Anda di halaman 1dari 45

PENINGKATAN KEMAMPUAN

MENCERITAKAN KEMBALI ISI TEKS BIOGRAFI


MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN THINK TALK WRITE (TTW)
DENGAN MEDIA GAMBAR BERSERI
PADA PESERTA DIDIK KELAS X
MA AL MUKMIN NGRUKI SUKOHARJO

PROPOSAL PENELITIAN TINDAKAN KELAS

Diajukan kepada Fakultas Bahasa dan Seni


Universitas Negeri Yogyakarta
untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Profesi Guru dalam Jabatan Kemenag

oleh
Arif Nasrullah, S.S.
NIM 19221299025

PENDIDIKAN PROFESI GURU


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2019
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berbicara merupakan aktivitas penting dalam kehidupan karena dengan berbicara
kita dapat berkomunikasi dengan orang lain. Sering kali kita menemui seseorang yang
memiliki kemampuan berbicara yang baik tapi belum tentu memiliki kemampuan yang baik
pula dalam menyampaikan pesan kepada orang lain. Dengan kata lain, tidak semua orang
memiliki kemampuan yang sama dalam menyelaraskan apa yang ada di dalam pikirannnya
dengan yang diucapkannya. Oleh karena itu, agar dapat menyampaikan pesan dengan baik
dibutuhkan keterampilan dan kemampuan melalui proses yang cukup. Dengan memiliki
keterampilan berbicara yang baik, kita akan mudah pula dalam berkomunikasi untuk
menyampaikan ide atau pendapat kita tentang suatu hal.

Tampil berbicara di depan umum sampai saat ini tampaknya masih menjadi momok
bagi sebagian anak. Bahkan, di depan kelas saja tidak semua anak memiliki keberanian untuk
berbicara. Oleh sebab itu, perlu banyak latihan untuk meningkatkan keterampilan ini. Menurut
Tarigan (1981:16) tujuan berbicara ada tiga, yaitu (1) memberitahukan, melaporkan (to
inform), (2) menjamu, menghibur (to entertain), dan (3) membujuk, mengajak, mendesak, dan
meyakinkan (to persuade). Singkatnya, semua orang dalam setiap kegiatan yangmenggunakan
komunikasi sebagai sarananya perlu memiliki keterampilan berbicara. Terlebih lagi seorang
pelajar dan pengajar dalam dunia pendidikan selalu membutuhkan komunikasi yang baik agar
proses belajar mengajar bisa berjalan dengan lancar.

Terampil berbicara merupakan salah satu keterampilan yang diajarkan dalam


kompetensi dasar mata pelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah. Oleh karena itu, guru
dituntut untuk menghadirkan suatu metode yang bisa menumbuhkan interaksi antara guru
dengan siswa. Harapannya metode tersebut dapat mengembangkan kekritisan, kekreativitasan,
keberanian, keresponsifan, dan keaktifan dalam belajar sehingga tujuan dari proses
pembelajaran dapat tercapai.
Berdasarkan observasi di lapangan pada awal penelitian di kelas X MA Al Mukmin
Ngruki Sukoharjo, terdapat beberapa faktor yang berkaitan dengan rendahnya kemampuan
berbicara siswa di antaranya adalah rendahnya minat belajar siswa untuk mengikuti mata
pelajaran Bahasa Indonesia khususnya berbicara, terbatasnya media pembelajaran bahasa
Indonesia dan yang paling utama adalah cara mengajar guru yang kurang tepat dengan kondisi
siswa. Guru hanya menggunakan metode ceramah dalam menerangkan cara berbicara. Siswa
mendengarkan penjelasan guru. Siswa menjadi pasif dalam kegiatan pembelajaran.

Berdasarkan identifikasi permasalahan tersebut, diujicobakan suatu model


pembelajaran koooperatif tipe TTW dengan media gambar berseri. Kemampuan yang dimiliki
oleh siswa dalam mata pelajaran bahasa Indonesia diharapkan bisa meningkat melalui model
pembelajaran koooperatif tipe TTW. Model ini mewujudkan kegiatan pembelajaran yang
berpusat pada siswa, terutama melibatkan siswa untuk bekerja sama dalam kelompok.
Pelaksanaan model pembelajaran kooperatif tipe TTW ini terstruktur dan sistematis dengan
cara menempatkan para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling
membantu satu sama lain dalam mempelajari materi pelajaran. Menurut Sanjaya (2008, h.
242), dengan pembelajaran kooperatif, para siswa diharapkan dapat saling membantu, saling
berdiskusi dan berargumentasi untuk mengasah khasanah ilmu pengetahuan yang mereka
kuasai dan menutup kesenjangan dalam pemahaman masing-masing. Think Talk Write (TTW)
merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif.

Model ini memiliki tiga tahapan dalam pembelajaran yaitu (1) think (berpikir), pada
tahap ini siswa mengamati gambar berseri tentang tokoh tertentu. Siswa ditugaskan secara
individu memikirkan kemungkinan jawaban (strategi penyelesaian), membuat catatan kecil
tentang peristiwa-peristiwa yang terdapat pada gambar berseri, dan hal-hal yang tidak
dipahami dengan menggunakan bahasa sendiri. (2) talk (berbicara), pada tahap ini siswa diberi
kesempatan untuk membicarakan hasil penyelidikannya pada tahap pertama. Siswa
merefleksikan, menyusun, serta menguji (negoisasi, sharing) ide-ide dalam kegiatan diskusi
kelompok. Kemajuan komunikasi siswa akan terlihat pada dialognya dalam berdiskusi, baik
dalam bertukar ide dengan orang lain ataupun refleksi mereka sendiri yang diungkapkannya
kepada orang lain. (3) write (menulis), pada tahap ini, siswa menuliskan ide-ide yang
diperolehnya dan kegiatan tahap pertama dan kedua. Tulisan ini terdiri atas landasan konsep
yang digunakan, keterkaitan dengan materi sebelumnya, strategi penyelesaian, dan solusi yang
diperoleh. Empat ciri khas inilah yang membedakan model pembelajaran kooperatif tipe TTW
dengan model pembelajaran kooperatif lainnya. Siswa dibantu oleh guru dalam mengonstruksi
pengetahuan sendiri sehingga pemahaman konsep siswa menjadi lebih baik. Siswa dapat
mengkomunikasikan atau mendiskusikan pemikirannya dengan temannya sehingga siswa
saling membantu dan saling bertukar pikiran. Hal ini akan membuat siswa lebih memahami
materi yang diajarkan. Selain itu, melatih siswa untuk menulis hasil diskusinya ke dalam
bentuk tulisan secara sistematis sehingga siswa akan mampu memahami materi, selanjutnya
siswa dapat mengkomunikasikan ide-idenya baik secara lisan maupun dalam bentuk tulisan.

Suyatno, (2009, h. 25) mengatakan, kelebihan-kelebihan model pembelajaran


kooperatif tipe TTW adalah (a) Model pembelajaran kooperatif tipe TTW dapat membantu
siswa dalam mengonstruksi pengetahuan sendiri sehingga pemahaman konsep siswa menjadi
lebih baik. Siswa dapat mengkomunikasikan atau mendiskusikan pemikirannya dengan
temannya sehingga siswa saling membantu dan saling bertukar pikiran. Hal ini akan membuat
siswa memahami materi yang diajarkan. (b) Model pembelajaran kooperatif tipe TTW dapat
melatih siswa untuk menulis hasil diskusinya ke dalam bentuk tulisan secara sistematis
sehingga siswa akan lebih memahami materi dan membantu siswa untuk mengkomunikasikan
ide-idenya dalam bentuk. Berdasarkan kelebihan tersebut, secara teoritis model pembelajaran
kooperatif tipe TTW membuat siswa dapat menikmati suasana yang lebih menyenangkan,
membuat siswa dalam pembelajaran menjadi lebih aktif dan hasil belajar yang dicapai oleh
siswa maksimal. Secara empiris dibuktikan melalui lima penelitian eksperimen, sebagai
pembanding dalam penelitian ini adalah pembelajaran konvensional.
Berdasarkan masalah tersebut mendorong penulis untuk mengungkap lebih lanjut
tentang “Peningkatan Kemampuan Menceritakan Kembali Isi Teks Biografi Menggunakan
Model Pembelaran Think Talk Write (TTW) dengan Media Gambar Berseri pada Peserta
Didik Kelas X MA Al Mukmin Ngruki Sukoharjo"

