Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH BIOTEKNOLOGI

“BIDANG PETERNAKAN”

“Dosen Pengampuh “
Dr. Emma M. Moko STP,M.SI

DISUSUN OLEH:
Kelompok 6

Lidia Yohana Momongan (19507060)


Frankclin Josua Larono (19507021)
Fidy Mokosuli (18507083)

PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MANADO

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena bertkat
pertolongannya sehingga kami masih diberikan kesehatan maupun kesempatan sehingga untuk
dapat menyelesaikan makalah ini, walaupun banyak halangan dan rintangan yang kami hadapi.
Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas Mata kuliah Bioteknologi.
Makalah ini membahas mengenai Bioteknologi dibidang peternakan. dalam
penyusunannya Kami sangat menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan baik dari segi
materi kajian, pendekatan maupun cara lainannya, untuk itu kritik dan saran sangat kami
harapkan dari pembaca, agar kedepannya kami dapat membuat makalah sebaik mungkin.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi teman-teman pembaca dan juga tentunya bermanfaat
bagi kami sendiri.

Tondano, 20 Oktober 2021

Kelompok 6

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................................1
BAB 1.............................................................................................................................................3
PENDAHULUAN..........................................................................................................................3
3.1 Latar Belakang................................................................................................................3
3.2 Rumusan Masalah...........................................................................................................3
3.3 Tujuan.............................................................................................................................3
BAB 2.............................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.............................................................................................................................5
3.4 Pengertian Bioteknologi..................................................................................................5
3.5 Penerapan Bioteknologi di Bidang Peternakan...............................................................5
3.6 Keuntungan Bioteknologi di Bidang Peternakan Secara Umum...................................16
3.7 Dampak Negatif Bioteknologi di Bidang Peternakan....................................................16
BAB 3...........................................................................................................................................21
PENUTUP....................................................................................................................................21
3.8 Kesimpulan...............................................................................................................21
3.9 Saran.............................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................22

3
BAB 1
PENDAHULUAN

3.1 Latar Belakang


Selama beberapa tahun belakangan ini, kita melihat begitu pesat perkembangan
bioteknologi di berbagai bidang. Pesatnya perkembangan bioteknologi ini sejalan dengan
tingkat kemajuan IPTEK dan kebutuhan manusia dikehidupan sehari-hari. Hal ini dapat
dipahami mengingat bioteknologi menjanjikan suatu revolusi pada hampir semua aspek
kehidupan manusia, mulai dari bidang pertanian, peternakan, dan perikanan hingga
kesehatan dan pengobatan. Bioteknologi dikembangkan untuk meningkatkan nilai bahan
mentah dengan memanfaatkan kemampuan mikroorganisme atau bagian-bagiannya,
misal bakteri dan kapang. Selain itu, bioteknologi juga memanfaatkan sel tumbuhan dan
sel hewan yang dibiakkan sebagai konstituen berniaga proses industri. Penerapan
bioteknologi pada umumnya mencakup produksi sel atau biomassa dan perubahan
(transformasi) kimia yang diinginkan.
Bioteknologi peternakan yang ada saat ini merupakan efek dari kemajuan ilmu
pengetahuan yang ada. Banyak hal yang membuat bioteknologi lahir, diantaranya adalah
semakin besar tuntutan untuk mencapai target yang diinginkan dengan proses yang lebih
cepat dan terobosan yang inovatif yang bisa menguntungkan bagi umat manusia.
Bioteknologi juga memiliki peran penting dalam ilmu pengetahuan dewsa ini,
bioteknologi sendiri mengalami berbagai pembaruan dari bioteknologi yang bersifat
tradisional kearah bioteknologi yang modern.

3.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja aplikasi/penerapan bioteknologi di bidang peternakan?
2. Bagaimana proses penerapan bioteknologi di bidang peternakan?
3. Bagaimana keuntungan Bioteknologi di bidang peternakan secara umum?
4. Bagaimana dampak negatif bioteknologi di bidang peternakan?

4
3.3 Tujuan
5. Mengetahui aplikasi/penerapan bioteknologi di bidang peternakan.

5
6. Mengetahui bagaimana proses penerapan bioteknologi di bidang
peternakan.
7. Mengetahui keuntungan Bioteknologi di bidang peternakan secara
umum.
8. Mengetahui dampak negatif bioteknologi di bidang peternakan.
BAB 2
PEMBAHASAN

