Anda di halaman 1dari 555

WUNA ANAGHAINI

Wuna Anaghaini

La Niampe OCEANIA PRESS© 2018

ISBN : 978-602-50640-0-5

Penulis:
Prof. Dr. La Niampe, M.Hum.
Dr. La Aso, M.Hum.
Dr. Syahrun, M.Si.

Editor:
Kubais, S.Pd., M.Pd.

Cetakan Pertama : 2018

Tata Letak:
Ruslan Hamid Nguna, S.Pd.

Desain Kulit:
Asran Laksana
Diterbitkan dalam Bahasa Indonesia

Oceania Press

Kantor Pusat:

Jln. Kehutanan No.4 Rt.05, Rw.02, Seturan Catur Tunggal, Depok,


Sleman DIY

E-mail: oceaniapress@gmail.com Telp. 081245935975

Kantor Cabang

Jln. Kakaktua No.73 G Kel.Kambu, Kec. Kambu, Kota Kendari, Sulawesi


Tenggara

La Niampe,

Wuna Anaghaini --Kendari: Oceania Press, 2018 xii+ 552 hlm; 23 x16cm

All rights reserved

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang mengutip atau


memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin dari penerbit

ii
Sambutan
BUPATI MUNA

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah


Subhanahu Wataala, Tuhan Maha Rahman dan Maha
Rahim serta atas berkat-Nya jualah sehingga buku
berjudul “WUNA ANAGHAINI” ini dapat hadir di
tengah-tengah masyarakat pembaca.
Suatu kebanggaan tersendiri bagi saya, baik sebagai pribadi, maupun
sebagai Bupati Muna dan sangat mengapresiasi kerja keras saudara Prof.
Dr. La Niampe, M.Hum. dan kawan-kawan atas usahanya dalam
menelusuri dan mengumpulkan dokumen sejarah dan kebudayaan Muna
sehingga sebagian informasinya telah dapat diwujudkan dalam bentuk
sebuah buku.
Saya berharap kehadiran buku ini dapat menjadi momentum bagi
penyampaian isi dan pesannya. Oleh karena itu, harus diketahui oleh
seluruh masyarakat Muna dimanapun berada. Demikian pula pesan
kesejarahan dalam buku ini harus bisa menumbuhkan semangat
kebanggaan sekaligus memberikan motivasi yang besar. Karya-karya
kesejarahan seperti ini harus terus digali secara terus menerus karena
selain memiliki nilai-nilai kesejarahan, juga memiliki nilai-nilai peradaban
dan kebudayaan.
iii
Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. La
Niampe, M.Hum. dan kawan-kawan yang telah bekerja keras sehingga
melahirkan karya ini. Saya berharap buku ini dapat dipelajari di sekolah-
sekolah khususnya di wilayah Kabupaten Muna dan Muna Barat.
Kalangan birokrasi dan tokoh-tokoh masyarakat Muna juga kiranya sangat
penting memiliki buku ini.

Raha, September 2018


Bupati Muna,

ttd.

L.M. Rusman Emba

iv
Kata Pengantar

Penulisan sejarah dan kebudayaan Muna yang bersumber dari


dokumen kolonial dan naskah-naskah kuno peninggalan kesultanan Buton
masih kurang dilakukan. Beberapa buku sejarah Muna yang pernah ditulis,
umumnya bersumber dari ingatan kolektif, sehingga setelah sampai di
tangan pembaca, kadang-kadang melahirkan polemik yang
berkepanjangan antarsesama pembaca.
Salah satu langkah yang dilakukan untuk mengatasi kelangkaan dan
polemik berkepanjangan itu adalah menuliskan kembali sejarah dan
kebudayaan Muna berdasarkan hasil penelusuran kedua sumber yang
disebutkan di atas. Dalam pada itu, pada kesempatan ini saya menyajikan
sebuah buku berjudul “WUNA ANAGHAINI” untuk menambah khazanah
perbukuan tentang kesejarahan dan kebudayaan Muna, khususnya
memberikan gambaran kehidupan masyarakat Muna pada masa lampau;
tentang sejarahnya, kebudayaannya, hukum adatnya, pemerintahan atau
pandangan hidupnya. Mudah-mudahan kehadiran buku ini dapat memberi
manfaat bagi kita semua.
Kendari, September 2018
Penulis,

La Niampe
v
Daftar Isi
Sambutan Bupati Muna ~ iii
Kata Pengantar ~ v
Daftar Isi ~ vi

I. Tentang Nama “Muna” ~ 1


1.1. Pemakaian Nama “Muna” ~ 1
1.2. Pemakaian Nama “Wuna” ~ 2
1.3. Pemakaian Nama “Pantjana” atau Pancana ~ 4

II. Asal-Usul Penduduk Pulau Muna dan Pengangkatan


Rajanya ~ 8

III. Pembentukan Syarat Muna atau Pemerintah Kerajaan


Muna ~ 16
3.1. Penggolongan Masyarakat Muna ~ 16
3.2. Kampung-Kampung Tua di Kerajaan Muna Versi
Couvreur 1935 ~ 17
3.3. Pembentukan Barata Kerajaan Muna ~ 26
3.4. Syarat Muna ~ 27
3.5. Pemilihan Pemimpin ~ 29
3.5.1. Pemilihan Raja atau Omputo ~ 31
3.5.2. Bhonto Bhalano ~ 32
3.5.3. Mintarano Bhitara ~ 33
3.5.4. Kapitalao ~ 34
3.5.5. Ghoerano ~ 35
3.5.6. Kino Bharata ~ 36
3.5.7. Kino dan Meno ~ 37
3.5.8. Bhontono Liwu dan Kamokula ~ 38
vi
3.5.9. Parabhela ~ 38
3.5.10. Pengawal Raja ~ 38
3.5.10.1. Kapita ~ 39
3.5.10.2. Kapili ~ 40
3.5.10.3. Pasi ~ 40
3.5.11. Pengangkatan Para Pejabat di Bharata ~ 41
3.5.11.1 Pejabat di Bharata Lahontohe ~ 41
3.5.11.2 Pejabat di Bharata Lohia ~ 42

IV. Asal-Usul La Ode, Walaka dan Maradika ~ 44

V. Hubungan Kerajaan Wuna dan Kerajaan Wolio ~ 48

VI. Adat Perkawinan Orang Muna ~ 98


6.1. Masa Pertunangan ~ 98
6.2. Peminangan Golongan La Ode ~ 100
6.3. Peminangan Golongan Walaka dan Maradika ~ 103
6.4. Peminangan Golongan La Ode dan Walaka kepada
Wanita Golongan Maradika ~ 105
6.4.1. Kawin Lari ~ 106
6.4.2. Mas Kawin ~ 110
6.4.3. Akibat Pemutusan Perjanjian Perkawinan ~ 116
6.4.4. Pasangan Pernikahan yang Dibolehkan ~ 117
6.4.5. Pasangan Pernikahan yang Dilarang ~ 117
6.4.5.1. Wanita dari Golongan Tinggi Dilarang Menikah
dengan Laki-Laki dari Golongan Lebih Rendah
~ 118
6.4.5.2. Golongan Maradika Dilarang Menikah
jika Laki-Laki Berlainan Golongan dengan
Wanita ~ 119
6.4.5.3. Anggota Keluarga Dilarang Menikah dengan
Sepupu Satu Kali atau Anak Tiri ~ 121

vii
6.3.5.4. Dilarang Menikahi Calon Istri yang Kelima ~
122
6.4.6. Penentuan Hari Pernikahan ~ 123
6.4.7. Upacara Pernikahan ~ 126
6.4.8. Para Pejabat Pernikahan ~ 132
6.4.9. Pembayaran dalam Acara Perkawinan ~ 136
6.4.10. Pemasukan Harta dalam Perkawinan, Milik Perkawinan
dan Pembagian Harta Perceraian ~ 137
6.4.11. Perkawinan Anak-Anak ~ 138
6.4.12. Hukuman Atas Perzinahan ~ 138
6.4.13. Alasan Hidup Bersama yang Tidak Sah ~ 140
6.4.14. Perceraian ~ 143
6.4.15. Masalah Perkawinan Orang Muna ~ 148

VII. Tugas dan Kedudukan Para Pejabat ~ 149

VIII. Pendapatan Para Pejabat ~ 157


8.1. Hasil Kebun ~ 157
8.2. Kebun Para Pejabat ~ 160
8.3. Hasil Berburu dan Hasil dari Enau ~ 162
8.4. Pajak Tahunan ~ 162
8.5. Denda ~ 163
8.6. Pendapatan Pribadi dan Pajak Lain ~ 164
8.7. Uang Pesta ~ 165

IX. Pakaian Adat dan Perhiasan ~ 166


9.1. Pakaian Adat yang Tidak Menduduki Jabatan ~ 166
9.2. Pakaian Adat Para Pejabat ~ 168
9.2.1. Pakaian Adat Raja atau Omputo ~ 168
9.2.2. Pakaian Adat Bhonto Bhalano ~ 169
9.2.3. Pakaian Adat Kapitalao ~ 170
9.2.4. Pakaian Adat Ghoerano ~ 171
9.2.5. Pakaian Adat Kino ~ 171
viii
9.2.6. Pakaian Adat Meno atau Mino ~ 172
9.2.7. Pakaian Adat Bhontono Liwu dan Kamokula ~ 173
9.2.8. Pakaian Para Pegawai Raja ~ 173
9.2.9. Pakaian Adat Pejabat di Bharata Lahontohe ~ 174
9.2.10. Pakaian Adat Pejabat di Bharata Lohia ~ 175
9.2.11. Pakaian Adat Wanita yang Telah Menikah dan yang
Belum Menikah ~ 177
9.2.12. Jenis Perhiasan yang Dipakai ~ 178

X. Pemuka Agama ~ 181

XI. Sistem Kekerabatan ~ 198

XII. Sifat-Sifat Kepemimpinan ~ 203

XIII. Hukum Waris ~ 211


13.1. Warisan Barang Biasa ~ 211
13.2. Barang Pusaka dan Milik Pusaka ~ 213
13.3. Tanaman Pusaka ~ 214
13.4. Perselisihan dalam Pembagian Harta Warisan ~ 215
13.5. Pemeliharaan Anak-Anak ~ 216

XIV. Pesta ~ 219


14.1. Pesta Keluarga ~ 219
14.1.1. Kaalano Wulu ~ 219
14.1.2. Katoba ~ 220
14.1.3. Karia ~ 221
14.2. Pesta Kampung ~ 224
14.2.1. Kaago-Ago atau Kadahono Bhara ~ 224
14.2.2. Katisa ~ 225
14.2.3. Katumbu ~ 225
14.2.4. Weano Wamba ~ 226
14.2.5. Kaintarano Lima ~ 226
ix
14.3. Pesta Kematian ~ 227
14.4. Pawai Pesta ~ 228

XV. Hak Atas Tanah ~ 231


15.1. Tanah Berpagar Batu ~ 231
15.2. Tanah Tidak Berpagar atau Pagar Sementara ~ 232
15.3. Tanah yang Tidak Diolah ~ 233

XVI. Kebiasaan Membuka Ladang Baru di Padang Ilalang ~ 237


16.1. Membuka Ladang Baru di Padang Ilalang ~ 237
16.2. Membuka Ladang Baru di Hutan ~ 242
16.3. Menentukan Hari Menanam ~ 244
16.4. Panen Jagung ~ 246
16.5. Panen Padi ~ 247
16.6. Status Kepemilikan ~ 251

XVII. Lembaga Peradilan ~ 259


17.1. Hukuman Mati ~ 263
17.2. Hukuman Pengasingan ~ 266
17.3. Hukuman Denda ~ 267
17.4. Hukuman Dijadikan Budak ~ 268

XVIII. Lembaga Peradilan Pejabat Keagamaan ~ 271

XIX. Siklus Hidup atau Daur Hidup ~ 273


19.1. Ritus Kasambu ~ 273
19.1.1. Ritus Peyiraman ~ 274
19.1.2. Proses Penyuapan ~ 281
19.2. Ritus Kampua ~ 290
19.3. Ritus Kangkilo ~ 295
19.4. Ritus Karia ~ 301
19.4.1. Persiapan ~ 302
19.4.2. Kaghombo ~ 304
x
19.4.3. Pelaksanaan Kaghombo ~ 305
19.4.4. Pementasan Linda ~ 313
19.4.5. Kaghorono Bhansa ~ 317
19.5. Ritus Kagaa ~ 320
19.5.1. Kabasano Doa Salama ~ 320
19.5.2. Kafelesao ~ 324
19.5.3. Kafosulino Katulu ~ 325
19.6. Ritus Mate ~ 327
19.6.1. Kaalingkita ~ 327
19.6.2. Kaselino Wite ~ 330
19.6.3. Kakadiu Wadhibu ~ 333
19.6.4. Kakoburu ~ 335
19.6.5. Kansolo-nsolo ~ 342
19.6.6. Poalo ~ 344
19.6.6.1. Patai ~ 346
19.6.6.2. Pomoghono ~ 351

XX. Kepercayaan Tradisional ~ 358


20.1. Kebiasaan Memanggil dan Mengusir Hujan ~ 358
20.2. Penyebab Kegagalan Panen ~ 360
20.3. Kepercayaan Terhadap Roh dan Jin ~ 363
20.4. Mantiana dan Kandoli ~ 364
20.5. Makna Suara Burung ~ 365
20.6. Tafsir Mimpi ~ 366
22.7. Sihir ~ 367

DAFTAR PUSTAKA ~ 368


GLOSARIUM ~ 373
LAMPIRAN ~ 401
Lampiran 1 ~ 402
Lampiran 2 ~ 405
Lampiran 3 ~ 425
Lampiran 4 ~ 430

xi
Lampiran 5 ~ 481
Lampiran 6 ~ 526
Lampiran 7 ~ 535
Lampiran 8 ~ 542

xii
I. Tentang Nama “Muna”
Dalam dokumen kolonial Belanda sekurang-kurangnya terdapat enam
nama yang merujuk atau berpadanan dengan kata “Muna” yaitu: Moena,
Oena, Woena, Pantjana, Pangasane dan Pantjano. Hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh Lightvoet (1877: 1) “Het eiland Moena, ook Oena, en
Woena en in vroeger tijd door de Nederlanders Pangasane, Pantjana en
Pantjiano gonoemd”, artinya, “Nama pulau atau kepulauan Moena atau
Oena atau Woena dalam bahasa Belanda pada zaman dahulu dikenal
dengan nama Pangasane, Pantjana dan Pantjano”. Dari keenam nama
tersebut tampaknya hanya tiga nama yang populer sampai saat ini yaitu
Muna, Wuna, dan Pancana.

1.1. Pemakaian Nama “Muna”


Kata “Muna” biasanya digunakan secara umum dalam konteks
percakapan berbahasa Melayu atau berbahasa Indonesia untuk menyebut
berbagai jenis nama seperti berikut.
a. Nama geografi; Pulau Muna;
b. Nama pemerintahan kerajaan; Kerajaan Muna;
c. Nama wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten; Kabupaten
Muna, Kabupaten Muna Barat;
d. Nama identitas suku bangsa; suku Muna, orang Muna;
e. Nama identitas budaya suku bangsa; bahasa Muna, adat Muna,
sarung Muna, masakan Muna, silat Muna, tarian Muna, layang-
layang Muna, pantun Muna, pakaian Muna, rumah adat Muna;
f. Nama ciri khas; beras Muna, ayam Muna.

1
1.2. Pemakaian Nama “Wuna”
Kata “Wuna” berasal dari bahasa Muna (wamba Wuna) yang berarti
“bunga”. Arti kata “bunga” di sini bukanlah seperti kata bunga yang
sebenarnya yaitu bagian tumbuhan yang bakal menjadi buah akan tetapi
sejenis karang yang bentuknya menyerupai bunga melekat pada batu
gunung. Oleh masyarakat Muna mengenal batu ini dengan nama kontu
kowuna atau batu berbunga. Adapun riwayat tentang kontu kowuna ini
dapat disimak melalui kutipan syair berikut;

kontu kowuna tolu ghonu


nonando te kotano Wuna
nobari kontu kosarano
mina nakokapototoha
kamokulahi ndo wawono
dokonae kontu barakati
sebabuno kontu kowuna
kanandohano neano Wuna
faraluu damandehaane
tula-tulano neano Wuna

Terjemahan:
batu berbunga tiga buah
terdapat di kota Wuna
banyak batu di sekitarnya
tidak ada samanya
para tetua zaman dahulu

2
menyebutnya batu berkah
sebab batu berbunga
asal-usulnya nama Wuna
perlu diketahui
riwayat nama Wuna

Menurut kutipan syair tersebut bahwa batu berbunga (kontu kowuna)


di Pulau Muna berjumlah tiga buah. Keberadaan batu tersebut dipandang
sangat unik karena tidak sama dengan batu-batu lain yang ada di sekitar.
Dalam pada itu, para orang tua zaman dahulu di Muna menganggapnya
sebagai batu yang dipercaya mengandung berkah. Dari batu berbunga
inilah asal-usulnya penamaan Wuna. Oleh karena itu, riwayat atau cerita
tentang batu berbunga ini perlu diketahui.
Nama Wuna kemudian diabadikan sebagai nama tempat atau pusat
pemerintahan Kerajaan Muna setelah pindah kemungkinan dari wilayah
Bombono Wulu, diperkirakan terjadi pada masa pemerintahan Raja La
Posasu (Raja Muna ke-8). Nama Wuna semakin populer pemakaiannya,
yang umumnya dipakai dalam konteks percakapan yang menggunakan
bahasa Muna seperti berikut ini:
a. Nama geografi; witeno Wuna.
b. Nama pemerintah kerajaan; sarano Wuna.
c. Nama identitas suku bangsa; mieno Wuna.
d. Nama identitas budaya suku bangsa; wamba Wuna, adhati Wuna,
pakea Wuna, bheta Wuna, kagau Wuna, ewa Wuna, kaghati Wuna,
kabhanti Wuna, lambu Wuna.
e. Nama ciri khas; pae Wuna, manu Wuna, rambi Wuna.

3
1.3. Pemakaian Nama “Pantjana” atau Pancana
Nama Pancana, selain digunakan dalam berbagai dokumen berbahasa
Belanda kuno bersama-sama dengan istilah Pangasane dan Pantjano,
nama Pancana cukup populer di wilayah Kerajaan Buton khususnya di
Wolio dan di wilayah bekas Kerajaan Muna di wilayah Muna Selatan
(sekarang wilayah Buton Tengah). Penduduk Muna bagian selatan seperti
Bombonawulu, Lakudo, Gu dan Mawasangka menamakan pancana
sebagai identitas suku bangsa mereka (orang Pancana) atau mieno
Pancana dan menyebut identitas budaya mereka seperti bahasa yaitu
bahasa Pancana. Di Wolio (Buton), nama Pancana banyak ditemukan
dalam teks naskah Buton, baik naskah berbahasa Melayu maupun naskah
berbahasa Wolio.

Teks berbahasa Wolio:


“Maka yoyangu-yanguna sara yitungguna laki Woliyo yitu sapulu
ruya angu kabharina; bhaa-bhaana. Yosara Jawa. Yosara Jawa yitu
pataangu kabharina; bhaa-bhaana, yopayu bhiya, ruyaanguyaka
oparamadani, taluyanguyaka yogambi yisoda, pataanguyaka,
yosomba. Ruyaanguyaka yosara Pancana. Yosara Pancana yitu
pataanguna kabharina, bhaa-bhaana, yobante, ruyaanguyaka
yokabutu, taluyanguyaka, yopomuya, pataanguyaka yokalonga.
Taluyanguyaka yosara Wolio. Yosara Wolio yitu pataanu kabarina,
bhaa-bhaana yobhelobaruga umane, ruyaanguyaka yobhelobaruga
bhawine, taluyanguyaka yosusuya Wolio, pataanguya yosusuya
papara”.

4
Terjemahan:
“Adapun jenis-jenis sara yang dijaga sultan itu dua belas banyaknya;
pertama-tama, Sara Jawa. Sara Jawa empat banyaknya, pertama pau
bhia, kedua, permadani, ketiga, gambi yisoda, keempat somba.
Kedua, sara Pancana, sara Pancana itu empat banyaknya, pertama,
bante, kedua, kabutu, ketiga, pomua, keempat, kalonga. Yang
ketiganya Sara Wolio. Sara Wolio itu empat banyaknya, pertama,
bhelobaruga umane, kedua, bhelobaruga bawine, ketiga, susua Wolio,
keempat, susua papara”.

Teks berbahasa Wolio:


“yoyantona sara Jawa yitu pataangu; yobhangka mapasa, yorampe,
yoambara, yoikana yogena. Yoyantona sara Pancana yitu pataangu
duka; yopopene, yosuruna karo, yotali-tali, yokarambayu. Yoyantona
sara Wolio yitu pataanguyaka; yisalaaka, yikodosaaka, yibatuyaaka,
yimateyaka”.

Terjemahan:
“ini Sara Jawa itu empat banyaknya; bhangka mapasa, rampe,
ambara, ikane ogena. Isi sara Pancana itu empat juga, popene,
suruna karo, tali-tali, karambau. Adapun isi sara Wolio itu empat;
isalaaka, ikodosaaka, ibatuaaka, imateaka”.

Teks berbahasa Belanda:


“Wat vervolgens genoemd wordt de Pantjana-instellingen, hun aantal
bedragt ook vier (Pantjana is de naam voor het zuidelijke gedeelte
5
van Moena, dat reeds sinds langen tijd onder Wolio ressorteerde.
Volgens de overlevering zouden de Sara Pantjana naar Wolio
medegebracht zijn door Sultan Moeroehoemoe, een sultan uit den
ouden tijd; deze naam Pantjana komt in Vroegere werken wee voor in
den vorm Pantsiana, waarmede dan eehter meestal geheel Moena
wordt bedoeld);Het eerste onder de Pantjana-instellingen is de bante,
ten tweede de Kaboetoe, en derde de pomoea, ten vierde de Kalonga.
(van den Berg, 1939: 520-521).

Teks bahasa Melayu:


”Maka tatkala ada Kerajaan Lakilaponto itu maka diambilnya
istiadat daripada negeri Wuna atawa Pancana yaitu lima istiadat;
pertama upeti seperti buah-buahan kayu dan seperti kayu batari, dan
kedua, kahoti, ketiga, kebun seperti kabutu dan bante, keempat,
kerbau, kelima, rambanua dan moose. Yaitulah maka jumlahnya jadi
dua belas istiadat di dalam tangan Raja Butun itu” (Silsilah
Bangsawan Buton).”

Teks Bahasa Belanda:


“Het gebied van den sultan van Boeton bepaalt zich niet enkel tot
Boetoen en Moena of Pangasane, maar strekt zich uit over oen aantal
eilanden, daaromstreeks gelengen, waaronder Kambyna, en nabij
Moena de eilandjes Goot- en Klein – Tobia, Tikola enz. (Oomkens,
1843: 252)”

6
Istilah Pancana sebagai salah satu nama desa yaitu Desa Pancana
terletak di Kecamatan Tanete Rilau, Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi
Selatan. Masyarakat Sulawesi Selatan khususnya masyarakat di Kabupaten
Barru mengenal tempat ini sebagai tempat atau asal-usul kelahiran
Sawerigading.

7
II. Asal-Usul Penduduk Pulau Muna dan Pengangkatan
Rajanya
Apabila ditelusuri lebih jauh barangkali ada hubungannya dengan
mitos asal-usul orang Muna yang dikaitkan dengan terdamparnya kapal
Sawerigading (lihat lampiran 3). Menurut Hanafi (2008: 1), oleh karena
terjadinya Pulau Muna ini berawal dari kandasnya bahtera Sawerigadi
maka Sawerigadi bersama pengikutnya menganggap Muna ini menjadi hak
mereka. Sampai beberapa lapis keturunan mereka senantiasa datang
memantau keadaan bahtera milik nenek moyang mereka sekaligus
mengamati keadaan tanahnya hingga memungkinkan untuk dijadikan
tempat pemukiman atau perkampungan oleh keturunan Sawerigadi dan
pengikutnya hingga selama-selamanya. Merekalah penghuni pertama
Pulau Muna ini dan dalam bahasa Muna disebut Wawono Liwu atau
golongan Tolu Bhengkauno. Perkampungan mereka diberi nama Wamelai
dan pimpinan atau kepala kampungnya digelar Meno Wamelai.
Dapat dipastikan bahwa setiap suku bangsa yang mendiami kepulauan
Nusantara (Indonesia) ini memiliki mitos yang berbeda-beda di dalam
mengisahkan sejarah asal-usul penduduk negeri atau penduduk suku
bangsanya. Hal ini dapat dibaca pada beberapa buku karya sejarah lokal
atau daerah yang para penulisnya pada umumnya berasal dari daerah yang
bersangkutan. Salah satu penyebab terjadinya versi di dalam karya-karya
sejarah lokal yang mereka tulis adalah akibat perbedaan rujukan sumber
informasi yang digunakan; misalnya ada yang bersumber dari naskah-
naskah kuno, ada yang bersumber dari tradisi lisan dengan informan yang
berbeda-beda, ada yang bersumber dari dokumen kolonial Belanda dan ada
yang bersumber dari bukti-bukti arkeologis yang terdapat di daerah atau
8
wilayah yang bersangkutan. Selain itu, terjadinya versi dalam suatu
penulisan sejarah lokal atau sejarah suatu daerah khususnya sejarah
mengenai asal-usul penduduknya kadang-kadang juga disebabkan oleh
perbedaan motivasi, sudut pandang dan tujuan penulis dan informannya.

Sejarah asal-usul penduduk Pulau Muna telah melahirkan beberapa


versi di antaranya:
1. Mitos tentang terdamparnya kapal Sawerigading di Pulau Muna.
(lihat lampiran 3)
2. Kisah tentang terbentuknya Pulau Muna dan Pulau Buton yang
dikaitkan dengan Nabi Muhammad dan kedatangan dua orang
tokoh dari bangsa Arab bernama Abdul Gafur dan Abdul Syukur.
(lihat lampiran 3)
3. Adanya peninggalan sejumlah lukisan pada gua batu Liang
Kobori (bukti arkeologis) yang menggambarkan bekas atau jejak
kehidupan manusia zaman prasejarah. (lihat lampiran 8, foto
Gua Liang Kobori)
Dari tiga versi tentang asal usul penduduk Pulau Muna sebagaimana
telah diuraikan di atas tentu merupakan sesuatu hal yang wajar terjadi
dalam dunia ilmu sejarah dan budaya yang beraspek masa lampau. Yang
paling utama dipahami adalah pada zaman dahulu, di Pulau Muna telah
diawali dengan kedatangan sekelompok keluarga kecil atau komunitas
kecil dengan tujuan mencari kehidupan dan tinggal menetap di pulau ini.
Seiring dengan perjalanan waktu, mereka terus berkembang dengan
mengadakan perkawinan antarsesama keturunan mereka sehingga lama
kelamaan jumlahnya menjadi banyak dan terbentuklah sebuah rumpun
keluarga besar laksana menanam sebatang pohon bambu, setelah hidup
9
maka tumbuhlah beberapa anak bambu yang disebut rebung dan kemudian
berubah menjadi bambu besar. Setelah beberapa lamanya bambu yang
awalnya ditanam satu pohon itu bertumbuh dan berkembang sehingga
jumlahnya menjadi sangat banyak yang disebut dengan rumpun bambu.
Komunitas atau rumpun keluarga besar itu akhirnya bermusyawarah
memilih pemimpin mereka untuk mengorganisasi kehidupan kelompok
mereka. Orang yang mereka pilih itu kemudian dikenal sebagai raja
pertama mereka dan itulah barangkali yang dikenal dalam sejarah Muna
yang bernama Baiduzzamani atau La Eli dengan gelar Bhenteno ne
Tombula yang artinya “yang lahir dari bambu”. Pengertian Bhenteno ne
Tombula di sini bukan berarti orang tersebut benar-benar lahir dari bambu
akan tetapi hanyalah sebuah makna semiotik atau makna simbolik yang
arti denotatifnya adalah bermakna “rumpun keluarga besar”. Perhatikan
cerita Tula-Tulano Bheteno ne Tombula. (lihat lampiran 1)
Bandingkan dengan raja Buton pertama yang bernama Wa Kaakaa
yang juga memakai gelar “Bhenteno ne Tombula” yang berarti “yang
keluar dari bambu”. (lihat lampiran 2)
Gelar raja Luwu yang pertama juga bergelar Sawe ri gading yang
berarti “yang lahir bambu atau gading”. Selain itu, masih banyak
kerajaan lain di Nusantara yang raja pertamanya lahir dari bambu seperti
Kerajaan Pasai (wilayah Malaysia sekarang), Kerajaan Kutai suku bangsa
Dayak di Kalimantan Timur dan Kesultanan Bulungan yang meliputi
wilayah Tidung, Malinau, Nunukan, Tarakan, Tawau dan Sabah yang juga
termasuk suku bangsa Dayak di Kalimantan. Yang menarik adalah kisah
penemuan Baiduzzamani, raja Muna pertama di dalam bambu memiliki
kesamaan kisah dengan penemuan Wa Kaakaa raja Buton pertama,
10
penemuan Aji Julur Dijangkat, raja Kutai pertama dan penemuan Jauwiru,
raja Bulungan pertama, seperti berikut ini.
1. Kisah penemuan Baiduzzamani dimulai dengan “Kepala kampung
memerintahkan rakyatnya pergi memotong kayu di hutan untuk
keperluan membangun bangsal pesta”.
2. Kisah penemuan Wa Kaakaa dimulai dengan “Kepala Negeri
memerintahkan rakyatnya pergi berburu di hutan”.
3. Kisah penemuan Aji Julur Dijangkat dimulai dengan “Kepala suku
memerintahkan rakyatnya pergi memotong kayu di hutan”.
4. Kisah penemuan Jauwiru dimulai dengan “Kepala suku
memerintahkan rakyatnya pergi berburu di hutan”.

Pelegitimasian La Eli atau Baiduzzamani dengan menggunakan mitos


bambu sebagai tempat kelahirannya (bhenteno ne tombula artinya “lahir
dari bambu”) tidak saja menempatkan Muna sebagai salah satu kerajaan
tua di antara kerajaan-kerajaan lain di Nusantara seperti Kerajaan Luwu di
Pulau Sulawesi, Kerajaan Pasai di pantai Pulau Sumatera, Kerajaan
Malaka di Malaysia, Kerajaan Kutai dan Kesultanan Bulungan (suku
Dayak) di Pulau Kalimantan, tetapi juga menempatkan Kerajaan Muna
pada masa lampau memiliki kesejajaran dan kesamaan dengan negara-
negara lain di Asia seperti Jepang, Vietnam, Birma dan Philipina. Orang
Jepang mempercayai mitos bambu, bahwa sepasang suami-istri kakek-
nenek menemukan anak perempuan cantik-mungil dalam bambu di hutan
belukar. Orang Vietnam mempercayai mitos bambu, yaitu bahwa bambu
merupakan simbol ikatan perkawinan yang sukses dan tahan lama. Orang
Birma mempercayai mitos bambu, bahwa seorang gadis kecil ditemukan
dari tangkai bambu, kemudian gadis itu tumbuh dewasa sehingga menjadi
11
seorang gadis perawan cantik. Orang Philipina mempercayai mitos bambu,
bahwa asal-usul penciptaan laki-laki dan perempuan di dunia yaitu Si
Kalak dan Si Kabayan lahir dari batang bambu yang ditanam di taman
surga oleh Dewa Kaptan.
Secara filosofi, bambu pada hakikatnya memiliki persamaan dengan
manusia; manusia berkembang dari keluarga kecil atau kelompok kecil
menjadi kelompok besar atau keluarga besar yang disebut rumpun
keluarga atau manusia. Demikian halnya dengan bambu dari satu pohon
kemudian bertumbuh dan berkembang menjadi banyak yang disebut
rumpun bambu. Bambu sangat dekat dengan kehidupan manusia.
Dibanding dengan jenis tumbuh-tumbuhan lainnya, dapat dipastikan
bahwa bambulah yang paling banyak memberi manfaat bagi kehidupan
manusia. Berikut ini disajikan beberapa manfaat bambu bagi kehidupan
manusia khususnya bagi penduduk Pulau Muna pada masa lampau, yaitu:

1) Akarnya berfungsi sebagai ramuan obat tradisional;


2) Anaknya yang baru tumbuh yang disebut rebung dapat dijadikan
sayur;
3) Batangnya yang masih muda dapat dianyam sehingga
menghasilkan tali pengikat;
4) Pohonnya yang sudah besar namun masih hijau dapat disadap
sehingga menghasilkan air untuk air minum dan berbagai
keperluan lainnya;
5) Ruang kosong pada batangnya yang sudah tua dapat digunakan
sebagai wadah tempat air;

12
6) Ruang kosong pada bambu yang telah dipotong menurut ruas-
ruasnya dapat digunakan untuk menyimpan barang-barang kecil
yang berharga seperti uang, perhiasan, dan surat-surat berharga;
7) Batangnya yang sudah tua dapat digunakan untuk ramuan
bangunan rumah misalnya lantai, dinding, tiang dan lain-lain;
8) Anyaman dari kulit bambu dapat dibuat menjadi keranjang atau
sejenisnya untuk menampung berbagai hasil produksi baik
produksi pertanian maupun perikanan;
9) Batang bambu yang sudah kering dapat digunakan untuk pagar
kebun;
10) Dapat dijadikan sebagai alat musik tradisional misalnya kaganda-
ganda mbite, kapoo-pongku;
11) Dapat dijadikan sebagai bahan dasar pembuatan rangka layang-
layang tradisional Muna yang disebut kaghati kolope;
12) Dapat dijadikan sebagai senjata berburu; dan
13) Masih banyak lagi fungsi-fungsi lainnya.

Raja Muna pertama Baiduzzamani atau La Eli gelar Bheteno ne


Tombula kemudian digantikan oleh putranya menjadi raja Muna kedua
bernama (Patola atau La Patola?) yang diberi gelar sugi (yang dipertuan
atau yang diangkat jadi tuan) yaitu Sugi Patola. Tampaknya gelar sugi
dalam kepemimpinan raja hanya diberikan kepada 5 orang raja secara
berturutan, Sugi Patola, raja Muna kedua, Sugi Ambona (Ambona atau
La Ambona?), raja Muna ketiga, Sugi Patani (Patani atau La Patani?), raja
Muna keempat, Sugi La Ende (Ende atau La Ende?), raja Muna kelima
dan Sugi Manuru (Manuru atau La Manuru?) raja Muna keenam. Gelar
sugi biasanya oleh kelompok masyarakat kepada raja yang mewarisi
13
secara langsung kepemimpinan orang tuanya, dan biasanya gelar itu
diberikan setelah selesai menjabat sebagai raja. Pada masa kepemimpinan
raja Muna dari raja pertama sampai raja kesembilan belum ada jabatan
bhonto bhalano, para kepala ghoera dan mintarano bhitara yang
kemudian dalam adat Muna dikenal sebagai dewan ahli adat yang
bergabung dalam Sarano Wuna (Syarat Muna) yang terdiri atas; raja,
bhonto bhalano, para kepala ghoera, mintarano bhitara dan kapitalao.
Salah satu tugas dewan ahli adat (bhonto bhalano, para kepala ghoera dan
mintarano bhitara) adalah memilih jabatan raja Muna.
Tiga orang putra Sugi Manuru masing-masing; Lakilaponto raja
Muna ketujuh, La Posasu gelar Kobangkuduno raja Muna kedelapan dan
Rampe Isomba raja Muna kesembilan. Satu orang pun di antara ketiga
putra Sugi Manuru tidak ada yang mendapat gelar sugi. Diriwayatkan
bahwa tidak lama Lakilaponto menjabat raja Muna (tiga tahun) kemudian
diangkat menjadi raja Buton selama 46 tahun. Jabatan raja Muna
digantikan oleh adiknya bernama La Posasu gelar Kobangkuduno.
Kemudian La Posasu digantikan lagi oleh adiknya bernama Rampe
Isomba. Tampaknya terpilihnya Lakilaponto menjadi raja Buton, tidak
serta merta langsung meninggalkan jabatan sebagai raja Muna dan
digantikan oleh adiknya La Posasu, akan tetapi merangkap dua jabatan raja
yaitu raja Muna dan raja Buton. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam
salah satu Kitab Naskah Kuno Buton berjudul “Silsilah Bangsawan
Buton” (abad ke-19) sebagai berikut.

“Adapun tatkala Murhum menjadi raja dalam negeri Buton ini maka
menjadi sekalian negeri. Karena ia Raja Lakilaponto membawahi dua
negeri yang besar yaitu Buton dan Wuna. Jadi takutlah sekalian
14
negeri ini seperti Kaledupa dialihnya, Mekongga dialihnya dan
Kabaena dialihnya. Maka sekalian negeri pun dialihnya oleh
Murhum”.

Ketika Murhum atau Lakilaponto menjadi raja Buton, ia membawa


lima jenis adat Muna kemudian dijadikan sebagai adat Buton. Hal ini
sebagaimana dijelaskan pula dalam Kitab Naskah Kuno Buton berjudul
Silsilah Bangsawan Buton sebagai berikut;
“Maka tatkala ada kerajaan Lakilaponto itu maka diambilnya istiadat
daripada negeri Wuna yaitu lima istiadat; pertama, upeti seperti buah-
buahan kayu dan seperti kayu bhatari, kedua, kahoti, ketiga, seperti
kabutu dan bante, keempat, kerbau, kelima, rambanua dan moose.
Yaitulah maka jumlahnya menjadi dua belas istiadat di dalam tangan raja
negeri Buton itu”.
Dalam sejarah Buton tercatat bahwa Lakilaponto atau Murhum atau
La Tolaki adalah raja Buton keenam dan sultan Buton pertama. Dua orang
putranya yaitu La Tumparasi tercatat sebagai sultan Buton kedua dan La
Sangaji tercatat sebagai sultan Buton ketiga.

15
III. Pembentukan Syarat Muna atau Pemerintah
Kerajaan Muna
3.1. Penggolongan Masyarakat Muna
Penggolongan masyarakat Muna secara resmi ditetapkan pada masa
pemerintahan Raja Titakono dan bhonto bhalano La Marati. Mereka
membagi golongan masyarakat Muna ke dalam tiga golongan yaitu
masyarakat golongan kaumu, masyarakat golongan walaka, dan
masyarakat golongan maradika. Pada prinsipnya secara silsilah keluarga,
masyarakat ketiga golongan ini masih memiliki pertalian hubungan darah
yaitu berpangkal dari keturunan Raja Muna, Sugimanuru.
Masyarakat golongan kaumu berpangkal pada anak laki-laki
keturunan bangsawan raja atau sugi dengan permaisuri, dimulai pada
keturunan Sugimanuru. Masyarakat golongan walaka berpangkal pada
anak perempuan Sugimanuru hasil perkawinan dengan permaisuri
bernama Wa Ode Pogo. Wa Ode Pogo dikawini oleh La Pokainse yang
bukan keturunan para Sugi. Sedangkan masyarakat golongan maradika
berpangkal pada keturunan Raja Muna Sugimanuru hasil perkawinannya
dengan selir yaitu salah seorang perempuan yang berasal dari Kepulauan
Banggai bernama Wa Sarone. Adapun masyarakat yang dimaksud dengan
golongan wesembali meliputi dua jenis yaitu kaumu Wasembali dan
walaka Wasembali. Pada zaman dahulu golongan seperti ini sempat
dilarang oleh adat yaitu perkawinan di mana tingkatan istri dianggap lebih
tinggi dari pada suami, misalnya perempuan kaumu dikawini oleh laki-laki
dari golongan walaka dan perempuan dari golongan walaka dikawini oleh
laki-laki dari golongan maradika. Kemudian golongan para budak berasal
dari masyarakat golongan maradika yang dihukum menjadi budak karena
16
mengerjakan perbuatan jahat atau tidak melunasi utang-utangnya atau
berasal dari tawanan.

3.2. Kampung-Kampung Tua di Kerajaan Muna Versi


Couvreur 1935
Apabila membandingkan jumlah kampung di Pulau Muna pada zaman
dahulu (masa pemerintahan kerajaan) dengan jumlah kampung zaman
sekarang (masa pemerintahan NKRI) tentu sangat berbeda. Bertambahnya
jumlah kampung tentu ada kaitannya dengan kian bertambahnya jumlah
penduduk dan kebijakan politik pemerintah pada suatu saat. Kampung-
kampung tua yang disebutkan dalam buku ini bersumber dari buku
Couvreur (1935) berjudul “Etnografi van Moena” yang diterjemahkan
oleh Rene Van Den Berg (2001) sebagai berikut:
1) Kota Muna,
2) Madawa,
3) Tongkuno,
4) Lagusi,
5) Kowouno,
6) Labongkuru,
7) Kancitala,
8) Pentiro,
9) Lemoambo,
10) Lakadea-dea,
11) Latongku,
12) Lakologou,
13) Lamorende,
14) Lahontohe,
17
15) Fongkaniwa,
16) Matanauwe,
17) Labora,
18) Dopi,
19) Liabalano,
20) Lagadi,
21) Mabuti,
22) Walelei,
23) Walengke,
24) Waulai,
25) Watumelaa,
26) Madampi,
27) Kahobu,
28) Barangka,
29) Lasosodo,
30) Tobi,
31) Katobu,
32) Wou,
33) Wampodi,
34) Malainea,
35) Kaliwu-liwu,
36) Lafinde,
37) Masara,
38) Kampani,
39) Kaura,
40) Labasa,
18
41) Waale-ale,
42) Owelongko,
43) Bone Kancitala,
44) Bone Tondo,
45) Wasolangka,
46) Wakumoro
47) Laiba,
48) Fopanda,
49) Kasaka,
50) Labaluba,
51) Rangka,
52) Holo,
53) Lembo,
54) Lamanu,
55) Lahorio,
56) Kafofo,
57) Tanjung Batu,
58) Kabangka,
59) Watuputi,
60) Bangkali,
61) Wakadia,
62) Unsume,
63) Duruka,
64) Raha,
65) Laeworu,
66) Labunti,
19
67) Bonea,
68) Lambiku,
69) Tampo,
70) Dana,
71) Tewehu,
72) Mabodo,
73) Masalili
74) Mabolu,
75) Kondongia,
76) Mantobua
77) Ondoke,
78) Lohia,
79) Komba-Komba,
80) Banggai,
81) LasehaoBombona Wulu,
82) Lakudo,
83) Bea, dan
84) Laloia.

Kampung-kampung yang disebutkan di atas, kampung Kota Muna


adalah yang paling lengkap struktur pemerintahan dan paling jelas batas-
batas wilayahnya. Raja dan seluruh perangkatnya baik perangkat di bidang
pemerintahan maupun perangkat di bidang adat bermukim di tempat ini.
Yang dimaksudkan perangkat raja di sini adalah bhonto bahalano,
fatoghoerano (Tongkuno, Lawa, Kabawo dan Katobu), mintarano bhitara,
dan kapitalao, yang biasanya dikenal nama Dewan Syarat Muna. Selain
itu para pejabat dan pendamping syarat Muna seperti para kino, mino,
20
fatolindono dan kafowawe juga berdomisili di wilayah ini. Karena itulah
batas-batas wilayah Kota Muna memiliki pagar batu atau benteng yang
dilengkapi dengan beberapa pintu dan kelengkapan lainnya. Masyarakat
yang tidak menjabat tidak dibenarkan berdomisili di dalam Kota Muna.
Mereka masuk dalam Kota Muna apabila ada undangan khusus dari
pejabat kerajaan termasuk pada hari-hari pasar, hari raya Idul Fitri dan Idul
Adha dan pada pesta-pesta rakyat.
Kampung-kampung selain Kota Muna yang dikepalai seorang raja,
mereka dikepalai seorang kepala kampung yang bergelar kino, meno, dan
bhontono liwu atau kamokula. Kino adalah kepala kampung yang berasal
dari golongan kaomu, meno adalah kepala kampung yang berasal dari
masyarakat golongan walaka dan bhontono Liwu atau kamokula adalah
kepala kampung yang berasal dari golongan maradika. Menurur Couvreur
(1935) kampung-kampung yang kepala kampungnya bergelar kino, mino,
dan kamokula adalah sebagai berikut.

1. Kampung-kampung yang bergelar kino


1. Kino Lakologou,
2. Kino Laboora,
3. Kino Waale-ale,
4. Kino Latongku,
5. Kino Laiworu,
6. Kino Laloia,
7. Kino Lakawohe,
8. Kino Rete,
9. Kino Wasolangka,
10. Kino Laghontoghe,
21
11. Kino Lasehao,
12. Kino Kasaka,
13. Kino Laiba,
14. Kino Bea,
15. Kino Lagadi,
16. Kino Watumelaa,
17. Kino Waulai,
18. Kino Walelei,
19. Kino Latompe,
20. Kino Tobea,
21. Kino Madawa,
22. Kino Labongkuru,
23. Kino Mantobua,
24. Kino Lasosodo,
25. Kino Lohia,
26. Kino Kahobu,
27. Kino Tobi,
28. Kino Labasa,
29. Kino Wasolangka,
30. Kino Wakumoro,
31. Kino Labaluba,
32. Kino Holo, dan
33. Kino Tewehu.

22
2. Kampung–kampung bergelar Ki (Wakil Kino)
1. Ki Lemoambo,
2. Ki Lamorende,
3. Ki Matanauwe,
4. Ki Lia Balano,
5. Ki Mabuti,
6. Ki Wampodi,
7. Ki Fopanda,
8. Ki Lamanu,
9. Ki Tanjung Batu,
10. Ki Watuputi
11. Ki Bangkali,
12. Ki Wakadia,
13. Ki Unsume,
14. Ki Duruka,
15. Ki Raha,
16. Ki Labunti,
17. Ki Bonea,
18. Ki Lambiko,
19. Ki Tampo,
20. Ki Dana,
21. Ki Mabodo,
22. Ki Masalili,
23. Ki Kondongia,
24. Ki Komba-Komba, dan
25. Ki Banggai.
23
3. Kampung-kampung bergelar mino
1. Mino Kancitala,
2. Mino Lembo,
3. Mino Kaura,
4. Mino Ondoke,
5. Mino Kowouno,
6. Mino Pentiro,
7. Mino Dopi,
8. Mino Walengke,
9. Mino Madampi,
10. Mino Barangka,
11. Mino Wou,
12. Mino Malainea,
13. Mino Kaliwu-liwu,
14. Mino Lafinde,
15. Mino Masara,
16. Mino Oelongko,
17. Mino Bhone Kancitala,
18. Mino Tondo,
19. Mino Labaluba,
20. Mino Lahorio,
21. Mino Kafofo, dan
22. Mino Kabangka.

24
4. Kampung-kampung bergelar bhontono Liwu atau kamokula
1. Kamokulano Tongkuno,
2. Kamokulano Wapepi,
3. Kamokulano Barangka, dan
4. Kamokulano Lindo.

Dua kampung yang disebutkan di atas yaitu kampung Lakudo dan


Bombona Wulu bergabung di Buton, Wolio yaitu ketika Lakilaponto atau
Murhum diangkat menjadi Raja Buton (Lakina Wolio). Nama-nama
kampung yang telah disebutkan itu sifatnya tidak tetap, kadang-kadang
mengalami perubahan nama dan tempat dari masa ke masa. Perubahan
yang sangat menonjol ketika terjadi peralihan dari zaman pemerintahan
tradisional (kerajaan) ke zaman pemerintahan modern (pemerintahan
NKRI). Pemerintahan kampung yang dipimpin kepala kampung yang
disebut kino, ki, mino, dan kamokula atau bhontono liwu jelas berubah
status menjadi Kepala Desa atau Kepala Lurah, bahkan beberapa
kampung seperti Tongkuno, Lasehao, Mantobua, Lohia, dan Tampo telah
berubah status menjadi pemerintahan kecamatan yaitu Kecamatan
Tongkuno, Kecamatan Lasehao, Kecamatan Mantobua, Kecamatan Lohia,
dan Kecamatan Tampo, bahkan ada beberapa nama kampung yang tidak
dapat lagi diidentifikasi termasuk beberapa kampung tidak berpenghuni
lagi sekarang ini.
Sebenarnya nama kino pada masa itu terdapat 28 kino, akan tetapi
dua kino masing-masing kino bombona wulu dan kino Lakudo
bergabung di Buton yaitu ketika Lakilaponto atau Murhum diangkat
menjadi Raja Buton. Di Kerajaan Wolio (Buton), masyarakat dari kedua

25
kampung ini menamakan dirinya sebagai “wasiatina Muruhumu”
dimaksudkan “wasiat sultan Murhum”.

3.3. Pembentukan Barata Kerajaan Muna


Kata bharata dalam konteks bahasa Wolio lama megandung
pengertian: kekuatan, cadik, penahan, pelindung, dan tiang penyangga. Di
Buton zaman dahulu, agar perahu tidak mudah terombang-ambing oleh
gelombang ombak besar dipasangkan bharata berupa batang kayu atau
bambu di sebelah kiri dan kanan perahu itu. Dengan demikian perahu itu
tidak gampang terbalik dan dapat melaju dengan aman. Dalam pada itu,
Buton atau Wolio ibarat sebuah perahu yang pada zaman dahulu selalu
dalam posisi tidak aman karena menjadi rebutan dua kerajaan besar yaitu
Goa dan Ternate. Agar Buton tetap aman dari gangguan musuh dari luar
memintalah bantuan Kerajaan Muna, Tiworo, Kulisusu, dan Kaledupa
sebagai pelindung atau penahan masuknya atau sebagai bharatanya.
Kedudukan Muna, Tiworo, Kulisusu, dan Kaledupa sangat memegang
peranan penting dalam rangka terjaminnya stabilitas keamanan wilayah
Kerajaan Buton pada masa lampau.
Di Muna juga pada masa lampau dalam rangka mempertahankan dan
melindungi kerajaan dari serangan musuh yang berasal dari luar terutama
yang datang melalui laut, maka dibentuklah tiga bharata yaitu bharata
Wasolangka, bharata Lohia dan bharata Lahontohe. Setiap bharata
dipimpin oleh kepala bharata, dahulu disebut kino; kino Wasolangka, kino
Lohia dan kino Lahontohe. Selanjutnya para kino bharata mengangkat
seorang kino. Mereka tidak berasal dari keturunan sugi akan tetapi dari
keturunan maradika.

26
Wilayah pengawasan atau penjagaan kino bharata Wasolangka
meliputi beberapa kampung; Marobo, Matombura, Matanapa, Labuandiri,
Manggarai, Wabalomo, Wadolau dan Waburense. Kekuasaan kino bharata
Lahontohe meliputi; kampung Lianosaa dan Wakowanenta. Adapun kino
bharata Lohia selain memimpin wilayah Lohia juga mengepalai sembilan
kampung lain yang disebut “Siua Liwuno” yaitu Duruka, Banggai,
Masalili, Mabolu, Mabodo, Watuputi, Bhangkali, Onsume, dan
Kondongia (lihat Couvreur, 1935).

3.4. Syarat Muna


Syarat Muna juga biasanya dinamakan “Bharangka-Tongkuno”,
dimaksudkan bahwa perkara diajukan kemudian diputuskan berdasarkan
perantaraan bhonto bhalano dan mintarano bhitara. Diketahui bahwa
bhonto bhalano dan mintarano bhitara selalu berasal dari ghoerano
Tongkuno dan ghoerano Lawa. Syarat Muna mendampingi raja Muna dan
bhonto bhalano dalam pemerintahan serta memberi nasihat. Dalam
musyawarah bersama, mereka menyelesaikan semua perkara dalam negeri,
yang tidak dapat atau tidak boleh diurus oleh pejabat yang lebih rendah
terutama di bidang adat.

Syarat Muna berwenang dalam hal-hal berikut:


1. Pemilihan raja Muna;
2. Pemilihan semua kepala adat sampai tingkatan mino dan kapita;
3. Pengadilan;
4. Pemberian izin kepada para pedagang asing untuk mengumpulkan
dan membeli hasil hutan serta mengekspornya keluar. Mereka
membayar pajak ekspor kepada syarat Muna; dan
27
5. Setiap orang dalam negeri dapat mengajukan banding kepada syarat
Muna perihal perkara-perkara yang jelas diputuskan oleh pejabat
yang lebih rendah terkecuali dalam perkara-perkara hukum (lihat
Couvreur, 1935).

Musyawarah dalam Syarat Muna atau perihal pembagiaan uang dan


barang di antara mereka yang berhak atas pembagian itu terjadi sebagai
berikut.
“Pertama-tama ghoerano Katobu mengemukakan pendapatnya
perihal membagi-bagi uang atau barang menurut pikirannya. (membagi
“tobu-tobu”, kata "katobu" diambil dari kata ini). Pendapat tersebut
kemudian disampaikan kepada ghoerano Kabhawo kemudian ghoerano
Kabhawo menyampaikan kepada ghoerano Lawa. Kabhawo dimaksudkan
mebhawoino wamba atau metubharino wamba, yang berarti “tambah
bicara”. Kemudian ghoerano Lawa menyampaikan pendapatnya kepada
ghoerano Tongkuno dapat tambahan semua pendapat dari ghoerano
lainnya. Lawa adalah semacam tangga kecil yang terdapat pada bagian
rendah di pagar yang mengelilingi halaman rumah, gunanya untuk
melangkahi pagar tersebut atau tempat melangkahi. Kemudian ghoerano
Tongkuno memberikan pendapatnya kepada tiga ghoerano lainnya;
setelah itu mereka keempat ghoerano (Katobu, Kabawo, Lawa dan
Tongkuno) berusaha mencapai suatu kesepakatan”.

Setelah mencapai kesepakatan, maka ghoerano Tongkuno


menyampaikan hasilnya kepada mintarano bhitara. Kemudian mintarano
bhitara meneruskannya dengan menambahkan pendapatnya sendiri kepada
bhonto bhalano, untuk mendapatkan persetujuan. Apabila bhonto

28
bhalano telah menyetujuinya maka bhonto bhalano menyampaikannya
kepada raja Muna untuk mengambil keputusan. Biasanya pendapat bhonto
bhalano langsung disetujui oleh Raja Muna. Dari keempat ghoerano;
ghoerano Katobu adalah paling rendah tingkatannya kemudian secara
berturut-turut disusul ghoerano Kabhawo, ghoerano Lawa dan yang
tertinggi adalah ghoerano Tongkuno. Hal ini berlaku pada keempat orang
kamokula yaitu mereka berturut-turut mulai dari yang paling rendah yaitu
kamokulano Lindo, kamokulano Wapepi, kamokulano Barangka dan
kamokulano Tongkuno. Menurut Couvreur (1935), Syarat Muna telah
dibubarkan oleh pemerintah Belanda tahun 1910, tetapi kenyataannya
meskipun telah dibubarkan akan tetapi tetap berfungsi terbukti setelah
tahun 1910 telah terjadi beberapa kali pelantikan raja Muna. Raja Muna
masih tetap meminta pertimbangan dari anggota Syarat Muna yang lama
yang masih berfungsi (keempat ghoerano) untuk bersama mereka
mengambil keputusan terkait persoalan adat dan agama dalam negeri
Muna.

3.5. Pemilihan Pemimpin


Pemilihan pemimpin di Muna secara demokratis berdasarkan
penggolongannya dalam masyarakat dimulai pada masa pemerintahan raja
Muna Titakono dan bhonto bhalano pertama bernama La Marati sekitar
akhir abad XVI. Pada masa itu Titakono dan La Marati menggolongkan
masyarakat Muna menjadi tiga golongan yaitu golongan kaumu,
golongan walaka dan golongan maradika. Jabatan penting di Kerajaan
Muna; Raja Muna, kapitalao, kapita dan para kino berasal dari
masyarakat golongan kaumu; jabatan bhonto bhalano, para kepala

29
ghoera (koghoerano), mintarano bhitara dan mino berasal dari golongan
masyarakat walaka; dan jabatan bhontono liwu, kamokula, dan parabhela
berasal dari masyarakat golongan maradika.
Menurut Couvreur (1935), beberapa jabatan seperti bhonto bhalano,
mintarano bhitara dan kapitalao telah ditiadakan setelah pembubaran
Syarat Muna tahun 1910. Demikian pula para pejabat lainnya seperti para
pengawal raja Muna, beberapa parabhela dan wati di Lohia tidak diakui
lagi oleh pemerintah Belanda yaitu sejak zaman penguasa militer
Gortmans. Mereka ini telah disamakan dengan penduduk lainnya sehingga
mereka pun ikut dalam kerja rodi. Para kino bharata hanya berkuasa di
dalam kampungnya sendiri, kekuasaan bharata atas kampung-kampung
lainnya tidak diakui lagi oleh pemerintah Belanda. Demikian pula para
kepala ghoera kekuasaannya telah dikurangi, dan hanya menjabat sebagai
kepala kampung biasa. Meskipun jabatan-jabatan itu menurut pemerintah
Belanda telah dihilangkan fungsinya, akan tetapi pada kenyataan tetap
berfungsi misalnya para pengawal raja Muna tetap digunakan oleh raja
Muna dan juga untuk hal-hal penting raja Muna tetap meminta pendapat
kepada para kepala ghoera.
Acuan yang dipakai dalam memberlakukan peraturan bahwa pejabat
baru harus dipilih dari keluarga pejabat yang lama. Hanya dua alasan yang
digunakan bila melanggar aturan dimaksud yaitu apabila tidak ada
keturunan laki-laki dan apabila keturunan laki-laki itu belum cukup umur
atau tidak memiliki kemampuan. Dalam hal ini berarti suami dari anak
perempuan tertua pejabat lama akan dicalonkan. Apabila sama sekali tidak
ada keturunan langsung maka barulah jabatan ini dialihkan kepada
keluarga lain yang masih satu golongan dalam masyarakat. Apabila calon
30
yang berhak masih di bawah umur sehingga diangkat pejabat sementara,
maka pejabat ini harus mengundurkan diri bila sang calon yang sah telah
dinyatakan cukup umur. Di kalangan para La Ode dipakai istilah kaomu,
golongan walaka dipakai kata siwulu dan kalangan maradika dipakai
istilah lee. Pemakaian kata keluarga oleh kalangan La Ode dan walaka
cukup luas. Semua La Ode dianggap satu keluarga karena semuanya
keturunan bheteno ne tombula. Demikian pula para walaka semuannya
dianggap satu keluarga karena semuanya adalah keturunan pendiri
golongan walaka yaitu La Marati, bhonto bhalano pertama, yaitu putra
La Pokainse dari Meno Wamelai.

3.5.1. Pemilihan Raja atau Omputo


Sejak masa pemerintahan raja Muna kesepuluh bernama Muhammad
Idrus gelar Titakono. Jabatan raja Muna bukan lagi warisan keturunan atau
berasal dari putra mahkota akan tetapi sudah melalui proses pemilihan
oleh dewan ahli adat yang disebut Syarat Muna. Adapun Syarat Muna
yang memilih raja Muna adalah bhonto bhalano, fato ghoerano dan
mintarano bhitara. Kapitalao tidak memilih karena ia sendiri bagian dari
calon yang memungkinkan untuk dipilih dan ia juga berasal dari
masyarakat golongan kaumu bukan dari golongan walaka. Para fato
lindono tidak termasuk anggota yang memilih karena mereka adalah
pelayan utama Raja Muna yang tentu saja dianggap tidak netral. Demikian
pula para kino dan mino diundang hadir dalam pemilihan raja akan tetapi
tidak mempunyai hak suara. Kehadiran mereka dalam pemilihan semata-
mata hanya memperkenalkan raja Muna yang baru setelah melakukan
pemilihan. Menurut peraturan adat, raja Muna harus berasal dari salah

31
seorang kapitalao. Ketika jabatan kapitalao ditiadakan, maka calon raja
Muna adalah siapa saja La Ode jika keluarga dekat raja Muna yang lama
tidak ada yang memenuhi syarat. Adapun syarat utama untuk dicalonkan
sebagai raja Muna sebagaimana dikemukakan Couvreur (1935) adalah
sebagai berikut.
1) Mempunyai wibawa dan memiliki banyak pengaruh;
2) Seperasaan dengan bawahannya;
3) Disenangi oleh bawahannya; dan
4) Kompeten untuk jabatan itu.

3.5.2. Bhonto Bhalano


Jabatan bhonto bhalano berasal dari golongan walaka. Yang bisa
dicalonkan dalam jabatan bhonto bhalano adalah mintarano bhitara atau
salah satu dari keempat kepala ghoera. Semula ditentukan bahwa hanya
ghoerano Tongkuno yang bisa menjabat bhonto bhalano. Setelah ada
keadilan dari La Marati (bhonto bhalano pertama), semua kepala ghoera
yang lain (Lawa, Katobu, dan Kabawo) bisa menjabat sebagai bhonto
bhalano. Kepala ghoera Tongkuno dan Lawa boleh langsung dipilih
menjadi bhonto bhalano, sedangkan kepala ghoera Kabawo dan Katobu
bila mencalonkan diri sebagai bhonto bhalano harus lebih dahulu
mengundurkan diri dari jabatan ghoerano, dan pindah berdiam di daerah
Tongkuno dalam Kota Muna sebagai penduduk biasa tanpa ada jabatan. Di
sinilah mereka baru dapat diterima sebagai calon bhonto bhalano. Kepala
ghoerano Tongkuno dan ghoerano Lawa tidak berlaku syarat ini. Biasanya
ghoerano Tongkuno menjabat bhonto bhalano berturut-turut dua kali
barulah dari ghoerano Lawa satu kali. Jabatan bhonto bhalano dipilih

32
oleh ghoerano Kabhawo dan ghoerano Katobu bersama dengan kedua
kapitalao. Orang yang telah dipilih sebagai bhonto bhalano selanjutnya
diteruskan kepada raja Muna untuk mendapatkan persetujuan. Adapun
syarat menjadi bhonto bhalano sebagaimana dikemukakan Couvreur
(1935) adalah sama dengan syarat-syarat pejabat raja Muna, yaitu:
1) Mempunyai wibawa dan memiliki banyak pengaruh;
2) Seperasaan dengan bawahannya;
3) Disenangi oleh bawahannya; dan
4) Kompeten untuk jabatan itu.

3.5.3. Mintarano Bhitara


Jabatan mintarano bhitara berasal dari masyarakat golongan walaka.
Menurut adat Muna, calon-calon pejabat mintarano bhitara adalah berasal
dari ghoerano Tongkuno dan ghoerano Lawa. Ada kesepakatan anggota
syarat Muna bahwa bila jabatan bhonto bhalano berasal dari ghoerano
Tongkuno maka mintarano bhitara harus berasal dari ghoerano Lawa.
Demikian pula bila jabatan bhonto bhalano berasal dari ghoerano Lawa
maka jabatan mintarano bhitara berasal dari ghoerano Tongkuno.
Pemilihan jabatan mintarano bhitara sama dengan pemilihan jabatan
bhonto bhalano yaitu dilakukan oleh ghoerano Kabhawo dengan
ghoerano Katobu dan kedua kapitalao. Apabila ghoerano Kabhawo dan
ghoerano Katobu mencalonkan diri untuk jabatan mintarano bhitara
(berlaku juga untuk bhonto bhalano) maka kedua ghoerano tersebut lebih
dahulu mengundurkan diri dari jabatannya sebagai ghoerano Kabhawo
dan ghoerano Katobu (kedua tempat mereka dinyatakan lowong dan
segera diisi karena dari kedua ghoerano tersebut termasuk peserta yang

33
akan memilih). Adapun syarat-syarat seorang mintarano bhitara sama
dengan syarat-syarat seorang bhonto bhalano dan syarat-syarat raja Muna
(lihat Couvreur, 1935).

3.5.4. Kapitalao
Jabatan kapitalao berasal dari masyarakat golongan kaumu. Seseorang
yang akan dicalonkan menjadi kapitalao harus berasal dari jabatan kino
yang berasal dari delapan kampung yang disebut babato oaluno, yaitu
Laboora, Lakologou, Tobea, Mantobua, Lagadi, Watumelaa, Lasehao, dan
Kasaka. Juga berasal dari ketiga kino bharata; kino bharata Lahontohe,
kino bharata Lohia, dan kino bharata Wasolangka. Jabatan kapitalao
dipilih oleh Dewan Syarat Muna bersama semua kino dan mino. Calon
kapitalao selanjutnya disampaikan oleh bhonto bhalano kepada Raja
Muna untuk mendapatkan persetujuan. Setiap kapitalao wajib memakai
nama kampung asalnya misalnya; kapitalao Lakologou yang berarti
kapitalao yang berasal dari Lakologou, kapitalao Laboora yang berarti
kapitalao yang berasal dari Laboora, dan kapitalao Lohia yang berarti
kapitalao yang berasal dari Lohia. Syarat-syarat seorang Kapitalao
sebagaimana dijelaskan Couvreur (1935) sebagai berikut:
1. cukup kompeten;
2. sangat berani;
3. memiliki wibawa dan pengaruh;
4. seperasaan dengan bawahannya; dan
5. disenangi oleh rakyat.

34
3.5.5. Ghoerano
Jabatan ghoerano berasal dari masyarakat golongan walaka. Dalam
pemilihan kepala ghoera, setiap ghoera harus mengajukan dua calon
masing-masing; calon kepala ghoerano Tongkuno; mino Tondo dan
modhino Tongkuno; calon kepala ghoerano Lawa yaitu dari mino
Kaliwu-Liwu dan modhi kamokula; calon kepala ghoerano Katobu yaitu
mino Labaluba atau modhino Lindo dan calon kepala ghoerano Kabhawo
yaitu mino Karoo dan modhi kamokulano Kabhawo di Rangka (Wapepi).
Apabila dari mereka itu ada yang tidak sanggup atau tidak memiliki
kemampuan dapatlah dicalonkan seorang yang lain dengan syarat masih
siwulu atau keturunan kepala ghoera yang lama. Semua calon yang disebut
itu tidak lepas juga dari siwulu atau keturunan ghoerano yang lama.
Apabila kedudukan mereka lowong penggantinya pun harus dari siwuluno
ghoera tersebut.
Pemilihan antara dua orang yang dicalonkan itu dilaksanakan di
Tongkuno oleh kamokulano Tongkuno, di Lawa adalah kamokulano
Barangka, di Kabawo adalah kamokulano Wapepi, di Katobu oleh
kamokulano Lindo. Di Tongkuno, kamokulano Tongkuno berunding
lebih dahulu dengan orang tua kampung Tongkuno. Setelah itu barulah
kamokula Tongkuno menyampaikan kepada para mino; yaitu mino
Kowouno, mino Pentiro, mino Kancitala, dan mino Mataholeo, calon
mana yang telah ia pilih. Para mino ini selanjutnya menyampaikan kepala
ghoerano Kabhawo, kemudian menyampaikan lagi kepada bhonto
bhalano, dan akhirnya bhonto bhalano menyampaikan hasil pemilihan
calon itu kepada raja Muna. Raja Muna dapat menyetujui atau menolak
hasil itu pemilihan berdasarkan hasil penilaian bersama bhonto bhalano.
35
Apabila raja Muna tidak menyetujui calon tersebut maka setelah berunding
lagi dengan bhonto bhalano ditunjuk seorang lainnya menjadi ghoerano,
dengan syarat masih siwulu atau keturunan ghoerano semula. Di Lawa,
kamokulano Barangka menyampaikan pilihannya kepada semua mino di
ghoerano Lawa dan mereka ini meneruskan kepada ghoerano Katobu,
yang kemudian menyampaikan hasil pilihan calon ghoerano tersebut
kepada bhonto bhalano. Di Katobu, kamokulano Lindo menyampaikan
pilihannya kepada semua mino di ghoerano Katobu dan mereka ini
menyampaikan kepada ghoerano Lawa. Di Kabawo, kamokulano Wapepi
menyampaikan pilihannya kepada semua mino di ghoerano Kabawo, dan
mereka ini menyampaikannya kepada ghoerano Tongkuno.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pengangkatan seorang
ghoerano pada umumnya sama dengan syarat-syarat pengangkatan pejabat
lainnya seperti yang telah disebutkan terdahulu, hanya saja harus ditambah
dengan satu penilaian apakah ada bukti bahwa rakyat bisa menghadapi
waktu yang baik di bawah kepemimpinan orang yang akan diangkat
sebagai ghoerano itu, misalnya hasil ladang yang baik, kurangnya penyakit
di kampung, keamanan kampung, dan lain-lain.

3.5.6. Kino Bharata


Jabatan kino bharata berasal dari masyarakat golongan kaumu.
Setiap kino bharata yang akan diganti terdapat dua orang calon dari antara
kaomu kino. Satu orang dicalonkan oleh syarat bharata dan satu orangnya
dicalonkan oleh ghoerano dan para mino dalam bharata yang
bersangkutan. Para kino dalam ghoera ini tidak diperkenankan untuk
mencalonkan kino bharata karena mereka sendiri berasal dari masyarakat

36
golongan kaumu atau La Ode yang dapat dicalonkan atau terpilih.
Ghoerano menyampaikan kedua calon itu kepada bhonto bhalano.
Kemudian, bhonto bhalano bersama Syarat Muna memilih salah seorang
dari kedua calon itu. Hasil pemilihan Syarat Muna ini disampaikan oleh
bhonto bhalano kepada raja Muna, biasanya raja Muna langsung
menyetujuinya. Apabila raja Muna menolaknya, maka harus dicalonkan
orang yang baru dengan syarat-syarat yang sama dengan syarat yang
berlaku untuk kapitalao.

3.5.7. Kino dan Meno


Jabatan kino berasal dari masyarakat golongan kaumu (La Ode) dan
jabatan mino berasal dari golongan masyarakat walaka, tetapi
ketentuannya baik kino maupun mino harus berasal dari kaomu atau
siwulu atau keturunan pejabat yang lama. Apabila posisi kino dan mino
dalam keadaan lowong atau kosong, Syarat Muna melalui ghoerano yang
bersangkutan memerintahkan bhontono liwu atau kamokula kampung
agar penduduk kampung (tidak termasuk golongan budak) mengajukan
calon mereka. Pada zaman dahulu kino dan mino harus dipilih dari
golongan kaumu dan walaka yang berdomisili di Kota Muna. Apabila
tidak ada calon, syarat kampung menyampaikan kepada ghoerano untuk
diteruskan kepada Syarat Muna. Dalam hal ini Syarat Muna juga
mengajukan seorang calon. Kemudian Syarat Muna memilih salah satu di
antara kedua calon tersebut. Hasil pemilihan ini disampaikan kepada Raja
Muna melalui bhonto bhalano, dan apabila tidak ada maka boleh melalui
ghoerano Tongkuno. Syarat-syarat seorang kino dan mino adalah sama
dengan syarat-syarat pejabat lainnya. Menurut Couvreur (1935), sejak

37
tahun 1930-an pengangkatan dan pemberhentian semua kino dan mino
dilakukan oleh pemerintah otonomi Buton (Zelfbestuur). Pengangkatan itu
dilakukan setelah proses pemilihan oleh penduduk kampung, sesuai
peraturan pemilihan yang berlaku.

3.5.8. Bhontono Liwu dan Kamokula


Jabatan bhontono liwu dan kamokula berasal dari masyarakat
golongan maradika dan dipilih dari maradika poino kontu lakono sau.
Mereka dipilih oleh masyarakat dari kampung tempat domisili. Hasil
pemilihan seorang bhontono liwu dan kamokula disampaikan kepada kino
atau mino dari kampung tersebut. Syarat-syarat pengangkatannya, yaitu:
1) memiliki wibawa di kampung tersebut; dan
2) disenangi penduduk kampung.
Ada harapan dalam masa jabatannya, rakyat akan menghadapi waktu
yang bahagia teristimewa mengenai hasil perladangan.

3.5.9. Parabhela
Jabatan parabhela berasal dari golongan maradika dan dipilih dari
maradika poino kontu lakono sau. Pencalonan biasanya atas permintaan
bhontono liwu atau kamokula yang kemudian menyampaikan kepada kino
atau mino kampung yang bersangkutan. Syarat-syarat pengangkatannya
sama dengan syarat pengangkatan bhontono liwu dan kamokula.

3.5.10. Pengawal Raja


Para pengawal Raja Muna sebagaimana dijelaskan Couvreur (1935)
terdiri atas:
1. empat orang Lotenani, yaitu satu orang tiap ghoera;
38
2. dua orang Firisino Pasi yaitu satu orang dari ghoerano Tongkuno
dan Kabawo dan satu orang dari ghoerano Lawa dan Katobu;
3. empat orang Firisino Kolaki yaitu satu orang setiap ghoera;
4. empat orang Siriganti yaitu satu orang tiap ghoera;
5. satu orang kapita;
6. empat orang Bhonto Kapili yaitu satu orang setiap ghoera;
7. empat orang Kapili yaitu satu orang setiap ghoera; dan
8. empat puluh orang Pasi yaitu sepuluh orang setiap ghoera.