B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan penelitian ini adalah
1. Bagaimanakah proses peningkatan kemampuan menceritakan kembali teks biografi
menggunakan model pembelajaran Think Talk Write (TTW) dengan media gambar berseri
pada peserta didik kelas X MA Al Mukmin Ngruki?
2. Bagaimanakah peningkatan hasil kemampuan menceritakan kembali teks biografi
menggunakan model pembelajaran Think Talk Write (TTW) dengan media gambar berseri
pada peserta didik kelas X MA Al Mukmin Ngruki?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan sbagai berikut.
1. Untuk mendeskripsikan peningkatan kemampuan menceritakan kembali teks biografi
menggunakan model pembelajaran Think Talk Write (TTW) dengan media gambar
berseri pada peserta didik kelas X MA Al Mukmin Ngruki Sukoharjo.
2. Untuk meningkatkan hasil kemampuan menceritakan kembali teks biografi
menggunakan model pembelajaran Think Talk Write (TTW) dengan media gambar
berseri pada peserta didik kelas X MA Al Mukmin Ngruki.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun
praktis bagi beberapa pihak sebagai berikut.
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan wawasan dan memperkaya khasanah ilmu
pengetahuan serta memberikan sumbangan pemikiran yang dapat dijadikan sebagai bahan
kajian penelitian mengenai model pembelajaran Think Talk Write (TTW) dengan media gambar
berseri.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi peserta didik, model pembelajaran Think Talk Write (TTW) dengan media
gambar berseri diharapkan dapat meningkatkan minat dan memotivasi peserta didik
untuk berperan aktif dan dengah mudah menuangkan ide kreatif dalam proses
pembelajaran menceritakan kembali teks biografi.
b. Bagi guru, model pembelajaran Think Talk Write (TTW) dengan media gambar berseri
dapat dijadikan sebagai alternatif pilihan strategi pembelajaran menceritakan kembali
teks biografi.
c. Bagi pihak sekolah, penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan
kualitas pembelajaran bahasa Indonesia, khususnya keterampilan menceritakan
kembali teks biografi.
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Deskripsi Teori
Pada bab kajian teori akan diuraikan teori-teori yang berkaitan dengan judul, yakni hakikat
berbicara yang mencakup pengertian, tujuan, fungsi, dan ciri-ciri berbicara yang baik. Untuk
membahas penelitian ini, juga akan dipaparkan pengertian, jenis, unsur pembangun, dan penilaian
dalam menceritakan kembali teks biografi. Selain itu, juga berisi penjelasan tentang pengertian
dan penerapan model pembelajaran Think Talk Write..
1. Hakikat Berbicara
a. Pengertian Berbicara
Berbicara merupakan suatu kegiatan berkomunikasi yang sering di
lakukan oleh semua orang, dengan berbicara kita dapat memahami apa yang ingin
disampaikan oleh setiap individu. Berbicara merupakan peristiwa penyampaian
maksud, gagasan, pikiran, perasaan seseorang kepada orang lain secara jernih, logis, terarah
dan sistematis dengan menggunakan bahasa lisan, sehingga maksud tersebut dipahami orang
lain.
Slamet (2008, hlm. 35) menyatakan, “Keterampilan berbicara merupakan
keterampilan yang mekanistis. Artinya semakin banyak berlatih semakin dikuasai
dan terampil orang berbicara”. Bedasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan
keterampilan yang sangat mekanistis, yang berartikan sedikit kompleks dan rumit
karena ada unsur situasional tergantung pada kondisi yang terjadi ketika komunikasi tersebut
berlangsung. Maka dari itu Slamet menyarankan untuk giat berlatih berbicara terus-menerus
supaya dapat dipahami apa yang dikomunikasikan.
Tarigan (2013, hlm. 16) mengatakan, “Berbicara adalah kemampuan mengucapkan
bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan atau
menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan”. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat di
simpulkan berbicara merupakan bagian dari aspek kebahasaan, pada aspek berbicara
kemampuan pada setiap anak sangat berbeda, oleh karena itu seringkali kita temukan bahwa
anak berwawasan luas pasti terampil dalam mengolah bahasa yang ia ucapkan, dengan
berbicara setiap orang dapat mengekspresikan berbagai macam perasaan untuk
mengungkapkan yang ada dalam pikirannya, hal tersebut merupakan bagian dari sastra.
Nurgiyantoro (2010, hlm. 399) mengungkapkan “Berbicara adalah
aktivitas berbahasa kedua yang dilakukan manusia dalam kehidupan bahasa
setelah mendengarkan .... Untuk dapat berbicara dalam suatu bahasa secara fasih
seorang anak biasa nya mengamati pembicaraan yang berada di hadapan mereka.”
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan suatu hal yang didengar
maupun yang dilihat oleh setiap orang, setelah itu pasti mempunyai insting untuk
mengunggkapkan apa yang mereka dengar atau lihat, untuk itu setiap orang berhak untuk
mengeluarkan pendapat atau gagasan dari yang mereka temui, asalkan harus terampil dalam
mengolah struktur, kosakata, maupun lafal yang diucapkan.
Berdasarkan pemaparan ketiga ahli tersebut, terdapat beberapa perbedaan
yaitu menurut Slamet berbicara suatu keterampilan yang mekanistis atau rumit
untuk dilakkukan. Menurut Tarigan berbicara merupakan kemampuan yang
meliputi ucapan atau perkataan. Menurut Nurgiyantoro berbicara merupakan suatu
aktifitas yang menempati urutan kedua di keterampilan berbahasa. Sedangkan
persamaan dari ketiga ahli tersebut yaitu berbicara merupakan kegiatan
keterampilan berbahasa yang meliputi artikulasi yang baik, ekspresi dan kosakata.
Keterampilan berbicara tidak langsung lancar dan fasih, tetapi harus dengan sering
berlatih.
Berdasarkan beberapa pemaparan tersebut dapat disimpulkan suatu hal
yang didengar maupun yang dilihat oleh setiap orang, setelah itu pasti mempunyai
insting untuk mengunggkapkan apa yang mereka dengar atau lihat, untuk itu
setiap orang berhak untuk mengeluarkan pendapat atau gagasan dari yang mereka
temui, asalkan harus terampil dalam mengolah struktur, kosakata, maupun lafal
yang diucapkan.

b. Tujuan Berbicara
Setiap orang pasti mempunyai tujuan dari setiap aspek dalam kebahasaan,
khususnya berbicara, bahwa berbicara adalah kebutuhan yang sangat penting
dalam bersosialisasi. Lewat berbicara akan menjadi suatu kelebihan bagi setiap
orang, karena dapat menguasai keadaan.
“Tujuan utama dari berbicara adalah untuk berkomunikasi. Agar dapat
menyampaikan pikiran secara efektif, seyogianyalah sang pembicara memahami
makna segala sasuatu yang ingin dikomunikasikan. Dia harus mampu
mengevaluasi efek komunikasinya terhadap (para) pendengarnya….(Tarigan,
2013, hlm. 16) Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan berbicara
dalam kehidupan sehari-hari merupakan komunikasi dua arah atau lebih yang
sering dilakukan setiap orang, untuk itu pembicaraan yang ingin diungkapkan
pasti mempunyai tujuannya. Tujuan yang dimaksud adalah mengungkapkan
perasaan yang ingin diungkapkan, yang sejalan dengan akal, pikiran, dan
perasaan, oleh karena itu berbicara merupakan landasan pokok untuk menjalin
suatu komunikasi.
Abidin (2012, hlm. 129) mengatakan “Tujuan berbicara merupakan hal yang sangat
penting untuk ditentukan sebelum seorang pembicara memaparkan gagasannya.
Tujuan berbicara yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1) Informatif
Tujuan informatif merupakan tujuan berbicara yang dipilih pembicar ketika ia
bermaksud menyampaikan gagasan untuk membangun pengetahuan pendengar.
Tujuan berbicara jenis ini merupakan tujuan yang paling dominan dilakukan dalam
kehidupan sehari-hari, seperti menerangkan sesuatu, menjelaskan proses, konsep,
dan data, mendeskripsikan benda, dan berbagai kegiatan informasi lainnya.
2) Rekreatif
Tujuan rekreatif merupakan tujuan berbicara untuk memberikan kesan
menyenangkan bagi diri pembicara dan pendengar. Jenis tujuan ini adalah untuk
menghibur pendengar sehingga pendengar menjadi merasa terhibur oleh adanya
pembicara. Pembicaraan semacam ini biasanya berbentu lawakan, guyonan, dan
candaan.
a) Persuasif
Tujuan persuasif merupakan tujuan pembicaraan yang menekankan daya bujuk
sebagai kekuatannya. Hal ini berarti tujuan pembicaraan ini lebih menekankan pada
usaha memengaruhi orang lain untuk bertindak sesuai dengan apa yang diharapkan
pembicara melalui penggunaan bahasa yang halus dan penuh daya pikat. Tujuan
berbicara ini banyak digunakan oleh seseorang dalam kegiatan kampanye,
propaganda, penjualan, dan lain-lain.
b) Argumentatif
Tujuan argumentatif merupakan tujuan berbicara untuk meyakinkan pendengar atas
gagasan yang disampaikan oleh pembicara. Ciri khas tujuan ini adalah penggunaan
alasan-alasan rasional di dalam bahan pembicaraan yang digunakan pembicara.
Berbicara jenis ini banyak digunakan dalam kegiatan diskusi ilmiah, keilmuan, dan
debat politik.

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan di atas bahwa berbicara memang


mepunyai tujuan tersendiri dari berbagai kebutuhan dalam aspek berbicara, dan
memiliki tujuan khusus dari masing masing proses komunikasi yang dibutuhkan,
untuk itu pembicara harus dapat membedakan jenis dan tujuan serta harus dapat
menempatkan dimana pembicara harus berbicara disetiap kebutuhan dan
keharusan, supaya apa yang dibicarakan oleh pembicara dapat dimengerti dan
dipahami oleh pendengar.
Menurut Mudini dan Purba (2009, hlm. 4), tujuan umum berbicara sebagai
berikut:
1) Mendorong dan menstimulasi, apabila pembicara berusaha memberi semangat dan
gairah hidup kepada pendengar. Reaksi yang diharapkan adalah menimbulkan
inspirasi atau membangkitkan emosi para pendengar.
2) Meyakinkan, apabila pembicara berusaha mempengaruhi keyakinan, pendapat
atau sikap para pendengar. Alat yang paling penting dalam uraian itu adalah
argumentasi. Reaksi yang diharapkan adalah adanya persesuaian keyakinan,
pendapat atau sikap atas persoalan yang disampaikan.
3) Menggerakkan, apabila pembicara menghendaki adanya tindakan atau perbuatan
dari para pendengar.
4) Menginformasikan, apabila pembicara ingin menginformasikan tentang sesuatu
agar para pendengar dapat mengerti dan memahaminya.
5) Menghibur, apabila pembicara bermaksud menggembirakan atau menyenangkan
para pendengarnya. Reaksi atau respon yang diharapkan adalah timbulnya rasa
gembira, senang, dan bahagia pada hati pendengar.

Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan tujuan dari berbicara


yaitu menimbulkan semangat emosional kepada pendengar, meyakinkan supaya
pembicara dapat meyakinkan pendengar agar dapat dipengaruhi, menggerakkan
pembicara untuk sebuah tindakan atau perbuatan, menginformasikan suatu
pembicaraan agar pendengar dapat memahaminya, dan dapat menghibur
pendengar dikarenakan pembicaraan yang menyenangkan.
Berdasarkan pemaparan ketiga ahli tersebut terdapat beberapa perbedaan
yaitu menurut Tarigan tujuan dari berbicara ialah untuk berkomunikasi supaya
dapat menyampaikan pemikiran atau gagasan. Menurut Abidin tujuan dari
bebicara banyak keuntungannya mulai dari tentang komedi, sedih ataupun senang.
Menurut Mudini dan Purba tujuan berbicara suatu tindak tutur yang dapat
menimbulkan perasaan emosional. Persamaan dari ketiga ahli tersebut ialah
memiliki tujuan untuk berkomunikasi dengan baik dan menyampaikan pikiran
yang sangat efektif.
Berdasarkan beberapa pemaparan tersebut penulis menyimpulkan tujuan
berbicara yang utama ialah untuk berkomunikasi. Sedangkan tujuan berbicara
secara umum ialah untuk memberitahukan atau melaporkan informasi kepada
penerima informasi, meyakinkan atau mempengaruhi penerima informasi, untuk
menghibur, serta menghendaki reaksi dari pendengar atau penerima informasi.
tujuan berbicara juga merupakan sebagai alat untuk memudahkan komunikasi
antara pembicara dengan pendengar dalam menyampaikan maksud pembicaraan
secara jelas dan bertanggung jawab.
c. Ciri-ciri Pembicaraan Ideal
Seseorang yang memiliki kemampuan dalam berbicara tentu sangat
mementingkan kepada siapa ia berbicara, menguasai materi dalam berbicara, topik
apa yang sedang dibicarakan, dalam hal ini pembicara harus menguasainya,
memilih kata yang baik dan benar untuk dibicarakan sangat penting demi
tercapainya keberhasilan dalam menyampaikan pokok mpembicaraan.
Rusmiati (2000, hlm. 30) mengatakan terdapat sejumlah ciri-ciri
pembicara ideal. Ciri-ciri tersebut meliputi hal-hal berikut.
1) Memilih topik yang tepat. Pembicara yang baik selalu dapat memilih materi atau
topik pembicaraan yang menarik, aktual dan bermanfaat bagi para pendengarnya,
juga selalu mempertimbangkan minat, kemampuan, dan kebutuhan
pendengarnya;
2) Menguasai materi. Pembicara yang baik selalu berusaha mempelajari, memahami,
menghayati, dan menguasai materi yang akan disampaikan;
3) Memahami latar belakang pendengar. Sebelum pembicaraan berlangsung,
pembicara yang baik berusaha mengumpulkan informasi tentang pendengarnya;
4) Mengetahui situasi. Mengidentifikasi mengenai ruangan, waktu, peralatan
penunjang berbicara, dan suasana;
5) Tujuan jelas. Pembicara yang baik dapat merumuskan tujuan pembicaraanya yang
tegas, jelas, dan gamblang;
6) Kontak dengan pendengar. Pembicara berusaha memahami reaksi emosi dan
perasaan mereka, berusaha mengadakan kontak batin dengan pendengarnya
melalui pandangan mata, perhatian, anggukan, atau senyuman;
7) Kemampuan linguistiknya tinggi. Pembicara dapat memilih dan menggunakan
kata, ungkapan, dan kalimat yang tepat untuk menggambarkan jalan pikirannya,
dapat menyajikan materi dalam bahasa yang efektif, sederhana, dan mudah
dipahami;
8) Menguasai pendengar. Pembicara yang baik harus pandai menarik perhatian
pendengarnya, dapat mengarahkan dan menggerakkan pendengarnya ke arah
pembicaraannya;
9) Memanfaatkan alat bantu;
10) Penampilannya meyakinkan; dan
11) Berencana.

