Novita Dewi
Universitas Sanata Dharma
Jalan Affandi, CT Depok, Mrican, Yogyakarta, Indonesia
Telepon (0274) 513301, Faksimile (0274) 562383
Pos-el: novitadewi@usd.ac.id
Naskah diterima: 1 Agustus 2018; direvisi: 30 November 2018; disetujui: 10 Desember 2018
Abstrak
Penelitian ini bertujuan membahas imajinasi pernikahan di bawah umur dalam dua karya sastra
Indonesia. Masalah penelitian adalah bagaimana dan mengapa pernikahan di bawah umur
digambarkan dalam cerpen “Si Minem Beranak Bayi” karya Ahmad Tohari dan “Inem” yang
ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer. Penelitian ini memakai metode kualitatif, khususnya riset
kepustakaan dengan data primer kedua cerpen tersebut, sedangkan data sekunder berupa
penelitian terdahulu dan informasi relevan yang dapat diacu seputar pernikahan di bawah
umur. Data dianalisis dengan teknik analisis konten, kedua cerpen diteliti dengan terang teori
feminisme-multikulturalisme dalam konteks masyarakat Indonesia yang pascakolonial. Hasil
penelitian ini membuktikan bahwa pertama, kemiskinan bukan satu-satunya penyebab
pernikahan di usia muda. Imajinasi pernikahan di bawah umur berbeda satu dengan yang
lainnya sesuai konteks budaya dan masyarakat yang berbeda-beda pula. Kedua, imajinasi
pernikahan di bawah umur ditampilkan melalui tokoh utama cerpen Ahmad Tohari, yakni
perempuan muda yang menyintas. Ketiga, imajinasi perempuan muda yang terkalahkan dalam
pernikahan di bawah umur juga ditampilkan melalui karya Pramoedya Ananta Toer. Dari hasil
penelitian disimpulkan bahwa memaknai pernikahan di bawah umur secara partisan (semata-
mata korban tradisi atau upaya pengentasan kemiskinan) berarti menampik realitas dan
kompleksitas keragaman budaya dan gender.
Abstract
This study aims to discuss the imagination of early marriages in two Indonesian literary works.
The research problem is how and why early marriages are depicted in the short stories "Si
Minem Beranak Bayi" by Ahmad Tohari and "Inem" by Pramoedya Ananta Toer. This study
uses a qualitative method, especially library research using two short stories as primary data,
while the secondary data are in the form of previous research and relevant information that
can be referenced about underaged marriage. Through content analysis techniques, the two
short stories are examined in light of the theory of feminism-multiculturalism within the
context of Indonesian post-colonial society. The results of this study prove that first, poverty
is not the main reason for early marriage to occur. The imagination of early marriages differs
from one another according to its pertinent cultural and community contexts. Secondly, the
imagination of early marriage is revealed through the main character of Ahmad Tohari’s short
story, namely the young woman who survives. Thirdly, the young woman who is defeated for
having been married at her young age is depicted through the short story by Pramoedya
Ananta Toer. From the results of the study, it can be concluded that biased, partial
interpretations of early marriage (e.g. victim of tradition or escape from poverty) mean
rejecting the reality and complexity of cultural and gender diversity.
ISSN 0854-3283(Print), ISSN 2580-0353 (Online) , Vol. 30 No. 2, Desember 2018 173
( Novita Dewi) PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR DALAM CERPEN AHMAD TOHARI DAN PRAMOEDYA ANANTA TOER Halaman 173—186
174 , Vol. 30 No. 2, Desember 2018 ISSN 0854-3283(Print), ISSN 2580-0353 (Online)
Halaman 173—186 ( Novita Dewi) PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR DALAM CERPEN AHMAD TOHARI DAN PRAMOEDYA ANANTA TOER
perkawinan anak dapat melibatkan anak Arditiya, 2017; Hoekema, 2015), serta
perempuan semuda 13 tahun. Sulawesi Barat, lingkungan hidup (Herawati & Putri, 2018).
misalnya, tercatat sebagai wilayah dengan Penelitian atas Pramoedya Ananta Toer
tingkat tertinggi perkawinan anak sebelum dan karya-karyanya dalam 5 tahun terakhir
usia 15 tahun karena sebagian besar ditambatkan pada tiga pijakan teoritis, yakni
masyarakat menganggap praktik ini sebagai poskolonialisme, feminisme, dan close-
tradisi budaya yang telah lama mengakar. reading. Resitensi atas kolonialisme nampak
Masyarakat menerimanya sebagai bagian dari dalam analisis novel dan cerpen Pramoedya
struktur sosial sehingga mereka jarang (Thomas, 2014; Sariban & Marzuqi, 2015; Nasri,
menyoal tentang efek dan konsekuensi yang 2017; Ningrum, Waluyo, & Winarni, 2017;
ditimbulkan oleh pernikahan di bawah umur. Dewi, 2017; Masitoh & Rohman, 2018).
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan Keberpihakan pada kaum perempuan terlihat
bahwa perkawinan anak didorong oleh pada kajian feminis atas karya penulis yang
kemiskinan, ketergantungan ekonomi, dekat dengan ibunya ini (Dewi, 2013; Edwar,
insentif keuangan, dan praktik mas kawin, Sarwono, & Chanafiah, 2017; Ridwan,
serta kurangnya akses terhadap layanan Widiasturi, & Yulianeta, 2017; Garini, 2017).
pendidikan dan kesehatan. Pernikahan di Bermacam aspek dan pendekatan lain dalam
bawah umur sering dilihat sebagai jalan keluar kajian sastra juga diterapkan, misalnya
ketika stigma buruk menimpa seorang gadis eksistensialisme (Hardiningtyas, 2015) dan
akibat pengalaman seksual di luar nikah, realisme sosialis (Hastuti, 2014) dalam karya
korban perkosaan, dan pelbagai bentuk sang maestro ini.
