Anda di halaman 1dari 17

ASPEK FILSAFAT DALAM PERTIMBANGAN PUTUSAN PENGADILAN1

Oleh : Dr. H. Ahmad Zaenal Fanani, SHI., M.Si.2

1. Pendahuluan

Problem mendasar reformasi hukum yang sampai sekarang belum terpecahkan

adalah persoalan penegakan keadilan dalam putusan hakim. Hal ini dikarenakan putusan

hakim yang seharusnya menjadi parameter mengukur kualitas, kepiawaian dan

kemampuan hakim dalam menegakkan keadilan, tetapi sekarang putusan hakim dalam

praktek sering mendapat sorotan publik karena disalahgunakan untuk melanggengkan

ketidakadilan. Putusan hakim seharusnya menghasilkan putusan yang imparsial,

argumentatif dan rasional, akan tetapi putusan hakim beberapa kali ditemukan berpihak,

tekstual dan irasional.

Itulah fenomena putusan hakim dewasa ini yang banyak yang mendapat

kritikan tajam dan sorotan masyarakat karena dinilai kering dan belum mencerminkan

nilai-nilai keadilan sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945 hasil amandemen

pasal 24 ayat (1) yang menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman (dimana produknya

adalah putusan hakim) merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Kritikan di atas tentu harus ditempatkan secara proporsional, sehingga tidak

hanya para Hakim dan putusannya yang hanya jadi sasaran kritik, tanpa melihat

problem mendasar dalam sistem penegakan hukum di negara kita yang menyebabkan

prinsip keadilan belum terwujud secara maksimal.

1
Tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah Hukum Varia Peradilan No. 380 Juli 2017.
2
Wakil Ketua Pengadilan Agama Kota Madiun. Penulis beberapa buku diantaranya buku
berjudul “Berfilsafat Dalam Putusan Hakim: Teori dan Praktik” dan “Pembaruan Hukum Sengketa Hak
Asuh Anak di Indonesia Perspektif Keadilan Jender”.

1
Harus diakui banyak putusan hakim yang pertimbangan hukumnya terlalu

normatif dan tidak mencerminkan nilai keadilan, kurang menggali nilai-nilai yang hidup

di masyarakat, lebih suka menjadi corong undang-undang dan tidak berani melakukan

penemuan hukum dan pembaruan hukum.

Tim Lindsey dalam Islam, Law and the State in Southeast Asia menyebut ada

kecenderungan kurangnya penekanan dalam memberikan pertimbangan hukum yang

detail dan eksplisit. Rendahnya kualitas putusan banyak disebabkan oleh gaya

perumusan dan struktur putusan yang dibuat. Hal ini merupakan tipikal khusus yang

ditemukan dalam hampir sebagian besar putusan pengadilan di Indonesia.3

Salah satu penyebabnya adalah karena hakim jarang yang mau berpikir

falsafati atau menggunakan filsafat hukum dalam putusannya. Padahal keadilan adalah

tema utama yang selalu digali dan didiskusikan secara terus menerus oleh para filsuf

dalam filsafat hukum. Dibalik teks-teks hukum yang normatif, ada filsafat hukum yang

melatari dan menjadi inti dari adanya hukum tersebut, yaitu keadilan. Inti hukum

tersebut yang seharusnya dijadikan pegangan oleh semua hakim dalam proses

persidangan dan pengambilan putusan.4

Jika setiap putusan hakim dihasilkan melalui proses berpikir falsafati maka

putusan akan menjadi mahkota hakim yang merefleksikan nilai-nilai keadilan,

mendobrak kejumudan hukum, menciptakan pembaruan hukum, dan pertimbangan

hukumnya mendasar, menyeluruh, kontekstual, dan argumentatif.

Tulisan ini ingin mengkaji pertimbangan hukum putusan dalam perspektif

filsafat dengan harapan bisa menggugah para penegak hukum khususnya para hakim

agar berani berpikir falsafati dalam putusannya dan dalam proses penegakan hukum,

3
Tim Lindsey, Islam, Law and the State in Southeast Asia, 2012: hal. 330 s/d 334.
4
Ahmad Zaenal Fanani, Berfilsafat dalam Putusan Hakim, Bandung: CV Mandar Maju, 2014,
hal. 30.

