Halaman 1 dari 5
Kemudian dipertegas lagi dalam Pasal 390 HIR ayat (1) HIR yang
menegaskan ;
“Tiap-tiap surat juru sita, kecuali yang disebut di bawah ini, harus disampaikan kepada
orang yang bersangkutan sendiri di tempat diam atau tempat tinggalnya…”
Melihat kedua ketentuan tersebut di atas menunjukkan bahwa
penyampaian relaas panggilan sidang pertama adalah tugas primair dari
seorang Juru Sita yang mana berarti, pejabat lainnya hanya berwenang dan
wajib menyampaikan relaas panggilan sidang pertama apabila syarat yang
dimaksudkan dalam Pasal 388 ayat (2) HIR berlaku yaitu Juru Sita
berhalangan untuk melaksanakan mandate tersebut.
Sederhananya, pejabat-pejabat lainnya tidak akan sekonyong-konyong
menyampaikan relaas panggilan sidang pertama sebelum terlebih dahulu
mendapatkan perintah dari Ketua Majelis Hakim atau Pengadilan untuk
meminata bantuannya guna menyampaikan relaas panggilan sidang
pertama. Bahkan, dalam Pasal 3 ayat (6) Keputusan Ketua Mahkamah
Agung No.122/KMA/SK/VII/2013 tentang Kode Etik Panitera dan
Pedoman Prilaku Panitera dan Juru Sita1 secara terang melarang Juru Sita
untuk mewakilkan kepada siapapun penyampaian relaas panggilan
maupun pemberitahuan.
2. JURU SITA PENGGANTI :
Kewenangan Juru Sita Pengganti secara implisit juga diatur dalam Pasal
388 ayat (1) HIR yang dapat dilihat dari frasa “semua juru sita”. Frasa
tersebut menyiratkan bahwa setiap juru sita, terlepas dari berapa jumlah dan
status/stratanya, berwenang dan wajib untuk menyampaikan relaas
panggilan sidang pertama. Termasuk dalam hal ini juru sita
pengganti.Dapat dilihat juga dalam Buku II Mahkamah Agung tentang
Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan
Khusus (“BUKU II MA”)2 yang menuliskan ;
“Panggilan terhadap para pihak untuk menghadiri sidang dilakukan oleh
jurusita/jurusita pengganti di tempat tinggal atau tempat kediamannya atau
tempat kedudukannya”.
Penulis pribadi belum pernah mendapati penyampaian relaas panggilan
sidang pertama melalui Juru Sita Pengganti, namun dalam praktiknya, ini
sering dilakukan terutama apabila Juru Sita utama tidak dapat atau
berhalangan untuk menyampaikan relaas panggilan tersebut.
1 Pasal 3 ayat (6) Keputusan Ketua Mahkamah Agung No.122/KMA/SK/VII/2013 tentang Kode
Etik Panitera dan Pedoman Prilaku Panitera dan Juru Sita menegaskan “Jurusita dilarang
mewakilkan kepada siapapun penyampaian relaas panggilan maupun pemberitahuan”.
2 BUKU II Mahkamah Agung, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan
Khusus, Ed.2008, (Jakarta: Mahkamah Agung, 2007). h.18
Halaman 2 dari 5
3. PANITERA :
Dalam Buku II MA sebagaimana disebutkan di atas, tidak menjelaskan
bahwa Panitera memiliki kewenangan dan kewajiban untuk menyampaikan
relaas panggilan sidang pertama. Penulis sekalipun belum pernah
menjumpai atau mengalami secara langsung penyampaian relaas panggilan
sidang pertama melalui Panitera, kecuali untuk pemberitahuan-
pemberitahuan seperti kehadiran pihak Penggugat/Tergugat sebelum
dimulainya persidangan, pengambilan putusan, jadwal persidangan, dan
agenda lainnya yang menyangkut persidangan yang disampaikan secara
elektronik via whatsapp atau media telekomunikasi lainnya. Tetapi, Menurut
M. Yahya Harahap3 , dalam bukunya, mengatakan bahwa ;
“Dalam penetapan diikuti pencantuman perintah kepada kepada Panitera atau
Juru Sita untuk memanggil kedua belah pihak (Penggugat dan Tergugat)…”
Setelah Penulis melakukan penelusuran sederhana secara daring, Penulis
menemukan sejumlah relaas panggilan yang disampaikan oleh Panitera
yang mana hampir semuanya dilakukan untuk keperluan Panggilan Umum.
