Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PENDAHULUAN

KEBUTUHAN DASAR MANUSIA

ELIMINASI

Disusun Oleh :

Muklas Fariadi Saputra

NIM. 18020081

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN dr. SOEBANDI JEMBER

2018/2019
1.1 Pengertian
Eleminasi merupakan proses pembuangan sisa-sisa metabolisme tubuh.
Eleminasi merupakan pengeluaran racun atau produk limbah dari dalam
tubuh. Menurut kamus bahasa Indonesia, eliminasi adalah pengeluaran,
penghilangan, penyingkiran, penyisihan. Dalam bidang kesehatan, Eliminasi
adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa urin atau
bowel (feses).

1.2 Klasifikasi
Eliminasi pada manusia digolongkan menjadi 2 macam, yaitu:
a. Defekasi
Buang air besar atau defekasi adalah suatu tindakan atau proses makhluk
hidup untuk membuang kotoran atau tinja yang padat atau setengah-padat
yang berasal dari sistem pencernaan (Dianawuri, 2009).
b. Miksi
Miksi adalah proses pengosongan kandung kemih bila kandung kemih
terisi. Miksi ini sering disebut buang air kecil.

1.3 Fisiologi dan Nilai Normal Dalam Eliminasi


a. Fisiologi defekasi
Rektum biasanya kosong sampai menjelang defekasi. Seorang yang
mempunyai kebiasaan teratur akan merasa kebutuhan membung air
besar kira-kira pada waktu yang sama setiap hari. Hal ini disebabkan
oleh refleks gastro-kolika yang biasanya bekerja sesudah makan pagi.
Setelah makanan ini mencapai lambung dan setelah pencernaan
dimulai maka peristaltik di dalam usus terangsang, merambat ke
kolon, dan sisa makanan dari hari kemarinnya, yang waktu malam
mencapai sekum mulai bergerak. Isi kolon pelvis masuk ke dalam
rektum, serentak peristaltik keras terjadi di dalam kolon dan terjadi
perasaan di daerah perineum. Tekanan intra-abdominal bertambah
dengan penutupan glottis dan kontraksi diafragma dan otot abdominal,
sfinkter anus mengendor dan kerjanya berakhir.
b. Fisiologi miksi
Sistem tubuh yang berperan dalam terjadinya proses eliminasi urine
adalah ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra. Proses ini terjadi dari
dua langkah utama yaitu : Kandung kemih secara progresif terisi
sampai tegangan di dindingnya meningkat diatas nilai ambang, yang
kemudian mencetuskan langkah kedua yaitu timbul refleks saraf yang
disebut refleks miksi (refleks berkemih) yang berusaha mengosongkan
kandung kemih atau jika ini gagal, setidak-tidaknya menimbulkan
kesadaran akan keinginan untuk berkemih.
c. Nilai normal feses
Gas yang dihasilkan dalam proses pencernaan normalnya 7-10 liter/24
jam. Jenis gas yang terbanyak adalah CO2, metana, H2S, O2, dan
nitrogen. Feses terdiri atas 75% air dan 25% materi padat. Feses normal
berwarna khas karena pengaruh dari mikroorganisme. Konsistensi lembek
namun berbentuk.
d. Nilai normal urine
1) Warna
Normal urine berwarna kekuning-kuningan. Obat - obatan dapat
mengubah warna urine seperti orange gelap. Warna urine merah,
kuning, coklat merupakan indikasi adanya penyakit.
2) Bau
Normal urine berbau aromatik yang memusingkan. Bau yang
merupakan indikasi adanya masalah seperti infeksi atau mencerna
obat-obatan tertentu
3) Berat jenis
Adalah berat atau derajat konsentrasi bahan (zat) dibandingkan
dengan suatu volume yang sama dari yang lain seperti air yang
disuling sebagai standar. Berat jenis air suling adalah 1,009 ml.
Normal berat jenis : 1010 – 1025.
4) Kejernihan
Normal urine terang dan transparan. Urine dapat menjadi keruh
karena ada mukus atau pus.
5) pH
Normal pH urine sedikit asam (4,5 – 7,5). Urine yang telah
melewati temperatur ruangan untuk beberapa jam dapat menjadi
alkali karena aktifitas bakteri. Vegetarian urinennya sedikit alkali.
6) Protein
Normal : molekul – molekul protein yang besar seperti: albumin,
fibrinogen, globulin, tidak tersaring melalui ginjal. Pada keadaan
kerusakan ginjal, molekul-molekul tersebut dapat tersaring.
Adanya protein didalam urine proteinuria, adanya albumin dalam
urine albuminuria.

7) Glukosa
Normal : adanya sejumlah glukosa dalam urine tidak berarti bila
hanya bersifat sementara, misal pada seseorang yang makan gula
banyak menetap pada pasien DM..
8) Volume
Secara normal urine diproduksi oleh ginjal secara terus menerus
pada kecepatan 60–120 ml/Jam (720–1440 ml/hari) dewasa.