2
memiliki komitemen untuk tidak jumud dalam berpikir, berani melakukan terobosan

dan pembaruan hukum dalam penyelesaian sengketa dan putusan.

2. Karakteristik pemikiran kefilsafatan

Setidaknya ada 3 (tiga) karakteristik utama pemikiran kefilsafatan, yaitu

menyeluruh, mendasar, dan spekulatif.5 Seseorang hakim diangap telah berfilsafat jika

tiga karakeristik utama tersebut tercermin dan dominan dalam pemikiran dan

putusannya.

Memang karakteristik filsafat tidak hanya tiga itu saja, masih ada karakteristik

yang lain seperti diantaranya kritis, analitis, sistematis, konseptual dan karakteristik

lainnya. Akan tetapi hampir mayoritas literatur filsafat menyebutkan tiga karakteristik

tersebut merupakan karakteristik utama yang harus ada dalam pemikiran kefilsafatan

dan tiga karakteristik tersebut sudah mencakup karakteristik yang lain.

Karakteristik “menyeluruh” mengandung makna bahwa pemikiran kefilsafatan

itu komprehensif dan luas karena tidak membatasi diri dan bukan hanya ditinjau dari

satu sudut pandangan tertentu.

Berfilsafat tidak akan puas hanya mengenal objeknya dari sudut tertentu secara

khusus sebagaimana dilakukan oleh ilmu-ilmu yang lain. Berfilsafat berarti melihat

atau memandang objeknya dari sudut totalitas (keseluruhan), menggali dan menyelami

hakekat sesuatu. Untuk itu, befilsafat berarti melakukan perenungan yang mendalam.

Orang berfilsafat diibaratkan seperti seseorang di malam hari yang cerah memandang ke

langit melihat bintang-bintang yang bertaburan dan merenungkan hakekat dirinya dalam

lingkungan alam semesta.

5
Surajiyo, Ilmu Filsafat; Jakarta: Bumi Aksara, 2004, hal. 13

3
“Mendasar” artinya pemikiran kefilsafatan itu harus mendalam sampai kepada

hasil yang fundamental atau esensial objek yang dipelajarinya sehingga dapat dijadikan

dasar berpijak bagi segenap nilai dan keilmuan. Jadi, tidak hanya berhenti pada kulitnya

saja, tetapi sampai tembus kedalamnya. Berfilsafat selalu menggunakan daya kritisnya

untuk mengkaji suatu obyek sampai ke akar-akarnya.

Berfilsafat tidak berhenti percaya dengan begitu saja secara dangkal akan tetapi

secara radikal filsafat terus bertanya ke dasar dari sesuatu alasan. Seperti Socrates yang

berkata ”Ternyata saya tak tahu apa-apa”. Selanjutnya Socrates berpikir filsafati yakni

dia tidak percaya bahwa ilmu yang sudah dimilikinya itu benar dan bertanya-tanya

mengenai apakah kriteria untuk menyatakan kebenaran?, apakah kriteria yang

digunakan tersebut sudah benar?, dan apakah hakekat kebenaran itu sendiri?. Socrates

berpikir tentang ilmu secara mendalam dan ini merupakan karakteristik berpikir filsafat

yang kedua yaitu mendasar.

“Spekulatif” artinya hasil pemikiran yang didapat dijadikan dasar bagi

pemikiran selanjutnya. Hasil pemikirannya selalu dimaksudkan sebagai dasar untuk

menjelajah wilayah pengetahuan yang baru. Kegiatan spekulatif merupakan yang

pertama dari kegiatan-kegiatan utama yang telah dilakukan oleh para filsuf selama

berabad-abad, yakni membuat dugaan-dugaan yang masuk akal mengenai sesuatu hal.

Berfilsafat berusaha menetapkan kriteria apa yang disebut benar (logika), apa yang

disebut baik (etika) dan apa yang disebut indah (estetika) dan selanjutnya dapat

diteruskan dan dimanfaatkan oleh ilmu-ilmu lain. Semua pengetahuan yang sekarang

ada dimulai dari spekulasi. Dari serangkaian spekulasi kita dapat memilih buah pikiran

yang dapat diandalkan yang merupakan titik awal dari penjelajahan pengetahuan.