pelecehan seksual lainnya. Berdasarkan hasil penelusuran
Penelitian ini hendak menjawab penelitian terdahulu, dapat disimpulkan
pertanyaan bagaimana sastra Indonesia bahwa kedua sastrawan besar ini, tanpa
menggarap tema pernikahan di bawah umur. diragukan lagi, menyuarakan pembelaan bagi
Dua nama pengarang, yakni Ahmad Tohari kaum pinggiran dan yang tak berdaya (Taum,
dan Pramoedya Ananta Toer teridentifikasi 2015; Dewi, 2017; Ratnaningsih, 2017).
paling banyak memakai tema kemiskinan dan Penelitian ini membatasi diri dengan cara
tokoh pengantin cilik dalam karya-karya membahas bagaimana dan mengapa
mereka. Karya terpilih dari kedua penulis pengarang seperti Ahmad Tohari dan
tersebut menjadi objek utama penelitian ini. Pramoedya Ananta Toer memilih tema yang
Pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai secara lugas menggugat wacana dominan,
berikut; bagaimana dan mengapa pernikahan dalam hal ini patriarkat dan kapitalisme
di bawah umur direpresentasikan dalam karya melalui imajinasi pernikahan di bawah umur
sastra Indonesia, khususnya oleh Ahmad dalam karya mereka.
Tohari dan Pramoedya Ananta Toer. Kedua Untuk memecahkan masalah dan
pengarang dari generasi yang berbeda ini mencapai tujuan penelitian, dipakai teori
dipilih untuk menunjukkan bahwa masalah feminisme yang multikulturalis. Penelitian ini
pernikahan di bawah umur belum bersetuju dengan (Volpp, 2001, hlm. 1181),
mendapatkan penyelesaian, setidaknya seperti terutama dengan usulannya tentang dialog
diimajinasikan dalam sejumlah karya sastra konstruktif antara feminisme dan
berlatar tempat di Indonesia. multikulturalisme. Selain warisan sejarah
Ahmad Tohari dan Pramoedya Ananta kolonialisme, Volpp menganggap asal-usul
Toer adalah dua nama yang paling sering liberalisme, penggambaran subjek feminis,
muncul dalam penelitian tanah air. Sejak 2 dan penggunaan logika biner berpotensi
tahun terakhir saja, puluhan artikel jurnal mengaburkan kekuatan budaya dan beragam
telah membahas Tohari dengan platform pengalaman multikultural yang pada
kajian sastra (Amriani, 2016; Jonindo, 2017; gilirannya berpengaruh pula pada kehidupan
Laksmitarukmi, 2017) dan linguistik (Riyono, perempuan. Sebaliknya, budaya multikultural
2016). Karya Tohari juga menarik untuk (termasuk di dalamnya budaya minoritas)
dikaji dari segi penerjemahan (Pelawi, 2016), tidak pernah statis tetapi terus berubah dan
perspektif budaya dan agama (Trianton, 2013; bernegosiasi dengan perkembangan zaman.
ISSN 0854-3283(Print), ISSN 2580-0353 (Online) , Vol. 30 No. 2, Desember 2018 175
( Novita Dewi) PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR DALAM CERPEN AHMAD TOHARI DAN PRAMOEDYA ANANTA TOER Halaman 173—186
Pinurbo (2011) lebih lanjut menegaskan penelitian teks-teks sastra. Studi kepustakaan
kompleksitas multikulturalisme dalam yang dipakai mengacu pada sembilan langkah
masyarakat global abad ini. Tidak jarang riset kepustakaan dari George (2008, hlm. 16)
perspektif feminisme yang keras justru yang mengubah imagination (imajinasi)
mengekalkan patriarkiat, kekejaman dan menjadi insight (wawasan). Adapun
perendahan martabat perempuan yang kesembilan langkah tersebut dapat disarikan
seharusnya dilawan. sebagai berikut: (1) memilih topik, (2)
Perempuan minoritas (baca: Timur, mengubahnya menjadi imajinasi, (3)
non-Barat) kerap diasumsikan menjadi korban memperjelas pertanyaan-pertanyaan
dari budayanya sendiri. Praktik budaya penelitian, (4) mengembangkan strategi
multikulturalisme sering berseberangan penelitian, (5) mencari referensi dari pelbagai
dengan pandangan kaum feminis (Barat) basis data, (6) mengidentifikasi sumber-
dalam membaca perlakuan terhadap sumber data, (7) menilai/mencocokkan
perempuan. Ideologi kolonial mengklaim sumber data berdasarkan pertanyaan-
keunggulan budaya Barat yang agung dan pertanyaan penelitian, (8) mendalami
rasional (dibandingkan dengan budaya non- wawasan berdasarkan refleksi, dan (9)
Barat yang barbar dan irasional), sehingga menyusun pernyataan tesis berdasarkan
budaya minoritas dianggap menghimpit wawasan tersebut.
perempuan. Budaya perempuan di Dunia Data primer dalam penelitian ini berupa
Ketiga dianggap lebih subordinatif cerpen yang bertemakan pernikahan di bawah
dibandingkan dengan pengalaman perempuan umur karya Ahmad Tohari dan Pramoedya
Barat, seperti telah panjang-lebar disanggah Ananta Toer, sedangkan data sekunder
oleh sejumlah penulis feminis (Mohanty, 2003; meliputi karya tulis ilmiah, artikel jurnal,
Suleri, 1992; Ang, 2003). Memang harus diakui buku-buku referensi, pemberitaan/ulasan di
bahwa terdapat nilai-nilai yang dihidupi oleh media seputar pengarang, karya dan dunianya
masyarakat multikultural yang tidak pro- yang relevan dengan tema pernikahan di
perempuan (Okin, 1998, hlm. 661). bawah umur.
Selanjutnya, ketimpangan relasi Kedua jenis data dikumpulkan dengan
kekuasaan yang menjadi titik bidik teori teknik simak dan teknik catat, yakni peneliti
feminisme yang poskolonial melengkapi membaca kedua cerpen beberapa kali. Peneliti
piranti baca dalam penelitian ini (Bulbeck, mencermati dan mencatat hal-hal yang
1998, hlm. 14--15). Menurut Bulbeck, tidak berkaitan dengan pernikahan di bawah umur.
ada feminisme yang benar-benar berkiblat ke Selain itu, peneliti melakukan pula pencatatan
Barat ataupun ke Timur, terlebih ketika atas temuan-temuan yang terkait dengan
berbicara tentang perempuan di Dunia Ketiga, penyebab dan implikasi pernikahan di bawah
karena masing-masing memiliki dualismenya umur. Selanjutnya, interpretasi data dilakukan
sendiri sesuai konteks budaya yang melalui teknik analisis konten dengan
ditempatinya. Pemaknaan pernikahan di memakai teori feminisme, multikulturalisme,
bawah umur dalam karya sastra yang menjadi dan poskolonial. Teori feminisme diterapkan
objek penelitian ini akan ditempatkan dalam untuk melihat ideologi patriarkat apa yang
konteks kajian gender dalam masyarakat tersembunyi dalam kedua karya. Pendekatan
pasca-kolonial yang multikultural. Hubungan multikulturalisme dipakai untuk meneropong
kekuasaan yang tidak seimbang antara laki- apakah pernikahan di bawah umur pada
laki dan perempuan beserta implikasinya masing-masing cerpen merupakan bagian dari
dipakai untuk meneropong persoalan budaya yang diterima begitu saja atau
pernikahan di bawah umur dan ikutannya, dinegosiasikan. Akhirnya, kritik poskolonial
yakni masalah kemiskinan. digunakan untuk membaca relasi kekuasaan
antra pihak yang kuat terhadap yang lemah.
METODE Dengan sinergi ketiga teori tersebut dibarengi
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, kesembilan langkah penelitian sebagaimana
khususnya library research (studi ditunjukkan oleh George (2008, hlm. 12--26),
kepustakaan) yang lazim berlaku dalam penelitian ini mengubah pernikahan di bawah
176 , Vol. 30 No. 2, Desember 2018 ISSN 0854-3283(Print), ISSN 2580-0353 (Online)
Halaman 173—186 ( Novita Dewi) PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR DALAM CERPEN AHMAD TOHARI DAN PRAMOEDYA ANANTA TOER
umur yang merupakan hasil imajinasi Minem beranak kelak dua bulan yang akan
pengarang menjadi wawasan mengapa datang apabila kemarin aku tidak malas
Ahmad Tohari dan Pramoedya Ananta Toer mengambil air ke seberang desa” (Tohari,
menampilkannya sedemikian. Akhirnya, hasil 2015, hlm. 13). Kasdu sadar akan kelalaiannya.
temuan dibahas dan dilaporkan dengan teknik Ini berarti arogansi laki-laki tidak ditonjolkan
deskriptif-analitik hingga dicapai suatu di sini.
simpulan. Tohari justru menggambarkan Minem
sebagai tokoh perempuan yang kuat terlihat
sejak ia muncul di awal cerita. Sebagai istri
HASIL DAN PEMBAHASAN yang masih muda usia, Minem mengambil
Bertumpu pada permasalahan dalam alih tugas yang seharusnya dilakukan oleh
penelitian ini, diketemukan dua kasus suaminya demi memenuhi kebutuhan air di
pernikahan di bawah umur yang berbeda satu musim paceklik yang sudah empat bulan
dengan yang lainnya. Didapatkan bukti-bukti melanda desa berbukit cadas dan batu kapur
adanya perbedaan sikap yang ditunjukkan itu. Setidaknya, secara fisik Minem juga
oleh tokoh-tokoh utama dalam menjalani perempuan perkasa yang mampu menyintas di
pernikahan di bawah umur – sebagai tengah kesulitan. Berikut ini
penyintas ataupun pihak yang kalah. Berikut penggambarannya.
adalah uraian selengkapnya disertai
penyebab, akibat dan imbas, serta jalan keluar Minem terjatuh selagi membawa tembikar
dari masalah yang ditimbulkan oleh penuh air. Kakinya tergelincir di sebuah
perkawinan di usia muda menurut imajinasi tanjakan dan Minem terguling-guling ke
bawah… Minem yang kelenger dipapah
masing-masing pengarang.
orang pulang ke rumah. Air ketuban sudah
membasahi kainnya. Dukun bayi yang
Perempuan Penyintas Patriarkat diundang kemudian mengatakan, bayi
Perempuan muda yang harus memikul Minem sudah turun. Benar, beberapa jam
tanggung jawab keluarga menjadi tokoh kemudian Minem mengeluarkan anaknya
utama dalam cerpen “Si Minem Beranak yang pertama; seorang bayi kecil yang
Bayi” karya Ahmad Tohari yang terbit bersuara mirip kucing (Tohari, 2015, hlm.
pertama kali tahun 2002. Sebagai tokoh yang 14).
namanya menjadi judul cerpen, Minem tidak
terlibat dalam percakapan sedikitpun di Tampilnya ayah Minem yang
sepanjang cerita. Perwatakan Minem terbaca menggambarkan trivialitas anaknya makin
melalui tokoh-tokoh lain. Melalui penokohan memperkuat visualisasi pembaca atas
suami, ayah dan ibu Minem, deskripsi watak ketegaran tokoh Minem. Kata mertua Kasdu
Minem menjadi tergambar dengan jelas. menanggapi berita kelahiran cucunya: “...Si
Sekilas Minem tampil sebagai korban Minem masih seorang bocah. Betulkah
suami yang tidak bertanggung-jawab. Namun, seorang bocah mengeluarkan bocah lagi?
teknik penokohan yang diambil oleh Tohari Astaga! Aku belum percaya Minem
dengan cara menyandingkan Minem bersama melahirkan bayi. Jangan-jangan cuma daging
tokoh lain, yaitu Kasdu, menangguhkan efek atau telur” (Tohari, 2015, hlm. 16). Ayah
pembendaan dan viktimisasi terhadap Minem. Minem menganggap kecil arti kelahiran bayi
Suami Minem ini tampil sebagai pihak dari rahim Minem yang dianggap masih bocah
yang patut dipersalahkan. Kondisi seperti itu. Barangkali ia tidak siap menjadi seorang
inilah yang oleh Bulbeck (1998, hlm. 110--118) kakek, karena belum lama ini istrinya yang
dijadikan sebagai bukti untuk menyanggah berumur 29 tahun juga melahirkan seorang
bahwa perempuan non-Barat secara alami anak lagi baginya.
selalu menjadi korban ideologi patriarkat. Di Sikap ayah Minem ini ditanggapi
sini Minem tidak terlihat sebagai korban berbeda oleh istrinya: “Kau jangan banyak
karena ia mampu bertahan. Dalam cerpen ini omong, Kang. Kau lupa, Minem sendiri
justru ditunjukkan penyesalan Kasdu ketika dilahirkan ketika aku juga berusia empat belas
berkata pada dirinya sendiri: “Mestinya tahun?” (Tohari, 2015, hlm. 16). Tanggapan ibu
ISSN 0854-3283(Print), ISSN 2580-0353 (Online) , Vol. 30 No. 2, Desember 2018 177
( Novita Dewi) PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR DALAM CERPEN AHMAD TOHARI DAN PRAMOEDYA ANANTA TOER Halaman 173—186
Minem secara tidak langsung membuktikan tersenyum senang karena sebulan lagi adik
diterimanya pernikahan di usia muda sebagai Minem yang berusia duabelas tahun akan
tradisi yang sudah berlaku di masyarakat dikawinkan (Tohari, 2015, hlm. 16).
secara turun-temurun. Di sinilah diperlukan Penokohan ayah Minem sebagai antagonis di
pembacaan cerpen dengan perspektif sini memperkuat temuan bahwa cerpen ini
feminisme yang multikulturalis. Konsep berpihak pada perempuan.
menjadi ibu (motherhood) pada perempuan Meski pernikahan di bawah umur dalam
Barat tidak sama dengan pemahaman yang cerpen Tohari tidak bisa dianggap sebagai
dimiliki perempuan Dunia Ketiga (Bulbeck, peristiwa yang amat menggembirakan, tokoh-
1998, hlm. 97). Bagi perempuan Barat, tokoh perempuan terlihat tegar dan bisa
menjadi seorang ibu berarti memenuhi aspek menerima konsekuensi menikah di usia muda.
yang hakiki sebagai seorang perempuan. Mereka adalah perempuan-perempuan
Sementara itu bagi kebanyakan perempuan penyintas, bukan korban. Tokoh laki-laki
Asia, misalnya di Indonesia seperti ibu justru tampil sebagai penakut, untuk tidak
Minem ini, keberhasilan anak juga mengatakan pengecut. Kasdu selain malas
keberhasilan ibu – kodrat sebagai perempuan juga tidak sepemberani Minem. Tohari
dan ibu yang tak terpisahkan. Hal ini melukiskan bagaimana suami Minem yang
menjelaskan mengapa penderitaan saat hampir memasuki usia 20 tahun ini “terkesan
melahirkan seperti yang dialami si Minem amat dalam di hati” ketika melihat istrinya
diminimalkan, karena bagi seorang menahan sakit sambil mengeluarkan si jabang
perempuan itulah yang disebut Bulbeck bayi (Tohari, 2015, hlm. 14). Kasdu
dengan “kebahagiaan dan kekuatan” (Bulbeck, mengkhawatirkan keselamatan Minem dan
1998, hlm. 119). Berikut kutipan dalam “Si bayi mungilnya.
Minem Beranak Bayi” untuk lebih Sekarang jelaslah bahwa pada cerpen
menunjukkan dengan jelas suka cita dalam “Si Minem Beranak Bayi”, normalisasi
balutan derita bagi perempuan saat kekerasan disampaikan dengan nada
melahirkan: bergurau. Kasdu yang tidak membantu
menimba air bagi istrinya yang sedang hamil
Minem telentang dengan kedua lututnya tua merupakan suatu bentuk kekerasan fisik.
terlipat. Mukanya merah padam dan Gurauan ayah Minem tentang bayi yang
napasnya tersengal. Orang-orang disamakan dengan telur atau daging
perempuan yang berpengalaman memberi
merupakan kekerasan verbal. Pada titik inilah
petunjuk kepada Minem, bagaimana
mengambil sikap hendak melahirkan. Dari teori feminisme membantu menyingkap kritik
mulut mereka terdengar dengung puji Tohari terhadap perkawinan di usia muda.
keselamatan (Tohari, 2015, hlm. 14). Demi menopang egoisme laki-laki,
pernikahan di bawah umur tetap
Menarik pula untuk disimak lebih jauh dilangsungkan meskipun acap kali merugikan
ulah ayah si Minem. Berbeda dengan Kasdu, perempuan.
ayah Minem seolah-olah kurang peduli akan Jika membaca cerpen ini disertai
kesakitan yang diderita anak kandungnya. timbang rasa, orang akan mafhum akan tradisi
Setelah didamprat istrinya agar tidak pernikahan di bawah umur yang lazim terjadi
berlebihan menanggapi kelahiran cucunya di daerah yang berkekurangan. Tohari dengan
yang prematur, laki-laki itu berujar demikian: panjang lebar melukiskan desa Minem yang
“Ya, ya. Toh aku masih tetap merasa heran; kering kerontang di mana “beberapa anak
bukan hanya perempuan dewasa, melainkan laki- laki berkulit kering dan kelabu”
juga perempuan yang masih bocah bisa mengais-ngais dahan kering untuk kayu bakar
melahirkan seorang bayi” (Tohari, 2015, hlm. dan “sisa-sisa ubi gadung” di tanah yang
16). Perhatiannya hanya tertuju pada lahirnya membatu (Tohari, 2015, hlm. 13). Ceruk tanah
seorang cucu dan rasa bangga serta puas tanpa setetes air, pepohonan yang meranggas,
menjadi ayah dari anak-anak yang enteng dan tanah yang sudah sekeras batu
jodoh. Sambil berkata dalam hati “anak- memperkuat gambaran kemiskinan penduduk.
anakku memang laris”, ayah Minem Pilihan kata yang lugas dan sederhana dalam
178 , Vol. 30 No. 2, Desember 2018 ISSN 0854-3283(Print), ISSN 2580-0353 (Online)
Halaman 173—186 ( Novita Dewi) PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR DALAM CERPEN AHMAD TOHARI DAN PRAMOEDYA ANANTA TOER
karya-karya Tohari menunjukkan simpatinya Terutama gugatan sosial yang lahir dari
pada penderitaan orang-orang kecil dan papa perasaan keadilan adalah kekuatan
(Sulistijani, 2014). Bagi penduduk yang Pramoedyaoedya yang istimewa. Gugatan
melarat ini, perkawinan anak dijadikan terhadap kemiskinan, kebodohan,
pergundikan dan pelacuran karena
sebagai salah satu solusi yang kian bertumbuh
kemiskinan. Dan keadilan dan kemanusiaan
subur. Efek paradoksal ditimbulkan lewat itu baginya lebih penting dari segala-gala
keringnya alam dan suburnya rahim (Toer, 1994, hlm. ix).
perempuan.
Pembacaan kritis yang berpihak pada Kisah Inem dituturkan lewat mulut
kelompok yang miskin, rentan, atau bocah berusia 6 tahun bernama Muk yang juga
terpinggirkan terbukti memunculkan nama panggilan Pramoedya waktu kecil. Si
interpretasi yang beragam tentang imajinasi Aku Pencerita digambarkan sangat menyukai
pernikahan di bawah umur sesuai konteks Inem, teman bermain Muk yang usianya 2
sosial yang berbeda-beda pula. Sulit tahun lebih tua. Besar dugaan, Inem adalah
mengatakan adanya penindasan terhadap tokoh nyata yang tinggal di rumah keluarga
perempuan dan anak-anak dalam cerpen Pramoedya (Hatley, 1980, hlm. 9) dan ibu Muk
Tohari ini sebagaimana dikesan oleh kritik dalam cerpen terinspirasi oleh ibunda
atas perkawinan di usia muda. Kepentingan Pramoedya sendiri. Adu gagasan yang
sosial, politik, dan ekonomi menjadi faktor mendukung dan menentang pernikahan di
yang saling berkelindan dalam tradisi bawah umur disampaikan Pramoedya melalui
pernikahan di bawah umur di beberapa tokoh Ibu Muk dan Mbok Inem. Kritik
wilayah di Indonesia. Tohari seakan Pramoedya pada arogansi priayi ditunjukkan
mengingatkan bahwa pernikahan di usia muda di akhir cerita melalui Muk kecil yang
sebaiknya dihindari karena dapat berakibat kecewa: Inem tidak diperbolehkan lagi tinggal
buruk terutama bagi pihak perempuan. Karena di rumahnya.
itu, imajinasi tentang tradisi itu dalam “Si Istilah priayi, yang awalnya merujuk
Minem Beranak Bayi” perlu dimaknai dengan pada etnis Jawa ditujukan pada pemegang
dialog feminisme–multikulturalisme yang posisi birokrasi yang tinggi. Lambat laun
non-elitis. Hal ini dimaksudkan agar istilah ini digunakan secara lebih umum untuk
interpretasi terhadap cerpen ini tidak terjebak merujuk pada orang-orang yang memiliki
dalam selebrasi eksotisme sebuah budaya profesi ataupun pekerja berkerah putih. Posisi
multikultural (baca: non-Barat) yang dikritik ayah Pramoedya sebagai guru memberi hak
oleh (Volpp, 2001, hlm. 1210). Dengan cara kepada keluarganya untuk diberi status priayi.
yang agak berlainan, pernikahan di bawah Hatley dalam kunjungan ke Blora pada akhir
umur dinarasikan dalam cerpen berlatar 1970-an mencoba “napak-tilas” dengan
tempat sama, Jawa, dengan konteks dan mewancarai keluarga Pramoedya yang masih
balutan tradisi yang berbeda, seperti yang tinggal di kota itu. Keluarga orang tua
dibahas dalam sub-bab berikut ini. Pramoedya bertetangga dengan buruh tani,
pekerja pada tukang daging, pedagang eceran,
Perempuan Muda Yang Terkalahkan pembantu, dan sebagainya. Mereka umumnya
Kritik atas pernikahan di bawah umur terbaca tinggal di kampung, berumah gedek, anyam-
dalam “Inem”, yang ditulis Pramoedya anyaman bambu ketimbang rumah batu bata,
Ananta Toer setelah ia dibebaskan dari dan biasanya berstatus sosial rendah.
penjara selama hampir dua setengah tahun Perhatikan kutipan berikut ini.
oleh pemerintahan Hindia Belanda. “Inem”
merupakan salah satu cerpen lawas bernuansa Saya tiba-tiba teringat deskripsi Pramudya
biografis yang diterbitkan dalam kumpulan tentang ibunya, mencangkul ladang di
cerpen Cerita dari Blora oleh Pustaka Jaya belakang rumah mereka tempat dia
pada tahun 1952. Pada kata pengantarnya menanam sayuran untuk keluarga seperti
untuk edisi ulang buku ini, H.B. Yasin warga kampung sekitarnya, namun selalu
menjaga jarak sosial dengan orang-orang di
menulis seperti berikut.
sekitar (Hatley, 1980, hlm. 9).
ISSN 0854-3283(Print), ISSN 2580-0353 (Online) , Vol. 30 No. 2, Desember 2018 179
( Novita Dewi) PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR DALAM CERPEN AHMAD TOHARI DAN PRAMOEDYA ANANTA TOER Halaman 173—186
Rumah keluarga Inem tidak jauh dari mencontohkan dirinya dan emaknya yang
rumah Muk, tetapi Inem tinggal dengan juga menikah di usia muda. Bahkan, Mbok
keluarga priayi Jawa itu untuk meringankan Inem memberi bukti tambahan yaitu
beban orangtuanya. Ayah Inem hanya seorang neneknya yang 74 tahun itu “masih gagah dan
pengadu jago, sedangkan ibunya buruh masih kuat menumbuk jagung” (Toer, 1994,
pembatik kain atau ikat kepala yang dihargai hlm. 41).
satu setengah sen per lembar. Dalam sehari Ketika ditanya siapa calon suami
Mbok Inem menyelesaikan 8 sampai dengan anaknya, Mbok Inem dengan mantab
11 lembar ikat kepala. Penghasilan ibu Inem menyebutkan Markaban, anak tunggal
tidak mencukupi sebab ayah Inem kadang pedagang sapi yang berumur 17 tahun. Bagi
“bermain kartu dengan tetangga dengan uang Ibu Muk yang menikah dengan bapak si
pasangan satu sen” (Toer, 1994, hlm. 41). Di Mamuk yang berumur 30 tahun, usia
mata Muk, ayah Inem amat menakutkan, Markaban tergolong amat muda. Sebaliknya,
karena, menurut ibundanya, pekerjaan utama Mbok Inem sudah merasa beruntung ada
mantan polisi Hindia Belanda itu sekarang keluarga berada yang meminang anaknya dan
membegal di sepanjang hutan jati antara Blora kesempatan itu tak akan dilepaskan begitu
dan Rembang. saja karena “mungkin takkan ada lagi yang
Inem yang “sopan, tak manja, cekatan meminta si Inem” (Toer, 1994, hlm. 41). “Dan
dan rajin” itu bertugas membantu Ibu Muk alangkah malunya punya anak jadi perawan
memasak di dapur atau menemani bermain tua,” tambah Mbok Inem, “Dan barangkali
Muk dan adik-adiknya (Toer, 1994, hlm. 39). saja nanti dia bisa membantu meringankan
Ketika suatu hari Mbok Inem datang meminta keperluan sehari-hari” (Toer, 1994, hlm. 41).
kembali anaknya untuk dikawinkan, Ibu Muk Tubuh perempuan sebagai komoditas yang
terkejut dan berusaha mencegah seraya disorot oleh pandangan feminisme terlihat
bertanya, “Delapan tahun ‘kan masih kanak- jelas di sini. Inem dipertukarkan seperti
kanak?” (Toer, 1994, hlm. 41). barang untuk mengurangi beban keuangan
Di sini Pramoedya menyuguhkan keluarganya.
perdebatan cukup panjang antara Ibu Muk Melihat cara hidup keluarga Inem yang
yang bersikeras melarang Inem menikah dan sangat berbeda dari keluarga Muk, tidaklah
Mbok Inem yang ingin segera mengawinkan mengherankan jika ada perbedaan pandangan
anaknya. “Kami bukan dari golongan priyayi mengenai pernikahan di bawah umur. Namun,
[sic], ndoro. Aku pikir dia sudah ketuaan berbeda dengan Minem-nya Tohari, di sini
setahun”, kata mbok Inem, “Si Asih itu Inem menjadi yang terkalahkan karena setelah
mengawinkan anaknya dua tahun lebih muda pernikahannya gagal, dia pun gagal mencari
dari anakku.” (Toer, 1994, hlm. 41). perlindungan kepada Ibu Muk. Petaka yang
Percakapan kedua perempuan yang berbeda menimpa Inem digambarkan sebagai berikut.
status sosial tentang pernikahan di bawah
umur itu menggambarkan jurang pemisah “Mengapa, Inem? Tak senangkah engkau
yang diformalkan dengan penyebutan pada lakimu,” tanya bunda.
“Ndoro” oleh Mbok Inem kepada Ibu Muk. Di “Ndoro, kasihanilah aku ini. Tiap malam
dia mau menggelut saja kerjanya, ndoro.”
sinilah peran pembacaan feminisme yang
“Bukankah engkau bisa berkata ‘Kang,
multikulturalis ditempatkan, yakni tidak jangan begitu.’?”
semua perempuan (Timur) menerima saja “Inem takut, ndoro. Inem takut padanya.
ideologi patriarkat yang menindas Dia begitu besar. Dan kalau menggelut
perempuan. kerasnya bukan main hingga Inem tak bisa
Ibu Muk yang menikah di usia 18 tahun bernafas, ndoro. Bukankah ndoro mau
terus berusaha meyakinkan bahwa Inem menerima aku lagi?” pintanya terhiba-hiba
masih terlalu kecil dan pernikahan bocah akan (Toer, 1994, hlm. 59).
berakibat buruk, katanya: “Bukan saja
tubuhnya kerdil, juga kesehatannya Muka kecewa atas keputusan ibunya
terganggu” (Toer, 1994, hlm. 41). Namun, yang tidak bersedia menerima Inem kembali.
Mbok Inem berpendapat lain sembari Berkatalah bocah penutur cerita itu: “Dan
180 , Vol. 30 No. 2, Desember 2018 ISSN 0854-3283(Print), ISSN 2580-0353 (Online)
Halaman 173—186 ( Novita Dewi) PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR DALAM CERPEN AHMAD TOHARI DAN PRAMOEDYA ANANTA TOER
kemudian, janda yang berumur sembilan yang mereka buat sendiri. Hal yang sama juga
tahun itu karena hanya membebani dialami oleh keluarga Muk dalam cerpen
rumahtangga orangtuanya boleh dipukuli oleh “Inem”. Sindiran terhadap kejemawaan
siapa saja yang suka: emaknya, adiknya yang budaya kaum priayi pun dilontarkan oleh
lelaki, pamannya, tetangganya, bibinya” Pramoedya melalui ucapan Muk si
(Toer, 1994, hlm. 52). Di sini untuk pendongeng pada pungkasan cerpen ini:
mempertahankan status sosialnya, Ibu Muk
menolak Inem tinggal bersama keluarganya Namun Inem tak pernah datang lagi ke
lagi. rumah kami. Sering terdengar teriak
kesakitannya. Bila meraung kututup
“Inem, engkau sekarang janda. Di sini kupingku dengan kedua belah tangan. Dan
banyak anak lelaki yang sudah besar-besar. ibu pun tetap memegang kesopanan rumah
Bukankah tidak baik dipandang mata orang tangganya (Toer, 1994, hlm. 52).
lain?”
“Tapi mereka takkan memukuli Inem”, kata Walaupun cerpen ini ditulis oleh
janda itu. Pramoedya ketika Republik Indonesia baru
“Bukan. Bukan itu maksudku. Kalau di berumur 5 tahun, telah terjadi polarisasi
tempat yang banyak lelakinya ada seorang terhadap makna merdeka. Ada perbedaan
janda yang begitu muda seperti engkau, ideologi tentang arti kebebasan bagi Si
tidak baiklah dipandang mata orang lain” Penindas dan Yang Tertindas. Sang maestro
(Toer, 1994, hlm. 52). telah secara kritis menyoroti rapuhnya
perkawinan anak yang eksploitatif.
Perempuan bangsawan ini merasa Pramoedya menolak budaya yang
keberatan karena laki-laki di rumahnya mulai memiskinkan karakter bangsa lewat kacamata
tumbuh dewasa. Keberadaan seorang janda seorang bocah. Telah terjadi penindasan atas
muda di sana akan dipandang kurang pantas penindasan lain yang menurut Simon During
oleh masyarakat. wajar ditemui dalam masyarakat pasca-
Hatley menambahkan dalam catatan kolonial (During, 2005, hlm. 96). Melalui tokoh
kakinya bahwa bagi ibu dan ayah Pramoedya Muk, cerpen ini secara efektif meneriakkan
yang adalah tokoh-tokoh penting di pula ketidakadilan terhadap yang lemah.
masyarakat dan sekaligus pengelola sebuah Dalam hal ini yang menjadi korban adalah
asrama sekolah khusus, nampaknya tidak pihak yang paling lemah: seorang janda
akan “pas” jika mereka membiarkan janda miskin umur sembilan tahun bernama Inem.
sembilan tahun itu tinggal bersama mereka
(Toer, 1980, hlm. 9). Demikian pula dalam SIMPULAN
cerpen ini, Ibu Muk berhadapan dengan Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pilihan yang serba sulit, namun ia harus imajinasi pernikahan di bawah umur dalam
membuat keputusan sesuai kata hati dan status cerpen “Si Minem Beranak Bayi” karya
sosialnya saat itu. Ahmad Tohari dan cerpen Pramoedya Ananta
Tepatlah yang dikatakan Hardiningtyas Toer berjudul “Inem” tidak terlepas dari
(2015, hlm. 96) bahwa masyarakat Jawa waktu konteks budaya yang melahirkannya.
itu, yang umumnya masih menggenggam erat Pertama, penelitian ini menemukan
feodalisme, terkesan superior dan sinis bahwa kemiskinan bukan merupakan
terhadap pribumi rendahan. Meneropong penyebab utama pernikahan di bawah umur.
novel terkenal Pramoedya Bumi Manusia Perasaan bangga dan lega mempunyai anak
dengan terang filsafat eksistensialisme Sartre, perempuan yang cepat memasuki fase
Hardiningtyas berpendapat bahwa di satu kehidupan berumahtangga menjadi faktor
pihak, priayi Jawa abad ke-19 memegang erat pendorong dilaksanakannya perkawinan anak
budaya feodalisme Jawa yang berdampingan di usia muda pada tradisi masyarakat dan
dengan budaya Eropa. Di pihak lain, budaya tertentu.
eksistensi masyarakat kelas atas Jawa Dalam “Si Minem Beranak Bayi”,
memberikan kebebasan untuk berpikir, pernikahan di bawah umur ditampilkan
bertindak, dan bertanggungjawab atas pilihan dengan sedikit bercanda sebagai suatu
ISSN 0854-3283(Print), ISSN 2580-0353 (Online) , Vol. 30 No. 2, Desember 2018 181
( Novita Dewi) PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR DALAM CERPEN AHMAD TOHARI DAN PRAMOEDYA ANANTA TOER Halaman 173—186
tahapan hidup yang alami dan tidak ada unsur Inem akan kemungkinan anaknya kelak
paksaan di dalamnya. Digambarkan dalam tumbuh menjadi kerdil jika menikah di usia
cerpen ini bahwa perkawinan anak telah muda. Kekerasan dialami oleh Minem ketika
berlangsung dari satu generasi ke generasi jatuh terguling dari bukit akibat kelalaian
berikutnya di desa yang menjadi latar cerita. Kasdu. Demikian pula Inem yang dipaksa
Dalam hal ini, Ahmad Tohari melawan meladeni nafsu syahwati Markaban dan
normalisasi kekerasan itu dengan pemukulan serta sikap kasar yang diterimanya
menampilkan tokoh perempuan penyintas, hampir setiap hari.
yakni tokoh yang ditampilkan lebih kuat Dengan harapan menghentikan praktik
dibandingkan dengan tokoh laki-laki. pernikahan di bawah umur, penelitian atas
Persoalan yang muncul karena pernikahan di kedua cerpen ini berupaya menguak
bawah umur dikuak oleh Tohari. Cara yang kompleksitas budaya multikultural. Akhirnya,
ditempuhnya adalah dengan menghadirkan penelitian ini menyimpulkan bahwa
tokoh-tokoh perempuan yang perkasa. Para pernikahan di bawah umur tidak selamanya
perempuan ini lebih tahan uji dibandingkan diterima, karena ada pihak yang dengan penuh
dengan tokoh laki-laki yang penakut dan kesadaran mengutuknya, seperti terlihat
kekanak-kanakan. dalam cerpen “Inem”. Keragaman imajinasi
Kedua, telah ditunjukkan pula dalam pernikahan di bawah umur pada kedua cerita
penelitian ini bahwa perempuan tetap menjadi yang ditulis dengan rentang waktu kurang
pihak yang harus tunduk dalam hal lebih setengah abad itu menunjukkan bahwa
pernikahan di bawah umur. Pramoedya normalisasi kekerasan terhadap perempuan
Ananta Toer, sedikit berbeda dengan Ahmad dan anak-anak terus berlangsung. Nampaknya
Tohari, melihat tokoh perempuan dalam upaya Menteri PPPA Yohana Yembise untuk
cerpennya sebagai pihak yang terkalahkan. mengajukan revisi Undang-Undang
Melalui “Inem”, Pramoedya melontarkan Perkawinan seperti yang dikutip pada awal
kritik terhadap feodalisme dan kapitalisme penelitian ini akan menemui jalan buntu jika
tubuh perempuan. Inem menjadi korban masih banyak pihak yang menganggap bahwa
ketamakan orang tua yang ingin melepas kesewenangan terhadap hak dan harkat hidup
tanggung jawab finansial dengan perempuan dalam pernikahan di bawah umur
mengawinkannya di usia belia. Tidak seperti sebagai hal yang wajar-wajar saja.
tokoh utama cerpen Tohari, di sini Inem
tampil sebagai bocah perempuan yang mau DAFTAR PUSTAKA
tak mau harus ditaklukkan. Tokoh utama
cerpen ini tergilas oleh tradisi pernikahan di Amriani, H. (2016). "Realitas Sosial dalam
bawah umur. Kritik Pramoedya atas praktik Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya
yang tidak manusiawi ini dibuktikan dengan Ahmad Tohari" (Social Reality in Novel
siksaan suami yang diterima oleh Inem setiap Ronggeng Dukuh Paruk by Ahmad
malam selama setahun hingga ia akhirnya Tohari). Jurnal Sawerigading, Vol. 20,
minta cerai. Kegagalan Ibu Muk menerima No. 1, hlm. 99--198.
Inem kembali setelah bercerai merupakan http://sawerigading.kemdikbud.go.id/in
kritik Pramoedya atas relasi kekuasaan antara dex.php/sawerigading/article/view/2.
penindas dan yang tertindas dan sisa-sisa
budaya feodalisme. Ang, I. (2003). "I’m a feminist but...‘Other’
Ketiga, dampak pernikahan di bawah women and postnational feminism".
umur ditunjukkan oleh kedua pengarang Dalam R. L. Lewis & S. Mills (Eds.),
dengan caranya masing-masing— Feminist Postcolonial Theory: A
kesemuanya merugikan perempuan. Reader. (hlm. 99--108). London:
Kelahiran bayi prematur seperti seekor anak Routledge.
kucing dalam cerpen Tohari menunjukkan
reaksi negatif pengarang atas pernikahan di Arditiya, A. (2017). "Internalisasi Nilai
bawah umur. Pramoedya menunjukkannya Ketuhanan pada Novel Orang-Orang
melalui tokoh ibu Muk yang mengingatkan Proyek Karya Ahmad Tohari". Jurnal
182 , Vol. 30 No. 2, Desember 2018 ISSN 0854-3283(Print), ISSN 2580-0353 (Online)
Halaman 173—186 ( Novita Dewi) PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR DALAM CERPEN AHMAD TOHARI DAN PRAMOEDYA ANANTA TOER
ISSN 0854-3283(Print), ISSN 2580-0353 (Online) , Vol. 30 No. 2, Desember 2018 183
( Novita Dewi) PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR DALAM CERPEN AHMAD TOHARI DAN PRAMOEDYA ANANTA TOER Halaman 173—186
184 , Vol. 30 No. 2, Desember 2018 ISSN 0854-3283(Print), ISSN 2580-0353 (Online)
Halaman 173—186 ( Novita Dewi) PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR DALAM CERPEN AHMAD TOHARI DAN PRAMOEDYA ANANTA TOER
ISSN 0854-3283(Print), ISSN 2580-0353 (Online) , Vol. 30 No. 2, Desember 2018 185
( Novita Dewi) PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR DALAM CERPEN AHMAD TOHARI DAN PRAMOEDYA ANANTA TOER Halaman 173—186
186 , Vol. 30 No. 2, Desember 2018 ISSN 0854-3283(Print), ISSN 2580-0353 (Online)