Anda di halaman 1dari 11

HALAMAN PERYATAAN ORISIONALITAS

Tulisan ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua kutipan dan dirujukkan telah saya
sebutkan sumbernya dengan dengan benar.

Makassar, 8 November 2019

Yang membuat pernyataan

Andika Michael Kusuma

NIM. A031191136
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seperti sebuah pepatah yang mengatakan “Buah yang jatuh tidak akan jauh
dari pohonya” pepatah ini mengartikan bahwa seorang anak tidak akan berbeda dari
orang tuangnya. Pepatah tersebut sebenarnya cukup jelas untuk menggambarkan
bagaimana peran penting orang tua dalam membentuk keribadian seorang anak.
Seorang anak cenderung tumbuh dengan segala peniruan-peniruan yang ia lakukan
berdasarkan apa yang orang tuanya lakukan. Wadah pendidikan yang pertama
dienyam oleh seorang anak berada pada lingkungan keluarga, dan orangtua lah
yang berperan mengajarkan dan mendidik seorang anak agar diharapkan dapat
tumbuh dan berkembang dengan kepribadian yang baik. Seorang anak akan
memiliki kepribadian yang baik jika kepribadian orangtuanya pun baik, begitupun
sebaliknya jika kepribadian orangtuannya buruk, maka anak akan cenderung
meniru keburukan tersebut dan menanamkannya sebagai karakternya.
Menurut Peter Berger (1978) dalam bukunya Kamanto Sunarto, ada perbedaan
penting antara manusia dengan makhluk lain dimana mereka dikendalikan
seluruhnya oleh naluri yang telah diperoleh sejak awal hidupnya, sedangkan
manusia memiliki naluri yang tidak lengkap sehingga mereka mengembangkan
kebudayaan untuk mengisi kekosongan yang tidak diisi oleh naluri tersebut. Jika
hewan tidak perlu menentukan makanan apa yang harus dimakannya karena sudah
diatur oleh naluri, manusia harus menentukan sendiri makanan yang ingin
dimakannya dan kebiasaan yang kemudian ditegakkan menjadi kebudayaan.
Manusia dituntut untuk dapat mengetahui, mempelajari, dan mengamalkan
kebiasaan-kebiasaan itu melalui proses sosialisasi. Melalui proses sosialisasi ini
masyarakat dimasukkan ke dalam manusia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut: “Bagamaina peran lingkungan keluarga terhadap proses sosialisasi anak?”
C. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui peranan lingkungan
keluarga terdapat proses sosialisasi anak.
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi pembaca
Makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan pembaca dan
menjadi referensi atau bahan rujukan yang benar dan dapat dibuktikan
kebenarannya oleh pembaca.
2. Bagi penulis
Penulisan makalah ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman penulis
terkait objek studi yang dikaji dan diharapkan pula dapat meningkatkan
kemampuan menulis penulis.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Umum Sosialisasi


Dalam buku Pengantar Sosiologi oleh Kamanto Sunarto, Berger
mendefinisikan sosialisasi sebagai “a process by which a child learns to be a
participant member of society” –proses melalui mana seorang anak belajar
menjadi seorang anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat (Berger,
1978:116). Definisi ini disajikannya dalam suatu pokok bahasan berjudul
society in man, dari sini tergambar pandangannya bahwa melalui sosialisasi,
masyarakat dimasukkan ke dalam manusia.
Menurut Berger yang dipelajari seseorang dalam proses sosialisasi adalah
peran-peran.
1. Pemikiran Mead
George Herberd Mead mengemukakan teorinya dalam buku Mind,
Self, and Society (1972), dalam buku ini Mead menguraikan tahap
pengembangan diri (self) manusia. Manusia yang baru lahir belum memiliki
diri. Diri manusia berkembang secara bertahap melalui interaksi dengan
anggota masyarakat lain. Menurut Mead pengembangan diri manusia ini
berlangsung melalui beberapa tahap-tahap play stag, tahap game stage, dan
tahap generalized other.
Pada tahap play stage seorang anak kecil mulai belajar mengambil
peran orang yang berada di sekitarnya. Ia mulai menirukan peran yang
dijalankan oleh orang tuanya, namun pada tahap ini anak belum sepenuhnya
memahami isi peran-peran yang ditirunya.
Tahap game stage seorang anak tidak hanya telah mengetahui peran
yang harus dijalankannya, tetapi telah pula mengetahui peran yang harus
dijalankan oleh orang lain dengan siapa ia berinteraksi.
Pada tahap generalized other seseorang telah mampu mengambil
peran-peran yang dijalankan orang lain dalam masyarakat, ia telah mampu
berinteraksi dengan orang lain dalam masyarakat karena telah memahami
peranannya sendiri serta peran orang lain dan dengan siapa ia berinteraksi.
2. Pemikiran Cooley
Menurut Charles H. Cooley konsep diri (self consept) seseorang
berkembang melalui interaksinya dengan orang lain ini oleh Cooley diberi
nama looking-glass self, istilah ini diberikan olehnya karena ia melihat
analog antara pembentukan diri seseorang dengan perilaku orang yang
sudah bercermin, lalu cermin memantulkan apa yang terdapat di depannya,
maka menurut Cooley diri seseorang pun memantulkan apa yang
dirasakannya sebagai tanggapan masyarakat terhadapnya.
Menurut pendapat Cooly looking glass self terbentuk melalui tiga
tahap. Pada tahap pertama seseorang mempunyai persepsi mengenai
pandangan orang lain terhadapnya. Pada tahap berikut seseorang