Apabila terdapat lowongan atau pergantian petugas maka para


Letenani, firisino kolaki, siriganti dan bhonto kapili langsung ditunjuk
oleh kepala ghoera di wilayah ghoera yang ada lowongan itu. Mereka ini
berasal dari keturunan bhonto bhalano pertama La Marati; dari keturunan
empat ghoerano yang pertama dan dari keturunan mino yang diangkat
pertama. Semua pengawal raja yang telah disebutkan itu berasal dari
golongan masyarakat walaka. Jabatan-jabatan ini tidak dilakukan
pemilihan; penunjukan atau penugasan langsung yang tidak boleh ditolak.
Satu orang firisino pasi untuk ghoerano Tongkuno dan Kabhawo dan satu
orang firisino pasi untuk ghoerano Lawa dan Katobu sebagaimana telah
disebutkan di atas harus dilakukan secara bergilir dari salah satu ghoera.

3.5.10.1. Kapita
Jabatan kapita berasal dari masyarakat golongan kaumu, yaitu dari
keturunan raja Muna, kapitalao, dan kino yang pertama-tama diangkat.
Ada dua orang yang dicalonkan yaitu satu orang dari ghoerano Tongkuno
dan Kabhawo dan yang satu orang lagi dari ghoerano Lawa dan Katobu.
Kedua calon itu disampaikan kepada bhonto bhalano oleh ghoerano
39
Tongkuno. Kemudian bhonto bhalano dan mintarano bhitara memilih
salah satu di antara kedua calon itu. Syarat-syarat pengangkatan kapita
sama seperti syarat pengangkatan kapitalao.

3.5.10.2. Kapili
Jabatan kapili berasal dari masyarakat golongan maradika atau lee
(keturunan) maradika. Apabila terdapat lowongan jabatan kapili, bhonto
kapili menyampaikan kepada kamokula dari Tongkuno, Barangka, Lindo
atau Wapepi tergantung di mana lowongan itu ada, apakah ada di ghoerano
Tongkuno, Lawa, Katobu, atau Kabhawo. Kamokula ini kemudian
berunding dengan para kamokula dan mino dalam ghoera, di mana
terdapat lowongan fungsi atau jabatan kapili. Seorang kapili berasal dari
maradika poino kontu lakono sau. Setelah ada penunjukan kapili yang
baru maka harus disampaikan kepada bhonto kapili oleh kamokula yang
bersangkutan. Syarat-syarat mengangkat seorang kapili adalah harus
memiliki tubuh yang kekar.

3.5.10.3. Pasi
Jabatan pasi berasal dari golongan anangkolaki. Mereka diangkat
oleh siriganti berjumlah 40 orang yaitu setiap ghoera terdiri atas sepuluh
orang. Apabila jabatan pasi lowong maka siriganti menyampaikan kepada
bhontono liwu atau kamokula kampung asal pasi yang lama. Siriganti
mencari tahu siapa yang tergolong lee tersebut.

40
3.5.11. Pengangkatan Para Pejabat di Bharata
3.5.11.1. Pejabat di Bharata Lahontohe
Jabatan mintarano bhitara di bharata Lahontohe berasal dari
golongan anangkolaki. Biasanya calon mintarano bhitara ada tiga orang
yaitu Letonani, seorang anangkolaki dan seorang modhi. Jabatan
mintarano bhitara dipilih oleh bhontono liwu dua orang parabhela,
seorang anangkolaki yang tidak dicalonkan serta semua pejabat agama
dan para tokoh masyarakat yang ada di wilayah bharata tersebut. Setelah
mintarano bhitara terpilih, maka bhontono liwu, kedua parabhela dan
sangkolaki pergi kepada kino menyampaikan perihal hasil pemilihan.
Seorang kino bisa saja menolak calon terpilih, dan apabila hal ini terjadi,
maka harus diadakan pemilihan yang baru dengan calon yang lain lagi.
Syarat-syarat pengangkatan jabatan mintarano bhitara di bharata
Lahontohe, yaitu:
1. seorang yang cukup berada;
2. disenangi penduduk dan berwibawa; dan
3. menguasai adat.

Jabatan sangkolaki dipilih oleh semua anangkolaki dari antara


mereka. Setelah terpilih, maka sangkolaki yang sudah ada menyampaikan
perihal hasil pemilihan kepada mintarano bhitara. Mintarano bhitaralah
yang menyampaikan kepada kino. Syarat pengangkatan sangkolaki adalah
memiliki wibawa di kalangan anangkolaki.
Jabatan bhontono liwu berasal dari golongan maradika poino kontu
lakono sau. Calon pejabat bhontono liwu adalah kedua parabhela. Para
pemilih adalah semua golongan maradika di kampung tersebut, baik para

41
anangkolaki maupun para poino kontu lakono sau. Syarat menjadi
bhontono liwu adalah ada harapan dalam masa jabatannya rakyat akan
menghadapi waktu yang bahagia terutama terkait dengan keberhasilan
perladangan mereka. Itulah sebabnya apabila terjadi kegagalan panen
bhontono liwu yang dipersalahkan bahkan sampai dipecat dan diganti
orang lain. Syarat lainnya adalah ia harus berwibawa dalam kampung
tersebut.
Jabatan parabhela dipilih oleh semua maradika poino kontu lakono
sau dari antara mereka. Hasil pemilihan disampaikan oleh bhontono liwu
kepada mintarano bhitara yang kemudian diteruskan kepada kino. Baik
bhontono liwu, mintarano bhitara maupun kino semuanya memiliki hak
veto terhadap parabhela.
Lotenani, kapita dan kino Lianosaa dan kino Wakawonenta adalah
berasal dari golongan anangkolaki. Siriganti, bhonto kapili dan isano
kapili berasal dari golongan maradika poino kontu lakono sau. Setiap
jabatan tersebut dicalonkan dua orang. Syarat-syarat pengangkatan
mereka, yaitu:
1. seorang yang cukup berada;
2. memiliki wibawa di kampung; dan
3. memiliki sifat berani.

3.5.11.2. Pejabat di Bharata Lohia


Jabatan bhontono liwu di bharata Lohia berasal dari golongan
anangkolaki. Untuk jabatan ini dicalonkan dua orang, yang pada zaman
dahulu adalah lotenani dan firisi. Ketika kedua pejabat itu ditiadakan
(lotenani dan firisi) maka calon bhontono liwu diambil dari keturunan

42
lotenani dan firisi yang lama. Bhontono liwu dipilih oleh keempat orang
parabhela. Syarat pengangkatannya sama dengan syarat pengangkatan
bhontono liwu di bharata Lahontohe.
Jabatan parabhela di Lohia berasal dari golongan maradika poino
kontu lakono sau. Mereka ini tidak dapat dipilih sebagai bhontono liwu
sebagaimana yang terjadi di bharata Lahontohe. Menurut Couvreur
(1935) bahwa sebelum tahun 1919 terdapat empat orang parabhela yaitu
parabhelano Lele, parabhela Wakatumende, parabhelano Wunta, dan
parabhelano Wakantolihi. Apabila kedudukan parabhela lowong,
seorang parabhela yang baru dipilih dan oleh parabhela yang lainnya dari
semua orang maradika poino kontu lakono sau. Syarat-syaratnya sama
dengan yang berlaku pada parabhela Laghontoghe.
Adapun jabatan wati diangkat oleh siriganti dari golongan maradika
poino kontu lakono sau. Kemudian lotenani firisi yang berasal dari
golongan anangkolaki, sedangkan siriganti berasal dari golongan
maradika poino kontu lakono sau. Mereka ini tidak dipilih akan tetapi
langsung ditunjuk oleh parabhela dari lee (keturunan) pejabat lama. Hasil
penunjukan disampaikan oleh parabhela kepada bhontono liwu untuk
diteruskan kepada kino. Syarat-syaratnya sama dengan yang berlaku di
bharata Laghontoghe.
Para mesandano ada di kampung Tongkuno, Barangka, Lindo dan
Wapepi. Mesandano ini berjumlah lima orang karena ghoerano
Tongkuno memiliki dua orang mesandano. Mesandano ditunjuk oleh
kamokula kampung di mana terdapat lowongan jabatan tersebut, diambil
dari lee pejabat yang lama. Dalam penunjukkan mesandano yang besar,
kamokula berunding dengan orang-orang di kampung tersebut.
43
IV. Asal-Usul La Ode, Walaka dan Maradika
Istilah La Ode, walaka dan maradika digunakan dalam sistem
pemerintahan Kerajaan Muna dimulai pada masa pemerintahan raja Muna
kesepuluh bernama Muhammad Idrus gelar Titakono. Diketahui
Muhammad Idrus gelar Titakono (raja Muna kesepuluh) adalah putra
Rampe Isomba gelar Kerawawono (raja Muna kesembilan) yaitu adik
Lakilaponto gelar Murhum atau La Tolaki (raja Muna ketujuh, raja Buton
keenam, sultan Buton pertama)  putra Sugimanuru (raja Muna keenam)
 putra Sugi La Ende (raja Muna kelima)  putra Sugi Patani (raja Muna
keempat)  putra Sugi Ambona (raja Muna ketiga)  putra Sugi Patola
(raja Muna kedua)  putra Baidhizzamani gelar bheteno ne Tombula
(raja Muna pertama), nama lainnya adalah La Eli.
Pada masa pemerintahan raja Muna kesepuluh bernama Muhammad
Idrus gelar Titakono ini diadakan jabatan bhonto bhalano (mentri besar)
pertama di dalam struktur pemerintahan kerajaan Muna. Bhonto bhalano
pertama dijabat oleh La Marati, yaitu putra La Pokainse hasil
perkawinannya dengan Wa Ode Pogo (putri Sugimanuru, raja Muna
keenam). Setelah ditetapkan menjadi bhonto bhalano, kemudian La
Marati bersama Muhammad Idrus gelar Titakono raja Muna kesepuluh
membagi golongan masyarakat Muna ke dalam tiga golongan; pertama,
golongan La Ode nama keturunannya disebut kaomu yaitu berpangkal dari
anak laki-laki dengan permaisuri (keturunan para sugi); kedua, golongan
walaka nama keturunannya disebut siwulu yaitu berpangkal dari anak
perempuan Sugimanuru dengan permaisuri yang dikawini La Pokainse
bukan keturunan sugi, dan ketiga, golongan maradika nama keturunannya
disebut lee yaitu berpangkal dari anak-anak Sugimanuru hasil
44
perkawinannya dengan salah seorang perempuan yang diriwayatkan
berasal dari Banggai bernama Wa Sarone.
Menurut Silsilah Bangsawan Buton (lihat lampiran 4, 5 dan 6),
Lakilaponto memiliki dua nama yang lain yaitu Murhum dan La Tolaki.
Lakilaponto adalah putra Sugimanuru, hasil perkawinannya dengan Wa
Tubapala. Adapun Wa Tubapala adalah putri Kijula hasil perkawinannya
dengan Wa Randea. Wa Randea adalah putri raja Tiworo, sedangkan
Kijula adalah putra Bataraguru (raja Buton ketiga). Adapun Bataraguru
adalah putra La Baluwu hasil perkawinannya dengan Bulawambona (raja
Buton kedua) dan Bulawambona adalah putri Sibatara hasil
perkawinannya dengan Wa Kaakaa (raja Buton pertama). La Baluwu
adalah putra Sangariarana. Sangariarana adalah putra Betoambari dan
Betoambari adalah putra Sipajonga. Diuraikan pula bahwa perkawinan
Sugimanuru dengan Wa Tubapala dikaruniai anak tiga orang yaitu
Lakilaponto timbang-timbangannya Murhum atau La Tolaki, La Posasu
(kabangkuduno) dan Karamaguna atau Wa Ode Pogo. Adapun
Sugimanuru adalah putra Sugi Laende (raja Muna kelima), Sugi Laende
adalah putra Sugi Patani (raja Muna keempat), Sugi Patani adalah putra
Sugi Ambona (raja Muna ketiga), Sugi Ambona adalah putra Sugi Patola
(raja Muna kedua), dan Sugi Patola adalah Putra La Eli atau Baiduzzamani
gelar Bheteno ne Tombula. Lakilaponto (raja Buton keenam, sultan Buton
pertama) mengawini Wa Sameka dikaruniai anak tiga perempuan, yaitu:
1. Paramasuni;
2. Wa Sugirumpu; dan
3. Wa Betau.

45
Wa Sameka adalah putri Nganciraja. Nganciraja adalah putra
Tuamaruju, Tuamaruju adalah putra Bataraguru (raja Buton tiga),
Bataraguru adalah putra La Baluwu hasil perkawinannya dengan
Bulawambona (raja Buton kedua), Bulawambona adalah putra Sibatara
hasil perkawinannya dengan Wa Kaakaa (raja Buton pertama), sedangkan
La Baluwu adalah putra Sangariarana (bhonto Baluwu I), Sangariarana
adalah putra Betoambari (bhonto Peropa I). Adapun Betoambari adalah
putra Sipajonga (raja dari Pulau Liya Tanah Melayu). Kemudian
Lakilaponto mengawini Wa Tampaidonge (bhoroko Malanga) dikaruniai
anak 3 orang: 2 orang laki-laki,
1. La Tumparasi (Sultan Buton kedua);
2. La Sangaji (Sultan Buton ketiga);
dan seorang perempuan,
3. Wa Bunganila.
Adapun Wa Tampaidonge adalah putri Rajamulae (raja Buton
kelima). Rajamulae bersaudara kandung dengan Nganciraja, yaitu putra
Tuamaruju yang juga putra Bataraguru. Kemudian Lakilaponto juga
mengawini perempuan lain dikaruniai seorang laki-laki yaitu Sangia Rape.
Adapun Sangia Rape adalah ayah Sangia Wambulu. Diriwayatkan pula
bahwa Lakilaponto mengawini seorang perempuan dari Muna dikaruniai
anak seorang laki-laki bernama Kiysuara.
Paramasuni dikawini La Siridatu dikaruniai anak 8 orang anak: 7
orang laki-laki,
1. La Elangi gelar Dayanu Ikhsanuddin (sultan Buton keempat);
2. La Nganjiraja (Sangia Waero-ero);
3. La Faajara (Sangia Lampenano);
46
4. La Rajangkatu (Sangia Lahulu);
5. La Siribaja (Sangia Kambowa);
6. La Kandawa (Sangia Gundu-Gundu);
7. La Mantara (Sangia Lantongau);
dan seorang perempuan,
8. Wa Salangi (Sangia Wawonowo).

Wa Bunganila dikawini La Kabaura dikaruniai anak 2 orang laki-


laki, yaitu:
1. La Bula (Lalaki Mancuana di Kumbewaha); dan
2. La Singga (Sangia di Tapi-Tapi).

Diketahui La Kabaura bersaudara kandung dengan La Siridatu yaitu


putra La Maindo hasil perkawinannya dengan Wa Banaka (anak Sapati
Rampagau atau Manjawari). La Maindo adalah putra La Katuturi dan La
Katuturi adalah putra Rajamanguntu hasil perkawinannya dengan Wa
Salangi (putri raja Tobe-Tobe). Adapun Rajamanguntu putra Bataraguru
(raja Buton ketiga) hasil perkawinannya dengan Wa Eloncugi (anak
Dungku Cangia).

47
V. Hubungan Kerajaan Wuna dan Kerajaan Wolio
Sebelum menjelaskan hubungan Kerajaan Wuna dan Kerajaan Wolio,
lebih dahulu menjelaskan tentang posisi Kerajaan Buton di kawasan
kepulauan Nusantara serta sejarah berdirinya Kerajaan Buton di wilayah
Sulawesi Tenggara. Dalam sejarah Nusantara, Kerajaan Buton tercatat
sebagai salah satu Kerajaan Melayu dari 70 buah Kerajaan Melayu yang
tersebar di seluruh kepulauan Nusantara dan juga tercatat sebagai satu-
satunya Kerajaan Melayu yang terletak di Sulawesi Tenggara. Hal ini
sebagaimana dijelaskan Choo Ming (2008:15) sebagai berikut.
1. Kerajaan Melayu di Aceh:
1. Kerajaan Aceh;
2. Kerajaan Samudera Pasai;
3. Kerajaan Perlak;
4. Kerajaan Bendahara;
5. Kerajaan Karang;
6. Kerajaan Sutan Muda; dan
7. Kerajaan Muda.

2. Kerajaan Melayu di Sumatra Utara:


8. Kerajaan Langkat;
9. Kerajaan Serdang;
10. Kesultanan Deli;
11. Kerajaan Haru;
12. Kerajaan Asahan; dan
13. Kerajaan Pasai.

48
3. Kerajaan Melayu di Riau dan Kepulauan Riau:
14. Kerajaan Tambusai;
15. Kerajaan Kunto;
16. Kerajaan Rokan;
17. Kerajaan Kepenuhan;
18. Kerajaan Empat Koto Rokan;
19. Kerajaan Rambah;
20. Kerajaan Koto Kampar;
21. Kerajaan Pekan Tua;
22. Kerajaan Segati;
23. Kerajaan Siak;
24. Kerajaan Gasik;
25. Kerajaan Pelalawan;
26. Kerajaan Kampar Kiri;
27. Kerajaan Gunung Sahilan;
28. Kerajaan Kandis-Kuantan;
29. Kerajaan Cerenti;
30. Kerajaan Indragiri;
31. Kerajaan Keritang
32. Kesultanan Riau-Lingga; dan
33. Kerajaan Binta.

4. Kerajaan Melayu di Singapura:


34. Kerajaan Temasik.

49
5. Kerajaan Melayu di Malaysia Barat:
35. Kerajaan Melaka;
36. Kerajaan Johor;
37. Kerajaan Perak;
38. Kerajaan Pahang;
39. Kerajaan Kelantan; dan
40. Kerajaan Kedah.

6. Kerajaan Melayu di Thailand:


41. Kerajaan Pattani.

7. Kerajaan Melayu di Sumatra Barat:


42. Kerajaan Pagaruyung.

8. Kerajaan Melayu di Jambi:


43. Kerajaan Kandali;
44. Kerajaan Koying; dan
45. Kerajaan Melayu-Jambi.

9. Kerajaan Melayu di Sumatra Selatan:


46. Kerajaan Sriwijaya; dan
47. Kerajaan Palembang.

10. Kerajaan Melayu di Lampung:


48. Kerajaan Skala Brak; dan
49. Kerajaan Tulang Bawang.

50
11. Kerajaan Melayu di Bangka Belitung:
50. Negeri Bangka-Belitung.

12. Kerajaan Melayu di Kalimantan Barat:


51. Kerajaan Sambas;
52. Kerajaan Kadriah; dan
53. Kerajaan Mempawah.

13. Kerajaan Melayu di Kalimantan Selatan:


54. Kerajaan Banjar.

14. Kerajaan Melayu di Kalimantan Timur:


55. Kerajaan Pasir;
56. Kerajaan Kutai Kartanegara;
57. Kerajaan Berau;
58. Kerajaan Sambaliung;
59. Kerajaan Gunung Tabur; dan
60. Kerajaan Bulungan.

15. Kerajaan Melayu di Brunei Darussalam:


61. Kerajaan Brunei.

16. Kerajaan Melayu di Sulawesi Selatan:


62. Kerajaan Gowa;
63. Kerajaan Bone; dan
64. Kerajaan Luwu.

51
17. Kerajaan Melayu di Sulawesi Tenggara:
65. Kerajaan Buton.

18. Kerajaan Melayu di Maluku:


66. Kerajaan Tanah Hitu;
67. Kesultanan Ternate; dan
68. Kesultanan Tidore.

19. Kerajaan Melayu di Nusa Tenggara Barat:


69. Kerajaan Lombok; dan
70. Kerajaan Bima.

Jauh sebelum Kerajaan Buton berdiri, di Sulawesi Tenggara telah


berdiri beberapa kerajaan di antaranya Kerajaan Pancana (kemudian
berubah nama menjadi Kerajaan Wuna), Kerajaan Tiworo, kerajaan
Mekongga, Kerajaan Kabaena, Kerajaan Todanga, Kerajaan Tobe-Tobe,
Kerajaan Tumada, Kerajaan Batauga, Kerajaan Wawoangi dan Kerajaan
Kaledupa. Keseluruhan kerajaan yang disebutkan ini berdiri secara otonom
baik dari segi pemerintahan, hukum adat, kebudayaan, maupun dari segi
pertahanan dan keamanan wilayahnya.
Dikisahkan dalam Hikayat Negeri Buton bahwa Kerajaan Buton
merupakan kerajaan yang terakhir yang berdiri di wilayah daratan Pulau
Buton. Kerajaan ini didirikan oleh keturunan para pendatang dari bangsa
Melayu, yaitu pertama kali dirintis oleh empat orang tokoh; Sipajongan,
Sitamanajo, Simalui, dan Sijawangkati. Keempat tokoh ini kemudian
dikenal dengan nama “Mia Pata Miana” (tokoh yang empat orangnya).
Hasil rintisan keempat tokoh ini (La Niampe, 2018: 8) kemudian

52
dilanjutkan oleh Betoambari (putra Sipajongan) dan Sangariarana (putra
Betoambari). Dalam sejarah Buton, Betoambari diketahui sebagai mentri
Peropa yang pertama dan Sangariarana diketahui sebagai mentri Baaluwu
yang pertama. Kedua mentri inilah yang mengangkat raja Buton yang
pertama bernama Wa Kaakaa. Asal-usul Wa Kaakaa yang dimitoskan
lahir dari bambu “bheteno ne tombula” juga berasal dari beberapa versi;
berasal dari Kerajaan Majapahit, dari Arab dan dari negeri Cina. Menurut
adat Wolio, keturunan Betoambari dan Sangariarana ditetapkan sebagai
pangkal keturunan walaka yaitu golongan ahli adat dan keturunan Raja
Wa Kaakaa ditetapkan sebagai pangkal keturunan kaomu yaitu golongan
ahli pemerintahan.
Pusat pemerintahan Kerajaan Buton bernama “Wolio” dari kata welia
yang berarti “menebas” kemudian menjadi “saya senang tinggal di sini”.
Dalam versi lain, kata Wolio berasal dari kata “waliu” yang berarti “wali
Allah” atau negeri para wali. Dalam pada itu, anak-anak negeri menyebut
kerajaan ini dengan nama Wolio atau kerajaan Wolio. Masyarakat dari
luar kepulauan Buton dan Muna (Sulawesi Tenggara) terutama kalangan
bangsa Melayu di Nusantara mengenal kerajaan ini dengan nama Buton
atau Butun dari bahasa Melayu, yaitu nama jenis pohon palem
(bariringtonia asiatica) yang biasanya tumbuh di hutan pesisir pantai (La
Niampe, 1992: 2). Jenis pohon ini banyak tumbuh di wilayah kepulauan
Sulawesi bagian tenggara. Para pedagang dari Semenanjung Melayu yang
melintasi kepulauan Nusantara bagian Timur khususnya untuk tujuan
Ternate, kepulauan ini selain menjadi tempat persinggahan mereka (jalur
lalu lintas perdagangan Nusantara), juga penduduk pulau ini banyak yang
menjadi mitra dagang maupun saingan dagang mereka. Versi lain (lihat
53
Zahari, 1984: 12-14) menjelaskan bahwa nama Buton berasal dari bahasa
Arab “Butuuni” sebagaimana tertulis dalam Al-Quran yang berarti
“mengandung” selanjutnya dijelaskan dalam hadist nabi yang berarti
“menempati tempat ketinggian”. Hal ini sebagaimana tersurat dalam teks
naskah “kanturuna mohelano” berikut ini.

tuamo siy yaku kupatindamo


ikompona incema uyincana
kaapaaka upeelu butuuni
kumaanaia butuuni kokompo
motodikana inuncana kuraani
yitumo duka nabiyta akooni
apaincana sababuna tana siy
tuamo siy auwalina wolio
indaa kumondoa kupetula-tulaakea
soo kudingki auwalina tua siy
taoakana akosaro butuuni
ambooresimo pangkati kalangaana

Terjemahan:
demikian ini kutanyakan
di perut siapa kamu lahir
sebab karena suka butuuni
kuartikan butuuni mengandung
seperti tertera di dalam al-quran
itu pula nabi kita bersabda
melahirkan sebabnya tanah ini
54
demikian ini awalnya wolio
tidak selesai kuceritakan
hanya sedikit awalnya seperti ini
sebab dinamakan butuuni
menempati pangkat ketinggian

Pertama-tama cikal-bakal wilayah Kerajaan Wolio (Buton) adalah


kampung Tobe-Tobe yang diketahui sebagai wilayah pemukiman
Sipajongan (salah seorang raja dari Pulau Liya tanah Melayu). Kemudian
kampung Tobe-Tobe dimekarkan menjadi tiga kampung, yaitu kampung
Tobe-Tobe, Peropa dan Baaluwu (lihat La Niampe, 2018: 8). Kepala
kampung Peropa (bhontona Peropa) pertama bernama Betoambari dan
kepala kampung Baaluwu (bhontona Baaluwu) yang pertama bernama
Sangariarana. Setelah Betoambari atau Sangariana ditetapkan atau
diangkat menjadi kepala kampung (Peropa dan Baaluwu), mereka
kemudian mengangkat Wa Kaakaa sebagai raja Wolio (Buton) yang
pertama. Sebelum mereka mengawinkan Wa Kaakaa dengan Sibatara,
lebih dahulu memekarkan kampung Peropa dan kampung Baaluwu
menjadi delapan kampung; kampung Peropa dimekarkan menjadi lima
kampung yaitu kampung Peropa, Gundu-Gundu, Kadatua, Rakia dan
Gama, sedangkan kampung Baaluwu dimekarkan menjadi tiga kampung
yaitu kampung Baaluwu, Barangkatopa dan Wandailolo. Dengan
demikian, wilayah Kerajaan Wolio pada masa pemerintahan Wa Kaakaa
(raja Buton pertama) baru meliputi sembilan kampung yaitu; kampung
Tobe-Tobe, Peropa, Baaluwu, Gundu-Gundu, Kadatua, Rakia, Gama,
Barangkatopa dan Wandailolo.

55
Sebagai kerajaan baru di wilayah daratan Pulau Buton, pihak
pemerintah Kerajaan Wolio berusaha memperluas kekuasaannya dengan
cara memasukkan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di sekitarnya, baik
melalui persahabatan maupun perkawinan antarelite kerajaan. Pertama-
tama sahabat Kerajaan Wolio yang bergabung dengan Kerajaan Wolio
adalah Kerajaan Kamaru. Diketahui Betoambari (mentri Peropa pertama)
mengawini putri raja Kamaru bernama Sabanang. Perkawinan mereka
dikaruniai anak seorang laki-laki bernama Sangariarana yaitu mentri
Baaluwu yang pertama. Sangariarana mengawini Wa Guntu yang juga
berasal dari Kerajaan Kamaru. Karena itulah Kerajaan Kamaru merupakan
kerajaan yang pertama yang bergabung dengan Kerajaan Wolio (Buton).
Wilayah Kerajaan Wolio semakin luas dan besar. Empat orang putra
Bataraguru (raja Buton ketiga) masing-masing Raamanguntu, Tuamaruju,
Tuarade dan Kijula sangat besar andilnya dalam mempengaruhi kerajaan-
kerajaan kecil di wilayah kepulauan Buton sehingga bersedia bergabung
dengan Kerajaan Wolio (Buton). Ketika Tuarade diangkat menjadi raja
Wolio keempat yaitu menggantikan ayahandanya Bataraguru, kehidupan
anak negeri sangat harmonis, rukun dan damai serta penuh persahabatan.
Dalam pada itu saudara Tuarade bernama Tuamaruju pergi membina
persahabatan dengan pihak Kerajaan Todanga dan Kerajaan Tumada
selanjutnya bergabung dengan Kerajaan Wolio. Demikian pula
Rajamanguntu pergi membina persahabatan dengan pihak Kerajaan
Batauga dan Kerajaan Wawoangi dan selanjutnya dibawa bergabung ke
dalam Kerajaan Wolio. Adapun Kijula pergi ke pihak Kerajaan Tiworo di
kepulauan Muna. Ia mengawini putri raja Tiworo bernama Wa Randea.
Salah seorang putri mereka bernama Wa Tubapala yaitu dikawini oleh
56
Sugimanuru raja Muna keenam. Perkawinan Sugimanuru dengan
Watubapala (lihat lampiran 4, 5 dan 6) dikaruniai anak tiga orang, dua
orang anak laki-laki dan seorang perempuan. Kedua orang laki-laki itu
yaitu Lakilaponto atau Murhum atau La Tolaki, dan La Posasu gelar
Kobangkuduna dan satu orang perempuan bernama Karamaguna atau Wa
Ode Pogo. Kecuali Kerajaan Tiworo, seluruh kerajaan yang bersahabat
dengan Kerajaan Buton di kemudian hari bersatu dengan Kerajaan Wolio
dan rakyatnya menjadi rakyat Kerajaan Wolio. Pemerintahan mereka
berstatus kadie berjumlah 72 kadie, 32 kadie dipimpin oleh bhonto dari
masyarakat golongan walaka dan 40 kadie dipimpin oleh bobato atau
lakina berasal dari masyarakat golongan kaomu.
Kerajaan Wolio mencapai puncaknya sebagai kerajaan persekutuan
yang besar terjadi pada masa pemerintahan Raja Lakilaponto atau Murhum
atau La Tolaki yang dalam sejarah Wolio dikenal sebagai raja yang
keenam atau sultan yang pertama. Diketahui bahwa Lakilaponto atau
Murhum atau La Tolaki adalah putra raja Muna keenam bernama
Sugimanuru yaitu hasil perkawinannya dengan Wa Tubapala (lihat
lampiran 4, 5 dan 6). Menurut riwayat, bahwa Lakilaponto diangkat
menjadi raja di Wolio (Buton) sementara menjabat raja Muna yang
ketujuh. Pada masa itu, ia tidak langsung menyerahkan jabatan raja Muna
kepada adiknya bernama La Posasu gelar Kobangkuduno, akan tetapi tetap
menjalankan sendiri sehingga ia merangkap dua jabatan raja sekaligus
yaitu sebagai raja Muna dan sebagai raja Wolio (Buton). Dalam
menjalankan kepemimpinan sebagai raja Wolio, Lakilaponto menerapkan
sebagian peraturan adat Kerajaan Muna di Kerajaan Wolio. Hal ini

57
sebagaimana disuratkan dalam kitab naskah Buton berjudul “Silsilah
Bangsawan Buton” seperti berikut.

“Maka tatkala ada kerajaan Lakilaponto maka diambilnya istiadat


daripada neregi Wuna yaitu lima istiadat; pertama, upeti seperti
buah-buahan kayu dan seperti kayu batari; dan kedua, kahoti; ketiga,
kebun seperti kabutu dan bante; keempat, kerbau; kelima, rambanua
dan moose. Yaitulah maka jumlahnya jadi dua belas istiadat di dalam
tangan raja Buton itu”.

Pengangkatan Lakilaponto menjadi raja Wolio (Buton) merangkap


jabatan raja Muna pada masa itu, tidak berarti Lakilaponto telah
momposisikan Kerajaan Muna menjadi bagian atau bawahan Kerajaan
Wolio akan tetapi justru menempatkan Kerajaan Wolio agar sejajar dengan
Kerajaan Muna. Kedua kerajaan dipimpin seorang raja akan tetapi masing-
masing kerajaan berdiri secara otonomi, baik dari segi pemerintahan,
kebudayaan maupun dari segi hukum adat. Pada masa itu, tampaknya raja
Lakilaponto atau Murhum selama menjadi raja Wolio (Buton) tidak saja
menggabungkan kepemimpinan dua kerajaan (Kerajaan Muna dan Wolio)
tetapi ia juga berhasil menggabungkan pemerintahan kerajaan lain menjadi
sekutu Kerajaan Wolio. Hal ini sebagaimana disuratkan dalam kitab
“Silsilah Bangsawan Buton” sebagai berikut.

“Adapun tatkala Murhum menjadi raja dalam negeri Buton ini,


tatkala dikaruniai Murhum maka menjadi sekalian negeri, karena
raja Lakilaponto itu membawahi negeri yang besar yaitu Buton dan
Wuna. Jadi takut sekalian negeri ini seperti Kaledupa dialihnya,

58
Kabaena dialihnya, mekongga dialihnya, maka sekalian negeri pun
dialihnya oleh Murhum”.

Pada masa lampau (masa sebelum kolonial Belanda) hubungan negeri


Muna dan negeri Buton tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Menurut
riwayat para orang tua dari kedua negeri bahwa simbol kedekatan dalam
hubungan mereka itu dalam bahasa Muna disebut “Dopofoghonu mina
naseise, dopogaati mina nakogholota” dan dalam bahasa Wolio disebut
“Aporomu yinda aposaangu, apogaa yinda koolota” yang artinya
“berkumpul tidak bersatu, berpisah tidak berantara”. Ibarat tubuh
manusia, Muna adalah kakinya dan Buton adalah kepalanya, dan ibarat
sebuah rumah panggung, Muna adalah tiangnya dan Buton adalah
badannya, serta ibarat adat dan agama Islam, Muna adalah adatnya dan
Buton adalah agama Islam. Apa yang disebutkan terakhir ini itulah yang
menjadikan berkah kedua negeri sehingga tersebut di dalam mantra bahasa
Muna “Kabarakatino witeno Wuna bhe mieno Wolio, yang dimaksudkan
bahwa, orang Muna berkah tanahnya atau adatnya dan orang Wolio
berkah orangnya atau agamanya. Itulah pula sehingga pemimpin Buton
bergelar sultan sebagai simbol menjunjung tinggi agama Islam dan
pemimpin di Muna tetap bergelar raja sebagai simbol menjunjung tinggi
adat. Berpisahnya agama dan adat berarti berpisahnya Muna dan Buton.
Raja-raja di Muna dan di Buton secara turun-temurun memiliki
hubungan keluarga yang sangat dekat. Hal ini sebagaimana dijelaskan
dalam silsilah berikut ini. (lihat lampiran 4, 5 dan 6)
Kerajaan Muna dan Kerajaan Buton selain pernah dipimpin oleh satu
orang raja yaitu Raja Lakilaponto, juga pernah dipimpin oleh dua orang
bersaudara (Lakilaponto dan La Posasu), sehingga pada masa itu hubungan
59
Kerajaan Muna dan Kerajaan Buton dinyatakan sebagai hubungan adik
dan kakak. Kerajaan Wolio (Buton) dipimpin oleh Lakilaponto atau
Murhum (yaitu kakak kandung La Posasu) dan Kerajaan Muna dipimpin
La Posasu (adik kandung Lakilaponto atau Murhum). Dalam pada itu,
peraturan adat di Wolio umumnya diadopsi dari peraturan Kerajaan Muna.
Perhatikan contoh berikut ini.

“Maka tatkala ada Kerajaan Lakilaponto itu maka diambilnya


istiadat daripada negeri Wuna yaitu lima istiadat; pertama, upeti seperti
buah-buahan kayu dan seperti kayu bharata, dan kedua, kahoti dan
ketiga, kabutu dan bhante, keempat, kerbau, kelima, rambanu dan moose.
Yaitulah maka jumlahnya jadi dua belas istiadat di dalam tangan Raja
Butun itu.”

Empat butir dari dua belas butir isi undang-undang kelengkapan


Sultan Buton (Undang-Undang Dua Belas) yang disusun Sultan La
Elangi yang dimuat dalam Undang-Undang Martabat Tujuh berasal dari
Kerajaan Muna atau Pancana. Hal ini dijelaskan seperti berikut.

“yosara yitungguna laki woliyo yitu sapulu ruya angu; bha-bhaana


yosara Jawa pata angu kabharina, kasiympo yosara Pancana pata angu
duka kabharina, kasiympo yosara Woliyo pata angu duka kabharina. Bha-
bhaana yosara Jawa yitu pata angu kabharina; bha-bhaana yosomba,
ruya anguyaka yoparamadani, talu yanguyaka, yogambi yisoda,
pataanguyaka yopayu bhia. Maka yosara Pancana pata angu, bha-
bhaana, yobante, ruyaanguyaka, yokabutu, taluyanguyaka, yopomuya,
pataanguyaka yopolongaana papara. Kasiympo yasara woliyo pataangu
duka yitu, bha-bhaana yobhelobaruga umane, ruyaanguyaka
60
yibhelobaruga bawine, taluyanguyaka susuya woliyo, pataanguyaka,
susuya papara. Maka yoyantona Sara Jawa yitu pataangu duka
kabharina, bha-bhaana yobhangka mapasa, ruyaanguyaka, yorampe,
taluyanguyaka yikane yogena, pataanguyaka yoambara. Kasiympo
yoantona Sara Pancana pataangu dukakabharina, bha-bhaana, yopopene,
ruyaanguyaka, yosuruna karo, taluyanguyaka, yotali-tali, pataanguyaka
yokarambayu. Maka yoyantona Sara Woliyo pataangu duka kabharine,
bha-bhaana, yisalaaka, ruyaanguyaka yikadosaaka, taluyanguyaka
yibhatuyaaka, pataanguya yimateyaka.”

Terjemahan;
“Kemudian Sara yang dijaga laki wolio itu dua belas; Pertama-tama
Sara Jawa empat banyaknya; kemudian Sara Pancana empat juga
banyaknya, kemudian Sara Wolio empat juga banyaknya. Pertama-tama
Sara Jawa itu; pertama Somba, kedua, Paramadani, ketiga, gambi isoda,
yang keempat pau bhia (payung kain). Maka Sara Pancana yang
empatnya itu; pertama-tama, bhante, kedua, kabutu, ketiga, pomua,
keempat, polongana papara. Kemudian Sara Wolio empat juga itu;
pertama-tama, bhelobharuga umane, kedua, bhelobharuga bhawine,
ketiga, susua wolio, keempat susua papara. Maka isi Sara Jawa itu empat
juga banyaknya; pertama-tama, bhangka mapesa, kedua, rampe, ketiga,
ikane ogena, keempat, ambara. Kemudian isi Sara Pancana empat juga
banyakya; pertama-tama, popane, kedua, suruna karo, ketiga, tali-tali,
keempat, karambau. Maka isi Sara Wolio empat juga banyaknya,
pertama-tama, isalaaka, kedua, ikodosaaka, ketiga, ibatuaka, keempat,
imateaka.

61
Muna dan Buton menggunakan ciri pengenal nama atau gelar yang
sama yaitu penanda atau pengenal nama untuk laki-laki adalah La dan La
Ode dan untuk perempuan yaitu Wa dan Wa Ode. Mereka juga
menggunakan golongan masyarakat yang sama yaitu masyarakat golongan
kaomu, masyarakat golongan walaka dan masyarakat golongan maradika
atau papara. Meskipun menggunakan gelar yang sama tampaknya sumber
atau acuan gelar yang digunakan itu berbeda. Gelar bangsawan La
Ode/Wa Ode di Kerajaan Wolio berpangkal dari keturunan raja Wa
Kaakaa dari Majapahit di Jawa, bangsawan walaka berpangkal dari
keturunan bhontona Peropa I dan bhontona Baaluwu I yaitu Betoambari
dan Sangariarana. Diketahui Sangariarana adalah putra Betoambari =>
Betoambari adalah putra Sipajongan dari pulau Liya Tanah Melayu.
Adapun golongan papara berpangkal dari keturunan papara talubinana.
Adapun bangsawan La Ode/Wa Ode di Kerajaan Muna berpangkal pada
anak laki-laki keturunan Sugimanuru (keturunan para sugi) yang bila
ditelusuri lebih jauh memiliki hubungan dekat dengan Sawerigading dari
Kerajaan Luwu. Bangsawan walaka berpangkal dari anak perempuan
Sugimanuru yang dikawini oleh La Pokainse (bukan keturunan sugi). La
Pokainse diketahui berasal dari keturunan meno wamelai. Adapun
golongan maradika berpangkal dari keturunan Sugimanuru hasil
perkawinan dengan selir bernama Wa Sarone yang diketahui berasal dari
Banggai. Dalam sistem perkawinan mereka juga menggunakan satuan
mata pembayaran mahar yang sama yang disebut bhoka.
Sebagai dua kerajaan bersaudara yang juga secara geografi saling
berdekatan tentu kedua kerajaan ini saling melindungi dan saling
membantu di bidang pertahanan dan keamanan negeri. Meskipun negeri
62
Muna dengan Buton dari segi pemerintahan masing-masing berdiri sendiri
atau otonom, akan tetapi dalam pandangan kerajaan lain di Nusantara
seperti Kerajaan Melayu, Bone, Goa, Majapahit, Tobungku, Ternate dan
Tidore menganggap kerajaan-kerajaan yang terletak di wilayah jazirah
Tenggara pulau Sulawesi ini sebagai Kerajaan Buton. Demikian pula
posisi Kerajaan Tiworo, Kerajaan Kulisusu dan Kerajaan Kaledupa
dianggap sebagai Kerajaan Buton. Karena itu, setiap kerajaan yang
mendapat ancaman dari pihak luar misalnya Wolio atau Muna, atau
Kulisusu, atau Tiworo atau Kaledupa berarti ancaman atau disebut
gangguan keamanan Buton secara keseluruhan. Pada masa itu Wolio
dianggap sebagai kota suci bagi kerajaan-kerajaan yang ada di sekitarnya
(Wuna, Kulisusu, Tiworo, dan Kaledupa) yaitu kota tempat perguruan
Islam dan tempat tinggal para ulama maka keamanan wilayah ini menjadi
tanggung jawab lima kerajaan untuk melindunginya yaitu Wuna, Tiworo,
Kulisusu dan Kaledupa. Dalam pada itu kelima kerajaan bersepakat
mengadakan persekutuan atau kerjasama di bidang pertahanan dan
keamanan sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Barata atau
Sarana Barata, atau disebut juga Barata Patapalena. Adapun teks
Sarana Barata dimaksudkan adalah; (lihat lampiran 7).
Dalam undang-undang itu dijelaskan bahwa Kerajaan Muna, Tiworo,
Kulisusu, dan Kaledupa wajib memberi perlindungan keamanan kepada
Kesultanan Buton terhadap ancaman musuh-musuh pemerintah Kesultanan
Buton. Adapun musuh Kerajaan Buton pada masa itu adalah Luwu, Goa,
Tobungku, Tobelo dan Ternate. Dalam keadaan itu disebut Abaluara
Abarata atau tumpuan pertahanan dan perlindungan kesultanan. Adapun
batas-batas wilayah pertahanan masing-masing sebagaimana dijelaskan
63
dalam Sarana Barata yaitu wilayah penjagaan Kerajaan Wuna atau Muna
sampai Pulau Sagori, wilayah penjagaan Kerajaan Tiworo sampai Pulau
Wawonii, wilayah penjagaan Kerajaan Kulisusu sampai Pulau Murumaho
dan wilayah penjagaan Kerajaan Kaledupa sampai Pulau Watuata (Batu
Atas).
Hubungan Muna dan Buton mulai merenggang setelah Buton
bekerjasama dengan Belanda. Buton dan Belanda menjadi sekutu abadi.
Peran Muna, Kulisusu, Tiworo dan Kaledupa sebagai pelindung utama
Kerajaan Buton sebagaimana dijelaskan dalam Sarana Barata telah
digantikan oleh Belanda. Dampak persekutuan itu, Muna tidak hanya
kehilangan peran tetapi juga merasa banyak dirugikan meskipun secara
kultural dan hubungan kekeluargaan Muna-Buton tidak dapat dipisahkan
akan tetapi secara politik Muna memilih berafiliasi dan membina
hubungan baik dengan Kerajaan Goa di Makassar. Oleh karena Goa adalah
musuh Belanda maka secara otomatis Muna masuk kategori musuh
Belanda setelah bergabung dengan Makassar. Meskipun demikian
intervensi politik Buton terhadap Muna tetap dilaksanakan yang akibatnya
para pembesar Kerajaan Muna terjadi pro-kontra terhadap Buton.
Salah satu keberhasilan Belanda dalam menjajah di wilayah Nusantara
selama lebih dari 350 tahun adalah kemampuannya memecah belah
hubungan baik dan hubungan kekeluaragaan antarelite kerajaan yang
sudah lama terbina di wilayah Nusantara. Perpecahan itu tidak saja terjadi
pada antarelite kerajaan yang terletak di pulau-pulau besar seperti
Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Sulawesi, tetapi juga terjadi pada
antarelit kerajaan yang terletak di wilayah pulau-pulau kecil seperti
Kerajaan Muna di Pulau Muna dengan Kerajaan Buton di Kepulauan
64
Buton. Kata Indonesia yang merupakan bagian dari wilayah Nusantara
telah lahir pada zaman penjajahan Belanda dan Indonesia telah
memerdekakan dirinya dan bangsanya dari penjajahan sejak tahun 1945,
serta telah mendapatkan pengakuan penuh dari pemerintah Belanda sejak
tahun 1949. Sekarang ini telah memasuki tahun 2018 yang berarti telah 73
tahun Indonesia merdeka, maka sepantasnya sejarah kelam yang pernah
dipraktikkan oleh pemerintah penjajahan Belanda dalam rangka
melahirkan perpecahan antarelite kerajaan di wilayah Nusantara pada masa
lampau, pada masa kini harus dihilangkan dan dihapus baik dalam bentuk
lembaran sejarah maupun dalam bentuk ingatan kolektif. Kenyataan
seperti ini tampaknya tidak hanya terjadi di beberapa daerah lain di
Nusantara tetapi terjadi pada kalangan masyarakat Muna-Buton.
Sampai sekarang ini masih sering ditemukan di kalangan elite
masyarakat Muna-Buton yang mempersoalkan status bharata, intervensi
Kerajaan Buton terhadap Kerajaan Muna dan sebaliknya ketika pada
zaman pemerintahan Belanda. Lebih fatalnya, pada zaman sekarang ini
masih ada segelintir kalangan tokoh elite Muna yang masih
memperdebatkan sah tidaknya raja-raja yang memerintah di Kerajaan
Muna pada masa lampau, sehingga dengan mudah memicu konflik internal
keluarga. Perlu diketahui bahwa sejak tahun 1906 seluruh kerajaan
Nusantara berada dalam tangan kekuasaan pemerintah Belanda secara
penuh. Dalam pada itu, tidaklah mengherankan bila pada zaman itu
pemilihan atau pengangkatan raja banyak diintervensi maupun ditentukan
oleh Belanda. Pada zaman itu pula banyak terjadi pemecatan maupun
penangkapan raja-raja yang dianggap membangkang. Harus pula diakui
bahwa meskipun Belanda menjajah Nusantara, kenyataannya tidak semua
65
kerajaan di Nusantara menjadi musuh atau lawan Belanda. Di beberapa
wilayah di Nusantara banyak ditemukan raja-raja atau kerajaan yang
bekerjasama atau menjadi sekutu abadi Belanda. Di Sulawesi Selatan
misalnya, Kerajaan Goa terkenal sebagai musuh abadi Belanda sementara
Kerajaan Bone adalah sekutu abadi atau sahabat Belanda. Demikian pula
di Sulawesi bagian Tenggara, Kerajaan Buton dikenal sebagai sekutu atau
sahabat abadi Belanda sedangkan Kerajaan Muna, Kerajaan Tiworo dan
Kerajaan Kulisusu adalah kerajaan yang melawan Belanda. Akibat
provokasi Belanda kepada Kerajaan Bone maka bermusuhanlah Kerajaan
Bone dengan Kerajaan Goa yang sebelum ada Belanda merupakan dua
kerajaan bersaudara. Hal yang sama terjadi di Kerajaan Buton, yaitu akibat
provokasi dan intervensi Belanda kepada Buton maka kurang harmonislah
hubungan Kerajaan Buton dengan Kerajaan Muna, termasuk pula Kerajaan
Tiworo dan Kerajaan Kulisusu. Banyak peraturan Kerajaan Buton
merugikan Kerajaan Muna. Dalam pada itu, Muna lebih memilih
bersahabat dengan Kerajaan Goa, sedangkan Kerajaan Buton lebih
mengutamakan persahabatan dengan Kerajaan Bone.
Pada masa lampau, Muna dan Buton atau Wolio baik secara historis
maupun kultur dan merupakan dua negeri atau dua kerajaan yang tidak
dapat dipisahkan. Orang tua kedua negeri pada masa lampau
menggambarkan hubungan kedua negeri seperti filosofis sebagai berikut.

Dalam bahasa Wolio


“Aporomu yinda aposaangu
Apogaa yinda koolota

66
Dalam bahasa Muna
Dopofoghonu mina noseise
Nopogaaati mina nakogholota

Terjemahan
Berkumpul tidak bersatu
Berpisah tidak berantara

Filosofis tersebut mengandung pengertian secara hakikat bahwa


Kerajaan Muna dan Kerajaan Buton merupakan dua kerajaan yang hidup
berdampingan. Yang menyatukan kedua negeri adalah budaya dan yang
memisahkan kedua negeri adalah hukum. Dalam perkembangan kemudian
hubungan kedua negeri dipersatukan oleh agama dan budaya sebagaimana
tersirat dalam ungkapan berikut “Kabarakatino witeno Wuna bhe mieno
Wolio”. Yang artinya “Keberkahan tanah Muna dan orang Wolio” secara
harfiah mengandung makna bahwa di Muna berkah tanahnya dan di
Wolio berkah orangnya. Akan tetapi secara hakikat, yang dimaksud
dengan tanah dalam ungkapan tersebut bukanlah tanah yang sebenarnya
akan tetapi bermakna “adat” sedang makna orang yang berarti “agama”.
Dimaksudkan bahwa di Muna berkah “adatnya” dan Wolio atau Buton
berkah “agamanya” yaitu agama Islam. Orang Wolio sangat menghormati
Muna, karena adat–istiadatnya sebagian besar berasal dari Muna sedang
orang Muna sangat menghormati Wolio karena di Woliolah berkumpulnya
para ulama auliah sehingga belajar agama Islam melalui ulama-ulama
Wolio pada masa lampau.
Filosofi kemanusiaan yang menjadi acuan hidup orang Muna pada
dasarnya sama dengan filosofi kemanusiaan yang menjadi acuan hidup
67
orang Wolio, yang berbeda hanyalah bahasanya. Hal ini tersurat dalam
ungkapan filosofis sebagai berikut.

Dalam bahasa Muna


Pobhini-bhiniti kuli
Dopomote-motehi
Dopomaa-maasighoo
Dopopia-piara
Dopoangka-angkatau

Bahasa Wolio
Pobhinci-bhinciki kuli
Pomae-maeaka
Pomaa-maasiaka
Popia-piaraaka
Poangka-angkata

Bahasa Indonesia
Saling mencubit kulit
Saling menakuti
Saling mengasihi
Saling memelihara
Saling menghormati

Demikian pula filosofis yang berkaitan dengan persatuan,


pengorbanan dan perjuangan antara orang Muna dengan orang Wolio

68
adalah sama, yang berbeda hanyalah bahasanya. Hal ini sebagaimana
bersurat dalam ungkapan filosofis berikut.

Dalam bahasa Muna


Hansu-hansurumo arataa sumuno kono hansuru badha
Hansu-hansurumo badha sumano kono hansuru liwu
Hansu-hansurumo liwu sumano kono hansuru sara
Hansu-hansurumo sara sumano kono hansuru agama

Dalam bahasa Wolio


Nainda-indamo arata solana karo
Nainda-indamo karo solana lipu
Nainda-indamo lipu solana sara
Nainda-indamo sara solano agama

Dalam bahasa Indonesia


Hancur-hancurlah harta asal jangan hancur diri
Hancur-hancurlah diri asal jangan hancur negeri
Hancur-hancurlah negeri asal jangan hancur sara
Hancur-hancurlah sara asal jangan hancur agama

Puncak kedekatan hubungan Muna dengan Buton adalah diterimanya


Lakilaponto atau Murhum menjadi raja Buton keenam dan sultan Buton
yang pertama. Lakilaponto atau Murhum adalah putra Sugimanuru, raja
Muna keenam, yaitu hasil perkawinannya dengan Wa Tubapala. Pengaruh
Lakilaponto atau Murhum ketika menjadi raja dan sultan di Buton tidak
saja mampu menyekutukan dua pemerintahan, negeri Muna dan Kerajaan
69
Buton pada zamannya dan menjadikan hubungan Kerajaan Muna dan
Kerajaan Buton sebagai hubungan bersaudara atau hubungan adik dan
kakak tetapi juga berhasil mengembangkan keturunan bangsawan melalui
perkawinannya dengan putra-putri para bangsawan yang memimpin di
seluruh wilayah kepulauan Buton dan Muna dimulai dari jabatan sultan
atau raja (lakina), sapati, kenepulu, kapitalao, kapita, lakina agama atau
raja agama, para imam sampai pada jabatan para khatib. Hal ini
sebagaimana tersurat melalui hasil transliterasi Naskah Kuno berjudul
“Silsilah Bangsawan Buton” (lihat lampiran 4, 5 dan 6) . Menurut hasil
transliterasi “Kitab Silsilah Bangsawan Buton”, dijelaskan bahwa
Lakilaponto atau La Tolaki atau Murhum tercatat sebagai Raja Buton
keenam menggantikan Rajamulae (raja Buton kelima). Ia juga tercatat
sebagai sultan Buton pertama. Lakilaponto menjadi raja dan sultan Buton
selama 46 tahun. Lakilaponto adalah putra Sugimanuru (raja Muna
keenam) yaitu dari hasil perkawinannya dengan Wa Tubapala. Wa
Tubapala adalah anak Kijula hasil perkawinannya dengan Wa Randea
yaitu putri raja Tiworo. Adapun Kijula adalah putra Bataraguru (raja
Buton ketiga). Bataraguru adalah putra Bulawambona (raja Buton kedua)
yaitu hasil perkawinannya dengan La Baluwu. Bulawambona adalah putri
Si Batara hasil perkawinannya dengan Wa Kaakaa (raja Buton pertama)
dari Kerajaan Majapahit. Sedangkan La Baluwu adalah putra Sangariarana
(Mentri Baaluwu yang pertama), Sangariarana adalah putra Betoambari
(Mentri Peropa yang pertama), serta Betoambari adalah putra Sipajongan
dari Pulau Liya tanah Melayu.
Pada masa pemerintahan Raja Lakilaponto di Buton, Kerajaan Buton
dan Kerajaan Muna berhasil disatukan dalam satu pemerintahan sekaligus.
70
Oleh karena itulah beberapa kerajaan lain seperti Kaledupa, Kabaena dan
Mekongga ikut bergabung dalam Kerajaan Buton. Dalam memerintah
Kerajaan Buton, Lakilaponto mengambil beberapa peraturan adat dari
Kerajaan Muna untuk melengkapi adat Kerajaan Buton. Beberapa
peraturan adat dimaksud adalah: pertama, upeti seperti buah-buahan, kayu
seperti pohon batari (injelai); kedua, kahoti yang meliputi kahoti mamata
dan kahoti mamasa; ketiga, kebun seperti kabutu dan bante; keempat,
kerbau; dan kelima, rambanua dan moose.
Di Buton, Lakilaponto memiliki dua orang istri yang pertama Wa
Tampaidonge atau Boroko Malanga yaitu putri Rajamuale (raja Buton
kelima) yaitu hasil perkawinannya dengan Wa Randima. Rajamulae adalah
putra Tuamaruju yaitu hasil perkawinannya dengan Watalulabangana
(anak raja Tobe-Tobe). Tuamaruju adalah putra Bataraguru (raja Buton
ketiga) yaitu hasil perkawinannya dengan Wa Eloncugi (anak
Dungkucangia). Bataraguru adalah putra La Baluwu hasil perkawinannya
dengan Bulawambona (raja Buton kedua). La Baluwu adalah putra
Sangariarana (bhonto Baaluwu pertama), Sangariarana adalah putra
Betoambari (bhonto Peropa pertama) dan Betoambari adalah putra raja
Sipajongan. Bulawambona adalah putri Si Batara yaitu hasil
perkawinannya denga Wa Kaakaa (raja Buton pertama) dari Kerajaan
Majapahit. Yang kedua Wa Sameka adalah putri Nganciraja (saudara
kandung Rajamulae) yaitu hasil perkawinannya dengan Wa Numpu (anak
Batukara dan cucu Kaudoro).
Perkawinan dengan Wa Tampaidonge atau Bhoroko Malanga
dikaruniai anak tiga orang perempuan yaitu Paramasuni, Wa Sugirumpu,
dan Wa Betao. Kemudian perkawinan Lakilaponto dengan Wa Sameka
71
dikaruniai anak tiga orang, dua orang laki-laki yaitu La Tumparasi (Sultan
Buton kedua) dan La Sangaji (Sultan Buton ketiga), serta satu orang
perempuan bernama Wa Bunganila.
Salah seorang putri Lakilaponto hasil perkawinannya dengan Wa
Tampaidonge bernama Paramasuni dikawini oleh La Siridatu dikaruniai
anak delapan orang, tujuh orang laki-laki, yaitu: La Elangi (Sultan Buton
keempat), La Nganjiraja (Sangia Waero-ero), La Faajara (Sangia
Lampenano), La Rajangkatu (Sangia Lahulu), La Kandawa (Sangia
Gundu-Gundu), La Siribaja (Sangia Kambowa), La Mantara (Sangia
Lantogau), dan seorang perempuan bernama Wa Salangi (Sangia
Wawonowo). Adapun La Siridatu adalah salah seorang putra La Maindo
hasil perkawinannya dengan Wa Banaka (anak Sapati Rampagau atau
biasa dikenal dengan nama Sapati Manjawari). La Maindo adalah putra La
Katuturi hasil perkawinannya dengan Wa Datogunu. La Katuturi adalah
putra Rajamanguntu hasil perkawinannya dengan Wa Solongki (anak raja
Tobe-Tobe). Adapun Rajamanguntu salah seorang putra Bataraguru (raja
Buton kedua) dari hasil perkawinannya dengan Wa Eloncugi (anak
Dungkucangia).
Kemudian putri Lakilaponto hasil perkawinannya dengan Wa Sameka
bernama Wa Bunganila dikawini oleh La Kabaura (saudara kandung La
Siridatu) dikaruniai dua orang anak laki-laki yaitu La Bula (Lalaki
Mancuana Kumbewaha) dan La Singga (Sangia Tapi-Tapi).
Pada masa pemerintahan Sultan Buton IV bernama La Elangi (1597-
1633) disusunlah undang-undang Kerajaan Buton secara tertulis. Yang
menyusun undang-undang itu berjumlah tiga orang yaitu La Elangi
(sultan) dari Tanailandu, La Singga (sapati) dari Tapi-Tapi dan La Bula
72
(kenepulu) dari Kumbewaha. Ketiga pemimpin itu cucu Lakilaponto, di
mana La Elangi adalah anak Paramasuni adalah anak Lakilaponto dari
hasil perkawinannya dengan Wa Sameka, sedangkan La Bula dan La
Singga bersaudara kandung yaitu anaknya Wa Bunganila dan Wa
Bunganila adalah anak Lakilaponto dari hasil perkawinannya dengan Wa
Tampaidonge atau Bhoroko Malanga. Mereka (La Elangi, La Bula dan La
Singga) menyusun undang-undang Buton berdasarkan kitab Martabat
Tujuh. Kitab tersebut dinamakan Kitab Martabat Tujuh, atau Sarana
Wolio, atau Sara Pataaguna, atau Asran Al-Umara Fil al-adat al-
Wuzarah.
Menurut undang-undang itu, jumlah pangkat dalam pemerintah Wolio
disamakan dengan jumlah pangkat Martabat Tujuh yaitu berjumlah tujuh
pangkat. Ketujuh pangkat dalam Martabat Tujuh yaitu ahdiyah, wahdah,
wahidiyah, alam arwah, alam mitsal, alam ajsam dan alam insani.
Sedangkan ketujuh pangkat dalam pemerintah Wolio yaitu Kaomu
Tanailandu, Kaomu Tapi-Tapi, Kaomu Kumbewaha, Sultan, Sapati,
Kenepulu dan Kapitalao yang dua orang. Dengan lahirnya undang-undang
atau peraturan baru ini maka jabatan sultan Buton yang akan datang tidak
lagi diwariskan secara langsung oleh sultan atau saudara sultan yang
memimpin pada suatu saat akan tetapi harus dipilih secara demokrasi oleh
dewan ahli adat dari golongan walaka yang disebut Siolimbona (menteri
dari sembilan negeri). Adapun raja atau sultan yang akan dipilih harus
berasal dari bangsawan yang tiga kaomu (kaomu Tanailandu, kaomu
Kumbewaha, dan kaomu Tapi-Tapi) yang disebut Kamboru-mboru
Talupalena. Diketahui bahwa ketika disusun undang-undang ini yang
menjabat sultan adalah La Elangi berasal dari kaomu Tanailandu, yang
73
menjabat sapati adalah La Singga berasal dari kaomu Kumbewaha dan
yang menjabat kenepulu adalah La Bula berasal dari kaomu Tapi-Tapi,
maka selanjutnya calon-calon raja atau sultan harus pula berasal dari
keturunan La Elangi dari Kaomu Tanailandu, keturunan La Singga dari
kaomu Kumbewaha dan keturunan La Bula dari kaomu Tapi-Tapi, yang
ketiga-tiganya adalah keturunan atau cucu Lakilaponto (sultan Buton
pertama) yaitu putra raja Muna keenam bernama Sugimanuru. Diketahui
bahwa sebelum lahirnya undang-undang baru ini jabatan raja di Kerajaan
Buton merupakan jabatan yang diwariskan atau ditunjuk secara langsung.
Pertama-tama Wa Kaakaa (raja Buton pertama) diangkat oleh Betoambari
(bhonto Peropa pertama) dan Sangariarana (bhonto Baaluwu pertama).
kemudian Wa Kaakaa (raja Buton pertama) mengangkat putrinya
Bulawambona (raja Buton kedua), Bulawambona mengangkat putranya
Bataraguru (raja Buton ketiga), Bataraguru mengangkat putranya Tuarade
(raja Buton keempat), Tuarade tidak memiliki keturunan atau anak
sehingga mengangkat kemanakannya bernama Rajamulae (raja Buton
kelima). Rajamuale tidak lagi mengangkat anaknya atau kemenakannya
sebagai penggantinya (raja Buton keenam/sultan Buton pertama) akan
tetapi mengangkat Lakilaponto putra Sugimanuru (raja Muna keenam)
yang kemudian menjadi anak mantunya. Lakilaponto (raja Buton keenam
atau sultan Buton pertama) mengangkat putranya La Tumparasi sebagai
sultan Buton kedua, dan La Tumparasi mengangkat adiknya La Sangaji
menjadi sultan Buton ketiga.
Di Kerajaan Muna, raja yang sezaman dengan La Elangi sultan Buton
keempat (1597-1633) adalah Muhammad Idrus gelar Titakono. Kalau
ditelusuri hubungan kekeluargaan antara Muhammad Idrus atau Titakono
74
raja Muna yang menjabat pada masa itu dengan La Elangi, La Singga dan
La Bula yang menjabat di Kesultanan Buton pada masa itu adalah
hubungan keluarga dekat yaitu hubungan paman sepupu dan kemanakan
sepupu satu kali. Diketahui La Elangi, La Bula dan La Singga adalah cucu
Lakilaponto yaitu La Elangi anaknya Paramasuri dan Paramasuri anak
Lakilaponto. Demikian pula La Bula dan La Singga adalah anak Wa
Bunganila dan Wa Bunganila juga anaknya Lakilaponto. Adapun
Muhammad Idrus adalah anak Rampaisomba (raja Muna kesembilan) dan
Rampaisomba adalah anak Sugimanuru (raja Muna keenam) yang berarti
saudara kandung Lakilaponto (raja Muna ketujuh, raja Buton keenam,
sultan Buton pertama) yang juga bersaudara kandung dengan La Posasu
gelar Kobangkuduno (raja Muna kedelapan).
Dalam sejarah Muna (lihat Couvreur : 1935), Muhammad Idrus gelar
Titakono tercatat sebagai raja Muna kesepuluh. Pada masa
pemerintahannya menjadi raja Muna, ia mengadakan jabatan bhonto
bhalano (mentri besar) yang pertama. Ia mengangkat La Marati sebagai
pejabat bhonto bhalano yang pertama. Titakono atau Muhammad Idrus
adalah bersepupu satu kali dengan La Marati. Diketahui bahwa La Marati
adalah putra La Pokainse hasil perkawinannya denga Wa Ode Pogo (putri
Sugimanuru yang berarti bersaudara kandung dengan Rampeisomba
dengan ayah Muhammad Idrus gelar Titakono). Pada zaman itu,
Muhammad Idrus dan La Marati mulai membagi golongan masyarakat
Muna ke dalam tiga golongan yang berpangkal pada keturunan
Sugimanuru. Ketiga golongan tersebut: pertama, golongan La Ode, nama
keturunannya disebut kaomu, yaitu berpangkal dari keturunan anak laki-
laki Sugimanuru hasil perkawinannya dengan Wa Tubapala. Kedua,
75
golongan walaka, nama keturunannya disebut siwulu, yaitu berpangkal
dari keturunan anak perempuan Sugimanuru hasil perkawinannya dengan
Wa Tubapala, ketiga, golongan maradika, nama keturunannya disebut Lee
yaitu berpangkal dari keturunan anak-anak Sugimanuru hasil
perkawinannya dengan perempuan lain (perempuan lain itu ada yang
menyebutnya bernama Wa Sarone dari Banggai). Bila demikian adanya
berarti gelar La Ode dan Wa Ode sepantasnya diberikan kepada putra-putri
Lakilaponto, La Posasu, Rampeisomba dan putra-putri anak laki-laki
Sugimanuru hasil perkawinannya dengan Wa Tubapala. Adapun gelar
walaka pertama diberikan kepada La Marati, karena La Marati diketahui
sebagai anak laki-laki pertama hasil perkawinan La Pokainse dengan Wa
Ode Pogo anak perempuan Sugimanuru hasil perkawinannya dengan Wa
Tubapala. La Marati dan Muhammad Idrus kemudian membagi wilayah
adat Muna menjadi empat wilayah yang disebut ghoera yaitu ghoerano
Tongkuno, ghoerano Lawa, ghoerano Kabawo dan ghoerano Katobu.
Setiap ghoera dipimpin seorang kepala ghoera dan para kepala ghoera
yang pertama dipimpin oleh anak-anak La Marati dari golongan Walaka.
Setelah itu, Muhammad Idrus dan La Marati membentuk Dewan Syarat
Muna yang keanggotaannya meliputi; raja, bhonto bhalano, koghoerano,
mintarano bhitara dan kapitalao. Jabatan raja dan Kapitalao berasal dari
golongan La Ode, sedangkan jabatan bhonto bhalano, koghoerano, dan
mintarano bhitara berasal dari golongan walaka. Ketiga anggota Syarat
Muna (bhonto bhalano, koghoerano, dan mintarano bhitara) disebut
Dewan Ahli Adat yang memiliki hak suara dalam pemilihan raja Muna
yang berasal dari golongan La Ode. Dengan terbentuknya Dewan Syarat
Muna dan Dewan Ahli Adat ini, maka pengangkatan raja sebagaimana
76
yang terjadi sebelumnya yaitu diwariskan atau ditunjuk secara langsung
oleh orang tuanya atau saudaranya yang menjabat raja pada suatu saat
dinyatakan tidak berlaku lagi. Demikian pula pada pengangkatan jabatan
bhonto bhalano setelah kepemimpinan La Marati juga melalui proses
pemilihan meskipun pada akhirnya harus mendapat persetujuan raja yang
memerintah pada suatu saat. Jabatan raja ditandai memiliki tongkat emas
(katuko bulawa) dan jabatan bhonto bhalano tongkat perak (katuko
sulaka) maka yang diserahkan pada saat pergantian jabatan raja kepada
raja penggantinya adalah tongkat emas dan pada pergantian jabatan bhonto
bhalano adalah tongkat perak.
Setelah pembentukan Dewan Syarat Muna dengan wilayahnya
berpusat di Kota Muna, dibentuk pula empat wilayah otonomi yang
disebut bharata dengan tugas utama menjaga keutuhan wilayah Kerajaan
Muna dari ancaman pihak luar (yang melewati jalur wilayah laut).
Keempat bharata dimaksud adalah bharata Loghia, bharata Laboora,
bharata Laghontoghe dan bharata Wasolangka. Akan tetapi dikemudian
hari, bharata Laboora bergabung menjadi satu wilayah dengan bharata
Loghia, sehingga hanya tiga bharata yang permanen yaitu bharata Loghia,
bharata Laghontoghe dan bharata Wasolangka. Pada saat yang sama, di
kerajaan atau kesultanan Buton juga membentuk empat bharata untuk
menjaga keutuhan wilayah kerajaan dari ancaman musuh-musuhnya
terutama dari Kerajaan Luwu, Goa, Bungku, Tobelo dan Ternate. Keempat
bharata dimaksud bharata Wuna, bharata Kulisusu, dan bharata
Kaledupa. Pembentukan bharata di Kesultanan Buton kemudian banyak
ditentang oleh kerajaan yang dijadikan wilayah bharata seperti Wuna,
Tiworo dan Kulisusu karena dianggap banyak merugikan pihak kerajaan
77
yang bersangkutan terutama disebabkan oleh persekutuan Belanda dengan
pihak Kerajaan Buton.
Pembentukan kamboru-boru talupalena (kaomu Tanailandu, kaomu
Tapi-Tapi dan kaomu Kumbewaha) oleh La Elangi (sultan Buton IV), La
Singga (sapati), dan La Bula (kenepulu) dan pembagian golongan
masyarakat Muna menjadi tiga golongan (golongan La Ode, golongan
walaka, dan golongan maradika) oleh Muhammad Idrus gelar Titakono
(raja Muna X) dan La Marati (bhonto bhalano I) pada dasarnya memiliki
motivasi yang sama yaitu ingin menghapus pengangkatan raja dengan
menggunakan sistem pewarisan langsung atau penunjukkan langsung dari
orang tuanya atau saudaranya yang menjabat pada suatu saat, sehingga
tidak terjadi dominasi atau konflik internal antarsesama bangsawan.
Peraturan baru yang mereka susun itu tidak berarti membatasi ruang gerak
para bangsawan atau menghilangkan peran bangsawan akan tetapi justru
memberi kesempatan yang lebih luas kepada para bangsawan untuk
menjadi unsur pimpinan di berbagai wilayah kerajaan di wilayah
kepulauan Muna dan Buton. Misalnya bangsawan dari Muna dapat
mencalonkan diri dalam pemilihan calon sultan Buton termasuk diangkat
menjadi unsur pimpinan di berbagai wilayah kadie Kerajaan Buton,
Kerajaan Kulisusu, Kerajaan Tiworo dan Kerajaan Kaledupa. Demikian
pula sebaliknya, para bangsawan dari Kerajaan Buton, Kerajaan Kulisusu,
Kerajaan Tiworo dan Kerajaan Keledupa (lihat transliterasi Naskah
Silsilah Bangsawan Buton dan transliterasi Naskah Pulangana Kaomu).
Bangsawan Wuna dan Tiworo apabila memiliki kepentingan di Kesultanan
atau Kerajaan Buton termasuk mencalonkan jabatan sultan harus melalui
saluran bangsawan kaum Tapi-Tapi karena setelah pembentukan kamboru-
78
boru Talupalena bangsawan Wuna di Tiworo termasuk jalur keturunan La
Bula (kaomu Tapi-Tapi), bangsawan Kulisusu melalui kaomu Tanailandu
keturunan La Elangi, dan bangswan Kaledupa melalui kaomu Kumbewaha
keturunan La Singga. Bangsawan dari Kerajaan Muna, dari Kerajaan
Buton, Kerajaan Tiworo, Kerajaan Kulisusu dan Kerajaan Kaledupa
merupakan satu rumpun keturunan (lihat transliterasi Naskah Silsilah
Bangsawan Buton dan transliterasi Naskah Pulangana Kaomu).
Dikemukakan salah satu contoh tokoh bangsawan Muna bernama
La Ode Ndoasa atau di Muna dikenal dengan nama La Ode Rasyid. La
Ode Rasyid adalah mantan Bupati Muna yang ketiga dan memerintah
tahun 1965 sampai tahun 1970. Menurut Silsilah Bangsawan-Bangsawan
Buton dan Hikayat Negeri Buton, La Ode Ndoasa adalah generasi atau
keturunan ke-17 dari La Tiworo (raja Tiworo pertama), generasi ke-20 dari
La Eli atau Baiduzzamani gelar Bheteno ne Tombula (raja Muna
pertama), generasi ke-19 dari Wa Kaakaa (raja Buton pertama), dan
generasi ke-21 dari Sipajonga (raja Pulau Liya di Tanah Melayu). Hal ini
sebagaimana dapat dibaca dalam tabel berikut.

