1. Pendahuluan
adalah persoalan penegakan keadilan dalam putusan hakim. Hal ini dikarenakan putusan
kemampuan hakim dalam menegakkan keadilan, tetapi sekarang putusan hakim dalam
argumentatif dan rasional, akan tetapi putusan hakim beberapa kali ditemukan berpihak,
Itulah fenomena putusan hakim dewasa ini yang banyak yang mendapat
kritikan tajam dan sorotan masyarakat karena dinilai kering dan belum mencerminkan
nilai-nilai keadilan sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945 hasil amandemen
pasal 24 ayat (1) yang menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman (dimana produknya
hanya para Hakim dan putusannya yang hanya jadi sasaran kritik, tanpa melihat
problem mendasar dalam sistem penegakan hukum di negara kita yang menyebabkan
1
Tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah Hukum Varia Peradilan No. 380 Juli 2017.
2
Wakil Ketua Pengadilan Agama Kota Madiun. Penulis beberapa buku diantaranya buku
berjudul “Berfilsafat Dalam Putusan Hakim: Teori dan Praktik” dan “Pembaruan Hukum Sengketa Hak
Asuh Anak di Indonesia Perspektif Keadilan Jender”.
1
Harus diakui banyak putusan hakim yang pertimbangan hukumnya terlalu
normatif dan tidak mencerminkan nilai keadilan, kurang menggali nilai-nilai yang hidup
di masyarakat, lebih suka menjadi corong undang-undang dan tidak berani melakukan
Tim Lindsey dalam Islam, Law and the State in Southeast Asia menyebut ada
detail dan eksplisit. Rendahnya kualitas putusan banyak disebabkan oleh gaya
perumusan dan struktur putusan yang dibuat. Hal ini merupakan tipikal khusus yang
Salah satu penyebabnya adalah karena hakim jarang yang mau berpikir
falsafati atau menggunakan filsafat hukum dalam putusannya. Padahal keadilan adalah
tema utama yang selalu digali dan didiskusikan secara terus menerus oleh para filsuf
dalam filsafat hukum. Dibalik teks-teks hukum yang normatif, ada filsafat hukum yang
melatari dan menjadi inti dari adanya hukum tersebut, yaitu keadilan. Inti hukum
tersebut yang seharusnya dijadikan pegangan oleh semua hakim dalam proses
Jika setiap putusan hakim dihasilkan melalui proses berpikir falsafati maka
filsafat dengan harapan bisa menggugah para penegak hukum khususnya para hakim
agar berani berpikir falsafati dalam putusannya dan dalam proses penegakan hukum,
3
Tim Lindsey, Islam, Law and the State in Southeast Asia, 2012: hal. 330 s/d 334.
4
Ahmad Zaenal Fanani, Berfilsafat dalam Putusan Hakim, Bandung: CV Mandar Maju, 2014,
hal. 30.
2
memiliki komitemen untuk tidak jumud dalam berpikir, berani melakukan terobosan
menyeluruh, mendasar, dan spekulatif.5 Seseorang hakim diangap telah berfilsafat jika
tiga karakeristik utama tersebut tercermin dan dominan dalam pemikiran dan
putusannya.
Memang karakteristik filsafat tidak hanya tiga itu saja, masih ada karakteristik
yang lain seperti diantaranya kritis, analitis, sistematis, konseptual dan karakteristik
lainnya. Akan tetapi hampir mayoritas literatur filsafat menyebutkan tiga karakteristik
tersebut merupakan karakteristik utama yang harus ada dalam pemikiran kefilsafatan
itu komprehensif dan luas karena tidak membatasi diri dan bukan hanya ditinjau dari
Berfilsafat tidak akan puas hanya mengenal objeknya dari sudut tertentu secara
khusus sebagaimana dilakukan oleh ilmu-ilmu yang lain. Berfilsafat berarti melihat
atau memandang objeknya dari sudut totalitas (keseluruhan), menggali dan menyelami
hakekat sesuatu. Untuk itu, befilsafat berarti melakukan perenungan yang mendalam.