2
mempunyai persepsi mengenai penilaian orang lain terhadap apa yang
dirasakannya sebagai penilaian orang lain terhadapnya itu (lihat Horton dan
Hunt, 1984:94-97).
Apa yang terjadi jika seorang anak tidak mengalami sosialisai?
Sosialisasi mempengaruhi kemampuan seseorang untuk mempunyai diri—
untuk berperan sebagai anggota masyarakat. Seseorang yang tidak
mengalami sosialisasi tidak akan dapat berinteraksi dengan orang lain.
B. Agen Sosialisasi
Fuller dan Jacobs (1973:168-208) mengidentifikasikan empat agen
sosialisasi utama: keluarga, kelompok bermain, media massa, dan sistem
pendidika Sunarto, (2000:26).
a. Keluarga
Pada awal kehidupan manusia biasanya agen sosialisasi terdiri atas
orang tua dan saudara kandung. Pada masyrakat yang mengenal sistem
keluarga luas agen sosialisasi bisa berjumlah lebih banyak dan dapat pula
mencangkup nenek, kakek, paman, bibi, dan sebagainya.
Menurut Gertrude Jaeger (1977) mengemukakn bahwa peran para
agen sosialisasi pada tahap awal ini, terutama orang tua, sangat penting.
Sang anak sangat tergantung pada orang tua dan apa yang terjadi antara
orang tua dan anak pada tahap ini jarang diketahui orang luar. Dengan
demikian anak tidak terlindung terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang
sering dilakukan orang tua terhadap mereka seperti penganiayaan,
perkosaan, dan sebagainya.
b. Teman bermain
Dari agen ini seorang anak mempelajari berbagai kemampuan baru.
Pada tahap ini anak memasuki game stage mempelajari aturan yang
mengatur peran orang yang kedudukannya sederajat. Dalam kelompok
bermain pulalah seorang anak mulai belajar nilai-nilai kadilan.
c. Sekolah
Di sini seorang mempelajari hal baru yang belum dipelajarinya
dalam keluarga ataupun kelompok bermain. Pendidikan formal
mempersiapkannya untuk penguasaan pran-peran baru di kemudian hari
ketika seorang anak tidak tergantung lagi dengan orang tuanya.
Menurut Robert Dreeben (1968) berpendapat bahwa yang dipelajari
anak di sekolah—di samping membaca, menulis, dan berhitung---adalah
aturan mengenai kemandirian, prestasi, universalisme, dan spesifisitas.
Pemikiran ini dipengaruhi oleh dikotomi yang dikembangkan oleh Talcott
Parsons—misalnya antara ascription dan achievement, particularism dan
universalism, diffuseness dan specificity.
d. Media massa
Light, Keller, dan Calhoun (1989) mengemukakan bahwa media
massa—yang terdiri atas media cetak (surat kabar, majalah) maupun
elektronik (radio, televise, film, internet)---merupakan bentuk komunikasi
yang menjangkau sejumlah besar orang. Media massa diidentifikasikan