79
1. La Tiworo La Eli Wa Kaakaa Sipajongan

2. Wa Randea Sugi Patola Bulawambona Betoambari

3. Wa Tubapala Sugi Ambona Bataraguru Sangariarana

4. Lakilaponto Sugi Patani Kijula La Baluwu

5. Wa Bunganila Sugi La Ende Wa Tubapala Bataraguru

6. La Bula Sugi Manuru Lakilaponto Kijula

7. La Rafaani Lakilaponto Wa Bunganila Wa Tubapala

8. Kabumbu Malanga Wa Bunganila La Bula Lakilaponto

9. La Ode Kaili La Bula La Rafaani Wa Bunganila

Kabumbu
10. La Jampi La Rafaani La Bula
Malanga

11. La Badaru Kabumbu Malanga La Ode Kaili La Rafaani

12. Muhammad Idrus La Ode Kail La Jampi Kabumbu Malanga

13. La ode Abadi La Jampi La Badaru La Ode Kaili

14. Wa Ode Hamida La Badaru Muh. Idrus La Jamp

15. La Ode Karape Muhammad Idrus La ode Abadi La Badaru

16. Wa Ode Ndimada La ode Abadi Wa Ode Hamida Muhammad Idrus

17. La Ode Ndoasa Wa Ode Hamida La Ode Karape La ode Abadi

18. La Ode Karape Wa Ode Ndimada Wa Ode Hamida

19. Wa Ode Ndimada La Ode Ndoasa La Ode Karape

20. La Ode Ndoasa Wa Ode Ndimada

21. La Ode Ndoasa

80
Secara lengkap tabel tersebut dapat dideskripsikan seperti berikut.

1. SIPAJONGAN
Dalam Hikayat Negeri Buton, nama Sipajongan dikenal sebagai nama
seorang raja yang berasal dari Pulau Liya Tanah Melayu. Ia dikenal
sebagai raja kaya dan dermawan serta memiliki kaum keluarga dan hamba
sahaya yang banyak. Diriwayatkan bahwa raja Sipajongan bermigrasi ke
negeri Buton berkat mengikuti petunjuk mimpinya. Di negeri Buton,
mereka berlabuh di Pantai Kalampa. Pemilik pantai bernama Tobe-Tobe,
langsung menerima mereka bermukim dan berkebun. Dalam sejarah
Buton, nama Sipajongan dikenal sebagai salah seorang tokoh yang
tergabung dalam kelompok “Mia Patamiana” (si empat orang) yaitu
perintis berdirinya Kerajaan Buton. Di negeri Buton Sipajongan
mengawini salah seorang perempuan yang juga berasal dari negeri Melayu
bernama Sabanang yaitu saudara kandung Simalui. Hasil perkawinan
Sipajongan dengan Simalui dikaruniai anak seorang laki-laki bernama
Betoambari.

2. BETOAMBARI
Dikisahkan dalam Hikayat Negeri Buton bahwa setelah berusia 18
tahun, Betoambari mendengar berita bahwa ada seorang perempuan
berparas cantik bernama Sagaranya. Ia adalah putri Raja Kamaru
(kerajaan tertua) di negeri Buton. Betoambari kemudian memberi tahu
kedua orang tuanya agar membicarakan perihal pelamaran perempuan
dimaksud. Sipajongan kemudian mengadakan musyawarah dengan seluruh
keluarganya kemudian berangkatlah mereka ke negeri Kamaru hendak
melamar putri Raja Kamaru tersebut. Setelah lamaran diterima, kawinlah
81
Betoambari dengan Sagaranya. Hasil perkawinan mereka dikaruniai
seorang anak laki-laki bernama Sangariarana. Dalam sejarah Buton,
Betoambari selain dikenal sebagai mentri Peropa yang pertama, ia juga
dikenal sebagai salah seorang tokoh pendiri Kerajaan Buton.

3. SANGARIARANA
Dalam sejarah Buton, Sangariarana dikenal seebaagai pejabat mentri
Baluwu yang pertama. Sangariarana dan Betoambari adalah pendiri
Kerajaan Buton. Merekalah yang mengangkat raja Buton bernama Wa
Kaakaa berasal dari kerajaan Majapahit. Setelah mengangkat Wa Kaakaa
menjadi raja Buton pertama, kemudian mereka juga yang mengawinkan
Wa Kaakaa dengan Sibatara yang juga berasal dari negeri Majapahit.
Sebagaimana dikisahkan dalam Hikayat Negeri Buton, Sangariarana
mengawini salah seorang perempuan anak negeri bernama Wa Guntu.
Perkawinan Sangariarana dengan Wa Guntu dikaruniai anak seorang laki-
laki bernama La Baluwu.

4. WA KAAKAA
Dalam sejarah Buton dijelaskan bahwa Wa Kaakaa tercatat sebagai
raja Buton yang pertama. Dikisahkan dalam Hikayat Negeri Buton bahwa
yang mengangkat Wa Kaakaa sebagai raja Buton adalah Betoambari
(menteri Peropa pertama) dan Sangariarana (menteri Baluwu yang
pertama). Wa Kaakaa dikisahkan berasal dari negeri Majapahit (lihat
Silsilah Bangsawan Buton). Setelah diangkat menjadi raja Buton yang
pertama, kemudian Betoambari dan Sangariarana mengawinkan Wa
Kaakaa dengan Sibatara yang juga berasal dari negeri Majapahit.
Perkawinan Sibatara dengan Wa Kaakaa dikaruniai anak tujuh orang,
82
semuanya perempuan. Anak pertama mereka bernama Bulawambona, dan
dialah yang mengganti ibunya Wa Kaakaa raja Buton pertama menjadi raja
Buton yang kedua.
Dalam versi lain, Wa Kaakaa bergelar “Bheteno ne Tombola” (yang
lahir dari bambu).

5. BULAWAMBONA
Dalam sejarah Buton, Bulawambona tercatat sebagai raja Buton yang
kedua. Ia dikawini oleh La Baluwu (putra Sangariarana). Perkawinan
mereka dikarunia anak laki-laki satu orang bernama Bataraguru atau biasa
juga dikenal dengan nama Bancapatola.

6. BATARAGURU
Dalam sejarah Buton, Bataraguru itu Bancapatola tercatat sebagai raja
Buton yang ketiga. Dikisahkan dalam Silsilah Bangsawan Buton bahwa
belum lama diangkat menjadi raja Buton ketiga, Bataraguru berangkat ke
negeri Majapahit untuk tujuan bertemu keluarganya. Diketahui bahwa
orang tuanya bernama Bulawambona adalah keluarga dari raja Majapahit.
Sekembalinya ke negeri Buton, Bataraguru diberi empat istiadat (Sara
Jawa) dari Kerajaan Majapahit yaitu meliputi isi laut yaitu berupa ikan
besar dan orang yang rusak atau pecah perahunya di karang dan isi sungai
Suminanga dan budak pedagang yang melarikan diri di sungai. Bataraguru
mengawini Wa Eloncugi yaitu anak Dungkucangia. Perkawinan mereka
dikaruniai anak tiga orang laki-laki yaitu; Rajamanguntu, Tuamaruju dan
Tuarade (raja Buton keempat). Perkawinan Bataraguru dengan perempuan
lain (selir) dikaruniai anak seorang laki-laki bernama Kijula.

83
7. LA BALUWU
Dalam Hikayat Negeri Buton dikisahkan bahwa La Baluwu adalah
putra Sangariarana (mentri Baluwu pertama) hasil perkawinannya dengan
Wa Guntu. Adapun Sangariarana adalah putra Betoambari (Menteri
Peropa pertama) dan Betoambari adalah putra Sipajongan yaitu raja di
Pulau Liya di Tanah Melayu. La Baluwu mengawini Bulawambona (Raja
Buton kedua) yaitu putri Wa Kaakaa hasil perkawinannya dengan Si
Batara (keduanya diriwayatkan berasal dari Kerajaan Majapahit.
Perkawinan La Baluwu dengan Bulawambona dikaruniai anak seorang
laki-laki bernama Bataraguru atau biasa dikenal dengan nama
Bancapatola.

8. KIJULA
Dalam Silsilah Bangsawan Buton dijelaskan bahwa Kijula adalah
putra Bataraguru (raja Buton ketiga) yaitu hasil perkawinannya dengan
selir. Perkawinan Bataraguru dengan Wa Eloncugi (permaisuri yaitu putri
Dungkucangia) dikaruniai anak tiga orang laki-laki, yaitu;
1. Rajamanguntu
2. Tuamaruju
3. Tuarade (raja Buton IV)

Rajamanguntu mengawini Wa Solongki (anak Raja Tobe-Tobe) yaitu;


1. La Katuturi
2. La Karakamba
3. Wa Ncorea, dan seorang perempuan bernama Wa Gurunci.
Kemudian La Katuturi mengawini Wa Banaka dikaruniai anak
empat orang: dua orang laki-laki, yaitu
84
1. La Kabaura
2. La Siridatu

dan dua orang perempuan,


3. Wa Salangi
4. Wa Melai

Adapun Kijula sebagaimana dikisahkan dalam Silsilah Bangsawan


Raja Buton adalah mengawini Wa Randea (putri raja Tiworo I bernama
La Tiworo) dikaruniai anak seorang perempuan bernama Wa Tubapala.

9. SUGIMANURU
Dalam sejarah lokal Kerajaan Muna, Sugimanuru tercatat sebagai raja
Muna VI (lihat La Ode Ali Hanafi; 2008: 72). Ia tergolong generasi kelima
dari raja Muna I bernama La Eli atau Baiduzzamami gelar Bheteno ne
Tombula. Adapun generasi keempat bernama Sugi La Ende (raja Muna
V), generasi ketiga bernama Sugi Patani (raja Muna IV), generasi kedua
bernama Sugi Ambona (raja Muna III), generasi pertama bernama Sugi
Patola (raja Muna II). Menurut versi sejarah Buton, La Eli (raja Muna I)
adalah putra Sibatara hasil perkawinannya dengan Wa Bokeo. La Eli
bersaudara kandung dengan La Tiworo (raja Tiworo I) dan bersaudara tiri
dengan Bulawambona (raja Buton II) yaitu dari hasil perkawinan Sibatara
dengan Wa Kaakaa (raja Buton I). Dalam versi mitos sejarah Kerajaan
Muna La Eli atau Baiduzzamami gelar Bheteno ne Tombula mengawini
Wa Tandiabe (We Tenriabeng?) dari Kerajaan Luwu.
Dalam Silsilah Bangsawan Buton, dijelaskan bahwa Sugimanuru
mengawini Wa Tubapala (putri Kijula hasil perkawinannya dengan Wa
Randea anak La Tiworo atau raja Tiworo) dikaruniai anak tiga orang, dua
85
orang laki-laki yaitu; pertama, Lakilaponto (Raja Buton VI (sultan Buton
I) gelar La Tolaki dan Murhum), kedua, La Posasu (gelar Kobangkuduno)
dan anaknya yang perempuan bernama Wa Ode Pogo atau Wa
Karamaguna. Adapun menurut versi sejarah Muna (lihat Couvreur, 1935)
Sugimanuru memiliki 14 orang anak, yaitu:
1. Kakodo,
2. Manguntara,
3. La Kakolo,
4. La Pana,
5. Tendridatu,
6. Kolipapoto,
7. Wa Sidakari,
8. Lakilaponto,
9. La Posasu,
10. Rimpaisomba,
11. Kiraimaguna,
12. Patolakamba,
13. Wa Gula, dan
14. Wa Ode Pogo.

10. LAKILAPONTO
Dalam sejarah Buton, Lakilaponto gelar Sultan Murhum Kaimuddin
tercatat sebagai Raja Buton VI dan Sultan Buton I (1519-1565). Menurut
versi sejarah Muna, sebelum menjabat raja atau Sultan Buton Lakilaponto
lebih dahulu menjabat sebagai Raja Muna VII selama tiga tahun. Dalam
Silsilah Bangsawan Buton, Lakilaponto atau Murhum atau La Tolaki

86
memiliki dua orang istri yaitu pertama Wa Tampaidonge atau biasa
dikenal dengan nama Boroko Malanga (putri Rajamuale raja Buton V) dan
kedua, Wa Sameka (putri Nganciraja saudara kandung Rajamulae).
Perkawinan Lakilaponto dengan Wa Tampaidonge dikaruniai anak tiga
orang, dua orang laki-laki yaitu pertama, La Tumparasi (sultan Buton II),
kedua, La Sangaji (sultan Buton III) dan ketiga seorang perempuan
bernama Wa Bunganila. Perkawinan Lakilaponto dengan Wa Sameka
dikaruniai anak tiga orang perempuan yaitu, pertama, Paramasuni, kedua,
Wa Sugirumpu dan ketiga Wa Betao. Paramasuni dikawini oleh La
Siridatu dikaruniai anak delapan orang: tujuh orang laki-laki, yaitu:
1. La Elangi (Sultan Buton IV);
2. La Nganjiraja (Sangia Waero-ero);
3. La Faajara (Sangia Lampenano);
4. La Rajangkatu (Sangia Lahulu);
5. La Siribaja (Sangia Kambowa);
6. La Kanidawa (Sangia Gundu-Gundu);
7. La Mantara (Sangia Lantongau);
dan seorang perempuan,
8. Wa Salangi (sangia di Wawonowo).

11. WA BUNGANILA
Dalam Silisilah Bangsawan diketahui bahwa Wa Bunganila (putri
Lakilaponto) dikawini oleh La Kabaura (saudara kandung La Siridatu).
Perkawinan Wa Bunganila dengan La Kabaura dikaruniai anak dua orang
laki-laki, yaitu:
1. La Bula (lalaki mancuana di Kumbewaha); dan

87
2. La Singga (Sangia di Tapi-Tapi).

12. LA BULA
Dalam sejarah Buton, La Bula dikenal sebagai salah seorang tokoh
utama dari tiga tokoh besar Buton yang menyusun undang-undang Buton
secara tertulis berdasarkan kitab Martabat Tujuh dan Sifat Dua Puluh.
Ketiga tokoh dimaksud adalah La Elangi gelar Dayanu Ikhsanuddin
(Sultan Buton IV dari bangsawan Tanailandu), La Singga (sapati, dari
bangsawan Kumbewaha), dan La Bula (kenepulu dari bangsawan Tapi-
Tapi). Mereka ini juga yang mendirikan kamboru-boru Talupalena yang
terdiri dari tiga kaum (kaomu Tanailandu, kaomu Tapi-Tapi dan kaomu
Kumbewaha). Menurut ketetapan mereka bahwa kelak yang akan
menjabat Sultan Buton harus berasal dari salah satu kaomu bangsawan
tersebut. La Elangi (sultan), La Bula (kenepulu), dan La Singga (sapati)
ketiga-tiganya adalah cucu Lakilaponto.
Dalam Silsilah Bangsawan Buton, La Bula diketahui memiliki tiga
orang istri yaitu Wa Lambencugi, Wa Manueja (anaknya Mentri Katapi),
dan Wa Ninisangka (kaum Peropa). Perkawinan La Bula dengan Wa
Lambencugi dikaruniai anak tiga orang, dua orang laki-laki yaitu, pertama
La Buke (Sultan Buton VI), kedua, Ibubaanalanda, dan seorang
perempuan bernama Mandawanigantarasanggaranabati. Selanjutnya
perkawinan La Bula dengan Wa Wanuaja dikaruniai anak seorang laki-laki
bernama La Napati atau Kasawari. Kemudian La Bula mengawini Wa
Ninisangka dikaruniai anak seorang laki-laki bernama La Arafaani (sapati
Baluwu).

88
13. LA ARAFAANI
La Arafaani (Sapati Baluwu) mengawini anak Sangia Gundu-Gundu
dikaruniai anak empat orang, satu orang laki-laki bernama La Dini gelar
Kabumbu Malanga (sultan Buton XIV) dan tiga orang perempuan yaitu
Wa Ode Karawu, Paapana Soromba, dan Paapana La Mana. Anak sapati
Baluwu dengan perempuan lain yaitu Paapana La Nasiri, Paapana
Sahabati, Wa Ode Sope, Wa Ode Koroni, Baluna Sura Wolio, Sapati Wa
Ode Wau, dan Bapak La Takalangi.

14. LA DINI (KABUMBU MALANGA)


La Dini (Sultan Buton XIV) mengawini anak Gogoli Liwuto atau
Mardan Ali atau La Cila (Sultan Buton VIII) dikaruniai anak seorang laki-
laki yaitu Sangia yi Manuru atau La Ngkariri (Sultan Buton XIX). Anak
La Dini dengan perempuan lain berjumlah delapan orang: tujuh orang laki-
laki,
1. Yarona Kamaru;
2. Sapati Kumbaweha;
3. Diunaida;
4. La Ode Kaili (Yarona Labora) di Muna;
5. Yarona Inulu;
6. Bapak Janjangi;
7. Sangia yi Tobe-Tobe atau La Seha (Sultan Buton XXII);
dan seorang perempuan,
8. Wa Ode Bola.

89
15. LA ODE KAILI
La Ode Kaili mengawini Wa Ode Tumada yaitu anak Sangia yi Kopea
La Umati (Sultan Buton XIII). Perkawinan mereka dikaruniai seorang
anak laki-laki bernama La Djampi gelar Lakina Agama Mancuana (Sultan
Buton XXIV). Wa Ode Tumada bersaudara kandung dengan La Ibi (Sultan
Buton XVII) dan La Karambau gelar oputa yi Koo atau Himayatuddin
(Sultan Buton XX dan XXIII).

16. LA DJAMPI
La Djampi mengawini anak Sangia yi Manuru atau La Ngkariri
(Sultan Buton XIX) dikaruniai anak tiga orang: dua orang anak laki-laki,
1. La Ode Walanda (Raja Waale-ale);
2. La Ode Badaru Oputa Lakina Agama Ana (Sultan Buton XXVII);
dan seorang perempuan,
3. Wa Ode Balante.

17. LA ODE BADARU


La Ode Badaru gelar Oputa Lakina Agama Ana mengawini Oputa yi
Lampenana dikaruniai anak empat orang: dua orang anak laki-laki, yaitu
1. La Ode Mushaleh (Raja Watumotobe);
2. Sultan Qaimuddin Aidurusu (sultan Buton XXIX);
dan dua anak perempuan,
3. Wa Ode Tangkabala;
4. Wa Ode Mihrab (raja Kalende).

90
18. SULTAN MUHAMMAD QAIMUDDIN AIDURUSU
Sultan Muhammad Qaimuddin Aidurusu atau yang dikenal dengan
nama Muhammad Idrus Qaimuddin diketahui memiliki 32 orang istri dan
memiliki 88 orang anak. Selengkapnya diuraikan seperti berikut:
1. Mengawini Wa Ode Baau dikaruniai anak 13 orang: 5 orang anak
laki-laki, yaitu
1) La Ode Abdullah;
2) Muhammad Isa (Sultan Buton XXX);
3) La Ode Kamaluddin;
4) La Ode Baadia (Raja Lia);
5) La Ode Umar;
dan 8 orang anak perempuan,
6) Wa Ode Maari (Kapitalao Kapitalao Bawine);
7) Wa Ode Hamida;
8) Wa Ode Siaida;
9) Wa Ode Salimaa (Baaluna Bombona Wulu);
10) Wa Ode Tamiima;
11) Wa Ode Muhasna;
12) Wa Ode Kamala; dan
13) Wa Ode Imalullah.
2. Mengawini Wa Ode Mapute dikaruniai anak 2 orang perempuan
14) Wa Ode Sauda; dan
15) Wa Ode Manira.
3. Mengawini Wa Ode Siribula dikaruniai anak 3 orang: 2 orang
anak laki-laki,
16) La Ode Miram (Raja Todanga); dan
91
17) La Ode Muhammad;
dan 1 orang perempuan,
18) Wa Ode Umati.
4. Mengawini Wa Ode Kampamanee dikaruniai anak 1 orang
perempuan
19) Wa Ode Faatima.
5. Mengawini Wa Ode Ana dikaruniai 1 orang anak perempuan
20) Wa Ode Hasina.
6. Mengawini Wa Ode Aminah dikaruniai anak 2 orang laki-laki
21) Muhammad Sakri; dan
22) Muhammad Kubra.
7. Mengawini Wa Ode Kamali dikaruniai anak 1 orang anak
perempuan
23) Tidak disebutkan namanya.
8. Mengawini Wa Jaga dikaruniai 1 orang anak laki-laki
24) Inisi.
9. Mengawini Belobaruga Batauga dikaruniai 3 orang anak Laki-laki
25) Abdullah;
26) La Baluwu; dan
27) Muhammad.
10. Mengawini Belobaruga Busoa dikaruniai 6 orang: 3 orang laki-
laki
28) La Ode Nuha (Kenepulu Yi Bente);
29) Muhammad;
30) Tamim;
dan 3 orang perempuan
92
31) Nafaa;
32) Zainab; dan
33) Salma.
11. Mengawini Belobaruga Kulincusu Wasiara dikaruniai 8 orang
anak laki-laki,
34) Ilias;
35) Abdul Hadi;
36) Daud;
37) Muhammad Yusuf;
38) Zahada;
39) Lianda;
40) Abadi; dan
41) Umat Al-Kalam.
12. Mengawini Kolencusu Wasiara dikaruniai 3 orang anak: 2 orang
laki-laki,
42) Abadi;
43) Yasir;
dan 1 orang perempuan,
44) Ramlia.
13. Mengawini Kolencusu Walanto dikaruniai 1 orang anak
perempuan,
45) Maemuna.
14. Mengawini Kolencusu Waina dikaruniai 1 orang laki-laki,
46) Muhammad Gento.
15. Megawini Kolencusu bukan Belobaruga dikaruniai 1 orang anak
laki-laki,
93
47) La Barangka (Yarona Lipu Molanga).
16. Mengawini Belobaruga Burukene dikaruniai 6 orang anak laki-
laki,
48) Harua (Raja Baadia);
49) La Mpara;
50) Jabal;
51) Haadia;
52) Maira; dan
53) Belum ada namanya.
17. Mengawini Belobaruga Liabuku dikaruniai 2 orang anak laki-laki,
54) Haya; dan
55) Belum ada namanya.
18. Mengawini Belobaruga Kaibaka dikaruniai 2 orang anak
perempuan,
56) Kabia; dan
57) Belum ada namanya.
19. Mengawini Belobaruga Tobe-Tobe dikaruniai 3 orang anak
perempuan,
58) Wa Bula;
59) Belum ada namanya;
60) Belum ada namanya.
20. Mengawini Belobarugana Mpata dikaruniai 1 orang anak Laki-
Laki,
61) Belum ada namanya.
21. Mengawini Belobarugana Malanga dikarunia 6 orang anak, 4
orang anak Laki-Laki,
94
62) Muhammad Saleh (sultan Buton XXXI);
63) Ilias;
64) Hadlin;
65) Muhammad;
dan 2 orang perempuan,
66) Nuryani; dan
67) Halimah.
22. Mengawini Belobarugana Taaluki dikaruniai anak 7 orang: 4
orang anak laki-laki,
68) Muhammad;
69) Hakim;
70) Haris;
71) Saleh;
dan 3 orang perempuan,
72) Maimuna;
73) Maliha; dan
74) Razina.
23. Mengawini Belobarugana Kaesabu dikaruniai 1 orang anak,
75) Kamaara.
24. Mengawini Belobarugana Laompo dikaruniai anak 3 orang: 1
orang Laki-Laki,
76) Hawad (Raja Laompo);
dan 2 orang perempuan,
77) Belum ada namanya;
78) Belum ada namanya.
25. Mengawini Wa Umbe dikaruniai 1 orang anak perempuan,
95
79) Belum ada namanya.
26. Mengawini perempuan lain dikaruniai anak 1 orang perempuan,
80) Aminah.
27. Mengawini Wa Lanja dikaruniai dikaruaniai 2 orang anak laki-
laki,
81) Abdul Al-Ghani; dan
82) Salama.
28. Mengawini Wa Sarapi dikaruniai anak 2 orang: 1 orang laki-laki,
83) Abdullah;
dan 1 orang perempuan
84) Wa Muumana.
29. Mengawini Wa Harisi dikaruniai anak 1 orang laki-laki,
85) Muhammad.
30. Megawini Wa Lini dikaruniai 1 orang anak perempuan,
86) Aminah.
31. Mengawini Wa Haari dikaruniai 1 orang anak perempuan,
87) Aisa.
32. Mengawini Wa Kamba dikaruniai 1 orang anak laki-laki,
88) La Mbila.

19. LA ODE ABADI


Dalam Silsilah Bangsawan Buton dijelaskan bahwa La Ode Abadi
(Yarona Baadia) putra Muhammad Idrus Kaimuddin, (sultan Buton XXIX)
mempunyai dua orang anak, satu orang laki-laki bernama La Ode Amane
(Yarona Hatibi Baadia) dan seorang perempuan bernama (Wa Ode
Hamida).

96
20. WA ODE HAMIDA
Dalam Silsilah Bangsawan Buton dijelaskan bahwa Wa Ode Hamida
dikawini oleh La Ode Rambega (anak raja Muna La Ode Bulae gelar
Sangia Laghada) dikaruniai anak seorang laki-laki bernama La Ode
Karape.

21. LA ODE KARAPE


Dalam Silsilah Bangsawan Buton dijelaskan bahwa La Ode Karape
mengawini Wa Ode Mangka (anak Kapitalao Lohia, La Ode Tao, dan La
Ode Tao adalah anak La Ode Ngkada gelar Kantolalo) dikaruniai anak
seorang perempuan bernama Wa Ode Ndimada.

22. WA ODE NDIMADA


Dalam Silsilah Bangsawan Buton dijelaskan bahwa Wa Ode Ndimada
dikawini oleh La Ode Dika (Raja Muna) dikaruniai anak beberapa orang di
antaranya, dua orang laki-laki, yaitu
1. La Ode Ndoasa; dan
2. La Ode Dliadin.

97
VI. Adat Perkawinan Orang Muna
6.1. Masa Pertunangan
Seperti pada umumnya masyarakat suku-suku bangsa di Nusantara
bahwa sebelum mengadakan upacara perkawinan lebih dahulu diadakan
pertunangan, maka demikian halnya dengan yang berlaku dalam tradisi
perkawinan penduduk asli di Muna. Masa pertunangan yang dilaksanakan
pada orang Muna pada dasarnya bukanlah untuk saling mengenal lebih
baik dan lebih mendalam. Maksudnya, bahwa masa pertunangan ini bukan
hanya untuk menyatakan bahwa kedua calon (si gadis dan si pemuda) itu
tidak bebas lagi, namun mereka telah terikat karena suatu perjanjian.
Memutuskan perjanjian mempunyai konsekuensi atau akibat keuangan
yang merugikan bagi pihak yang bersalah.
Persetujuan ini dibuat oleh ayah kedua calon tersebut, tanpa
mempertimbangkan apakah si gadis itu setuju atau tidak setuju dengan si
pemuda dimaksud. Bila ayah si gadis menganggap perkawinan yang
diminta ini baik, maka si gadis harus menerimanya dan hanya bisa
mengelakkannya dengan jalan melarikan diri dengan laki-laki lain dalam
masa pertunangan atau mengatakan bahwa ia tidak mau pada acara
perkawinan. Hal ini tentu saja menyebabkan orang tua dan keluarganya
menderita kesulitan keuangan yang berat. Peminangan ini mendahului
masa pertunangan. Jadi, masa pertunangan adalah masa antara peminangan
dan acara perkawinan. Selama masa pertunangan, kedua calon bagaikan
orang asing, bahkan tidak saling berbicara. Beginilah keadaan mereka
menurut ketentuan adat. Orang tua kedua belah pihak menjaga ketat agar
anak-anak mereka tidak saling berhubungan atau bergaul.

98
Adalah terjadi pada masa pertunangan bahwa si gadis dibawa ke
rumah tunangannya oleh keluarga kedua belah pihak, untuk berkenalan
dengan orang tua dan keluarganya. Pada waktu datang itu, sebelum
memasuki rumah ia mencuci kakinya dengan air yang dipersembahkan
kepadanya dalam piring yang mutlak bersih. Diadakan pesta kecil
setempat, di mana ia dihadiahkan dua lembar kain oleh bakal ibu
mertuanya.
Bagi si pemuda dan keluarganya masa pertunangan kadang-kadang
membawa biaya yang tinggi sekali. Ia harus menyediakan segala sesuatu
yang diperlukan di rumah tunangannya, biasanya ia dibantu oleh
keluarganya. Sering kali ia mengurus pemeliharaan keluarga tunangannya
(makanan, keperluan sirih, buah-buahan, dan lain-lain) yang disebut
paniwi. Pada pertunangan yang agak lama, paniwi ini bisa mencapai biaya
tinggi bagi dia dan keluarganya apalagi bila orang tua si gadis banyak
tuntutannya. Biasanya biaya yang dikeluarkan untuk ini kira-kira selaras
dengan mas kawin. Hanya maradika poino kontu lakono sau membayar
paniwi bukan dengan uang tetapi mereka menyediakan air dan kayu di
rumah tunangannya selama masa pertunangan dan mereka turut bekerja di
ladang orang tuanya. Hal semacam ini tidak disebut paniwi melainkan
disebut feompu.
Sering terjadi bahwa orang tua si gadis berusaha memperpanjang
masa pertunangan selama mungkin, agar sebanyak mungkin menikmati
paniwi atau feompu. Biasanya diberi alasan, bahwa si gadis belum dewasa
sehingga perkawinan belum bisa dilaksanakan. Pemberitahuan semacam
ini diterima sebagai kebenaran, tetapi bila sudah terlalu lama atau terlalu
sering dikatakan maka si pemuda dan keluarganya berusaha menanyakan
99
pada keluarga, tetangga atau kenalan si gadis apa benar ia belum dewasa?
Bila sudah mendapat kepastian bila si gadis sudah dewasa maka langkah
berikutnya ialah kawin lari.

6.2. Peminangan Golongan La Ode


Uraian berikut ini berlaku untuk peminangan dari sesama La Ode dan
dari seorang La Ode kepada gadis walaka. Bila seorang pemuda ingin
menikahi salah seorang gadis, sedangkan dia sendiri belum pernah
mengunjungi rumah orang tua si gadis, maka ia dapat meminta
pertolongan seorang teman atau kenalan yang sudah sering ke rumah orang
tua si gadis tersebut untuk memperkenalkannya kepada orang tua si gadis.
Selama beberapa waktu ia sering datang bertamu di rumah orang tua si
gadis, sampai mereka mengerti maksud kedatangannya. Bila telah sejauh
itu maka ia memberitahukan ayah si gadis bahwa ia ingin menikahi anak
gadisnya itu. Ayahnya dapat mengizinkan ataupun menolaknya. Bila
ayahnya menolak memberi izin, maka bagi si pemuda terbuka dua jalan,
yaitu pertama, dia menerima kehendak ayah si gadis, dan yang kedua
melarikan si gadis. Kedua jalan itu memaksa sang ayah laki-laki itu
memberi izin untuk perkawinannya. Pemberian izin sang ayah selalu ia
perlukan karena ia harus membayar bukti-bukti pertunangan dan mas
kawinnya.
Apabila ayah laki-laki itu menyetujui rencana perkawinan anaknya
maka sang ayah memberitahukan kepada keluarganya yang La Ode
beberapa orang dan seorang dari golongan walaka yang memiliki jabatan
adat di kampung itu bahwa putranya ingin mengawini seorang gadis
tertentu. Kemudian salah satu dari mereka pergi ke rumah si gadis pada

100
suatu hari yang telah ditetapkan sebagai hari baik dan memberitahukan
atas nama ayah si pemuda tadi kepada ayah si gadis bahwa si pemuda
ingin mengawini anak gadisnya. Pada saat itu langsung membawa uang
sejumlah 5 bhoka dan sebuah cincin emas; hadiah ini diperuntukkan
kepada si gadis, tetapi diberikan melalui ayah si gadis. Hadiah ini
dinamakan kafeena. Ayah si gadis dapat langsung mengatakan bahwa ia
tidak memberi izin untuk perkawinan ini dan dengan ini semuanya
dianggap telah selesai, kecuali jika akan ada kawin lari. Uang sebesar 5
bhoka dan cincin tadi tidak dikembalikan, yaitu tetap disimpan oleh ayah
si gadis. Bila ia menyetujuinya, maka kafeena dianggap sebagai bukti
pertunangan dan kedua calon dianggap telah bertunangan.
Wakil ayah pemuda itu tidak datang sendiri, tetapi ditemani oleh
beberapa orang yaitu beberapa anggota keluarga yang wanita atau kenalan
baik si pemuda tersebut. Para wanita ini bertugas menyelidiki si gadis
maupun ibu si gadis mengenai ikhwal rencana pernikahan mendatang itu.
Biasanya mereka tidak mendapat jawaban yang pasti. Apabila ayah si
gadis itu merestui, maka segera diadakan pesta kecil yang semua
pembiayaannya ditanggung oleh keluarga sang pemuda. Wakil ayahnya
berjanji akan kembali lagi dalam beberapa waktu ke depan.
Pada hari baik yang telah ditentukan, mereka pergi lagi ke rumah si
gadis, dengan ditemani beberapa anggota keluarga termasuk para wanita
dan biasanya ayah si pemuda pergi juga. Hal ini dilakukan apabila pada
kedatangan yang pertama memperoleh kesan bahwa si gadis tidak terlalu
ingin dikawinkan. Para wanita ini mempunyai tugas lagi untuk menyelidiki
si gadis dan ibunya mengenai perkawinan ini, tetapi sebagaimana biasanya
ibu si gadis memberikan jawaban semacam menghindar sedangkan si
101
gadis sendiri tetap membisu. Pada saat itu mereka membawa uang sebesar
10 bhoka sebagai tanda sara atau sara-sara atau bukti perkawinan. Uang
tersebut diserahkan kepada ayah si gadis yang disebut kantaburi atau
kaangkafi. Uang tersebut dibagi dua masing-masing 5 bhoka; 5 bhoka
diperuntukkan kepada orang tua si gadis, dan 5 bhokanya lagi
diperuntukkan untuk saudara laki-laki si gadis, yaitu yang dinamakan
halano lalo atau fumaano fini moghane (uang makan saudara laki-laki).
Pada saat penyerahan uang itu harus disebutkan untuk siapa uang itu.
Apabila ayah si gadis tidak memberi restu maka uang yang 10 bhoka itu
dikembalikan, sedangkan uang yang 5 bhoka yang dibawa pertama tidak
dikembalikan (uang kafeena). Kadang-kadang ayah si gadis tidak
mengatakan ya atau tidak akan tetapi mengemukakan suatu alasan bahwa
akan membicarakan hal ini dahulu dengan putrinya sekali lagi, lalu dia
menentukan suatu waktu mereka akan kembali lagi, maka selama itu pula
kantaburi yang 10 bhoka masih tetap disimpan. Bisa juga terjadi ayah si
gadis langsung menanyakan kepada putrinya atau pun melalui istrinya
apakah ia harus menerima uang itu. Pada umumnya jawaban si gadis
dianggap tidak terlalu penting, karena bilamana si pemuda setelah
membayar kafeena sudah membuat biaya paniwi, maka ayah si gadis
berhak meneruskan perkawinan itu walaupun sesungguhnya bertentangan
dengan kemauannya.
Apabila ayah si gadis memberi restu maka batas waktu ditentukan
untuk membayar sara-sara. Pada umumnya pelaksanaannya tidak terlalu
ketat dalam hal ini bila perkawinan itu adalah antara orang-orang dari
golongan yang sama (antara seorang La Ode dengan seorang Wa Ode).
Apabila perkawinan itu misalnya antara seorang laki-laki La Ode dengan
102
seorang gadis walaka (orang yang tidak sama golongannya) maka
biasanya diminta agar sara-sara dibayar seluruhnya sebelum acara
perkawinan. Pada perkawinan antara golongan yang sama biasanya
ditetapkan bersama bahwa mas kawinnya tidak harus dibayar sekaligus,
dapat berlangsung hingga bertahun-tahun. Dengan adanya tanda sara atau
kantaburi yang 10 bhoka maka setengah dari mas kawin sudah dibayar,
tinggal 10 bhoka yang masih perlu dibayar (total 20 bhoka).

6.3. Peminangan Golongan Walaka dan Maradika


Cara peminangan golongan walaka dan maradika adalah sama, yang
berbeda hanyalah jumlah uang bhoka yang harus dibayar. Bila seorang
pemuda ingin mengawini seorang gadis tertentu dan ia sendiri belum
pernah ke rumahnya, ia mencari seorang teman atau kenalan yang sudah
sering ke rumah si gadis tersebut untuk memperkenalkan diri kepada orang
tua si gadis. Bila telah beberapa kali ia telah ke rumah si gadis dan
dipastikan orang tua si gadis telah memahami maksud kedatangannya,
maka si pemuda itu meminta bantuan seorang teman atau seorang kenalan
lagi untuk memberi hadiah kepada si gadis itu. Hadiah dimaksud
dinamakan kafeena atau kabhentano pongke (lubang telinga,
dimaksudkan agar si gadis dapat mengerti maksudnya). Berapa besaran
nilai mata uang atau bhoka yang dimaksud tentu sesuai kesepakatan atau
ketentuan adat. Menurut Couvreur (1935), untuk perempuan walaka
seharga satu ringgit (Rp 2,50 atau sebhoka sekupa), perempuan
anangkolaki Rp 1,30, perempuan maradikano ghoera poino kontu
lakono sau Rp 0,30 dan perempuan keturunan budak Rp 0,70. Hadiah atau
kafeena atau kabhentano pongke ini diberikan kepada si gadis di luar

103
pengetahuan orang tuanya. Gadis itu menerima uang tersebut dan
menyampaikan pada si pengantar apakah ia mau bertunangan dengan si
pemberi hadiah atau tidak. Bila ia tidak mau, maka ia tetap menaruh uang
itu. Tetapi bila menyatakan menyetujui adanya suatu pertunangan maka si
pemuda memberi tahu ayahnya bahwa ia ingin mengawini si gadis tersebut
karena berdasarkan informasi dari si gadis ia tidak merasa keberatan. Pada
hari yang baik, ayahnya atau seorang yang mewakilinya pergi ke rumah
orang tua si gadis untuk menindaklanjuti serta membicarakan perihal
rencana perkawinan. Setelah itu, maka pada waktu dan hari yang baik lagi
ayahnya atau yang mewakilinya pergi lagi ke rumah orang tua si gadis
dengan ditemani oleh beberapa anggota keluarga dan atau kenalan sambil
membawa serta sejumlah uang yang diperuntukkan bagi si gadis dan
segera setelah memasuki rumah tersebut diserahkan kepadanya dengan
disaksikan oleh orang tua si gadis. Biasa juga uang tersebut diberikan
kepada ayah si gadis kemudian sang ayah bertanya kepada putrinya apakah
uang tersebut harus diterimanya atau tidak. Bisa juga uang tersebut
diterimanya sambil berkata “bicaralah sendiri dengan putriku”. Bila
putrinya berkata “ya” maka uang itu diberikan kepadanya. Adapun jumlah
uang yang dibawa sebagaimana dikemukakan Couvreur (1935) sebagai
berikut, para walaka Rp 5, para anangkolaki Rp 2,40, para maradikano
ghoera Rp 1,30, para keturunan budak Rp 1,30 dan para maradika poino
kontu lakono sau tidak membayar apa-apa tetapi mereka segera membayar
mas kawinnya atau sebagiannya. Bila ayah si gadis tidak mengizinkan
adanya suatu perkawinan, maka si gadis ditanya oleh ibunya apakah ia
bersedia kawin dengan si pemuda tersebut. Bila ia menolak maka kafeena
yang kedua pun dikembalikan dan dengan demikian perkawinan tidak bisa
104
dilakukan. Setelah pembayaran dan penerimaan kafeena yang kedua,
kedua calon itu dianggap telah bertunangan. Pada malam itu juga diadakan
pesta di rumah orang tua si gadis di mana orang makan dan minum atas
biaya si pemuda. Pada saat itu juga dibicarakan penentuan hari
perkawinan, di mana diperlukan lagi seorang pande kutika untuk
menentukan hari baik dan sekaligus dibicarakan juga masalah pembayaran
mas kawin. Pada perkawinan golongan ini mas kawin dapat dibayarkan
dengan cara mencicil, bilamana terjadi perkawinan antara sesama
golongan. Berbeda dengan kantaburi pada golongan La Ode, kafeena yang
kedua tidak dianggap sebagai bagian dari mas kawin sehingga mas kawin
masih harus dibayar seluruhnya. Baik pada golongan walaka maupun pada
golongan maradika, calon pasangan pengantin laki-laki harus mengurus
paniwi atau feompu selama masa pertunangan.

6.4. Peminangan Golongan La Ode dan Walaka kepada


Wanita Golongan Maradika
Menurut adat, seorang laki-laki dari golongan lebih tinggi boleh
mengawini seorang wanita dari golongan maradika. Adapun
peminangannya adalah seorang La Ode atau walaka pergi ke rumah ayah
si gadis lalu duduk di lubang pintu atau sekitarnya, kemudian ia menyuruh
seorang teman serumah gadis itu untuk menyerahkan sebuah hadiah
kepada si gadis atau membawanya ke dalam kamarnya. Hadiah itu disebut
kaghombuni yang biasanya berupa kerisnya, sebilah pisau, selembar baju
bagus, sebuah sapu tangan dengan sedikit uang di dalamnya dan
sebagainya. Penerimaan hadiah itu berarti bahwa si gadis menerima
pinangan itu. Di sini boleh langsung dipastikan bahwa pinangan semacam

105
ini tidak pernah ditolak, karena ini merupakan suatu kehormatan bagi
seluruh keluarganya bilamana sorang gadis kawin dengan seorang La Ode
atau seorang walaka. Bila hadiah diterima, si lelaki langsung membayar
mas kawin. Berapa besarnya mas kawin tidak ditentukan seperti pada
perkawinan lainnya. Perkawinan seperti ini si gadis tetap mempertahankan
golongannya tetapi ia memakai pakaian wanita dari golongan suaminya,
sedangkan anak-anaknya yang lahir dari perkawinan ini diterima dalam
golongan suaminya. Hal ini terjadi bilamana mas kawin yang dijanjikan
dibayar lunas. Bila belum dibayar lunas, maka anak-anak ikut golongan
ibunya. Untuk menghindari hal seperti ini, maka pada perkawinan di
antara golongan yang berbeda, ayah si gadis menuntut agar mas kawin
dibayarkan sebelum pelaksanaan perkawinan.

6.4.1. Kawin Lari


Pada masa lampau, kadang-kadang orang tua si gadis memperpanjang
masa pertunangan agar menikmati paniwi atau feompu dari pihak laki-
laki sebanyak mungkin. Ada berbagai alasan dari pihak orang tua si gadis
misalnya anak gadisnya belum dewasa. Biasanya si laki-laki tunangannya
berusaha berhubungan dengan si gadis (melalui perantara seorang anggota
keluarga atau teman baik) untuk mengajaknya kawin lari. Bila si gadis
menyetujuinya, maka disepakati suatu waktu dan tempat di mana
tunangannya akan menunggu. Pada malam yang telah ditentukan, maka
seorang gadis itu dibawa oleh seorang anggota keluarga atau orang lain
yang masuk dalam komplotan itu pergi ke tempat yang telah ditentukan.
Di tempat itu tunangannya menunggu dengan kuda atau tandu dengan
beberapa anggota keluarga laki-laki dan teman-temannya. Si gadis dibawa

106
dengan kuda atau tandu ke rumah tunangannya atau salah seorang anggota
keluarganya di mana ia bermalam.
Keesokan harinya, bila ia telah bermalam di rumah orang lain yang
bukan rumah orang tua tunangannya, maka penghuni rumah tersebut pergi
memberitahukan hal ini kepada ayah si laki-laki bahwa si gadis berada di
dalam rumahnya. Ayah si pemuda kemudian pergi ke rumah orang tua si
gadis untuk memberitahukan di mana anak gadisnya berada. Biasanya ia
membawa serta dari sebagian mas kawin, kadang-kadang juga seluruhnya,
kemudian ditentukan bahwa perkawinan segera akan dilaksanakan.
Kejadian seperti ini berlaku pada semua golongan; La Ode, walaka dan
maradika dengan catatan bahwa pada kawin lari bahwa seorang gadis
maradika tidak memakai kuda atau tandu ke rumah orang tua tunangannya
atau salah seorang keluarganya, tetapi dibawa dengan dipikul di atas bahu
anggota keluarga atau teman yang menemani tunangannya pada waktu
kawin lari itu.
Kawin lari dapat dilakukan pada berbagai waktu:
1. Sebelum pembayaran bukti pertunangan;
2. Sesudah pembayaran bukti pertunangan; dan
3. Pada para La Ode, setelah pada pembayaran kantaburi.

Kawin lari juga dapat terjadi karena berbagai alasan di antaranya:


1. Pihak keluarga laki-laki tidak mampu menyelenggarakan pesta
besar sebagaimana yang diinginkan pihak keluarga perempuan;
2. Laki-laki dan perempuan tidak segolongan, misalnya laki-laki
walaka dan perempuan Wa Ode;
3. Si laki-laki dan si wanita saling mencintai tetapi tidak mendapat
restu dari kedua belah pihak atau salah satu pihak; dan
107
4. Si gadis telah hamil di luar nikah.

Bila kawin lari itu dilakukan sebelum adanya pembayaran apapun,


maka hal ini tidak membawa akibat keuangan yang merugikan bagi ayah si
pemuda (kafeena pertama pada walaka dan maradika tidak terhitung
karena secara resmi orang tuanya tidak mengetahuinya). Berbeda halnya
dengan kawin lari yang dilakukan setelah pembayaran bukti pertunangan.
Jadi, pada para La Ode setelah pembayaran dari kafeena pertama (5 bhoka
dan cincin emas) dan pada walaka dan maradika setelah pembayaran
kafeena yang kedua. Dalam hal ini ayah si gadis berhak menuntut
pembayaran denda (kasangilai) dari ayah si pemuda. Denda tersebut
berbeda menurut golongan masing-masing, yaitu:
1. Golongan La Ode sebesar 10 bhoka;
2. Walaka 10 suku (di Tongkuno 5 bhoka);
3. Anangkolaki 5 suku;
4. Maradikano ghoera 5 tali;
5. Keturunan bekas budak 5 tali; dan
6. Maradika poino kontu lakono sau setelah membawar sebagian mas
kawin tidak lagi membayar kafeena.

Bila kawin lari itu terjadi setelah pembayaran kantaburi (hanya


berlaku pada golongan La Ode), maka dikenakan juga denda. Denda ini
juga 10 bhoka, denda ini dahulu di ghoerano Tongkuno untuk walaka lebih
tinggi daripada di wilayah lainnya. Pada zaman dahulu harga kasangilai
untuk para walaka di semua ghoera adalah sama yaitu 5 bhoka atau
sepertiga dari mas kawin. Pada masa pemerintahan raja Muna (merangkap
sultan Buton bernama La Ode Ahmad Matubu) sebagaimana dikemukakan
108
Courveur (1935) dirasakan bahwa mas kawin dan kasangilai dianggap
telah tinggi untuk para walaka. Oleh karena itu, Syarat Muna memutuskan
untuk menurunkan mas kawin dan kasingilai. Denda ini kemudian
ditetapkan setengahnya atau 10 suku, tetapi keputusan ini diambil tanpa
kehadiran bhonto bhalano yang pada waktu itu berasal dari ghoerano
Tongkuno. Ketika ia mendengarnya, ia tidak menyetujuinya dan menolak
menerapkan aturan baru ini dalam ghoerano Tongkuno. Oleh karena itu,
mas kawin maupun kasangilai tetap pada ketentuan lama.
Kasangilai tidak dihitung sebagai bagian dari mas kawin sehingga
harus dibayar ekstra pada mas kawin. Denda ini dibagikan antar keluarga
si gadis dan tidak hanya harus dibayar dalam hal kawin lari. Bila hal ini
terjadi setelah orang tuanya secara resmi diberitahukan mengenai rencana
perkawinan. Bila sesudah kawin lari ayah si gadis tetap menolak untuk
memberi izin akan adanya perkawinan, maka perkawinan bisa tetap
terjadi. Kedua calon yang bertunangan harus berpaling kepada imam kota
Muna dan bila di dalam bharata pada imam bharata dengan permintaan
untuk mengawinkan mereka. Imam kemudian mengirim seorang atau dua
orang modhi untuk mempengaruhi ayah si gadis agar memberikan izinnya.
Bila ia menolak, maka modhi kembali kepada imam; sesudah beberapa
waktu ia mengirim kembali untuk mempengaruhi ayah si gadis. Bila hal
ini telah terjadi tiga kali dan ayah si gadis tetap tidak mengizinkan, maka
perkawinan dilaksanakan oleh imam atas nama raja Muna. Raja Muna,
yang dianggap sebagai ayah dari semua orang Muna, lalu bertindak
sebagai wali dari si gadis, akan tetapi ia sendiri tidak perlu hadir dalam
perkawinan. Dalam hal ini tidak dibayar denda karena kawin lari, bahkan

109
kantaburi dan kafeena juga tidak dibayar. Karena penolakannya ini, ayah si
gadis kehilangan dan ia hanya menerima mas kawin.

6.4.2. Mas Kawin


Sebenarnya mas kawin telah ditentukan oleh Syarat Muna yang
berlaku untuk semua golongan; baik perkawinan antara orang dari
golongan yang sama maupun perkawinan dari golongan orang yang tidak
sama. Sehingga dengan demikian nilai mas kawin tidak pernah lagi
dibicarakan pada perundingan perkawinan. Dalam perkembangan faktanya
di lapangan seringkali nilai yang telah ditetapkan tidak lagi diikuti bahkan
sering dibayar kurang, tidak saja disebabkan keadaan ekonomi melainkan
juga karena berbagai alasan misalnya karena sudah ada hubungan antara
kedua pasangan calon ataupun karena orang tua si gadis tidak tahu berapa
mas kawin yang harus diminta. Perkawinan seorang laki-laki La Ode dan
walaka dengan gadis maradika mas kawinnya tidak ditentukan oleh Syarat
Muna, tetapi melalui kesepakatan para orang tua. Perkawinan seperti ini
mas kawinnya kadang-kadang dibayarkan dengan sangat tinggi kadang-
kadang pula sangat rendah.
Ketentuan mas kawin dalam satuan bhoka menurut golongan masing-
masing, yaitu:
1. Golongan La Ode sebesar 20 bhoka;
2. Golongan walaka ghoerano Tongku sebesar 15 bhoka;
3. Golongan walaka untuk ghoerano Lawa kabhawo dan Katobu
sebesar 12 bhoka dan dua suku;
4. Golongan anangkolaki sebesar 7 bhoka dan dua suku;
5. Golongan maradikano ghoera sebesar 3 bhoka dan dua suku;

110
6. Golongan maradika poino kontu lakono sau 3 suku dan 1 tali; dan
7. Bekas budak dan keturunannya sebesar 3 bhoka dan 2 suku.
Nilai yang tinggi sekali untuk golongan terakhir disebabkan karena
budak-budak dahulu semuanya berasal dari golongan maradika (golongan
La Ode dan walaka menurut adat tidak bisa dihukum menjadi budak). Pada
zaman dahulu Syarat Muna telah menetapkan mas kawin untuk budak
perempuan yang jumlahnya sama dengan kelas menengah dari golongan
maradika yaitu maradikano ghoera. Mas kawinnya sebesar 3 bhoka dan 2
suku pada zaman dahulu hanya berlaku untuk hidup bersama antara budak
laki-laki dan budak perempuan, jadi antara golongan yang sama.
Seorang La Ode atau seorang walaka dapat mengawini seorang budak
perempuan, tetapi harus menebusnya dahulu yaitu dengan jalan membayar
11 bhoka kepada tuannya, tidak perlu membayar kafeena atau mas kawin
lagi. Bila seorang maradika mengawini seorang budak perempuan, maka
secara otomatis dia masuk golongan budak karena perkawinannya itu.
Pada perkawinan golongan wasembali; mas kawin ditentukan menurut
golongan perempuan, maksudanya menurut golongan setingkatnya. Jadi,
dalam hal ini seorang Wa Ode wasembali disamakan dengan golongan
walaka dan seorang walaka wasembali disamakan dengan golongan
anangkolaki.
Perkawinan antara seorang Wa Ode dengan seorang La Ode
wasembali menurut adat dibolehkan, demikian pula perkawinan antara
seorang wanita walaka dengan seorang laki-laki maradika wasembali
dibolehkan, tetapi mas kawinnya dinaikan menjadi 70 bhoka untuk yang
pertama dan 35 bhoka untuk uang kedua. Pada perkawinan antara sesama
golongan, sebagian dari mas kawin harus dibayarkan pada hari
111
perkawinannya sebelum pelaksanaan acara perkawinan terkecuali pada
golongan La Ode, karena dengan pembayaran kantaburi separuhnya sudah
terpenuhi. Pada perkawinan antara golongan yang berbeda, misalnya
antara seorang La Ode dan seorang wanita walaka atau seorang La Ode
atau seorang walaka dengan seorang wanita maradika maka mas kawin
dimintakan dibayar penuh sebelum acara pelaksanaan upacara perkawinan.
Hal ini dituntut oleh ayah si gadis demi kepentingan anaknya, yang
dilahirkan kelak. Apabila mas kawinnya tidak dipenuhi keseluruhannya,
maka anak-anak termasuk golongan ibunya. Bila seorang La Ode kawin
dengan seorang wanita walaka atau dengan seorang wanita maradika dan
mas kawinnya dibayar seluruhnya dalam waktu yang telah ditentukan oleh
ayah si gadis, maka anak-anak yang akan dilahirkan dalam perkawinan ini
termasuk golongan La Ode. Apabila tidak membaya mas kawin oleh
seorang La Ode atau seorang walaka maka ayah si gadis dapat mengajukan
gugatan perdata kepada laki-laki tersebut melalui Syarat Muna. Namun,
Syarat Muna tidak dapat menghukum laki-laki itu agar membayar,
melainkan hanya memerintahkannya agar secepatnya dapat melunasinya.
Biasanya mereka langsung melunasi karena takut kepada Syarat Muna.
Pada golongan maradika hal semacam ini diurus oleh syarat kampung.
Biasanya orang bersangkutan berusaha untuk membayar atau melunasi
karena selama ia belum melunasi ia selalu diperingatkan sehingga
akhirnya ia tidak merasa nyaman tinggal di kampung tersebut.
Bila seorang laki-laki mengawini seorang wanita dari kampung lain,
ikhwal tidak terbayarnya mas kawin bisa memicu terjadinya perkelahian di
antara kampung-kampung itu. Menurut Couvreur (1935), hal ini pernah
terjadi sekitar tahun 1904 di kampung Wakumoro dan Lakologou. Pada
112
waktu itu seorang laki-laki dari Wakumoro yang mengawini seorang
wanita dari Lakologou tidak memenuhi mas kawinnya sehingga orang dari
Lakologou berusaha menangkapnya di Wakumoro tetapi ditentang oleh
penduduk Wakumoro. Sampai pada tahun 1930-an masih banyak
ditemukan pengaduan kepada Syarat Muna karena tidak terbayarnya sara-
sara (mas kawin), tetapi mereka itu tidak lagi ditakuti. Bila dalam
pemeriksaan pengaduan semacam ini ternyata bahwa seorang beritikad
baik untuk memenuhi sara-sara tetapi ia tidak lagi mampu maka ia bisa
tertolong. Ghoerano bisa meminta bantuan dari orang-orang segolongan
dengan orang berutang yang berasal dari kampungnya sendiri.
Adapun sara-sara yang baru dibayar sekaligus dan paniwi, dalam
perkawinan antara golongan yang berbeda, diikuti aturan yang ditentukan
untuk golongan laki-laki, terkecuali pada perkawinan wasembali
mengikuti peraturan untuk golongan wanita. Pada perkawinan seorang La
Ode dan walaka dengan wanita maradika di mana mas kawinnya tidak
ditentukan. Dengan demikian, seorang La Ode yang akan mengawini
seorang wanita walaka harus membayar sara-sara untuk golongan La Ode
yang pada tahun 1930-an sebesar Rp 48. Pada peminangan seorang La Ode
pada seorang wanita walaka, ia membayar bukti pertunangan dan
kantaburi sekaligus. Harganya jauh lebih murah daripada peminangan
pada seorang Wa Ode yang hanya membayar sejumlah Rp 7,5.
Pembayaran ini disebut kafeena. Bila ayahnya setuju dengan peminangan
itu, maka ia menerima jumlah tersebut, tetapi bila tidak setuju maka
keseluruhannya harus dikembalikan. Orang yang menerima mas kawin itu
tidak boleh menyimpannya sendiri. Uang itu harus dibagikan dengan
anggota keluarga si gadis. Pembagian ini dilakukan menurut kemauan
113
sendiri, tidak ditentukan berapa besar yang harus diterima setiap anggota
keluarga. Pembagian meluas sehingga sepupu tiga kali, bilamana mereka
ini tinggal pada kampung yang sama. Bila tidak, maka pembagian antara
anggota keluarga hanya sampai sepupu satu kali. Bila mereka ini tinggal di
kampung lain mereka dipanggil untuk pembagian itu. Kadang-kadang juga
uang itu dibelikan kameko (tuak) dan diadakan pesta kecil, tetapi tidak
boleh sampai menghabiskan uang itu, karena para anggota keluarga tetap
juga harus menerima uang.
Pasangan yang telah resmi bercerai dan berkeinginan mau kawin
kembali untuk kedua kalinya dalam perkawinan perbaikan (yaitu sesudah
talak ketiga, atau bila si wanita tidak diambil kembali dalam jangka 100
hari setelah talak pertama atau kedua = rujuk= posuliki), maka sara-sara
harus dibayar ulang, tetapi pembayaran lainnya seperti kafeena dan
kantaburi tidak perlu lagi.
Bila laki-laki orang asing (maksudnya bukan orang Muna, termasuk
orang Buton masuk kategori orang asing) yang mau mengawini seorang
wanita Muna berlaku ketentuan yaitu wajib membayar mas kawin yang
jauh lebih tinggi lagi dari harga yang ditentukan untuk perkawinan antara
orang Muna (disebut fetegho rumampe) misalnya; seorang Wa Ode
dengan laki-laki asing harus membayar mas kawin 140 bhoka, pada
perkawinan dengan seorang perempuan walaka mas kawinnya sebesar 70
bhoka, pada perempuan anagkolaki mas kawinnya 35 bhoka, pada wanita
maradikano ghoera mas kawinnya 22 bhoka dan 1 suku, dan pada
perempuan maradika poino kontu lakono sau mas kawinnya 11 bhoka dan
1 suku. Ada beberapa alasan sehingga jumlahnya tinggi; pertama,
golongan laki-laki asing itu tidak diketahui asal-usulnya; kedua, pada mas
114
kawin diperhitungkan jumlah redea untuk menghindari tidak diterimanya
pengganti kerugian “rasa malu” bila si laki-laki itu beberapa hari sesudah
perkawinan lalu menghilang dan si wanita ditinggalkan. Bila golongan
laki-laki diketahui maka biasanya dimintakan jumlah yang lebih tinggi,
pertama, untuk redea dan kedua, karena merupakan suatu kehormatan
bagi orang asing jika diperbolehkan mengawini seorang wanita Muna.
Jumlah ini 50% lebih tinggi daripada sara-sara untuk perkawinan dengan
laki-laki Muna dari golongan yang sama dengan si wanita.
Menurut Couvreur (1935), sampai tahun 1930-an banyak ditemukan
orang asing yang menetap di Muna, dan telah dianggap sebagai orang
Muna, tetapi biasanya mas kawin yang dimintakan lebih tinggi. Di Kota
Raha sering terjadi permintaan mas kawin yang lebih tinggi nilainya yang
ditentukan dalam adat untuk golongan wanita pada perkawinan dengan
laki-laki dari golongan orang asing. Perkawinan dengan orang asing
disebut Limba dolango “di luar pulau” atau di seberang laut.
Bila menginginkan mengawini seorang janda, maka tidak perlu
dimintakan izin dari ayahnya, maka kafeena dan kantaburi (untuk
golongan La Ode) dibayarkan kepada si Ayah. Bila si wanita tinggal di
rumah sendiri maka tidak ada pembayaran kafeena dan kantaburi.
Adapun sara-sara atau mas kawin tetap dibayarkan kepada ayahnya. Bila
tidak ada perkawinan, tetapi hanya hidup bersama dengan seorang wanita,
maka kafeena dan sara-sara tetap harus dibayarkan kepada ayahnya
sedangkan bukti pertunangan dan paniwi dihilangkan.

115
6.4.3. Akibat Pemutusan Perjanjian Perkawinan
Apabila seorang pria telah melunasi seluruh atau sebagian mas kawin,
akan tetapi kemudian menikahi wanita lain, maka uang yang telah
dibayarkan dinyatakan hangus dan ayah si gadis tidak perlu
mengembalikan apapun, justru sang ayah dapat menuntut biaya kasangilai
dari pria tersebut, yaitu nilainya setengah dari kasangilai pada kawin lari.
Apabila si pria membatalkan pertunangannya, tetapi tidak menikah dengan
wanita lain, maka tidak ada tuntutan biaya kasangilai, tetapi pembayaran
yang telah diserahkan kepada ayah calon pengantin wanita dinyatakan
hangus atau tidak dikembalikan.
Apabila calon pengantin wanita berkata tidak mau kawin pada saat
akan dilaksanakan akad nikah, maka ayah wanita tersebut wajib membayar
kembali mas kawin yang telah ia terima. Yang lebih dahulu dibayar yaitu
kafeena tidak dibayar kembali, begitupun dengan ongkos paniwi. Di
kalangan La Ode, kantaburi tetap dibayar kembali karena merupakan
bagian dari mas kawin.
Apabila sang ayah dari calon pengantin wanita menarik kembali
persetujuan pertamanya, yang berarti pembatalan dari pernikahan putrinya,
maka segala pembayaran yang telah diterima harus dikembalikan,
terkecuali biaya kafeena (yaitu biaya bukti pertunangan), yang telah
dilunasi di hadapan para orang tua masing-masing. Peraturan ini juga
berlaku jika calon pengantin wanita menikah dengan pria yang lain dalam
masa pertunangannya. Dalam kedua hal tersebut biaya paniwi tetap
dibayar kembali.

116
6.4.4. Pasangan Pernikahan yang Dibolehkan
Menurut adat Muna, pasangan pernikahan yang diperbolehkan pada
zaman dahulu, yakni sebagai berikut.
1. Orang dari golongan yang sama;
2. kaum laki-laki dari golongan yang lebih tinggi dengan wanita dari
golongan yang lebih rendah;
3. anggota keluarga yang bukan saudara kandung sampai sepupu satu
kali; dan
4. kaum wanita wasembali dengan kaum pria dari golongan ayah
wanita tersebut.

6.4.5. Pasangan Pernikahan yang Dilarang


Menurut adat Muna, pasangan pernikahan yang dilarang termasuk
pasangan yang hidup bersama, yakni sebagai berikut.
1. Kaum wanita dari golongan tinggi dengan pria dari golongan
rendah;
2. kaum maradika jika pria berlainan golongan dengan wanita
(umpama seorang anangkolaki dengan seorang maradika poino
kontu lakono sau;
3. anggota keluarga yang lebih dekat dari sepupu satu kali atau anak-
anak tiri; dan
4. dengan calon istri yang kelima.

117
6.4.5.1. Wanita dari Golongan Tinggi Dilarang Menikah
dengan Laki-Laki dari Golongan Lebih Rendah
Menurut peraturan adat Muna, zaman dahulu seorang Wa Ode atau
walaka dilarang menikah dengan seorang laki-laki dari golongan
maradika. Sampai tahun 1930 sebagaimana dikemukakan Couvreur
(1935), pasangan pernikahan seperti ini ditolak oleh petugas agama yang
berwenang. Oleh karena itu, sampai tahun 1930-an si wanita yang tidak
ingin melepaskan pilihannya itu menjalankan cara hidup bersama. Pada
zaman dahulu, pasangan hidup bersama ini ditindaki dengan hukuman
mati. Si pria ditusuk sampai mati kemudian tubuhnya dibelah empat
bagian; badannya dengan pahanya dikuburkan, sedangkan kepalanya,
tangannya, lengannya dan kakinya, masing-masing digantung di sepanjang
jalan menuju Kota Muna. Si wanita yang bersangkutan ditanam hidup-
hidup sampai batas kepala dan kemudian dilempari dengan batu sampai
mati (Couvreur, 1935). Sampai tahun 1930-an pasangan hidup bersama
tampaknya semakin bertambah banyak sehingga hukuman mati tidak
mungkin lagi dijalankan bahkan tidak ada jenis hukuman lain yang
dijalankan. Seorang Wa Ode atau walaka yang hidup bersama dengan
seorang pria dari golongan maradika akan dikucilkan oleh keluarganya dan
biasanya mas kawinnya ditolak oleh ayah si wanita.
Keadaan yang kurang baik ini, tampaknya diakui oleh Raja Muna La
Ode Ahmad Maktubu (merangkap sultan Buton) yang kemudian
mengusulkan bahwa pernikahan semacam ini bisa diizinkan, apabila telah
dilunasi pembayaran mas kawin sebesar 75 bhoka atau Rp 180. Pada
umumnya usulan ini tidak disetujui, tetapi ada juga sekali-sekali terjadi
pernikahan dengan cara tersebut. Menurut Couvreur (1935) sebagaimana
118
hasil bacaannya melalui buku register (1930-an) mengenai pernikahan
antara seorang Wa Ode dengan pria dari golongan anangkolaki, mas kawin
yang dibayarkan sebesar Rp 148. Keberatan terutama terhadap pernikahan
ini, sekurang-kurangnya dari pihak La Ode dan walaka adalah bahwa
gengsi golongan mereka akan menurun. Dikhawatirkan apabila pernikahan
seperti ini akan direstui secara resmi, banyak akan terjadi sehingga lama
kelamaan golongan La Ode dan walaka akan punah, karena anak-anak
yang lahir dari pernikahan itu akan ikut golongan ayahnya. Pada zaman
dahulu apabila seorang Wa Ode hidup bersama dengan seorang pria dari
golongan walaka, maka tidak dihukum mati, tetapi mendapat hukuman
bahwa anak-anak yang diperoleh masuk golongan walaka.
Anak-anak yang lahir dari kehidupan bersama seorang Wa Ode atau
walaka dengan seorang pria dari golongan yang lebih rendah disebut La
Ode atau walaka wasembali, suatu bukti bahwa pasangan hidup bersama
yang sebenarnya terlarang itu, tahun 1930-an sangat banyak dijumpai.
Menjadi seorang La Ode wasembali menamakan dirinya hanya dengan
sebutan La Ode walaupun gelar itu sebenarnya tidak berhak mereka pakai.
Pada pemilihan seorang kepala harus diselidiki baik-baik apakah calon itu
seorang La Ode betul atau seorang La Ode wasembali.

6.4.5.2. Golongan Maradika Dilarang Menikah jika Laki-Laki


Berlainan Golongan dengan Wanita
Seorang wanita dari golongan maradika yang lebih tinggi dengan
sendirinya dilarang menikah dengan seorang laki-laki dari golongan yang
lebih rendah. Justru yang dimaksud di sini pernikahan dari kaum laki-laki
dari golongan yang lebih tinggi dengan kaum wanita dari golongan yang

119
lebih rendah. Sejak zaman dahulu pernikahan semacam ini dilarang oleh
syarat Muna, sehingga sampai tahun 1930-an pernikahan seperti ini sering
tidak diizinkan oleh para orang tua. Pernikahan ini dilarang oleh Syarat
Muna karena dikhawatirkan bahwa golongan maradika poino kontu lakono
sau akan punah. Alasannya, apabila seorang wanita maradika poino kontu
lakono sau menikah dengan seorang pria maradika yang lebih tinggi
golongannya, maka anak-anak yang dilahirkan akan mengikuti golongan
ayahnya.
Apabila pria maradika ingin menikah dengan seorang wanita
maradika, umpamanya seorang anangkolaki dengan wanita maradika
poino kontu lakono sau, maka ada tiga cara yang dipilih (Couvreur 1935),
yaitu:
1. melarikan diri bersama wanita tersebut dan tinggal di hutan atau di
luar daerah;
2. menghamili wanita tersebut; dan
3. bertindak terhadap wanita tersebut dengan cara tersendiri, sehingga
diduga oleh orang tua wanita bahwa ada hubungan akrab antara
mereka berdua.

Berkaitan dengan cara yang pertama sudah tentu tidak ada pernikahan
resmi, kecuali apabila mereka kembali ke kampung. Dalam hal yang kedua
dan ketiga, maka diusahakan pernikahan secepat mungkin, tetapi sebelum
pernikahan dilangsungkan, si pria harus membayar dahulu mas kawin
sebesar 11 bhoka atau Rp 26,40 yang harus dilunasi pada kino atau mino
di kampung tempat tinggal pengantin wanita. Dari jumlah tersebut,
Rp 2,10 diserahkan kepada sang ayah pengantin wanita, sedangkan sisanya
dibagikan; separuh untuk ghoerano bersama kino atau mino, dan separuh
120
lainnya dibagi antara syarat kampung dan tokoh-tokoh kampung.
Peraturan seperti ini berlaku pula di wilayah ketiga bharata (Lohia,
Lahontohe dan Wasolangka), hanya saja di bharata Lohia seorang ayah
menerima Rp 6 dan sisanya dibagi separuh untuk kino yang memperoleh
Rp 10,20, sedangkan separuh lainnya untuk syarat kampung.
Sejak masuknya pemerintah Belanda di Pulau Muna, mas kawin yang
11 bhoka itu tidak dituntut lagi, karena dikhawatirkan tidak mendapat
persetujuan. Sejalan dengan ini, maka tidak lagi terdapat pernikahan antara
golongan maradika yang berbeda, tetapi hanya terjadi cara hidup bersama.
Anak-anak yang lahir dari pasangan hidup bersama ini sampai tahun 1930-
an mengikuti golongan ibunya yaitu poino kontu lakono sau, sedangkan
dahulu apabila terbayar mas kawin 11 bhoka itu, maka anak-anak yang
lahir itu akan memperoleh golongan ayahnya. Pada zaman dahulu, apabila
seorang wanita anangkolaki hidup bersama seorang pria dari golongan
yang lebih rendah, maka si pria ini dikenakan denda 70 bhoka atau
Rp 168. Apabila seorang wanita dari golongan maradika ghoera hidup
bersama dengan seorang pria dari golongan yang lebih rendah, maka si
pria itu dikenakan denda 25 bhoka atau Rp 60. Kedua denda tersebut
dibayarkan kepada Syarat Muna.

6.4.5.3. Anggota Keluarga Dilarang Menikah dengan Sepupu


Satu Kali atau Anak Tiri
Pasangan hidup bersama pada zaman dahulu dikenakan hukuman
mati bagi kedua belah pihak. Pasangan yang bersangkutan dianggap
merusak keamanan negeri. Bila bukan hukuman mati paling ringan
mendapat hukuman dibuang ke luar daerah untuk beberapa waktu. Sampai

121
tahun 1930-an masih sering dijumpai kaum pria yang hidup bersama
dengan seorang wanita janda dan juga sering dijumpai yang hidup bersama
dari gadis-gadis dari pernikahan pertama istrinya yang telah dewasa yaitu
anak tirinya (ana wee). Dalam hal ini pada zaman dahulu berlaku hukuman
mati, baik bagi si pria maupun bagi si anak tiri. Adapun cara melaksanakan
hukuman mati yaitu sama dengan hukuman mati yang diberlakukan atas
hidup bersama seorang Wa Ode atau walaka dengan seorang pria dari
golongan maradika. Pada tahun 1930-an masih banyak ditemukan
beberapa pengaduan tentang hidup bersama seperti ini, maka baik pria
maupun wanita yang bersangkutan memperoleh hukuman dibuang ke luar
daerah untuk beberapa waktu.

6.4.5.4. Dilarang Menikahi Calon Istri yang Kelima


Menurut adat Muna, setiap pria boleh beristri menurut keinginannya.
Namun, secara resmi ia hanya diizinkan menikah dengan empat orang
sekaligus. Adapun menikah dengan seorang wanita yang kelima dilarang,
tetapi bisa terjadi bahwa ada seorang pria yang menikah untuk kelima
kalinya di suatu kampung karena petugas pernikahan tidak tahu bahwa si
pria ini sudah berisitri empat orang. Apabila hal ini kemudian ketahuan,
maka pernikahan yang kelima ini dibatalkan oleh Syarat Muna bersama
para pejabat agama yang berwenang, walaupun telah memiliki beberapa
orang anak yang lahir dari pernikahan itu.
Pada zaman dahulu para budak tidak pernah menikah secara resmi;
dengan kata lain mereka hanya hidup bersama. Sampai tahun 1930-an hal
ini masih tetap berlaku. Pada saat mereka hendak hidup bersama, kafeena
dan mas kawin harus dibayar lunas. Ada kampung atau bagian kampung di

122
Muna di mana para budak diizinkan tinggal dahulu, dan sampai tahun
1930-an merupakan tempat tinggal keturunan mereka seperti kampung
Wampodi dan kampung Lakadea-dea. Dengan demikian, ada kampung di
Muna di mana hampir tidak ada orang yang menikah secara resmi.
Pernah mantan raja agama mengeluarkan perintah kepada para pejabat
agama untuk melaksanakan pernikahan bagi keturunan budak juga, akan
tetapi golongan budak sendiri yang tidak menyetujuinya dengan alasan;
pertama, bahwa peraturan ini bukan menurut adat dahulu dan hingga saat
ini tidak pernah diatur oleh Syarat Muna, dan yang kedua, mereka
keberatan atas tingginya biaya ihino ghawi yaitu sebesar Rp 1,90 yang
harus dibayar kepada pejabat nikah.