Berdasarkan Uraian di atas dapat disimpulkan berbicara bukan hanya


sekedar berbicara, tetapi harus ada kaidah-kaidah yang melandasi pentingnya
berbicara, menjadi pembicara ideal bukan hal yang mudah, kepercayaan diri saja
tidak cukup tanpa adanya persiapan, yaitu penguasaan dalam materi berbicara,
topik berbicara, bahkan memahami setiap situasi dan kondisi dalam melakukan
proses berbicara, sedangkan Menurut Wendra (2008, hlm. 70) mengatakan: Ada
sejumlah ciri-ciri pembicara ideal yang perlu diketahui, dipahami, dihayati serta
diterapkan dalam berbicara.
Ciri-ciri pembicara tersebut antara lain:
1) Memilih topik tepat;
2) Menguasai materi;
3) Memahami pendengar;
4) Memahami situasi;
5) Merumuskan tujuan yang jelas;
6) Menjalin kontak dengan pendengar;
7) Memiliki kemampuan linguistik;
8) Menguasai pendengar;
9) Memanfaatkan alat bantu;
10) Meyakinkan dalam penampilan; dan
11) Mempunyai rencana.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan berbicara memiliki tahapan-tahapan
yang bisa menentukan seseorang pembicara yang ideal, mulai dari memilih topik,
menguasai materi, memahami pendengar, dll. Supaya pembicara dapat dipahami oleh
penyimak maka dari itu ikuti tahapan-tahapannya.
Arsjad dan Mukti (2008, hlm. 17) mengatakan “untuk dapat menjadi pembicara yang
baik, seorang pembicara selain harus memberikan kesan bahwa ia menguasai masalah yang
dibicarakan, si pembicara juga harus memperlihatkan keberanian dan kegairahan. Selain
itu pembicara harus berbicara dengan jelas dan tepat.” Berdasarkan pemaparan tersebut
dapat disimpulkan seorang pembicara harus menguasai materi yang akan disampaikan dan
mempunyai percaya diri yang sangat tinggi.
Berdasarkan pemaparan ketiga ahli tersebut, terdapat beberapa perbedaan
yaitu menurut Rusmiati, ciri pembicara yang ideal dilihat dari kaidah-kaidah yang
melandasi pentingnya berbicara, menurut Wendra, ciri-ciri pembicara ideal yaitu
mempunyai persiapan yang matang, mulai dari tujuan yang jelas sampai
memanfaatkan alat bantu, dan menurut Arsjad dan Mukti harus mempersiapkan
bahan-bahan dan mental untuk berbicara. Persamaan dari kedua ahli tersebut yaitu
sama-sama memiliki tahapan-tahapan yang dapat menentukan pembicara yang
sangat ideal.
Berdasarkan pemaparan ketiga ahli dan perbandingannya, dapat
disimpulkan bahwa pengetahuan tentang ciri-ciri pembicara yang sangat baik
bermanfaat bagi mereka yang sudah tergolong pembicara yang baik, apalagi bagi
mereka yang tergolong pembicara yang kurang baik dan bagi pembicara dalam
taraf belajar. Bagi golongan kedua sangat pantas dipahami dan diikuti serta
menghilangkan kebiasaan buruk selama ini mungkin dilakukannya secara tak
sadar. Bagi golongan ketiga pengetahuan tentang ciri-ciri penyimak yang baik itu
dapat digunakan sebagai pedoman belajar berbicara.
d. Hambatan dalam Berbicara
Banyak faktor yang menghambat dalam berbicara di muka umum seperti
rasa percaya diri yang kurang baik, tidak menguasai materi atau tidak melakukan
latihan-latihan sebelum tampil di depan umum. Tidak semua orang memiliki
kemahiran dalam berbicara di depan umum. Namun, kemampuan ini dapat
dimiliki oleh semua orang melalui proses belajar dan latihan secara
berkesinambungan dan sistematis. Terkadang dalam proses belajar mengajar
belum bisa mendapatkan hasil yang memuaskan. Hal ini disebabkan oleh
beberapa hal yang merupakan hambatan dalam kegiatan berbicara Menurut
Hojanto (2013, hlm. 48) yaitu ada lima rumus yang ampuh untuk mengatasi dan
menguasai rasa takut bicara di depan umum, diantaranya:

1) Penyesuaian Diri
Ketakutan umumnya adalah tanda dari ketidak biasaan melakukan sesuatu.
Saat anda mulai terbiasa, ketakutan itu umumnya akan berangsur-angsur
berkurang;
2) Pernapasan
Kedelapan ciri (keringat dingin, pucat, gemetar, bingung, kebelet kencing,
takut, gugup, dan sesak napas) yang menjadi tanda-tanda ketakutan seseorang
saat akan tampil awalnya disebabkan oleh kurangnya oksigen. Secara logika,
saat seseorang merasa takut, napas yang ditarik menjadi pendek;
3) Perubahan Bahasa Tubuh
Perbedaan lain antara orang yang takut dan orang yang berani terlihat jelas
dari bahasa tubuhnya. Dengan mengubah bahasa tubuh kita bisa mengubah
emosi dan kondisi pikiran. Ingat, tubuh dan pikiran itu satu paket;
4) Pemanasan
Pemanasan yang anda lakukan adalah membicarakan topik yang akan anda
bicarakan dengan orang yang anda kenal; dan
5) Penjangkaran atau Anchor
Lagu, aroma parfum, dan foto adalah jangkar yang menghubungkan anda
dengan emosi serta memori masa lalu. Jika jangkar itu dipicu, otomatis
memori itu mencul lagi. Teknik itu pertama kali dicetuskan oleh Ivan Pavlov.

Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat disimpulkan terdapat beberapa


hambatan yang dapat mengganggu keterampilan berbicara. Mulai dari penyesuaian
diri yaitu proses bagaimana individu mencapai keseimbangan hidup dalam
memenuhi kebutuhan sesuai dengan lingkungan, harus bisa mengatur pernapasan,
perubahan bahasa tubuh supaya tidak terlalu tegang, sebelumnnya harus
pemanasan terlebih dahulu atau latihan, dan penjangkaran yaitu mengatur
emosional, sedangkan menurut Rusmiati (2000, hlm. 32) hambatan dalam
berbicara terdiri atas hambatan yang datangnya dari pembicara sendiri (internal)
dan hambatan yang datang dari luar pembicara (eksternal). Hambatan internal
adalah hambatan yang muncul dari dalam diri pembicara. Hal-hal yang dapat
menghambat kegiatan berbicara ini sebagai berikut:
1) Ketidaksempurnaan alat ucap. Kesalahan yang diakibatkan kurang sempurna alat ucap
akan memengaruhi keefektifan dalam berbicara, pendengar pun akan salah menafsirkan
maksud pembicara;
2) Penguasaan Komponen Kebahasaan;
Komponen kebahasaan meliputi hal-hal berikut ini:
a) Lafal dan intonasi;
b) Pilihan kata (diksi);
c) Struktur bahasa; dan
d) Gaya bahasa.
3) Penguasaan komponen isi; dan
4) Komponen isi meliputi hal-hal berikut ini:
a) Hubungan isi dengan topik;
b) Struktur isi;
c) Kualitas isi; dan
d) Kuantitas isi.
5) Kelelahan dan kesehatan fisik maupun mental.
Seorang pembicara yang tidak menguasai komponen bahasa dan komponen isi tersebut
di atas akan menghambat keefektifan pembicara. Selain dari hambatan internal,
pembicara akan menghadapi hambatan yang datang dari luar dirinya. Hambatan ini
kadang-kadang muncul dan tidak disadari sebelumnya oleh pembicara. Hambatan
eksternal di antaranya:
a) Suara atau bunyi;
b) Kondisi ruangan;
c) Media/alat; dan
d) Pengetahuan pendengar.
Dari pendapat yang dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa yang
menjadi faktor penghambat berbicara adalah yang ada di dalam diri seseorang,
keterbatasan yang dimiliki memang menjadi kendala utama dalam berbicara,
kosakata yang dimiliki tidak meluas, pemilihan kata kurang baik, dan gaya bahasa
yang digunakan belum mencapai kaidah kebahasaan yang baik, begitu pula
hambatan yang ada di luar diri pembicara, seperti keterbatasan media, sarana dan
prasarana, bahkan kurangnya pengetahuan dari pendengar mengenai apa yang
sedang disampaikan oleh pembicara, sedangkan menurut Salisbury dalam Tarigan
(2013, hlm. 53) Khusus dalam diskusi kelompok ini, hambatan-hambatan yang
sering dijumpai, adalah sebagai berikut:
1) Kegagalan memahami masalah;
2) Kegagalan karena tetap bertahan terhadap masalah;
3) Salah paham terhadap makna-makna setiap kata orang lain;
4) Kegagalan membedakan antara fakta-fakta yang “dingin” dan pendapat-pendapat
yang “panas”;
5) Perselisihan pendapat yang meruncing tanpa adanya keinginan untuk berkompromi;
6) Hilangnya kesabaran dalam kemarahan yang tidak tanggung-tanggung;
7) Kebingungan menghadapi suatu perbedaan pendapat dengan suatu serangan terhadap
pribadi seseorang;
8) Mempergunakan waktu untuk membantah sebagai pengganti mengajukan
pertanyaan-pertanyaan; dan
9) Mempergunakan kata-kata yang ternoda stigma words yang menumpulkan pikiran.
Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat disimpulkan hambatan berdiskusi
juga dapat berpangaruh terhadap berbicara, ada beberapa hambatan yaitu; gagal
dalam memahami masalah, gagal dalam memecahkan masalah, salah paham
terhadap makna-makna, sukar dalam membedakan fakta-fakta, tidak adanya
kompromi, emosional tidak terkontrol, dan bingung menghadapi suatu perbedaan.
Dari ketiga kutipan tersebut terdapat perbedaan, yaitu menurut Hojanto
setiap ingin melakukan kegiatan berbicara terlebih dahulu harus mempersiapkan
materi, visik, dan mental. menurut Rusmiati hambatan itu terjadi dikarenakan
kesehatan visik dan mental pembicara sangat berpengaruh. Menurut Salisbury
sulitnya dalam memecahkan masalah, karena salah paham dalam memahami
makna-makna setiap kata orang lain. Persamaannya yaitu setiap pembicara harus
mempersiapkan visik dan mental terlebih dahulu.
Berdasarkan beberapa pemaparan tersebut, penulis menyimpulkan faktor
penghambat berbicara adalah yang ada di dalam diri seseorang, keterbatasan yang
dimiliki memang menjadi kendala utama dalam berbicara, kosakata yang dimiliki
tidak meluas, pemilihan kata kurang baik, dan gaya bahasa yang digunakan belum
mencapai kaidah kebahasaan yang baik, begitu pula hambatan yang ada di luar
diri pembicara, seperti keterbatasan media, sarana dan prasarana, bahkan
kurangnya pengetahuan dari pendengar mengenai apa yang sedang disampaikan
oleh pembicara. Pembicara yang baik adalah pembicara yang mampu mengetahui
sejauh mana pengetahuan yang dimiliki para pendengarnya, sehingga apa yang
disampaikannya bisa dipahami para pendengarnya dan juga tidak terjadi salah
komunikasi.
3. Bercerita
a. Pengertian bercerita
Setiap orang pasti memiliki hasrat untuk menyampaikan suatu ungkapan
lewat berbicara, baik itu bercerita maupun menyampaikan gagasan, akan tetapi
setiap orang tidak semua memiliki kemampuan untuk menyampaikannya di depan
umum, oleh karena itu berlatih dan menambah wawasan memang sangat penting
untuk menunjang kemampuan berbicara di depan umum.
Subyantoro (2007, hlm. 14) mengungkapkan “bercerita sebagai sebagai
suatu kegiatan yang disampaikan oleh pencerita kepada siswanya, ayah, ibu, dan
ibu kepada anak-anaknya, juru berbicara kepada pendengarnya. Berbicara juga
merupakan suatu kegiatan yang bersifat seni, karena erat kaitannya dengan
bersandar kepada kekuatan”. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan
berbicara sebagai penyampaian dari pendidik kepada peserta didik atau
narasumber kepada penerima informasi. Bercerita juga bisa disebut dengan seni,
karena mengandung unsur-unsur emosi.
Menurut Taningsih (2007, hlm. 6) menyatakan “Bercerita adalah upaya
untuk mengembangkan potensi kemampuan berbahasa anak melalui pendengaran
dan kemudian menuturkannya kembali dengan tujuan melatih keterampilan anak
dalam bercakap-cakap untuk menyampaikan ide dalam bentuk lisan”. Berdasarkan
pemaparan tersebut dapat disimpulkan bercerita merupakan suatu upaya
menumbuhkan potensi keterampilan anak berbicara dalam menyampaikan ide
dalam bentuk lisan, sedangkan menurut Dhieni (2008, hlm. 63):
Bercerita ialah suatu kegiatan yang dilakukan seseorang secara lisan kepada orang lain
dengan alat atau tanpa alat tentang apa yang harus disampaikan dalam bentuk pesan,
informasi atau hanya sebuah dongeng yang untuk didengarkan dengan rasa
menyenangkan oleh karena itu orang yang menyajikkan cerita tersebut menyampaikannya
dengan menarik.

Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat disimpulkan kegitan yang


dilakukan secara lisan baik memakai alat ataupn tidak dalam bentuk informasi
yang bersifat emosional.
Perbedaan pendapat dari ketiga ahli tersebut yaitu menurut Subyantoro,
bercerita merupakan kegiatan menyampaikan pengalaman kepada pendengar.
Taningsih, bercerita merupakan bahan latihan untuk anak supaya lebih fasih
menyampaikan ide. Menurut Dhieni kegiatan pemberi pesan dengan bersifat
emisonal persamaan dari ketiga ahli tersebut ialah bercerita adalah suatu
keterampilan berbahasa yang bersifat produktif (lisan). Dikatakan produktif
karena orang yang merupakan cermin dari gagasan, perasaan, dan pikiran yang
disampaikan kepada pendengar. Sedangkan persamaan dari ketiga kutipan
tersebut berbicara ialah suatu kegiatan yang melibatkan alat indra mulut yang
mengasilkan intonasi dan perkataan.
Berdasarkan pemaparan ketiga kutipan beserta perbandingannya dapat
disimpulkan bercerita bagi sebagian orang merupakan proses berbicara dalam
berkomunikasi, lewat bercerita kita dapat mengungkapkan berbagai hal yang ada
dalam pikiran kita, oleh sebab itu dalam melakukan suatu berbicara/bercerita
harus benar-benar tersampaikan maksud dan tujuan kita melakukan proses
berbicara/bercerita.
b. Langkah-langkah bercerita
Keterampilan menceritakan kembali merupakan bentuk keterampilan
berbicara. Oleh karena itu, seorang menceritakan kembali dituntut memiliki
perbendaharaan kata yang banyak sehingga dapat memilih kata yang tepat sesuai
khalayak penyimaknya. Bercerita atau yang identik dengan sebutan mendongeng
ini tentunya bukan lagi merupakan hal yang baru bagi kita semua. Kegiatan yang
satu ini pastinya pernah kita lakukan, paling tidak sekali dengan tujuan untuk
memberitahukan informasi atau cerita kepada orang lain. Akan tetapi, ada
beberapa hal yang sering luput dari perhatian kita, salah satunya adalah cara
bercerita yang baik. Hal ini merupakan hal yang penting, karena pada dasarnya
cara bercerita merupakan patokan apakah orang lain bisa memahami informasi
yang kita berikan atau tidak. Berikut ini adalah pemaparan beberapa langkah
bercerita:
Tarigan (2013, hlm. 32) mengemukakan “dalam merencanakan satu pembicaraan, kita
harus mengikuti langkah-langkah berikut;
1) Memilih pokok pembicaraan yang menarik hati kita;
2) Membatasi pokok pembicaraan;
3) Mengumpulkan bahan-bahan; dan
4) Menyusun bahan-bahan.
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan langkah-langkah
bercerita yaitu; memilih pokok pembicaraan adalah sebelum kita bercerita
alangkah baiknya kita memilih cerita yang kita senangi atau mudah dipahami,
membatasi pokok pembicaraan adalah setiap bercerita harus ada batasan supaya
tidak keluar alus cerita, mengumpulkan bahan-bahan yang akan diceritakan
kepada penyimak, dan menyusun bahan adalah pokok paling penting dalam
bercerita, karena di dalam menyusun sebuah cerita harus meliputi tiga bagian.
Menurut Risaldy (2014, hlm. 64) “Untuk dapat bercerita dengan baik, pendidik (guru)
harus memperhatikan hal-hal berikut:
1) menguasai isi cerita secara tuntas;
2) memiliki keterampilan bercerita;
3) berlatih dalam irama dan modulasi secara terus-menerus; dan
4) menggunakan perlengkapan yang menarik sesuai dengan tuntutan cerita.”
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan langkah-langkah
bercerita yaitu: memahami seluruh cerita, sangat fasih dalm bercerita, melatih
gerak-gerik dan mimik saat bercerita, dan memakai kostum yang sesuai dengan
cerita, sedangkan menurut Moeslichatoen (2004, hlm. 179), langkah-langkah
bercerita yaitu:
1) mengkomunikasikan tujuan dan tema dalam kegiatan bercerita;
2) mengatur tempat duduk anak. Misalnya anak duduk di lantai dan diberi alas tikar
atau karpet, atau duduk dikursi dengan formasi setengah lingkaran;
3) pembukaan kegiatan bercerita, dimana guru menggali pengalamanpengalaman anak
dalam kaitannya dengan tema cerita;
4) pengembangan cerita yang dituturkan guru. Guru menyajikan fakta-fakta di sekitar
kehidupan anak yang berkaitan dengan tema cerita;
5) menceritakan isi cerita dengan lafal, intonasi dan ekspresi wajah yang
menggambarkan suasana cerita; dan
6) penutup kegiatan bercerita dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
yang berkaitan dengan isi cerita.

Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat disimpulkan langkah-langkah


bercerita yaitu: menentukan tema yang akan diceritakan, mengondisikan peserta
didik, menyambungkan tema yang diceritakan dengan pengalaman peserta didik,
ceritanya harus berupa fakta, menampilkan gerak-gerik atau mimik pada waktu
bercerita, dan menyimpulkan apa yang sudah diceritakan kemudian bertanya
kepada peserta didik tentang cerita tersebut.
Berdasarkan pemaparan ketiga kutipan tersebut, terdapat bebeapa
perbedaannya yaitu: menurut Tarigan ialah mengumpulkan bahan-bahan, menurut
Risaldy ialah berlatih dalam irama dan modulasi secara terus-menerus, menurut
Moeslichatoen ialah Pembukaan kegiatan bercerita, dimana guru menggali
pengalaman-pengalaman anak dalam kaitannya dengan tema cerita. Sedangkan
persamaan dari ketiga kutipan tersebut ialah menguasai isi cerita secara tuntas,
memiliki keterampilan bercerita, dan mengomunikasikan tujuan dan tema dalam
kegiatan bercerita.
Berdasarkan beberapa pemaparan tersebut, penulis menyimpulkan Tujuan
yang ingin dicapai melalui kegiatan bercerita serta tema yang dipilih oleh
pendidik menjadi acuan dalam melaksanakan kegiatan lainnya. Pendidik memiliki
kebebasan untuk menentukan bentuk cerita yang dipilih, sepanjang bisa
menggambarkan isi cerita dengan baik. Bahan dan alat yang dipergunakan dalam kegiatan
bercerita sangat bergantung kepada bentuk cerita yang dipilih
sebelumnya. Pengaturan tempat duduk, merupakan hal yang patut mendapat
perhatian karena pengaturan yang baik membuat anak merasa nyaman dan dapat
mengikuti cerita di samping teknik bercerita.

3. Teks Biografi
a. Pengertian Teks Biografi
Biografi merupakan bagian dari karangan narasi eksositoris, yaitu narasi
yang hanya bertujuan untuk member informasi kepada pembaca agar
pengetahuannya bertambah luas. Biografi memberikan informasi mengenai
riwayat hidup seseorang kepada pembaca. Biografi berasal dari Yunani, yaitu bios
yang berarti hidup dan graphien yang berarti tulisan. Jadi, biografi adalah tulisan
tentang kehidupan seseorang atau riwayat hidupnya.
Nurgiyantoro (2010, hlm. 29) mengatakan, “Biografi adalah buku yang
berisi riwayat hidup seseorang, tentu saja tidak semua aspek kehidupan dan
peristiwa dikisahkan, melainkan dibatasi pada hal-hal tertentu yang dipandang
perlu dan menarik untuk diketahui orang lain, pada hal-hal tertentu yang
mempunyai nilai jual”. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan
biografi merupakan alat bacaan yang berisikan tentang riwayat hidup seseorang
yang terkenal maupun tidak terkenal, tetapi tidak semua aspek yang di
kisahkannya, tetapi hal-hal yang dipandang menarik saja.
Teks biografi merupakan riwayat hidup seseorang atau tokoh yang di tulis
oleh orang lain. Biografi memuat identitas dan peristiwa yang di alami seseorang,
termasuk kaya dan penghargaan yang di terimanya dan permasalahan yang
dihadapinya (Kementrian Pendidikan dan kebudayaan, 2014, hlm. 37).
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat di simpulkan teks biografi merupakan teks
yang ditulis oleh orang lain, berupa barang-barang yang di milikinya serta
kejadian yang di alaminya.
Isnatun dan Farida (2013, hlm. 85), “Biografi merupakan kisah kehidupan
seseorang yang bersumber pada kisah nyata (nonfiksi) yang lebih kompleks dari
pada sekedar data tanggal lahir atau tanggal kematian dan data pekerjaan
seseorang”.Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan sebuah biografi
tidak semata-mata bisa disebut fiksi, karena di dalam biografi berumber dari kisah
nyata seorang penulis, jadi biografi bisa disebut nonfiksi.
Berdasarkan pemaparan ketiga ahli tersebut, terdapat beberapa perbedaan
yaitu menurut Nurgiyantoro Biografi merupakan mengisahkan riwayat hidup
manusia tetapi tidak semua aspek dinilai melainkan ada pembatasnya. Menurut Isnatun dan
Farida Biografi merupakan kisah kehidupan seseorang berdasarkan kisah nyata yang lebih
terperinci. Sedangkan persamaan dari ketiga ahli teks biografi merupakan sebuah karya tulis
yang mengisahkan kehidupan kisah nyata (nonfiksi) seseorang baik peristiwa maupun
pekerjaan.
Berdasarkan pemaparan ketiga ahli tersebut, dapat disimpulkan Teks
biografi adalah suatu teks yang berisikan tentang cerita suatu tokoh dalam
mengarungi kehidupanya, baik berupa, kelebihannya yang ditulis oleh seseorang
agar tokoh tersebut bisa di teladani orang banyak. Teks Biografi merupakan kisah
kehidupan seseorang yang bersumber pada kisah nyata (nonfiksi). Jadi biografi
juga dapat di artikan sebagai sebuah kisah riwayat hidup.

b. Unsur Pembangun Biografi


Sukirno (2016: 55) menyatakan bahwa unsur pembangun dalam biografi yaitu
biodata atau identitas lengkap; pelaku; urutan peristiwa yang dialami; dan latar peristiwa.
Berikut ini merupakan penjelan dari unsur pembangun biografi: 1) biodata atau Identitas
lengkap dari tokoh yang akan ditulis. Biodata biasanya berisi nama, tempat tanggal lahir,
profesi/pekerjaan, nama orangtua, dan tempat tinggal. 2) pelaku yang akan ditulis. Pelaku
dalam biografi sering disebut tokoh. Tokoh yang ditulis dapat laki-laki, dan perempuan,
bahkan berdasarkan profesi. 3) urutan peristiwa yang dialami tokoh. Peristiwa yang pernah
dialami oleh tokoh dapat menarik perhatian pembaca. 5) latar peristiwa yang dialamai
tokoh. Latar peristiwa yang dialami tokoh dapat membantu pembaca membayangkan apa
yang terjadi pada tokoh, dari hasil yang ditulis penulis.
c. Struktur atau Bagian Teks Biografi
Menurut Zabadi dan Sutejo, struktur atau bagian teks biografi dibagi menjadi tiga
yaitu orientasi, peristiwa dan masalah, dan reorientasi (jurnal Riyadi: 2015). Struktur teks
biografi tersebut yang menjadikan teks biografi lebih baik.
Orientasi atau bagian pengenalan adalah gambaran awal tentang tokoh atau pelaku di
dalam teks biografi. Dalam orientasi biasanya berisi biodata atau identitas. Selanjutnya,
peristiwa dan masalah adalah bagian kejadian yang berisi penjelasan peritiwa-peristiwa
yang dialami oleh tokoh termasuk masalah yang dihadapinya dalam mencapai cita-citanya.
Selain itu, bagian ini juga berisi hal-hal yang menarik, mengesankan, dan mengagumkan
yang diuraikan dalam bagian peristiwa. Kemudian, reorientasi adalah pandangan penulis
terhadap tokoh yang diceritakan. Reorientasi berada di paragraf bagian akhir dari sebuah
biografi.
Sependapat dengan Zabadi dan Sutejo (2013: 42), dalam buku teks siswa kelas X
kurikulum 2013 (2015: 215) struktur teks biografi, yaitu orientasi, kejadian penting,
reorientasi. Namun, terdapat sedikit perbedaan dari pendapat tersebut.
Orientasi atau setting (aim), berisi informasi mengenai latar belakang kisah atau
peristiwa yang akan diceritakan selanjutnya untuk membantu pendengar/pembaca.
Informasi yang dimaksud berkenaan dengan ihwal siapa, kapan, di mana, dan bagaimana.
Selanjutnya, kejadian penting (important event, record of events), berisi rangkaian peristiwa
yang disusun secara kronologis, menurut urutan waktu, yang meliputi kejadian-kejadian
utama yang dialami tokoh. Dalam bagian ini mungkin pula disertakan komentar-komentar
pencerita pada beberapa bagiannya. Kemudian, reorientasi, berisi komentar evaluatif atau
pernyataan simpulan mengenai rangkaian peristiwa yang telah diceritakan sebelumnya.
Bagian ini sifatnya opsional, yang mungkin ada atau tidak ada di dalam teks biografi.
e. Ciri Kebahasan Teks Biografi
Zabadi dan Sutejo mengungkapkan bahwa untuk memahami sebuah teks biografi
harus mengetahui ciri kebahasaannya (jurnal Riyadi: 2015). Teks biografi menggunakan
beberapa kaidah kebahasaan yang dominan sesuai buku teks siswa kelas X kurikulum 2013
(2015: 235), yaitu: menggunakan pronominal; kata kerja tindakan; kata adjektiva; kata
kerja pasif; kata kerja aktivitas mental; dan kata sambung, kata depan ataupun nomina.
Berikut ini merupakan penjelasannya: 1) pronomina (kata ganti), pada penulisan
biografi kata ganti yang digunakan adalah kata ganti orang ketiga tunggal ia atau dia atau
beliau. Kata ganti ini digunakan secara bervarisi dengan penyebutan nama tokoh atau
panggilan tokoh. 2) kata kerja tindakan untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa atau
perbuatan fisik yang dilakukan oleh tokoh. Contoh: belajar, membaca, berjalan, melempar.
3) kata adjektiva untuk memberikan informasi secara rinci tentang sifat-sifat tokoh.
Contoh: kata sifat untuk mendeskripsikan watak tokoh antara lain genius, rajin, ulet. Dalam
melakukan deskripsi, seringkali penggunaan kata sifat didahului oleh kopulatif adalah,
merupakan. 4) kata kerja pasif untuk menjelaskan peristiwa yang dialami tokoh sebagai
subjek yang diceritakan. Contoh: diberi, ditugaskan, dipilih. 5) kata kerja yang
berhubungan dengan aktivitas mental dalam rangka penggambaran peran tokoh. Contoh:
memahami, menyetujui, menginspirasi, mencintai. 6) kata sambung, kata depan, ataupun
nomina yang berkenaan urutan dengan waktu. Contoh: sebelum, sudah, pada saat,
kemudian, selanjutnya, sampai, hingga, pada tanggal, nantinya, selama, saat itu. Hal ini
terkait dengan pola pengembangan teks cerita ulang yang pada umumnya bersifat
kronologis.

4. Strategi Pembelajaran Think-Talk-Write (TTW)


Menurut Erman Suherman (2003: 6), strategi adalah siasat atau kiat yang sengaja
direncanakan oleh guru, berkenaan dengan segala persiapan pembelajaran agar
pelaksanaan pembelajaran berjalan dengan lancar dan tujuannya yang berupa hasil
belajar bisa tercapai secara optimal. Sedangkan menurut Slameto (dalam Yatim
Riyanto, 2009: 131), strategi adalah suatu rencana tentang pendayagunaan dan penggunaan
potensi dan sarana yang ada untuk meningkatkan efektivitas pengajaran. Martinis Yamin dan
Bansu I. Ansari (2009: 84) menyatakan bahwa suatu strategi yang diharapkan dapat
menumbuh kembangkan kemampuan pemecahan masalah adalah strategi think-talk-write
(TTW). Strategi yang diperkenalkan oleh Huinker & Laughlin (1996: 82) ini pada
dasarnya dibangun melalui berfikir (think), berbicara (talk), dan menulis (write). Alur strategi
TTW dimulai dari keterlibatan siswa dalam berfikir atau berdialog dengan dirinya sendiri
setelah proses membaca, selanjutnya berbicara dan membagi ide (sharing) dengan
temannya sebelum menulis. Suasana seperti ini lebih efektif jika dilakukan dalam kelompok
heterogen dengan 3-5 siswa. Dalam kelompok ini siswa diminta membaca, membuat catatan
kecil, menjelaskan, mendengarkan dan membagi ide bersama teman kemudian
mengungkapkannya melalui tulisan. Strategi pembelajaran TTW (Think-Talk-Write)
melibatkan tiga tahap penting yang harus dikembangkan dan dilakukan dalam
pembelajaran matematika, yaitu: (1) Think, dalam tahap ini siswa secara individu
memikirkan kemungkinan jawaban (strategi penyelesaian), membuat catatan apa
yang telah dibaca, baik itu berupa apa yang diketahuinya, maupun langkah-langkah
penyelesaian dalam bahasanya sendiri. Membuat catatan kecil dapat meningkatkan
ketrampilan siswa dalam berfikir dan menulis.
Kegiatan ini membantu siswa dalam mengidentifikasi suatu masalah dan
merencanakan solusi. (2) Talk, tahap selanjutnya adalah “talk” yaitu berkomunikasi
dengan menggunakan kata-kata dan bahasa yang mereka pahami. Fase berkomunikasi
(talk) pada strategi ini memungkinkan siswa untuk terampil berbicara atau
menyampaikan pendapat/ide/gagasan. Berdiskusi atau berdialog di dalam kelompok
yang terdiri dari 3-5 siswa dapat meningkatkan pemahaman. Kegiatan ini dapat
membantu memecahkan susunan teks biografi karena siswa diberi kesempatan untuk
mendiskusikan solusi dari penceritaan kembali teks biografi. (3) Write, fase ”write” yaitu
menuliskan hasil diskusi/pada lembar kerja yang disediakan (Lembar Aktivitas Siswa).
Aktivitas menulis akan membantu siswa dalam membuat kerangka penceritaan kembali
teks biografi. Sedangkan bagi guru untuk melihat bagaimana langkah menyelesaikan
rangkaian peristiwa tokoh dan menyiapkan kerangka penceritaan kembali. Menurut Martinis
Yamin (2008: 87-88) aktivitas siswa selama fase write adalah : 1) menulis solusi
terhadap masalah yang diberikan. 2) mengorganisasikan semua pekerjaan langkah demi
langkah, baik penyelesaiannya ada yang menggunakan diagram, grafik, ataupun tabel,
agar mudah dibaca dan ditindaklanjuti. 3) mengoreksi semua pekerjaan sehingga yakin tidak
ada pekerjaan ataupun perhitungan yang salah atau kurang lengkap. 4) meyakini bahwa
pekerjaannya yang terbaik yaitu lengkap, mudah dibaca dan terjamin keasliannya. Langkah-
langkah pembelajaran dengan strategi TTW menurut Martinis Yamin dan Bansu I.
Ansari (2009: 90) sebagai berikut : (1) Guru membagi Lembaran Aktivitas Siswa (LKS) yang
memuat situasi masalah dan petunjuk serta prosedur pelaksanaannya. (2) Siswa membaca teks
dan membuat catatan dari hasil bacaan secara individual, untuk dibawa ke forum diskusi
(think). (3) Siswa berinteraksi dan berkolaborasi dengan teman untuk membahas isi catatan
(talk). Guru berperan sebagai mediator lingkungan belajar. (4) Siswa mengkonstruksi sendiri
pengetahuan sebagai hasil kolaborasi (write). Desain pembelajaran yang menggunakan
strategi TTW menurut Martinis dan Bansu I. Ansari (2008: 89) dengan sedikit
modifikasi tampak dibawah ini:
5. Media Gambar Berseri

a. Pengertian Media Gambar Berseri

Media gambar adalah media yang paling umum dipakai, yang merupakan bahasan umum
yang dapat dimengerti dan dinikmati di mana saja. Gambar merupakan “tiruan barang (orang,
binatang, tumbuhan, dsb) yang dibuat dengan coretan pensil dsb pada kertas dsb; lukisan”,
sedang berseri adalah “bersambungan; bernomor urut.