1.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi


a. Faktor-faktor yang mempengaruhi defekasi antara lain:
1) Umur
Umur tidak hanya mempengaruhi karakteristik feses, tapi juga
pengontrolannya. Anak-anak tidak mampu mengontrol eliminasinya
sampai sistem neuromuskular berkembang, biasanya antara umur 2 –
3 tahun. Orang dewasa juga mengalami perubahan pengalaman yang
dapat mempengaruhi proses pengosongan lambung. Di antaranya
adalah atony (berkurangnya tonus otot yang normal) dari otot-otot
polos colon yang dapat berakibat pada melambatnya peristaltik dan
mengerasnya (mengering) feses, dan menurunnya tonus dari otot-otot
perut yagn juga menurunkan tekanan selama proses pengosongan
lambung. Beberapa orang dewasa juga mengalami penurunan kontrol
terhadap muskulus spinkter ani yang dapat berdampak pada proses
defekasi.
2) Diet
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi eliminasi feses.
Cukupnya selulosa, serat pada makanan, penting untuk
memperbesar volume feses. Makanan tertentu pada beberapa orang
sulit atau tidak bisa dicerna. Ketidakmampuan ini berdampak pada
gangguan pencernaan, di beberapa bagian jalur dari pengairan feses.
Makan yang teratur mempengaruhi defekasi. Makan yang tidak
teratur dapat mengganggu keteraturan pola defekasi. Individu yang
makan pada waktu yang sama setiap hari mempunyai suatu
keteraturan waktu, respon fisiologi pada pemasukan makanan dan
keteraturan pola aktivitas peristaltik di colon.
3) Cairan
Pemasukan cairan juga mempengaruhi eliminasi feses. Ketika
pemasukan cairan yang adekuat ataupun pengeluaran (cth: urine,
muntah) yang berlebihan untuk beberapa alasan, tubuh melanjutkan
untuk mereabsorbsi air dari chyme ketika ia lewat di sepanjang
colon. Dampaknya chyme menjadi lebih kering dari normal,
menghasilkan feses yang keras. Ditambah lagi berkurangnya
pemasukan cairan memperlambat perjalanan chyme di sepanjang
intestinal, sehingga meningkatkan reabsorbsi cairan dari chyme.
4) Tonus otot
Tonus perut, otot pelvik dan diafragma yang baik penting untuk
defekasi. Aktivitasnya juga merangsang peristaltik yang
memfasilitasi pergerakan chyme sepanjang colon. Otot-otot yang
lemah sering tidak efektif pada peningkatan tekanan intraabdominal
selama proses defekasi atau pada pengontrolan defekasi. Otot-otot
yang lemah merupakan akibat dari berkurangnya latihan (exercise),
imobilitas atau gangguan fungsi syaraf.
5) Faktor psikologi
Dapat dilihat bahwa stres dapat mempengaruhi defekasi.
Penyakit-penyakit tertentu termasuk diare kronik, seperti ulcus pada
collitis, bisa jadi mempunyai komponen psikologi. Diketahui juga
bahwa beberapa orang yagn cemas atau marah dapat meningkatkan
aktivitas peristaltik dan frekuensi diare. Ditambah lagi orang yagn
depresi bisa memperlambat motilitas intestinal, yang berdampak
pada konstipasi.
6) Gaya hidup
Gaya hidup mempengaruhi eliminasi feses pada beberapa cara.
Pelathan buang air besar pada waktu dini dapat memupuk kebiasaan
defekasi pada waktu yang teratur, seperti setiap hari setelah sarapan,
atau bisa juga digunakan pada pola defekasi yang ireguler.
Ketersediaan dari fasilitas toilet, kegelisahan tentang bau, dan
kebutuhan akan privacy juga mempengaruhi pola eliminasi feses.
Klien yang berbagi satu ruangan dengan orang lain pada suatu rumah
sakit mungkin tidak ingin menggunakan bedpan karena privacy dan
kegelisahan akan baunya.
7) Obat-obatan
Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat berpengeruh
terhadap eliminasi yang normal. Beberapa menyebabkan diare; yang
lain seperti dosis yang besar dari tranquilizer tertentu dan diikuti
dengan prosedur pemberian morphin dan codein, menyebabkan
konstipasi.beberapa obat secara langsung mempengaruhi eliminasi.
Laxative adalah obat yang merangsang aktivitas usus dan
memudahkan eliminasi feses. Obat-obatan ini melunakkan feses,
mempermudah defekasi. Obat-obatan tertentu seperti dicyclomine
hydrochloride (bentyl), menekan aktivitas peristaltik dan kadang-
kadang digunakan untuk mengobati diare.
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi miksi
1) Jumlah air yang diminum
Semakin banyak air yang diminum jumlah urin semakin
banyak. Apabila banyak air yang diminum, akibatnya penyerapan
air ke dalam darah sedikit, sehingga pembuangan air jumlahnya lebih
banyak dan air kencing akan terlihat bening dan encer. Sebaliknya
apabila sedikit air yang diminum, akibatnya penyerapan air ke
dalam darah akan banyak sehingga pembuangan air sedikit dan air
kencing berwarna lebih kuning
2) Jumlah garam yang dikeluarkan dari darah
Supaya tekanan osmotik tetap, semakin banyak konsumsi garam
maka pengeluaran urin semakin banyak.
3) Konsentrasi hormon insulin
Jika konsentrasi insulin rendah, orang akan sering mengeluarkan
urin. Kasus ini terjadi pada orang yang menderita kencing manis.
4) Hormon antidiuretik (adh)
Hormon ini dihasilkan oleh kelenjar hipofisis bagian belakang.
Jika darah sedikit mengandung air, maka adh akan banyak
disekresikan ke dalam ginjal, akibatnya penyerapan air meningkat
sehingga urin yang terjadi pekat dan jumlahnya sedikit. Sebaliknya,
apabila darah banyak mengandung air, maka adh yang disekresikan
ke dalam ginjal berkurang, akibatnya penyerapan air berkurang pula,
sehingga urin yang terjadi akan encer dan jumlahnya banyak.
5) Suhu lingkungan
Ketika suhu sekitar dingin, maka tubuh akan berusaha untuk
menjaga suhunya dengan mengurangi jumlah darah yang mengalir
ke kulit sehingga darah akan lebih banyak yang menuju organ tubuh,
di antaranya ginjal. Apabila darah yang menuju ginjal jumlahnya
samakin banyak, maka pengeluaran air kencing pun banyak.
6) Gejolak emosi dan stress
Jika seseorang mengalami stress, biasanya tekanan darahnya akan
meningkat sehingga banyak darah yang menuju ginjal. Selain itu,
pada saat orang berada dalam kondisi emosi, maka kandung kemih
akan berkontraksi. Dengan demikian, maka timbullah hasrat ingin
buang air kecil.
7) Minuman alkohol dan kafein
Alkohol dapat menghambat pembentukan hormon antidiuretika.
Seseorang yang banyak minum alkohol dan kafein, maka jumlah air
kencingnya akan meningkat.