3.4 Pengertian Bioteknologi

Bioteknologi dari asal katanya sendiri, yaitu bio artinya hidup atau organisme
hidup dan kata teknologi artinya suatu cara atau teknik. Kata bioteknologi mulai
muncul pada tahun 1917 dari seorang ilmuan asal Hungaria yang bernama Karl
Ereky untuk menjelaskan penggunaan gula bit hasil fermentasi sebagai pakan
ternak babi. Pemberian gula bit dapat meningkatkan produksi ternak babi. Cara
ini, disebut bioteknologi karena menggunakan gula bit dari hasil fermentasi.
Namun pada saat itu, orang belum tertarik untuk memahami istilah bioteknologi
(Fahruddin, 2010: 13).
Baru pada tahun 1961 Carl Goran Heden ahli mikrobiologi menerbitkan jurnal
ilmiah Biotechnology and Bioengineering, banyak mempublikasikan hasil-hasil
penelitiannya dalam jurnal tersebut yaitu mengenai pemanfaatan jasad hidup
dalam mengahasilkan berbagai bahan untuk kebutuhan manusia, kemudian
muncul definisi bioteknologi yang diartikan sebagai pemanfaatan jazad hidup
dalam industri untuk menghasilkan barang dan jasa (Fahruddin, 2010: 13).
Bioteknologi berasal dari kata latin yaitu bio (hidup), teknos (teknologi =
penerapan) dan logos (ilmu). Bioteknologi adalah suatu teknik modern untuk
mengubah bahan mentah melalui transformasi biologi sehingga menjadi produk
yang berguna. Supriatna (1992) memberi batasan tentang arti bioteknologi secara
lengkap, yakni: pemanfaatan prinsip-prinsip ilmiah dan kerekayasaan terhadap
organisme, system atau proses biologis untuk menghasilkan dan atau
meningkatkan potensi organisme maupun menghasilkan produk dan jasa bagi
kepentingan hidup manusia.
Bioteknologi dibagi ke dalam 2 bagian, yaitu bioteknologi modern dan
bioteknologi konvensional. Salah satu contoh dari bioeknologi konvensional
adalah pembuatan tape ini. Dan salah satu contoh dari bioteknologi modern adalah
rekayasa genetika.
3.5 Penerapan Bioteknologi di Bidang Peternakan
Penggunaan bioteknologi guna meningkatkan produksi peternakan meliputi:
a. Teknologi produksi, seperti inseminasi buatan, embrio transfer, kriopreservasi
embrio, fertilisasi in vitro, sexing sperma maupun embrio, cloning dan
spliting.
b. Rekayasa genetika, seperti genome maps, masker asisted selection, transgenik,
identifikasi genetik, konservasi molekuler.
c. Peningkatan efisiensi dan kualitas pakan, seperti manipulasi mikroba rumen.
d. Bioteknologi yang berkaitan dengan bidang veteriner.

Teknologi reproduksi yang telah banyak dikembangkan adalah sebagai


berikut:
a. Transfer embrio berupa teknik Multiple Ovulation and Embrio Transfer
(MOET). Teknik ini telah diaplikasikan secara luas di Eropa, Jepang, Amerika
dan Australia dalam dua dasawarsa terakhir untuk menghasilkan anak
(embrio) yang banyak dalam satu kali siklus reproduksi.
b. Cloning telah dimulai sejak 1980an pada domba. Saat ini pembelahan embrio
secara fisik (spliting) mampu menghasilkan kembar identik pada domba, sapi,
babi dan kuda.
c. Produksi embrio secara in vitro; teknologi In vitro Maturation (IVM), In Vitro
Fertilisation (IVF), In Vitro Culture (IVC), telah berkembang dengan pesat.
Kelinci, mencit, manusia, sapi, babi dan domba telah berhasil dilahirkan
melalui fertilisasi in vitro.
Di Indonesia, transfer embrio mulai dilakukan pada tahun 1987. Dengan
teknik ini seekor sapi betina, mampu menghasilkan 20-30 ekor anak sapi (pedet)
pertahun. Penelitian terakhir membuktikan bahwa, menciptakan jenis ternak
unggul sudah bukan masalah lagi. Dengan teknologi transgenik, yakni dengan
jalan mengisolasi gen unggul, memanipulasi, dan kemudian memindahkan gen
tersebut dari satu organisme ke organisme lain maka ternak unggul yang
diinginkan dapat diperoleh. Babi transgenik, di Princeton Amerika Serikat kini
sudah berhasil memproduksi hemoglobin manusia sebanyak 10-15 % dari total
hemoglobin manusia, bahkan laporan terakhir mencatat adanya peningkatan
persentasi hemoglobin manusia yang dapat dihasilkan oleh babi transgenik ini.
Dalam bidang peternakan, bioteknologi dimanfaatkan untuk menghasilkan
vaksin, antibodi, pakan bergizi tinggi, dan hormon pertumbuhan. Contoh vaksin
untuk ternak yaitu vaksin untuk penyakit mulut dan kuku pada mamalia, vaksin
NCD untuk mengobati penyakit tetelo pada unggas, dan vaksin untuk penyakit flu
burung.
Hormon pertumbuhan diberikan pada ternak untuk meningkatkan produksi
daging, susu, atau telur. Contohnya adalah pemberian Bovine Growth Hormone
pada sapi perah dapat meningkatkan produksi susu dan daging hingga 20%.
Namun penggunaan hormon untuk memacu produksi pada ternak masih
diperdebatkan karena berpotensi meningkatkan penyakit masitis pada ternak dan
membahayakan kesehatan manusia (Sutarno, 2000).
Penerapan prinsip bioteknologi dalam bidang peternakan antara lain sebagai
berikut:
1. Teknologi Transplantasi Nukleus
Teknologi ini lebih dikenal dengan teknologi kloning yaitu teknologi yang
digunakan untuk menghasilkan individu duplikasi (mirip dengan induknya).
Teknologi kloning telah berhasil dilakukan pada beberapa jenis hewan. Salah
satunya adalah pengkloningan domba yang dikenal dengan domba Dolly. Melalui
kloning hewan, beberapa organ manusia untuk keperluan transplantasi
penyembuhan suatu penyakit berhasil dibentuk. Tahapan teknologi kloning
adalah;
a. Isolasi nukleus (inti sel) dari hewan donor: Nukleus diisolasi dari sel putting
susu domba dewasa dengan menggunakan teknik khusus sehingga dapat
dikeluarkan dari membrane sel.
b. Isolasi sel telur: Sel telur yang belum dibuahi diperoleh dari domba lain.
Dibutuhkan banyak sel telur dalam teknologi ini karena banyak sel telur yang
tidak mampu bertahan dalam tahapan pengkloningan lebih lanjut.
c. Pengambilan nukleus dari sel telur
d. Penggabungan nukleus dengan sel telur: Nukleus yang telah diisolasi dari sel
domba dewasa digabungkan ke dalam sel domba lain yang telah dihilangkan
nukleusnya. Secara genetic sel domba yang menerima nukleus identik dengan
domba pendonor.
e. Pemasukan sel telur kedalam rahim: Sel telur dimasukkan ke dalam rahim
domba betina yang lain. Hanya sedikit sel telur yang mampu bertahan dan
berkembang di dalam rahim. Sel telur yang mampu bertahan akan
berkembang menjadi embrio dan selanjutnya akan dihasilkan anak domba
yang mirip dengan domba pendonor nucleus (Rachmawati, 2009).
Kloning atau transplantasi atau pencangkokan nukleus digunakan untuk
menghasilkan individu yang secara genetic identik dengan induknya. Proses
kloning dilakukan dengan cara memasukkan inti sel donor ke dalam sel telur yan
telah dihilangkan inti selnya. Selanjutnya, sel telur tersebut diberi kejutan listrik
atau zat kimia untuk memacu pembelahan sel. Ketika klon embrio telah mencapai

