Tulisan ini dibuat dalam rangka menyambut 10 tahun berdirinya Sekolah Kristen Calvin. Apa yang
akan anda baca adalah upaya saya untuk menjelaskan apakah ‘filsafat’ dari ‘pendidikan Kristen’ itu.
Penjelasan tersebut terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan
filsafat dan mengapakah kita perlu berpikir filosofis. Bagian kedua membahas apa itu ‘pendidikan
Kristen’. Apakah yang menjadikan suatu upaya pendidikan dapat disebut sebagai pendidikan Kristiani?
Pada bagian ketiga saya akan berupaya untuk menggariskan hal-hal pokok dari sebuah ‘filsafat
pendidikan Kristiani’.
Pada masa-masa awal perjumpaan orang-orang Kristen dengan filsafat, aktivitas filosofis dilakukan
untuk tujuan apologetis. Para Bapa Gereja seperti Justin Martyr, Irenaeus, dan Agustinus - seperti juga
para pendahulu mereka seperti Polycarpus, Yohanes, dan Paulus Tarsus - melakukan aktivitas filosofis
sebagai bagian dari kegiatan mengabarkan Injil dan menjelaskan bagaimana Injil tidak bertentangan
dengan rasionalitas, kebudayaan Yunani, dan orang-orang Kristen juga tidak berniat mendongkel
pemerintahan Romawi lewat revolusi. Sepanjang duaribu tahun sejarah Kekristenan perjumpaan iman
Kristen dengan filsafat, yang lahir dari rahim kebudayaan Yunani, telah melewati tahapan-tahapan
perkembangan yang panjang sehingga mencapai kematangan filsafat Kristen yang dapat kita jumpai
dewasa ini di dalam tradisi Protestan (Kierkegaard, Vollenhoven, Dooyeweerd, dan Plantinga) maupun
Katolik (Jacques Maritain, Bruno Latour, dan William Desmond). Tentu saja sebuah filsafat tidak
disebut filsafat Kristen karena orang yang menghasilkannya ‘kebetulan’ adalah Kristen, sama seperti
sepiring nasi goreng tidak tentu adalah ‘nasi goreng Jawa’ hanya karena koki yang membuatnya adalah
orang Jawa! Sebuah filsafat dapat ‘menjadi Kristen,’ menurut hemat saya, karena ia memiliki ciri khas
yang dimiliki oleh pengharapan Kristiani (yaitu kerajaan Allah, yang adalah pengharapan Israel, telah
digenapi oleh Yesus Nazareth) dan dimungkinkan oleh pengharapan yang diterima melalui iman
tersebut. Jadi filsafat Kristen dihasilkan oleh aktivitas rasional-konseptual yang terus menerus secara
kritis mempertanyakan segala sesuatu guna mencapai pemahaman yang menyeluruh, mendasar, dan
relevan kepada realitas sebagaimana dimungkinkan oleh datangnya Kerajaan Allah di dalam peristiwa-
peristiwa di seputar kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus dari Nazareth. Tujuan filsafat Kristen
ini jelas melampaui kegunaan-kegunaan apologetis yang pada mulanya menjadi alasan mengapa orang-
orang Kristen berinteraksi dengan filsafat Yunani kuno. Tujuan orang-orang Kristen mengembangkan
filsafat yang Kristiani adalah karena aktivitas berfilsafat itu adalah bagian tak terpisahkan dari
kemanusiaan dan panggilan kita sebagai manusia; dan sekarang di dalam era datangnya kerajaan Allah
- kita umat Yesus Kristus memiliki apa yang tidak dimiliki mereka yang tidak percaya. Pengharapan
Kristiani yang kita miliki itu membuat kita dapat melihat lebih banyak dan lebih mendalam kepada
kehidupan yang diciptakan Tuhan ini - sehingga tugas dari para filsuf Kristen adalah mempergunakan
insight-insight yang baru itu untuk memformulasikan filsafat dan menjawab pertanyaan-pertanyaan
perennial khas filsafat, seperti: mengapakah semua ini ada? Siapakah manusia? Apakah itu kebenaran?
Dapatkah kita mengetahui kebenaran? Apakah hidup yang baik itu? Apakah keindahan itu? Apakah
realitas itu? Apakah itu keadilan? Ini akan menjadi sumbangsih kita orang-orang percaya kepada
peradaban dunia ini. Sekarang kita akan meninjau dahulu apakah yang dimaksudkan dengan
‘pendidikan Kristen’ sebelum kita memikirkan mengenai ‘filsafat pendidikan yang Kristiani’.
Lynn Townsend White, Jr., seorang profesor sejarah Abad Pertengahan yang mengajar di Princeton dan
Stanford, anak dari seorang professor Calvinis, dalam sebuah kuliah yang ia berikan pada forum AAAS
di tahun 1966 yang bertajuk ‘The Historical Roots of Our Ecologic Crisis’ mengatakan bahwa akar dari
krisis ekologis yang kita hadapi dapat ditemukan pada tafsir Abad Pertengahan atas Kejadian 1:28
tersebut. Menurut White, para teolog Abad Pertengahan menegaskan dua poin sehubungan dengan
pemahaman tentang manusia dan relasinya dengan lingkungan hidup: 1) Manusia dipanggil untuk
‘menguasai’ alam, 2) Manusia lebih tinggi daripada makhluk-makhluk ciptaan yang lain (barangkali
karena kita memiliki jiwa). Dalam hipotesa yang diajukan White kedua poin ini membuat manusia
bersikap merendahkan alam lingkungannya dan sikap itu selanjutnya membuat orang modern yang
telah memiliki kekuatan yang jauh lebih besar berkat kemajuan sains dan teknologi bersikap sembrono
terhadap lingkungan hidup dan akhirnya membawa kita kepada krisis ekologis dewasa ini. Pada akhir
paparannya, White mengusulkan agar kita menganut sikap yang lebih ‘demokratis’ dalam berelasi
dengan alam dan meneladani sikap dari Santo Fransiscus dari Assisi yang ‘menghormati segala
makhluk hidup’ dan membatasi dominasi manusia atas alam. Sudah banyak tulisan dibuat untuk
meresponi kuliah Lynn White ini, termasuk apakah kita memang dapat menemukan sikap seperti yang
dikatakan White ini pada Franciscus Assisi. Saya tidak hendak mengulangi kembali apa yang dapat
anda baca sendiri dalam interaksi White dengan para pengritiknya. Yang hendak saya katakan hanyalah
bahwa Kejadian 1:28 ini justru hendak menggambarkan tanggung jawab kita yang begitu indah sebagai
wakil Tuhan dalam dunia ini. Kisah penciptaan dalam kitab Kejadian itu tidak menggambarkan alam
ciptaan sebagai sesuatu tanah liar tak bertuan sehingga manusia dapat pergi untuk ‘menaklukkan’ dan
‘menjinakkan’nya - barangkali seperti yang dipahami bangsa Eropa yang pergi ke tanah Amerika untuk
‘menaklukkan’ negeri itu dan membuatnya menjadi ‘berbudaya’ dan ‘beradab’. Kitab Kejadian hendak
menggambarkan alam ciptaan sebagai suatu kediaman bagi Tuhan yang Pencipta dengan manusia
sebagai yang memerintah bersama Allah, bukan sebagai penjajah dan tuan yang bengis atas alam itu,
melainkan sebagai tuan yang baik dan bijaksana untuk membuat segenap ciptaan itu boleh berkembang
secara lestari sehingga kehidupan di dalamnya menjadi semakin penuh. Jika ada yang dapat diambil
dari kuliah White tersebut saya kira adalah kita harus mawas diri terhadap antroposentrisme dalam
melihat relasi kita dengan bumi. Bumi dan segala isinya adalah milik Allah yang diserahkan kepada
kita bukan untuk dieksploitasi demi sebesar-besarnya kesenangan dan ambisi berdosa kita, melainkan
untuk dikelola bagi kemuliaan Allah - yang berarti adalah kepenuhan kehidupan bagi segenap makhluk
itu sendiri. Bumi ada bagi manusia, betul - tetapi manusia juga ada bagi bumi - manusia adalah
manager yang diangkat Tuhan untuk mengelola bumi, dan pada akhirnya keduanya ada bagi Tuhan.
Barangkali anda sekarang mulai bertanya-tanya untuk apakah kita membahas secara panjang lebar nats
Kejadian 1:28 ini. Tafsiran yang anda baca di atas itu adalah posisi dari para pemikir Calvinis (seperti
nama sekolah kita!) yang mengikuti John Calvin (1509-64) dalam melihat alam semesta ini bukan
sebagai sesuatu yang hanya ‘ruang tunggu’ sebelum masuk ‘surga’ di mana orang-orang suci yang
telah ditebus dalam eksistensi tanpa tubuh akan mengenakan jubah putih (entah bagaimana mereka
melakukannya) dan bermain harpa dalam acara kebaktian yang akan berlangsung untuk selama-
lamanya. Calvin melihat alam semesta material ini sebagai ciptaan Tuhan yang memiliki arti begitu
penting, sedemikian bahkan ia meyebutnya sebagai ‘jubah Tuhan’ yang memancarkan kemuliaan-Nya.
Tuhan menciptakan kita untuk mengembangkan dan merawat ciptaan ini - dan itu bukan hanya sesuatu
‘masa pengujian’ sebelum kita masuk kepada suatu keadaan yang sama sekali tidak ada kontinuitas dan
relevansinya dengan moda kehidupan yang ‘sementara ini’ di bumi. Apakah konsekuensi dari kita
memandang secara serius kehidupan kita di sini dan sekarang sebagai suatu penugasan yang sungguh-
sungguh berarti dari Tuhan? Konsekuensinya adalah beranak-cucu, menyebar ke segala penjuru dunia
(panggilan untuk melakukan ‘kolonialisasi’ - yakni membuat ‘koloni-koloni kehidupan’ di lima benua),
dan memimpin segenap ciptaan itu dengan bertanggungjawab adalah sesuatu yang kita percaya
merupakan tugas utama kita dalam kehidupan ini. Ini berarti melakukan hubungan seks dalam suatu
ikatan kovenan di hadapan Allah Tritunggal dan jemaat-Nya (pernikahan kudus), melahirkan anak-
anak dan merawat mereka, mendidik mereka di dalam ajaran, perintah, dan perjanjian Tuhan, merawat
koloni-koloni kita di bumi, serta merawat bumi ini sendiri, adalah alasan mengapa kita ‘ada, hidup, dan
bergerak di dalam Tuhan’. Yesus tidak mengajarkan kita berdoa agar Tuhan mengangkat kita dari bumi
dan terbang ke surga. Tuhan kita itu mengajarkan kita agar berdoa demikian: “Bapa kami yang di sorga
... datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga. (Mat. 6:9-10)” Dengan
demikian salah satu mata rantai yang amat penting di dalam melakukan tugas kita sebagai manusia di
hadapan Tuhan itu adalah ini: pendidikan anak-anak. Tugas sebagai umat TUHAN untuk mendidik
anak-anak ‘di dalam ajaran dan perintah Tuhan’ ini berpotongan (dan tidak berpotongan, dan juga
berseberangan!) dengan apa yang juga seringkali mendapatkan prioritas paling tinggi di dalam
masyarakat secara umum, yakni: sekolah. Sekarang kita siap untuk masuk ke dalam pembahasan
mengenai filsafat pendidikan yang Kristiani.