Anda di halaman 1dari 144

PROPOSAL

HUBUNGAN TINGGI BADAN IBU DENGAN KEJADIAN STUNTING


PADA BALITA

(LITERATUR REVIEW)

Oleh:
WINI WAHIDAWATI
NIM: 2017.C.09A.0917

YAYASAN EKA HARAP


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) EKA HARAP
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
TAHUN 2021
PROPOSAL

HUBUNGAN TINGGI BADAN IBU DENGAN KEJADIAN STUNTING


PADA BALITA

Dibuat Sebagai Syarat Dalam Menempuh Ujian Proposal Dan Melanjutkan


Penelitian STIKes Eka Harap Palangka Raya

Oleh:
WINI WAHIDAWATI
NIM: 2017.C.09A.0917

YAYASAN EKA HARAP


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) EKA HARAP
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
TAHUN 2021

i
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Wini Wahidawati


Tempat, Tanggal Lahir : Tumbang Sanamang, 28 Oktober 1999
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat Rumah : Jl. Giobos XII Gg. Siam, Gg, kenangan 2 ,No 303
No. Hp : 082261905978
Email : wwahidawati@gmail.com
Riwayat Pendidikan
1. Tahun 2004-2010 : TK PGRI TUMBANG JIGA
2. Tahun 2010-2013 : SDN 1 TUMBANG JIGA
3. Tahun 2013-2016 : SMPN 1 TUMBANG SANAMANG
4. Tahun 2016-2019 : SMAN 1 TUMBANG SANAMANG
5. Tahun 2017-2021 : STIKes Eka Harap Palangkar Raya Program
Studi Sarjana Keperawatan
Data Orang Tua
Ayah : Ahmad Yani
Pekerjaan : PNS
Ibu : Seniwati
Pekerjaan : Swasta

ii
SURAT PERNYATAAN
KEASLIAN KARYA TULIS DAN BEBAS PLAGIASI

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:


Nama : Wini Wahidawati
NIM : 2019.C.09A.0917
Program Studi : Sarjana Keperawatan
Judul Proposal : Hubungan Tinggi Badan Ibu Dengan Kejadian Stunting
Pada Balita
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa proposal tersebut secara
keseluruhan adalah murni karya saya sendiri, bukan dibuat oleh orang lain,
baik sebagian maupun keseluruhan, bukan plagiasi atau keseluruhan dari
karya tulis orang lain, kecuali pada bagian-bagian yang dirujuk sebagai sumber
pustaka sesuai dengan aturan penulisan yang berlaku.
Apabila di kemudian hari didapat bukti bahwa skripsi saya tersebut
merupakan hasil karya orang lain, dibuat oleh orang lain baik sebagian maupun
keseluruhan dan/atau plagiasi karya orang lain, saya sanggup menerima sanksi
peninjauan kembali kelulusan saya, pembatalan kelulusan, pembatalan dan
penarikan ijazah saya.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sungguh-sungguh dan tanpa
paksaan dari pihak manapun.Atas perhatiannya disampaikan terima kasih.

Palangka Raya, April 2021


Yang menyatakan,

Wini Wahidawati
2019.C.09A.0917

iii
LEMBAR PERSETUJUAN

Judul : Hubungan Tinggi Badan Ibu Dengan Kejadian Stunting Pada


Balita

Nama : Wini Wahidawati

NIM : 2019.C.09A.0917

Proposal ini telah disetujui untuk diuji

Tanggal, April 2021

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Siti Santy Sianipar, S.Kep., M.Kes) (Wenna Araya, S.Psi., M.Pd)

iv
v
BAB 1

PENETAPAN PANITIA PENGUJI PROPOSAL

Judul : Hubungan Tinggi Badan Ibu Dengan Kejadian Stunting Pada


Balita

Nama : Wini Wahidawati

NIM : 2017.C.09A.0917

Proposal ini Telah Diuji dan Disetujui Oleh Tim Penguji

Pada Tanggal, April 2021

PANITIA PENGUJI

Ketua : Vina Agustina, Ners. M.Kep

Anggota I : Siti Santi Sianipar, S.Kep. M.Kes

Anggota II : Wenna Araya, S.Psi. M.Pd

Mengetahui,

KPS Sarjana Keperawatan,

Meilitha Carolina, Ners., M.Kep.

v
vi 2
BAB

PENGESAHAN PROPOSAL

Judul : Hubungan Tinggi Badan Ibu Dengan Kejadian Stunting Pada


Balita

Nama : Wini Wahidawati

NIM : 2017.C.09A.0917

Proposal Ini Telah Diuji dan Disetujui Oleh Tim Penguji


Pada Tanggal, April 2021

TIM PENGUJI

Ketua : Vina Agustina, Ners. M.Kep

Anggota I : Siti Santi Sianipar, S.Kep. M.Kes

Anggota II : Wenna Araya, S.Psi. M.Pd

Mengetahui,

Ketua Ketua Program Studi


STIKes Eka Harap Sarjana Keperawatan,

Maria Adelheid Ensia, S.Pd., M.Kes. Meilitha Carolina, Ners., M.Kep.

vi
vii

MOTTO

“Karena sesungguhnya di dalam setiap kesulitan itu ada kemudahan”


( QS Al insyirah: 5-6 )

vii
viii
BAB 3

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat
dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul
“Hubungan Tinggi Badan Ibu Dengan Kejadian Stunting Pada Balita” tepat
pada waktunya. Penulisan Skripsi ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan
dukungan dari berbagai pihak.Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada.
1) DR.dr. Andriansyah Arifin, MPH selaku ketua Yayasan Eka Harap Palangka
Raya atas dukungan kepada penulis.
2) Ibu Maria Adelheid Ensia, S.Pd., M.Kes, selaku Ketua STIKES Eka Harap
yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk
mengikuti dan menyelesaikan Pendidikan Sarjana Keperawatan.
3) Ibu Meilitha Carolina, Ners., M.Kep, selaku Ketua Program Studi Sarjana
Keperawatan yang memberikan dukungan dalam penyelesaian Skripsi ini.
4) Ibu Vina Agustina,Ners., M.Kep, selaku ketua penguji yang telah
membimbing dan memberi saran dalam menyelesaikan Skripsi ini.
5) Ibu Siti Santy Sianipar, S.Kep M.kes selaku pembimbing I yang telah
membantu, bersedia membagikan ilmunya dan membimbing saya dalam
pembuatan Skripsi ini, sehingga Skripsi ini dapat di selesaikan tepat pada
waktunya.
6) Ibu Wenna Araya,S.Psi,M.pd selaku pembimbing II yang membantu,
bersedia membagikan ilmunya dan membimbing serta mengarahkan saya
dalam pembuatan Skripsi ini, sehingga Skripsi ini dapat diselesaikan tepat
pada waktunya.
7) Seluruh staf pengajara Program Studi Sarjana Keperawatan yang telah
memberikan bimbingan ilmu pengetahuan selama ini.
8) Kedua Orang Tua Saya yang selama ini telah memberikan dukungan, kasih
sayang dan batuan moril maupun materil serta doanya sehingga penulis dapat
menyelesaikan proposal ini
9) Seluruh teman-teman program studi S1 Keperawatan angkatan IX

viii
ix

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan dan penyusunan proposal ini


banyak terdapat kekurangan, tetapi penulis sudah berusaha untuk dapat
menyajikan yang terbaik, maka kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
diharapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.

Palangka Raya, April 2021

Wini Wahidawati
2017.09a.0917

ix
x

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL...................................................................................
DAFTAR RIWAYAT HIDUP.......................................................................ii
SURAT PENYATAAN...................................................................................iii
LEMBAR PERSETUJUAN...........................................................................iv
PENETAPAN PANITIA PENGUJI PROPOSAL.......................................v
PENGESAHAN PROPOSAL........................................................................vi
MOTTO...........................................................................................................vii
KATA PENGANTAR....................................................................................viii
DAFTAR ISI...................................................................................................x
DAFTAR TABEL ..........................................................................................xi
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................xii

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian..................................................................................... 4
1.4 Manfaat Penelitian................................................................................... 4
1.4.1. Perkembangan IPTEK............................................................................. 4
1.4.2. Mahasiswa............................................................................................... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Tinggi Badan................................................................... 5
2.1.1 Pengertian Tinggi Badan......................................................................... 5
2.1.2 Pengukuran Tinggi Badan....................................................................... 6
2.1.3 Konsep Tinggi Badan Ibu........................................................................ 6
2.2 Konsep Dasar Ibu ................................................................................... 7
2.2.1 Peranan Ibu ............................................................................................. 8
2.2.2 Tugas-Tugas Ibu...................................................................................... 9
2.2.3 Umur Ibu Saat Hamil............................................................................... 9
2.3 Konsep Dasar Stunting............................................................................ 10
2.3.1 Penyebab Stunting................................................................................... 10
2.3.1.1 Faktor Keluarga.................................................................................... 10
2.3.1.2 Pemberian Makanan Pendamping........................................................ 11
2.3.1.1 Pemberian ASI...................................................................................... 12
2.3.2 Patosiologi Stunting................................................................................. 12

x
xi

2.3.3 Penanganan Stunting............................................................................... 13


2.3.3.1 Air Susu Ibu (ASI)................................................................................ 13
2.3.3.2 Makanan Pendamping Asi (MPASI).................................................... 14
2.4 Konsep Dasar Balita................................................................................ 14
2.4.1 Pengertian Usia Balita............................................................................. 14
2.4.2 Karakteristik Balita.................................................................................. 15
2.4.3 Pemantauan Pertumbuhan Usia Balita..................................................... 15
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian...................................................................................... 16
3.2 Kriteria Kelayakan Literature Review....................................................... 16
3.3 Sumber Literature...................................................................................... 17
3.4 Seleksi Literature...................................................................................... 17
3.5 Tahap Pengumpulan Data.......................................................................... 18
3.6 Metode Analisis........................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xi
xii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Hubungan Tinggi Badan Ibu Dengan Kejadian Stunting


Pada Balita……………………………………………. 17

xii
xiii
BAB 4

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Stunting Sangat Pendek Dan Pendek Pada Anak Usia


24-59 bulan di Kecamatan Sawah Besar, Aisyah,dkk
(2019).
Lampiran 2 : Hubungan Tinggi Badan Ibu Dengan Kejadian
Stunting Pada Balita usia 24-59 Bulan, Eko (2015).
Lampiran 3 : Hubungan Tinggi Badan Orang Tua Dengan
Kejadian Stunting, Adriani (2012).
Lampiran 4 : Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian
Stunting Pada Anak Balita di Wilayah Pedesaan Dan
Perkotaan, Nasikhah (2014).
Lampiran 5 : Hubungan Tinggi Badan Orang Tua Dengan
Kejadian Stunting Pada Anak Usia 24-59 Bulan Di
Kecamatan Ratahan Kabupaten Minahasa Tenggara,
Fikawati,dkk (2015).
Lampiran 6 : Prevalensi Underwaight, Stunting, dam Wasting
Pada Anak Usia 12-18 Bulan Di Kecamatan
Jatinangor, Rusmil VK (2019).

xiii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Stunting masih menjadi masalah di Indonesia. Stunting adalah kondisi balita
yang memiliki ukuran badan pendek dan tidak sesuai dengan umur (Kementerian
Kesehatan RI 2018). Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan
oleh asupan zat gizi yang kurang dalam waktu yang cukup lama akibat pemberian
makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Stunting dapat muncul pada dua
sampai tiga tahun awal kehidupan, dikarenakan pada usia tersebut dalam usia
pertumbuhan mencapai puncak tercepat sehingga membutuhkan asupan zat gizi
yang banyak (Mugianti et al. 2018).Usia balita adalah proses tumbuh kembang
balita terjadi sangat cepat. Dalam periode ini balita sangat membutuhkan asupan
gizi yang baik dengan jumlah yang lebih dari biasanya karena balita pada
umumnya mempunyai aktivitas fisik tinggi dan masih dalam proses belajar
(Welassih & Wirjatmadi, 2012). Tinggi badan orang tua merupakan ukuran tubuh
ayah dan ibu yang diukur dengan menggunakan microtoise dalam ketelitian 0,1
cm dari ujung kaki sampai kepala dengan menyatakan kategori ibu pendek, bila
tinggi badan <150 cm dan normal ≥150 cm, sedangkan kategori ayah pendek bila
tinggi badan <155 cm dan normal bila ≥155 cm (Jahari dan Hardinsyah, 2017).
Bahwa anak yang dilahirkan dari ibu yang memiliki postur tubuh pendek beresiko
menjadi stunting, karena struktur gen mempunyai peran penting dalam mewarisi
bentuk fisik sehingga memperoleh peluang anak untuk tumbuh menjadi stunting
Menurut Rahayu (2019).

World Health Organization (2015) Stunting merupakan kegagalan untuk


mencapai pertumbuhan yang optimal dialami sejak masa lampau sehingga
menyebabkan pencapaian pertumbuhan yang tidak sempurna. Batasan stunting
yaitu tinggi badan menurut umur berdasarkan Z-score sama dengan atau kurang
dari -2SD. Diperkirakan terdapat 162 juta balita pendek pada tahun 2012, jika tren
berlanjut tanpa upaya penurunan, diproyeksikan akan menjadi 127 juta pada tahun
2025 sebanyak 56% anak pendek hidup di Asia dan 36% di Afrika. Tim Nasional

1
2

Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (2018) mencatat prevalensi stunting di


Indonesia berada pada peringkat 108 dari 132 negara. Sebelumnya, Indonesia
tercatat sebagai salah satu dari 17 negara yang mengalami beban ganda gizi, baik
kelebihan maupun kekurangan gizi. Di kawasan Asia Tenggara, prevalensi
stunting di Indonesia merupakan tertinggi kedua setelah Kamboja. Hasil
Kementerian Kesehatan RI Badan Penelitian dan Pengembangan (2018),
menunjukkan penurunan prevalensi stunting di tingkat nasional sebesar 6,4%
selama periode lima tahun, yaitu dari 37,2% (2013) menjadi 30,8% (2018). Hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan prevalensi stunting
di Indonesia sebesar 36,8%. Pada tahun 2010, terjadi sedikit penurunan menjadi
35,6%.Namun prevalensi stunting kembali meningkat pada tahun 2013, yaitu
menjadi 37,2%.. Prevalensi stunting di Indonesia menjadi 29%. Stunting pada
tahun 2016 mengalami penurunan menjadi 27,5%,namun kembali meningkat
menjadi 29,6% pada tahun 2017, persentase stunting yang paling meresahkan ada
di Provinsi NTT, yaitu mencapai 40,3%. Berbeda dengan Provinsi NTT,Provinsi
Bali menjadi provinsi dengan angka prevalensi stunting terendah, yaitu 19,1%. Di
tahun 2019 angka prevalensi stunting nasional turun menjadi 27,67%. Sama
halnya dengan data Riskesdas (2018) yang menunjukkan bahwa prevalensi balita
pendek mengalami peningkatan dari 19,2% tahun 2013 menjadi 19,3% pada tahun
2018 sedangkan balita sangat pendek mengalami penurunan dari 18% pada tahun
2013 menjadi 11,5% pada tahun 2018. Prevalensi angka stunting di kalimantan
tengah mencapai 41,04%. Berkat upaya dan kerja keras Pemerintah Provinsi
Kalimantan Tengah angka ini terus mengalami penurunan (Riskesdes) 2013. Pada
tahun 2018 prevalensi stunting sudah berada diangka 34.04 persen. Lalu di tahun
2019 kembali dilakukan pengukuran ulang melalui Studi Kasus Gizi Balita
Indonesia (SKGBI) dan didapatkan hasil prevalensi stunting di Kalteng berada
diangka 32 persen."Artinya dari 2013-2019 terjadi penurunan angka prevalensi
stunting di Kalteng sebesar 9,04 persen. Riskesdas 2010,menunjukkan kelompok
anak pendek umumnya lahir dari ibu yang rata tinggi badannya lebih pendek
(105,7 cm) dibandingkan rata tinggi badan ibu kelompok yang normal (152,4
cm).Sebaliknya kelompok ibu yang pendek( tinggi <150 cm) cenderung
melahirkan bayi pendek yang lebih banyak(47,2%) di bandingkan ibu dengan
3

tinggi badan normal(36,0%). Kondisi ibu sebelum masa kehamilan baik postur
tubuh (berat badan dan tinggi badan) dan gizi merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi terjadinya stunting. Remaja putri sebagai calon ibu di masa depan
seharusnya memiliki status gizi yang baik. Pada tahun 2017, persentase remaja
putri dengan kondisi pendek dan sangat pendek meningkat dari tahun sebelumnya,
yaitu 7,9% sangat pendek dan 27,6% pendek.

Stunting pada balita dapat disebabkan karena faktor genetik dan faktor
lingkungan yang kurang memadai untuk tumbuh kembang anak yang optimal.
Salah satu faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi terjadinya stunting pada
balita. Stunting dipengaruhi oleh beberapa penyebab yaitu faktor ibu, faktor
genetik, asupan makanan, pemberian ASI ekslusif, dan penyakit infeksi. Nutrisi
ibu yang buruk selama kehamilan dan laktasi, usia ibu yang terlalu muda atau
terlalu tua saat kehamilan, salah satu dampak yang sering terjadi tinggi badan
orang tua juga dapat mempengaruhi terjadinya stunting pada balita di karenakan
kurangnya informasi orang tua dalam memenuhi gizi sejak di dalam kandungan,
bayi sudah membutuhkan berbagai nutrisi untuk pertumbuhan dan
perkembangannya, Untuk mencapai ini, ibu harus berada dalam keadaan sehat dan
bergizi baik. Jika ibu tidak memiliki pengetahuan akan asupan nutrisi yang baik
untuk ibu dan janin (Fikawati dkk,2017). Dampak dari stunting bukan hanya
gangguan pertumbuhan fisik anak, tapi mempengaruhi juga pertumbuhan otak
pada balita, Stunting berdampak seumur hidup terhadap anak tersebut sehingga
dapat memunculkan kekhawatiran terhadap perkembangan anak karena adanya
efek jangka panjang. Dampak stunting bisa berupa gangguan pertumbuhan tubuh,
gangguan metabolisme, gangguan perkembangan otak, hingga memengaruhi
kecerdasan anak (Dinkes,2016).

Salah satu solusi yang dapat lakukan dengan memberikan perhatian,


mengajak, memberikan dan mendiskusikan sebuah solusi terhadap sebuah
permasalahan, memotivasi, menunjukkan dan memberikan pengetahuan tentang
akses pelayanan kesehatan yaitu dengan cara perlu kita lakukan untuk mencegah
terjadinya stunting pada balita dengan rutin mengukur tinggi badan dan berat
4

badan pada anak, timbang berat badan serta mengukur tinggi badan dengan benar
di Posyandu, Puskesmas, Klinik dokter dan Rumah Sakit ketepatan hasil
pengukuran sangat menentukan keberhasilan dalam pemantauan. Keikut sertaan
keluarga, seperti suami, istri dan masyarakat. Semua bisa menjadi pendamping
yang dapat berpartisipasi aktif untuk memberikan perhatian atas perkembangan
ibu hamil dan balita. Pendamping juga harus memiliki latar belakang pengetahuan
gizi dan telah mendapatkan pelatihan pendampingan. Dan peran penting perawat
dalam menanggulangi stunting yaitu dengan memberikan pelayanan kesehatan
yang berkualitas. Berdasarkan jurnal artikel penelitian maka penulis tertarik untuk
melaksanakan penelitian literature review tentang hubungan tinggi badan ibu
dengan kejadian stunting pada balita.

1.2 Rumusan Masalah

Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan zat
gizi yang kurang dalam waktu yang cukup lama akibat pemberian makanan yang
tidak sesuai dengan kebutuhan. “Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan
masalah pada penelitian ini adalah bagaimana” Hubungan tinggi badan ibu
dengan kejadian stunting pada balita.?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini yaitu menganalisis Hubungan tinggi badan ibu
dengan kejadian stunting pada balita.
5

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Perkembangan IPTEK

Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan acuan dan dijadikan
dasar untuk memajukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi
khususnya dalam bidang keperawatan maternitas dan anak,terutama terkait
hubungan tinggi badan ibu dengan kejadian stunting pada balita.

1.4.2 Mahasiswa

Memberikan pengalaman tentang penulisan ilmiah dan meningkatkan


kemampuan dan pengetahuan dalam mengevaluasi suatu permasalahan serta
menambah wawasan tentang hubungan tinggi badan ibu dengan kejadian stunting
pada balita.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Tinggi Badan


2.1.1 Pengertian Tinggi Badan
Tinggi tubuh atau tinggi badan adalah jarak maksimum dari vertexke telapak
kaki.Tinggi badan didefinisikan sebagai hasil pengukuran maksimum panjang
tulang-tulang tubuh yang membentuk poros tubuh (The body axist), yang diukur
dari titik tertinggi kepala yang disebut vertex (puncak kepala) ke titik terendah
dari tulang kalkaneus (tuberositas calcanei) yang disebut heel, Dinda Carissa
(2015). Pertumbuhan tinggi badan mengikuti pola pertumbuhan tipe umum. Umur
dua tahun pertama, tinggi badan tumbuh cepat, dengan pertumbuhan 20 cm pada
umur satu tahun dan 10 cm pada umur dua tahun, sehingga tinggi badan anak
umur dua tahun mencapai kira-kira setengah tinggi badan dewasa. Awal masa
sekolah, pertambahan tinggi badan kira-kira 6 cm pertahun, hal ini menunjukkan
pertumbuhan yang melambat, bahkan akan makin lambat sampai menjelang
remaja kira-kira umur dua belas tahun. Masa pubertas, pertumbuhan tinggi badan
melonjak kembali sampai umur kira-kira enam belas tahun, kemudian melambat
lagi dan berhenti pertumbuhannya kira-kira pada umur 18 –20 tahun. Berhentinya
pertumbuhan ini karena menutupnya lempeng-lempeng epifisis. Penutupan
epifisis terjadi pada umur kira-kira 16 –18 tahun pada wanita dan umur 18 –21
tahun padapria (Sinclair, 1978).Tinggi badan (TB) merupakan komponen yang
fundamental sebagai indikator status gizi, dengan menghubungkan berat badan
terhadap tinggi badan. Sehingga pengukuran tinggi badanseseorang secara akurat
sangatlah penting untuk menentukan nilai Indeks Massa Tubuh (IMT), selain itu
tinggi badan dapat digunakan sebagai pengukur Basal Metabolism Rate(BMR)
Hanum 2016.

5
6

2.1.2 Pengukuran Tinggi Badan


Pengukuran merupakan suatu proses pengumpulan data atau informasi yang
dilakukan secara objektif. Hasil pengukuran dinyatakan dalam bentuk angka yang
dapat diolah secara statistik. Tinggi badan ini diukur dengan menggunakan alat
ukur microtoise dengan ketepatan 1 cm. Pengukuran tinggi badan hanya
dibutuhkan peralatan yang berupa lantai yang permukaannya datar untuk tempat
berdiri, apabila menggunakan dinding sebagai media bantu maka permukaan
dinding tersebut tidak bergelombang dan vertikal sehingga dapat berdiri tegak
dengan tumit, pantat, panggul dan punggung menempel pada dinding. Pengukuran
tersebut dilakukan tanpa mengenakan alas kaki, berdiri tegak dengan punggung
menempel ke dinding, dagu ditekuk sedikit kebawah, kemudian microtoise
ditempakan atau ditekan di atas kepala secara mendatar (Albertus et al., 2015).
Cara pengukuran tinggi badan yang sering terlewatkan adalah, menarik napas
panjang dan menahannya untuk beberapa saat ketika pengukuran berlangsung,
kemudian rambut ataupun ornamen yang berada di kelapa haruslah disingkirkan,
selain itu tumpuan berat badan haruslah seimbang berada di kedua kaki, posisi
menghadap lurus kedepan, bahu rileks, tangan di samping, kaki lurus, tumit
berdempetan, dengan kepala scapula bokong tumit menempel pada bidang
vertikal.

2.1.3 Konsep Tinggi Badan Ibu

Berbagai faktor dapat memengaruhi terjadinya stunting. Status gizi orang


tua, terutama status gizi ibu sangat berkaitan dengan kejadian anak pendek. Tinggi
badan ibu <150 cm cenderung memiliki anak yang stunting hal ini di duga karena
ibu pendek akibat patologis atau kekurangan zat gizi dan kelainan gen dalam
kromosom yang membawa sifat pendek kemungkinan besar akan menurunkan
sifat pendek tersebut kepada anak nya.
Perawakan tinggi badan ibu merupakan penentu penting dari terbatas atau
tidaknya pertumbuhan intrauterine dan berat lahir rendah. Ibu dengan perawakan
pendek (< 150 cm) cenderung memiliki anak stunting pada usia dua tahun.
7

Keterkaitan antara tinggi badan ibu dan pertumbuhan anak sebagian besar
disebabkan oleh latar belakang genetik yang sama dan faktor-faktor penentu
lingkungan yang memengaruhi ibu selama masa anak-anak dan selama masa
perkembangannya (Sumarmi, 2017). Hal ini mengarah ke siklus malnutrisi dan
pertumbuhan yang kurang baik kemudian mengikuti lintas generasi akan
memengaruhi pertumbuhan keturunannya. Mekanisme fisik lainnya seperti
perkembangan kurang optimal sistem anatomi yang berhubungan dengan
kehamilan serta metabolisme glukosa, protein, dan karbohidrat yang bersirkulasi
pada ibu dapat membatasi pertumbuhan intrauterine dan pertumbuhan yang
kurang baik setelah kelahiran (Sinha et al., 2018). Perawakan ibu pendek ketika
hamil berakibat pada cephalo-pelvic disproportion, intrauterine asfiksia, dan
intrauterine growth retardation. Selain itu perawakan ibu pendek juga
menyebabkan bayi mengalami nutrisi yang kurang dan berakibat kepada berat
badan bayi lahir rendah dan biasanya merupakan efek dari kelahiran prematur
kemudian menghasilkan pertumbuhan yang terhambat (Sridevi, 2018). Dipastikan
bahwa tinggi ibu berkorelasi dengan ukuran panggul dan ibu dengan cephalo-
pelvic disproportion mempunyai perawakan lebih pendek. Beberapa penelitian
menggunakan batas tinggi badan 150 cm untuk memprediksi cephalo-pelvic
disproportion (Solomon et al., 2018). Perawakan ibu pendek mempunyai ukuran
panggul yang lebih kecil dan adanya penurunan aliran darah yang menyebabkan
terjadinya intrauterine asfiksia (Lee et al., 2009), selain itu ibu berperawakan
pendek cenderung untuk melahirkan anak dengan berat lahir rendah, bayi yang
terbatas pertumbuhannya mempunyai simpanan lemak terbatas sehingga berakibat
tidak dapat mengoksidasi asam lemak bebas dan trigliserida secara efektif untuk
mempertahankan kadar glukosa normal, hal tersebut menjadi salah satu penyebab
terjadinya intrauterine growth retardation (Salam et al., 2014).

2.2 Konsep Dasar Ibu

Ibu adalah orang tua perempuan seorang anak, baik melalui hubungan


biologis maupun sosial.Ibu memiliki peranan yang sangat penting bagi anak, dan
8

panggilan ibu dapat diberikan untuk perempuan yang bukan orang tua kandung
(biologis) dari seseorang yang mengisi peranan ini.Ibu adalah sebutan untuk
menghormati kodrat perempuan dan sebagai satu-satunya jenis kelamin yang
mampu untuk melahirkan anak, menikah atau tidak mempunyai kedudukan atau
tidak, seorang perempuan adalah seorang ibu.Istilah ibu diberikan pada ibu yang
telah menikah dan mempunyai anak. Peranan ibu dinilai paling penting, melebihi
peranan yang lain Struktur keluarga menggambarkan peran masing-masing
anggota keluarga baik di dalam keluarganya sendiri maupun perannya di
lingkungan masyarakat. Semua tindakan dan perilaku yang dilakukan oleh
anggota keluarga menggambarkan nilai dan norma yang dipelajari dan diyakini
dalam keluarga. Bagaimana cara dan pola komunikasi diantara orang tua, orang
tua dan anak, diantara anggota keluarga ataupun dalam keluarga besar (Setiawati,
2015). Sering dikatakan bahwa ibu adalah jantung dari keluarga.Jantung dalam
tubuh merupakan alat yang sangat penting bagi kehidupan seseorang.Apabila
jantung berhenti berdenyut maka orang itu tidak bisa melangsungkan
hidupnya.Perumpamaan ini menyimpulkan bahwa kedudukan seorang ibu sebagai
tokoh sentral dan sangat penting untuk melaksanakan kehidupan.Pentingnya
seorang ibu terutama terlihat sejak kelahiran anaknya (Gunarsa, 2016).
Berdasarkan uraian diatas ibu adalah seorang wanita yang menikah dan
melahirkan anak, menjadi orang yang pertama menjalin ikatan batin dan emosi
pada anak dan juga sebagai sentral dalam perkembangan awal anak dengan
memiliki sifat-sifat keibuan yaitu memelihara, menjaga dan merawat anak.

2.2.1 Peranan Ibu

Peranan adalah suatu tugas yang diemban seseorang yang akan


dipertanggung jawabkan hasilnya dikemudian hari. Peranan merupakan aspek
dinamis dari status (kedudukan). Apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan
kewajibannya sesuai dengan status yang dimilikinya, maka dapat dikatakan telah
menjalankan peranannya. Maka peranan yang merupakan bentuk tingkah laku
9

yang diharapkan dari orang yang memiliki kedudukan atau status. Antara
kedudukan dan peranan tidak dapat dipisahkan. Tidak ada peranan tanpa
kedudukan. Kedudukan tidak berfungsi tanpa peranan Menurut Komarrudin
(2017), yang dimaksud peranan adalah sebagai berikut:

1. Bagian dari tugas utama yang yang harus dilaksanakan seseorang


2. Pola yang diharapkan dapat menyertai suatu status.
3. Bagian atau fungsi seseorang dalam kelompok prenata. Fungsi yang
diharapkan dari seseorang atau menjadi karakteristik yang ada padanya.

2.2.2 Tugas-Tugas Ibu

Menurut Arwanti (2017), ibu memiliki tugas sebagai berikut:

2.2.2.1 Ibu Sebagai Pendamping Suami Dalam keluarga dimana suami berbahagia
dengan istrinya, demikian pula sang istri berbangga terhadap suaminya,
kebahagiannya pasti kekal abadi.

2.2.2.2 Ibu Sebagai Pengatur Rumah Tangga Ibu sebagai pengatur didalam
keluarganya untuk menuju keharmonisan antara semua anggota keluarga
secara lahir dan batin.

2.2.2.3 Ibu Sebagai Penerus Keturunan Sesuai kodratnya seorang Ibu merupakan
sumber kelahiran manusia baru, yang akan menjadi generasi penerusnya.

2.2.2.4 Ibu Sebagai Pembimbing Anak Peranan Ibu menjadi pembimbing dan
pendidik anak dari sejak lahir sampai dewasa khususnya dalam hal beretika
dan susila untuk bertingkah laku yang baik.
10

2.2.2.5 Ibu Sebagai Pelaksana Kegiatan Agama Dimana seorang Ibu dihormati,
disanalah para dewata memberikan anugerah, tetapi dimana mereka tidak
dihargai, tidak akan ada upacara suci apapun yang akan berpahala.

2.2.3 Umur Ibu saat Hamil


Umur reproduksi yang sehat adalah antara umur 20-30 tahun ibu dikatakan
berisiko tinggi apabila hamil pada umur < 20 tahun atau > 35 tahun (Ryadi, 2016).
Kehamilan yang terjadi pada usia remaja (35 tahun masuk dalam umur kehamilan
yang berisiko tinggi karena pada umur ini akan mungkin menghadapi tantangan
seperti kelebihan berat badan Ibu yang melahirkan pada umur kurang dari 20
tahun tidak memiliki hubungan dengan kejadian stunting pada anak umur 0-23
bulan, sedangkan ibu yang melahirkan pada umur lebih dari 40 tahun memiliki
risiko 7 kali (OR 7,31; 95% CI 2,12-25,22) menghasilkan anak stunting
dibandingkan dengan ibu yang berumur kurang dari 20 tahun. Hasil yang berbeda
ditemukan dalam penelitian yang dilakukan oleh Danaei et al. (2016) yang
menyebutkan bahwa ibu yang hamil pada umur kurang dari 18 tahun memiliki
risiko 1,20 kali (95% CI 1,19-1,22) dan umur 18-19 tahun memiliki risiko 1,11
kali (95% CI 1,10-1,12) menghasilkan anak stunting. Anak yang terlahir dari ibu
yang hamil pada umur <20 tahun (Tiwari et al., 2014).