tahap yang sesuai, embrio dimasukkan ke dalam rahim hewan betina lainnya yang
sejenis. Hewan tersebut selanjunya akan mengandung embrio yang ditanam dan
melahirkan anak hasil kloning. Contoh hewan hasil kloning adalah domba Dolly
(Kusumawati, 2012: 174).
2. Teknik Inseminasi Buatan
Teknik ini dikenal dengan nama kawin suntik, adalah suatu cara atau teknik
untuk memasukkan sperma yang telah dicairkan dan diproses terlebih dahulu yang
berasal dari ternak jantan ke dalam saluran alat kelamin betina dengan
menggunakan metode dan alat khusus yang disebut “ insemination gun”.
Teknik inseminasi buatan memiliki beberapa tujuan, yaitu:
a. Memperbaiki mutu genetika ternak.
b. Mengoptimalkan penggunaan bibit pejantan unggul secara lebih luas dalam
jangka waktu yang lebih lama.
c. Meningkatkan angka kelahiran dengan cepat dan teratur.
d. Mencegah penularan dan penyebaran penyakit kelamin.

Penerapan IB pada ternak ditentukan oleh empat faktor utama, yaitu:


 Semen beku
Permasalahan utama pada semen yang dibekukan adalah adanya pengaruh
kejutan dingin (cold shock) terhadap sel yang dibekukan dan perubahan-
perubahan intraseluler akibat pengeluaran air yang bertalian dengan pembentukan
kristal-kristal es. Kristal-kristal es yang terbentuk akan merusak sel spermatozoa
secara mekanik, permeabilitas membran sel berubah dan pada saat proses thawing
(pencairan kembali semen) menyebabkan spermatozoa mati. Untuk menghindari
hal tersebut maka proses penanganan semen selama pembekuan harus menjadi
perhatian utama, diantaranya penambahan kriprotektan (seperti gliserol) ke dalam
pengencer untuk meminimalkan pembentukan kristal-kristal es, pengaturan waktu
ekuilibrasi, penyimpanan semen dalam kontainer (berisi N2 cair) dan tidak boleh
dipindah-pindahkan atau dikeluarkan lewat mulut kontainer, serta ketepatan
waktu, dan suhu thawing. Salah satu penyebab tingginya kematian spermatozoa
setelah thawing adalah terjadinya perubahan suhu semen beku dalam kontainer
akibat manipulasi semen beku di dalam kontainer N2 cair tidak benar. Standar
minimal kualitas semen beku ditinjau dari motilitas spermatozoa untuk digunakan
dalam program IB adalah 40 %.
 Ternak betina sebagai akseptor IB
Betina sebagai akseptor IB harus sehat organ dan saluran reproduksinya atau
dengan kata lain tidak terjadi gangguan pada organ dan saluran reproduksi, karena
bila terjadi gangguan akan menyebabkan terjadinya kegagalan proses pembuahan.
Pengaruh yang ditimbulkan apabila terjadi gangguan reproduksi pada ternak
betina adalah tanda-tanda fisiologis yang menunjukkan bahwa ternak tersebut
berahi tidak nampak, dalam pengertian pengeluaran lendir melalui vulva, vulva
bengkak, dan vulva berwarna merah tidak nampak.
 Keterampilan tenaga pelaksana (inseminator)
Keterampilan teknisi berkaitan erat dengan kemampuan inseminator untuk
melakukan inseminasi dengan tepat sasaran dan waktu, dan ini berkaitan erat pula
dengan tingkat pengetahuan zooteknis peternak.

 Pengetahuan zooteknis peternak


Peternak harus mampu pula mendeteksi berahi pada ternak betina, apakah
berahi atau tidak dan melaporkan kejadian berahi dengan tepat waktu kepada
inseminator.
Keempat faktor ini berhubungan satu dengan yang lain dan bila salah satu
nilainya rendah menyebabkan hasil IB juga akan rendah, dalam pengertian
efisiensi produksi dan reproduksi tidak optimal. Apabila semua faktor di atas
diperhatikan diharapkan bahwa hasil IB akan lebih tinggi atau hasilnya lebih baik
dibandingkan dengan perkawinan alam. Hal ini berarti dengan tingginya hasil IB
diharapkan efisiensi produktivitas akan tinggi pula, yang ditandai dengan
meningkatnya populasi ternak dan disertai dengan terjadinya perbaikan kualitas
genetik ternak, karena semen yang dipakai berasal dari pejantan unggul yang
terseleksi.
Prosedur yangdilakukan dalam tekni IB adalah :
1. Teknik IUI (Intrauterine Insemination)
Teknik IUI dilakukan dengan cara sperma diinjeksikan melalui leher rahim
hingga ke lubang uterine (rahim).
2. Teknik DIPI (Direct Intraperitoneal Insemination)
Teknik DIPI telah dilakukan sejak awal tahun 1986. Teknik DIPI dilakukan
dengan cara sperma diinjeksikan langsung ke peritoneal (rongga peritoneum).
Teknik IUI dan DIPI dilakukan dengan menggunakan alat yang
disebut bivalve speculum, yaitu suatu alat yang berbentuk seperti selang dan
mempunyai 2 cabang, dimana salah satu ujungnya sebagai tempat untuk
memasukkan/menyalurkan sperma dan ujung yang lain dimasukkan ke dalam
saluran leher rahim untuk teknik IUI, sedangkan untuk teknik DIPI dimasukkan
kedalam peritoneal. Jumlah sperma yang disalurkan/diinjeksikan kurang lebih
sebanyak 0,5–2 ml. Setelah inseminasi selesai dilakukan, orang yang
mendapatkan perlakuan inseminasi tersebut harus dalam posisi terlentang selama
10–15 menit.

Manfaat penerapan IB pada ternak adalah sebagai berikut:


a. Bibit ternak yang baik selalu tersedia dan mudah diperoleh. Dengan IB,
pejantan bergenetik unggul telah terbukti kebaikannya dan bisa disediakan
untuk hampir semua peternak.
b. Mengurangi terjadinya bahaya, pekerjaan, dan biaya perawatan. Dalam IB,
jumlah pejantan yang dipelihara semakin sedikit sehingga mengurangi biaya
perawatan.
c. Hasil persilangan (cross-breeding) yang tidak disukai dapat dihindarkan.
d. Sangat berguna untuk digunakan pada betina-betina yang berada dalam
keadaan estrus dan berovulasi tetapi tidak mau berdiri untuk dinaiki pejantan.
e. Dapat menghindari penyakit yang bersifat venereal. Penyakit-penyakit
venereal seperti vibrosis dan trichomoniasis yang dapat menyebar dari ternak
betina satu ke ternak betina yang lain pada waktu perkawinan alam dapat
dihindarkan melalui IB.
f. Dapat memanfaatkan ternak jantan yang invalid, lumpuh, patah kaki, dan
sebagainya yang tidak dapat mengawini betina secara alamiah melalui proses
penampungan semennya.
g. Memperbaiki tingkat dan efisiensi seleksi genetik dan meningkatkan
performans produksi ternak.
h. Adanya IB akan memberikan kemungkinan kesuburan (fertilitas) ternak
karena semen diolah dengan baik dan diinseminasikan dengan tepat waktu,
serta dapat memberikan gambaran tentang kondisi peternakan di suatu daerah.
i. Memungkinkan bertemunya suatu pasangan ternak yang tidak serasi, misalnya
pejantan yang besar dengan ternak betina yang kecil atau sebaliknya. Bila
ternak-ternak tersebut kawin secara alamiah, maka akan sangat sulit tercapai
dan bisa menimbulkan keadaan fatal berupa luka-luka atau patah tulang
(Hafez, 1993).
Penerapan IB ini sudah hampir lima puluh tahun, namun tetap saja masih
menimbulkan pro dan kontra di masyarakat (petani/peternak) sebagai
penggunanya karena hasil dari penerapan teknologi ini berfluktuasi dari tahun ke
tahun. Penerapan IB berhubungan erat dengan aspek kesehatan dan penyelamatan
dari kepunahan ternak asli (animal welfare). Problem utama dalam sistem animal
welfare dalam kaitannya dengan penerapan teknologi adalah efisiensi produksi.
Problem ini berkaitan erat pula dengan beberapa faktor, diantaranya (1) ekspresi
gen (pertumbuhan yang cepat atau produksi susu tinggi), (2) teknik perkawinan,
dan (3) mutasi gen (Toelihere, 1985).
Disamping itu hasil IB masih sangat bervariasi, dan hal ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu:
a) Jumlah spermatozoa yang diinseminasikan.
b) Kualitas spermatozoa.
c) Pejantan yang digunakan.
d) Estrus alamiah atau dengan sinkronisasi estrus.
e) Letak semen dideposisikan.
f) Jarak antara kelahiran terakhir dengan inseminasi.
g) Umur dari induk yang diinseminasi.
h) Waktu inseminasi.
i) Faktor pakan, temperatur, dan tingkat stress ternak.
3. Transfer Embrio
Transfer embrio merupakan bagian dari teknologi reproduksi setelah
inseminasi buatan yang tengah dikembangkan dalam dunia peternakan.
Apabila kawin suntik memfokuskan pada sperma jantan, maka transfer embrio
tidak hanya potensi dari jantan saja yang dioptimalkan, melainkan potensi betina
berkualitas unggul juga dapat dimanfaatkan secara optimal.
Teknik TE ini, betina unggul tidak perlu bunting tetapi hanya berfungsi
menghasilkan embrio yang untuk selanjutnya bisa ditransfer pada induk titipan
dengan kualitas yang tidak perlu bagus tetapi memiliki kemampuan untuk
bunting.
Embrio yang akan ditransfer ke resipien disimpan dalam foley kateter dua
jalur yang steril (tergantung ukuran serviks). Sebelum dilakukan panen embrio,
bagian vulva dan vagina dibersihkan dan disterilkan dengan kapas yang
mengandung alcohol 70%. Embrio yang didapat dapat langsung di transfer ke
dalam sapi resipien atau dibekukan untuk disimpan dan di transfer pada waktu
lain.
Proses transfer embrio meliputi:
a. Metode sinkronisasi birahi dan superovulasi
Sinkronisasi birahi pada ternak resipien harus dilaksanakan pada hari yang
sama pada semua ternak. Sinkronisasi birahi dapat dilakukan dengan beberapa
cara, namun untuk keperluan transfer embrio pada umumnya menggunakan
prostaglandin (PGF2α). Aplikasi teknik PGF2α dapat dilakukan dengan cara
intramuscular, submukosa vulva atau secara intrauterine. Sinkronisasi birahi
dalam rangka transfer embrio sebaiknya dilakukan secara intra uterin dengan
teknik rektovaginal. Alat untuk mendepositkan PGF2α menggunakan kateter
intrauterine atau plastic sheet AI Gun yang kemudian dimasukkan ke dalam uterus
melalui vagina dipandu dengan tangan per rectal.
Superovulasi pada ternak donor dilaksanakan secara bersamaan dengan
sinkronisasi birahi pada ternak resipien. Superovulasi dapat dilakukan dengan
penyuntikan hormone PMSG dan HCG atau hormone FSH dan LH, dengan tujuan
agar menghasilkan embrio dalam jumlah banyak.
b. Flushing embrio
Flushing pada proses transfer embrio adalah membilas uterus ternak donor
dengan cara memasukkan cairan media ke dalam koruna uteri kemudian
mengeluarkannya kembali untuk mendapatkan embrionya.
Teknik flushing dapat dilakukan dengan atau tanpa pembedahan. Teknik yang
lebih aman dan lebih banyak digunakan adalah teknik tanpa pembedahan
menggunakan foley catheter. Teknik ini dilakukan pada hari ke 5 – 8 yaitu ketika
embrio hasil superovulasi sudah berada di koruna uteri namun belum mengalami
implantasi.
c. Pengolahan embrio
Embrio yang diperoleh dari hasil flushing uterus ternak donor dapat langsung
di transfer dalam bentuk embrio segar kepada ternak resipien atau disimpan dalam
bentuk embrio beku untuk ditransfer kepada ternak resipien dikemudian hari.