1.5 Gangguan Eleminasi urine


Gangguan eleminasi urine adalah keadaan ketika seorang individu
mengalami atau berisiko mengalami disfungsi eleminasi urine (Lynda, 2010).
Gangguan eleminasi urine merupakan suatu kehilangan urine involunter yang
dikaitkan dengan distensi berlebih pada kandung kemih.
a. Retensi
Adanya penumpukan urine didalam kandung kemih dan ketidak
sanggupan kandung kemih untuk mengosongkan diri.
Menyebabkan distensi kandung kemih. Normal urine berada di
kandung kemih 250 – 450 ml. Urine ini merangsang reflex untuk
berkemih. Dalam keadaan distensi, kandung kemih dapat menampung
urine sebanyak 3000 – 4000 ml urine.
Tanda-tanda klinis retensi :
1) Ketidaknyamanan daerah pubis.
2) Distensi kandung kemih
3) Ketidak sanggupan unutk berkemih.
4) Sering berkeih dalam kandung kemih yang sedikit (25 – 50 ml)
5) Ketidak seimbangan jumlah urine yang dikelurakan dengan intakenya.
6) Meningkatnya keresahan dan keinginan berkemih
Penyebab :
1) Operasi pada daerah abdomen bawah, pelviks, kandung kemih,
urethra.
2) Pembesaran kelenjar prostate
3) Strikture urethra.
4) Trauma sumsum tulang belakang.
b. Inkontinensi urin
Ketidaksanggupan sementara atau permanen otot sfingter eksterna untuk
mengontrol keluarnya urine dari kandung kemih. Jika kandung kemih
dikosongkan secara total selama inkontinensi maka inkontinensi komplit.
Jika kandung kemih tidak secara total dikosongkan selama inkontinensia
maka inkontinensi sebagian
Penyebab Inkontinensi
1) Proses ketuaan
2) Pembesaran kelenjar prostate
3) Spasme kandung kemih
4) Menurunnya kesadaran
5) Menggunakan obat narkotik sedative
Ada beberapa jenis inkontinensi yang dapat dibedakan :
1) Total inkontinensi
Adalah kelanjutan dan tidak dapat diprediksikan keluarnya urine.
Penyebabnya biasanya adalah injury sfinter eksternal pada laki-laki,
injury otot perinela atau adanya fistula antara kandung kemih dan
vagina pada wanita dan kongenital atau kelainan neurologis
2) Stress inkontinensi
Ketidaksanggupan mengontrol keluarnya urine pada waktu tekanan
abdomen meningkat contohnya batuk, tertawa karena ketidak-
sanggupan sfingter eksternal menutup.
3) Urge inkontinensi
Terjadi pada waktu kebutuhan berkemih yang baik, tetapi tidak
dapat ke toilet tepat pada waktunya. Disebabkan infeksi saluran
kemih bagian bawah atau spasme kandung kemih.
4) Fungisonal inkontinensi
Adalah involunter yang tidak dapat diprediksi keluarnya urine.
Biasa didefinisikan sebagai inkontinensi persists karena secara
fisik dan mental mengalami gangguan atau beberapa faktor
lingkungan dalam persiapan untuk buang air kecil di kamar
mandi.
5) Refleks inkontinensi
Adalah involunter keluarnya urine yang diprediksi intervalnya ketika
ada reaksi volume kandung kemih penuh. Klien tidak dapat merasakan
pengosongan kandung kemihnya penuh.
c. Enuresis
Sering terjadi pada anak-anak. Umumnya terjadi pada malam hari
(nocturnal enuresis). Dapat terjadi satu kali atau lebih dalam semalam.
Penyebab Enuresis
1) Kapasitas kandung kemih lebih besar dari normalnya.
2) Anak-anak yang tidurnya bersuara dan tanda-tanda dari indikasi
dari keinginan berkemih tidak diketahui, yang mengakibatkan
terlambatnya bagun tidur untuk kekamar mandi.
3) Kandung kemih irritable dan seterusnya tidak dapat
menampung urine dalam jumlah besar.
4) Suasana emosional yang tidak menyenangkan di rumah (misalnya
persaingan dengan saudara kandung, ceksok dengan orang tua).
Orang tua yang mempunyai pendapat bahwa anaknya akan
mengatasi kebiasaannya tanpa dibantu untuk mendidiknya.
5) Infeksi saluran kemih atau perubahan fisik atau neurologi sistem
perkemihan.
6) Makanan yang banyak mengandung garam dan mineral atau
makanan pemedas.
7) Anak yang takut jalan pada gang gelap untuk kekamar mandi.
d. Perubahan pola berkemih
1) Frekuensi
Normal, meningkatnya frekuensi berkemih, karena meningkatnya
cairan. Frekuensi tinggi tanpa suatu tekanan intake cairan dapat
diakibatkan karena cystitis. Frekuensi tinggi pada orang stress dan
orang hamil.
2) Urgency
Adalah perasaan seseorang untuk berkemih. Sering seseorang tergesa
-gesa ke toilet takut mengalami inkontinensi jika tidak berkemih. Pada
umumnya anak kecil masih buruk kemampuan mengontrol sfingter
eksternal.
3) Dysuria
Adanya rasa sakit atau kesulitan dalam berkemih. Dapat terjadi
karena: striktura urethra, infeksi perkemihan, trauma pada kandung
kemih dan urethra.
4) Polyuria
Produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh ginjal, seperti
2.500 ml/hari, tanpa adanya peningkatan intake cairan. Dapat
terjadi karena : DM, defisiensi ADH, penyakit ginjal kronik.
Tanda-tanda lain adalah : polydipsi, dehidrasi dan hilangnya berat
badan.
5) Urinari suppresi
Adalah berhenti mendadak produksi urine. Secara normal urine
diproduksi oleh ginjal secara terus menerus pada kecepatan 60 – 120
ml/jam (720 – 1440 ml/hari) dewasa. Keadaan dimana ginjal tidak
memproduksi urine kurang dari 100 ml/hari (disanuria). Produksi urine
abnormal dalam jumlah sedikit oleh ginjal disebut oliguria misalnya
100 – 500 ml/hari.