6.4.6. Penentuan Hari Pernikahan


Orang yang pandai menentukan hari baik termasuk menentukan hari
baik untuk melaksanakan hari pernikahan disebut pande kotika. Couvreur
(1935), menjelaskan bahwa untuk menghitung hari terbaik untuk
melaksanakan akad pernikahan, maka harus lebih dahulu diketahui hari
pertama pada bulan muda. Pada hari pertama ini mulailah dihitung dengan
angka 1 dan sebagai alat hitung dipakai tangan beserta jari-jari. Hitungan
dimulai dengan telapak tangan dengan angka 1 dan seterusnya melalui jari-
jari tangan, entah mulai dari jempol atau jari kelingking. Apabila dimulai
dari jari jempol, maka jempol adalah angka 2, jari telunjuk angka 3 dan
seterusnya, maksudnya telapak tangan hari pertama, dari bulan muda,
jempol hari kedua, jari telunjuk hari ketiga, jari tengah adalah hari
keempat. Hari keempat dan hari pertama bulan muda adalah hari-hari baik
untuk melaksanakan akad pernikahan. Bila hitungan ini diteruskan maka

123
angka 7 akan jatuh lagi pada telapak tangan; ini juga merupakan hari yang
baik. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa semua hari yang kena
hitungan pada telapak tangan dan jari tengah adalah hari-hari baik untuk
melaksanakan akad pernikahan. Jadi, hari-hari baik itu adalah; 1, 4, 7, 10,
13, 16, 19, 22, 25 dan 28 sesudah hari pertama bulan muda. Perlu
dijelaskan di sini bahwa perhitungan hari baik itu tidak dimulai jam 6 sore
atau jam 6 pagi hari, akan tetapi pada jam 1 siang pada hari sebelumnya.
Misalnya hari baik adalah hari keempat pada bulan muda, maka hari ini
mulai hari ketiga jam 1 siang dan berakhir pada hari keempat jam 1 siang.
Dalam waktu 24 jam (jam 1 siang hari ketiga sampai jam 1 siang hari
keempat) inilah akad pernikahan itu harus dilaksanakan.
Selain itu, ada pula hari-hari nahas setiap bulan, malahan bulan-bulan
yang tidak baik untuk melaksanakan suatu pernikahan. Adapun hari-hari
nahas dimaksud adalah sebagai berikut.
1. Pada bulan Muharam setiap hari Minggu;
2. pada bulan Safar setiap hari Rabu;
3. pada bulan Rabiulawal setiap hari Jumat;
4. pada bulan Rabiulakhir setiap hari Selasa;
5. pada bulan Jumadil Awal setiap hari Kamis;
6. pada bulan Jumadil Akhir setiap hari Sabtu;
7. pada bulan Rajab setiap hari Jumat;
8. pada bulan Sa’ban setiap hari Kamis;
9. pada bulan Ramadan setiap hari Selasa;
10. pada bulan Syawal setiap hari Sabtu;
11. pada bulan Zulkaidah setiap hari Senin; dan
12. pada bulan Zulhijah setiap hari Rabu.
124
Siapa yang menjalankan atau melaksanakan akad pernikahan pada
hari-hari nahas tersebut, masyarakat suku Muna mempercayai akan
membawa musibah.
Adapun bulan-bulan yang kurang baik adalah; Muharam, Safar, Rajab
dan Zulkaidah. Akan tetapi di Lohia, bulan Safar dan Zulkaidah tetap
dianggap bulan yang baik untuk melaksanakan akad pernikahan. Adapun
bulan Ramadan yaitu bulan puasa sebenarnya juga bulan baik untuk
melaksanakan akad pernikahan, tetapi para leluhur telah melarang untuk
melaksanakan akad pernikahan pada bulan ini. Kemudian dalam bulan
Rabiulawal dan Jumadil Akhir harus pula diperhitungkan posisi bulan di
langit. Apabila dalam bulan Rabiulawal bulan berada di bagian barat pada
saat matahari terbenam maka ini bukan saat yang baik. Apabila bulan
berada di posisi yang lain, maka pernikahan dapat dilaksanakan. Apabila
dalam bulan Jumadil Akhir bulan terbit di bagian barat, posisi yang lain
tidak baik. Dalam bulan Syawal, satu-satunya waktu pernikahan yang baik
adalah pada malam Lebaran (yaitu akhir bulan puasa), tetapi sebelum
pakaian pesta hari itu ditinggalkan. Di Lohia tidak demikian, karena semua
hari pada bulan Syawal itu baik, asal posisi bulan diperhitungkan pula dan
tidak dilaksanakan pernikahan pada hari Sabtu.
Jadi, seandainya ada seorang yang hendak menikah dalam bulan
Rabiulawal dan ia menghadap pande kotika, misalnya hari ke-8 sesudah
hari pertama bulan muda, maka pande kotika tersebut akan menghitung
hari yang mana yang baik. Hasilnya adalah hari ke-10; harus pula
diperhatikan apakah hari ke-10 ini tidak jatuh pada hari Jumat. Apabila
hari ke-10 jatuh pada hari Jumat, maka dihitung hari baik yang berikutnya
yaitu hari ke-13 dalam bulan muda. Kemudian, diselidiki posisi bulan pada
125
waktu matahari terbenam. Apabila matahari berada di bagian barat, maka
dicarilah hari di mana bulan tidak berada lagi di bagian barat, baru bisa
ditentukan hari yang baik. Terlihat di sini bahwa untuk menentukan hari
yang baik bagi pernikahan, diperlukan waktu dan perhitungan yang tepat.
Tidak semua orang menguasai cara perhitungan ini, malahan di banyak
kampung tidak ada orang yang dapat menentukan hari baik untuk
pernikahan, sehingga harus meminta pertolongan pande kotika di
kampung lain.

6.4.7. Upacara Pernikahan


Menurut adat Muna, acara pernikahan, dapat dilaksanakan di rumah
orang tua mempelai perempuan atau di rumah orang tua mempelai laki-
laki atau di rumah seorang keluarga dari kedua belah pihak tergantung
hasil kesepakatan kedua belah pihak. Biasanya tempat yang dipilih adalah
rumah yang paling besar serta memiliki halaman luas untuk menambah
bangunan guna menampung para undangan.
Syarat kampung diberitahukan akan maksud orang yang menikah,
kemudian syarat kampung memberitahukan kepada pejabat nikah yang
telah ditunjuk. Pada zaman dahulu, biasanya empat hari sebelum hari
pelaksanaan pernikahan, mempelai laki-laki diantar ke rumah
tunangannya. Apabila acara pernikahan diadakan di rumah orang tua
mempelai laki-laki, maka calon mempelai wanita diantar ke rumah
tersebut. Apabila acara pernikahan dilaksanakan di rumah orang lain,
maka kedua calon mempelai diantar ke tempat tersebut empat hari
sebelumnya. Mengantar calon mempelai ini ke rumah pernikahan
dilakukan oleh seluruh keluarga, teman dan kenalan dari kedua belah

126
pihak, sehingga merupakan iring-iringan panjang dan meriah. Jika
mempelai wanita diantar ke rumah yang lain itu, maka setiap orang yang
bertemu dengan iring-iringan ini dapat meminta uang dari mereka yang
turut dalam iring-iringan tersebut. Ada anggota keluarga yang ikut dalam
barisan calon mempelai wanita itu telah menyediakan uang. Jumlah uang
yang dibagi-bagi itu bervariasi tergantung apakah yang meminta itu orang
asing, keluarga jauh atau keluarga dekat. Pemberian uang itu disebut
kaghonto. Kaghonto ini hanya diberi apabila yang diantar adalah
mempelai wanita, mempelai pria yang diantar ke rumah mempelai wanita
kaghonto ini tidak dilakukan.
Kemudian, kedua calon mempelai menetap di rumah yang sama
selama empat hari. Selama jangka waktu ini ada peraturan-peraturan yang
sangat ketat sehingga juga pada malam hari mereka berdua tidak bisa
saling bertemu. Sang calon mempelai pria mendiami bagian depan rumah
tersebut, sedangkan calon istrinya berada pada bagian belakang. Pada
malam hari calon mempelai wanita tidur di suatu kamar yang tertutup
bersama wanita-wanita atau gadis-gadis lain yang dipanggil khusus untuk
itu bila tidak ada perempuan dalam rumah itu. Selama empat hari itu kedua
mempelai dilarang keluar rumah apalagi keluar pekarangan rumah, demi
menghindari berbagai hal yang tidak diinginkan atau mengancam
keselamatan calon mempelai. Dalam jangka waktu selama empat hari itu
biasanya diadakan pesta karia untuk calon mempelai wanita sambil
mengadakan pembacaan doa untuk kebahagiaan kedua calon mempelai.
Acara pernikahan biasanya dilaksanakan pada waktu malam. Pada suatu
malam yang telah ditentukan, seluruh keluarga, teman-teman dan kenalan
berkumpul di tempat pelaksanaan acara pernikahan. Sampai saat
127
pernikahan, calon mempelai pria menetap di bagian depan rumah atau di
luar dekat rumah, sedangkan calon mempelai wanita berdiam di suatu
ruangan tersendiri.
Pada saat-saat terakhir sebelum pernikahan, calon mempelai wanita
diberikan pakaian kawin untuk wanita, yaitu sarung kedua, sedangkan
segala perhiasan yang ia pakai sebagai gadis dilepaskan. Bila saat acara
pernikahan telah tiba, maka calon wanita diantar ke ruangan tengah oleh
beberapa wanita. Demikian pula calon mempelai pria yang diantar ke
tempat yang sama oleh beberapa anggota keluarga laki-laki. Di tempat ini
kedua calon mempelai duduk berdampingan dan di depan mereka duduk
pejabat nikah, sedangkan di belakang calon mempelai pria duduk seorang
pria, di belakang calon mempelai wanita, duduk seorang wanita dengan
kedua saksi duduk di samping masing-masing mempelai. Kedua saksi itu
biasanya adalah para modhi kampung, tetapi bila ada seorang saja, maka
sebagai pengganti bertindak syarat kampung (bhontono liwu atau
kamokula).
Biasanya yang bertindak sebagai wali pihak mempelai perempuan
adalah ayah kandungnya. Bila ayah kandungnya sudah tidak ada maka
yang bertindak sebagai wali adalah kakeknya. Apabila kakek juga tidak
ada, maka dicarilah seorang paman atau anggota keluarga lainnya dari
pihak ayahnya sampai sepupu dua kali. Pada acara akad nikah, para
hadirin duduk mengelilingi kedua mempelai, kedua saksi serta pejabat
nikah. Kemudian pejabat nikah mengambil sehelai kain misalnya sapu
tangan; ujung-ujungnya dipegang oleh dia sendiri dan kedua mempelai
dengan cara dijepit antara jari jempol dengan jari telunjuk yang berdiri
tegak. Pejabat nikah kemudian mengucapkan kata yang berhubungan
128
dengan acara tobat (toba atau katoba). Ucapan tersebut diulangi kata demi
kata oleh mempelai pria. Setelah itu pejabat nikah memegang tangan
kanan mempelai pria sedemikian rupa, sehingga jari-jari jempol mereka
saling bertemu dengan tegak. Sementara itu kain tadi telah dilepaskan oleh
mereka bertiga. Pejabat nikah melanjutkan dengan doa pribadi yang
singkat dan setelah selesai, tiba-tiba ia tekan jari jempol tangan kanan
mempelai pria sehingga tangannya goyang sedikit. Pada saat itulah si
mempelai laki-laki berkata “atarimakomo” yang berarti “saya telah
menerimamu”, biasanya ucapan mempelai pria sedikit terlambat, sehingga
pejabat nikah mengulangi lagi doa singkat itu; ada kalanya semuanya
harus diulangi sampai tiga atau empat kali.
Setelah itu, kemudian mempelai laki-laki berpindah duduk bersila di
hadapan mempelai wanita, dengan lututnya sekangkang mungkin.
Mempelai wanita merapat kepada dia, sehingga lututnya terletak antara
kedua paha mempelai pria yang duduk bersila (para wanita tidak bersila,
tetapi duduk bersimpu dengan kaki bagian bawah terlipat di bawah tubuh
mereka). Pada saat ini sang mempelai pria memegang tangan kanannya
tadi. Mempelai pria kemudian wajib menzikirkan enam janji, yaitu bahwa
istrinya berhak meminta cerai:
1. Apabila dalam suatu perselisihan ia mengucapkan “lebih baik kita
cerai”.
2. Apabila memukul istrinya di luar rumah.
3. Apabila ia memotong rambut istrinya.
4. Apabila ia mengakibatkan luka dan keluar darah.
5. Apabila merusak alat tenunnya.
6. Apabila ia menelanjangi istrinya di luar rumah.
129
Kemudian mempelai pria mengatakan “ihino kawimu rua bhoka
riali kupa dinara” dan kemudian menekan jari jempolnya pada jempol
istrinya sambil menggoyangkan sedikit tangannya. Sebagai jawaban,
mempelai wanita harus sampaikan “atarimaemo” yang berarti “saya telah
menerimanya”, sejak saat itulah mereka dianggap sebagai pasangan
suami-istri menurut adat Muna.
Selama acara pernikahan, mempelai wanita harus duduk menatap ke
bawah. Setelah ini suasana kembali normal dengan percakapan umum.
Kedua mempelai itu ikut bercakap-cakap, juga satu dengan yang lain.
Kemudian dilanjutkan acara makan dan minum di mana telah disediakan
di atas tala (talang berkaki terbuat dari tembaga). Pejabat nikah memimpin
doa sebelum acara makan, sementara itu ranjang mempelai dipersiapkan.
Setelah acara makan selesai, salah satu dari anggota keluarga tertua
mengumumkan bahwa kedua mempelai pergi beristrahat; kemudian
mereka pergi ke tempat tidur tersebut dengan disaksikan oleh semua
hadirin. Setelah itu para hadirin pulang dan pesta pernikahan dinyatakan
telah selesai.
Beberapa hari setelah pernikahan, si suami memberikan kepada
istrinya sebilah pisau dan sebuah cermin atau kadang-kadang kedua-
duanya. Maksudnya, supaya istrinya memakainya untuk berdandan bagi
suaminya agar tetap cantik. Pisau tersebut dipakai untuk meruncingkan
alisnya dan bulu yang terdapat di muka si istri. Sedangkan cermin untuk
bercermin atau melihat dirinya. Setelah beberapa malam pasangan ini
berdiam di rumah orang tua wanita untuk kemudian berpindah ke rumah
ayah si suami. Jika mereka belum memiliki rumah sendiri. Apabila ayah si

130
suami telah tiada, maka mereka berdiam di rumah sanak saudara dari pihak
si suami. Si istri selalu berdiam di rumah tempat tinggal suaminya.
Acara pernikahan secara kelompok juga terjadi di Muna, akan tetapi
hanya terjadi pada golongan maradikano ghoera (kaum papara) dan pada
golongan maradika poino kontu lakono sau. Apabila ada rencana suatu
pernikahan kelompok, maka hal ini disampaikan kepada syarat kampung
yang selanjutnya menunggu dengan menghubungi pejabat nikah, sampai
ada beberapa pasangan yang mau menikah. Alasan berbuat demikian,
sebenarnya hanya agar dia dapat menerima sekaligus bagiannya yang lebih
besar dari pembayaran ihino kawi. Sering terjadi bahwa apabila
kepadanya rencana perkawinan disampaikan rencana pernikahan dari suatu
pasangan calon pengantin maka syarat kampung menghubungi dan
menghimbau para orang tua dari pasangan calon pengantin lain untuk
sekaligus menikahkan pasangan-pasangan tersebut dengan secepatnya.
Biasanya jadwal acara pasangan pernikahan yang diusulkan bertepatan
dengan jadwal pasangan yang diusulkan pertama. Pernikahan secara
berkelompok ini, yang biasanya terdiri atas sekurang-kurangnya tiga
pasangan dan dilaksnakan di rumah kino atau mino. Setelah acara
pernikahan tersebut, masing-masing pasangan kembali ke rumahnya untuk
melanjutkan pestanya.
Pada waktu pernikaahan atau kadang-kadang beberapa hari kemudian,
para keluarga, teman-teman serta kenalan memberikan beberapa hadiah
kepada pasangan baru. Biasanya berupa uang tunai, kain-kain dan bahkan
berupa seekor kuda. Uang tunai biasanya diberikan pada malam hari
pernikahan. Menurut ketentuan yang berlaku, hadirin yang berpangkat
paling tinggi harus memberikan jumlah yang terbesar, yang berpangkat di
131
bawahnya adalah memberikan separuh dari jumlah yang diberikan oleh
yang berpangkat lebih tinggi, lebih kurang juga tidak masalah. Peraturan
ini tidak berlaku bagi para bujangan yang hadir, sehingga mereka dapat
memberi sesuai dengan keinginan mereka sendiri, boleh kecil boleh juga
melampaui jumlah yang diberikan oleh pejabat tinggi. Hadiah seperti ini
dinamakan kaghoro yang sebenarnya tujuannya untuk meringankan beban
mempelai pria dalam membiayai pesta pernikahan.

6.4.8. Para Pejabat Pernikahan


Beberapa pejabat agama tertentu ditunjuk sebagai pejabat pernikahan.
Di luar ketiga bharata, terdapat empat belas orang pejabat yaitu; raja
agama, imam kota Muna, empat orang khatib, dan delapan orang
modhi bhalano. Seorang raja agama tidak diperbolehkan berkeliling ke
kampung-kampung untuk menanyakan kepada syarat kampung atau
modhi kampung apakah ada pasangan yang akan dinikahkan. Walaupun
si pemohon mendatangi rumahnya atau dia dipanggil datang ke kampung,
seorang raja agama tetap tidak diizinkan menikahkan suatu pasangan
pernikahan, tanpa direstui kehadiran seorang modhi bhalano, yang
sebenarnya harus menjalankan tugas itu. Ketentuan ini berlaku untuk
imam Kota Muna dan para khatib.
Wilayah keempat di ghoera di luar ketiga bharata di antara kedelapan
orang modhi bhalano yang tadinya juga bermukim di Kota Muna, sama
seperti raja agama, imam, dan para khatib. Di setiap ghoera bertugas
dua orang modhi bhalano, yaitu:
Di Tongkuno : modhi Tongkuno dan modhi Kancitala
Di Lawa dan Kabawo : modhi anahi dan modhi kamokula

132
Di Katobu : modhi Lindo dan modhi Ondoke

Modhi Tongkuno dulu melayani kampung Tongkuno, Mataholeo,


Wamelai, Pentiro, Waale-ale, Labora, Lakawohe dan Laeworu. Modhi
Kancitala melayani kampung Kancitala, Kowouno, Tondo, Lakologou,
Latongku, Mawolii, Laloia dan Rete. Modhi Lindo melayani kampung
Lindo, Labaluba, Lasosodo, Tobea, Madawa, Lagusi dan Labongkuru.
Modhi Ondoke melayani kampung Mantobua, Ondoke dan Wakalawea
(kampung ini sampai tahun 1935 tidak ada lagi). Modhi anahi di Lawa
melayani kampung Watumelaa, Malainea, Kampani, Wou, Walelei,
Madampi dan Wampodi (pada zaman dahulu kampung Wampodi ini
hanya didiami oleh golongan budak, sehingga di sana tidak pernah ada
acara pernikahan). Modhi kamokula di Lawa melayani kampung
Barangka, Kaura, Kaliwu-liwu, Lagadi, Waulai, Walengke, Kahobu,
Mabuti, Liabalano, Dopi dan Masara. Modhi anahi di Kabawo
melayani kampung-kampung Kasaka, Lahorio, Kafofo dan Karo. Modhi
kamokula di Kabawo melayani kampung Wapepi (Rangka), Kabangka,
Lasehao, Lembo dan Laiba (lihat Couvreur, 1935).
Sebagaimana dijelaskan oleh Couvreur (1935) bahwa pada
pembentukan distrik-distrik pada tahun 1910 seluruh penentuan penugasan
tersebut diubah. Sejak itu, modhi Tongkuno dan modhi Kancitala
bertugas sebagai pejabat pernikahan untuk semua kampung di distrik
Tongkuno, kecuali di kampung-kampung yang terbilang di bawah imam
Lahontohe. Modhi Lindo adalah pejabat pernikahan untuk kampung
Lindo (di Katobu, Lasosodo, Lafinde, Labaluba (kampung ini masuk
distrik Kabawo)). Modhi Ondoke ini tidak berfungsi di bawah imam Kota
Muna, tetapi di bawah imam bharata Lohia. Modhi anahi dan modhi
133
kamokula di Lawa adalah pejabat pernikahan untuk semua kampung di
distrik Lawa, kecuali untuk kampung Katobu, Lasosodo dan Lafinde.
Modhi anahi dan modhi kamokula di Kabawo bertugas sebagai pejabat
pernikahan untuk seluruh penduduk distrik Kabawo, kecuali kampung
Labaluba dan di bharata Wasolangka serta kampung di mana imam
Wasolangka bertugas.
Menurut Couvreur (1935) bahwa tahun 1930-an diadakan pembagian
tugas di wilayah adalah sebagai berikut; Modhi bhalano Tongkuno
melayani kampung Tongkuno, Tobea, Madawa, Lagusi, Labongkuru,
Pentiro dan Labora. Modhi bhalano Kancitala melayani kampung
Lakologou, Latongku, Lakadea-dea, Kowouno dan Kancitala. Modhi
bhalano Lindo: (lihat di atas) Modhi bhalano anahi di Lawa melayani
kampung Watumelaa, Wampodi, Wou, Kampani, Malainea, Kaliwu-
liwu, Madampi dan Walelei. Modhi bhalano kamokula di Lawa melayani
kampung Dopi, Liabalano, Mabuti, Lagadi, Waulai, Walengke,
Katobu, Barangka, Kaura dan Masara. Modhi anahi di Kabawo
melayani kampung Holo, Kafofo, Lahorio, Tanjung Batu, Kasaka I,
Kasaka II dan separuh kampung Rangka. Modhi bhalano kamokula di
Kabawo melayani kampung Lembo, Kabangka, Lasehao, Laiba,
Lamanu, Fopanda dan separuh kampung Rangka.
Adapun kampung-kampung di distrik Katobu, berada di bawah imam
dan modhi bharata Lohia. Sudah jelas bahwa setiap modhi bhalano
memperoleh wilayah kekuasaannya untuk menikahkan semua orang baik
kaum La Ode, kaum walaka maupun kaum maradika. Raja agama dan
imam kota Muna dapat melaksanakan pernikahan di semua kampung,
sedangkan seorang khatib hanya di wilayah kekuasaanya. Dalam hal ini,
134
seperti telah disinggung sebelumnya, apabila pernikahan dilaksanakan oleh
raja agama, imam atau khatib, maka selalu hadir pula modhi bhalano
yang sudah ditentukan untuk kampung itu. Selain dari orang yang disebut
ini, tidak ada pejabat yang diperkenankan menikahkan orang. Larangan ini
berlaku pula untuk modhi kampung.
Di ketiga bharata (Lohia, Lahontohe dan Wasolangka) pernikahan
masih dilaksanakan oleh para pejabat agama dari ketiga bharata ini. Di
bharata Lahontohe kaum La Ode dan walaka dinikahkan oleh raja
agama atau imam. Peraturan ini baru ditentukan oleh Raja Muna La Ode
Rere pada tahun 1927. Sebelumnya pernikahan kaum La Ode dan walaka
di bharata ini dilaksanakan oleh modhi kamokula Kabawo di hadapan
raja agama dan imam Lahontohe. Di bharata Wasolangka, pernikahan
kaum La Ode dan walaka dilaksanakan oleh modhi Tongkuno di
hadapan raja agama dan imam Wasolangka. Di bharata Lohia hal ini
dilakukan oleh modhi Lindo di hadapan raja agama dan imam Lohia.
Pejabat penikahan di bharata Lahontohe berjumlah empat orang
modhi bhalano, yaitu modhi Wobanoowe, modhi Lianosa (sekarang
Lemoambo), modhi Kamunte-munte dan modhino Roda. Modhi
Wobanoowe menikahkan kaum anangkolaki yang tinggal dalam bharata
ini; modhi Lianosa menikahkan kaum maradika poinokontu lakono sau
yang tinggal di Lianosa (Lemoambo), sedangkan modhi Kamunte-
munte dan modhino Roda adalah pejabat pernikahan untuk semua poino
kontu lakono sau lainnya di bharata ini.
Dahulu, ketentuan tersebut berlaku pula di kampung Fongkaniwa,
namun sejak tahun 1927 kaum La Ode dan Walaka dinikahkan oleh raja
agama atau imam Lahontohe, sedagkan kaum anangkolaki dinikahkan
135
oleh khatib Fongkaniwa orang poinokontu lakono sau tidak terdapat di
kampung ini.
Di bharata Lohia juga terdapat empat modhi bhalano sebagai pejabat
pernikahan, yaitu modhi Wakatumende, modhi Wakantolihi, modhino
Wunta dan modhino Lele. Semua kampung di distrik Katobu adalah
wilayah tugas mereka, kecuali ibu kota Raha. Mereka mempunyai daerah
masing-masing sama dengan parabhela yang senama, tetapi setiap calon
pengantin dapat memanggil modhi yang diinginkannya sebagai pejabat
pernikahan. Jadi, umpama modhi Kamunte-munte dapat melaksanakan
pernikahan di wilayah modhino Lele, dan begitu pula sebaliknya.
Imam Lohia dapat juga melaksanakan pernikahan di semua
kampung, tetapi selalu dengan kehadiran seorang modhi bhalano. Dalam
hal ini tidak mutlak modhi yang hadir adalah modhi untuk kampung
tempat pernikahan. Imam Lohia dapat membawa seorang modhi untuk
kampung tempat pernikahan. Imam Lohia dapat membawa seorang modhi
menurut pilihannya.
Di bharata Wasolangka hanya raja agama dan imam yang masuk
pejabat pernikahan, sedangkan modhi Wasolangka tidak diperkenankan
menikahkan orang. Pernikahan di bharata Wasolangka selalu dilaksanakan
dengan kehadiran modhi kampung yang bersangkutan untuk pernikahan,
namun sering juga bahwa para calon pengantin yang mendatangi rumah
raja agama atau imam untuk melaksanakan pernikahan mereka.

6.4.9. Pembayaran dalam Acara Perkawinan


Pada acara pernikahan hanya ada satu tempat pembayaran, yaitu
kepada pejabat agama yang melaksanakan pernikahan itu. Pembayaran

136
biaya ini disebut ‘isi kawin’ (dalam bahasa Muna ihino kawi). Biaya ini
dilunasi oleh orang tua kedua mempelai, masing-masing separuh. Hanya
dalam hal orang tua pihak wanita tidak menyetujui pernikahan tersebut,
dan para calon telah kawin lari kepada seorang imam, maka ihino kawi
dibayar seluruhnya oleh mempelai pria atau ayahnya. Pejabat nikah yang
menerima ihino kawi harus membaginya dengan pera pejabat agama dan
dengan tokoh lainnya. Tidak ada pembayaran biaya lainnya dalam bentuk
apapun, baik kepada para tokoh agama, maupun kepada tokoh lainnya.

6.4.10. Pemasukan Harta dalam Perkawinan, Milik


Perkawinan dan Pembagian Harta Perceraian
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, pada suatu pernikahan
kedua mempelai diberikan hadiah-hadiah oleh orang tua kedua belah
pihak, teman-teman dan kenalan. Hadiah-hadiah ini kadang berupa uang
atau barang, kadang juga seekor kuda, sebidang tanah atau kebun. Kadang
kala pengantin perempuan dan pengantin laki-laki sudah menerima bagian
milik orang tua mereka, yang merupakan haknya pada waktu
meninggalnya orang tuanya nanti.
Barang-barang uang atau hadiah lainnya yang diterima oleh pengantin
perempuan tetap menjadi miliknya, dan suaminya tidak berhak atasnya. Ia
hanya dapat memindahtangankan dengan persetujuan istrinya, pada
perceraian, si istri mengambil kembali semua milik itu, begitu juga dengan
sisa uangnya yang dia bawa pada saat pernikahan, kalau itu masih ada.
Milik yang didapat dalam perkawinan, termasuk harta warisan,
dimiliki bersama. Bila suami yang minta cerai, maka rumah dan semua
yang ada di dalamnya menjadi milik istri. Pohon-pohon pisang di halaman

137
sekitar rumah dan unggas dianggap termasuk rumah sehingga jatuh pada
istrinya. Pohon-pohon lainnya dan ternak tidak. Milik lainnya yang
diperoleh dalam perkawinan dibagi dalam tiga bagian, sang suami
mendapat dua bagian dan sang istri mendapat satu bagian
Bila istri yang minta diceraikan, ia mendapat separuh dari yang ada di
dalam rumah dan halaman, milik lainnya yang diperolehnya dalam
perkawinan, diperuntukkan bagi sang suami. Dalam hal ini, rumah suami
jatuh pada si istri jika dia tidak mau meninggalkannya. Bila ia pindah,
umpama kembali ke rumah orang tuanya, maka sang suami mendapat
rumah tersebut.

6.4.11. Perkawinan Anak-Anak


Menurut keterangan yang diperoleh, perkawinan anak-anak tidak
ada. Perkawinan anak-anak, di mana anak-anak dikawinkan dalam usia
muda, kemudian dibiarkan tetap tinggal pada orang tua mereka sampai
mereka dewasa, dilarang dalam adat. Namun dapat terjadi, bahwa orang
tua telah membuat perjanjian agar anak-anak mereka dikawinkan setelah
dewasa, akan tetapi mereka tidaklah terikat dalam perjanjian itu secara
mutlak, jadi dikemudian hari mereka dapat mengawinkan anak mereka
dengan orang lain.

6.4.12. Hukuman Atas Perzinahan


Jika seorang wanita yang sudah kawin berzinah, suaminya dapat
mengadukannya pada Syarat Muna. Ini hanya dapat dilakukannya, bila ada
saksi-saksi yang dapat menguatkan pengaduannya. Hanya suaminya yang
dapat mengajukan pengaduan, jadi bukan anggota keluarga. Bila

138
perzinahan dianggap terbukti, maka baik si wanita maupun laki-laki yang
melakukan zinah, dihukum mati. Hukuman ini berlaku untuk semua
golongan.
Bila si wanita dipaksa oleh seorang laki-laki untuk bersetubuh, dalam
hal pemerkosaan, hanya si laki-laki yang dihukum mati. Bila seorang
wanita yang sudah kawin melarikan diri dengan laki-laki lain dan lari ke
bhonto bhalano di Kota Muna, maka mereka dibawa ke rumah raja Muna
oleh bhonto bhalano bersama dengan mintarano bhitara. Di sini, laki-laki
didenda 11 bhoka = Rp 26,40. Sesudah itu kedua-duanya, baik laki-laki
maupun wanita aman untuk selanjutnya. Selama mereka belum tiba di
rumah raja Muna, suami wanita tersebut boleh membunuh keduanya, dan
sesuai dengan hukum tidak akan dituntut. Bila laki-laki dan wanitanya
tidak pergi ke bhonto bhalano, akan tetapi mereka melarikan diri ke
kampung atau daerah lainnya, maka suami wanita tersebut bila menjumpai
mereka berdua boleh membunuhnya tanpa dihukum.
Bila ada pertanyaan, berhubung perkara zinah yang diadukan, apakah
seorang wanita Islam yang sudah menikah baru bisa diadili karena
berzinah setelah pernikahannya diputuskan (surat Asisten-Residen Buton
dan Laiwui kepada Asisten-Residen di Makassar tanggal 9 Agustus 1932
No. 2398/J6). Jawabannya hal ini bergantung pada adat setempat (Surat
Gubernur tgl 30 Agustus 1932 No. 0 5/h/8).
Mengenai hal ini sudah saya tanyakan dan mendapat jawaban, bahwa
menurut adat dahulu, perkawinannya tidak usah diputuskan dahulu,
sebelum diadili. Bila ada pengaduan perzinahan, perkara ini secepat
mungkin diadili oleh Syarat Muna. Orang yang bersalah dihukum mati
secepat mungkin sesudah keputusan, kalau bisa masih hari itu juga. Baik
139
pemeriksaan maupun perlaksanaan hukuman tidak ditunda sampai sang
suami sudah menalaki istrinya.
Perzinahan dianggap melanggar adat yang begitu serius, sehingga
bilamana si wanita dinyatakan bersalah, dia tetap akan dihukum mati,
walaupun sang suami mau menarik pengaduannya atau menyatakan bahwa
ia tidak mau menalaki istrinya. Dalam hal ini pertimbangan si suami
tidaklah diperhatikan.

6.4.13. Alasan Hidup Bersama yang Tidak Sah


Apakah alasannya, sehingga banyak laki-laki dan wanita hidup
bersama tanpa pernikahan yang sah? Jumlah orang yang hidup seperti ini
sangat besar. Ada beberapa alasan menurut Couvreur.
Kelompok terbesar orang yang hidup bersama adalah bekas budak dan
keturunan mereka. Hingga [tahun 1930-an] mereka tidak menikah dan
hanya hidup bersama. Mantan raja agama sudah memerintahkan kepada
pejabat-pejabat agama yang berwewenang agar mulai saat itu bekas budak
dan keturunan mereka dinikahkan juga. Akan tetapi, hal ini tidak
diinginkan oleh orang itu sendiri, karena sejak dahulu bukanlah kebiasaan,
kemudian sampai saat ini belum ada perintah dari Syarat Muna bahwa
mereka harus dinikahkan secara resmi mulai saat itu. Mantan raja agama
telah memberi perintah ini tanpa berunding dengan dengan anggota Syarat
Muna yang masih ada. Walaupun secara resmi Syarat Muna sudah tidak
ada lagi. Oleh rakyat, badan itu tetap dianggap sebagai satu-satunya
lembaga yang bisa mengubah adat kebiasaan tua. Sampai [tahun 1930-an]
masih ada kampung-kampung seperti Wampodi, Lakadea-dea dan Tobi, di
mana tiada seorangpun atau hampir tiada seorangpun yang menikah secara

140
resmi, sedangkan juga dalam kampung-kampung tua tempat tinggal para
budak kebanyakan orang-orang yang tinggal di sana tidak menikah.
Alasan penting yang kedua adalah bahwa sampai [tahun 1930-an]
tidak lagi diadakan pernikahan antara orang dari golongan maradika yang
berbeda. Dulu pernikahan ini masih diadakan dalam keadaan tertentu, jika
si laki-laki membayar mas kawin sebesar 11 bhoka. Sekarang pembayaran
ini tidak dituntut lagi, karena orang takut bahwa pemerintah merasa
keberatan; tetapi pernikahan antara orang dari golongan yang berbeda
sekarang juga tidak lagi dilakukan, sehingga mereka terpaksa hidup
bersama.
Alasan Syarat Muna dulu melarang pernikahan ini, adalah ketakutan
bahwa golongan maradika poino kontu lakono sau akan punah, sehingga
tidak lagi akan ada tukang pikul untuk barang para pemimpin yang
berpergian. Sampai [tahun 1935] tidak berlaku lagi. Kebanyakan rakyat
terdiri atas poino kontu lakono sau (termasuk bekas budak dari keturunan
mereka, yang sekarang terbilang pada golongan itu). Jadi, kalau ada
barang-barang yang mau diangkut, selalu tersedia banyak orang untuk
tugas itu.
Alasan penting yang ketiga ialah ihino kawi yang tinggi. Dalam hal ini
yang berkeberatan terutama golongan maradika dan golongan bekas budak
serta keturunan mereka. Setiap orang sampai [tahun 1935] harus
membayar Rp 1,90; kalau dibanding dengan harga dulu (sebelum tahun
1927) berarti kenaikannya Rp 1,20 bagi golongan maradika yang rendah.
Aturan baru ini ditetapkan oleh mantan Raja Muna La Ode Rere secara
sewenang-wenang. Masih ada satu hal yang dikemukakan oleh golongan
maradika, yaitu bahwa mereka sekarang juga harus membayar jumlah
141
yang sama untuk ihino kawi, tetapi hak-hak mereka tetap tidak sama. Hal
ini dirasakan tidak adil.
Pada golongan yang tinggi, para La Ode dan para walaka juga merasa
keberatan terhadap penyetaraan ini. Pada umumnya mereka menghendaki
agar ketetapan La Ode Rere ini dihapuskan, dan jumlah yang dulu untuk
ihino kawi diberlakukan kembali.
Alasan lainnya adalah sebagai berikut; ada wanita dari golongan
tinggi yang hidup bersama dengan laki-laki golongan rendah. Hal ini agak
banyak terjadi sampai tahun 1930-an. Raja Muna La Ode Ahmad pernah
mau mengatur hal ini, tetapi pada waktu itu tidak disetujui. Sekarang pun
orang tidak mau tahu akan hal ini; sebaliknya kehendak golongan La Ode
dan walaka adalah agar para wanita dari golongan mereka yang hidup
bersama dari laki-laki dari golongan rendah, diadili oleh Pengadilan
Swapraja dengan hukuman pengasingan ke luar dareah. Hal ini tentunya
tidak mungkin.
Selanjutnya, masih ada kenyataan adanya laki-laki yang beristri lebih
dari empat orang, sehingga pernikahan tambahan itu tidak dapat
dilaksanakan. Ada juga golongan La Ode dan walaka yang mau
mengawini seorang wanita dari golongan rendah, tetapi tidak mendapat
izin dari orang tuanya, serta ayahnya tidak dapat dipengaruhi untuk
membayar mas kawin, sehingga hidup bersama dengan wanita itu.
Kadang-kadang mereka lalu berpaling pada raja Muna; bilamana tidak ada
keberatan yang serius, dia akan menikahkan mereka, tetapi hal ini jarang
terjadi.

142
6.4.14. Perceraian
Si suami dapat menceraikan istrinya dengan cara yang ditetapkan
dalam agama Islam, yaitu dengan mengucapkan rumus menolak ‘talak’.
Setelah talak pertama dan kedua si istri masih bisa diambil kembali asal
dalam waktu seratus hari (rujuk/posuliki). Namun, bila tidak diambil
kembali, maka setelah habis waktunya dan juga setelah talak yang ketiga,
perceraian sudah terjadi dan tidak bisa diubah lagi. Istrinya hanya dapat
diambil kembali dengan jalan mengawininya lagi. Pada perkawinan
perbaikan ini, ia harus membayar kembali mas kawinnya.
Suami dapat menolak istrinya antara lain:
1. Kalau dia tidak mengurus makannya secara teratur;
2. kalau dia sering keluar kampung tanpa izin suaminya;
3. karena berzina;
4. kalau bermain cinta dengan laki-laki lain;
5. karena tidak mengikuti perintah atau larangan suaminya;
6. kalau ia tidak mau bersenggama dengan suaminya;
7. kalau ia tidak mengizinkan suaminya masuk rumah mereka,
dengan cara menutup pintu;
8. kalau memberi makanan dan hadiah kepada orang lain tanpa
meminta izin suaminya; dan
9. karena mengizinkan laki-laki lain memasuki rumah tanpa izin
suaminya.

Suami selalu mempunyai alasan yang sah. Bila tidak, atau ia katakan
pada istrinya “Baiklah kita cerai”, maka istrinya atau keluarganya berhak
menuntut denda (disebut redea) sampai setinggi 35 bhoka = Rp 84 pada

143
golongan La Ode; 25 bhoka = Rp 60 pada golongan walaka, 15 bhoka =
Rp 36 pada anangkolaki; 7 bhoka 2 suku = Rp 18 pada maradika ghoera;
10 suku = Rp 6 pada maradika poino kontu lakono sau. Si suami
diharuskan membayar denda ini. Bila tidak, maka ada kemungkinan terjadi
perkelahian antara keluarga kedua belah pihak. Dahulu ini sering terjadi.
Untuk mencegah kekacauan ini dikampung, maka Syarat Muna
mengambil tindakan dan memaksa si suami memenuhi dendanya, kalau
perlu dengan menyita semua miliknya.
Si suami biasanya akan menjaga, agar ia tidak usah membayar denda
ini. Bila ia mau bercerai, tetapi dari pihak istrinya tidak ada alasan, maka
ia mengganggunya terus sampai akhirnya sang istri mengatakan “Baiklah
kita cerai saja”. Sang suami menjawab dengan “Tidak, saya tidak mau
cerai.” Nanti pada usulan yang ketiga kalinya oleh istrinya sendiri, barulah
ia menyetujuinya. Dalam keadaan begitu ia tidak usah membayar redea.
Bisa juga terjadi bahwa sang istri yang mau bercerai, akan tetapi dari
pihak suaminya tidak ada alasan. Ia lalu mengusulkan hal ini pada sang
suami, dengan syarat bahwa ia tidak usah membayar redea. Bila sang
suami menjawab bahwa dia tidak mau bercerai, akan tetapi mau membayar
redea jika istrinya mau tinggal bersamanya, maka istrinya menjawab
“Baiklah, tetapi segeralah membayar.” Bila ia tidak mampu membayarnya
ataupun tidak segera melakukannya, maka berdasarkan ini, istri berhak
mengajukan permohonan perceraian yang harus dikabulkan. Sang suami
masih mendapat waktu lima belas hari untuk membayar redea tersebut.
Bila dalam waktu itu tidak dibayar maka perceraian pasti akan diputuskan
dan tidak bisa diubah lagi.

144
Selain itu, istri juga boleh minta bercerai dalam hal suami melakukan
fakta yang disebut pada saat upacara perkawinan, misalnya memukul
istrinya di luar rumah. Selain itu, istri masih boleh meminta bercerai dalam
enam hal yang disebut di bawah ini; permohonan perceraian itu tidak
boleh ditolak oleh pejabat agama.

Hal-hal ini yaitu sebagai berikut:


1. Bila si suami tidak datang ke rumah dan/atau tidak ada berita
selama lima bulan (kalau dia tinggal di Muna) atau selama satu
tahun (kalau tinggal di luar Muna).
2. Kalau selama 40 hari tidak pernah memberi nafkah kepada istriya.
3. Kalau dia tidak lagi mampu bersenggama dengannya.
4. Kalau dia berpenyakit lepra, tetapi baru sesudah satu tahun tidak
diobati dan tidak berhasil sembuh.
5. Kalau dia sakit gila.
6. Kalau dia berpenyakit kelamin, akan tetapi seperti pada lepra, baru
setelah satu tahun ia berobat dan tidak berhasil. Bila berdasarkan hal
ini sang istri minta bercerai, sang saumi masih dapat berjanji untuk
satu tahun lagi berobat, hingga perceraian ditunda satu tahun lagi.

Bila sang istri mengajukan permohonan perceraian berdasarkan salah


satu alasan tersebut di atas, maka sang suami tidak perlu membayar redea.
Di Raha, orang asing yang mengawini wanita Muna, sering megikuti
peraturan mereka sendiri dalam bidang perceraian ini. Kalau ada
perceraian tanpa alasan dari pihak si istri, maka orang Bugis membayar
redea yang setinggi dengan mas kawin, yaitu 44, 88 atau 160 bhoka (mas

145
kawin). Redea sering sudah dibayar sekaligus dengan mas kawin, itulah
sebabnya mas kawin dulu tinggi sekali.
Perceraian harus diucapkan dengan hadirnya saksi-saksi dan terjadi di
depan seorang pejabat agama yang berwewenang untuk menikahkan. Ini
berarti pejabat agama yang rendahan tidak boleh memutuskan pernikahan.
Bila sang saumi yang minta bercerai, ia memberitahukannya pada modhi
bhalano, sedangkan sang istri harus mengajukan permohonan kepada
beliau. Bila perceraian diucapkan oleh modhi bhalano, maka harus dihadiri
oleh sekurang-kurangnya empat orang modhi bhalano lainnya.
Bila ada perselisihan antara suami istri mengenai sahnya perceraian
yang diniatkan atau dimohon, maka kelima modhi inilah yang harus
memutuskannya dan berusaha untuk menyelaraskan kedua belah pihak.
Bila mereka tidak berhasil dan mereka sendiripun tidak juga dapat
menyepakati pertanyaan apakah perceraian ini sah, maka perkara ini
diserahkan kepada khatib yang berwenang dalam wilayah itu. Beliau dapat
mengambil suatu keputusan; kalau sementara itu suami istri tersebut telah
bersepakat, keputusan itu harus dihadiri oleh satu modhi bhalano; kalau
suami istri belum sepakat harus ada dua modhi bhalano.
Bila khatib bersama dua modhi bhalano juga tidak dapat mengambil
keputusan, maka perkara diserahkan kepada imam Kota Muna; dia
memutuskannya bersama-sama dengan dua modhi bhalano. Bila
merekapun tidak mengambil keputusan, maka perkaranya sampai pada
lakina agama; jika suami istri belum juga bersepakat, beliau memutuskan
bersama dengan imam dan satu modhi bhalano. Akhirnya perkara ini dapat
diajukan kepada raja Muna; beliau selalu memutuskan pernikahan dan

146
mengucapkan perceraian. Dalam hal ini sang istri membayar 5 bhoka pada
raja Muna; uang ini diperuntukkan oleh beliau.
Bila perkawinan diputuskan oleh modhi bhalano, khatib, imam atau
raja agama, maka yang minta perceraian itu harus membayar Rp 2. Dahulu
harga ini sama dengan ihino kawi. Di Raha, harga ini untuk orang asing
adalah Rp 4.
Di bharata Lahontohe dan Wasolangka yang berhak memutuskan
perkawinan hanyalah raja agama dan imam. Bilamana suami istri tidak
bersepakat dan pejabat agama tersebut tidak dapat mengambil keputusan,
maka perkara ini diserahkan kepada imam Kota Muna. Juga di sini
pembayarannya dulu sama banyaknya dengan ihino kawi, tetapi sampai
tahun 1935 setiap orang hanya Rp 2.
Di bharata Lohia, perkawinan diputuskan oleh kedua modhi bhalano.
Bila tidak bisa diambil keputusan, maka perkaranya berturut-turut kepada
khatib (yang memutuskan bersama dengan satu modhi bhalano dan satu
modhi kampung), kemudian pada imam Lohia (yang memutuskannya
bersama khatib dan satu modhi bhalano) dan akhirnya pada raja agama
(yang memutuksannya bersama dengan imam atau khatib dan satu modhi
bahalano). Juga di sini dulu pembayaran pada perceraian sama jumlahnya
dengan ihino kawi, tetapi sampai tahun 1935-an untuk semua golongan
hanya Rp 2.
Bila seorang laki-laki maradika hidup bersama dengan seorang wanita
tanpa pernikahan yang sah dan ia mau menolaknya, maka ia duduk di
hadapannya, meletakkan sebuah pinang di antara mereka dan
membelahnya menjadi dua bagian, satu bagian diberikan kepada istrinya.
Inilah tandanya bahwa ia menalak istrinya.
147
Perceraian oleh laki-laki di Muna umumnya tidaklah banyak. Pertama,
karena dari pihak wanita boleh dikatakan hampir tidak pernah ada alasan
untuk itu. Kedua, laki-laki tidak cepat minta bercerai karena harus
membayar redea yang berat.

6.4.15. Masalah Perkawinan Orang Muna


1. Penyelesaian adat orang Muna selalu diwarnai perdebatan.
2. Perkawinan antar golongan (La Ode, walaka, maradika dan di luar
golongan) menyebabkan kesulitan dalam penelusuran silsilah di
kemudian hari.
3. Tidak adanya pengadministrasian silsilah secara tertulis.
4. Tidak bertahannya peraturan perkawinan yang mewajibkan
ketentuan dari satu golongan, misalnya hanya antar La Ode dan Wa
Ode, hanya antar sesama walaka atau sesama maradika.

148
VII. Tugas dan Kedudukan para Pejabat
Raja Muna menangani seluruh pemerintahan di wilayah kerajaan
Muna. Dalam menjalankan tugasnya ia dibantu oleh bhonto bhalano dan
syarat Muna (Sarano Wuna). Dalam pada itu, raja Muna juga menjadi
ketua syarat Muna. Raja Muna mengangkat dan memberhentikan para
pejabat tinggi setelah mendengarkan atau mendapatkan persetujuan
anggota syarat Muna. Anggota syarat Muna sebagaimana dijelaskan oleh
V.G.A. Boll (1913:976-992) dalam Kolonial Tijdschrift berjudul De
Niuwe Bestuuregeling op Moena meliputi raja, bhonto bhalano, empat
kepala Ghoera (Tongkuno, Lawa, Kabawo, dan Katobu), mintarano bhitara
dan kapitalao. Jabatan raja dan kapitalao berasal dari golongan La Ode,
sedangkan jabatan bhonto bhalano, empat kepala ghoera dan mintarano
bhitara berasal dari golongan walaka.
Bhonto bhalano adalah tangan kanan raja Muna. Sebenarnya bhonto
bhalanolah yang menyelenggarakan pemerintahan di Muna.
Kedudukannya dalam Syarat Muna bhonto bhalano sama tinggi dengan
kedudukan raja Muna. Dia menjadi anggota sekaligus menjadi ketua
Syarat Muna dalam perakara hukum. Sebagai jabatan tertinggi dia
memberikan pendapatnya dalam berbagai perkara hukum. Dia bermukim
di Kota Muna dan berhak mendapatkan penjagaan atas keamanan
rumahnya sebanyak empat orang.
Mintarano Bhitara bertugas membawa kata yang diucapkan oleh
pejabat yang lebih rendah kedudukannya kepada bhonto bhalano. Dia juga
yang menyampaikan kepada anggota Syarat Muna di dalam rapat segala
sesuatu yang akan disampaikan pada Syarat Muna oleh raja Muna atau
bhonto bhalano. Dia juga menanyakan yang terdakwa dan saksi-saksi
149
dalam sidang Syarat Muna serta semua pihak dalam perkara-perkara
perdata. Dia merundingkan dengan empat kepala ghoera mengenai
keputusan yang dijatuhkan serta akan menyampaikannya kepada bhonto
bhalano. Ia berhak mendapatkan penjagaan di rumahnya sebanyak dua
orang. Dia kelak dapat dipilih menjadi bhonto bhalano, dia juga bermukim
di Kota Muna.
Kapitalao bertugas sebagai kepala atau komandan pasukan raja
Muna. Kapitalao ikut bersidang dalam Syarat Muna, tetapi dalam sidang-
sidang pengadilan mereka tidak memiliki hak suara, semata-mata menjaga
keamanan. Kedudukannya sama dengan ghoerano. Bila mereka tetap
menjabat sebagai kino dalam kampung setelah menjadi kapitalao, maka
kedudukannya berada di bawah ghoerano dari ghoera tempat ia menjabat
kino. Kapitalao adalah calon raja Muna. Mereka berhak tinggal di Kota
Muna, dan mereka juga berhak atas penjagaan di rumahnya sebanyak dua
orang yang berasal dari kampung mereka.
Tugas utama ghoerano adalah menjaga ketentraman dan keamanan di
wilayah yang dipimpinnya. Mereka bertugas mengawasi para kino dan
para mino di dalam wilayahnya. Mereka juga menjadi anggota Syarat
Muna. Selain itu juga mereka mengambil keputusan hukum di kampung-
kampung ghoerano, dapat dicalonkan dalam jabatan bhonto bhalano, serta
bermukim di Kota Muna.
Tugas utama kino bharata adalah melindungi wilayah dan hak-hak
raja Muna dari ancaman pihak luar Kerajaan Muna. Karena itu
ditempatkan di tiga pelabuhan di Muna pada masa itu yaitu di Lohia
(Bharata Lohia), di Lahontohe (bharata Lahontohe) dan di Wasolangka
(bharata Wasolangka). Mereka juga bertugas melakukan penagihan kepada
150
para pedagang agar membayar imbalan kepada Syarat Muna seperti hasil
hutan dan lain-lain. Sebagai kino bharata juga dibebani dengan urusan
pengadilan, mereka juga berhak tinggal dan memiliki rumah di Kota
Muna. Kino bharata dapat dipilih dalam jabatan kapitalao.
Kino dan mino bertugas mengawasi ketertiban di wilayah mereka.
Mereka juga menyelenggarakan pengadilan serta berhak menetap dan
bermukim di Kota Muna.
Fato Lindono meliputi mino Kaura, mino Lembo, mino Kancitala,
dan mino Ondoke. Sejak awal sejarahnya telah menjadi kafowewe yaitu
pembantu. Nenek moyang mereka telah memiliki tugas sejak mino
Wamelai yang pertama pada bheteno ne tombula dan bagi sugi-sugi
berikutnya dan raja Muna. Tugas mereka adalah mengurus semua urusan
rumah tangga di rumah raja Muna, yaitu mengurus kayu bakar dan air
serta pada bertugas wajib menjaga raja Muna. Ketika tugas ini dirasakan
berat bagi mereka berempat, mereka mendapat bantuan dari orang lain dan
pada akhirnya mereka menjadi kepala para pembantu raja Muna.
Pembantu yang tidak menetap di Kota Muna bertempat tinggal di empat
kampung yaitu Kaura, Lembo, Kancitala, dan Ondoke. Keempat kampung
ini mendapat nama sesuai nama kampung yang disebut fato lindono
(empat bagian). Merekalah menjadi pelayan utama dalam rumah raja
Muna.

Tugas utama bhontono liwu dan Kamokula adalah sebagai berikut:


1. Mengurus semua keperluan ladang;
2. Menyampaikan perintah dari kino atau mino kepada penduduk
kampung;

151
3. Mengurus semua perselisihan kampung, bila tidak mampu
diajukan kepada kino atau mino;
4. Mengurus pengadilan sebagai syarat kampung;
5. Apabila ada tamu yang lebih tinggi kedudukannya mengunjungi
kampung, mengurus segala sesuatu (menyediakan tempat
bermalam, mengurus kayu, air, penjagaan dan lain-lain); dan
6. Mengatur sedekah tahunan kepada kepala-kepala dan pembayaran
pajak setiap tahun oleh golongan maradika yang disebut wulusau.
Parabhela adalah pembantu bhontono liwu atau kamokula. Dalam
kaitan itu ia tidak mempunyai tugas yang ditetapkan. Ada beberapa
kampung yang mempunyai parabhela yaitu Walelei, Pentiro, Lagadi,
Watumelaa, Laiba, Kasaka, dan Lasehao. Di Lahontohe dan Lohia juga
memiliki parabhela, tetapi memiliki tugas utama yang telah ditetapkan.
Tugas bhontono kafowawe di kampung Tongkuno ialah mengurus
semua urusan anangkolaki dan perselisihan antara anangkolaki yang
tinggal di kampung Tongkuno. Adapun mesandano bertugas
menyampaikan perintah ghoerano kepada kino dan mino dalam
wilayahnya. Selanjutnya ia adalah penjaga ghoerano, menemaninya dalam
perjalanan, mengurus segala keperluan perjalanan, menjaga rumah
ghoerano dan membawa tongkat kemuliaannya.
Pegawai penjagaan raja Muna terdiri atas empat orang lotenani, dua
orang firisino pasi, empat orang firisino kolaki, empat orang siriganti, satu
orang kapita, empat orang bhonto kapili empat orang kapili dan empat
puluh orang pasi. Yang tertinggi kedudukannya ialah kapita. Ia ditugasi
semua keperluan senjata di rumah raja Muna. Pegawai di bawahnya
berturut-turut; lotenani, firisi, siriganti, bhonto kapili, pasi dan kapili.
152
Lotenani adalah penjaga utama raja Muna, firisino pasi adalah kepala pasi,
firisino kolaki adalah kepala siriganti. Adapun tugas utama siriganti
pemeliharaan perhiasan kerajaan dan juga penjagan raja Muna. Salah satu
orang di antara mereka membawa tongkat kemuliaan raja Muna. Adapun
bhonto kapili mengurus tempat duduk anggota Syarat Muna, dan bilamana
ada rapat Syarat Muna, beserta semua kino dan mino dia jugalah yang
mengurusi pengambilan tempat-tempat duduk. Pasi adalah penjagaan raja
Muna. Mereka khusus mengawasi cara duduk yang sopan anggota syarat
dan orang-orang lainnya dalam kehadiran raja Muna (lutut harus tertutup
sarung, duduk dengan sopan dengan kaki yang bersilang dan sebagainya).
Kapili bertugas menyiapkan kayu bakar dan menyiapkan air di rumah raja
Muna. Pada hari-hari pesta penting seperti akhir puasa dan pengangkatan
raja Muna yang baru, keempat lotenani, keenam firisi dan keempat
siriganti mengadakan permainan lengkap dengan tariannya yang disebut
Santiago.
Di bharata Lahontohe terdapat jabatan mintarano bhitara sebagai
tangan kanan kino. Ibarat di Kota Muna, jabatan ini sama dengan tugas
bhonto bhalano kepada raja Muna. Dalam urusan pertemuan adat,
kedudukan mintarano bhitara sama dengan kino. Ia menangani semua
urusan penduduk yang pada awalnya diurus oleh sangkolaki, bhontono
liwu dan parabhela, bila keputusan mereka tidak disetujui. Ia juga
menangani masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh jabatan-jabatan
dimaksud. Bilamana masalah tersebut tidak dapat disetujui, maka
persoalannya diserahkan kepada kino bharata. Mintarano bhitara adalah
pengganti kino, maka dalam fungsi jabatan itu, dia mengurus semua
persoalan di bharata atas nama kino. Sangkolaki di bharata Lahontohe
153
mengurus semua permasalahan anangkolaki yang tinggal di barata. Bila
naik banding, mereka mungkin kepada mintarano bhitara. Kemudian
bhontono liwu dan kedua parabhela di bharata Lahontohe semua persoalan
maradika poino kontu lakono sau yang tinggal di bharata. Selain tugas
tersebut, bhontono liwu mempunyai tugas khusus yaitu mengurus semua
hal yang berkaitan dengan perladangan seperti mengawasi bila menanam
dan menuai, mengambil tindakan mengindari panen buruk melindungi
tanaman terhadap binatang liar dan sebagainya. Selain itu, ia juga
mengurus sedekah tahunan dan wulusau. Lotenani dan kapita bersama-
sama orang-orang yang disediakan menjaga kino bharata baik di dalam
bharata maupun di luar bharata serta mempertahankan barang-barang dan
hak-haknya. Apabila di dalam bharata terjadi suatu kejahatan dan pelaku-
pelakunya melarikan diri melalui darat maka lotenani akan mengejarnya.
Bila mereka melarikan diri melalui laut maka kapita yang harus
mengejarnya. Untuk hal itu lotenani dapat menggunakan satu firisi, satu
siriganti, satu bhonto kapili dan satu isano kapili. Kapita dapat
menggunakan kino Lianosaa (kampung Lemoambo) dan kino
Wakamonenta (kampung Lamorende).
Di bharata Lohia terdapat jabatan bhontono liwu yang bertugas
mengurus semua masalah perladangan. Kemudian ia juga bertugas
mengurus semua persoalan kampung dan perselisihan antar penduduk
yang tidak dapat diselesaikan oleh parabhela. Parabhela merupakan
bawahan bhontono liwu yang bertugas mengurus semua persoalan dan
perselisihan antara penduduk. Apabila mereka tidak dapat lagi
menyelesaikan persoalan itu, ia naik banding kepada bhontono liwu dan
tidak selesai di bhontono liwu naik banding sampai pada kino bharata
154
untuk mendapatkan penyelesaian. Sebelum masuk pemerintah Belanda,
parabhela mengurus semua persoalan maradika dalam siua liwuno
(Duruka, Banggai, Masalili, Mabholu, Mabhodo, Watuputi, Bhangkali,
Onsume, dan Kondongia). Pengurusan itu terjadi bilamana tidak
terselesaikan oleh kino kampung yang bersangkutan. Dalam hal ini, kino
yang bersangkutan membawa persoalan ini kepada salah satu parabhela
Lohia yaitu parabhela yang menangani kampung yang bersangkutan.
Kampung siua liwuno terbagi atas; pertama, parabhelano Lele
membawahi kampung Duruka dan Bangkali, kedua, parabhelano Wunta
membawahi kampung Kondongia dan Unsume, ketiga, Parabhelano
Wakantolili membawahi kampung Mabodo dan Watuputi, dan keempat,
parabhelano Wakatumende membawahi kampung Mabolu, Masalili dan
Banggai. Biasanya kino lebih dahulu membawa persoalan ini kepada wati
selanjutnya wati memberikan kepada keempat parabhela. Mereka ini
menyampaikan kepada bhontono liwu, yang selanjutnya memerintahkan
kepada parabhela yang membawahi kampung tersebut untuk memeriksa
perkara itu. Tampaknya tidak semua parabhela memiliki derajat yang
sama. Derajat pertama; parabhelano Wakantolili, kemudian yang kedua
paraabhelano Wunta, yang ketiga parabhelano Lele dan yang keempat
parabhelano Wakatumande. Ketika kampung Tampo dan kampung
Lambiku bergabung dengan bharata Lohia serta diangkat seorang ki dalam
kedua kampung tersebut maka kedua kampung itu, tidak bergabung ke
dalam salah satu parabhela tersebut tetapi kedua kampung (Tampo dan
Lambiku) langsung dibawahi oleh bhontono liwu dan kino. Adapun wati
adalah bawaha parabhela dan juga pembantu bhontono liwu. Salah seorang
dari mereka selalu mengikuti bhonto bilamana pergi ke luar rumah yaitu
155
membawakan gambinya (kotak sirih). Wati yang lainnya menjaga rumah
kediaman bhonto. Selanjutnya pekerjaan mereka adalah membersihkan
rumah bhonto, mencari air dan kayu, berbelanja dan lain-lain. Mereka juga
disebut kafowawe (pembantu rumah tangga bhonto).

156
VIII. Pendapatan Para Pejabat
Pada zaman dahulu pendapatan para pemimpin di Muna bersumber
dari hasil kebun, kebun para pejabat, hasil berburu dan hasil enau, pajak
tahunan, denda, pendapatan pribadi, dan pajak lain, uang pesta, dan uang
pesta di bharata.

8.1. Hasil Kebun


Salah satu pendapatan utama para pejabat atau para pemimpin di
Muna mulai dari jabatan syarat kampung sampai kepada raja Muna ialah
sedekah yaitu hasil pemasukan tahunan dari penduduk yang bermukim di
luar kota Muna (golongan maradika dan wesembali) yang memiliki ladang
atau kebun. Sedekah ini dimulai dari pengucapan suatu janji. Oleh
karenanya merupakan hasil menepati janji pada saat penanaman. Dalam
kaitan itu setiap tahun bhontono liwu dan kamokula mengunjungi semua
tanaman penduduk untuk melihat keadaan tanaman dan menaksir hasilnya.
Di bharata Lahontohe misalnya hal ini dilakukan oleh mintarano bhitara
bersama dengan bhontono Liwu. Ia pun menentukan siapa yang harus
menyerahkan sebagian hasilnya dan seberapa banyak untuk kino dan mino.
Pada hari yang telah ditentukan berkumpullah semua orang yang telah
ditunjuk untuk menyerahkan sedekah, kemudian mereka membawanya
secara beriringan ke rumah kino dan mino, dibawa pimpinan syarat
kampung. Di sana sedekah itu diserahkan oleh syarat kampung. Bila hal
ini sudah terjadi dan semuanya diletakkan di rumah kino atau mino maka
syarat kampung langsung mengambil sebagian untuk dirinya sendiri.
Bagian ini tidak ditentukan, para anggota syarat kampung diharapkan

157
bertindak tidak rakus, sehingga mereka bersama-sama tidak mengambil
lebih dari yang ditinggalkan untuk kino dan mino.
Penyerahan sedekah kepada ghoerano, mintarano bhitara, bhonto
bhalano dan raja Muna diatur tersendiri yaitu, bahwa pejabat-pejabat
tersebut menerima dua kali sedekah yaitu pertama, beberapa kampung dan
setelah beberapa waktu kemudian dari kampung-kampung lainnya.
Peraturan penyerahan sedekah ini adalah sama untuk semua ghoera.
Misalnya ghoerano Tongkuno, Pentiro, Tondo, Mataholeo, Kowouno dan
Kancitala di bawah pimpinan kamokulano Tongkuno untuk membicarakan
bilamana sedekah itu akan diserahkan kepada ghoerano. Bila telah
menghasilkan kesepakatan bersama, maka setiap kamokula pergi
mengunjungi kebun-kebun penduduk kampungnya, serta menentukan
siapa yang harus memberi sedekah dan seberapa banyak sedekah tersebut.
Ditentukan pula dari jenis tanaman mana bagian yang harus diserahkan.
Yang satu harus memberi sebagian dari jagungnya, yang lain sebagian dari
padinya, yang lainnya lagi sebagian dari buah-buahannya dan sebagainnya.
Bila semuanya telah terurus, maka kamokula lagi yang menyampaikannya
kepada mino. Pada hari yang ditentukan oleh keenam kamokula itu,
datanglah semua orang yang telah ditunjuk bersama sedekah mereka ke
Tongkuno. Sedekah itu dibuat secara beriringan ke ghoerano. Setelah itu
ghoerano bermusyawarah bersama keenam mino itu, kapan sedekah
tersebut akan diserahkan kepada raja Muna, bhonto bhalano, dan
mintarano bitara. Bila waktunya telah ditetapkan, maka kamokula
kampung-kampung ini menunjuk orang-orangnya yang sekampung yang
akan menyumbang kepada para pejabat itu.

158
Pada hari dan tempat yang telah ditentukan, datanglah mereka serta
menyerahkan sumbangannya kepada kamokula Tongkuno. Ia lalu
mengumpulkan jenis demi jenis. Bila semua telah masuk, kamokula lalu
menghitung berapa bagian yang ada dari setiap jenis lalu membaginya.
Pembagian dilakukan sedemikian rupa sehingga raja Muna mendapat
separuhnya dari semua jenis, sedangkan separuhnya lagi bhonto bhalano
mendapat dua pertiga bagian dan mintarano bhitara mendapat sepertiga
bagian. Kemudian ditunjuklah beberapa orang yang harus membawa
sedekah ini kepada ketiga pemimpin tersebut. Umumnya penyerahan ini
dihadiri oleh ghoerano dan mino dari keenam kampung tersebut.
Apabila penyerahan telah terjadi, maka kamokulano Tongkuno
menyampaikan kepada kampung-kampung lainnya di dalam ghoera.
Setelah itu mereka mnyerahkan sedekahnya masing-masing. Untuk
penetapan waktu penyerahan sedekah, maka dalam ghoerano Katobu
memusyawarahkan dengan kamokula Lafinde, Lasosodo dan Labhalubha
di bawah kamokulano Lindo. Di ghoerano Kabawo waktunya ditetapkan
oleh kamokulano Karoo, Lahorio, Kabangka, Kafofo, dan Lembo di
bawah pimpinan kamokulano Wapepi. Di ghoerano Lawa waktunya
ditetapkan oleh kamokulano Kaura, Lambubalano, Kaliwu-Liwu,
Malainea, Wou, Kabawolumele, dan Kampani di bawah pimpinan
kamokulano Barangka.
Hasil ladang atau kebun yang disedekahkan meliputi; jagung, labu,
ketimun, kadawa (sejenis semangka), dan bhasari (injelai). Bila ubi telah
masak, maka sedekah juga dibayarkan dari ghofa (ubi talas), mafu (sejenis
ubi) dan ubi kayu. Dalam penentuan sedekah seseorang, diperhitungkan
juga keperluan dia sendiri bersama keluarganya setiap tahunnya. Dalam
159
kaitan itu maka perlu diperhatikan pula berapa banyaknya penghasilan
suatu ladang atau kebun. Bila berada di bawah ketentuan maka sedekah
ditiadakan. Sedekah jagung per kepala sekurang-kurangnya 50 tongkol,
dari buah-buahan lainnya sekurang-kurangnya dua buah.
Semua sedekah yang akan diserahkan digantung pada kayu pikulan.
Pada kedua ujung setiap kayu pikulan digantung 25 tongkol jagung dengan
tangkainya ke atas, sedemikian rupa sehingga tangkainya silih berganti
menunjuk ke kiri dan ke kanan. Setelah itu buah-buahan lainnya digantung
pada kayu itu, sedapat mungkin kedua ujungnya dengan jumlah yang sama
dari setiap jenis. Dari ketiga jenis ubi yang disebutkan di atas, hanya diberi
sedekah bila ada yang paling besar, ubi yang besar itu yang akan
diserahkan. Bila ubinya hanya satu yang besar maka cukup itu saja, tetapi
kalau banyak maka diberi juga banyak, berapa banyaknya tidak tentu.

8.2. Kebun Para Pejabat


Menurut Couvreur (1935), para pejabat mulai dari kino atau mino
sampai kepada raja Muna adalah mendapatkan bagian ladang atau kebun
dari masyarakat yang berdomisili di luar kota Muna (maradika dan
wasembali). Untuk kino dan mino harus dibuka oleh rakyat kampung,
kebun seluas 40x40 depa (1 depa = sekitar 1,5 meter), yaitu seluas 3.600
m². Untuk ghoerano harus dibuka oleh semua maradika dan wasembali
dalam ghoera itu, kebun berukuran 7x6 weti (1 weti panjangnya 5 depa
ditambah 5 kali jarak ujung jari sampai tengah dada, jadi kurang lebih 5
kali ½ depa. Jadi satu weti panjangnya 7,5 depa = 11,5 meter. Jadi luas
kebun seorang ghoerano ± 5.316 m². Setiap kapitalao memperoleh
sebidang kebun yang dibuka oleh rakyat dari dua ghoera dengan ukuran

160
100x100 depa atau seluas 22.500 m². Bila kapitalao berasal dari ghoerano
Katobu dan Lawa, dan bila kapitalao dari ghoerano Lawa maka yang
mengerjakan kebunnya adalah orang dari ghoerano yang sama yaitu
Katobu dan Lawa. Demikian pula bila kapitalao berasal dari ghoerano
Tongkuno atau ghoerano Lawa maka yang mengerjakan kebun mereka
dari ghoerano Tongkuno dan ghoerano Lawa. Mintarano bhitara
memperoleh kebun yang dikerjakan oleh rakyat kampung Mawoli atau
Walengke, tergantung apakah dia berasal dari Tongkuno atau dari Lawa.
Luas kebunnya yaitu 50x50 depa yaitu 5.625 m². Kebun bhonto bhalano
dikerjakan dari keempat ghoera. Luas kebunnya yaitu empat kali kebun
seorang ghoerano atau seluas 21.264 m². Yang mengerjakan adalah rakyat
yang berasal dari setiap ghoera. Untuk raja Muna dibukakakn sebidang
kebun oleh semua orang dari Muna, yang luasnya dua kali luasnya kebun
bhonto bhalano yaitu 42.528 m². Para La Ode (kaumu) dan walaka
dibebaskan dari pekerjaan menggarap kebun ini.
Kewajiban membuka kebun ini (lanjut Couvreur, 1935) dapat ditebus
dengan uang yang disebut wawontobo (uang tebusan), yaitu 20 bhoka
setiap ghoera berjumlah 80 bhoka (empat ghoera). Adapun pembagian
uang 80 bhoka ini adalah; raja Muna, bhonto bhalano, dan mintarano
bhitara bersama-sama mendapat setengah bagian (40 bhoka). Dari
setengah ini, raja Muna mendapat setengahnya yaitu 20 bhoka; bhonto
bhalano mendapat 2/3x20 bhoka dan mintarano bhitara mendapat 1/3x20
bhoka. Sisa uang yang 40 bhoka dibagi antara kedua kapitalao, keempat
ghoerano, serta semua kino dan mino. Yang 40 bhoka dibagi dua bagian,
setengahnya untuk kedua kapitalao bersama semua kino, setengah
bagiannya untuk keempat ghoerano dan semua mino. Kapitalao masing-
161
masing mendapat 5 bhoka, ghoerano masing-masing juga mendapat 5
bhoka.
8.3. Hasil Berburu dan Hasil dari Enau
Apabila seorang maradika membunuh seekor rusa yang besar; maka ia
harus menyerahkan sebagian dagingnya kepada ghoerano, kino dan mino
di kampungnya. Bila rusanya kecil, ia harus memberikan sebagian
dagingnya kepada bhontono Liwu dan kamokula. Apabila ia tidak
melakukan, ia akan dikenakan hukuman denda oleh syarat kampung. Bagi
seorang La Ode (kaomu) dan walaka nanti setelah ia membunuh rusa yang
ketiga barulah mendapat sebagian, harus diberikan pula kepada ghoerano,
kino dan mino. Akan tetapi bila tidak dilakukan tidak dapat dihukum oleh
syarat kampung. Di beberapa kampung seperti di Lohia, Wasolangka,
Lahontohe, dan Lagusi ada kebiasaan seperti apabila menangkap ikan
besar atau menangkap ikan kecil, maka sebagian harus diserahkan kepada
ghoerano, kino dan mino. Apabila seorang maradika memiliki sejumlah
pohon enau yang menghasilkan lebih dari 6 botol tuak (kameko), maka ia
harus menyerahkan 3 botol untuk kino atau mino di kampungnya.
Pemberian itu harus dibawanya sendiri di rumah kino atau mino. Apabila
hasilnya kurang dari 6 botol maka yang mendapat bagian bukan kino atau
mino akan tetapi bhontono Liwu atau kamokula. Bagian itu harus mereka
minum di rumah si pemberi. Bila peraturan ini tidak dipenuhi, maka
seorang maradika itu akan dihukum oleh syarat kampung.