Sebelum ditransfer kepada ternak resipien, embrio hasil flushing terlebih


dahulu melewati tahapan berikut :
 Identifikasi
Embrio yang berada didalam media flushing harus dapat di identifikasi
terlebih dahulu agar tidak dikelirukan dengan sel epithel tuba fallopii. Proses ini
dilakukan dengan menggunakan mikroskop disekting pada pembesaran 25 -40
kali. Embrio stadium morula dini atau blastosis dengan kualitas excellent dan
good layak dipergunakan untuk transfer embrio.
d. Pencucian
Apabila embrio segera ditransfer maka terlebih dahulu dicuci dalam media
transfer dengan cara memindahkannya dari cawan petri ke petri lain sebanyak 3
kali, pengambilan embrio menggunakan pipet mikro atau pipet berkanula, proses
ini dilakukan dibawah mikroskop disekting.
e. Pengisian straw
Embrio dimasukkan ke dalam straw bening dengan posisi :
MEDIA – UDARA – MEDIA EMBRIO – UDARA –MEDIA
Adapun manfaat teknologi transfer embrio adalah:
a. Meningkatkan mutu genetik ternak.
b. Mempercepat peningkatan populasi ternak.
c. Berpotensi mencegah berjangkitnya penyakit hewan menular yang ditularkan
lewat saluran kelamin.
d. Mempercepat pengenalan material genetik baru lewat ekspor embrio beku.
Keunggulan teknologi transfer embrio dibandingkan inseminasi buatan
adalah:
a) Perbaikan mutu genetik pada IB hanya berasal dari pejantan unggul sedangkan
dengan teknologi TE, sifat unggul dapat berasal dari pejantan dan induk yang
unggul.
b) Waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh derajat kemurnian genetik yang
tinggi (purebred) dengan TE jauh lebih cepat dibandingkan IB dan kawin
alam.
c) Dengan teknik TE, seekor betina unggul mampu menghasilkan lebih dari 20 -
30 ekor pedet unggul per tahun, sedangkan dengan IB, hanya dapat
menghasilkan satu pedet per tahun.
d) Melalui teknik TE dimungkinkan terjadinya kebuntingan kembar, dengan
jalan mentransfer setiap tanduk uterus (cornua uteri) dengan satu embrio
(Suhardi,
2012).
4. Teknologi Transgenik
Hewan transgenik adalah hewan yang telah mengalami rekayasa genetika
sehingga dihasilkan hewan dengan sifat yang diharapkan. Teknologi transgenik
pada hewan dilakukan dengan cara penyuntingan fragmen DNA secara mikro ke
dalam sel telur yang telah mengalami pembuahan. Tujuan dari teknologi ini
adalah meningkatkan produk dari hewan ternak seperti daging susu, dan telur.
Contoh dari hewan yang mengalami teknologi ini adalah domba transgenik.
Jadi DNA domba ini disisipi dengan gen manusia yang disebut factor VIII
(merupakan protein pembeku darah). Berkat penyusupan gen tersebut, domba
menghasilkan susu yang mengandung factor VIII yang dapat dimurnikan untuk
menolong penderita hemophilia.
Rekayasa genetika juga dapat melestarikan spesies langka. Sebagai contoh, sel
telur zebra yang sudah dibuahi lalu ditanam dalam kuda spesies lain. Spesies lain
yang dipinjam rahimnya ini disebut surrogate. Hal ini sudah diterapkan pada
spesies keledai yang hampir punah di Australia.
Teknik pelestarian dengan rekaya genetika berguna, dengan alasan:
a. Induk dari spesies biasa dapat melahirkan anak dari spesies langka.
b. Telur hewan langkah yang sudah dibuahi dapat dibekukan, lalu disimpan
bertahun-tahun meskipun induknya sudah mati. Jika telah ditemukan surrogate
yang sesuai, telur tadi ditransplantasi.
Pemanfaatan teknologi transgenik memungkinkan diperolehnya ternak dengan
karakteristik unggul. Peternak selalu menggunakan peternakannya yang selektif
untuk menghasilkan hewan yang sesuai dengan keinginan. Misalnya
meningkatkan produksi susu, meningkatkan kecepatan pertumbuhan. Peternakan
tradisional memakan waktu dan sulit memenuhi permintaan. Ketika teknologi
menggunakan biologi molekuler untuk mengembangkan karakteristik hewan
dengan waktu yang singkat dan tepat. Disamping itu, transenik hewan
menyediakan cara yang mudah untuk meningkatkan hasil (Suhardi, 2012).
Tahapan transformasi genetik adalah :
a) Mengisolasi gen unggul
b) Memanipulasinya
c) Memindahkan gen tersebut dari satu organisme ke organisme lainnya sehingga
diperoleh ternak unggul yang diinginkan. Misalnya, sapi transgenik yang
diatur secara genetik agar menghasilkan laktoferin dalam air susunya.
Laktoferin adalah protein yang secara normal ditemukan pada Air Susu Ibu
(ASI). Hewan transgenik lainnya yang telah berhasil dibuat adalah monyet,
tikus, babi,dan ikan salmon.
5. Hormon BST (Bovine Somatotrophin)
Teknologi ini dilakukan dengan menyisipkan gen somatotropin sapi pada
plasmid. Escherichia coli untuk menghasilkan BST. BST yang ditambahkan pada
makanan ternak dapat meningkatkan produksi daging dan susu ternak
(Kusumawati, 2012: 180).
Dengan rekayasa genetika dihasilkan hormon pertumbuhan dewan yaitu BST.
Caranya adalah:
a. Plasmid bakteri Escherichia coli dipotong dengan enzim endonuklease.
b. Gen somatotropin sapi diisolasi dari sel sapi
c. Gen somatotropin disisipkan ke plasmid bakteri
d. Bakteri yang menghasilkan bovin somatotropin ditumbuhan dalam tangki
fermentasi Bovine somatotropin diambil dari bakteri dan dimurnikan.
e. Hormon ini dapat memicu pertumbuhan dan meningkatkan produksi susu.
BST ini mengontrol laktasi (pengeluaran susu) pada sapi dengan
meningkatkan jumlah sel-sel kelenjar susu. Jika hormon yang dibuat dengan
rekayasa genetika ini disuntuikkan pada hewan, maka produksi susu akan
meningkat 20%.
Pemakaian BST telah disetujui oleh FDA (Food and Drug Administration),
lembaga pengawasan obat dan makanan di Amerika. Amerika berpendapat susu
yang dihasilkan karena hormon BST aman di konsumsi tapi di Eropa hal ini
dilarang karena penyakit mastitis pada hewan yang diberikan hormon ini
meningkat 70%.
Selain memproduksi susu, hormon ini dapat memperbesar ukuran ternak
menjadi 2 kali lipat ukuran normal. Caranya dengan menyuntik sel telur yang
akan dibuahi dengan hormon BST. Daging dari hewan yang diberi hormon ini
kurang mengandung lemak. Sehingga dikhawatirkan hormon ini dapat
mengganggu kesehatan manusia.

3.6 Keuntungan Bioteknologi di Bidang Peternakan


Secara Umum
Keuntungan Bioteknologi dalam bidang peternakan adalah :
a. Dengan memanfaatkan aplikasi bioteknologi bidang peternakan akan
menghasilkan ternak dengan kualitas yang unggul. Salah satu contoh ternak
unggul hasil dari bioteknologi antara lain ayam penghasil telur, ayam
penghasil daging, sapi pedaging, sapi penghasil susu, dan kambing penghasil
daging.
b. Usaha memperbanyak ternak unggul tersebut menggunakan teknik kawin
silang dan teknik kawin suntik atau inseminasi buatan. Dengan teknik
inseminasi buatan, dapat dihasilkan keturunan sapi atau domba yang
diharapkan tanpa mengenal sistem kawin serta tanpa melibatkan sapi atau
domba jantan.
c. Adayanya teknik splitting (yang mampu menghasilkan anak kembar identik
pada domba, sapi, babi, dan kuda).

3.7 Dampak Negatif Bioteknologi di Bidang


Peternakan
2.1.1 Kloning
a. Dapat disalahgunakan untuk menciptakan spesies atau ras baru dengan tujuan
tertentu yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan.
b. Kloning pada hewan belum sepenuhnya sempurna, contohnya domba Dolly
ternyata menderita berbagai penyakit yang akhirnya memaksa para ilmuwan
untuk melakukan eutanasi.
c. Terjadi kekacauan kekerabatan dan identitas diri dari hasil kloning maupun
induknya.
d. Individu hasil cloning tidak akan mendapatkan imunitas bawaan, sehingga
individu hasil cloning tersebut akan mudah terserang penyakit karna tidak
mendapatkan imunitas bawaan sebagai pertahanan pertama terhadap infeks
penyakit.