4. PEGAWAI PENGADILAN :
Seperti halnya Juru Sita Pengganti dan Panitera, Pegawai Pengadilan
juga tidak disebutkan dalam BUKU II MA dan Pasal 388 jo. Pasal 390 HIR
maupun Pasal 1 Rv. Tetapi, Jika melihat Kembali isi Pasal 388 ayat (1) HIR
yang menyebutkan ;
“Semua juru sita, pesuruh yang bertugas pada majelis pengadilan, dan pegawai
kekuasaan umum sama-sama berhak dan wajib untuk menjalankan pemberitahuan dan
semua surat juru sita yang lain dan untuk melaksanakan perintah dan keputusan
hakim.”
Dari frasa “pesuruh yang bertugas pada majelis pengadilan” dapat dikatakan
bahwa setiap subjek atau orang-orang yang bekerja sebagai pegawai
(dahulu disebut dengan istilah pesuruh) di pengadilan juga berwenang
untuk menyampaikan relaas panggilan sidang pertama. Kemudian, lebih
diperjelas lagi dalam Pasal 388 ayat (2) HIR ;
“Jika tidak ada orang-orang tersebut, maka ketua majelis pengadilan yang
dalam daerah hukumnya akan dijalankan surat juru sita itu harus menunjuk
seorang yang patut dan dapat dipercaya untuk itu.”
Perhatikan anak kalimat “jika tidak ada orang-orang tersebut”. Jika
dikaitkan dengan Pasal 388 ayat (1) HIR berarti yang dimaksudkan adalah
Juru Sita atau Juru Sita Pengganti. Dengan demikian, apa yang
dimaksudkan Pasal 388 HIR dalam perkataan lain yaitu “bilamana Juru
Sita/Juru Sita Pengganti berhalangan Ketua Majelis Hakim wajib untuk
3 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan
Putusan Pengadilan, Cet.Ke-16, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), h.219.
Halaman 3 dari 5
menunjuk dan memerintahkan pejabat lainnya yang dalam hal ini adalah
pegawai pengadilan yang eligible dan capable untuk melaksanakan
penyampaian relaas panggilan sidang pertama kepada Penggugat dan
Tergugat”.
Itulah juga sebabnya, dalam praktik, seperti yang pernah dialami juga
oleh Penulis pada tahun 2018 silam ketika masih berstatus sebagai Junior
Associate pada firma hukum Milano Rahma Alliansich Attorneys at Law
(“MRA”) di Jakarta Selatan, relaas panggilan sidang disampaikan oleh
Pegawai Pengadilan dalam suatu perkara perdata yang ditangani di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kala itu.
5. KEPALA DESA / LURAH ATAU PERANGKATNYA :
Kepala Desa/Lurah hanya berwenang untuk meneruskan relaas
panggilan sidang pertama dalam hal :
1) Baik Tergugat, Suami/Istri, maupun anaknya (yang telah cakap
hukum), tidak dapat ditemui secara langsung karena pada saat Juru
Sita/Juru Sita Pengganti/Pegawai Pengadilan menyampaikan relaas
panggilan sidang pertama, sedang tidak berada di tempat
kediamannya; atau
2) Pihak yang dipanggil telah meninggal dan ahli warisnya tidak
diketahui keberadaan dan alamat tempat tinggalnya.
Berdasarkan sebab-sebab tersebut di atas, maka tindakan yang wajib
dilakukan oleh Juru Sita/Juru Sita Pengganti yaitu menitipkan relaas
tersebut kepada Kepala Desa / Lurah atau kepada perangkat Desa / Lurah
jika Kepala Desa/Lurah sedang tidak berada di kantornya, agar nantinya
pejabat tersebut meneruskan relaas panggilan kepada yang
Penggugat/Tergugat sebagaimana hal ini juga diatur dalam Pasal 390 ayat
(1) dan (2) HIR jis. Pasal 718 Rbg dan Pasal 3 Rv4 .
Pasal 390 HIR ;
1) “Tiap-tiap surat juru sita, harus disampaikan kepada orang yang
bersangkutan …, dan jika tidak bertemu dengan orang itu di situ,
kepada kepala desanya atau beknya, yang wajib dengan segera
memberitahukan surat juru sita itu kepada orang itu sendiri …” ;
2) “Dalam hal orang yang bersangkutan sudah meninggal, surat juru sita
itu disampaikan kepada ahli warisnya; jika ahli waris itu tidak diketahui,
4 Bandingkan dengan M. Yahya Harahap, Op. Cit., h.222. “Disampaikan kepada Kepala Desa apabila yang
bersangkutan dan keluarga tidak ditemui juru sita di tempat tinggal atau kediaman”; Buku II MA, Op.Cit,
h.18 “Dalam hal jurusita/jurusita pengganti tidak bertemu dengan pihak yang dipanggil, maka surat
panggilan dapat disampaikan kepada anggota keluarga yang ada di tempat itu, namun untuk keabsahannya
panggilan itu harus dilakukan melalui Kepala Desa/Lurah/perangkat desa”.
Halaman 4 dari 5
maka disampaikan kepada kepala desa atau bek di tempat tinggal terakhir
orang yang meninggal itu di Indonesia…”
Pasal 3 Rv ;
“Dalam hal Juru Sita tidak dapat bertemu dengan Tergugat atau anggota
keluarganya di tempat tinggalnya itu, maka ia segera menyampaikan
turunan surat kepada kepala pemerintahan setempat…”
6. BUPATI / WALIKOTA ATAU PERANGKATNYA :
Pemanggilan yang dilakukan oleh Bupati / Walikota yaitu hanya
terbatas untuk keperluan Pemanggilan Umum (General Convocation) sesuai
yang diatur dalam Pasal 390 ayat (3) HIR jo. Pasal 6 dan 7 Rv. Mengenai
sebab-sebab, syarat-syarat, dan tata cara pemanggilan umum akan
diuraikan lebih lanjut dalam catatan yang berjudul “Pemanggilan Umum
Dalam Lingkup Peradilan Perdata Umum dan Khusus”.
7. DEPARTEMEN LUAR NEGERI :
Panggilan terhadap Termohon I Tergugat yang berada diluar negeri.
disampaikan melalui Departemen Luar Negeri cq. Dirjcn Protokol dan
Konsuler untuk diteruskan kepada pihak yang bersangkutan (SE tanggal I I
Mei 1991)5 . Selengkapnya, akan dibahas lebih terperinci dalam “Panggilan
Sidang Untuk Tergugat/Termohon yang Berada di Luar Negeri”.
KESIMPULAN :
Halaman 5 dari 5
Demikian catatan ini dibuat. Semoga membawa manfaat kepada khalayak umum
terkhusus bagi mahasiswa dan praktisi hukum pemula maupun kepada masyarakat
pada umumnya.
Salam hangat,
Halaman 6 dari 5
LAMPIRAN :
Panggilan yang disampaikan oleh Panitera
i
DAFTAR PUSTAKA :
1. Peraturan Perundang-Undangan :
1) HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) / Reglemen Indonesia yang Diperbarui
;
2) Rv (Reglement op de Rechtsvordering) ;
3) Keputusan Ketua sMahkamah Agung No.122/KMA/SK/VII/2013 tentang
Kode Etik Panitera dan Pedoman Prilaku Panitera dan Juru Sita menegaskan
2. Buku :
1) M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Cet.Ke-16, Jakarta: Sinar Grafika, 2016 ;
2) BUKU II Mahkamah Agung, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata
Umum dan Khusus, Ed.2008, (Jakarta: Mahkamah Agung, 2007). h.18
ii