1.6 Gangguan Eleminasi Fekal


Gangguan eleminasi fekal adalah penurunan pada frekuensi normal
defekasi yang disertai oleh kesulitan atau pengeluaran tidak lengkap feses dan
atau pengelaran feses yang keras, kering dan banyak (Nanda, 2011)
a. Konstipasi: gangguan eliminasi yang diakibatkan adanya feses yang kering
dan keras melalui usus besar. Biasanya disebabkan oleh pola defekasi yang
tidak teratur, penggunaan laksatif yang lama, stres psikologis, obat-obatan,
kurang aktivitas, usia.
b. Fecal Impaction: masa feses yang keras di lipatan rektum yang diakibatkan
oleh retensi dan akumulasi material feses yang berkepanjangan. Biasanya
disebabkan oleh konstipasi, intake cairan yang kurang, kurang aktivitas,
diet rendah serat dan kelemahan tonus otot.
c. Diare: keluarnya feses cairan dan meningkatnya frekuensi buang air besar
akibat cepatnya chyme melewati usus besar, sehingga usus besar tidak
mempunyai waktu yang cukup untuk menyerap air. Diare dapat
disebabkan karena stres fisik, obat-obatan, alergi, penyakit kolon, dan
iritasi intestinal
d. Inkontinensia alvi : hilangnya kemampuan otot untuk mengontrol
pengeluaran feses dan gas yang melalui spinter anus akibat kerusakan
fungsi spinter atau persarafan di daerah anus. Penyebabnya karena
penyakit neuromuskular, trauma spinal cord, tumor spinter anus eksterna.
e. Kembung : flatus yang berlebihan di daerah intestinal sehingga
menyebabkan distensi intestinal, dapat disebabkan karena konstipasi,
pengunaan obat-obatan (barbiturat, penurunan ansietas, penurunan
aktivitas intestinal), mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung
gas dapat berefek anestesi.
f. Hemorroid : pelebaran vena di daerah anus sebagai akibat peningkatan
tekanan di daerah tersebut. Penyebabnya adalah konstipasi kronis,
peregangan maksimal saat defekasi, kehamilan, dan obesitas.
1.7 Pathway

Udara tercemar Mycrobacterium tuberculose

Dihirup induvidu rentan

Menembus mekanisme pertahanan sistem pernafasan

Berkoloni di saluran pernafasan

Inflamasi

Proses Inflamasi Fibrosis

↑ Sekret/Sputum didalam saluran pernafasan Timbul jaringan parut

Alveoli tidak dapat kembali saat ekspirasi


Ketidakefektifan bersihan jalan nafas

Gas tidak dapat berdifusi dengan baik

Batuk produktif
Ketidakefektifan pola nafas
Hambatan rasa nyaman

Perlukaan pada tenggorokan

Nyeri telan

Kesakitan saat menelan

Pasien tidak makan

Tidak ada feses Tidak ada makanan yang dicerna

Defekasi (-) Persepsi Konstipasi


1.8 Pemeriksaan Diagnostik
a. Gangguan eleminasi urine
Pemeriksaan sistem perkemihan dapat mempengaruhi berkemih.
Prosedur-prosedur yang berhubungan dengan tindakan pemeriksaan
saluran kemih seperti IVP (intravenous pyelogram), yang dapat
membatasi jumlah asupan sehingga mengurangi produksi urine. Klien
tidak diperbolehkan untuk mengonsumsi cairan per oral sebelum tes
dilakukan.
Pembatasan asupan cairan umumnya akan mengurangi pengeluaran
urine. Selain itu pemeriksaan diagnostic seperti tindakan sistoskop yang
melibatkan visualisasi langsung struktur kemih dapat menimbulkan
edema local pada uretra dan spasme pada sfingter kandung kemih. Klien
sering mengalami retensi urine setelah menjalani prosedur ini dan dapat
mengeluarkan urine berwarna merah atau merah muda karena perdarahan
akibat trauma pada mukosa uretra atau mukosa kandung kemih.
Adapun pemeriksaan diagnostik yang dilakukan sebagai berikut :
1) Pemeriksaan urine (urinalisis)
a) Warna urine normal yaitu jernih
b) pH normal yaitu 4,6-8,0
c) glukosa dalam keadaan normal negatif
d) Ukuran protein normal sampai 10 mg/100ml
e) Keton dalam kondisi normal yaitu negatif
f) Berat jenis yang normal 1,010-1,030
g) Bakteri dalam keadaan normal negatif
2) Pemeriksaan darah meliputi : HB, SDM, kalium, natrium, pencitraan
radionulida, klorida, fosfat dan magnesium meingkat.
3) Pemeriksaaan ultrasound ginjal
4) Arteriogram ginjal
5) EKG
6) CT scan
7) Enduorologi
8) Urografi
9) Ekstretorius
10) Sisto uretrogram berkemih
b. Gangguan eleminasi fekal
Pemeriksaan diagnostik, yang melibatkan yang melibatkan
visualisasi struktur saluran GI, sering memerlukan dikosongkannya isi
dibagian usus. Klien tidak diizinkan untuk makan atau minum stelah
tengah malam jika esoknya akan dilakukan pemeriksaan, seperti
pemeriksaan yang menggunakan barium enema, endoskopi saluran GI
bagian bawah, atau serangkaian pemeriksaan saluran GI bagian atas.
Pada kasus penggunaan barium enema atau endoskopi, klien biasanya
menerima katartik dan enema. Pengosongan usus dapat mengganggu
eliminasi sampai klien dapat makan dengan normal.
Prosedur pemeriksaan menggunakan barium menimbulkan masalah
tambahan. Barium mengeras jika dibiarkan di dalam saluran GI. Hal ini
dapat menyebabkan konstipasi atau impaksi usus. Seorang klien harus
menerimakatartik untuk meningkatkan eliminasi barium setelah prosedur
dilakukan. Klien yang menglami kegagalan dalam mengevakuasi semua
barium, mungkin usus klien perlu dibersihkan dengan menggunakan
enema.
Adapun pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada gangguan
eleminasi fekal yaitu :
1) Anuskopi
2) Prosktosigmoidoskopi
3) Rontgen dengan kontras
4) Pemeriksaan laboratorium feses
5) Pemeriksaan fisik
a) Abdomen, pemeriksaan dilakukan pada posisi terlentang, hanya
pada bagian yang tampak saja.
(1) Inspeksi, amati abdomen untuk melihat bentuknya,
simetrisitas, adanya distensi atau gerak peristaltik.
(2) Auskultasi, dengan bising usus, lalu perhatikan intensitas,
frekuensi dan kualitasnya.
(3) Perkusi, lakukan perkusi pada abdomen untuk mengetahui
adanya distensi berupa cairan, massa atau udara. Mulailah
pada bagian kanan atas dan seterusnya.
(4) Palpasi, lakukan palpasi untuk mengetahui kostitensi
abdomen serta adanya nyeri tekan atau massa dipermukaan
abdomen.
b) Rektum dan anus, pemeriksaan dilakukan pada posisi litotomi
atau sims.
c) Feses, amati feses klien dan catat konstitensi, bentuk, bau, warna,
dan jumlahnya.