2.3 Konsep Dasar Stunting

Stunting adalah kondisi balita yang memiliki ukuran badan pendek dan
tidak sesuai dengan umur (Kementerian Kesehatan RI 2018). Stunting adalah
masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan zat gizi yang kurang
dalam waktu yang cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai
dengan kebutuhan. Stunting dapat muncul pada dua sampai tiga tahun awal
kehidupan, dikarenakan pada usia tersebut dalam usia pertumbuhan mencapai
puncak tercepat sehingga membutuhkan asupan zat gizi yang banyak (Mugianti et
al. 2018).
11

2.3.1 Penyebab Stunting

Penyebab dari stunting yaitu berhubungan dengan kejadian, berat badan


lahir, riwayat penyakit kehamilan, tinggi badan orang tua, faktor sosial ekonomi,
pendidikan ibu, pendapatan keluarga, pengetahuan ibu. Selain itu, penyebab tidak
langsung terjadinya stunting adanya Faktor yang berhubungan dengan terjadinya
stunting kurangnya asupan gizi saat ibu mengandung, bayi tidak diberikan ASI
Eksklusif pada enam bulan pertama, dilanjutkan dengan MPASI sampai anak
berusia 2 tahun, kualitas kesehatan yang kurang baik dan cakupan pelayanan
kesehatan yang kurang. Dampak dari stunting bukan hanya gangguan
pertumbuhan fisik anak, tapi mempengaruhi juga pertumbuhan otak pada balita,
Stunting berdampak seumur hidup terhadap anak tersebut sehingga dapat
memunculkan kekhawatiran terhadap perkembangan anak karena adanya efek
jangka panjang(Dinkes, 2016).

WHO mengkategorikan penyebab langsung stunting pada anak meliputi


berbagai faktor berikut :
2.3.1.1 Faktor keluarga
Terdapat delapan faktor dari ibu, yaitu gizi buruk selama masa
prekonsepsi, kehamilan, dan laktasi, perawakan ibu pendek, kehamilan dimasa
remaja, kesehatan mental, kelahiran premature dan IUGR (Intrauterine Growth
Restriction), jarak kelahiran pendek, dan hipertensi pada ibu (Beal et al., 2018).
Tinggi badan ibu menjadi penentu pertumbuhan janin di intrauterin dan
kegagalan pertumbuhan anak di kemudian hari. Stunting pada anak ditransmisikan
secara lintas generasi melalui ibu karena ukuran badan ibu memiliki pengaruh
kuat terhadap berat lahir. Anak -anak yang dilahirkan dengan berat badan lahir
rendah cenderung untuk mengalami kegagalan pertumbuhan selama masa anak-
anak (Sumarmi, 2017). Masa kehamilan sangat berpengaruh terhadap kejadian
stunting. Bayi yang lahir dengan berat lahir rendah dari seorang ibu akan
meningkatkan kejadian stunting sekitar 20%. Hal ini terjadi karena bayi dengan
berat lahir rendah mempunyai cadangan nutrisi yang rendah terkait dengan
pertumbuhan seperti vitamin A, seng, dan zat besi. Sehingga bayi dengan berat
12

lahir rendah bergantung pada ASI untuk memenuhi kebutuhan tersebut, akan
tetapi jumlah nutrisi yang terkandung dalam ASI bergantung pula terhadap nutrisi
dari ibu (García Cruz et al., 2017).
Faktor lain dari keluarga dan rumah tangga adalah lingkungan rumah.
Lingkungan rumah mempengaruhi stimulasi dan aktivitas anak. Beberapa faktor
lingkungan rumah yang mempengaruhi stunting adalah praktik perawatan yang
buruk, sanitasi dan pasokan air yang tidak memadai, kondisi makanan yang tidak
adekuat, pendidikan perawatan anak yang kurang. Pola pengasuhan kesehatan
merupakan praktik pengasuhan atau pengasuhan keluarga dalam melayani
kebutuhan kesehatan anak Balita yang dilakukan berulang kali sehingga menjadi
kebiasaan. Menurut literatur di Indonesia, terdapat beberapa indikator tambahan
stunting pada anak terkait dengan faktor rumah tangga, diantaranya adalah
ekonomi rumah tangga, ayah dan ibu merokok, perawakan ayah pendek, dan
kondisi rumah yang ramai (Beal et al., 2018;Rohimah et al., 2015).
2.3.1.2 Pemberian makanan pendamping yang tidak memadai
Makanan pendamping yang kurang memadai meliputi :
1) Makanan berkualitas rendah yang dimaksud adalah kualitas mikonutrien
yang rendah, keanekaragaman makanan yang rendah, asupan makanan
hewani yang rendah dan isi makanan pendamping yang rendah energi.
13

2) Tidak adekuatnya pemberian makan yang jarang, pemberian makan yang


tidak memadai selama dan setelah sakit, konsistensi makanan yang encer,
jumlah makanan tidak mencukupi, dan pemberian makan yang tidak
responsif.
3) Keamanan makanan dan minuman yang kurang tingkat keamanan
makanan dan minuman yang dimaksud adalah makanan dan minuman
yang terkontaminasi, tingkat kebersihan yang kurang, serta penyimpanan
dan persiapan makanan yang tidak aman (Beal et al., 2018).
2.3.1.3 Pemberian ASI (Air Susu Ibu)
WHO mengklasifikasikan pemberian ASI yang tidak memadai meliputi
penundaan inisiasi menyusui, menyusui secara nonekslusif, dan penghentian
menyusui secara dini (Beal et al., 2018). Anak-anak yang diberi ASI akan lebih
sehat dan mencapai pertumbuhan optimal dibandingkan dengan anak yang diberi
susu formula. Anak-anak yang tidak disusui memiliki risiko sering terkena
penyakit dan bahkan menyebabkan kematian dan kecacatan. Hal ini sejalan
dengan WHO tentang strategi pemberian makan bayi dan anak-anak, yaitu segera
menyusui bayi dalam waktu tiga puluh menit setelah kelahiran, memberikan ASI
ekslusif hingga bayi berusia enam bulan, memberikan MPASI (Makanan
Pendamping Air Susu Ibu) dari bayi usia enam bulan sampai 24 bulan dan terus
menyusui hingga anak beruia 24 bulan atau lebih. Kurangnya menyusui dan
pemberian MPASI dini dapat meingkatkn risiko stunting (Zikria et al., 2018).

2.3.2 Patofisiologi Stunting


Patogenesis yang mendasari kegagalan pertumbuhan secara linier kurang
dipahami. Akan tetapi studi secara epidemiolgi menunjukkan bahwa kurang
optimalnya praktik menyusui dan pemberian makanan pelengkap, infeksi
berulang, dan defisiensi mikronutrien adalah penentu utama dari stunting. Selain
itu stunting juga dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling mempengaruhi
seperti faktor dalam komunitas yang meliputi kepadatan penduduk, akses layanan
kesehatan, dan lainnya (Prendergast, 2014).
Gangguan pertumbuhan pada anak dimulai sejak dalam rahim dan berlanjut
untuk setidaknya dua tahun pertama kehidupan setelah lahir, sehingga usia ini
14

merupakan peluang untuk mengintervensi anak. Stunting berfungsi sebagai


penanda beberapa gangguan patologis terkait dengan peningkatan mortalitas dan
morbiditas, berkurangnya potensi pertumbuhan fisik, penurunan perkembangan
saraf dan fungsi kognitif, serta meningkatnya risiko penyakit kronis pada usia
dewasa (de Onis & Branca, 2016).Peningkatan mortalitas dan morbiditas stunting
biasanya disebabkan oleh infeksi. Interaksi antara nutrisi yang buruk dengan
infeksi menimbulkan hubungan yang saling timbal balik. Infeksi akan
menurunkan status gizi melalui nafsu makan yang berkurang, gangguan absorbsi
di usus, peningkatan katabolisme dan nutrisi untuk pertumbuhan akan berkurang
karena digunakan untuk meningkatkan sistem imun. Sebaliknya, kurang gizi akan
meningkatkan risiko infeksi oleh karena dampak negatif pada epitel pelindung
tubuh (de Onis & Branca, 2016).Kegagalan pertumbuhan dalam dua tahun
pertama kehidupan anak berpengaruh terhadap perawakan yang kurang di masa
dewasa. Studi menunjukkan perbedaan tinggi badan anak stunting dengan tidak
stunting disesuaikan dengan usia adalah 6,6 cm untuk perempuan dan 9 cm untuk
laki-laki (de Onis & Branca, 2016).
Anak stunting memiliki gangguan perkembangan perilaku dalam awal
kehidupan dan mempunyai kemampuan kognitif yang lebih buruk daripada anak
yang normal, anak stunting juga sering menunjukkan keterlambatan
perkembangan keterampilan motorik seperti merangkak dan berjalan. Diketahui
bahwa usia 24 bulan pertama merupakan waktu paling penting untuk
perkembangan otak, hal ini berkaitan dengan perkembangan dan arborisasi
dendrit apikal dari korteks otak. Patologi spinal dendritik pada bayi dengan
kekurangan nutrisi selama masa perkembangan otak menunjukkan adanya
pemendekan dendrit apikal, pengurangan jumlah spinal yang signifikan, dan
adanya bentuk spinal abnormal yang disebut sebagai dysplatic spines seperti
ditunjukkan oleh gambar 2 (de Onis & Branca, 2016).

2.3.3 Penanganan Stunting


Malnutrisi terbanyak di Indonesia adalah stunting (pendek) dan severely
stunting (sangat pendek). Berikut ini adalah penanganan stunting akibat malnutrisi
yang direkomendasikan (IDAI, 2015) :
15

2.3.3.1 Air Susu Ibu (ASI)


ASI adalah makanan yang ideal untuk bayi sehingga pemberian ASI
eksklusif dianjurkan selama masih mencukupi kebutuhan bayi. Langkah pertama
untuk meningkatkan produksi ASI sehingga pemberian ASI eksklusif berhasil
adalah dengan inisiasi menyusui dini. Langkah kedua adalah posisi dan perlekatan
yang benar, serta bayi mengisap secara efektif (mengisap kuat, perlahan, dalam,
disertai jeda diantara beberapa isapan). Langkah ketiga adalah menilai kecukupan
ASI. kecukupan ASI dipastikan dengan frekuensi buang air kecil 6-8 kali sehari,
durasi menyusu 10-30 menit untuk satu payudara, dan kenaikan berat badan yang
adekuat.
2.3.3.2 Makanan Pendamping ASI (MPASI)
Pemberian MPASI direkomendasikan untuk memenuhi empat syarat :
1) Tepat waktu (timely), artinya MPASI harus diberikan saat ASI eksklusif
sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisi bayi.
2) Adekuat, artinya MPASI memiliki kandungan energi, protein, dan
mikronutrien yang dapat memenuhi kebutuhan makronutrien dan
mikronutrien bayi sesuai usianya.
3) Aman, artinya MPASI disiapkan dan disimpan dengan dengan cara
yang higienis, diberikan menggunakan tangan dan peralatan makan
yang bersih.
4) Diberikan dengan cara benar, artinya MPASI diberikan dengan
memperhatikan sinyal rasa lapar dan kenyang seorang anak.

2.4 Konsep Dasar Balita


2.4.1 Pengertian Usia Balita
Usia balita merupakan masa di mana proses pertumbuhan dan
perkembangan terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan zat
gizi yang cukup dalam jumlah dan kualitas yang lebih banyak, karena pada
umumnya aktivitas fisik yang cukup tinggi dan masih dalam proses belajar.
Apabila intake zat gizi tidak terpenuhi maka pertumbuhan fisik dan intelektualitas
balita akan mengalami gangguan, yang akhirnya akan menyebabkan mereka
menjadi generasi yang hilang (lost generation), dan dampak yang luas negara akan
16

kehilangan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Balita adalah individu
atau sekelompok individu dari suatu penduduk yang berada dalam rentan usia
tertentu. Usia balita dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan yaitu golongan
usia bayi (0-2 tahun). Adapun menurut WHO, kelompok balita adalah 0-60 bulan
(Adriani, dkk. 2017).

2.4.2 Karakteristik Balita

Berdasarkan karakteristiknya, balita usia 1-5 tahun dapat dibedakan menjadi


dua, yaitu anak lebih dari satu tahun sampai tiga tahun yang dikenal dengan balita
dan anak usia lebih dari tiga tahun sampai dengan lima tahun yang dikenal dengan
prasekolah (Irianto,2015) Usia balita dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan
yaitu golongan usia bayi (0-2 tahun), golongan batita (2-3 tahun), dan golongan
prasekolah (>3-5 tahun). Adapun menurut WHO, kelompok balita adalah 0-60
bulan (Adriani, dkk. 2017).

2.4.3 Pemantaun Pertumbuhan Usia Balita

Peristiwa perkembangandengan pertumbuhan terjadi secara sinkron dan


tidak dapat dipisahkan sebab perkembangan itu berkaitandengan pematangan
fungsi organ/individu sedangkan pertumbuhan mempunyai dampak terhadap
aspek fisik. Pertumbuhan fisik merupakan indikator status gizi bayi dan anak
pertumbuhan anak hendaknya dipantau secara teratur. Pemantauan pertumbuhan
anak dibawah lima tahun (balita) menimbang berat badan dan mengukur tinggi
badan menurut umur. Kekurangan asupan energi dan gizi anak atau kemunginan
pengaruh keturunan terhadap pertumbuhan akan terefleksi pada pola
pertumbuhannya (Soetjiningsih dan Ranuh, 2016).
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian adalah langkah yang dimiliki dan dilakukan oleh


peneliti dalam rangka untuk mengumpulkan informasi atau data serta melakukan
investigasi pada data yang telah didapatkan tersebut. Metode penelitian
memberikan gambaran rancangan penelitian yang meliputi antara lain: prosedur
dan langkah-langkah yang harus ditempuh, waktu penelitian, sumber data, dan
dengan langkah apa data-data tersebut diperoleh dan selanjutnya diolah dan
dianalisis. Metode penelitian yang digunakan yaitu literature review. Literatur
review adalah analisis terintegrasi tulisan ilmiah yang terkait langsung dengan
pertanyaan penelitian. Literature review adalah analisis terintegrasi (bukan hanya
ringkasan) tulisan ilmiah yang terkait langsung dengan pertanyaan penelitian.
Literature review dapat berupa karya yang berdiri sendiri atau pengantar untuk
makalah penelitian yang lebih besar, tergantung pada jenis kebutuhannya.
Literature review penting karena dapat menjelaskan latar belakang penelitian
tentang suatu topik, menunjukkan mengapa suatu topik penting untuk diteliti,
menemukan hubungan antara studi/ide penelitian, mengidentifikasi tema, konsep,
dan peneliti utama pada suatu topik, identifikasi kesenjangan utama dan
membahas pertanyaan penelitian lebih lanjut berdasarkan studi sebelumnya.
Literature review bisa didapat dari berbagai sumber baik jurnal, buku,
dokumentasi, internet dan pustaka. Literature review adalah serangkaian kegiatan
yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan
mencatat, serta mengelolah bahan penulisan. Jenis penulisan yang digunakan
adalah studi literatur review yang berfokus pada hasil penulisan yang berkaitan
dengan topik atau variabel penulisan (Nursalam, 2020).

3.2 Kriteria Kelayakan Literatur Review

16
17

Startegi yang digunakan untuk mencari literatur dalam penelitin ini adalah
menggunakan PICOS dengan kriteria inklusi dan eksklusi.
Adapun kriteria inklusi dan ekslusi dalam penelitian ini sebagai berikut :

Tabel 3.1 Hubungan Tinggi Badan Ibu Dengan Kejadian Stunting Pada Balita
Kriteria Inklusi Eksklusi
Population Ibu yang memiliki balita Ibu yang tidak memiliki
balita
Intervensi Tidak ada intervensi Tidak ada intervensi
Comparison Variabel pembanding dalam
jurnal terkait yang diambil
yaitu stunting pada balita
Outcome Variabel yang mencantumkan Tidak mencantumkan
adanya hubungan tinggi badan hubungan tinggi badan ibu
ibu dengan kejadian stunting dengan kejadian stunting
pada balita pada balita
Study Design Desain penelitian dengan Selain penelitian cross
cross sectional sectional
Publication years Tahun publikasi 2016-2020 Sebelum tahun 2016
Language Bahasa Indonesia dan Bahasa Selain Bahasa Indonesia
Inggris dan Bahasa Inggris

3.3 Sumber Literatur

Data sebagai sumber literatur yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data sekunder yang diperoleh dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
peneliti-peneliti sebelumnya. Adapaun sumber data sekunder yang didapat berupa
artikel jurnal nasional maupun internasional. Dalam pencarian sumber literatur
data sekunder peneliti menggunakan database yaitu google schoolar dengan
menggunakan Keyword “Tinggi Badan Ibu OR Kejadian Stunting OR Balita”.

3.4 Seleksi Literatur


18

Peneliti menguraikan proses dan hasil seleksi artikel yang ditemukan


menggunakan diagram flow dengan tahapan seleksi yaitu identifikasi, screening,
kelayakan, dan kriteria inklusi(Nursalam, 2020):

Berdasarkan hasil pencarian literatur melalui database Google Scoolar,


dengan menggunakan kata kunci “Tinggi Badan Ibu OR Kejadian Stunting OR
Balita”. Peneliti berhasil mendapatkan 55 artikel baik nasional Hasil pencarian
artikel yang didapatkan tersebut kemudian diperiksa duplikasi dan ditemukan
sebanyak 35 artikel yang duplikasi/sama sehingga dikeluarkan dan tersisa 20
artikel. Kemudian peneliti melakukan screnning berdasarkan judul yang
disesuaikan dengan tema dan variabel, sebanyak 5 artikel di eksklusi karena tidak
sesuai dengan tema dan tersisa 15 artikel. Kemudian peneliti menyeleksi
berdasarkan abstrak (di dalam abstrak tidak di temukan hasil atau pembahasan
terkait variabel yang di teliti) sebanyak 5 artikel yang di ekslusi, dan tesisa 10
artikel. Peneliti memeriksa kelengkapan 10 artikel secara lengkap mulai dari
judul, abstrak, latar belakang, metode, hasil, pembahasan dan daftar pustaka di
dapatkan sebanyak 10 artikel yang bisa dipergunakan dan memenuhi kelengkapan
tersebut, lalu peneliti memeriksa 10 artikel berdasarkan kriteria inklusi sesuai
PICOS didapatkan 6 artikel yang bisa dipergunakan dan memenuhi . Sedangkan 4
artikel sisanya tidak memenuhi kriteria inklusi karena tidak lengkap maka peneliti
melakukan eksklusi. Seleksi litelatur ditampilkan dalam diagram flow berikut:
19

Identifikasi pencarian melalui database:


IDENTIFIKASI
Google Scoolar (n=55)

Screening identifikasi judul Dikeluarkan tidak


SCREENING
(20) sesuai judul
(n=5)

Identifikasi berdasarkan
abstrak
(n=15)

KELAYAKAN Artikel full text Literatur Eksklusi


(n=10) (n=5)

INKLUSI Artikel sesuai Kriteria Eksklusi


(n=6)

Gambar 3.1 Diagram flow Seleksi literatur review Hubungan tinggi badan ibu
dengan kejadian stunting pada balita.
3.5 Tahap Pengumpulan Data

Tahapan Pengumpulan Data Peneliti menguraikan dan menjelaskan tahapan


proses pengumpulan data meliputi (Siswanto, 2012; Nursalam, 2020):
20

1) Proses penyusunan proposal

Dalam memulai penelitian ini peneliti terlebih dahulu menyusun latar


belakang dan menentukan tujuan yang sesuai dengan topik yaitu Hubungan
Tinggi badan ibu dengan kejadian stunting pada balita.

2) Menentukan Pertanyaan Penelitian

Peneliti menentukan pertanyaan penelitian berdasarkan tujuan penelitian untuk


dijawab dalam hasil penelitian literature pertanyaan penelitian dalam
penelitian ini yaitu hubungan tinggi badan ibu dengan stunting pada balita

3) Mencari literatur dengan menentukan Geoogle Scholar,dan portal garuda


dengan kata kunci “Tinggi Badan Ibu’’OR’’,Kejadian Stunting“OR”
Balita”. Peneliti menguraikan dan menyebutkan database yang akan
digunakan serta kata kunci untuk pencarian artikel.

4) Seleksi Kelayakan Study

Untuk mendapatkan literatur yang layak sesuai dengan topik, peneliti


menentukan kriteria kelayakan artikel adengan strategi seleksi artikel
menggunakan PICOS yang disesuaikan dengan kriteria inklusi dan eksklusi

5) Seleksi literatur yang berkualitas

Melakukan seleksi literatur dengan membaca keseluruhan isi dari artikel mulai
dari judul, abstract, latar belakang, metode, hasil, pembahasan dan daftar
pustaka.
21

6) Melakukan Ekstraksi

Peneliti membaca artikel satu persatu, kemudian memilih dan mengambil hasil
penelitian yang ditemukan dan digabung dengan hasil penelitian artikel yang
lain.

7) Melakukan Sintesis data

Penelitian melakukan sintesis dengan memberikan argument dan gagasan


dalam pembahasan yang dilakukan dari hasil penelitian literatur.
3.6 Metode Analisis
Metode analisis literatur dalam penelitian ini menggunakan metode analisis
deskriptif yaitu menyajikan data dan menjabarkan secara naratif hasil-hasil
penelitian yang didapatkan dari artikel yang dijadikan sebagai sumber literatur.
DAFTAR PUSTAKA
Amin N A, Julia M. (2014). Faktor Sosiodemografi dan Tinggi Badan Orang Tua
Serta hubungannya dengan Kejadian Stunting pada balita usia 6-23 bulan.
Jurnal Gizi dan dietetik Indonesia. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Apriani, L. (2018). Hubungan karakteristik ibu, pelaksanaan keluarga sadar gizi
(kadarzi) dan perilaku hidup bersih sehat (PHBS) dengan kejadian stunting
(studi kasus pada baduta 6 - 23 bulan di wilayah kerja puskesmas pucang
sawit kota surakarta). Jurnal Kesehatan Masyarakat (eJournal), 6(4),
198205.Retrievedfromhttps://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jkm/artile/vi
ew/21396
Arnita, S., Rahmadhani, D. Y., & Sari, M. T. (2020). Hubungan pengetahuan dan
sikap ibu dengan upaya pencegahan stunting pada balita di wilayah kerja
puskesmas simpang kawat kota Jambi. Jurnal Akademika Baiturrahim
Akombi, B.J., Agho, K.E., Hall, J.J., Merom, D., Astell B.T., Renzaho, A.M.
N.,2017, Stunting and severe stunting among Children under-5 Years in
Nigeria: A multilevel analysis. BioMed Pediatrics, 17(1) :1–16
Ameri, P., Giusti, A., Boschetti, M., Murialdo, G., Minuto, F., Ferone, D.,2013,
Interactions between Vitamin D and IGF-I: From Physiology to Clinical
Practice, Clinical Endocrinology, 79(4):457–463
Adriani, dkk. 2017. Perbedaan Pengetahuan, Sikap, dan Motivasi Ibu Sesudah
diberikan Program Mother Smart Grounding (MSG) dalam Pencegahan
Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Puuwatu Kota Kendari Tahun 2017.
Jimkesmas jurnal ilmiah mahasiswa kesehatan masyarakat
vol.2/no.6/mei2017; issn 250-731x. Almatsier, S. (2014). Prinsip Dasar
Ilmu Gizi. Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Bose, A.,2018, Let Us Talk about Stunting. Journal of Tropical Pediatrics, 64(3):
174–175
Dinas Kesehatan Sleman,2018, Profil Kesehatan Kabupaten Sleman Tahun 2018,
Yogyakarta,26-27
Dinkes.(2016).Pusat Data dan Informasi terdapat dalam
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/situasi-
balita pendek-2016.pdf diakses pada tanggal 26 Januari 2016 pukul 14.22
WIB
De Onis M., F. Branca. 2016. Childhood Stunting : A Global Perspective.
[online]. Tersedia:
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/mcn.12231
Fikawati S, dkk.(2015). Gizi Ibu dan Bayi. Jakarta. PT RAJAGRAFINDO
PERSADA
Grcia Cruz, I.,M. et al. (2017)’ Factors associated with stunting among children
aged 0 to59 months from the central region of Mozambique’, Nurtriens,
9(5),pp, 1-16.
Hanum F, Khomsan A, Heryanto Y. 2016. Hubungan Asupan Gizi dan Tinggi
Badan Ibu Dengan Status Gizi Anak Balita. Jurnal Gizi dan Pangan. 9(1) :
1–6

https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2929/pandemi-
covid-19-stunting-masih-menjadi-tantangan-besar-bangsa
https://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-XI-22-II-
P3DI-November-2019-242.pdf
Kementerian Kesehatan RI. (2013). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
Tahun2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI
Ngaisyah R D, Septriana. (2016). Hubungan Tinggi Badan Orang Tua dengan
Kejadian Stunting. Yogyakarta: Universitas Respati Yogyakarta
Nasikhah R, Margawati A. (2012). Faktor Risiko Kejadian Stunting Pada Balita
Usia 24 –36 Bulan Di Kecamatan Semarang Timur. Journal of Nutrion
College, vol 1, no 1, hal 176-184.
Prendergast, A.J. and J.H. Humphrey. 2014. The Stunting Syndrome in
Developing Countries. Paediatrics and International Child Health. 34 (4):
250–265. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/ PMC4232245/
[diakses 19 Maret 2017]
Rahayu LS. Associated of height of parents with changes of stunting status from
6-12 months to 3-4 years[Thesis]. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada;
2019
Soetjiningsih. (2016). Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC
Welassih, B. D., & Wirjatmadi, R. B. (2012). Beberapa Faktor yang Berhubungan
dengan Status Gizi Balita Stunting. The Indonesian Journal of Public
Health, Vol 8No 3, 8-70

WHO. 2013. Perfection prevention and Control of Epidemic-and Pendemic-prone


Acute Respiratory Disease in Health Care. Jenewa WHO Interim
Guidelines.
file:///C:/Users/TOSHIBA/Downloads/36-Article%20Text-348-1-10-
20200622.pdf
file:///C:/Users/TOSHIBA/AppData/Local/Temp/23155-47238-1-SM.pdf
Zikria, W., El, L.,Bustami, S.,2018,The Association Between Mother’s Care
Practices With Stunting Incident In Children Age 12-35 Months In Air
Dingin Primary Health Center Padang 2018, 3(2)
Lampiran 1
Faktor-Faktor yang
Berhubungan dengan

Stunting Sangat Pendek dan Pendek pada Anak Usia


24-59 Bulan di Kecamatan Sawah Besar

Luluk Atmi Rahmawati, Fathinah Ranggauni Hardy, Ayu Anggraeni


Dyah Purbasari

Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat, Fakultas


Ilmu Kesehatan
Universitas Pembangunan Nasional
Veteran Jakarta

Abstrak

Latar Belakang: Salah satu masalah gizi yang dihadapi oleh Indonesia adalah
kejadian balita pendek

(stunting). Stunting adalah hal yang sangat penting karena akan memengaruhi
sumber daya manusia di masa depan.

Metode: Desain penelitian ini menggunakan studi cross sectional dengan total
sampel 91 balita

stunting berusia 24-59 bulan. Teknik pengambilan sampel yang digunakan


adalah purposive sampling.