Berdasarkan pada tiga karakteristik pemikiran kefilsafatan diatas itulah

kemudian para filsuf menyatakan pentingnya peranan filsafat dalam menemukan

4
kebenaran yang hakiki dan menjadi fondasi ilmu pengetahuan. Diantara para filsuf

tersebut adalah Plato (428 -348 SM) yang menyatakan bahwa filsafat tidak lain dari

pengetahuan tentang segala yang ada. Filsafat adalah pengetahuan yang berminat

mencapai pengetahuan kebenaran yang asli. Aristoteles (384 – 322 SM) juga

menegaskan bahwa kewajiban filsafat adalah menyelidiki sebab dan asas segala benda.

Dengan demikian filsafat bersifat ilmu umum sekali. Tugas penyelidikan tentang sebab

telah dibagi sekarang oleh filsafat dengan ilmu.

Filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang terkandung

didalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.

Bahkan Cicero (106 – 43 SM) menjadikan filsafat adalah sebagai “ibu dari semua seni

(the mother of all the arts), sehingga oleh Imanuel Kant (1724 – 1804) filsafat

merupakan ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala

pengetahuan.6

3. Putusan Hakim Perspektif Filsafat

Lalu pertanyaan selanjutnya adalah apa relevansinya tiga karakteristik utama

pemikiran kefilsafatan diatas dengan tugas pokok seorang hakim? Apakah hakim harus

berpikir seperti sang filsuf ketika memeriksa dan memutus sebuah perkara?.

Untuk menjawab dua pertanyaan mendasar diatas kita perlu mengkaji terlebih

dahulu tugas pokok hakim, respon dan kritik publik atas putusan hakim dewasa ini dan

kemudian mengaitkan relevansinya dengan karakteristik pemikiran kefilsafatan.

Hakim adalah jabatan istimewa, prestisius dan mulia (officium nobile). Hakim

bertugas memberi putusan dalam setiap perkara yang dihadapkan kepadanya,

menetapkan hal-hal seperti hubungan hukum, nilai hukum dari perilaku, serta

6
Pemikiran Plato, Aristoteles, Cicero dan Immanuel Kant tentang filsafat secara lengkap bisa
dibaca dalam John Cottingham (ed.), Western Philosophy An Anthology, Cambridge: Blackwell, 1943.

5
kedudukan hukum pihak-pihak yang terlibat dalam perkara, sehingga untuk

menyelesaikan perkara secara imparsial berdasarkan hukum, maka hakim harus selalu

mandiridan bebas dari pihak manapun, terutama ketika memeriksa dan membuat sebuah

putusan.

Hakim dan putusan bak dua sisi keping uang yang tak bisa dipisahkan.

Kemampuan dan kualitas hakim dalam memutus perkara tecermin dari putusannya. Tak

heran jika banyak pihak menyebut putusan sebagai mahkota hakim. Sangat besar

harapan agar hakim mampu menghasilkan putusan yang imparsial, argumentatif dan

rasional, konstitusi memberikan jaminan imunitas yudisial yang penuh.

Pasal 24 ayat (1) UUD l945 mengamanatkan sikap kemandirian hakim sebagai

pelaku utama kekuasaan kehakiman dari campur tangan pihak manapun serta menjamin

kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Dalam suatu negara yang berdasarkan hukum, kekuasaan kehakiman

merupakan badan yang sangat menentukan isi dan kekuatan kaidah-kaidah hukum

positif. Kekuasaan kehakiman diwujudkan dalam tindakan pemeriksaan, penilaian dan

penetapan nilai perilaku manusia tertentu serta menentukan nilai situasi konkrit dan

menyelesaikan persoalan atau konflik yang ditimbulkan secara imparsial berdasarkan

hukum sebagai patokan obyektif.7

Hakim sebagai pelaku utama kekuasaan kehakiman mempuyai tugas pokok

yaitu menegakkan hukum dan keadilan dalam setiap putusan yang dibuatnya. Untuk itu,

setiap putusan hakim harus mempertimbangkan segala aspek yang bersifat yuridis,

sosiologis, dan filosofis, sehingga keadilan yang ingin diwujudkan dan

dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim adalah keadilan yang beroirentasi pada

7
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2004, hal. 93.

6
keadilan hukum (legal justice), keadilan masyarakat (social justice) dan keadilan moral

(moral justice).