3
sebagai suatu agen sosialisasi yang berpengaruh pula terhadap perilaku
khalayaknya. Peningkatan teknologi yang memungkinkan peningkatan
kualitas pesan serta frekuensi penerpaan masyarakat pun memberi peluang
bagi media massa untuk berperaan sebagai agen sosialisasi yang semakin
penting.
C. Keluarga Sebagai Agen Sosialisasi Utama Anak
Dalam keadaan yang normal, lingkungan pertama yang berhubungan
dengan anak adalah orang tua, saudara-saudara yang lebih tua (kalau ada) serta
mungkin kerabat dekatnya yang tinggal serumah. Melalui lingkungan itulah si
anak mengenal dunia sekitarnya dan pola pergaulan hidup yang berlaku sehari-
hari, serta melalui itu juga si anak mengalami proses sosialisasi awal. Orang
tua, saudara maupun kerabat terdekat lazimnya mencurahkan perhatiannya
untuk mendidik anak, agar anak memperoleh dasar-dasar pola pergaulan hidup
yang benar dan baik, melalui penanaman disiplin dan kebebasan serta
penyerasiannya. Pada saat ini orang tua, saudara mapupun kerabat melakukan
sosialisasi yang biasa diterapkan melalui kasih sayang untuk mendidik anak
agar mengenal nilai-nilai tertentu, seperti nilai ketertiban dan ketentraman, nilai
kebendaan dan keakhlakan, nilai kelestarian dan kebaruan, dan seterusnya. Pada
nilai ketertiban dan ketentraman ditanampak perilaku disipliner dan perilaku
bebas yang harus diserasikan. Contohnya, si anak yang lapar boleh makan dan
minum sampai kenyang, tetapi pada waktu tertentu; anak boleh bermain
sepuasnya, tetapi dia harus berhenti bermain apabila waktu makan telah tiba.
Nilai kebendaan dan keakhlakan serta penyerasian, misalnya dapat ditanamkan
dengan jalan membelikan mainan yang diinginkan, tetapi mainan itu harus
dipelihara baik-baik agar tidak cepat rusak. Kalau mainan itu rusak, orang tua
harus dapat menahan diri untuk segera membeli mainan baru. Melalui cara itu
pula nilai kelestarian dan kebaruan dapat ditanamkan melalui perilaku teladan
yang sederhana.
Apabila usia anak meningkat ke umur remaja, maka penanaman nilai
tersebut harus tetap dipertahankan, akan tetapi dengan cara lain, sesuai dengan
pertumbuhan jiwa remaja tersebut. Secara psikologis usia remaja merupakan
umur yang dianggap “gawat”, karena yang bersangkutan sedang mencari
identitasnya. Remaja lebiih banyak memerlukan pengertian daripada sekedar
pengetahuan saja; dia harus menngerti mengapa manusia tidak boleh terlalu
bebas dan juga tidak boleh terlalu terikat (disiplin). Orang tua terkadang lebih
mementingkan disiplin/keterikatan daripada kebebasan, sedangkan remaja lebih
menyukai kebebasan daripada disiplin. Namun, manusia yang disiplin hanya
akan menjadi “robot” yang mati daya kreativitasnya, sedangkan manusia yang
terlalu bebas akan menjadi makhluk lain (yang bukan manusia).
Tumbuhnya motivasi dan keberhasilan studi justru ditunjang oleh
keserasian-keserasian tersebut. Anak atau remaja yang diharuskan belajar terus-
menerus atau dibebani dengan kewajiban mengikuti pelajaran tambahan, akan
mengakibatkan kebosanan, sehingga pekerjaan tersebut dianggapnya sebagai
rutin belaka. Dia tidak sempat mengenyam kebebasan berpikir, karena selalu

4
dibebani dengan keterikatan, di mana orang tua yang menentukan dalam
mengambil keputusan-keputusan. Anak atau remaja tersebut hanya dilatih
untuk berpikir, tanpa mendidiknya untuk menyerasikan pikiran dengan
perasaan.
Membiarkan anak atau remaja bersikap semaunya juga buruk dan tidak
benar. Mereka memerlukan tuntutan orang tua, saudara-saudara, maupun
kerabat dekatnya; tetapi tuntutan itu tidak diperolehnya. Kritik remaja biasanya
seperti orang tua terlalu konsertif atau terlalu liberal; orang tua hanya
memberikan nasihat, tanpa memberi contoh yang mendukung nasihat tersebut;
orang tua terlalu mementingkan pekerjaan di kantor, organisasi, dan lain
sebagainya; orang tua mengutamakan pemenuhan kebutuhan material belaka;
orang tua lazimnya mau “menangnya” sendiri (tidak mau menyesuaikan diri
denan kebutuhan dasar remaja yang mungkin berbeda).
Suasana keluarga yang positif bagi motivasi dan keberhasilan studi adalah
keadaan yang menyebabkan anak atau remaja merasa dirinya aman atau damai
bila berada di tengah keluarga tersebut. Suasana tersebut biasanya terganggu
apabila tidak ada saling pengertian atau pemahaman mengenai dasar-dasar
kehidupan bersama, terjadinya konflik mengenai otonomi; di satu pihak orang
tua ingin anaknya dapat mandiri, namun kenyataannya mereka mengekangnya,
terjadi konflik nilai-nilai tidak diserasikan; kalau nilai kebendaan terlalu
menonjol seyogyanya hal itu tidak diganti dengan nilai keakhlakan namun
diselaraskan), pengendalian dan pengawasan orang tua yang berlebih-lebihan,
tidak adanya rasa kebersamaan dalam keluarga, terjadi masalah dalam
hubungan ayah dengan ibu, sebagai suami-istri, jumlah anak yang banyak tidak
didukung fasilitas yang memadai, campur tangan pihak luar (baik kerabat
maupun bukan kerbat), status sosial-ekonomis yang di bawah standar minimal,
pekerjaan orang tua (kedudukan istri lebih tinggi dari suami, hal mana tidak
mustahil suami merasa rendah diri dan menyalurkannya ke arah yang negatif),
aspirasi orang tua yang kadang tidak sesuai dengan kenyataan, konsepsi
mengenai peranan keluarga serta anggota keluarga yang meleset dari kenyataan
yang ada, timbulnya favoritismedi kalangan anggota keluarga, pecahnya
keluarga karena konflik antara suami dengan istri yang tidak mungkin lagi
diatasi, persaingan yang sangat tajam antara anak-anak, sehingga menimbulkan
pertikaian.
D. Pengoptimalisasian Fungsi Keluarga Sebagai Peletak Dasar Kepribadian
Anak
Widjaja (1986:5) juga menyatakan bahwa para ahli Antropologi melihat
keluarga sebagai satuan sosial terkecil yang dipunyai oleh manusia sebagai
makhluk sosial. Sebuah keluarga adalah satu kesatuan kekerabatan yang juga
merupakan satuan tempat tinggal yang ditandai oleh adanya kerjasama ekonomi
dan mempunyai fungsi untuk berkembang biak, mensosialisasi atau mendidik

5
anak, dan menolong serta melindungi yang lemah khususnya merawat orang-
orang tua mereka yang telah jompo.
Disorganisasi keluarga adalah perpecahan keluarga sebagai suatu unit
karena anggota-anggotanya gagal memenuhi kewajiban kewajibannya yang
sesuai dengan peranan sosialnya (soekanto, 1994 : 411). Di zaman modern ini,
disorganisasi keluarga mungkin terjadi karena konflik peranan sosial atas dasar
perbedaan ras, agama atau faktor sosial ekonomis.
Ada juga disorganisasi keluarga karena tidak adanya keseimbangan dari
perubahan-perubahan unsur-unsur warisan sosial (sosial heritage). Ikatan
keluarga dalam masyarakat agraris adalah atas dasar faktor kasih sayang dan
faktor ekonomis di dalam arti keluarga tersebut merupakan suatu unit yang
memproduksi sendiri kebutuhan-kebutuhan primernya.
Kurangnya komunikasi antara anggota keluarga dapat melemahkan ikatan
keluarga inti. Juga, kurang teratur dan intensifnya kontak antar keluarga pun
dapat melemahkan ikatan keluarga besar. Hal inilah yang merupakan bibit
terjadinya disorganisasi dalam keluarga tradisional. Hal ini dapat dimengerti,
sebab sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa interaksi sosial
merupakan kunci dari semua kehidupan sosial. Maka tanpa interaksi sosial, tak
akan mungkin menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu kelompok sosial.
Contoh kecil, Kehadiran seorang ibu bagi anak memang sangat penting,
terutama saat belum mencapai usia dua tahun. Pada saat itu, material child
bonding (keeratan) antara anak dan ibu (megawangi,1994:4). Jika bonding
sudah mantap, interaksi anak dengan orang di luar dirinya menjadi sangat bagus
dan ia memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya
secara baik pula. Hal itu terjadi karena anak merasa aman secara psikologis
dengan adanya ikatan tersebut, anak merasa bahwa keberadaannya di dunia ini
dicintai dan dihargai, sebaliknya ia akan mampu mencintai ibunya dan orang
lain di sekitarnya. Bonding yang kuat, membuat anak menjadi penurut dan
mengerti apa yang diinginkan orang tuanya. Anak akan merasakan rumah
sebagai tempat yang nyaman sehingga orientasi keluar rumah akan menurun.
Bonding yang kuat juga membuat anak mencintai, menghormati dan
menghargai orang tuanya. Hal ini terjadi karena adanya keseimbangan antara
cinta dan otoritas orang tua.

6
Sebaliknya, jika bonding tak terjadi, akan mempersulit proses selanjutnya.
Akibat kelalaian orangtua dalam mendidik anak-anaknya dan tidak adanya
kontrol yang terus menerus serta tidak berkembangnya disiplin diri akan
membawa anak dengan mudah pada lingkungan sosial yang bergabung dalam
geng dan mendorong mereka bertingkah laku agresif, implusif, dan primitif
(kartono,1992:27).
Bonding dan attachment tidak akan membuat anak jadi tergantung.
Kemandirian justru diawali dari ketergantungan. Ketergantungan bersifat alami
dan perlu sosialisasi.
Kualitas sumber daya keluarga dan anak merupakan aspek yang sangat
penting. Keluarga merupakan sumber utama dan pertama dalam proses
pendidikan anak dari kandungan ibu sampai masa kanak-kanak. Keluarga juga
merupakan lembaga yang memperoleh pengaruh langsung dari perubahan
masyarakat, dimana segala kebaikan dan keburukan bersumber. Adalah keliru
jika membicarakan persaingan bangsa di masa mendatang, tanpa
memperhatikan berbagai permasalahan dan program untuk keluarga. Sudah
saatnya pemerintah, akademisi, LSM, masyarakat dan kalangan lainnya
memikirkan kembali dengan serius perkembangan yang terjadi dalam keluarga-
keluarga Indonesia dewasa ini.
E. Peranan Keluarga dalam Proses Sosialisasi Anak
Keluarga khususnya orang tua memiliki peran-peran tertentu dalam proses
sosialisasi awal seorang anak, berikut contoh-contoh peran keluarga dalam
proses sosialisasi anak:
1. Peran keluarga dalam proses sosialisasi nilai agama
Bagi seorang anak, keluarga merupakan persekutuan hidup pada
lingkungan keluarga tempat dimana ia menjadi diri pribadi atau diri sendiri.
Kelurga juga merupakan wadah bagi anak dalam konteks proses belajarnya
untuk mengembangkan dan membentuk diri dalam fungsi sosialnya .
disamping itu , keluarga merupakan tempat belajar bagi anak dalam segala
sikap untuk berbakti kepada Tuhan sebagai perwujudan nilai hidup yang
tinggi. Dengan demikian jelaslah bahwa orang yang pertama dan utama
bertangung jawab terhadap kelansungan hidup dan pendidikan anak adalah
orang tua.

7
Keluarga merupakan intitusi sosial yang bersifat universal dan
multifungsional. Fungsi pengawasan , sosial, pendidikan , keagamaan,
perlindungan dan rekreasi dilakukan oleh keluarga terhadap anggota-
anggotanya. Meskipun perubahan masyarakat telah mendominasi namun
fungsi utama kelurga tetap melekat yaitu melindungi, memelihara,
sosialisasi dan memberikan suasana kemesraan bagi anggotanya.
Nilai- nilai agama yang dapat ditanamkan kepada anak dalam sebuah
keluarga adalah peraturan – peraturan yang di tetapkan oleh Tuhan YME
(terdapat dalam kitab suci al- quran, Alkitab, dan kitab suci lainnya) dan
wajib diamalkan dan dilaksanakan oleh umat beragama yaitu:
a. Melaksanakan peraturan dalam agama yang dianut
b. Mengikuti norma agama yang berlaku
c. Tolenransi antar umat beragama
Keluarga selain sebagai media awal sosialisasi juga merupakan
tempat seorang individu belajar segala hal termasuk nilai agama. Nilai
agama yang dipelajari individu dalam keluarga yaitu belajar berdoa,
berpuasa/berpantang, membaca kitab suci, akhlak kepada orang tua dan
sesama, cara berpakaian yang sesuai dengan ajaran agama serta
bersilaturrahmi. Dengan demikian peran keluarga dalam sosialisasi nilai
agama akan sangat berpengaruh terhadap kepribadian seorang individu
sebelum bergabung dengan masyarakat luas.
2. Peranan keluarga dalam proses sosialisasi hukum
Dapatlah dikatakan seseorang telah menjalani proses sosialisasi
hukum bila dia mengetahui secara umum adanya hukum, dia agak
mengetahui bahwa kalau hukum tidak diindahkan dapat timbul gangguan-
gangguan pada kehidupan masyarakat, dia mempunyai kesadaran bahwa
penting baginya untuk mengindahkan hukum bila dia bertindak, dan dia
memiliki kecenderungan atau motivasi untuk mengikuti atau
memperhatikan aturan-aturan hukum dalam kehidupannya.
Anak yang sudah selesai sosialisasi hukum, telah sadar akan
perlunya hukum diikuti dan cenderung mempunyai motivasi untuk
memperhatikan hukum.

8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam proses sosialisasi seorang anak semasa hidupnya, orang tua menjadi
agen utama dalam menunjang keberhasilan perkembangan dan pertumbuhan
karakter seorang anak. Sifat dan karakter orang tua yang selalu
diperlihatkannya pada anak semasa di rumah menjadi sebuah cermin bagi anak
untuk selalu mencoba menirunya. Entah apakah peniruan itu menjadi peniruan
yang baik atau buruk tergantung dari orangtua itu sendiri. walaupun seorang
anak pada akhirnya akan berbaur di lingkungan masyarakat, tidak ada pihak
lain yang dapat menggantikan peranan orang tua seutuhnya. Keberhasilan orang
tua di dalam menunjang motivasi dan keberhasilan studi terletak pada eratnya
hubungan hubungan antara orang tua dengan anak-anaknya. Nilai-nilai
kebudayaan yang diajarkan dan ditanamkan dalam diri seorang anak akan
membentuk kepribadian anak tersebut. Dalam mendidik seorang anak, orang
tua juga harus dapat menerapkan sanksi yang dapat membuat nilai-nilai
kebudayaan tersebut diterima oleh anak dan dapat tertanam kuat dalam dirinya.
B. Saran
Seorang anak yang dekat dengan orangtuanya akan memiliki sifat yang lebih
penurut, sehingga proses transfer nilai-nilai kebudayaan dari orang tua akan
berjalan lancar, tanpa adanya penolakan dari anak, oleh karena itu sebelum
orangtua mengajarkan nilai-nilai dan norma-norma dalam keluarga pada anak,
orangtua harus terlebih dahu mendekatkan diri kepada anak, buatlah anak
menjadi nyaman dengan kehadiran orang tua. Orangtua jangan terus berada di
belakang anak untuk terus mendorong anak, tetapi penting juga orangtua
memposisikan diri berada di samping anak, menjadi seorang teman bagi anak
dalam proses sosialisasi di dalam keluarga. Dalam mendidik anak penting juga
orang tua memberikan sanksi kepada anak, namun sanksi tersebut diharapkan
dapat membantu anak menyadari kesalahannya tanpa membuat anak menjadi
tertutup atau menjauh dari orangtuanya. Orangtua seharusnya tidak menerapkan
sanksi berupa penyiksaan fisik, karena hal itu hanya akan membuat anak
meniru tindakan kekerasan tersebut.

9
DAFTAR PUSTAKA

https://ejournal.undip.ac.id/index.php/sabda/article/download/13256/10041
E-journal. diakses pada tanggal 7 November 2019

https://media.neliti.com/media/publications/114514-ID-keluarga-dalam-
kajian-sosiologi.pdf. e-journal. diakses pada tanggal 7 November 2019

https://media.neliti.com/media/publications/206272-peran-keluarga-
bekerja-dalam-mensosialis.pdf. e-journal. diakses pada tanggal 7 Novenber
2019

http://ikk.fema.ipb.ac.id/v2/images/karyailmiah/teori.pdf. E-journal. diakses


pada tanggal 7 November 2019

https://www.researchgate.net/publication/318650847_Peranan_Keluarga_d
alam_Proses_Sosialisasi_Hukum. E-book. diakses pada tanggal 7 November
2019

Putra, Nusa dan Ninin Dwilestari.2013.Penelitian Kualitatif PAUD.Jakarta:


Rajawali Pers

Queen, Stuart A dan John B. Adams. 1951. The Family In Various Cultures.
USA: J.B. Lippincott Company

Soekanto, Suryono. 2004. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo


Persada

Soekanto, Soerjono dan Budi Sulistyowati. 2017. Sosiologi Suatu Pengantar


(Edisi Revisi). Jakarta : PT RajaGrafindo Persada

Sunarto, Kamanto. 2000. Pengantar Sosiologi (Edisi Kedua). Jakarta: Lembaga


Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

10

Anda mungkin juga menyukai