Hasil: Balita pendek lebih banyak (76,9%) daripada balita sangat pendek
(23,1%). Tidak ada

hubungan antara usia Ibu (p value=0,503), pendidikan Ibu (p value=0,924), status


pekerjaan (p value=0,737), pendapatan keluarga (p value=0,534), pengetahuan Ibu
(p value=0,829), ragam makanan (p value=0,893), riwayat penyakit (p
value=0,348), pola istirahat (p value=0,714), dan aktivitas fisik (p value=0,171)
dengan stunting sangat pendek dan pendek. Ada hubungan antara ASI eksklusif (p
value=0,006), dan pola asuh (p value=0,004) dengan stunting sangat pendek dan
pendek. Kesimpulan: Ada hubungan antara ASI eksklusif dan pola asuh dengan
stunting sangat pendek dan pendek. Dalam hal ini maka perlu diadakannya sosialisasi
pada orang tua balita mengenai pemberian ASI eksklusif dan praktik pola asuh yang
baik dan benar

Kata kunci: stunting, sangat pendek, balita, pola asuh


2
PENDAH 19% menjadi 19,8% (2017) . Sama
ULUAN halnya dengan data Riskesdas
(2018) yang
Salah satu masalah gizi yang
dihadapi oleh Indonesia adalah menunjukkan bahwa prevalensi balita
kejadian balita pendek pendek

(stunting). Stunting adalah hal yang mengalami peningkatan dari 19,2%


sangat penting karena akan tahun 2013 menjadi 19,3% pada tahun
memengaruhi sumber daya manusia 2018 sedangkan balita sangat pendek
di masa depan. Balita stunting mengalami penurunan dari 18% pada
tahun 2013 menjadi 11,5% pada tahun
mudah terjangkit penyakit dan bisa 2018.
menderita penyakit degeneratif saat
dewasa. Dalam mencegah dan Selain dapat merugikan bagi
menurunkan angka kejadian stunting kesehatan dan tumbuh kembang anak,
tidak hanya dilakukan oleh sektor stunting (sangat pendek dan pendek)
kesehatan saja tetapi harus
1 juga akan mengakibatkan
mengikutsertakan lintas sektor .
perkembangan kognitiif, motorik dan
Stunting dibedakan menjadi dua mental sosial anak terganggu dan
kategori kedepannya akan memengaruhi
produktivitasnya dalam bekerja saat
severely stunted (sangat pendek) dan
dewasa nanti. Anak yang stunting juga
stunted (pendek). Anak dapat
meiliki riiko lebih besar untuk
dikatakan sangat pendek (severely
menderita penyakit degeneratif saat
stunted) jika tinggi atau panjang
masa tuanya Dalam segi ekonomi,
badan kurang dari 3 kali standar
pembiayaan kesehatan yang meningkat
deviasi (<-3
juga merupakan salah satu dampak
SD) sedangkan anak dikatakan dari stunting, menurut laporan World
pendek Bank tahun 2016 bahwa negara
memiliki potensi kerugian ekonomi
(stunted) apabila tinggi atau panjang yang dikaibatkan stunting sebesar 2-
badannya 3% Produk Domestik Bruto (PDB).
-3 SD sampai dengan – Oleh karena itu, potensi kerugian
2
2 SD . ekonomi yang mungkin dialami
Indonesia sebesar Rp.
Prevalensi stunting
meningkat dari 260-390 trilyun per tahun jika PDB
27,5% (2016) menjadi 29,6% (2017) .
3 sebesar
Menurut survei PSG yang yang 3
Rp. 13.000 triliyun . Faktor yang
dilaksanakan dalam memengaruhi
rangka untuk monitoring, evaluasi stunting pada balita berdasarkan
kerja dan capaian suatu program
menunjukkan bahwa prevalensi balita penelitian diantaranya usia Ibu,
sangat pendek meningkat dari pendidikan ibu, status pekerjaan ibu,
pendapatan keluarga, pengetahuan ibu
8,5% menjadi 9,8% (2017) dan balita dan pola asuh gizi yang meliputi ASI
pendek
eksklusif dan MP-ASI serta riwayat Kejadian tersebut tidak memiliki
penyakit anak. hubungan dengan tingkat pendidikan
Ibu, tingkat pengetahuan ibu dan pola
Pada umumnya penyakit infeksi asuh (Ni ’mah dan Muniroh, 2015).
disebabkan oleh praktik kebersihan Hasil penelitian Aisyah dkk. (2019)
dan sanitasi yang buruk, penyakit juga menunjukkan bahwa tidak ada
infeksi yang sering diderita anak hubungan signifikan antara pola asuh
seperti, kecacingan dan diare dapat gizi dengan stunting pada anak baru
memengaruhi nafsu makan anak dan masuk sekolah
mengganggu penyerapan nutrisi dalam
proses percenaan. Jika penyakit dasar di Daerah Pesisir Kota Semarang
5
infeksi yang diderita tidak kunjung . Beda
sembuh dalam waktu yang lama, maka halnya dengan hasil penelitian Farah
secara tidak langsung hal ini akan Danita Rahman (2018) menyatakan
mengakibatkan berat badan anak bahwa pola pemberian makan yang
menurun yang dikarenakan asupan gizi buruk akan meningkatkan risiko
kurang sehingga berakibat menderita perbedaan sangat pendek dan pendek
6
stunting. Selain itu, penyebab tidak pada balita .
langsung terjadinya stunting adalah Data PSG tahun 2017
pola asuh yang kurang baik. Menurut memperlihatkan bahwa prevalensi
UNICEF/Lancet, masalah stunting balita stunting lebih tinggi yaitu
disebabkan oleh adanya pengaruh pola 29,6% dibandingkan pada baduta
asuh tidak baik (IMD, ASI eksklusif, sebesar
pemberian ASI dan dilanjutkan dengan
MPASI sampai anak berusia 2 tahun), 20,1%. Berdasarkan Profil Kesehatan
kualitas kesehatan yang kurang baik Indonesia (2017), prevalensi balita
dan cakupan pelayanan kesehatan yang pendek umur 0-59 bulan di DKI
kurang .
3 Jakarta sebesar
7
Berdasarkan hasil penelitian 13,78% . Sedangkan, menurut
data PSG
Ni’mah C dan Muniroh L (2015)
menunjukkan bahwa masalah stunting prevalensi stunting balita di DKI
lebih banyak terjadi pada balita miskin Jakarta merupakan prevalensi
dibandingkan masalah wasting. terbesar dibandingka

dengan masalah gizi pada balita kesehatan dan gizi saja tetapi juga
lainnya menyangkut sarana dan prasarana
8
untuk masyarakat .
(Underweight, Wasting, Gemuk)
Hasil rekapan status gizi balita
yaitu sebesar
yang telah terkonfirmasi
berdasarkan EPBGM wilayah kota
22,7% yang termasuk kedalam
administrasi DKI Jakarta tahun 2018
karakteristik akut-kronis. Prevalensi
didapat data bahwa prevalensi
stunting terbesar di DKI Jakarta
stunting pada
adalah di DKI Jakarta yaitu sebesar
29,2% dengan karakteristik masalah balita terbesar berada pada
2
gizi akut-kronis . Kejadian stunting kecamatan Sawah
bukan hanya menjadi masalah
Besar yaitu sebesar 5,3% dengan Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan
jumlah kasus Sawah Besar, DKI Jakarta yang
berjumlah 83 orang. Variabel
201 orang (kasus dengan 129 balita
pendek dan independen dalam penelitian ini
adalah karakteristik Ibu, pola asuh
72 balita sangat gizi, riwayat penyakit, pola istirahat
9
pendek .
dan aktivitas fisik. Variabel
Berdasarkan latar belakang dependen dalam penelitian ini
masalah diatas, maka masalah stunting sangat pendek dan pendek di
tersebut penting untuk diteliti dengan Kecamatan Sawah Besar, DKI
judul penelitian “Faktor-faktor yang Jakarta. Data primer yaitu data
Berhubungan dengan Perbedaan yang langsung diperoleh dari
Sangat Pendek dan Pendek Pada Anak responden berupa data tinggi
Usia 24-59 bulan di Puskesmas badan anak, umur anak, jenis kelamin
Sawah Besar, DKI Jakarta” anak, nama orang tua (ibu),
pendidikan ibu, status pekerjaan
ibu, pendapatan keluarga per
bulan, pola asuh gizi, riwayat
M
penyakit anak, aktivitas fisik anak,
E
pola istirahat dan pengetahuan ibu
T
dan asupan makanan pada anak usia
O
24-59 bulan. Data berat badan dan
D
tinggi badan diperoleh melalui
E
pengukuran tinggi badan anak
Desain penelitian ini dengan menggunakan microtoise dan
menggunakan studi penimbangan dilakukan dengan
timbangan berat badan. Data
cross sectional. Penelitian ini
sekunder yaitu data yang diperoleh
dilaksanakan di wilayah Kerja
dari Sudinkes Jakarta Pusat dan
Puskesmas Kecamatan Sawah
Puskesmas Sawah Besar. Data yang
Besar, DKI Jakarta. Pengumpulan
diperoleh berupa data jumlah anak
data pada penelitian ini
balita usia 24-59 bulan yang
dilakukan pada bulan Mei – Juni
menderita stunting.
2019. Teknik pengambilan sampel
penelitian ini yaitu purposive
sampling berdasarkan kriteria inklusi
dan kriteria eksklusi. Sampel H
dalam penelitian ini adalah seluruh A
anak usia 24-59 bulan di S
I
L

Hubungan Usia Ibu dengan


Stunting
Sangat Pendek dan sangat pendek dan pendek pada balita
Pendek stunting di Kecamatan Sawah Besar
Hasil analisis uji statistik Kota Jakarta Pusat dengan hasil p
menunjukkan bahwa value > 0.05 yaitu p value = 0.503.

tidak ada hubungan yang signifikan


antara usia Ibu dengan stunting

Tabel 1 Analisis Hubungan antara Usia Ibu, Pendidikan Ibu, Status Pekerjaan
Ibu, Pendapatan

Keluarga, Pengetahuan Ibu, ASI Eksklusif, Ragam Makanan, Pola asuh,


Riwayat Penyakit,

Pola Istirahat dan Aktivitas Fisik

S
t
u
n
t
i
n
g

Sang Jumlah
P Value CI 95%
No. Variabel at Pend
Kategori ek
Pendek

n % n % n
%

< 29 tahun 12 27.3 32 72.7 44 100


1. Usia Ibu 0.503
0.236-1.689
≥ 29 tahun 9 19.1 38 80.9 47 100

Rendah 12 24.5 37 75.5 49 100


2. 0.924
Pendidikan
0.315-2.248
Ibu Tinggi 9 21.5 33 78.6 42 100

Status Tidak
17 24.6 52 75.4 69 100
3. Bekerja 0.737
Pekerjaan 0.437-4.953
Ibu Bekerja 4 18.2 18 81.8 91 100
< UMP 17 22.7 58 77.3 75 100
4. 0.534
Pendapatan
0.325-3.986
Keluarga ≥ UMP 4 25 12 75 16 100

Stunti
ng
Jumlah
No. Variabel Sanga Pend P Value CI 95%
Kategori ek
t
Pendek

n % n % n %

Kurang 9 25.7 26 74.3 35 100


0.829
5. 0.471-3.419
Pengetahua

n Ibu B a ik 12 21.4 44 78.6 56 100

Tidak 20 32.3 42 67.7 62 100


6. 0.006
ASI
0.010-0.591
Eksklusif Ya 1 3.4 28 96.6 29 100

Tidak
10 25 30 75 40 100
7.
Ragam Beragam 0.893
0.456-3.225
Makanan
Beragam 11 21.6 40 78.4 51 100

Kurang 15 39.5 23 60.5 38 100


8. Pola Asuh 0.004
1.752-14.895
Baik 6 11.3 47 88.7 53 100

Tidak
Ada 8 17.8 37 82.2 45 100
Riwayat
9.
Riwayat 0.348 0.672-
Ada
4.942
Penya
kit
13 28.3 33 71.7 45 100
Riwa yat
Kurang 13 25.5 38 74.5 51 100
10. 0.714
Pola
0.504-3.714
Istirahat B a ik 8 20.0 32 80.0 40 100

Ringan 13 29.4 36 70.6 51 100


11. 0.171
Aktivitas
0.821-6.791
Fisik Berat 8 15.0 34 85.0 40 100

Hubungan Status Pekerjaan Ibu data bahwa keluarga yang


dengan berpendapatan dibawah UMP
cenderung memiliki balita sangat
Stunting Sangat Pendek dan pendek lebih besar dari keluarga yang
Pendek berpendapatan diatas UMP, yaitu
Berdasarkan hasil sebesar 17 balita dan 4 balita. Sama
penelitian halnya, Ibu yang berpendidikan
rendah cenderung memiliki anak
didapatkan data bahwa Ibu yang tidak dengan kategori pendek lebih besar
bekerja cenderung memiliki balita dibandingkan ibu yang berpendidikan
sangat pendek lebih besar dari Ibu tinggi yaitu sebesar 58 balita dan 12
yang bekerja, yaitu sebesar 17 balita balita.
dan 4 balita. Sama halnya, Ibu
yang tidak bekerja cenderung Hasil analisis uji statistik
memiliki anak dengan kategori diperoleh hasil p value > 0.05 yaitu
p value = 0.534 yang
pendek lebih besar dibandingkan ibu
yang bekerja yaitu sebesar 52 balita
dan 18 balita.

Hasil analisis uji statistik


diperoleh hasil p value > 0.05 yaitu
p value = 0.737 yang berarti tidak
terdapat hubungan yang signifikan
antara status pekerjaan Ibu dengan
stunting sangat pendek dan pendek
pada balita stunting di Kecamatan
Sawah Besar Kota Jakarta Pusat.

Hubungan Pendapatan Keluarga


dengan

Stunting Sangat Pendek dan


Pendek

Berdasarkan hasil penelitian


didapatkan
berarti tidak terdapat hubungan yang Hasil analisis uji statistik
signifikan antara pendapatan keluarga diperoleh hasil p value > 0.05 yaitu
dengan stunting sangat pendek dan p value = 0.829 yang berarti tidak
pendek pada balita stunting di terdapat hubungan yang signifikan
Kecamatan Sawah Besar Kota Jakarta antara pengetahuan Ibu dengan
Pusat. stunting sangat pendek dan pendek
pada balita stunting di Kecamatan
Sawah Besar Kota Jakarta Pusat.
Hubungan Pengetahuan Ibu
dengan
Hubungan ASI Eksklusif dengan
Stunting Sangat Pendek dan Stunting
Pendek
Sangat Pendek dan
Berdasarkan hasil penelitian Pendek
didapatkan
Berdasarkan hasil penelitian
data bahwa Ibu dengan pengetahuan didapatkan
baik cenderung memiliki balita sangat
pendek lebih besar dari Ibu dengan data bahwa balita yang tidak
pengetahuan kurang, yaitu sebesar 12 mendapatkan ASI eksklusif cenderung
balita dan 9 balita.Sama halnya, Ibu menderita sangat pendek lebih besar
dengan pendidikan baik cenderung dari balita yang mendapatkan ASI
memiliki anak dengan kategori eksklusif, yaitu sebesar 20 balita dan 1
pendek lebih besar dibandingkan ibu balita. Sama halnya, balita yang tidak
dengan pengetahuan kurang yaitu mendapatkan ASI eksklusif
sebesar 44 balita dan 26 balita. cenderung menderita pendek

lebih besar dari balita yang Stunting Sangat Pendek dan


mendapatkan ASI Pendek
Berdasarkan hasil penelitian
eksklusif yaitu sebesar 42 balita dan
didapatkan
28 balita.
data bahwa balita yang mengonsumsi
Hasil analisis uji statistik makanan beragam cenderung
diperoleh hasil p value > 0.05 yaitu p menderita sangat pendek lebih besar
value = 0.006 yang berarti terdapat dari balita pendek yang tidak
hubungan yang signifikan antara mengonsumsi makanan beragam, yaitu
ASI eksklusif dengan stunting sangat sebesar
pendek dan pendek pada balita
stunting di Kecamatan Sawah Besar 11 balita dan 10 balita. Sama
Kota Jakarta Pusat. halnya, balita yang balita yang
mengonsumsi makanan beragam
cenderung menderita pendek lebih
Hubungan Ragam Makanan besar dari balita yang tidak
dengan mengonsumsi makanan beragam, yaitu
sebesar 40 balita dan
3 Hubungan Riwayat Penyakit
0 dengan
b
al Stunting Sangat Pendek dan
Pendek
it
a. Berdasarkan hasil penelitian
didapatkan
Hasil analisis uji statistik
diperoleh hasil p value > 0.05 yaitu p data bahwa balita sangat pendek
value = 0.893 yang berarti tidak yang memiliki riwayat penyakit lebih
terdapat hubungan yang signifikan besar dibandingkan balita sangat
antara ragam makanan dengan stunting pendek yang tidak memiliki riwayat
sangat pendek dan pendek pada balita penyakit, yaitu sebesar 13 balita dan 8
stunting di Kecamatan Sawah Besar balita. Sebaliknya, balita pendek yang
Kota Jakarta Pusat. tidak memiliki riwayat penyakit
lebih

Hubungan Pola asuh dengan


Stunting

Sangat Pendek dan


Pendek

Berdasarkan hasil penelitian


didapatkan

data bahwa balita dengan pola asuh


kurang cenderung menderita sangat
pendek lebih besar dari balita dengan
pola asuh baik, yaitu sebesar

15 balita dan 6 balita.


Sebaliknya, balita dengan pola asuh
baik cenderung menderita pendek lebih
besar dari balita dengan pola asuh
kurang, yaitu sebesar 47 balita dan 23
balita

Hasil analisis uji statistik


diperoleh hasil p value > 0.05 yaitu
p value = 0.004 yang berarti
terdapat hubungan yang signifikan
antara pola asuh dengan stunting
sangat pendek dan pendek pada balita
stunting di Kecamatan Sawah Besar
Kota Jakarta Pusat.
besar dibandingkan balita pendek Sangat Pendek dan
yang memiliki riwayat penyakit, yaitu Pendek
sebesar 37 balita dan 33 balita
Berdasarkan hasil penelitian
Hasil analisis uji statistik didapatkan data bahwa balita sangat
pendek dengan
diperoleh hasil p value > 0.05 yaitu
p value = 0.348 yang berarti tidak aktivitas fisik ringan lebih besar
terdapat hubungan yang signifikan dibandingkan balita sangat pendek
antara riwayat penyakit dengan yang dengan aktivitas fisik berat,
stunting sangat pendek dan pendek yaitu sebesar 13 balita dan 8 balita.
pada balita stunting di Kecamatan
Sawah Besar Kota Jakarta Pusat. Sebaliknya, balita pendek dengan
aktivitas fisik ringan lebih besar
dibandingkan balita pendek dengan
Hubungan Pola Istirahat dengan aktivitas fisik berat, yaitu sebesar 36
Stunting balita dan 34 balita.

Sangat Pendek dan Hasil analisis uji statistik


Pendek diperoleh hasil p value > 0.05 yaitu
p value = 0.714 yang berarti tidak
Berdasarkan hasil penelitian terdapat hubungan yang signifikan
didapatkan antara pola istirahatdengan
perbedaan sangat pendek dan pendek
data bahwa balita sangat pendek
pada balita stunting di Kecamatan
dengan pola istirahat kurang lebih
Sawah Besar Kota Jakarta Pusat.
besar dibandingkan balita sangat
pendek yang dengan pola istirahat baik,
yaitu sebesar 13 balita dan 8 balita.
Sebaliknya, balita pendek dengan pola PEMBA
istirahat kurang lebih besar HASAN
dibandingkan balita pendek dengan
Hubungan Usia Ibu dengan
pola istirahat baik, yaitu sebesar 38 Stunting
balita dan 32 balita.
Sangat Pendek dan
Hasil analisis uji statistik Pendek
diperoleh hasil p value > 0.05 yaitu
p value = 0.714 yang berarti tidak Usia akan berpengaruhi
terdapat hubungan yang signifikan pada
antara pola istirahat dengan stunting kemampuan dan kesiapan seorang ibu.
stunting pada balita stunting di Umur ibu menentukan pola
Kecamatan Sawah Besar Kota Jakarta pengasuhan dan penentuan makanan
Pusat. yang sesuai bagi anaknya karena
semakin bertambahnya umur ibu maka
semakin bertambah pengalaman
Hubungan Aktivitas Fisik dengan dan
Stunting
kematangan ibu dalam pola pendek pada balita stunting di
pengasuhan dan penentuan makan Kecamatan Sawah Besar Kota Jakarta
10
anak .
Pusat. Hal ini tidak sejalan dengan
Hasil analisis uji statistik penelitian Wahdah dkk. (2015) yang
menunjukkan bahwa tidak ada menyatakan bahwa pekerjaan ibu
hubungan yang signifikan mempunyai hubungan yang signifikan
antara usia Ibu dengan stunting sangat dengan perbedaan sangat pendek dan
pendek pendek. Anak dari ibu-ibu yang
bekerja akan lebih berisiko untuk
dan pendek pada balita stunting di menderita stunting jika dibandingkan
Kecamatan Sawah Besar Kota Jakarta dengan ibu yang tidak bekerja. Hal ini
Pusat. Hasil ini sejalan dengan berpengaruh terhadap terhadap
penelitian Hayyudini dkk. (2017) kecukupan gizi dalam keluarga,
yang menunjukkan bahwa tidak ada terutama pada anak balita yang
hubungan yang signifikan antara usia memerlukan asupan gizi optimal
ibu dengan status gizi anak di wilayah untuk pertumbuhannya. Sebaliknya,
kerja Puskesmas Kedungmundu pada ibu yang tidak bekerja atau hanya
Kota Semarang tahun 2017. Usia 20- sebagai ibu rumah tangga memipunyai
35 tahun adalah usia yang matang peluang yang cukup baik dalam
untuk berlangsungnya kehamilan. 12
mengasuh dan merawat anaknya .
Sebab, Ibu yang berusia 20-35 tahun
akan memiliki kesungguhan dalam Hasil ini sejalan dengan
merawat, mengasuh serta penelitian
membesarkan anaknya. Akan tetapi,
Aridiyah dkk. (2015) yang menyatakan
dalam kenyataannya pada usia tersebut
bahwa perbedaan sangat pendek dan
masih terdapat Ibu yang belum paham
pendek pada anak balita secara
dan belum menerapkan pengasuhan
signifikan tidak memiliki hubungan
yang baik dalam mengasuh anaknya.
dan penelitian Aisyah dkk. (2019) yang
Terlebih khusus dalam pemilihan
11
mengemukakan bahwa tidak ada
makanan tepat untuk anak . hubungan antara pekerjaan dengan
stunting. Menurut hasil penelitian,
Ibu yang bekerja
Hubungan Status Pekerjaan Ibu
dengan

Stunting Sangat Pendek dan


Pendek

Berdasarkan hasil
penelitian

didapatkan data bahwa Ibu yang tidak


bekerja cenderung memiliki balita
sangat pendek lebih besar dari Ibu
yang bekerja. Tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara status pekerjaan
Ibu dengan stunting sangat pendek dan
cenderung lebih banyak dibandingkan ekonomi kurang mampu berhubungan
dengan yang Ibu tidak bekerja. dengan stunting sangat pendek dan
Pekerjaan Ibu di Kecamatan Sawah pendek. Jika ditinjau dari karakteristik
Besar sebagian besar sebagai pandapatan keluarga bahwa akar
karyawati yang bekerja di sebuah toko masalah dari dampak pertumbuhan
atau pusat perbelanjaan, serta bayi dan berbagai masalah gizi lainnya
pekerjaan lainnya beragam ada yang salah satunya disebabkan dan berasal
berdagang karena pemukiman dari krisis ekonomi. Sebagian besar
pendudukan dekat dengan pasar ada anak balita yang mengalami
juga yang bekerja sebagai kuli cuci. gangguan pertumbuhan diantaranya
memiliki status ekonomi yang rendah
13
.
Hubungan Pendapatan Keluarga
Status ekonomi rendah
dengan
dianggap memiliki pengaruh dominan
Stunting Sangat Pendek dan terhadap kejadian wasting dan stunting
Pendek pada anak
14
. Orang tua dengan
Berdasarkan hasil penelitian pendapatan keluarga yang memadai
didapatkan akan memiliki kemampuan untuk
menyediakan semua kebutuhan primer
data bahwa keluarga yang dan sekunder anak. Keluarga dengan
berpendapatan dibawah UMP status ekonomi baik juga mempunyai
cenderung memiliki balita sangat akses pelayanan kesehatan yang lebih
pendek lebih besar dari keluarga yang baik (Soetjiningsih dalam Setiawan,
berpendapatan diatas UMP. Tidak Machmud dan Masrul, 2018) anak
terdapat hubungan yang signifikan pada keluarga dengan status ekonomi
antara pendapatan keluarga dengan yang rendah cenderung mengonsumsi
stunting sangat pendek dan pendek makanan dalam segi kuantitas, kualitas
pada balita stunting di Kecamatan dan variasi yang kurang. Status
Sawah Besar Kota Jakarta Pusat. ekonomi yang tinggi membuat
Hal ini sejalan dengan penelitian seseorang memilih dalam membeli
Windi (2018) yang menyatakan bahwa makanan yang bergizi dan bervariasi
pendapatan keluarga tidak memiliki (Pipes LP dalam Setiawan, Machmud
hubungan yang signifikan dengan dan Masrul, 2018).
perbedaan sangat pendek dan pendek.
Berbeda halnya dengan penelitian Keluarga dengan pendapatan
Nkurunziza dkk., (2017) menyatakan yang rendah mampu mengelola
bahwa keluarga dengan status sosial makanan yang

bergizi dengan bahan yang dapat menjamin status gizi baik bagi
sederhana dan murah maka balita, karena tingkat pendapatan
pertumbuhan bayi juga akan menjadi belum tentu teralokasikan dengan
baik. Pendapatan yang diterima tidak cukup untuk keperluan asupan gizi
sepenuhnya dibelanjakan untuk yang seimbang .
15

kebutuhan makan pokok melainkan


untuk kebutuhan lainnya. Tingkat Anak kerdil/pendek yang
pendapatan yang tinggi belum tentu terjadi di
Indonesia sebenarnya tidak hanya dengan tingkat pengetahuan yang baik
dialami oleh rumah tangga/keluarga kemungkinan besar akan dapat
yang miskin dan kurang mampu, mengasuh anaknya dengan baik
karena stunting juga dialami oleh
khusunsya pada pada pemberian
sejumlah rumah tangga/keluarga
yang tidak miskin/yang berada di atas asupan gizi. Penelitian ini menjelaskan
40 % tingkat kesejahteraan sosial dan bahwa Ibu dengan pengetahuan baik
ekonominya. Berdasarkan estimasi dari cenderung memiliki balita stunting.
Riskesdas (tingkat stunting) dan Hal ini dikarenakan, pengetahuan yang
proyeksi populasi BPS mengemukakan para Ibu dapatkan kurang diterapkan
bahwa kondisi anak stunting juga
dialami oleh keluarga/rumah tangga secara maksimal dalam mengasuh
16
yang tidak miskin . anaknya terlebih khusus dalam
praktik

Hubungan Pengetahuan Ibu


dengan

Stunting Sangat Pendek dan


Pendek

Berdasarkan hasil penelitian


didapatkan

data bahwa Ibu dengan pengetahuan


baik cenderung memiliki balita sangat
pendek lebih besar dari Ibu dengan
pengetahuan kurang. Tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara
pengetahuan Ibu dengan stunting
sangat pendek dan pendek pada balita
stunting di Kecamatan Sawah Besar
Kota Jakarta Pusat. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian Ni’mah dan
Muniroh (2015) yang menyatakan
bahwa tidak ada hubungan antara
tingkat pengetahuan ibu dengan
wasting dan stunting pada balita
keluarga miskin di Kecamatan Balen
Kabupaten Bojonegoro.

Terjadinya stunting terkait


dengan asupan zat gizi pada saat Ibu
hamil dan asupan zat gizi pada saat
bayi berumur 0-24 bulan. Asupan zat
gizi anak sejak dalam kandungan
sampe anak berumur 24 bulan akan
berpengaruh kedalam status gizi anak
kedepannya. Oleh karena itu, Ibu
pemberian asupan gizi anak dari sejak pemberian ASI eksklusif dan
dalam kandungan sampai anak penelitian ini menunjukkan bahwa
menginjak umur 24 bulan. kejadian stunting secara signifikan
berhubungan dengan pemberian ASI
Menurut Notoatmodjo dalam eksklusif, serta memperlihatkan bahwa
Ni’mah dan Muniroh (2015), tingkat
pengetahuan ibu yang tinggi tidak anak yang tidak mendapatkan ASI
menjamin memiliki balita dengan eksklusif lebih berisiko untuk
status gizi yang normal. Ibu yang menderita stunting dibandingkan anak
memiliki penegetahuan baik yang diberikan ASI secara eksklusif.
diharapkan mampu mengaplikasikan
pengetahuan yang dimiliki dalam Pemberian ASI eksklusif pada
kehidupan sehari-hari. Namun, bayi usia
perilaku selain dipengaruhi oleh tingkat
pengetahuan juga dapat dipengaruhi 0-6 bulan dan MPASI usia 6-24
lingkungan, sosio ekonomi dan sosio bulan sudah
4
budaya .
terbukti dapat mengoptimalkan
kecerdasan dan tumbuh kembang anak,
ASI dapat mencegah terjadinya
Hubungan ASI Eksklusif dengan penyakit pada anak seperti kelebihan
Stunting gizi dan kekurangan gizi karena ASI
merupakan makanan yang sesuai untuk
Sangat Pendek dan bayi. Tetapi banyak masyarakat masih
Pendek belum benar dan tepat dalam
memberikan ASI eksklusif untuk bayi
Berdasarkan hasil penelitian umur 0-6 bulan dan MPASI pada bayi
17
didapatkan data bahwa balita yang umur 6-24 bulan .
tidak mendapatkan ASI

eksklusif cenderung menderita sangat


pendek lebih besar dari balita yang Hubungan Ragam Makanan
mendapatkan ASI eksklusif. dengan
Didapatkan hubungan yang
Stunting Sangat Pendek dan
signifikan antara ASI eksklusif Pendek
dengan stunting sangat pendek dan
Berdasarkan hasil penelitian
pendek pada balita stunting di didapatkan data bahwa balita yang
Kecamatan Sawah Besar Kota Jakarta mengonsumsi makanan
Pusat. Hasil ini sejalan dengan
penelitian Aridiyah dkk. (2015) dan beragam cenderung menderita sangat
Wahdah dkk. (2015) yang menyatakan pendek lebih besar dari balita pendek
bahwa kejadian stunting pada anak yang tidak mengonsumsi makanan
balita dipengaruhi oleh variabel beragam. Tidak

terdapat hubungan yang signifikan Widyaningsih dkk. (2018)


antara ragam makanan dengan stunting mengemukakan bahwa ada hubungan
sangat pendek dan pendek pada balita antara keragaman makanan dengan
stunting di Kecamatan Sawah Besar perbedaan sangat pendek dan pendek
Kota Jakarta Pusat. Hasil penelitian ini pada balita.
sejalan dengan penelitian
Keragaman makanan data bahwa balita dengan pola asuh
merupakan gambaran dari kualitas kurang cenderung menderita sangat
makanan yang dikonsumsi balita. pendek lebih besar dari balita dengan
Semakin beragam makanan yang pola asuh baik. Terdapat hubungan
dikonsumsi oleh balita maka akan yang signifikan antara pola asuh
semakin baik kualitas pangan balita. dengan stunting sangat pendek dan
Keragaman pangan balita akan pendek pada balita stunting di
memperlihatkan pemilihan makanan Kecamatan Sawah Besar Kota
yang tepat bagi balita. Apabila kualitas Jakarta Pusat. Hal ini sejalan dengan
makanan yang dikonsumsi balita baik hasil penelitian Utami (2016) dan
maka akan mencukupi kebutuhan gizi Jayanti (2015) yang menunjukkan
balita dengan baik, selain itu balita bahwa terdapat hubungan yang
juga tidak akan merasa bosan setiap signifikan antara pola asuh gizi/nutrisi
kali akan makan. Kebutuhan gizi bila dengan kejadian stunting. Lain halnya
terpenuhi dengan baik akan dengan hasil penelitian aisyah dkk.
menghindari anak dari malnutrisi.
Dalam penelitian terlihat bahwa sedikit
lebih banyak balita stunting yang
mengonsumsi makanan beragam
dibandingkan balita mengonsumsi
makanan beragam. Hal ini dikarenakan
sudah banyak Ibu yang mulai
membiasakan anak untuk
mengonsumsi makanan beragam.
Meskipun makanan yang dikonsumsi
balita stunting lebih banyak yang
beragam tetapi makanan yang
dikonsumsi adalah makanan yang
belakangan ini dikonsumsi makanan
yang dikonsumsi sejak anak dalam
kandungan sampai anak berusia 2
tahun (24 bulan), sehinga hal ini tidak
dapat dikatakan bisa memengaruhi
keadaan status gizi anak saat ini.
Ragam makanan yang dikonsumsi
akan berpengaruh kepada status gizi
18
di masa yang akan datang .

Hubungan Pola asuh dengan


Stunting

Sangat Pendek dan


Pendek

Berdasarkan hasil penelitian


didapatkan
(2019), Hayyudini dkk. (2017) dan Dalam penelitian ini, pola asuh
Ni’mah dan muniroh (2015) yang kurang baik menjadi salah satu
menyatakan bahwa tidak ada hubungan masalah penting yang menyebabkan
antara pola asuh gizi, pola asuh terjadinya stunting pada balita di
maupun pola asuh keluarga terhadap Kecamatan Sawah Besar Kota Jakarta
kejadian stunting. Pusat. Dikarenakan praktik pola
pengasuhan yang tidak baik akan
Menurut UNICEF/Lancet menyebabkan pemilihan dan
masalah stunting terutama disebabkan
karena adanya pengaruh dari pola asuh, pemberian asupan makanan kepada
cakupan dan kualitas pelayanan anak yang tidak optimal terlebih
kesehatan, lingkungan dan ketahanan khusus dalam praktik pemberian
pangan. Pola asuh (caring) terdiri makanan bagi anak saat sejak dalam
dari Inisiasi Menyusui Dini (IMD), kandungan hingga menginjak usia 2
menyusui eksklusif sampai dengan 6 tahun (24 bulan).
bulan dan pemberian ASI lalu
dilanjutkan dengan makanan
pendamping ASI (MPASI) sampai
dengan 2 tahun merupakan proses Hubungan Riwayat Penyakit
untuk membantu tumbuh kembang bayi dengan
3
dan anak .
Stunting Sangat Pendek dan
Menurut Menteri Kesehatan Nila
Pendek
A Moeloek dalam Rapat Koordinasi
Kependudukan, Keluarga Berencana Berdasarkan hasil penelitian
dan Pembangunan Keluarga didapatkan
(KKBPK) menjelaskan bahwa Praktik
data bahwa balita sangat pendek
pengasuhan yang tidak baik
yang memiliki riwayat penyakit lebih
merupakan salah satu faktor multi
besar dibandingkan balita sangat
dimensi yang menyebabkan stunting
pendek yang tidak memiliki riwayat
dan intervensi paling menentukan pada
penyakit. Tidak terdapat hubungan
1000 HPK.. sama halnya, menurut
yang signifikan antara riwayat penyakit
Dewan Pembina Perhimpunan Dokter
dengan stunting sangat pendek dan
Gizi Medik Indonesia (PDGMII) Prof
pendek pada balita stunting di
Fasli Jalal menyatakan bahwa
Kecamatan Sawah Besar Kota Jakarta
keterlibatan masyarakat dan
Pusat. Hal ini berbeda dengan hasil
pengetahuan yang benar terhadap
penelitian Aridiyah dkk., (2015)
pola asuh anak memegang kunsi
8
dan Setiawan (2018) yang
utama dalam pencegahan stunting .

menunjukkan bahwa terdapat infeksi yang diderita anak dapat


hubungan antara riwayat penyakit menyebabkan berat badan turun.
infeksi dengan perbedaan sangat Apabila kondisi ini terjadi dalam
waktu yang cukup lama dan tidak
pendek dan pendek.
disertai dengan pemberian asupan yang
cukup untuk proses penyembuhan
Penyakit infeksi disebabkan oleh 3
higiene dan sanitasi yang buruk maka dapat mengakibatkan stunting .
(misalnya diare dan kecacingan) dapat
Penyakit infeksi dapat
menganggu penyerapan nutrisi pada
proses pencernaan. Beberapa penyakit menurunkan asupan makanan,
mengganggu absorbsi zat gizi, yang dengan pola istirahat baik. Tidak
menyebabkan hilangnya zat gizi secara terdapat hubungan yang signifikan
langsung dan meningkatkan kebutuhan
metabolik. Selain itu, terdapat interaksi antara pola istirahat dengan stunting
bolak- balik antara status gizi stunting pada balita stunting di
dengan penyakit infeksi. Malnutrisi Kecamatan Sawah Besar Kota Jakarta
bisa meningkatkan risiko infeksi, Pusat. Penelitian ini sejalan dengan
sedangkan infeksi dapat menyebabkan penelitian Simanjuntak, Herlina dan
terjadinya malnutrisi. Apabila Bayhakki. (2015) yang menunjukkan
kondisi ini terjadi dalam waktu yang bahwa tidak ada hubungan kualitas
cukup lama dan tidak segera diatasi tidur terhadap wasting dan
maka dapat menurunkan asupan Simarmata dkk (2017) yang
makanan dan mengganggu absorbsi
zat gizi, sehingga meningkatkan
13
risiko terjadinya stunting pada balita .