Putusan hakim juga seharusnya memuat idee des recht, yang meliputi 3 unsur

yaitu keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtsicherheit) dan kemanfaatan

(zwechtmassigkeit). Kepastian hukum terletak pada pasal-pasal perundang-undangan.

Kemanfaatan terletak pada tujuan pasal-pasal tersebut dibuat atau akibat hukum dari

suatu putusan yang diputus oleh pengadilan. Sementara keadilan terletak pada nilai-nilai

kehidupan yang ada (living law).8

Idealitas hakim dan putusan hakim diatas dalam praktek belum sepenuhnya

berjalan sesuai harapan. Hakim dan putusannya banyak mendapat sorotan dan kritikan

publik, terutama terkait rendahnya kualitas mahkota hakim tersebut, karena dinilai

kering dan belum mencerminkan nilai-nilai keadilan sebagaimana yang diamanatkan

oleh UUD 1945 hasil amandemen pasal 24 ayat (1).

Putusan hakim banyak dinilai belum beroirentasi pada keadilan hukum (legal

justice), keadilan masyarakat (social justice) dan keadilan moral (moral justice).

Putusan hakim juga dikritik belum mampu mewujudkan tujuan hukum yaitu keadilan

(gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtsicherheit) dan kemanfaatan (zwechtmassigkeit).

Fenomena gap antara idealitas dan realitas dilapangan diatas, khususnya

tentang penegakan keadilan dalam putusan, menjadi problem mendasar dan krusial yang

harus diselesaikan dalam penegakan hukum dewasa ini.

Salah satu faktor utama yang menyebabkan putusan kering dari nilai keadilan

dan tidak mampu mewujudkan tujuan hukum adalah karena hakim jarang yang mau

berpikir falsafati dalam putusannya. Padahal keadilan adalah tema utama yang selalu

digali dan didiskusikan secara terus menerus oleh para filsuf dalam filsafat hukum.

8
Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum: 2011: 23 dan Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan
Hukum: 2012: 8

7
Teori-teori Hukum Alam sejak Socrates hingga Francois Geny, selalu

mendiskusikan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam, misalnya,

mengutamakan “the search for justice”. Teori keadilan Aristoteles dalam bukunya

nicomachean ethics dan teori keadilan sosial John Rawl dalam bukunya a theory of

justice, juga selalu menegaskan bahwa keadilan harus diagungkan, keadilan harus

dinomorsatukan, dan keadilan harus di atas segala-galanya untuk selalu diperjuangkan

oleh setiap manusia. 9

Untuk itu, agar hakim sensitif atas nilai keadilan maka hakim harus digalakkan

berpikir falsafati atau menggunakan pendekatan filsafat hukum dalam putusannya.

Dibalik teks-teks hukum yang normatif, ada filsafat hukum yang melatari dan

menjadi inti dari adanya hukum tersebut, yaitu keadilan. Dan filsafat dan inti hukum

tersebut yang seharusnya dijadikan pegangan oleh semua hakim dalam proses

pembuatan dan pengambilan putusan, tidak hanya sebatas teks-teks hukum yang

normatif dan tekstual semata.

Tujuan berfilsafat adalah mencari hakikat kebenaran, baik dalam logika

(kebenaran berpikir), etika (berperilaku), maupun metafisika (hakikat keaslian). Oleh

karena itu, jika hakim mau berpikir falsafati maka dia akan terus melakukan perenungan

secara “menyeluruh”.

Pertimbangan hukum yang dibuatnya merupakan hasil kajian secara utuh atau

komprehensif. Dia menggali dan menyelami hakekat kebenaran yang ada dalam kasus

tersebut. Tidak hanya dari aspek hukum, tapi juga sosiologi, moral, etika, dan disiplin

ilmu lainya.

Pertimbangan hukumnya juga mengkaji kasus tersebut secara mendalam

sampai kepada hasil yang fundamental atau esensial. Hakim tidak berhenti begitu saja

9
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansa dan
Nusamedia, 2004, hal. 239.

8
secara dangkal akan tetapi secara radikal terus bertanya ke dasar dari sesuatu alasan

untuk menemukan kebenaran. Hakim tidak hanya berhenti pada teks normatif, tetapi

menggali seluruh makna yang ada dibalik teks, bahkan kadang harus merekonstruksi

makna baru dari teks yang ada.