e. Berkurangnya keanekaragaman suatu spesies, karena individu yang dihasilkan


dari proses pengkloningan sama persis dengan DNA maupun sifat dan fisik
induknya.
f. Individu hasil kloning sel-selnya diperoleh dari induknya. Ini berarti umur sel-
sel hasil kloning pun sama dengan umur sel-sel induknya. Oleh karena itu,
individu hasil kloning pun akan memiliki umur sama dengan induknya
(Kurniati, 2013).
2.1.2 Inseminasi Buatan
Dampak negatif yang akan timbul apabila penerapan IB tidak terkontrol dalam
kaitannya dengan animal welfare, seperti:
a. Hilangnya/punahnya ternak lokal akibat terkikis oleh munculnya ternak
persilangan (crossbred animal). Hal ini bisa muncul karena persepsi
masyarakat (petani/peternak) yang lebih menyukai ternak persilangan karena
pertumbuhannya lebih cepat dan dampak akhirnya adalah nilai jual yang
tinggi.
b. Induk ternak lokal yang umumnya lebih kecil dibandingkan dengan induk sapi
dari daerah sub tropis. Bila induk lokal ini diinseminasi (dikawinkan) dengan
semen yang berasal dari pejantan unggul yang memiliki bobot badan besar
dapat menyebabkan gangguan proses kelahiran yang bisa menimbulkan
kematian pada induk, karena potensi genetik yang berasal pejantan unggul
tersebut akan diwariskan kepada anak yang dikandung oleh induk ternak lokal.
Hal ini lambat-laun pula akan menyebabkan punahnya ternak local.
c. Dapat menyebabkan stress dan menimbulkan resiko pada animal welfare.
Pemilihan pejantan sebagai sumber semen yang tidak tepat (kemungkinan
mengandung gen lethal) akan menimbulkan beberapa dampak negatif, antara
lain masa kebuntingan lebih panjang, meningkatnya kejadian kesulitan
melahirkan (distokia) dan tingginya frekuensi gen anomali dan anak yang
dilahirkan memiliki bobot lahir yang melebihi ukuran normal dan penurunan
daya reproduksi.
d. Dapat menimbulkan efek inbreeding (perkawinan sekeluarga). Salah satu
permasalahan yang dihadapi dalam penerapan IB adalah tingkat kesukaan
petani/peternak pada jenis semen tertentu. Apabila hal ini dibiarkan terus- menerus
keturunannya (F1) akan mengawini tetuanya kembali sehingga akan terjadi
perkawinan sekeluarga. Dampak negatif dari perkawinan sekeluarga adalah naiknya
proporsi lokus-lokus gen yang homosigot dan menurunkan gen heterosigot (genotip),
sedangkan dari fenotipnya ditandai dengan penurunan laju pertumbuhan, kinerja
reproduksi, daya tahan tubuh (hybrid vigor) dan kadang-kadang disertai dengan cacat
tubuh.
Namun demikian dampak negatif tersebut dapat ditanggulangi melalui upaya
konservasi in-situ dimana petani/peternak ikut serta di dalamnya. Program
konservasi in-situ yang telah dilakukan pada ternak lokal antara lain:
a. Mengisolasi bangsa ternak lokal dalam suatu lokasi tertutup dan dilakukan
upaya pemurniannya.
b. Mendatangkan pejantan unggul yang sejenis dengan bangsa ternak lokal
tersebut untuk dilakukan program perkawinan dengan ternak lokal yang telah
diisolasi.
c. Melakukan program pemuliaan dan seleksi dengan ketat.
d. Mengaplikasikan program IB dengan menggunakan semen yang berasal dari
pejantan unggul.
2.1.3 Teknologi Transgenik
a) Meningkatkan bobot lahir.
b) Menyebabkan insiden kesulitan lahir.
c) Kehilangan perinatal yang lebih tinggi.
Ada dua konsep yang berbeda tentang keselamatan hewan yang ada saat ini.
Konsep yang terbatas berfokus pada kesehatan biologis dari organisme yang
diklon dan pada kualitas kejiwaan dari hewan yang ditunjukkan akibat intervensi
manusia dalam hidupnya. Konsep yang luas juga mempertimbangkan mengenai
kesempatan hewan untuk menunjukkan spesifikasi jenis spesies yang alami.
Kedua perspektif ini menjadi dasar dari perdebatan tentang keselamatan hewan,
resiko yang dapat ditimbulkan dan juga segi etikanya.
1. Konsep Terbatas
Konsep terbatas terbagi menjadi dua yaitu tentang sisi etika dan kejiwaan dari
hewan dan tentang kesehatan fisiologis dan biologis dari hewan. Sisi etika dan
kejiwaan hingga saat ini masih menjadi perdebatan karena tidak terdapat metode
untuk mengukur kejiwaan dari hewan. Sehingga umumnya banya dibahas
mengenai efek kesehatan fisik dan biologis hewan.
Hal ini seringkali menyebabkan berbagai masalah yang berkaitan dengan
keselamatan hewan. Masalah yang umunya terjadi adalah kehamilan yang
terlambat atau terlalu dini, kematian saat kelahiran, jarak kematian setelah
kelahiran yang singkat, masa hidup yang singkat, obesitas dan berbagai macam
cacat tubuh.
2. Konsep Luas
Konsep luas juga mencakup permasalahan pada kesehatan hewan tetapi juga
mempertimbangkan kealamian dari hewan dan sisi etika terhadap hewan.
Bioteknologi pada hewan dapat menimbulkan efek negatif terutama pada
kehidupan alamiah hewan. Proses kloning dan rekayasa ataupun in vitro
menyebabkan hewan tidak dapat hidup secara alami pada habitatnya. Fokus
masalah umunya terdapat pada proses perkawinan hewan yang tidak lagi terjadi
secara alami. Hal ini melanggar kode etik terhadap hewan. Selain itu, proses
perkawinan yang direkayasa oleh manusia dapat menghilangkan spesies-spesies
alami. Efek tersebut dapat menyebabkan kepunahan terhadap spesies-spesies
hewan tertentu.
Bioteknologi pada hewan juga dapat menggangu keseimbangan ekosistem
lingkungan dan juga sistem rantai makanan. Selain itu, hewan hasil rekayasa atau
kloning kehilangan integritasnya sebagai hewan. Integritas yang dimaksud yaitu
hak untuk hidup secara alami yang tidak diperoleh hewan hasil klon atau
rekayasa. Hal ini dikarenakan hewan hasil bioteknologi tidak memiliki
kesempatan untuk hidup seperti hewan lainnya, contohnya: hidup di laboratorium,
makanan diatur ilmuan, proses perkawinan yang direkayasa, dsb.
3. Resiko pada kesehatan manusia
Produk pangan hewani hasil bioteknologi menjadi perdebatan dalam kalangan
masyarakat. Konsumsi produk hewani hasil bioteknologi dapat menyebabkan
alergi pada manusia. Selain itu juga diperkirakan dapat mengubah susunan genetik
manusia apabila gen yang direkayasa tersebut menyisip pada gen manusia.
Penyisipan gen ini dapat menyebabkan berbagai macam efek mutasi pada fisik
manusia, salah satu contohnya adalah pertumbuhan sel yang abnormal yang
dikenal dengan kanker. Dampak lain dari mutasi adalah cacat lahir pada keturunan
berikutnya yang disebabkan karena gen yang menyisip juga diturunkan ke bayi
dan diekspresikan.
4. Resiko pada lingkungan dan sosio ekonomi
Resiko bioteknologi hewan terhadap lingkungan yaitu menggangu
keseimbangan alam. Resiko utama adalah kepunahan dari jenis hewan alami, hal
ini dikarenakan manusia terus mengembangbiakkan hewan hasil rekayasa
sehingga hewan alaminya mulai tersisihkan kemudian punah. Keseimbangan alam
lain yang terganggu adalah rantai makanan dan seleksi alam, di mana yang dapat
bertahan hidup hanya hewan hasil rekayasa. Hewan hasil rekayasa bioteknologi
yang dilepaskan ke alam bebas juga diperkirakan dapat menyebabkan mutasi
alam, terutama apabila gen yang disisipkan dapat berpindah kepada organisme
lainnya. Mutasi alam berdampak dengan menurunkan gen pada keturunan
berikutnya, menyebabkan ukuran hewan abnormal, dan menyebabkan jumlah
hewan kuat yang berlebihan sehingga timbul dominasi di alam. Rekayasa yang
terus berkembang juga dapat menyebabkan keseragaman genetik pada ekosistem
yang menyebabkan alam kehilangan keberagamannya.
Resiko bioteknologi hewan pada sosio ekonomi berupa adanya keseragaman
genetik. Umumnya variasi akan hewan pangan dalam hal jenis dan ukuran akan
menyebabkan variasi harga yang mendukung pertumbuhan ekonomi. Apabila ada
keseragaman genetik, maka harga hewan pangan akan menjadi sama sehingga
terjadi penurunan ekonomi. Perusahaan pangan yang menggunakan produk
bioteknologi akan makin berkembang sedangkan yang tidak akan merugi.
Dampak lain juga terdapat pada bidang sosial dan politik. Akan terjadi
kesenjangan sosial antara negara yang maju dan menggunakan pangan transgenik
BAB 3
PENUTUP