Penyakit infeksi memang


dapat

memengaruhi status gizi seseorang


khususnya anak balita. Pada
umumnya, jika anak terinfeksi
penyakit akan memiliki nafsu makan
yang kurang juga dan secara langsung
menyebabkan asupan makan berkurang
sehingga gizi anak tidak akan bisa
tercukupi. Akan tetapi, penyakit
infeksi dapat memengaruhi stunting
apabila durasi terinfeksinya cukup
lama yang menyebabkan asupan
makan akan terus berkurang dan
menyebabkan anak kekurang zat gizi
untuk tubuhnya.

Hubungan Pola Istirahat dengan


Stunting

Sangat Pendek dan


Pendek

Berdasarkan hasil penelitian


didapatkan data bahwa balita sangat
pendek dengan pola

istirahat kurang lebih besar


dibandingkan balita sangat pendek
menyatakan bahwa tindak ada tidur siang yang tidak selalu
hubungan bermakna antara status gizi dilakukan dan kebiasaan seperti
dengan gangguan tidur. pemadaman lampu saat tidur belum
dilakukan dengan baik.
Menurut Simarmata dkk. (2017),
setiap kategori status gizi
persentase responden dengan
gangguan tidur lebih tinggi Hubungan Aktivitas Fisik dengan
dibandingkan dengan yang tidak Stunting
memiliki gangguan tidur. Faktor-faktor
yang dapat memengaruhi tidur pada Sangat Pendek dan
anak adalah keadaan anak yang Pendek
ketakutan, suara bising, kecemasan
karena merasa terpisah dengan Berdasarkan hasil penelitian
orangtua, dan jika anak dalam keadaan didapatkan data bahwa balita sangat
sakit dapat menjadi faktor yang pendek dengan
19
mengganggu tidur anak .
aktivitas fisik ringan lebih besar
Menurut Hidayat dalam Simarta dibandingkan balita sangat pendek
dkk. (2017), masa kanak-kanak adalah yang dengan aktivitas fisik berat.
waktu pertumbuhan fisiologis dan Tidak terdapat hubungan yang
neurokognitif secara cepat dimana
setiap deskripsi pola tidur harus signifikan antara pola
tercakup. Pola tidur anak mengikuti istirahatdengan
urutan perkembangan yang khas
perbedaan sangat pendek dan pendek
dengan peningkatan bertahap
kedalaman tidurnya dan terjadinya pada balita stunting di Kecamatan
siklus tidur yang teraur. Dalam hal ini Sawah Besar Kota Jakarta Pusat.
mungkin jam tidur dan durasi tidur Berbeda halnya dengan penelitian
pada anak yang memengaruhi Harahap (2015) yang menunjukkan
kualitas tidur yang baik ataupun aktivitas fisik memilki hubungan
19
buruk pada anak . dengan kejadian stunting pada anak.
Berdasarkan hasil Aktivitas fisik sedang memberikan
pengamatan dan efek protektif terhadap kejadian
stunting dibandingkan dengan dengan
wawancara dengan responden, pola
aktivitas fisik tinggi. Keseimbangan
tidur anak di kecamatan Sawah Besar
antara energi yang dikonsumsi dan
sebenarnya sudah cukup baik dan
energi yang dikeluarkan adalah faktor
durasi tidurnya pun sudah lumayan
risiko terjadinya stunting pada anak
cukup. Akan tetapi, untuk hal jam
dengan aktivitas fisik rendah dan
tidur setiap malamnya, intensitas
tinggi. Anak-anak dengan

konsumsi makanan yang rendah maka akan dilakukan pemecahan


diasumsikan tidak mempunyai protein untuk memenuhi kebutuhan
aktivitas yang banyak karena mereka energi. Aktivitas fisik yang cukup dan
tidak mempunyai energi yang cukup sesuai diperlukan selama anak pada
untuk beraktivitas. Anak-anak dengan masa pertumbuhan .
20

aktivitas fisik yang tinggi akan


mengeluarkan banyak energi, jika Usia balita adalah usia yang
konsumsi energi tidak mencukupi cukup aktif,
usia dimana anak suka sekali bermain kegiatan berat lainnya. Aktivitas yang
dengan teman maupun dengan mungkin sekiranya tergolong cukup
mainannya. Akan tetapi, pada usia berat bagi balita adalah main diluar
balita aktivitas yang dapat dikerjakan rumah bersama teman.
sebagian besar termasuk dalam
kategori aktivitas ringan, mereka
belum masuk sekolah dan belum bisa
KESIM
melakukan kegiatan-
PULAN

Tidak ada hubungan antara


usia Ibu,

pendidikan Ibu, status pekerjaan Ibu,


pendapatan keluarga, pengetahuan Ibu,
ragam makanan, riwayat penyakit, pola
istirahat dan akitivtas fisik dengan
stunting sangat pendek dan pendek
pada balita stunting usia 24 bulan-

59 bulan di Kecamatan Sawah Besar


Kota Jakarta Pusat. Ada hubungan
antara ASI eksklusif dan pola asuh
dengan stunting sangat pendek dan
pendek pada anak usia 24 bulan-59
bulan di Kecamatan Sawah Besar Kota
Jakarta Pusat

DAFTAR PUSTAKA Saku Pemantauan Status


Gizi Tahun
1. Kementrian Kesehatan
R. Ini 2017 [Internet]. Hasil
Pemantauan Status Gizi
Penyebab Stunting pada (PSG). 2017. Tersedia
Anak. Biro
pada:
Komun dan Pelayanan Masy http://sehatnegeriku.kemke
[Internet]. 2018;1. Tersedia s.go.id/ba ca/rilis-
pada: media/20170203/0319612/i
http://www.depkes.go.id/artic nilah-
le/view
hasil-pemantauan-
/18052800006/ini- status-gizi-psg-
penyebab-
2
stunting-pada- 0
anak.html 1
6
2. Kementerian Kesehatan R. /
Buku
3. Kementerian Kesehatan RI.
Buletin Situasi Balita Pendek
(Stunting) di Indonesia. Pus Kejadian Stunting pada Balita
Data Inf Kementeri Kesehat (Studi di Wilayah Kerja
Republik Indones. Puskesmas Sumberjambe,
Kasiyan dan Puskesmas
2018;301(5):1 Sumberbaru Kabupaten
163–78. Jember. Indones Jorunal
Heal Sci.
4. Ni ’mah C, Muniroh L.
Hubungan 2018;10(1)
:15–24.
Tingkat Pendidikan, Tingkat
Pengetahuan dan Pola Asuh 7. Dinas Kesehatan Provinsi
Ibu dengan Wasting dan DKI Jakarta. Profil Kesehatan
Stunting pada Balita DKI JAKARTA Tahun 2017
Keluarga Miskin. Media Gizi [Internet]. Profil Kesehatan
Indones. 2015;Vol. 10,:84– DKI Jakarta tahun
90.
2017. 2017. Tersedia
5. Aisyah, Suyatno, pada:
Rahfiludin MZ. https://dinkes.jakarta.go.id/wp
Faktor-faktor yang -
Berhubungan dengan content/uploads/2018/09/PRO
Stunting pada Anak Kelas FIL- KES-DKI-JAKARTA-
Satu di SDI Taqwiyatul TAHUN-
Wathon, Daerah Pesisir Kota 2
Semarang. J Kesehat Masy. 0
2019;7. 1
6. Rahman FD. Pengaruh 7
Pola .
p
Pemberian Makanan d
Terhadap f

8. BKKBN. Peran BKKBN di


Balik

Gerakan Penanggulangan
Stunting. J Kel (Informasi
Kependudukan, KB dan
Pembang Keluarga). 2018;

9. Suku Dinas Kesehatan Jakarta


Pusat.

Rekapan Status Gizi Balita


Berdasarkan EPPGBM
Wilayah Kota Administrasi
Jakarta Pusat. 2018.

10. Pratasis NN, Malonda


NSH, Kapantow NH,
Kesehatan F, Universitas M,
Ratulangi S. Hubungan Antara
Karakteristik Ibu dengan Status
Gizi pada Balita di Desa
Ongkaw Kecamatan
Sinonsayang Kabupaten
Minahasa Selatan. Fak
Kesehat Masy Univ Sam
Ratulangi. 2018;1–9.

11. Hayyudini D, Suyatno,


Dharmawan

Y. Hubungan Karakteristik Ibu,


Pola Asuh dan Pemberian
Imunisasi Dasar terhadap
Status Gizi Anak Usia 12-
24 Bulan (Studi di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang Tahun 2017). J
Kesehat Masy. 2017;5(4):369.

12. Wahdah S, Juffrie M, Huriyati E.

Faktor Risiko Kejadian Stunting Pada Anak Umur 6-36 Bulan Di Wilayah Pedalaman
Kecamatan SIlat Hulu, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. J Gizi dan Diet Indones.

2015;3(2):119–30.

13. Aridiyah FO, Ninna R, Ririanty M.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Stunting pada Anak Balita di Wilayah Pedesaan
dan Perkotaan (The Factors Affecting Stunting on Toddlers in Rural and Urban Areas). e-
Jurnal Pustaka Kesehat.

2015;3(1):163–70.

14. Setiawan E, Machmud R, Masrul.

Faktor-faktor yang Berhubungan

dengan Kejadian Stunting pada Anak Usia 24-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Padang
Timur Kota Padang Tahun 2018. J Fak Kedokt Univ Andalas. 2018;7(2).

15. Hapsari W. Hubungan Pendapatan Keluarga, Pengetahuan Ibu tentang Gizi, Tinggi Badan
Orang Tua dan Tingkat Pendidikan Ayah dengan Kejadian Stunting pada Anak Umur

12-59 Bulan. 2018;(4). Tersedia pada: http://publicacoes.cardiol.br/portal/ijc


s/portugues/2018/v3103/pdf/3103009
.pdf%0Ahttp://www.scielo.org.co/sci elo.php?script=sci_arttext&pid=S012

1-

75772018000200067&lng=en&tlng=

en&SID=5BQIj3a2MLaWUV4OizE

%0Ahttp://scielo.iec.pa.gov.br/scielo. php?script=sci_

16. Tim Nasional Percepatan

Penanggulangan Kemiskinan. 100

Kabupaten/Kota Prioritas untuk Intervensi Anak Kerdil (Stunting). 1 ed. Jakarta:


Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia; 2017.

302 hal.

17. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
2013. Lap Nas 2013.

2013;1–384.

18. Widyaningsih NN, Kusnandar K, Anantanyu S. Keragaman pangan, pola asuh makan
dan kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan. J Gizi Indones. 2018;7(1):22.

19. Simarmata IYS, Mantik MFJ,

Rampengan NH. Hubungan Status Gizi dan Gangguan Tidur pada Anak Sekolah Dasar di
Kecamatan Tikala Manado. 2017;5–10.

20. Harahap H, Sandjaja, Soekatri M.

Kepadatan Tulang, Aktivitas Fisik dan Konsumsi Makanan Berhubungan dengan


Kejadian Stunting pada Anak Usia 6 – 12 tahun. J Gizi Indones. 2015;38(1):1–

8.
Lampiran 2

Hubungan tinggi badan ibu dengan kejadian stunting


pada balita usia 24 -59 bulan

The relationship between mother's height with stunting incidence in


children aged 24-59 months

Enny Fitriahadi

Program Studi Kebidanan Program Sarjana Terapan Fakultas Ilmu

Kesehatan Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta Indonesia

ennyfitriahadi@unisayogya.ac.id*

* corresponding author

Tanggal Submisi: 30 Oktober 2017, Tanggal Penerimaan: 5 Maret 2018

Abstrak

Metode penelitian menggunakan jenis penelitian yang digunakan adalah survei analitik
dengan rancangan penelitian cross-sectional. Sampel sebanyak 95 dengan teknik purposive
sampling. Metode analisa yang digunakan adalah chi-square. Hasil penelitian ibu yang
memiliki tinggi badan pendek dan mempunyai anak stunting di wilayah kerja Puskesmas
Wonosari I sebanyak

68,4% (26) orang. Diharapkan orang tua mampu meningkatkan pengetahuan tentang
pertumbuhan dan perkembangan anak sehingga mengetahui faktor yang mempengaruhi
permasalahan pertumbuhan anak khususnya stunting sehingga dapat mencegah kejadian
stunting.

Kata kunci : tinggi badan ibu; kejadian stunting

Abstract
The purpose of this research is to know the relationship between mother's height with stunting
incidence in children aged 24-59 months in Working Area of Wonosari I Public Health
Center in 2017. The research method used is analytical survey with cross-sectional research
design. The sample is 95 with purposive sampling technique. The analytical method used is
chi-square. Result of research of mother who have short height and have child of stunting in
working area of health center of Wonosari I counted 68,4% (26) person. Expected parents can
increase knowledge about the growth and development of children so knowing the factors
that affect the problem of child growth, especially stunting so as to prevent the occurrence of
stunting.

Keywords: mother's height; stunting event

.
PENDAHULUAN

Gizi buruk menyebabkan terhambatnya pertumbuhan pada anak-anak. Salah satu


masalah pertumbuhan pada balita adalah terhambatnya pertumbuhan tinggi badan anak
sehingga anak tumbuh tinggi tidak sesuai dengan umurnya yang disebut dengan balita pendek
atau stunting (UNICEF, 2012).

Stunting merupakan gangguan pertumbuhan linier yang disebabkan adanya malnutrisi


asupan zat gizi kronis dan atau penyakit infeksi kronis maupun berulang yang ditunjukkan
dengan nilai z- score tinggi badan menurut usia (TB/U) kurang dari –2 standar deviasi (SD)
berdasarkan standar World Health Organization (WHO, 2010). Berdasarkan data Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 diketahui bahwa prevalensi balita stunting di Indonesia
mencapai 35,6% dengan kejadian yang tinggi pada balita usia 24 – 36 bulan (41,4%).
Prevalensi stunting tersebut lebih tinggi dibandingkan angka prevalensi gizi kurang dan buruk
(17,9%), balita kurus (13,3%) serta balita gemuk (14%) (BPPK, 2010). Kondisi stunting pada
masa balita dapat menyebabkan gangguan perkembangan fungsi kognitif dan psikomotor
serta penurunan produktivitas ketika dewasa (Milman et al, 2011).

Kasus stunting pada tahun 2013 di Indonesia mencapai (37,2%), tahun 2010 (35,6%),
dan tahun 2007 (36,8 %). Hal tersebut tidak menunjukkan penurunan yang signifikan.
Sementara itu dari presentase menurut Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki
prevalensi stunting sebanyak 27,2%. Senada dengan itu Kabupaten Gunung Kidul memiliki
prevalensi stunting tertinggi yaitu sebanyak 30,1 % dari seluruh kabupaten di Daerah
Istimewa Yogyakarta (Riskesdas, 2013).

Data prevalensi stunting di Kabupaten Gunung Kidul sangat tinggi dan melebihi rata-
rata provinsi. Selain itu menurut data Riskesdas, prevalensi stunting masih mengalami
kenaikan dan penurunan. Maka hal ini masih menjadi suatu masalah yang perlu untuk
diselesaikan. Pemerintah Indonesia mencanangkan “Gerakan 1.000 Hari Pertama Kehidupan”
pada September 2012 yang dikenal sebagai 1.000 HPK. Tujuan dari gerakan mempercepat
perbaikan gizi untuk memperbaiki kehidupan anak-anak Indonesia di masa mendatang. Selain
itu gerakan ini berfokuskan pada penurunan prevalensi stunting (MCA, 2013).

Faktor penyebab stunting terdiri dari faktor basic seperti faktor ekonomi dan
pendidikan ibu, kemudian faktor intermediet seperi jumlah anggota keluarga, tinggi badan
ibu, usia ibu, dan jumlah anak ibu. Selanjutnya adalah faktor proximal seperti pemberian ASI
ekslusif, usia anak dan BBLR (Darteh et al, 2014).
Dampak dari stunting bukan hanya gangguan pertumbuhan fisik anak, tapi
mempengaruhi pula pertumbuhan otak balita. Lebih banyak anak ber-IQ rendah di kalangan
anak stunting dibanding dengan di kalangan anak yang tumbuh dengan baik. Stunting
berdampak seumur hidup terhadap anak. Stunting memunculkan kekhawatiran terhadap
perkembangan anak-anak, karena adanya efek jangka panjang. Kesadaran masyarakat akan
kasus ini sangat diperlukan. Maka dari itu program Program Kesehatan dan Gizi Berbasis
Masyarakat untuk Mengurangi Stunting (PKGBM) menjadi sangat bermanfaat untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat dalam keikutsertaan menurunkan prevalensi stunting
diIndonesia (Dinkes, 2016). Peran bidan dalam upaya pencegahan stunting adalah dengan
mengontrol remaja putri yang baru menikah sehingga di saat mengandung bisa dilakukan
upaya pemberian informasi lanjut dari upaya-upaya pencegahan stunting agar bayi yang di
kandung akan selalu sehat (Eko, 2015).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan di Puskesmas Wonosari I
didapatkan data jumlah anak balita usia 24-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Wonosari I
sebanyak 582 anak. Kemudian jumlah anak balita usia 24-59 bulan di Desa Duwet dan
Pulutan sebanyak 123 (21,1%) anak. Sementara jumlah anak balita stunting bulan Februari
2016 di wilayah kerja Puskesmas Wonosari I sebanyak 108 (18,5%) anak dan balita stunting
usia 24-

59 bulan pada bulan Februari 2016 di Desa Duwet dan Pulutan sebanyak 19 (15,4%) anak.

Permasalahan stunting merupakan hal yang perlu diperhatikan sehingga akan


memperbaiki kualitas generasi mendatang, selain itu data studi pendahuluan yang telah
dipaparkan menunjukkan bahwa prevalensi stunting di wilayah kerja Puskesmas Wonosari I
masih tinggi. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik
untuk melakukan penelitian hubungan tinggi badan ibu dengan kejadian stunting pada balita
usia 24-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Wonosari I.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian survei analitik yaitu penelitian yang
menggali bagaimana dan mengapa suatu fenomena stunting bisa terjadi. Pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan penelitian cross-sectional yaitu penelitian
analitik yang mempelajari dinamika korelasi antara faktor resiko dengan efek, dengan cara
pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (Notoatmodjo, 2012).

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari obyek atau subyek yang
memiliki kualitas atau karkteristik tertentu yang dipilih oleh peneliti dan ditetapkan sebagai
obyek atau subyek yang akan dipelajari kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi bukan
hanya orang, tetapi juga obyek dan benda-benda alam yang lainnya (Sugiyono, 2016).
Menurut Notoatmodjo (2012) populasi dapat berupa manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan,
benda-benda mati, serta gejala yang terjadi di masyarakat atau di alam. Penelitan ini
menggunakan populasi yang ditetapkan balita usia 24-59 bulan yang terdapat di Desa Duwet
dan Pulutan sebanyak 123 anak.

Tehnik pengambilan sampel menggunakan tehnik sampel non probability sampling


dengan tehnik purposive sampling. Pengambilan sampel secara purposive didasarkan pada
suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan sifat atau ciri
populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Notoatmodjo, 2012). Sampel pada penelitian ini
akan diambil dari Desa Duwet sebanyak 55 sampel dan Desa Pulutan 40 sampel.
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah untuk stunting dilihat dari hasil catatan
kader. Kemudian untuk stunting akan dibandingkan dengan indeks status gizi stunting
menurut Departemen Kesehatan RI dan untuk tinggi badan ibu dilihat dari buku KIA.

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder.
Data primer adalah data yang dikumpulkan oleh peneliti sendiri (Sulistyaningsih, 2012). Data
pada penelitian ini dikumpulkan melalui pengumpulan data secara langsung. Pengumpulan
data dilakukan dengan cara untuk stunting diambil dari hasil catatan kader setempat dan hasil
pengukuran TB/U selanjutnya dilihat dengan menggunakan indeks status gizi stunting
menurut Departemen Kesehatan RI, sedangkan data tinggi badan ibu diambil dari buku KIA
ibu balita.

Analisis bivariate dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan

(Notoatmodjo, 2012). Uji hipotesa yang digunakan dalam penelitian ini adalah chi-square.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis univariat dilakukan untuk menjelaskan dan mendeskripsikan karakteristik


setiap variabel penelitian dan distribusi setiap variabel. Variabel yang diteliti diantaranya
stunting, status ekonomi, usia ibu dan tinggi badan ibu.

Tabel 1. Table Styles


No Karakteristik Responden Frekuensi Presentase (%)
1. Stunting

Tidak Stunting 59 62,1

2. Status Ekonomi

Tinggi 28 29,5

3. Usia Ibu

Resiko Tinggi 15 15,8

4. Tinggi Badan Ibu

Tidak Pendek 57 60,0


Total 95 100
Sumber Data : Data Primer dan Sekunder 2017

Tabel 1 menunjukkan bahwa balita stunting usia 24-59 bulan adalah 37, 9% (36) dan
balita tidak stunting sebanyak 62,1% (59) dari 100% (95) anak kemudian pada variabel status
ekonomi dapat diketahui bahwa yang memiliki status ekonomi yang rendah pada keluarga
balita usia 24-59 bulan adalah 70,5% (67) dan yang masuk kategori status ekonomi tinggi
sebanyak 29,5% (28) dari 100% (95) keluarga. Tabel 1 juga menunjukkan bahwa usia ibu
yang memiliki balita usia 24-59 bulan dengan resiko tinggi adalah 15,8% (15) dan usia ibu
dengan resiko rendah sebanyak 84,2% (80) dari 100% (95).

Ibu yang memiliki balita usia 24-59 bulan dengan tinggi badan pendek sebanyak
40,0% (38) dan ibu yang masuk pada kategori tinggi badan ibu yang tidak pendek sebanyak
60,0% (57) dari 100% (95).

Tabel 2. Hubungan status ekonomi dengan stunting pada balita Usia 24-59 bulan di wilayah
kerja puskesmas Wonosari I
Stunting

Status Ekonomi Tidak Ya P


Value
Rendah (<Rp 1.337.650) 35 52.2 32 47.8
Tinggi (>Rp 1.337.650) 24 85.7 4 14.3 0,002

Total 59 62.1 36 37.9 100

Sumber Data : Data Primer dan Sekunder 2017

Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa keluarga dengan status ekonomi rendah sebanyak

32 memiliki anak stunting (47, 8%), sementara keluarga dengan status ekonomi tinggi
sebanyak 4 memiliki anak stunting (14,3%). Hasil uji statistik dengan chi-square diketahui
nilai
p< 0,05 (0,002<0,05) sehingga dapat dinyatakan bahwa ada hubungan antara status ekonomi
dengan stunting pada balita usia 24-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Wonosari I.

Tabel 3. Hubungan usia ibu dengan stunting pada balita usia 24-59 bulan di wilayah kerja puskesmas

Wonosari I

Stunting

Jumlah % Jumlah % Total Value


Resiko Tinggi (< 19 th/>35th) 6 40,0 9 60,0
Resiko Rendah (>19 th/<35th) 53 66,3 27 33,8 0,081
Total 59 37,9 36 62,1 100
Sumber Data : Data Primer dan Sekunder 2017

Tabel 4 diketahui bahwa tinggi badan ibu dengan kategori pendek sebanyak 68,4 (26)
ibu memiliki anak stunting. Menurut hasil uji statistik menggunakan chi-squaredidapatkan
nilai p 0,000 (p<0,05) sehingga dapat dinyatakan bahwa ada hubungan antara tinggi badan
ibu dengan stunting pada balita usia 24-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Wonosari I.

1. Status Ekonomi

Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa terdapat hubungan antara status ekonomi dengan
stunting. Keluarga dalam kategori status ekonomi yang rendah yaitu dengan jumlah
pendapatan perbulan <UMK Gunung Kidul Rp 1.337.650 memiliki anak stunting sebanyak
47, 8% (32), sementara keluarga dengan status ekonomi kategori tinggi yaitu keluarga
yang memiliki pendapatan >UMK Gunung Kidul Rp 1.337.650 mempunyai anak stunting
sebanyak 14,3% (4). Selain itu, pada kategori status ekonomi rendah yang memiliki anak
tidak stunting sebanyak 52,2% (35) dan kategori status ekonomi tinggi yang memiliki anak
tidak stunting sebanyak 85,7 % (24). Kemudian didukung dengan hasil uji statistik yang
menunjukkan bahwa nilai p 0,002 (p<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan
antara status ekonomi dengan stunting pada balita usia 24-59 bulan diwilayah kerja
Puskesmas Wonosari I.

Kondisi sosial ekonomi juga dapat mempengaruhi status gizi balita. Penelitian ini,
faktor sosial ekonomi yang dianalisis adalah pendidikan orang tua. Hasil analisi bivariat
menunjukkan balita stunting memiliki orang tua yang tingkat pendidikan sebagian besar
adalah Sekolah Dasar. Hasil ini didukung penelitian Medhin (2010) yang menyatakan
pendidikan orang tua berpengaruh terhadap kejadian stunting. Tingkat pendidikan akan
memudahkan seorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikan
dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari. Menurut Girna (2002) disebutkan bahwa
pendidikan yang tinggi biasanya terkait dengan pendapatan keluarga dan pola pengasuhan
anak seperti penggunaan garam beryodium,kapsul vitamin A, imunisasi anak, penggunaan
jamban tertutup dan pemanfaatan layanan kesehatan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Al-Anshory (2013) sejalan dengan penelitian ini
bahwa keluarga yang memiliki status ekonomi yang rendah anaknya mempunyai faktor resiko

11,8 kali mengalami stunting. Status ekonomi berkaitan dengan pemilihan makanan yang
dikonsumsi oleh keluarga. Keluarga yang status ekonominya rendah akan memiliki sedikit
kesempatan untuk memperhatikan kualitas dan variasi makanannya. Sebaliknya dengan
keluarga yang memiliki status ekonomi tinggi akan lebih cenderung memiliki kesempatan
memilih variasi makanan dan mempertimbangkan kualitas makanannya.
Status ekonomi keluarga yang rendah akan mempengaruhi pemilihan makanan yang
dikonsumsi sehingga biasanya menjadi kurang bervariasi dan sedikit jumlahnya terutama
pada bahan pangan yang berfungsi untuk pertumbuhan anak seperti sumber protein, vitamin
dan mineral, sehingga meningkatkan risiko kurang gizi. Hal ini menjadi salah satu faktor
penyebab terjadinya stunting (Kusuma, 2013). Hasil penelitian ini juga sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Akombi, 2017 bahwa anak yang berasal dari keluarga
menengah ke bawah cenderung beresiko mengalami stunting.

Kemudian menurut Anugraheni (2012) faktor ekonomi pada kelompok stunting pada
penelitiannya juga berpengaruh terhadap higyene dan sanitasi yang rendah. Anak yang
tinggal di sanitasi yang rendah akan lebih rawan terkontaminasi bakteri.

Pendapatan orang tua mempengaruhi status ekonomi pada suatu keluarga. Sehingga
demi terwujudnya status ekonomi yang baik, sebagai orang tua diharuskan dapat terus
meningkatkan usahanya sehingga dapat memberikan kesejahteraan bagi anggota keluarganya
terlebih bagi anak-anaknya. Al-Qur’an menjelaskan dalam surat At-Tahrim ayat 6 :

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat
yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (Q.S.At-Tahrim:6).

Keluarga adalah wadah yang sangat penting diantara dua individu dan masyarakat dan
menjadi kelompok sosial pertama dimana anak-anaknya menjadi anggotanya, dan orang tua
sebagai pemimpinnya yang bertanggung jawab atas kesejahteraan anak-anaknya didunia dan
keselamatan diakhirat. Maka orang tua wajib memberikan segala hal yang terbaik bagi anak-
anaknya termasuk memberikan makanan yang berkualitas demi terwujudnya anak-anak yang
berkembang dengan optimal dan sejahtera.
2. Usia Ibu

Berdasarkan data pada tabel 2 dapat diketahui bahwa usia ibu dengan kategori resiko
tinggi yang memiliki anak stunting sebanyak 60% (9) dan usia ibu dengan kategori rendah
yang memiliki anak stunting sebanyak 33,8% (27). Jumlah anak stunting lebih didominasi
oleh ibu dengan kategori usia resiko rendah. Penelitian ini didapatkan p value dari uji statistik
0,081 (p>0,05) dan diartikan bahwa usia ibu tidak memiliki hubungan dengan stunting pada
balita usia 24-59 bulan diwilayah kerja Puskesmas Wonosari I.

Penelitian yang dilakukan oleh Candra (2011) sejalan dengan penelitian ini
bahwa faktor usia ibu tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan stunting. Hal ini
dibuktikan hasil dari uji statistik pada penelitian tersebut nilai p 1,00 (p>1,00) sehingga Ho
diterima dan Ha ditolak atau tidak ada hubungan.
Penelitian yang dilakukan oleh Fall dkk (2015) bahwa ibu yang berusia <19 tahun
ketika hamil berpotensi 1.46 kali meningkatkan kejadian stunting dan ibu yang berusia >35
tahun berpotensi 0.46 kali meningkatkan kejadian stunting. Usia ibu terlalu muda atau terlalu
tua pada waktu hamil dapat menyebabkan stunting pada anak terutama karena pengaruh
faktor psikologis.

Usia ibu dianggap lebih berperan pada segi psikologis. Ibu yang terlalu muda biasanya
belum siap dengan kehamilannya dan tidak tahu bagaimana menjaga dan merawat kehamilan.
Sedangkan ibu yang usianya terlalu tua biasanya staminanya sudah menurun dan semangat
dalam merawat kehamilannya sudah berkurang. Faktor psikologis sangat mudah dipengaruhi
oleh faktor lain (Candra, 2011).

Penelitian ini usia ibu tidak ada hubungan dengan stunting. Hal ini didukung oleh
distribusi frekuensi usia ibu beresiko tinggi pada penelitian ini hanya 15, 8% sehingga usia
ibu beresiko rendah lebih banyak yaitu sebanyak 84,2%. Hal ini disebabkan karena para ibu
tersebut kemungkinan tidak mengalami masalah psikologis seperti yang telah diuraikan di
atas dan sebagian besar usia ibu dalam penelitian ini beresiko rendah.

3. Tinggi Badan Ibu

Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa jumlah ibu dengan kategori tinggi badan pendek
dan memiliki anak stunting sebanyak 68,4% (26) sementara jumlah ibu dengan kategori tidak
pendek yang memiliki anak stunting sebanyak 17,5% (10). Secara statistik diketahui bahwa
tinggi badan ibu berhubungan dengan stunting. Hal ini dibuktikan dengan nilai p 0,000
(p<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa Ha diterima dan Ho ditolak atau terdapat
hubungan antara tinggi badan ibu dengan stunting pada balita usia 24-59 bulan di wilayah
kerja Puskesmas Wonosari I.

