Anda di halaman 1dari 5

Chang E Ben Yue: Hubungannya dengan Festival Kue

Bulan
Tradisi, kepercayaan, dan kebudayaan etnis Tionghoa tidak lepas dari perayaan-
perayaan dan festival yang dirayakan sepanjang tahun. Perayaan atau festival
tradisional dapat dilihat sebagai kebudayaan yang unik dan hasil dari peradaban
manusia. Saat ini perayaan-perayaan hari raya tradisi di masyarakat Tionghoa mulai
diperkenalkan secara global. Mulai dari Imlek, Cap Go Meh, dan lain-lain. Salah satu
perayaan yang cukup menarik, namun belum terlalu populer di kalangan masyarakat
Indonesia ialah Festival Kue Bulan. Berbeda dengan perayaan hari raya tradisi Imlek
yang sudah dikenal secara luas, terutama sejak Imlek diumumkan sebagai hari libur
nasional di Indonesia. Festival Kue Bulan belum dikenal secara luas, bahkan sudah
dilupakan oleh masyarakat keturunan Tionghoa yang sudah lama menetap di Indonesia.
Oleh karena itu, penelitian ini dibuat untuk memperkenalkan tradisi Festival Kue Bulan
serta meningatkan kembali masyarakat keturunan Tionghoa mengenai Festival Kue
Bulan ini. Pada waktu perayaan Festival Kue Bulan masyarakat keturunan Tionghoa
yang masih memegang tradisi, mengadakan sembahyang Zhong Qiu Jie. Sesuai dengan
namanya persembahan yang digunakan saat upacara sembahyangan itu adalah kue
Tiong Ciu Phia atau Zhong Qiu Yue Bing (Hanzi: 中秋节) . Biasanya dalam bahasa

Indonesia disebut “kue bulan”.

Kue bulan hanya bisa didapat ketika mendekati perayaan sembahyang Zhong Qiu
Jie dalam setahun sekali sehingga makanan ini dicari masyarakat Tionghoa sebagai
suatu kerinduan karena kelezatannya pula dan kehadirannya yang sangat lama. Di
Indonesia, kue bulan sudah hadir sejak lama. Meski rasanya terlalu manis,
kehadirannya termasuk ditunggu-tunggu. Kue bulan memiliki bentuk yang unik dan
khas. Selain itu rasa yang disajikan juga berbeda dari kue-kue pada umumnya. Produk
kue bulan ini memiliki nilai budaya yang tinggi karena mengandung mitos serta sejarah
dari tradisi Tionghoa. Perayaan kue bulan di luar wilayah Indonesia biasanya
dimeriahkan dengan Mooncake Festival atau Mid-Autumn Festival. Berbagai kegiatan
yang memeriahkan festival ini ialah barongsai, pesta lampion, tari-tarian, dan
sebagainya. Perayaan ini sangat menarik karena diadakan setahun sekali bahkan
memiliki buah tangan berupa kue bulan yang menandai festival ini.

Selain itu, terdapat berbagai versi cerita mengenai asal-usul diadakannya Festival
Kue Bulan. Beberapa cerita legenda atau mite pernah dikatakan sebagai latar belakang
diadakannya festival ini. Beberapa cerita tersebut adalah Kisah Kelinci Giok (玉兔;
Yùtù), Pemberontakan Zhu Yuanzhang (朱元璋), Wu Gang yang Menebang Pohon
Osmanthus di Bulan, dan Chang e Ben Yue. Cerita yang diteliti Dalam penelitian ini
adalah mite Chang e Ben Yue. Mite Chang e Ben Yue dipilih karena cerita ini
merupakan cerita yang paling sering diceritakan di saat perayaan Festival Kue Bulan
(Danandjaja:2007). Selain itu, varian cerita yang diteliti berbeda dari varian cerita yang
biasanya diketahui orang banyak. Varian cerita yang dipilih mengisahkan mengenai
kekejaman dan kelaliman Hou Yi yang mengakibatkan kepergian Chang e ke bulan
(Danandjaja: 2007). Sementara versi lain mengisahkan bahwa Hou Yi meminta Chang
e menyembunyikan ramuan hidup abadi miliknya, lalu salah seorang teman Hou Yi
berusaha mencuri ramuan tersebut. Agar ramuan hidup abadi tersebut tidak jatuh ke
tangan orang yang slah, Chang e pun meminum ramuan tersebut dan terbang ke bulan
(Xue An: 2014).