1.8 Penatalaksanaan Medis


a. Gangguan eleminasi urine
1) Penatalaksanaan medis inkontinensia urine yaitu:
a) Pemanfaatan kartu berkemih
Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan
jumlah urin yang keluar, baik yang keluar secara normal, maupun
yang keluar karena tak tertahan, selain itudicatat pula waktu,
jumlah dan jenis minuman yang diminum.
b) Terapi non famakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari
timbulnya inkontinensia urin,seperti hiperplasia prostat, infeksi
saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain.Adapun
terapi yang dapat dilakukan adalah :
(1) Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval
waktu berkemih)dengan teknik relaksasi dan distraksi
sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari.
(2) Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih
bila belum waktunya.
(3) Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu
tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang
secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.
(4) Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah
ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia.
(5) Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia
mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat
memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin
berkemih.Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan
fungsi kognitif (berpikir).
c) Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urine adalah:
(1) Antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine
(2) Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis,
yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.
(3) Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti
Bethanechol atau alfa kolinergik antagonis seperti prazosin
untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.
d) Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress
dan urgensi, bila terapinon farmakologis dan farmakologis tidak
berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnyamemerlukan
tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi
inidilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia
prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).
e) Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang
menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa
alat bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin,
diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet
sepertiurinal, komod dan bedpan.
2) Penatalaksanaan medis retensio urine yaitu
a) Kateterisasi urethra.
Kateter urine memiliki berbagai fungsi di bidang medis, mulai dari
menangani penyakit tertentu hingga melakukan prosedur operasi.
Kateter biasanya diperlukan ketika seseorang yang sedang sakit
tidak mampu mengosongkan kandung kemihnya. Jika kandung
kemih tidak dikosongkan, air kencing akan menumpuk pada ginjal
dan menyebabkan kerusakan hingga gagalnya fungsi ginjal itu
sendiri
b) Dilatasi urethra dengan boudy.
c) Drainage supra pubik.
Kateterisasi suprapubic kadang-kadang diperlukan untuk
mengatasi retensi urine, khususnya bila kateterisasi uretral sulit
atau berbahaya misalnya pada pasien dengan pembesaran prostat,
strictur uretra, atau pada pasien quadriplegic. Kateter suprapubic
dimasukkan oleh dokter dengan anastesi lokal. General anestesi
dapat digunakan jika memang diperlukan. Untuk mefasilitasi
penempatan kateter, kandung kemih harus terisi cairan sebelum
kateter dipasang. Jika kandung kemih tidak terisi urine, maka
cairan fisiologis dimasukkan ke kandung kemih lewat kateter atau
csytoscope.
Kulit suprapubic dibersihkan, kemudian dengan tehnik steril
cateter dimasukkan melalui lubang kecil incisi kulit ke kandung
kemih. Canula dipasang, kemudian kateter dimasukkan kedalam
kanula tersebut sehingga membentuk sistem drainase tertutup.
Untuk mencegah bocoran, luka incisi dijarit.
Potensial komplikasi dari drainase suprapubic ini adalah antara
lain pergeseran kateter, hematuria, dan kegagalan penyembuhan
luka yang menimbulkan fistula. Klien dengan kateter suprapubic
membutuhkan perawatan yang sama dengan klien dengan
kateterisasi uretra. Masalah yang paling sering ditemui adalah
obstruksi kateter karena terlipat atau adanya sedimen dan bekuan
darah.

b. Gangguan Eliminasi Fekal


1) Penatalaksanaan medis konstipasi
a) Pengobatan non-farmakologis
(1) Latihan
Latihan teratur membantu klien mengembangkan pola defekasi
normal. Klien dengan kelemahan otot abdomen dan pelvis
(yang mengganggu defekasi normal) mungkin dapat
menguatkannya dengan mengikuti latihan isometrik sebagai
berikut:
(a) Dengan posisi supine, perketat otot sbdomen dengan
mengejangkan, menahan selama 10 detik dan kemudian
relax. Ulangi 5 – 10 kali sehari tergantung kekuatan klien.
(2) Positioning
Posisi jongkok memberikan bantuan terbaik untuk defekasi.
Posisi pada toilet adalah yang terbaik untuk sebagian besar
orang. Untuk klien yang mengalami kesulitan untuk duduk dan
bangun dari toilet, maka memerlukan alat bantu BAB seperti
commode, bedpad yang jenis dan bentuknya disesuaikan
dengan kondisi klien.
b) Pengobatan farmakologis
Laxative adalah obat yang merangsang aktivitas usus dan
memudahkan eliminasi feses. Obat-obatan ini melunakkan feses,
mempermudah defekasi.
2) Penatalaksanaan medis diare
a) Pemberian cairan dan pengobatan diet etik (cara pemberian
makanan)
Untuk mengatur defekasi normal diperlukan diet, tergantung jenis
feses klien yang terjadi, frekuensi defekasi dan jenis makanan
yang dirasakan klien dapat membantu defekasi normal. Anjurkan
asupan cairan dan makanan lunak. Makan dalam porsi kecil dapat
membantu karena lebih mudah diserap. Minuman terlalu
panas/dingin seharusnya dihindari sebab merangsang peristaltik.
Makanan tinggi serat dan tinggi rempah dapat mencetuskan diare.
Untuk manajemen diare, ajarkan klien sebagai berikut :
(1) Minum minimal 8 gelas/hari untuk mencegah dehidrasi
(2) Makan makanan yang mengandung Natrium dan Kalium.
Sebagian besar makanan mengandung Natrium dan Kalium
ditemukan dalam daging, beberapa sayuran dan buah seperti
tomat, nanas dan pisang.
(3) Tingkatkan makanan yang mengandung serat yang mudah
larut seperti pisang
(4) Hindari alkohol dan minuman yang mengandung kafein
(5) Batasi makanan yang mengandung serat tidak larut seperti
buah mentah, sereal
(6) Batasi makanan berlemak
(7) Bersihkan dan keringkan daerah perianal sesudah BAB untuk
mencegah iritasi
(8) Jika mungkin hentikan obat yang menyebabkan diare
(9) Jika diare telah berhenti, hidupkan kembali flora usus normal
dengan minum produk-produk susu fermentasi.
b) Obat- obatan
Obat yang digunakan untuk mengobati diare ialah obat
antisekresin (asetosal, klorpromazine), antispasmolitik (Papaverin,
opium, loperamide), antibiotic bila penyebabnya jelas.
Obat-obatan tertentu seperti dicyclomine hydrochloride (Bentyl),
menekan aktivitas peristaltik dan kadang- kadang digunakan untuk
mengobati diare.
1.9 Pengkajian Keperawatan
a. Pengkajian pada kebutuhan eleminasi urine meliputi :
1) Riwayat keperawatan
Riwayat keperawatan mencakup tinjauan ulang pola eleminasi dan
gejala-gejala perubahan urinarius serta mengkaji faktor-faktor lain
yang dapat mempengaruhi klien untuk berkemih secara normal.
a) Pola perkemihan
Perawat menanyakan pada klien mengenai pola berkemih
hariannya, tremasuk frekuensi dan waktunya, volume normal
urine yang dikeluarkan setiap kali berkemih, dan adanya
perubahan yang terjadi baru-baru ini. Frekuensi berkemih
bervariasi pada setiap individu dan sesuai dengan asupan serta
jenis-jenis haluaran cairan dari jalur yang lain. Waktu berkemih
yang umum ialah saat bangun tidur, setelah makan, dan sebelum
tidur. Kebanyakan orang berkemih rata-rata sebanyak lima kali
atau lebih dalam satu hari. Klien yang sering berkemih
padamalam hari kemungkinan mengalami penyakit ginjal atau
pembesaran prostat. Informasi tentang pola berkemih merupakan
dasar yang tidak dapat dipungkiri untuk membuat suatu
perbandingan. Dibawah ini merupakan gejala umum pada
perubahan perkemihan :
(1) Urgensi : merasakan kebutuhan untuk segera berkemih
(2) Disuria : merasa nyeri atau sudut berkemih
(3) Frekuensi : berkemih dengan sering
(4) Keraguan : sulit memulai berkemih
(5) Poliuria : mengeluarkan sejumlah besar urine
(6) Oliguria : haluaran urine menurun dibandingkan cairan yang
masuk (biasanya kurang dari 400 ml dalam 24 jam)
(7) Nukturia : berkemih berlebihan atau sering pada malam hari
(8) Dribling (urine yang menetes) : kebocoran atau rembesan
urine walaupun ada kontrol terhadap pengeluaran urine.
(9) Hematuria : terdapat darah dalam urine
(10) Retensi : akumulasi urine di dalam kandung kemih disertai
ketidakmampuan kandung kemih untuk benar-benar
mengosongkan diri
(11) Residu urine : volume urine yang tersisa setalah berkemih
(volume 100 ml atau lebih )
b) Gejala perubahan perkemihan
Gejala tertentu yang khusus terkait dengan perubahan
perkemihan, dapat timbul dalam lebih dari satu jenis gangguan.
Selama pengkajian, perawat menanyakan klien tentang gejala-
gejala yang tertera. Perawat juga mengkaji pengetahuan klien
mengenai kondisi atau faktor-faktor yang mempresipitasi atau
memperburuk gejala tersebut.
c) Faktor yang mempengaruhi perkemihan
Perawat merangkum faktor-faktor dalam riwayat klien, yang
dalam kondisi normal mempengaruhi perkemihannya, seperti
usia, faktor-faktor lingkungan dan riwayat pengobatan.
2) Pengkajian fisik
Pengkajian fisik memungkinkan perawat untuk menentukan
keberadaan dan tingkat keparahan masalah eleminasi urine.organ
utama yang ditinjau kembali meliputi kulit, ginjal, kandung kemih,
dan uretra.
3) Pengkajian urine
Pengkajian urine dilakukan dengan mengukur asupan cairan dan
haluaran urine serta mengobservasi karakteristik urine klien.
a) Asupan dan haluaran
b) Karatekristik urine
c) Pemeriksaan urine
b. Pengkajian pada kebutuhan eleminasi defekasi meliputi :
1) Riwayat keperawatan
a) Pola defekasi : frekuensi, pernah berubah
b) Perilaku defekasi : penggunaan laksatif, cara mempertahankan
pola.
c) Deskripsi feses : warna, bau, dan tekstur.
d) Diet : makanan yang biasa dimakan, makanan yang dihindari, dan
pola makan yang teratur atau tidak.
e) Cairan : jumlah dan jenis minuman/hari
f) Aktivitas : kegiatan sehari-hari
g) Kegiatan yang spesifik.
h) Sters : stres berkepanjangan atau pendek, koping untuk
menghadapi atau bagaimana menerima.
i) Pembedahan/penyakit menetap.
2) Pengkajian fisik
Perawat melakukan pengkajian fisik sistem dan fungsi tubuh yang
kemungkinan dipengaruhi oleh adanya masalah eleminasi. Ada
beberapa pemeriksaan fisik pada seorang klien yaitu :
a) Mulut : inspeksi gigi, lidah, dan gusi klien.
b) Abdomen : perawat menginspeksi keempat kuadaran abdomen
untuk melihat warna, bentuk, kesimetrisan, dan warna kulit..
c) Rektum : perawat menginspeksi daerah sekitar anus untuk melihat
adanya lesi, perubahan warna, inflamasi dan hemoroid.

