PRODI MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
202
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di era globalisasi ini peran pancasila tentulah sangat penting untuk tetap
menjaga eksistensi kepribadian bangsa indonesia,karena dengan adanya
globalisasi batasan batasan diantara negara seakan tak terlihat,sehingga berbagai
kebudayaan asing dapat masuk dengan mudah ke masyarakat.
Hal ini dapat memberikan dampak positif dan negatif bagi bangsa
Indonesia,jika kita dapat memfilter dengan baik berbagai hal yang timbul dari
dampak globalisasi tentunya globalisasi itu akan menjadi hal yang positif karena
dapat menambah wawasan dan mempererat hubungan antar bangsa dan negara di
dunia.Tapi jika kita tidak dapat memfilter dengan baik sehingga hal-hal negatif
dari dampak globalisasi dapat merusak moral bangsa dan eksistensi kebudayaan
indonesia. Dari faktor-faktor tersebutlah di butuhkan peranan pancasila sebagai
dasar dan pedoman negara dalam menghadapi tantangan global yang terus
meningkat diera globalisasi.
B. Rumusan masalah
2
1. Mengkaji hal – hal yang harus dilakukan dalam menghadapi era
globalisasi yang berlandasan pada pancasila.
2. Mencari tahu peranan pancasila dalam era globalisasi ini.
Manfaat :
BAB II
PEMBAHASAN
A. Secara Etimologis
3
terkandung dalam Pancasila dijadikan dasar dan pedoman dalam mengatur tata
kehidupan bernegara seperti yang diatur dalam UUD.
B. Landasan historis
Bangsa memiliki ideologi dan pandangan hidup yang berbeda satu dengan
yang lainnya, diambil dari nilai-nilai yang tumbuh, hidup dan berkembang di
dalam kehidupan bangsa yang bersangkutan. Demikian halnya dengan Pancasila
yang merupakan ideologi dan pandangan hidup bangsa Indonesia digali dari
tradisi dan budaya yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam kehidupan bangsa
Indonesia sendiri sejak kelahirannya dan berkembangnya menjadi bangsa yang
besar seperti yang dialami oleh dua kerajaan besar tempo dulu yaitu Kedaulatan
Sriwijaya dan Keprabuan Majapahit.
C. Kedudukan Pancasila
4
1. Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa
5
sehingga bangsa Indonesia merupakan kausa materialis (asal bahan)
Pancasila
Dalam arus globalisasi saat ini dimana tidak ada lagi batasan-
batasan yang jelas antar setiap bangsa Indonesia,rakyat dan bangsa
Indonesia harus membuka diri. Dahulu dengan tangan terbuka menerima
masuknya pengaruh budaya hindu, islam ,serta masuknya kaum barat yang
akhirnya melahirkan kolonialisme. Pengalaman pahit berupa kolonialisme
tentu sangat tidak menyenangkan untuk kembali terulang. Patut diingat
bahwa pada zaman modern sekarang ini wajah kolonialisme dan
imperialisme tidak lagi dalam bentuk fisik, tetapi dalam wujud lain seperti
penguasaan politik dan ekonomi. Meski tidak berwujud fisik, tetapi
penguasaan politik dan ekonomi nasional oleh pihak asing akan
berdampak sama seperti penjajahan pada masa lalu, bahkan akan terasa
lebih menyakitkan.
6
Dalam pergaulan dunia yang kian global, bangsa yang menutup
diri rapat-rapat dari dunia luar bisa dipastikan akan tertinggal oleh
kemajuan zaman dan kemajuan bangsa-bangsalain. Bahkan negara sosialis
seperti Uni Soviet yang terkenal anti dunia luar tidak bisa bertahan dan
terpaksa membuka diri. Maka konsep pembangunan modern harus
membuat bangsa dan rakyat Indonesia membuka diri.
Dalam kondisi yang serba terbuka seperti saat ini justru jati diri
bangsa Indonesia tengah berada pada titik nadir. Bangsa dan rakyat
Indonesia kini seakan-akan tidak mengenal dirinya sendiri sehingga
budaya atau nilai-nilai dari luar baik yang sesuai maupun tidak sesuai
terserap bulat-bulat. Nilai-nilai yang datang dari luar serta-merta dinilai
bagus, sedangkan nilai-nilai luhur bangsa yang telah tertanam sejak lama
dalam hati sanubari rakyat dinilai usang. Lihat saja sistem demokrasi yang
kini tengah berkembang di Tanah Air yang mengarah kepada faham
liberalisme. Padahal negara Indonesia seperti ditegaskan dalam pidato
Bung Karno di depan Sidang Umum PBB menganut faham demokrasi
Pancasila yang berasaskan gotong royong, kekeluargaan, serta
musyawarah dan mufakat.