3.8 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa :
a. Bioteknologi adalah suatu teknik modern untuk mengubah bahan mentah
melalui transformasi biologi sehingga menjadi produk yang berguna.
b. Cara penerapan bioteknologi di bidang peternakan dapat dilakukan dengan
menggunakan teknik cloning, inseminasi buatan, transfer embrio, transgenik,
serta penggunaaan hormone BST (Bovine Somatotrophin).
c. Keuntungan bioteknologi di bidang peternakan secara umum diantaranya yaitu
menghasilkan ternak dengan kualitas yang unggul, dengan teknik inseminasi
buatan, dapat dihasilkan keturunan sapi atau domba yang diharapkan tanpa
mengenal sistem kawin serta tanpa melibatkan sapi atau domba jantan, serta
adayanya teknik splitting (yang mampu menghasilkan anak kembar identik
pada domba, sapi, babi, dan kuda).
d. Dampak negative dari bioteknologi di bidang peternakan diantaranya yaitu
kehamilan yang terlambat atau terlalu dini, kematian saat kelahiran, jarak
kematian setelah kelahiran yang singkat, masa hidup yang singkat, obesitas
dan berbagai macam cacat tubuh.

3.9 Saran
Makalah tersebut di atas masih memerlukan sumber-sumber yang lebih
banyak lagi sehingga dapat menjadi makalah tentang bioteknologi di bidang
peternakan yang lebih lengkap lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Campbell, N.A., J.B. Reece, L.A. Urry, M.L. Cain, S.A. Wasserman, P.V.
Minorski & R.B. Jackson. 2010. Biologi. Edisi Kedelapan-Jilid 1. Jakarta:
Erlangga.

Fahruddin. 2010. Bioteknologi Lingkungan. Bandung: Alfabeta.

Hafez, E.S.E. 1993. Artificial insemination. In: HAFEZ, E.S.E. 1993. Reproduction
in Farm Animals. 6 Ed. Lea & Febiger, Philadelphia. pp. 424-439.
th

Kurniati, Eka. 2013. Kloning. http://ekakurniati.com/2013/06/09/ kloning.html.


[diakses 18 Mei 2016].

Kusumawati, R. & Hidayat, L. 2012. Biologi. Klaten: Intan Pariwara.

Rachmawati, F., Nurul Urifah, & Ari Wijayati. 2009. Bioteknologi. Jakarta:
Ricardo Publishing and Printing.

Suhardi, Rizal. 2012. Bioteknologi Hewan. http://rizalsuhardieksakta


com/2012/07/bioteknologi-hewan.html. [diakses 18 Mei 2016].

Sutarno, Nono. 2000. Biologi Lanjutan Umum II. Jakarta: Universitas Terbuka.

Toelihere, M.R. 1985. Inseminasi Buatan pada Ternak. Edisi Kedua. Bandung:
Angkasa.

Anda mungkin juga menyukai