Anda di halaman 1dari 2

Contoh lain Confounding

Confounding variable, dalam Bahasa Indonesia berarti variabel pengganggu,


adalah variabel yang merusak hubungan antara variabel paparan
(exposure) dan variabel terpapar (outcome). Variabel ini dikatakan
mengganggu karena keberadaanya sebagai penyebab
terjadinya exposure, namun disaat yang bersamaan, keberadaanya juga
sebagai penyebab terjadinya outcome.
Cara Mengontrol Confounding Variable/s
Sebuah variabel dikatakan sebagai variabel pengganggu apabila variabel
tersebut memiliki dua hubungan unik, yaitu berhubungan positif dengan
variabel exposure dan berhubungan positif dengan variabel outcome. Kedua
hubungan terbukti secara signifikan. Sebenarnya variabel pengganggu ini
bisa saja diabaikan. Tetapi pengabaian ini justru akan mengurangi kualitas
penelitian yang dilakukan. Terdapat dua cara mengontrol variabel
pengganggu, yaitu melalui modifikasi desain penelitian dan atau melalui
analisis data.
Jika mengontrolnya melalui modifikasi desain penelitian, maka peneliti bisa
menerapkan randomisasi subjek, memilih subjek secara ketat, dan
menentukan kriteria inklusi sesuai tujuan penelitian. Jika mengontrolnya
melalui analisis data, maka peneliti bisa menggunakan analisis stratifikasi
dan analisis multivariate. Salah satu uji sederhana yang berfungsi untuk
mengontrol variabel pengganggu adalah Uji Mantel-Haenzsel. Uji ini
merupakan salah salah satu analisis data yang menerapkan metode
stratifikasi. Uji ini mampu mengestimasi nilai asosiasi untuk satu atau lebih
variabel pengganggu.

Contoh Penggunaan Uji Mantel-Haenzsel


Keterkaitan antara berat badan lahir dan kejadian kejang di 72 jam pertama
kelahiran belum konsisten selama beberapa dekade. Terdapat berbagai
faktor yang dianggap sebagai penyebab terjadinya kejang. Variabel-
variabel tersebut dinilai menjadi faktor yang berdiri tunggal, sehingga
upaya preventif yang dilakukan menjadi beragam. Berdasarkan teori, bayi
yang lahir < 2500 gram berisiko mengalami kejang 72 jam pertama setelah
lahir. Apabila tidak ditangani dengan segera, maka akan berakibat
kematian. jika peneliti menemukan variabel yang sifatnya mengganggu,
maka upaya preventif dapat difokuskan di varibel tersebut sehingga
menjadi lebih efektif dan efisien.

Kami beragumentasi bahwa kondisi air ketuban merupakan confounding


variable antara berat badan saat lahir dengan kejadian kejang di 72 jam
pertama kelahiran. Hal ini karena bayi berenang di air ketuban selama
berada di kandungan ibu. Jika air ketuban jernih, maka bayi tumbuh dan
berkembang di lingkungan yang baik, serta kaya nutrisi dan oksigen.
Namun jika air ketuban keruh, maka pertumbuhan dan perkembangan bayi
akan terganggu karena air tersebut mengandung bakteri jahat. Sifat air
yang mampu melewati celah-celah kecil ini membuat bakteri dengan
mudah masuk ke dalam tubuh bayi, baik saat di dalam kandungan maupun
saat dilahirkan.
Penelitian ini melibatkan 1461 bayi baru lahir di RSU Haji Surabaya.
Seluruh bayi tercatat lahir pada bulan Januari 2018 sampai Desember
2018. Sebanyak 121 bayi memiliki berat badan lahir rendah (BBLR) dan
178 bayi menderita sepsis di 72 jam pertama setelah kelahiran, dan 108
bayi berada pada ketuban keruh. Tahap pertama yang dilakukan adalah
membuktikan variabel ketuban merupakan confounding variable dengan
menggunakan Chi-Square Test. Hasilnya, air ketuban mempengaruhi berat
badan bayi selama di kandungan. Selain itu, air ketuban juga
mempengaruhi risiko kejadian kejang saat bayi tersebut dilahirkan.
Selanjutnya peneliti membandingkan nilai besar risiko kejadian kejang
pada bayi baru lahir di dua kondisi, yaitu mengabaikan kondisi air ketuban
dan memperhitungkan kondisi air ketuban. Saat mengabaikan kondisi air
ketuban, hasil analisis data menunjukkan bahwa berat badan lahir (BBL)
mempengaruhi kejadian kejang sebesar 20,498 kali. Artinya, bayi yang
BBL <2500 gram akan berisiko 20,498 kali lebih besar mengalami kejang
di 72 jam pertama setelah dilahirkan daripada bayi yang BBL >2500 gram.
Namun, setelah memperhitungkan kondisi air ketuban peluang terjadinya
kejang meningkat menjadi 24,632 kali. Artinya, kondisi air ketuban
merupakan faktor pemberat empat kali lebih besar menyebabkan
terjadinya kejang pada bayi baru lahir jika dibandingkan dengan
mengabaikan kondisi air ketuban.

Hasil ini dapat menjadi bekal pengetahuan bagi tenaga medis, baik dokter
kandungan maupun bidan, agar segera memberi perlakuan khusus kepada
bayi yang dilahirkan oleh ibu bersalin yang memiliki air ketuban keruh.
Selain itu, hasil ini juga bermanfaat bagi masyarakat luas agar mendukung
para ibu hamil melakukan cek kandungan secara rutin di pelayanan
kesehatan.

Penulis: Berliana Devianti Putri


Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada:
http://www.ijphrd.com/issues.html periode Year 2020, Volume-11, Issue-5 (May
2020)
Berliana Devianti Putri and Euvanggelia Dwilda Ferdinandus (2020). The
Mantel Haenszel Analysis to Control Confounding Variable Between Birth-
Weight and Early-Onset Neonatal Sepsis at Hajj Hospital, Surabaya,
Indonesia. Indian Journal of Public Health and Research Development, May
2020, Volume 11, No. 05.

Anda mungkin juga menyukai