3) Karakteristik feses
a) Warna yang normal : kuning (bayi), cokelat (dewasa)
b) Bau yang normal : menyengat yang dipengaruhi oleh tipe makanan
c) Konsistensi yang normal : lunak, berbentuk
d) Frekuensi yang normal : bervariasi ; bayi 4-6 kali sehari (jika
mengonsumsi ASI) atau 1-3 kali sehari (jika mengonsumsi susu
botol) ; orang dewasa setiap hari atau 2-3 kali seminggu
e) Jumlah yang normal : 150 gr per hari (orang dewasa)
f) Bentuk yang normal : menyerupai diameter rektum
g) Unsur-unsur yang normal : makanan tidak dicerna, bakteri mati,
lemak, pigmen empedu, sel-sel yang melapisi mukosa usus, air
4) Pemeriksaan Laboratorium
a) Analisis kandungan feses : untuk mengetahui kondisi patologis
seperti : tumor, perdarahan dan infeksi.
b) Tes Guaiak : pemeriksaan darah samar di feses yang mengitung
jumlah darah mikroskopik di dalam feses.

1.10 Diagnosa Keperawatan


a. Gangguan Eliminasi Urine
1) Retensi urine
Definisi : pengosongan kandung kemih tidak komplet.
Batasan karakteristik
a) Tidak ada haluaran urine
b) Distensi kandung kemih
c) Menetes
d) Disuria
e) Sering berkemih
f) Inkotinensia aliran berlebih
g) Residu urine
h) Sensasi kandung kemih penuh
i) Berkemih sedikit

Faktor yang berhubungan


a) Sumbatan
b) Tekanan ureter tinggi
c) Inhibisiarkus refleks
d) Sfingter kuat
2) Gangguan pola eliminasi urine: inkontinensia berhubungan
dengan:
a) Gangguan neuromuskuler
b) Spasme bladder
c) Trauma pelvic
d) Infeksi saluran kemih
e) Trauma medulla spinalis
b. Gangguan Eliminasi fekal
1) Konstipasi
Definisi : penurunan pada frekuensi normal defekasi yang disertai
oleh kesulitan atau pengeluaran tidak lengkap feses dan atau
pengeluaran feses yang keras, kering, dan banyak.
Batasan karakteristik :
a) Nyeri abdomen
b) Nyeri tekan abdomen dengan dan atau tanpa teraba resistensi
otot.
c) Anoreksia
d) Penampilan tidak khas pada lansia (misal, perubahan pada
status mental, inkontinensia urinarius, jatuh yang tidak ada
penyebabnya, peningkatan suhu tubuh
e) Darah merah pada feses.
f) Perubahan pada pola defekasi
g) Penurunan frekuensi dan volume feses.
h) Distensi abdomen
i) Rasa rectal penuh
j) Rasa tekanan rektal.
k) Keletihan umum
l) Feses keras dan berbentuk
m) Sakit kepala
n) Bising usus hiperaktif.
o) Bising usus hipoaktif.
p) Peningkatan tekanan abdomen
q) Tidak dapat makan, mual
r) Rembesan feses cair.
s) Nyeri pada saat defekasi.
t) Masa abdomen dan atau rectal yang dapat diraba.
u) Adanya feses lunak, seperti pasta di dalam rektum.
v) Perkusi abdomen pekak.
w) Sering flatus.
x) Mengejan pada saat defekasi.
y) Tidak dapat mengeluarkan feses
z) Muntah.