Menurut penelitian Amin (2014) bahwa Hasil uji bivariat menunjukkan bahwa
variabel bebas yaitu tinggi badan ibu (p=0,01) menunjukkan hubungan yang signifikan
terhadap kejadian stunting. Hasil uji multivariat pun membuktikan bahwa variabel yang
paling berpengaruh dengan stunting yaitu tinggi badan ibu. Variabel pekerjaan, pendidikan,
pendapatan dan pengeluaran, jumlah anggota keluarga, dan tinggi badan ibu tidak
menunjukkan hasil yang bermakna terhadap kejadian stunting.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitan yang dilakukan oleh Zottarelli (2014) di
Mesir bahwa ibu yang memiliki tinggi badan <150 cm lebih beresiko memiliki anak stunting
dibandingkan ibu dengan tinggi badan >150 cm. Selain itu menurut Naik R & R Smith, 2015
bahwa perempuan yang sejak kecil mengalami stunting maka akan tumbuh dengan berbagai
macam gangguan pertumbuhan termasuk gangguan reproduksinya, komplikasi selama
kehamilan, kesulitan dalam melahirkan, bahkan kematian perinatal. Ibu dengan stunting akan
berpotensi melahirkan anak yang akan mengalami stunting dan hal ini disebut dengan siklus
kekurangan gizi antar generasi.

Tinggi badan orang tua berhubungan dengan pertumbuhan fisik anak. Ibu yang pendek
merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting (Zottarelli, 2014).
Hasil analisis bivariat dan multivariat menunjukkan bahwa tinggi badan ibu dan tinggi badan
ayah merupakan faktor risiko kejadian stunting pada balita usia 24–36 bulan. Hasil ini sejalan
dengan penelitian di Tangerang yang menunjukkan bahwa anak yang dilahirkan dari ibu atau
ayah pendek berisiko menjadi stunting. Salah satu atau kedua orang tua yang pendek akibat
kondisi patologi (seperti defisiensi hormon pertumbuhan) memiliki gen dalam kromosom
yang membawa sifat pendek sehingga memperbesar peluang anak mewarisi gen tersebut dan
tumbuh menjadi stunting. Akan tetapi, bila orang tua pendek akibat kekurangan zat gizi atau
penyakit, kemungkinan anak dapat tumbuh dengan tinggi badan normal selama anak tersebut
tidak terpapar faktor risiko yang lain (Rahayu, 2011). Jadi kesimpulannya Ibu yang pendek,
ayah yang pendek, tingkat pendidikan ayah yang rendah dan pendapatan perkapita yang
rendah merupakan faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian stunting pada
balita usia

24 – 36 bulan (Nasikhah, 2012).

Penelitian lain yang mendukung yaitu penelitian yang dilakukan oleh Kartikawati
(2011) yang menyatakan bahwa faktor genetik pada ibu yaitu tinggi badan berpengaruh
terhadap kejadian stunting pada anak balita. Tetapi hal ini tidak berlaku apabila sifat pendek
orangtua disebabkan karena masalah gizi atau patologis yang dialami orang tua. Sehingga, hal
tersebut tidak akan berpengaruh terhadap tinggi badan anak.

Penelitian ini ibu yang memiliki tinggi badan pendek sebanyak 68,4 (26) memiliki
anak stunting. Tetapi terdapat 31,6 % (12) responden yang memiliki tinggi badan pendek
tetapi tidak memiliki anak stunting. Hal ini dapat dikarenakan tinggi badan ibu yang pendek
disebabkan oleh faktor masalah gizi yang dialami ibunya. Sehingga, hal tersebut tidak akan
berpengaruh terhadap tinggi badan anaknya.

SIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan diwilayah kerja Puskesmas Wonosari I pada


tahun 2017 dapat ditarik kesimpulan bahwa status ekonomi responden yang berada di bawah
UMK di wilayah kerja Puskesmas Wonosari I sebanyak 70,5% (67), Ibu yang memiliki tinggi
badan pendek dan mempunyai anak stunting di wilayah kerja Puskesmas Wonosari I
sebanyak

68,4% (26) orang, Usia ibu yang beresiko tinggi dan memiliki anak stunting di wilayah kerja

Puskesmas Wonosari I sebanyak 60% (9) orang.

SARAN
Bagi orang tua diharapkan orang tua mampu meningkatkan pengetahuan tentang
pertumbuhan dan perkembangan anak sehingga mengetahui faktor yang mempengaruhi
permasalahan pertumbuhan anak khususnya stunting sehingga dapat mencegah kejadian
stunting.

DAFTAR PUSTAKA

Akombi J.B, Agho E.K, Hall J.J, Merom D,Astell-Burt T,Renzaho N.M.A. (2017). Stunting
And Severe Stunting Among Children Under-5 Years In Nigeria: A Multilevel Analysis.
BMC Pediatrics. DOI 10.1186/s12887-016-0770-z

Al-Anshory Husein. (2013). Faktor Resiko Kejadian Stunting Pada Anak Usia 12-24 Bulan di

Kecamatan Semarang Timur. Fakultas Ilmu Kedokteran.Universitas Diponegoro

Amin & Julia. (2014). Faktor Sosiodemografi Dan Tinggi Badan Orang Tua Serta

Hubungannya Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Usia 6-23 Bulan. Volume 2, Nomor

3, September 2014

Anugraheni S. Hana. (2012). Faktor Resiko Kejadian Stunting PAda Anak Usia 12-36 Bulan
di Kecamatan Pati Kabupaten Pati. Fakultas Ilmu Kedokteran.Universitas Diponegoro

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. (2010). Laporan
hasil Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta.

Candra Aryu. (2011). Hubungan Underlying Factors Dengan Kejadian Stunting Pada Anak

1-2 Th. Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

Darteh E.K., Acquah E. dan Kyereme A.K. (2014). Correlates of Stunting among children in

Ghana terdapat dalam Jurnal BMC Public Health 2014, 14:504

Departemen Agama RI. (2014). Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: Toha Putra

Dinkes. (2016). Pusat Data dan Informasi terdapat dalam


http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/situasi-balita pendek-

2016.pdf diakses pada tanggal 26 Januari 2016 pukul 14.22 WIB

Eko Dardirdjo. (2015). Sinergitas Kua, Bidan, Puskesmas Dalam Penurunan Angka Stunting.

Terdapat dalam Celoteh Larangan Jurnalis Warga http://celotehlarangan.com/sinergitas-


kua-bidan-puskesmas-dalam-penurunan-angka-stunting/ diakses pada tanggal 2 Maret

2017 pukul 16.27 WIB

Fall, Caroline H. D., Harshpal Singh Sachdev, Clive Osmond, et al.

(2015). Association between Maternal Age at Childbirth and Child and Adult Outcomes in the
Offspring: A Prospective Study in Five Low-Income and Middle-Income Countries
(COHORTS Collaboration). Lancet Glob. Health 3(7): e366–e377 diakses pada tanggal

10 April 2017 pukul 11.10 WIB

Girma W, Ganebo T. 2002. Determinants of Nut- ritional Status of Woman and Children in

Ethiopia. Calverton, Maryland, USA: ORCMacro


Kartikawati P. R. (2011). Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Stunted Growth Pada Anak
Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Arjasa Kabupaten Jember. Universitas Jember:
Jember

Kusuma, K. E. (2013). Faktor Risiko Kejadian Stunting pada Anak Usia 2-3 Tahun ( Studi di
Kecamatan Semarang Timur ). Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro Semarang

MCA-Indonesia. (2013). Stunting dan Masa Depan Indonesia terdapat dalam www.mca-
indonesia.go.id diakses pada tanggal 28 Desember 2015 pukul 09.05 WIB

Medhin G, Hanlon C, Dewey M, Alem A,Tesfaye F, Worku B et al. (2010). Prevalence and
predictors on undernutrition among infan- ts aged six and twelve month in Butajira,
Ethiopia: The P- MaMiE Birth Cohort. BMC Public Health.

Nasikhah, R & Margawati, A. (2012). Faktor Risiko Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24 –
36 Bulan Di Kecamatan Semarang Timur. Journal of Nutrition College, Volume 1,
Nomor
1, Tahun 2012, Halaman 176-184 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jnc

Notoatmodjo S. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Penerbit Rineka Cipta: Jakarta

Rahayu A. dan Khairiyati L. (2011). Risiko Pendidikan Ibu Terhadap Kejadian Stunting Pada
Anak 6-23 Bulan (Maternal Education As Risk Factor Stunting Of Child 6-23 Months-
Old) terdapat dalam Jurnal Penelitian Gizi Makan, Desember 2014 Vol. 37 (2): 129-136

Riskesdas. (2013). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan


Republik Indonesia Tahun 2013 terdapat dalam
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%202013.pdf
Sugiyono. (2016). Metodologi Penelitian Kebidanan Kuantitatif, Kualitatif dan

R&D.Bandung: Penerbit Alfabeta

Sulistyaningsih. (2012). Metodologi Penelitian Kebidanan Kuantitatif-Kualitatif. Yogyakarta:


Graha Ilmu

UNICEF. (2012). Indonesia Laporan Tahun 2012. UNICEF: Jakarta

WHO. (2010). Nutrition Landscape Information System (NLIS) Country Profile Indicators:
Interpretation Guide. Switzerland:WHO press.

Zottarelli LK, Sunil TS, Rajaram S. (2014). Influence of Parental and Socioeconomics Factors
on Stunting in Children Under 5 Years in Egypt. Eastern Mediterranean Health Journal.
Terdapat dalam http://www.emro.who.int/emhj/1306 diakses pada tanggal 10 April 2017
pukul 14.30 WIB

Lampiran 3
Rr Dewi Ngaisyah dkk, Hubungan Tinggi Badan Orang Tua dengan..... 49

HUBUNGAN TINGGI BADAN ORANG TUA


DENGAN KEJADIAN STUNTING

Rr Dewi Ngaisyah , Septriana

Universitas Respati Yogyakarta, Caturtunggal Depok Sleman Yogyakarta

email: dewi.fikes@yahoo.co.id

Abstrak: Hubungan Tinggi Badan Orang Tua dengan Kejadian Stunting. Prevalensi stunting di Indone-
sia meningkat pada tahun 2010 mencapai 35,6% menjadi 37,2% pada tahun 2013. Salah satu faktor penentu
terjadinya stunting yaitu status gizi dan kesehatan orang tua, terlihat dari indikator tinggi badan ayah dan tinggi
badan ibu yang diwariskan kepada anaknya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tinggi badan
orang tua dengan kejadian stunting. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan cross
sectional, dilaksanakan pada bulan Maret sampai Oktober 2016. Populasi berjumlah 2310 balita dengan meng-
gunakan cluster random sampling peneliti memperoleh 110 balita yang digunakan sebagai sampel. Data tinggi
badan orang tua diperoleh dengan cara pengukuran TB menggunakan microtoise ketelitian 0,1 cm dan kejadian
stunting diperoleh dengan pengukuran tinggi badan atau panjang badan balita menggunakan stadiometer
SECA ketelitian 0,1 cm. Pengukuran TB orang tua dan anak dilakukan secara bersamaan. Pengumpulan data
dilakukan oleh peneliti dibantu oleh empat orang enumerator. Analisis data menggunakan uji chi square. Hasil
penelitian diperoleh prevalensi ayah pendek sebesar 28,2%, prevalensi ibu pendek sebesar 29,09% dan kejadian
stunting balita 48,2%. Dari hasil uji bivariat tidak ada hubungan tinggi badan orang tua dengan kejadian
stunting, hasil uji chi square antara tinggi badan ayah dengan kejadian stunting (p-value 0,507) dan tinggi
badan ibu dengan kejadian stunting (p-value 0,195). Diperlukan program berupa peningkatan edukasi
khususnya pada keluarga yang memiliki pendidikan rendah dalam rangka mempersiapkan 1000 hari kehidupan
pertama.

Kata Kunci: stunting, tinggi badan ibu, tinggi badan ayah, tinggi badan orang

Abstract: The Relationship between Parents’ Height and Stunting Genesis. The prevalence of stunting in
Indonesia increased in 2010 and reached 35.6% to 37.2% in 2013. One of the factors in determining the occur-
rence of stunting is the parents’ nutritional status and health, seen from parents’ height indicator who is passed on
to their son. This study aims to determine the relationship between parents’ height and the incidence of stunting.
This study was an observational study with cross sectional approach, conducted in March and October 2016. The
population amounted 2310 toddlers by using cluster random sampling and the researcher obtained 110 toddlers
that were used as the sample. Data of parents’ height were obtained by using microtoise height measurement with
th accuracy of 0,1cm and the incidence of stunting was obtained by measuring the height or body length of a
toddler by using SECA stadiometer with the accuracy of 0,1cm. Measurement on parents’ and children’s height
were done together. Data collection was conducted by the researcher assisted by four enumerators. Data analysis
used chi square test. The results was obtained by the prevalence of short fathers of 28.2%, the prevalence of short
mothers of 29.09% and 48.2% incidence of infants stunting. From the bivariate test results there is no correlation
between parents’ height and the incidence of stunting, the chi square test results between father’s height with the
incidence of stunting (p-value 0.507) and the mother’s height with the incidence of stunting (p-value 0.195). It is
required a program that includes the increasing of education, especially in families with low education in order to
prepare the first 1,000 days of life.

Keywords: stunting, mother’s height, father’s height, height of parents

49

pertama bayi yang dilahirkannya, merupakan


Keberhasilan pembangunan suatu bangsa periode sensitif karena akibat yang ditimbulkan
ditentukan oleh ketersediaan sumber daya ma- terhadap bayi pada masa ini akan bersifat
nusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang permanen dan tidak dapat di- koreksi
memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, (KEMENKES, 2012). Dampak tersebut tidak
kesehatan yang prima, serta cerdas. Bukti empi- hanya pada pertumbuhan fisik, tetapi juga pada
ris menunjukkan bahwa hal ini sangat ditentukan perkembangan mental dan kecerdasannya, yang
oleh status gizi yang baik, dan status gizi yang pada usia dewasa terlihat dari ukuran fisik yang
baik ditentukan oleh jumlah asupan pangan yang tidak optimal serta kualitas kerja yang ti- dak
dikonsumsi. Apabila gizi kurang dan gizi buruk kompetitif yang berakibat pada rendahnya
terus terjadi dapat menjadi faktor penghambat produktivitas ekonomi (BAPPENAS, 2012).
dalam pembangunan nasional (UNICEF, 1990). Masa balita, yakni usia 1 - 59 bulan adalah usia
dalam daur kehidupan dimana pertumbuhan ti-
Status gizi dan kesehatan ibu dan anak dak sepesat pada masa bayi, tetapi aktivitasnya
sebagai penentu kualitas sumber daya manusia, banyak. Masa ini juga dinyatakan sebagai masa
semakin jelas dengan adanya bukti bahwa status kritis dalam rangka mendapatkan sumber daya
gizi dan kesehatan ibu pada masa prahamil, saat manusia yang berkualitas, terlebih pada periode
kehamilannya dan saat menyusui merupakan pe- dua tahun pertama merupakan masa emas untuk
riode yang sangat kritis (Madianti, 2013). pertumbuhan dan perkembangan otak yang opti-
Periode seribu hari, yaitu 270 hari selama mal, oleh karena itu pada masa ini perlu perhatian
kehamilannya dan 730 hari pada kehidupan yang serius (Azwar, 2004).
Beberapa ahli berpendapat bahwa
ukuran fisik, termasuk tubuh pendek, gemuk dan Menular (PTM) disebabkan terutama oleh faktor
bebe- rapa penyakit tertentu khususnya Penyakit genetik (Barker, 1995). Dengan demikian ada
Tidak anggapan tidak banyak yang dapat dilakukan
untuk memperbaiki atau mengubahnya. Namun
berbagai bukti ilmiah dari banyak penelitian dari
lembaga riset gizi dan kesehatan terbaik di du-
nia telah mengubah paradigma tersebut. Ternyata
tubuh pendek, gemuk, PTM dan beberapa indi-
kator kualitas hidup lainnya, faktor penyebab ter-
penting adalah lingkungan hidup sejak konsepsi
sampai anak usia dua tahun yang dapat dirubah
dan diperbaiki (Barker, 1995).

Menurut Milman et al. (2005), kondi-


si stunting pada masa balita dapat menyebabkan
gangguan perkembangan fungsi kognitif dan psi-
komotor serta penurunan produktivitas ketika
dewasa. Kusharisupeni (2008) menyatakan pula
beberapa faktor yang diduga berhubungan dengan
kejadian stunting pada balita antara lain berat ba-
dan lahir, riwayat infeksi balita, riwayat penyakit
kehamilan, tinggi badan orang tua, dan faktor
sosi- al ekonomi. Tinggi badan orang tua
berhubungan dengan pertumbuhan fisik anak.
Ibu yang pen- dek merupakan salah satu satu
faktor yang berhu- bungan dengan kejadian
stunting (Kusharisupeni,

2008). Pada balita tinggi badan dipengaruhi oleh


faktor genetik dan lingkungan selama periode
pertumbuhan. Kegagalan pertumbuhan linear se-
bagian besar disebabkan pada periode intrauterin
dan beberapa tahun pertama kehidupan adalah
disebabkan oleh asupan yang tidak memadai dan
sering terjadi infeksi (Shrimpton et al., 2001).

Hal ini diperkuat dengan pernyataan


Black et al. (2008) bahwa tinggi badan ibu yang
pendek dan gizi ibu yang buruk berhubungan de-
ngan peningkatan risiko kegagalan pertumbuh-
an intrauterine. Dalam meningkatkan kualitas
kesehatan anak, perlu dilakukan upaya yang
berkesinambungan pada setiap siklus kehidupan
manusia (continuum of care), yang meliputi
masa reproduksi, masa hamil, neonatal, bayi,
balita, anak prasekolah, masa sekolah dan
remaja (BAP-
PENAS, 2010). Menurut Timreck (2005), sta- Data Riskesdas 2013 menunjukkan ke-
tus gizi anak juga dipengaruhi oleh beberapa cenderungan proporsi balita dengan gizi kurang
faktor, salah satunya adalah faktor keluarga yang
mana ibu memegang peran paling tinggi dalam
pengasuhan anak. Pengasuhan yang baik sangat
penting untuk menjamin tumbuh kembang anak
yang optimal. Oleh karenanya, pengasuhan yang
kurang baik dapat menyebabkan anak memiliki
status gizi kurang (Timreck, 2005).

Berdasarkan data Riset Kesehatan Da-


sar (Riskesdas) 2010, diketahui bahwa prevalen-
si balita stunting di Indonesia mencapai 35,6%
dengan kejadian yang tinggi pada balita usia 24

- 36 bulan 41,4%. Prevalensi stunting tersebut


lebih tinggi dibandingkan angka prevalensi gizi
kurang dan buruk 17,9%, balita sangat kurus dan
kurus 13,3%, serta balita gemuk 14%. Data dari
Riskesdas 2013 juga menunjukkan hasil bahwa
prevalensi stunting pada balita meningkat men-
jadi 37,2%. Begitu pula dengan gizi kurang dan
buruk yang juga meningkat menjadi 19,5%. Na-
mun, untuk balita sangat kurus dan kurus sudah
mengalami penurunan menjadi 12,1% dan
gemuk

11,9%. Status gizi balita berdasarkan berat badan


menurut umur (BB/U) pada tahun 2010 untuk
wi- layah DIY yakni, gizi buruk 1,4%, gizi
kurang

9,9%, gizi baik 81,5%, dan gizi lebih 7,3%. Pre-


valensi status gizi balita berdasarkan tinggi ba-
dan menurut umur (TB/U) di DIY yakni, sangat
pendek 10,2%, pendek 12,3%, normal 77,5%.
Prevalensi status gizi balita berdasarkan berat
badan menurut tinggi badan (BB/TB) sangat ku-
rus 2,6%, kurus 6,5%, normal 77,3%, dan gemuk

13,6% (Riskesdas, 2013).


“non-public health problem” menurut WHO lakukan di Desa Kanigoro, Saptosari, Gunung Ki-
yai- tu 10,0% dan untuk masalah kependekan dul, Yogyakarta pada bulan Maret - Oktober
sebesar 2016. Populasi pada penelitan ini adalah semua
Balita yang berada di Desa Kanigoro, Saptosari,
20%, maka semua provinsi masih dalam kondisi
Gunung Kidul, Yogyakarta berjumlah 2310
bermasalah kesehatan masyarakat. Berdasarkan
Balita. Sampel yang diteliti adalah orang tua
uraian di atas, peneliti tertarik untuk
balita (Ayah dan Ibu kandung balita) dengan
meneliti:
menggunakan teknik sampling cluster random
1) Bagaimana prevalensi kejadian pendek pada sampling, yaitu peng- ambilan sampel secara
ayah; 2) Bagaimana prevalensi kejadian pendek gugus diperoleh seba- nyak 110 balita yang
pada ibu; 3) Bagaimana prevalensi kejadian digunakan sebagai sampel. Gugus yang
stunting pada balita; 4) Bagaimana hubungan digunakan dalam penelitian adalah dusun, terdiri
kondisi tinggi badan Ayah dengan kejadian dari sepuluh dusun. Berikut distri- busi subjek
stun- ting; 5) Bagaimana hubungan kondisi menurut dusun disajikan pada tabel 1. di bawah
tinggi ba- dan ibu dengan kejadian stunting. ini:

METOD Tabel 1. Distribusi Subjek menurut Dusun


Dusun N n
E Dusun Mendak 263 13
Jenis penelitian ini adalah penelitian epi- Dusun Gebang 157 7
demiologi analitik yang bersifat observasional
Dusun Widoro 204 10
dengan pendekatan cross sectional. Penelitian di-
Dusun Kanigoro 251 12

dan pendek prevalensinya semakin meningkat Dusun Gedang Klutuk 283 13


apabila dibandingkan dengan data Riskesdas Dusun Ngresik 226 11
Dusun Bengkak 307 15
2010. Berbeda dengan proporsi balita kurus Dusun Klumpit 133 6
yang prevalensinya sudah menurun. Namun Dusun Kranon 189 9
badan menggunakan
Dusun Sawah microtoice.
297Pengukuran
14 TB
Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti Jumlahmenggunakan 2310
atau PB balita 110SECA
stadiometer
miliki prevalensi berat kurang masih diatas batas
dibantu dengan empat orang enumerator yang me- ketelitian 0,1 cm. Penggunaan alat microtoice de-
rupakan mahasiswa program studi Gizi Universi- ngan cara ditempelkan didinding yang tegak lurus
tas Respati Yogyakarta. Enumerator telah menda- dengan lantai yang datar rata. Pengukuran TB
patkan pelatihan terlebih dahulu sebelum bekerja posisi subjek berdiri tegak dengan kepala ba-
sehingga memiliki kemampuan yang sama dengan gian belakang, punggung, pantat dan tumit me-
peneliti. Proses pengumpulan data dilakukan de- nempel didinding. Pengukuran PB menggunakan
ngan cara wawancara terstruktur menggunakan alat stadiometer SECA yang diletakkan dilantai
kuesioner untuk menggali data identitas respon-
den. Proses pengumpulan data tinggi badan ibu
dan ayah diperoleh dengan cara mengukur tinggi
SD 60 54,56%
SMP 39 35,45%
Sistem Pendidikan Nasional mewajibkan SMA 9 8,18%
masyarakat memiliki pendidikan dasar sembilan S1 2 1,81%
Jumlah 110 100%
tahun. Pada Penelitian ini dijumpai bahwa sebagi-
an besar Ayah Balita di Desa Kanigoro, Saptosari,
Gunung kidul masih berpendidikan Sekolah Da-
sar (SD) yakni sebesar 70 orang (63,64%). Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa
sebagian besar pendidikan Ibu Balita adalah Se-
kolah Dasar yakni sebanyak 60 orang (54,56%)
sama seperti pendidikan ayah.
Tabel 3. Karakteristik Subjek menurut Pendi-
dikan Ibu

Pendidikan Ibu n %
Tabel 4. Karakteristik Subjek menurut Umur

yang datar rata dan posisi subjek yang diukur Mean Minimal -
Umur SD al
Median Maksim
adalah berbaring. Pengukuran TB dilakukan seca- Ayah 7,66
ra bergantian yakni TB Ayah, TB Ibu dan TB/PB (Tahun) 31
balita. Pengumpulan data dikerjakan dengan cara Ibu 28 7,25 17 - 48
(Tahun)
mengunjungi rumah subjek. Penentuan status gizi
Balita 27
balita dihitung berdasarkan indeks TB/U yang di- (Bulan)
bandingkan dengan nilai standar (z-score) dengan 29 15,03 2 - 59

29

menggunakan baku antropometri balita (Kemen-


kes RI 2010). Analisis data dengan menghitung Penghitungan usia berdasarkan ketentuan
prevalensi dan melakukan uji bivariat menggu- dari Puslitbang Gizi Bogor, yaitu menggunakan
nakan uji chi-square. ketentuan umur tahun penuh untuk penghitungan
usia ayah dan ibu balita. Sedangkan penghitungan
umur balita menggunakan ketentuan umur bulan
penuh. Pada tabel 4. di atas terlihat bahwa dari
HASIL DAN PEMBAHASAN 110 subjek yang telah diobservasi rata-rata usia
HASIL Ayah Balita adalah 32 ± 7,66 tahun, rata-rata
Usia Ibu Balita adalah 28 ± 7,25 tahun.
Tabel 2. Karakteristik Subjek menurut Pendi-
Sedangkan menu- rut umur Subjek Balita yang
dikan Ayah digunakan didalam penelitian ini rentangnya
Pendidikan Ayah n %
SD 70 63,64% cukup lebar yakni pada rentang usia 2 sampai 56
SMP 26 23,64% bulan.
SMA 13 11,82%
S1 1 0,9%
Tabel 5.Jumlah
Prevalensi Tinggi
110 badan orang
100%
tua dengan Kejadian Stunting Hasil persentase distribusi status gizi bali-
BalitaBadan
Tinggi n % ta ini cenderung sama seperti persentase menurut
data Riskesdas 2010 di wilayah DIY yang mana
Ayah balita dengan status gizi salah satunya yakni sta-
(Tahun)
Normal 79 71,8% tus gizi pendek persentasenya cukup tinggi yakni
Ibu (Tahun) 22,5%. Begitu pula pada penelitian ini dijumpai
Pendek 32 29,09%
yang mempengaruhi yakni faktor internal seper-
ti perbedaan ras atau bangsa, keluarga, umur,
jenis kelamin, kelainan genetika dan kelainan
kromosom. Faktor eksternal seperti asupan ma-
Prevalensi kejadian stunting pada ba-
kan balita, penyakit kronis, lingkungan fisik dan
lita berdasarkan tabel 5. terlihat cukup tinggi
kimia, psikologis, endokrin, sosio ekonomi, stimu-
yakni sebesar 48,2%. Sedangkan prevalensi ayah
lasi serta obat-obatan.
pendek 28,2%, dan prevalensi ibu pendek sebesar

29,09%. Dari hasil penelitian terlihat proporsi ba-


lita pendek sebesar 48,2%. Menurut Supariasa et
al (2002), tinggi badan merupakan antropometri
yang menggambarkan keadaan pertumbuhan ske-
letal. Pada keadaan normal, tinggi badan bertam-
bah seiring dengan pertambahan umur. Indikator
ini untuk menggambarkan keadaan gizi masa
lalu. Ambang batas normal berdasarkan PB/U
atau TB/U ini adalah -2 SD sampai dengan 2 SD.

Pertumbuhan tinggi badan relatif kurang


sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam
waktu yang pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi
terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu
yang relatif lama (WHO, 2006). Berdasarkan ka-
rakteristik tersebut diatas, menurut Beaton dan
Bengoa (1973) balita pendek menggambarkan
keadaan gizi masa lampau dan status sosial eko-
nomi. Status gizi juga merupakan keadaan kese-
hatan yang berhubungan dengan pemakaian ma-
kanan oleh tubuh yang dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Menurut Adriani (2012) ada dua faktor
kondisi fisik yang pendek. Angka ini lebih tinggi

dibandingkan data riskesdas 2013 yakni sebesar

37,2%.

Masalah intergenerasi terlihat dengan je-


las, karena dari kelompok ibu yang pendek pre-
valensi balita pendek adalah 59,4%, dibanding
pada kelompok ibu yang normal dijumpai
pre- valensi balita pendeknya lebih kecil yaitu
sebe- sar 43,6%. Hal ini menunjukkan prevalensi
anak balita pendek cenderung lebih tinggi
pada ibu yang pendek (tinggi kurang dari 150
cm), hal ini senada dengan survei BAPPENAS
(2012) menun- jukkan proporsi yang sama yaitu
kelompok ibu yang pendek prevalensi balita
pendek adalah 46% dibanding kelompok ibu
yang tinggi yang preva- lensi balita pendek hanya
34,8%. Zottarelli et al. (2007) menyatakan
bahwa tinggi badan orang tua juga berkaitan
dengan kejadian stunting. Ibu yang memiliki
tubuh yang pendek kemungkinan mela- hirkan
bayi yang pendek pula. Hasil penelitian di Mesir
menunjukkan bahwa anak yang lahir dari ibu
yang tinggi badan < 150 cm memiliki risiko lebih
tinggi untuk tumbuh menjadi stunting.

Berdasarkan hasil penelitian


menunjukkan bahwa kelompok ayah yang
pendek prevalensi ba- lita stunting yaitu 58,8%
dibandingkan kelompok ayah dengan tinggi
badan normal prevalensi balita stunting lebih
kecil yaitu 45,6%. Seperti halnya tinggi badan
ibu yang berkecenderungan melahir- kan pendek,
juga nampak dari hasil pengamatan pada ayah
yang pendek cenderung lebih tinggi me- miliki
balita stunting.
Tabel 6. Distribusi Subjek menurut Tinggi Badan Ayah dan Kejadian Stunting
Tinggi Kejadian Stunting

Ayah n % n % n % OR
Pendek 17 58,8 14 45,2 31 100 P- value
Normal 36 45,6 43 54,4 79 100 95% CI
Jumlah 53 48,2 57 51,8 110 100

1,450
0,507
0,630 – 3,341

Berdasarkan tabel 6. terlihat bahwa balita normal, yakni sebanyak 14 orang (45,2%).
sebagian besar kelompok ayah pendek memiliki Selanjutnya dengan menggunakan uji Chi Square
anak yang stunting sebanyak 17 orang (58,8%). dengan α = 0,05 diperoleh p-value 0,507. Hal ini
Meskipun tidak terpaut banyak, secara proporsi menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara
menunjukkan lebih banyak jika dibandingkan Tinggi Badan Ayah dengan kejadian
Stunting
dengan kelompok ayah pendek yang memilik
Balita.

Tabel 7. Distribusi Subjek menurut Tinggi Badan Ibu dan Kejadian Stunting

Kejadian Stunting
Jumlah OR
Tinggi
Badan Ibu Stunting Normal P- value
95% CI
n % n % n %
Pendek 19 59,4 14 40,6 32 100
Normal 34 43,6 44 56,4 78 100 1,891
Jumlah 53 48,2 57 51,8 110 100
0,195
0,820 – 4,361

Berdasarkan tabel 7 terlihat bahwa Ibu Pada penelitian ini menunjukkan bahwa
yang pendek kecenderungan memiliki Balita tinggi badan ibu tidak berhubungan dengan ke-
Stunting sebanyak 19 Balita (59,4%). Proporsi ini jadian stunting balita. Begitu juga tinggi badan
lebih besar bila dibandingkan dengan Ibu Pendek Ayah tidak berhubungan dengan kejadian
yang memiliki anak normal sebanyak 13 Balita stunting balita. Hal ini diduga karena orang tua
(40,6 %). Selanjutnya dengan Uji Chi Square yang pen- dek akibat karena patologis atau
pada α = 0,05 diperoleh p-value sebesar 0,195. kekurangan zat gizi bukan karena kelainan gen
Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan dalam kromososm. Mamabolo et al (2005)
antara Tinggi Badan Ibu dengan kejadian Stunting menjelaskan bahwa orang tua yang pendek karena
Balita. gen dalam kromosom yang membawa sifat
pendek kemungkinan besar akan menurunkan ngan tinggi badan normal selama tidak terpapar
sifat pendek tersebut kepada anaknya. Apabila faktor risiko yang lain. Penelitian ini tidak me-
sifat pendek orang tua disebab- kan masalah gizi neliti faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi ba-
maupun patologis, maka sifat pendek tersebut dan orang tua saat ini merupakan pengaruh
tidak akan diturunkan kepada anaknya dan genetik atau pengaruh patologis maupun
selanjutnya balita dapat tumbuh de- malnutrisi. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian Kusuma dan Nuryanto (2013) bahwa
tinggi badan ibu tidak berhubungan dengan tinggi
badan balita.

