Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

PASIEN NEONATUS DENGAN LABIOPALATOSKISIS (BIBIR


SUMBING)

Disusun oleh:
NURDINA WAHYU HIDAYATI
20164030107

PROFESI NERS
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
A. Definisi
Labiopalatoskisis adalah kelainan bawaan pada anak
dimana terdapat celah pada bibir dan palatum yang
merupakan malformasi fasial yang terjadi dalam
perkembangan embrio (wong, et al, 2009). Labiopalatoskisis
adalah kelainan kongenital pada bibir dan palatum yang dapat
terjadi secara terpisah (Speer, 2008). Bibir sumbing adalah
salah satu cacat lahir yang paling banyak dijumpai didunia ini.
Sumbing adalah kondisi terbelah pada bibir yang dapat sampai
pada langit – langit, akibat dari embriologi perkembangan
struktur wajah yang mengalami gangguan (Loho, 2013). Bibir
sumbing atau Labioschisis adalah suatu kelainan bawaan yang
terjadi pada bibir bagian yang dapat disertai kelainan pada
langit-langit. Bibir sumbing merupa-kan suatu gangguan pada
pertumbuhan wajah sejak embrio umur minggu ke IV (Loho,
2013).
Celah bibir dan celah langitan adalah suatu kelainan
kelahiran yang terjadi di daerah mulut dan bibir. Keadaan
kelainan ini dapat meyebabkan berbagai bervariasi problem
yang berhubungan dengan rongga mulut, bicara, pendengaran
dan mungkin juga mempengaruhi jumlah, ukuran, bentuk dan
posisi gigi sulung maupun gigi tetap. Pada kelainan ini
membutuhkan evaluasi dini dari team dokter gigi yang biasa
menangani celah langit maupun celah bibir (Pujiastuti dan
Hayati, 2008).
B. Etiologi
1. Genetika
Genetika merupakan salah satu faktor penyebab
terjadinya labiopalatoskiziz, faktor genetik berkontribusi
terhadap pembentukan celah bibir dan langit-langit
(labiopalatoskizis) telah teridentifikasi pada beberapa kasus
sindromik. Sejumlah gen yang terlibat terjadinya
labiopalatoskizis yaitu transmembran protein 1 dan GAD1,
merupakan salah satu decarboxylases glutamat (Dudas et
al., 2007 dalam Ismanti, 2012).
Beberapa sindrom yang berkontribusi terhadap kejadio
labiopalatoskizis adalah The Van der Woude Syndrome,
inidisebabkan oleh variasi spesifik dalam gen IRF6 yang
meningkatkan kecacatan tiga kali lipat (Pope dan Snider,
2004 dalam Ismanti, 2012). Sindrom siderius
keterbelakangan mental X-linked, disebabkan oleh mutasi
gen PHF 8 (OMIM 300263), disamping menyebabkan
labiopalatoskizis juga timbul gejaa malformasi wajah dan
keterbelakangan mental ringan (Dudas et al., 2007 dalam
Ismanti, 2012).
Dalam beberapa kasus ada sindrom-sindrom lain yang
juga berperan terhadap kejadian labiopalatoskizis yaitu
sticler sindrom dapat menyebabkan labiopalatoskizis, nyeri
sendi dan miopia. Loeys-Dietz sindrom dapat menyebabkan
celah langit-langit (palatoskizis) atau uvula terpecah
menjadi dua, hypertelorism dan aneurisma aorta, sindrom
Hardikar dapat menyebabkan celah pada langit-langit dan
bibir, hidronefrosis, obstruksi usus dan gejala lainnya, selain
itu kelainan kromosom 13 (Patau syndrome) dapat
menyebabkan terjadinya labiopalatoskizis (Dudas, et al.,
2007).
Dari uraian diatas banyak gen yang telah teridentifikasi
berkonstribusi terhadap timbulnya kasus-kasus
labiopalatoskizis, termasuk varian urutan tertentu dalam
gen IRF6, PVRL1 dan MSX1 (Kanno, et al., 2004).
Pemahamam tentang kompleksitas genetika yang terlibat
dalam morfogenesis dari midface, termasuk proses
molekuler dan seluler, telah dibantu oleh penelitian pada
hewan, termasuk gen BMP4, RSH, SHOX2, FGF10 dan MSX1
(Kanno, et al., 2004 dalam Ismanti, 2012).
2. Lingkungan
Lingkungan berinteraksi dengan genetika dapat
menyebabkan terjadi labiopalatoskizis, salah satu contoh
bagaimana faktor lingkungan berinteraksi dengan genetika,
dapat dibuktikan dari hasil penelitian tentang mutasi pada