Faktor yang berhubungan


a) Fungsional
(1) Kelemahan otot abdomen
(2) Kebiasaan mengabaikan dorongan defekasi.
(3) Ketidakadekuatan toileting (misal, batasan waktu, posisi
untuk defekasi, privasi).
(4) Kurang aktivitas fisik.
(5) Kebiasaan defekasi tidak teratur.
(6) Perubahan lingkungan saat ini.
b) Psikologis
(1) Depresi.
(2) Stresemosi.
(3) Konfusi mental.
c) Farmakologis
(1) Antikolinergik. (10) Sedatif.
(2) Antikonvulsan. (11) Simpatomimetik
(3) Antidepresan. (12) Garam besi.
(4) Garam bismuth (13) Agens anti lipenik
(5) Kalsiumkarbonat. (14) Penyekat kalsium
(6) Diuretik. (15) Antasida mengandung alumunium
(7) Nonsteroid. (16) Penyalahgunaan laksatif.
(8) Opiat. (17) Agens anti inflamasi.
(9) Penotiazid.
d) Mekanis
(1) Hemoroid (5) Penyakit Hischprung
(2) Obesitas (6) Gangguan neurologis
(3) Kehamilan (7) Fisura anal rectal
(4) Absesrektal (8) Pembesaran prostat
(9) Tumor (13) Striktur anal rectal
(10) Prolaps rectal (14) Obstruksi pasca bedah
(11) Ulkus rectal (15) Ketidak seimbangan elektrolit.
(12) Rektokel
e) Fisiologis
(1) Perubahan pola makan
(2) Perubahan makanan
(3) Penurunan motilitas traktus gastrointestinal
(4) Dehidrasi
(5) Ketidakadekutan gigi geligi
(6) Ketidakadekuatan higiene oral
(7) Asupan serat tidak cukup
(8) Asupan cairan tidak cukup
(9) Kebiasaan makan buruk
2) Diare
Definisi : feses yang lunak dan tidak berbentuk
Batasan karakteristik
a) Nyeri abdomen
b) Sedikitnyatiga kali defekasiperhari
c) Kram
d) Bisingusushiperaktif
e) Ada dorongan
Faktor yang berhubungan
a) Psikologis
(1) Ansietas
(2) Tingkat stress tinggi
b) Situasional
(1) Efek samping obat
(2) Penyalah gunaan alkohol
(3) Kontaminan
(4) Penyalah gunaan laksatif
(5) Radiasi
(6) Toksin
(7) Melakukan perjalanan
(8) Selang makan
c) Fisiologis
(1) Proses infeksi
(2) Inflamasi
(3) Iritasi
(4) Malabsorpsi
(5) Parasit
F.
1.11 Intervensi Keperawatan
a. Gangguan Eliminasi Urine
No Diagnosa
Tujuan Intervensi Rasional
Keperawatan
1 Gangguan Setelah diberikan asuhan 1. Monitor keadaan bladder setiap 2 jam 1. Membantu mencegah distensi atau
polaeliminasi keperawatan ...x24 jam 2. Tingkatkan aktivitas dengan kolaborasi komplikasi
urine: diharapkan pola eliminasi dokter/fisioterapi 2. Meningkatkan kekuatan otot ginjal dan
inkontinensia urine pasien normal dengan 3. Kolaborasi dalam bladder training fungsi bladder
kemungkinan criteria hasil: 4. Hindari factor pencetus inkontinensia urine 3. Menguatkan otot dasar pelvis
berhubungan  Pasien dapat mengontrol seperti cemas 4. Mengurangi atau menghindari
dengan.... pengeluaran urine setiap 4 5. Kolaborasi dengan dokter dalam pengobatan dan inkontinensia
jam kateterisasi 5. Mengatasi factor penyebab
 Tidak ada tanda-tanda retensi 6. Jelaskan tentang : Pengobatan, kateter, 6. Meningkatkan pengetahuan dan
dan inkontinensia urine penyebab, tindakan lainnya diharapkan pasien lebih kooperatif
 Pasien berkemih dalam
keadaan rileks
2 Retensi urine Setelah diberikan asuhan 1. Monitor keadaan bladder setiap 2 jam 1. Menentukan masalah
kemungkinan keperawatan 3x24 jam 2. Ukur intake dan output cairan setiap 4 jam 2. Memonitor keseimbangan cairan
berhubungan diharapkan tanda dan gejala 3. Berikan cairan 2000 ml/hari dengan kolaborasi 3. Menjaga deficit cairan
dengan... retensi urine pasien tidak ada 4. Kurangi minum setelah jam 6 malam 4. Mencegah nokturia
dengan criteria hasil: 5. Kaji dan monitor analisis urine elektrolit dan 5. Membantu memonitor keseimbangan
 Pasien dapat mengontrol berat badan cairan
pengeluaran bladder setiap 4 6. Lakukan latihan pergerakan 6. Meningkatkan fungsi ginjal dan bladder
jam. 7. Lakukan relaksasi ketika duduk berkemih 7. Relaksasi pikiran dapat meningkatkan
8. Ajarkan teknik latihan dengan kolaborasi kemampuan berkemih
dokter/fisioterapi 8. Menguatkan otot pelvis
9. Kolaborasi dalam pemasangan kateter 9. Mengeluarkan urine
b. Gangguan Eliminasi Fekal
No Diagnosa
Tindakan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Keperawatan
1. Gangguan pola Setelah diberikan asuhan NIC : Konstipation atau impaction management a. Mencegah dan mengatasi
eliminasi fekal : keperawatan selama ...x 24 jam a. Monitor tanda dan gejala konstipasi konstipasi
konstipasi diharapkan pola eliminasi fekal b. Monitor frekuensi, warna, dan konsistensi. b. Mengetahui penyebab dini
berhubungan pasien normal dengan kriteria c. Anjurkan pada pasien untuk makan buah- terjadinya konstipasi
dengan... hasil : NOC : Bowel buahan dan serat tinggi dengan konsultasi c. Meningkatkan pergerakan
elimination bagian gizi. usus.
- Buang air besar / BAB d. Mobilisasi bertahap d. Untuk merangsang
dengan konsistensi lembek e. Kolaborasikan dengan tenaga medis eliminasi defekasi pasien.
- Pasien menyatakan mampu mengenai pemberian laksatif, enema dan e. Meningkatkan eliminasi
mengontrol pola BAB pengobatan f. Mengurangi atau
- Mempertahankan pola f. Berikan pendidikan kesehatan tentang : menghindari inkontinensia
eliminasi usus tanpa ileus kebiasaan diet, cairan dan makanan yang g. Untuk mencegah perubahan
mengandung gas, aktivitas dan kebiasaan pada tanda vital, limbung
BAB atau perdarahan.
g. Intruksikan agar pasien tidak mengejan saat
defekasi
2. Gangguan pola Setelah diberikan asuhan a. Timbang berat badan pasien a. Untuk mengetahui berat badan
eliminasi fekal : keperawatan selama ...x 24 jam b. Ajarkan pasien untuk menggunakan obat pasien dan untuk melakukan
diare berhubungan diharapkan feses pasien antidiare yang benar tindakan selanjutnya.
dengan... berbentuk dan lembek dengan c. Instruksikan pasien/keluarga untuk mencatat b. Agar tidak menimbulkan
masalah/diare yang berlanjut
kriteria hasil : warna, jumlah, frekuensi dan konsistensi dari
c. Mengetahui perkembangan
NOC: feses pasien tentang diarenya.
- Bowel elimination d. Evaluasi intake makanan yang masuk d. Mengetahui penyebab diare.
- Fluid Balance e. Anjurkan pasien untuk menghindari susu, e. Menghindari terjadinya diare
- Hydration kopi, makanan pedas, dan makanan yang yang lebih parah.
- Electrolyte and Acid base mengiritasi saluran cerna. f. Stres meningkatkan stimulus
Balance f. Ajarkan tehnik menurunkan stress bowel.
Kriteria Hasil : g. Kolaborasi pemberian obat antidiare g. Mempertahankan status
- Feses berbentuk, BAB sehari hidrasi
sekali- tiga hari
- Menjaga daerah sekitar rectal
dari iritasi
- Tidak mengalami diare
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito-Moyet, Lynda Juall. 2013. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta :


EGC
Nanda. 2012-2014. Panduan Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi.
Jakarta : EGC
Potter &Perry. 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Volume 2.Jakarta:
EGC
Wilkinson, Judith M. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, Diagnosis
NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC Edisi 9. Jakarta : EGC
Wartonah, Tarwoto. 2006. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan.
Jakarta : Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai