Anda di halaman 1dari 5

FILSAFAT PENDIDIKAN KRISTEN

oleh: Jadi S. Lima

Tulisan ini dibuat dalam rangka menyambut 10 tahun berdirinya Sekolah Kristen Calvin. Apa yang
akan anda baca adalah upaya saya untuk menjelaskan apakah ‘filsafat’ dari ‘pendidikan Kristen’ itu.
Penjelasan tersebut terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan
filsafat dan mengapakah kita perlu berpikir filosofis. Bagian kedua membahas apa itu ‘pendidikan
Kristen’. Apakah yang menjadikan suatu upaya pendidikan dapat disebut sebagai pendidikan Kristiani?
Pada bagian ketiga saya akan berupaya untuk menggariskan hal-hal pokok dari sebuah ‘filsafat
pendidikan Kristiani’.

Filsafat (dan mengapa kita memerlukannya)


Filsafat, jika dipandang sebagai suatu aktivitas berpikir, adalah suatu aktivitas berpikir yang rasional-
konseptual, sistematis, menyeluruh, mendasar (radikal), dan kritis. Tidak semua aktivitas berpikir dapat
disebut rasional-konseptual. Misalnya jika kita sedang menimbang-nimbang apakah siang ini mau
makan mie bakso atau bihun bebek, biasanya aktivitas berpikir itu tidaklah terlalu rasional-konseptual.
Aktivitas berpikir macam begini lebih afeksional-konkret, bahkan jika kita tergolong jenis manusia
yang cenderung rasionil. Anda mulai berpikir tentang makan barangkali karena anda mulai lapar, dan
jika anda ingin makan bihun bebek barangkali penyebabnya adalah karena mie bakso terakhir yang
anda makan mengandung buntut cicak dan anda sudah bosan dengan nasi goreng balacan.
Kemungkinan besar anda tidak membuka-buka kamus filsafat untuk memutuskan akan makan yang
mana nanti siang, bukan? Bukan hanya rasional-konseptual, ketika kita berfilsafat, kita coba menjawab
pertanyaan-pertanyaan paling mendasar mengenai segala sesuatu di bawah kolong langit ini, baik
mengenai hal-hal yang kelihatan maupun tidak, hal-hal di luar diri kita maupun di dalam diri, hal-hal
mengenai benda-benda maupun manusia, hal-hal yang mulia dan yang remeh. Pendek kata: segala
sesuatu. Tidak ada yang tidak dipertanyakan di dalam aktivitas berfilsafat, seperti dikatakan dengan
indah oleh Richard Feynman, “I would rather have questions that can't be answered than answers that
can't be questioned.” Prinsip bahwa segala sesuatunya harus dipertanyakan dan diuji itu sendiri tentu
saja juga tidak lolos dari pengujian. Tanyakan kepada Socrates dan Descartes, Immanuel Kant dan
Martin Heidegger, mengapakah segala sesuatu harus dipertanyakan. Bertanya seperti ini adalah
mempertanyakan alasan mengapa kita berfilsafat. Seorang filsuf yang konsisten tidak akan
membungkam pertanyaan semacam ini. Barangkali seperti seorang teolog yang konsisten, Agustinus
dari Hippo misalnya, juga tidak membungkam pertanyaan semacam, “Apakah yang Tuhan lakukan
sebelum Ia menciptakan dunia ini?” dengan jawaban tidak bermutu yang menghindari kesulitan
pertanyaan itu tanpa sungguh-sungguh berusaha menjawab pertanyaannya seperti yang dilakukan
beberapa orang, “Tuhan menciptakan neraka bagi orang-orang yang bertanya apakah yang Dia
kerjakan sebelum menciptakan dunia ini.” Jawaban atas pertanyaan mengapakah kita perlu
mempertanyakan segala sesuatu, atau dengan kata lain apakah gunanya aktivitas berfilsafat ini, saya
kira, ada setidaknya dua poin: pertama karena, tidak seperti ikan, badak, dan anjing, manusia secara
alamiah merefleksikan eksistensinya sendiri - setidaknya pada beberapa fase dalam kehidupannya -
baik hal ini dianggap baik ataupun tidak. Jadi berfilsafat itu seperti bernapas, berbicara, makan, minum,
dan buang air besar maupun kecil. Anda akan toh melakukannya. Kedua, memang ada alasan yang baik
untuk melakukan aktivitas berfilsafat ini, yakni untuk mendapatkan alasan rasional yang kuat dalam
menghadapi beratnya kehidupan. Nietzsche mengatakan bahwa orang yang mengetahui untuk apa ia
hidup, akan lebih kuat untuk bertahan hidup bagaimanapun keadaan hidupnya. Karena kehidupan ini
pada umumnya berat dan berisi banyak penderitaan, maka filsafat itu diperlukan untuk
memperlengkapi anak-anak manusia menghadapinya dengan lebih tabah dan berani. Dia atas dua poin
ini saya akan menambahkan mengapakah kita sebagai orang-orang Kristen, yakni mereka yang percaya
bahwa pemerintahan Tuhan telah tiba di bumi, di dalam kedatangan, kehidupan, kematian, dan
kebangkitan Yesus dari Nazareth, perlu juga untuk berfilsafat.

Pada masa-masa awal perjumpaan orang-orang Kristen dengan filsafat, aktivitas filosofis dilakukan
untuk tujuan apologetis. Para Bapa Gereja seperti Justin Martyr, Irenaeus, dan Agustinus - seperti juga
para pendahulu mereka seperti Polycarpus, Yohanes, dan Paulus Tarsus - melakukan aktivitas filosofis
sebagai bagian dari kegiatan mengabarkan Injil dan menjelaskan bagaimana Injil tidak bertentangan
dengan rasionalitas, kebudayaan Yunani, dan orang-orang Kristen juga tidak berniat mendongkel
pemerintahan Romawi lewat revolusi. Sepanjang duaribu tahun sejarah Kekristenan perjumpaan iman
Kristen dengan filsafat, yang lahir dari rahim kebudayaan Yunani, telah melewati tahapan-tahapan
perkembangan yang panjang sehingga mencapai kematangan filsafat Kristen yang dapat kita jumpai
dewasa ini di dalam tradisi Protestan (Kierkegaard, Vollenhoven, Dooyeweerd, dan Plantinga) maupun
Katolik (Jacques Maritain, Bruno Latour, dan William Desmond). Tentu saja sebuah filsafat tidak
disebut filsafat Kristen karena orang yang menghasilkannya ‘kebetulan’ adalah Kristen, sama seperti
sepiring nasi goreng tidak tentu adalah ‘nasi goreng Jawa’ hanya karena koki yang membuatnya adalah
orang Jawa! Sebuah filsafat dapat ‘menjadi Kristen,’ menurut hemat saya, karena ia memiliki ciri khas
yang dimiliki oleh pengharapan Kristiani (yaitu kerajaan Allah, yang adalah pengharapan Israel, telah
digenapi oleh Yesus Nazareth) dan dimungkinkan oleh pengharapan yang diterima melalui iman
tersebut. Jadi filsafat Kristen dihasilkan oleh aktivitas rasional-konseptual yang terus menerus secara
kritis mempertanyakan segala sesuatu guna mencapai pemahaman yang menyeluruh, mendasar, dan
relevan kepada realitas sebagaimana dimungkinkan oleh datangnya Kerajaan Allah di dalam peristiwa-
peristiwa di seputar kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus dari Nazareth. Tujuan filsafat Kristen
ini jelas melampaui kegunaan-kegunaan apologetis yang pada mulanya menjadi alasan mengapa orang-
orang Kristen berinteraksi dengan filsafat Yunani kuno. Tujuan orang-orang Kristen mengembangkan
filsafat yang Kristiani adalah karena aktivitas berfilsafat itu adalah bagian tak terpisahkan dari
kemanusiaan dan panggilan kita sebagai manusia; dan sekarang di dalam era datangnya kerajaan Allah
- kita umat Yesus Kristus memiliki apa yang tidak dimiliki mereka yang tidak percaya. Pengharapan
Kristiani yang kita miliki itu membuat kita dapat melihat lebih banyak dan lebih mendalam kepada
kehidupan yang diciptakan Tuhan ini - sehingga tugas dari para filsuf Kristen adalah mempergunakan
insight-insight yang baru itu untuk memformulasikan filsafat dan menjawab pertanyaan-pertanyaan
perennial khas filsafat, seperti: mengapakah semua ini ada? Siapakah manusia? Apakah itu kebenaran?
Dapatkah kita mengetahui kebenaran? Apakah hidup yang baik itu? Apakah keindahan itu? Apakah
realitas itu? Apakah itu keadilan? Ini akan menjadi sumbangsih kita orang-orang percaya kepada
peradaban dunia ini. Sekarang kita akan meninjau dahulu apakah yang dimaksudkan dengan
‘pendidikan Kristen’ sebelum kita memikirkan mengenai ‘filsafat pendidikan yang Kristiani’.

Pendidikan Kristen (dan apakah hubungannya dengan makna hidup)


Manusia tidak memiliki umur yang cukup panjang untuk dapat memahami sendiri dari nol apa yang
kelihatannya secara alamiah ingin kita pahami dalam-dalam lewat perenungan yang panjang, yakni
makna kehidupan itu sendiri. Kelebihan manusia dari hewan, selain bahwa ia memiliki kesadaran
eksistensial (kesadaran kita bahwa kita ada, yakni kesadaran yang reflektif) adalah bahwa manusia
memiliki kemampuan untuk meneruskan apa yang pernah disadari dan dipahaminya kepada
keturunannya secara berkesinambungan. Sampai hari ini kita tidak melihat secara jelas apakah hewan-
hewan meneruskan apa yang satu generasi pernah pahami tentang kehidupan kepada generasi
berikutnya. Itu sebabnya burung-burung membangun sarang yang secara desain begitu-begitu saja
selama ribuan, bahkan puluhan ribu tahun ini - sedangkan manusia membangun rumahnya secara
sangat berbeda: ada sejarah perkembangan kebudayaan, sains, dan teknologi. Penerusan pencapaian-
pencapaian manusia dalam peradaban kepada generasi berikutnya inilah yang menjadi jantung dari
pendidikan. Melakukan riset, menulis buku, menghasilkan karya seni, melakukan kodifikasi undang-
undang dan aturan hukum, menghasilkan produk ekonomis, dan mengembangkan bahasa adalah
sesuatu yang tak selesai dalam satu generasi. Saya kira, inilah yang ingin disampaikan orang-orang
yang menulis dan meneruskan kisah Penciptaan dalam kitab Kejadian sampai kepada generasi kita.
Tuhan yang menciptakan langit dan bumi pada klimaks penciptaan membuat manusia dari debu tanah,
menghembusinya dengan Roh-Nya sendiri yang menghidupkan, lalu mengutusnya sebagai penatalayan
dan pemerintah ciptaan. Bagaimanakah Tuhan ingin kita manusia memerintah, mengembangkan, dan
melestarikan ciptaan ini? Penulis kitab Kejadian mengatakan bahwa Tuhan memerintahkan manusia
demikian: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah
atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi."
Ada tiga perintah yang saling berkaitan diberikan Allah kepada umat manusia untuk mereka kerjakan
dengan setia seumur hidupnya: 1) bertambah banyak, 2) memenuhi bumi, 3) menaklukkan ciptaan.
Ketiga poin ini seringkali disalahpahami sehingga orang-orang Kristen dituduh telah meletakkan dasar-
dasar bagi kerusakan lingkungan.

Lynn Townsend White, Jr., seorang profesor sejarah Abad Pertengahan yang mengajar di Princeton dan
Stanford, anak dari seorang professor Calvinis, dalam sebuah kuliah yang ia berikan pada forum AAAS
di tahun 1966 yang bertajuk ‘The Historical Roots of Our Ecologic Crisis’ mengatakan bahwa akar dari
krisis ekologis yang kita hadapi dapat ditemukan pada tafsir Abad Pertengahan atas Kejadian 1:28
tersebut. Menurut White, para teolog Abad Pertengahan menegaskan dua poin sehubungan dengan
pemahaman tentang manusia dan relasinya dengan lingkungan hidup: 1) Manusia dipanggil untuk
‘menguasai’ alam, 2) Manusia lebih tinggi daripada makhluk-makhluk ciptaan yang lain (barangkali
karena kita memiliki jiwa). Dalam hipotesa yang diajukan White kedua poin ini membuat manusia
bersikap merendahkan alam lingkungannya dan sikap itu selanjutnya membuat orang modern yang
telah memiliki kekuatan yang jauh lebih besar berkat kemajuan sains dan teknologi bersikap sembrono
terhadap lingkungan hidup dan akhirnya membawa kita kepada krisis ekologis dewasa ini. Pada akhir
paparannya, White mengusulkan agar kita menganut sikap yang lebih ‘demokratis’ dalam berelasi
dengan alam dan meneladani sikap dari Santo Fransiscus dari Assisi yang ‘menghormati segala
makhluk hidup’ dan membatasi dominasi manusia atas alam. Sudah banyak tulisan dibuat untuk
meresponi kuliah Lynn White ini, termasuk apakah kita memang dapat menemukan sikap seperti yang
dikatakan White ini pada Franciscus Assisi. Saya tidak hendak mengulangi kembali apa yang dapat
anda baca sendiri dalam interaksi White dengan para pengritiknya. Yang hendak saya katakan hanyalah
bahwa Kejadian 1:28 ini justru hendak menggambarkan tanggung jawab kita yang begitu indah sebagai
wakil Tuhan dalam dunia ini. Kisah penciptaan dalam kitab Kejadian itu tidak menggambarkan alam
ciptaan sebagai sesuatu tanah liar tak bertuan sehingga manusia dapat pergi untuk ‘menaklukkan’ dan
‘menjinakkan’nya - barangkali seperti yang dipahami bangsa Eropa yang pergi ke tanah Amerika untuk
‘menaklukkan’ negeri itu dan membuatnya menjadi ‘berbudaya’ dan ‘beradab’. Kitab Kejadian hendak
menggambarkan alam ciptaan sebagai suatu kediaman bagi Tuhan yang Pencipta dengan manusia
sebagai yang memerintah bersama Allah, bukan sebagai penjajah dan tuan yang bengis atas alam itu,
melainkan sebagai tuan yang baik dan bijaksana untuk membuat segenap ciptaan itu boleh berkembang
secara lestari sehingga kehidupan di dalamnya menjadi semakin penuh. Jika ada yang dapat diambil
dari kuliah White tersebut saya kira adalah kita harus mawas diri terhadap antroposentrisme dalam
melihat relasi kita dengan bumi. Bumi dan segala isinya adalah milik Allah yang diserahkan kepada
kita bukan untuk dieksploitasi demi sebesar-besarnya kesenangan dan ambisi berdosa kita, melainkan
untuk dikelola bagi kemuliaan Allah - yang berarti adalah kepenuhan kehidupan bagi segenap makhluk
itu sendiri. Bumi ada bagi manusia, betul - tetapi manusia juga ada bagi bumi - manusia adalah
manager yang diangkat Tuhan untuk mengelola bumi, dan pada akhirnya keduanya ada bagi Tuhan.

Barangkali anda sekarang mulai bertanya-tanya untuk apakah kita membahas secara panjang lebar nats
Kejadian 1:28 ini. Tafsiran yang anda baca di atas itu adalah posisi dari para pemikir Calvinis (seperti
nama sekolah kita!) yang mengikuti John Calvin (1509-64) dalam melihat alam semesta ini bukan
sebagai sesuatu yang hanya ‘ruang tunggu’ sebelum masuk ‘surga’ di mana orang-orang suci yang
telah ditebus dalam eksistensi tanpa tubuh akan mengenakan jubah putih (entah bagaimana mereka
melakukannya) dan bermain harpa dalam acara kebaktian yang akan berlangsung untuk selama-
lamanya. Calvin melihat alam semesta material ini sebagai ciptaan Tuhan yang memiliki arti begitu
penting, sedemikian bahkan ia meyebutnya sebagai ‘jubah Tuhan’ yang memancarkan kemuliaan-Nya.
Tuhan menciptakan kita untuk mengembangkan dan merawat ciptaan ini - dan itu bukan hanya sesuatu
‘masa pengujian’ sebelum kita masuk kepada suatu keadaan yang sama sekali tidak ada kontinuitas dan
relevansinya dengan moda kehidupan yang ‘sementara ini’ di bumi. Apakah konsekuensi dari kita
memandang secara serius kehidupan kita di sini dan sekarang sebagai suatu penugasan yang sungguh-
sungguh berarti dari Tuhan? Konsekuensinya adalah beranak-cucu, menyebar ke segala penjuru dunia
(panggilan untuk melakukan ‘kolonialisasi’ - yakni membuat ‘koloni-koloni kehidupan’ di lima benua),
dan memimpin segenap ciptaan itu dengan bertanggungjawab adalah sesuatu yang kita percaya
merupakan tugas utama kita dalam kehidupan ini. Ini berarti melakukan hubungan seks dalam suatu
ikatan kovenan di hadapan Allah Tritunggal dan jemaat-Nya (pernikahan kudus), melahirkan anak-
anak dan merawat mereka, mendidik mereka di dalam ajaran, perintah, dan perjanjian Tuhan, merawat
koloni-koloni kita di bumi, serta merawat bumi ini sendiri, adalah alasan mengapa kita ‘ada, hidup, dan
bergerak di dalam Tuhan’. Yesus tidak mengajarkan kita berdoa agar Tuhan mengangkat kita dari bumi
dan terbang ke surga. Tuhan kita itu mengajarkan kita agar berdoa demikian: “Bapa kami yang di sorga
... datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga. (Mat. 6:9-10)” Dengan
demikian salah satu mata rantai yang amat penting di dalam melakukan tugas kita sebagai manusia di
hadapan Tuhan itu adalah ini: pendidikan anak-anak. Tugas sebagai umat TUHAN untuk mendidik
anak-anak ‘di dalam ajaran dan perintah Tuhan’ ini berpotongan (dan tidak berpotongan, dan juga
berseberangan!) dengan apa yang juga seringkali mendapatkan prioritas paling tinggi di dalam
masyarakat secara umum, yakni: sekolah. Sekarang kita siap untuk masuk ke dalam pembahasan
mengenai filsafat pendidikan yang Kristiani.

Filsafat Pendidikan Kristen


Filsafat pendidikan yang Kristiani dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip dasar dari pendidikan yang
‘khas Kristen’ atau ‘dimotivasi’ oleh sumber-sumber atau penggerak-penggerak Kristen. Seperti kita
lihat di atas motivasi orang-orang yang percaya kepada datangnya Kerajaan Allah untuk mendidik
anak-anak mereka (atau anak-anak orang lain yang dipercayakan kepada mereka) adalah karena mereka
melihat aktivitas pendidikan anak-anak itu sebagai tugas yang tidak terpisahkan dari ‘memenuhi’ dan
‘memimpin’ dunia ini secara bertanggungjawab dengan kepenuhan kehidupan, keadilan. kelimpahan,
kegembiraan, keindahan, dan segala yang baik - yang senantiasa mengelilingi Tuhan Sang Pencipta.
Kehendak Tuhan ketika Ia menciptakan dunia ini adalah untuk menjadikannya rumah, kediaman, bagi
diri-Nya bersama dengan kita, bersama dengan segenap makhluk ciptaan. Inilah sebabnya ketika umat
Israel hendak masuk ke tanah Kanaan, Tuhan memerintahkan kepada mereka melalui Musa untuk “...
mengajarkannya kepada anak-anakmu dengan membicarakannya, apabila engkau duduk di rumahmu
dan apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun;
engkau harus menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu ...” (Ulangan
11:19-20). Perintah yang diberikan kepada sekumpulan budak yang empatpuluh tahun sebelumnya
dibebaskan dari cengkeraman Mesir ini berkaitan erat dengan misi utama mereka, yaitu untuk menjadi
permulaan yang baru bagi segenap ciptaan. Umat manusia yang telah memberontak kepada
pemerintahan Tuhan dan menyeret segenap makhluk kepada ‘kesia-siaan’ dan ‘penderitaan’ (Roma
8:18-30) ini diberikan kesempatan lagi untuk kembali memimpin segenap makhluk untuk
menghadirkan Eden - kediaman Tuhan di bumi di mana Tuhan dan umat-Nya memerintah ciptaan ke
dalam kehidupan yang penuh (walaupun kemudian hari, di dalam kitab para Nabi kita membaca, umat
Israel benar-benar gagal dalam menghidupi pesan Musa ini sehingga mereka dibuang ke Babel).
Jadi bagaimanakah filsafat pendidikan yang Kristen itu? Saya kira walaupun Alkitab memang tidak
mendedikasikan satu bab yang secara sistematis dan eksplisit menggariskan blueprint atau masterplan
bagi ‘filsafat pendidikan Kristen’ (jika demikian anda dapat langsung membacanya di dalam Alkitab
saja, tidak perlu membaca tulisan ini) tetapi ada beberapa tempat di dalam Alkitab yang dapat kita
jadikan sumber bagi praktik pendidikan Kristen - khususnya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang mendasar bagi pendidikan manusia (baik pendidikan anak-anak maupun dewasa, Kristen maupun
bukan, pendidikan formal maupun non-formal, pendidikan watak maupun akademis), yakni: siapakah
manusia itu, apakah panggilan kita, apakah yang paling utama untuk diperjuangkan dalam hidup kita,
apakah kejahatan itu dan darimanakah ia, apakah pengharapan kita, bagaimanakah kita mengetahui
kebenaran, dst. Alkitab menyediakan orientasi mendasar bagi pertanyaan-pertanyaan abadi yang
mendasar ini - dari sanalah kita menggariskan filsafat pendidikan Kristen. Dan akhirnya, tentu saja
filsafat pendidikan Kristiani, seperti juga segala macam filsafat, tidak pernah berkesudahan - ia
haruslah selalu mempertanyakan dirinya sendiri, tidak pernah settle dengan suatu skema besar yang
statis, seberapapun megah dan konsisten skema itu. Ada dua penyebab: karena kita ini makhluk
ciptaan, dan sebagai ciptaan kita ini terbatas adanya - dan keterbatasan itu baik, sebab Tuhan
menghendakinya demikian. Kedua, karena proyek besar datangnya Kerajaan Tuhan, yang telah dimulai
di dalam Kristus, belumlah sampai kepada kesudahannya - maka pengetahuan kita mengenai apapun
juga, termasuk mengenai bagaimanakah seharusnya mendidik anak-anak kita juga belum usai. [JSL]

Anda mungkin juga menyukai