Orang berfilsafat diibaratkan seperti seseorang di malam hari yang cerah memandang ke
langit melihat bintang-bintang yang bertaburan dan merenungkan hakekat dirinya dalam
5
Surajiyo, Ilmu Filsafat; Jakarta: Bumi Aksara, 2004, hal. 13
3
“Mendasar” artinya pemikiran kefilsafatan itu harus mendalam sampai kepada
hasil yang fundamental atau esensial objek yang dipelajarinya sehingga dapat dijadikan
dasar berpijak bagi segenap nilai dan keilmuan. Jadi, tidak hanya berhenti pada kulitnya
saja, tetapi sampai tembus kedalamnya. Berfilsafat selalu menggunakan daya kritisnya
Berfilsafat tidak berhenti percaya dengan begitu saja secara dangkal akan tetapi
secara radikal filsafat terus bertanya ke dasar dari sesuatu alasan. Seperti Socrates yang
berkata ”Ternyata saya tak tahu apa-apa”. Selanjutnya Socrates berpikir filsafati yakni
dia tidak percaya bahwa ilmu yang sudah dimilikinya itu benar dan bertanya-tanya
digunakan tersebut sudah benar?, dan apakah hakekat kebenaran itu sendiri?. Socrates
berpikir tentang ilmu secara mendalam dan ini merupakan karakteristik berpikir filsafat
pertama dari kegiatan-kegiatan utama yang telah dilakukan oleh para filsuf selama
berabad-abad, yakni membuat dugaan-dugaan yang masuk akal mengenai sesuatu hal.
Berfilsafat berusaha menetapkan kriteria apa yang disebut benar (logika), apa yang
disebut baik (etika) dan apa yang disebut indah (estetika) dan selanjutnya dapat
diteruskan dan dimanfaatkan oleh ilmu-ilmu lain. Semua pengetahuan yang sekarang
ada dimulai dari spekulasi. Dari serangkaian spekulasi kita dapat memilih buah pikiran
yang dapat diandalkan yang merupakan titik awal dari penjelajahan pengetahuan.
4
kebenaran yang hakiki dan menjadi fondasi ilmu pengetahuan. Diantara para filsuf
tersebut adalah Plato (428 -348 SM) yang menyatakan bahwa filsafat tidak lain dari
pengetahuan tentang segala yang ada. Filsafat adalah pengetahuan yang berminat
mencapai pengetahuan kebenaran yang asli. Aristoteles (384 – 322 SM) juga
menegaskan bahwa kewajiban filsafat adalah menyelidiki sebab dan asas segala benda.
Dengan demikian filsafat bersifat ilmu umum sekali. Tugas penyelidikan tentang sebab
didalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
Bahkan Cicero (106 – 43 SM) menjadikan filsafat adalah sebagai “ibu dari semua seni
(the mother of all the arts), sehingga oleh Imanuel Kant (1724 – 1804) filsafat
merupakan ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala
pengetahuan.6
pemikiran kefilsafatan diatas dengan tugas pokok seorang hakim? Apakah hakim harus
berpikir seperti sang filsuf ketika memeriksa dan memutus sebuah perkara?.
Untuk menjawab dua pertanyaan mendasar diatas kita perlu mengkaji terlebih
dahulu tugas pokok hakim, respon dan kritik publik atas putusan hakim dewasa ini dan
Hakim adalah jabatan istimewa, prestisius dan mulia (officium nobile). Hakim
menetapkan hal-hal seperti hubungan hukum, nilai hukum dari perilaku, serta
6
Pemikiran Plato, Aristoteles, Cicero dan Immanuel Kant tentang filsafat secara lengkap bisa
dibaca dalam John Cottingham (ed.), Western Philosophy An Anthology, Cambridge: Blackwell, 1943.
5
kedudukan hukum pihak-pihak yang terlibat dalam perkara, sehingga untuk
menyelesaikan perkara secara imparsial berdasarkan hukum, maka hakim harus selalu
mandiridan bebas dari pihak manapun, terutama ketika memeriksa dan membuat sebuah
putusan.
Hakim dan putusan bak dua sisi keping uang yang tak bisa dipisahkan.
Kemampuan dan kualitas hakim dalam memutus perkara tecermin dari putusannya. Tak
heran jika banyak pihak menyebut putusan sebagai mahkota hakim. Sangat besar
harapan agar hakim mampu menghasilkan putusan yang imparsial, argumentatif dan
Pasal 24 ayat (1) UUD l945 mengamanatkan sikap kemandirian hakim sebagai
pelaku utama kekuasaan kehakiman dari campur tangan pihak manapun serta menjamin
merupakan badan yang sangat menentukan isi dan kekuatan kaidah-kaidah hukum
penetapan nilai perilaku manusia tertentu serta menentukan nilai situasi konkrit dan
yaitu menegakkan hukum dan keadilan dalam setiap putusan yang dibuatnya. Untuk itu,
setiap putusan hakim harus mempertimbangkan segala aspek yang bersifat yuridis,
7
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2004, hal. 93.
6
keadilan hukum (legal justice), keadilan masyarakat (social justice) dan keadilan moral
(moral justice).
Putusan hakim juga seharusnya memuat idee des recht, yang meliputi 3 unsur
Kemanfaatan terletak pada tujuan pasal-pasal tersebut dibuat atau akibat hukum dari
suatu putusan yang diputus oleh pengadilan. Sementara keadilan terletak pada nilai-nilai
Idealitas hakim dan putusan hakim diatas dalam praktek belum sepenuhnya
berjalan sesuai harapan. Hakim dan putusannya banyak mendapat sorotan dan kritikan
publik, terutama terkait rendahnya kualitas mahkota hakim tersebut, karena dinilai
Putusan hakim banyak dinilai belum beroirentasi pada keadilan hukum (legal
justice), keadilan masyarakat (social justice) dan keadilan moral (moral justice).
Putusan hakim juga dikritik belum mampu mewujudkan tujuan hukum yaitu keadilan
tentang penegakan keadilan dalam putusan, menjadi problem mendasar dan krusial yang
Salah satu faktor utama yang menyebabkan putusan kering dari nilai keadilan
dan tidak mampu mewujudkan tujuan hukum adalah karena hakim jarang yang mau
berpikir falsafati dalam putusannya. Padahal keadilan adalah tema utama yang selalu
digali dan didiskusikan secara terus menerus oleh para filsuf dalam filsafat hukum.
8
Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum: 2011: 23 dan Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan
Hukum: 2012: 8
7
Teori-teori Hukum Alam sejak Socrates hingga Francois Geny, selalu
mengutamakan “the search for justice”. Teori keadilan Aristoteles dalam bukunya
nicomachean ethics dan teori keadilan sosial John Rawl dalam bukunya a theory of
justice, juga selalu menegaskan bahwa keadilan harus diagungkan, keadilan harus
Untuk itu, agar hakim sensitif atas nilai keadilan maka hakim harus digalakkan
Dibalik teks-teks hukum yang normatif, ada filsafat hukum yang melatari dan
menjadi inti dari adanya hukum tersebut, yaitu keadilan. Dan filsafat dan inti hukum
tersebut yang seharusnya dijadikan pegangan oleh semua hakim dalam proses
pembuatan dan pengambilan putusan, tidak hanya sebatas teks-teks hukum yang
karena itu, jika hakim mau berpikir falsafati maka dia akan terus melakukan perenungan
secara “menyeluruh”.
Pertimbangan hukum yang dibuatnya merupakan hasil kajian secara utuh atau
komprehensif. Dia menggali dan menyelami hakekat kebenaran yang ada dalam kasus
tersebut. Tidak hanya dari aspek hukum, tapi juga sosiologi, moral, etika, dan disiplin
ilmu lainya.
sampai kepada hasil yang fundamental atau esensial. Hakim tidak berhenti begitu saja
9
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansa dan
Nusamedia, 2004, hal. 239.
8
secara dangkal akan tetapi secara radikal terus bertanya ke dasar dari sesuatu alasan
untuk menemukan kebenaran. Hakim tidak hanya berhenti pada teks normatif, tetapi
menggali seluruh makna yang ada dibalik teks, bahkan kadang harus merekonstruksi
hukum dan menjadi yurisprudensi yang mengispirasi dan diikuti oleh hakim lainnya dan
yang baru.
dalam metode berfilsafat, akan menjadikan seseorang cerdas, kritis, sistematis, dan
berfikir secara mandiri, mampu membangun pribadi yang berkarakter, tidak mudah
terpengaruh oleh faktor eksternal, tetapi disisi lain masih mampu mengakui harkat
martabat orang lain, mengakui keberagaman dan keunggulan orang lain. Dengan
dengan menggunakan pemikiran secara serius. Belajar filsafat merupakan salah satu
9
menemukan akar persoalan yang terdalam, menemukan sebab terakhir satu
penampakan.
Jika setiap putusan hakim melalui proses falsafati di atas maka Hakim layak
disebut sebagai Filsuf Hukum. Sang Filsuf yang tidak hanya bergelut dengan teori-teori
filsafat hukum an-sich akan tetapi juga mengamalkan teori-teori tersebut dalam ranah
hukum praktis. Berbeda dengan filsuf hukum lainnya yang hanya bergelut di wilayah
teori dan tidak pernah dipraktek. Itulah kelebihan sang filsuf yang berprofesi sebagai
Jika hakim sudah menjadi filsuf maka dia akan menjadi pendobrak kejumudan,
berani melakukan terobosan dan pembaruan hukum dalam penyelesaian sengketa dan
putusan.
kemampuan menyelesaikan perkara yuridis (the power of solving legal problems), yang
terdiri dari tiga kegiatan utama yakni merumuskan masalah hukum (legal problem
10
Sudikno Mertokusumo, “Pendidikan Hukum di Indonesia dalam Sorotan” Harian Kompas 7
Nopember 1990, hal. 4 dan 5;
10
undangan dan putusan pengadilan (identify the applicable source of law); (2)
menganalisis sumber hukum tersebut untuk menetapkan aturan hukum yang mungkin
dan kebijakan dalam aturan tersebut (analyze the sources of law); (3) mensintesiskan
aturan hukum tersebut kedalam struktur yang koheren, yakni struktur yang
rules of law into a coherent structure); (4) menelaah fakta-fakta yang tersedia (research
the available facts); dan (5) menerapkan struktur aturan tersebut kepada fakta-fakta
untuk memastikan hak atau kewajiban yang timbul dari fakta-fakta itu, dengan
Gr. Van der Brught dan J.D.C. Winkelman menyebutkan tujuh langkah yang
harus dilakukan seorang hakim dalam menghadapi suatu kasus, yaitu (1) meletakkan
kasus dalam sebuah peta (memetakan kasus) atau memaparkan kasus dalam sebuah
ikhtisar atau memaparkan secara singkat duduk perkara dari sebuah kasus; (2)
terhadap aturan-aturan hukum itu; (5) menerapkan aturan-aturan hukum pada kasus; (6)
bahwa ada enam langkah utama penalaran hukum, yaitu: (1) mengidentifikasi fakta-
fakta untuk menghasilkan suatu struktur (peta) kasus yang sungguh-sungguh diyakini
hakim sebagai kasus yang riil terjadi; (2) menghubungkan struktur kasus tersebut
11
Sidharta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan, Bandung: CV.
Utomo, 2009, hal. 196.
12
Ibid, hal. 197.
11
dengan sumber-sumber hukum yang relevan, sehingga ia dapat menetapkan perbuatan
hukum dalam peristilahan yuridis (legal term); (3) menyeleksi sumber hukum dan
aturan hukum yang relevan untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung
didalam aturan hukum itu, sehingga dihasilkan suatu struktur aturan yang koheren; (4)
penyelesaian yang mungkin; dan (6) menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk
melakukan penalaran hukum dengan menggunakan 7 (tujuh) unsur dan tahapan yaitu:
(1) Penegasan dalil; (2) klasifikasi jawaban; (3) Penilaian alat bukti; (4) Analisis
perbandingan alat bukti; (5) Perumusan fakta hukum; (6) Analisis fakta hukum; dan (7)
Kesimpulan.14
Unsur pertama yang ada dalam pertimbangan hukum adalah penegasan dalil.
Penegasan dalil adalah uraian tentang dalil yang menjadi pokok gugatan penggugat.
Dalil tersebut bisa berupa rangkaian dalil dan semuanya harus diungkapkan dalam
Unsur kedua adalah klasifikasi jawaban. Pada tahapan ini diuraikan tentang
pokok-pokok jawaban Tergugat dikaitkan dengan pokok dalil gugatan. Di sini jawaban
tergugat bisa diklasifikasikan menjadi jawaban yang mengakui sebagian dalil penggugat
dan jawaban yang membantah dalil penggugat. Pengakuan tergugat harus dilihat apakah
Bantahan tergugat dijadikan dasar untuk melihat siapa yang berkewajiban untuk
13
Ibid, hal. 197 s/d 225.
14
Ahmad Zaenal Fanani, op.cit, Bandung: CV Mandar Maju, 2014, hal. 127 s/d130.
12
Unsur ketiga adalah penilaian alat bukti. Pada tahapan ini yang pertama
diuraikan apa saja alat bukti tertulis dan saksi yang diajkan oleh penggugat, baru setelah
itu alat bukti tertulis dan saksi tergugat. Masing-masing alat bukti penggugat dan
tergugat harus dinilai apakah relevan atau tidak, memenuhi syarat formil dan materiil
atau tidak, serta bagaimana nilai daya bukti alat bukti tersebut.
Unsur keempat adalah analisis perbandingan alat bukti. Pada tahapan ini
dilakukan perbandingan antara alat bukti yang diajukan penggugat dengan alat bukti
yang diajukan tergugat. Dari perbandingan ini akan dapat diketahui mana alat bukti
yang lebih kuat antara yang diajukan oleh penggugat dan yang diajukan oleh tergugat.
Dari perbandingan ini pula akan bisa diketahui mana dalil yang terbukti dan mana dalil
Pada tahapan ketiga dan keempat ini hakim harus paham dan mengerti tentang
hukum pembuktian. Jika tidak paham hukum pembuktian dengan baik bisa dipastikan
akan terjadi kekeliruan atau kesalahan dalam proses perbandingan alat bukti.
Unsur kelima adalah perumusan fakta hukum. Setelah diketahui mana dalil
yang terbukti dan yang tidak terbukti dapat dirumuskan dan ditegaskan fakta hukum apa
Definisi fakta hukum adalah kejadian yang mengandung hak dan kewajiban
atau meniadakan hak dan kewajiban. Sedangkan persitiwa hukum adalah kejadian yang
tidak mengandung hak dan kewajiban. Fakta hukum bisa dibangun dari satu
hukum, dan juga bisa dibangun dari kejadian/peristiwa dan fakta hukum.
Unsur keenam adalah analisis fakta hukum. Tahapan analisis fakta hukum
adalah tahapan dimana hakim melakukan penalaran hukum atas fakta hukum yang telah
13
undangan yang berlaku atau norma hukum yang hidup di masyarakat (living law) untuk
bisa diterapkan dalam kasus yang fakta hukumnya telah dirumuskan tersebut. Analisis
yang dilakukan bisa berupa analisis normatif, dan atau analisis filosofis dan atau
sosiologis.
kasus tersebut, maka hakim harus melakukan proses penemuan hukum. Jika peraturan
perundang-undangan sudah tidak sesuai dengan nilai keadilan dan kondisi sosial
contra legem dengan syarat harus dibuat argumentasi hukum yang rasional.
Unsur ketujuh adalah kesimpulan hukum. Pada tahap ini semua tuntutan
penggugat yang ada dalam petitum gugatan dijawab satu persatu secara argumentatif
dengan pendekatan induktif. Diuraikan satu persatu mana tuntutan yang dikabulkan atau
Jika ketujuh tahapan tersebut diikuti dengan penuh tanggungjawab oleh hakim
Jika pada setiap tahapan hakim mau berpikir falsafati maka pertimbangan
secara utuh atau komprehensif. Hakim harus menggali dan menyelami hakekat
kebenaran yang ada dalam kasus tersebut. Tidak hanya dari aspek hukum, tapi juga
sosiologi, moral, etika, dan disiplin ilmu lainya. Pendekatan interdisipliner bahkan
14
Pertimbangan hukumnya harus mendasar yaitu hakim mengkaji kasus tersebut
secara mendalam sampai kepada hasil yang fundamental atau esensial. Hakim tidak
berhenti begitu saja secara dangkal akan tetapi secara radikal terus bertanya ke dasar
dari sesuatu alasan untuk menemukan kebenaran. Hakim tidak hanya berhenti pada teks
normatif, tetapi menggali seluruh makna yang ada dibalik teks, bahkan kadang harus
putusan yang mengandung kaidah hukum dan menjadi yurisprudensi yang mengispirasi
dan diikuti oleh hakim lainnya dan berguna bagi pengembangan pemikiran hukum
selanjutnya. Hasil pemikiran dan putusannya selalu dimaksudkan sebagai dasar untuk
5. Penutup
Hakim adalah jabatan mulia. Tugas pokok Hakim sebagai pelaku utama
yuridis, sosiologis, dan filosofis. Putusan hakim harus beroirentasi pada keadilan hukum
(legal justice), keadilan masyarakat (social justice) dan keadilan moral (moral justice).
Putusan hakim juga seharusnya tidak hanya berorientasi keadilan (gerechtigkeit), tetapi
sesuai harapan. Hakim dan putusannya masih banyak mendapat sorotan dan kritikan
publik, terutama terkait rendahnya kualitas pertimbangan hukum putusan yang banyak
15
dinilai dangkal, sumir dan tidak argumentatif serta kering dan belum mencerminkan
nilai-nilai keadilan.
Untuk itu, agar putusan hakim sesuai dengan dengan idealitas putusan diatas
dan sensitif nilai keadilan maka hakim harus digalakkan berpikir falsafati dalam
putusannya. Jika hakim mau berpikir falsafati maka dia akan terus melakukan
penalaran hukum secara utuh atau komprehensif. Hakim akan menggali dan menyelami
hakekat kebenaran yang ada dalam kasus tersebut. Hakim tidak hanya berhenti pada
teks normatif, tetapi menggali seluruh makna yang ada dibalik teks, bahkan kadang
hukum dan menjadi yurisprudensi yang mengispirasi dan diikuti oleh hakim lainnya dan
Jika putusan hakim sudah melalui proses falsafati di atas maka Hakim layak
disebut sebagai filsuf hukum dan jika hakim sudah menjadi filsuf maka setiap kata,
perilaku dan putusannya akan merefleksikan nilai-nilai keadilan, dia akan menjadi
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Zaenal Fanani, Berfilsafat dalam Putusan Hakim, Bandung: CV Mandar Maju,
2014.
1943.
16
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansa dan
Nusamedia, 2004.
B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung:
1999.
Tim Lindsey, Islam, Law and the State in Southeast Asia, 2012.
17