Bila orang tua pendek akibat kekurangan

gizi atau penyakit, kemungkinan anak dapat tum-


buh dengan tinggi badan normal selama anak
tersebut tidak terpapar faktor risiko yang lain
(Amigo, 1997). Walaupun demikian, berdasarkan
tabel 7. diketahui bahwa ibu yang pendek cende-
rung memiliki anak yang pendek, begitu pula
ting- gi badan ibu yang normal juga cenderung
memi- liki anak yang tinggi badannya normal dan
tinggi. Dari aspek biologis ini dikaitkan dengan
faktor internal, yang mana dipengaruhi oleh faktor
gene- tik yang berasal dari ibu. Tinggi badan
merupakan salah satu bentuk dari ekspresi
genetik, dan me- rupakan faktor yang diturunkan
kepada anak serta berkaitan dengan kejadian
stunting. Anak dengan orang tua yang pendek,
baik salah satu atau kedu- anya lebih berisiko
stunting jika dibandingkan de-
ngan anak yang memiliki orang tua dengan tinggi hadap pertumbuhan janin tersebut sampai usia de-
badan normal (Supariasa et al, 2007). Orang tua wasa (Syafiq et al., 2007).
yang pendek karena gen dalam kromosom yang
membawa sifat pendek kemungkinan besar akan Sifat yang paling spesifik pada anak ada-
menurunkan sifat pendek tersebut kepada anak- lah tumbuh kembang. Sifat ini sudah diprogram
nya. Tetapi bila sifat pendek orang tua disebabkan
karena masalah nutrisi maupun patologis, maka
si- fat pendek tersebut tidak akan diturunkan
kepada anaknya (Amigo et al, 1997).

Menurut Soetjiningsih (1995), secara


umum terdapat dua faktor yang mempengaruhi
tumbuh kembang anak, yaitu faktor genetik dan
lingkungan. Faktor genetik merupakan modal
dasar dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh
kembang anak. Melalui instruksi genetik yang
terkandung di dalam sel telur yang telah dibuahi,
dapat ditentukan kualitas dan kuantitas pertum-
buhan. Termasuk faktor genetik antara lain adalah
berbagai faktor bawaan yang normal dan patolo-
gik, jenis kelamin, suku bangsa atau bangsa. Fak-
tor lingkungan juga merupakan faktor yang sangat
menentukan tercapai atau tidaknya potensi bawa-
an. Lingkungan yang cukup baik akan memung-
kinkan tercapainya potensi bawaan, sedangkan
yang kurang baik akan menghambatnya. Faktor
lingkungan ini salah satunya adalah asupan yang
dikonsumsi, baik selama ibu hamil untuk meme-
nuhi kebutuhan janin maupun asupan pada balita.
Pentingnya keadaan gizi ibu perlu dilihat dari
berbagai aspek. Selain akses terhadap keaman-
an pangan dan terhadap pelayanan kesehatan se-
tinggi-tingginya merupakan hak asasi dasar setiap
orang, keadaan gizi ibu juga mempunyai dampak
secara sosial dan ekonomi. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa keadaan gizi ibu tidak ha-
nya memberikan dampak negatif terhadap status
kesehatan dan risiko kematian dirinya, tetapi juga
terhadap kelangsungan hidup dan perkembangan
janin yang dikandungnya dan lebih jauh lagi ter-
sejak bayi dikandung. Tidak dapat disangkal bah- menunjukkan bahwa anak yang dilahirkan dari
wa sifat spesifik ini sangat ditentukan oleh ibu atau ayah pendek berisiko menjadi stunting.
bawaan anak itu sendiri dan pengaruh lingkungan
Kondisi sosial ekonomi juga dapat mem-
lang- sung atau tidak langsung pada anak. Tetapi
pengaruhi status gizi balita. Pada penelitian ini,
makin besar anak, makin besar pula pengaruh
faktor sosial ekonomi yang dianalisis adalah pen-
lingkungan (Alisjahbana, 2003). Faktor asupan
didikan orang tua. Hasil analisi bivariat menun-
dan penyakit memegang peranan yang
jukkan balita stunting memiliki orang tua yang
menentukan apakah anak akan stunting selama
tingkat pendidikan sebagian besar adalah Sekolah
masa hidupnya atau berhasil mencapai catch-up
Dasar. Hasil ini didukung penelitian Medhin
grow yang maksimal (Anugraheni, 2012). Dari
(2010) yang menyatakan pendidikan orang tua
sini bisa diketahui bah- wa tidak adanya
berpengaruh terhadap kejadian stunting. Tingkat
keterkaitan antara tinggi badan ibu dengan status
pendidikan akan memudahkan seorang atau ma-
kejadian stunting ini bisa dise- babkan oleh faktor
syarakat untuk menyerap informasi dan mengim-
lingkungan yang mana sangat berpengaruh
plementasikan dalam perilaku dan gaya hidup se-
terhadap tumbuh kembang anak sela- in dari
hari-hari. Menurut Girna (2002) disebutkan
faktor internal/genetik itu sendiri. Berbeda
bahwa pendidikan yang tinggi biasanya terkait
dengan penelitian Roudhotun (2012) menjelaskan
dengan pendapatan keluarga dan pola
bahwa tinggi badan orang tua berhubungan
pengasuhan anak seperti penggunaan garam
dengan pertumbuhan fisik anak. Ibu yang pendek
beryodium, kapsul vita- min A, imunisasi anak,
merupa- kan salah satu satu faktor yang
penggunaan jamban tertu- tup dan pemanfaatan
berhubungan de- ngan kejadian stunting pada
layanan kesehatan.
balita. Pada penelitian lain di Tangerang yang

DAFTAR
KESIMPULAN RUJUKAN

Prevalensi pendek pada ayah sebesar Adriani, Merryana dan Bambang,


Wirjatmadi.
28,2%, prevalensi pendek pada ibu sebesar
2012. Peranan Gizi dalam Siklus Kehi-
29,09%, prevalensi kejadian stunting pada balita dupan. Jakarta: Kencana Prenada Media
sebesar 48,2%. Diketahui tidak ada hubungan an- Group.
tara tinggi badan ayah dengan kejadian stunting,
begitu pula diketahui bahwa tidak ada hubungan Alisjahbana, A. 2003. Permasalahan dan Pena-
antara tinggi badan ibu dengan kejadian stunting. nganan Pendidikan Anak Dini Usia Di
Masih tingginya kejadian stunting pada balita Indonesia. Makalah Seminar dan Loka-
memerlukan upaya untuk meningkatkan pengeta- karya Nasional Pendidikan Anak Dini
huan masyarakat utamanya pada keluarga dengan Usia. UPI, Bandung.
latar belakang pendidikan rendah agar dapat
Amigo, H., Buston, P., Radrigan, ME. Is
mem- persiapkan 1000 hari kehidupan pertama
There A Relationship Between Parent’s
untuk ge- nerasi Indonesia yang lebih baik.
Short Height and Their Children’s. Social
inter- class epidemiologic study. Rev
Med Chil
1997; Aug;125 (8).
ta: Badan Perencanaan Pembangunan Na-
Arisman. 2010. Gizi Dalam Daur Kehidupan:
sional.
Buku Ajar Ilmu Gizi. Ed. 2. Jakarta: EGC.
Barker, D.P.J. 1995. Fetal Origins of
Azwar, A. 2004. Kecenderungan Masalah
Coronary
Gizi dan Tantangan Di Masa Datang.
http:// w w w. g i z i . n e t . Heart Disease.
Diakses tanggal 15 Desember
Beaton, G. H., dan Bengoa, J. M. 1979. Practical
2014.
Population Indicator of Health and Nutri-
BAPPENAS. 2010. Rencana Aksi Nasional Pa- tion, In Nutrition and Preventive Medici-
ngan dan Gizi. Jakarta: Badan Perenca- ne. Genewa: WHO.
naan Pembangunan Nasional.
Black et al. 2008. Maternal and Child Under-
BAPPENAS. 2012. Kerangka Kebijakan Gerak- nutrition: Global and Regional Exposu-
an Sadar Gizi dalam Rangka Seribu Hari res and Health Consequences. The Lancet
Pertama Kehidupan (1000 PHK). Jakar- Series.

Girma W, Ganebo T. 2002. Determinants of Nut-


ritional Status of Woman and Children
in Ethiopia. Calverton, Maryland, USA:
ORC Macro.

Kemenkes RI. 2010. Standar Antropometri Peni-


laian Status Gizi Anak. Jakarta: Kemenkes.
Kusharisupeni. 2008. Peran Status Kelahiran ter-

hadap Stunting pada Bayi.

Kusuma KE & Nuryanto. 2013. Faktor Risiko Ke-


jadian Stunting pada Anak Usia 2-3 Tahun
(Studi di Kecamatan Semarang Timur).
Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedok-
teran Universitas Diponegoro. Semarang.

Mamabolo RL, Alberts M, Steyn NP, re-van de


Wall HAD, & Levitt NS. 2006. Prevalen-
ce and determinants of stunting and over-
weight in 3-year-old black South African
children residing in the Central Region of
Limpopo Province, South Africa. Public
Health Nutrition.
Mardianti, Yuli. 2010. Nutrisi 1000 Hari Pertama
Kehidupan. http://www.kesehatanmuslim.
com. Diakses tanggal 14 Desember 2014.

Medhin G, Hanlon C, Dewey M, Alem A, Tesfaye


F, Worku B et al. 2010. Prevalence and
predictors on undernutrition among infan-
ts aged six and twelve month in Butajira,
Ethiopia: The P- MaMiE Birth Cohort.
BMC Public Health.

Milman, A., Frongillo, E. A., Onis., dan Hwang,


J.
Y. 2005. Differential Improvement Among Countries In Child Stunting Is Associated
withLong-Term Development and Spesific Interventions. The Journal of Nutrition. Tersedia
dalam: http://www.jn.org. Diak- ses tanggal 14 Desember 2014.

Shrimpton, R., et al. 2001. Worldwide Timing of Growth Faltering: Implications for Nutri- tional
Interventions. American Academi of Pediatric.

Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Ja- karta: EGC.

Supariasa, I. et al. 2002. Penilaian Status Gizi. Ja- karta: EGC.

Syafiq, Ahmad et al. 2007. Gizi dan Kesehatan

Masyarakat. Jakarta: PT Raja Grafindo


Lampiran 4

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Stunting pada


Anak
Balita di Wilayah Pedesaan dan
Perkotaan
(The Factors Affecting Stunting on Toddlers in Rural
and
Urban
Areas)

Farah Okky Aridiyah1, Ninna Rohmawati1, Mury


Ririanty2
1
Bagian Gizi Kesehatan
Masyarakat
2
Bagian Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Jember Jln. Kalimantan 37 Kampus Tegal Boto,
68121

e-mail :
farahokky28@gmail.com

Abstra
ct

In 2013, the prevalence of stunting in rural areas of Jember is 67% and 27,27% for urban
areas. Stunting if problem above 20% that is a public health problem. The purpose of this
study was to analyze the factors that influence the genesis of stunting in toddlers between
rural and urban areas. This type of this study is an observasional analytic with cross-
sectional approached and conducted in Patrang health center and Mangli health center for
urban whereas Kalisat health centers for rural with sample fifty respondents each. Analysis
of data consisting of chi-square test, mann whitney test and logistic regression with α=0,05.
Result of analysis showed that affecting factors of stunting occurrence in toddlers who are
in the rural and urban areas were the mother's education, family income, mother's
knowledge of nutrition, exclusive breastfeeding, complementary feeding age provision, zinc
and iron adequacy level, infection disease history and genetic factors. However, another
factors such as mother's work, family numbers, immunization status, energy adequacy level
and BBLR status didn't affect the occurrence of stunting. Protein and calcium adequacy level
in rural areas showed a significant relation while in urban areas showed no relation. The
most factor affecting stunting on toddlers in rural and urban areas was zinc adequacy
level.

Keyword: Stunting, Toddlers, Rural,


Urban

Abstr
ak

Pada tahun 2013 prevalensi stunting di Kabupaten Jember tertinggi di daerah pedesaan
yaitu

67% dan wilayah perkotaan tertinggi sebesar 27,27%. Apabila masalah stunting di atas 20%
maka merupakan masalah kesehatan masyarakat. Tujuan penelitian ini untuk
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian stunting pada anak balita di wilayah
pedesaan dan perkotaan. Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan desain
cross-sectional dan dilakukan di Puskesmas Patrang dan Puskesmas Mangli untuk
perkotaan dan Puskesmas Kalisat untuk pedesaan dengan jumlah sampel sebanyak 50
responden. Analisis data menggunakan analisis chi-square, mann whitney dan regresi logistik
dengan α=0,05. Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi terjadinya
stunting pada anak balita yang berada di wilayah pedesaan dan perkotaan adalah pendidikan
ibu, pendapatan keluarga, pengetahuan ibu mengenai gizi, pemberian ASI eksklusif, umur
pemberian MP-ASI, tingkat kecukupan zink dan zat besi, riwayat penyakit infeksi serta faktor
genetik. Namun, untuk status pekerjaan ibu, jumlah anggota keluarga, status imunisasi,
tingkat kecukupan energi, dan status BBLR tidak mempengaruhi terjadinya stunting.
Tingkat kecukupan protein dan kalsium di wilayah pedesaan menunjukkan hubungan yang
signifikan sedangkan di wilayah perkotaan tidak menunjukkan adanya hubungan. Faktor
yang paling mempengaruhi terjadinya stunting pada anak balita di wilayah pedesaan
maupun perkotaan yaitu tingkat kecukupan zink.

Kata kunci: Stunting, Anak Balita, Pedesaan,


Perkotaan
Pendahuluan paparan terhadap penyakit infeksi, kerawanan
pangan dan akses masyarakat terhadap
Salah satu indikator kesehatan yang pelayanan kesehatan [3]. Faktor yang
dinilai keberhasilan pencapaiannya dalam berhubungan dengan status gizi kronis pada
MDGs adalah status gizi anak balita. Masa anak balita tidak sama antara wilayah perkotaan
anak balita merupakan kelompok yang rentan dan pedesaan, sehingga upaya
mengalami kurang gizi salah satunya adalah penanggulangannya harus disesuaikan dengan
stunting. Stunting (pendek) merupakan ganguan faktor yang mempengaruhi.
pertumbuhan linier yang disebabkan adanya
malnutrisi asupan zat gizi kronis atau penyakit Stunting adalah masalah gizi utama
infeksi kronis maupun berulang yang yang akan berdampak pada kehidupan sosial
ditunjukkan dengan nilai z-score tinggi badan dan ekonomi dalam masyarakat. Selain itu,
menurut umur (TB/U) kurang dari -2 SD [1].

Secara global, pada tahun 2011 lebih


dari 25% jumlah anak yang berumur dibawah
lima tahun yaitu sekitar 165 juta anak
mengalami stunting, sedangkan untuk tingkat
Asia, pada tahun 2005-2011 Indonesia
menduduki peringkat kelima prevalensi stunting
tertinggi [2]. Berdasarkan hasil Riskesdas 2013,
untuk skala nasional, prevalensi anak balita
stunting di Indonesia sebesar 37,2%, sedangkan
untuk Provinsi Jawa Timur pada tahun 2013
prevalensi stunting yaitu sebesar 35,8%.
Menurut WHO, apabila masalah stunting di atas

20% maka merupakan masalah kesehatan


masyarakat [3].

Saat ini untuk di Kabupaten Jember


Puskesmas Kalisat merupakan puskesmas
dengan jumlah anak balita stunting tertinggi di
daerah pedesaan yaitu sebesar 67%. Selain itu,
untuk daerah perkotaan jumlah anak balita
stunting tertinggi berada di wilayah kerja
Puskesmas Patrang sebanyak 27,27% dan
Puskesmas Mangli 14%. Menurut karakteristik
wilayah tempat tinggal prevalensi stunting tahun

2013 terbanyak terjadi di pedesaan jika


dibandingkan di perkotaan. Prevalensi stunting
tahun 2013 di wilayah pedesaan adalah 42,1%,
dan wilayah perkotaan sebesar 32,5% [3].

Stunting pada anak balita merupakan


konsekuensi dari beberapa faktor yang sering
dikaitkan dengan kemiskinan termasuk gizi,
kesehatan, sanitasi dan lingkungan. Ada lima
faktor utama penyebab stunting yaitu
kemiskinan, sosial dan budaya, peningkatan
stunting dapat berpengaruh pada anak balita pengetahuan ibu mengenai gizi, serta jumlah
pada jangka panjang yaitu mengganggu anggota keluarga diperoleh hasil sebagai
berikut. Jumlah ibu anak balita stunting yang
kesehatan, pendidikan serta produktifitasnya di
berpendidikan rendah masing-masing adalah
kemudian hari. Anak balita stunting cenderung sebesar 96,7% di desa, sedangkan untuk di kota
akan sulit mencapai potensi pertumbuhan dan yaitu sebesar 80%. Pada status pekerjaan ibu
perkembangan yang optimal baik secara fisik anak balita stunting yang berada di wilayah desa
maupun psikomotorik [4]. terbanyak adalah tidak bekerja yaitu sebesar

71%, sedangkan untuk di kota adalah bekerja


Tujuan penelitian ini adalah
dengan persentase sebesar 53,3%. Pada data
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi diketahui pendapat keluarga yang rendah antara
kejadian stunting pada anak balita di wilayah
pedesaan dan perkotaan di Kabupaten Jember.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan analitik


observasional dengan desain cross-sectional.
Populasi dalam penelitian ini dibagi menjadi dua
yaitu populasi anak balita usia 12-36 bulan di
daerah perkotaan dan pedesaan, dengan jumlah
sampel sebanyak 50 responden pada masing-
masing wilayah. Variabel dalam penelitian
adalah variabel dependen, antara dan
independen. Variabel dependen merupakan
kejadian stunting pada anak balita di wilayah
pedesaaan dan perkotaan, sedangkan variabel
antara adalah asupan makanan, riwayat
penyakit infeksi, BBLR dan faktor genetik.
Variabel independen terdiri dari karakteristik
sosial ekonomi keluarga, pola asuh, karakteristik
anak balita dan perawatan kesehatan.

Teknik sampling yang digunakan dalam


penelitian ini adalah cluster random sampling,
dimana pengambilan anggota sampel dilakukan
secara acak pada kelompok individu dalam
populasi yang terjadi secara ilmiah, misalnya
wilayah (desa, kelurahan). Analisis data
menggunakan chi-square test, mann whitney
test dan regresi logistik. Analisis data digunakan
untuk mengetahui hubungan masing-masing
variabel yang diteliti. Derajat kepercayaan yang
digunakan adalah dengan α=0,05.

Hasil Penelitian

Berdasarkan karakteristik sosial


ekonomi keluarga yang meliputi pendidikan ibu,
status pekerjaan ibu, pendapatan keluarga,
di desa dan kota yaitu sebesar 100% pada perkotaan yang ditunjukkan dengan nilai p-value
wilayah desa, sedangkan untuk wilayah kota pada masing-masing variabel < α (0,05).
sebesar 93,3%. Tingkat pengetahuan ibu
mengenai gizi pada anak balita stunting yang Pada variabel perawatan kesehatan
berada di desa sebagian besar adalah kurang meliputi status imunisasi menunjukkan sebagian
dengan persentase 64,5% (20 ibu anak balita), besar anak balita stunting baik yang berada di
sedangkan untuk wilayah kota sebagian besar desa maupun kota telah melakukan imunisasi.
yaitu tingkat pengetahuan cukup yaitu sebesar Persentase jumlah anak balita stunting yang
telah melakukan imunisasi yaitu sebesar 90,3%
86,7%. Jumlah anggota keluarga dalam di pedesaan, sedangkan untuk daerah di kota
penelitian diperoleh bahwa jumlah anggota yaitu sebesar 86,7%. Berdasarkan hasil uji
keluarga pada anak balita stunting baik yang bivariat perawatan kesehatan dengan kejadian
berada di desa maupun di kota sebagian besar
termasuk dalam kategori keluarga kecil dengan
persentase sebesar 77,4% pada daerah
pedesaan, sedangkan untuk di wilayah kota
yaitu sebesar 93,3%.

Berdasarkan hasil uji chi-square


terdapat hubungan antara variabel pendidikan
ibu, pendapatan keluarga dan pengetahuan ibu
mengenai gizi terhadap kejadian stunting pada
anak balita antara di desa dan kota. Selain itu,
untuk variabel status pekerjaan ibu dan jumlah
anggota keluarga tidak menunjukkan hubungan
yang signifikan terhadap kejadian stunting pada
anak balita antara di desa dan kota.

Pada variabel pola asuh anak balita


meliputi pemberian ASI eksklusif dan umur
pemberian MP-ASI pertama kali. Pada
pemberian ASI eksklusif di desa maupun di kota
sebagian besar tidak memberikan ASI eksklusif.
Hal tersebut dapat dilihat bahwa ibu yang tidak
memberikan ASI eksklusif yaitu sebesar 71% di
daerah pedesaan, sedangkan untuk di kota
sebesar 53,3%. Pada umur pemberian MP-ASI
pertama kali pada anak balita stunting yang
berada di desa sebagian besar adalah pada
umur ≤ 6 bulan sebanyak 64,5%, sedangkan
untuk di wilayah perkotaan sebagian pada umur

> 6 bulan dengan persentase 60%.

Pada hasil uji bivariat diketahui bahwa


pemberian ASI eksklusif dan umur pertama
pemberian MP-ASI merupakan faktor yang
memberikan hubungan antara pola asuh dengan
kejadian stunting pada anak balita yang baik
yang berada di wilayah pedesaan maupun
stunting pada anak balita yang berada di Pada riwayat penyakit infeksi anak
pedesaan maupun perkotaan tidak memiliki balita stunting baik di desa maupun di kota
hubungan. Hal tersebut disebabkan oleh nilai p- sebagian besar memiliki riwayat penyakit infeksi
value dari uji keduanya yaitu > α (0,05) yaitu dengan persentase sebesar 100% pada kedua
daerah tersebut. Berdasarkan hasil uji chi-
0,279 untuk daerah pedesaan dan 0,086 pada square diketahui bahwa riwayat penyakit infeksi
daerah perkotaan. dengan kejadian stunting pada anak balita yang
berada di pedesaan maupun perkotaan memiliki
Tingkat kecukupan energi pada anak
hubungan yang signifikan yaitu dengan nilai p-
balita stunting yang berada di desa termasuk
value berturut-turut yaitu 0,017 dan 0,001 < α
kategori sedang sebesar 48,4%, sedangkan
(0,05). Pada status berat bayi lahir rendah
untuk di perkotaan tingkat kecukupan energi
(BBLR) pada anak balita stunting baik di desa
kategori baik dengan persentase 53,3%. Selain
itu untuk tingkat kecukupan protein pada anak
balita stunting yang berada di wilayah desa
terbanyak adalah kategori kurang sebesar

41,9%, sedangkan untuk di perkotaan tingkat


kecukupan protein termasuk kategori baik
sebesar 46,7%. Pada tingkat kecukupan zink
pada anak balita stunting baik di desa
maupun di kota sebagian besar termasuk dalam
kategori kurang dengan persentase 71% untuk
di desa dan 66,7% di kota. Tingkat kecukupan
kalsium yang berada di wilayah desa terbanyak
adalah kategori kurang yaitu sebesar 83,9%,
sedangkan untuk di daerah perkotaan tingkat
kecukupan kalsium termasuk kategori cukup
sebesar 60%, sedangkan tingkat kecukupan zat
besi anata di desa dan kota sama yaitu
termasuk kategori kurang sebesar 80,6% di
wilayah pedesaan, sedangkan untuk daerah di
kota sebesar 60%.

Berdasarkan hasil uji chi-square tidak


terdapat hubungan antara tingkat kecukupan
energi dengan kejadian stunting pada anak
balita baik di desa maupun kota, sedangkan
untuk tingkat kecukupan zink dan zat besi
memiliki hubungan yang signifikan. Pada daerah
di pedesaan terdapat hubungan yang antara
tingkat kecukupan protein dan kalsium terhadap
kejadian stunting pada anak balita, ditunjukkan
dengan nilai p-value < α (0,05). Akan tetapi,
untuk di daerah perkotaan memiliki nilai p-
value

> α (0,05), hal ini berarti tingkat kecukupan


protein dan kalsium tidak memiliki hubungan
dengan kejadian stunting pada anak balita.
maupun di kota sebagian besar tidak BBLR merupakan faktor risiko kejadian stunting yang
dengan persentase 74,2% di pedesaan, bermakna [1]. Pengetahuan mengenai gizi
sedangkan untuk di kota yaitu sebesar 93,3%, merupakan proses awal dalam perubahan
sedangkan pada faktor genetik anak balita perilaku peningkatan status gizi, sehingga
stunting yang berada di wilayah desa maupun pengetahuan merupakan faktor internal yang
kota sebagian besar dipengaruhi oleh faktor mempengaruhi perubahan perilaku.
genetik dengan persentase 80,6% untuk di Pengetahuan ibu tentang gizi akan menentukan
pedesaan, sedangkan di perkotaan yaitu perilaku ibu dalam menyediakan makanan untuk
sebesar 53,3%. Berdasarkan hasil uji bivariat anaknya. Ibu dengan pengetahuan gizi yang
pada kedua variabel tersebut menunjukkan
bahwa BBLR dengan kejadian stunting pada
anak balita yang berada di wilayah pedesaan
maupun perkotaan tidak memiliki hubungan
yang signifikan, sedangkan untuk faktor genetik
dapat diketahui bahwa terdapat hubungan yang
signifikan dengan kejadian stunting pada anak
balita baik yang berada di pedesaan maupun
perkotaan.

Pembahasan

Hasil analisis hubungan tingkat


pendidikan ibu dengan kejadian stunting pada
anak balita menunjukkan hubungan, baik yang
berada di daerah pedesaan maupun perkotaan.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian
yang pernah dilakukan di daerah perkotaan
yaitu di Kelurahan Kalibaru Kota Depok yang
menyatakan bahwa kecenderungan kejadian
stunting pada balita lebih banyak terjadi pada
ibu yang berpendidikan rendah [5]. Hal ini
dikarenakan di masyarakat masih berkembang
pemikiran bahwa pendidikan tidak penting serta
terkait dukungan dari keluarga untuk menempuh
pendidikan yang lebih tinggi yang masih belum
maksimal. Secara tidak langsung tingkat
pendidikan ibu akan mempengaruhi
kemampuan dan pengetahuan ibu mengenai
perawatan kesehatan terutama dalam
memahami pengetahuan mengenai gizi.

Hasil analisis menunjukkan bahwa


tingkat pengetahuan ibu mengenai gizi
merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi terjadinya stunting pada anak
balita baik yang berada di daerah pedesaan
maupun perkotaan. Hasil penelitian ini sama
dengan penelitian yang dilakukan di Semarang
yang menunjukkan pengetahuan ibu tentang gizi
baik dapat menyediakan makanan dengan jenis masalah gizi lainnya salah satunya disebabkan
dan jumlah yang tepat untuk mendukung dan berasal dari krisis ekonomi. Sebagian besar
pertumbuhan dan perkembangan anak balita. anak balita yang mengalami gangguan
pertumbuhan memiliki status ekonomi yang
Hasil analisis hubungan status rendah.
pekerjaan ibu dengan kejadian stunting pada
anak balita diperoleh hasil bahwa antara status Pada hasil analisis menunjukkan
pekerjaan ibu dengan kejadian stunting pada bahwa kejadian stunting pada anak balita baik
anak balita tidak memiliki hubungan yang yang berada di wilayah pedesaan maupun
signifikan. Hasil ini tidak sesuai dengan perkotaan dipengaruhi oleh variabel pemberian
penelitian yang dilakukan di Kota Semarang
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan
antara pekerjaan ibu dengan status gizi, dimana
ibu yang bekerja mempunyai anak pendek (< -2

SD) lebih banyak di bandingkan dengan ibu


yang tidak bekerja [14]. Hal ini terjadi karena
pada penelitian ini sebagian besar ibu tidak
bekerja, sehingga ibu yang tidak bekerja akan
mempunyai waktu yang lebih banyak dengan
anaknya dan mempengaruhi peningkatan
kualitas gizi anaknya.

Hasil analisis diperoleh hasil bahwa


jumlah anggota keluarga bukan merupakan
faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya
stunting pada anak balita di daerah pedesaan
maupun di perkotaan. Sama dengan hasil
penelitian yang sebelumnya yang menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan bermakna antara
jumlah anggota rumah tangga dengan kejadian
stunting pada anak balita [6]. Jumlah anggota
keluarga tidak menjamin status gizi dari setiap
anggota keluarga. Jumlah anggota keluarga jika
diimbangi dengan ketersediaan dan distribusi
makanan yang merata dan seimbang dapat
mengurangi risiko terjadinya stunting pada anak
balita.

Pada hasil analisis menunjukkan


terdapat hubungan yang signifikan antara
pendapatan keluarga terhadap kejadian stunting
pada anak balita baik yang berada di daerah
pedesaan maupun di perkotaan. Sama halnya
dengan penelitian lain yang menyatakan bahwa
status ekonomi keluarga yang rendah di Maluku
Utara berhubungan signifikan dengan kejadian
stunting dan severe stunting pada balita usia 0 –

59 bulan [7]. Apabila ditinjau dari karakteristik


pendapatan keluarga bahwa akar masalah dari
dampak pertumbuhan bayi dan berbagai
ASI eksklusif. Hasil penelitian ini sesuai dengan tidak lengkap memiliki hubungan yang signifikan
penelitian yang dilakukan di Surakarta yang dalam kejadian stunting pada anak usia < 5
menyatakan bahwa status menyusu juga tahun [7]. Dalam hal ini imunisasi yang lengkap
merupakan faktor risiko terhadap kejadian belum tentu dapat menjamin anak terhindar dari
stunting [6]. Rendahnya pemberian ASI eksklusif suatu penyakit. Terdapat beberapa hal yang
menjadi salah satu pemicu terjadinya dapat mempengaruhi manfaat dan efektivitas
stunting pada anak balita yang disebabkan oleh dari pemberian imunisasi seperti kualitas vaksin
kejadian masa lalu dan akan berdampak yang diberikan tidak memenuhi standart atau
terhadap masa depan anak balita, sebaliknya kurang baik. Hal ini berarti baik anak balita yang
pemberian ASI yang baik oleh ibu akan
membantu menjaga keseimbangan gizi anak
sehingga tercapai pertumbuhan anak yang
normal.

Hasil analisis hubungan umur pertama


pemberian MP-ASI dengan kejadian stunting
pada anak balita menunjukkan praktek
pemberian MP-ASI pada anak balita merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya
stunting pada anak balita yang berada di daerah
pedesaan dan perkotaan. Penelitian ini sesuai
dengan Depkes yang menyatakan bahwa
gangguan pertumbuhan pada awal masa
kehidupan bayi antara lain disebabkan oleh
kekurangan gizi sejak bayi, pemberian MP-ASI
terlalu dini atau terlalu lambat, MP-ASI tidak
cukup gizinya sesuai kebutuhan bayi atau
kurang baiknya pola pemberiannya menurut
usia, dan perawatan bayi yang kurang memadai
[9]. Anak balita yang diberikan ASI eksklusif dan
MP-ASI sesuai dengan dengan kebutuhannya
dapat mengurangi resiko tejadinya stunting. Hal
ini karena pada usia 0-6 bulan ibu balita yang
memberikan ASI eksklusif yang dapat
membentuk imunitas atau kekebalan tubuh anak
balita sehingga dapat terhindar dari penyakit
infeksi. Setelah itu pada usia 6 bulan anak balita
diberikan MP-ASI dalam jumlah dan frekuensi
yang cukup sehingga anak balita terpenuhi
kebutuhan zat gizinya yang dapat mengurangi
risiko terjadinya stunting.