Gambar berseri merupakan “sejumlah gambar yang menggambarkan suasana yang sedang
diceritakan dan menunjukkan adanya kesinambungan antara gambar yang satu dengan
gambar yang lainnya”.

Sesuai penjelasan di atas, dapat disimpulkan pengertian media gambar berseri adalah
media pembelajaran yang digunakan oleh guru yang berupa gambar datar yang mengandung
cerita, dengan urutan tertentu sehingga antara gambar satu dengan gambar lain memiliki
hubungan cerita dan membentuk sesuatu kesatuan.
b. Manfaat Media Gambar Berseri

Penggunaan media gambar berseri dalam pengajaran berfungsi untuk mempercepat


proses belajar mengajar di dalam kelas, dan juga sebagai alat bantu dalam mewujudkan situasi
belajar mengajar yang efektif.

Manfaat penggunaan gambar sebagai media dalam pembelajaran di kelas:

1) Menimbulkan daya tarik pada diri siswa;


2) Mempermudah pengertian/pemahaman siswa;
3) Memudahkan penjelasan yang sifatnya abstrak sehingga siswa lebih mudah memahami
apa yang dimaksud;
4) Memperjelas bagian-bagian yang penting;
5) Menyingkat suatu uraian. Informasi yang dijelaskan dengan kata-kata mungkin
membutuhkan uraian panjang. Uraian tersebut dapat ditunjukkan pada gambar.

Dengan penggunaan media gambar diharapkan peserta didik dapat tertarik dengan
pelajaran yang disampaikan guru di kelas, dengan harapan peserta didik mampu
memahami materi pelajaran yang disampaikan guru di depan kelas.

c. Kelebihan dan Kelemahan Gambar Berseri

Media gambar berseri merupakan golongan atau jenis media gambar visual yang berupa
gambar datar. Kelebihan media gambar berseri, antara lain:

a) Gambar mudah diperoleh pada buku, majalah, koran, album foto, dan sebagainya;
b) Dapat menerjemahkan ide-ide abstrak dalam bentuk yang lebihnyata;
c) Gambar mudah dipakai karena tidak membutuhkan peralatan.
d) Gambar relatif murah
e) Gambar dapat digunakan dalam banyak hal dan berbagai disiplin ilmu.
Sedang untuk kelemahan penggunaan media gambar berseri yaitu:
a) Karena berdimensi dua, gambar sulit melukiskan bentuk sebenarnya (berdimensi tiga);
b) Gambar tidak dapat memperlihatkan gerak seperti halnya gambar hidup;
c) Siswa tidak selalu dapat menginterprestasikan isi gambar.

Untuk tercapainya tujuan pengajaran tidak mesti dilihat dari kemahalan suatu media,
yang sederhana juga bisa mencapainya, asalkan guru pandai menggunakannya. Maka guru
yang pandai menggunakan media adalah guru yang bisa memanipulasi media sebagai sumber
belajar dan sebagai penyalur informasi dari bahan yang disampaikan kepada anak didik ke
dalam proses belajar mengajar, sebagai salah satu upaya untuk mempertinggi proses interaksi
guru siswa dan interaksi siswa dengan lingkungan belajarnya. Oleh sebab itu fungsi utama dari
media gambar berseri adalah sebagai alat bantu mengajar yang dipergunakan guru.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi media gambar berseri adalah
sebagai sumber penyalur informasi yang disampaikan kepada orang lain untuk mencapai suatu
tujuan. Fungsi media gambar dalam proses pembelajaran adalah sebagai alat bantu mengajar
yang dipergunakan guru sebagai penyalur informasi kepada anak didik ke dalam proses belajar
mengajar.

B. Penelitian yang relevan

Penelitian dengan menggunakan strategi Think Talk Write pada materi menceritakan
kembali teks biografi pernah dilakukan Pipit Dewi Puspitasari, Sarwiji Suwandi, Raheni Suhita
(2018) dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran Think Talk Write dalam Pembelajaran
Menceritakan Kembali Isi Teks Biografi dengan Media Cetak”. Dari penelitian menunjukkan
bahwa pembelajaran menceritakan kembali teks biografi menggunakan model pembelajaran
Think Talk Write pada kelompok eksperimen lebih efektif daripada pembelajaran
menceritakan kembali teks biografi tanpa menggunakan model pembelajaran Think Talk
Write.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah sama-sama menggunakan


model pembelajaran Think Talk Write sebagai model pembelajaran berbicara. Perbedaannya
terletak pada media pembelajaran. Apabila penelitian tersebut untuk mengajarkan
keterampilan menceritakan kembali isi teks biografi dengan media cetak, penelitian ini
menggunakan media gambar berseri sebagai media pembelajaran.

C. Kerangka Pikir
Pembelajaran menceritakan kembali isi teks biografi merupakan salah satu wujud
apresiasi teks nonsastra. Salah satu bentuk teks nonsastra itu yaitu teks biografi. Teks biografi
adalah teks yang berisi riwayat hidup seseorang.

Pada penceritaan kembali isi teks biografi banyak peserta didik yang mengalami
kesulitan utuk mewujudkan penceritaan dengan peristiwa yang runtut. Hal ini terjadi karena
teks biografi pada umumnya berbentuk narasi nongambar. Menghadapi permasalahan yang
demikian, maka perlu suatu strategi pembelajaran yang inovatif dan kreatif untuk
memudahkan peserta didik dalam proses penceritaan kembali isi teks biografi. Model
pembelajaran Think Talk Write dengan media gambar berseri adalah salah satu model
pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran ini.

D. Hipotesis Tindakan

Berdasarkan kajian teoritis, kajian hasil penelitian, dan kerangka pikir di atas, hipotesis
tindakan yang diajukan dalam penelitian ini adalah jika model pembelajaran Think Talk
Write dengan media gambar berseri digunakan dalam pembelajaran menceritakan kembali isi
teks biografi diharapkan dapat meningkatkan minat, motivasi dan kemampuan menceritakan
kembali isi teks biografi pada peserta didik kelas X MA Al Mukmin Ngruki.
BAB III METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Desain penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK) atau Classroom Action
Research (CAR). Penelitian ini merupakan bentuk penelitian yang tidak dapat dilakukan
sendiri, namun harus berkolaborasi dengan guru sebagai mitra peneliti. Menurut Arikunto dkk
(2008: 3) penelitian tindakan kelas merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar
berupa sebuah tindakan yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara
bersama. Tindakan tersebut diberikan oleh guru atau dengan arahan dari guru yang dilakukan
peserta didik.
Desain penelitian ini menggunakan model Spiral Kemmis dan Taggart. Penelitian ini
meliputi empat komponen penting yang selalu ada pada setiap siklus, dan menjadi ciri khas
penelitian tindakan, yaitu plan, act, observe, dan reflect atau disingkat PAOR. Adapun
gambaran pelaksanaan model tersebut dapat dilihat dari gambar berikut.

Arikunto dkk (2008: 17-18) menyatakan tahapan-tahapan yang terdapat dalam penelitian
tindakan kelas meliputi :
(1) Menyusun rancangan tindakan (planning)
Dalam tahap ini peneliti menjelaskan tentang apa, mengapa, kapan, di mana, oleh siapa,
dan bagaimana tindakan tersebut dilakukan. Dalam peneltiian tindakan kelas, yang idel yakni
dengan dilakukan secra berpasangan antara pihak yang melakukan tindakan dengan pihak yang
mengamati proses jalannya tindakan. Istilah yang sesuai dengan dengan cara ini adalah
penelitian kolaborasi.
(2) Pelaksanaan tindakan (Acting)
Tahap kedua dari penelitian tindakan adalah pelaksanaan yang merupakan implementasi
atau penerapan isi rancangan, yaitu mengani tindakan kelas. Hal yang perlu diingat adalah
bahwa dalam tahap ini pihak yang melakukan tindakan harus ingat dan berusaha menaati apa
yang sudah dirumuskan dalam rancangan, tetapi harus pula berlaku wajar dan tidak dibuat-
buat. Bentuk dan isi laporan harus sudah lengkap menggambarkan semua kegiatan yang
dilakukan, mulai dari persiapan sampai penyelesaian.
(3) Pengamatan (Observing)
Tahap ketiga, yaitu kegiatan pengamatan yang dilakukan oleh pengamat. Sebenarnya,
pengamatan dilakukan bersamaan dengan saat tindakan itu dilakukan sehingga kurang tepat
apabila pengamatan dipisahkan dengan pelaksanaan tindakan. Dalam pengamatan ini, pihak
peneliti mencatat sedikit demi sedikit apa yang terjadi agar data yang diperoleh akurat untuk
perbaikan pada siklus berikutnya.
(4) Refleksi (Reflekting)
Tahap keempat merupakan kegiatan untuk mengemukakan kembali apa yang sudah
dilakukan berdasarkan data yang telah terkumpul kemudian dilakukan evaluasi guna
menyempurnakan tindakan berikutnya.
Refleksi dalam penelitian tindakan kelas mencakup analisis, sintesis dan penilaian terhadap
hasil pengamatan atas tindakan yang dilakukan. Jika terdapat masalah pada proses refleksi
maka dilakukan proses pengkajian ulang melalui siklus berikutnya yang meliputi kegiatan :
perencanaan ulang, tindakan ulang dan pengamatan ulang sehingga permasalahan yang ada
dapat teratasi (Hopkins via Arikunto, 2008: 80)

B. Setting Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di MA Al Mukmin Ngruki. Sekolah ini terletak di Jalan
Semenromo Ngruki Desa Cemani Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.
MA Al Mukmin terdiri dari 24 kelas dengan jumlah keseluruhan peserta didik sebanyak 585
peserta didik
Berdasarkan kesepakatan antara peneliti dengan kolaborator, penelitian ini akan
dilaksanakan pada pembelajaran semester genap tahun ajaran 2018/2019. Penelitian tindakan
ini akan dilaksanakan pada bulan Januari dan Feburari 2019. Penentuan waktu penelitian
mengacu pada kalender akademik sekolah sehingga tidak mengganggu aktivitas pembelajaran.

C. Subjek dan Objek Penelitian


Subjek penelitian ini adalah peserta didik kelas X IPS 2 MA Al Mukmin Ngruki yang
terdiri dari 28 orang. Alasan dipilihnya kelas X IPS 2 dibanding dengan kelas yang lain karena
peserta didik kelas X IPS 2 cenderung pasif dalam menerima pelajaran dan tidak aktif
merespon pelajaran yang diberikan oleh guru. Kemampuan peserta didik dalam
mengembangkan ide ketika pelajaran menulis juga masih kurang.
Objek penelitian ini adalah kemampuan menceritakan isi teks biografi peserta didik.
Kemampuan menceritakan kembali peserta didik kelas X IPS 2 sangat kurang. Peserta didik
mengeluh ketika mendapat tugas menceritakan kembali.
Untuk itu diperlukan upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut. Langkah yang
ditempuh peneliti bersama kolaborator adalah dengan menggunakan sebuah model
pembelajaran yang mudah diterima oleh peserta didik kelas X IPS 2. Dengan model tersebut,
peserta didik diberi tindakan dalam siklus-siklus dan dimaksudkan pada akhir dari siklus
tersebut terdapat peningkatan kemampuan peserta didik dalam menceritakan kembali isi teks
biografi.

D. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian ini terdiri dari dua siklus, masing-masing siklus terdiri dari 4
komponen yakni perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi (Arikunto, 75-80). Dalam
penelitian ini, setiap siklus terdiri atas dua pertemuan. Menurut Kirk dan Miller (Via
Sudaryanto, 2003: 26) prosedur penelitian kualitatif meliputi invensi/mereka-reka, temuan,
penafsiran dan eksplanasi. Menurut Bogdan (via Sudaryanto, 2003: 26-27) prosedur penelitian
meliputi tahap pralapangan, tahap kegiatan lapangan, tahap analisis data dan tahap menyusun
laporan.
Dari beberapa pendapat dari para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa semuanya
mempunyai inti yang sama yakni dalam satu siklus mengandung empat macam
komponen/kegiatan yang berupa perencanaan, tinndakan, observasi, dan refleksi. Rincian dari
keempat tahapan tersebut adalah sebagai berikut.
a. Perencanaan
1) Peneliti bersama kolaborator menyamakan persepsi dan berdiskusi untuk mengidentifikasi dan
menganalisa masalah yang muncul berkaitan dengan pembelajaran menceritakan kembali isi
teks biografi. Masalah yang ada harus berada dalam jangkauan kemampuan peneliti.
2) Merumuskan masalah secara jelas. Peneliti dan kolaborator merancang pelaksanaan
pemecahan masalah dalam pembelajaran menceritakan kembali isi teks biografi dengan
menggunakan PTK agar kemampuan menceritakan kembali isi teks biografi peserta didik
meningkat.
3) Menyiapkan tes pratindakan untuk mengetahui kemampuan awal peserta didik dalam
menceritakan kembali isi teks biografi.
4) Menyiapkan secara rinci rancangan pelaksanaan tindakan kelas.
5) Menyiapkan instrumen penelitian yang berupa angket, catatan lapangan, pedoman
pengamatan, lembar penilaian menceritakan kembali isi teks biografi, dan foto
6) Melakukan pengumpulan data awal
7) Melakukan analisis kemampuan menceritakan kembali isi teks biografi
8) Menyiapkan perangkat pembelajaran.
9) Menyiapkan jadwal penelitian tindakan
b. Tindakan
Tindakan dalam penelitian ini adalah penerapan model pembelajaran Think Talk Write
dengan media gambar berseri sebagai upaya meningkatkan kemampuan menceritakan kembali
isi teks biografi peserta didik. Pelaksanaan tindakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua
siklus. Setiap siklus terdiri dari dua pertemuan. Sebelum dilaksanakan tindakan, terlebih
dahulu dilakukan tes awal/tes pratindakan untuk mengetahui kemampuan peserta didik
sebelum diberi perlakuan. Soal tes awal adalah peserta didik peserta didik diberi tugas
menceritakan kembali isi teks biografi tanpa menggunakan media atau model pembelajaran
yang digunakan oleh guru. Pelaksanaan tindakan penelitian ini berlangsung di dalam kelas
sesuai dengan jadwal. Kegiatan pada siklus I ini meliputi hal-hal sebagai berikut.
1) Peserta didik bersama guru melakukan apersepsi dengan bertanya jawab terkait unsur-unsur
teks biografi yang telah dibahas pada pertemuan sebelumnya.
2) Peserta didik membentuk kelompok-kelompok belajar yang setiap kelompok terdiri dari 4-5
orang.
3) Peserta didik menyimak penyampaian tujuan pembelajaran menceritakan kembali isi teks
biografi
4) Peserta didik menyimak penyampaian tujuan model pembelajaran Think Talk Write dalam
pembelajaran menceritakan kembali isi teks biografi
5) Tahap berpikir (think)
Peserta didik mencermati elemen-elemen penting teks biografi dalam media gambar berseri
dalam lembar kerja peserta didik yang dibagikan guru.
6) Tahap berbicara (talk)
Guru membagi peserta didik kedalam kelompok yang setiap kelompok terdiri atas 4
peserta didik. Kemudian, dalam kelompok setiap siswa diminta mendiskusikan apa
yang diperoleh dari tahap berpikir (think). Pada tahap ini peserta didik membagi ide
bersama teman-temannya. Masing-masing anggota kelompok membacakan
hasil dari tahap berpikir. Apabila hasilnya ada yang berbeda antarpeserta didik, salah
satu peserta didik mencatat untuk selanjutnya dibahas. Selanjutnya mereka
memberikan tafsiran mengenai hasil diskusi.
7) Tahap menulis (write)
Dalam tahap menulis, peserta didik membuat rangkuman mengenai hasil dari tahap
berpikir dan berbicara. Kemudian, peserta didik diberikan waktu untuk menuliskan
ide-ide menjadi kerangka pembicaraan.
8) Hasil tulisan siswa dipresentasikan di depan kelas, selanjutnya guru melakukan evaluasi
8) Peserta didik mengomentari dan mengoreksi hasil tulisan milik peserta didik lain.
9) Peserta didik merevisi hasil tulisan dan mengumpulkannya kepada guru.

c. Observasi
Pada tahap ini, peneliti melakukan pengamatan dan mencatat semua hal yang
diperlukan dan terjadi selama pelaksanaan tindakan berlangsung. Pengumpulan data ini
dilakukan dengan menggunakan format observasi/penilaian yang telah disusun termasuk juga
pengamatan secara cermat pelaksanaan skenario tindakan dari waktu ke waktu serta
dampaknya terhadap proses dan hasil belajar peserta didik. Data yang dikumpulkan dapat
berupa data kuantitatif (hasil tes) atau data kualitatif yang menggambarkan keaktifan peserta
didik, antusias peserta didik terhadap pembelajaran menulis naskah drama dengan strategi
episodic mapping, dan lain-lain.

d. Refleksi
Pada tahap refleksi, peneliti dan guru mengkaji secara menyeluruh tindakan yang telah
dilakukan berdasar data yang telah terkumpul kemudian dilakukan evaluasi guna
menyempurnakan tindakan berikutnya. Refleksi mencakup analisis, sintesis, dan penilaian
terhadap hasil pengamatan atas tindakan yang telah dilakukan. Kegiatan refleksi dalam
penelitian ini antara lain:
1) Penggunaan model pembelajaran Think Talk Write dengan media gambar berseri dapat
meningkatkan kemampuan menulis peserta didik.
2) Masalah yang ditimbulkan peserta didik atau penerapan model pembelajaran Think Talk Write
dengan media gambar berseri.
3) Tindakan lanjut untuk rencana selanjutnya.
Kegiatan refleksi ini digunakan untuk mengevaluasi hasil tindakan, jika terdapat
masalah dari proses refleksi maka akan dilakukan proses pengkajian ulang melalui siklus
berikutnya. Pengkajian ulang meliputi kegiatan: perencanaan ulang, tindakan ulang, dan
pengamatan ulang sehingga permasalahan yang ada dapat teratasi (Hopkins via Arikunto,
2008: 80)

E. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dimaksudkan untuk memperoleh data dan informasi mengenai


peningkatan kemampuan menceritakan kembali isi teks biografi peserta didik dengan
menggunakan model pembelajaran Think Talk Write dengan media gambar berseri. Data yang
diambil dari penenltitian tindakan kelas ini adalah data kualitatif dan data kuantitatif. Data
kualitatif berupa data perilaku peserta didik (keaktifan dan antusias peserta didik) selama proses
menceritakan kembali isi teks biografi dengan menggunakan model pembelajaran Think Talk
Write dengan media gambar berseri. Data kuantitatif berupa tingkat keterampilan peserta didik
yang ditunjukkan dengan nilai tes menceritakan kembali isi teks biografi.
Sumber data penelitian diambil pada saat berlangsungnya proses belajar mengajar
Bahasa Indonesia, baik secara formal maupun informal. Data atau informasi dari penelitian ini
diperoleh memalui beberapa cara diantaranya angket, observasi, tes tertulis, dan dokumentasi.

1. Angket/Kuesioner

Pembuatan angket dilakukan penelti untuk mengetahui tingkat pemahaman peserta didik terkait
pembelajaran menceritakan kembali isi teks biografi. Angket terdiri dari dua jenis, yaitu angket
pratindakan dan angket pascatindakan. Angket pratindakan diberikan untuk mengetahui kondisi
pengetahuan dan minat peserta didik dalam pembelajaran teks biografi sebelum adanya tindakan.
Angket pascatindakan diberikan sebagai data untuk mengetahui bagaimana peningkatan
kemampuan peserta didik dalam menceritakan kembali menggunakan strategi model pembelajaran
Think Talk Write dengan media gambar berseri dan minat peserta didik dalam menceritakan
kembali isi teks biografi.

2. Observasi atau Pengamatan

Pengamatan atau observasi adalah proses pengambilan data dalam penelitian yang dilakukan oleh
peneliti atau pengamat dengan melihat situasi peneltitian (Kusumah dan Dedi Dwigatama, 2011:
66). Observasi atau pengamatan kelas dilakukan untuk memperoleh data terkait perilaku peserta
didik dan guru dalam pembelajaran menceritakan kembali isi teks biografi. Observasi kelas
didikung oleh pengambilan foto (dokumentasi), dan penggunaan catatan lapangan untuk mencatat
semua peristiwa dalam pembelajaran.

3. Instrumen Penelitian

Instrumen secara garis besar dapat dibedakan ke dalam tes dan skala. Instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini adalah unjuk kerja. Menurut Wardani (2012, hlm. 73),
Unjuk kerja adalah suatu penilaian atau pengukuran yang dilakukan melalui pengamatan
aktivitas peserta didik dalam melakukan sesuatu yang berupa tingkah laku atau interaksinya
seperti berbicara, berpidato, membaca puisi, dan berdiskusi, kemampuan peserta didik
dalam memecahkan masalah kelompok, partisipasi peserta didik dalam diskusi,
keterampilan menari, keterampilan memainkan alat musik , dan lain-lain.
Berdasarkan hal tersebut, penulis memilih unjuk kerja untuk digunakan sebagai instrumen
penelitian. Unjuk kerja yang diberikan pada penelitian ini berisi cerita tentang B. J Habibie yang
bertujuan untuk mengukur kemampuan peserta didik pada saat sebelum dan sesudah pembelajaran
menceritakan kembali isi teks biografi dengan model Think Talk Write menggunakan media
gambar berseri di kelas X MA Al Mukmin Ngruki.

a. Observasi

Observasi yaitu kegiatan mengamati secara langsung yang dilakukan secara sistematika
fenomenal yang diselidiki dengan cara mengamati objek yang diteliti.