8.4. Pajak Tahunan


Setiap tahun, yaitu setiap bulan Maulid Nabi Muhammad, setiap
ghoera wajib menghasilkan pajak sebesar 40 bhoka yang berarti keempat
162
ghoera berjumlah 160 bhoka. Jumlah ini berasal dari maradika dan
wasembali, dalam hal ini orang-orang yang tinggal di luar kota Muna.
Adapun La Ode (kaumu) dan para walaka dibebaskan. Pajak seperti ini
dinamakan wulusau dapat berupa uang atau barang seperti beras, kain
putih, sarung dan lain-lain. Pajak ini dibayarkan kepada bhonto bhalano.
Yang harus membagikan kepada kepada raja Muna, mintarano bhitara,
kedua kapitalao, keempat ghoerano serta semua kino dan mino. Cara
membaginya sama dengan yang berlaku pada wawontobo.
Di ghoerano Kabawo setiap bulan puasa dibayar pajak gula yang
dibuat dalam bulan sebelumnya. (Bila orang membuat gula maka di dalam
hutan dibuat sebuah pondok kecil untuk tempat bekerja yang dinamakan
bhantea, setiap bhantea bekerja 10 sampai 30 orang). Pajak setiap bhantea
adalah 300 potong gula yang dihasilkan oleh para maradika dan
wasembali. Penghasilan total pajak gula ini dibagi ke dalam tiga bagian
yaitu bagian untuk raja Muna, serta bagian untuk bhonto bhalano bersama-
sama dengan mintarano bhitara dan satu bagian lagi untuk ghoerano
Kabawo bersama dengan kino, mino, imam, khatib, dan semua modhi dari
ghoerano Kabawo. Bila pada saat pembayaran pajak ini, kapitalao berada
di kota Muna maka mereka pun mendapat bagian.

8.5. Denda
Para pejabat memiliki saham dalam uang-uang denda yaitu sebelas
bhoka; lima bhoka dua suku; sepuluh suku; dan lima tali. Denda sebelas
bhoka dibagi-bagi sebagai berikut; raja Muna, bhonto bhalano, mintarano
bhitara dan kedua kapitalao mendapat seperempat bagian. Sisanya tiga
perempat bagian dibagi antara keempat ghoerano bersama-sama kino dan

163
mino di dalam kota Muna. Denda lima bhoka dua suku dibagi kepada
semua bhonto bahalano dan ghoerano dan sisanya dibagi antara yang
hadir. Denda sepuluh suku diperuntukkan bagi ghoerano dan orang lain
yang hadir. Denda-denda lainnya dibagi antara para anggota pengurus
pengadilan. Hanya dalam mengadili perkara-perkara kecil seperti mencuri
ayam, berkelahi dengan memaki dalam kampung dan sebagainya, bila ini
diadili oleh syarat kampung (di Lahontahe oleh mintarano bhitara) maka
setengah dari uang denda harus diberikan kepada pihak yang dihina.
Setengahnya lagi dibelikan tuak (kameko) dan seluruh kampung diundang
untuk minum. Tujuan undangan seluruh kampung ialah untuk
mengumumkan bahwa perkara itu sudah diadili dan yang bersalah telah
dihukum.

8.6. Pendapatan Pribadi dan Pajak Lain


Pada zaman dahulu, setiap pejabat di keajaan Muna memiliki
beberapa pendapatan tambahan yang tidak perlu dibagi-bagi dengan
pejabat lainnya. Misalnya siapa saja yang mau kawin wajib membayar
kepada raja Muna. Bila seorang wanita yang ingin bercerai dimana
pemuka agama yang ditunjuk untuk menyelesaikan masalah perkawinan
itu tidak mau atau tidak bisa menolongnya, maka dapat menghubungi raja
Muna. Raja Muna dapat mengucapkan “perceraian” bila wanita itu mau
bercerai atas dasar yang sah. Dalam hal ini, wanita ini harus membayar
uang kepada raja Muna sebesar 5 bhoka. Uang tersebut menjadi
pendapatan tambahan raja Muna. Bila seorang La Ode (kaomu) atau
walaka membunuh seseorang dan segera setelah melakukannya
menyerahkan diri kepada raja Muna, maka ia dikurung selama 40 hari di

164
kamar tahanan rumah raja Muna sehingga keluarga yang dibunuh tidak
bisa menemukannya. Setelah melampaui batas waktu 40 hari ia harus
membayar kepada raja Muna sebesar 11 bhoka sehingga ia tidak boleh
dikejar lagi. Begitu pula keluarga orang yang dibunuh tidak boleh
merugikan dengan cara apapun. Peraturan ini tidak berlaku bagi kalangan
maradika.
Sebuah kampung yang letaknya di tepi pantai, syarat kampung berhak
memungut pajak dari setiap perahu yang masuk membawa hasil laut,
termasuk ikan. Pajak tersebut harus dibagi bersama kino atau mino dan
parabhela termasuk syarat kampung. Apabila banyak perahu yang masuk
maka syarat Muna harus diberi tahu yang juga ikut dalam pembagian
penghasilan pajak. Apabila hasil hutan akan diekspor, maka pajak harus
dibayar dengan ketentuan 10% dari harganya. Harga pajak ini dibayarkan
kepada kino, yang harus dibagikan juga kepada syarat Muna.

8.7. Uang Pesta


Pada zaman dahulu para ghoerano, kino atau mino dan syarat
kampung banyak menarik pendapatan dari berbagai pesta keluarga seperti
kaalano wulu, katoba dan karia. Karena banyaknya pendapatan yang
ditarik menyebabkan pemilik pesta menyelenggarakannya secara diam-
diam.

165
IX. Pakaian Adat dan Perhiasan
Salah satu identitas budaya Muna adalah penggunaan pakaian adat.
Melalui jenis pakaian dan perhiasan yang digunakan dapat dengan mudah
di kenali apa jabatannya dan status golongan apa yang disandangnya
dalam masyarakat. Pengetahuan mengenai pakaian adat ini ditetapkan
pada masa pemerintahan raja Titakono dan bhonto bhalano La Marati
(lihat Couvreur, 1935).

9.1. Pakaian Adat yang Tidak Menduduki Jabatan


Masyarakat golongan kaumu (laki-laki) yang tidak menjabat memakai
pakaian adat seperti berikut; badan bahagian atas telanjang, dibaluti
dengan kain sehelai kain lebar dan panjang dari kain yang halus yang
disebut salenda. Kain salenda ini diletakkan di bahu sebelah kiri
sedemikian rupa sehingga bagian belakang sebelah bawah tergantung pada
kaki sebelah kanan. Di luar Kota Muna salenda ini tidak perlu dipakai bila
seorang dari masyarakat golongan kaumu menghadap seseorang yang
lebih tinggi kedudukannya maka salenda ini dililitkan longgar di pinggang,
melebar, bagian kanan dililitkan ke depan tubuh menuju bagian kiri.
Memakai selembar sarung menurut warna pilihan dipakai sampai batas
kaki. Sarung ini harus memiliki “kepala” yaitu bagian tengah di belakang
harus ada garis-garis berdiri atau pola yang berbeda warnanya. Sarung
yang serupa ini juga diwajibkan dipakai oleh semua pejabat dan untuk
masyarakat golongan walaka. Sarung yang tidak dibolehkan mereka pakai
ialah sarung yang hanya memiliki garis melintang dari berbagai ukuran
lebarnya yang disebut kansisiri atau ledha ataupun selembar sarung
dengan garis-garis melintang dengan ukuran yang sama yang dinamakan
166
kaso-kasopa atau lantai-lantai. Selain itu memakai kain kepala yang
disebut kampurui atau kabhensi dengan menggunakan warna dan
perhiasan menurut selera akan tetapi tidak dibenarkan warna dan perhiasan
yang telah ditetapkan untuk salah satu pejabat tinggi. Kain kepala ini
dililitkan sedemikian rupa di atas kepala sehingga pada bagian kirinya
terdapat ujung yang berdiri, ujung belakangnya tidak boleh tergantung,
harus dihilangkan ke bagian belakang sebelah kanan. Kain ini dililitkan di
kepala sehingga batok kepala selalu terbuka. Kain kepala ini wajib dipakai
ketika menghadap seseorang yang lebih tinggi kedudukannya. Pemakaian
kain kepala ini dilakukan sebagai pengganti songkok. Kemudian, semua
kaumu (laki-laki) diizinkan memakai keris atau badik ataupun sebilah
lolabi.
Untuk pakaian masyarakat golongan walaka (laki-laki), badan atas
telanjang, sarung dan kain kepala sama dengan masyarakat golongan
kaumu. Sarung juga dipakai sampai sebatas kaki. Masyarakat golongan
walaka tidak dibenarkan memakai salenda, mereka memakai bhida yaitu
sehelai kain pengikat pinggang yang sangat panjang dari bahan sutra atau
sejenis kain halus. Kain ini dililitkan lima sampai enam kali lilitan di
pinggang. Semua walaka diizinkan memakai keris, bhadik atau pun lolabi.
Dengan demikian, masyarakat golongan kaumu (laki-laki) dan
golongan walaka (laki-laki) memakai sarung sebatas kaki. Karena
memakai keris, maka bagian belakang sebelah kiri adalah agak meninggi.
Keris harus selalu tertutup oleh sarung, begitu pun bila ia sedang duduk.
Panjang keris dan perhiasannya tidak diatur namun yang boleh memakai
keris yang tangkainya terbuat dari bahan logam yang berharga atau dari

167
gading hanyalah dari golongan kaumu dan walaka. Masyarakat dari
golongan maradika hanya diizinkan memakai keris yang bertangkai kayu.
Pakaian untuk maradikano ghoera (papara) sama dengan pakaian
maradika poino kontu lakono sau yaitu badan bagian atas telanjang.
Sehelai sarung tanpa kepala sarung ini hanya boleh sebatas lutut dan harus
sama tinggi pada kedua kaki. Kain kepala terdiri atas kain yang dilipat
sempit yang ujung-ujungnya diambil bersama (jadi dibuat bentuk cincin),
ditaruh di kepala serta kedua ujungnya pada bagian pinggirnya dilipat ke
dalam. Adapun pakaian maradika anangkolaki hanya mempunyai
perbedaan ini yaitu bahwa sarungnya tergantung sebatas betis dan
keduanya sama tinggi. Untuk pakaian para budak sama dengan yang
ditetapkan untuk maradika poino kontu lakono sau.

9.2. Pakaian Adat Para Pejabat


9.2.1. Pakaian Adat Raja atau Omputo
Menurut Couvreur (1935), adapun pakaian adat raja badan bagian
atas ditutupi baju putih tanpa kerah leher dan tanpa lengan. Di atasnya
terdapat sebuah jubah sebatas lutut dengan warna sesuai pilihan, bagian
muka seluruhnya terbuka. Baik bagian muka seluruhnya terbuka. Baik
bagian muka maupun belakangnya dihiasi dengan gambar-gambar dari
benang emas. Setiap lengannya dipasang delapan kancing kecil terbuat
dari emas. Kerah leher yang berdiri tinggi dengan enam kancing kecil
terbuat dari emas tersusun di bagian kanannya. Memakai celana panjang
sebatas mata kaki, warnannya sesuai pilihan, kaki-kaki celana sangat
sempit yang bagian bawahnya dipotong selebar 15 cm sampai 20 cm,
dapat dibuka dan ditutup, masing-masing dengan 12 kancing emas yang
168
kecil-kecil. Pada pengikat di atas perut terdapat sebuah pelat emas yang
disebut sulepe. Menggunakan kain kepala yang menutupi seluruh kepala.
Satu sudut dari kain tersebut ditarik menutupi kepala sehingga batok
kepala tertutup. Kain tersebut pada belakang kepala ditarik ke atas
sehingga terdapat dua ujung yang berdiri meninggi. Ujung samping kain
tersebut ditarik dari muka ke belakang dan disimpul di situ. Kain kepala
harus berwarna satu dan kain sutra. Bagian depannya dihiasi dengan
gambar-gambar dari benang perak. Sebagai tanda kemuliaan raja Muna,
selain memakai keris, juga memakai sebuah tongkat hitam dengan ukuran
normal yang bonggolnya dibuat dari perak dan tidak dihias. Apabila
jabatan raja Muna dalam keadaan lowong, tongkat tersebut disimpan oleh
salah seorang siriganti.

9.2.2. Pakaian Adat Bhonto Bhalano


Badan bagian atas tertutup oleh baju; dilapisi sebuah jubah panjang
sebatas lutut. Warnannya sesuai pilihan. Jubah itu di muka dan di belakang
bergaris-garis berdiri, pada bagian belakangnya bergaris-garis berdiri, pada
bagian lengannya bergaris-garis melintang dari warna yang lain.
Lengannya amat panjang sehingga mencapai ujung jari serta bagian
bawahnya amat lebar. Ada juga selembar sarung berkepala. Sebuah kain
kepala berwarna hitam, menutupi seluruh kepala diikat sedemikian rupa
sehingga telinga kanan tertutup seluruhnya. Selain itu memiliki pengikat
pinggang yang disebut sulepe yang terbuat dari perak berwarna hitam. Ia
juga memakai keris. Sebagai tanda kemuliaannya, ia memegang sebuah
tongkat hitam dengan sebuah bonggol perak yang terhias, sehingga di
depannya dipikulkan sebuah tombak yang ujungnya tertutup kain. Pakaian

169
adat bhonto bhalano ini menurut Couvreur (1935) sama dengan yang
dipakai oleh mintarano bhitara.

9.2.3. Pakaian Adat Kapitalao


Badan bagian atas telanjang, tertutup oleh sebuah jubah dari beludru
atau sutra yang warnannya sesuai pilihan. Bagian depan seluruhnya
dipakai terbuka. Pada bagian depannya mulai dari bahu sampai ke
pinggang terdapat dua lajur lebar yang disebut balahadhadha yang dijahit
di atas jubah dan warna lain yang menonjol misalnya merah dan biru atau
hitam yang kemudian dihiasi benang-bebang emas dengan kepingan-
kepingan perak kecil. Selanjutnya jubah ini dihiasi baik dari muka maupun
dari samping dan bagian belakangnya dengan gambar-gambar dari
kepingan-kepingan perak kecil yang disebut buka-buka. Lengan bagian
bawah sebelah dalam dipotong agak terbuka serta dihias dengan benang
perak. Sebuah kerah leher berdiri yang bagian depannya dihiasi dengan
dua belas keping emas kecil-kecil yang tergantung enam buah dalam satu
rangkaian. Selembar sarung berwarna hitam sebatas lutut, bagian
belakangnya berkepala dan terdiri atas lajur-lajur lebar dan sempit secara
bergantian dari benang perak. Di bawah sarung dipakai celana panjang
hingga sebatas mata kaki dengan warna sesuai pilihan. Kain kepala
berwarna putih berhiaskan gambar-gambar yang disablon. Sepanjang
pinggir kain terdapat lajur lebar dan benang emas. Kain kepala dililitkan
sempit di kepala dengan ujung yang berdiri agak longgar di bagian kiri
belakangnya. Di muka kain kepala ini tertusuk sebuah bulu sesuai warna
pilihan yang disebut manoambo. Selain itu ada sebuah sulepe dari emas.
Sebagai tanda kemuliaan maka di depannya dibawa sebuah tombak

170
panjang yang ujung tangkainnya dihiasi dengan rambut manusia. Ia sendiri
memakai sebuah tombak kecil tanpa hiasan dan sebuah keris.

9.2.4. Pakaian Adat Ghoerano


Badan bagian atas telanjang tertutup oleh sebuah jubah seperti pakaian
pada bhonto bhalano, tetapi hanya sampai melewati lutut, warnanya
menurut pilihan. Sarungnya sama dengan sarung yang dipakai golongan
masyarakat kaumu. Sebuah kain kepala yang warna maupun hiasannya
sesuai pilihan, lilitannya sama dengan pakaian bhonto bhalano. Sebuah
sulepe dari perak hitam. Sebuah tongkat dengan bonggol perak yang
dihias. Kemudian ia memakai sebuah klewang dengan bilah yang sangat
lebar, yang semakin ke atas semakin sempit. Klewang ini disebut kampue
atau kabolaria. Tangkai klewang ini adalah sebuah tongkat pendek. Pada
sambungannya antara bilah dan tongkat terdapat hiasan dari rambut
manusia. Kemudian ia memakai keris. Ghoerano dilarang memakai baju
di bawah jubah. Larangan ini berlaku bagi kino dan mino. Ada
kepercayaan bila larangan ini dilanggar oleh ghoerano atau kino dan mino
maka panen akan gagal.

9.2.5. Pakaian Adat Kino


Ketiga kino bharata yaitu kino bharata Lohia, kino bharata
Lahontohe dan kino bharata Wasolangka serta para kino kampung-
kampung; Labora, Lakologou, Tobea, Mantobua, Lagadi, Watumelaa,
Lasehao dan Kasaka memiliki pakaian yang sama dengan kapitalao, yang
membedakannya adalah bulunya yang di sebut Manoambo pada kain
kepala dan juga tombaknya. Pakaian adat kino lainnya; badan bagian

171
atasnya telanjang tertutup sebuah jubah yang bagian muka seluruhnya
dipakai terbuka, sebatas bawah pinggang dengan kerah leher yang berdiri
tinggi dan kaku. Warna jubah sesuai pilihan, tetapi dalam satu warna.
Sarungnya sama dengan sarung yang dipakai masyarakat golongan kaumu.
Kain kepala dililit sempit di kepala sehingga batok kepala tetap terbuka.
Dipakainnya agak miring di kepala di mana bagian kiri dan kanan
mempunyai sudut-sudut yang tergantung. Sebuah sulepe dari emas, perak
atau dari logam lainnya. Kemudian para kino memakai sebuah keris.
Lengan jubahnya dapat dihiasi dengan kepingan-kepingan perak yang
kecil yang disebut buka-buka sedangkan kerah lehernya dapat pula
dihiasi dengan kancing-kancing emas kecil ataupun dikerjakan dengan
benang-benang emas atau perak.

9.2.6. Pakaian Adat Meno atau Mino


Pakaian adat para mino sama dengan pakaian adat kino, yang
membedakan hanya kain kepala. Perbedaan keduannya dapat dilihat pada
kain kepalanya. Para mino hanya memiliki satu sudut yang tergantung di
kanan, sedangkan sudut kirinya agak berdiri. Kemudian kain tersebut
dililit sedemikian rupa, sehingga pada bagian depannya satu sudut di
antara kedua lilitan agak menjulur ke luar. Sebagi tanda kemuliaan, mino
memakai keris. Sulepe terbuat dari perak atau tembaga dan dilarang
memakai yang terbuat dari emas. Adapun pakaian yang dipakai fato
lindono sama dengan yang dipakai para mino.

172
9.2.7. Pakaian Adat Bhontono Liwu dan Kamokula
Badan bagian atas telanjang ditutupi sebuah jubah yang sama dengan
jubah ghoerano hanya saja berasal dari bahan yang lebih kasar, tenunan
sendiri. Sarungnya sama seperti sarung dari masyarakat golongan kaumu.
Kain kepala yang hitam dililitkan agak tinggi di kepala sehingga
seluruhnya tertutup, kedua ujungnya dililit dari muka ke belakang dan
disimpul di situ. Sebuah sulepe dari mutiara atau tembaga. Kemudian
memakai sebuah keris yang terbuat dari tangkai kayu.
Semua pejabat dari raja Muna sampai kepada bhontono liwu dan
kamokula memakai sebuah kambilo yaitu sebuah kotak bulat panjang
yang gunanya untuk menyimpan tembakau, uang dan keperluan kecil
lainnya untuk bepergian.

9.2.8. Pakaian Para Pegawai Raja


Para petugas raja Muna meliputi; kapita, Lotenani, siriganti, firisino
kolaki, firisino pasi, bhonto kapili, kapili dan parabhela. Pakaian kapita
sama dengan pakaian para kino dengan sebuah sulepe dari emas atau
perak.
Pakaian para lotenani, siriganti, firisino kolaki, firisino pasi dan
bhonto kapili semuanya serupa atau sama yaitu badan bagian atas
telanjang ditutupi sebuah jubah sebatas bawah pinggang, warna sesuai
pilihan akan tetapi harus satu warna. Bagian mukannya dipakai terbuka.
Jubah tersebut berlengan panjang dipotong terbuka pada ujungnya, dengan
sebuah kerah leher yang berdiri tidak tegak. Pada hari-hari raya penting
seperti pengangkatan raja Muna yang baru atau pada hari raya Idul Fitri
dan Idul Adha, mereka diperbolehkan memakai bhaladhadha pada
173
jubahnya seperti jubah kapitalao. Sarungnya seperti sarung golongan
kaumu, kain kepala tidak menutupi seluruh kepala, tetapi dililitkan sempit
tinggi pada dahi, bagian kirinya menyudut panjang secara mendatar
sedangkan bagian kanannya merupakan sudut kecil yang tergantung.
Sebuah sulepe dari perak atau tembaga. Mereka memakai senjata keris,
akan tetapi dalam keadaan bahaya mereka memakai senapan, klewang dan
tombak. Pakaian adat kapili adalah sesuai yang ditentukan maradika
poino kontu lakono sau.
Adapun pakaian adat parabhela; badan bagian atas telanjang ditutupi
sebuah jubah sebatas lutut, seluruhnya berwarna putih, atau putih dengan
garis-garis berdiri yang amat sempit dengan warna hitam dengan garis-
garis sempit berwarna putih. Garis-garis jubah ini harus lebih sempit dari
garis-garis jubah seorang kamokula. Sarungnya seperti sarung para
kaumu berkepala tetapi dari kain kasar tenunan sendiri. Kain kepala
menutupi seluruh kepala. Kain ini terbuat dari bahan yang kasar, tenunan
sendiri dan dicat biru dengan bahan pewarna yang terbuat dari daun
pepohonan tertentu. Ia boleh memakai sulepe, tetapi untuk hal ini tidak
terikat dengan peraturan atau tidak ada peraturannya. Bila ia tidak
memakai sulepe maka ia memakai bhida yang terbuat dari tenunan kain
sendiri dengan rumbai-rumbai. Tidak memakai keris, tetapi memakai
sebuah pisau.

9.2.9. Pakaian Adat Pejabat di Bharata Lahontohe


Para pejabat di bharata Lahontohe selain kino bharata dan para kino
dan mino yang mengepalai kampung-kampung juga terdapat mintarano
bhitara, sangkolaki, bhontono liwu, dan parabhela.

174
Pakaian adat mintarano bhitara sama dengan pakaiaan adat bhontono
liwu di kampung-kampung lainnya; memakai sulepe dari emas atau perak
bila ia berada Lahontohe dan memakai sulepe dari tembaga bila ia berada
di luar Lahontohe atau di Kota Muna.
Pakaian adat sangkolaki yaitu badan atas telanjang yaitu tertutup
sebuah jubah yang melewati pinggang. Jubah ini sama dengan jubah
mintarano bhitara, tetapi dengan garis-garis yang lebih sempit. Kain
kepalanya sebagaimana ditetapkan untuk petugas raja Muna. Sulepe
terbuat dari perak bila berada di Lahontohe dan terbuat dari tembaga bila
berada di luar Lahontohe. Kemudian memakai keris yang terbuat dari
tangkai kayu.
Pakaian adat parabhela yaitu badan bagian atas telanjang ditutupi
sebuah jubah putih dengan garis-garis sempit dari warna yang lain.
Lengannya bergaris melintang, sarungnya seperti sarung golongan kaumu.
Tidak memakai sulepe melainkan bhida. Kain kepala berwarna hitam atau
biru dipakai sebagaimana ditetapkan untuk seorang kamokula di
kampung-kampung lainnya. Ia tidak memakai keris melainkan sebilah
pisau.

9.2.10. Pakaian Adat Pejabat di Bharata Lohia


Para pejabat di bharata Lohia, selain kino bharata dan kino dan mino
yang mengepalai kampung-kampung, juga terdapat bhontono liwu,
parabhela, wati, serta lotenani, firisi dan siriganti.
Pakaian adat bhontono liwu yaitu badan bagian atas telanjang
ditutupi sebuah jubah sebagaimana ditetapkan untuk kamokula di
kampung lainnya. Sebuah sarung seperti sarung golongan kaumu. Di

175
kampung Lohia ia memakai kain kepala sebagaimana ditetapkan untuk
bhonto bhalano Muna, tetapi di luar kampung Lohia memakai sebuah kain
kepala berwarna hitam seperti kamokula di kampung-kampung lainnya.
Memakai sebuah sulepe dari tembaga dan sebilah keris.
Pakaian adat parabhela sama dengan pakaian adat parabhela di
Lahontohe, tetapi ia memakai jubah berwarna merah diselingi garis-garis
berdiri putih dan hitam serta di lengannya bergaris melintang.
Pakaian adat wati yaitu badan bagian atas telanjang ditutupi sebuah
jubah sebatas betis warna seluruhnya putih bergaris-garis sempit warna
merah berdiri serta terbuat dari kain kasar tenunan sendiri. Kain kepala
sebagaimana ditetapkan untuk maradika poino kontu lakono sau.
Pakaian adat lotenani, firisi dan siriganti ketiganya sama yaitu badan
bagian atas telanjang, ditutupi sebuah jubah sebatas bawah pinggang,
warna sesuai pilihan. Satu warna atas bergaris dengan warna lain, tetapi
garis-garisnya lebih sempit dari pada jubah bhontono liwu. Di dalam
kampung mereka diperbolehkan memakai sulepe, tetapi di luar kampung
tidak boleh, kecuali bila mana mereka mengikut kino secara resmi. Para
lotenani dan firisi memakai sebilah keris siriganti memakai sebilah badik,
pisau atau lolabi. Kain kepala dililitkan di kepala sehingga batok kepala
tetap terbuka dengan bagian kirinya merupakan sudut terjulur secara
mendatar, dan pada bagian kanannya merupakan sudut yang tergantung,
warna kain kepala sesuai pilihan.

176
9.2.11. Pakaian Adat Wanita yang telah Menikah dan yang
belum Menikah
Pada zaman dahulu, melalui cara memakai sarung wanita Muna
dengan mudah ditebak apakah wanita itu telah menikah atau belum
menikah. Wanita yang telah menikah memakai sarung dua lembar
sedangkan yang belum menikah hanya memakai satu lembar. Pemakaian
kedua kain yang disebut kabhantapi bagi wanita yang telah menikah itu
dililit bersama dan disimpul bersama di atas dada. Hal ini berlaku bagi
semua perempuan baik golongan kaumu, walaka, dan maradika.
Perempuan dari golongan masyarakat golongan kaumu merupakan
golongan tertinggi memakai satu kain sebatas mata kaki, kain kedua
dipakai di atasnya akan tetapi hanya sebatas sedikit di atas lutut. Pada
wanita golongan walaka kain yang kedua hanya sebatas betis.
Apabila wanita golongan kaumu atau golongan walaka mengunjungi
rumah seseorang yang lebih tinggi kedudukannya dari pada kedudukan
suaminya, maka ia wajib memakai tiga lembar sarung. Umpamnya suami
wanita itu tidak memiliki jabatan mengunjungi rumah seorang kino atau
mino. Sarung yang ketiga itu dipakai di pinggang seperti seorang laki-laki
golongan kaumu memakai salenda bilamana ia hadir bersama seorang
yang lebih tinggi kedudukannya. Bilamana wanita itu berjalan, kain yang
disebut kabhantapi ini melebar pada bahu sebelah kanan, terus di bagian
kiri di bawah lengan, kemudian bagian bawahnya melilit di bawah lengan
kiri.
Wanita golongan walaka memakai kabhantapi melalui bahu
kanannya dari depan kanan ke bawah sampai sebatas tangan dan ditarik ke
depan, di mana ujungnya disimpul setinggi pangkuan pada bagian kiri
177
mulai dari belakang ditarik ke depan melalui lengan kiri. Wanita walaka
juga dapat memakai kain ini di luar rumah sebagaimana dipakai wanita
golongan kaumu, asal jangan di hadapan seorang yang lebih tinggi
kedudukannya.
Wanita anangkolaki memakai kain kedua sedikit lebih panjang dari
wanita golongan walaka yang melewati batas betis. Wanita maradika
lainnya memakai kedua kain sebatas mata kaki di mana kain atasnya
tergantung beberapa centimeter (cm) lebih pendek dari kain di bawahnya.
Jadi terlihat pinggiran yang sempit dari kain bawah.
Bilamana wanita maradika mengunjungi seseorang yang lebih tinggi
kedudukannya, maka mereka pun memakai tiga kain. Kain ketiga dipakai
terikat ketat di pinggang di atas kain-kain lainnya. Cara ini sama dengan
pemakaian bhida oleh laki-laki.

9.2.12. Jenis Perhiasan yang Dipakai


Seperti juga pada pakaian, perbedaan terdapat pula pada pemakaian
perhiasan antara wanita yang telah menikah dan wanita yang belum
menikah.
Ada beberapa perhiasan yang hanya dapat dipakai oleh wanita yang
belum menikah diantaranya; Salawi, yaitu sebuah perhiasan yang terdiri
atas dua lempengan bulat besar yang tebalnya beberapa mil terhias dengan
beberapa tanda atau gambar. Kedua lempengan ini tergantung pada sebuah
rantai atau pita yang satunya di dada dan yang lainnya di punggung.
Kemudian korondo, yaitu sejenis gelang pada pergelangan kaki. Gelang
ini amat lebar dan biasanya dihias. Ini bukan gelang biasa seperti yang
dipakai di Buton tetapi korondo adalah gelang yang mempunyai ruang

178
yang tertutup berisi potongan-potongan gelas atau batu-batu, sehingga
ketika berjalan mengeluarkan bunyi. Selain itu juga ada dhao-dhaonga
dan simbi. Dhao-dhaonga adalah setengah salawi di mana lingkaran
dipakai di dada. Sedangkan simbi adalah gelang tangan dari emas.
Baik wanita yang telah menikah maupun yang belum menikah
memakai perhiasan yang sama seperti anting-anting dengan tangkai yang
pendek atau yang panjang yang disebut padongko dan subha; giwang
dengan mata bundar yang disebut anti-anti. Perhiasan telinga berupa
rantai bergantung dan berbentuk binatang umpamanya ayam yang disebut
dali manu-manu bukan asli, tetapi dibawa masuk oleh orang Bugis (lihat
Couvreur 1935).
Untuk wanita golongan maradika berlaku peraturan yang sama.
Mereka diperbolehkan memakai perhiasan yang sama seperti wanita
golongan kaumu dan wanita golongan walaka, kecuali korondo dan dhao-
dhaonga. Akan tetapi perhiasan ini tidak boleh dari emas, perak atau
suaso (campuran emas dan tembaga). Hanya wanita anangkolaki fitu
bhengkauno yang merupakan pengecualian. Mereka boleh memakai
perhiasan dari perak yang mutunya rendah atau perak yang dilapisi emas.
Perak ini disebut salaka sadoro (perak sepuhan) atau disebut juga salaka
kasopu, jadi wanita maradika lainnya hanya boleh memakai perhiasan
dari tembaga saja.
Pemakaian perhiasan wanita berupa sanggul dapat dibedakan antara
golongan masyarakat maupun yang telah menikah dan yang belum
menikah. Perhiasan ini pada umumnya hanya dipakai pada pesta-pesta.
Wanita golongan kaumu dan wanita golongan walaka memakai karangan
bunga dari kembang cempaka pada sanggulnya yang disebut kamba dan
179
hanya dipakai oleh wanita yang telah menikah. Untuk wanita golongan
kaumu dan golongan walaka yang belum menikah memakai sebuah ikatan
melilit sanggul. Sebagai umbai ikatan itu ada gantungan rantai–rantai kecil
dari manik-manik, dikelilingi cincin-cincin dari manik-manik dari warna
lain yang mencolok yang disebut lawu-lawulu.
Wanita maradika yang telah menikah tidak boleh memakai kamba.
Wanita maradika yang belum menikah sering memakai semacam ikatan
kepala seperti cara memakai lawu-lawulu tetapi terbuat dari kulit pohon
yang ujungnya dipotong runcing halus. Karangan ini disebut pari-pari.
Wanita maradika tidak boleh memakai lawu-lawulu.
Selain pemakaian pakaian dan perhiasan untuk menunjukkan
perbedaan golongan masyarakat dan status telah menikah atau belum
menikah dapat juga dilihat pada cara menunggang kuda. Kudanya tidak
memakai pelana akan tetapi menggunakan kasur. Seorang dari golongan
kaumu menggunakan tiga kasur, dari golongan walaka menggunakan dua
kasur dan golongan maradika menggunakan satu kasur. Masyarakat dari
golongan kaumu dan walaka boleh menggunakan lonceng yang berbunyi
pada leher keduanya, sedangkan masyarakat dari golongan maradika
dilarang memakai lonceng.

180
X. Pemuka Agama
Kolakino agama atau raja agama adalah orang yang tertinggi
kedudukannya di antara semua pemimpin agama di Muna termasuk
pemimpin agama di ketiga bharata dan di ibu Kota Raha. Raja agama
memelihara agama Islam secara umum. Ia bertugas memutuskan dalam
jabatan tertinggi perselisihan antara pemuka agama yang rendah dalam
bidang agama. Beliau berhak memecat imam Kota Muna dan para pemuka
agama yang lebih rendah, tetapi hanya melalui musyawarah dengan
keempat ghoerano. Ia juga berwenang mengadakan pernikahan, tetapi
hanya bila orang mendatangi di rumahnya atau khusus memintanya. Tidak
dibenarkan berkeliling kampung mencari informasi kepada syarat
kampung apakah masih ada yang mau dinikahkan seperti yang biasanya
dilakukan para pegawai bawahan.
Raja agama harus hadir pada upacara kematian dan pesta-pesta
penting seperti kaalano wulu, katoba, dan pesta karia di rumah anggota
syarat Muna. Bila ia hadir dalam upacara kematian, dialah yang memotong
kain kafan dan mengucapkan tahlil (ratibu). Pada kematian orang biasa,
raja agama biasanya tidak diundang karena ongkosnya terlalu mahal.
Biasanya kematian ini hanya diberitahukan kepada pemuka-pemuka
agama sampai pada tingkat modhi bhalano, jarang terjadi pemberitahuan
kepada khatib atau kepada yang lebih tinggi. Bila raja agama diundang
pada upacara kematian di rumah salah seorang anggota syarat Muna atau
pada rumah orang biasa dan tidak datang tanpa alasan yang sah maka akan
dipecat oleh Syarat Muna dari jabatannya sebagai raja agama. Bilamana
negeri Muna diancam musuh, penyakit atau kelaparan, raja agama dan

181
imam Kota Muna diundang oleh Syarat Muna untuk membicarakan doa-
doa penolak bahaya atau bencana.
Pakaian kebesaran raja agama berwarna putih. Pada pesta-pesta atau
pertemuan-pertemuan dengan pemimpin utama, raja agama memakai
jubah panjang yang berwarna hitam, kuning atau putih menurut pilihannya
(biasanya hitam). Di bawah jubah ini ia boleh memakai baju putih atau
pakaian putih panjang, tetapi hal ini tidak wajib. Panjang jubahnya sampai
mata kaki. Sarungnya seperti sarung kaumu La Ode. Kepalanya ditutup
dengan songkok putih yang ditutup kain kepala, sedemikian rupa sehingga
songkok menjulur ke atas. Kemudian beliau memakai sulepe dari logam
yang berharga. Kapan saja ia bertindak mewakili raja Muna, maka ia boleh
memakai keris, dan selanjutnya di mana pun, asal tanpa kehadiran raja
Muna.
Raja agama berasal dari masyarakat golongan La Ode (kaumu).
Apabila ada lowongan atau pergantian jabatan raja agama, diajukan dua
calon, satu di antaranya adalah imam Kota Muna. Calon lainnya ditunjuk
oleh syarat Muna antara para La Ode (kaumu) di keempat ghoera. Setiap
orang La Ode dapat dicalonkan, asalkan memenuhi syarat yaitu memiliki
pengetahuan yang lengkap mengenai ilmu agama Islam. Di antara kedua
calon yang dicalonkan, raja Muna menetapkan salah satu calon menjadi
raja agama. Jabatan raja agama pertama kali dibentuk di bawah
pemerintahan Raja Muna La Ode Kaili. Kepala agama yang sebenarnya
adalah raja Muna dan raja agama bertindak sebagai wakil raja Muna di
bidang agama.
Imam Kota Muna berkedudukan langsung di bawah raja agama, tetapi
di atas semua pemuka agama lainnya di seluruh wilayah Muna, termasuk
182
pemuka agama di ketiga bharata dan di Kota Raha. Dia menjalankan
pengawasan umum pada mereka. Dia berhak memecat pemuka agama
yang lebih rendah dalam musyawarah dengan ghoerano yang
bersangkutan. Setelah seorang pegawai dipecat, hal ini diberitahukan
kepada raja agama dengan beberapa alasan yang menyebabkan
pemecatannya. Imam Kota Muna berwenang mengadakan pernikahan,
tetapi hanya dengan dihadiri oleh modhi bhalano yang bersangkutan. Dia
memutuskan perselisihan tentang agama antara para khatib, dan antara
pemuka agama yang lebih rendah, kalau tidak dapat diselesaikan oleh
khatib. Dia harus hadir pada upacara kematian di rumah para anggota
Syarat Muna. Bila setelah diperingatkan, ia tidak datang atau ia tidak
datang pada kematian orang biasa meskipun telah dipanggil, dan tidak ada
alasan yang sah untuk ketidakhadirannya, maka ia akan dipecat.
Imam Kota Muna mengawasi pemuka agama yang lebih rendah agar
mereka selalu hadir pada shalat Jumat di masjid Kota Muna. Bila seorang
pejabat tidak hadir maka imam Kota Muna harus diselidiki alasannya. Dia
mengawasi masjid Kota Muna; bilamana perlu adanya perbaikan ia harus
memberitahu Syarat Muna. Dia ditugaskan untuk mengawasi pembacaan
khotbah, bila terjadi kesalahan membaca, ia berwenang menghentikannya.
Dia juga dibebani tugas membacakan fatihah dan ayat-ayat Al-Quran pada
ibadah sholat di masjid. Dia jugalah yang menentukan hari permulaan
tarawih diawal puasa bulan Ramadan. Selain itu, ia juga menentukan hari
kunu.
Imam Kota Muna memakai pakaian kebesaran berwarna putih. Dalam
pesta-pesta penting atau pada pertemuan dengan para pemimpin utama,
imam Kota Muna memakai pakaian yang sama seperti raja agama, akan
183
tetapi jubahnya lebih pendek yaitu hanya mencapai betis. Sarung, sulepe
dan penutup kepalanya sama seperti raja agama. Dia juga boleh memakai
keris asal tanpa kehadiran raja Muna.
Apabila ada lowongan atau pergantian jabatan imam Kota Muna,
diajukan empat orang calon. Ghoerano Tongkuno dan ghoerano Kabawo
bersama-sama mengajukan dua calon yaitu khatib dari kedua ghoera dan
seorang La Ode (kaumu) dari kedua ghoera. Ghoerano Lawa dan ghoerano
Katobu juga mengajukan dua calon yaitu khatib dari kedua ghoera dan
seorang La Ode (kaumu) dari kedua ghoera tersebut. Imam Kota Muna
berasal dari golongan La Ode (kaumu). Persyaratan pencalonan kedua La
Ode ialah mereka harus memiliki pengetahuan yang lengkap tentang
agama Islam. Keempat calon yang diajukan ini diserahkan kepada bhonto
bhalano yang akan memilih dua diantaranya, salah satunya adalah khatib.
Khatib Tongkuno-Kabawo biasanya selalu didahulukan kecuali mereka
memiliki kelakuan yang tercela. Kedua calon yang dipilih oleh bhonto
bhalano selanjutnya diserahkan kepada raja Muna. Raja Muna menetapkan
salah satu orang menjadi imam. Prosedur ini menurut Couvreur (1935)
terjadi perubahan yaitu imam Kota Muna ditunjuk oleh raja Muna
berdasarkan pencalonan raja agama dan keempat ghoerano.

Menurut Couvreur (1935), sebelum tahun 1927 hanya terdapat dua


khatib yaitu satu orang khatib untuk ghoerano Tongkuno dan Kabawo dan
satu orang khatib untuk ghoerano Lawa dan ghoerano Katobu. Raja Muna
bernama La Ode Rere mengadakan perubahan tanpa musyawarah dengan
para ghoerano yaitu mengangkat khatib untuk setiap distrik (distrik
Tongkuno, Lawa, Kabawo dan Katobu) menjadi empat orang khatib.

184
Wilayah tugas keempat khatib tersebut tidak termasuk wilayah ketiga
bharata (Lohia, Lahontohe dan Wasolangka).
Kenyataan adanya empat orang khatib sebagaimana ditetapkan raja
Muna La Ode Rere sebenarnya bertentangan dengan keinginan para kepala
adat yang tua-tua. La Ode Rere sebenarnya mengetahui hal itu
sebelumnya, karena itu beliau tidak mengadakan musyawarah dengan para
ghoerano. Menurut keterangan La Ode Rere sebagaimana disampaikan
kepada Couvreur (1935), bahwa pengangkatan keempat khatib tersebut
adalah untuk menghindari kekosongan khatib yang akan membaca
khotbah, karena misalnya khatib sakit atau berhalangan karena tugas
lainnya. Para kepala adat yang tua-tua dan pemuka agama yang tinggi
perpendapat ini bukan alasan yang baik, karena dahulu memang telah
berjalan baik. Mereka sebenarnya ingin sekali keadaan yang dahulu
dikembalikan. Keberatan utama terhadap adanya lebih dari dua khatib
ialah bahwa ada rasa takut akan muncul suatu kesulitan pada pemilihan
imam Kota Muna yang baru. Menurut peraturan adat harus ada empat
calon, dua di antaranya bukan dari pemuka agama. Namun, menurut adat
juga para khatib harus diajukan sebagai calon. Pada pemilihan seperti ini
sebagaimana telah dijelaskan di atas, khatib Tongkuno-Kabawo
didahulukan. Akan tetapi bila ada kelakuannya yang tercela, maka khatib
Lawa adalah salah seorang dari dua calon yang akan diangkat menjadi
imam oleh raja Muna. Jadi khatib lainnya (Kabawo dan Katobu) pada
hakikatnya tidak akan pernah diangkat menjadi imam kota Muna, malah
tidak bisa dicalonkan. Hal ini bisa saja menimbulkan kesulitan, bila salah
seorang dari mereka ingin naik pangkat.

185
Wewenang para khatib diawasi langsung oleh imam kota Muna.
Mereka dibebani tugas pengawasan pemuka agama yang rendah dalam
wilayah mereka. Mereka berwenang mengadakan pernikahan, tetapi hanya
dengan hadirnya modhi bhalano yang bersangkutan. Mereka mengawasi
pemuka agama yang lebih rendah agar mereka selalu ke masjid. Bila salah
seorang tidak melakukannya atau bila kelakuannya tercela, maka khatib
boleh melaporkannya kepada imam Kota Muna. Para khatib tidak
berwenang memecat pemuka agama bawahan. Mereka juga dibebankan
membaca khotbah di masjid. Mereka juga wajib menghadiri upacara
kematian bila diundang. Bila tidak menghadirinya tanpa alasan yang sah,
mereka dapat dipecat atas kebijaksanaan imam. Selanjutnya mereka juga
mengawasi pembacaan fatihah dan ayat-ayat al-Quran oleh imam. Bila
mereka menilai imam salah membaca, maka mereka dapat mengajukan
pengaduan kepada Syarat Muna atau kepada raja Muna asal ada saksi-
saksi. Pakaian seorang khatib sama seperti pakaian imam hanya saja
jubahnya lebih pendek.
Khatib berasal dari golongan La Ode (kaumu). Bila terjadi pergantian
jabatan khatib, maka diajukan empat orang calon, yaitu setiap ghoera
mengajukan seorang calon. Apabila khatib Tongkuno-Kabawo harus
diganti maka ghoerano Tongkuno mengajukan seorang calon dan ghoerano
Kabhawo juga mengajukan seorang calon. Kedua calon lainnya, seorang
diajukan oleh modhi bhalano Tongkuno dan seorang lagi diajukan oleh
modhi bhalano Kabawo. Kedua calon ini tidak berasal dari pemuka agama
tetapi antara semua La Ode (kaumu) di kedua ghoera. Pada zaman dahulu
(sebelum masa pemerintahan Raja Muna La Ode Rere) keempat calon
khatib dipilih dua orang oleh bhonto bhalano, kemudian raja Muna
186
menunjuk salah seorang sebagai khatib yang baru. Pada masa
pemerintahan La Ode Rere, raja Muna menunjuk khatib yang baru
berdasarkan pencalonan imam dan kedua ghoerano yang bersangkutan.
Modhi bhalano berjumlah delapan orang, setiap ghoera terdiri dari dua
orang. Sebelum terbentuk distrik, mereka modhi bhalano bermukim di
Kota Muna, dan setelah terbentuk ghoerano mereka bermukim di kampung
masing-masing. Modhi bhalano bertugas menikahkan, tak seorang pun
boleh menikahkan jika tanpa dihadiri modhi bhalano dari wilayah
pernikahan itu. Mereka juga mengurusi dalam wilayahnya; pesta-pesta
kaalano wulu, pesta katoba dan pesta karia. Pada pesta kaalano wulu,
mereka yang mencukur rambut, pada pesta katoba mereka yang
mengajarkan anak-anak di bidang agama dan pada pesta karia mereka
yang melakukan upacara-upacara yang bersangkutan dengan agama Islam.
Hal seperti ini hanya dilakukan pada golongan La Ode, walaka dan
anangkolaki. Hal yang sama berlaku pada upacara kematian; merekalah
yang menangani upacara pemakaman bila tidak ada pemuka agama yang
lebih tinggi. Hanya bilamana seorang bhonto atau kamokula meninggal
maka mereka yang mengurus pemakaman pada golongan maradika.
Pakaian modhi bhalano sama seperti pakaian untuk ghoerano, kecuali kain
kepalanya mereka tidak boleh memakainya. Mereka memakai songkok
berwarna kuning yang berpita hitam. Kemudian mereka juga memakai
sulepe dari perak atau tembaga. Modhi bahalano berasal dari golongan
walaka. Modhi bhalano yang baru, harus dipilih dari keturunan kesembilan
belas mino yang pertama, yang penting tinggal di ghoera di mana terdapat
lowongan itu. Modhi bhalano yang baru dipilih oleh mino bersama syarat
kampung dan orang tua kampung (mantan pejabat) di kampung di mana
187
terdapat lowongan. Hasil pemilihan disampaikan mino kepada ghoerano
yang memiliki hak veto. Persyaratan utama modhi bhalano adalah
menguasai ilmu agama dengan lengkap. Di Tongkuno terdapat modhi
bhalano Tongkuno dan modhi bhalano Kancitala; di Lawa terdapat modhi
bhalano anahi dan modhi bhalano kamokula; di Katobu terdapat modhi
bhalano Lindo dan modhi bhalano Ondoke; dan di Kabawo terdapat modhi
bhalano anahi dan modhi bhalano kamokula.
Modhino Liwu (modhi kampung) berada di bawah modhi bhalano.
Setiap kampung terdapat modhino liwu; bertugas mengurus pemakaman,
pesta-pesta kaalano wulu, pesta katoba dan pesta karia pada golongan
maradikano ghoera dan maradika poino kontu lakono sau. Mereka
ditugaskan membaca doa-doa pada pernikahan pada golongan tersebut.
Mereka wajib menemani modhi bhalano pada pesta-pesta dan acara
kematian di rumah orang dari golongan yang lebih tinggi. Pakaian
modhino liwu memakai jubah putih panjang sampai melewati betis dari
kain kasar yaitu bhida (kain tenunan sendiri) dan kain bhalatu (kain kasar
tenunan dengan mesin). Adapun sarungnya seperti sarung La Ode, tidak
ada kain kepala, tetapi songkoknya seperti songkok yang dipakai modhi
bhalano, serta tidak memakai sulepe. Modhino liwu dipilih oleh syarat
kampung dan orang tua kampung di tempat yang ada lowongan tersebut.
Persyaratan modhino liwu adalah pandai sembahyang dan pandai mengaji.
Tugas santiri adalah memukul gendang dan mengawasi mokimu.
Santiri hanya satu orang dan ditunjuk oleh kedelapan modhi bhalano dari
antara maradika poino kontu lakono sau, biasanya diambil dari bekas
budak atau dari keturunannya untuk jabatan ini. Pemilihan harus mendapat
persetujuan imam. Santiri memakai jubah putih setengah paha, sarung
188
seperti sarung La Ode, tetapi dari kain tenunan kasar. Badan bagian atas
terbuka. Memakai songkok kuning yang dibuat secara kasar, dengan
bagian atasnya lebih lebar daripada bagian bawahnya.
Mokimu adalah pembantu pemuka agama yang tinggi. Mereka
mengurus kebersihan masjid, peletakan tikar sembahyang, mengurus air di
masjid, mengurus air dan kayu di rumah-rumah modhi, dan memasak nasi
yang diperlukan pada acara kunu dan lailatul kadar, selanjutnya mereka
juga menemani para pemuka agama yang tinggi bila ia pergi ke pesta, atau
pertemuan lainnya serta membawa tikar sembahyang dan keperluan sirih.
Pada zaman dahulu mereka disebut kafowaweno modhi sedangkan
modhino liwu mendapat gelar mokimu. Apabila terdapat lowongan
mokimu, syarat kampung bersama dengan yang bersangkutan menunjuk
mokimu baru. Mokimu berasal dari golongan maradika poino kontu
lakono sau. Pakaian mereka sama seperti santiri.
Pejabat agama di bharata Lahontohe secara berurutan adalah; seorang
raja agama, seorang imam, seorang khatib, empat orang modhi bhalano,
empat orang mokimu, dan dua orang isano mokimu. Semua pejabat
keagamaan ini berada di bawah pengawasan raja agama di kota Muna dan
juga imam kota Muna. Adapun wilayah mereka adalah daerah bharata
Lahontohe. Dalam wilayah ini terdapat kampung Lahontohe sendiri
ditambah dengan kampung Lemoambo (Lianosaa), Matanaowe,
Fongkaniwa, dan Lamorende. Setiap kampung tersebut terdapat seorang
modhino Liwu. Pada tahun 1927, Raja Muna La Ode Rere juga mengubah
jumlah pejabat agama di bharata Lahontohe. Pada tahun tersebut, kampung
Fongkaniwa memperoleh seorang imam dan seorang khatib. Meskipun
terjadi perubahan pejabat agama akan tetapi mereka tidak berwenang
189
menikahkan orang. Imam dan khatib Fongkaniwa serta Lemoambo
(Lianosaa) tetap berada di bawah pengawasan raja agama, imam dan
khatib di Lahontohe.
Raja agama, imam dan khatib di bharata Lahontohe memiliki
kewenangan yang sama dengan teman setingkat mereka di Kota Muna.
Apabila di kota Muna melaksanakan musyawarah antara syarat Muna dan
pejabat-pejabat agama di Kota Muna, maka di bharata Lahontohe juga
mengadakan musyawarah antara syarat kampung dengan pejabat-pejabat
agama di wilayah bharata Lahontohe. Meskipun demikian, perselisihan
agama yang tidak dapat diselesaikan oleh raja agama di Lahontohe akan
dibawa kepada imam dan raja agama di Kota Muna. Lakina agama atau
raja agama di Lahontohe memakai jubah yang panjangnya sampai di mata
kaki dengan warna menurut pilihannya. Jubah ini juga dipakai ke masjid,
pada pertemuan penting dan pada hari pesta. Sarungnya sama seperti
sarungnya para La Ode, sebuah keris dan sulepe yang terbuat dari perak
seperti para ghoerano. Kepalanya ditutup dengan topi putih yang dililitkan
kain kepala. Pakaian imam di Lahontohe memakai jubah panjang berwarna
putih, tetapi sedikit lebih pendek dari jubah raja agama di bharata
Lahontohe. Di luar dinas, ia memakai jubah yang sama modelnya, tetapi
warnanya menurut pilihannya. Ia juga memakai sulepe perak atau
tembaga. Ia tidak memakai keris seperti imam melainkan memakai sebuah
badik. Pakaiannya sama seperti pakaian raja agama.
Raja agama di bharata Lahontohe termasuk golongan anangkolaki.
Apabila terdapat jabatan raja agama yang lowong maka ditunjuk tiga calon
yaitu imam, khatib dan seorang mantan pejabat agama (entah seorang
imam, khatib atau modhi bhalano). Yang menunjuk calon ini adalah
190
keempat modhi bhalano, sangkolaki dan parabela. Bila ketiga calon telah
ditentukan, maka hal ini disampaikan kepada bhontono liwu untuk
diteruskan kepada mintarano bhitara. Kedua pejabat ini kemudian
menyampaikan ketiga calon ini kepada kino bharata Lahontohe. Kino
bharata Lahontohelah yang menunjuk seorang dari tiga calon tersebut
sebagai raja agama yang baru. Kemudian imam juga berasal dari golongan
anangkolaki. Apabila jabatan imam lowong maka dicalonkan tiga orang
yaitu khatib, seorang modhi balano dan seorang mantan modhi bhalano.
Khatib dan mantan modhi bhalano dicalonkan oleh keempat modhi
bhalano. Adapun calon lain, yaitu salah seorang dari keempat modhi
bhalano dicalonkan oleh sangkolaki, parabhela dan dua orang tua
kampung. Penunjukan seorang imam yang baru dilakukan oleh kino,
dengan cara yang sama seperti penunjukan raja agama yang baru.
Demikian pula khatib berasal dari golongan anangkolaki. Bila jabatan
khatib lowong maka dicalonkan tiga orang yaitu seorang modhi bhalano,
seorang mantan modhi bhalano dan seorang yang bukan mantan pejabat
agama. Ketiga calon tersebut ditunjuk oleh syarat bharata Lahontohe.
Penunjukkan khatib yang baru dilakukan kino dengan cara yang sama
dengan penunjukkan raja agama dan imam yang baru.
Di bharata Lahontohe terdapat empat orang modhi bahalano yaitu
modhi Wobanoowe, modhi Lianosaa, modhi Kamunte-munte dan modhino
Roda. Mereka ini bertugas menikahkan orang golongan maradika di
bharata. Pakaian modhi bhalano pada saat bertugas berwarna putih, bila
dia berada di kampung memakai jubah dengan warna menurut pilihannya.
Baik pakaian dinas putih maupun maupun pakaian jubah kampung tersebut
panjangnya sampai di betis. Sarungnya seperti sarung golongan La Ode.
191
Dia tidak memakai kain kepala, melainkan sebuah songkok seperti modhi
bhalano di Kota Muna. Dia juga memakai sulepe tersebut dari perak atau
tembaga. Selain itu ia tidak memakai keris melainkan badik. Modhi
bhalano ini termasuk golongan anangkolaki, yang bila terdapat lowongan
jabatan maka dicalonkan tiga orang yaitu seorang mantan modhi dan dua
orang dari anangkolaki biasa. Pencalonannya dilakukan sangkolaki,
parabhela dan para orang tua. Kemudian kino menunjuk salah satu dari
ketiga calon sebagai modhi bhalano yang baru.
Fungsi para mokimu di bharata Lahontohe adalah sama dengan rekan-
rekan setingkat mereka di Kota Muna. Mereka adalah kafowawe keempat
modhi bhalano. Setiap modhi memiliki mokimu. Mereka ini termasuk
golongan maradika poino kontu lakono sau. Fungsi ini merupakan jabatan
keluarga, maka penggantinya ditunjuk di antara lee (keturunan) mokimu
lama. Penunjukkan calon dilakukan oleh parabhela yang disetujui
bhontono liwu. Pakaian para mokimu adalah sama dengan pakaian para
mokimu di kota Muna. Isano mokimu di Kota Muna disebut santiri. Tugas
mereka sama dengan tugas para santiri. Penunjukannya dilakukan oleh
parabhela dan disetujui oleh bhontono liwu. Pakaian para isano mokimu
adalah sama dengan pakaian para santiri.
Pemuka agama di bharata Wasolangka secara berturut-turut sebagai
berikut; seorang raja agama, seorang imam, seorang khatib, seorang modhi
bhalano di Wasolangka, tujuh orang mokimu (modhino liwu), dan seorang
santri. Wilayah mereka selain kampung Wasolangka sendiri juga terdapat
kampung-kampung bawahan lain yaitu Labasa, Waale-ale, Bone
Kancitala, Bone Tondo, Bone Oelongko dan Wakumoro. Setiap kampung
terdapat seorang mokimu. Pada zaman dahulu (sebelum tahun 1927)
192
terdapat empat modhi bhalano yaitu modhino Wunta, modhino Lasalama,
modhino Wakarorondo dan modhino Bente. Semua pejabat agama di
bharata Wasolangka berada di bawah pengawasan raja agama dan imam
kota Muna. Mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan
rekan-rekan setingkat mereka di kota Muna, kecuali modhi bhalano yang
tidak mempunyai wewenang menikahkan orang di bharata Wasolangka.
Yang menikahkan adalah raja agama dan imam untuk semua golongan.
Sebelum tahun 1927 masa pemerintahan Raja Muna La Ode Rere, mereka
hanya dapat melayani golongan maradika sedangkan para La Ode dan
walaka hanya dapat dinikahkan oleh modhino Tongkuno yang juga
dihadiri raja agama dan imam di bharata Wasolangka.
Pakaian raja agama di bharata Wasolangka persis sama dengan
pakaian raja agama di kota Muna. Bila jabatan raja agama di Wasolangka
lowong, dicalonkan empat orang yaitu imam, modhi bhalano, seorang
pejabat non agama dan seorang mantan pejabat agama. Keempat calon
harus berasal dari golongan La Ode, walaka dan anangkolaki. Kedua calon
non agama dapat dipilih dari ketiga golongan tadi di seluruh daerah Muna,
apabila di daerah bharata Wasolangka tidak terdapat calon yang memenuhi
syarat, yaitu menguasai ilmu agama Islam secara lengkap. Dua calon
tersebut ditunjuk oleh ketujuh mokimu, keenam kepala kampung dan
syarat kampung. Kemudian bhontono liwu Wasolangka menunjuk dua
orang dari keempat calon tersebut, yang dapat diandalkan menurut
penilaian dan pendapatnya. Pilihannya itu diajukan kepada kino
Wasolangka, dialah yang menunjuk seorang untuk mengisi tempat yang
lowong. Penunjukkan ini terjadi dalam musyawarah dengan keenam
kepala kampung.
193
Pakaian imam di bharata Wasolangka sama dengan pakaian imam di
kota Muna. Imam termasuk dari golongan La Ode, Walaka dan
Anangkolaki. Yang dicalonkan sebagai imam ada empat orang yaitu
khatib, modhi bhalano, seorang mantan khatib, mantan modhi dan mantan
pejabat lain dan seorang orang lain dari kalangan orang biasa. Apabila di
tujuh kampung ini tidak ditentukan tiga orang calon yang sanggup, maka
akan dicari di antara tiga golongan masyarakat diseluruh Muna.
Penunjukan calon khatib dilakukan oleh para kino enam kampung bersama
dengan syarat-syarat kampung. Setelah itu, pengangkatan seorang khatib
sama caranya dengan yang dilakukan dalam pengangkatan calon khatib
yang sudah dijelaskan di atas.
Pakaian kebesaran modhi bhalano di bharata Wasolangka adalah sama
dengan pakaian seorang khatib, akan tetapi jubahnya lebih pendek sedikit,
panjangnya hanya sebatas betis. Ia tidak memakai kain ikat kepala tetapi
sebuah songkok, sama dengan modhi bhalano di kota Muna. Modhi
bhalano dari golongan walaka atau anangkolaki. Apabila ada jabatan
kosong, atau enam orang yang dicalonkan yaitu para modhi (mokimu) dari
kampung Labasa, Waaleale, Bone Kancitala, Bone Tondo, Bone Oelongko
dan Wakumoro. Dari enam calon tersebut modhi bhalano yang baru akan
ditunjuk oleh kino dalam suatu musyawarah dengan raja agama, imam dan
khatib di bharata Wasolangka. Persyaratan utama yang diangkat dalam
jabatan tersebut adalah menguasai ilmu agama dengan lengkap.
Tujuh orang mokimu (modhino liwu) termasuk golongan walaka atau
anagkolaki. Penunjukkan dilakukan oleh syarat kampung bersama orang-
orang tua kampung dimana terdapat lowongan jabatan mokimu tersebut.
Penunjukan ini sama caranya dengan penunjukan modhino liwu di kota
194
Muna. Pakaian seorang mokimu di bharata Wasolangka sama dengan
pakaian modhino liwu di Kota Muna.
Santiri di bharata Wasolangka termasuk golongan maradika poino
kontu lakono sau. Jenis pakaiannya sama dengan jenis pakaian santiri di
kota Muna. Apabila jabatan santiri lowong, seorang santiri baru dipilih
oleh modhi bhalano dan bhonto liwu dari antara orang dari golongan
maradika poino kantu lakono sau di kampung Wasolangka.
Pejabat agama di bharata Lohia secara berturut-turut sebagai berikut;
seorang raja agama, seorang imam, dua orang khatib, empat orang modhi
bhalano, seorang modhi masibi, sembilan orang modhino liwu, seorang
santiri dan sembilan orang mokimu. Semua jabatan ini berada di bawah
pengawasan raja agama dan imam Kota Muna di kota Muna. Hak dan
kewajiban mereka adalah sama dengan hak dan kewajiban pejabat-pejabat
di Kota Muna yang setingkat dengan mereka.
Pakaian raja agama di bharata Lohia adalah sama dengan pakaian raja
agama di kota Muna. Raja agama ini termasuk golongan La Ode. Apabila
ada lowongan jabatan raja agama di bharata Lohia maka dicalonkan empat
orang yaitu imam, seorang khatib dan dua orang La Ode yang tidak
menjabat. Bila memungkinkan salah satu dari La Ode ini adalah mantan
pejabat kampung. Para calon raja agama dipilih oleh keempat modhi
bhalano, keempat parabhela, dan para modhi dari sembilan kampung yang
berada di bawah kekuasaan bharata Lohia. Para parabhela menyampaikan
pencalonan ini kepada bhontono liwu, dan kemudian dipilihnya dua orang
dari empat calon tadi yang menurut dia cocok diangkat. Dua calon ini
dibawa kepada kino bharata Lohia; dialah yang memilih dan mengangkat
untuk jabatan raja agama yang lowong.
195
Pakaian imam di bharata Lohia sama dengan pakaian imam di kota
Muna, tetapi jubahnya hanya berwarna putih. Jadi, jubah hitam atau
kuning tidak diperbolehkan. Imam termasuk golongan La Ode. Bila
jabatan imam lowong, calon yang ditunjuk adalah empat orang yaitu
seorang khatib, dua orang mantan pejabat atau non-agama dan seorang
dari La Ode biasa. Penunjukan para calon dilakukan oleh keempat modhi
bhalano, kesembilan modhi kampung dan keempat parabhela. Pemilihan
dan pengangkatan imam yang baru dilakukan dengan cara yang sama yang
berlaku untuk pengangkatan raja agama di bharata Lohia.
Pakaian khatib sama dengan pakaian imam, tetapi jubahnya lebih
pendek sedikit. Khatib berasal dari golongan La Ode. Bila jabatan khatib
lowong, empat orang dicalonkan yaitu dua orang mantan pejabat kampung
dan dua orang dari La Ode biasa. Penunjukan calon dilakukan oleh
keempat modhi bhalano, kesembilan modhino liwu dan keempat
parabhela. Pemilihan dan pengangkatan khatib yang baru, dilakukan
dengan cara yang sama seperti yang berlaku untuk pengangkatan raja
agama dan imam di bharata Lohia.
Di bharata Lohia terdapat empat orang modhi bhalano yaitu; modhino
Lele, modhino Wunta, modhino Wakatomende dan modhino Kantolihi.
Mereka ini masing-masing mempunyai wilayah seperti para parabhela.
Pada waktu mendirikan kampung Tampo dan Lambiku yang dimasukkan
ke dalam bharata Lohia maka diangkatlah dua orang modhino Liwu yang
sama. Namun kedua modhino liwu tersebut tidak berfungsi di bawah
modhi bahalano tetapi langsung di bawah imam Lohia. Pakaian modhi
bhalano memakai jubah yang berwarna putih panjangnya sampai ke
pertengahan paha; ini dipakai di atas tubuh bagian atas yang telanjang.
196
Sarungnya seperti sarung para La Ode, sama dengan songkok, sulepe dari
tembaga dan bhida (kain pinggang). Modhi bhalano termasuk golongan
anagkolaki. Apabila jabatan modhi bhalano lowong, dua orang dicalonkan
untuk mengisi jabatan ini. Calon dari anagkolaki biasa dan bisa juga dari
mantan modhino liwu. Mereka ditunjuk oleh para parabhela untuk
kemudian diusulkan kepada bhontono liwu. Bhontono liwu yang memilih
salah satu dari dua calon dan kemudian mengangkatnya sebagai modhi
bhalano yang baru, kino Lohia hanya disampaikan informasinya.
Pejabat modhi masibi hanya ada di bharata Lohia yang tugasnya sama
dengan modhino liwu di kampung-kampung lainnya. Ia memakai baju
jubah putih yang panjangnya sampai ke betis, terbuat dari kain bhida.
Sarungnya dibuat dari kain yang sama tanpa kepala, dan tidak memakai
sulepe. Modhi masibi termasuk dari golongan maradika poino kontu
lakono sau. Bila jabatan ini lowong, dua calon ditunjuk dari semua orang
maradika poino kontu lakono sau di kampung Lohia. Penunjukan
dilakukan para orang tua kampung Lohia, kemudian parabhela memilih
dan mengangkat salah seorang dari kedua calon tersebut untuk menjadi
modhi masibi yang baru. Selain itu terdapat juga jabatan modhino liwu di
sembilan kampung, santiri dan mokimu. Pakaian mereka ini sama seperti
pakaian pejabat setingkat mereka di Kota Muna.

197
XI. Sistem Kekerabatan
Berkaitan dengan kekerabatan orang Muna ini, Couvreur (1935) (lihat
juga La Ode Abdul Rauf, 1996) menggunakan istilah “keluarga” dengan
uraian seperti berikut:
1. ayah
=> La Ode dan walaka => idha
maradika => ama
2. ibu
=> Wa Ode dan walaka => paapa
maradika => ina
3. paman
=> La Ode dan walaka => fokoidhau
maradika => fokoamau
4. bibi
=> Wa Ode dan walaka => fokopaapa
maradika => fokoinau
5. kakek
=> La Ode dan walaka => awa
maradika => awa
6. nenek
=> Wa Ode dan walaka => awa
maradika => awa
7. saudara kandung kakek (laki-laki)
=> La Ode dan walaka => fokoawau
maradika => fokoawau

198
8. saudara kandung kakek (perempuan)
=> Wa Ode dan walaka => fokoawau
maradika => fokoawau
9. anak kandung
=> berlaku untuk semua golongan dan jenis kelamin
(La Ode/Wa Ode dan walaka dan maradika) disebut ana
10. anak tiri
=> berlaku untuk semua golongan dan jenis kelamin
(La Ode/Wa Ode dan walaka dan maradika) disebut ana wee
11. cucu (lapis I) disebut awa
12. cucu (lapis II) disebut awa ntulu
13. cucu (lapis III) disebut awa wangku
14. saudara kandung disebut kakutano ghule
15. saudara tiri disebut kakuta wee
16. sepupu satu kali disebut topisa
17. sepupu dua kali disebut tope ndua
18. sepupu tiga kali disebut tope ntolu
19. sepupu empat kali disebut tope paa
20. sepupu lima kali disebut tope kundo
21. saudara kandung laki-laki disebut kakutano ghule moghane atau
foni moghane
22. saudara kandung perempuan disebut kakutano ghule reobhine
atau foni robhine
23. saudara tiri laki-laki disebut kakuta wee moghane
24. saudara tiri perempuan disebut kakuta wee robhine

199
25. saudara lain ayah: disebut bhasitie/kapogaaha ama atau bhasitie
kapogaaha idha
26. saudara lain ibu disebut bhasitie kapugaaha ina atau bhasitie
kapogaaha idha papa
27. ayah mertua disebut disebut ama kafoghampoha atau idha
kafoghampoha
28. ibu mertua disebut ina kafoghampoha atau paapa
kafoghampoha
29. saudara ipar laik-laki dan ipar perempuan disebut tamba
30. besan disebut kamodu
Orang Muna bersaudara = dopofoghonu mina naseise, nopogaati
mina nakogholota “Berkumpul tidak bersatu, berpisah tidak berantara.”
Perbedaan mereka terletak pada fungsi dan kedudukan baik dalam adat
maupun dalam pemerintahan.
La Ode  kaomu  20 bhoka
Walaka  siwulu  7 bhoka 2 suku
Maradika  lee  3 bhoka 2 suku
La Ode  raja
 kapitalao
 kino/ki
Walaka  bhonto bhalano
 kepala Ghoera
 mintarano bhitara
 meno
maradika  kamokula
 bhontono Liwu
200
Dalam hal keluarga, orang Muna menganut sistem keluarga luas
(extended family). Dalam satu rumah tangga terdapat ayah yang berperan
sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah; ibu sebagai pengelola
kesejaterahan dalam rumah tangga, pendidik dan pengasuh anak-anak;
anak-anak sebagai penjalin kasih dan berperan membantu ayah dan ibu.
Dalam rumah tangga itu, pada umumnya disertai oleh keluarga-keluarga
lain, seperti nenek, paman, bibi, mertua, sepupu, kemanakan, dan bahkan
keluarga jauh yang sudah terasa dekat karena sering bertemu. Sistem
keluarga luas ini ada hubungannya dengan pengakuan atas garis keturunan
ayah dan ibu yang juga dianut oleh orang Muna. Seseorang yang
dicalonkan menjadi pejabat adat di zaman lampau harus ditelusuri, baik
garis keturunan ayah maupun ibunya.
Dalam hal kekerabatan, orang Muna mengenal istilah bhasitie
(family), suano sigaahano (bukan orang lain), dan intaidi dua ini (keluarga
kita juga). Hubungan kekerabatan disebabkan oleh adanya hubungan
darah, misalnya senenek; hubungan perkawinan di masa lampau;
keinginan untuk mendekatkan hubungan dengan seseorang, walaupun
tidak diketahui asal-usulnya. Orang itu dalam hubungan kekerabatan
dianggap sebagai bhasitie atau suano sigaahano, untuk sekedar menjaga
perasaannya.
Hubungan kekerabatan bagi orang Muna karena sedarah atau karena
ada hubungan perkawinan, dapat dikatakan akrab sekali. Misalnya, dua
orang mempunyai hubungan keluarga sepupu tiga kali yang dalam bahasa
Muna disebut ntolu. Apabila yang satu lewat di depan rumah dan yang
lainnya sedang duduk di muka pintu, yang menegur adalah yang melihat
lebih dahulu. Kalau orang yang sedang duduk di muka pintu yang melihat,
201
ia lebih dahulu harus menegur disertai dengan ucapan okumala nehamai
ntolu, angka deki padaa (hai sepupu tiga kali, ke mana engkau akan pergi,
singgahlah dahulu ke rumah). Kalau yang lewat yang melihat dahulu, ia
lebih dahulu menegur disertai ucapan akrab omeafa itu ntolu (hai sepupu
tiga kali, apa yang sedang engkau kerjakan). Demikian pula hubungan
kekerabatan lain, misalnya ipar yang dalam bahasa Muna disebut tamba.
Sapaan yang akrab, antara lain omaighonehamai tamba (hai ipar dari
manakah engkau).
Hubungan kekerabatan yang paling akrab lagi adalah jika dua orang
sama-sama sepakat menciptakan satu nama dan hanya berlaku untuk
mereka berdua, yang dalam bahasa Muna disebut abhi (nama bersama).
Abhi diciptakan dari adanya suatu hal, kejadian, atau peristiwa yang sama-
sama menarik hati mereka. Misalnya, sama-sama senang makan mangga
mengkal, lalu mereka menciptakan abhi Wa Ode Kamangka (kamangka,
artinya mengkal atau belum terlalu masak). Dalam panggilan sehari-hari,
mereka tidak lagi menggunakan nama asli, tetapi menggunakan abhi
mereka. Misalnya, yang satu berkata tulumi kanau De Komangka bela (hei
De Komangka, sudikah engkau menolong saya?). yang lain mejawab ane
asumodaie koasi paatumulumiko De Komangka (andaikan ada
kemampuan saya, hei De Komangka mengapa tidak saya tolong).

202
XII. Sifat-Sifat Kepemimpinan
Menurut adat Muna (lihat La Ode Abdul Rauf, 1996: 189-197), sifat-
sifat kepemimpinan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah
peda kolipopo, peda wula, peda gholeo, peda kawea, peda kabhawo, peda
lia, peda oe, peda bhake (bagaikan bintang, bagaikan bulan, bagaikan
matahari, bagaikan angin, bagaikan gunung, bagaikan gua, bagaikan air,
bagaikan beringin).
Kehidupan orang Muna di zaman sistem kerajaan dahulu, amat akrab
dengan lingkungannya. Mereka yakin bahwa kehidupan di sekitar
lingkungan merupakan ciptaan dan anugerah Tuhan yang penuh kebenaran
dan mengandung nilai-nilai luhur. Oleh karena itu, orang Muna amat
menghargai lingkungan serta berusaha dengan bijaksana memanfaatkan
kebenaraan-kebenaran itu. Semua yang ada di lingkungan dipandang
sebagai ibarat yang sengaja diciptakan Tuhan untuk ditelaah dan
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Demikianlah sifat-sifat
kepemimpinan, harus ditelaah dari keadaan lingkungan sekitar.
Bintang merupakan lambang ketinggian, wawasan luas, oleh karena
itu, seorang pemimpin merupakan orang tertinggi dalam masyarakatnya.Ia
juga harus berwawasan luas agar dapat menampung dan menyelesaikan
berbagai problem yang dihadapi masyarakat, serta berpandangan jauh ke
depan. Artinya, apa yang diucapkan akan selalu terbukti kebenarannya di
masa datang.
Dalam percakapan sehari-hari antara elite dan warga masyarakat
dalam arti telah terjadinya pengambilan peranan (role taking), biasanya
terdengar ucapan-ucapan, “soba tofenaghu kanau anaku ini kolaki bhahi
kaawu nembali dua mie mada kaawu” (tolonglah nasihati anakku ini
203
kolaki, mudah-mudahan bisa juga jadi orang di masa mendatang).
Biasanya, elite pun memberikan nasihatnya dengan mengucapkan kata-
kata, “ mie metaa itu ghane, tabea do feka mara-marasai koana
domarasai, koe marasai marasaigho”(orang sejati, wahai anak; adalah
orang yang rela bersusah-susah supaya tidak susah; orang yang enggan
bersusah-susah bakal menjadi susah).
Dalam hal elite memberikan nasihat, ia berperanan sebagai penasihat
atau dapat juga dikatakan sebagai orang tua yang berkewajiban memberi
nasihat kepada anaknya.
Bulan merupakan lambang keindahan, kebaikan, dan kesucian, serta
mempunyai sifat menerangi kegelapan. Seorang pemimpin bagaikan
bulan. Artinya, ia penuh dengan keindahan dan kebaikan yang patut
diteladani; mampu menerangi kegelapan, yaitu mampu menciptakan
suasana sejahtera, aman, tenteram,dan damai; suci dan tidak pernah
ternoda oleh perilaku menyimpang. Kalaupun menyimpang, masih dalam
batas-batas yang wajar sesuai dengan penghargaan istimewa
(diosyncratical credit) yang dimilikinya.
Peranan elite sebagai pencipta suasana sejahtera, aman, tenteram dan
damai, antara lain dapat dilihat pada sebuah keretakan rumah tangga.
Dalam masyarakat, biasanya terjadi keretakan rumah tangga. Apabila
keretakan telah memuncak sehingga tidak bisa diselesaikan oleh keluarga
itu sendiri si istri lalu pergi ke rumah elite. Di sana ia menyampaikan
segala masalah yang dihadapinya, dan ia akan mendapatkan nasihat dari
elite. Ia menginap beberapa malam di rumah elite dan turut membantu
menyelesaikan berbagai pekerjan, seperti memasak nasi, merawat anak,
dan membersihkan rumah. Sehari dua hari kemudian, datang pula
204
suaminya. Kalau suami tidak datang, biasanya dipanggil untuk datang. Si
suami pun turut membantu menyelesaikan berbagai pekerjaan, seperti
mengambil air dan mencari kayu bakar. Keduanya dinasihati dan
didamaikan. Mereka patut sekali pada nasihat-nasihat elite itu. Setelah itu,
mereka kembali ke rumahnya dengan rasa bahagia.
Kalau terjadi keretakan rumah tangga seperti itu, lalu si istri pergi ke
rumah lain selain rumah elite, hal ini merupakan pelanggaran pada norma
adat. Dalam posisi seperti ini elite tidak hanya berperan sebagai penasihat,
tetapi sebagai juru damai, sekaligus pencipta kebahagiaan bagi warganya.
Matahari merupakan lambang kehidupan, pengetahuan, dan
kewibawaan. Seorang pemimpin merupakan sumber hidup. Artinya, ia
mampu memberikan dorongan dan kekuatan, serta semangat kepada
masyarakat agar selalu bergairah dalam menjalani liku-liku kehidupan. Ia
juga harus berwibawa dalam menjalankan kepemimpinannya agar
masyarakat taat dan patuh kepadanya. Ia harus berpengetahuan, baik
pengetahuan keduniaan maupun keakhiratan, sebab ia merupakan tempat
bertanya bagi masyarakat. Ia dapat menggunakan pengetahuan yang
dimilikinya untuk mengatasi berbagai masalah yang menyangkut
kepentingan masyarakat.
Dalam percakapan antarwarga masyarakat biasa terdengar ucapan,
“mina naatitonto kolaki amaitu” (silau mata kalau memandang kolaki itu).
perkataan itu dimaksudkan untuk menyatakan adanya kewibawaan pada
seorang elite. Selain itu, terdengar pula ucapan “bhari-bharie nelate
neintaidi kolaki” (segalanya tergantung pada kolaki itu sendiri). Maksud
ucapan ini adalah pernyataan dari warga masyarakat bahwa sang elitelah
yang paling mengetahui, menentukan, dan mengambil keputusan yang
205
akan diterima baik oleh warga masyarakat yang mewujudkan adanya
peranan timbal balik (role reciprocity) antara kedua belah pihak. Di sini,
elite kembali berperan sebagai penentu kebijaksanaan dan pengambil
keputusan.
Angin merupakan lambang dari gerak cepat, arah, dan kesegaran.
Seorang pemimpin bagaikan angin. Artinya, gerakannya cepat dan lincah
sehingga segal urusan dapat diselesaikannya dengan cepat. Ia dapat
menggerakkan masyarakat dengan cepat ke arah yang benar dan yang
dikehendakinya. Ia juga mampu memberikan kesegaran, yaitu mampu
menciptakan suasana kehidupan yang menyenangkan kepada masyarakat.
Dalam percakapan antara elite dan warga masyarakat biasanya
terdengar ucapan “tamangkafi lahae ane pa intaidi” (siapa yang harus
kami turuti kalau bukan kolaki). Hal ini merupakan pernyataan warga
masyarakat bahwa segala petuh dan pengarahan elite akan selalu
didengarkan, dituruti, dan diwujudkan dalam perilaku sehari-hari. Warga
masyarakat menganggap bahwa mustahil elite memberikan petuah dan
pengarahan yang salah, sehingga kemana arah elite, kesanalah masyarakat
berkiblat dan memainkan serangkaian peranan (role sequence), misalnya
peranan sebagai warga masyarakat yang taat pada norma dan bertanggung
jawab sebagai tanggapan terhadap peranan elite. Dalam posisi seperti ini,
elite berperan sebagai panutan masyarakat.
Di kalangan warga masyarakat, terdengar pula ucapan, “norindima
pongke dopogau bhe kolaki amaitu” (dingin sekali telinga kalau berbicara
dengan kolaki itu).pernyataan ini menunjukkan pengakuan warga
masyarakat bahwa kalau berbicara dengan kolaki, amat menyenangkan.
Menyenangkan, karena ia menggunakan bahasa yang halus dan baik, serta
206
materi pembicaraan yang bermanfaat bagi warga masyarakat, mungkin
juga berisi humor yang menyegarkan.
Namun, ada juga elite yang berwatak keras, yang terwujud dalam
ucapan-ucapannya yang kasar. Warga masyarakat memberikan reaksi
dengan ucapan, “aotehi karaku-rakue kolaki amaitu”(saya takut, tetapi
tidak simpati pada kolaki itu). Peranan elite seperti ini, memberi peluang
bagi tidak adanya peranan balasan (role reciprocity) dari warga
masyarakat.
Gunung merupakan lambang pendirian yang kuat. Seorang pemimpin
bagaikan gunung. Artinya, ia harus memegang teguh pendiriannya. Ia
tidak mudah dipengaruhi untuk mengubah keputusannya hanya karena
adanya hubungan yang bersifat pribadi. Dalam hal ini, tidak berarti bahwa
ia menutup kemungkinan untuk menerima berbagai pendapat, saran, dan
nasihat sebelum mengambil keputusan.
Pendirian elite adat amat teguh dalam melaksanakan hasil-hasil
musyawarah. Setelah kesepakatan diambil dalam suatu musyawarah, elite
biasanya mengucapkan, “okafakamo inia, mositii dajumalangie, lahae
somogilino wampani, bisaramo aitu”, (hal ini sudah keputusan
musyawarah, siapa yang menentang, kemukakan sekarang juga). Ucapan
ini menunjukkan keteguhan pendirian elite bahwa hasil musyawarah harus
dilaksanakan, tidak boleh menentang hasil keputusan dilaksanakan. Dalam
hal ini elite memainkan peranannya sebagai pencipta, pemelihara, serta
pengawas pelaksanaan kebijaksanaan yang ditetapkan.
Gua merupakan lambang tempat yang aman dan tenang. Seorang
pemimpin harus merupakan tempat yang aman dan tenang bagi
masyarakat. Artinya, ia merupakan tempat curahan isi hati dan
207
menampung keluhan serta mampu memberikan rasa aman dan tenang
kepada masyarakat secara fisik. Ia juga harus memegang teguh rahasia
pribadi warga masyarakat dan rahasia lembaga, sekiranya rahasia itu
dibocorkan akan mengganggu ketentraman, kedamaian, dan ketenangan.
Di masyarakat biasa terdengar ucapan, “koasi takorahasia ne intaidi
kolaki, tameolu nehamai insaidi ini, ane pa neintaidi” (mustahil kami
merahasiakan sesuatu kepada kolaki, dimanalah kiranya seharusnya kami
berlindung, kalau bukan kepada kolaki). Ucapan ini menunjukan bahwa
warga masyarakat amat percaya pada elite untuk tempat perlindungan
yang aman dan tempat mencurahkan isi hati sekalipun bersifat rahasia. Di
sini terlihat bahwa elite memainkan peran sebagai pelindung bagi
masyarakatnya.
Air sebagai benda yang tidak punya warna merupakan lambing
kenetralan, keadilan, dan kebersihan. Seorang pemimpin bagaikan air.
Artinya, ia harus berlaku adil kepada seluruh warga masyarakat. Ia tidak
boleh memihak pada satu golongan/kelompok, atau orang-orang tertentu
tetapi harus menempatkan diri di atas semua golongan. Selain itu, ia harus
bersih lahir dan batin. Bersih lahir, maksudnya, ia selalu menunjukan
perilaku terpuji, dan tidak dikuasai hawa nafsu, misalnya marah, mencaci-
maki, dengki, dan sejenisnya.
Dalam percakapan antara elite dan warga masyarakat, terdengar kata-
kata, “koasi pada tapohala-hala kasami kolaki, ingaka insaidi ini keseno
amahihinto” (mustahil bagi kolaki untuk membeda-bedakan kami, karena
kami semua bapak kolaki sendiri). Karena itu, elite pun selalu berusaha
untuk berbuat adil terhadap warga masyarakat. Dalam hal ini, elite selalu

208
berusaha menunjukan peranannya sebagai pencipta keadilan, kedamaian,
dan kesejahteraan.
Beringin merupakan lambang kesakralan. Seorang pemimpin
bagaikan beringin, yang mengandung hal-hal yang sakral. Seorang
pemimpin tidak cukup hanya memiliki tujuh sifat yang telah dijelaskan
sebelumnya, tanpa memiliki kesakralan. Sebab, kalau ia tidak memiliki
kesakralan, dapat ditaklukan oleh orang yang mempunyai ambisi terhadap
kedudukannya. Bahkan, dapat pula dia ditaklukkan oleh penjahat yang
bermaksud mengacaukan keamanan negeri. Orang Muna percaya bahwa
dengan kesakralan seorang pemimpin, ia dapat menolak segala macam
bencana, baik yang sedang terjadi, seperti serangan wabah penyakit,
kebakaran, dan kekacauan.
Dalam menghadapi bencana yang mungkin terjadi, berkatalah seorang
elite, “kodha-kodhaga ketaamu welo liwu, nanumandoo tora kalelei
teewise itu” (hai masyarakat seluruh negeri, waspadalah, rupanya akan ada
wabah penyakit dalam waktu dekat ini). Mendengar ucapan itu, warga
masyarakat lalu menyebarkannya ke seluruh negeri. Mereka pun bersikap
waspada, yaitu dengan mengurangi perjalanan waktu malam yang tidak
penting, tidak bekerja sampai letih benar, melarang anak-anak bermain-
main waktu panas terik dan waktu turun hujan, ketika matahari telah
masuk di ufuk barat semua anggota keluarga sudah berada dalam rumah,
membakar kemenyan setiap malam Jumat dan sebagainya. Elite pun mulai
mengurangi waktu tidurnya. Ia berdoa meminta perlindungan kepada
Tuhan atas kemungkinan adanya bencana.
Pengakuan warga masyarakat terhadap kesakralan elite dapat didengar
dari ucapan, “fokotabea ghane, angka ne soririno kolaki itu, bhahita
209
obalaa” (ucapkanlah tabea kalau jalan melintasi sisi samping kolaki
jangan sampai mendapat bala). Ucapan yang hampir sama juga terdengar,
“fekata-taa pogau bhe kolaki, bhahita olaintobhe” (jangan berkata-kata
kasar di hadapan kolaki, nanti laintobhe).
Apabila seseorang mendapatkan perintah untuk berbuat sesuatu dari
elite, ia menjalankan perintah itu dengan tulus dan ikhlas karena takut
melanggar hal-hal yang dipandang saklar dari elite. Dengan kesakralannya,
elite dapat memainkan berbagai perannya. Tidak saja sebagai pemimpin
yang disegani, tetapi juga sebagai penyelamat, dukun, peramal, dan
sebagainya.
Peranan-peranan yang dimainkan oleh elite adat dan elite agama di
masa lampau sebagian di atas, berkaitan erat dengan interaksi dengan nilai
dan norma-norma sosial. Elite dalam melakukan peranannya berlandaskan
nilai dan norma-norma sosial yang terintegrasi (role formalization).
Sebaliknya, interaksi nilai dan norma-norma sosial turut terpelihara
melalui peranan yang dimainkan oleh elite.
Kalau dilihat dari segi kepatuhan, kepemimpinan elite adat dan
agama di Muna ada persamaannya dengan kepemimpinan karismatik.
Sedangkan perbedaannya, terletak pada cara menerapkan kepemimpinan.
Pemimpin yang karismatik memimpin bukan dengan cara-cara yang lazim
sesuai dengan ketentuan-ketentuan peraturan yang ada, melainkan ia
mementahkan hal-hal baru.

210
XIII. Hukum Waris
Hukum waris pada orang Muna tidak semuanya seperti yang
ditentukan oleh hukum agama. Di bawah ini akan dijelaskan hukum waris
ini, dimulai dengan warisan barang biasa, kemudian warisan barang
pusaka dan harta milik.

13.1. Warisan Barang Biasa


Dengan meninggalnya seorang suami, maka harta milik keluarga jatuh
kepada istrinya yang sah. Jadi, harta milik tidak langsung dibagi antara
ahli waris, kecuali diinginkan oleh si istri sendiri. Si istri tidak pernah
dapat dipaksa untuk membaginya. Bila ia memang mau, maka ia akan
menahan separuh dari semua milik untuk dirinya, sedangkan anak-anaknya
yang lahir dari perkawinannya dengan almarhum mendapat bagian separuh
lainnya. Hanya kalau si istri kawin lagi, para ahli warisnya dapat menuntut
agar harta milik yang ditinggalkan oleh almarhum dibagi. Dalam hal ini si
istri tidak dapat menghalangi pembagian itu. Dia tetap mendapat separuh
dari semuanya.
Bila si janda meninggal, anak-anak membagi sama rata semua warisan
ayah mereka serta harta milik yang didapat si janda sesudah meninggal
suaminya dan sebelum kawin lagi. Semua anak, termasuk yang terkecil,
mendapat bagian yang sama besarnya.
Bila wanita itu kawin lagi dan anak-anak dari perkawinannya yang
pertama (atau keluarga dari almarhum suaminya bilamana tidak ada anak
mereka) tidak meminta pembagian barang yang ditinggalkan pada waktu
perkawinannya yang kedua, maka wanita itu tetap memiliki barang itu,
juga dalam perkawinan berikutnya. Pada waktu meninggalnya nanti, suami
211
barunya dan anak-anak mereka tidak berhak atas barang itu. Barang itu
dibagi antara anak-anak atau keluarga dari kedua belah pihak dari
perkawinan pertama di mana barang itu diperoleh.
Suami atau anak dari perkawinan berikut tidak pernah dapat menuntut
bagian dari barang yang diperoleh oleh si wanita dari perkawinan
sebelumnya. Bila sang istri meninggal sebelum suaminya, maka anak-anak
(atau keluarga dari kedua belah pihak bila tidak ada anak) tidak dapat
menuntut pembagian harta milik. Harta ini tetap di tangan si laki-laki,
walaupun ia kawin lagi. Bila ia kemudian meninggal, maka harta milik
dari perkawinan yang pertama dibagi antara anak-anak dari perkawinan
itu. Bila sang suami tidak mempunyai anak dari perkawinan pertama,
tetapi ada anak dari perkawinan berikutnya, maka harta dari perkawinan
pertama pun jatuh pada anak-anak itu. Anggota keluarga lainnya tidak
berhak menuntut harta itu.
Bila suami istri meninggal tanpa meninggalkan anak, maka harta
miliknya dibagi antara anggota keluarga dari kedua belah pihak, yaitu
antara saudara kandung dari kedua belah pihak. Saudara tiri tidak dapat
menuntut bagiannya. Dalam hal ini harta milik dibagi menjadi tiga bagian
yang sama; para saudara dari suami mendapat dua bagian, sedangkan
saudara dari istrinya mendapat satu bagian. Bila hanya ada saudara laki-
laki, maka bagian yang mereka dapat dibagi rata. Namun, bila juga ada
saudara perempuan, maka saudara laki-laki mendapat lebih dari saudara
perempuan.
Bila ada seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka laki-laki
mendapat 2/3 bagian. Bila ada seorang laki-laki dan dua orang perempuan,
maka laki-laki mendapat separuhnya. Bila ada dua orang laki-laki dan
212
seorang perempuan, maka yang laki-laki medapat bersama-sama 2/3
bagian. Bila ada dua orang laki-laki dan dua orang perempuan, maka yang
laki-laki mendapat bersama-sama separuhnya. Bagian laki-laki dan bagian
perempuan dibagi rata di antara mereka masing-masing, sehingga yang tua
tidak mendapat lebih dari yang muda.
Bila pada meninggalnya suami istri anak-anak mereka masih terlalu
muda untuk mengurus sendiri harta milik, maka hal itu ditangani oleh
saudara laki-laki dari sang suami untuk anak-anak itu. Hal yang sama
terjadi juga, bila sang suami kawin lagi lalu meninggal, dan anak-anak dari
perkawinan pertama masih terlalu kecil untuk mengurus warisan mereka
sendiri.
Bila seorang laki-laki tidak menikah secara sah, akan tetapi hidup
bersama dengan seorang wanita, maka dengan meninggalnya si laki-laki,
anak-anak yang dilahirkan dari hidup bersama ini, segera mendapat semua
milik yang ditinggalkannya; si wanita tidak mendapat apa-apa. Bila anak
ini masih terlalu kecil untuk mengurus sendiri warisan, maka ini dilakukan
oleh saudara laki-laki dari almarhum tersebut untuk mereka. Jadi, bukan
oleh ibu mereka. Bila tidak ada anak, maka semua harta milik beralih pada
saudara laki-laki dan perempuan dari almarhum, sehingga dalam hal ini
juga si wanita tidak mendapat apa-apa.

13.2. Barang Pusaka dan Milik Pusaka


Yang termasuk barang pusaka, selain senjata tertentu seperti keris,
tombak dan pedang, serta perhiasan emas dan perak, juga tanaman jangka
panjang yang diwarisi dari leluhur. Semua barang ini adalah harta milik
dan bukan hak milik seseorang di mana barang itu tersimpan. Senjata

213
pusaka dipegang oleh kepala keluarga. Perhiasan pusaka jatuh pada anak
sulung perempuan, dan bila tidak ada anak perempuan, jatuh kepada anak
sulung laki-laki. Bila anak sulung perempuan memiliki perhiasan pusaka
lalu meninggal, maka anak sulung perempuannya yang mendapatnya, atau
bila tidak ada anak perempuannya, jatuh kepada anak laki-lakinya yang
sulung. Bila ia tidak mempunyai anak, maka sesudah ia meninggal,
keluarga mengambil kembali perhiasan itu sehingga tidak tetap disimpan
oleh suaminya. Bila suaminya meninggal sebelum ia sendiri, maka barang
pusaka ini diambil kembali oleh keluarga sebelum adanya pembagian
warisan.

13.3. Tanaman Pusaka


Tanaman pusaka hanyalah tanaman jangka panjang seperti pohon
buah, pohon kapok, pohon kelapa dan sebagainya. Ini disebut pusaka
tondo. Bila orang yang membuka ladang tanaman ini meninggal,
semuanya itu diwarisi oleh anak-anak. Bila salah satu dari ahli waris
meninggal, maka anak-anaknya mendapat hak atas bagian bapaknya, dan
bila tidak ada anak, maka saudara-saudara dari yang meninggal mendapat
bagiannya. Pada waktu meninggalnya, bagian setiap orang jatuh pada
anak-anaknya, dan bila tidak ada anak, jatuh pada saudara-saudara dari
yang meninggal. Bila mereka juga sudah meninggal, hak itu akan jatuh
pada anak-anak saudaranya. Namun, mereka semua mempunyai nenek
moyang perempuan yang sama. Anak-anak dari perkawinan lainnya si
laki-laki, tidak dapat menuntut. Tanaman pusaka tidak pernah dibagi di
antara mereka yang berhak, tetapi tetap tinggal utuh di tangan semua ahli
waris, yang kesemuanya mempunyai hak yang sama atasnya. Perselisihan

214
dalam bidang ini jarang terjadi, tetapi bila terancam ada perselisihan,
biasanya semuanya dijual dan hasilnya dibagi antara mereka yang berhak.
Juga tanah, umpama sebidang ladang, bisa menjadi milik pusaka.
Tanah ini kepunyaan semua anggota keluarga, yang semuanya dapat
mempergunakannya dengan hak yang sama. Bahwa milik ini dijaga baik-
baik, ternyata dari faktanya bahwa dekat Kota Muna dulu, sekarang masih
ada sebidang ladang besar yang masih merupakan milik pusaka dari
keturunan Sugi La Pusaso yang membuka ladang ini. Keturunan dari Sugi
ini yang sekarang mempunyai hak atas tanah itu, hampir tidak bisa
terhitung jumlahnya, tetapi peselisihan mengenai ini tidak pernah terjadi.
Hal yang sama terjadi juga dengan ladang bhonto bhalano yang pertama,
La Marati.

13.4. Perselisihan dalam Pembagian Harta Warisan


Bila pada pembagian harta milik warisan, para ahli waris tidak
bersepakat, maka dulu barang-barang ini dibagi oleh mintarano bhitara
bersama dengan ghoerano yang bersangkutan dan imam atau khatib (pada
golongan La Ode dan walaka). Pada golongan wasembali dan golongan
maradika milik ini dibagi oleh mintarano bhitara, ghoerano yang
bersangkutan dan modhi bhalano yang berwewenang dalam wilayah itu.
Menurut Couvreur (1935) sekarang [tahun 1930-an] pembagian ini terjadi
oleh kepala distrik bersama dengan para ghoerano dan pejabat agama
tersebut di atas.
Bila seperti halnya di Tongkuno, jabatan kepala distrik dan ghoerano
disatukan pada satu orang, maka kepala distrik menunjuk orang lain
(biasanya salah satu keturunan dari 19 mino yang pertama yang tinggal

215
dalam wilayahnya) untuk menggantikan dia sebagai ghoerano
(pengganti=sulewata).

13.5. Pemeliharaan Anak-Anak


Seorang ayah wajib memelihara dan membesarkan anak-anaknya.
Apabila sang ayah telah meninggal, maka sang ibu menanggung beban
tugas ini. Namun, bila keadaan keuangannya tidak mendukung, sang ibu
akan dibantu oleh saudara-saudara sang ayah untuk membesarkan anak-
anak yang belum dewasa. Sang ibu dapat pula dibantu oleh anak-anaknya
yang sudah dewasa.
Dalam hal kedua orang tua telah meninggal serta meninggalkan anak-
anak yang belum dewasa, maka beban tugas membesarkan anak-anak ini
ditanggung oleh saudara-saudara mereka yang sudah dewasa, seringkali
yang tertua, tetapi kadang kala juga saudaranya dengan posisi keuangan
yang terbaik. Apabila anak-anak itu semuanya masih kecil, maka
pemeliharaannya diserahkan kepada saudara laki-laki dari pihak ayah. Bila
saudara laki-laki dari pihak ayah tidak ada lagi, maka anak-anak itu
diserahkan pemeliharaannya kepada saudara perempuan pihak ayah.
Dalam hal sang ayah tidak ada saudaranya atau mereka sudah meninggal
dunia semua, maka anak-anak kecil itu dipelihara oleh saudara-saudara
dari pihak ibu mereka. Anak-anak ini tidak pernah diserahkan kepada
anak-anak yang dewasa dari saudara-saudara ayah mereka (topisa).
Keluarga dari pihak ibu mereka sangat menentang hal ini, karena khawatir
apabila kelak anak-anak ini sudah dewasa, akan hidup bersama dengan
topisa mereka.

216
Apabila sang ayah mempunyai lebih dari satu istri, dan ia maupun
istri-istrinya telah meninggal, maka untuk pemeliharaan anak-anak kecil
yang ditinggalkan, berlaku ketentuan yang tersebut di atas. Jadi, yang
mendapat beban tugas pemeliharaan para anak yatim piatu itu adalah
saudara-saudara mereka yang sudah dewasa; kalau belum ada yang
dewasa, saudara-saudara dari pihak ayah atau pihak ibu yang bertanggung
jawab. Tentu saja anak-anak ini hanya diserahkan kepada pihak dari
keluarga ibu masing-masing. Jadi, seorang anak yatim piatu tidak mungkin
diserahkan kepada keluarga dari pihak ibu yang lain. Dalam hal ini juga
berlaku ketentuan, bahwa yang pertama-tama bertanggung jawab atas
pemeliharaan anak kecil itu adalah keluarga saudara-saudara sang ayah
yang telah meninggal. Tanggung jawab ini berlaku untuk semua anak-
anaknya. Apabila jumlah anak banyak, umpama kalau sang ayah
mempunyai empat orang istri, maka pemeliharaan anak-anak itu dibagi
antara semua saudara ayah.
Bagi para ibu yang tidak menikah secara resmi, tanggung jawab atas
pemeliharaannya dibebankan kepada ayah ibu itu; baik untuk ibu maupun
untuk anak-anaknya. Apabila ayah itu telah meninggal, maka kewajiban
peliharaan ibu dan anak-anaknya itu dibebankan kepada saudara laki-laki
ibu itu atau bila mereka ini juga tidak ada lagi, beban itu jatuh kepada
saudara perempuan yang telah bersuami. Dalam hal saudara-saudara tidak
ada lagi, maka saudara-saudara dari ayahnya diwajibkan memelihara dia
beserta anaknya itu. Bila ayahnya tidak mempunyai saudara, maka beban
tanggung jawab ini jatuh pada saudara-saudara ibunya. Jelas ketentuan ini
hanya berlaku bagi anak yang tidak diketahui ayahnya.

217
Hal yang dikatakan terakhir ini adalah penting, karena sering terjadi
bahwa mereka yang dibebankan dengan pemeliharaan para anak yatim,
pada suatu ketika melepaskan diri dari tanggung jawabnya, teristimewa
apabila muncul biaya tambahan. Sebagai contoh, pada sekolah-sekolah
rakyat terdapat anak-anak dalam jumlah yang relatif besar yang tidak
membayar uang sekolahnya. Alasannya tidak ada ayahnya atau orang
tuanya lagi, sedangkan ibunya tidak sanggup melunasi uang sekolah.
Kalau hal ini diteliti, ternyata bahwa orang yang menuntut adat harus
membantu ibu dalam pemeliharaan anak-anaknya (atau bertanggung jawab
secara total atas pemeliharaan anak jika kedua orang tuanya telah
meninggal) benar-benar sanggup membayar uang sekolah anak-anak
tersebut, tetapi kurang bersedia, karena anak ini bukan anaknya sendiri.
Mereka itu sering juga bersikap seolah-olah tidak tahu ketentuan adat yang
telah ditetapkan untuk pemeliharaan para anak yatim piatu.

218
XIV. Pesta
14.1. Pesta Keluarga
Pesta-pesta keluarga yang terpenting adalah:
1. Pesta kaalano wulu;
2. Pesta katoba;
3. Pesta karia; dan
4. Pesta pernikahan.

14.1.1. Kaalano Wulu


Pesta kaalano wulu ini adalah acara yang diadakan tidak lama setelah
seorang anak dilahirkan. Pada acara ini rambut anak digunting, yaitu pada
bagian atas kepala dan pada pelipisnya digunting sebanyak lebih kurang
sepuluh utas rambut. Alasan diadakannya acara ini tidak diketahui, tetapi
menurut tradisi pengguntingan rambut ini juga dialami oleh Nabi
Muhammad. Pengguntingan rambut tersebut dilakukan oleh seorang
pejabat agama. Untuk golongan La Ode dan walaka, yang dipanggil adalah
raja agama, seorang imam atau khatib, sedangkan bagi golongan maradika
dan wasembali dipanggil seorang modhi bhalano.
Menurut Couvreur (1935), pada zaman dahulu kala pada acara ini
diadakan pesta besar, di mana seluruh keluarga dan semua teman dan
kenalan diundang. Sekarang [tahun 1930-an] keadaannya lain, mengingat
biaya yang tinggi, maka yang diundang pada acara semacam ini, hanya
keluarga dekat. Dengan alasan yang sama, maka sekarang tidak lagi
dipanggil pejabat agama yang tinggi untuk pelaksanaan acara ini. Pada
golongan La Ode dan walaka sudah cukup seorang modhi bhalano,

219
sedangkan pada golongan wasembali dan maradika dipanggil seorang
modhi kampung untuk melakukan acara gunting rambut tersebut.

14.1.2. Katoba
Pesta katoba adalah pesta pada waktu anak-anak diislamkan pada
umur kira-kira sebelas tahun atau hampir mencapai umur kedewasaan.
Para anak laki-laki, termasuk pada golongan maradika, dihiasi dengan
pakaian yang paling bagus, memakai pengikat kepala sama dengan yang
dipakai oleh raja agama, serta memakai sebuah keris. Para anak
perempuan berpakaian lengkap dengan perhiasan keluarga (apabila
keluarga tidak memiliki perhiasan, maka dipinjam dari orang lain), wajah
mereka dihiasi dengan bedak berwarna putih atau kuning muda, alis
digunting rapi sehingga berbentuk sabit, rambut kepala dekat telinga
dicukur sedikit, sedangkan di antara rambut kepala bagian depan
diselipkan sebuah pena rambut terbuat dari emas atau perak lengkap
dengan perhiasan kecil-kecil yang melambai-lambai seperti daun-daun
pohon yang tertiup angin bila mereka berjalan. Mereka ini dihiasi secantik
mungkin.
Kemudian, para anak laki-laki dan perempuan dari golongan La Ode
dan walaka itu dipikul di atas bahu oleh beberapa orang anggota
keluarganya dan diantar kepada pejabat agama, dalam hal ini raja agama,
imam atau khatib. Pada golongan wasembali dan maradika anak-anak ini
harus berjalan; pejabat agama mereka adalah seorang modhi bhalano.

Pejabat agama ini kemudian mengingatkan beberapa perintah agama


yang penting, yaitu:

220
1. Yang harus disesali, yaitu berdosa kepada Allah, Nabi dan sesama
manusia.
2. Yang harus dihindari, yaitu berdosa kepada Allah, Nabi dan
sesama manusia.
3. Yang harus diputuskan/dilupakan, dosa-dosa orang lain terhadap
Allah, Nabi dan terhadap manusia.
4. Hak atau milik orang lain tidak boleh diambil, dan bila telah
diambil, harus dikembalikan (haku nasahi).

Sesudah itu dia menjelaskan kepada anak-anak tentang hal berdosa


kepada Allah, Nabi dan sesama manusia; kemudian pejabat agama
menutup dengan pengucapan ‘tobat’, yaitu rumus pengucapan pertobatan.
Setelah itu kembalilah mereka ke rumah tadi, didampingi oleh pejabat
agama. Di sini diadakan sekedar makan minum maka sang ayah
memberikan pasali kepada setiap orang yang hadir. Pada zaman dahulu,
pesta ini seluruh anggota keluarga, teman dan kenalan diundang, tetapi
sekarang [tahun 1930-an] tidak lagi, oleh karena biayanya tinggi. Dengan
alasan yang sama, sekarang pada golongan La Ode dan walaka cukup
dipanggil seorang modhi bhalano untuk mendidik anak-anak mereka di
bidang agama.

14.1.3. Karia
Pesta karia ini adalah pesta keluarga yang paling penting. Pesta ini
hanya dilakukan untuk anak-anak perempuan menjelang umur dewasa,
yaitu umur 15 atau 16 tahun, tetapi biasanya pesta ini diadakan dekat
sekali sebelum pernikahan. Pesta ini mengukuhkan pemasukan mereka
dalam agama Islam. Dengan demikian, maka untuk anak perempuan
221
diadakan dua pesta, yaitu pesta katoba dan pesta karia. Kadang-kadang
terjadi, bahwa pesta ini diadakan sekaligus untuk beberapa gadis.
Para gadis yang mau dikariakan, dikurung (dipingit) di dalam kamar
yang gelap secara total selama empat hari empat malam (dahulu 44 hari),
dan tidak diperkenankan keluar. Apabila si gadis melanggar dan keluar,
maka ini berarti sial bagi dia sendiri dan keturunannya. Pada waktu itu,
mereka tidak mendapat minuman, sedangkan makanan yang diberikan
setengah telur dan segenggam nasi setiap hari.
Setelah masa pingitan dipenuhi, para gadis kemudian dihiasi agar
menarik. Mereka memakai pakaian yang paling indah serta semua
pehiasan keluarga (kalau keluarga tidak mempunyai perhiasan, akan
dipinjam), rambutnya dihiasi dan dicukur dan sebagainya. Setelah itu,
mereka dibawa duduk di atas bangku yang tersedia dalam rumah. Bangku
ini dibungkus dengan kain putih dan ada juga kain putih sebagai tempat
berjalan dari kamar tempat pingitan sampai ke bangku tersebut. Pejabat
agama yang tertinggi di antara hadirin kemudian mendekati para gadis
tersebut berturut-turut, dengan memegang sebuah mangkuk yang berisi
tanah biasa. Jari tangannya dicelup dalam tanah itu, kemudian dia
menyentuh dengan jarinya berturut-turut: dahi, bahu, lengan atas, telapak
tangan, lutut dan kaki setiap gadis secara bergilir. Maksud acara ini adalah
agar gadis dan keturunannya akan terhindar dari luka-luka badan.
Selama acara ini berlangsung, di depan setiap gadis duduklah seorang
wanita yang memegang lampu minyak yang menyala dengan terang; di
samping dia ada wanita lain dengan sebotol minyak untuk segera mengisi
lampu tersebut bila minyak akan habis dan lampu akan padam. Kalau itu
terjadi maka berarti suatu tanda sial bagi gadis tersebut dan keturunannya.
222
Selama acara ini para gadis harus duduk dengan diam, tangan mereka
diletakkan di atas lutut dengan telapak tangan menghadap di atas. Kepala
mereka dipegang dari belakang oleh seorang wanita. Apabila semua gadis
telah mendapat gilirannya, maka pejabat agama membaca doa untuk
keselamatan para gadis. Setelah itu, maka para anggota keluarga
perempuan yang hadir menampilkan suatu tarian, yang disebut linda.
Selesai tarian ini, para penari masing-masing menyumbang uang kepada
keluarga yang mengadakan pesta karia.
Setelah itu diadakan acara makan. Ini bukan acara makan biasa-biasa,
tetapi diusahakan sebaik mungkin sehingga diperlukan banyak bantuan
tenaga. Beberapa hari sebelumnya, keluarga gadis yang mengadakan pesta
karia ini telah membuat rumah-rumah kecil atau perahu-perahu kecil
sebagai tempat hidangan nasi. Apabila pesta karia diadakan untuk
beberapa gadis sekaligus, maka keluarga yang bersangkutan berunding
siapa dari mereka yang akan membuat rumah-rumah atau perahu-perahu
kecil itu. Biasanya paling banyak dibuat dua rumah atau perahu. Dalam
satu rumah atau perahu kecil kadang kala ditampung begitu banyak nasi
sehingga 100 orang pun tidak bisa menghabiskannya. Rumah kecil atau
perahu kecil terisi penuh dengan nasi dan diletakkan di atas dulang yang
besar, dengan lauk-pauknya ditaruh di sekelilingnya. Bila makanan ini
disiapkan di rumah lain yang bukan tempat pesta, maka makanan ini
diantar di atas dulang secara beriring ke rumah pesta. Kalau ada sebuah
perahu kecil di atas dulang itu, maka biasanya ada juga seekor kambing
yang ditarik. Kambing ini melambangkan jangkar perahu tersebut.
Pesta itu mulai malam hari dan berlangsung semalam suntuk dan
disambung pada hari berikutnya. Pada hari ini kaum pria mengadakan
223
beberapa permainan dan tarian. Pada akhir pesta, makanan yang tersisa
dihambur-hamburkan dalam rumah dan halaman rumah oleh hadirin,
disertai teriakan nyaring. Maksudnya agar para gadis yang mengikuti pesta
karia ini akan memperoleh kebahagiaan di masa depannya.
Dapat dimengerti bahwa pesta besar semacam ini, yang dahulu kala
dihadiri oleh seluruh penduduk kampung, menelan biaya yang banyak
sekali. Di samping itu, banyak pula uang yang dihabiskan dengan
permainan adu kuda, dan menyabung ayam. Sekarang [tahun 1930-an]
pesta semacam ini lebih sederhana dan yang diundang hanya keluarga
dekat saja dan modhi bhalano.

14.2. Pesta Kampung


Terdapat bermacam-macam pesta yang dihadiri dan turut dirayakan
oleh seluruh kampung atau sebagian besar penduduknya.

14.2.1. Kaago-Ago atau Kadahono Bhara


Pesta yang diadakan pada awal musim barat di tengah kampung.
Seluruh penduduk turut merayakannya. Pimpinan pesta ini adalah pande
kaago-ago. Rakyat duduk mengelilingi pemimpin pesta ini. Di depan
pande kaago-ago ini berdiri sebuah rumah kecil yang dibuatnya sendiri.
Dalam rumah ini terdapat beras, kelapa, telur, ayam dan sebagainya. Bila
rumah kecil ini telah terisi penuh, maka pande kaago-ago, menyiraminya
dengan kameko (tuak), sambil memohon kepada roh-roh guna menghindari
terjadinya penyakit yang biasanya muncul pada awal musim hujan, atau
musibah lain berupa kecelakaan, panen yang gagal dan sebagainya. Juga

224
dimohonkan pertolongan roh-roh agar segala usaha para penduduk
kampung akan berhasil. Selanjutnya, ia berdoa dengan diam.
Setelah itu, dinikmati acara makan minum oleh semua hadirin.Biaya
pesta ini ditanggung oleh seluruh penduduk, dengan pemberian
sumbangan uang secara sukarela. Dari jumlah yang terkumpul Rp 0,80
diberikan dulu kepada pande kaago-ago. Pesta ini diadakan pada waktu
malam, dan biasanya berjalan semalam suntuk, dan baru pada pagi hari
orang kembali ke rumahnya masing-masing.

14.2.2. Katisa
Pesta ini tidak dihadiri oleh seluruh penduduk, hanya oleh mereka
yang khusus diundang. Ini adalah suatu pesta yang dibuat oleh seseorang
yang hendak menanam, dan untuk itu meminta pertolongan keluarga,
teman dan kenalannya. Kadang-kadang sampai 100 orang yang diundang.
Pesta yang sebenarnya baru diadakan setelah selesai menanam. Para
undangan pergi ke rumah pemilik tanah bersama-sama untuk menikmati
hidangan makanan. Pesta ini diadakan oleh pemilik tanah, agar para roh
dapat mendukung usahanya sehingga memperoleh panen yang baik.
Apabila pesta ini tidak diadakan, maka pemilik tanah akan memperoleh
panen yang gagal dengan tongkol-tongkol jagung yang berbiji hanya
sebelah saja.

14.2.3. Katumbu
Ini adalah pesta makan yang diadakan untuk mereka yang membantu
seseorang yang melakukan panen. Biasanya pesta makan ini telah
dijanjikan pada waktu menanam. Pada waktu menanam, diajukan

225
permintaan akan panen yang baik kepada para roh; diiringi dengan janji,
bahwa apabila panen berhasil, maka akan diadakan pesta makan untuk
mereka yang membantu panen (biasanya mereka ini adalah orang yang
juga membantu menanam). Dijanjikan pula, sebagian dari hasil panen akan
diberikan kepada tokoh-tokoh desa. Di pesta ini, umumnya diadakan di
ladang, para gadis mencoba menambah keramaian pesta dengan
menanamkan bhasari (jelai) dalam api, kemudian dipukul; hasilnya adalah
seperti letusan senapan. Pesta ini dan pesta katisa sering diadakan dua kali
setahun, yaitu pada waktu menanam dan panen pada musim barat dan pada
musim timur.

14.2.4. Weano Wamba


Pesta ini dimaksudkan untuk menepati janji pada waktu seseorang
menderita sakit, entah ia sendiri atau sanak keluarga (istri atau anak). Di
sini yang bersangkutan berjanji, apabila si penderita sembuh, maka
keluarga serta teman dan kenalan akan diundang untuk ucapan syukur.
Setelah si penderita itu sembuh, maka orang diundang untuk minum
kameko (tuak). Pada pesta ini tidak ada acara makan, artinya tidak ada
makanan pesta khusus yang disiapkan. Setiap undangan memberi uang
kepada tuan rumah untuk menyumbang pembelian kameko. Biasanya
sumbangan ini ditolak oleh tuan rumah karena khawatir roh-roh akan
marah dan membuat si penderita itu kambuh lagi penyakitnya.

14.2.5. Kaintarano Lima


Pesta ini diadakan berkaitan dengan pengangkatan seorang pejabat
kampung. Yang mengadakannya adalah orang yang baru menerima

226
jabatan itu. Seluruh penduduk kampung berdatangan untuk berjabat tangan
dengan pejabat baru itu (kaintarano lima berarti “berjabat tangan”).
Pejabat baru ini duduk berdiam diri dengan kedua telapak tangan
diletakkan setinggi perutnya. Setiap orang datang dan selama sesaat
memeluk tangan si pejabat dengan tangannya sendiri.
Apabila ada pengangkatan kepala kampung yang baru, maka diadakan
pesta makan dan minum, tetapi bila keadaan keuangannya tidak
mengizinkan, maka hanya disediakan minuman kameko. Apabila ada
pengangkatan seorang modhi, khatib atau imam yang baru, maka pejabat-
pejabat baru ini, memberi uang untuk membeli kameko. Dalam hal seorang
pejabat baru tidak mengadakan pesta ini, maka tugasnya itu akan tidak
membawa berkat dan akan mengalami rintangan dalam menjalani
kewajibannya.

14.3. Pesta Kematian


Pesta kematian tidak ada di Muna. Sesuai dengan ajaran Islam, orang
yang meninggal diperingati oleh keluarganya pada hari yang ke-3, ke-7,
ke-40, dan hari ke-100 sesudah meninggalnya. Adakalanya, teman dan
kenalan juga datang pada malam hari peringatan tersebut, dan pada saat itu
cukup banyak kameko diminum. Peringatan ini disebut poalo.
Setahun sekali makam anggota keluarga yang meninggal itu
dibersihkan. Ini dilakukan beberapa hari sebelum dimulai bulan puasa.
Setelah pembersihan, makam itu disirami dengan air, maksudnya untuk
memohon berkat bagi orang yang telah meninggal. Biasanya keluarga
pergi ke kuburan bersama pejabat agama dan setelah makam itu
dibersihkan dan disirami, pejabat itu membaca Fatihah, kemudian

227
memohon kepada Allah agar memberi berkat kepada semua hadirin serta
meminta umur panjang bagi mereka. Kemudian juga para hadirin meminta
hal yang sama serta berjanji apabila masih hidup tahun depan mereka akan
datang lagi membersihkan makam-makam tersebut. Setelah itu para
hadirin berjabat tangan dengan pejabat agama untuk kemudian kembali
bersama ke rumah.
Di rumah diadakan acara makan minum bersama pejabat agama, dan
setelah itu pejabat agama membaca Fatihah lagi dan berdoa untuk
keselamatan seluruh hadirin. Selesai acara ini, maka semua berjabatan
tangan lagi dengan pejabat agama.
Waktu berjalan ke makam, dipakai pakaian paling indah, lengkap
dengan perhiasan, dan para wanita dan gadis menampilkan diri secantik
mungkin. Ini adalah suatu tanda ucapan syukur bahwa mereka masih hidup
dan telah memperoleh rezeki dalam tahun yang sudah berlalu.

14.4. Pawai Pesta


Pada pawai pesta di kampung kaum pria berjalan di barisan terdepan,
diikuti oleh para wanita. Paling depan berjalan kaum maradika poino
kontu lakono sau dan berturut-turut kaum maradika anangkolaki,
sekelompok orang walaka di ikuti oleh kaum La Ode dan diakhiri oleh
sekelompok kaum walaka lagi.
Di Tongkuno dan di semua tempat yang ada kaum maradika ghoera
(kampung-kampung Barangka, Lindo, dan Wapepi=Rangka), tempat orang
maradika dalam iring-iringan tersebut adalah antara kaum maradika poino
kontu lakono sau dan kaum anangkolaki. Susunan urutan kaum wanita
dalam barisan adalah sama dengan kaum pria. Jadi, setelah barisan kaum

228
pria mulailah barisan wanita dari golongan maradika poino kontu lakono
sau.
Pada pesta-pesta yang sangat penting di mana juga hadir raja Muna
beserta tokoh-tokoh lainnya tersusunlah barisan sebagai berikut (formasi
ini berlaku pada waktu masih ada semua kepala adat, yaitu sebelum tahun
1910): (lihat Couvreur, 1935)

XX 2 kapitalao

XXXXXXXX 8 kino, yan diikuti oleh para kino lain


yang bisa dicalonkan untuk menjadi
kapitalao kemudian

XX 2 firisino kolaki

X 1 kapita

XX 2 Firisino kolaki

XXXX 4 kapili dengan perhiasan kerajaan

XXXX 4 pasi

XXX 3 siriganti

XX 2 Firisino pasi

229
XXXX 4 lotenani

XX 2 lindono, yaitu Kancitala dan Lembo

XX 2 ghoerano Tongkuno dan Lawa

X X raja Muna, dan di sebelah kanannya


seorang siriganti yang membawa tongkat
raja Muna

X bhonto bhalano

X mintarano bhitara

XX ghoerano Kabawo dan Katobu

XXXX mino Karo, Kaliwu-liwu, Labaluba, dan


Tondo

XX 2 lindono, yaitu dari Kaura dan Ondoke,


disusul oleh seluru mino

Para pejabat agama dapat mengambil tempat dalam barisan di depan


kedua kapitalao, atau barisan yang terakhir. Karena sekarang [tahun 1930-
an] tidak terdapat lagi kapitalao, bhonto bhalano dan mintarano bhitara,
maka tempat-tempat ini dalam barisan tidak terisi, tetapi formasi secara
total tidak berubah (lihat Couvreur, 1935).
230
XV. Hak Atas Tanah
Semua tanah adalah milik Syarat Muna. Syarat Muna tidak berhak
menjual atau mengubah status tanah dengan cara lain, termasuk kepada
orang yang bukan asal Muna. Tanah milik Syarat Muna terbagi empat,
yaitu keempat ghoera; kemudian setiap ghoera dibagi dalam sejumlah
kampung. Setiap kampung mempunyai wilayah tanah tertentu yang
ditandai batasnya dengan pohon tinggi, kali kecil, batu besar, ujung bukit
atau tanda-tanda alam lainnya. Setiap sarano liwu (syarat kampung) tahu
dengan persis batas-batas wilayah kampungnya. Seluruh wilayah tanah di
Muna dibagi antara kampung-kampung dan setiap kampung-kampung hak
kuasa.
Dalam hal sebuah kampung ditinggalkan atau punah penduduknya,
seperti yang terjadi di kampung-kampung Rete dan kampung Laloia, maka
tanah kampung ini jatuh kembali kepada Syarat Muna. Syarat Muna-lah
yang kembali mempunyai hak kuasa. Tanah milik kampung adalah tanah
pusaka dan yang berhak kuasa adalah syarat kampung. Para penduduk
kampung dapat memperoleh sebagian dari tanah-tanah ini untuk dikelola.
Di kampung dikenal tiga macam tanah, yaitu;
1. Tanah yang dipagari dengan batu atau pagar lain yang bersifat
jangka panjang.
2. Tanah yang tidak dipagari atau hanya dengan pagar sementara.
3. Tanah yang tidak diolah, jadi tanah kosong.

15.1. Tanah Berpagar Batu


Apabila seorang penduduk kampung memperoleh sebidang tanah dari
syarat kampung untuk dikelola dan sekeliling tanah itu ia membuat pagar
231
yang permanen (biasanya pagar batu atau pagar lain yang bersifat jangka
panjang) maka tanah ini menjadi hak pusaka pribadi dari orang yang
memperolehnya, selama pagar itu utuh dan tetap ada. Baik syarat kampung
maupun Syarat Muna tidak berwewenang atas tanah tersebut walaupun
tanah ini tidak diolah. Apabila penerima tanah pertama tersebut
meninggal, maka tanah itu beralih kepada anaknya atau sanak keluarga.
Namun, apabila pagar tersebut tidak diperhatikan dan berantakan sama
sekali, maka tanah tersebut jatuh kembali kepada kampung. Syarat
kampunglah yang kembali mempunyai hak kuasa atas tanah itu. Seorang
pemilik tanah pribadi tidak berhak mengubah status tanah tersebut, tetapi
dia bisa menyetujui orang lain mengolah tanahnya selama ia sendiri ia
tidak mengerjakannya. Biasanya izin ini hanya diberi untuk menanam
tanaman musiman. Menanam tanaman jangka panjang (jarang terjadi)
harus ada izin yang turut diketahui dan disaksikan oleh syarat kampung.
Pada waktu pemilik tanah memberi izin kepada orang lain untuk mengolah
tanahnya, ia berhak menuntut pembayaran (yang disebut doadae). Uang
ini bisa juga dilunasi dengan barang atau dengan hasil tanah itu, tetapi
tidak pernah dengan harga yang lebih tinggi dari pembayaran awal. Harga
ini telah ditentukan dalam adat, dan tidak bergantung atas luasnya tanah
atau hasil dari tanah yang dipakai itu, tetapi pembayaran ini tidak pernah
dituntut dari sesama penduduk kampung.

15.2. Tanah Tidak Berpagar atau Pagar Sementara


Apabila tanah diolah selama beberapa tahun dan kemudian tidak
dikerjakan lagi untuk sementara, maka orang lain dapat bermohon kepada
syarat kampung untuk mengolahnya. Dalam hal ini syarat kampung

232
menanyakan kepada pemakai pertama tidak berniat mengolahnya. Pemakai
pertama tidak dapat menentang keputusan syarat kampung ini. Setelah
berlaku beberapa waktu dan pemakai pertama merencanakan lagi untuk
mengerjakan tanah itu, umpamanya tahun berikutnya, maka ia harus
memberitahukan dahulu kepada syarat kampung yang kemudian
menyampaikannya kepada pemakai baru agar memberi kembali hak pakai
tanah tersebut kepada pemakai pertama pada waktu yang ditentukan.

15.3. Tanah yang Tidak Diolah


Syarat kampung mempunyai hak kuasa penuh atas tanah-tanah ini,
dengan pengertian bahwa ia tidak boleh mengubah status tanah itu, kecuali
sesuai dengan peraturan adat. Tanah itu bisa diserahkan oleh syarat
kampung kepada orang yang bukan penduduk kampungnya untuk
digunakan. Apabila ada peminat dari kampung lain yang ingin
mengerjakan tanah yang tidak diolah itu, maka pertama-tama ditanyakan
berapa lama tanah tersebut mau dipakai. Apabila syarat kampung
menyetujui jangka waktu yang diminta, maka hak pakai diserahkan.
Biasanya izin yang diberikan satu tahun saja, yaitu untuk tiga kali
menanam: dua musim barat dan musim timur diantaranya. Si pemohon
harus membayar kepada syarat kampung uang doadae sebesar 30 sen.
Tanah ini tidak diperkenankan ditanami tanaman jangka panjang kecuali
bila si pemakai akan berdiam di kampung sehingga menjadi penduduk
tetap. Dengan jalan ini, si pemakai dapat memperoleh status hak milik
pusaka pribadi atas tanah tersebut.
Dalam hal jangka waktu hak pakai telah habis, maka dapat diminta
untuk diperpanjang. Perpanjangan itu diberikan apabila tidak ada

233
permintaan dari seseorang pemakai baru (penduduk kampung yang sama)
dan tidak ada keberatan dari pihak kampung terhadap si pemakai itu.
Untuk izin perpanjangan hak pakai satu tahun lagi tidak ada pembayaran
doadae. Uang doadae hanya dibayar satu kali untuk sebidang tanah.
Namun, apabila diambil lagi sebidang tanah yang lain, maka harus ada lagi
pembayaran doadae.
Orang asing atau pendatang yang berdiam di Muna tidak
diperkenankan memiliki atau mengolah sebidang tanah. Apabila mereka
menetap di Muna maka syarat kampung dapat memberi kepada mereka
tanah-tanah untuk diolah, tetapi dengan persetujuan Syarat Muna.
Tanah di bawah kekuasaan Syarat Muna (hanya tanah kampung Rete
dan Laloia yang telah punah) dapat diberikan hak pakai atau hak waris
pribadi. Dengan jalan ini berdirilah kampung Bone Tondo, Bone
Kancitala, dan Bone Owelongko di atas tanah bekas kampung Rete
tersebut.
Dahulu kala, Syarat Muna tidak memberi izin hak pakai untuk jangka
waktu lebih dari satu tahun, sehingga barulah setelah tahun 1910, itu
terdapat hak milik pusaka di kampung-kampung tersebut. Apabila sebelum
tahun 1910 seseorang memohon tanah di ketiga kampung tersebut, maka
syarat kampung hanya dapat memberikan kalau ada izin dari Syarat Muna.
Jadi, juga setelah berdiri ketiga kampung tersebut di atas, hak kuasa atas
tanah itu tetap dalam tangan Syarat Muna.
Sering terjadi, bahwa seorang yang memperoleh hak milik pusaka atas
tanahnya, menanaminya dengan tanaman jangka panjang. Kemudian, ia
menyerahkan tanah-tanah itu kepada peminat penanam tanaman jangka
pendek; setiap tahun lain orangnya. Ia berbuat demikian, agar tanaman
234
jangka panjang sekaligus dirawat secara teratur. Untuk perawatan tanaman
jangka panjang itu, si pemakai tanah itu memperoleh dari bagian seluruh
hasil tanah, seringkali bagian itu sepertiga. Namun, bisa juga satu buah per
pohon, umpamanya untuk pohon kelapa.
Sebuah kampung dapat menjual atau menggadaikan tanahnya atas
musyawarah bersama. Hal ini hanya dapat terlaksana apabila terjadi
keadaan yang sulit sekali. Keadaan yang sulit yang ditentukan dalam adat
adalah:
1. Apabila wawontobho tidak dapat dipenuhi targetnya.
2. Apabila wulusau tidak terbayar.
3. Apabila kampung tidak dapat menanggung bagiannya dari biaya
perjalanan raja Muna ke Buton. Untuk keperluan ini, tiap ghoera
harus memberi sumbangan sebesar 5 bhoka = Rp 12.
Tidak ada alasan lain yang dapat memaksa sebuah kampung untuk
menjual atau menggadaikan tanah pusakanya. Waktu mulainya sistem
perpajakan, kampung Kowouno tidak dapat melunasi pembayaran
pajaknya. Terjuallah sebagian tanah kampung mino Tondo, yang
kemudian menjadi ghoera Tongkuno La Ede. Bidang tanah tersebut dijual
dengan harga sebesar hutang pajak yang harus dilunasi (lihat Couvreur,
1935).
Apabila suatu bidang tanah dijual, maka yang membelinya menjadi
pemiliknya, ini adalah satu-satunya jalan, untuk memperoleh hak milik
atas sebidang tanah. Penjualan atau penggadaian sebidang tanah kepada
orang yang bukan orang Muna dilarang, termasuk dalam keadaan sulit
sebagaimana yang diutarakan di atas.

235
Apabila sebidang tanah digadaikan, maka yang menerima gadai
tersebut adalah pemilik tanah sampai uang ditebus keseluruhannya.
Apabila hutang dibayar lunas, maka barulah kampung itu menerima
kembali tanahnya. Dalam hal ini terdapat tanaman jangka panjang yang
ditanam oleh penerima gadai itu, maka tanaman ini tetap menjadi hak
miliknya, walaupun tanah tersebut sudah dikembalikan kepada kampung
yang bersangkutan. Berkaitan dengan situasi itu, orang itu dapat memohon
kepada syarat kampung untuk mengolah tanah tersebut dan dengan
membuat pagar yang permanen, tanah itu bisa dijadikan tanah milik
pusaka.
Dahulu kala juga dipungut pajak hasil hutan dari pendatang yang
datang mengambil hasil hutan. Jadi, seperti susung romang (pajak hasil
hutan) tetapi pajak itu tidak dipungut dari orang Muna. Untuk mengumpul
atau membeli hasil-hasil hutan, para pendatang memerlukan izin dari
Syarat Muna. Terutama yang dikena pajak adalah jenis kayu seperti kayu
jati, sandana, ghefi, fafa, sulewe, kombungo, sagu, rotan, tangir,
lambasari (kulit kayu), kudara (sejenis kayu), roru (sejenis akar-akar),
saungkofolo (daun untuk pembuatan atap) dan landaka (pucuk daun dari
pohon yang sejenis dengan pohon kelapa) pajak ini ditentukan 20% dari
jumlah nilai barang yang dikumpulkan, atau apabila dibeli dari penduduk
untuk diekspor, maka harga 20% dari nilai muatan perahu. Jumlah ini
dibayar.

236
XVI. Kebiasaan Membuka Ladang Baru di Padang
Ilalang
16.1. Membuka Ladang Baru di Padang Ilalang
Apabila ada beberapa orang hendak membuka ladang baru di padang
alang-alang, maka mereka akan merundingkan dahulu bersama orang tua
dalam kampung, antara lain untuk menentukan lokasi ladang-ladang baru.
Apabila ada kesepakatan, maka hal ini disampaikan pada pende kotika.
Orang inilah yang akan menentukan hari yang baik untuk pergi bersama-
sama ke lokasi yang telah dipilih; di situ seorang pande solo akan
menyelidiki apakah ada keberatan dari roh-roh hutan dan roh-roh alang-
alang bila lokasi ini diolah menjadi ladang baru (biasanya tugas pande
kotika dan pande solo dirangkap oleh orang yang sama).
Penentuan hari baik oleh pande kotika memakai cara sama dengan
cara menentukan hari baik untuk hari pernikahan, yaitu dengan
menghitung dengan jari-jari satu tangan. Dia mulai menghitung dengan
jari-jari satu angka satu yang jatuh pada telapak tangan. Perhitungan
selanjutnya persis sama dengan cara menentukan hari pernikahan. Hari-
hari baik guna melaksanakan penyelidikan oleh pande solo adalah: hari ke-
3 penuh dengan bulan muda sampai keesokan harinya pada jam 1 siang,
kemudian hari ke-6 setelah jam 1 siang sampai hari ke-7 penuh, hari ke-8
dari jam 1 siang sampai malam hari ke-9 dan hari ke-10 sampai jam 1
siang, hari ke-12 setelah jam 1 siang sampai malam ke-13, hari ke-14
setelah jam 1 siang sampai hari ke-16 jam 1 siang, harus pula
diperhitungkan hari-hari nahas dan bulan-bulan yang tidak baik. Jadi,
apabila hari ke-3 dari bulan muda di bulan Muharam jatuh pada hari

237
Minggu, maka ini adalah hari yang tidak baik sehingga harus dihitung
terus sampai diperoleh hari yang baik.
Di bharata Lohia, tidak ada bulan-bulan nahas dalam perhitungan ini.
Oleh karena itu, di Pulau Muna (kecuali di bharata Lohia) biasanya
penduduk memulai secepatnya mungkin dan membuka dan mengolah
ladang-ladang mereka. Artinya, apabila memasuki bulan yang “baik”
pekerjaan langsung dimulai, mengingat biasa saja setelah bulan “baik” itu
menyusul satu dua bulan nahas berturut-turut, umpamanya bulan Muharam
dan Safar. Kalau itu terjadi, pekerjaan terlambat dimulai dan akhirnya
tidak bisa diselesaikan pada waktunya.
Pada hari yang ditentukan oleh pande kotika, si pande solo pergi ke
lokasi bersama para penduduk yang mau membuka ladang di sini. Apa
yang selanjutnya diutarakan di sini, adalah bahan yang saya peroleh dari
pande solo La Kaene, yang bertugas sebagai pande solo di hampir semua
kampung di distrik Lawa dan Tongkuno. Setibanya di lokasi yang hendak
diolah, dicarilah di tengah-tengah tanah itu pohon yang besar. Pohon atau
tiang itu harus berdiri di tengah-tengah tanah tersebut. Pohon-pohon yang
terdapat di pinggiran tanah tidak bisa dipergunakan. Pada kaki pohon atau
tiang yang ditanam, si pande solo membuat lubang dalam tanah dengan
kayu sedalam lebih 30 cm dan besar sedemikian agar tangannya dapat
masuk. Lubang ini kemudian diisi penuh dengan kameko (tuak). Apabila
kameko ini segera turun dalam tanah, maka ini adalah satu tanda bahwa
roh-roh tidak menyetujui lokasi ini dijadikan ladang. Bilamana dibuka
ladang atau kebun di situ, maka akan terjadi panen gagal, kecelakaan, dan
sebagainya. Apabila lubang yang berisi kameko itu tetap terisi selama
kurang lebih 15 menit (selama waktu makan siri), maka ini adalah tanda
238
yang baik. Setelah kameko dalam lubang itu meresap habis, maka keliling
lubang tersebut dibuat pagar setinggi kurang lebih 30 cm. Di dalam pagar
pada pinggiran lubang itu diletakkan empat bungkus berisi bahan sirih, ke
arah empat mata angin. Bahan sirih ini dibungkus dalam daun. Pada setiap
bungkusan diletakkan pula sebatang rokok, sedangkan di dalam lubang
ditaruh sebutir telur, uang seketip dan seutas benang emas. Selesai acara
ini, kembalilah mereka semua ke rumah masing-masing.
Empat hari kemudian, si pande solo kembali meninjau lubang
tersebut. Apabila segala-galanya masih terletak seperti semula, maka di
lokasi ini dapat dibuka ladang dan kebun, karena para roh sama sekali
tidak keberatan. Apabila yang diletakkan oleh pande solo itu ada yang
hilang atau terhambur, setidak-tidaknya letaknya lain dari semula, maka
ini adalah tanda bahwa para roh tidak menyetujuinya karena merasa
diganggu. Dengan demikian rencana berladang di lokasi ini dibatalkan.
Di bharata Lahontohe, si pande solo meletakkan lima bungkus bahan
sirih dan lima batang rokok.
Di Lohia, si pande solo mempunyai ilmu yang lain. Apa yang
diutarakan berikut ini adalah yang diceritakan kepada saya oleh pande
solo La Ode Laweudu. Setibanya di lokasi bersama-sama orang yang
hendak berladang atau berkebun di situ, umpama sebanyak 40 orang, maka
si pande solo menempatkan dirinya di tengah-tengah kumpulan orang 40
tersebut dan berkata dengan suara nyaring.

“Kami di sini yang berjumlah 40 orang yang ingin berladang”.


“Panas atau dingin” (artinya agar kita tidak kena penyakit).
“Kita pergi pulang balik” (artinya walaupun kita berdiam tetapi di sini
kita tidak akan dikena oleh kecelakaan dan penyakit).
239
“Bangun dan tidur” (artinya sama dengan yang di atas tadi).

Setiap kali ia berkata, dijawabnya sendiri dengan kata “saya” (=ya).


Apabila selama ucapan ini terdengar bunyi burung atau binatang lainnya
dari depan, dari sebelah kiri atau sebelah kanan si pande solo, maka ini
berarti bahaya. Dengan demikian tidak diizinkan berladang atau berkebun
di tanah itu. Apabila bunyi itu datang dari belakang si pande solo, maka ini
berarti bahaya telah lewat sehingga boleh berladang di sini. Apabila bunyi
tersebut didengar setelah pande solo mengucapkan “saya” untuk keempat
kalinya, maka ia tidak ada lagi artinya. Walaupun datangnya bunyi itu dari
depan, dari sebelah kiri atau sebelah kanan si pande solo.
Selama empat hari itu, yaitu hari-hari antara saat penyelidikan
lapangan sampai kembali meninjau lubang tersebut, si pande solo
memikirkan terus secara tekun tentang rencana berladang di situ sehingga
akhirnya ia memimpikannya. Banyak sekali tergantung dari mimpi itu,
karena walaupun bahan yang diletakkan pada lubang itu ada yang hilang
atau terhambur, tetapi si pande solo dapat mimpi yang baik, maka hanya
mimpinya yang diperhitungkan sehingga si pande solo berkata bahwa
rencana berladang dapat dilaksanakan.
Dalam hal pande solo bermimpi tidak baik, sedangkan bahan di
lubang tersebut ada yang hilang atau letaknya lain dengan letaknya
semula, maka sudah jelas rencana berladang di lokasi ini memang salah.
Apabila ada tanda yang baik tetapi si pande solo bermimpi buruk, maka ia
berpegang pada mimpinya itu dan menasihati orang untuk jangan
berladang di lokasi itu.
Apa yang dianggap mimpi yang baik dan apa mimpi yang tidak baik?
Mimpi yang baik adalah mimpi di mana terlihat banyak air atau sebuah
240
kampung besar di lokasi itu, atau terlihat lampu yang besar yang menyala
dengan terang. Juga apabila terlihat hutan yang tumbuh besar kembali di
atas lokasi tersebut. Mimpi yang buruk adalah apabila ia bermimpi tentang
lubang yang besar. Ini berarti banyak orang akan meninggal bila lokasi ini
diolah untuk ladang. Bila dalam mimpi dia melihat api, maka ini berarti
akan ada banyak penyakit demam (sakit panas). Bila dia memimpikan
angin ribut yang menumbangkan banyak pohon, maka ini berarti banyak
penyakit yang mengakibatkan kematian pada pengolahan lokasi tersebut.
Apabila dalam mimpi terlihat hanya beberapa rumah pada lokasi tersebut,
maka ini berarti banyak orang akan meninggal bila berladang di lokasi itu.
Dengan pernyataan si pande solo ladang itu dapat diolah, maka empat
hari kemudian syarat kampung membagi lokasi tersebut kepada para
peminat. Segera sesudah itu dibakarlah atau dibersihkan lokasi tersebut.
Ini disebut patika tujuannya sama dengan memacul. Sekitar dua sampai
tiga bulan setelah patika, mulailah pekerjaan sinala, yaitu menyiangi
tunas-tunas alang-alang yang muncul lagi. Selesai ini, barulah dimulai
kegiatan menanam.
Sebelum menanam, diadakan pesta kasuke oleh orang yang hendak
menanam di situ, bertempat di lokasi. Pimpinan pesta ini adalah pande
kasuke. Pesta ini dilakukan paling lama sepuluh hari setelah perayaaan
kaago-ago (lihat bab 14 tentang pesta-pesta kampung). Si pande kasuke
melakukannya di tengah-tengah lokasi, dikerumuni oleh semua orang. Di
depannya berdirilah sebuah rumah kecil yang dibuatnya sendiri. Sebelum
acara pesta dimulai, terkumpul dan dimasak semua bahan yang akan
ditanam di ladang ini. Seperti jagung, ubi, nasi, ubi kayu, dan sebagainya.
Sebagian bahan yang dimasak disimpan di dalam rumah kecil itu.
241
Kemudian, rumah itu serta isinya disirami dengan kameko (tuak) oleh si
pande kasuke. Selanjutnya, ia berdoa kepada roh-roh agar memperoleh
restu dalam mengolah ladang-ladang baru ini dan akhirnya diadakan acara
makan minum. Biaya pesta ini dikumpulkan dari orang yang mau
berladang di situ. Dari jumlah biaya tersebut Rp 0,40 diserahkan kepada
pande kasuke.

16.2. Membuka Ladang Baru di Hutan


Apabila ada hutan yang hendak ditebang untuk membuka ladang
baru, maka yang dipakai adalah cara yang sama seperti yang dilakukan
pande solo untuk membuka ladang di lapangan alang-alang (jadi, membuat
lubang pada pohon yang besar yang terletak di tengah-tengah area hutan
yang mau ditebang, diletakanlah bahan sirih; di Lohia diucapkan pula
kata-kata yang sama). Juga di sini, si pande solo harus bermimpi baik
sebelumnya. Ini ditambahkan dengan memanggil atau menyebut roh-roh
hutan. Hal ini dilakukaan oleh pande solo secara diam. Roh-roh yang
dipanggil/disebut adalah roh-roh rumput, kayu, batu, dan teristimewa
sulur-suluran/liana. Apabila tidak diminta izin dari mereka ini, maka akan
terjadi kecelakaan yang berat, mengingat memotong rumput adalah sama
dengan memotong rambut kepala seorang manusia, menebang pohon sama
dengan memotong kaki, memecah batu berarti mematahkan tulang dan
menumpas semua sulur-suluran hutan sama dengan mengiris urat-urat
nadi. Apabila hutan ini ditebang tanpa terlebih dahulu diminta izin dari
roh-roh hutan, maka mereka yang akan melakukan penebangan ini akan
mendapat semua kecelakaan itu.

242
Setelah pande solo menyampaikan bahwa para roh tanah dan roh
hutan tidak berkeberatan untuk mengolah lokasi hutan ini, maka segera
pada hari itu juga dimulailah dengan wei atau tambori, yaitu
membersihkan dasar tanah, memotong rumput-rumput, menyiangi
tanaman liar dan sebagainya. Tidak semua penggarap tanah di hutan ini
harus mulai pada saat yang sama. Cukuplah bila sudah ada satu dari
mereka yang mengerjakan sebagian kecil dari ladangnya. Namun,
penggarapan ladang itu harus dimulai pada hari yang ditetapkan dan tidak
boleh ditunda. Di mana tempat penggarapan pertama itu tidak menjadi
soal, begitu pun luasnya area yang yang dibersihkan.Yang penting adalah
begitu memperoleh izin dari para roh, maka segera juga dimulai dengan
penggarapan tersebut. Bila tidak dikerjakan, dan lokasi itu dibiarkan tanpa
digarap untuk beberapa waktu, maka ada kemungkinan para roh akan
menyesal memberikan izinnya. Empat hari setelah penggarapan pertama
ini syarat kampung membagi tanah garapan kepada peminat.
Setelah pekerjaan wei selesai, jadi dataran tanah hutan ini telah bersih,
maka ditebanglah pohon-pohon besar ini (tughori) dan untuk ini pun
pande kotika kembali menentukan hari baiknya. Cara yang dia pakai sama
dengan cara menentukan hari di mana si pande solo akan melihat lokasi
untuk pertama kali dan meminta izin kepada roh-roh. Dalam hal tughori
ini dilakukan pada hari yang tidak baik, maka yang akan menebang
ditindis oleh pohon-pohon yang ditebang. Cukuplah lagi kalau hanya satu
pohon saja yang ditebang pada hari yang sudah ditentukan. Setelah semua
pohon ditebang, maka ada pembakaran (desula rea atau kalibu). Juga
untuk ini si pande kotika harus menentukan hari baiknya. Hari ini
ditentukan sesuai dengan letak bintang tiga fele.
243
Bila bintang tersebut terlihat pada waktu matahari terbenam di bagian
barat langit pada ketinggian yang sama dengan matahari berada pada jam
tiga sore, maka ini adalah waktu yang baik untuk memulai dengan
pembakaran. Pada waktu bintang berada pada posisi ini, biasanya banyak
angin tanpa hujan. Pembakaran ini dimulai pada hari Selasa, Rabu, atau
Kamis. Hari-hari lainnya adalah hari nahas. Apabila pada hari baik itu
turun hujan, maka ini adalah tanda bahwa roh-roh marah karena ada
sesuatu yang tidak baik yang terjadi di kampung, umpamanya terjadi
perbuatan inses (hubungsn seks antara keluarga dekat), perzinahan,
kelahiran anak cacat berbentuk ular, buaya atau katak. Dilakukan
pemeriksaan di semua kampung oleh syarat kampung. Pembakaran
biasanya dilakukan 10-30 hari sebelum musim barat. Sebelum menanam
akan diadakan lagi pesta kasuke, yang bertempat di tengah-tengah lokasi.
Ladang-ladang yang secara rutin ditanami setiap tahun tidak memerlukan
semua upacara ini, hanya ladang yang sudah lama tidak terpakai dan
hendak digarap lagi.