Putusan yang dibuatnya akan menghasilkan putusan yang mengandung kaidah

hukum dan menjadi yurisprudensi yang mengispirasi dan diikuti oleh hakim lainnya dan

berguna bagi pegembangan pemikiran hukum selanjutnya. Hasil pemikiran dan

putusannya selalu dimaksudkan sebagai dasar untuk menjelajah wilayah pengetahuan

yang baru.

Pada tahap ini putusan hakim sesuai dengan karakteristik pemikiran

kefilsafatan yaitu menyeluruh, mendasar dan spekulatif.

Kebiasaan menganalisis segala sesuatu dalam hidup seperti yang diajarkan

dalam metode berfilsafat, akan menjadikan seseorang cerdas, kritis, sistematis, dan

objektif dalam melihat dan memecahkan beragam problema kehidupan, sehingga

mampu meraih kualitas, keunggulan dan kebahagiaan hidup.

Belajar filsafat akan melatih seseorang untuk mampu meningkatkan kualitas

berfikir secara mandiri, mampu membangun pribadi yang berkarakter, tidak mudah

terpengaruh oleh faktor eksternal, tetapi disisi lain masih mampu mengakui harkat

martabat orang lain, mengakui keberagaman dan keunggulan orang lain. Dengan

berfilsafat manusia selalu dilatih, dididik untuk berpikir secara universal,

multidimensional, komprehensif, dan mendalam.

Berfilsafat ialah berusaha menemukan kebenaran tentang segala sesuatu

dengan menggunakan pemikiran secara serius. Belajar filsafat merupakan salah satu

bentuk latihan untuk memperoleh kemampuan memecahkan masalah secara serius,

9
menemukan akar persoalan yang terdalam, menemukan sebab terakhir satu

penampakan.

Jika setiap putusan hakim melalui proses falsafati di atas maka Hakim layak

disebut sebagai Filsuf Hukum. Sang Filsuf yang tidak hanya bergelut dengan teori-teori

filsafat hukum an-sich akan tetapi juga mengamalkan teori-teori tersebut dalam ranah

hukum praktis. Berbeda dengan filsuf hukum lainnya yang hanya bergelut di wilayah

teori dan tidak pernah dipraktek. Itulah kelebihan sang filsuf yang berprofesi sebagai

Hakim dibanding filsuf-filsuf hukum lainnya.

Jika hakim sudah menjadi filsuf maka dia akan menjadi pendobrak kejumudan,

berani melakukan terobosan dan pembaruan hukum dalam penyelesaian sengketa dan

putusan.

4. Berfilsafat Dalam Penalaran Hukum Putusan

Penalaran hukum (legal reasoning) direpresentasikan dengan mengikuti

rangkaian proses bekerja (berpikir) seorang hakim (judicial reasoning). Penalaran

hukum disini dipersempit menjadi penalaran hakim tatkala yang bersangkutan

mempertimbangkan suatu kasus konkret dalam pertimbangan hukum putusannnya.

Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa hakim harus mempuyai

kemampuan menyelesaikan perkara yuridis (the power of solving legal problems), yang

terdiri dari tiga kegiatan utama yakni merumuskan masalah hukum (legal problem

identification), memecahkannya (legal problem solving), dan terakhir mengambil

keputusan (decision making).10

Kenneth J. Vandevelde menyebutkan lima langkah penalaran hukum, yaitu: (1)

mengidentifikasi sumber hukum yang mungkin, biasanya berupa peraturan perundang-

10
Sudikno Mertokusumo, “Pendidikan Hukum di Indonesia dalam Sorotan” Harian Kompas 7
Nopember 1990, hal. 4 dan 5;

10
undangan dan putusan pengadilan (identify the applicable source of law); (2)

menganalisis sumber hukum tersebut untuk menetapkan aturan hukum yang mungkin

dan kebijakan dalam aturan tersebut (analyze the sources of law); (3) mensintesiskan

aturan hukum tersebut kedalam struktur yang koheren, yakni struktur yang

mengelompokkan aturan-aturan khusus dibawah aturan umum (synthesize the aplicable