Tabel 1. 1
Pedoman Penilaian Keterampilan Pembelajaran
Menceritakan Kembali Isi Teks Biografi
dengan Menggunakan Media Gambar
di Kelas X IPS 2 MA Al Mukmin Ngruki Tahun Pelajaran 2020/2021
Skor Skor
No. Aspek yang dinilai Bobot
1 2 3 4 Maksimal
Ketepatan menemukan orientasi
1. 2 8
dalam teks biografi.
Ketepatan menemukan peristiwa
2. 2 8
dalam teks biografi.
Ketepatan menemukan
3. 2 8
reorientasi dalam teks biografi.
Ketepatan menemukan kaidah
4 2 8
kebahasaan dalam teks biografi.
Kelantangan dalam menceritakan
5 2 8
kembali isi teks biografi
Jumlah skor 40
Tabel 1.2.
Kriteria Penilaian

No. Aspek Penilaian Kriteria Penilaian


1. Skor 4 : Apabila peserta
didik dapat menemukan
orientasi dalam teks
biografi dengan sangat
tepat.

Skor 3 : Apabila peserta


didik dapat menemukan
orientasi dalam teks

Ketepatan menemukan orientasi dalam teks biografi biografi dengan tepat.


Skor 2 : Apabila peserta
didik dapat menemukan
orientasi dalam teks biografi
dengan cukup
tepat.

Skor 1 : Apabila peserta


didik dapat menemukan
orientasi dalam teks biografi
dengan kurang tepat.
2. Skor 4 : Apabila peserta
didik dapat menemukan
peristiwa dalam teks biografi
dengan sangat tepat.

Skor 3 : Apabila peserta


didik dapat menemukan
peristiwa dalam teks
Ketepatan menemukan peristiwa dalam teks biografi
biografi dengan tepat.

Skor 2 : Apabila peserta


didik dapat menemukan
peristiwa dalam teks biografi
dengan cukup
tepat.
Skor 1 : Apabila peserta
didik dapat menemukan
peristiwa dalam teks biografi
dengan kurang tepat.
3. Skor 4 : Apabila peserta
didik dapat menemukan
reorientasi dalam teks
biografi dengan sangat
tepat.

Skor 3 : Apabila peserta


didik dapat menemukan
reorientasi dalam teks

biografi dengan tepat.


Ketepatan menemukan reorientasi
dalam teks biografi
Skor 2 : Apabila peserta
didik dapat menemukan
reorientasi dalam teks
biografi dengan cukup
tepat.

Skor 1 : Apabila peserta


didik dapat menemukan
reorientasi dalam teks
biografi dengan kurang
tepat.
4. Skor 4 : Apabila peserta
didik dapat menemukan
kaidah kebahasaan dalam
teks biografi dengan sangat
tepat.

Skor 3 : Apabila peserta


Ketepatan menemukan kaidah kebahasaan
didik dapat menemukan
dalam teks biografi
kaidah kebahasaan dalam
teks
biografi dengan tepat.

Skor 2 : Apabila peserta


didik dapat menemukan
kaidah kebahasaan dalam
teks biografi dengan cukup
tepat.
Skor 1 : Apabila peserta
didik dapat menemukan
kaidah kebahasaan dalam
teks biografi dengan kurang
tepat.
5. Skor 4 : Apabila peserta
didik dapat menceritakan
kembali teks biografi
dengan sangat lantang.
Skor 3 : Apabila peserta
didik dapat menceritakan
kembali teks biografi
Kelantangan dalam menceritakan kembali dengan lantang.
teks biografi. Skor 2 : Apabila peserta
didik dapat menceritakan
kembali teks biografi
dengan cukup lantang.
Skor 1 : Apabila peserta
didik dapat menceritakan
kembali teks biografi
dengan kurang lantang.

1. Video (dokumentasi)
Dokumentasi merupakan pengambilan data menggunakan alat bantu. Dalam
penelitian ini, dokumentasi digunakan untuk mendokumentasikan proses yang dilakukan
dengan alat bantu kamera agar data yang diperoleh valid.
2. Tes
Tes digunakan untuk mengukur kemampuan menceritakan kembali isi teks biografi
peserta didik sebelum implementasi tindakan dan sesudah tindakan. Tes tersebut
menggunakan pedoman penilaian berdasarkan model penilaian yang telah ditentukan.
Penerapan metode ini dalam pembelajaran menceritakan kembali isi teks biografi dengan
menggunakan model pembelajaran Think Talk Write dengan memberikan tugas kepada
peserta didik untuk menceritakan kembali isi teks biografi.
E. Teknik Analisis Data
Analisis data yang digunakan peneliti adalah membandingkan isi catatan yang
dilakukan dengan kolaborator, kemudian data diolah dan disajikan secara deskriptif
kualitatif dan kuantitatif.
1. Teknik Analisis data Kualitatif
Teknik analisis data kualitatif dalam peneliitian ini menggunakan teknik deskriptif
kualitatif. Data-data yang dikumpulkan berupa angket, catatan lapangan, dan dokumntasi
tugas peserta didik. Langkah-langkah terkait hal itu adalah sebagai berikut: (a)
Perbandingan antara data, yaitu membandingkan data-data dari setiap informan yang
diperoleh, (b) Kategorisasi, mengelompokkan data-data dalam kategori tertentu, (c)
pembeuatan inferensi, memaknai data-data dan menarik kesimpulan.
2. Teknik Analisis Data Kuantitatif
Data kuantitatif diperoleh berdasarkan hasil tes awal (sebelum tindakan) dan tes akhir
(sesudah tindakan). Tindakan yang dilakukan pada penelitian ini adalah penggunaan model
pembelajaran Think Talk Write dengan media gambar berseri dalam peningkatan pembelajaran
menceritakan kembali isi teks biografi. Data ini berupa skor kemampuan penulisan naskah drama.
Penilaian dalam penulisan naskah drama menggunakan skor tertinggi 10 dan skor terendah 5,
dengan aspek yang dinilai yaitu penemuan orientasi, penemuan peristiwa, penemuan reorientasi,
penemuan kaidah kebahasaan, dan kelantangan dalam menceritakan isi kembali teks biografi.

F. Kriteria Keberhasilan Tindakan


Keberhasilan penelitian tindakan mempunyai karakteristik yaitu ditandai dengan adanya
perubahan ke arah perbaikan. Keberhasilan penelitian tindakan tersebut meliputi keberhasilan
proses dan keberhasilan produk. Indikator keberhasilan proses dapat dilihat dari: (1) suasana
belajar, yaitu proses pemeblajaran dilaksanakan secara menarik dan menyenangkan, (2)
antusiasme, yaitu peserta didik tertarik mengikuti pembelajaran yang berlangsung, (3) keaktifan,
yaitu keadaan peserta didik dalam mengikuti pembelajaran berperilaku aktif, dan (4) perhatian,
yaitu peserta didik paham dan terampil menulis naskah drama dengan strategi episodic mappig.
Pengikatan keberhasilan proses dapat diketahui dengan pengisisan angket dan observasi
penelitian. Selanjutnya, indikator keberhasilan produk dilihat dari hasil peserta didik menulis
naskah drama. Keberhasilan ini dapat diketahui dari nilai sebelum dilakukan tindakan dan
Sesudah dilakukan tindakan. Selain itu, keberhasilan produk juga dapat dilihat dari
pencapaian peserta didik menuntaskan praktik menulis naskah drama (aspek penilaian), yaitu lebih
dari atau sama dengan 76.
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Y. (2012). Pembelajaran bahasa berbasis pendidikan karakter. Bandung: Refika


Aditama.
Ahmad. (2007). Media pembelajaran. Makasar: Badan Penerbit Universitas
Negeri Makasar.
Angkowo. (2007). Optimalisasi media pembelajaran. Jakarta: PT Grasindo.
Arikunto, S. (2013). Prosedur penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Arsyad, A. (2013). Media pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Budiono. (2008). Strategi memanfaakan media gambar untuk
meningkatkankemampuan kosakata pada pembelajaran bahasa inggris
pada sekolah dasar. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Daryanto. (2010). Media pembelajaran. Yogyakarta: Gava Media.
DepDikNas. (2007). Pedoman penulisan buku pelajaran, penjelasan standar mutu
buku pelajaran bahasa indonesia. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen
Indonesia.
Dhieni, N. (2008). Metode pengenmbangan bahasa. Jakarta: Pusat Penerbitan
Universitas Terbuka.
Djamarah. (2010). Strategi belajar mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Farida. (2013). Mahir berbahasa indonesia. Bogor: Yudhistira.
Fathurrohman. (2014). Strategi belajar mengajar. Bandung: PT Refika Aditama.
Gintings, A. (2010). Esensi praktis belajar dan pembelajaran. Bandung:
Humaniora.
Hamalik, O. (2008). Media pendidikan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Herry, A. (2007). Media pembelajaran sekolah dasar. Bandung: UPI PRESS.
Hojanto, O. (2013). Public speaking mastery. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Iskandarwassid. (2013). Strategi pembelajaran bahasa. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Kemendikbud. (2016). Bahasa indonesia. Jakarta: Kemendikbud 2016.
Kemendikbud. (2014). Buku guru tema 5 : bangga sebagai bangsa indonesia.
Jakarta: Kementrerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Majid, A. (2014). Implementasi kurikulum 2013. Bandung: Interes Media.
Majid, A. (2009). Perencanaan pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Moeslichatoen. (2004). Metode pengajaran di taman kanak-kanak. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Mulyasa. (2013). Pengembangan dan implementasi kurikulum 2013. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya Offset.
Nurgiyantoro, B. (2001). Penilaian dalam pengajaran bahasa dan sastra.
Yogyakarta: BPFE.
Nurgiyantoro, B. (2010). Teori pengkajian fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Prastati, T. (2007). Media sederhana. Jakarta: PAU-PPAI-UT.
Purba. (2009). Pembelajaran berbicara. Jakarta: Depdiknas.
Risaldy, S. (2014). Bermain, bercerita & menyanyi bagi anak usia dini. Jakarta:
PT. Luxima Metro Media.
Rusmiati. (2000). Psikologi komunikasi. Bandung: Pustaka Setia.
Sadiman. (2012). Media pendidikan, pengertian, pengembangan, dan
pemanfaattan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Shoimin, A. (2014). 68 Model pembelajaran inovatif dalam kurikulum 2013.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Slamet. (2008). Dasar-dasar keterampilan berbahasa indonesia. Surakarta: UNS
Press.
Subyantoro. (2007). Bercerita untuk meningkatkan kecerdasan emosional anak.
Semarang: Rumah Kita.
Sudjana. (2009). Media pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Sugiyono. (2015). Metode penelitian pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Susanto, A. (2014). Pengembangan pembelajaran ips di sekolah dasar. Jakarta:
Prenadamedia Group.
Susilana. (2009). Media pembelajaran. Bandung: CV. Wahana Prima.
Taningsih. (2007). Mengembangkan kemampuan bahasa anak usia 4-6 tahun
melalui bercerita. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Tarigan, H. (2013). Berbicara sebagai suatu keterampilan berbahasa. Bandung:
CV. Angkasa.
Vismaia, S. d. (2014). Metode penelitian pendidikan bahasa. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Wardani, S. (2012). Asesmen pembelajaran sd. . Salatiga: Widya Sari.
Warsita, B. (2008). Teknologi pembelajaran, landasan dan aplikasinya. Jakarta:
Rineka Cipta.
Wendra. (2008). Buku ajar keterampilan berbicara. Singaraja: Universitas
Pendidikan Ganesha.

Anda mungkin juga menyukai