16.3. Menentukan Hari Menanam


Paling lama empat hari setelah pesta kaago-ago, sang pande kotika
menentukan hari baik untuk mulai menanam. Cara yang sama pula diikuti,
yaitu dengan hitungan jari tangan sebagaimana diutarakan sebelumnya. Di
sinilah mulai dihitung dari hari pertama bulan muda. Hari-hari baik adalah
hari yang pertama, yang ke-4, ke-7, ke-10, ke-13, ke-16, ke-19, ke-22, ke-
25, dan yang ke- 28, terhitung dari pukul 13.00 sehari sebelumnya sampai
pukul 13.00 dari hari tersebut di atas. Akan tetapi, perlu pula

244
diperhitungkan dengan hari-hari dan bulan yang nahas. Penentuan hari dan
bulan yang nahas adalah sama menentukan hari pernikahan.
Selanjutnya, perlu juga diperhitungkan posisi bintang kembar yang
disebut ea-ea ngkululi. Selama bintang kembar ini masih kelihatan di
bahagian barat sesudah matahari terbenam, maka dilarang menanam. Bila
tetap dilakukan akan mengakibatkan panen gagal. Jadi, kalau umpamanya
hari ke-16 hari yang baik, tetapi sesudah matahari terbenam bintang ini
masih kelihatan di bahagian barat, maka ini berarti tidak baik (pemali)
untuk mulai menanam.
Untuk menanam dalam musim timur, bintang ini harus kelihatan di
bagian timur pada ketinggian yang dapat diukur dengan jalan sebagai
berikut. Dalam keadaan duduk jongkok, tangannya ditempatkan setinggi
wajah dengan jari telunjuk dan ibu jari sekangkang mungkin, sedemikian
rupa sehingga bagian tengah antara kedua jari sama tinggi dengan ujung
hidung, maka bintang itu terlihat selaras dengan bagian tengah tersebut.
Adakalanya, dalam musim hujan sebagian penduduk tidak
memperhitungkan ea-ea ngkululi dan mulai menanam setelah bintang fele
tidak kelihatan lagi di bagian barat. Ini adalah kurang lebih 20 hari setelah
terbenamnya bintang ea-ea ngkululi.
Acara menanam tidak perlu dilakukan serentak oleh semua penggarap
ladang pada hari yang ditentukan pande kotika itu. Cukuplah bila pada hari
itu telah ditanam beberapa biji pada satu lubang. Kalau itu sudah terjadi,
maka setiap penggarap dapat mulai menanam kapan-kapan saja sesuai
dengan keinginannya.

245
16.4. Panen Jagung
Yang tertera di bawah ini berlaku untuk semua Pulau Muna, termasuk
bharata Lohia. Bahan ini disampaikan kepada saya oleh pande kotika dan
pande solo yang sudah disebut sebelumnya dari Tongkuno, Lawa,
Lahontohe, dan Lohia
Hari awal untuk panen ditentukan oleh pande kotika. Hari-hari baik
adalah sama sebagaimana berlaku untuk mengolah ladang-ladang baru
termasuk perhitungan hari-hari nahas. Ditambahkan di sini, bahwa untuk
memanen harus pula diperhitungkan keadaan laut, dalam hal ini, pada hari
yang telah ditentukan oleh pande kotika, panen belum boleh dimulai
sebelum saat air laut mulai pasang (naik), ini berarti bisa pagi atau sore
hari. Sudah menjadi kepercayaan bahwa apabila mulai panen sebelum saat
air pasang, jadi pada waktu air masih surut (turun), maka hasil panennya
juga akan berkurang. Sebaliknya, bila ditunggu saat air pasang, maka hasil
panen pun akan banyak.
Pada hari yang ditentukan oleh pande kotika dan pada jam yang baik
(saat air pasang) semua penduduk yang akan memanen menuju lokasi
bersama seorang parika. Tiba di ladang ini, sang parika menempatkan diri
pada salah satu sudut di ladang tersebut lalu memetik tiga buah tongkol
jagung dari satu pohon jagung yang tumbuh dari satu lubang di sudut
ladang itu (kadang kala ada dua atau tiga pohon yang tumbuh dari satu
lubang). Lalu dari dua atau tiga batang jagung itu diikat bersama.
Kemudian ia menuju ke sudut lainnya dengan memutar ke kiri dan pada
setiap sudut ia juga memetik tiga tongkol. Namun, batang jagung di sudut
lainnya tidak diikat. Jadi, sekarang ia telah mengumpulkan 12 tongkol
jagung dalam sarungnya. Maksud pengikatan batang pohon jagung pada
246
sudut pertama adalah untuk mencegah larinya roh jagung. Dengan
membawa 12 tongkol jagung itu, si parika menuju tengah-tengah ladang
dan mencabut pohon-pohon jagung yang tumbuh dari satu lubang dengan
akar-akarnya. Maksudnya supaya roh jagung tidak bisa lari. Kemudian, ia
melangkah ke bhantea (sebuah pondok di ladang) dan di sini
diletakkannya pohon jagung yang dicabut serta 12 tongkol jagung.
Selesai semua ini, para penduduk boleh panen jagung, tetapi harus
dimulai dari sudut ladang di mana pohon jagung diikat oleh sang parika.
Memegang sebuah tongkat (yang disebut paratongku) yang pada ujungnya
terbelah, di mana menjemput daun-daun sio. Di antara daun-daun sio ini
terdapat lagi rumput karewu-rewu dan lakoora. Maksud dari tongkat itu
adalah agar dapat banyak membawa hasil (tongku=pikul), sedangkan daun
sio adalah untuk melarikan roh-roh jahat yang dapat mencuri hasil panen.
Bila roh jahat melihat daun sio ini, mereka akan lari. Maksud dari rumput
karewu-rewu adalah untuk memperoleh beribu-ribu hasil dan maksud daun
lakoora supaya rezeki (roh-roh yang baik) tetap tinggal di ladang dan tidak
menghilang (koora= tahan).
Lagi pula pada waktu mengelilingi ladang itu, sang parika menyeru
“kru…..,ku, ku, ku, ku kru….,ku, ku, ku, ku,.” Maksudnya juga agar tetap
mempertahankaan roh yang baik di dalam batas ladang itu.

16.5. Panen Padi


Hari awal panen padi juga ditentukan oleh pande kotika, dengan cara
yang sama seperti yang berlaku untuk panen jagung. Begitu pun untuk
panen padi harus diperhitungkan saat pasang air laut. Pada jam yang telah
ditentukan para penduduk bersama parika menuju ladang yang hendak

247
dipanen. Sang parika menempatkan dirinya di salah satu sudut, kemudian
memetik setangkai padi dari pohon padi di sudut. Selanjutnya ia
mengelilingi ladang tersebut dengan memutar ke kiri sambil memegang
tongkatnya (paratongku) seraya memanggil “ kru….,ku, ku, ku”. Pada
sudut ketiga lainnya ia juga memetik setangkai padi. Maksudnya menutup
jalan keluar dari ladang. Kalau roh padi telah lari dari ladang, akan
mengakibatkan panen butir-butir padi yang tidak berisi.
Di sudut ladang yang pertama, sang parika menempatkan seseorang
(kaghimpi) yang memegang sebuah tabung bambu yang berisi empat jenis
akar-akar, yaitu wonta, dariango, pumpu, dan bhangule. Bila tabung
bambu yang berisi akar itu dilihat oleh roh jahat, maka mereka akan lari
dan terhindar dari pencurian padi.
Apabila sang parika selesai mengelilingi seluruh ladang, maka dengan
keempat tangkai padi itu ia menuju ke tengah ladang dan ia memetik pula
setangkai padi dari pohon persis di tengah-tengah. Kemudian ia
membungkukkan keempat pohon padi yang tumbuh sekeliling pohon padi
yang di tengah, pada pohon yang di tengah (jadi semuanya lima tangkai
padi) lalu mengikatnya bersama. Di antara kelima pohon itu diselipkan
kelima tangkai padi yang dipetik tadi. Ini disebut kafematai. Maksudnya
ialah agar roh padi tidak akan lari. Selama melakukan acara ini, sang
parika mengunyah akar dariango. Setelah kelima pohon padi itu dan
kelima tangkai padi terikat menjadi satu, sang parika kemudian berjalan
mengelilinginya sambil meludahi tanaman itu dengan air dariango itu.
Tujuannya bila padi ditumbuk, padi tersebut tidak hancur sama sekali.
Selesai dengan ini, sang parika menuju ke bhantea di mana telah
tersedia semua ani-ani (pisau pemotong padi) yang akan dipakai untuk
248
panen ini. Ani-ani ini juga diludahi. Artinya agar ani-ani ini hanya dipakai
untuk memotong tangkai-tangkai padi yang menghasilkan banyak butir
padi. Akhirnya, sang parika kembali menuju sudut ladang pertama (tempat
ia telah memetik tangkai pertama dan tempat berdirinya si kaghimpi); di
situlah sang parika memotong padi segenggam penuh. Setelah semua ini
selesai, barulah para penduduk dapat mulai memanen.
Mereka pun turut ambil bagian berbaris di sebelah kanan si kaghimpi;
yang menutup barisan adalah sang parika. Jadi, para penduduk mengambil
tempat di bagian kiri sang parika. Mulailah barisan itu maju lurus sambil
memotong padi dan bila mencapai ujung ladang di seberang, barisan ini
kembali (tanpa memotong) kepada posisi awal. Setelah membentukan
barisan seperti tadi, acara memotong padi diteruskan. Selama ini acara
memotong padi sang parika tidak diperkenankan meninggalkan ladang
karena alasan apapun, karena bila ia tidak hadir, maka para roh jahat masih
dapat saja menguasai panen ini. Apabila sang parika harus meninggalkan
ladang untuk sejenak, maka pekerjaan panen harus dihentikan dan sang
parika harus mengikat daun padi yang telah dipotong dengan daun yang
belum dipotong. Maksudnya ada dua, yaitu pertama roh padi tidak akan
meninggalkan ladang tersebut sehingga butir-butir padi yang dipanen
selanjutnya kosong, dan yang kedua agar para roh jahat tidak dapat
melanjutkan panen serta melarikan hasilnya. Mengikat dan menyatukan
daun-daun itu diadakan pula pada waktu dihentikan pekerajaan panen
dalam satu hari.
Pada akhir hari pertama panen padi, diadakan pesta yang disebut
tobheha. Ini adalah suatu pesta lagi di mana diadakan banyak makan dan
minum. Para gadis muncul dengan pakaian yang terindah dan
249
menyanyikan lagu-lagu (kantola) yang diiringi dengan pukulan gendang.
Pesta ini sering berjalan semalam suntuk.
Di samping kehadirannya pada saat panen, sang parika juga
mempunyai tugas mengawasi ladang sejak menanam sampai panennya.
Untuk itu, maka biasanya ia pergi meninjau ladang tersebut sekali
seminggu. Sambil berjalan di antara tanaman ia meniup ke kiri dan ke
kanan. Pada kurun waktu itu, jadi selama padi bertumbuh di ladang, sang
parika tidak boleh memotong rambut dan kukunya dan tidak boleh makan
nasi dari panen baru. Bilamana ia memotong rambutnya dan kukunya,
nanti akan banyak terdapat tikus dan hama lainnya. Apabila ia makan nasi
dari panen baru pada waktu itu, maka padi yang sedang tumbuh di ladang
akan hancur. Biasa terjadi, bahwa beberapa hari sebelum panen, padi di
ladang kelihatan bagus sekali dengan tangkai yang berat, tetapi pada hari
panennya semuanya atau hampir semua butir-butir padi ternyata kosong.
Hal ini terjadi karena kurang hormatnya sang parika pada roh-roh.
Karena itu, mereka marah dan telah menghabiskan butir-butir padi.
Tanaman padi ini bisa juga gagal atau diserang penyakit karena berbagai
sebab, antara lain bila seseorang berjalan di antaranya dengan membawa
daging yang masih berdarah atau dengan seikat kayu hutan. Juga bila
seseorang melewati tanaman padi dengan membawa padi hasil panen dari
ladang yang lain, maka bisa terjadi roh beralih ke padi yang baru dipotong
sehingga bulir-bulir padi di ladang akan kosong. Bila tanaman itu dilewati
wanita yang sedang haid, panen pasti akan gagal. Orang asing dilarang
melewati tanaman padi karena dikhawatirkan mereka akan melakukan
sesuatu atau membawa sesuatu yang akan menggagalkan panen. Ketentuan

250
dan kepercayaan ini kadang-kadang tidak diperhatikan, sehingga akan
menimbulkan perkelahian yang hebat.
Bila ada gangguan dari babi liar dalam kebun, walaupun terdapat
pagar yang utuh, maka ia berarti ada hubungan yang terlarang antara
seorang gadis yang belum kawin dan seorang laki-laki yang sudah beristri.
Untuk tanaman-tanaman lainnya seperti ubi, termasuk panennya, tidak
berlaku ilmu-ilmu dan kepercayaan semacam ini. Sebagaimana telah
disinggung di atas, tugas pande kotika, pande solo,dan parika biasanya
dirangkap satu orang. Tidak semua kampung mempunyai seorang
penghubung roh. Adakalanya, untuk sejumlah besar kampung hanya
terdapat satu orang pande kotuka, pande solo ataupun seorang parika.
Sebagai contohnya, di distrik Lawa dan Tongkuno, satu-satunya orang
yang menguasai ilmu roh ini adalah mino Wamelai (La Kaene); karena itu
ia selalu dipanggil bila ada pembukaan ladang atau acara panen di kedua
distrik itu. Juga terjadi bahwa ladang yang digarap pertama pada hari yang
ditentukan adalah milik sang pande kotika, tetapi ini tidak ada arti
tersendiri, tetapi hanya sebagai suatu kehormatan untuk sang pande kotika.

16.6. Status Kepemilikan


Bagi orang Muna, agama adalah segalanya, walaupun hanya segi
hakikat yang merupakan keutamaan dalam agama. Nilai-nilai yang
terkandung dalam norma tersebut merupakan nilai pengutamaan
kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi atau golongan, nilai
penegakan dan ketaatan pada hukum, serta pengutamaan nilai-nilai
kebenaran berdasarkan ajaran agama Islam. Norma ini merupakan patokan
dari berbagai aturan lainnya, seperti dalam berbagai kegiatan

251
kemasyarakatan termasuk perilaku sehari-hari, dalam mengelola mata
pencaharian, dan dalam segala tingkah laku masyarakat. Dalam hubungan
dengan mata pencaharian, norma-norma adat di Muna telah memberikan
aturan-aturan yang cukup. Mata pencaharian utama orang Muna adalah
bertani. Sesuai dengan kondisi lahan yang pada umumnya merupakan
lahan kering, bentuk pertanian yang dilakukan adalah pertanian lahan
kering atau perladangan. Masalah tanah telah diatur penggunaannya
menurut adat. Di zaman kerajaan dahulu, semua tanah merupakan milik
sarano wite (pemerintah pusat). Pemanfaatan lahan ditetapkan oleh sarano
wite yang mencakup berbagai keperluan, seperti batas-batas wilayah
pemerintahan, perladangan, hutan, perburuan, perkuburan, dan wilayah-
wilayah larangan. Dalam banyak hal, pelaksanaannya dipercayakan
kepada sarano liwu (pemerintah kampung) untuk mencapai tingkat
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan yang lebih efisien dan efektif.
Status hak milik atas tanah secara pribadi, pada prinsipnya tidak
dibenarkan oleh adat, yang ada hanyalah hak pakai. Sehubungan dengan
hak pakai, menurut adat terdapat beberapa bentuk hak sebagai berikut. (1)
Ome, ialah sebidang tanah bekas perladangan yang ditumbuhi hutan atau
semak-semak tanpa tanda-tanda bukti yang menunjukkan bahwa tanah itu
pernah diolah, kecuali penyaksian oleh masyarakat setempat dan oleh
sarano liwu (pemerintah kampung). Apabila tanah ome akan diolah
kembali, prioritas utama diberikan kepada pengolah pertama. Kalau
pengolah pertama pada kesempatan satu musim tanam tidak bersedia
mengolahnya, sarano liwu dapat menunjuk orang lain untuk mengolahnya
tanpa membayar kerugian. Pengolahan dengan orang lain dapat dilakukan
dengan dua cara. Pertama, apabila tanah itu hanya ditanami dengan
252
tanaman jangka pendek untuk satu atau dua musim tanam dengan pagar
kayu sederhana sekadar mencegah serangan hama babi, dan setelah itu
ditinggalkan lagi lalu menjadi ome kembali, hak untuk pengolahan
berikutnya tetap diprioritaskan kepada pengolah pertama. Prioritas pertama
yang dimiliki dapat diturunkan kepada ahli warisnya. Kedua, apabila orang
lain memagari tanah itu dengan pagar permanen berupa susunan batu-batu
yang teratur rapi, ditanami dengan tanaman jangka panjang, tanah ini
beralih statusnya dan hilanglah hak pengolah pertama. (2) Tondo-tondo,
yang biasa juga disebut kalibu, ialah sebidang tanah yang pernah diolah
beberapa musim tanam dan sedikit banyaknya telah mempunyai tanda-
tanda bukti pengolahan. Hak pakai yang melekat pada pengolahannya
lebih kuat daripada hak pakai pada ome. Status tanah ini agak kuat
sehingga tidak bebas lagi untuk diolah oleh orang lain. Akan tetapi, kalau
ditelantarkan secara terus-menerus dalam jangka waktu lama sehingga
ditumbuhi hutan atau semak-semak, status tanah ini dapat dirubah kembali
menjadi ome. (3) Dasa, ialah sebidang tanah yang oleh pengolahannya
telah dipagari dengan batu secara permanen, baik telah ditanami dengan
tanaman keras maupun belum, atau telah ditumbuhi hutan atau semak
ataupun belum. Hak pakai jenis ini cukup kuat, tak bebas lagi diolah orang
lain tanpa seizin pengolahnya yang harus diketahui sarano liwu. Hak ini
dapat diturunkan kepada ahli warisnya. (4) Kaindea, ialah sebidang tanah
yang penuh dengan tanaman keras, seperti kelapa, aren, cempedak, dan
langsat terus berproduksi. Hak pakai pengolahannya kuat sekali dan dapat
diturunkan kepada ahli warisnya. (5) Bungi, ialah sebidang tanah yang
diberikan kepada seorang bangsawan karena jabatannya dalam sarano wite
(pemerintah pusat) yang ditanami dengan tanaman keras. Hak pakai dapat
253
diturunkan kepada ahli warisnya. Kalau tanah ini tidak diolah sehingga
ditumbuhi hutan, dapat beralih status menjadi ome. (6) Kagholei, ialah
tanah-tanah jabatan yang diperuntukkan khusu bagi para pejabat sarano
wite. Hak yang dimiliki hanyalah untuk memetik hasil. Hak ini hilang
setelah berhenti dari jabatannya dan beralih kepada pejabat yang
menggantikannya. (7) Kasasi, ialah areal hutan, baik yang sudah pernah
diolah kembali, kecuali atas izin sarano wite.
Pada zaman Kerajaan Muna, pemanfaatan tanah diatur dengan rapi
menurut adat. Hutan-hutan tidak dapat dimusnahkan begitu saja, baik
untuk pereluan pertanian/perladangan maupun untuk keperluan lain-lain.
Jika ada seorang yang membuka hutan tanpa seizin sarano wite, dapat
dikenakan hukuman berat. Gagasan dan pelaksanaan pelestarian
lingkungan seperti yang sedang digalakkan sekarang, juga telah berakar
pada adat mengenai tanah di Muna sejak zaman kerajaan dahulu. Sistem
pertanian yang berpindah-pindah di masa lampau, tidak lain adalah cara
berpindah dari ome ke ome, bukan dari kawasan hutan ke kawasan hutan
yang lain.
Perkembangan penduduk secara alamiah mengakibatkan tanah-tanah
ome tidak dapat lagi menampung keluarga-keluarga baru untuk berladang,
memungkinkan dapat menurunnya tingkat kesejaterahan penduduk. Oleh
karena itu, sarano wite bersidang untuk mencari dan menetapkan areal-
areal hutan mana yang mungkin dapat dibuka sebagai tanah pertanian atau
perladangan baru. Penetapan kawasan hutan untuk tanah perladangan baru
selalu mempertimbangkan perlunya pelestarian hutan produksi, habitat
satwa liar, seperti rusa, kerbau, sapi, ayam hutan, dan lebah. Kawasan
hutan yang dibuka, kelak menjadi tanah ome milik keluarga-keluarga baru.
254
Sesuai dengan status pemilikan tanah oleh penduduk, yakni hak pakai,
norma adat tidak memperkenankan warga masyarakat menggadaikan,
apalagi menjual tanahnya. Peminjaman tanah untuk digarap oleh orang
lain dari luar kampung dapat dibenarkan, tetapi dengan setahu sarano liwu
(pemerintah kampung). Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya
ketika datang Belanda, si pemilik hak pakai berhak memperolah jaminan
pinjaman sebesar 30 sen, yang ditetapkan oleh sarano liwu, tanpa
memperhitungkan jenis, jumlah hasil, dan luas tanah.
Orang asing yang tidak menetap di Muna, tidak berhak menggarap
tanah. Akan tetapi, kalau menetap, dapat diberikan tanah garapan oleh
sarano liwu atas persetujuan sarano wite.
Proses produksi sehubungan dengan pembukaan kawasan hutan baru,
sampai dengan pascapanen, dilakukan dengan upacara. Upacara itu
dilakukan sehubungan dengan keyakinan orang Muna pada waktu itu yang
percaya bahwa hampir semua tempat, termasuk di hutan dihuni oleh roh
halus yang harus diakui peranan dan pengaruhnya terhadap kehidupan
manusia. Benda-benda, tumbuh-tumbuhan, dan binatang-binatang
mempunyai roh, setidak-tidaknya pada tempat-tempat tertentu. Orang
Muna mengakui kehadiran roh-roh halus, termasuk juga hak, kewajiban,
dan bahkan peranannya di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Oleh
karena itu, manusia harus selalu berkomunikasi dengan mereka dalam
berbagai kegiatannya. Sarana komunikasi yang utama ialah melalui
berbagai upacara, baik upacara kelahiran, kematian, kegiatan pertanian
yang bersifat permohonan, penyampaian rasa syukur, maupun permintaan
berkah dan lain-lain.

255
Dalam perladangan, misalnya, mulai dari pembukaan hutan sampai
dengan pascapanen, tidak kurang 10 jenis upacara yang harus dilakukan
secara adat dan harus dipatuhi oleh semua petani. Jika tidak dipatuhi, roh-
roh halus akan marah. Hal ini dapat mangakibatkan bencana berupa
gagalnya panen atau sakit-sakitan, bahkan bisa mencabut nyawa. Sanksi
terakhir dari suatu pelanggaran terhadap norma-norma tabu, jelas dan
cepat akan mendapat hukuman dari roh-roh halus berupa penyakit dan
penderitaan hingga mati (Redclife-Brown, in Solomon, 1965: 951).
Upacara-upacara dalam proses produksi (dalam La Ode Abdul Rauf,
1996), meliputi (1) Findahi wite, upacara pertama waktu membuka
ladang, bertujuan mengetahui apakah tanah dimaksud cocok untuk diolah
atau tidak. (2) Kaago-ago, upacara menyambut kedatangan wakutuuno
bhara (musim barat), yakni memohon keselamatan dan meminta bantuan
roh-roh supaya dalam musim ini terhindar dari marabahaya dan usaha
pertanian berhasil dengan baik. (3) Ghoti katumpu, memberi makan pada
puntung-puntung kayu bekas tebang yang masih berdiri. Upacara ini
diadakan setelah lahan siap ditanami. Tujuannya adalah memohon
keselamatan dan menjinakkan roh-roh halus agar tidak mengganggu
tanaman. (4) Kafematai, upacara penaburan bibit pertama, bertujuan agar
tanaman tumbuh subur dan berhasil, tidak diganggu oleh hama dan
pemilik kebun selalu sehat. (5) Katisa, upacara menanam yang dihadiri
kerabat dan dihandai taulan, dengan maksud agar tanaman berhasil. Jika
upacara ini tidak diadakan, isi jagung tidak akan penuh. (6) Fotobo,
upacara yang dilakukan ketika tanaman jagung mulai berbunga.
Dimaksudkan agar tanaman berbunga cepat, berbuah lebat, dan sehat. (7)
Bhelai, upacara yang dilakukan ketika jagung berumur 70 hari, kulit buah
256
telah menguning. Upacara ini dimaksudkan sebagai panen pertama. (8)
Foampe, upacara pemberian sajian kepada roh-roh halus, dimaksudkan
untuk menikmati lebih dahulu hasil panen pertama. (9) Katumbu, upacara
berupa pesta yang dihadiri oleh sejumlah undangan sebagai tanda syukur
kepada roh-roh yang telah memelihara tanaman hingga berhasil. (10)
Detongka, upacara panen kedua, yaitu ketika jagung berumur 90 hari
setelah kulitnya mulai kering.
Kegiatan yang tidak kurang beratnya dalam proses produksi, ialah
pemeliharaan tanaman, yaitu membersihkan kebun sebanyak dua kali
hingga jagung dipanen, menjaga hama babi semalam suntuk sejak mulai
menanam hingga panen, menjaga hama monyet sejak berbuah hingga
panen, memperbaiki pagar akibat kerusakan-kerusakan yang diderita
akibat hama babi dan sebagainya. Masih termasuk dalam usaha-usaha
pemeliharaan ialah meninggalkan berbagai pantangan, seperti perempuan
haid tidak boleh masuk ke kebun. Selain itu, ada dua hal yang dapat
mendatangkan malapetaka bagi usaha-usaha pertanian, yaitu melakukan
zinah dan melahirkan anak yang tidak lengkap. Apabila kedua hal ini
terjadi akan mendatangkan bencana besar berupa kemarau panjang yang
dapat mengagalkan tanaman seluruh penduduk sehingga bencana
kelaparan tidak dapat dihindari. Apabila terjadi kelahiran anak yang tidak
lengkap, diadakanlah upacara untuk membuang anak itu ke sebuah danau
yang telah ditetapkan secara khusus untuk melakukan upacara itu.
Upacara-upacara tersebut merupakan lambang-lambang keyakinan orang
Muna sehubungan dengan eksistensi roh-roh halus di lingkungan
kehidupannya. Dengan lambang-lambang inilah orang Muna terikat dalam

257
satu kesatuan ritual yang menciptakan rasa solidaritas. Jika lambang suatu
masyarakat telah ditetapkan, semua pengikut harus taat.
Jika upacara-upacara tersebut diamati secara mendalam, ternyata
mengandung tujuan yang baik, dilandasi nilai-nilai luhur sesuai dengan
norma-norma sosial yang amat ditaati. Nilai-nilai kebersamaan, ketaatan,
dan kedislipinan mewarnai pelaksanaan upacara-upacara, walaupun
kurang menonjolkan faktor-faktor yang bersifat rasional.
Masyarakat memandang bahwa dalam hidup ini manusia terikat
dengan lingkungannya. Wujud lingkungan itu meliputi alam luas ini
sebagai suatu sistem makrokosmos. Alam flora dan fauna dipandang
sebagai bagian dari sistem makrokosmos bersama-sama dengan manusia.
Sehubungan dengan itu, alam yang lain itu mempunyai hak dan kewajiban,
serta peranan-peranan. Oleh karena itu, manusia harus bersahabat dengan
kehidupan lain dan tidak boleh sewenang-wenang. Perbuatan sewenang-
wenang terhadap lingkungan, dianggap melanggar norma-norma. Pohon-
pohon tidak boleh ditebang tanpa aturan, karena di sana ada kehidupan
gaib berupa roh-roh, demikian pula binatang-binatang, dan benda-benda
tertentu.

258
XVII. Lembaga Peradilan
Couvreur (1935) menjelaskan bahwa pengadilan diatur dalam surat
keputusan Gubernur Sulawesi dan daerah takluknya (Gouverneur Van
Celebes en Onderhoorigheden) nomor 1672/II tertanggal 20 Oktober
1923, kemudian diubah dengan SK Gubernur tersebut nomor 1448/II
tertanggal 18 September 1926.

Sesuai surat keputusan itu, pengadilan negeri dilaksanakan:


1. Pengadilan Kecil (hadats kecil) [pada tingkat distrik] untuk
mengadili semua pelanggaran kecil, kejahatan ringan dan perkara
perdata yang persoalannya tidak melebihi nilai Rp 100.
2. Pengadilan Besar (hadats besar), untuk mengadili perkara-perkara
lainnya, baik pidana maupun perdata yang bukan wewenang
Pengadilan Tinggi (Raad van justitie) {di Makassar}.

Zaman dahulu sistem pengadilan di Muna lebih banyak hakim, yaitu:


1. Syarat Muna.
2. Seorang ghoerano didampingi beberapa kino dan mino.
3. Seseorang kino atau mino didampingi bhontono liwu atau
kamokulano liwu.
4. Bhontono liwu atau kamokulano liwu didampingi parabhela dari
kampung itu. Apabila tidak ada parabhela di kampung itu, maka
dapat diganti oleh orang tua di kampung yang bisa dicalonkan untuk
menjadi bhonto kamokula.

Syarat Muna sebagai majelis pengadilan terdiri atas:


 Bhonto bhalano sebagai ketua;

259
 Keempat ghoerano sebagai anggota; dan
 Mintarano bhitara sebagai jaksa.

Raja Muna tidak termasuk dewan pengadilan, tetapi semua keputusan


harus diserahkan kepada raja Muna untuk memperoleh pengesahan. Para
kapitalao bukan anggota majelis pengadilan. Namun, selalu hadir pada
sidang pengadilan untuk menjaga tata tertib sidang.
Para ghoerano hanya mengadili di wilayah masing-masing.
Keputusannya diberikan setelah ghoerano bermusyawarah dengan
pendampingnya. Ghoerano Tongkuno mempunyai dua pendamping, yaitu
mino Tondo sebagai pendamping tetap dan yang kedua seorang kino atau
mino dari kampung di mana sidang hukum tersebut dilakukan.
Ghoerano Lawa juga mempunyai dua pendamping; yang tetap adalah
mino Kaliwu-liwu dan yang lainnya seorang kino atau mino dari kampung
yang bersangkutan.
Ghoerano Kabawo didampingi oleh tiga orang; dua orang
pendamping tetap yaitu mino Karo dan mino Kafofo, sedangkan
pendamping yang ketiga adalah seorang kino atau mino dari kampung
yang bersangkutan.
Ghoerano Katobu juga didampingi tiga orang; yaitu mino Labaluba
dan mino Lafinde sebagai pendamping tetap dan yang ketiga seorang kino
atau mino dari kampung yang bersangkutan. Para pendamping tetap harus
selalu hadir pada setiap sidang pengadilan, walaupun sidang tersebut tidak
dilaksanakan di kampung mereka sendiri.

260
Selain majelis tersebut di atas, suatu keputusan hukum juga dapat
dilaksanakan oleh seorang pejabat agama, tetapi hanya dalam persoalan
saling mencaci maki atau perkelahian di kampung.
Dalam mengadili suatu perkara, baik pidana maupun perdata,
tersangka atau tergugat dapat memilih majelis mana yang akan mengadili
perkaranya. Sebelum perkaranya diajukan ke meja hijau, hal ini selalu
ditanyakan kepada yang bersangkutan. Apabila tersangka atau tergugat
sudah menentukan pilihannya, maka hal ini tidak dapat diubah lagi; naik
banding pada majelis tinggi juga tidak mungkin lagi. Hanya untuk perkara
pidana di mana ada tuntutan hukuman mati atau pengasingan, tidak ada
kebebasan memilih majelis, karena perkara semacam ini hanya dapat
diproses oleh Syarat Muna.
Selanjutnya terdapat pula beberapa pelanggaran lain yang dihukum
dengan denda uang. Perkara ini termasuk kekuasaan hakim tertentu.
Pelanggaran-pelanggarannya sebagai berikut.
1. Apabila seorang maradika atau wesembali menyapa seorang La Ode
atau walaka dan menyebutnya dengan kata La atau bhela (=teman).
Pelanggaran ini hanya dapat diadili oleh Syarat Muna dan hukuman
denda sebesar 11 bhoka=Rp 26,40.
2. Apabila seorang maradika atau wesembali dengan sengaja menyapa
anak-anak dari tingkat mino atau kino dengan kata tersebut, maka
perkara ini hanya boleh diadili oleh ghoerano.
3. Mengumpul dan menjual kayu tanpa izin Syarat Muna, seperti kayu
jati, fafa, ghefi, cendana, buli, dan hasil lainnya. Pelanggran ini
diadili oleh Syarat Muna dan dihukum dengan denda sebesar 11
bhoka. Penganiayaan ringan terhadap anak atau istri seorang pejabat
261
mulai dari tingkat minoatau kino ke atas, atau mengganggu istri
pejabat-pejabat, semua pelanggaran ini diadili juga Syarat Muna.
4. Perselisihan atau perkelahian antara pasangan suami istri yang
hidup bersama tanpa pernikahan secara resmi, pengadilannya
termasuk kekuasaan seorang kino atau mino. Perselisihan atau
perkelahian pasangan suami istri yang menikah sah tidak dicampuri,
kecuali bila terdapat luka berat atau menyebabkan kematian.
Selanjutnya ada peraturan bahwa perkara seorang La Ode dan walaka
tidak dapat disidangkan oleh seorang hakim di bawah tingkat ghoerano.
Hal ini jelas karena pada masa lampau, semua orang dari golongan La Ode
dan walaka berdiam di Kota Muna. Jadi, para kino atau mino dan sarano
liwu hanya dapat mengadili perkara dari golongan maradika dan
wasembali.
Selain itu, tidak ditentukan perkara-perkara mana yang harus diadili
oleh seorang hakim atau majelis tertentu. Sebagaimana telah disinggung,
para tergugat dapat memilih hakim mana yang akan mengadili mereka.
Jadi, perkara-perkara yang paling kecil dari seorang maradika atau
wasembali boleh diadili oleh sarano liwu atau syarat kampung. Suatu
perkara yang diadili oleh seorang hakim tingkat atas selalu membawa
denda yang lebih tinggi, karena setiap hakim terikat pada ketentuan-
ketentuan pemberian denda. Umpamanya, seorang ghoerano tidak bisa
memberi denda di bawah sepuluh suku= Rp 6.
Namun, seorang hakim tidak diperkenankan memutuskan tingkat
denda yang seharusnya berada pada tingkat hakim yang lebih tinggi atau
lebih rendah. Apabila hal ini dilakukan, maka hakim itu sendiri didenda
dengan keharusan membayar jumlah denda yang sama dengan denda yang
262
dia kenakan pada orang. Umpamanya, bila sarano liwu memutuskan denda
sebesar 10 suku yang sebenarnya adalah wewenang ghoerano, maka
sarano liwu itu dikenakan denda yang sama pula. Juga sama halnya, bila
ghoerano memutuskan denda sebesar 10 bhoka, maka ghoerano ini harus
pula membayar denda 10 bhoka.
Sebaliknya terjadi juga. Apabila seorang ghoerano memutuskan denda
Rp 3 yang sebenarnya adalah wewenang seorang kino atau mino, maka
ghoerano ini harus pula membayar denda yang sama itu. Jelaslah, bahwa
tidak diperbolehkan memutuskan suatu denda apabila bukan wewenang
dari hakim yang bersangkutan.
Hukuman yang dapat diberikan adalah:
a. hukuman mati;
b. dibuang keluar daerah (pengasingan);
c. denda; dan
d. dijadikan budak.
Selain ini tidak ada hukuman. Hukuman mati dan hukuman dibuang
keluar daerah (pengasingan) hanya dapat diputuskan oleh Syarat Muna.
Seorang ghoerano adalah hakim terendah yang dapat memutuskan
hukuman dijadikan budak. Hukuman ini juga dapat diputuskan oleh Syarat
Muna, tetapi hukuman ini jatuh di luar wewenang para hakim yang lebih
rendah.

17.1. Hukuman Mati


Hukuman mati diputuskan untuk kejahatan sebagai berikut.

263
1. Bermufakat jahat dengan orang di luar daerah untuk bersama-sama
melawan Syarat Muna, untuk membunuh orang atau untuk
mengambil budak di Muna.
2. Seorang pria dari golongan maradika yang bersenggama dengan
wanita dari golongan Wa Ode atau walaka.
3. Seorang wanita Wa Ode atau walaka yang hidup bersama (tanpa
pernikahan sah) dengan pria dari golongan maradika.
4. Hidup bersama antara seorang ayah dengan anak tirinya.
5. Berzinah.
6. Pemerkosaan, baik terhadap wanita dewasa atau terhadap gadis
yang di bawah umur (hanya laki-laki yang dibunuh).
7. Seorang pria maradika yang kawin lari dengan wanita golongan
Wa Ode atau walaka.
8. Seorang maradika yang membunuh seseorang. Apabila
pembunuhnya dari golongan La Ode atau walaka, maka ia dapat
menebus dirinya dengan membayar denda 11 bhoka kepada raja
Muna. Namun, hal ini tidak berlaku untuk golongan maradika.
Setelah membunuh, seorang La Ode atau walaka harus
menghadap raja Muna. Selama 40 hari ia ditahan di rumah raja
Muna, agar selamat dari keluarga pihak korban. Setelah 40 hari ini
ia harus membayar 11 bhoka kepada raja Muna, untuk kemudian
dinyatakan bebas. Keluarga korban tidak boleh lagi melakukan
tindakan balasan terhadap pembunuh itu.
9. Seorang golongan La Ode atau walaka yang menyembunyikan
seorang dengan mengatasnamakan Syarat Muna atau anggota
Syarat Muna.
264
10. Mengadu domba para anggota Syarat Muna.
11. Memfitnah seorang pejabat tanpa dasar. Jika orang yang difitnah
bukan pejabat, tetapi dari golongan La Ode atau walaka, maka si
pemfitnah dihukum mati jika dia sendiri seorang La Ode atau
walaka. Bila si pemfitnah seorang maradika, maka ia dikenakan
hukuman dijadikan budak. Apabila seorang La Ode walaka
memfitnah seorang maradika tanpa dasar, maka si pemfitnah
mendapat hukuman denda sebesar jumlah mas kawin yang berlaku
untuk golongan maradika.
12. Menyerang utusan Syarat Muna yang tidak bersalah di jalan.
13. Mencuri atau membunuh kuda milik seorang La Ode atau walaka
yang dilakukan oleh seorang maradika. Istri dan anak-anak dari
pelaku menjadi budak pihak yang dirugikan. Bila pencurian atau
penbunuhan kuda ini dilakukan oleh seorang La Ode atau walaka,
maka ia dikenakan hukuman denda sebesar11 bhoka.
14. Tersangka sebagai tukang sihir.
15. Apabila seorang maradika menyiarkan berita palsu yang
menghawatirkan masyarakat, sehingga kampung ditinggalkan.
Apabila pelanggaran ini dilakukan oleh seorang La Ode atau
walaka, maka ia dihukum dengan dibuang keluar daerah
(pengasingan).
16. Seorang La Ode atau walaka yang mengganggu istri seorang
anggota Syarat Muna.
17. Seorang La Ode atau walaka yang menikah atau hidup bersama
dengan saudara perempuan istrinya.

265
18. Wanita Wa Ode atau Walaka yang bercabul. Percabulan oleh
wanita maradika tidak dihukum.
Hukuman mati juga dijatuhkan kepada seorang pejabat yang
melakukan kejahatan-kejahatan tersebut di atas, entah itu raja Muna atau
seorang mino. Pelaksanaan hukuman mati untuk kaum La Ode dan walaka
berbeda caranya dengan yang berlaku untuk kaum maradika dan
wesembali. Kaum La Ode dan walaka dihukum mati dengan cara
dilingkari lehernya dengan tali yang tebalnya 50 utas dan kemudian tiap
ujung tali ditarik oleh seorang laki-laki, sampai terhukum meninggal.
Dengan kata lain, terhukum tercekik lehernya sampai mati. Setelah mati,
kepalanya, lengan bawah, ujung tangannya, tungkai bawahnya dan ujung
kakinya dipenggal dan digantung pada jalan menuju ke Kota Muna.
Hukuman mati bagi kaum wanita dilaksanakan dengan cara menguburkan
badan terhukum hidup-hidup sampai batas lehernya, dan kemudian
kepalanya dilempar dengan batu sampai terhukum meninggal.

17.2. Hukuman Pengasingan


Hukuman dibuang keluar daerah atau pengasingan (doghoroe)
diberikan kepada mereka yang membuat pelanggaran atau kejahatan
sebagai berikut.
 Hubungan seks antara orang tua dengan anak kandungnya;
 Hubungan seks dengan kaum wanita yang tidak boleh dinikahi
menurut hukum adat; dan
 Seorang La Ode atau walaka yang menyebarkan berita palsu yang
menghawatirkan masyarakat, sehingga kampung ditinggalkan.

266
17.3. Hukuman Denda
Jumlah hukuman denda (karimbi) yang dapat diberikan adalah:
a. 11 bhoka diputuskan oleh Syarat Muna;
b. 5 bhoka 2 suku diputuskan oleh para ghoerano;
c. 1 bhoka 1 suku diputuskan oleh kino atau mino; dan
d. sarano liwu dapat memutuskan beberapa denda yang ringan,
seperti 5 tali, fitu see lima doi, setibha suku dan setali.

Semua denda yang diputuskan di kampung, yaitu yang diputuskan


oleh kino atau mino dan sarano liwu, biasanya dibagi dua. Setengah untuk
pembelian kameko dan setengah yang lainnya dibagi antara hakim dan
para pendampingnya. Sehubungan dengan kebiasaan ini, maka di Lohia
denda yang rendah ini juga disebut dengan istilah yang agak aneh, yaitu
kalambe mokesa (kalambe=gadis, mokesa=bagus atau sedap). Kameko
yang dibeli dengan uang denda itu katanya “rasanya seperti gadis muda”.
Di bharata Lahontohe, perkara-perkara kecil seperti saling mencaci-
maki antara kaum maradika poinokonto lakono sau. Dapat diadili oleh
bhontono liwu, sedangkan perkara kecil antara kaum anangkolaki diadili
oleh sangkolaki. Denda ini juga digunakan untuk pembelian kameko.
Untuk menghabiskan kameko yang dibeli dengan uang denda tersebut,
maka seluruh penduduk kampung diundang. Maksud undangan ini, agar
semua penduduk kampung mengetahui bahwa perkara itu telah diputuskan
oleh kino, mino,atau sarano liwu.
Denda yang diputuskan oleh para hakim tingkat atas dibagi antara
lakina Muna dan para anggota Syarat Muna, terkecuali denda 10 suku,
yang menjadi hak ghoerano serta pendampingnya.

267
17.4. Hukuman Dijadikan Budak
Keputusan hukuman dijadikan budak hanya diberikan dalam hal
tertentu, seperti:
1. Seorang maradika atau wesembali yang mencuri sesuatu dari
seorang La Ode atau walaka, maka ia serta keluarganya dihukum
menjadi budak orang yang kecurian. Ini hanya berlaku pada
pencurian kaum La Ode dan walaka. Kaum maradika tidak boleh
memiliki budak, sehingga seorang pencuri tidak bisa dihukum
menjadi budak maradika. Karena itu, apabila seorang maradika atau
wesembali mencuri sesuatu dari sesamanya, maka ia mendapatkan
hukuman denda;
2. Seorang pasi atau kapili yang berada di rumah raja Muna, begitu
juga dengan kafowawe (pembantu) dalam rumah tempat ia bekerja,
apabila melakukan sesuatu yang tidak baik atau mengotori rumah,
umpamanya dengan membuang ludah, maka dihukum oleh Syarat
Muna dengan hukuman dijadikan budak;
3. Seorang maradika yang mengadakan penipuan dengan
mengatasnamakan Syarat Muna atau salah satu dari anggotanya.
Bila hal ini dilakukan pada sesamanya kaum maradika atau
wesembali, maka si penipu dijadikan budak dari salah satu anggota
Syarat Muna, atau dijual (karena dia tidak bisa dijadikan budak
seorang maradika);
4. Seorang maradika atau wesembali yang tanpa dasar menfitnah
seorang pejabat atau seorang La Ode atau walaka yang bukan
pejabat, dihukum dijadikan budak dari pihak yang difitnah atau
dijual; dan
268
5. Dalam hal ini seorang maradika atau wesembali tidak dapat
melunasi utangnya pada seorang La Ode atau walaka, dia dihukum
menjadi budak si penagi utang. Apabila seorang maradika atau
wesembali tidak dapat melunasi utangnya pada sesamanya, maka
sebagaimana telah disinggung sebelumnya, dia tidak bisa dijadikan
budak orang maradika atau wesembali itu. Dalam hal ini seorang
anggota dari Syarat Muna melunasi utang itu, dan yang berutang
dijadikan budaknya. Si penagih utang hanya menerima setengah
dari jumlah uang itu, sedangkan setengah yang lainnya adalah untuk
Syarat Muna, dan dibagi antara bhonto bhalano, mintarano bhitara,
dan keempat ghoerano. Hakim yang paling rendah dalam perkara
ini adalah ghoerano; dalam hal ini dia harus didampingi tiga orang
dalam sidang pengadilan. Di Tongkuno dan di Lawa, kamokula
Tongkuno dan kamokula Barangka ditunjuk sebagai pendamping
yang ketiga itu. Bila bersidang ghoerano Kabawo dan ghoerano
Katobu selalu didampingi oleh tiga orang.

Dapat ditambahkan di sini, bahwa seorang maradika juga dapat


dijadikan budak dengan kedua cara:
1. Apabila ia tidak dapat menjamin kebutuhan hidupnya dan
kelaparan, ia bisa memajukan permohonan kepada seorang La Ode
atau walaka untuk dijadikan budaknya, agar ia sendiri dan
keluarganya dapat diberikan jaminan hidup. Dalam hal ini, si
pemohon dibawa untuk menghadap Syarat Muna oleh orang yang
mau menolongnya. Si penolong harus membayar uang saksi kepada
setiap anggota Syarat Muna. Uang ini dianggap sebagai utang si
pemohon (orang maradika) kepada si penolong (orang La Ode atau
269
walaka). Si pemohon tidak bisa melunasi uang ini dan dengan
demikian ia dijadikan budak si penagih utang; dan
2. Apabila seorang maradika atau wesembali ingin hidup bersama
dengan seorang budak wanita dan ia tidak dapat membayar uang
tebusan sebesar 11 bhoka, maka ia dapat mengajukan permohonan
kepada Syarat Muna, agar ia masuk ke golongan budak.

Para budak dapat diperjualbelikan, dan dengan demikian bisa


dipisahkan dari keluarga mereka. Seorang pemilik budak berhak menyiksa
budaknya, bahkan sampai membunuhnya tanpa alasan apapun. Dalam hal
ini pemilik tidak akan dihukum.
Hanya kaum maradika dan wesembali dapat dikenakan hukuman
dijadikan budak, sedangkan untuk kaum La Ode dan walaka hukuman ini
tidak pernah ada.

270
XVIII. Lembaga Peradilan Pejabat Keagamaan
Pada zaman dahulu di Kerajaan Muna para pejabat agama juga
memiliki wewenang mengadili perkara. Wewenang ini hanya berlaku
dalam satu hal, yaitu perselisihan atau perkelahian yang terjadi di suatu
rumah atau di halaman, antara pemilik rumah atau halaman dengan orang
lain. Perselisihan atau perkelahian antara suami-istri atau antara pria dan
wanita yang hidup bersama tanpa dinikahi secara sah tidak dapat mereka
adili. Modhi kampunglah yang menjadi hakim untuk mengadili perkara
semacam ini yang terjadi di kalangan maradika dan wesembali atau di
antara maradika dan wesembali. Perkara seperi ini di kalangan La Ode dan
walaka diadili oleh pejabat agama yang lebih tinggi. Namun, pada
pengadilan ini juga berlaku peraturan bahwa seorang terdakwa dapat
memilih hakim mana yang akan mengadili perkaranya. Akan tetapi, kalau
seorang hakim sudah mengambil keputusan tidak ada lagi kemungkinan
naik banding pada hakim yang lebih tinggi. Apabila seorang pejabat
agama tidak sanggup mengadili suatu perkara, maka perkara itu diserahkan
kepada pejabat agama yang tingkatannya juga lebih tinggi.
Pada sidang pengadilan seperti ini, seorang pejabat agama tidak
mengadili sendiri, tetapi selalu didampingi oleh beberapa orang seorang
modhi kampung didampingi oleh bhontono liwu atau kamokulano liwu dan
dua orang tua di kampung yang juga dapat dicalonkan menjadi sarano
liwu. Apabila modhi bhalano bersidang, dia didampingi oleh modhi
kampung, kepala kampung, bhontono liwu, atau kamokulano liwu.
Kamokulano liwu juga dapat diganti dengan seorang orang tua di kampung
yang bisa dicalonkan menjadi bhonto atau kamokula. Seorang khatib bila
bersidang didampingi oleh dua modhi bhalano dari ghoera di mana sidang
271
ini dilangsungkan, modhi kampung dan kepala kampung (kino atau mino).
Jadi, semuanya berjumlah lima orang hakim.
Imam bersidang dengan pendampingnya sebanyak lima orang, yaitu
khatib, kedua modhi bhalano dari ghoera di mana sidang ini
dilangsungkan, modhi kampung dan kepala kampung. Raja agama yang
mewakili raja Muna bersidang bersama Syarat Muna.
Para pejabat agama hanya dapat menjatukan hukuman denda. Di sini
berlaku pula peraturan bahwa semakin tinggi tingkat hakim yang
bersidang, makin tinggi pula dendanya. Hukuman denda yang tertinggi
yang dapat diputuskan oleh masing-masing pejabat agama mulai dari
modhi kampung, modhi bhalano, khatib, imam sampai pada raja agama.
Uang denda itu dibagi di antara hakim dengan pendampingnya. Apabila
sidang itu berlangsung di dalam masjid, maka uang denda dibagi diantara
semua petugas masjid. Hal ini hanya dapat dilakukan kalau hakimnya
adalah imam. Pejabat-pejabat agama yang lebih rendah tidak boleh
bersidang dalam masjid.

khatib Rp 4,50

imam Rp 9

lakina agama Rp 18

272
XIX. Siklus Hidup atau Daur Hidup
La Aso (2014: 63-166) mengganti istilah “Siklus Hidup” atau “Daur
Hidup” dengan istilah “Ritus Peralihan” dimaksudkan bahwa di dalam
ritus peralihan tersebut terdapat suatu tindakan yang biasanya dikaitkan
dengan bidang keagamaan yang dianut, bersifat seremonial dan tertata
serta dapat mengubah status sosial seseorang. Dalam pada itu, ia membagi
ritus peralihan pada masyarakat etnik Muna ke dalam enam ritus peralihan
dan setiap ritus peralihan terdiri atas sub-sub ritus peralihan.

19.1. Ritus Kasambu


Kata “kasambu” (dari bahasa Muna) berasal dari kata dasar “sambu”
yang berarti menyuapi atau mengisi. Setelah mendapat awalan ka- kata
sambu berubah bentuk menjadi kata benda yang berarti penyuapan atau
pengisian. Menurut Kamus Budaya Sulawesi Tenggara, kasambu adalah;
(a) “upacara adat bagi wanita yang mengandung untuk pertama kali,
setelah usia kandungannya menginjak masa tujuh atau delapan bulan”, (b)
“upacara menyuapi wanita yang mengandung untuk pertama kali, dengan
memohonkan kepada Allah SWT agar janin yang dikandungnya lahir
dengan selamat dan kelak berguna bagi masyarakat” (Hanan, dkk., 2007:
48).
Dari definisi di atas, diketahui bahwa ritus kasambu dapat diartikan
sebagai suatu bentuk upacara adat dalam tradisi etnik Muna yang
dilaksanakan untuk wanita yang sudah menikah yang telah hamil untuk
pertama kalinya dan usia kehamilannya berkisar antara tujuh sampai
dengan delapan bulan. Tujuannya adalah untuk meminta keselamatan
kepada Allah atas calon ibu tersebut. Di samping itu, juga mendoakan agar
273
bayi yang masih berada dalam kandungan calon ibu yang diritualkan
setelah lahir di dunia menjadi anak yang cerdas, memiliki keimanan yang
kuat, dan setelah dewasa dapat menjadi orang yang berguna bagi bangsa
dan negara, khususnya bagi masyarakat Muna.
Ada dua tahapan yang dilaksanakan dalam ritus kasambu menurut
tradisi etnik Muna. Kedua tahapan yang dimaksud, yaitu (1) proses
penyiraman peserta kasambu dengan oe modaino dan oe metaano dan (2)
proses penyuapan peserta kasambu dengan isi haroa rasul.

19.1.1. Ritus Peyiraman


Sebelum proses penyiraman oe modaino dan oe metaano kepada
peserta kasambu, ada beberapa kelengkapan atau sarana yang harus
disediakan;
(1) beberapa buah kelapa tua yang sudah dikupas sabutnya
(belakangan ini cukup satu buah); (2) sebilah parang untuk membelah
kelapa; (3) beberapa lembar daun kumbou ngkolima (sukun) untuk
gelang peserta kasambu (belakangan ini tidak disiapkan lagi daun
kumbou ngkolima untuk gelang peserta kasambu); (4) beberapa
lembar daun nangka yang sudah dijahit berbentuk baju untuk dipakai
oleh peserta kasambu pada saat disirami dengan oe modaino dan oe
metaano (belakangan ini tidak disiapkan lagi); (5) setangkai daun
lontar untuk menyaring air dari teko ketika peserta kasambu disirami
dengan oe modaino dan oe metaano (belakangan ini tidak disiapkan
lagi); (6) seruas tombula (bambu besar yang tipis) untuk dibelah
bersamaan dengan kelapa setelah peserta kasambu disirami dengan oe

274
modaino dan oe metaano (belakangan ini tidak disiapkan lagi); dan (7)
dua buah teko yang berisi air bersih yang sudah didoai oleh lebe.

Salah satu kelengkapan ritus kasambu pada etnik Muna pada saat
proses penyiraman dengan oe modaino dan oe metaano adalah kelapa
kering yang sudah dikupas sabutnya. Kelapa kering yang sudah dikupas
sabutnya yang dibelah setelah penyiraman peserta kasambu dengan oe
modaino dan oe metaano merupakan penandaan simbolis dari bentuk
tubuh/kepala manusia. Hal ini disepakati dan dipercayai oleh masyarakat
etnik Muna bahwa menggunakan kelapa kering yang dikupas sabutnya
adalah untuk menyambut kehadiran seorang bayi yang akan dilahirkan
oleh peserta kasambu perempuan yang di-sambu. Kelapa kering yang
sudah dikupas sabutnya sudah menjadi kepercayaan bagi etnik Muna
untuk dijadikan salah satu kelengkapan dalam ritus kasambu, yang dibelah
pada saat proses penyiraman peserta kasambu dengan oe modaino dan oe
metaano pada etnik Muna.
Etnik Muna juga mempercayai bahwa kelapa merupakan bagian dari
kehidupan manusia. Sehubungan dengan itu, setiap melakukan ritus
peralihan etnik Muna pasti selalu membutuhkan kelapa untuk melengkapi
sesajian pada isi haroa rasul dan haroa turuntana yang disajikan pada saat
membacakan doa haroa rasul atau haroa turuntana dalam setiap
melakukan ritus peralihan. Misalnya, lapa-lapa dibungkus dengan janur
kelapa dan menggunakan santan kelapa, manu kaowei menggunakan
kelapa goreng, kue sirikaea menggunakan santan kelapa dan sebagainya.
Setelah semua kelengkapan ritus kasambu seperti yang disebutkan di
atas tersedia, lebe mengambil sebuah teko yang berisi air bersih lalu didoai
dengan doa penolak bala. Pada saat mendoainya ia menghadap ke barat.
275
Air dalam teko yang sudah didoai dengan doa penolak bala dinamakan oe
modaino. Prosedur mendoai teko yang berisi air bersih dengan doa
penolak bala untuk menyirami peserta kasambu adalah (1) membaca
istighfar (memohon ampun kepada Allah) sebanyak tiga kali, kemudian
membaca salawat nabi (Aullahummashalli alaa Muhammad wa alaa Aliy
Muhammad); (2) berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk.
Selanjutnya, membaca silsilah doa dengan urutan (a) membaca surat Al-
Fatihah ayat 1-7 satu kali, (b) membaca surat Al-Ikhlas ayat 1-4 satu kali,
(c) membaca surat Al-Falaq ayat 1-5 satu kali, (d) membaca surat An-Nas
ayat 1-6 satu kali, (e) membaca surat Al-Baqarah ayat 1-5 satu kali, (f)
membaca surat Al-Baqarah ayat 250 (Ayat Kursiy) satu kali, dan (g)
membaca doa penolak bala.
Doa penolak bala yang dibaca untuk mendoai air dalam teko dengan
doa penolak bala (oe modaino) untuk menyirami peserta kasambu. Doa
tersebut mengandung makna sebagai berikut. (1) Memohon kepada Allah
agar peserta kasambu dan keluarganya terhindar dari bala, musibah,
wabah, dan berharap agar kemungkaran yang akan mengenai mereka dan
kaum muslimin supaya dijadikan sebagai rahmat. (2) Memohonkan ampun
kepada Allah atas dosa-dosa mereka dan dosa-dosa kaum muslimin yang
telah mendahului mereka dalam keimanan. (3) Memohon kepada Allah
agar hati (kalbu) mereka tidak merasa dengki kepada orang-orang yang
beriman. (4) Memohon kepada Allah agar diberikan kebaikan di dunia dan
di akhirat dan dijaga dari siksa api neraka. (5) Memohon kepada Allah
agar salawat dan salam senantiasa dicurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW dan semua keluarganya. (6) Memohon kepada Allah agar doa
mereka diterima di sisi-Nya.
276
Lebe yang mendoai air dalam teko dengan doa penolak bala
menghadap ke barat. Lebe menghadap ke barat dalam mendoai air dalam
teko dengan doa penolak bala untuk menyirami peserta kasambu dapat
dimaknai agar terhindar dari bala, musibah, wabah, dan kemungkaran yang
menimpa manusia dijadikan rahmat oleh Allah. Selain itu, diharapkan pula
bahwa bala, musibah, wabah, dan kemungkaran tersebut segera
ditenggelamkan oleh Allah bersama sinar matahari ke arah barat.
Setelah mendoai air dalam teko dengan doa penolak bala, lebe
mengambil lagi sebuah teko lain yang berisi air bersih untuk didoai dengan
doa pembawa berkah. Pada saat mendoai air dalam teko dengan doa
pembawa berkah, lebe menghadap ke timur. Air dalam teko yang sudah
didoai dengan doa pembawa berkah dinamakan oe metaano. Prosedur
mendoai air dalam teko dengan doa pembawa berkah sama dengan
prosedur mendoai air dalam teko dengan doa penolak bala.
Doa yang dibaca oleh lebe untuk mendoai air dalam teko dengan doa
pembawa berkah diketahui bahwa doa tersbeut mengandung makna
sebagai berikut. (1) Memohon kepada Allah agar tidak disesatkan hati
(kalbu) mereka setelah diberikan petunjuk. (2) Meminta kebaikan di dunia
dan di akhirat serta dijaga dari siksa api neraka. (4) Memohon agar Allah
senantiasa mencurahkan salawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan
keluarganya. (5) Mengajak orang-orang yang beriman untuk bersalawat
kepada nabi dan mengucapkan salam dengan penuh penghormatan kepada
Nabi Muhammad dan keluarganya. (7) Meminta keselamatan, keimanan,
ilmu yang berkah, rezeki yang berkah, keberkahan dalam segala perkara,
dan memohon agar mereka dikumpulkan bersama dengan para nabi di
akhirat nanti. (8) Memohon perlindungan dari kebatilan dan bertobat
277
kepada Allah. (9) Memohon kepada Allah apabila mereka berada dalam
lingkungan maksiat/zinah, supaya diberikan kekuatan iman untuk
menjauhinya sehingga terhindar dari maksiat tersebut.
Doa yang dibaca untuk mendoai air dalam teko dengan doa penolak
bala dan doa pembawa berkah sebenarnya hampir sama. Doa penolak bala
penekanan isinya agar terhindar dari bala, musibah, wabah, dan
kemungkaran yang menimpa manusia supaya dijadikan rahmat oleh Allah,
sedangkan doa pembawa berkah penekanan isinya pada permohonan untuk
keselamatan, diberikan keimanan, ilmu yang berkah, rezeki yang berkah,
perkara yang berkah, dan dikumpulkan bersama dengan para nabi di
akhirat nanti.
Lebe mendoai air dalam teko (oe metaano) dengan doa pembawa
berkah menghadap ke timur untuk menyirami peserta kasambu. Lebe
menghadap ke timur pada saat mendoai air dalam teko dengan doa
pembawa berkah dapat dimaknai bahwa ia berharap sepenuh hati agar
keselamatan, keimanan, ilmu yang berkah, rezeki yang berkah, dan
perkara yang berkah akan didatangkan oleh Allah dari timur bersama sinar
matahari dan akan bercampur dengan air dalam teko yang didoai tersebut
sehingga peserta kasambu mendapatkan keberkahan ketika disirami
dengan oe metaano tersebut.
Setelah kedua teko yang berisi air bersih didoai dengan doa penolak
bala dan doa pembawa berkah oleh lebe, maka proses penyiraman peserta
kasambu dengan oe modaino dan oe metaano secara terperinci dapat
dilihat pada deskripsi di bawah ini.
Pertama, peserta kasambu (wanita yang sedang hamil bersama
suaminya) hanya mengenakan sarung putih tanpa pakaian dalam
278
dipersilakan pergi ke halaman rumah bagian dapur untuk disirami dengan
oe modaino dan oe metaano oleh sando (dukun bersalin) dan disaksikan
oleh lebe dan keluarga peserta kasambu.
Kedua, setelah tiba di halaman rumah bagian dapur, peserta kasambu
duduk bertinggung menghadap ke barat dalam posisi peserta kasambu
laki-laki duduk di sebelah kiri peserta kasambu perempuan. Seusai peserta
kasambu duduk bertinggung menghadap ke barat, sando membaca mantra
“Aituini akumadiukoomo, sio-siomo okakawasa
naghumondofaanagkoomu” kemudian ia membisiki peserta kasambu
supaya ketika mereka disirami dengan oe modaino (air dalam teko yang
sudah didoai oleh lebe), maka pada saat pertama disirami mereka harus
memukul air yang turun dari teko tiga kali ke arah depan.
Ketiga, sando menyirami peserta kasambu laki-laki sebanyak tiga kali,
kemudian dilanjutkan kepada peserta kasambu perempuan sebanyak tiga
kali, lalu menyirami kedua peserta kasambu secara bergantian sampai
habis oe modaino di dalam teko tersebut.
Keempat, sando memerintahkan kedua peserta kasambu untuk
menghadap ke timur dan keduanya tetap duduk bertinggung dalam posisi
peserta kasambu laki-laki berada di sebelah kanan peserta kasambu
perempuan, kemudian sando menyirami peserta kasambu laki-laki dengan
oe metaano dan dilanjutkan kepada peserta kasambu perempuan.
Selanjutnya, sando menyirami kedua peserta kasambu secara bergantian
sampai habis oe metaano di dalam teko.
Kelima, lebe mengambil parang dan kelapa tua yang sudah dikupas
sabutnya, sementara peserta kasambu masih dalam posisi duduk

279
bertinggung menghadap ke timur, dan sando menyaksikan lebe pada saat
membelah kelapa.
Keenam, lebe membaca mantra “Atumowesikoomo inia, miina
atumowesikoomu inodi, notuwesikoomu guruku, guruku wantoburi, guruku
wantobura. bhahi tokembeo-mbeoomu, bhahi tokombateuhnya-mbatemu,
bhahi tookonsoburioomu, Bisimillah” kemudian membelah kelapa
tersebut. Setelah dua kelapa tersebut terbelah, sando mengambil kedua
belahan kelapa tersebut (tangan kanan memegang belahan kelapa bagian
bawah dan tangan kiri memegang belahan kelapa bagian atas) lalu diputar-
putarkan di depan kedua peserta kasambu sebanyak tujuh kali sambil
membaca salawat nabi “Allahumma shalli alaa Muhammad wa alaa aliy
Muhammad ”.
Setelah diputar-putarkan di depan kedua peserta kasambu selama
tujuh kali, kedua belahan kelapa dilepas kembali di tanah, kemudian
diundang seorang laki-laki dari keluarga peserta kasambu laki-laki dan
seorang perempuan dari keluarga peserta kasambu perempuan untuk
menggigit kedua belahan kelapa tersebut dan dibawa ke pintu depan dan
pintu dapur. Laki-laki menggigit belahan kelapa bagian bawah, sedangkan
perempuan menggigit belahan kelapa bagian atas. Setelah kedua belahan
kelapa tersebut dibawa ke pintu depan dan pintu dapur, kedua peserta
kasambu dituntun oleh lebe dan sando masuk kembali ke dalam rumah
lewat pintu dapur. Lebe mengait jari tangan kiri peserta kasambu laki-laki,
jari tangan kanan peserta kasambu laki-laki mengait jari tangan kiri peserta
kasambu perempuan, dan jari tangan kanan peserta kasambu perempuan
mengait jari tangan kiri sando

280
19.1.2. Proses Penyuapan
Ada beberapa kelengkapan atau sarana untuk isi haroa rasul yang
harus dipersiapkan pada proses penyuapan dalam ritus kasambu, yaitu;
“(1) satu atau tiga sisir pisang raja yang sudah masak dan masih utuh;
(2) satu piring besar nasi (beras putih dicampur beras merah) dan
dilapisi dengan telur goreng dadar di atasnya; (3) beberapa buah lapa-
lapa (beras dimasak dengan santan setengah matang lalu diisi dalam
janur kelapa yang berbentuk bulat yang panjangnya kurang lebih 20
cm, diikat dengan tali rafia seketat mungkin, dan direbus kembali); (4)
beberapa lembar kue susuru/cucur (jenis kue tradisional etnik Muna);
(5) beberapa buah kue wadhe/baje yang dibungkus dengan kulit
jagung kering; (6) satu atau tiga cangkir kue sirikaea (sejenis kue
basah tradisional etnik Muna yang dibuat dari telur ayam kampung,
tepung beras, dan gula merah); (7) beberapa buah sanggara (pisang
masak tidak dibelah yang digoreng dengan minyak kelapa tanpa
menggunakan tepung atau bahan lain); (8) beberapa butir ghunteli
katoofi/telur rebus; (9) beberapa butir ghunteli kasinganga (telur
rebus, lalu dikupas kulitnya kemudian digoreng); (10) beberapa
potong daging manu kasinganga (daging ayam dimasak lalu digoreng
dengan minyak kelapa); (11) beberapa potong daging manu kakele
(daging ayam yang dimasak lalu diolesi telur ayam kampung
kemudian digoreng sampai kering); dan (12) beberapa potong daging
manu kaowei (daging ayam yang digulai)”.

Isi haroa rasul pada saat pembacaan doa haroa rasul sebelum proses
penyuapan kepada peserta kasambu berkaitan langsung dengan penandaan

281
simbol yang sudah dilegitimasi dengan sejumlah aturan legal tidak dapat
diubah begitu saja, kecuali atas kesepakatan kelompok.
Isi haroa rasul yang disajikan dalam ritus kasambu pada etnik Muna
Muslim tradisional dapat dimaknai sebagai simbol anggota tubuh manusia.
Misalnya, pisang raja sebagai simbol jari-jari tangan dan kaki, nasi beras
putih campur beras merah sebagai kepala haroa karena beras putih dan
beras merah merupakan makanan pokok, kaholeno ghunteli dadara
sebagai simbol urat biru. Lapa-lapa sebagai simbol lengan, kue susuru
(cucur) sebagai simbol pinggul, kue wadhe (baje) sebagai simbol paru-
paru, kue sirikaea sebagai simbol pita suara dan merupakan simbol
percampuran antara darah merah dan darah putih, sanggara sebagai simbol
lidah, ghunteli katoofi ngkokuli sebagai simbol mata hati, ghunteli
kasinganga sebagai simbol jantung, daging manu kasinganga sebagai
simbol daging, daging manu kakele sebagai simbol darah mati, daging
manu kaowei sebagai simbol darah kental, dan sebagainya.
Tiap-tiap lapa-lapa untuk isi haroa rasul yang disuapkan kepada
peserta kasambu pada saat proses penyuapan dikupas salah satu ujungnya
(kira-kira 7 cm) lalu diikat dengan sepotong daging manu kasinganga, atau
daging manu kaowei, atau daging manu kakele. Setelah itu isi haroa rasul
tersebut disusun oleh sando (dukun bersalin) dalam sebuah talang besar
seperti yang dijelaskan berikut;

“Susunan isi haroa rasul dalam ritus kasambu untuk menyuapi peserta
kasambu pada etnik Muna Muslim tradisional adalah sebagai berikut.
Talang dilapisi dengan sepotong daun pisang yang masih hijau dalam
posisi terbuka. Di bawah daun pisang ditaruh amplop uang seadanya,
misalnya, Rp 20.000, Rp 40.000, Rp 50.000, atau lebih (amplop uang
282
tersebut dinamakan kantaburi/pengganjal isi haroa rasul). Di atas
daun pisang, ditindih dengan pisang raja yang sudah masak dan masih
utuh, dan posisi pisang raja tersebut dalam keadaan terbuka. Di atas
pisang raja disimpan sebuah piring besar nasi (nasi beras putih
dicampur dengan beras merah) yang dilapisi telur goreng dadar di
atasnya. Di antara sela-sela pisang dan piring besar nasi disusun
beberapa buah lapa-lapa yang ujungnya sudah diikat dengan sepotong
daging manu kasinganga atau daging manu kaowei atau daging manu
kakele. Di atas lapa-lapa dan di sela-sela pisang raja disusun
beberapa buah piring kecil yang berisi beberapa butir telur rebus, telur
kasinganga, dan kue-kue tradisional, seperti susuru, wadhe, sanggara,
dan sirikaea. Setelah disusun semua isi haroa rasul (dulang),
kemudian ditutup dengan sepotong daun pisang yang masih hijau
dalam posisi terbuka, lalu ditutup dengan penutup talang, kemudian
dibungkus dengan kerudung/kain putih. Setelah disusun dalam sebuah
talang dan ditutup dengan penutup talang, lalu dibungkus dengan
kerudung/kain putih, isi haroa tersebut dibawa ke sebuah ruangan
khusus tempat dibacakan doa haroa rasul sekaligus akan dilakukan
proses penyuapan kepada peserta kasambu.

Isi haroa rasul dalam ritus kasambu sebelum proses penyuapan. Isi
haroa rasul untuk menyuapi peserta kasambu pada etnik Muna setelah
dianalisis ternyata susunannya hampir sama dengan susunan tubuh
manusia. Misalnya, pisang raja yang melambangkan simbol jari-jari kaki
dan tangan ditaruh paling bawah kemudian di sela-sela pisang ditaruh
lapa-lapa yang merupakan simbol lengan. Di atas lapa-lapa dan pisang
raja disusun daging manu kasinganga, manu kaowei, manu kakele,
283
ghunteli kasinganga, ghunteli katoofi, dan kue-kue tradisional, seperti
susuru, wadhe, sirikaea dan lain-lain yang merupakan simbol bagian
dalam tubuh manusia, kemudian disusun di atasnya pisang goreng yang
merupakan simbol lidah, dan paling atas ditaruh satu piring besar nasi
(nasi dari beras putih dicampur beras merah) sebagai simbol kepala.

Kelengkapan isi haroa rasul yang disusun dalam sebuah talang besar
dalam ritus kasambu selalu berjumlah ganjil. Jika dimaknai jumlah ganjil
dalam menyajikan isi haroa rasul pada ritus kasambu tersebut, dapat
dikatakan bahwa harapan keluarga yang melakukan ritus peralihan tersebut
masih ada keinginan untuk melakukan ritus peralihan pada masa yang
akan datang, khususnya ritus peralihan yang berkaitan dengan kehidupan.
Mereka yakin bahwa Allah akan menggenapkan isi haroa rasul tersebut
dengan cara melimpahkan rezeki mereka sehingga dapat melakukan ritus
yang serupa pada waktu yang akan datang.
Setelah kelengkapan isi haroa rasul untuk menyuapi peserta kasambu
disediakan, maka peserta kasambu dengan mengenakan busana Muslim
dipersilakan duduk berdampingan di atas bantal guling. Mereka
menghadap ke timur dan didampingi oleh sando (dukun bersalin), laki-laki
dan perempuan yang telah menggigit belahan kelapa, serta keluarga yang
menyaksikan ritus kasambu.
Laki-laki yang telah menggigit belahan kelapa bagian bawah duduk di
samping kanan peserta kasambu laki-laki, sedangkan perempuan yang
telah menggigit belahan kelapa bagian atas duduk di samping kiri peserta
kasambu perempuan. Lebe, keluarga kedua belah pihak peserta kasambu,
dan hadirin duduk melingkar untuk menyaksikan pembacaan doa haroa
rasul dan acara kasambuhi. Di depan kedua peserta kasambu sudah
284
disajikan haroa rasul yang sudah dikemas dalam sebuah talang besar dan
ditutup dengan penutup talang, kemudian dibungkus dengan kerudung
putih.
Dalam posisi duduk bersila menghadap ke barat, lebe meminta izin
kepada keluarga peserta kasambu dan hadirin untuk membakar
dupa/kemenyan. Seusai membakar dupa/kemenyan, ia (lebe) berniat secara
samar, yaitu memohon kepada Allah agar peserta kasambu diberikan
kesehatan, rezeki yang berkah, peserta kasambu perempuan diberikan
kekuatan lahir dan batin, diberikan kelancaran ketika ia akan melahirkan
bayinya, dan setelah bayinya besar tidak menjadi anak yang rakus,
memiliki keimanan yang kuat, cerdas, dan menjadi anak yang berguna
dalam masyarakat. Niat di atas diungkapkan oleh lebe dalam bahasa Muna
seperti berikut.
“Sio-siomo kaasi ompu Allahu Taala namaanda kaghosa, namaanda
radhaki, namekamudaane mie balano taghii ini namolente anano. Sio-
siomo dua kasi anahi solumenteno ini pana kumamea-mea, naembali
mie mande, nakoadhati, nakoimani, naembali mie sosumambano ne
Allah Taala, ne Nabi Muhamadhi, naembali mie koghuluhano wo
loliwu ini”.