rules of law into a coherent structure); (4) menelaah fakta-fakta yang tersedia (research

the available facts); dan (5) menerapkan struktur aturan tersebut kepada fakta-fakta

untuk memastikan hak atau kewajiban yang timbul dari fakta-fakta itu, dengan

menggunakan kebijakan yang terletak dalam aturan-aturan hukum dalam hal

memecahkan kasus-kasus sulit (apply the structure of rules to the facts).11

Gr. Van der Brught dan J.D.C. Winkelman menyebutkan tujuh langkah yang

harus dilakukan seorang hakim dalam menghadapi suatu kasus, yaitu (1) meletakkan

kasus dalam sebuah peta (memetakan kasus) atau memaparkan kasus dalam sebuah

ikhtisar atau memaparkan secara singkat duduk perkara dari sebuah kasus; (2)

menerjemahkan kasus itu kedalam peristilahan yuridis (mengkualifikasi); (3)

menyeleksi aturan-aturan hukum yang relevan; (4) menganalisis dan menafsirkan

terhadap aturan-aturan hukum itu; (5) menerapkan aturan-aturan hukum pada kasus; (6)

mengevaluasi dan menimbang (mengkaji) argumen-argumen dan penyelesaian; dan (7)

merumuskan (formulasi) penyelesaian.12

Sidharta dalam penilitian disertasinya tentang penalaran hukum menyimpulkan

bahwa ada enam langkah utama penalaran hukum, yaitu: (1) mengidentifikasi fakta-

fakta untuk menghasilkan suatu struktur (peta) kasus yang sungguh-sungguh diyakini

hakim sebagai kasus yang riil terjadi; (2) menghubungkan struktur kasus tersebut

11
Sidharta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan, Bandung: CV.
Utomo, 2009, hal. 196.
12
Ibid, hal. 197.

11
dengan sumber-sumber hukum yang relevan, sehingga ia dapat menetapkan perbuatan

hukum dalam peristilahan yuridis (legal term); (3) menyeleksi sumber hukum dan

aturan hukum yang relevan untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung

didalam aturan hukum itu, sehingga dihasilkan suatu struktur aturan yang koheren; (4)

menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus; (5) mencari alternatif-alternatif

penyelesaian yang mungkin; dan (6) menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk

kemudian diformulasikan sebagai putusan akhir.13

Dalam praktek peradilan di Indonesia, sebagian putusan hakim ketika

mengkonstatir, mengkualifisir dan mengkonstituir dalam pertimbangan hukumnya

melakukan penalaran hukum dengan menggunakan 7 (tujuh) unsur dan tahapan yaitu:

(1) Penegasan dalil; (2) klasifikasi jawaban; (3) Penilaian alat bukti; (4) Analisis

perbandingan alat bukti; (5) Perumusan fakta hukum; (6) Analisis fakta hukum; dan (7)

Kesimpulan.14

Unsur pertama yang ada dalam pertimbangan hukum adalah penegasan dalil.

Penegasan dalil adalah uraian tentang dalil yang menjadi pokok gugatan penggugat.

Dalil tersebut bisa berupa rangkaian dalil dan semuanya harus diungkapkan dalam

permulaan uraian agar pertimbangan selanjutnya menjadi terarah.

Unsur kedua adalah klasifikasi jawaban. Pada tahapan ini diuraikan tentang

pokok-pokok jawaban Tergugat dikaitkan dengan pokok dalil gugatan. Di sini jawaban

tergugat bisa diklasifikasikan menjadi jawaban yang mengakui sebagian dalil penggugat

dan jawaban yang membantah dalil penggugat. Pengakuan tergugat harus dilihat apakah

merupakan pengakuan bulat atau pengakuan bersyarat atau pengakuan berkualifikasi.

Bantahan tergugat dijadikan dasar untuk melihat siapa yang berkewajiban untuk

dibebani beban pembuktian.

13
Ibid, hal. 197 s/d 225.
14
Ahmad Zaenal Fanani, op.cit, Bandung: CV Mandar Maju, 2014, hal. 127 s/d130.

12
Unsur ketiga adalah penilaian alat bukti. Pada tahapan ini yang pertama

diuraikan apa saja alat bukti tertulis dan saksi yang diajkan oleh penggugat, baru setelah

itu alat bukti tertulis dan saksi tergugat. Masing-masing alat bukti penggugat dan

tergugat harus dinilai apakah relevan atau tidak, memenuhi syarat formil dan materiil

atau tidak, serta bagaimana nilai daya bukti alat bukti tersebut.