7
Sistem politik yang berkembang saat ini sangat gandrung dengan
faham liberalisme dan semakin menjauh dari sistem politik berdasarkan
Pancasila yang seharusnya dibangun dan diwujudkan rakyat dan bangsa
Indonesia. Terlihat jelas betapa demokrasi diartikan sebagai kebebasan
tanpa batas. Hak asasi manusia (HAM) dengan keliru diterjemahkan
dengan boleh berbuat semaunya dan tak peduli apakah merugikan atau
mengganggu hak orang lain. Budaya dari luar, khususnya faham
liberalisme, telah merubah sudut pandang dan jati diri bangsa dan rakyat
Indonesia. Pergeseran nilai dan tata hidup yang serba liberal memaksa
bangsa dan rakyat Indonesia hidup dalam ketidakpastian. Akibatnya,
seperti terlihat saat ini, konstelasi politik nasional serba tidak jelas. Para
elite politik tampak hanya memikirkan kepentingan dirinya dan
kelompoknya semata.
8
pergi dan berpindah ke berbagai negara dengan lebih mudah serta
mendapatkan berbagai informasi yang ada dan yang terjadi di dunia.
9
a. Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa
liberalisme dapat membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga
tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi Pancasila ke
ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa
nasionalisme bangsa akan hilang
b. Dari globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk
dalam negeri karena banyaknya produk luar negeri membanjiri di
Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri
menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita
terhadap bangsa Indonesia.
c. Mayarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas
diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung
meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggap sebagai
kiblat.
d. Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang
kaya dan miskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi
ekonomi. Hal tersebut dapat menimbulkan pertentangan antara yang
kaya dan miskin yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa.
e. Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian
antarperilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka
orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa.
10
E. Pancasila Di Era Globalisasi
11
maka bangsa yang besar ini haruslah mempunyai sense of belonging dan
sense of pride atas Pancasila.
Untuk menumbuhkembangkan kedua rasa tersebut maka melihat
realitas yang tengah berkembang saat ini setidaknya dua hal mendasar
perlu dilakukan. Penanaman kembali kesadaran bangsa tentang eksistensi
Pancasila sebagai ideologi bangsa. Penanaman kesadaran tentang
keberadaan Pancasila sebagai ideologi bangsa mengandung pemahaman
tentang adanya suatu proses pembangunan kembali kesadaran akan
Pancasila sebagai identitas nasional.
Upaya ini memiliki makna strategis manakala realitas menunjukkan
bahwa dalam batas-batas tertentu telah terjadi proses pemudaran kesadaran
tentang keberadaan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Salah satu langkah
terbaik untuk mendekatkan kembali atau membumikan kembali Pancasila
ke tengah rakyat Indonesia tidak lain melalui pembangunan kesadaran
sejarah. Tegasnya Pancasila didekatkan kembali dengan cara
menguraikannya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari perjuangan
rakyat Indonesia, termasuk menjelaskannya bahwa secara substansial
Pancasila adalah merupakan jawaban yang tepat dan strategis atas
keberagaman Indonesia, baik pada masa lalu, masa kini maupun masa
yang akan datang.
Kata Pancasila terdiri dari dua kata dari bahasa Sansekerta: pañca
berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila sebagai dasar
negara Republik Indonesia berisi
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
12
Dan globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan
peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia
di seluruh dunia dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya
populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu
negara menjadi bias. Negara Republik Indonesia memang tergolong masih
muda dalam pergaulan dunia sebagai bangsa yang merdeka. Tetapi, perlu
diingat, sejarah dan kebudayaan bangsa Indonesia telah ada jauh sebelum
Indonesia merdeka. Kebesaran dan kegemilangan Kerajaan Sriwijaya,
Majapahit, atau Mataram, menjadi bukti nyata. Kekuasaan kerajaan-
kerajaan di Nusantara bahkan sampai negeri seberang.
Sayangnya, masa emas kerajaan-kerajaan tersebut hilang dan berganti
dengan kehidupan masa kolonialisme dan imperialisme. Selama tiga
setengah abad bangsa dan rakyat Indonesia hidup dalam kegelapan dan
penderitaan. Baru pada 17 Agustus 1945, bangsa dan rakyat Indonesia
dapat kembali menegakan kepala melalui proklamasi kemerdekaan. Jadi,
Pancasila bukan mendadak terlahir pada saat Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945, tetapi melalui proses panjang sejalan dengan panjangnya
perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
G. Proses Perjalanan Pancasila menuju Era Globalisasi
13
Bila Pancasila tidak tersentuh dengan kehidupan nyata, Pancasila tidak
akan bergema. Maka, lambat-laun pengertian dan kesetiaan rakyat
terhadap Pancasila akan kabur dan secara perlahan-lahan menghilang.
Maka, guna meredam pengaruh dari luar perlu dilakukan akulturasi
kebudayaan. Artinya, budaya dari luar disaring oleh budaya nasional
sehingga output yang dikeluarkan seusai dengan nilai dan norma bangsa
dan rakyat Indonesia. Memang masuknya pengaruh negatif budaya asing
tidak dapat lagi dihindari, karena dalam era globalisasi tidak ada negara
yang bisa menutup diri dari dunia luar.
Oleh sebab itu, bangsa Indonesia harus mempunyai akar-budaya dan
mengikat diri dengan nilai-nilai agama, adat istiadat, serta tradisi yang
tumbuh dalam masyarakat. Di depan Sidang Umum PBB, 30 September
1960, Presiden Soekarno menegaskan bahwa ideologi Pancasila tidak
berdasarkan faham liberalisme ala dunia Barat dan faham sosialis ala
dunia Timur. Juga bukan merupakan hasil kawinan keduanya. Tetapi,
ideologi Pancasila lahir dan digali dari dalam bumi Indonesia sendiri.
Secara singkat Pancasila berintikan Ketuhanan Yang Maha Esa (sila
pertama), nasionalisme (sila kedua), internasionalisme (sila ketiga),
demokrasi (sila keempat), dan keadilan sosial (sila kelima). Dalam
kehidupan kebersamaan antar bangsa di dunia, dalam era globalisasi yang
harus diperhatikan, pertama, pemantapan jatidiri bangsa. Kedua,
pengembangan prinsip-prinsip yang berbasis pada filosofi kemanusiaan
dalam nilai-nilai Pancasila, antara lain:
1. Perdamaian bukan perang.
2. Demokrasi bukan penindasan.
3. Dialog bukan konfrontasi.
4. Kerjasama bukan eksploitasi.
5. Keadilan bukan standar ganda.
H. Pancasila Bersifat Universal
Tata nilai universal yang dibawa arus globalisasi saat ini sebenarnya
tak lebih nilai-nilai Pancasila dalam artian yang luas. Cakupan dan muatan
14
globalisasi telah ada dalam Pancasila. Karena itu, mempertentangkan
ideologi Pancasila dengan ideologi atau faham lain tak lebih dari sekadar
kesia-siaan belaka. Selain itu, selama masih terjadi pergulatan pada faham
dan pandangan hidup, bangsa dan rakyat Indonesia akan terus berada
dalam kekacauan berpikir dan sikap hidup. Menggantikan Pancasila
sebagai dasar negara tidak mungkin karena faham lain tidak akan
mendapat dukungan bangsa dan rakyat Indonesia.
Pancasila dapat ditetapkan sebagai dasar negara karena sistem nilainya
mengakomodasi semua pandangan hidup dunia internasional tanpa
mengorbankan kepribadian Indonesia. Sesungguhnya, Pancasila bukan
hanya sekadar fondasi nasional negara Indonesia, tetapi berlaku universal
bagi semua komunitas dunia internasional. Kelima sila dalam Pancasila
telah memberikan arah bagi setiap perjalanan bangsa-bangsa di dunia
dengan nilai-nilai yang berlaku universal. Tanpa membedakan ras, warna
kulit, atau agama, setiap negara selaku warga dunia dapat menjalankan
Pancasila dengan teramat mudah. Jika demikian, maka cita-cita dunia
mencapai keadaan aman, damai, dan sejahtera, bukan lagi sebagai sebuah
keniscayaan, tetapi sebuah kenyataan. Mengapa? Karena cita-cita
Pancasila sangat sesuai dengan dambaan dan cita-cita masyarakat dunia.
Bukankah kondisi dunia yang serba carut-marut seperti sekarang ini
diakibatkan oleh faham-faham di luar Pancasila? Bukankah secara de facto
faham komunisme telah gagal dalam memberikan kedamaian dan
kesejahteraan bagi rakyat Uni Soviet? Bukankah faham liberalisme banyak
mendapat tentangan dari negara-negara berkembang? Sebetulnya
Indonesia bisa melepaskan diri dari perangkap hegemonik negara-negara
maju. Cina, Korea Selatan, Brazil, India, dan masih banyak negara lain
yang notabene sebelumnya termasuk negara berkembang, berhasil
menunjukkan jalan keluar untuk lepas dari perangkap neoliberalisme.
Upaya melepaskan diri dari jerat neoliberalisme tersebut mampu mereka
lakukan dengan mengandalkan kekuatan lokal yang terus dibangun dan
digunakan sebagai senjata dalam menghadapi pasar bebas. Dominasi
15
negara-negara berkembang dapat mencapai titik lelahnya jika, kekuatan-
kekuatan lokal negara berkembang mampu ditingkatkan.
Dalam hal ini tentu saja peran negara menjadi sangat strategis dalam
mengembangkan kekuatan lokal tersebut. Negeri ini jelas membutuhkan
sistem penyeimbang untuk masuk dalam pasar bebas, baik struktural
maupun kultural. Indonesia perlu menata kekuatan struktural guna
melakukan proses penguatan potensi lokal. Negara-negara maju dengan
segala kekurangannya telah terlebih dulu melakukan penguatan struktural.
Mereka memang memiliki sumberdaya alam yang sangat terbatas, namun
keterbatasan itu disiasati dengan manajerial yang sangat kuat dan ketat.
Negara maju memiliki kemampuan lebih dalam merasionalkan sumber-
sumber lokalnya dan membuat mekanisme hukum yang cukup rinci
dengan batas-batas yang jelas sebagai langkah proteksi terhadap aset
nasional mereka—hal mana yang belum mampu dilakukan di Indonesia.
Indonesia sendiri yang memiliki aset-aset strategis, malah bertindak
jauh lebih liberal dari apa yang dilakukan negara-negara maju pencetus
liberalisme itu sendiri. Indonesia tidak membangun mekanisme kontrol
yang cukup efektif guna memproteksi aset nasional agar jangan sampai
jatuh ke tangan asing. Kemampuan manajerial Indonesia dalam menata
aset-asetnya inilah yang seharusnya menjadi kunci penentu sebesar apa
peluang kita dalam kancah globalisasi. Penguatan struktural yang perlu
dilakukan adalah pengarusutamaan ekonomi rakyat dan industri lokal
dalam kebijakan dan regulasi pemerintah. Selain penguatan struktural,
pembenahan mental (kultural) bangsa inipun perlu dipikirkan. Harus jujur
dan lapang dada kita akui bahwa saat ini bangsa Indonesia memiliki
kebiasaan kultural “mentalitas orang kalah”. Kerap kali kita terlalu terbuka
menerima pengaruh dari luar. Ironisnya, pengaruh luar yang masuk ditelan
begitu saja. Harusnya ada transformasi kebudayaan yang cukup besar
untuk bisa membendung pengaruh tersebut.
Indonesia perlu menggali betul segala potensi yang tersimpan dalam
bumi pertiwi ini. Ambil contoh, Cina. Sejarah kebudayaan panjang yang
mereka lalui telah mampu membangun Cina seperti sekarang yang mampu
16
menegakkan kepala saat berhadapan dengan kepentingan asing. Identitas
kolektif kebangsaan mereka pun malah semakin menguat. Indonesia
seharusnya mampu melakukan perubahan sebagaimana yang telah
ditunjukkan negara berpopulasi terpadat tersebut. Akan tetapi, langkah
yang ditempuh Indonesia tentu saja harus berbeda dengan Cina. Bukan
semata ingin tampil beda, akan tetapi perbedaan realitas objektif dari
masing-masing negara harus disikapi dengan cara berbeda pula. Dalam
menyikapi konstelasi global, Indonesia dituntut untuk bermain dengan
caranya sendiri.
Kondisi objektif pluralitas masyarakat Indonesia merupakan salah satu
ciri khas yang harus mampu ditata dengan membangkitkan kekuatan-
kekuatan lokal. Apa yang menjadi kekurangan kita selama ini adalah
belum terbangunnya sebuah kebanggaan atas apa yang kita miliki sebagai
bagian integral dari diri kita sendiri—sebuah problem mentalitas yang
hingga hari ini belum mampu kita rubah. Di sinilah sesungguhnya sikap
maupun peran kepemimpinan nasional diharapkan. Sikap kepemimpinan
nasional pada akhirnya akan sangat menentukan bagaimana identitas
kolektif kebangsaan melalui potensi lokal dapat terbangun. Nation
character building yang dilakukan Soekarno pada fase awal pemerintahan
Republik kini seakan tak lagi nampak. Pembangunan karakter nasional
tidak lain adalah upaya membangun identitas kolektif kebangsaan dalam
wadah Republik. Akan tetapi, dalam proses itu, pendekatan top-down yang
dilakukan orde baru tidak perlu diulang lagi. Pendekatan tersebut justru
menimbulkan sinisme masyarakat terhadap potensi lokal, termasuk
Pancasila.
Menyikapi hal tersebut, Indonesia sesungguhnya memiliki satu
pamungkas yang sesungguhnya menyatukan sekian potensi lokal dalam
sebuah perahu untuk mengarungi arus globalisasi, yakni Pancasila.
Sayangnya, pamungkas itu bak pusaka yang tak tersentuh dan
diperlakukan bak kendaraan bemo. Pancasila merupakan sebuah kekuatan
ide yang berakar dari bumi Indonesia untuk menghadapi nilai-nilai dari
luar, sebagai sistem syaraf atau filter terhadap berbagai pengaruh luar,
17
nilai-nilai dalam Pancasila dapat membangun sistem imun dalam
masyarakat kita terhadap kekuatan-kekuatan dari luar sekaligus
menyeleksi hal-hal baik untuk diserap, dan sebagai sistem dan pandangan
hidup yang merupakan konsensus dasar dari berbagai komponen bangsa
yang plural ini. Lewat Pancasila, moral sosial, toleransi, dan kemanusiaan,
bahkan juga demokrasi bangsa ini dibentuk.
Pancasila seharusnya dijadikan sebagai poros identitas untuk
menghadapi bermacam identitas yang ditawarkan dari luar. Sangat
disayangkan jika wacana Pancasila belakangan ini mulai berkurang.
Mengingat berbagai potensi yang tersimpan di dalamnya, wacana nasional
ini perlu untuk dimunculkan kembali, dibangkitkan kembali dan digali
terus nilai-nilainya agar terus berdialektika dalam jaman yang terus
bergulir. Untuk itu Pancasila harus bisa kita telaah secara analitis.
Pancasila dengan kekayaan nilainya sudah selayaknya digali, diperdalam,
lalu dikontekstualisasikan lagi pada perkembangan situasi kekinian yang
kita hadapi; terlebih jika Pancasila benar-benar ingin diteguhkan sebagai
ideologi bangsa. Satu hal yang menjadi tanya atas Pancasila adalah
bagaimana nilai-nilai lokal tersebut diturunkan menjadi mode of
production untuk menjawab kebutuhan pragmatis hari ini.
18
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Peran Pancasila sangat penting dalam menghadapi arus globalisasi. Karena
Pancasila merupakan sebuah kekuatan ide yang berakar dari bumi Indonesia
untuk menghadapi nilai-nilai dari luar, sebagai sistem syaraf atau filter
terhadap berbagai pengaruh luar, nilai-nilai dalam Pancasila dapat
membangun sistem imun dalam masyarakat kita terhadap kekuatan-kekuatan
dari luar sekaligus menyeleksi hal-hal baik untuk diserap, dan sebagai sistem
dan pandangan hidup yang merupakan konsensus dasar dari berbagai
komponen bangsa yang plural ini. Lewat Pancasila, moral sosial, toleransi,
dan kemanusiaan, bahkan juga demokrasi bangsa ini dibentuk.
Pancasila seharusnya dijadikan sebagai poros identitas untuk menghadapi
bermacam identitas yang ditawarkan dari luar. Tetapi sangat disayangkan jika
wacana Pancasila belakangan ini mulai berkurang. Mengingat berbagai
potensi yang tersimpan di dalamnya, wacana nasional ini perlu untuk
dimunculkan kembali, dibangkitkan kembali dan digali terus nilai-nilainya
agar terus berdialektika dalam jaman yang terus bergulir.
19
Untuk itu Pancasila harus bisa kita telaah secara analitis. SARAN Perlu
ditanamkannya nilai – nilai dalam Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat.
Agar kita mampu memfilterisasi arus globalisasi yang ada. Sesuaikah dengan
nilai – nilai Pancasila. Pancasila dapat berperan dalam era globalisasi apabila
dari diri masing – masing sudah tertanam nilai – nilai luhur Pancasila. Tentu
akan percuma peran Pancasila dalam era globalisasi ini, apabila dalam diri
sendiri tidak mempunyai kesadaran akan pentingnya nilai – nilai Pancasila
dalam kehidupan.
B. Saran
Sebagai warga Negara Indonesia kita wajib menghargai segala nilai-nilai
yang terkandung dalam pancasila, mengingat pancasila adalah falasah Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang bersatu dan berdaulat.
20