Anda di halaman 1dari 4

BAB I

SOSIALISASI

1.1 SOSIALISASI
1.1.1 Pemikiran Mead
Dalam teori Mead manusia berkembang secara bertahap melalui interaksi
dengan anggota masyarakat lain. Menurut Mead pengembangan diri manusia ini
berlangsung melalui tahap play stage, tahap game stage, dan tahap generalized
other.
Menurut Mead pada tahap pertama, play stage, seorang anak kecil mulai
belajar mengambil peran orang yang berada di sekitarnya. Ia mulai menirukan
peran yang dijalankan oleh orang tuanya. Pada tahap kedua, game stage, seorang
anak tidak hanya telah mengetahui peran yang harus dijalankannya, tetapi telah
pula mengetahui peran yang harus dijalankan oleh orang lain dengan siapa ia
berinteraksi. Pada tahap ketiga sosialisasi yaitu generalized others, seseorang
dianggap telah mampu mengambil peran-peran yang dijalankan orang lain dalam
masyarakat. Ia telah mampu berinteraksi dengan orang lain dalam masyarakat
karena telah memahami perannya sendiri serta peran orang lain dengan siapa ia
berinteraksi.
Mead berpandangan bahwa setiap anggota baru masyarakat harus
mempelajari peran-peran yang ada dalam masyarakat yaitu suatu proses yang
dinamakan pengambilan peran (role taking). Dalam proses ini seseorang belajar
untuk mengetahui peran yang harus dijalankannya serta peran yang harus
dijalankan orang lain. Dari pandangan Mead ini nampak jelas pendiriannya bahwa
diri seseorang terbentuk melalui interaksi dengan orang lain.

1.1.2 Pemikiran Cooley


Menurut Cooley konsep diri seseorang berkembang melalui interaksinya
dengan orang lain. Diri yang berkembang melalui interaksi dengan orang lain ini
oleh Cooley diberi nama lookingglass self. Karena kemapuan seseorang untuk
berperan sebagai anggota masyarakat tergantung pada sosialisasi. Oleh karena itu
seseorang yang tidak mengalami sosialisasi tidak akan dapat berinteraksi dengan
orang lain.

1.2 AGEN SOSIALISASI


1.2.1 Keluarga
Pada awal kehidupan manusia biasanya agen sosialisasi terdiri atas orang
tua dan saudara kandung. Pada masyarakat yang mengenal sistem keluarga luas
(extended family) agen sosialisasi bisa berjumalah lebih banyak dan dapat
mencakup pula nenek, kakek, paman, bibi, dan sebagainya.
Arti penting agen sosialisasi pertama pun terletak pada pentingnya
kemampuan yang diajarkan pada tahap ini. Untuk dapat berinteraksi dengan
significant others pada tahap ini seorang bayi belajar berkomunikasi secara verbal
dan nonverbal; ia mulai berkomunikasi bukan saja melalui pendengaran dan
pengelihatan tetapi juga melalui pancaindra lain, terutama sentuhan fisik.
Kemampuan berbahasa ditanamkan pada tahap ini. Sang anak mulai
mempunyai jati diri, mulai memasuki play stage dalam proses pengambilan peran
orang lain. Ia mulai mengidentifikasikan diri sebagai anak laki-laki atau
perempuan. Banyak ahli berpendapat bahwa kemampuan-kemampuan tertentu
hanya dapat diajarkan pada periode tertentu saja dalam perkembangan fisik
seseorang; artinya proses sosialisasi akan gagal bilamana dilaksanakan terlambat
ataupun terlalu dini.

1.2.2 Teman Bermain (Peer Group)


Setelah mulai dapat berpergian, seorang anak memperoleh agen sosialisasi
lain yaitu teman bermain, baik yang terdiri atas kerabat maupun tetangga dan
teman sekolah. Di sini seorang anak mempelajari berbagai kemampuan baru.
Kalau dalam keluarga interaksi yang dipelajarinya di rumah melibatkan hubungan
yang tidak sederajat (seperti antara orang tua dengan anak) maka dalam kelompok
bermain seorang anak memasuki game stage yang mempelajari aturan yang
mengatur peran orang yang kedudukannya sederajat. Dalam kelompok bermain
pulalah seorang anak mulai belajar nilai-nilai keadilan.