Hasil analisis hubungan perawatan


kesehatan dengan kejadian stunting pada anak
balita menunujukkan bahwa tidak ada hubungan
antara pemberian imunisasi dengan kejadian
stunting pada anak balita baik di wilayah
pedesaan maupun di perkotaan. Hasil ini
bertentangan dengan penelitian sebelumnya
yang menunjukkan bahwa status imunisasi yang
imunisasinya lengkap maupun yang tidak sehingga menunjukkan tidak ada hubungan
lengkap memiliki peluang yang sama untuk antara kecukupan protein dengan status gizi
mengalami stunting. kronis pada anak balita [11]. Tidak adanya
hubungan antara kejadian stunting dengan
Hasil analisis hubungan tingkat kecukupan protein disebabakan penggunaan
kecukupan energi dengan kejadian protein tersebut belum memadai dan efisien
stunting pada anak balita menunjukkan hasil untuk proses pertumbuhan linier. Selain itu juga
bahwa tingkat kecukupan energi antara anak
balita yang berada di daerah pedesaan maupun
perkotaan tidak memiliki hubungan terhadap
terjadinya stunting pada anak balita. Hasil
penelitian ini tidak sama dengan hasil penelitian
sebelumnya yang menyatakan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara konsumsi
energi dengan kejadian stunting pada balita di
Sumatera [6]. Hal tersebut dikarenakan asupan
zat gizi yang tidak adekuat, terutama dari total
energi berhubungan dengan masalah dan
gangguan pertumbuhan fisik pada anak balita.
Perbedaan hasil hubungan antara asupan
energi balita dengan kejadian stunting pada
penelitian ini bisa terjadi dikarenakan faktor lain
seperti adanya penyakit infeksi atau penyakit
penyerta yang dapat menghambat dan
menggangu proses penyerapan energi oleh
tubuh.

Hasil analisis hubungan tingkat


kecukupan protein dengan kejadian stunting
pada anak balita menunjukkan bahwa tingkat
kecukupan protein di daerah pedesaan
berhubungan dengan kejadian stunting pada
anak balita. Hal ini sesuai dengan penelitian di
daerah pedesaan yang menunjukkan bahwa
asupan protein berhubungan dengan stunting.
Setiap penambahan satu persen tingkat
kecukupan protein, akan menambah z-skor
TB/U balita sebesar 0,024 satuan [6]. Pada
daerah pedesaan umumnya sumber protein
yang dikonsumsi berasal dari protein nabati.
Kandungan protein pada sumber bahan
makanan hewani lebih tinggi jika dibandingkan
dengan sumber protein nabati. Akan tetapi,
untuk di wilayah perkotaan tidak menunjukkan
hubungan yang signifikan antara tingkat
kecukupan protein dengan kejadian stunting
pada anak balita. Sama halnya dengan
penelitian yang sebelumnya dilakukan di Afrika
bahwa anak stunting di perkotaan memiliki
asupan protein cukup baik bila dibandingkan
dengan anak-anak yang stunting di pedesaan
didukung dengan adanya faktor lain yang Pada hasil analisis menunjukkan bahwa
menyebabkan zat-zat gizi yang telah dikonsumsi tingkat kecukupan zat besi mempengaruhi
tidak sampai atau tidak diabsorbsi dengan baik kejadian stunting pada anak balita baik yang
oleh tubuh seperti penyakit infeksi. berada di daerah pedesaan maupun yang
berada di perkotaan. Hal yang sama ditunjukkan
Hasil analisis hubungan tingkat pada penelitian di Afrika bahwa rata-rata asupan
kecukupan zink dengan kejadian stunting pada zat besi balita stunting mengalami defisiensi
anak
Asupan balita menunjukkan
zat besi yang rendah bahwa tingkat
memungkinkan penelitian ini juga
dibandingkan didukung
dengan oleh penelitian
balita normal yang
[11].
kecukupan zink berhubungan
terjadinya anemia defisiensi dengan kejadian
besi. Dampak sebelumnya yang dilakukan di wilayah
stunting pada anak balita baik yang berada di
daerah pedesaan maupun yang berada di
perkotaan. Sama dengan hasil penelitian yang
pernah dilakukan di Semarang menunjukkan
bahwa rendahnya kecukupan zink dapat
memberikan risiko perawakan pendek pada
anak balita [13]. Hal tersebut yang dapat
mempengaruhi proses pertumbuhan, mengingat
zink sangat erat kaitannya dengan metabolisme
tulang, sehingga zink berperan secara positif
pada pertumbuhan dan perkembangan dan
sangat penting dalam tahap-tahap pertumbuhan
dan perkembangan.

Hasil analisis hubungan tingkat


kecukupan kalsium terhadap kejadian
stunting pada anak balita menunjukkan
hubungan signifikan di pedesaan. Hal tersebut
sesuai dengan penelitian yang dilakukan di
Afrika yang menyatakan bahwa kurangnya
tingkat kecukupan kalsium dapat mengakibatkan
munculnya masalah status gizi kronis pada anak
balita [11]. Akan tetapi hasil yang berbeda
ditunjukkan pada hasil bivariat yang dilakukan di
perkotaan, bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan antara kecukupan kalsium dan
kejadian stunting. Perbedaan tersebut
disebabkan oleh faktor lain seperti cara
pengolahan makanan yang dapat
mempengaruhi kandungan kalsium dalam suatu
makanan seperti dalam pembuatan susu. Di
daerah pedesaan cara pengolahan makanan
yang kurang baik masih banyak ditemui. Pada
proses pengolahan dapat memberikan pengaruh
terhadap kelarutan mineral dan gizi bahan
pangan karena terjadi kerusakan oleh panas
yang berakibat menurunnya nilai gizi.
Kekurangan kalsium pada masa pertumbuhan
dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan.
anemia gizi besi pada balita dihubungkan Hasil analisis hubungan faktor genetik
dengan terganggunya fungsi kognitif, perilaku orang tua dengan kejadian stunting pada anak
dan pertumbuhan. Selain itu, zat besi balita diketahui bahwa faktor genetik orang tua
memegang peranan penting dalam sistem merupakan faktor yang mempengaruhi
kekebalan tubuh [10]. terjadinya stunting pada anak balita yang tinggal
di daerah pedesaan maupun di perkotaan. Hasil
Hasil analisis hubungan riwayat
penyakit infeksi dengan kejadian stunting pada
anak balita menunjukkan terdapat hubungan
antara riwayat penyakit infeksi dengan kejadian
stunting pada anak balita baik yang berada di
pedesaan maupun yang berada di perkotaan.
Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya
yang dilakukan di Karangasem yang
menunjukkan bahwa penyakit infeksi dapat
menggangu pertumbuhan linier dengan terlebih
dahulu mempengaruhi status gizi anak balita.
Hal ini terjadi karena penyakit infeksi dapat
menurunkan intake makanan, mengganggu
absorbsi zat gizi, menyebabkan hilangnya zat
gizi secara langsung, meningkatkan kebutuhan
metabolik [15]. Terdapat interaksi bolak-balik
antara status gizi dengan penyakit infeksi.
Malnutrisi dapat meningkatkan risiko infeksi,
sedangkan infeksi dapat menyebabkan
malnutrisi yang mengarahkan ke lingkaran
setan. Apabila kondisi ini terjadi dalam waktu
lama dan tidak segera diatasi maka dapat
menurunkan intake makanan dan mengganggu
absorbsi zat gizi, sehingga dapat meningkatkan
risiko terjadinya stunting pada anak balita.

Pada hasil analisis menunjukkan tidak


ada hubungan antara status BBLR dengan
kejadian stunting pada anak balita baik di
wilayah pedesaan maupun di perkotaan. Hasil
penelitian ini bertentangan dengan penelitian
yang sebelumnya dilakukan yang menjelaskan
bahwa anak yang BBLR kedepannya akan
memiliki ukuran antropometri yang kurang di
masa dewasa [6]. Hal tersebut memang
berlawanan dengan adanya teori yang ada.
Anak balita yang lahir dengan berat badan lahir
rendah lebih berisiko untuk tumbuh stunting
dibanding anak yang lahir dengan berat badan
normal. Selain itu kondisi BBLR tidak akan
mempengaruhi pertumbuhan anak balita jika
anak tersebut mendapatkan asupan yang
memadai serta kondisi lingkungan mendukung
pertumbuhan dan perkembangan anak balita.
perkotaan bahwa pada hasil analisis bivariat dan pedesaan dan perkotaan adalah pendidikan ibu,
multivariat menunjukkan bahwa tinggi badan ibu pendapatan keluarga, pengetahuan ibu
dan tinggi badan ayah merupakan faktor risiko mengenai gizi, pemberian ASI eksklusif, umur
kejadian stunting pada balita usia 24–36 bulan pemberian MP-ASI, tingkat kecukupan zink,
[1]. Salah satu atau kedua orang tua yang tingkat kecukupan zat besi, riwayat penyakit
pendek akibat kondisi patologis dan memiliki infeksi serta faktor genetik dari orang tua,
gen dalam kromosom yang membawa sifat namun status pekerjaan ibu, jumlah anggota
pendek dapat mengakibatkan anak balita akan keluarga, status imunisasi, tingkat kecukupan
mewarisi gen tersebut dan tumbuh menjadi energi, dan status BBLR tidak mempengaruhi
pendek atau stunting.

Kejadian stunting pada anak balita


merupakan konsekuensi dari beberapa faktor
yang saling berpengaruh satu sama lain. Dari
beberapa faktor yang ada, terdapat faktor yang
paling mempengaruhi terjadinya stunting pada
anak balita baik yang berada di wilayah
pedesaan maupun perkotaan. Berdasarkan hasil
uji regresi logistik menunjukkan bahwa tingkat
kecukupan zink merupakan faktor yang paling
mempengaruhi kejadian stunting pada anak
balita yang berada di wilayah pedesaan maupun
perkotaan. Hasil yang sama pada penelitian
yang dilakukan di Semarang bahwa tingkat
kecukupan zink merupakan faktor yang paling
mempengaruhi terhadap kejadian stunting pada
anak balita [13]. Zink merupakan salah satu zat
gizi yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit tetapi
kebutuhannya sangat esensial bagi kehidupan.
Hal tersebut yang dapat mempengaruhi proses
pertumbuhan pada sebagain besar anak balita,
mengingat zink sangat erat kaitannya dengan
metabolisme tulang sehingga zink berperan
secara positif pada pertumbuhan dan
perkembangan. Anak membutuhkan zink lebih
banyak untuk pertumbuhan dan perkembangan
secara normal, melawan infeksi dan
penyembuhan luka. Zink berperan dalam
produksi hormon pertumbuhan. Zink dibutuhkan
untuk mengaktifkan dan memulai sintesis
hormon pertumbuhan/GH. Pada defisiensi zink
akan terjadi gangguan pada reseptor GH dan
produksi GH yang resisten [16].

Simpulan dan Saran

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah


faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting
pada anak balita yang berada di wilayah
terjadinya stunting. Tingkat kecukupan protein Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun
dan kalsium di pedesaan menunjukkan
hubungan yangsedangkan di perkotaan tidak 2013 [internet]: Status Gizi Anak Balita.
menunjukkan adanya hubungan. Selain itu, Jakarta: Badan Penelitian dan
fakor yang paling mempengaruhi terjadinya Pengembangan Kesehatan; 2013 [diakses
stunting pada anak balita di wilayah pedesaan tanggal 18 Mei 2014]. Available from:
maupun perkotaan sama yaitu tingkat http://www.depkes.go.id
kecukupan zink.
[4] Dewey KG dan Begum K. Long-term
Saran yang dapat diberikan adalah: 1) Consequences Of Stunting In Early Life.
Dinas Kesehatan perlu melakukan pengumpulan Blackwell Publishing Ltd Maternal and Child
data terkait angka kejadian stunting pada anak Nutrition. NCBI. 2011: Vol (7): 5-18 [diakses
balita melalui survey penentuan status gizi tanggal 30 Mei 2014] Available from:
(PSG) di Kabupaten Jember serta melakukan http://www.ncbi.nlm.nih.gov
upaya peningkatan pengetahuan ibu terkait
penyebab dan dampak terjadinya stunting. 2)
Puskesmas perlu mengadakan kegiatan penyu-
luhan bagi ibu anak balita terkait upaya untuk
memenuhi status gizi dan meningkatkan status
kesehatan. 3) Peningkatkan pelayanan kese-
hatan bagi puskesmas melalui kegiatan deteksi
dini dengan mengukur tinggi badan anak balita
secara rutin setiap bulan. 4) Masyarakat perlu
meningkatan asupan makanan yang banyak
mengandung zink, terutama sumber bahan
makanan hewani serta memperhatikan pengola-
han bahan makanan dengan baik dan benar. 5)
Penelitian lebih lanjut mengenai hubungan ke-
beradaan dan pemanfaatan pelayanan kese-
hatan serta sanitasi lingkungan dengan kejadian
stunting pada anak balita di desa dan kota.

Daftar Pustaka

[1] Nasikhah R. Faktor Risiko Kejadian


Stunting Pada Balita Usia 24-36 Bulan Di
Kecamatan Semarang Timur, Semarang.
JKM. 2012: Vol (1): 56-64 [diakses tanggal

29 Agustus 2014]

[2] World Health Organization. World Health


Statistics 2012 [internet]: Risk Factors.
Geneva: WHO Library Cataloguing in
Publication Data; 2012 [diakses tanggal 18

Mei 2014]. Available from:

http://www.apps.who.int

[3 Kementerian Kesehatan RI. Laporan Hasil


[5] Anisa P. Faktor-faktor yang Berhubungan Amongst Young Children Living in an
Dengan Kejadian Stunting Pada Balita 25- Informal Settlement in Gauteng and Rural
60 Bulan Di Kelurahan Kalibaru Depok Limpopo Province in South Africa: The
Tahun 2012 [Internet]. Depok: Universitas Nutrigro Study. NCBI. April 2006: Vol (4):
ndonesia. 2012 [diakses 20 Agustus 2014]. 79-89 [diakses tanggal 29Agustus 2014].
Available from: http://lontar.ui.ac.id Available from:http://www.ncbi.nlm.nih.gov
[6] Fitri. Berat Lahir Sebagai Faktor Dominan [12] Hanum F, Khomsan A dan Heryatno Y.
Terjadinya Stunting Pada Balita (12-59 Hubungan Asupan Gizi dan Tinggi Badan
Bulan) Di Sumatera (Analisis Data Ibu dengan Status Gizi Anak Balita. ISSN.
Riskesdas 2010) [Internet]. Depok: Maret 2014: Vol (1): 1-6 [diakses tanggal 29
Universitas Indonesia. 2012. [diakses 19 Agustus 2014]. Available
Agustus 2014]. Available from: from:http://www.portalgaruda.org
http://lib.ui.ac.id [13] Anindita P. Hubungan Tingkat Pendidikan
[7] Ramli, Agho KE, Inder KJ, Bowe SJ, Ibu, Pendapatan Keluarga, Kecukupan
Jacobs J dan Dibley MJ. Prevalence And Protein dan Zink dengan Stunting pada
Risk Factor For Stunting And Severe Balita Usia 6-35 Bulan di Kecamatan
Stunting Among Under Fives In North Tembalang Kota Semarang. JKM. 2012:
Maluku Province Of Indonesia. BMC Vol (1): 17-26 [diakses tanggal 29 Agustus
Pediatrics. 2009: Vol (9): 64-73 [diakses 2014].
tanggal 30 Agustus 2014] Available from: [14] Anshori H. Hubungan Risiko Kejadian
http://www.biomedcentral.com Stunting pada Anak Usia 12-24 Bulan
[8] United Nation Children’s Fund. Progress [Internet]. Semarang: Universitas
For Children Achieving The MDGs With Diponegoro. 2013 [diakses 20 Agustus
Equity [internet]:Eradicate Extreme Poverty 2014]. Available from:
and Hunger. New York: UNICEF; 2010 http://eprints.undip.ac.id
[diakses tanggal 2 Juli 2014]. Available [15] Suiraoka I, Kusumajaya A dan Larasati N.
from:http://www.unicef.org Perbedaan Konsumsi Energi, Protein,
[9] Hendra A, Miko A dan Hadi A. Kajian Vitamin A dan Frekuensi Sakit Karena
Stunting Pada Anak Balita Ditinjau dari Infeksi Pada Anak Balita Status Gizi
Pemberian ASI Eksklusif, MP-ASI, Status Pendek (Stunted) dan Normal di Wilayah
Imunisasi dan Karakteristik Keluarga di Kerja Puskesmas Karangasem I. JIG.
Kota Banda Aceh. JKIN. November

2010:Vol (6): 169-184 [diakses tanggal 17

Agustus 2014]. Available from:

http://nasuwakes.org

[10] Narendra. Tumbuh Kembang Anak dan

Remaja. Jakarta: Sagung Seto; 2002

[11] Theron M, Amissa A, Albertse E, Kleynhans I dan Maclntyre U. Inadequate Dietary Intake is
Not The Cause of Stunting

Februari 2011: Vol (2): 74-82 [diakses

tanggal 20 Agustus 2014]. Available from:

http://poltekkes-denpasar.ac.id/

[16] Agustian L, Sembiring T dan Arianai A.

Hubungan Tinggi Badan Orangtua Dengan Kejadian Stunting Pada Anak Usia 24-59
Peran Zinkum Terhadap Pertumbuhan Anak. SP. Desember 2009: Vol (11): 4-9 [diakses
tanggal 19 Agustus 2014]. Avail- able from:http://saripediatri.idai.or.id/

Lampiran 5

Hubungan Tinggi Badan Orangtua Dengan Kejadian Stunting Pada Anak Usia 24-59
HUBUNGAN TINGGI BADAN ORANGTUA DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA ANAK
USIA 24-59 BULAN DI KECAMATAN RATAHAN KABUPATEN MINAHASA TENGGARA
Novelinda Ch. Ratu*, Maureen I. Punuh*, Nancy S. H. Malonda*

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam


Ratulangi

ABSTRAK

Gizi merupakan salah satu faktor tercapainya keberhasilan yang optimal bagi tumbuh kembang anak. Periode

emas pertumbuhan memerlukan dukungan gizi yang cukup agar mendapatkan tumbuh kembang anak yang baik.
Kekurangan gizi yang terjadi pada awal kehidupan dapat mengakibatkan terjadinya gagal tumbuh sehingga
nantinya akan menjadi anak yang lebih pendek dari normal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan antara tinggi badan orangtua dengan kejadian stunting pada anak usia 24-59 bulan di Kecamatan
Ratahan Kabupaten Minahasa Tenggara. Penelitian ini merupakan penelitian survey analitik dengan
pendekatan cross sectional. Populasi yaitu anak usia 24-59 bulan dan orangtua di Kecamatan Ratahan
Kabupaten Minahasa Tenggara Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan simple random sampling.
Jumlah sampel sebanyak 88 anak. Variabel stunting diukur menggunakan pengukuran antropometri serta
microtoise untuk mengukur tinggi badan anak dan orang tua, kemudian menghitung z-score. Hasil
Penelitian yaitu terdapat

38,6% anak stunting, 34,1% ayah yang masuk dalam kategori pendek dan 44,3% ibu yang masuk dalam kategori
pendek. Berdasarkan hasil uji chi-square didapati bahwa terdapat hubungan antara tinggi badan ibu dengan
kejadian stuntin dan tidak terdapat hubungan antara tinggi badan ayah dengan kejadian stunting, dan terdapat
hubungan antara tinggi badan orang tua dengan stunting pada anak usia 24-59 bulan di Kecamatan Ratahan
Kabupaten Minahasa Tenggara.

Kata kunci: Stunting, anak, tinggi badan


orangtua

ABSTRACT

Nutrition is one of the factors to achieve success that is optimal for child growth. The golden period of growth
require appropriate nutritional support to optimize growth and development of the child. Malnutrition that

happened at the beginning of life can led to growth faltering so that later it will become a child who is shorter

that normal. This study aims to identify the relation between parent’s height and stunting genesis from ages 24-

59 months in Ratahan District Minahasa Tenggara Regency. An analytical survey research design was uses with
a cross sectional study approach. The population of this study were all of the toddlers from ages 24-59 months in
Ratahan District Minahasa Tenggara Regency. Sampling was done using simple random sampling. Samples
were

88 children. Stunting variable were measured by anthropometric measurements and microtoise to measure the
child’s height and parents , and then calculate the z score. Result of this study was obtained by 38,6% incidence
of stunting child, 34,1% of fathers who were in the short category and 44,3% of mothers in the short category .
Hubungan Tinggi Badan Orangtua Dengan Kejadian Stunting Pada Anak Usia 24-59
Based on chi square test it was found that there was a relation between mother’s height and stunting genesis
(p=0,000) and there was no relation between father’s height and stunting genesis (p=0,378), and there was a
relation between parents height and stunting genesis (p=0,000) in children aged 24-59 months in Ratahan

District Minahasa Tenggara


Regency.

Keywords: Stunting, children, parent’s


height

Hubungan Tinggi Badan Orangtua Dengan Kejadian Stunting Pada Anak Usia 24-59
PENDAHULUAN 127 juta pada tahun 2025 sebanyak 56% anak
pendek hidup di Asia dan 36% di Afrika. Data
Gizi merupakan salah satu faktor yang
tercapainya keberhasilan yang optimal bagi
tumbuh kembang bayi. Periode emas
pertumbuhan memerlukan dukungan gizi yang
baik untuk mendapatkan tumbuh kembang bayi
yang sempurna. Kekurangan gizi yang terjadi
pada awal kehidupan dapat mengakibatkan
tejadinya gagal tumbuh sehingga bayi akan
menjadi anak yang lebih pendek dari normal.
(Fikawati, dkk, 2015). Usia balita adalah
proses tumbuh kembang balita terjadi sangat
cepat. Dalam periode ini balita sangat
membutuhkan asupan gizi yang baik dengan
jumlah yang lebih dari biasanya karena balita
pada umumnya mempunyai aktivitas fisik
tinggi dan masih dalam proses belajar
(Welassih & Wirjatmadi, 2012). Masalah gizi
yang seringkali terjadi yaitu stunting.

World Health Organization (2013), Stunting


merupakan kegagalan untuk mencapai
pertumbuhan optimal yang dialami sejak masa
lampau sehingga menyebabkan pencapaian
pertumbuhan yang tidak sempurna. Batasan
stunting yaitu tinggi badan menurut umur
berdasarkan Z-score sama dengan atau kurang
dari -2SD.

Diperkirakan terdapat 162 juta balita pendek


pada tahun 2012, jika tren berlanjut tanpa
upaya penurunan, diproyeksikan akan menjadi
stunting di Indonesia sendiri menurut hasil riset
kesehatan dasar menyatakan pada tahun 2007
jumlah stunting pada anak dibawah 5 tahun
adalah 36,8% pada tahun 2010 menurun
menjadi 35,6% dan pada tahun 2013 kembali
meningkat menjadi 27,2%. Kementrian
Kesehatan RI melakukan pemantauan status
gizi pada tahun 2015 dan mendapatkan hasil
presentase stunting di Sulawesi Utara yaitu

15,9% pendek dan 6,3% sangat pendek.


Proporsi anak stunting pada penduduk yang
pendapatannya rendah hampir dua kali lipat
proporsi anak stunting pada penduduk yang
pendapatannya tinggi. Daerah pedesaan
memiliki proporsi yang lebih besar untuk anak
stunting yaitu sebesar 40% dibandingkan
dengan daerah perkotaan yaitu sebesar 33%.
Perkiraan kasar pada tahun 2007 menunjukkan
bahwa kira-kira 81% Kabupaten di Indonesia
memiliki prevalensi anak stunting yang sangat
tinggi (UNICEF, 2012).

Faktor-faktor yang berhubungan dengan


kejadian stunting yaitu pola asuh, berat badan
lahir, riwayat infeksi balita, riwayat penyakit
kehamilan, tinggi badan orang tua, dan faktor
sosial ekonomi. Tinggi badan orang tua
merupakan ukuran tubuh ayah dan ibu yang
diukur dengan menggunakan microtoise dalam
ketelitian 0,1 cm dari ujung kaki sampai kepala
dengan menyatakan kategori ibu pendek bila
tinggi badan <150 cm dan normal ≥150 cm,
sedangkan kategori ayah pendek bila tinggi
badan <155 cm dan normal bila ≥155 cm gizi dan kriteria eksklusi yaitu orang tua dan
(Jahari dan Hardinsyah, 2012). Menurut anak yang bersedia menjadi responden, anak
Rahayu (2011) bahwa anak yang dilahirkan
dari ibu pendek beresiko menjadi stunting,
karena akibat kondisi fisik memiliki pewaris
dalam struktur gen yang dapat membawa sifat
pendek sehingga memperoleh peluang anak
untuk mewarisi gen sehingga tumbuh menjadi
stunting.

Tujuan penelitian ini yaitu untuk


mengetahui terdapat hubungan tinggi badan
orangtua dengan kejadian stunting pada anak
usia 24-59 bulan di Kecamatan Ratahan
Kabupaten Minahasa Tenggara.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan desain penelitian


deskriptif dengan rancangan cross sectional
study. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan
Ratahan Kabupaten Minahasa Tenggara pada
bulan April – September 2018. Populasi dalam
penelitian ini adalah anak usia 24-59 bulan
berjumlah 447 balita. Pengambilan sampel
menggunakan simple random sampling dan
dibedakan menjadi dua cara yaitu dengan
lottery technique dan random number dan
diperoleh sebanyak minimal 82 balita. Kriteria
ekslusi yaitu yang memiliki BBLR, memiliki
cacat fisik yang dapat dipengaruhi pada status
usia 24-59 bulan yang diasuh oleh ibu Responden dalam penelitian ini yaitu orangtua
kandung. dan balita dari sampel. Umur responden mulai
dari umur 17-53 tahun. Untuk kategori umur
Instrumen penelitian yang digunakan adalah
ibu, 17-28 tahun berjumlah 34 responden,
kuesioner sedangkan untuk mengukur tinggi
umur 29-40 berjumlah 30 responden dan umur
badan balita dan tinggi badan orang tua
menggunakan microtoise dengan ketelitian 0,1. 41-53 tahun berjumlah 19 responden.
Data yang dikumpulkan yaitu data Sedangkan untuk kategori umur ayah, 20-29
antropometri, identitas anak usia 24-59 bulan
dan identitas keluarga. Analisis data
menggunakan analisis univariat dan bivariat
menggunakan uji Chi-Square dengan α=0,05.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Analisis Univariat
Karakteristik Sampel

Jenis kelamin laki-laki lebih banyak dari

perempuan sebanyak 48 anak (54,5%)

sedangkan jenis kelamin perempuan sebanyak

40 anak (45,5%). Dari umur balita 24-59 bulan,


didapati kelompok umur 36-47 lebih banyak
yaitu 34%, kemudian kelompok umur 24-35
dan 48-59 masing-masing berjumlah 29 anak
(33%).

Karakteristik Responden
tahun berjumlah 22 responden, 30-39 Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 1,
berjumlah 37 responden, 40-49 berjumlah 25 tinggi badan orangtua di Kecamatan
responden dan >50 berjumlah 4 responden.
Ratahan Kabupaten Minahasa Tenggara,
Tingkat pendidikan responden (ibu) terbanyak
kelompok tinggi badan ayah 150-159 cm
yaitu berpendidikan SMA sebanyak 53,4% dan
sebanyak 12%, kelompok tinggi badan
paling sedikit yaitu tidak tamat SD sebanyak
ayah 160-169 cm sebanyak 61%, dan
1,1%, diikuti SMP (21,6%), S1 (8%), SD kelompok tinggi badan ayah 170-179 cm
(6,8%), dan diploma (4,5%). Pendidikan sebanyak 15%. Sedangkan kelompok tinggi
responden (ayah) terbanyak yaitu
badan ibu 140-149 cm sebanyak 40%,
berpendidikan SMA sebanyak 40,9% dan
kelompok tinggi badan ibu 150-159 cm
paling sedikit yaitu tidak tamat SD sebanyak
sebanyak 46%, dan kelompok tinggi badan
1,1%. Berdasarkan jenis pekerjaan ibu
160-169 cm sebanyak 2%.
terbanyak yaitu IRT sebanyak 78,4% dan yang
paling sedikit yaitu pegawai honorer sebanyak

2,3%, sedangkan responden ayah terbanyak


memiliki pekerjaan petani sebanyak 52,3% dan
Tabel 2. Distribusi Kategori Tinggi Badan
yang paling sedikit yaitu pegawai honorer
sebanyak 1,1%.
Anak dan Orang Tua

%
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Tinggi Badan

Tinggi Badan Orang


Orang Tua Tua n %

Ayah
0,0
150-159 12 12,0
160-169 61 61,0 38,6
170-179 15 15,0 61,4
Ibu
0,0
140-149 40 40,0
150-159 46 46,0
160-169 2 2,0
Kategori Karakteristik

Status Gizi 34,1

Sangat Pendek 0 65,9


Pendek 34
Normal
Tinggi Badan Ayah
44,3
Pendek
30
Normal
Tinggi Badan Ibu 55,7
Pendek
39
Normal

Hasil penelitian pada tabel 2 menunjukkan


status gizi berdasarkan indeks antropometri
TB/U yang pendek 38,6% dan yang memiliki
status gizi normal 61,4%. .Berdasarkan hasil
uji tinggi badan ayah pendek sebanyak 34,1%
Status
dan Stunting
untuk n
tinggi badan ayah normal sebanyak 38,6
Stunting 34
Tidak Stunting 54 61,4
Jumlah
65,9%. Sedangkan 88 tinggi badan ibu
untuk
100
normal sebanyak 49 orang (55,7%) dan yang
pendek sebanyak 39 orang (44,3%).

Pertumbuhan tinggi badan relatif kurang Hasil penelitian pada table 3 menunjukkan
sensitive pada masalah kekurangan gizi dalam status gizi tinggi badan menurut umur
waktu yang singkat. Pengaruh defiensi zat gizi (TB/U)
terhadap tinggi badan akan nampak dalam
waktu yang relatif lama. Sangat penting
keadaan gizi ibu perlu dilihat dari berbagai
aspek. Selain akses terhadap keamanan pangan
dan terhadap pelayanan kesehatan setinggi-
tingginya meupakan hak asasi dasar setiap
orang, keadaan gizi ibu juga mempunyai
dampak secara sosial dan ekonomi. Berbagai
penelitian lain juga menunjukkan bahwa
keadaan gizi ibu tidak hanya dapat memberikan
dampak negatif terhadap status kesehatan dan
risiko kematian dirinya, tetapi juga terhadap
kelangsungan hidup dan perkembangan janin
yang dikandungnya dan lebih jauh lagi
terhadap pertumbuhan janin tersebut sampai
usia dewasa.

Tabel 3. Distribusi Anak Menurut Status

Stunting

%
sebanyak 54 anak (61,4%) kategori tidak
stunting, sedangkan kategori stunting
ditemukan sebanyak 34 anak (38,6%).

Kasus kejadian stunting mengindikasikan


masalah kesehatan masyarakat karena
berhubungan dengan meningkatnya risiko
morbiditas dan mortalitas, terhambatnya
perkembangan dan fungsi motorik dan mental
serta mengurangi kapasitas fisik. Anak dengan
keadaan stunting tidak mengalami potensi
pertumbuhan secara maksimal dan dapat
menjadi remaja dan dewasa yang stunting.
Tinggi badan orang tua berkaitan dengan
kejadian stunting. Ibu yang pendek memiliki
kemungkinan melahirkan bayi yang pendek pula.
Hasil penelitian di Mesir menunjukkan bahwa
anak yang lahir dari ibu yangl memiliki tinggi
badan <150 cm memiliki risiko lebih tinggi
untuk tumbuh menjadi stunting (Amin,

2014).

Ada beberapa faktor yang dapat


mempengaruhi terhadap tinggi badan orang tua
yaitu faktor genetic atau faktor nutrisi maupun
patologis. Tinggi badan ibu merupakan salah
satu faktor yang dapat berpengaruh terhadap
stunting karena keluarga termasuk dalam faktor
internal yang mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan karena kecenderungan keluarga
dalam memiliki tubuh yang tinggi maupun
pendek serta faktor genetic menjadi salah satu
faktor yang dapat berpengaruh dimana ada
beberapa kelainan genetik yang berpengaruh ibu pendek salah satu faktor yang berhubungan
terhadap tubuh kembang seperti halnya kerdil. dengan kejadian stunting (Nasikhah, 2012).

Hasil ini sejalan dengan penelitian di


Semarang Timur (2012) tentang faktor risiko
Analisis Bivariat kejadian stunting pada balita usia 24-36 yang
menujukkan bahwa anak yang dilahirkan dari
Tabel 4. Hubungan antara Tinggi Badan Orang
ibu atau ayah pendek sangat berisiko menjadi

Tua (Ibu) dengan Kejadian Stunting

Status Gizi Balita (TB/U) P

Tinggi Va
stunting. Jika salah satu atau kedua orang tua
Badan Stunting Normal Total lu

Ibu e memiliki tubuh pendek akibat kondisi fisik


n % n % n %

100, (seperti defisiensi hormone pertumbuhan)


Pendek 30 76,9 9 23,1 39 0,
0 memiliki gen pewaris dalam kromosom yang
00
dapat membawa sifat pendek sehingga dapat
100,
Normal 4 8,2 45 91,8 49 0
berpeluang anak mewarisi gen tersebut
0
sehingga anak tumbuh menjadi stunting.
100, 10
Jumlah 34 38,6 54 61,4 88 Apabila, orang tua pendek yang diakibat oleh
0 0
kurangnya kebutuhan gizi atau penyakit,

Tabel 5. Hubungan antara Tinggi Badan Orang

Tua (Ayah) dengan Kejadian Stunting

Status Gizi Balita (TB/U) P


Tinggi Valu kemungkinan besar anak dapat tumbuh dengan
Stunting Normal Total
Badan tinggi badan normal selama anak tersebut tidak
Ayah e
n % n % n % terkena faktor risiko yang lain (Nasikhah,
100,
Pendek 14 46,7 16 53,3 30 2012).
0 0,3

100, 78
Normal 20 34,5 38 65,5 58
0 Penelitian ini juga sama dengan penelitian
yang dilakukan Amin (2014) di Yogyakarta
10
Jumlah 34 38,6 54 61,4 88
yang menunjukkan bahwa tinggi badan ibu
0
juga merupakan faktor risiko yang
mengakibatkan kejadian stunting pada usia 6-

Berdasarkan uji chi-square yang telah 23 bulan. Hasil analisis bivariat dan multivariat

dilakukan didapatkan dalam penelitian ini p menunjukkan bahwa anak yang dilahirkan oleh

value = 0,000 maka dari itu, didapatkan nilai p ibu yang pendek memperoleh peluang besar
anak tumbuh menjadi stunting.
< 0,05 yang berarti Ho ditolak, sehingga dapat
disimpulkan ada hubungan antara tinggi badan Berdasarkan tabel 5, dapat dilihat
ibu dengan kejadian stunting pada balita. bahwa sebagian besar ayah yang pendek
Tinggi badan orang tua berhubungan dengan memiliki anak yang stunting yaitu
tumbuh kembang fisik pada anak. Tinggi badan
sebanyak 46,7% sedangkan ayah yang 3. Tidak ada hubungan yang bermakna
pendek dan memiliki anak dengan tinggi antara tinggi badan ayah dengan kejadian

normal sebanyak 53,3%. Selanjutnya, hasil stunting.

uji menggunakan chi-squre dengan α= 0,05


di peroleh p value 0,378 hasil ini
menunjukkan bahwa tidak terdapat Saran
hubungan antara tinggi badan orangtua
dengan kejadian stunting pada anak usia 1. Masih tingginya kejadian stunting pada
balita memerlukan upaya untuk
24-59 bulan di Kecamatan Ratahan.

Hal ini sejalan dengan penelitian


Ngaisyah (2016) tentang hubungan tinggi
badan orang tua dengan kerjadian stunting di
Yogyakarta ditemukan bahwa tidak ada
hubungan tinggi badan orang tua dengan
kejadian stunting.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan


yang telah diuraikan, maka penulis menarik
kesimpulan yaitu:

1. Anak usia 24-59 bulan yang dikategorikan


stunting berdasarkan indeks antropometri
TB/U berjumlah 38,6%

2. Ada hubungan yang bermakna antara


tinggi badan ibu dengan kejadian stunting.
meningkatkan pengetahuan masyarakat Kementerian Kesehatan RI. (2013). Hasil Riset
khususnya keluarga dengan latar belakang Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2013.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI
pendidikan rendah agar dapat
mempersiapkan 1000 hari kehidupan
pertama untuk generasi Indonesia yang Nasikhah R, Margawati A. (2012). Faktor

lebih baik. Risiko Kejadian Stunting Pada Balita Usia

24 – 36 Bulan Di Kecamatan Semarang


2. Bagi peneliti selanjutnya agar dapat
mengembangkan atau meneruskan Timur. Journal of Nutrion College, vol 1,
no 1, hal 176-184.
penelitian mengenai kejadian stunting
dengan penambahan variabel lainnya atau
dengan membedakan wilayah urban dan
rural.

DAFTAR PUSTAKA

Amin N A, Julia M. (2014). Faktor


Sosiodemografi dan Tinggi Badan Orang
Tua Serta Hubungannya dengan Kejadian
Stunting pada balita usia 6-23 bulan.
Jurnal Gizi dan Dietetik Indonesia.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada

Fikawati S, dkk. (2015). Gizi Ibu dan Bayi.

Jakarta. PT RAJAGRAFINDO
PERSADA.

Jahari, AB dan Hadinsyah. (2012). Rata-Rata


Berat Badan Orang Tua Dan Tinggi
Badan Normal Orang Indonesia Menurut
WHO 2007. Untuk Penyusunan Angka
Kecukupan Gizi (AKG) 2012. Departemen
Gizi Masyarakat FEMA IPB.
Ngaisyah R D, Septriana. (2016). Hubungan
Tinggi Badan Orang Tua dengan Kejadian
Stunting. Yogyakarta: Universitas Respati
Yogyakarta

Rahayu LS. Associated of height of parents


with changes of stunting status from 6-12
months to 3-4 years[Thesis]. Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada; 2011

UNICEF. (2010). Penentuan Hidup Sehat.

Jakarta: Pusat Promosi Kesehatan

Kementrian Kesehatan RI.

Welassih, B. D., & Wirjatmadi, R. B. (2012).

Beberapa Faktor yang Berhubungan


dengan Status Gizi Balita Stunting. The

Indonesian Journal of Public Health, Vol

8 No 3, 8-70.

WHO. 2013. Perfection prevention and Control


of Epidemic-and Pendemic-prone Acute
Respiratory Disease in Health Care.
Jenewa WHO Interim Guidelines.

i JSK, Volume 5 Nomor 3 Maret Tahun 2020


Lampiran 6

Prevalensi Underweight, Stunting, dan Wasting pada Anak Usia 12-18 Bulan
di Kecamatan Jatinangor

Rahimah N. Hanifah1, Julistio T.B. Djais2, Siti N. Fatimah3

1
Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran
2
Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran/

Rumah Sakit Umum Dr. Hasan Sadikin, Bandung, Indonesia


3
Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Islam Bandung

Abstrak

Status gizi rendah di Indonesia merupakan masalah kesehatan yang belum teratasi. Sumedang termasuk
kabupaten di Jawa Barat yang masuk dalam daftar 100 kabupaten prioritas penanganan stunting karena memiliki
angka prevalensi stunting yang tinggi. Ketika anak berusia 12-18 bulan kebutuhan nutrisinya akan meningkat dan
anak sudah mengenali selera lidahnya, sehingga cenderung menjadi pemilih makanan. Hal ini dapat
meningkatkan risiko anak mengalami malnutrisi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi
underweight, stunting dan wasting pada anak usia 12-18 bulan di Kecamatan Jatinangor. Penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif potong lintang. Penilaian status gizi dilakukan pada bulan Juli hingga Agustus
tahun 2019 di Posyandu Desa Hegarmanah dan Cipacing menggunakan pengukuran antropometri berat dan
panjang badan anak, kemudian hasilnya akan dipetakan kedalam kurva pertumbuhan WHO. Dari 99 anak
yang diteliti, terdapat

4 anak underweight (4%), 11 anak stunting (11%), dan 5 anak wasting (5%). Ketika data dibagi berdasarkan
kelompok usia, terdapat peningkatan prevalensi stunting pada kelompok anak usia 15-≤18 bulan. Pada usia ini
kebutuhan nutrisi utama anak didapatkan dari MP-ASI. Dapat disimpulkan bahwa prevalensi malnutrisi pada
anak usia 12-18 bulan di Jatinangor masih tergolong sedang, namun terdapat peningkatan prevalensi malnutrisi
pada kelompok anak usia 15-≤18 bulan. Perlu adanya sosialisasi dan pelatihan praktik pemberian MP-ASI pada
anak

Kata Kunci : Prevalensi, Status Gizi, Stunting, Underweight, Wasting

Prevalence of Underweight, Stunting, and Wasting Among Children


Aged 12-18 Months in Jatinangor

Abstract

Malnutrition is a health issue that hasn’t been solved yet in Indonesia. Sumedang, which is one of the cities in
Jawa Barat, is included in the list of 100 priority cities for stunting handling because of its high prevalence rate.
When child is 12-18 months old, nutritional needs will increase and child already has his own taste, so he tends
to be picky eater. This may increase risk of malnutrition in child. This study aimed to determine prevalence of
underweight, stunting, and wasting among children aged 12-18 months in Jatinangor. The study was an cross
sectional study. This study was held on July until August 2019 at Posyandu in Hegarmanah and Cipacing by
using anthropometric measurements of child’s body weight and length for indicating nutritional status. Then the
result would be mapped into WHO child growth standards. Result : from 99 children who were examined, there
i JSK, Volume 5 Nomor 3 Maret Tahun 2020
were 4 underweight children (4%), 11 stunting children (11%), and 5 wasting children(5%). When data were
divided by age group, the prevalence of stunting had increase among children aged 15 - ≤18 months. At this age
the primary nutritional needs of child are obtained from complementary food. In conclusion, the prevalences of
malnutrition among children aged 12-18 months in Jatinangor were moderate, but that prevalences had increase
among children aged

15 - ≤18 months. There is a need for socialization and training in child feeding practice of complementary food

Keywords : Nutritional Status, Prevalence, Stunting, Underweight, Wasting

Korespondensi:
Rahimah N. Hanifah

Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran

Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21, Jatinangor, Sumedang

Mobile : 081214101612

Email : rahimahnh@gmail.com

i JSK, Volume 5 Nomor 3 Maret Tahun 2020


Pendahuluan kesehatan masyarakat yang ditetapkan WHO.5
Kabupaten Sumedang merupakan salah satu

Masalah gizi merupakan masalah kesehatan kabupaten di Jawa Barat yang masuk dalam
global karena terjadi hampir di seluruh belahan daftar 100 kabupaten/kota prioritas penanganan
dunia. Kekurangan gizi akan menghambat proses
pertumbuhan pada anak. Anak yang mengalami stunting karena memiliki angka prevalensi yang
masalah pertumbuhan akan memiliki tingkat
kecerdasan yang tidak maksimal, lebih rentan tinggi yaitu sebesar 41,08%.1
terhadap penyakit dan beresiko pada
menurunnya produktivitas di masa depan, Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
sehingga akan menghambat pertumbuhan
ekonomi suatu negara.1 Oleh sebab itu, negara prevalensi underweight, stunting dan wasting
harus memberikan perhatian lebih untuk
mengatasi masalah gizi yang sedang terjadi. pada anak usia 12-18 bulan di Kecamatan
Usia 12-18 bulan masuk dalam periode emas Jatinangor, sehingga dapat menjadi masukan
pertumbuhan dan perkembangan anak, karena
pada masa ini anak mengalami pertumbuhan tinggi kepada pemerintah untuk mempertimbangkan
yang cepat hingga mencapai setengah dari tinggi
orang dewasa dan sirkuit otak anak terbentuk program pencegahan dan penatalaksanaan
hingga 80%.2 Pada usia ini, kebutuhan gizi anak
meningkat dan anak sudah dapat mengenali malnutrisi di Kabupaten Sumedang.
selera lidahnya sehingga cenderung menjadi
pemilih makanan. Hal ini akan meningkatkan
risiko anak mengalami malnutrisi.
Menurut data UNICEF tahun 2017, terdapat
Metode
92 juta (13,5%) balita di dunia mengalami
underweight, 151 juta (22%) balita mengalami
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif
stunting dan 51 juta (7,5%) balita mengalami
wasting. Sebagian besar balita di dunia yang
mengalami underweight, stunting dan wasting
berasal dari Benua Afrika dan Asia.3
Berdasarkan
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, status
gizi balita di Indonesia mengalami perbaikan
dari
tahun 2013 hingga 2018. Prevalensi underweight
menurun dari 19,6% menjadi 17,7%, prevalensi
stunting menurun dari 37,2% menjadi 30,8%,
dan
prevalensi wasting menurun dari 12,1% mejadi
10,2%.4 Namun, angka prevalensi tersebut masih
berada dalam kategori tinggi berdasarkan batas
ambang prevalensi malnutrisi sebagai masalah
2 JSK, Volume 5 Nomor 3 Maret Tahun 2020
dengan pendekatan potong lintang. Populasi rentang prevalensi malnutrisi pada populasi
target terdiri dari seluruh anak usia 12-18 bulan yang sebenarnya adalah underweight 0.2-
di Kecamatan Jatinangor. Metode penentuan
desa dilakukan dengan cara diundi, desa 8 %, stunting 5-17%, dan wasting 0.7-9%.
terpilih yang akan ikut dalam penelitian adalah
Desa Hegarmanah dan Cipacing. Berdasarkan
rumus perhitungan estimasi proporsi populasi,
besar sampel minimal yang dibutuhkan dalam
penelitian ini adalah 96 subjek penelitian.
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah
seluruh anak usia 12-18 bulan di Desa
Hegarmanah-Cipacing dan kriteria eksklusinya
adalah anak yang tidak datang ke posyandu saat
penelitian dilakukan. Penelitian ini telah
mendapatkan izin dari Komisi Etik Fakultas
Kedokteran Unversitas Padjadjaran No.
680/UN6.KEP/EC/2019. Penilaian status gizi
anak dilakukan pada bulan Juli hingga Agustus
tahun 2019 dengan mengukur berat dan panjang
badan anak di Posyandu. Sedangkan,
pengambilan data tambahan, seperti riwayat
prematur, berat lahir, dan pekerjaan orangtua
dilakukan dengan mewawancarai orangtua atau
wali anak. Instrumen yang digunakan adalah
formulir pengukuran, timbangan digital merek
Omron HN289 yang sudah dikalibrasi dengan
ketelitian 100g, dan alat ukur panjang badan
merek GEA medical WB-C.
Hasil pengukuran dipetakan kedalam kurva
pertumbuhan anak WHO6 yang dibagi menjadi 3
indikator, yaitu berat badan menurut usia
(BB/U), tinggi badan menurut usia (TB/U), dan
berat badan menurut tinggi badan (BB/TB).
Kemudian akan dikelompokkan menjadi normal,
underweight, stunting, atau wasting dan dihitung
prevalensinya. Hasil penelitian disajikan
dalam bentuk tabel.

Hasil

Total anak usia 12 hingga 18 bulan di Desa


Hegarmanah dan Cipacing yang ikut dalam
penelitian ini berjumlah 99 anak, yang terdiri
dari 51 anak laki-laki dan 48 anak perempuan.
Berdasarkan kelompok usia, terdiri dari 57 anak
usia 12 - <15 bulan dan 42 anak usia 15 - ≤18
bulan. Dari 99 anak yang mengikuti penelitian,
1 anak memiliki riwayat kelahiran prematur
dan 3 anak memiliki riwayat berat lahir rendah.
Sebagian besar orang tua anak bekerja sebagai
wiraswasta (29%) dan buruh (18%).
Bedasarkan hasil pengukuran status gizi
anak pada tabel 2, prevalensi underweight,
stunting, dan wasting pada anak usia 12-18
bulan di Jatinangor yaitu sebesar 4%, 11%,
dan 5%. Dengan 95% interval kepercayaan,
3 JSK, Volume 5 Nomor 3 Maret Tahun 2020
Tabel 1 Karakteristik Anak Usia 12-18 Bulan Tabel 2 Status Gizi Anak Usia 12-18 Bulan
di Desa Hegarmanah dan Cipacing di Kecamatan Jatinangor
Kecamatan Jatinangor
Karakteristik Frekuensi Persentase
(%)

Usia
Status Gizi Frekuensi Persentase
(%)
12 - <15 bulan 57 58
Indikator BB/U
15 - ≤18 bulan 42 42
Normal 95 96
Jenis Kelamin
Indikator TB/U
Stunting 11 11
Normal 88 89
Indikator BB/TB
Laki-laki 51 52
Perempuan 48 48 Wasting 5 5
Prematur
Normal 94 95
Ya 1 1

Tidak 98 99
Tabel 4 Distribusi Status Gizi Anak
Berat Bayi Lahir
Berdasarkan Gabungan Indikator
Normal 96 97
Rendah 3 3
Status Gizi Berat Normal Wasting
Pekerjaan Orang
Tinggi Normal 84 4
Tua Stunting 10 1

Buruh 18 18

Pedagang 8 8

Wiraswasta 29 29

PNS 5 5

Lainnya 39 40

Tabel 3 Distribusi Malnutrisi Berdasarkan Kelompok Usia

Underweight Stunting Wasting


Karakteristik
n % n % n %
Usia

15 - ≤18 bulan 4 100 10 99 3 60


Ketika data anak yang mengalami prevalensi underweight (4%), stunting (11%),
kekurangan nutrisi dibagi berdasarkan dan wasting (5%) pada anak usia 12-18 bulan
kelompok usia seperti pada tabel 3, di Kecamatan Jatinangor, angka prevalensi di
terdapat peningkatan angka underweight, Kecamatan Jatinangor masih lebih rendah.
stunting, dan wasting pada kelompok anak usia
15 - ≤ 18 bulan. Berdasarkan batas ambang prevalensi
malnutrisi sebagai masalah kesehatan masyarakat
Berdasarkan tabel 4, dari 11 anak stunting yang ditetapkan oleh WHO,5 prevalensi
underweight (4%) di Kecamatan Jatinangor
terdapat 10 anak dengan berat badan normal dan termasuk kategori rendah, sedangkan wasting
(5%) dan stunting (11%) termasuk kategori
1 anak dengan berat badan kurang (wasting). sedang.
Meskipun angka prevalensi malnutrisi di
Kecamatan Jatinangor masih tergolong sedang,
angka prevalensi tersebut meningkat seiring
Pembahasan dengan bertambahnya usia anak. Dapat dilihat
pada tabel 3, terdapat peningkatan prevalensi
stunting pada kelompok usia 15 - ≤18 bulan.

Berdasarkan data Riskesdas tahun 2018, angka


prevalensi underweight, stunting, dan wasting
pada anak usia 12-23 bulan di Indonesia adalah
sebesar 18%, 37.7%, dan 10.7%.4 Jika angka
prevalensi tersebut dibandingkan dengan angka
Dua tahun pertama kehidupan anak anak normal.14 Data tersebut menunjukkan
merupakan periode kritis pertumbuhan, karena adanya kemungkinan kejadian stunting pada
menjadi periode yang paling sensitif terjadinya
kegagalan pertumbuhan (growth faltering), dan
merupakan waktu yang tepat untuk melakukan
pemulihan atau mengejar keterlambatan bila ada
gangguan perkembangan.7 Menurut WHO,
kebutuhan nutrisi utama anak usia 12-18 bulan
didapatkan dari MP-ASI. Ada beberapa hal yang
harus diperhatikan dalam pemberian MP-ASI,
yaitu waktu, frekuensi, jumlah, tekstur,
kandungan nutrisi, dan cara pemberian
makanannya yang harus disesuaikan dengan
usia anak karena perkembangan fungsi sistem
pencernaan anak belum sempurna.8
Penelitian yang dilakukan oleh Viramitha
menunjukkan bahwa frekuensi dan jumlah MP-
ASI, serta pemberian makan secara responsif
memengaruhi kejadian stunting pada anak usia
12-23 bulan di Jatinangor, sedangkan ketepatan
waktu dan keamanan dalam pemberian makan
tidak memengaruhi kejadian stunting.9 Hal ini
didukung oleh penelitian Wanda di Aceh bahwa
pemberian MP-ASI yang tidak benar memiliki
risiko terhadap kejadian stunting sebesar 6.54
kali.10
Secara fungsional malnutrisi dibagi menjadi
malnutrisi akut dan kronik. malnutrisi akut
ditandai dengan kondisi wasting, dan malnutrisi
kronik ditandai dengan kondisi stunting.7 Pada
penelitian ini terdapat 2 fenomena stunting yang
terjadi yaitu stunting dengan berat badan kurang
(wasting) dan stunting dengan berat badan
normal. Menurut Cirmanova kondisi wasting
berhubungan dengan penurunan massa lemak
dalam tubuh, dimana lemak berfungsi untuk
mensekresikan hormon leptin yang memiliki
efek anabolik secara langsung di dalam tulang
dengan menstimulasi stem sel untuk
berdiferensiasi menjadi osteoblast.11,12 Hal ini
dapat menjelaskan keterkaitan episode wasting
sebelum kejadian stunting.
Berdasarkan tabel 4, sebanyak 10 dari 11
anak stunting memiliki berat badan normal.
Kondisi stunting dengan berat badan normal
dapat dijelaskan pada penelitian Estillyta bahwa
sebenarnya asupan makronutrien anak stunting
sudah tercukupi, namun asupan mikronutrien
yang berperan dalam proses pertumbuhan
tulang seperti kalsium, fosfor, dan vitamin D
masih kurang sehingga pertumbuhan panjang
badannya tidak optimal.13 Hal ini didukung oleh
penelitian di Afrika Selatan yang menunjukkan
bahwa asupan lemak, kalsium, fosfor, vitamin D,
riboflavin, dan vitamin B12 pada anak stunting
signifikan lebih rendah dibandingkan dengan
anak usia 12-18 bulan di Kecamatan Jatinangor 4. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
disebabkan oleh kekurangan mikronutrien. Oleh
karena itu, perlu adanya penelitian lebih lanjut Laporan Nasional Riskesdas. Jakarta:,
untuk membuktikan hal ini.
Lembaga Penerbit Badan Penelitian dan
Keterbatasan dari penelitian ini adalah
kesulitan dalam menggali informasi tambahan Pengembangan Kesehatan; 2018.
tentang anak karena anak diantar ke posyandu
bukan oleh orang tuanya danjumlah sampel yang 5. de Onis, M., Borghi, E., Arimond, M.,
diambil masih kurang untuk menggambarkan Webb,
kondisi populasi yang lebih akurat.
P., Croft, T., Saha, K., dkk. (2018). Prevalence
Kesimpulan dari penelitian ini adalah
prevalensi underweight (4.04%), stunting Thresholds for Wasting, Overweight and
(11.1%), dan wasting (5.05%) pada anak usia
Stunting. Public Health Nutrition, 1-5.
12-18 bulan di Kecamatan Jatinangor masih
tergolong sedang berdasarkan batas ambang 6. WHO. The WHO Child Growth Standards.
prevalensi malnutrisi sebagai masalah kesehatan [Online]; 2016 (diunduh 2 April 2019).
yang ditetapkan WHO, namun terdapat
peningkatan angka prevalensi stunting pada Tersedia dari: https://www.who.int/
kelompok anak usia 15 - ≤18 dan sebagian besar
anak stunting memiliki berat badan normal. childgrowth/en/
Jika tidak ada intervensi lebih lanjut, angka
prevalensi tersebut akan terus meningkat dan
menjadi tinggi. Perlu adanya program sosialisasi
dan pelatihan praktik pemberian MP-ASI untuk
meningkatkan pemahaman orangtua terutama
ibu dalam pemenuhan kebutuhan gizi anak, serta
penelitian lebih lanjut untuk mengetahui adanya
kekurangan mikronutrien tersembunyi yang
menyebabkan kejadian stunting di Jatinangor.

Daftar Pustaka

1. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan


Kemiskinan. 100 Kabupaten/Kota Prioritas
untuk Intervensi Anak Kerdil (Stunting)
Vol.1
Jakarta Pusat: Sekretariat Wakil Presiden
Republik Indonesia. 2017: 241.
2. Cusick SE, Georgieff MK. The Role of
Nutrition in Brain Development : The
Golden Opportunity of the first 1000 days.
The Journal of Pediatrics. 2016; 175: 16-21.
3. UNICEF. Malnutrition in Children. [Online];
2017 (diunduh 23 Maret 2019). Tersedia
dari: https://data.unicef.org/topic /nutrition/
malnutrition.
7. Shrimpton R, Victora CG, de Onis M, Lima RC, Blossner M, Clugston G. Worldwide
Timing of Growth Faltering. Pediatrics.
2001.
8. Dewey K. Guiding Principles for
Complemantary Feeding of Breastfed Child.
Washington DC: PAHO World Health
Organization; 2003.
9. Rusmil VK, Ikhsani R, Dhamayanti M,
Hafsah T. Hubungan Perilaku Ibu dalam
Praktik Pemberian Makan pada Anak Usia
12-23 Bulan dengan Kejadian Stunting di
Wilayah Kerja Puskesmas Jatinangor. Sari
Pediatri. 2019; 20(6) : 366-74.
10. Lestari, W., Margawati, A., & Rahfiludin, M.
Z. (2014). Faktor Risiko Stunting pada Anak
Umur 6-24 Bulan di Kecamatan Penanggalan
Kota Subulussalam Provinsi Aceh. Jurnal
Gizi Indonesia, 37-45. Lestari W, Margawati
A, Rahfiludin MZ. Faktor Risiko Stunting
pada Anak Umur 6-24 Bulan di Kecamatan
Penanggalan Kota Subulussalam Provinsi
Aceh. Jurnal Gizi Indonesia. 2014; 37-45.
11. Briend A, Khara T, Dolan C. Wasting and Stunting Similarities and Differences :
Policy and Programmatic Implications. Food and Nutrition Bulletin. 2015.
12. Cirmanova V, Bayer M, Zajickova K. The Effect of Leptin on Bone – An
Evolving Concept of Action. Physiological Research.
2008; 57.
13. Chairunnisa , Kusumastuti , Panunggal B.
Asupan Vitamin D, Kalsium, dan Fosfor pada
Anak Stunting dan Tidak Stunting Usia 12-24
Bulan di Kota Semarang. Journal of Nutrition
College. 2018.
14. van Stuijvenberg ME, Nel J, Schoeman
SE, Lombard CJ, Plessis LMd, Dhansay
MA. Low intake of calcium and vitamin
D, but not zinc, iron or vitamin A, is
associated with stunting in 2- to 5-year-old
children. Nutrition Elsevier. 2014; 841-846.

LAMPIRAN 7
YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
Jalan Beliang No.110 Palangka Raya Telp/Fax. (0536) 3227707
E-Mail : stikesekaharap110@yahoo.com
LEMBAR KONSULTASI

NAMA : Wini Wahidawati


NIM : 2017.C.09a.0917
PRODI : Sarjana Keperawatan Tingkat IV B
DOSEN : Siti Santy Sianipar, S. Kep., M.Kes

Catatan Pembimbing Tanda Tangan


No Hari/Tgl/Waktu
Pembimbing Mahasiswa
1. Selasa, 16 Maret Membahas pengajuan Judul via
2021 zoom

Siti Santy
Sianipar, S.
Kep., M.Kes Wini.W

2. Senin, 27 Maret 1. Tambahkan fenomena


2021 dan disusun kembali
sehingga ada hubungan
seperti judul
2. Jangan pengertian
dibawah tetapi
dihubungkan dengan
stunting saja
3. Tambahkan data
justifikasi Siti Santy
4. Didalam bab 3, dijelaskan Sianipar, S. Wini.W
sebab terjadinya stunting, Kep., M.Kes
sebab mengapa tinggi
badan ibu menjadi
penyebab stunting ?
Apa akibatnya ?
5. Perhatian penulisan daftar
pustaka
3. Selasa, 30 Maret 1. Bagian Alenia introduksi,
2021 tambahkan fenomenanya
2. Cantumkan referensi pada
masalah dan data
justifikasi
3. Bagian Alenia kronologis
4. Alenia solusi apa solusi
berdasarkan masalah
tersebut
5. Tambahkan peran Siti Santy
perawat dalam Sianipar, S.
menanggulangi stunting Kep., M.Kes Wini.W
6. Mengapa topiknya pada
usia 2-3 tahun bukan
untuk balita
7. Manfaat perkembangan
IPTEK dalam bidang
ilmu keperawatan apa?
8. Perbaiki penulisan dan
spasi daftar pustaka
4. Sabtu, 27 Maret 1. Tambahkan apakah ada
2021 data yang menderita
stunting karena tinggi
badan ibunya.
2. Diperjelas dampaknya.
3. Perhatikan tujuan
penelitian
4. Perhatikan penomoran Siti Santy
5. Tambahkan teori konsep Sianipar, S.
dasarnya Kep., M.Kes Wini. W
6. Perhatikan penulisan
Daftar Pustaka dan juga
penulisan referensi

5. Senin, 29 Maret 1. Perhatikan penulisan dan


2021 penomoran
2. Perhatikan tahun di cover
3. Urutkan data justifikasi
secara Internasional, Wini . W
Nasional, kalteng dan
artikel terkait Siti Santy
4. Perhatikan penomoran di Sianipar, S.
bab 2 Kep., M.Kes
5. Perhatikan penulisan daftar
pustaka

6. Kamis, 4 April 1. Perhatikan penomoran


2021 dan penulisan
2. Tambahkan data
justifikasi artikel
penelitian yang
mendukung fenomena
penelitian
3. Tambahkan Konsep
Dasar di Tinjauan Teori
4. Cek kembali daftar Siti Santy Wini. W
Pustaka, apakah Sianipar, S.
memang digunakan Kep., M.Kes
semuanya
7. Selasa, 14 April 1. Perhatikan penulisan dan
2021 penomoran
2. Bahasa Asing dicetak
miring
3. Cantumkan metode
penelitian yang akan
digunakan
4. Perbaiki penulisan dalam Siti Santy
tabel Sianipar, S.
5. Perhatikan keywordnya Kep., M.Kes Wini. W
6. Perbaiki tabel PICOS dan
seleksi literaturenya serta
diagram flow
7. Perbaiki jarak tepi dan spasi
serta penulisan di daftar
Pustaka
8. Lengkapi artikel
8. Kamis, 16 April 1. Perhatikan penulisan
2021 2. Perhatikan seleksi
literature nya serta
diagram flow nya
3. Lengkapi lampiran
Siti Santy Wini. W
Sianipar, S.
Kep., M.Kes

9 Rabu, 21 April ACC proposal, siap di uji siding


2021 proposal

Siti Santy Wini. W


Sianipar, S.
Kep., M.Kes

LAMPIRAN 8
YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
Jalan Beliang No.110 Palangka Raya Telp/Fax. (0536) 3227707
E-Mail : stikesekaharap110@yahoo.com
NAMA : Wini Wahidawati
NIM : 2017.C.09a.0917

PRODI : Sarjana Keperawatan Tingkat IV B


DOSEN : Wenna Araya, S.Psi, M.Pd
Catatan Pembimbing Tanda Tangan
No Hari/Tgl/Waktu
Pembimbing Mahasiswa
1 Kamis ,15 April 1. Lembar persetujuan diisi
2021 nama pembimbingnya
2. Penyebutan sumber
rujukan sebaiknya
seragam aja ( diawal atau
diakhir kaliamat )
sehingga memudahkan
pembaca untuk mengerti
isi bacaan
3. Istilah asing gunakan
cetak miring Wenna Araya,
4. Baca kembali setiap S.Psi. M.Pd Wini.W
tulisan karena ada yang
belum tertulis secara baik
dan rapi
5. Membuat daftar pustaka
terpisah dari bab 1-3
6. Membuat daftar literatur
apa saja yang digunakan
pada proposal ini
7. Selamat belajar dan jaga
kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai