(LITERATUR REVIEW)
Oleh:
WINI WAHIDAWATI
NIM: 2017.C.09A.0917
Oleh:
WINI WAHIDAWATI
NIM: 2017.C.09A.0917
i
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
ii
SURAT PERNYATAAN
KEASLIAN KARYA TULIS DAN BEBAS PLAGIASI
Wini Wahidawati
2019.C.09A.0917
iii
LEMBAR PERSETUJUAN
NIM : 2019.C.09A.0917
iv
v
BAB 1
NIM : 2017.C.09A.0917
PANITIA PENGUJI
Mengetahui,
v
vi 2
BAB
PENGESAHAN PROPOSAL
NIM : 2017.C.09A.0917
TIM PENGUJI
Mengetahui,
vi
vii
MOTTO
vii
viii
BAB 3
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat
dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul
“Hubungan Tinggi Badan Ibu Dengan Kejadian Stunting Pada Balita” tepat
pada waktunya. Penulisan Skripsi ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan
dukungan dari berbagai pihak.Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada.
1) DR.dr. Andriansyah Arifin, MPH selaku ketua Yayasan Eka Harap Palangka
Raya atas dukungan kepada penulis.
2) Ibu Maria Adelheid Ensia, S.Pd., M.Kes, selaku Ketua STIKES Eka Harap
yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk
mengikuti dan menyelesaikan Pendidikan Sarjana Keperawatan.
3) Ibu Meilitha Carolina, Ners., M.Kep, selaku Ketua Program Studi Sarjana
Keperawatan yang memberikan dukungan dalam penyelesaian Skripsi ini.
4) Ibu Vina Agustina,Ners., M.Kep, selaku ketua penguji yang telah
membimbing dan memberi saran dalam menyelesaikan Skripsi ini.
5) Ibu Siti Santy Sianipar, S.Kep M.kes selaku pembimbing I yang telah
membantu, bersedia membagikan ilmunya dan membimbing saya dalam
pembuatan Skripsi ini, sehingga Skripsi ini dapat di selesaikan tepat pada
waktunya.
6) Ibu Wenna Araya,S.Psi,M.pd selaku pembimbing II yang membantu,
bersedia membagikan ilmunya dan membimbing serta mengarahkan saya
dalam pembuatan Skripsi ini, sehingga Skripsi ini dapat diselesaikan tepat
pada waktunya.
7) Seluruh staf pengajara Program Studi Sarjana Keperawatan yang telah
memberikan bimbingan ilmu pengetahuan selama ini.
8) Kedua Orang Tua Saya yang selama ini telah memberikan dukungan, kasih
sayang dan batuan moril maupun materil serta doanya sehingga penulis dapat
menyelesaikan proposal ini
9) Seluruh teman-teman program studi S1 Keperawatan angkatan IX
viii
ix
Wini Wahidawati
2017.09a.0917
ix
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL...................................................................................
DAFTAR RIWAYAT HIDUP.......................................................................ii
SURAT PENYATAAN...................................................................................iii
LEMBAR PERSETUJUAN...........................................................................iv
PENETAPAN PANITIA PENGUJI PROPOSAL.......................................v
PENGESAHAN PROPOSAL........................................................................vi
MOTTO...........................................................................................................vii
KATA PENGANTAR....................................................................................viii
DAFTAR ISI...................................................................................................x
DAFTAR TABEL ..........................................................................................xi
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................xii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian..................................................................................... 4
1.4 Manfaat Penelitian................................................................................... 4
1.4.1. Perkembangan IPTEK............................................................................. 4
1.4.2. Mahasiswa............................................................................................... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Tinggi Badan................................................................... 5
2.1.1 Pengertian Tinggi Badan......................................................................... 5
2.1.2 Pengukuran Tinggi Badan....................................................................... 6
2.1.3 Konsep Tinggi Badan Ibu........................................................................ 6
2.2 Konsep Dasar Ibu ................................................................................... 7
2.2.1 Peranan Ibu ............................................................................................. 8
2.2.2 Tugas-Tugas Ibu...................................................................................... 9
2.2.3 Umur Ibu Saat Hamil............................................................................... 9
2.3 Konsep Dasar Stunting............................................................................ 10
2.3.1 Penyebab Stunting................................................................................... 10
2.3.1.1 Faktor Keluarga.................................................................................... 10
2.3.1.2 Pemberian Makanan Pendamping........................................................ 11
2.3.1.1 Pemberian ASI...................................................................................... 12
2.3.2 Patosiologi Stunting................................................................................. 12
x
xi
xi
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
xii
xiii
BAB 4
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
2
tinggi badan normal(36,0%). Kondisi ibu sebelum masa kehamilan baik postur
tubuh (berat badan dan tinggi badan) dan gizi merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi terjadinya stunting. Remaja putri sebagai calon ibu di masa depan
seharusnya memiliki status gizi yang baik. Pada tahun 2017, persentase remaja
putri dengan kondisi pendek dan sangat pendek meningkat dari tahun sebelumnya,
yaitu 7,9% sangat pendek dan 27,6% pendek.
Stunting pada balita dapat disebabkan karena faktor genetik dan faktor
lingkungan yang kurang memadai untuk tumbuh kembang anak yang optimal.
Salah satu faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi terjadinya stunting pada
balita. Stunting dipengaruhi oleh beberapa penyebab yaitu faktor ibu, faktor
genetik, asupan makanan, pemberian ASI ekslusif, dan penyakit infeksi. Nutrisi
ibu yang buruk selama kehamilan dan laktasi, usia ibu yang terlalu muda atau
terlalu tua saat kehamilan, salah satu dampak yang sering terjadi tinggi badan
orang tua juga dapat mempengaruhi terjadinya stunting pada balita di karenakan
kurangnya informasi orang tua dalam memenuhi gizi sejak di dalam kandungan,
bayi sudah membutuhkan berbagai nutrisi untuk pertumbuhan dan
perkembangannya, Untuk mencapai ini, ibu harus berada dalam keadaan sehat dan
bergizi baik. Jika ibu tidak memiliki pengetahuan akan asupan nutrisi yang baik
untuk ibu dan janin (Fikawati dkk,2017). Dampak dari stunting bukan hanya
gangguan pertumbuhan fisik anak, tapi mempengaruhi juga pertumbuhan otak
pada balita, Stunting berdampak seumur hidup terhadap anak tersebut sehingga
dapat memunculkan kekhawatiran terhadap perkembangan anak karena adanya
efek jangka panjang. Dampak stunting bisa berupa gangguan pertumbuhan tubuh,
gangguan metabolisme, gangguan perkembangan otak, hingga memengaruhi
kecerdasan anak (Dinkes,2016).
badan pada anak, timbang berat badan serta mengukur tinggi badan dengan benar
di Posyandu, Puskesmas, Klinik dokter dan Rumah Sakit ketepatan hasil
pengukuran sangat menentukan keberhasilan dalam pemantauan. Keikut sertaan
keluarga, seperti suami, istri dan masyarakat. Semua bisa menjadi pendamping
yang dapat berpartisipasi aktif untuk memberikan perhatian atas perkembangan
ibu hamil dan balita. Pendamping juga harus memiliki latar belakang pengetahuan
gizi dan telah mendapatkan pelatihan pendampingan. Dan peran penting perawat
dalam menanggulangi stunting yaitu dengan memberikan pelayanan kesehatan
yang berkualitas. Berdasarkan jurnal artikel penelitian maka penulis tertarik untuk
melaksanakan penelitian literature review tentang hubungan tinggi badan ibu
dengan kejadian stunting pada balita.
Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan zat
gizi yang kurang dalam waktu yang cukup lama akibat pemberian makanan yang
tidak sesuai dengan kebutuhan. “Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan
masalah pada penelitian ini adalah bagaimana” Hubungan tinggi badan ibu
dengan kejadian stunting pada balita.?
Tujuan dalam penelitian ini yaitu menganalisis Hubungan tinggi badan ibu
dengan kejadian stunting pada balita.
5
Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan acuan dan dijadikan
dasar untuk memajukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi
khususnya dalam bidang keperawatan maternitas dan anak,terutama terkait
hubungan tinggi badan ibu dengan kejadian stunting pada balita.
1.4.2 Mahasiswa
5
6
Keterkaitan antara tinggi badan ibu dan pertumbuhan anak sebagian besar
disebabkan oleh latar belakang genetik yang sama dan faktor-faktor penentu
lingkungan yang memengaruhi ibu selama masa anak-anak dan selama masa
perkembangannya (Sumarmi, 2017). Hal ini mengarah ke siklus malnutrisi dan
pertumbuhan yang kurang baik kemudian mengikuti lintas generasi akan
memengaruhi pertumbuhan keturunannya. Mekanisme fisik lainnya seperti
perkembangan kurang optimal sistem anatomi yang berhubungan dengan
kehamilan serta metabolisme glukosa, protein, dan karbohidrat yang bersirkulasi
pada ibu dapat membatasi pertumbuhan intrauterine dan pertumbuhan yang
kurang baik setelah kelahiran (Sinha et al., 2018). Perawakan ibu pendek ketika
hamil berakibat pada cephalo-pelvic disproportion, intrauterine asfiksia, dan
intrauterine growth retardation. Selain itu perawakan ibu pendek juga
menyebabkan bayi mengalami nutrisi yang kurang dan berakibat kepada berat
badan bayi lahir rendah dan biasanya merupakan efek dari kelahiran prematur
kemudian menghasilkan pertumbuhan yang terhambat (Sridevi, 2018). Dipastikan
bahwa tinggi ibu berkorelasi dengan ukuran panggul dan ibu dengan cephalo-
pelvic disproportion mempunyai perawakan lebih pendek. Beberapa penelitian
menggunakan batas tinggi badan 150 cm untuk memprediksi cephalo-pelvic
disproportion (Solomon et al., 2018). Perawakan ibu pendek mempunyai ukuran
panggul yang lebih kecil dan adanya penurunan aliran darah yang menyebabkan
terjadinya intrauterine asfiksia (Lee et al., 2009), selain itu ibu berperawakan
pendek cenderung untuk melahirkan anak dengan berat lahir rendah, bayi yang
terbatas pertumbuhannya mempunyai simpanan lemak terbatas sehingga berakibat
tidak dapat mengoksidasi asam lemak bebas dan trigliserida secara efektif untuk
mempertahankan kadar glukosa normal, hal tersebut menjadi salah satu penyebab
terjadinya intrauterine growth retardation (Salam et al., 2014).
panggilan ibu dapat diberikan untuk perempuan yang bukan orang tua kandung
(biologis) dari seseorang yang mengisi peranan ini.Ibu adalah sebutan untuk
menghormati kodrat perempuan dan sebagai satu-satunya jenis kelamin yang
mampu untuk melahirkan anak, menikah atau tidak mempunyai kedudukan atau
tidak, seorang perempuan adalah seorang ibu.Istilah ibu diberikan pada ibu yang
telah menikah dan mempunyai anak. Peranan ibu dinilai paling penting, melebihi
peranan yang lain Struktur keluarga menggambarkan peran masing-masing
anggota keluarga baik di dalam keluarganya sendiri maupun perannya di
lingkungan masyarakat. Semua tindakan dan perilaku yang dilakukan oleh
anggota keluarga menggambarkan nilai dan norma yang dipelajari dan diyakini
dalam keluarga. Bagaimana cara dan pola komunikasi diantara orang tua, orang
tua dan anak, diantara anggota keluarga ataupun dalam keluarga besar (Setiawati,
2015). Sering dikatakan bahwa ibu adalah jantung dari keluarga.Jantung dalam
tubuh merupakan alat yang sangat penting bagi kehidupan seseorang.Apabila
jantung berhenti berdenyut maka orang itu tidak bisa melangsungkan
hidupnya.Perumpamaan ini menyimpulkan bahwa kedudukan seorang ibu sebagai
tokoh sentral dan sangat penting untuk melaksanakan kehidupan.Pentingnya
seorang ibu terutama terlihat sejak kelahiran anaknya (Gunarsa, 2016).
Berdasarkan uraian diatas ibu adalah seorang wanita yang menikah dan
melahirkan anak, menjadi orang yang pertama menjalin ikatan batin dan emosi
pada anak dan juga sebagai sentral dalam perkembangan awal anak dengan
memiliki sifat-sifat keibuan yaitu memelihara, menjaga dan merawat anak.
yang diharapkan dari orang yang memiliki kedudukan atau status. Antara
kedudukan dan peranan tidak dapat dipisahkan. Tidak ada peranan tanpa
kedudukan. Kedudukan tidak berfungsi tanpa peranan Menurut Komarrudin
(2017), yang dimaksud peranan adalah sebagai berikut:
2.2.2.1 Ibu Sebagai Pendamping Suami Dalam keluarga dimana suami berbahagia
dengan istrinya, demikian pula sang istri berbangga terhadap suaminya,
kebahagiannya pasti kekal abadi.
2.2.2.2 Ibu Sebagai Pengatur Rumah Tangga Ibu sebagai pengatur didalam
keluarganya untuk menuju keharmonisan antara semua anggota keluarga
secara lahir dan batin.
2.2.2.3 Ibu Sebagai Penerus Keturunan Sesuai kodratnya seorang Ibu merupakan
sumber kelahiran manusia baru, yang akan menjadi generasi penerusnya.
2.2.2.4 Ibu Sebagai Pembimbing Anak Peranan Ibu menjadi pembimbing dan
pendidik anak dari sejak lahir sampai dewasa khususnya dalam hal beretika
dan susila untuk bertingkah laku yang baik.
10
2.2.2.5 Ibu Sebagai Pelaksana Kegiatan Agama Dimana seorang Ibu dihormati,
disanalah para dewata memberikan anugerah, tetapi dimana mereka tidak
dihargai, tidak akan ada upacara suci apapun yang akan berpahala.
Stunting adalah kondisi balita yang memiliki ukuran badan pendek dan
tidak sesuai dengan umur (Kementerian Kesehatan RI 2018). Stunting adalah
masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan zat gizi yang kurang
dalam waktu yang cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai
dengan kebutuhan. Stunting dapat muncul pada dua sampai tiga tahun awal
kehidupan, dikarenakan pada usia tersebut dalam usia pertumbuhan mencapai
puncak tercepat sehingga membutuhkan asupan zat gizi yang banyak (Mugianti et
al. 2018).
11
lahir rendah bergantung pada ASI untuk memenuhi kebutuhan tersebut, akan
tetapi jumlah nutrisi yang terkandung dalam ASI bergantung pula terhadap nutrisi
dari ibu (García Cruz et al., 2017).
Faktor lain dari keluarga dan rumah tangga adalah lingkungan rumah.
Lingkungan rumah mempengaruhi stimulasi dan aktivitas anak. Beberapa faktor
lingkungan rumah yang mempengaruhi stunting adalah praktik perawatan yang
buruk, sanitasi dan pasokan air yang tidak memadai, kondisi makanan yang tidak
adekuat, pendidikan perawatan anak yang kurang. Pola pengasuhan kesehatan
merupakan praktik pengasuhan atau pengasuhan keluarga dalam melayani
kebutuhan kesehatan anak Balita yang dilakukan berulang kali sehingga menjadi
kebiasaan. Menurut literatur di Indonesia, terdapat beberapa indikator tambahan
stunting pada anak terkait dengan faktor rumah tangga, diantaranya adalah
ekonomi rumah tangga, ayah dan ibu merokok, perawakan ayah pendek, dan
kondisi rumah yang ramai (Beal et al., 2018;Rohimah et al., 2015).
2.3.1.2 Pemberian makanan pendamping yang tidak memadai
Makanan pendamping yang kurang memadai meliputi :
1) Makanan berkualitas rendah yang dimaksud adalah kualitas mikonutrien
yang rendah, keanekaragaman makanan yang rendah, asupan makanan
hewani yang rendah dan isi makanan pendamping yang rendah energi.
13
kehilangan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Balita adalah individu
atau sekelompok individu dari suatu penduduk yang berada dalam rentan usia
tertentu. Usia balita dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan yaitu golongan
usia bayi (0-2 tahun). Adapun menurut WHO, kelompok balita adalah 0-60 bulan
(Adriani, dkk. 2017).
16
17
Startegi yang digunakan untuk mencari literatur dalam penelitin ini adalah
menggunakan PICOS dengan kriteria inklusi dan eksklusi.
Adapun kriteria inklusi dan ekslusi dalam penelitian ini sebagai berikut :
Tabel 3.1 Hubungan Tinggi Badan Ibu Dengan Kejadian Stunting Pada Balita
Kriteria Inklusi Eksklusi
Population Ibu yang memiliki balita Ibu yang tidak memiliki
balita
Intervensi Tidak ada intervensi Tidak ada intervensi
Comparison Variabel pembanding dalam
jurnal terkait yang diambil
yaitu stunting pada balita
Outcome Variabel yang mencantumkan Tidak mencantumkan
adanya hubungan tinggi badan hubungan tinggi badan ibu
ibu dengan kejadian stunting dengan kejadian stunting
pada balita pada balita
Study Design Desain penelitian dengan Selain penelitian cross
cross sectional sectional
Publication years Tahun publikasi 2016-2020 Sebelum tahun 2016
Language Bahasa Indonesia dan Bahasa Selain Bahasa Indonesia
Inggris dan Bahasa Inggris
Data sebagai sumber literatur yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data sekunder yang diperoleh dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
peneliti-peneliti sebelumnya. Adapaun sumber data sekunder yang didapat berupa
artikel jurnal nasional maupun internasional. Dalam pencarian sumber literatur
data sekunder peneliti menggunakan database yaitu google schoolar dengan
menggunakan Keyword “Tinggi Badan Ibu OR Kejadian Stunting OR Balita”.
Identifikasi berdasarkan
abstrak
(n=15)
Gambar 3.1 Diagram flow Seleksi literatur review Hubungan tinggi badan ibu
dengan kejadian stunting pada balita.
3.5 Tahap Pengumpulan Data
Melakukan seleksi literatur dengan membaca keseluruhan isi dari artikel mulai
dari judul, abstract, latar belakang, metode, hasil, pembahasan dan daftar
pustaka.
21
6) Melakukan Ekstraksi
Peneliti membaca artikel satu persatu, kemudian memilih dan mengambil hasil
penelitian yang ditemukan dan digabung dengan hasil penelitian artikel yang
lain.
https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2929/pandemi-
covid-19-stunting-masih-menjadi-tantangan-besar-bangsa
https://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-XI-22-II-
P3DI-November-2019-242.pdf
Kementerian Kesehatan RI. (2013). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
Tahun2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI
Ngaisyah R D, Septriana. (2016). Hubungan Tinggi Badan Orang Tua dengan
Kejadian Stunting. Yogyakarta: Universitas Respati Yogyakarta
Nasikhah R, Margawati A. (2012). Faktor Risiko Kejadian Stunting Pada Balita
Usia 24 –36 Bulan Di Kecamatan Semarang Timur. Journal of Nutrion
College, vol 1, no 1, hal 176-184.
Prendergast, A.J. and J.H. Humphrey. 2014. The Stunting Syndrome in
Developing Countries. Paediatrics and International Child Health. 34 (4):
250–265. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/ PMC4232245/
[diakses 19 Maret 2017]
Rahayu LS. Associated of height of parents with changes of stunting status from
6-12 months to 3-4 years[Thesis]. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada;
2019
Soetjiningsih. (2016). Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC
Welassih, B. D., & Wirjatmadi, R. B. (2012). Beberapa Faktor yang Berhubungan
dengan Status Gizi Balita Stunting. The Indonesian Journal of Public
Health, Vol 8No 3, 8-70
Abstrak
Latar Belakang: Salah satu masalah gizi yang dihadapi oleh Indonesia adalah
kejadian balita pendek
(stunting). Stunting adalah hal yang sangat penting karena akan memengaruhi
sumber daya manusia di masa depan.
Metode: Desain penelitian ini menggunakan studi cross sectional dengan total
sampel 91 balita
Hasil: Balita pendek lebih banyak (76,9%) daripada balita sangat pendek
(23,1%). Tidak ada
dengan masalah gizi pada balita kesehatan dan gizi saja tetapi juga
lainnya menyangkut sarana dan prasarana
8
untuk masyarakat .
(Underweight, Wasting, Gemuk)
Hasil rekapan status gizi balita
yaitu sebesar
yang telah terkonfirmasi
berdasarkan EPBGM wilayah kota
22,7% yang termasuk kedalam
administrasi DKI Jakarta tahun 2018
karakteristik akut-kronis. Prevalensi
didapat data bahwa prevalensi
stunting terbesar di DKI Jakarta
stunting pada
adalah di DKI Jakarta yaitu sebesar
29,2% dengan karakteristik masalah balita terbesar berada pada
2
gizi akut-kronis . Kejadian stunting kecamatan Sawah
bukan hanya menjadi masalah
Besar yaitu sebesar 5,3% dengan Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan
jumlah kasus Sawah Besar, DKI Jakarta yang
berjumlah 83 orang. Variabel
201 orang (kasus dengan 129 balita
pendek dan independen dalam penelitian ini
adalah karakteristik Ibu, pola asuh
72 balita sangat gizi, riwayat penyakit, pola istirahat
9
pendek .
dan aktivitas fisik. Variabel
Berdasarkan latar belakang dependen dalam penelitian ini
masalah diatas, maka masalah stunting sangat pendek dan pendek di
tersebut penting untuk diteliti dengan Kecamatan Sawah Besar, DKI
judul penelitian “Faktor-faktor yang Jakarta. Data primer yaitu data
Berhubungan dengan Perbedaan yang langsung diperoleh dari
Sangat Pendek dan Pendek Pada Anak responden berupa data tinggi
Usia 24-59 bulan di Puskesmas badan anak, umur anak, jenis kelamin
Sawah Besar, DKI Jakarta” anak, nama orang tua (ibu),
pendidikan ibu, status pekerjaan
ibu, pendapatan keluarga per
bulan, pola asuh gizi, riwayat
M
penyakit anak, aktivitas fisik anak,
E
pola istirahat dan pengetahuan ibu
T
dan asupan makanan pada anak usia
O
24-59 bulan. Data berat badan dan
D
tinggi badan diperoleh melalui
E
pengukuran tinggi badan anak
Desain penelitian ini dengan menggunakan microtoise dan
menggunakan studi penimbangan dilakukan dengan
timbangan berat badan. Data
cross sectional. Penelitian ini
sekunder yaitu data yang diperoleh
dilaksanakan di wilayah Kerja
dari Sudinkes Jakarta Pusat dan
Puskesmas Kecamatan Sawah
Puskesmas Sawah Besar. Data yang
Besar, DKI Jakarta. Pengumpulan
diperoleh berupa data jumlah anak
data pada penelitian ini
balita usia 24-59 bulan yang
dilakukan pada bulan Mei – Juni
menderita stunting.
2019. Teknik pengambilan sampel
penelitian ini yaitu purposive
sampling berdasarkan kriteria inklusi
dan kriteria eksklusi. Sampel H
dalam penelitian ini adalah seluruh A
anak usia 24-59 bulan di S
I
L
Tabel 1 Analisis Hubungan antara Usia Ibu, Pendidikan Ibu, Status Pekerjaan
Ibu, Pendapatan
S
t
u
n
t
i
n
g
Sang Jumlah
P Value CI 95%
No. Variabel at Pend
Kategori ek
Pendek
n % n % n
%
Status Tidak
17 24.6 52 75.4 69 100
3. Bekerja 0.737
Pekerjaan 0.437-4.953
Ibu Bekerja 4 18.2 18 81.8 91 100
< UMP 17 22.7 58 77.3 75 100
4. 0.534
Pendapatan
0.325-3.986
Keluarga ≥ UMP 4 25 12 75 16 100
Stunti
ng
Jumlah
No. Variabel Sanga Pend P Value CI 95%
Kategori ek
t
Pendek
n % n % n %
Tidak
10 25 30 75 40 100
7.
Ragam Beragam 0.893
0.456-3.225
Makanan
Beragam 11 21.6 40 78.4 51 100
Tidak
Ada 8 17.8 37 82.2 45 100
Riwayat
9.
Riwayat 0.348 0.672-
Ada
4.942
Penya
kit
13 28.3 33 71.7 45 100
Riwa yat
Kurang 13 25.5 38 74.5 51 100
10. 0.714
Pola
0.504-3.714
Istirahat B a ik 8 20.0 32 80.0 40 100
Berdasarkan hasil
penelitian
bergizi dengan bahan yang dapat menjamin status gizi baik bagi
sederhana dan murah maka balita, karena tingkat pendapatan
pertumbuhan bayi juga akan menjadi belum tentu teralokasikan dengan
baik. Pendapatan yang diterima tidak cukup untuk keperluan asupan gizi
sepenuhnya dibelanjakan untuk yang seimbang .
15
Gerakan Penanggulangan
Stunting. J Kel (Informasi
Kependudukan, KB dan
Pembang Keluarga). 2018;
Faktor Risiko Kejadian Stunting Pada Anak Umur 6-36 Bulan Di Wilayah Pedalaman
Kecamatan SIlat Hulu, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. J Gizi dan Diet Indones.
2015;3(2):119–30.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Stunting pada Anak Balita di Wilayah Pedesaan
dan Perkotaan (The Factors Affecting Stunting on Toddlers in Rural and Urban Areas). e-
Jurnal Pustaka Kesehat.
2015;3(1):163–70.
dengan Kejadian Stunting pada Anak Usia 24-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Padang
Timur Kota Padang Tahun 2018. J Fak Kedokt Univ Andalas. 2018;7(2).
15. Hapsari W. Hubungan Pendapatan Keluarga, Pengetahuan Ibu tentang Gizi, Tinggi Badan
Orang Tua dan Tingkat Pendidikan Ayah dengan Kejadian Stunting pada Anak Umur
1-
75772018000200067&lng=en&tlng=
en&SID=5BQIj3a2MLaWUV4OizE
%0Ahttp://scielo.iec.pa.gov.br/scielo. php?script=sci_
302 hal.
17. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
2013. Lap Nas 2013.
2013;1–384.
18. Widyaningsih NN, Kusnandar K, Anantanyu S. Keragaman pangan, pola asuh makan
dan kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan. J Gizi Indones. 2018;7(1):22.
Rampengan NH. Hubungan Status Gizi dan Gangguan Tidur pada Anak Sekolah Dasar di
Kecamatan Tikala Manado. 2017;5–10.
8.
Lampiran 2
Enny Fitriahadi
ennyfitriahadi@unisayogya.ac.id*
* corresponding author
Abstrak
Metode penelitian menggunakan jenis penelitian yang digunakan adalah survei analitik
dengan rancangan penelitian cross-sectional. Sampel sebanyak 95 dengan teknik purposive
sampling. Metode analisa yang digunakan adalah chi-square. Hasil penelitian ibu yang
memiliki tinggi badan pendek dan mempunyai anak stunting di wilayah kerja Puskesmas
Wonosari I sebanyak
68,4% (26) orang. Diharapkan orang tua mampu meningkatkan pengetahuan tentang
pertumbuhan dan perkembangan anak sehingga mengetahui faktor yang mempengaruhi
permasalahan pertumbuhan anak khususnya stunting sehingga dapat mencegah kejadian
stunting.
Abstract
The purpose of this research is to know the relationship between mother's height with stunting
incidence in children aged 24-59 months in Working Area of Wonosari I Public Health
Center in 2017. The research method used is analytical survey with cross-sectional research
design. The sample is 95 with purposive sampling technique. The analytical method used is
chi-square. Result of research of mother who have short height and have child of stunting in
working area of health center of Wonosari I counted 68,4% (26) person. Expected parents can
increase knowledge about the growth and development of children so knowing the factors
that affect the problem of child growth, especially stunting so as to prevent the occurrence of
stunting.
.
PENDAHULUAN
Kasus stunting pada tahun 2013 di Indonesia mencapai (37,2%), tahun 2010 (35,6%),
dan tahun 2007 (36,8 %). Hal tersebut tidak menunjukkan penurunan yang signifikan.
Sementara itu dari presentase menurut Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki
prevalensi stunting sebanyak 27,2%. Senada dengan itu Kabupaten Gunung Kidul memiliki
prevalensi stunting tertinggi yaitu sebanyak 30,1 % dari seluruh kabupaten di Daerah
Istimewa Yogyakarta (Riskesdas, 2013).
Data prevalensi stunting di Kabupaten Gunung Kidul sangat tinggi dan melebihi rata-
rata provinsi. Selain itu menurut data Riskesdas, prevalensi stunting masih mengalami
kenaikan dan penurunan. Maka hal ini masih menjadi suatu masalah yang perlu untuk
diselesaikan. Pemerintah Indonesia mencanangkan “Gerakan 1.000 Hari Pertama Kehidupan”
pada September 2012 yang dikenal sebagai 1.000 HPK. Tujuan dari gerakan mempercepat
perbaikan gizi untuk memperbaiki kehidupan anak-anak Indonesia di masa mendatang. Selain
itu gerakan ini berfokuskan pada penurunan prevalensi stunting (MCA, 2013).
Faktor penyebab stunting terdiri dari faktor basic seperti faktor ekonomi dan
pendidikan ibu, kemudian faktor intermediet seperi jumlah anggota keluarga, tinggi badan
ibu, usia ibu, dan jumlah anak ibu. Selanjutnya adalah faktor proximal seperti pemberian ASI
ekslusif, usia anak dan BBLR (Darteh et al, 2014).
Dampak dari stunting bukan hanya gangguan pertumbuhan fisik anak, tapi
mempengaruhi pula pertumbuhan otak balita. Lebih banyak anak ber-IQ rendah di kalangan
anak stunting dibanding dengan di kalangan anak yang tumbuh dengan baik. Stunting
berdampak seumur hidup terhadap anak. Stunting memunculkan kekhawatiran terhadap
perkembangan anak-anak, karena adanya efek jangka panjang. Kesadaran masyarakat akan
kasus ini sangat diperlukan. Maka dari itu program Program Kesehatan dan Gizi Berbasis
Masyarakat untuk Mengurangi Stunting (PKGBM) menjadi sangat bermanfaat untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat dalam keikutsertaan menurunkan prevalensi stunting
diIndonesia (Dinkes, 2016). Peran bidan dalam upaya pencegahan stunting adalah dengan
mengontrol remaja putri yang baru menikah sehingga di saat mengandung bisa dilakukan
upaya pemberian informasi lanjut dari upaya-upaya pencegahan stunting agar bayi yang di
kandung akan selalu sehat (Eko, 2015).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan di Puskesmas Wonosari I
didapatkan data jumlah anak balita usia 24-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Wonosari I
sebanyak 582 anak. Kemudian jumlah anak balita usia 24-59 bulan di Desa Duwet dan
Pulutan sebanyak 123 (21,1%) anak. Sementara jumlah anak balita stunting bulan Februari
2016 di wilayah kerja Puskesmas Wonosari I sebanyak 108 (18,5%) anak dan balita stunting
usia 24-
59 bulan pada bulan Februari 2016 di Desa Duwet dan Pulutan sebanyak 19 (15,4%) anak.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian survei analitik yaitu penelitian yang
menggali bagaimana dan mengapa suatu fenomena stunting bisa terjadi. Pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan penelitian cross-sectional yaitu penelitian
analitik yang mempelajari dinamika korelasi antara faktor resiko dengan efek, dengan cara
pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (Notoatmodjo, 2012).
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari obyek atau subyek yang
memiliki kualitas atau karkteristik tertentu yang dipilih oleh peneliti dan ditetapkan sebagai
obyek atau subyek yang akan dipelajari kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi bukan
hanya orang, tetapi juga obyek dan benda-benda alam yang lainnya (Sugiyono, 2016).
Menurut Notoatmodjo (2012) populasi dapat berupa manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan,
benda-benda mati, serta gejala yang terjadi di masyarakat atau di alam. Penelitan ini
menggunakan populasi yang ditetapkan balita usia 24-59 bulan yang terdapat di Desa Duwet
dan Pulutan sebanyak 123 anak.
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder.
Data primer adalah data yang dikumpulkan oleh peneliti sendiri (Sulistyaningsih, 2012). Data
pada penelitian ini dikumpulkan melalui pengumpulan data secara langsung. Pengumpulan
data dilakukan dengan cara untuk stunting diambil dari hasil catatan kader setempat dan hasil
pengukuran TB/U selanjutnya dilihat dengan menggunakan indeks status gizi stunting
menurut Departemen Kesehatan RI, sedangkan data tinggi badan ibu diambil dari buku KIA
ibu balita.
(Notoatmodjo, 2012). Uji hipotesa yang digunakan dalam penelitian ini adalah chi-square.
HASIL DAN PEMBAHASAN
2. Status Ekonomi
Tinggi 28 29,5
3. Usia Ibu
Tabel 1 menunjukkan bahwa balita stunting usia 24-59 bulan adalah 37, 9% (36) dan
balita tidak stunting sebanyak 62,1% (59) dari 100% (95) anak kemudian pada variabel status
ekonomi dapat diketahui bahwa yang memiliki status ekonomi yang rendah pada keluarga
balita usia 24-59 bulan adalah 70,5% (67) dan yang masuk kategori status ekonomi tinggi
sebanyak 29,5% (28) dari 100% (95) keluarga. Tabel 1 juga menunjukkan bahwa usia ibu
yang memiliki balita usia 24-59 bulan dengan resiko tinggi adalah 15,8% (15) dan usia ibu
dengan resiko rendah sebanyak 84,2% (80) dari 100% (95).
Ibu yang memiliki balita usia 24-59 bulan dengan tinggi badan pendek sebanyak
40,0% (38) dan ibu yang masuk pada kategori tinggi badan ibu yang tidak pendek sebanyak
60,0% (57) dari 100% (95).
Tabel 2. Hubungan status ekonomi dengan stunting pada balita Usia 24-59 bulan di wilayah
kerja puskesmas Wonosari I
Stunting
Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa keluarga dengan status ekonomi rendah sebanyak
32 memiliki anak stunting (47, 8%), sementara keluarga dengan status ekonomi tinggi
sebanyak 4 memiliki anak stunting (14,3%). Hasil uji statistik dengan chi-square diketahui
nilai
p< 0,05 (0,002<0,05) sehingga dapat dinyatakan bahwa ada hubungan antara status ekonomi
dengan stunting pada balita usia 24-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Wonosari I.
Tabel 3. Hubungan usia ibu dengan stunting pada balita usia 24-59 bulan di wilayah kerja puskesmas
Wonosari I
Stunting
Tabel 4 diketahui bahwa tinggi badan ibu dengan kategori pendek sebanyak 68,4 (26)
ibu memiliki anak stunting. Menurut hasil uji statistik menggunakan chi-squaredidapatkan
nilai p 0,000 (p<0,05) sehingga dapat dinyatakan bahwa ada hubungan antara tinggi badan
ibu dengan stunting pada balita usia 24-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Wonosari I.
1. Status Ekonomi
Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa terdapat hubungan antara status ekonomi dengan
stunting. Keluarga dalam kategori status ekonomi yang rendah yaitu dengan jumlah
pendapatan perbulan <UMK Gunung Kidul Rp 1.337.650 memiliki anak stunting sebanyak
47, 8% (32), sementara keluarga dengan status ekonomi kategori tinggi yaitu keluarga
yang memiliki pendapatan >UMK Gunung Kidul Rp 1.337.650 mempunyai anak stunting
sebanyak 14,3% (4). Selain itu, pada kategori status ekonomi rendah yang memiliki anak
tidak stunting sebanyak 52,2% (35) dan kategori status ekonomi tinggi yang memiliki anak
tidak stunting sebanyak 85,7 % (24). Kemudian didukung dengan hasil uji statistik yang
menunjukkan bahwa nilai p 0,002 (p<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan
antara status ekonomi dengan stunting pada balita usia 24-59 bulan diwilayah kerja
Puskesmas Wonosari I.
Kondisi sosial ekonomi juga dapat mempengaruhi status gizi balita. Penelitian ini,
faktor sosial ekonomi yang dianalisis adalah pendidikan orang tua. Hasil analisi bivariat
menunjukkan balita stunting memiliki orang tua yang tingkat pendidikan sebagian besar
adalah Sekolah Dasar. Hasil ini didukung penelitian Medhin (2010) yang menyatakan
pendidikan orang tua berpengaruh terhadap kejadian stunting. Tingkat pendidikan akan
memudahkan seorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikan
dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari. Menurut Girna (2002) disebutkan bahwa
pendidikan yang tinggi biasanya terkait dengan pendapatan keluarga dan pola pengasuhan
anak seperti penggunaan garam beryodium,kapsul vitamin A, imunisasi anak, penggunaan
jamban tertutup dan pemanfaatan layanan kesehatan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Al-Anshory (2013) sejalan dengan penelitian ini
bahwa keluarga yang memiliki status ekonomi yang rendah anaknya mempunyai faktor resiko
11,8 kali mengalami stunting. Status ekonomi berkaitan dengan pemilihan makanan yang
dikonsumsi oleh keluarga. Keluarga yang status ekonominya rendah akan memiliki sedikit
kesempatan untuk memperhatikan kualitas dan variasi makanannya. Sebaliknya dengan
keluarga yang memiliki status ekonomi tinggi akan lebih cenderung memiliki kesempatan
memilih variasi makanan dan mempertimbangkan kualitas makanannya.
Status ekonomi keluarga yang rendah akan mempengaruhi pemilihan makanan yang
dikonsumsi sehingga biasanya menjadi kurang bervariasi dan sedikit jumlahnya terutama
pada bahan pangan yang berfungsi untuk pertumbuhan anak seperti sumber protein, vitamin
dan mineral, sehingga meningkatkan risiko kurang gizi. Hal ini menjadi salah satu faktor
penyebab terjadinya stunting (Kusuma, 2013). Hasil penelitian ini juga sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Akombi, 2017 bahwa anak yang berasal dari keluarga
menengah ke bawah cenderung beresiko mengalami stunting.
Kemudian menurut Anugraheni (2012) faktor ekonomi pada kelompok stunting pada
penelitiannya juga berpengaruh terhadap higyene dan sanitasi yang rendah. Anak yang
tinggal di sanitasi yang rendah akan lebih rawan terkontaminasi bakteri.
Pendapatan orang tua mempengaruhi status ekonomi pada suatu keluarga. Sehingga
demi terwujudnya status ekonomi yang baik, sebagai orang tua diharuskan dapat terus
meningkatkan usahanya sehingga dapat memberikan kesejahteraan bagi anggota keluarganya
terlebih bagi anak-anaknya. Al-Qur’an menjelaskan dalam surat At-Tahrim ayat 6 :
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat
yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (Q.S.At-Tahrim:6).
Keluarga adalah wadah yang sangat penting diantara dua individu dan masyarakat dan
menjadi kelompok sosial pertama dimana anak-anaknya menjadi anggotanya, dan orang tua
sebagai pemimpinnya yang bertanggung jawab atas kesejahteraan anak-anaknya didunia dan
keselamatan diakhirat. Maka orang tua wajib memberikan segala hal yang terbaik bagi anak-
anaknya termasuk memberikan makanan yang berkualitas demi terwujudnya anak-anak yang
berkembang dengan optimal dan sejahtera.
2. Usia Ibu
Berdasarkan data pada tabel 2 dapat diketahui bahwa usia ibu dengan kategori resiko
tinggi yang memiliki anak stunting sebanyak 60% (9) dan usia ibu dengan kategori rendah
yang memiliki anak stunting sebanyak 33,8% (27). Jumlah anak stunting lebih didominasi
oleh ibu dengan kategori usia resiko rendah. Penelitian ini didapatkan p value dari uji statistik
0,081 (p>0,05) dan diartikan bahwa usia ibu tidak memiliki hubungan dengan stunting pada
balita usia 24-59 bulan diwilayah kerja Puskesmas Wonosari I.
Penelitian yang dilakukan oleh Candra (2011) sejalan dengan penelitian ini
bahwa faktor usia ibu tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan stunting. Hal ini
dibuktikan hasil dari uji statistik pada penelitian tersebut nilai p 1,00 (p>1,00) sehingga Ho
diterima dan Ha ditolak atau tidak ada hubungan.
Penelitian yang dilakukan oleh Fall dkk (2015) bahwa ibu yang berusia <19 tahun
ketika hamil berpotensi 1.46 kali meningkatkan kejadian stunting dan ibu yang berusia >35
tahun berpotensi 0.46 kali meningkatkan kejadian stunting. Usia ibu terlalu muda atau terlalu
tua pada waktu hamil dapat menyebabkan stunting pada anak terutama karena pengaruh
faktor psikologis.
Usia ibu dianggap lebih berperan pada segi psikologis. Ibu yang terlalu muda biasanya
belum siap dengan kehamilannya dan tidak tahu bagaimana menjaga dan merawat kehamilan.
Sedangkan ibu yang usianya terlalu tua biasanya staminanya sudah menurun dan semangat
dalam merawat kehamilannya sudah berkurang. Faktor psikologis sangat mudah dipengaruhi
oleh faktor lain (Candra, 2011).
Penelitian ini usia ibu tidak ada hubungan dengan stunting. Hal ini didukung oleh
distribusi frekuensi usia ibu beresiko tinggi pada penelitian ini hanya 15, 8% sehingga usia
ibu beresiko rendah lebih banyak yaitu sebanyak 84,2%. Hal ini disebabkan karena para ibu
tersebut kemungkinan tidak mengalami masalah psikologis seperti yang telah diuraikan di
atas dan sebagian besar usia ibu dalam penelitian ini beresiko rendah.
Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa jumlah ibu dengan kategori tinggi badan pendek
dan memiliki anak stunting sebanyak 68,4% (26) sementara jumlah ibu dengan kategori tidak
pendek yang memiliki anak stunting sebanyak 17,5% (10). Secara statistik diketahui bahwa
tinggi badan ibu berhubungan dengan stunting. Hal ini dibuktikan dengan nilai p 0,000
(p<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa Ha diterima dan Ho ditolak atau terdapat
hubungan antara tinggi badan ibu dengan stunting pada balita usia 24-59 bulan di wilayah
kerja Puskesmas Wonosari I.
Menurut penelitian Amin (2014) bahwa Hasil uji bivariat menunjukkan bahwa
variabel bebas yaitu tinggi badan ibu (p=0,01) menunjukkan hubungan yang signifikan
terhadap kejadian stunting. Hasil uji multivariat pun membuktikan bahwa variabel yang
paling berpengaruh dengan stunting yaitu tinggi badan ibu. Variabel pekerjaan, pendidikan,
pendapatan dan pengeluaran, jumlah anggota keluarga, dan tinggi badan ibu tidak
menunjukkan hasil yang bermakna terhadap kejadian stunting.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitan yang dilakukan oleh Zottarelli (2014) di
Mesir bahwa ibu yang memiliki tinggi badan <150 cm lebih beresiko memiliki anak stunting
dibandingkan ibu dengan tinggi badan >150 cm. Selain itu menurut Naik R & R Smith, 2015
bahwa perempuan yang sejak kecil mengalami stunting maka akan tumbuh dengan berbagai
macam gangguan pertumbuhan termasuk gangguan reproduksinya, komplikasi selama
kehamilan, kesulitan dalam melahirkan, bahkan kematian perinatal. Ibu dengan stunting akan
berpotensi melahirkan anak yang akan mengalami stunting dan hal ini disebut dengan siklus
kekurangan gizi antar generasi.
Tinggi badan orang tua berhubungan dengan pertumbuhan fisik anak. Ibu yang pendek
merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting (Zottarelli, 2014).
Hasil analisis bivariat dan multivariat menunjukkan bahwa tinggi badan ibu dan tinggi badan
ayah merupakan faktor risiko kejadian stunting pada balita usia 24–36 bulan. Hasil ini sejalan
dengan penelitian di Tangerang yang menunjukkan bahwa anak yang dilahirkan dari ibu atau
ayah pendek berisiko menjadi stunting. Salah satu atau kedua orang tua yang pendek akibat
kondisi patologi (seperti defisiensi hormon pertumbuhan) memiliki gen dalam kromosom
yang membawa sifat pendek sehingga memperbesar peluang anak mewarisi gen tersebut dan
tumbuh menjadi stunting. Akan tetapi, bila orang tua pendek akibat kekurangan zat gizi atau
penyakit, kemungkinan anak dapat tumbuh dengan tinggi badan normal selama anak tersebut
tidak terpapar faktor risiko yang lain (Rahayu, 2011). Jadi kesimpulannya Ibu yang pendek,
ayah yang pendek, tingkat pendidikan ayah yang rendah dan pendapatan perkapita yang
rendah merupakan faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian stunting pada
balita usia
Penelitian lain yang mendukung yaitu penelitian yang dilakukan oleh Kartikawati
(2011) yang menyatakan bahwa faktor genetik pada ibu yaitu tinggi badan berpengaruh
terhadap kejadian stunting pada anak balita. Tetapi hal ini tidak berlaku apabila sifat pendek
orangtua disebabkan karena masalah gizi atau patologis yang dialami orang tua. Sehingga, hal
tersebut tidak akan berpengaruh terhadap tinggi badan anak.
Penelitian ini ibu yang memiliki tinggi badan pendek sebanyak 68,4 (26) memiliki
anak stunting. Tetapi terdapat 31,6 % (12) responden yang memiliki tinggi badan pendek
tetapi tidak memiliki anak stunting. Hal ini dapat dikarenakan tinggi badan ibu yang pendek
disebabkan oleh faktor masalah gizi yang dialami ibunya. Sehingga, hal tersebut tidak akan
berpengaruh terhadap tinggi badan anaknya.
SIMPULAN
68,4% (26) orang, Usia ibu yang beresiko tinggi dan memiliki anak stunting di wilayah kerja
SARAN
Bagi orang tua diharapkan orang tua mampu meningkatkan pengetahuan tentang
pertumbuhan dan perkembangan anak sehingga mengetahui faktor yang mempengaruhi
permasalahan pertumbuhan anak khususnya stunting sehingga dapat mencegah kejadian
stunting.
DAFTAR PUSTAKA
Akombi J.B, Agho E.K, Hall J.J, Merom D,Astell-Burt T,Renzaho N.M.A. (2017). Stunting
And Severe Stunting Among Children Under-5 Years In Nigeria: A Multilevel Analysis.
BMC Pediatrics. DOI 10.1186/s12887-016-0770-z
Al-Anshory Husein. (2013). Faktor Resiko Kejadian Stunting Pada Anak Usia 12-24 Bulan di
Amin & Julia. (2014). Faktor Sosiodemografi Dan Tinggi Badan Orang Tua Serta
Hubungannya Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Usia 6-23 Bulan. Volume 2, Nomor
3, September 2014
Anugraheni S. Hana. (2012). Faktor Resiko Kejadian Stunting PAda Anak Usia 12-36 Bulan
di Kecamatan Pati Kabupaten Pati. Fakultas Ilmu Kedokteran.Universitas Diponegoro
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. (2010). Laporan
hasil Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta.
Candra Aryu. (2011). Hubungan Underlying Factors Dengan Kejadian Stunting Pada Anak
1-2 Th. Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang
Darteh E.K., Acquah E. dan Kyereme A.K. (2014). Correlates of Stunting among children in
Departemen Agama RI. (2014). Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: Toha Putra
Eko Dardirdjo. (2015). Sinergitas Kua, Bidan, Puskesmas Dalam Penurunan Angka Stunting.
(2015). Association between Maternal Age at Childbirth and Child and Adult Outcomes in the
Offspring: A Prospective Study in Five Low-Income and Middle-Income Countries
(COHORTS Collaboration). Lancet Glob. Health 3(7): e366–e377 diakses pada tanggal
Girma W, Ganebo T. 2002. Determinants of Nut- ritional Status of Woman and Children in
Kusuma, K. E. (2013). Faktor Risiko Kejadian Stunting pada Anak Usia 2-3 Tahun ( Studi di
Kecamatan Semarang Timur ). Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro Semarang
MCA-Indonesia. (2013). Stunting dan Masa Depan Indonesia terdapat dalam www.mca-
indonesia.go.id diakses pada tanggal 28 Desember 2015 pukul 09.05 WIB
Medhin G, Hanlon C, Dewey M, Alem A,Tesfaye F, Worku B et al. (2010). Prevalence and
predictors on undernutrition among infan- ts aged six and twelve month in Butajira,
Ethiopia: The P- MaMiE Birth Cohort. BMC Public Health.
Nasikhah, R & Margawati, A. (2012). Faktor Risiko Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24 –
36 Bulan Di Kecamatan Semarang Timur. Journal of Nutrition College, Volume 1,
Nomor
1, Tahun 2012, Halaman 176-184 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jnc
Rahayu A. dan Khairiyati L. (2011). Risiko Pendidikan Ibu Terhadap Kejadian Stunting Pada
Anak 6-23 Bulan (Maternal Education As Risk Factor Stunting Of Child 6-23 Months-
Old) terdapat dalam Jurnal Penelitian Gizi Makan, Desember 2014 Vol. 37 (2): 129-136
WHO. (2010). Nutrition Landscape Information System (NLIS) Country Profile Indicators:
Interpretation Guide. Switzerland:WHO press.
Zottarelli LK, Sunil TS, Rajaram S. (2014). Influence of Parental and Socioeconomics Factors
on Stunting in Children Under 5 Years in Egypt. Eastern Mediterranean Health Journal.
Terdapat dalam http://www.emro.who.int/emhj/1306 diakses pada tanggal 10 April 2017
pukul 14.30 WIB
Lampiran 3
Rr Dewi Ngaisyah dkk, Hubungan Tinggi Badan Orang Tua dengan..... 49
email: dewi.fikes@yahoo.co.id
Abstrak: Hubungan Tinggi Badan Orang Tua dengan Kejadian Stunting. Prevalensi stunting di Indone-
sia meningkat pada tahun 2010 mencapai 35,6% menjadi 37,2% pada tahun 2013. Salah satu faktor penentu
terjadinya stunting yaitu status gizi dan kesehatan orang tua, terlihat dari indikator tinggi badan ayah dan tinggi
badan ibu yang diwariskan kepada anaknya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tinggi badan
orang tua dengan kejadian stunting. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan cross
sectional, dilaksanakan pada bulan Maret sampai Oktober 2016. Populasi berjumlah 2310 balita dengan meng-
gunakan cluster random sampling peneliti memperoleh 110 balita yang digunakan sebagai sampel. Data tinggi
badan orang tua diperoleh dengan cara pengukuran TB menggunakan microtoise ketelitian 0,1 cm dan kejadian
stunting diperoleh dengan pengukuran tinggi badan atau panjang badan balita menggunakan stadiometer
SECA ketelitian 0,1 cm. Pengukuran TB orang tua dan anak dilakukan secara bersamaan. Pengumpulan data
dilakukan oleh peneliti dibantu oleh empat orang enumerator. Analisis data menggunakan uji chi square. Hasil
penelitian diperoleh prevalensi ayah pendek sebesar 28,2%, prevalensi ibu pendek sebesar 29,09% dan kejadian
stunting balita 48,2%. Dari hasil uji bivariat tidak ada hubungan tinggi badan orang tua dengan kejadian
stunting, hasil uji chi square antara tinggi badan ayah dengan kejadian stunting (p-value 0,507) dan tinggi
badan ibu dengan kejadian stunting (p-value 0,195). Diperlukan program berupa peningkatan edukasi
khususnya pada keluarga yang memiliki pendidikan rendah dalam rangka mempersiapkan 1000 hari kehidupan
pertama.
Kata Kunci: stunting, tinggi badan ibu, tinggi badan ayah, tinggi badan orang
Abstract: The Relationship between Parents’ Height and Stunting Genesis. The prevalence of stunting in
Indonesia increased in 2010 and reached 35.6% to 37.2% in 2013. One of the factors in determining the occur-
rence of stunting is the parents’ nutritional status and health, seen from parents’ height indicator who is passed on
to their son. This study aims to determine the relationship between parents’ height and the incidence of stunting.
This study was an observational study with cross sectional approach, conducted in March and October 2016. The
population amounted 2310 toddlers by using cluster random sampling and the researcher obtained 110 toddlers
that were used as the sample. Data of parents’ height were obtained by using microtoise height measurement with
th accuracy of 0,1cm and the incidence of stunting was obtained by measuring the height or body length of a
toddler by using SECA stadiometer with the accuracy of 0,1cm. Measurement on parents’ and children’s height
were done together. Data collection was conducted by the researcher assisted by four enumerators. Data analysis
used chi square test. The results was obtained by the prevalence of short fathers of 28.2%, the prevalence of short
mothers of 29.09% and 48.2% incidence of infants stunting. From the bivariate test results there is no correlation
between parents’ height and the incidence of stunting, the chi square test results between father’s height with the
incidence of stunting (p-value 0.507) and the mother’s height with the incidence of stunting (p-value 0.195). It is
required a program that includes the increasing of education, especially in families with low education in order to
prepare the first 1,000 days of life.
49
Pendidikan Ibu n %
Tabel 4. Karakteristik Subjek menurut Umur
yang datar rata dan posisi subjek yang diukur Mean Minimal -
Umur SD al
Median Maksim
adalah berbaring. Pengukuran TB dilakukan seca- Ayah 7,66
ra bergantian yakni TB Ayah, TB Ibu dan TB/PB (Tahun) 31
balita. Pengumpulan data dikerjakan dengan cara Ibu 28 7,25 17 - 48
(Tahun)
mengunjungi rumah subjek. Penentuan status gizi
Balita 27
balita dihitung berdasarkan indeks TB/U yang di- (Bulan)
bandingkan dengan nilai standar (z-score) dengan 29 15,03 2 - 59
29
37,2%.
Ayah n % n % n % OR
Pendek 17 58,8 14 45,2 31 100 P- value
Normal 36 45,6 43 54,4 79 100 95% CI
Jumlah 53 48,2 57 51,8 110 100
1,450
0,507
0,630 – 3,341
Berdasarkan tabel 6. terlihat bahwa balita normal, yakni sebanyak 14 orang (45,2%).
sebagian besar kelompok ayah pendek memiliki Selanjutnya dengan menggunakan uji Chi Square
anak yang stunting sebanyak 17 orang (58,8%). dengan α = 0,05 diperoleh p-value 0,507. Hal ini
Meskipun tidak terpaut banyak, secara proporsi menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara
menunjukkan lebih banyak jika dibandingkan Tinggi Badan Ayah dengan kejadian
Stunting
dengan kelompok ayah pendek yang memilik
Balita.
Tabel 7. Distribusi Subjek menurut Tinggi Badan Ibu dan Kejadian Stunting
Kejadian Stunting
Jumlah OR
Tinggi
Badan Ibu Stunting Normal P- value
95% CI
n % n % n %
Pendek 19 59,4 14 40,6 32 100
Normal 34 43,6 44 56,4 78 100 1,891
Jumlah 53 48,2 57 51,8 110 100
0,195
0,820 – 4,361
Berdasarkan tabel 7 terlihat bahwa Ibu Pada penelitian ini menunjukkan bahwa
yang pendek kecenderungan memiliki Balita tinggi badan ibu tidak berhubungan dengan ke-
Stunting sebanyak 19 Balita (59,4%). Proporsi ini jadian stunting balita. Begitu juga tinggi badan
lebih besar bila dibandingkan dengan Ibu Pendek Ayah tidak berhubungan dengan kejadian
yang memiliki anak normal sebanyak 13 Balita stunting balita. Hal ini diduga karena orang tua
(40,6 %). Selanjutnya dengan Uji Chi Square yang pen- dek akibat karena patologis atau
pada α = 0,05 diperoleh p-value sebesar 0,195. kekurangan zat gizi bukan karena kelainan gen
Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan dalam kromososm. Mamabolo et al (2005)
antara Tinggi Badan Ibu dengan kejadian Stunting menjelaskan bahwa orang tua yang pendek karena
Balita. gen dalam kromosom yang membawa sifat
pendek kemungkinan besar akan menurunkan ngan tinggi badan normal selama tidak terpapar
sifat pendek tersebut kepada anaknya. Apabila faktor risiko yang lain. Penelitian ini tidak me-
sifat pendek orang tua disebab- kan masalah gizi neliti faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi ba-
maupun patologis, maka sifat pendek tersebut dan orang tua saat ini merupakan pengaruh
tidak akan diturunkan kepada anaknya dan genetik atau pengaruh patologis maupun
selanjutnya balita dapat tumbuh de- malnutrisi. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian Kusuma dan Nuryanto (2013) bahwa
tinggi badan ibu tidak berhubungan dengan tinggi
badan balita.
DAFTAR
KESIMPULAN RUJUKAN
Shrimpton, R., et al. 2001. Worldwide Timing of Growth Faltering: Implications for Nutri- tional
Interventions. American Academi of Pediatric.
e-mail :
farahokky28@gmail.com
Abstra
ct
In 2013, the prevalence of stunting in rural areas of Jember is 67% and 27,27% for urban
areas. Stunting if problem above 20% that is a public health problem. The purpose of this
study was to analyze the factors that influence the genesis of stunting in toddlers between
rural and urban areas. This type of this study is an observasional analytic with cross-
sectional approached and conducted in Patrang health center and Mangli health center for
urban whereas Kalisat health centers for rural with sample fifty respondents each. Analysis
of data consisting of chi-square test, mann whitney test and logistic regression with α=0,05.
Result of analysis showed that affecting factors of stunting occurrence in toddlers who are
in the rural and urban areas were the mother's education, family income, mother's
knowledge of nutrition, exclusive breastfeeding, complementary feeding age provision, zinc
and iron adequacy level, infection disease history and genetic factors. However, another
factors such as mother's work, family numbers, immunization status, energy adequacy level
and BBLR status didn't affect the occurrence of stunting. Protein and calcium adequacy level
in rural areas showed a significant relation while in urban areas showed no relation. The
most factor affecting stunting on toddlers in rural and urban areas was zinc adequacy
level.
Abstr
ak
Pada tahun 2013 prevalensi stunting di Kabupaten Jember tertinggi di daerah pedesaan
yaitu
67% dan wilayah perkotaan tertinggi sebesar 27,27%. Apabila masalah stunting di atas 20%
maka merupakan masalah kesehatan masyarakat. Tujuan penelitian ini untuk
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian stunting pada anak balita di wilayah
pedesaan dan perkotaan. Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan desain
cross-sectional dan dilakukan di Puskesmas Patrang dan Puskesmas Mangli untuk
perkotaan dan Puskesmas Kalisat untuk pedesaan dengan jumlah sampel sebanyak 50
responden. Analisis data menggunakan analisis chi-square, mann whitney dan regresi logistik
dengan α=0,05. Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi terjadinya
stunting pada anak balita yang berada di wilayah pedesaan dan perkotaan adalah pendidikan
ibu, pendapatan keluarga, pengetahuan ibu mengenai gizi, pemberian ASI eksklusif, umur
pemberian MP-ASI, tingkat kecukupan zink dan zat besi, riwayat penyakit infeksi serta faktor
genetik. Namun, untuk status pekerjaan ibu, jumlah anggota keluarga, status imunisasi,
tingkat kecukupan energi, dan status BBLR tidak mempengaruhi terjadinya stunting.
Tingkat kecukupan protein dan kalsium di wilayah pedesaan menunjukkan hubungan yang
signifikan sedangkan di wilayah perkotaan tidak menunjukkan adanya hubungan. Faktor
yang paling mempengaruhi terjadinya stunting pada anak balita di wilayah pedesaan
maupun perkotaan yaitu tingkat kecukupan zink.
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
Pembahasan
Daftar Pustaka
29 Agustus 2014]
http://www.apps.who.int
http://nasuwakes.org
[11] Theron M, Amissa A, Albertse E, Kleynhans I dan Maclntyre U. Inadequate Dietary Intake is
Not The Cause of Stunting
http://poltekkes-denpasar.ac.id/
Hubungan Tinggi Badan Orangtua Dengan Kejadian Stunting Pada Anak Usia 24-59
Peran Zinkum Terhadap Pertumbuhan Anak. SP. Desember 2009: Vol (11): 4-9 [diakses
tanggal 19 Agustus 2014]. Avail- able from:http://saripediatri.idai.or.id/
Lampiran 5
Hubungan Tinggi Badan Orangtua Dengan Kejadian Stunting Pada Anak Usia 24-59
HUBUNGAN TINGGI BADAN ORANGTUA DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA ANAK
USIA 24-59 BULAN DI KECAMATAN RATAHAN KABUPATEN MINAHASA TENGGARA
Novelinda Ch. Ratu*, Maureen I. Punuh*, Nancy S. H. Malonda*
ABSTRAK
Gizi merupakan salah satu faktor tercapainya keberhasilan yang optimal bagi tumbuh kembang anak. Periode
emas pertumbuhan memerlukan dukungan gizi yang cukup agar mendapatkan tumbuh kembang anak yang baik.
Kekurangan gizi yang terjadi pada awal kehidupan dapat mengakibatkan terjadinya gagal tumbuh sehingga
nantinya akan menjadi anak yang lebih pendek dari normal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan antara tinggi badan orangtua dengan kejadian stunting pada anak usia 24-59 bulan di Kecamatan
Ratahan Kabupaten Minahasa Tenggara. Penelitian ini merupakan penelitian survey analitik dengan
pendekatan cross sectional. Populasi yaitu anak usia 24-59 bulan dan orangtua di Kecamatan Ratahan
Kabupaten Minahasa Tenggara Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan simple random sampling.
Jumlah sampel sebanyak 88 anak. Variabel stunting diukur menggunakan pengukuran antropometri serta
microtoise untuk mengukur tinggi badan anak dan orang tua, kemudian menghitung z-score. Hasil
Penelitian yaitu terdapat
38,6% anak stunting, 34,1% ayah yang masuk dalam kategori pendek dan 44,3% ibu yang masuk dalam kategori
pendek. Berdasarkan hasil uji chi-square didapati bahwa terdapat hubungan antara tinggi badan ibu dengan
kejadian stuntin dan tidak terdapat hubungan antara tinggi badan ayah dengan kejadian stunting, dan terdapat
hubungan antara tinggi badan orang tua dengan stunting pada anak usia 24-59 bulan di Kecamatan Ratahan
Kabupaten Minahasa Tenggara.
ABSTRACT
Nutrition is one of the factors to achieve success that is optimal for child growth. The golden period of growth
require appropriate nutritional support to optimize growth and development of the child. Malnutrition that
happened at the beginning of life can led to growth faltering so that later it will become a child who is shorter
that normal. This study aims to identify the relation between parent’s height and stunting genesis from ages 24-
59 months in Ratahan District Minahasa Tenggara Regency. An analytical survey research design was uses with
a cross sectional study approach. The population of this study were all of the toddlers from ages 24-59 months in
Ratahan District Minahasa Tenggara Regency. Sampling was done using simple random sampling. Samples
were
88 children. Stunting variable were measured by anthropometric measurements and microtoise to measure the
child’s height and parents , and then calculate the z score. Result of this study was obtained by 38,6% incidence
of stunting child, 34,1% of fathers who were in the short category and 44,3% of mothers in the short category .
Hubungan Tinggi Badan Orangtua Dengan Kejadian Stunting Pada Anak Usia 24-59
Based on chi square test it was found that there was a relation between mother’s height and stunting genesis
(p=0,000) and there was no relation between father’s height and stunting genesis (p=0,378), and there was a
relation between parents height and stunting genesis (p=0,000) in children aged 24-59 months in Ratahan
Hubungan Tinggi Badan Orangtua Dengan Kejadian Stunting Pada Anak Usia 24-59
PENDAHULUAN 127 juta pada tahun 2025 sebanyak 56% anak
pendek hidup di Asia dan 36% di Afrika. Data
Gizi merupakan salah satu faktor yang
tercapainya keberhasilan yang optimal bagi
tumbuh kembang bayi. Periode emas
pertumbuhan memerlukan dukungan gizi yang
baik untuk mendapatkan tumbuh kembang bayi
yang sempurna. Kekurangan gizi yang terjadi
pada awal kehidupan dapat mengakibatkan
tejadinya gagal tumbuh sehingga bayi akan
menjadi anak yang lebih pendek dari normal.
(Fikawati, dkk, 2015). Usia balita adalah
proses tumbuh kembang balita terjadi sangat
cepat. Dalam periode ini balita sangat
membutuhkan asupan gizi yang baik dengan
jumlah yang lebih dari biasanya karena balita
pada umumnya mempunyai aktivitas fisik
tinggi dan masih dalam proses belajar
(Welassih & Wirjatmadi, 2012). Masalah gizi
yang seringkali terjadi yaitu stunting.
METODE PENELITIAN
Karakteristik Responden
tahun berjumlah 22 responden, 30-39 Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 1,
berjumlah 37 responden, 40-49 berjumlah 25 tinggi badan orangtua di Kecamatan
responden dan >50 berjumlah 4 responden.
Ratahan Kabupaten Minahasa Tenggara,
Tingkat pendidikan responden (ibu) terbanyak
kelompok tinggi badan ayah 150-159 cm
yaitu berpendidikan SMA sebanyak 53,4% dan
sebanyak 12%, kelompok tinggi badan
paling sedikit yaitu tidak tamat SD sebanyak
ayah 160-169 cm sebanyak 61%, dan
1,1%, diikuti SMP (21,6%), S1 (8%), SD kelompok tinggi badan ayah 170-179 cm
(6,8%), dan diploma (4,5%). Pendidikan sebanyak 15%. Sedangkan kelompok tinggi
responden (ayah) terbanyak yaitu
badan ibu 140-149 cm sebanyak 40%,
berpendidikan SMA sebanyak 40,9% dan
kelompok tinggi badan ibu 150-159 cm
paling sedikit yaitu tidak tamat SD sebanyak
sebanyak 46%, dan kelompok tinggi badan
1,1%. Berdasarkan jenis pekerjaan ibu
160-169 cm sebanyak 2%.
terbanyak yaitu IRT sebanyak 78,4% dan yang
paling sedikit yaitu pegawai honorer sebanyak
%
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Tinggi Badan
Ayah
0,0
150-159 12 12,0
160-169 61 61,0 38,6
170-179 15 15,0 61,4
Ibu
0,0
140-149 40 40,0
150-159 46 46,0
160-169 2 2,0
Kategori Karakteristik
Pertumbuhan tinggi badan relatif kurang Hasil penelitian pada table 3 menunjukkan
sensitive pada masalah kekurangan gizi dalam status gizi tinggi badan menurut umur
waktu yang singkat. Pengaruh defiensi zat gizi (TB/U)
terhadap tinggi badan akan nampak dalam
waktu yang relatif lama. Sangat penting
keadaan gizi ibu perlu dilihat dari berbagai
aspek. Selain akses terhadap keamanan pangan
dan terhadap pelayanan kesehatan setinggi-
tingginya meupakan hak asasi dasar setiap
orang, keadaan gizi ibu juga mempunyai
dampak secara sosial dan ekonomi. Berbagai
penelitian lain juga menunjukkan bahwa
keadaan gizi ibu tidak hanya dapat memberikan
dampak negatif terhadap status kesehatan dan
risiko kematian dirinya, tetapi juga terhadap
kelangsungan hidup dan perkembangan janin
yang dikandungnya dan lebih jauh lagi
terhadap pertumbuhan janin tersebut sampai
usia dewasa.
Stunting
%
sebanyak 54 anak (61,4%) kategori tidak
stunting, sedangkan kategori stunting
ditemukan sebanyak 34 anak (38,6%).
2014).
Tinggi Va
stunting. Jika salah satu atau kedua orang tua
Badan Stunting Normal Total lu
100, 78
Normal 20 34,5 38 65,5 58
0 Penelitian ini juga sama dengan penelitian
yang dilakukan Amin (2014) di Yogyakarta
10
Jumlah 34 38,6 54 61,4 88
yang menunjukkan bahwa tinggi badan ibu
0
juga merupakan faktor risiko yang
mengakibatkan kejadian stunting pada usia 6-
Berdasarkan uji chi-square yang telah 23 bulan. Hasil analisis bivariat dan multivariat
dilakukan didapatkan dalam penelitian ini p menunjukkan bahwa anak yang dilahirkan oleh
value = 0,000 maka dari itu, didapatkan nilai p ibu yang pendek memperoleh peluang besar
anak tumbuh menjadi stunting.
< 0,05 yang berarti Ho ditolak, sehingga dapat
disimpulkan ada hubungan antara tinggi badan Berdasarkan tabel 5, dapat dilihat
ibu dengan kejadian stunting pada balita. bahwa sebagian besar ayah yang pendek
Tinggi badan orang tua berhubungan dengan memiliki anak yang stunting yaitu
tumbuh kembang fisik pada anak. Tinggi badan
sebanyak 46,7% sedangkan ayah yang 3. Tidak ada hubungan yang bermakna
pendek dan memiliki anak dengan tinggi antara tinggi badan ayah dengan kejadian
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Jakarta. PT RAJAGRAFINDO
PERSADA.
8 No 3, 8-70.
Prevalensi Underweight, Stunting, dan Wasting pada Anak Usia 12-18 Bulan
di Kecamatan Jatinangor
1
Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran
2
Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran/
Abstrak
Status gizi rendah di Indonesia merupakan masalah kesehatan yang belum teratasi. Sumedang termasuk
kabupaten di Jawa Barat yang masuk dalam daftar 100 kabupaten prioritas penanganan stunting karena memiliki
angka prevalensi stunting yang tinggi. Ketika anak berusia 12-18 bulan kebutuhan nutrisinya akan meningkat dan
anak sudah mengenali selera lidahnya, sehingga cenderung menjadi pemilih makanan. Hal ini dapat
meningkatkan risiko anak mengalami malnutrisi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi
underweight, stunting dan wasting pada anak usia 12-18 bulan di Kecamatan Jatinangor. Penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif potong lintang. Penilaian status gizi dilakukan pada bulan Juli hingga Agustus
tahun 2019 di Posyandu Desa Hegarmanah dan Cipacing menggunakan pengukuran antropometri berat dan
panjang badan anak, kemudian hasilnya akan dipetakan kedalam kurva pertumbuhan WHO. Dari 99 anak
yang diteliti, terdapat
4 anak underweight (4%), 11 anak stunting (11%), dan 5 anak wasting (5%). Ketika data dibagi berdasarkan
kelompok usia, terdapat peningkatan prevalensi stunting pada kelompok anak usia 15-≤18 bulan. Pada usia ini
kebutuhan nutrisi utama anak didapatkan dari MP-ASI. Dapat disimpulkan bahwa prevalensi malnutrisi pada
anak usia 12-18 bulan di Jatinangor masih tergolong sedang, namun terdapat peningkatan prevalensi malnutrisi
pada kelompok anak usia 15-≤18 bulan. Perlu adanya sosialisasi dan pelatihan praktik pemberian MP-ASI pada
anak
Abstract
Malnutrition is a health issue that hasn’t been solved yet in Indonesia. Sumedang, which is one of the cities in
Jawa Barat, is included in the list of 100 priority cities for stunting handling because of its high prevalence rate.
When child is 12-18 months old, nutritional needs will increase and child already has his own taste, so he tends
to be picky eater. This may increase risk of malnutrition in child. This study aimed to determine prevalence of
underweight, stunting, and wasting among children aged 12-18 months in Jatinangor. The study was an cross
sectional study. This study was held on July until August 2019 at Posyandu in Hegarmanah and Cipacing by
using anthropometric measurements of child’s body weight and length for indicating nutritional status. Then the
result would be mapped into WHO child growth standards. Result : from 99 children who were examined, there
i JSK, Volume 5 Nomor 3 Maret Tahun 2020
were 4 underweight children (4%), 11 stunting children (11%), and 5 wasting children(5%). When data were
divided by age group, the prevalence of stunting had increase among children aged 15 - ≤18 months. At this age
the primary nutritional needs of child are obtained from complementary food. In conclusion, the prevalences of
malnutrition among children aged 12-18 months in Jatinangor were moderate, but that prevalences had increase
among children aged
15 - ≤18 months. There is a need for socialization and training in child feeding practice of complementary food
Korespondensi:
Rahimah N. Hanifah
Mobile : 081214101612
Email : rahimahnh@gmail.com
Masalah gizi merupakan masalah kesehatan kabupaten di Jawa Barat yang masuk dalam
global karena terjadi hampir di seluruh belahan daftar 100 kabupaten/kota prioritas penanganan
dunia. Kekurangan gizi akan menghambat proses
pertumbuhan pada anak. Anak yang mengalami stunting karena memiliki angka prevalensi yang
masalah pertumbuhan akan memiliki tingkat
kecerdasan yang tidak maksimal, lebih rentan tinggi yaitu sebesar 41,08%.1
terhadap penyakit dan beresiko pada
menurunnya produktivitas di masa depan, Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
sehingga akan menghambat pertumbuhan
ekonomi suatu negara.1 Oleh sebab itu, negara prevalensi underweight, stunting dan wasting
harus memberikan perhatian lebih untuk
mengatasi masalah gizi yang sedang terjadi. pada anak usia 12-18 bulan di Kecamatan
Usia 12-18 bulan masuk dalam periode emas Jatinangor, sehingga dapat menjadi masukan
pertumbuhan dan perkembangan anak, karena
pada masa ini anak mengalami pertumbuhan tinggi kepada pemerintah untuk mempertimbangkan
yang cepat hingga mencapai setengah dari tinggi
orang dewasa dan sirkuit otak anak terbentuk program pencegahan dan penatalaksanaan
hingga 80%.2 Pada usia ini, kebutuhan gizi anak
meningkat dan anak sudah dapat mengenali malnutrisi di Kabupaten Sumedang.
selera lidahnya sehingga cenderung menjadi
pemilih makanan. Hal ini akan meningkatkan
risiko anak mengalami malnutrisi.
Menurut data UNICEF tahun 2017, terdapat
Metode
92 juta (13,5%) balita di dunia mengalami
underweight, 151 juta (22%) balita mengalami
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif
stunting dan 51 juta (7,5%) balita mengalami
wasting. Sebagian besar balita di dunia yang
mengalami underweight, stunting dan wasting
berasal dari Benua Afrika dan Asia.3
Berdasarkan
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, status
gizi balita di Indonesia mengalami perbaikan
dari
tahun 2013 hingga 2018. Prevalensi underweight
menurun dari 19,6% menjadi 17,7%, prevalensi
stunting menurun dari 37,2% menjadi 30,8%,
dan
prevalensi wasting menurun dari 12,1% mejadi
10,2%.4 Namun, angka prevalensi tersebut masih
berada dalam kategori tinggi berdasarkan batas
ambang prevalensi malnutrisi sebagai masalah
2 JSK, Volume 5 Nomor 3 Maret Tahun 2020
dengan pendekatan potong lintang. Populasi rentang prevalensi malnutrisi pada populasi
target terdiri dari seluruh anak usia 12-18 bulan yang sebenarnya adalah underweight 0.2-
di Kecamatan Jatinangor. Metode penentuan
desa dilakukan dengan cara diundi, desa 8 %, stunting 5-17%, dan wasting 0.7-9%.
terpilih yang akan ikut dalam penelitian adalah
Desa Hegarmanah dan Cipacing. Berdasarkan
rumus perhitungan estimasi proporsi populasi,
besar sampel minimal yang dibutuhkan dalam
penelitian ini adalah 96 subjek penelitian.
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah
seluruh anak usia 12-18 bulan di Desa
Hegarmanah-Cipacing dan kriteria eksklusinya
adalah anak yang tidak datang ke posyandu saat
penelitian dilakukan. Penelitian ini telah
mendapatkan izin dari Komisi Etik Fakultas
Kedokteran Unversitas Padjadjaran No.
680/UN6.KEP/EC/2019. Penilaian status gizi
anak dilakukan pada bulan Juli hingga Agustus
tahun 2019 dengan mengukur berat dan panjang
badan anak di Posyandu. Sedangkan,
pengambilan data tambahan, seperti riwayat
prematur, berat lahir, dan pekerjaan orangtua
dilakukan dengan mewawancarai orangtua atau
wali anak. Instrumen yang digunakan adalah
formulir pengukuran, timbangan digital merek
Omron HN289 yang sudah dikalibrasi dengan
ketelitian 100g, dan alat ukur panjang badan
merek GEA medical WB-C.
Hasil pengukuran dipetakan kedalam kurva
pertumbuhan anak WHO6 yang dibagi menjadi 3
indikator, yaitu berat badan menurut usia
(BB/U), tinggi badan menurut usia (TB/U), dan
berat badan menurut tinggi badan (BB/TB).
Kemudian akan dikelompokkan menjadi normal,
underweight, stunting, atau wasting dan dihitung
prevalensinya. Hasil penelitian disajikan
dalam bentuk tabel.
Hasil
Usia
Status Gizi Frekuensi Persentase
(%)
12 - <15 bulan 57 58
Indikator BB/U
15 - ≤18 bulan 42 42
Normal 95 96
Jenis Kelamin
Indikator TB/U
Stunting 11 11
Normal 88 89
Indikator BB/TB
Laki-laki 51 52
Perempuan 48 48 Wasting 5 5
Prematur
Normal 94 95
Ya 1 1
Tidak 98 99
Tabel 4 Distribusi Status Gizi Anak
Berat Bayi Lahir
Berdasarkan Gabungan Indikator
Normal 96 97
Rendah 3 3
Status Gizi Berat Normal Wasting
Pekerjaan Orang
Tinggi Normal 84 4
Tua Stunting 10 1
Buruh 18 18
Pedagang 8 8
Wiraswasta 29 29
PNS 5 5
Lainnya 39 40
Daftar Pustaka
LAMPIRAN 7
YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
Jalan Beliang No.110 Palangka Raya Telp/Fax. (0536) 3227707
E-Mail : stikesekaharap110@yahoo.com
LEMBAR KONSULTASI
Siti Santy
Sianipar, S.
Kep., M.Kes Wini.W
LAMPIRAN 8
YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
Jalan Beliang No.110 Palangka Raya Telp/Fax. (0536) 3227707
E-Mail : stikesekaharap110@yahoo.com
NAMA : Wini Wahidawati
NIM : 2017.C.09a.0917