gen PHF8 yang bisa menyebabkan labiopalatoskizis
(Zucchero et al., 2004 dalam Ismiati, 2012).
Labiopalatoskizis dan kelainan kongenital lainnya terjadi
karena ibu mengalami hipoksia pada awal kehamilan
(Millicovsky, 1981 dalam Ismiati, 2012), contohnya pada ibu
yang merokok (Shi, Wehby dan Murray, 2008 dalam Ismiati,
2012), didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Wyszinski, Duffy dan Beatty (1997 dalam Wong, et al., 2009)
dimana merokok yang dilakukan pada trimester pertama
kehamilan diyakini merupakan penyebab 11% hinggan 12%
dari semua kasus labiopalatoskizis. Ibu dengan
penyalahgunaan alkohol dan mendapat pengobatan
hipertensi juga diduga bisa menyebabkan terjadinya
labiopalatoskizis (Hurst, et al., 1995 dalam Ismiati, 2012).
Faktor lingkungan lain yang telah dipelajari dan diduga bisa
menyebabkan terjadinya labiopaaltoskizis adalah terpapar
pestisida, malnutrisi pada saat hamil trimester pertama,
obat-obatan antikonvulsan, senyawa nitrat, obat-obatan
terlarang seperti kokain, heroin dan lain-lain (Hull dan
Johnston, 2008 dalam Ismiati 2012).
C. Klasisfikasi
Kelainan bibir terdiri atas berbagai macam, diantaranya
bibir sumbing (Labio-schisis), sumbing atau celah pada langit-
langit rongga mulut (Palatoschisis), atau pun gabungan dari
keduanya berupa sumbing bibir dan langitan (Labiopalato-
schisis), dan sumbing bibir sampai gusi dan langit-langit
(Labiogenatopalatoschisis). Kelainan tersebut juga biasa terjadi
pada satu sisi rahang (unilateral) ataupun pada kedua sisi
yaitu kanan dan kiri (bilateral) (Pujiastuti dan Haryati, 2008).
Labioskizis diakibatkan dari penggabungan struktur
embrional sekitar rongga mulut primitif yang tidak sempurna.
Celah ini dapat terjadi unilateral atau bilateral dan disertai
dengan perkembangan abnormal hidung eksterna, kartilago
hidung dan rigi alveolus maksilaris. Celah bibir ini dapat
disertai atau tidak disertai dengan celah palatum. Luasnya
celah bibir sampai fissura dalam dan lebar meluas sampai
kedua lubang hidung. Pada labioskizis bilateral, baigan tengah
bibir atas tidak melekat pada kedua sisi dan dapat berpindah
ke depan, hal ini bisa menjadi berat bila disertai dengan celah
palatum (Hoffman dan Rudolph, 2007 dalam Ismiati, 2012).
Dari pernyataan diatas, berdasarkan lengkap tidaknya
celah yang terbentuk labioskizis bisa diklasifikasikan menjadi
unilateral incomplete jika celah terjadi hanya disalah satu sisi
bibir dan tidak memanjang sampai ke hidung, jika celah terjadi
hanya disalah satu bibir dan memanjang sampai ke hidung
disebut unilateral complete, dan jika celah terjadi dikedua sisi
bibir dan memanjang hingga ke hidung disebut bilateral
complete.
Palatoskizis (celah palatum) terjadi bila lempeng palatum
primer dan sekunder gagal berfusi. Palatoskizis derajatnya
sangat bervariasi dan hanya melibatkan palatum mole atau
meluas ke dalam palatum durum. Celah dapat terjadi hanya
pada linea mediana palatum posterior, tetapi dapat meluas ke
lubang hidung pada satu atau ke dua sisi, melibatkan rigi
alveolus maksila. Bila celah meluas ke anterior berhubungan
dengan palatoskizis. Palatoskizis sentral dan lebar dapat
disertai dengan tidak adanya perkembangan sekat hidung
parsial atau total, mengakibatkan lubang yang luas anatar
hidung dan rongga mulut. Celah yang kecil pada palatum mole
mungkin sulit dibedakan dengan uvula bifida. Celah palatum
mole otot terjadi dengan perkembangan mukosa utuh,
kelainan ini disebut palatoskizis submukosa (Hoffman dan
Rudolph, 2007 dalam Ismiati, 2012).
D. Manifestasi Klinis
1. Refleks mengisap Asi yang terganggu, akibat adanya
kondisi pathologis
2. Adanya gangguan pertumbuhan anatomi nasofaring
3. Adanya disfungsi tuba eustachius yang dapat