Unsur keempat adalah analisis perbandingan alat bukti. Pada tahapan ini

dilakukan perbandingan antara alat bukti yang diajukan penggugat dengan alat bukti

yang diajukan tergugat. Dari perbandingan ini akan dapat diketahui mana alat bukti

yang lebih kuat antara yang diajukan oleh penggugat dan yang diajukan oleh tergugat.

Dari perbandingan ini pula akan bisa diketahui mana dalil yang terbukti dan mana dalil

yang tidak terbukti.

Pada tahapan ketiga dan keempat ini hakim harus paham dan mengerti tentang

hukum pembuktian. Jika tidak paham hukum pembuktian dengan baik bisa dipastikan

akan terjadi kekeliruan atau kesalahan dalam proses perbandingan alat bukti.

Unsur kelima adalah perumusan fakta hukum. Setelah diketahui mana dalil

yang terbukti dan yang tidak terbukti dapat dirumuskan dan ditegaskan fakta hukum apa

saja yang bisa ditemukan dalam perkara yang bersangkutan.

Definisi fakta hukum adalah kejadian yang mengandung hak dan kewajiban

atau meniadakan hak dan kewajiban. Sedangkan persitiwa hukum adalah kejadian yang

tidak mengandung hak dan kewajiban. Fakta hukum bisa dibangun dari satu

kejadian/peristiwa, beberapa kejadian/peristiwa, dibangun dari dua atau lebih fakta

hukum, dan juga bisa dibangun dari kejadian/peristiwa dan fakta hukum.

Unsur keenam adalah analisis fakta hukum. Tahapan analisis fakta hukum

adalah tahapan dimana hakim melakukan penalaran hukum atas fakta hukum yang telah

dirumuskan tersebut. Hakim menggali norma hukum dalam peraturan perundang-

13
undangan yang berlaku atau norma hukum yang hidup di masyarakat (living law) untuk

bisa diterapkan dalam kasus yang fakta hukumnya telah dirumuskan tersebut. Analisis

yang dilakukan bisa berupa analisis normatif, dan atau analisis filosofis dan atau

sosiologis.

Jika tidak ditemukan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang

kasus tersebut, maka hakim harus melakukan proses penemuan hukum. Jika peraturan

perundang-undangan sudah tidak sesuai dengan nilai keadilan dan kondisi sosial

masyarakat, maka hakim bisa mengesampingkan peraturan tersebut dengan melakukan

contra legem dengan syarat harus dibuat argumentasi hukum yang rasional.

Unsur ketujuh adalah kesimpulan hukum. Pada tahap ini semua tuntutan

penggugat yang ada dalam petitum gugatan dijawab satu persatu secara argumentatif

dengan pendekatan induktif. Diuraikan satu persatu mana tuntutan yang dikabulkan atau

ditolak atau dinyatakan tidak dapat diterima secara argumentatif.

Jika ketujuh tahapan tersebut diikuti dengan penuh tanggungjawab oleh hakim

dalam proses pembuatan pertimbangan hukum putusan, maka peRtimbangan hukum

putusan hakim akan menjadi sistematis dan logis serta mendalam.

Jika pada setiap tahapan hakim mau berpikir falsafati maka pertimbangan

hukum yang dibuatnya dalam setiap tahapan akan merepresentasikan karakteristik

pemikiran kefilsafatan yaitu menyeluruh, mendasar dan spekulatif.

Menyeluruh mengharuskan pertimbangan hukum merupakan hasil kajian

secara utuh atau komprehensif. Hakim harus menggali dan menyelami hakekat

kebenaran yang ada dalam kasus tersebut. Tidak hanya dari aspek hukum, tapi juga

sosiologi, moral, etika, dan disiplin ilmu lainya. Pendekatan interdisipliner bahkan

multidisipliner perlu digunakan dalam mengkaji kasus.

14
Pertimbangan hukumnya harus mendasar yaitu hakim mengkaji kasus tersebut

secara mendalam sampai kepada hasil yang fundamental atau esensial. Hakim tidak

berhenti begitu saja secara dangkal akan tetapi secara radikal terus bertanya ke dasar

dari sesuatu alasan untuk menemukan kebenaran. Hakim tidak hanya berhenti pada teks

normatif, tetapi menggali seluruh makna yang ada dibalik teks, bahkan kadang harus

merekonstruksi makna baru dari teks yang ada.

Bersifat spekulatif dalam artian putusan yang dibuatnya akan menghasilkan

putusan yang mengandung kaidah hukum dan menjadi yurisprudensi yang mengispirasi

dan diikuti oleh hakim lainnya dan berguna bagi pengembangan pemikiran hukum

selanjutnya. Hasil pemikiran dan putusannya selalu dimaksudkan sebagai dasar untuk

menjelajah wilayah pengetahuan yang baru.

5. Penutup

Hakim adalah jabatan mulia. Tugas pokok Hakim sebagai pelaku utama

kekuasaan kehakiman adalah menegakkan hukum dan keadilan dalam setiap

pertimbangan hukum putusan.

Setiap putusan hakim harus mempertimbangkan segala aspek yang bersifat

yuridis, sosiologis, dan filosofis. Putusan hakim harus beroirentasi pada keadilan hukum

(legal justice), keadilan masyarakat (social justice) dan keadilan moral (moral justice).

Putusan hakim juga seharusnya tidak hanya berorientasi keadilan (gerechtigkeit), tetapi

juga kepastian hukum (rechtsicherheit) dan kemanfaatan (zwechtmassigkeit).

Idealitas putusan hakim diatas dalam praktek belum sepenuhnya berjalan

sesuai harapan. Hakim dan putusannya masih banyak mendapat sorotan dan kritikan

publik, terutama terkait rendahnya kualitas pertimbangan hukum putusan yang banyak

15
dinilai dangkal, sumir dan tidak argumentatif serta kering dan belum mencerminkan

nilai-nilai keadilan.

Untuk itu, agar putusan hakim sesuai dengan dengan idealitas putusan diatas

dan sensitif nilai keadilan maka hakim harus digalakkan berpikir falsafati dalam

putusannya. Jika hakim mau berpikir falsafati maka dia akan terus melakukan

perenungan secara menyeluruh. Pertimbangan hukum yang dibuatnya merupakan hasil

penalaran hukum secara utuh atau komprehensif. Hakim akan menggali dan menyelami

hakekat kebenaran yang ada dalam kasus tersebut. Hakim tidak hanya berhenti pada

teks normatif, tetapi menggali seluruh makna yang ada dibalik teks, bahkan kadang

harus merekonstruksi makna baru dari teks yang ada.

Putusan yang dibuatnya akan menghasilkan putusan yang mengandung kaidah

hukum dan menjadi yurisprudensi yang mengispirasi dan diikuti oleh hakim lainnya dan

berguna bagi pegembangan pemikiran hukum selanjutnya.

Jika putusan hakim sudah melalui proses falsafati di atas maka Hakim layak

disebut sebagai filsuf hukum dan jika hakim sudah menjadi filsuf maka setiap kata,

perilaku dan putusannya akan merefleksikan nilai-nilai keadilan, dia akan menjadi

pendobrak kejumudan, berani melakukan terobosan dan pembaruan hukum dalam

penyelesaian sengketa dan putusan. Semoga.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Zaenal Fanani, Berfilsafat dalam Putusan Hakim, Bandung: CV Mandar Maju,

2014.

John Cottingham (ed.), Western Philosophy An Anthology, Cambridge: Blackwell,

1943.

16
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra

Aditya Bakti, Bandung, 2004.

Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum: 2011: 23 dan Bambang Sutiyoso, Metode

Penemuan Hukum: 2012.

Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansa dan

Nusamedia, 2004.

Sudikno Mertokusumo, “Pendidikan Hukum di Indonesia dalam Sorotan” Harian

Kompas 7 Nopember 1990.

Sidharta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan, Bandung:

CV. Utomo, 2009.

B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung:

1999.

Surajiyo, Ilmu Filsafat; Jakarta: Bumi Aksara, 2004.

Tim Lindsey, Islam, Law and the State in Southeast Asia, 2012.

17

Anda mungkin juga menyukai