1.2.3 Sekolah
Agen sosialisasi berikutnya ialah sistem pendidikan formal. Di sini
seseorang mempelajari hal baru yang belum dipelajarinya dalam keluarga ataupun
kelompok bermain. Pendidikan formal mempersiapkan untuk penguasaan peran-
peran baru di kemudian hari, dikala seseorang tidak tergantung lagi pada orang
tuanya.
Menurut Dreeben di sekolah anak mendapat aturan untuk belajar dengan
mandiri. Ketergantungan pada orang tua yang dijumpai di rumah tidak terdapat di
sekolah. Aturan kedua yang dipelajari anak melibat prestasi, karena siswa
didorong untuk giat berusaha mengembangkan kemampuan dan bersaing agar
meraih keberhasilan dan menghindari kegagalan.
Aturan ketiga yang dipelajari anak ialah aturan mengenal universalisme
atau lawan dari partikularisme. Dalam keluarga seorang anak cenderung mendapat
perlakuan khusus dari orangtuanya, di sekolah atau di pihak lain, setiap siswa
mendapat perlakuan sama. Perlakuan berbeda hanya diberikan bila didasarkan
pada kelakuan baik siswa. Aturan keempat merupakan kebalikan dari kekaburan
(diffuseness), dimana di sekolah kegiatan siswa serta penilaian terhadap kelakuan
mereka dibatasi secara spesifik.
1.2.4 Media Massa
Light, Keller dan Calhoun (1989) mengemukakan bahwa media massa
terdiri atas media cetak (surat kabar, majalah) mapun elektronik (radio, televisi,
film, internet) merupakan bentuk komunikasi yang menjangkau sejumlah besar
orang. Media massa diidentifikasikan sebagai suatu agen sosialisasi yang
berpengaruh pula terhadap perilaku khalayaknya. Peningkatan teknologi yang
memungkinkan peningkatan kualitas pesan serta peningkatan frekuensi penerapan
masyarakat pun memberi peluang bagi media massa untuk berperan sebagai agen
sosialisasi yang semakin penting.
Media massa pun sering digunakan untuk mengukur, membentuk ataupun
mempengaruhi pendapat umum. Dan kesadaran akan arti penting media massa
bagi sosialisasi pun telah mendorong para pendidik untuk memanfaatkan media
massa.

1.3 SOSIALISASI PRIMER DAN SEKUNDER


Sosialisasi merupakan suatu proses yang berlangsung sepanjang hidup
manusia. Dalam kaitan inilah para ahli berbicara mengenai bentuk-bentuk proses
sosialisasi seperti sosialisasi setelah masa kanak-kanak (socialization after
childhood), pendidikan sepanjang hidup (lifelong education), atau pendidikan
berkesinambungan (continuing education). Light et al. (1989:130)
mengemukakan bahwa setelah sosialisasi dini yang dinamakannya sosialisasi
primer (primary socialization) kita menjumpai sosialisasi sekunder (secondary
socialization). Berger dan luckmann (1967) mendefinisikan sosialisasi primer
sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil, melalui mana ia
menjadi anggota masyarakat, sedangkan sosialisasi sekunder mereka definisikan
sebagai proses berikutnya yang memperkenalkan individu yang telah disosialisasi
ke dalam sektor baru dari dunia objektif masyarakatnya.
Salah satu bentuk sosialisasi sekunder yang sering dijumpai dalam
masyrakat ialah apa yang dinamakan proses resosialisasi (resocialization) yang
didahului dengan proses desosialisasi (desocialization). Dalam proses
desosialisasi seseorang mengalami “pencabutan” diri yang dimilikinya, sedangkan
dalam proses resosialisasi seseorang diberi suatu diri yang baru.

1.4 POLA SOSIALISASI


1.4.1 Pola Sosialisasi Represif (repressive socialization)
Menurut Jaeger sosialisasi represif ialah sosialisasi yang menekankan
penggunaan hukum terhadap kesalahan. Sosialisasi represif pun mempunyai ciri
lain seperti penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan;
penekanan pada kepatuhan anak pada orang tua; penekanan pada komunikasi
yang bersifat satu arah, nonverbal dan berisi perintah; penekanan titik berat
sosialisasi pada orang tua dan pada keinginan orang tua; dan peran keluarga
sebagai significant other.
1.4.2 Pola Sosialisasi Partisipatoris (participatory socialization)
Sosisalisasi partisipatoris menurut Jaeger merupakan pola yang di
dalamnya anak diberi imbalan manakala berperilaku baik; komunikasi bersifat
lisan; anak menjadi pusat sosialisasi; keperluan anak dianggap penting; dan
keluarga menjadi generalized other.

Anda mungkin juga menyukai