mengakibatkan terjadinya otitis media, serta gangguan
pendengaran.
E. Patofisiologi
Celah pada bibir disebabkan oleh kegagalan
perkembangan dan penyatuan processus frontonasal dan
processus maxilaris. Bibir sumbing bisa terdapat pada satu sisi
atau kedua sisi dari garis tengah. Biasanya sumbing bibir sisi
kiri lebih sering ditemukan dari pada sisi kanan. Karena
vaskularisasi sisi kanan lebih baik, sehingga sumbing sisi
kanan lebih dahulu mencapai bagian medial. Pria lebih sering
terjadi sumbing dari pada wanita. Karena wanita memiliki
vaskularisasi yg lebih baik, sehingga wanita lebih cepat terjadi
penutupan dari pada pria (Pujiastuti dan Hayati, 2012).
Pembentukannya dimulai pd minggu ke 4 kehamilan. Peristiwa
ini terjadi di rahim. Pembentukannya dibagi 2 pusat per-
tumbuhan, yaitu :1) Palatum primer yang terletak didepan dari
foramen incisivum, untuk membentuk alveolus dan labium. 2)
Palatum sekunder dibelakang dari foramen incisivum, untuk
membentuk palatum durum/molle dan uvula. Palatum
sekunder akan membentuk bagian besar palatum durum dan
palatum mole (Pujiastuti dan Hayati, 2008).
Kesumbingan pada bibir dan langit-langit termasuk bagian
dari kesumbingan pada wajah, ini adalah suatu bentuk
kelainan bawaan sejak lahir, dimana terjadi gangguan proses
pertumbuhan Embryonal, sehingga tidak terjadinya fusi antara
prosesus frontonasal pada bagian medial dan prosesus
maxilaris dari kedua sisi lateral kepala. Manifestasi klinis:
berupa celah pada bibir yang dapat sampai langit-langit
dengan segala kemungkinannya, yang bisa komplit/inkomplit,
bisa uni-lateral/bilateral yang disertai dengan distorsi jaringan
sekitar (hidung dll). Pemeriksaan tambahan pada saat hamil:
USG 3D, untuk memvisualisasikan bibir sumbing dan normal
(Pujiastuti dan Hayati, 2008).
Proses terjadinya labiopalatoskizis ini terjadi ketika
kehamilan trimester pertama, dimana terjadi proses
perkembangan berbagai organ tubuh dan saat itu terjadi
kegagalan dalam penyatuan atau pembentukan jaringan lunak
atau tulang selama fase embrio. Apabila terjadinya kegagalan
dalam penyatuan proses nasal medial dan maksilaris maka
dapat terjadi labioskizis (celah bibir), dan proses penyatuan
tersebut akan terjadi pada usia kehamilan 6-8 minggu.
Kemudia apabila terjadi kegagalan penyatuan pada susunan
palatum (langit-langit) selama masa kehamilan 7-12 minggu
maka dapat mengakibatkan celah pada palatum (palatoskizis),
palatum terdiri dari palatum mole (langit-langit lunak) dan
palatum durum (langit-langit keras) (Hidayati, 2008 dalam
Wong, et al., 2009).
F. Pathway
G.
Sumber: Dewi (2014). Diakses 22 Januari 2017, dari
http://sythadewi.blogspot.co.id/2014/08/laporan-pendahuluan-
labiopalatoskizis.html.
H. Penatalaksanaan
I. Bayi dengan bibir sumbing biasanya tidak mengalami
masalah dalam pemberian air susu ibu ataupun minum dari
botol, akan tetapi bayi dengan bibir sumbing dan palatum atau
celah palatum akan bermasalah. Jika sumbing lebar, bayi akan
sulit menyusu, lelah dan menelan banyak udara; dibutuhkan
preemie nipple. Posisi tegak saat minum susu juga mengurangi
risiko regurgitasi. Pada bayi dengan sumbing lebar,
penggunaan protesis palatum membantu pemberian makanan
dan minuman. Selain tatalaksana tersebut, operasi
rekonstruksi wajah dapat dilakukan untuk memperbaiki fungsi
organ hidung, gigi, dan mulut, perkembangan berbicara, serta
memperbaiki estetika wajah. Operasi meliputi perlekatan bibir,
rekonstruksi bibir sumbing, dan rekonstruksi celah palatum
(Irawan dan Kartika, 2014).
J. Penanganan labiopalatoskizis dilakukan tindakan
operasi sesuai rule over ten: BB >10pon (5kg), Hb >10%, usia
>10minggu. Dengan memperhatikan: Faktor Emergency,
faktor Psychis orang tua dan anak. , faktor Keserasian
pertumbuhan jaringan, faktor Fungsi jaringan/organ, faktor
Estetika, waktu operasi (Loho, 2013).
K. Komplikasi
1. Kesulitan makan
L. Bayi tidak mampu menghasilkan tekanan negatif
dalam kavum oral yang memberikan kepadanya
kemampuan menghisap air susu, sehingga memerlukan
penanganan khusu seperti dot khusus, posisi makan yang
benar dan juga kesabaran dalam memberi makan pada bayi
dengan labiopalatoskizis (Sacharin, 1999 dalam Wong, et al.,
2009).
M. Berdasarkan hasil penelitian kualitatif yang dilakukan
oleh Owens mengenai pengelaman orang tua dalam
memberi nutrisi pada anak dengan labiopalatoskizis
unilateral berhasil memberikan ASI pada bayinya,
sedangkan ibu yang memiliki anak dengan labiopalatoskizis
unilateral maupun bilateral mengalami kesulitan dalam
memberi ASI sehingga dibutuhkan alat khusus memberikan
nutrisi (Owens, 2008).
2. Infeksi telinga dan hilangnya fungsi pendengaran,
dikarenakan tidak berfungsi dengan baik saluran yang
menghubungkan telinga tengah dengan kerongkongan dan
jika tidak segera diatasi maka beresiko kehilangan
pendengaran (Sacharin, 1999).
3. Kesulitan berbicara
N. Otot-otot untuk berbicara mengalami penurunan
fungsi karena adanya celah. Bicara dapat terlambat dan bila
ada hipernasalitas dan artikulasi yang jelek. Sebagai akibat
defisiensi pada fungsi otot palatum mole, fungsi tuba
eustachii dapat terganggu dan keterlibatan telinga tengah
melalui otitis media akut berulang atau terjadi otitis media
kronik (Rudolph, 2007).
4. Masalah gigi
O. Celah bibir gigi tumbuh tidak normal atau bahkan
tidak tumbuh, sehingga perlu perawatn dan penanganan
khusus (Hoekelman, et al., 2001 dalam Johansson dan
Ringsberg, 2004).
P.
Q. REFERENSI
R. Hoekelmen, R.A., Adam, H.M., Nelson, N.M., Weitzman, M.L.,
dan Wilson, M.H. (2001). Primary Pediatric Care. London:
Mosby.
S. Irawan, H., dan Kartika. (2014). Teknik Operasi
Labiopalatoskizis. CDK-215, 41 (4).
T. Ismanti, R. (2012). Pengalaman Ibu dalam Memberi Nutrisi
pada Anak dengan Malformasi Fasial di Rumah Sakit Umum
Serang. Tesis, Universitas Indonesia, Depok.
U. Loho, J.N. (2013). Prevalensi Labioschisis di Rsup. Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado Periode Januari 2011 – Oktober 2012. Journal e-Biomedik (eBM),
1 (1), 396-401.
V. Owens, J. (2008). Parens’ Experiences of Feeding a Baby
with Ckeft Lip and Palate. British Journal of Midwifery, 16
(12), 778-784.
W. Pujiastuti, N., Hayati, R. (2008). Perawatan Celah Bibir dan Langitan
pada Anak Usia 4 Tahun (Laporan Kasus). Indonesian Journal of Dentistry,
15 (3), 232-238.
X. Sacharin, R.M. (1999). Prinsip Keperawatan Pediatrik Edisi 2.
Jakarta: EGC.
Y. Speer, K.M. (2008). Rencana Asuhan Keperawatan Pediatrik
dengan Clinical Pathway. Jakarta: EGC.
Z. Wong, D.L., Hockenberry, M., Wilson, D., Winkelstein, M.L.,
Schwartz, P. (2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik.
Jakarta: EGC.
AA.
AB. ASUHAN KEPERAWATAN NEONATUS DENGAN LABIOGENATOPALATOSKIZIS
AC.
A. Data fokus
AD. Data Objektif AE. Data Subjektif
 Pasien terlihat sulit bernafas AF.
 Pasien nafas stridor
 Pasien menangis keras jam 02.00 wib dan
ektremitas gerak-gerak
 Pasien sulit menghisap ASI dari botol
 Pasien terpasang O2 1 lpm via nasal canul
 Pasien terpasang infus KAEN 4A 10 tpm
 Pasien terpasang OGT
 Suhu pasien 36,50C
 Wajah pasien tampak asimetris
 Terdapat celah bibir di kiri pada saat lahir
AG.
AH.
B. Analisa Data
AI. AJ. Data AK. Masalah AL. Etiologi AM. Diagnosa
N Keperawatan
o
AN. AO. Data objektif: AR. Ketidakefekt AS. Mukus AT. Ketidakefektif
1.  Pasien terlihat sulit bernafas ifan bersihan jalan berlebihan an bersihan jalan
 Pasien nafas stridor
 Pasien terpasang O2 1 lpm via nafas (00031) nafas bd mukus

nasal canul berlebihan dd


 Pasien menangis keras dan pasien terlihat sulit
gerak-gerak bernafas, pasien
AP. Data Subjektif nafas stridor,
AQ. pasien terpasang
O2 1 lpm via nasal
kanul, pasien
menangis keras
dan gerak-gerak.
AU. AV. Data Objektif: AW. Ketidakefekt AX. Prematuritas AY. Ketidakefektif
2.  Pasien sulit menghisap ASI dari ifan pola makan (labiogenatopalatos an pola makan bayi
botol bayi (00107) kizis) bd prematuritas
 Pasien terpasang OGT
 Pasien terdapat celah bibir di (labiogenatopalatos
kiri pada saat lahir kizis) bd pasien
(Labiogenatopalatoskizis) sulit menghisap
ASI, pasien
terpasang OGT,
pasien terdapat
celah bibir di kiri
pada saat lahir
AZ.

C. Rencana Keperawatan
BA. T BB. No. BC. NOC BD. NIC
gl Diagnosa
BE. 1 BF. 0003 BG. Respiration Status: Airway BJ. Airway Management (3140)
 Identifikasi pasien yang
7/01/1 1 Patency (0410)
BH. Setelah dilakukan tindakan membutuhkan pemasangan
7
keperawatan diharapkan status aktual/potensial jalan nafas.
respirasi: jalan nafas pasien dapat  Monitor status respirasi dan

baik, dengan kriteria hasil: oksigenasi.


Ansietas (menangis) bayi berkurang  Posisikan pasien untuk ventilasi yang

(level 1-3) maksimal


Suara napas tambahan berkurang  Memasang nasal kanul ukuran 6 FG 2
(level 1-3) lpm
Disepnea saat istirahat berkurang  Auskultasi bunyi nafas (bunyi nafas
(level 1-3) menurun, tidak ada dan tambahan)
Tidak menggunakan otot pernafasan  Berikan nebulizer Pulmicort : Ventolin
tambahan (level 1-3) (5 tts : 5 tts) sesuai anjuran dokter
Akumuluasi sputum berkurang (level
1-3)
BI.
BK. 1 BL. 0010 BM. Infant Nutritional Status BO. Nutritional Monitoring (1160)
 Monitor berat badan
7/01/1 7 (1020)
BN. Setelah dilakukan tindakan  Monitor turgor kulit dan mobilitas
7
keperawatan diharapkan status (pergerakan) pasien
 Monitor mual dan muntah
nutrisi bayi dapat baik, dengan  Monitor pucat, memerah dan
kriteria hasil:
konjungtiva kering
 BMI dalam rentang normal (level 4-
5)
 OGT (level 4-5)
 Cairan intravena terpenuhi (level 4-
5)
 Dehidrasi berkurang (level 3-5)
 Asupan cairan melalui oral (level 3-
5)

BP.

D. Catatan Perkembangan
BQ. Tg BR. N BS. Tindakan Keperawatan BT. Respon BU. Pa
l, Jam o. Dx. raf
BV. 17 BX. 0  Mengidentifikasi pasien yang BY. S: - CA.
BZ. O: suara nafas pasien
/01/2017 0031 membutuhkan pemasangan
BW. 07 terdengar stridor, pasien
aktual/potensial jalan nafas.
.30  Memonitor status respirasi dan menggunakan otot pernafasan

oksigenasi. tambahan, nafas gasping.


CB. 08  Memberikan posisi hiperekstensi pada CD. S: pasien menangis keras CF.
.00 pasien untuk ventilasi yang nyaman CE. O: memberikan posisi
hiperekstensi kepala pasien,
mengatur aliran O2 1 lpm
menjadi 2 lpm. Pasien tampak
nyaman. Nangis berhenti.
CG. 09  Auskultasi bunyi nafas pasien (bunyi CI. S: - CK.
CJ. O: pasien tampak tenang,
.00 nafas menurun, tidak ada dan
bunyi nafas redup pada bagian
tambahan)
paru kanan.
CL. 10  Kolaborasi pemberian obat Pulmicort : CN. S:- CP.
CO. O: Kolaborasi pemberian
.00 Ventolin (5 tts : 5 tts) dengan perawat
obat P:V (5:5) melaui nebulizer
jaga melalui nebulizer sesuai anjuran
dengan perawat jaga
dokter
CQ. 18 CS. 0  Memonitor berat badan CT. S: - CV.
CU. O: BB 3500 gram, tidak
/01/2017 0107
CR. 21 mengalami penurunan berat BB
.00
CW. 21  Memonitor pucat, memerah dan CY. S:- DA.
CZ. O: Konjungtiva pasien
.20 konjungtiva kering
tidak pucat, tidak merah dan
tidak kering
DB. 21  Memonitor turgor kulit dan mobilitas DD. S: - DF.
DE. O: pasien gerak-gerak,
.30 (pergerakan) pasien
turgor kulit elastis.
DG. 22  Memoonitor mual dan muntah DI. S: - DK.
DJ. O: pasien tidak muntah
.00
DL.

E. Lembar Evaluasi
DM. Tg DN. N DO. Evaluasi DP. Pa
l, Jam o. Dx. raf
DQ. 17 DS. 0 DT. S: - DX.
/01/2017 0031 DU. O: terdapat suara nafas stridor. otot pernafasan tambahan, nafas
DR. 13 gasping. memberikan posisi hiperekstensi kepala pada pasien.
.00 mengatur aliran O2 1 lpm menjadi 2 lpm. pasien gerak-gerak. Turgor
kulit elastis. Bunyi nafas redup pada bagian paru kanan. Memberikan
obat P:V (5:5) melaui nebulizer.
DV. A: Ketidakefektifan bersihan jalan nafas belum teratasi
DW. P: lanjutkan intervensi
DY. 18 EA. 0 EB. S: - EF.
/01/2017 0107 EC. O: BB 3500 gram. Konjungtiva pasien tidak pucat, tidak merah
DZ. 23 dan tidak kering. pasien gerak-gerak, turgor kulit elastis.
.00 ED. A: Ketidakefektifan pola makan bayi teratasi
EE. P: lanjutkan intervensi
EG.

Anda mungkin juga menyukai