Cing Ciu Cie atau Zhong Qiu Jie (Hanzi :中秋节) merupakan Festival Kue

Bulan, menurut Brigjen Tedy Jusuf yang dikemukakan dalam Danandjaja (2007)
festival ini jatuh pada bulan kedelapan tanggal 15 Imlek. Pada malam tersebut bulan
terlihat putih jernih dan terang. Jika seseorang tidak diketahui hari lahirnya, maka hari
ulang tahunnya akan ditetapkan pada hari perayaan festival kue bulan.

Kata Cing Ciu Cie berarti pertengahan musim gugur. Festival ini merupakan
perayaan terbesar ke-2 setelah Imlek. Pada bulan kedelapan tanggal lima belas Imlek,
bulan akan berada di posisi paling dekat dengan bumi dan berdampingan dengan batas
langit. Hal ini akan melambangkan bersatunya pria (matahari) dengan wanita (bulan),
seperti Yin & Yang dalam filosofi tradisi Tionghoa.

Ada beragam kisah yang melatarbelakangi festival ini. Salah satunya adalah
sebuah mite berjudul Chang e Ben Yue, yang berarti Chang O Memuja Bulan. Mite
ini memiliki beberapa varian cerita. Salah satunya diceritakan seorang kaisar langit
yang disebut Kaisar Pualam memiliki sepuluh anak yang nakal. Sangking nakalnya,
sutu hari mereka berubah menjadi sepuluh matahari. Bumi pun mengalami kepanasan
hebat. Lalu untuk menolong manusia, kesembilan matahari itu dipanah oleh Hou Yi (
后羿), seorang kesatria yang andal dalam memanah. Atas jasanya tersebut Hou Yi
diangkat menjadi seorang raja. Namun, ia menjadi raja yang jahat dan lalim. Sebagai
raja, ia belum menemukan gadis idaman untuk dijadikan permaisuri. Suatu malam ia
bertemu dengan dewa pengatur jodoh, ia pun menanyakan mengenai jodohnya. Sang
dewa pun menunjukan bahwa jodoh Hou Yi masih anak-anak. Hal tersebut membuat
Hou Yi marah ia menganggap sang dewa sebagai penghianat. Lalu memanah seorang
anak yang merupakan jadohnya. Sepuluh tahun berlalu dan Hou Yi sudah menikah
dengan seorang gadis yang cantik yang bernama Chang e (嫦娥). Namun, sang ratu
sering mengalami sakit di dadanya. Setelah diperiksa, diketahui sang ratu pernah
terkena panah saat kecil. Akhirnya sang ratu mengetahui suaminyalah yang
memanahnya, karena mengetahui kejahatan dan kelaliman suaminya, sang ratu
memutuskan untuk meminum obat dari seorang dewa yang dapat membuat tubuhnya
ringan, sehingga ia dapat melayang ke bulan dan tinggal di sana. Dengan kepergian
permaisurinya, sang raja menyesal dan memutuskan menjadi orang baik. Ia
melepaskan tahtanya. Atas kesungguhannya hatinya, oleh dewa ia ditempatkan di
matahari. Sehingga secara bergantian, ia dan bulan dapat menerangi bumi (Danandjaja:
2007).

Dalam mite tersebut diceritakan bahwa Chang e memilih untuk tinggal di bulan
dan meninggalkan bumi. Hal ini yang mendasari masyarakat Tiongkok meyakini
bahwa Chang e merupakan Dewi Bulan. Sehingga setiap tahun diadakan pesta
perayaan untuk Dewi Bulan, yaitu Chang e. Selain itu, latar tempat tinggal Chang e
setelah meminum obat dari seorang Dewa dan melayang adalah bulan. Sehingga
mempertegas hubungan antara mite Chang e Ben Yue sebagai latar belakang
munculnya Festival Kue Bulan. Di mana kue bulan menjadi bentuk ungkapan terima
kasih dan penghormatan terhadap bulan. Karena bulan dianggap berpengaruh besar
pada pergantian musim dan cuaca di bumi. Dan diharapkan produksi pertanian
sepanjang satu tahun ke depan bakal makin banyak dan berlimpah, sehingga kehidupan
akan semakin makmur.

Kue bulan yang disediakan pada Festival Kue Bulan terbuat dari tepung terigu
berbentuk bulat yang berisikan coklat, keju, durian, atau cempedak. Orang Tionghoa
non-Muslim akan memcampurinya dengan minyak babi. Sebagai isi bisa juga bagian
merah dari telur bebek asin. Bentuk dari kue bulan ada dua macam, yaitu bulat tipis
dan bulat tebal, tetapi diamternya lebih kecil. Bentuk kue bulan yang bulat dan rasanya
yang manis adalah simbol keabadian. Lingkaran itu sendiri menunjukkan perputaran
yang nggak ada akhirnya. Jadi, memakan kue bulan sebetulnya juga harapan untuk
mendapatkan umur panjang dan kebahagiaan abadi.

Dalam Festival Kue Bulan biasanya keluarga berkumpul di teras atau balkon
rumah untuk menikmati cahaya bulan purnama. Mereka akan duduk melingkar sambil
bercengkrama menikmati kue bulan (Tong Ciu Pia), kacang tanah, kuaci, dan minuman
arak. Seluruh keluarga Tionghoa akan selalu ingat untuk berkumpul pada hari Cing Ciu
Cie. Setiap keluarga akan meletakkan meja di luar pintu, atau di halaman. Mereka
menaruh kue bulan, buah, dupa, lilin dan diletakan menghadap ke arah bulan, yang
diyakini dapat membawa keberuntungan bagi mereka. Buah yang dipersembahkan
dapat berupa semangka, jeruk bali, delima, pir, kesemek, anggur, atau buah musiman
lainnya.

Selain itu, dalam merayakan Festival Pertengahan Musim Gugur, membuat


lentera serta menonton pertunjukannya menjadi kegiatan yang tidak boleh terlewatkan.
Anak-anak akan membuat lentera dengan bentuk yang berbeda-beda dan bisa juga
menyerupai binatang, tanaman atau bunga dengan warna bermacam-macam. Setelah
lentera jadi, anak-anak akan menggantungnya di pohon atau rumah. Untuk
memberikan pemandangan yang indah pada malam hari, lentera juga akan dipasang di
taman depan rumah. Mereka juga dapat membuat Kong ming, lentera yang dapat
terbang dengan menggunakan lilin. Anak-anak akan menulis harapan mereka pada
lentera dan membiarkan lentera tersebut terbang ke langit.

Pada Dinasti Zhou masyarakat Tionghoa merayakan dengan cara memuja bulan.
Pada Dinasti Tang tradisi itu lebih jelas dan merakyat. Pada Dinasti Song Selatan
(1127-1279 M), masyarakat Tionghoa mulai mengirimkan kue bulan pada rekan dan
famili sebagai simbol keutuhan keluarga. Pada Dinasti Ming dan Dinasti Qing, tradisi
ini menjadi lebih populer. Muncul beberapa kebiasaan seperti menanam pohon musim
gugur, menyalakan lentera dan Tari Naga.

Daftar Pustaka

Danandjaja, James.1997. Folklor Indonesia: ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain.


Jakarta: Grafiti.

Danandjaja, James. 2007. Folklor Tionghoa: sebagai terapi penyembuhan amnesia


terhadap suku bangsa dan budaya Tionghoa. Jakarta: Grafiti.

Hasanah, Hasyim. Perayaan Imlek Etnis Tionghoa: menakar Implikasi Psiko-


sosiologis Perayaan Imlek bagi komunitas muslim di lasem rembang.
Semarang: UIN Walisongo.

Muhaeminah, Siti. Perayaan Zhong Qiu Jie di Kelenteng Hok Teng Ceng Sin Cibinong
(Skripsi). Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN.

Syahrum. Salim. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Citapustaka Media.

Todorov, Tzevetan. 1985. Tata Sastra. Terjemahan Okke K.S. Zaimar, dkk. Jakarta:
Djambatan.

Xue An, Han. Hao Qiu Yue. 2014. Chao You Qu Zhong Guo Min Jian Gu Shi. Chang
Chun: Cai Shu Fang.

Anda mungkin juga menyukai