27). Remaja, khususnya mereka yang masih tergolong
terhadap kebiasaan merokok, serta penurunan prevalensi mortalitas sebesar 10% dari 4 pemula sebagai pemudi, kerap kali tidak menyadari perilaku mengemudi yang berisiko.
penyakit tidak menular terbesar dimana rokok menjadi faktor risiko utama (PJK, Kanker,
Diabetes dan PPOK).
Gambar 32. Jumlah Korban Kecelakaan Lalu Lintas menurut Jenis Cedera dan Kelompok
Selain itu, kegiatan pengendalian tembakau di Indonesia juga melakukan advokasi Umur, Triwulan Kedua Tahun 2018
peningkatan harga rokok melalui peningkatan cukai rokok. Saat ini, cukai rokok telah
mencapai nilai maksimal yang ditetapkan dalam UU Cukai no.30/2007 yaitu 57%. Upaya
peningkatan harga rokok tetap dijalankan dengan advokasi penerapan Pajak Rokok Daerah,
yaitu 10% dari tarif cukai nasional yang kemudian diperuntukkan untuk pembiayaan
kesehatan daerah dan penegakan hukum terkait dengan pengendalian tembakau.

Alkohol dan Narkoba (SDGs Tujuan 3, indikator 3.5.1e)

Berdasarkan data dari SDKI khusus tentang Kesehatan Reproduksi Remaja, proporsi
remaja yang mengonsumsi minuman beralkohol dan narkoba menunjukkan angka yang
menurun secara umum (Tabel 5). Persentase yang menjadi mantan peminum meningkat
namun hal ini berarti semakin besar proporsi yang tidak lagi mengonsumsi alkohol (4,8).
Tren ini mengindikasikan gaya hidup yang lebih baik pada generasi remaja tahun 2012 dan
akan berdampak positif bagi kesehatan mereka ketika memasuki usia kerja dan lanjut usia.

Sumber: Korlantas Polri (2018)


36 • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia 2. Analisis Situasi • 37

Data Riskesdas 2018 juga mengonfirmasi bahwa proporsi tempat terjadinya cedera 2.3.3. Transisi Masa Dewasa – Berkeluarga / Memiliki Anak (Perempuan 15-49 Tahun)
adalah di jalan raya (saat berlalu lintas) sebesar 31,4%, tertinggi kedua setelah rumah dan
lingkungan sekitar yaitu 44,7%. Proporsi cedera tertinggi yang disebabkan kecelakaan lalu Dalam masa transisi menuju masa dewasa, berkeluarga, dan memiliki anak perempuan,
lintas ditemukan di provinsi-provinsi di Pulau Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, terdapat risiko-risiko kesehatan dan kerentanan yang perlu diantisipasi. Risiko tersebut di
Sulawesi Tengah dan Tenggara). antaranya adalah (1) perkawinan dini, (2) usia melahirkan, (3) angka kematian ibu, dan (4)
perencanaan keluarga.

Gambar 33. Proporsi Kejadian Cedera menurut Tempat Kejadian Perkawinan Dini (SDGs Tujuan 5.3)

Peningkatan pendidikan dan partisipasi kerja perempuan di Indonesia telah mempengaruhi


peningkatan usia kawin pertama di Indonesia. Usia Kawin Pertama (UKP) umumnya
diukur dengan Singulate Mean Age at Marriage (SMAM) serta median dan rata-rata
usia kawin pertama perempuan usia 25-49 tahun. Hasil estimasi terkini dari SP 2010 dan
SUPAS 2015 menunjukkan peningkatan SMAM perempuan dari 22,3 tahun menjadi 23,1
tahun pada tahun 2010-2015 (28). Sementara itu, hasil estimasi median UKP dari SDKI
menunjukkan usia kawin yang relatif lebih muda dibandingkan estimasi SP dan SUPAS
dengan peningkatan dari 19,2 tahun menjadi 20,1 tahun antara tahun 2007 dan 2012 (4).

Meskipun rata-rata UKP menunjukkan adanya penundaan usia menikah, namun


perkawinan dini masih terus terjadi di Indonesia. Proporsi perempuan berusia 20-24 tahun
yang menikah sebelum usia 18 tahun tercatat masih sekitar 20 % pada tahun 2013 dan 2015
(29). Di beberapa wilayah, proporsi tersebut tercatat lebih tinggi (Gambar 35). Kalimantan
Selatan memiliki proporsi tertinggi untuk perkawinan dini pada tahun 2015, diikuti Sulawesi
Tengah, Sulawesi Barat, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Tenggara. Beberapa provinsi
menunjukkan peningkatan perkawinan dini. Sulawesi Utara dan Maluku merupakan dua
provinsi dengan pertumbuhan proporsi perkawinan dini tertinggi antara 2013 dan 2015.
Sumber: Riskesdas (2018)

Gambar 35. Persentase Perempuan usia 20-24 Tahun yang Menikah Sebelum 18 tahun,
Gambar 34. Proporsi Cedera yang Disebabkan Kecelakaan Lalu Lintas 2013 & 2015
menurut Provinsi, 2018

Sumber: Estimasi dari Susenas 2013 dan 2015


Sumber: Riskesdas (2018) dalam Laporan Perkawinan Usia Anak di Indonesia (BPS, 2017)
38 • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia 2. Analisis Situasi • 39

Angka perkawinan dini tersebut sangat perlu mendapat perhatian pada periode RPJMN Angka Kematian Ibu (SDGs Tujuan 3, indikator 3.1.1)
2020-2024. Dengan UU Perkawinan yang mensyaratkan usia minimal 16 tahun bagi
perempuan dan 17 tahun bagi laki-laki untuk dapat menikah, maka perkawinan dini masih Angka Kematian Ibu atau Maternal Mortality Ratio (MMR) juga menunjukkan tren yang
akan terus terjadi. Usia minimal tersebut masih dalam kelompok usia sekolah tingkat menurun. Estimasi data Sensus Penduduk (SP) dan Survei Penduduk Antara Sensus
menengah atas. Sehingga perkawinan yang terjadi pada usia tersebut akan berdampak (SUPAS) menunjukkan penurunan MMR dari 346 ke 305 kematian per 100,000 kelahiran
negatif pada produktifitas remaja tersebut di masa depan akibat ia harus putus sekolah hidup. Meskipun masih jauh dari target capaian Millenium Development Goals (MDGs)
untuk menikah. Bappenas dan UNICEF pada tahun 2014 mengestimasi bahwa perkawinan yaitu 102 pada tahun 2015, namun Indonesia telah mengarah pada tercapainya target
anak akan menimbulkan kerugian sebesar 1,7 % dari total Pendapatan Domestik Bruto RPJMN 2014-2019, yaitu sebesar 306 kematian per 100.000 kelahiran hidup pada tahun
(PDB) atau Gross Domestic Product (GDP) (30). 2019.

Penelitian juga telah banyak menemukan dampak negatif perkawinan usia dini terhadap Salah satu faktor yang membantu menurunkan angka kematian ibu adalah persalinan
kesehatan reproduksi, yaitu risiko tinggi pada kehamilan kelahiran perempuan usia muda, yang ditolong oleh petugas kesehatan terlatih. Persentase perempuan pernah kawin
penyakit menular seksual, kanker serviks dan juga depresi. Baik dampak negatif ekonomi usia 15-49 tahun yang persalinannya ditolong petugas kesehatan terlatih meningkat
dan kesehatan dari perkawinan dini akan menimbulkan biaya besar bagi perekonomian dari 86,89% pada tahun 2014 menjadi 91,51% pada tahun 2016. Sebagian besar provinsi
dan tentunya akan mengurangi upaya optimasi bonus demografi. memiliki persentase yang sama seperti angka nasional dengan persentase terendah di
Provinsi Papua (64%) dan NTT (77,9%) pada tahun 2016. Angka persentase persalinan yang
Usia Melahirkan Pertama (SDGs Tujuan 3, indikator 3.7.2; Tujuan 5, indikator 5.3.1) dilakukan di fasilitas kesehatan meningkat dari 77,6% menjadi 79,7% pada tahun 2015-
2016. Terdapat perbedaan yang cukup besar antar provinsi dimana Bali memiliki proporsi
Sama halnya seperti perkawinan, usia melahirkan pertama di Indonesia mengalami persalinan di faskes yang tertinggi (98%) dan provinsi Maluku, Maluku Utara dan Sulawesi
peningkatan. Angka Age-Specific Fertility Rate (ASFR) menunjukkan adanya penundaan Tenggara memiliki persentase terendah (32,7%, 42,03% dan 46,3%)
memiliki anak antara tahun 2012 dan 2017 (Gambar 36) (7). ASFR mencapai puncaknya
pada usia 25-29 tahun pada periode tersebut meskipun terdapat peningkatan kelahiran Keluarga Berencana (SDGs Tujuan 1, indikator 1.4.1 c; Tujuan 3 indikator 3.7.1)
di antara perempuan usia 30-34 tahun. Penurunan ASFR di antara perempuan usia 15-19
tahun menunjukkan adanya peningkatan usia perkawinan dan juga penundaan keinginan Salah satu risiko dalam tahap transisi menuju masa dewasa adalah kurangnya perencanaan
untuk memiliki anak. kelahiran. Perencanaan kelahiran melalui Program KB yang diterapkan sejak 1970-an telah
berhasil menurunkan tingkat kelahiran di Indonesia. Institusi pelaksana program KB,
yaitu BKKBN, memiliki otoritas kuat untuk distribusi alat KB serta melakukan kampanye
Gambar 36. Age Specific Fertility Rate (ASFR), 2012-2017 yang cukup masif hingga akhir 1990. Setelah desentralisasi diterapkan, beberapa daerah
menggabungkan institusi KB dengan bidang lainnya sehingga pelaksanaan program KB
menjadi tidak lagi efektif.

Data SDKI menunjukkan adanya stagnasi pada angka prevalensi kontrasepsi atau
Contraceptive Prevalence Rate (CPR) terutama metode modern antara tahun 2002/3 dan
2012. Hasil SDKI 2017 menunjukkan CPR semua cara meningkat dari 61,9% pada tahun
2012 menjadi 64% pada tahun 2017 (Gambar 37) (7,8). Namun, CPR pada cara modern
mengalami penurunan meski kecil, yaitu sebesar 0,9% pada periode yang sama. Hal
ini mengindikasikan bahwa peningkatan CPR dipengaruhi oleh adanya peningkatan
penggunaan metode KB tradisional. Sementara itu, disparitas CPR antar provinsi masih
terlihat antara tahun 2012 dan 2017 (Gambar 37). Papua Barat, Maluku, Papua dan NTT
masih memiliki angka CPR cara modern yang terendah dibanding provinsi lain. Namun,
CPR Provinsi Papua mengalami peningkatan cukup besar dari 19,1% ke 39,9% pada periode
2012-2017.

Sumber: SDKI 2012 dan 2017 (BPS et al 2013, 2018)


40 • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia 2. Analisis Situasi • 41

Gambar 37. Contraceptive Prevalence Rate (CPR), 1987-2017 KB Jangka Panjang (MKJP) masih terus rendah. Popularitas KB Suntik tersebut akan
meningkatkan risiko angka fertilitas yang lebih tinggi dan akan mempengaruhi upaya
peningkatan kualitas kesehatan Ibu. Budiharsana pada tahun 2018 (31) juga mengatakan
bahwa desentralisasi memiliki pengaruh kuat terhadap preferensi terhadap KB Suntik.
Kurangnya pengetahuan tentang manfaat MKJP oleh kepala daerah akan mempengaruhi
kurangnya promosi MKPJP di antara Pasangan Usia Subur (PUS).

Dalam hal kecenderungan peningkatan proporsi penggunaan KB pasca salin pada


perempuan usia 10-54 tahun, data Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa secara nasional
terdapat peningkatan dari 59,6% ke 66%, dengan peningkatan terbesar didapati di provinsi-
provinsi di wilayah Indonesia bagian timur dan tengah.

Gambar 39. Proporsi Penggunaan KB Pasca Salin pada Perempuan Usia 10-54 tahun,
menurut Provinsi, 2018

Sumber: SDKI 1987-2017

Gambar 38. CPR Alat KB Modern di antara Perempuan Menikah Usia 15-49 tahun,
2012-2017

Sumber: Riskesdas 2018

2.3.4. Dewasa Usia Produktif (15 – 64 Tahun)

Penduduk usia produktif memiliki risiko dan kerentanan yang dipengaruhi oleh gaya
hidup dan pola konsumsi yang tidak sehat, juga risiko yang terkait mobilitas yang tinggi
dan lingkungan kerja. Beberapa risiko yang akan dipaparkan di bagian ini adalah (1)
Sumber: SDKI 2012 dan 2017 overweight dan obesitas, (2) prevalensi merokok, (3) kecelakaan kendaraan bermotor, dan
(4) kecelakaan kerja.

Adioetomo et al. tahun 2017 (11) berargumen bahwa stagnasi angka CPR terjadi karena Berat Badan Lebih dan Obesitas (Tujuan 3, indikator 3.4.1c)
desentralisasi bidang KB dari tingkat nasional ke Kabupaten/Kota yang menyebabkan
KB tidak lagi menjadi prioritas di semua wilayah. Selain itu stagnasi tersebut dapat juga Berat badan lebih (overweight) dan obesitas adalah masalah kesehatan yang kini pada
dipengaruhi oleh kejenuhan permintaan pelayanan KB yang diindikasikan oleh preferensi umumnya dihadapi oleh negara-negara maju. Namun kini, seiring dengan peningkatan
terhadap alat KB jenis suntik yang terus menerus. Method mix kontrasepsi modern pendapatan, urbanisasi, dan perubahan gaya hidup, Indonesia turut mengalami masalah
menunjukkan bahwa KB Suntik memiliki persentase tertinggi sementara itu Metode tersebut. Hasil estimasi WHO pada tahun 2016 (32) menunjukkan bahwa Indonesia
42 • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia 2. Analisis Situasi • 43

mengalami peningkatan prevalensi penduduk dewasa yang overweight dan mengalami Gambar 41. Proporsi Berat Badan Lebih dan Obesitas, 2018
obesitas selama tahun 2000-2016 (Gambar 40), dimana penduduk perempuan memiliki
prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki.

Gambar 40. Prevalensi Berat Badan Lebih dan Obesitas Penduduk 18 Tahun ke Atas,
2000-2016

Sumber: Riskesdas (2018)

Gambar 42. Proporsi Obesitas pada Dewasa Umur 18 Tahun ke Atas


menurut Provinsi, 2018

30.2

21.8

10.3

Sumber: Riskesdas (2018)

Data di atas mengonfirmasi temuan lain yang menegaskan peningkatan prevalensi


berat badan lebih dan obesitas di Indonesia. Peningkatan prevalensi tersebut ditemukan
meningkat di antara anak-anak, remaja, dan penduduk dewasa. Di kelompok anak-anak,
prevalensi ditemukan lebih tinggi pada anak laki-laki, namun pada kelompok remaja dan
dewasa, prevalensi berat badan lebih dan obesitas ditemukan lebih tinggi pada wanita.
Beberapa studi menggunakan IFLS mengonfirmasi peningkatan prevalensi berat badan
lebih dan obesitas di Indonesia, khususnya di kalangan perempuan. Dalam kurun waktu 14
tahun (1993-2007), prevalensi berat badan lebih di kalangan perempuan meningkat hampir
dua kali lipat. Beberapa faktor yang terkait dengan peningkatan prevalensi berat badan
lebih bagi perempuan adalah memiliki status telah menikah dan memiliki pendapatan
Sumber: Global Health Observatory Data 2016 (WHO, 2017)
yang lebih tinggi. Prevalensi yang lebih tinggi juga ditemukan pada mereka yang tinggal
di perkotaan dan dengan pendidikan dan pendapatan yang lebih tinggi (33). Perubahan
pola konsumsi makanan dan penurunan aktivitas fisik adalah faktor utama penyebab
Riskesdas 2018 juga menunjukkan bahwa proporsi berat badan lebih dan obesitas di
peningkatan prevalensi berat badan lebih dan obesitas di Indonesia (34). Menurut data
kalangan penduduk dewasa usia 18 tahun ke atas di Indonesia meningkat dari tahun
Kementerian Kesehatan (Gambar 42), prevalensi penduduk dewasa yang mengalami
2007-2018, dengan proporsi obesitas tertinggi didapati di provinsi Sulawesi Utara dan
obesitas tertinggi berada di provinsi DKI Jakarta, sedangkan prevalensi terendah berada
DKI Jakarta.
di provinsi Nusa Tenggara Timur (23).
44 • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia 2. Analisis Situasi • 45

Prevalensi Merokok (SDGs Tujuan 3, indikator 3.a.1) Selain itu, menurut data Riskesdas 2018, secara umum, proporsi konsumsi tembakau
baik hisap maupun kunyah pada penduduk usia 15 tahun ke atas meningkat dari 34,2% di
Pada tahun 2016, World Bank mengestimasi total prevalensi merokok penduduk dewasa tahun 2007 ke 33,8% di tahun 2018.
(15 tahun ke atas) sebesar 39,4% (35). Prevalensi merokok penduduk laki-laki dewasa
mencapai 76% sementara perempuan mencapai 2,8% (Gambar 43). Angka prevalensi
Gambar 45. Proporsi Konsumsi Tembakau Hisap dan Kunyah
tersebut relatif tidak banyak meningkat sejak tahun 2010 baik pada penduduk dewasa
pada Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas, 2018
maupun remaja. Jika dilihat menurut kelompok umur, prevalensi merokok tertinggi
dialami oleh kelompok umur 25-40an, yaitu periode dimana seseorang seharusnya
memiliki tingkat produktivitas terbaiknya (Gambar 43).

Gambar 43. Prevalensi Merokok Penduduk Usia 15+, 2000-2016

Sumber: Riskesdas 2018

Kecelakaan Lalu Lintas (SDGs Tujuan 3, indikator 3.6.1)

Meski jumlah korban sebagai akibat kecelakaan lalu lintas ditemukan tertinggi di kelompok
umur 15-19 tahun, penduduk dewasa usia 25-50an tahun juga masih terpapar untuk
terkena kecelakaan lalu lintas. Gambar 45 menunjukkan jumlah kejadian kecelakaan lalu
Sumber: World Development Indicators (World Bank) lintas yang masih tinggi di Indonesia.

Gambar 44. Prevalensi Merokok Pada Penduduk Umur 15+ Tahun


Gambar 46. Jumlah Kecelakaan Lalu Lintas di Indonesia, 2017-2018
menurut Kelompok Umur, 2016

Sumber: Korlantas Polri (2018)


Sumber: Statistik Kesejahteraan Rakyat 2017 (BPS, 2017)
46 • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia 2. Analisis Situasi • 47

Secara umum, jumlah tertinggi untuk jenis kendaraan yang terlibat dalam kejadian Kecelakaan Kerja (SDGs Tujuan 1, indikator 1.3.1)
kecelakaan adalah sepeda motor (Gambar 47). Selain itu, menurut Riskesdas 2018,
proporsi penduduk yang menggunakan helm saat mengendarai/membonceng sepeda Risiko kecelakaan kerja juga dihadapi oleh penduduk usia produktif. Tercatat angka
motor ditemukan cukup rendah pada penduduk usia produktif (rata-rata kurang dari 20%). kecelakaan kerja di Indonesia meningkat sekitar 20% dari tahun 2016 hingga 2017.
Pada tahun 2017, terdapat 123 ribu kasus kecelakaan kerja dengan nilai klaim sebesar
971 miliar rupiah. Nilai ini meningkat dari kasus tahun 2016 dengan nilai klain 792
Gambar 47. Proporsi Penggunaan Helm Pada Umur 5 Tahun ke Atas Saat Mengendarai/ miliar rupiah5 . Kecelakaan kerja terbesar berasal dari sektor konstruksi dan manufaktur
4

Membonceng Sepeda Motor menurut Kelompok Umur, 2018 (32%), diikuti sektor transportasi (9%), kehutanan (4%) dan pertambangan (2%)6 . 5

2.3.5. Lanjut Usia (65 Tahun ke Atas)

Risiko dan kerentanan terhadap kesehatan dan kesejahteraan juga didapati di kelompok
usia lanjut. Penurunan kemampuan fisik menjadi salah satu sumber risiko seiring
dengan meningkatnya usia seseorang. Setidaknya terdapat dua risiko di tahap ini,
yaitu: (1) Penyakit degeneratif dan (2) Alzheimer.

Penyakit Degeneratif

Sumber: Riskesdas, 2018 Data menunjukkan peningkatan prevalensi penduduk lansia yang terpapar dengan penyakit
degeneratif. Menurut Riskesdas 2018, prevalensi penyakit diabetes melitus berdasarkan
diagnosis dokter pada penduduk umur 15 tahun ke atas meningkat dari 1,5% di tahun 2013
Dengan berkembangnya kesempatan kerja di bidang transportasi berbasis aplikasi daring,
menjadi 2,1% di tahun 2018 (Gambar 49). Prevalensi diabetes melitus menurut provinsi
semakin banyak penduduk usia muda yang bekerja di sektor tersebut dan semakin terpapar
di Indonesia cenderung tinggi di DKI Jakarta, Kalimantan Timur, dan DI Yogyakarta.
dengan kemungkinan untuk mengalami risiko kecelakaan. Data dari Lembaga Demografi
Riskesdas 2018 juga melaporkan bahwa prevalensi hipertensi sedikit menurun dari 9,4%
FEB UI tahun 2017 menunjukkan bahwa sekitar 38% mitra pengemudi transportasi berbasis
di tahun 2013 menjadi 8,4% (Gambar 50).
aplikasi daring berusia 20-30an tahun (36). Dengan masih tingginya risiko terjadinya
kecelakaan lalu lintas sekaligus semakin banyaknya pembangunan infrastruktur jalan,
pemerintah perlu juga meningkatkan komitmennya dalam hal road safety seperti yang
Gambar 49. Prevalensi Diabetes Mellitus berdasarkan Diagnosis Dokter
telah dijelaskan pada bagian sebelumnya.
menurut Provinsi, Tahun 2018

Gambar 48. Jumlah Kecelakaan menurut Jenis Kendaraan,


Triwulan Pertama dan Kedua Tahun 2018

Sumber: Riskesdas 2018 (Kementerian Kesehatan, 2018)

Jumlah Kendaraan

5 https://finance.detik.com/moneter/d-3853101/angka-kecelakaan-kerja-ri-meningkat-ke-123-ribu-kasus-
di-2017
6 https://www.merdeka.com/uang/menguak-fakta-di-balik-banyaknya-kecelakaan-kerja-proyek-kon-
Sumber: Korlantas Polri (2018)
struksi-indonesia.html
48 • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia 2. Analisis Situasi • 49

Gambar 50. Prevalensi Hipertensi berdasarkan Diagnosis Dokter Gambar 52. Prevalensi Penyakit Jantung menurut Diagnosis Dokter pada Penduduk
pada Penduduk Umur 18 Tahun ke Atas, menurut Provinsi, Tahun 2018 Semua Umur menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2018

Sumber: Riskesdas 2018 (Kementerian Kesehatan, 2018) Sumber: Riskesdas 2018(Kementerian Kesehatan, 2018)

Prevalensi penyakit stroke menurut provinsi dan berkisar antara 4,1% hingga 14,7%, Di samping harus mengalami beban penyakit degeneratif, lansia usia 60 tahun ke atas
dengan prevalensi nasional 10,9% (Gambar 51). Sementara itu, prevalensi penyakit memiliki tingkat ketergantungan yang beragam. Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa
jantung menurut diagnosis dokter pada penduduk semua umur adalah 1,5% (Gambar 52). lansia dengan penyakit stroke adalah kelompok lansia terbesar yang memiliki
Provinsi dengan angka prevalensi terbesar adalah Kalimantan Utara dan terendah di Nusa ketergantungan total, dibanding dengan lansia dengan penyakit jantung, diabetes, rematik,
Tenggara Timur. dan cedera.

Gambar 51. Prevalensi Penyakit Stroke (permil) berdasarkan Diagnosis Gambar 53. Proporsi Tingkat Ketergantungan Lansia Usia 60 Tahun ke Atas,
pada Penduduk Umur ≥15 tahun menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2018 menurut Penyakit yang Diderita, 2018

Sumber: Riskesdas 2018

Sumber: Riskesdas 2018 (Kementerian Kesehatan, 2018) Alzheimer

Alzheimer merupakan penyakit neurodegenerative berupa penurunan fungsi kognitif


secara progresif. Menurut Duthey (2013), risiko alzheimer umumnya meningkat di antara
penduduk usia 65 tahun ke atas yang ditandai dengan menurunnya daya ingat, kemampuan
50 • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia 2. Analisis Situasi • 51

berpikir, berbicara serta belajar (37). Selanjutnya ia mengelompokkan penderita menjadi Urbanisasi akan mempengaruhi sistem pelayanan kesehatan. Urbanisasi yang cepat dan
dua, yaitu early onset dimana penderita berusia kurang dari 60 tahun, dan late onset untuk tanpa perencanaan akan memiliki dampak negatif berupa kemiskinan, pemukiman kumuh,
penderita di atas 60 tahun. polusi air dan udara serta permintaan akan sanitasi dan air bersih yang tinggi. WHO
mengestimasi 63 persen dari kematian global dikontribusikan dari efek negatif urbanisasi
Data Global Burden of Diseases dari IHME menunjukkan bahwa terjadi peningkatan tersebut. Di satu sisi, penduduk perkotaan juga terpapar pada gaya hidup kurang sehat
prevalensi Alzheimer dari 939.214,42 menjadi 1.111.081,07 kasus antara tahun 2010 seperti kurang gerak (sedentary behaviour), konsumsi fast food yang meningkatkan risiko
dan 2016 (17). Hasil proyeksi Alzheimer’s Disease International (ADI) pada tahun 2014 obesitas, kanker, diabetes dan penyakit kardiovaskular. Christiani, Byles, Tavener dan
menunjukkan bahwa jumlah penderita Alzheimer mencapai 1,033 juta pada tahun 2015 Dugdale pada tahun 2015 (40) menemukan bahwa perempuan di kota besar di negara
dan akan meningkat menjadi 1,894 juta pada tahun 2030 dan 3,98 juta pada tahun 2050 berkembang terpapar risiko tinggi untuk menderita hipertensi, overweight/obesitas,
(38). ADI memperkirakan bahwa biaya yang menjadi beban negara dan masyarakat di dan merokok. Studi ADB pada tahun 2016 (41) menemukan bahwa tinggal di perkotaan
Indonesia karena penyakit Alzheimer mencapai US$ 1.777 juta pada tahun 2015. meningkatkan risiko kelebihan berat badan (overweight). Di sisi lain, perumahan yang
padat, polusi air dan udara, serta kurangnya sanitasi dan air bersih juga meningkatkan
2.3.6. Cross-cutting Issues risiko penularan penyakit menular seperti Tuberculosis, diare, dan demam berdarah.
Studi Haryanto tahun 2017 menunjukkan bahwa wilayah perkotaan terpapar pada
Urbanisasi morbiditas yang tinggi karena polusi udara yang berasal dari sektor transportasi (42).
Studi Semba et al. (2007) menyebutkan anak yang tinggal di pemukiman kumuh perkotaan
Proses urbanisasi di Indonesia terjadi cukup pesat, dimana pada tahun 2010 jumlah di Indonesia yang membeli air minum eceran memiliki kecenderungan mengalami
penduduk di perkotaan sebesar 118,3 juta jiwa dan meningkat menjadi 135,6 juta jiwa di malnutrisi dan diare (43).
tahun 2015 atau sekitar 53 persen dari total penduduk (6). Angka tersebut mengantarkan
Indonesia menjadi negara dengan populasi penduduk urban tertinggi kedua di Asia Timur Namun urbanisasi yang tinggi dan status kesehatan tidak selalu memiliki hubungan
dan Pasifik (39). Hasil proyeksi BPS menunjukkan persentase penduduk perkotaan akan negatif. Pola scatterplot antara nilai DALYs dan angka urbanisasi menunjukkan hubungan
terus meningkat dan menjadi 60% pada tahun 2025 (1). Provinsi Sulawesi Tenggara, yang negatif, dimana semakin rendah urbanisasi berasosiasi dengan angka DALYs yang
Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Timur (NTT) diproyeksikan akan mengalami tinggi. Selain itu, hasil analisis korelasi sederhana antara nilai DALYs dan angka urbanisasi
pertumbuhan persentase penduduk perkotaan yang cukup tinggi (12%) antara tahun 2020- provinsi menunjukkan hubungan yang kurang erat antara keduanya (-0,328). Sehingga
2025. dapat disimpulkan bahwa untuk kasus Indonesia, tingkat morbiditas dan urbanisasi tidak
terkait cukup erat. Urbanisasi yang tinggi tidak selalu berasosiasi dengan tingkat kesakitan
yang tinggi pula.
Gambar 54. Proyeksi Pertumbuhan Persentase Penduduk Perkotaan tahun 2020-2025
menurut Provinsi
Gambar 55. Korelasi angka DALYs tahun 2017 dan Angka Urbanisasi Provinsi tahun 2015

Sumber: Global Burden of Disease (IHME 2016), Penduduk Hasil Supas 2015 (BPS 2015)

Sumber: Proyeksi Penduduk Hasil SP 2010 (BPS, 2013)


52 • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia 2. Analisis Situasi • 53

Kondisi Lingkungan Gambar 57. Persentase Rumah Tangga di Indonesia yang Memiliki Fasilitas
Tempat Buang Air Besar menurut Tempat Pembuangan Akhir Tinja, 2017
Kondisi lingkungan, khususnya sumber air dan sanitasi merupakan salah satu hal vital
yang memengaruhi kondisi kesehatan. Gambar 56 menunjukkan persentase rumah tangga
menurut sumber air utama yang digunakan untuk minum dan fasilitas tempat membuang
air besar. Berdasarkan data menurut perkotaan dan perdesaan, tingginya konsumsi air
minum di perkotaan yang bersumber dari air kemasan bermerek atau air isi ulang menjadi
indikasi awal perlunya penjagaan kualitas air minum kemasan atau isi ulang. Pengawasan
terhadap unit-unit usaha yang melayani air isi ulang tak berijin perlu ditingkatkan.
Sementara itu, di daerah perdesaan, sumber air minum dari sumur terlindung maupun
tidak terlindung, menjadi sumber air minum tertinggi.

Gambar 56. Persentase Rumah Tangga di Indonesia menurut Sumber Air Utama
yang Digunakan untuk Minum, 2017

Sumber: Statistik Kesejahteraan Rakyat 2017 (BPS, 2017)

Kemiskinan

Kinerja perekonomian Indonesia yang cukup baik membawa dampak pada terjadinya
tren penurunan angka kemiskinan. Persentase penduduk miskin pada tahun 2007 berada
di angka 16,58% dan menjadi 10,12% di tahun 2017 (BPS, 2018). Akan tetapi, angka
kemiskinan tidak diikuti dengan pemerataan yang baik. Ketimpangan masih terjadi yang
ditandai dengan gini ratio yang besar yaitu 0,391 pada 2017 (BPS, 2018).

Kemiskinan mempunyai keterkaitan dengan variabel-variabel demografi.Temuan Arfiyanto


(2015) mengungkapkan bahwa rumah tangga yang memiliki tiga generasi dan jumlah
anggota rumah tangganya lebih dari lima mempunyai peluang miskin mencapai 23,5%.
Sumber: Statistik Kesejahteraan Rakyat 2017 (BPS, 2017) Kemiskinan juga mengurangi akses untuk memperoleh perawatan kesehatan, pemenuhan
kebutuhan gizi, dan tempat tinggal layak yang akhirnya akan menurunkan kualitas hidup
lansia (UNFPA & HelpAge International, 2012). Para lansia juga mempunyai probabilitas
1,2 kali lebih tinggi daripada nonlansia untuk jatuh di bawah garis kemiskinan.

Permintaan Pelayanan Kesehatan

Dari Gambar 58 terlihat adanya peningkatan pemanfaatan fasilitas kesehatan modern yang
diukur dari jumlah penduduk yang melakukan kunjungan ke fasilitas kesehatan modern
untuk berobat jalan menurut kelompok umur. Pola kunjungan tersebut membentuk kurva
“sleeping S” dimana kunjungan tinggi pada usia 0-4 tahun kemudian menurun hingga
20-24 tahun dan meningkat kembali hingga mencapai nilai tertinggi pada usia 45-54
tahun yang mirip (resemble) dengan pola DALYs. Tren menunjukkan adanya peningkatan
jumlah penduduk yang melakukan kunjungan ke fasilitas kesehatan antara tahun 2014 dan
2016. Secara keseluruhan, terdapat peningkatan persentase penduduk yang melakukan
54 • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia

kunjungan untuk berobat jalan ke faskes modern, dari 14,38% pada tahun 2014, 16,8%
3.
pada tahun 2015, dan 16,05% pada tahun 2016.
Proyeksi Penduduk
Kemiripan pola DALYs dan jumlah kunjungan ke faskes modern mengindikasikan bahwa
kelompok umur dengan morbiditas tinggi cenderung memiliki jumlah utilisasi faskes
modern lebih tinggi. Artinya, kebutuhan akan layanan kesehatan yang ditunjukkan oleh dan Beban Penyakit
angka DALYs yang tinggi kurang lebih telah direspon oleh sistem pelayanan kesehatan
dalam bentuk utilitasi/kunjungan ke faskes modern. Namun, hasil scatterplot menunjukkan
bahwa keterkaitan antara DALYs dan utilisasi faskes modern relatif rendah (Gambar 58). tahun 2020-2024
Kesimpulan tersebut diperkuat dengan angka koefisien korelasi pearson yang tidak terlalu
tinggi, yaitu sebesar 0,69 untuk tahun 2014 dan 0,58 pada tahun 2016. Analisis sederhana
tersebut mengindikasikan bahwa sistem pelayanan kesehatan belum merespon
kebutuhan akan layanan kesehatan yang diwakili oleh angka DALYs.

Gambar 58. Pola Utilisasi Fasilitas Kesehatan Modern dan DALYs


Transisi Demografi dan Epidemiologi:
menurut Kelompok Umur, Indonesia 2014 dan 2016
Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N

Gambar 59. Hubungan antara DALYs dan Utilisasi Fasilitas Kesehatan Modern
menurut Kelompok Umur, Indonesia 2014 dan 2016

Sumber: Global Burden of Diseas (IHME) dan Susenas 2014 dan 2016 (diolah)
56 • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia 3. Proyeksi Penduduk dan Beban Penyakit Tahun 2020-2024 • 57

Pada tahun 2020-2024, Indonesia akan memiliki LPP di bawah 1% yang artinya pertumbuhan Tabel 7. Profil Penyakit menurut Kelompok Umur, 2016
penduduk Indonesia akan melambat. Perlambatan tersebut dikontribusikan oleh mulai
menurunnya jumlah penduduk usia 0-14 tahun dengan LPP yang negatif (0,1%) dan menurunnya Kelompok
Tiga Penyakit Utama yang Berkontribusi terhadap DALYs
Umur
LPP usia produktif dari 1,19% tahun 2015-2019 menjadi 0,9% tahun 2020-2024. Sementara itu,
penduduk usia 65 tahun ke atas mengalami peningkatan LPP dari 4,64% menjadi 4,68% pada Enselopati pada neonatus
Neonatus Lahir
0-4 akibat asfiksi dan trauma Kelainan kongenital
periode yang sama. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2020 akan mencapai 269.603.430 Prematur
kelahiran
jiwa dan meningkat menjadi 279.965.172 jiwa pada tahun 2024. Tabel 6 menunjukkan jumlah
5-14 Penyakit kulit Penyalit Infeksi Usus Penyakit diare
penduduk pada setiap kelompok umur di tahapan kehidupan yang menjadi basis dalam
menentukan arah permintaan pelayanan kesehatan. 10-19 Penyakit kulit Kecelakaan Lalulintas Penyakit Infeksi Usus

15-64 PJK Stroke Diabetes mellitus


Perubahan struktur penduduk di masa datang tentunya akan diikuti dengan perubahan profil
60+ PJK Stroke Diabetes mellitus
beban penyakit di masa depan. Dengan faktor-faktor risiko dan kerentanan yang dihadapi
oleh masing-masing kelompok umur tersebut (sebagaimana yang telah dijelaskan di atas), Sumber: Global Burden of Disease (IHME)
profil beban penyakit per kelompok umur pun bisa berubah. Profil beban penyakit menurut
kelompok umur pada tahun 2016 ditampilkan dalam Tabel 7. Secara umum, tiga penyakit Untuk mengetahui seberapa besar perubahan beban penyakit pada tahun 2020-2024, studi ini
utama yang berkontribusi terhadap DALYs menurut kelompok umur terhubung dengan melakukan proyeksi nilai DALYs. Proyeksi tersebut berdasarkan hasil regresi sederhana antara
faktor-faktor risiko yang dipaparkan dalam bagian sebelumnya. Profil penyakit di penduduk DALY setiap jenis penyakit dan jumlah penduduk menurut kelompok umur berdasarkan data
kelompok umur muda (0-4 tahun) menunjukkan kerentanannya terhadap penyakit-penyakit tren tahun 2010 hingga 2016. Jika diasumsikan tidak ada faktor-faktor lain yang memengaruhi
yang terkait dengan kelahiran. Sementara itu, penduduk kelompok umur 5-14 tahun terpapar dan tidak ada perubahan signifikan di sektor kesehatan, profil beban penyakit di Indonesia
dengan penyakit yang terkait kesehatan kulit, penyakit menular seperti diare, dan kecelakaan diproyeksikan tidak banyak mengalami perubahan dibandingkan tahun 2016 (Tabel 8).
lalu lintas yang kemungkinan besar disebabkan oleh tingginya interaksi dan mobilitas di usia Pada tahun 2020, penyakit menular masih berkontribusi pada 20% nilai DALYs, sementara
muda. Sementara itu, profil penyakit di kelompok usia produktif didominasi oleh penyakit- 71% berasal dari penyakit tidak menular. Kontribusi Tuberculosis dan Diare akan menurun
penyakit degeneratif. meskipun nilai DALYs tidak banyak berubah pada periode proyeksi. Cedera/injuries akan terus
menunjukkan persistensi kontribusi terhadap nilai DALYs sebesar 8% antara tahun 2016 dan
Dengan berubahnya struktur umur penduduk, maka beban penyakit di masing-masing 2024. Penyakit cardiovascular terus mengalami peningkatan karena meningkatnya jumlah
kelompok umur akan berubah proposional terhadap perubahan jumlah penduduk pada tahun penduduk lansia yang memang memiliki risiko lebih tinggi dibanding usia lainnya. Depresi
2020-2024. Dengan menurunnya jumlah penduduk usia 0-4 tahun, maka kasus kematian dan serta sakit pinggang bawah dan leher terus menunjukkan persistensi sebagai penyebab DALYs
DALYs karena kasus kelahiran premature dan sejenisnya juga akan menurun. Namun, untuk sebesar 1 persen dan 4 persen pada tahun 2020-2024.
penyakit PTM akan meningkat cukup pesat karena masih besarnya penduduk usia kerja serta
meningkatnya penduduk lansia dengan pertumbuhan yang relatif lebih cepat dibanding
kelompok umur lainnya. Tabel 8. Proyeksi DALYs Indonesia 2020-2024

Penyakit 2016 2020 2024


Tabel 6. Jumlah Penduduk Indonesia menurut Kelompok Umur
Penyakit Menular 24,9 20,4 16,4
Penyakit Tidak Menular 67,1 71,4 75,4
Kelompok 2020 2024
Kecelakaan 8,0 8,1 8,2
Umur Laki-laki Perempuan Total Laki-laki Perempuan Total
Penyakit Jantung 19,0 20,3 21,3
0 2.212 2.159 4.372 2.227 2.173 4.400 Diabetes 7,9 8,9 9,8
1-4 8.889,3 8.691,1 17.580 8.830,1 8.628,2 17.458 Tuberkulosis 4,2 3,5 3,0
PPOK 2,2 2,4 2,5
5-14 22.490,0 21.624,0 44.114 22.317,6 21.585,4 43.903
Diare 2,7 1,9 1,2
15-49 73.450,3 72.120,9 145.571 74.581,8 73.152,6 147.734
Alzheimer 1,0 1,1 1,2
15-64 93.292,9 92.046,9 185.340 96.756,6 95.567,8 192.324 Penyakit Ginjal Kronik 1,7 1,8 1,9
65+ 8.452,6 9.745,1 18.198 10.231,8 11.647,5 21.879 Gangguan Kejiwaan Depresif 1,0 1,0 1,0
Nyeri Pinggang dan Leher 3,9 4,3 4,6
Sumber: BPS, Bappenas dan UNFPA (2018)
Total 72.732.990 71,513,527 70,542,526
Sumber: Global Burden of Disease (IHME), diolah
58 • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia

4.
Implikasi Transisi Demografi
Selain DALYs, proyeksi angka prevalensi (jumlah penduduk menderita suatu penyakit) juga
menunjukkan pola yang sama (Tabel 9). Pertumbuhan penyakit menular (CD) dan juga tidak
menular (NCDs) menurun dan penurunan tersebut melambat pada tahun 2020-2024 meskipun
penurunan CD lebih cepat dibanding NCDs. Sementara itu, prevalensi kecelakaan secara umum
meningkat cukup pesat sebesar 13,8% antara tahun 2017-2020. Hal ini dikontribusikan oleh
dan Epidemiologi terhadap
adanya desakan penduduk usia kerja muda yang memang memiliki risiko tertinggi mengalami
kecelakaan, terutama lalu lintas. Sementara itu, prevalensi penyakit-penyakit tidak menular
Permintaan Pelayanan
Kesehatan
akan terus meningkat dengan pertumbuhan prevalensi diabetes lebih tinggi dibandingkan
penyakit kardiovaskular. Alzheimer juga diperkirakan akan mengalami pertumbuhan prevalensi
yang positif diikuti dengan depresi dan penyakit ginjal kronik (chronic kidney diseases).

Tabel 9. Proyeksi Prevalensi Penyakit Indonesia 2017-2024

Penyakit 2017 2020 2024 Transisi Demografi dan Epidemiologi:


Penyakit Menular 70.585,86 63.381,36 59.109,77

PTM 92.703,83 92.294,65 92.184,46


Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia
Cedera 7.963,02 10.889,65 12.577,91

Penyakit Jantung 5.109,60 5.745,68 6.228,47 K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N


Diabetes 8.131,93 8.711,57 9.490,67

Tuberkolosis 31.177,84 28.453,77 26.688,39

PPOK 2.746,90 2.989,65 3.182,33

Diare 1.126,52 777,18 584,92

Alzheimer 390,75 464,94 517,75

Penyakit Ginjal Kronis 10.549,89 11.660,22 12.549,39

Gangguan Jiwa 2.582,21 2.985,59 3.241,32

Nyeri pinggang dan leher 7.541,21 7.250,56 7.213,54

Total 97.309,71 96.692,35 96.350,71

Sumber: Global Burden of Disease (IHME), diolah


60 • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia 4. Implikasi Transisi Demografi dan Epidemiologi • 61

Transisi demografi yang berdampak pada perubahan struktur umur penduduk dan perubahan • Implikasi dari perubahan struktur umur yang berbeda antarwilayah adalah adanya
pola penyakit akan menentukan permintaan pelayanan kesehatan pada masa mendatang. disparitas bonus demografi di Indonesia. Namun potensi provinsi untuk mengakselerasi
Berikut beberapa implikasi dari perubahan jumlah serta laju pertumbuhan penduduk (LPP) pertumbuhan ekonomi juga sangat tergantung pada kualitas sumber daya manusianya.
dari tiga kelompok besar umur penduduk serta transisi epidemiologi: Dengan menekan laju angka kelahiran, maka beban anggaran untuk pembiayaan
pendidikan dan kesehatan penduduk usia anak dapat dikurangi dan dapat dialokasikan
• Perubahan struktur umur penduduk usia 0-14 tahun berimplikasi pada menurunnya untuk meningkatkan kualitas investasi SDM. Pengendalian angka kelahiran dalam hal
kuantitas permintaan layanan terkait kesehatan ibu dan anak relatif terhadap jenis ini bukan lagi dalam konteks untuk menekan laju pertumbuhan penduduk, namun
permintaan lainnya karena jumlah kelahiran yang menurun, dan peningkatan kuantitas untuk mendapatkan jumlah penduduk yang tumbuh seimbang yang kondusif untuk
permintaan pelayanan kesehatan anak usia sekolah khususnya 5-14 tahun. Meskipun perencanaan pembangunan modal manusia.
menurun, saat ini isu akses dan kualitas layanan kesehatan tersebut masih menjadi
permasalahan yang ditunjukkan dengan masih tingginya AKI dan AKB. Oleh karena • Hal lain yang perlu diperhatikan terkait dengan aspek kewilayahan adalah disparitas
itu, kualitas pelayanan perlu terus ditingkatkan. Fokus pada kelompok usia anak ini TFR. Wilayah dengan TFR rendah tentunya akan mengalami penuaan penduduk lebih
sangat mendasar dalam sistem kesehatan karena investasi kesehatan sejak usia dini cepat dan berpotensi kekurangan penduduk usia kerja yang mampu memberikan
sangat menentukan status kesehatan, kemampuan kognitif serta produktivitasnya pada support baik dalam bentuk transfer material dan non-material kepada penduduk lansia.
masa dewasa. Namun demikian, masih ada banyak tantangan dalam mengoptimalkan Namun, pendekatan kebijakan yang diambil selayaknya tidak saja inward looking atau
investasi SDM penduduk usia anak, antara lain: status gizi buruk anak balita yang cukup terfokus pada kondisi kependudukan di suatu wilayah saja, namun juga melihat interaksi
tinggi, literasi penduduk usia sekolah yang rendah, angka putus sekolah yang persisten spasial dengan wilayah lain. Misalnya, DKI Jakarta memiliki TFR di bawah 1,9 anak per
serta perilaku berisiko di antara remaja yang masih relatif tinggi terutama perilaku perempuan namun supply tenaga kerja di DKI Jakarta berasal dari wilayah peripheral
merokok. Bodetabek yang merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat dan Banten. Interaksi kuat
antara Jakarta dan Bodetabek terlihat dari arus commuting di Jabodetabek yang tinggi.
• Dengan jumlah penduduk usia kerja yang besar, Indonesia menghadapi baik peluang Sehingga Jakarta tidak akan mengalami penyusutan jumlah tenaga kerja dengan angka
maupun tantangan. Di satu sisi, penduduk usia kerja yang besar merupakan sumber TFR yang rendah selama didukung dengan infrastruktur yang mendukung mobilitas
akselerasi pertumbuhan ekonomi apabila penduduk ini produktif secara ekonomi. antarwilayah sekitarnya. Yang perlu menjadi perhatian lebih adalah provinsi atau
Selain itu, besarnya penduduk usia kerja relatif terhadap penduduk usia tidak produktif wilayah yang memiliki daya tarik ekonomi yang rendah, seperti Kabupaten Gunung
(anak dan lansia) merupakan keuntungan bagi jaminan kesehatan dalam hal potensi Kidul. Wilayah tersebut memiliki persentase penduduk usia 60 tahun ke atas 19% yang
pembayaran premi serta support ratio yang relatif tinggi. Namun di sisi lain, bila penduduk hampir mendekati persentase penduduk anak (20%) dengan rasio ketergantungan 68%
usia kerja memiliki skill yang rendah serta status kesehatan rendah yang mengurangi karena migrasi keluar yang cukup besar dari kabupaten tersebut. Pada tahun 2016,
produktivitasnya, maka mereka akan menjadi beban. Sementara itu, tantangan utama angka migrasi netto Kabupaten Gunung Kidul sebesar -1,8%. Bila potensi ekonomi
untuk penduduk usia kerja adalah masih rendahnya pendidikan serta skill tenaga kerja tidak digali, maka kabupaten tersebut akan terus ditinggalkan penduduk usia produktif
Indonesia serta beban penyakit yang cukup besar diderita oleh kelompok usia tersebut, dan menyisakan penduduk non-produktif. Perlu dipastikan bahwa transfer/remittance
terutama Penyakit Tidak Menular (PTM). Hal tersebut menyebabkan mutu modal dari migran keluar ke keluarga yang ditinggalkan tetap terjadi agar mengurangi beban
manusia Indonesia menjadi tidak optimal untuk mencapai bonus demografi. Selain pemerintah daerah untuk membiayai penduduk non-produktif.
peningkatan kompetensi dan skill, kegiatan promosi kesehatan dan preventif penyakit
perlu kembali digerakkan untuk meningkatkan produktivitas kelompok usia tersebut. • Investasi kesehatan yang bermula dari 1.000 hari pertama kehidupan, usia dini, anak-
anak, remaja, dewasa, hingga lansia sangat diperlukan. Dengan berbagai risiko dan
• Perubahan struktur umur penduduk juga menghasilkan peningkatan jumlah penduduk tingkat kerentanan di setiap kelompok umur, jenis kelamin, dan wilayah; tantangan
lansia. Penduduk lansia meningkat cukup pesat karena desakan baby boomer yang untuk meraih bonus demografi juga beragam. Sebagai contoh, kelompok penduduk
menua dan kohor penduduk usia kerja saat ini yang besar jumlahnya, yang akan anak-anak adalah kelompok yang terpapar dengan penyakit menular seperti diare.
segera memasuki masa pensiun. Peningkatan tersebut perlu diantisipasi dengan Sementara itu, penduduk usia kerja berisiko terkena penyakit tidak menular seperti
melakukan kegiatan promosi kesehatan dan preventif sejak saat ini untuk mengurangi stroke dan diabetes sebagai akibat dari perubahan gaya hidup. Penduduk lansia,
morbiditas serta disabilitas ketika masuk masa lanjut usia. Selain itu, saat ini perlu memiliki risiko terpapar lebih banyak penyakit baik degeneratif maupun tidak.
diformulasikan sistem akumulasi atau investasi individual yang bermanfaat sebagai
sumber pembiayaan kesehatan pada masa lansia. Pembiayaan kesehatan yang bersifat Tabel berikut merangkum beberapa poin arah kebijakan dapat dirumuskan untuk merespon
pay-as-you go juga diperlukan untuk mengurangi biaya out-of-pocket ketika mengalami perubahan demografi dan epidemiologi pada periode tahun 2020-2024:
kesakitan dan disabilitas pada lanjut usia. Selain itu, mutu SDM yang rendah penduduk
usia anak dan usia kerja saat ini akan meningkatkan kerentanan penduduk lansia di
masa depan berupa disabilitas akibat penyakit serta kemampuan ekonomi yang rendah
dari penduduk ketika memasuki usia lansia.
Tabel 10. Arah Kebijakan dalam Merespons Perubahan Demografi dan Epidemiologi Tahun 2020-2024

Demografi 2020
Tahapan Epidemiologi 2020 Permintaan Pelayanan Kesehatan & SDM
(Proyeksi SP 2015)

• Pemerataan akses dan kualitas yankes dan nakes ANC,


• Kelainan neonatus
Bayi/Balita Jumlah: 23,475 juta persalinan dan postnatal care
• Infeksi Saluran Napas Bawah
(0-4 tahun) # kelahiran 2020: 4,3 juta • Ketersediaan obat dan alat kesehatan esensial
• Diare
• Pemerataan sanitasi dan air minum bersih

• Penyakit Kulit • Komitmen untuk KesPro remaja


Anak dan remaja Jumlah: 47,234 juta • Infeksi Usus • KIE KesPro dan KB remaja
(5-14 tahun) • Diare • KIE dan penegakan hukum terkait keselamatan berlalu-
• Kecelakaan Lalu-lintas lintas

• Pemerataan akses dan kualitas yankes dan nakes ANC,


Transisi masa dewasa –
• Kematian Ibu persalinan dan postnatal care.
berkeluarga/
Jumlah: 71,6 juta • Komplikasi kehamilan dan • Ketersediaan obat dan alat esensial
memiliki anak
kelahiran • Peninjauan ulang sistem rujukan untuk komplikasi
(perempuan 15-49 thn)
kelahiran

• Promosi gaya hidup sehat (makanan sehat, berhenti


• Penyakit Jantung Koroner
merokok, menjaga postur)
Usia produktif • Diabetes Mellitus
Jumlah: 183,5 juta • Peningkatan kebutuhan spesialis
(15-64 tahun) • Nyeri Pinggang dan Leher
• KIE dan penegakan hukum terkait keselematan berlalu-
• Kecelakaan Lalu-lintas
lintas
62 • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia

• Penyakit Jantung Koroner • Layanan khusus usia lanjut (daycare + yankes)


Lanjut Usia
Jumlah: 16,8 juta • Diabetes Melitus • Spesialis Geriatri/nakes untuk usia lanjut, terutama
(65+ tahun)
• Alzheimer penangangan Alzheimer
4. Implikasi Transisi Demografi dan Epidemiologi • 63
64 • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia Kajian Sektor Kesehatan • 65

REFERENSI

1. BPS, Bappenas, UNFPA. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035. Jakarta; 2013. 16. World Health Organization (WHO). Global Health Estimates 2016: Deaths by Cause, Age,
Sex, by Country and by Region, 2000-2016. 2018.
2. BPS, Bappenas, UNFPA. Proyeksi Penduduk Indonesia Hasil SUPAS 2015. Jakarta; 2018.
17. IHME. Global Health Data Exhange (GHDx) [Internet]. Global Burden of Disease Study.
3. BPS. Sensus Penduduk 1971. Jakarta; 1971. 2016 [cited 2018 Aug 20]. Available from: http://ghdx.healthdata.org/

4. BPS, BKKBN, Kementerian Kesehatan, ICF International. Indonesia Demographic and 18. Ehrlich GE. Low back pain. Bull World Health Organ. 2003;81(9):671–6.
Health Survey 2012 [Internet]. Demographic and Health Survey. Jakarta; 2013. Available
from: http://www.dhsprogram.com 19. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
2013. Lap Nas 2013. 2013;1–384.
5. BPS. Sensus Penduduk 2010. Jakarta; 2010.
20. Kakuma R, Minas H, Van Ginneken N, Dal Poz MR, Desiraju K, Morris JE, et al. Human
6. BPS. Penduduk Indonesia Hasil SUPAS 2015. Jakarta; 2015. resources for mental health care: Current situation and strategies for action. Lancet.
2011;378(9803):1654–63.
7. BPS, BKKN, Kementerian Kesehatan, ICF International. Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia 2017: Laporan Pendahuluan Indikator Utama. Jakarta; 2017. 21. BPS. Statistik Kesejahteraan Rakyat 2017. Jakarta; 2017.

8. Statistics Indonesia (Badan Pusat Statistik-BPS), Macro International. Indonesia 22. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia. Profil Kesehatan
Demographic and Health Survey 2007. Calverton: BPS and Macro International; 2008. Provinsi Bali. 2016. 1-220 p.

9. Adioetomo SM, Burhan L, Yunus N. 100 Tahun Demografi Indonesia: Mengubah Nasib 23. Kementerian Kesehatan. Hasil Pemantauan Status Gizi (Psg) Tahun 2016. Jakarta; 2018.
menjadi Harapan. Jakarta: Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia;
2009. 24. Adioetomo S. Seribu hari pertama kehidupan: Awal pembangunan keterampilan kognitif.
In: Adioetomo S, Pardede E, editors. Memetik Bonus Demografi: Membangun Manusia
10. Adioetomo SM. Reshaping population. In: Hull TH, editor. People, Population, and Policy Sejak Dini. Jakarta: Rajawali Grafindo; 2017.
in Indonesia. Jakarta: Equinox Publishing (Asia) Pte. Ltd. ; 2005. p. 125–68.
25. TNP2K. 100 Kabupaten/Kota Prioritas untuk Intervensi Anak Kerdil (Stunting). Jakarta;
11. Adioetomo SM. Bonus demografi dan jendela peluang meletakkan dasar pembangunan 2017.
manusia. In: Adioetomo SM, Pardede E, editors. Memetik Bonus Demografi: Membangun
Manusia Sejak Dini. Jakarta: Rajawali Grafindo; 2017. p. 23. 26. Dartanto T, Moeis F, Nurhasana R, Satriya A, Thabrany H. Perilaku Merokok Orang Tua dan
Dampaknya terhadap Stunting, Kecerdasan dan Kemiskinan: Bukti Empiris dari Data Panel
12. Direktorat Perencanaan Kependudukan dan Perlindungan Sosial - Bappenas. Background IFLS. Jakarta; 2018.
Study RPJMN Bidang Kependudukan: Struktur Umur Penduduk dan Bonus Demografi.
2018. 27. Indonesia KLLKR. Statistik Kecelakaan 2018 [Internet]. [cited 2018 Sep 5]. Available from:
http://korlantas.polri.go.id/en/statistik-2/
13. Lee R, Mason A. What Is the Demographic Dividend? Financ Dev [Internet]. 2006;43(3).
Available from: https://www.imf.org/external/pubs/ft/fandd/2006/09/basics.htm 28. BPS. Profil Penduduk Indonesia Hasil SUPAS 2015. Jakarta; 2016.

14. Prskawetz A, Sambt J. Economic support ratios and the demographic dividend in Europe. 29. BPS. Perkawinan Usia Anak di Indonesia. Jakarta; 2017.
Demogr Res. 2014;30(1):963–1010.
30. Bappenas, UNICEF. The cost of inaction: Child and adolescent marriage in Indonesia. In:
15. Mboi N, Murty Surbakti I, Trihandini I, Elyazar I, Houston Smith K, Bahjuri Ali P, et al. On the ISPCAN 2016. 2014.
road to universal health care in Indonesia, 1990–2016: a systematic analysis for the Global
Burden of Disease Study 2016. Lancet [Internet]. The Author(s). Published by Elsevier Ltd. 31. Budiharsana MP. Neglected Reproductive Health Issues (unpublished report). 2018.
This is an Open Access article under the CC BY 4.0 license; 2018;6736(18):1–11. Available
from: www.thelancet.com 32. WHO. Global Health Observatory Data. 2017.
66 • Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia

33. Rachmi CN, Li M, Alison Baur L. Overweight and obesity in Indonesia: prevalence and risk
factors—a literature review. Public Health. 2017;147:20–9.

34. Roemling C, Qaim M. Obesity trends and determinants in Indonesia. Appetite.


2012;58(3):1005–13.

35. World Bank. World Development Indicators [Internet]. 2017. Available from: https://data.
worldbank.org/data-catalog/world-development-indicators

36. Demografi L. RINGKASAN HASIL SURVEI DAMPAK GO-JEK TERHADAP PEREKONOMIAN


INDONESIA. 2017;1–11.

37. Duthey B. Background Paper 6.11 Alzheimer Disease and other Dementias, Update on
2004. World Heal Organ. 2013;(February):1–77.

38. Alzheimer’s Disease International. Dementia in the Asia Pacific Region. 2014.

39. United Nations. World Urbanization Prospects: The 2018 Revision. New York; 2018.

40. Christiani Y, Byles JE, Tavener M, Dugdale P. Do women in major cities experience
better health? A comparison of chronic conditions and their risk factors between
women living in major cities and other cities in Indonesia. Glob Heal Action
[Internet]. 2015;8:28540. Available from: http://ovidsp.ovid.com/ovidweb.
cgi?T=JS&CSC=Y&NEWS=N&PAGE=fulltext&D=prem&AN=26689455.http://sfx.
scholarsportal.info/uhn?sid=OVID:medline&id=pmid:26689455&id=doi:10.3402/gha.
v8.28540&issn=1654-9880&isbn=&volume=8&issue=&spage=28540&pages=28540&da
te=2015

41. Toshi A, Helble M. Socioeconomic inequity in excessive weight in Indonesia. ADBI Work
Pap Ser. 2016;(572):1–23.

42. Haryanto B. Climate Change and Air Pollution. 2018;(January). Available from: http://link.
springer.com/10.1007/978-3-319-61346-8

43. Semba RD, de Pee S, Kraemer K, Sun K,Thorne-Lyman A, Moench-Pfanner R, et al. Purchase
of drinking water is associated with increased child morbidity and mortality among urban
slum-dwelling families in Indonesia. Int J Hyg Environ Health [Internet]. Urban & Fischer;
2009 Jul 1 [cited 2018 Sep 30];212(4):387–97. Available from: https://www.sciencedirect.
com/science/article/pii/S1438463908000771
Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat
Kedeputian Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan
Kementerian PPN/Bappenas
Jalan Taman Suropati No. 2, Jakarta Pusat, 10310
Telp: (021) 31934379, Fax: (021) 3926603
Email: kgm@bappenas.go.id

Anda mungkin juga menyukai