Ungkapan dalam niat di atas menunjukkan doa yang diminta oleh lebe
kepada Allah agar peserta kasambu dan keluarganya diberikan kekuatan,
kesehatan, rezeki yang berlimpah dan berkah, dan ibu hamil yang di-
sambu mudah-mudahan melahirkan dengan lancar, dan bayinya selamat.
Setelah bayinya besar, ia tidak rakus, menjadi anak yang cerdas, beriman,
taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan menjadi anak yang berguna dalam
masyarakat.
285
Setelah berniat, kemudian lebe duduk bertafakur mempersiapkan diri
untuk membacakan doa haroa rasul. Proses pembacaan doa haroa rasul
dan doa yang dibaca dalam ritus sama dengan prosedur dan doa yang
dibaca untuk mendoai air dalam teko dengan doa pembawa berkah (oe
metaano).
Setelah membacakan doa haroa rasul dalam ritus kasambu, lebe
memberikan salam sambil menoleh ke kanan satu kali dan ke kiri satu kali,
kemudian memegang ujung talang haroa rasul. Setelah itu, ia berjabatan
tangan dengan peserta kasambu laki-laki, peserta kasambu perempuan,
sando, pendamping peserta kasambu perempuan, pendamping peserta
kasambu laki-laki, kedua orang tua/keluarga peserta kasambu, dan hadirin.
Kemudian kedua peserta kasambu, keluarga kedua peserta kasambu, dan
hadirin saling berjabatan tangan.
Proses pembacaan doa haroa rasul sebelum proses penyuapan dalam
ritus kasambu bahwa terdapat perpaduan antara tradisi
animisme/dinamisme, tradisi Hindu/Budha, dan tradisi Islam dalam
pelaksanaan ritus peralihan. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya isi
haroa rasul yang terdiri atas makanan tradisional etnik Muna, seperti lapa-
lapa, susuru, kue sirikaea, daging manu kasinganga, daging manu kaowei,
dan lain-lain merupakan warisan dari nenek moyang etnik Muna yang
menurut keyakinan mereka dipersembahkan untuk roh nenek
moyang/keluarga mereka yang telah meninggal. Keyakinan terhadap roh-
roh yang telah meninggal memiliki kekuatan masih dimiliki oleh sebagian
besar etnik Muna.
Kaitannya dengan tradisi Hindu/Budha dalam pelaksanaan ritus
peralihan pada etnik Muna dibuktikan dengan kebiasaan dalam
286
melaksanakan ritus peralihan selalu diawali dengan pembakaran
dupa/kemenyan, terutama pada setiap pembacaan doa haroa rasul dalam
ritus peralihan. Menurut kepercayaan etnik Muna, pembakaran
dupa/kemenyan merupakan simbol asal kejadian manusia, yaitu dari api,
angin, air, dan tanah. Hal ini juga dikemukakan oleh Hardjoprakoso dan
Soemodihardjo (dalam Rahyono, 2009: 165) bahwa seorang manusia
diciptakan dari empat unsur, yaitu unsur bumi (tanah) yang berada dalam
daging, unsur api yang berada dalam darah, unsur air yang berada dalam
tulang dan sumsum, dan unsur suasana (angin) yang berada dalam napas.
Adapun kaitan antara proses pelaksanaan ritus kasambu pada saat
pembacaan doa haroa rasul pada etnik Muna dan tradisi Islam adalah
ditemukannya doa-doa yang dibacakan oleh lebe semua bersumber dari
Alquran.
Seusai semua berjabatan tangan setelah pembacaan doa haroa rasul
dalam ritus kasambu pada etnik Muna, lebe membuka penutup haroa
rasul lalu mempersilakan sando untuk menyuapi peserta kasambu. Setelah
dipersilakan, sando mengambil sebutir telur rebus kemudian dikupas
kulitnya, lalu dibacakan mantra sebagai berikut. “Asumambu komo ini.
Miina asumambuko idia, nosambuko guruku, guruku wantoburi, guruku
wantobura, bhahi tokembeo-mbeo, bhahi tokombate-mbate, bhahi
tokonsoburio. Bismillah”. Arti mantra yang dibaca adalah memohon izin
kepada Allah untuk segera menyuapi peserta kasambu sambil mengatakan
bahwa sesungguhnya yang menyuapi peserta kasambu bukan ia (sando),
melainkan gurunya yang bernama Wantoburi dan Wantobura, memohon
kepada Allah agar peserta kasambu perempuan tidak dikenai penyakit
kuning, busung lapar, atau kekurangan gizi.
287
Setelah telur rebus tersebut dimantrai, kemudian disuapkan kepada
peserta kasambu wanita sampai habis. Setelah itu sando mengambil lagi
satu butir telur isi haroa rasul, lalu dikupas kulitnya dan dimantrai dengan
mantra yang sama, kemudian disuapkan kepada peserta kasambu laki-laki.
Setelah itu ia mengambil amplop uang di dalam tasnya lalu dimantrai lagi
dengan mantra yang sama, kemudian dioleskan di dahi peserta kasambu
perempuan. Ia mengoleskan amplop uang tersebut dari dahi sampai ke
perut, lalu ditaruh di dalam piring putih yang dipegang oleh peserta
kasambu perempuan.
Seusai menaruh amplop uang di dalam piring, sando mengambil
sebuah lapa-lapa yang sudah dikupas salah satu ujungnya dan sudah diikat
dengan sepotong daging manu kasinganga (isi haroa rasul), kemudian
memantrainya lagi dengan mantra yang sama lalu disuapkan kepada
peserta kasambu perempuan dengan dua gigitan. Kedua gigitan tersebut
harus dikeluarkan dari mulutnya oleh peserta kasambu perempuan dan
dibuang di sebelah kirinya. Setelah itu disuapkan lagi satu kali untuk yang
ketiga kalinya dan pada suapan yang ketiga ini harus ditelan oleh peserta
kasambu perempuan.
Sisa lapa-lapa yang disuapkan kepada peserta kasambu perempuan,
selanjutnya disuapkan lagi kepada peserta kasambu laki-laki dua gigitan
dan kedua gigitan tersebut juga langsung dikeluarkan dari mulutnya oleh
peserta kasambu laki-laki dan dibuang di sebelah kirinya. Kemudian
disuapkan lagi satu gigitan untuk yang ketiga kalinya dan pada gigitan
ketiga ini harus ditelan. Selanjutnya sisa lapa-lapa yang disuapkan kepada
peserta kasambu laki-laki tersebut disuapkan lagi oleh sando kepada
pendamping peserta kasambu perempuan sebanyak tiga kali, dua gigitan
288
langsung dikeluarkan lagi oleh pendamping peserta kasambu perempuan,
dan satu gigitan terakhir harus ditelan. Sisa lapa-lapa yang disuapkan
kepada pendamping peserta kasambu perempuan tersebut disuapkan lagi
kepada pendamping peserta kasambu laki-laki sebanyak tiga kali, dua
gigitan dikeluarkan dari mulutnya dan dibuang di sebelah kirinya dan
gigitan yang ketiga langsung ditelan.
Setelah sando menyuapkan lapa-lapa kepada kedua peserta kasambu
dan kedua pendamping mereka, ia mempersilakan beberapa orang dari
keluarga atau hadirin untuk mengambil salah satu isi haroa rasul (dulang)
di dalam talang kemudian disuapkan kepada peserta kasambu perempuan.
Sisanya disuapkan kepada peserta kasambu laki-laki, pendamping peserta
kasambu perempuan, dan pendamping peserta kasambu laki-laki masing-
masing satu kali dan langsung ditelan.
Setelah menyuapkan salah satu isi haroa rasul kepada peserta
kasambu dan sisanya disuapkan kepada kedua pendamping mereka, orang
yang menyuapi tersebut mengambil amplop uang dalam tasnya atau
kantong bajunya dan diserahkan kepada peserta kasambu perempuan, yaitu
dioleskan mulai dari dahinya sampai perutnya dan terakhir ditaruh di
dalam piring yang dipegang oleh peserta kasambu perempuan. Setelah
beberapa dari keluarga dan hadirin menyuapi kedua peserta kasambu dan
kedua pendampingnya, kedua peserta kasambu masing-masing mengambil
satu cangkir kue sirikaea (isi haroa rasul) kemudian saling menyuapi
sebanyak satu suapan.
Proses pelaksanaan penyuapan dalam ritus kasambu pada etnik Muna
Muslim tradisional dapat dimaknai bahwa isi haroa rasul yang disuapkan
kepada peserta kasambu mempunyai dua tujuan. Tujuan pertama agar
289
peserta kasambu, khususnya peserta kasambu perempuan memiliki
stamina yang kuat setelah diberikan makanan yang memiliki standar gizi
yang tinggi sebab makanan tradisional yang merupakan isi haroa rasul
yang disuapkan kepadanya tidak setiap hari dapat dikonsumsi. Isi haroa
rasul hanya disajikan dan dapat dikonsumsi pada setiap melakukan ritus
peralihan pada etnik Muna. Tujuan kedua agar janin dalam kandungan
wanita hamil yang di-sambu menikmati gizi yang disuapkan kepada
ibunya sehingga setelah lahir di dunia ia tidak rakus karena menurut
kepercayaan etnik Muna apabila ada anak pertama yang rakus berarti ritus
kasambu terhadap ibunya tidak sempurna/berkah.

19.2. Ritus Kampua


Kata “kampua” (bahasa Muna) berarti memotong beberapa helai
rambut bayi yang berusia 44 hari. Ritus kampua biasa juga disebut dengan
istilah “kaalano wulu”, yaitu menggunting beberapa helai rambut bayi
yang berusia 44 hari yang dilakukan oleh lebe (pegawai syariat Islam ).
Menurut Kamus Budaya Sulawesi Tenggara “kampua” adalah upacara
adat untuk bayi setelah berumur sekitar 44 hari atau diistilahkan dengan
pesta gunting rambut, yaitu upacara pengambilan (pemotongan) rambut
bayi setelah 44 hari umurnya (Hanan dkk., 2007: 43). Adapun definisi
kaalano wulu menurut Kamus Budaya Sulawesi Tenggara yaitu upacara
pengguntingan rambut anak untuk membuang bulu rambut guna
menghilangkan semua jenis penyakit atau yang tidak sehat agar tumbuh
subur kembali sebagaimana biasa, supaya anak itu tumbuh dengan sehat
(Hanan dkk., 2007: 34).

290
Berdasarkan definisi di atas, ritus kampua dapat diartikan sebagai
sebuah upacara adat dalam tradisi etnik Muna untuk memotong beberapa
helai rambut bayi ketika berusia 44 hari. Ritus kampua atau kaalano wulu
biasa juga dikenal dengan aqiqah dalam istilah agama Islam.

Sebelum ritus kampua dilaksanakan, ada beberapa kelengkapan atau


saran yang harus dipersiapkan:
“(1) haroa isa yang terdiri atas 44 buah pisang burung yang sudah
masak untuk bayi laki-laki dan 44 buah ketupat untuk bayi
perempuan; (2) satu piring pitara, yang terdiri atas satu liter beras
putih dan satu butir telur kampung; (3) satu gelas air putih; (4) haroa
rasul (dulang); (5) tanah liat; (6) satu rumpun rumput lakoora (jenis
rumput); (7) satu buah gunting rambut; (8) dupa/kemenyan; (9) satu
buah lilin dan satu buah korek api; (10) kabhintingia (uang
dibungkus dengan sapu tangan lalu ditaruh di dalam piring putih);
(11) bara api ditaruh di dalam sebuah tempat yang terbuat dari tanah
liat; dan (12) sebuah kelapa muda yang sudah dipotong bagian
kepalanya dan dimodel sehingga membetuk lima sudut untuk bayi
perempuan dan enam sudut untuk bayi laki-laki lalu disambung
kembali”.

Isi dan susunan haroa rasul dalam ritus kampua pada etnik Muna
sama dengan isi dan susunan haroa rasul dalam ritus kasambu, seperti
diuraikan sebelumnya. Akan tetapi, lapa-lapa untuk ritus kampua tidak
dikupas salah satu ujungnya dan tidak diikat dengan daging manu
kasinganga, daging manu kakele, atau daging manu kaowei, seperti lapa-
lapa isi haroa rasul pada ritus kasambu. Isi haroa isa dalam ritus kampua

291
yang terdiri atas 44 buah pisang masak. Adapun pitara yang terdiri atas
satu liter beras dan satu butir telur ayam merupakan kelengkapan haroa
isa, baik bagi bayi laki-laki maupun bayi perempuan. Pitara adalah zakat
fitrah yang selalu harus dipersiapakan pada setiap pelaksanaan ritus
peralihan pada etnik Muna.
Pelaksanaan ritus kampua diawali dengan pembacaan doa haroa isa
(membacakan doa untuk plasenta/ari-ari bayi yang akan di-kampua).
Haroa isa dilakukan di kamar tempat bayi dilahirkan. Pada saat proses
pembacaan doa haroa isa hanya disaksikan oleh beberapa orang, yaitu
lebe yang membacakan doa haroa isa, bayi yang akan di-kampua
dipangku oleh ibunya dan didampingi oleh ayahnya, dan beberapa
keluarga dekatnya.
Proses pembacaan doa haroa isa dan doanya sama dengan proses
pembacaan doa haroa rasul dalam ritus kasambu. Perbedaannya hanya
niat yang diucapkan oleh lebe. Salah satu contoh niat untuk haroa isa
adalah “Siosiomo kaasi isano anahi sonikampua ini panagumanggu-
ganggue aino”. Makna niat yang dilafalkannya adalah mendoakan agar
ari-ari anak yang akan di-kampua tidak mengganggu adiknya (bayi yang
di-kampua) sebab biasanya apabila ari-ari bayi tidak diperhatikan, maka
bayi akan selalu merasa gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak, bahkan
sering menangis.
Seusai pembacaan doa haroa isa, lebe, bayi dan ibunya, ayah serta
keluarga yang telah menyaksikan pembacaan doa haroa isa menuju ke
ruang tempat akan dilaksanakannya upacara kampua. Keluarga dan semua
hadirin yang diundang sudah siap dan duduk bersila, mengelilingi haroa
rasul yang sudah dilengkapi dengan segelas air putih, sebuah kelapa muda
292
yang sudah dipotong kepalanya, sebuah lilin dan korek api,
dupa/kemenyan, sebuah gunting rambut dan bara api.
Dalam pelaksanaan ritus kampua menurut tradisi etnik Muna biasanya
paling sedikit diundang dua orang lebe (pegawai syariat Islam), yaitu satu
orang membakar dupa/kemenyan, sedangkan lebe yang satu membacakan
doa haroa rasul dalam ritus kampua. Semua lebe yang diundang pada ritus
kampua berkewajiban untuk memotong beberapa helai rambut bayi pada
saat pemotongan rambut.
Adapun proses ritus kampua pada etnik Muna dapat dilihat pada
deskripsi di bawah ini yang merupakan hasil pengamatan dan diperkuat
hasil wawancara dengan informan La Sumaili. Setelah kelengkapan
kampua dan haroa rasul dipersiapkan, bayi yang akan di-kampua
(dipotong rambutnya) dipangku oleh ibunya dan duduk di depan para lebe.
Setelah itu lebe 1 berkumur dengan air putih dalam gelas tiga kali dan air
putih yang dikumur tersebut langsung ditelan, kemudian membaca salawat
nabi yang berbunyi “Aullahumma shalliy alaa Muhammad wa alaa aliy
Muhammad”. Kemudian ia meminta izin kepada lebe 2, keluarga
pelaksana ritus kampua, dan hadirin untuk membakar dupa/kemenyan.
Setelah membakar dupa/kemenyan, lebe 2 berkumur juga dengan air
putih tiga kali dan air yang dikumurnya ditelan. Kemudian ia berniat
sambil memohon kepada Allah agar bayi yang akan dipotong rambutnya
selalu sehat, diberikan umur panjang, banyak rezeki, dan beriman. Setelah
itu ia membaca salawat nabi. Seusai membaca salawat nabi, ia
mengambil gunting yang sudah dipersiapkan sambil membaca
“Bismillahir rohmaanir rahiim” satu kali, kemudian membuka penutup
kelapa muda yang sudah dipersiapkan. Setelah itu ia mencelup jari-jari
293
tangan kanannya ke dalam air kelapa muda, lalu dioleskan pada ubun-
ubun, pelipis kanan, pelipis kiri, dan pusaran rambut bayi yang akan di-
kampua sebanyak tiga kali. Selanjutnya, ia menggunting beberapa helai
rambut bayi mulai dari ubun-ubun, kemudian pelipis kanan, pelipis kiri,
dan terakhir pusaran rambut.
Seusai menggunting beberapa helai rambut bayi, ia menyerahkan
gunting kepada lebe 1 dan selanjutnya lebe 1 mengerjakan hal yang sama,
yaitu membaca salawat nabi, kemudian mencelup jari-jari tangan
kanannya ke dalam air kelapa muda, lalu dioleskan ke ubun-ubun, pelipis
kanan, pelipis kiri, dan pusaran rambut bayi. Setelah itu ia menggunting
rambut bayi, dimulai dari ubun-ubun, pelipis kanan, pelipis kiri, dan
pusaran rambut. Setiap rambut yang dipotong oleh lebe 2 dan lebe 1,
mulai dari ubun-ubun, pelipis kanan, pelipis kiri, dan pusaran rambut
bayi, selalu ditaruh di dalam air kelapa muda yang telah dipersiapkan.
Setelah itu lebe 2 mengambil tanah basah yang sudah disediakan di dalam
piring putih dan satu rumpun rumput lakoora (jenis rumput gajah) yang
masih ada akarnya dan telah dibersihkan, kemudian dibacakan salawat
nabi (Aullahumma shalliy alaa Muhammad wa alaa aliy Muhammad).
Setelah itu akar rumput lakoora tersebut dicelup oleh lebe 2 di tanah
basah yang ada di dalam piring, kemudian dioleskan pada kening, leher,
kedua bahu, kedua siku, kedua pergelangan tangan, kedua jari tangan,
kedua pinggang, kedua paha, kedua lutut, kedua betis, kedua mata kaki,
dan kedua telapak kaki bayi. Pengolesan akar rumput lakoora yang dicelup
di tanah basah tersebut hanya dilakukan oleh lebe 2. Selanjutnya, lebe 1
membakar dupa lagi. Setelah dupa mulai berasap, lebe 2 mengambil alih,
yaitu duduk bertafakur kemudian berniat dengan harapan agar bayi yang
294
telah di-kampua diberikan kesehatan, umur panjang, rezeki yang banyak
oleh Allah SWT, dan menjadi anak yang beriman (taat beragama). Setelah
itu ia membacakan doa haroa rasul untuk ritus kampua.
Doa haroa isa, dan haroa rasul dalam ritus kampua sama dengan doa
haroa rasul dalam ritus kasambu, yaitu dimulai dengan membaca istighfar
tiga kali, membaca salawat nabi, berlindung kepada Allah atas godaan
setan yang terkutuk, membaca urutan silsilah doa, dan kemudian membaca
doa berkah.
Setelah membacakan doa haroa rasul untuk ritus kampua, lebe 2
menjabat kedua tangan bayi yang di-kampua, kemudian berjabatan tangan
dengan ibu bayi, ayah bayi, lebe 1, sando, dan keluarga pelaksana ritus
kampua, serta hadirin. Setelah itu dulang atau talang haroa rasul langsung
dibuka penutupnya dan keluarga pelaksana ritus kampua mempersiapkan
hidangan untuk dimakan bersama.
Setelah hidangan disiapkan di tengah-tengah hadirin, keluarga
pelaksana ritus kampua langsung mempersilakan para lebe, sando, dan
hadirin untuk makan bersama. Isi haroa rasul yang telah dipersiapkan
pada saat pembacaan doa haroa rasul untuk ritus kampua juga dimakan
oleh keluarga pelaksana ritus kampua dan para hadirin. Seusai acara
makan bersama, rangkaian acara ritus kampua dianggap telah selesai dan
para lebe, sando, dan hadirin dapat pulang ke rumah masing-masing.

19.3. Ritus Kangkilo


Kata “kangkilo” (bahasa Muna) berasal dari kata kerja dasar “ngkilo”
yang berarti berkhitan. Setelah mendapat awalan ka- maka kata kangkilo
menjadi kata benda yang berarti khitanan. Menurut Kamus Budaya

295
Sulawesi Tenggara, kangkilo adalah upacara penyunatan bagi anak-anak
(Hanan dkk., 2007: 44). Khitan menurut Solikhin (2010: 167) adalah
memotong kulit penutup ujung zakar atau kemaluan laki-laki atau
membuang bagian kelentit atau gumpalan jaringan kecil pada ujung lubang
vulva pada bagian atas kemaluan perempuan.
Dalam tradisi etnik Muna, kangkilo tidak dilaksanakan seperti yang
dijelaskan Solikhin di atas. Akan tetapi, dilaksanakan dengan cara yang
sangat sederhana, yaitu melukai sedikit dengan silet atau pisau dapur kulit
bagian kepala penis anak laki-laki atau melukai sedikit bagian kanan
kabumbu (kemaluan perempuan, khususnya bagian yang gembung sebelah
atas) sampai mengeluarkan sedikit darah. Sebelum di-ngkilo (dikhitan),
peserta kangkilo dipersilakan berwudu seperti wudu untuk mengerjakan
salat lima waktu.
Cara berwudu menurut ajaran Islam adalah dimulai dengan (1) berniat
dalam hati dengan lafal “Nawaitu wudu’a Lii rafil hadatsil akbaar lillaahi
ta’ala” (Sengaja saya berwudu untuk menghilangkan hadas besar karena
Allah Taala); (2) membasuh kedua tangan sebanyak tiga kali; (3)
membasuh muka sebanyak tiga kali; (4) berkumur sebanyak tiga kali; (5)
membasuh kedua tangan sampai ke siku sebanyak tiga kali; (6) membasuh
kedua telinga sebanyak tiga kali; (7) membasuh ubun-ubun sebanyak tiga
kali; dan (8) membasuh kedua kaki sampai mata kaki sebanyak tiga kali.
Setelah itu membaca doa sesudah wudu yang berbunyi “Asyhadu anlaa
ilaaha illa Allah, wa asyhadu anna muhammadar rasulullah” yang berarti
“Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang wajib disembah, kecuali Allah
dan saya bersaksi pula bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah”.

296
Setelah berwudu, peserta kangkilo laki-laki memakai sarung dan
kopiah hitam tanpa mengenakan celana dalam dan baju, sedangkan peserta
kangkilo perempuan hanya mengenakan sarung tanpa celana dalam dan
baju. Setelah peserta kangkilo siap untuk dikhitan, maka lebe atau sando
mempersilakan peserta kangkilo masuk ke kamar yang sudah dipersiapkan.
Selanjutnya lebe atau sando mempersilakan peserta kangkilo duduk di atas
sebuah kelapa kering yang masih ada sabutnya.
Selanjutnya lebe atau sando mulai mengkhitannya. Setelah dilukai
sedikit dengan silet atau pisau dapur sampai mengeluarkan darah pada
kulit bagian kepala penis anak laki-laki atau melukai sedikit bagian kanan
kabumbu (kemaluan perempuan, khususnya bagian yang gembung sebelah
atas) sampai mengeluarkan darah, lebe atau sando menadah darah yang
keluar dengan piring putih yang berisi abu dapur. Setelah darahnya ditadah
kemudian dioleskan air jeruk nipis pada bekas luka yang telah dikhitan.
Setelah itu peserta kangkilo dipersilakan untuk beristrahat sejenak,
kemudian lebe mendoai air dalam teko dengan doa penolak bala. Pada saat
mendoai air dalam teko dengan doa penolak bala tersebut, lebe menghadap
ke barat. Air dalam teko yang sudah didoai dengan doa penolak bala
dinamakan oe modaino. Seusai mendoai air dalam teko dengan doa
penolak bala, lebe mendoai lagi teko lain yang berisi air bersih dengan doa
pembawa berkah. Pada saat mendoai air dalam teko dengan doa pembawa
berkah, ia menghadap ke timur. Air dalam teko yang sudah didoai dengan
doa pembawa berkah dinamakan oe metaano.
Doa yang dibaca oleh lebe pada saat mendoai air dalam teko dengan
doa penolak bala (oe modaino) dan teko yang berisi air bersih dengan doa
pembawa berkah (oe metaano) untuk menyirami peserta kangkilo sama
297
dengan doa yang dibaca oleh lebe pada saat mendoai air dalam teko
dengan doa penolak bala (oe modaino) dan teko yang berisi air bersih
dengan doa pembawa berkah (oe metaano) dalam ritus kasambu.
Setelah lebe mendoai oe modaino dan oe metaano dalam teko, peserta
kangkilo dipersilakan duduk bertinggung mengahadap ke barat.
Selanjutnya dimandikan oleh lebe atau sando. Apabila peserta kangkilo
lebih dari satu orang, maka mereka duduk bertinggung dan berjejer mulai
dari yang tertua sampai yang paling muda. Anak yang paling tua duduk
bertinggung sebelah kanan dan anak yang paling muda duduk bertinggung
sebelah kiri. Saat pertama menetes oe modaino yang disiramkan oleh lebe
atau sando kepada peserta kangkilo harus ditampar/dipukul ke depan
sebanyak tiga kali. Lebe menyirami mereka satu per satu sampai air dalam
teko tersebut habis. Setelah habis oe modaino dalam teko peserta kangkilo
dipersilakan menghadap ke timur masih dalam posisi duduk bertinggung.
Selanjutnya disirami lagi dengan oe metaano di dalam teko. Saat disirami
dengan oe metaano, mereka tidak perlu lagi menampar/memukul air ke
depan sebanyak tiga kali. Proses menyirami/memandikan peserta kangkilo
sama dengan proses memandikan peserta kasambu.
Setelah disirami dengan oe modaino dan oe metaano, peserta
kangkilo dipersilakan untuk berwudu, seperti wudu ketika mau
melaksankan salat lima waktu. Setelah berwudu, mereka mengenakan
pakaian muslim, kemudian duduk di dalam ruangan yang sudah
dipersiapkan untuk mengikuti proses katoba (pertobatan). Mereka duduk
di hadapan lebe yang akan menasihati dan memberikan pemahaman
tentang isi katoba dan disaksikan oleh keluarga dan hadirin yang
diundang.
298
Setiap peserta kangkilo sudah disediakan pitara-nya masing-masing,
yaitu satu liter beras putih ditaruh di dalam piring dan di atas beras putih
ditaruh sebutir telur mentah. Pitara tersebut ditaruh di depan peserta
kangkilo masing-masing. Sambil duduk bersila, mereka dibentangkan kain
putih. Pada saat dinasihati dan diberikan pemahaman tentang isi katoba,
mereka memegang ujung kain putih yang dibentangkan di depan mereka
dan lebe yang menasihati dan memberikan bimbingan tentang isi katoba
juga memegang salah satu ujung kain putih tersebut.
Pada saat dinasihati dan diberikan bimbingan tentang isi katoba,
peserta kangkilo diberikan tiga materi pokok. Pertama, pemahaman
tentang dua kalimat syahadat (pengakuan bahwa tidak ada Tuhan yang
wajib disembah, kecuali Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah.
Kedua, wambano toba (bahasa toba), yaitu mengenai aplikasi dan
implementasi rukun iman (percaya kepada Allah, percaya kepada para
malaikat, percaya kepada kitab-kitab Allah, percaya kepada para Nabi dan
para Rasul, percaya kepada hari kiamat/kematian, dan percaya kepada
qodha dan qodar/takdir baik dan takdir buruk); dan rukun Islam
(mengucapkan dua kalimat syahadat, mengerjakan salat lima waktu,
berpuasa penuh selama bulan Ramadan, membayar zakat fitrah, dan
menunaikan ibadah haji bagi orang yang sudah mampu). Ketiga,
bimbingan tentang tata susila atau sopan santun, misalnya taat kepada
kedua orang tua, menghargai dan menyayangi saudaranya, menghormati
orang lain, tidak boleh mengambil hak orang lain tanpa izin, tidak boleh
berbohong, tidak boleh menjadi saksi palsu dan sebagainya.
Selengkapnya, contoh nasihat katoba dalam ritus kangkilo versi
bahasa Muna dan terjemahannya pada etnik Muna dapat dilihat pada
299
lampiran 9 dan 10. Setelah proses pemberian nasihat dan bimbingan
katoba, acara dilanjutkan dengan pembacaan doa haroa rasul. Isi haroa
rasul, susunannya, dan doa yang dibaca dalam ritus kangkilo sama dengan
isi haroa rasul dan susunannya, serta doa yang dibaca dalam ritus
kasambu dan ritus kampua. Proses mendoai air dalam teko dengan doa
penolak bala dan doa pembawa berkah, pemberian nasihat dan bimbingan
katoba, serta pembacaan doa haroa rasul dalam ritus kangkilo pada etnik
Muna dapat dilihat pada gambar-gambar di bawah ini. Pelaksanaan ritus
kangkilo pada etnik Muna memiliki beberapa makna, di antaranya
pembersihan diri, yaitu mengeluarkan darah pada bagian kelamin anak
untuk mengikuti perintah Tuhan yang diserukan kepada Nabi Ibrahim a.s.
kemudian diwariskan kepada Nabi Muhammad dan umatnya. Selain itu,
makna yang terkandung dalam ritus kangkilo adalah pemberian nasihat
dan bimbingan toba (pertobatan) sehingga setelah diberikan nasihat dan
bimbingan toba kepada anak yang di-ngkilo harus sudah dapat
membedakan mana yang baik dan mana yang jelek. Setelah di-toba si anak
juga harus sudah mulai meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak baik
dan merugikan orang lain dan ia mulai memiliki kewajiban untuk
beribadah kepada Allah, terutama mengamalkan rukun Islam, yaitu
mengucapkan dua kalimat syahadat, mengerjakan salat lima waktu,
berpuasa penuh pada bulan Ramadan, mengeluarkan zakat fitrah, dan
menunaikan ibadah haji kalau sudah mampu.
Kelengkapan ritus kangkilo seperti kelapa kering, isi haroa rasul pada
saat dibacakan doa setelah proses katoba (pertobatan), dan doa penolak
bala dan pembawa berkah yang dibaca oleh lebe ketika mendoai air dalam
tekountuk menyirami peserta kangkilo. Proses pembacaan doa haroa rasul
300
dalam ritus kangkilo pada bagian ini tidak dibahas lagi karena sama
dengan penjelasan seperti yang telah diuaraikan pada bagian ritus
kasambu.

19.4. Ritus Karia


Kata “karia” (dari bahasa Muna) berarti pingitan. Menurut Kamus
Budaya Sulawesi Tenggara “karia” adalah upacara yang dilaksanakan
bagi gadis yang menginjak dewasa (Hanan dkk., 2007: 47). Ritus karia
dalam tradisi etnik Muna merupakan pesta keluarga yang paling penting
dan pesta besar yang dianggap sebagai festival atau pengumuman kepada
masyarakat bahwa ada anak perempuan yang memasuki usia
remaja/dewasa.
Ritus karia (pingitan) hanya dilaksanakan untuk anak perempuan
etnik Muna. Pelaksanaannya adalah ketika anak perempuan menjelang
umur dewasa yang ditandai dengan menstruasi pertama kalinya atau kira-
kira pada usia empat belas atau lima belas tahun ke atas. Kadang-kadang
dilaksanakan ketika anak perempuan akan dipinang oleh seorang laki-laki.
Hakikat ritus karia menurut tradisi etnik Muna adalah mengembalikan
seorang anak perempuan ke rahim ibunya sehingga setelah di-karia-kan
menjadi lebih matang, baik cara berperilaku maupun berpikir, terutama
yang berkaitan dengan masalah keibuan atau rumah tangga. Hal itu
penting sebab selama berada di dalam songi (pingitan), ia senantiasa
dinasihati dan dibimbing oleh pomantoto (tokoh adat perempuan) selama
empat hari empat malam atau dua hari dua malam.
Ada empat tahapan dalam ritus karia pada etnik Muna, yaitu (1)
persiapan (2) kaghombo, (3) pementasan tari linda, dan (4) kaghorono

301
bhansa (pembuangan mayang pinang). Keempat tahapan tersebut
dideskripsikan sebagai berikut.

19.4.1. Persiapan
Ketika sebuah keluarga bermaksud untuk melakukan ritus karia
terhadap anak perempuan mereka, maka diadakan musyawarah keluarga.
Selain itu, juga diberikan kesempatan kepada keluarga lain atau
tetangganya apabila ada yang ingin menggabungkan anak-anak perempuan
mereka untuk di-karia-kan secara bersama-sama karena ritus karia dapat
dilaksanakan sendiri atau secara bersama-sama (umumnya berjumlah
ganjil), misalnya tiga orang, lima orang, dan seterusnya.
“Ritus karia pada etnik Muna dapat dilakukan sendiri, dua orang, tiga
orang, atau lebih. Tapi biasanya berjumlah ganjil, misalnya satu orang,
tiga orang, lima orang, tujuh orang, dan seterusnya. Peserta karia biasanya
dipingit/di-ghombo selama satu hari satu malam, dua hari dua malam, atau
empat hari empat malam. Dahulu, peserta karia dipingit/di-ghombo selama
44 hari dan 44 malam. Akan tetapi, banyak orang tidak mampu sehingga
dipersingkat menjadi empat hari dan empat malam, atau dua hari dua
malam, bahkan bisa juga hanya satu hari satu malam”.
Setelah tiba saat yang ditentukan untuk memulai pelaksanaan
kaghombo, tuan rumah pelaksana karia mengutus seorang lebe pergi ke
sungai mengambil air dua jeriken untuk menyirami peserta karia sebelum
memasuki songi. Tiba di sungai lebe memberikan salam, kemudian
membaca mantra “Aitu ini amealaikaitamu aeala oe sodaekadiu
kalambehimani sokokariano. Siosiomo kabarakatino oeno laa ini

302
daoghosahi kalambehimani sokokariano ini. Aituini taelamo oe ini.
Wasalam alaikum kabarakatino oeno laa ini”.
Mantra di atas mengandung makna permohonan izin kepada makhluk
penjaga sungai, sekaligus memohon agar air yang diambil dari sungai
tersebut memberikan keberkahan kepada peserta karia yang akan dipingit
sehingga mereka selalu dalam keadaan sehat dan kuat selama
melaksanakan ritus karia.
Setelah memberikan salam dan membaca mantra, ia mulai mengisi
kedua jeriken sekaligus dengan air sungai dari arah yang berlawanan, yaitu
satu jeriken mengikuti arus sungai, sedangkan yang satu jeriken melawan
arus sungai. Setelah kedua jeriken diisi dengan air sungai, kemudian
ditutup sekaligus diberikan tanda/kode agar dapat dibedakan antara jeriken
yang diisi air yang mengikuti arus sungai dan jeriken yang diisi air yang
melawan arus sungai.
Seorang lebe yang sedang mengisi dua buah jeriken secara bersamaan,
yaitu satu jeriken diisi mengikuti arus sungai dan jeriken yang satu diisi
melawan arus sungai. Lebe mengisi air dengan mengikuti arus sungai
dapat dimaknai bahwa ia berharap melepaskan segala kesialan/musibah
yang akan menimpa peserta karia. Sehubungan dengan itu, air tersebut
didoai dengan doa penolak bala untuk disiramkan kepada peserta kasambu
sebelum memasuki kamar pingitan (songi). Adapun lebe mengisi air
dengan melawan arus sungai dimaknai bahwa ia mengharapkan
keberkahan dari air tersebut untuk melindungi peserta karia. Oleh karena
itu, air dalam jeriken yang diisi dengan melawan arus sungai akan didoai
dengan doa pembawa berkah untuk disiramkan kepada peserta karia
sebelum memasuki kamar pingitan (songi).
303
19.4.2. Kaghombo
Kata “kaghombo” (dari bahasa Muna) berasal dari kata kerja dasar
“ghombo” yang berarti memeram/memingit. Setelah mendapatkan awalan
ka-, kata “kaghombo” berarti pemeraman/pingitan. Jadi, ritus kaghomo
menurut tradisi etnik Muna berarti memingit gadis yang telah dewasa
selama empat hari empat malam atau dua hari dua malam (dahulu pingitan
dalam tradisi masyrakat Muna berlangsung selama empat puluh empat
malam). Proses kaghombo mulai dilaksanakan pukul 20.00 pada malam
pertama dan keluar dari pingitan pukul 15.00 pada hari terakhir.

Sebelum proses pelaksanaan ritus kaghombo (pingitan), ada beberapa


kelengkapan atawa yang harus dipersiapkan:
“Sebuah songi (kamar tempat pingitan) yang sudah didekorasi dengan
kain yang indah, pitara (satu liter beras dan dua butir telur mentah
untuk tiap-tiap peserta kaghombo), bedak kampung yang dicampur
dengan kunyit yang sudah diparut, bhansano bhea (mayang pinang),
sebuah kantalea padhamara (sejenis lampu tembok dengan
menggunakan minyak kelapa asli), dua jeriken air bersih yang diambil
sekaligus dari arus sungai yang berlawanan, sebuah kelapa kering
yang masih ada sabutnya, dua buah teko kosong, dan satu pasang
gong dan gendang”.

Pitara (beras dan telur) yang merupakan kelengkapan kaghombo,


dapat dimaknai sebagai penebus fitrah. Demikian pula air yang diambil
dari arus sungai yang berlawanan, yaitu di satu sisi untuk menghilangkan
kesialan/musibah dan di sisi lain mengharapkan keberkahan dari air sungai
tersebut. Selain itu, lampu padhamara yang merupakan lampu tradisional
304
dari leluhur etnik Muna dianggap sebagai penerang. Jadi, simbol-simbol
yang digunakan dalam kelengkapan kaghombo sudah dilegitimasi oleh
etnik Muna.

19.4.3. Pelaksanaan Kaghombo


Pelaksanaan ritus kaghombo dalam ritus karia dalam tradisi etnik
Muna biasanya dimulai setelah salat isya, yaitu sekitar pukul 20.00.
Sebelum pelaksanaan kaghombo, beberapa orang lebe dan pomantoto
harus sudah berada di tempat pelaksanaan ritus karia. Di samping itu,
kelengkapan untuk ritus kaghombo seperti yang disebut di atas juga sudah
siap.
Setelah kelengkapan kaghombo dipersiapkan, orang-orang yang
ditugasi untuk memukul gong dan gendang mulai melaksanakan tugasnya,
yaitu memukul gong dan gendang sebagai tanda bahwa tahapan pertama
untuk pelaksanaan ritus kaghombo segera dimulai. Ketika terdengar bunyi
gong dan gendang, lebe mempersilakan peserta karia keluar melalui pintu
depan untuk melaksanakan kegiatan polobha. Gong dan gendang dipukul
terus-menerus sampai selesai kegiatan polobha. Polobha adalah
mengelilingi rumah tempat mereka di-ghombo selama satu putaran dan
pada saat tiba di belakang rumah, mereka mampir membuang hajat (secara
simbolik) di sebuah tempat yang sudah dipersiapkan.
Pada saat melakukan kegiatan polobha, peserta karia hanya
mengenakan dua lembar sarung tanpa pakaian dalam. Kedua sarung
tersebut dipakai bersamaan sehingga dapat menutup kepala mereka.
Sebelum peserta karia keluar, lebe berdiri di depan pintu untuk membaca
mantra. Mantra yang dibaca adalah “Assalam alaikum Nabi Adhamu.

305
Ompu, Semie-mieno. Wakasami kaangkaha molalesano talumimba
weluara taeghoro modaino. Ghondofao kasami kaasi ini. Bhahi tasala
noganggu kasami o dhini tawa maighono ne kawea sigaahano. Aitu ini,
talumimbamo. Ghondofao kasami”.
Makna mantra di atas pada hakikatnya adalah memberikan salam
kepada Nabi Adam dan memohon perlindungan Allah agar dibukakan
jalan yang seluas-luasnya kepada peserta karia ketika melakukan kegiatan
polobha. Di samping itu, ia juga memohon agar para peserta karia tidak
diganggu oleh jin atau makhluk halus lainnya selama melakukan kegiatan
polobha.
Setelah membaca mantra tersebut, lebe keluar menuju belakang rumah
dan diikuti oleh peserta karia yang tertua, kemudian disusul oleh peserta
karia kedua, ketiga, dan seterusnya berdasarkan umur. Setelah semua
peserta karia keluar menuju belakang rumah, pomantoto mengikuti
mereka dari belakang. Di belakang pomantoto disusul lagi oleh orang tua
perempuan atau saudara perempuan peserta karia.
Tiba di belakang rumah (di tempat untuk membuang hajat yang sudah
disiapkan) peserta karia mampir sejenak satu per satu untuk membuang
hajat secara simbolik. Setelah itu mereka diarahkan oleh lebe untuk
kembali masuk ke rumah melalui pintu depan mengikuti lebe. Pomantoto
dan orang tua perempuan tetap mengikuti mereka sampai masuk ke
rumah.

Sebelum masuk rumah, lebe yang menuntun mereka pada saat


melakukan kegiatan polobha membacakan mantra lagi, yaitu “Assalam
alaikum Nabi Adhamu. Ompu, Semie-mieno. Tarimakasi kaasi.
Katumpuno lalomani watu kaasi rampano padamo otulumi kasami,
306
owakasami kalalesa, mina bhe haehae wolo kala-kala mani ini. Aitu ini
tamesuamo tora we lo lambu”.
Mantra tersebut pada hakikatnya bermakna pemberitahuan kepada
Nabi Adam dan penyampaian terima kasih kepada Allah karena peserta
karia telah melakukan kegiatan polobha dengan lancar dan aman. Selama
melakukan kegiatan polobha mereka tidak diganggu oleh jin atau makhluk
halus yang lain.
Setelah lebe memberikan salam dan menyampaikan ucapan terima
kasih kepada Allah (melalui mantra), ia dan peserta karia yang telah
melakukan kegiatan polobha langsung masuk ke rumah menuju sebuah
ruangan besar yang dilapisi dengan terpal. Di dalam ruangan tersebut
peserta karia akan dimandikan oleh pomantoto dan dituntun oleh lebe.
Setelah peserta karia berada di dalam ruangan tersebut, lebe mendoai
air di dalam dua buah teko yang diisi dari jeriken yang diambil dari sungai.
Kedua teko air tersebut sudah ditandai sehingga dapat dibedakan antara air
yang diambil mengikuti arus sungai dan air yang diambil melawan arus
sungai. Air dalam teko yang diambil mengikuti arus sungai didoai oleh
lebe dengan doa penolak bala dan air tersebut dinamakan oe modaino.
Pada saat mendoainya, lebe menghadap ke barat. Adapun air dalam teko
yang diambil melawan arus sungai didoai oleh lebe dengan doa pembawa
berkah. Pada saat mendoainya, ia menghadap ke timur dan air yang sudah
didoai tersebut dinamakan oe metaano.
Doa yang dibaca oleh lebe dan prosedur mendoai teko yang berisi air
sungai dengan doa penolak bala (oe modaino) dan teko yang berisi air
sungai dengan doa pembawa berkah (oe metaano) untuk menyirami
peserta kaghombo dalam ritus karia sama dengan doa yang dibaca dan
307
prosedur mendoai air dalam teko dengan doa penolak bala dan doa
pembawa berkah untuk menyirami peserta kasambu dan kangkilo.
Setelah kedua teko air tersebut didoai oleh lebe, para peserta
kaghombo dipersilakan duduk bertinggung di atas terpal menghadap ke
barat dengan mengenakan sarung tanpa baju dan pakaian dalam.
Selanjutnya, kedua teko air yang sudah didoai tersebut dituangkan ke
dalam dua buah ember besar yang berbeda dan dicampur dengan air sumur
lalu diisi kembali di dalam teko untuk menyirami peserta kaghombo.
Peserta kaghombo duduk bertinggung menghadap ke barat pada saat
disirami dengan oe modaino. Mereka disirami oleh pomantoto dan
disaksikan oleh beberapa orang lebe dan orang tua perempuan atau saudara
perempuan peserta karia.
Air yang pertama disiramkan kepada peserta karia adalah oe modaino.
Pomantoto menyiramkan oe modaino dimulai kepada peserta karia yang
tertua dan berakhir kepada peserta karia yang termuda. Pada saat pertama
kali disiramkan oe modaino kepada setiap peserta karia oleh pomantoto, ia
(peserta karia) harus menampar atau memukul air yang turun dari teko
tersebut ke arah depannya sebanyak tiga kali berturut-turut. Setelah
memukul air yang turun itu, peserta karia membasuh air yang turun dari
teko ke seluruh tubuhnya dari atas ke bawah.
Setelah oe modaino disiramkan kepada peserta karia, pomantoto
mempersilakan peserta karia untuk duduk bertinggung kembali
menghadap ke timur. Makna menghadap ke timur adalah mengharapkan
berkah dari Allah yang muncul dari arah timur bersama sinar matahari.
Setelah itu mereka disiram lagi dengan oe metaano. Pada saat disiramkan
oe metaano kepada setiap peserta karia oleh pomantoto, peserta karia
308
tidak perlu menampar atau memukul air yang turun dari teko ke arah
depan karena oe metaano adalah air pembawa berkah yang sudah didoai
oleh lebe. Peserta karia disiram satu per satu mulai dari yang tertua
sampai yang termuda.
Makna menghadap ke barat dan memukul air yang pertama
disiramkan oleh pomantoto sebanyak tiga kali berturut-turut ke arah depan
peserta karia adalah agar semua hal yang tidak diinginkan, seperti
penyakit, musibah, dan lain-lain mengikuti air tersebut dan akan
ditenggelamkan oleh matahari ke arah barat.
Setelah disiram dengan oe metaano, peserta karia dipersilakan untuk
berwudu masing-masing. Selanjutnya mengenakan sarung baru berwarna
putih yang telah disiapkan oleh orang tua perempuan atau saudara
perempuan masing-masing. Mereka hanya mengenakan sarung putih dan
pakaian dalam (tanpa memakai baju). Kemudian mereka berjalan menuju
ruangan khusus yang dipersiapkan untuk dibacakan doa haroa rasul.
Setelah berkumpul di dalam sebuah ruangan tempat akan dibacakan
doa haroa rasul, beberapa orang yang bertugas memukul gong dan
gendang mulai memukul gong dan gendang sebagai tanda bahwa peserta
karia akan segera dibacakan doa haroa rasul. Di dalam ruangan tersebut
haroa rasul telah siap dan ditaruh di tengah peserta karia. Isi dan susunan
haroa rasul di dalam dulang sama dengan isi dan susunan haroa rasul
pada ritus kasambu, kampua, dan kangkilo. (Catatan: lapa-lapa isi haroa
rasul pada ritus kampua, kangkilo, dan karia tidak dikupas salah satu
ujungnya dan tidak diikatkan sepotong daging manu kasinganga, atau
daging manau kaowei, atau daging manu kakele seperti dalam ritus
kasambu).
309
Dalam ruangan tersebut peserta karia duduk melingkar dan
didampingi oleh orang tuanya/sauadara perempuan masing-masing.
Setelah semuanya siap, lebe duduk bersila kemudian meminta izin kepada
orang tua peserta karia untuk memulai membacakan doa haroa rasul.
Prosedur pembacaan doa haroa rasul dan doa yang dibaca oleh lebe untuk
peserta karia sebelum memasuki songi sama dengan prosedur pembacaan
doa haroa rasul dan doa yang dibaca oleh lebe pada ritus kasambu,
kampua, dan kangkilo.
Setelah membaca doa haroa rasul, lebe langsung berjabatan tangan
dengan peserta karia yang paling tua, kemudian peserta karia yang tertua
kedua, ketiga, sampai yang termuda. Selanjutnya, berjabat tangan dengan
pomantoto, keluarga, dan hadirin. Setelah itu ia membuka penutup talang
(dulang) lalu mengambil satu butir telur rebus di dalam talang, lalu
dikupas kulitnya, kemudian disuapkan kepada peserta karia yang paling
tua. Pada saat ia menyuapkan telur tersebut kepada peserta karia, ia hanya
membaca salawat nabi yang berbunyi “Allahumma shalli a’laa
Muhammad Wa a’laa alyi Muhammad”. Setelah itu pomantoto juga
mengambil salah satu jenis makanan yang ada di dalam talang, lalu
disuapkan kepada peserta karia yang lain. Hal ini dilakukan oleh
pomantoto sampai semua peserta karia mendapat bagian/suapan. Biasanya
pomantoto menanyakan terlebih dahulu kepada peserta karia mengenai
jenis makanan yang disukai di antara makanan yang sudah disiapkan di
dalam talang.
Setelah peserta karia dibacakan doa haroa rasul dan disuapi dengan
isi haroa rasul, lebe masuk ke songi untuk membacakan mantra dengan
harapan agar peserta karia dilindungi oleh Allah dari gangguan makhluk
310
halus atau jin selama berada di songi. Mantra yang dibaca adalah sebagai
berikut.

“Bisimillaahir rahmaanir rahiim. Taesalo ne Ompu, Ompu, Semie-


mieno. Sio-siomo kaasi kalambehimani sonighombo ini damaanda
kalalesa, kaghosa, damekakodohoandae bala, modaino sikadhi
maighono ne dhini atawa mahaluku moalusuno segaahano
dadhumaganida. Kamponano fato gholeo fato alo kalambehi mani
ini tatawakalaane ne Ompo Semie-mieno. Amin, ya Rabbil Alamin”.
Mantra di atas pada hakikatnya mengandung makna permohonan
kepada Allah agar para peserta karia diberi kelonggaran, kekuatan,
kesehatan, dan dijauhkan dari hal-hal yang tidak diinginkan. Di samping
itu, dimohon agar Allah menjaga dan melindungi mereka dari gangguan
jin dan makhluk halus lainnya selama empat hari empat malam berada
dalam songi.
Setelah membaca mantra, lebe keluar dari songi (kamar pingitan) dan
selanjutnya pomantoto masuk dalam songi tersebut sambil mengait jari
tangan peserta karia yang tertua, disusul oleh peserta karia berikutnya
berdasarkan umur. Selama empat hari empat malam berada di dalam
kamar pingitan, peserta karia tidak boleh membuang air besar. Oleh
karena itu, mereka hanya diberi makan sebelah ketupat dan sebelah telur
rebus sebanyak dua kali dalam sehari, yaitu pada waktu pagi dan malam.
Kegiatan peserta karia selama berada dalam kamar pingitan adalah sebagai
berikut.

“Peserta karia selama berada dalam kamar pingitan hanya diberikan


makan setengah biji ketupat dan setengah butir telur rebus karena

311
mereka tidak boleh membuang hajat selama dipingit. Mereka juga
hanya boleh minum setelah makan. Mereka hanya tidur sebentar pada
malam hari. Mereka tidak boleh berbicara keras karena suara mereka
tidak boleh didengar oleh orang di luar kamar pingitan. Setiap waktu
salat di luar kamar pingitan gong dan gendang harus dipukul sebagai
tanda waktu salat. Setiap mendengarkan bunyi gong dan gendang
pomantoto harus membedaki peserta karia satu per satu. Seusai makan
pagi dan makan malam, peserta karia dinasihati/dibimbing dengan
materi tentang kehidupan rumah tangga. Pada waktu tidur, mereka
menggunakan parang bhongke (parang tumpul yang tidak pernah
dipakai) untuk bantal kepala mereka.
Setiap waktu salat (salat lima waktu, yaitu Isya, Subuh, Zuhur, Asar,
dan Magrib) tiba, di depan kamar pingitan (songi) harus dipukulkan gong
dan gendang sebagai tanda waktu untuk melaksanakan kegiatan khusus di
dalam kamar pingitan, yaitu peserta karia dibedaki dengan bedak
kampung dicampur kunyit yang diparut oleh pomantoto. Selain dibedaki,
peserta karia juga dinasihati dengan materi tentang rahasia kehidupan
dalam berumah tangga. Mereka dinasihati oleh pomantoto setiap selesai
makan pagi dan makan malam. Materi tentang rahasia kehidupan dalam
berumah tangga harus disampaikan agar setelah berumah tangga, mereka
tidak merasa kaget. Misalnya, mengapa suaminya memperlakukannya
seperti ini.
Setelah dianalisis makna nasihat dan bimbingan dalam pingitan
terhadap peserta karia, maka tampak jelas bahwa intinya adalah diberikan
pemahaman tentang sifat/karakter laki-laki dan kebutuhannya dalam
rumah tangga. Demikian pula, bantal kepala peserta karia selama berada
312
dalam pingitan adalah parang bhongke (besi yang tumpul karena lama
tidak dipakai) dapat dimaknai agar peserta karia setelah berumah tangga
memiliki kekuatan iman seperti besi sehingga tidak mudah terpengaruh
segala godaan dari siapa pun. Peserta karia selama dalam pingitan juga
hanya diberikan makan sebelah ketupat dan sebelah telur rebus dan hanya
diperbolehkan tidur sedikit selama berada dalam pingitan, baik siang
maupun malam, maknanya adalah agar mereka terlatih dengan makan
yang sedikit dan tidur yang sedikit sehingga ketika memasuki rumah
tangga baru, mereka tidak merasa kaget.

19.4.4. Pementasan Linda


Setelah empat hari empat malam berada dalam kamar pingitan (songi),
peserta kaghombo keluar dari kamar tersebut untuk melakukan kegiatan
selanjutnya yang masih berkaitan dengan ritus karia, yaitu pementasan tari
linda. Mereka keluar dari kamar pingitan pada sore hari, yaitu sekitar
pukul 15.30. Mereka keluar satu per satu mulai dari peserta karia yang
tertua sampai yang termuda. Setelah semua keluar, lebe masuk dalam
songi lagi untuk membaca mantra sekaligus menyampaikan ucapan terima
kasih sebagai tanda syukur kepada Allah SWT karena selama berada
dalam kamar pingitan Allah telah melindungi peserta karia. Mantra yang
dibaca oleh lebe dalam kamar pingitan (songi) setelah peserta kaghombo
keluar adalah sebagai berikut.

“Bismillahir rahmaanir rahiim. Ompu, Semie-mieno, katumpuno


lalomani rampahano kalambehimani owanda kaghosa, kalalesa,
ofekakodohoandae bala, odhaganida, mina dagumanggu-gangguda
maighoono ne kawea tawa odhini. Dadi, katumpuna lalomani kaasi
313
ini. Sio-siomo kalambehimani ini dadhumalami kariando ini
daghumondofaanda kansuru. Amin”.

Mantra di atas pada hakikatnya mengandung makna ucapan syukur


kepada Allah karena para peserta kaghombo telah selesai dipingit selama
empat hari empat malam. Di samping itu, selama berada di dalam songi
Allah memberikan kekuatan, kelonggaran, kesehatan, dijauhkan dari bala,
dan dilindungi dari gangguan jin atau makhluk halus lainnya.
Setelah keluar dari songi, peserta karia dipersilakan mandi sendiri-
sendiri kemudian didandani oleh tukang dandan yang sudah dipersiapkan
oleh keluarga masing-masing. Kesempatan untuk berdandan sampai
matahari terbenam (menjelang waktu salat Magrib) dan sebelum pukul
20.00 malam mereka harus sudah berada di panggung untuk
mempertunjukkan tari linda. Panggung telah dipersiapkan sejak pagi hari
sebelum peserta karia keluar dari songi. Panggung dibangun tidak terlalu
jauh dari tempat pingitan karena pada saat peserta karia pergi ke panggung
tidak boleh berjalan kaki, tetapi mereka harus di-lima (dibawa di atas
tangan) oleh dua orang keluarganya. Di tempat mereka berdandan, sudah
dipersiapkan kain putih yang panjang, dipajang di atas lantai untuk tempat
injak mereka menuju ke pintu rumah, dan dua orang keluarga mereka
masing-masing sudah menunggu di depan pintu rumah untuk membawa
mereka ke panggung tempat pementasan tari linda.
Pada saat dibawa di atas tangan oleh dua orang keluarganya dari
rumah tempat pingitan ke panggung tempat pementasan tari linda, peserta
karia harus memejamkan/menutup kedua matanya dan tidak boleh dibuka,
kecuali setelah lebe meniup sulutaru (lilin) yang sudah dipersiapkan oleh
keluarga peserta karia masing-masing. Sulutaru (lilin) tersebut dalam
314
keadaan menyala dan ditaruh di depan kursi tempat duduk peserta karia
masing-masing. Kursi-kursi tempat duduk peserta karia dijejer di atas
panggung menghadap ke timur berdasarkan urutan umur. Peserta karia
yang tertua adalah yang pertama dibawa ke panggung dan kursi tempat
duduknya berada di ujung bagian kanan. Setelah itu peserta karia kedua,
ketiga, keempat, dan seterusnya berdasarkan umur sampai yang terakhir.
Peserta karia yang terakhir adalah peserta karia yang paling muda dan
kursi tempat duduknya berada di ujung bagian kiri.
Setelah semua peserta karia duduk di kursi masing-masing, beberapa
lebe mengoleskan tanah liat yang basah dengan menggunakan rumput
lakoora (jenis rumput gajah) kepada setiap peserta karia mulai dari
keningnya, leher, kedua bahu, kedua siku, kedua pergelangan tangan,
kedua jari tangan, kedua pinggang, kedua paha, kedua lutut, kedua betis,
kedua mata kaki, dan kedua telapak kakinya. Setelah diolesi tanah liat
yang basah dengan menggunakan rumput lakoora, peserta karia diberikan
makan sirih dan isi buah pinang yang muda oleh lebe yang sama.
Tanah liat yang basah dioleskan kepada peserta karia pada etnik Muna
dimaknai bahwa manusia pertama diciptakan dari tanah. Jadi, ketika
peserta karia berada dalam kamar pingitan, menurut kepercayaan etnik
Muna Muslim tradisional adalah mengembalikannya ke dalam rahim
ibunya dan selama berada dalam pingitan seolah-olah berada dalam rahim
ibunya. Selama berada dalam kamar pingitan, peserta kaghombo hanya
diberikan makan sebelah ketupat dan sebelah telur rebus. Ketupat oleh
etnik Muna dianggap sebagai simbol kelamin wanita, sedangkan telur
sebagai simbol bahwa pada dasarnya manusia berasal dari sel telur.

315
Pada saat dioleskan tanah liat pada kening, leher, kedua bahu, kedua
siku, kedua pergelangan tangan, kedua jari tangan, kedua pinggang, kedua
paha, kedua lutut, kedua betis, kedua mata kaki, dan kedua telapak kaki
peserta karia berdasarkan asumsi etnik Muna bahwa tempat tersebut
(kening, leher, kedua bahu, kedua siku, kedua pergelangan tangan, kedua
jari tangan, kedua pinggang, kedua paha, kedua lutut, kedua betis, kedua
mata kaki, dan kedua telapak kaki) merupakan tempat berhentinya nyawa
manusia.
Setelah semua peserta karia diolesi tanah liat yang basah dan
diberikan makan sirih dan isi buah pinang yang muda, beberapa lebe
meniup sulutara (lilin yang menyala) secara serentak. Setelah semua
sulutara ditiup, para peserta karia diperbolehkan membuka mata mereka.
Setelah itu seorang tokoh adat diundang untuk memberikan sambutan atau
pidato di atas panggung. Dalam sambutan/pidatonya, tokoh adat
menyampaikan beberapa hal, di antaranya (1) sejarah ritus karia dalam
tradisi etnik Muna, (2) pengertian ritus karia dalam tradisi etnik Muna, (3)
hakikat dan makna ritus karia dalam tradisi etnik Muna, dan (4) hikmah
ritus karia dalam tradisi etnik Muna.
Setelah sambutan atau pidato yang disampaikan oleh salah seorang
tokoh adat, peserta karia bersiap-siap untuk menari satu per satu.
Selanjutnya, dipersilakan seorang penari linda yang profesional untuk
menari di atas panggung agar peserta karia dapat meniru cara menari
dengan tari linda. Setelah penari yang profesional tersebut
mempertunjukkan tari linda, peserta karia yang paling tua dipersilakan
untuk menari dengan tari linda di atas panggung. Sambil ia menari,
berbagai macam kado/bingkisan dilemparkan di depannya oleh teman-
316
temannya, keluarganya, dan hadirin. Setelah menari keluarga atau ibunya
mengumpulkan kado/bingkisan yang dilemparkan kepadanya lalu
dibungkus dengan sarung. Setelah itu ia kembali ke tempat duduknya.
Selanjutnya, dipersilakan peserta karia berikutnya untuk menari.
Setiap peserta karia yang menari, dilempari dengan kado/bingkisan
oleh teman-temannya, keluarganya, dan hadirin. Peserta karia
dipersilakan menari satu per satu berdasarkan umur sampai selesai semua.
Peserta karia yang menari terakhir adalah peserta karia yang paling muda.
Setelah semua menari, acara ditutup dengan doa bersama yang
dipimpin oleh lebe. Setelah doa bersama acara di panggung dinyatakan
selesai dan peserta karia, keluarganya, dan hadirin kembali ke tempat
pingitan. Peserta karia yang pertama dibawa ke rumah tempat pingitan
adalah peserta karia yang tertua, disusul oleh peserta yang kedua, ketiga,
sampai terakhir (peserta yang termuda).
Sesampainya di rumah tempat pingitan mereka duduk melingkar di
sebuah ruangan untuk dibacakan doa haroa rasul. Adapun isi haroa rasul
dan proses pembacaan doa haroa rasul setelah pementasan tari linda sama
dengan isi haroa rasul dan proses pembacaan doa haroa rasul sebelum
kaghombo (pingitan). Setelah dibacakan haroa rasul, peserta karia
dipersilakan keluar melalui pintu depan untuk diinjakkan kaki kanannya di
atas tanah oleh lebe. Setelah itu para peserta karia diperbolehkan berjalan
sendiri di atas tanah.

19.4.5. Kaghorono Bhansa


Kata “kaghorono bhansa” (dari bahasa Muna) terdiri atas dua kata,
yaitu “kaghorono” dan “bhansa”. Kata “kaghorono” berasal dari kata

317
kerja “ghoro” yang berarti membuang. Kata “kaghorono” yang mendapat
penambahan awalan ka- dan akhiran –no berarti pembuangan, sedangkan
kata “bhansa” berarti mayang dari pohon pinang. Jadi, kata “kaghorono
bhansa” berarti pembuangan mayang pinang.

Ritus kaghorono bhansa dalam tradisi etnik Muna dilaksanakan


setelah proses kaki kanan peserta karia diinjakkan di atas tanah oleh lebe,
yang dilaksanakan beberapa hari kemudian. Biasanya setelah kaki kanan
para peserta karia diinjakkan di atas tanah oleh lebe, keesokan harinya
panitia pelaksana ritus karia bersama orang tua peserta karia duduk
bersama untuk menentukan dan memilih hari yang terbaik untuk
melaksanakan ritus kaghorono bhansa. Biasanya hari yang dipilih untuk
pelaksanaan kaghorono bhansa tidak terlalu lama, yaitu antara satu sampai
dengan dua minggu setelah proses kaki kanan peserta karia diinjakkan di
atas tanah oleh lebe. Setelah disepakati hari yang terbaik untuk
pelaksanaan kaghorono bhansa, keluarga dan peserta karia
mempersiapkan diri untuk mengikuti acara tersebut. Apabila peserta karia
tidak mengikuti acara tersebut, maka karia yang diikuti dari awal sampai
acara kaki kanannya diinjakkan di atas tanah oleh lebe dianggap tidak
sempurna.
Adapun tata cara pelaksanaan ritus kaghorono bhansa adalah sebagai
berikut: setelah tiba hari pelaksanaan kaghorono bhansa, tuan rumah
pelaksana karia mengundang semua peserta karia dan keluarganya.
Setelah semua berkumpul, lebe masuk dan menuntun para peserta karia
keluar dari rumah menuju kendaraan yang akan digunakan pergi
membuang bhansa. Sebelum keluar rumah lebe membaca mantra
sekaligus meminta izin kepada Nabi Adam bahwa mereka akan keluar
318
rumah untuk membuang bhansa di sungai yang sudah ditentukan. Setelah
membaca mantra dan meminta izin kepada Nabi Adam, ia keluar dari
rumah menuju kendaraan yang akan digunakan membuang bhansa.
Setelah ia keluar menuju kendaraan, para peserta karia juga mulai keluar
satu per satu dimulai dari anak yang tertua sampai peserta karia yang
termuda. Pada saat persiapan akan berangkat ke sungai tempat
pembuangan mayang pinang (bhansa), beberapa orang yang bertugas
memukul gong dan gendang mulai melaksanakan tugas mereka. Gong dan
gendang dipukul sejak persiapan akan berangkat sampai di sungai tempat
pembuangan bhansa.
Setelah tiba di sungai tempat pembuangan bhansa, lebe
memerintahkan peserta karia untuk berkumpul di pinggir sungai tersebut.
Selanjutnya, sando mengeluarkan perahu bhansa (pinang yang terbentuk
seperti model perahu kecil) kemudian beberapa helai rambut setiap peserta
karia dipotong sebanyak lima kali oleh lebe, yaitu rambut bagian depan,
bagian atas, bagian kanan, bagian kiri, dan bagian belakang. Sebelum
memotong rambut peserta karia, lebe membaca salawat Nabi, yaitu
“Allahumma shalli a’laa Muhammad wa a’laa Aliy Muhammad”.
Pemotongan beberapa helai rambut dimulai dari peserta karia yang
tertua kemudian yang kedua, dan seterusnya sampai yang termuda. Helai
rambut yang dipotong diikat mayang pinang lalu ditaruh di dalam perahu
mayang selanjutnya ditaruh di sungai yang mengalir oleh sando sehingga
mayang pinang tersebut dibawa oleh arus sungai. Setelah menyaksikan
ritus kaghorono bhansa, maka rangkaian ritus karia dianggap selesai.
Selanjutnya, mereka dapat melaksanakan kegiatan lain, misalnya
berenang, bersantai, menikmati keindahan sungai, dan sebagainya. Setelah
319
itu mereka berkumpul kembali di tempat semula untuk makan bersama,
kemudian mempersiapkan diri pulang ke rumah masing-masing bersama
keluarga.

19.5. Ritus Kagaa


Kata “kagaa” (dari bahasa Muna) merupakan kata benda yang berarti
perkawinan. Kata kagaa berasal dari kata kerja gaa yang berarti menikah.
Ritus kagaa dalam tradisi etnik Muna terdiri atas tiga tahap, yaitu (1)
kabasano dhoa salama, (2) kafofelesao, dan (3) kafosulino katulu.

19.5.1. Kabasano Doa Salama


Ritus kabasano dhoa salama (pembacaan doa selamat) dalam tradisisi
etnik Muna dilaksanakan setelah akad nikah kedua pengantin. Akad nikah
dilaksanakan setelah delegasi dari pihak calon pengantin laki-laki
menanyakan kepada ayah calon pengantin perempuan, apakah putrinya
sudah diikhlaskan untuk dinikahkan dengan calon pengantin laki-laki.
Setelah ayah calon pengantin perempuan mengikhlaskan putrinya untuk
dinikahkan, selanjutnya calon pengantin perempuan juga diberikan
pertanyaan, apakah ia ikhlas/setuju untuk dinikahkan dengan calon
pengantin laki-laki. Setelah ia menjawab ikhlas/setuju maka ia diminta
untuk menandatangani surat nikah, lalu ayahnya diminta untuk
menandatangani surat nikah sebagai saksi.
Setelah calon pengantin perempuan dan ayahnya menandatangani
surat nikah, maka ijab kabul mulai dilaksanakan. Ayah calon pengantin
perempuan atau wali yang ditunjuk oleh ayah calon pengantin perempuan
berhak menikahkan kedua calon pengantin. Biasanya yang ditunjuk oleh
320
ayah calon pengantin wanita adalah KUA (Kepala Urusan Agama)
kecamatan setempat yang akan mewakilinya untuk menikahkan putrinya.
Selain menikahkan kedua calon pengantin, ia (KUA) juga berkewajiban
untuk mencatat kelengkapan dokumen pernikahan. Pernikahan dimulai
dengan pelaksanaan ijab kabul dengan melafalkan kalimat “Astaghfirullah,
Astaghfirullah, Astaghfirullah. Alladzi laa ilaaha illallaah wa atuubu
ilaika”. (Saya memohon ampun kepada Allah, saya memohon ampun
kepada Allah, saya memohon ampun kepada Allah. Tidak ada Tuhan,
kecuali Allah dan saya bertobat kepada-Nya).
Setelah itu ia mengucapkan kalimat nikah yang berbunyi “Wahai Wa
Abe binti La Rongga, saya nikahkan kamu dengan La Ege bin La Posasu”.
Selanjutnya dijawab oleh calon pengantin laki-laki dengan mengucapkan
kalimat “Saya terima nikahnya Wa Abe binti La Rongga dengan mas
kawinnya tujuh bhoka dibayar tunai”. (Bhoka adalah nilai uang dalam adat
Muna yang apabila dikonversi dengan rupiah sama dengan Rp22.500,00
per bhoka).
Setelah pengantin laki-laki melafalkan kalimat di atas dengan jelas
dan disaksikan oleh keluarga dan hadirin, kedua calon pengantin langsung
dinikahkan oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat.
Sebelum mereka dinikahkan, ia (Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan
setempat) berlindung kepada Allah atas godaan setan yang terkutuk,
kemudian membaca “Bismillaahir rahmanir rahiim (Dengan menyebut
nama Allah Yang Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang) lalu membaca
surat Al-Fatihah ayat 1-7, satu kali, membaca surat Al-Baqarah ayat 1-5
satu kali, membaca surat Al-Baqarah ayat 250 (ayat Kursyi) satu kali,
kemudian ditutup dengan membaca salawat nabi “Allahumma shallyi
321
A’laa Muhammad wa a’laa aliy Muhammad” satu kali. Setelah kedua
pengantin dinikahkan, Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat
membacakan khotbah nikah untuk kedua pengantin. Inti khotbah nikah
adalah memuji Allah dan bersaksi bahwa “Tidak ada Tuhan yang wajib
disembah, kecuali Allah”, menyampaikan firman Allah dan hadis
Rasulullah tentang anjuran untuk menikah menurut ajaran agama Islam.
Setelah dibacakan khotbah nikah, KUA mempersiapkan surat nikah
mereka dan langsung ditandatangani oleh kedua pengantin dan disaksikan
oleh kedua orang tua masing-masing. Seusai acara akad nikah dan
penyerahan surat nikah kepada kedua pengantin, keluarga pengantin
perempuan menyiapkan haroa rasul dan selanjutnya dibacakan dhoa
salama (doa selamat). Isi dan susunan haroa rasul (dulang) dalam ritus
kabasano dhoa salama sama dengan isi dan susunan haroa rasul (dulang)
pada haroa rasul untuk ritus kasambu, kampua, kangkilo, dan karia.
Setelah haroa rasul (dulang) disiapkan dan kedua pengantin berada di
tengah-tengan keluarga dan hadirin yang diundang, lebe duduk bertafakur,
kemudian meminta izin kepada kedua orang tua pengantin dan hadirin
untuk segera membacakan doa haroa rasul untuk ritus kabasano dhoa
salama. Proses pembacaan doa haroa rasul dan doa yang dibaca oleh lebe
untuk ritus kabasano dhoa salama sama dengan proses pembacaan doa
haroa rasul dan doa yang dibaca pada ritus kasambu, kampua, kangkilo,
dan karia.
Setelah dibacakan doa haroa rasul pada ritus kabasano dhoa salama,
lebe berjabatan tangan dengan pengantin laki-laki, kemudian pengantin
perempuan, ayah pengantin laki-laki, ibu pengantin laki-laki, ayah
pengantin perempuan, ibu pengantin perempuan, dan semua hadirin yang
322
menyaksikan acara kabasano dhoa salama tersebut. Setelah itu pengantin
perempuan dan pengantin laki-laki disuapi oleh pomantoto (tokoh adat
perempuan) dengan semua jenis makanan yang merupakan isi haroa rasul
(dulang) yang telah dibacakan oleh lebe. Yang disuapi pertama oleh
pomantoto adalah pengantin perempuan dengan sebutir telur rebus. Setelah
itu ia menyuapi pengantin laki-laki dengan sebutir telur rebus juga.
Kemudian mengambil satu per satu jenis makanan yang merupakan isi
haroa rasul lalu disuapkan secara bergantian kepada pengantin perempuan
dan pengantin laki-laki. Seusai kedua pengantin disuapi semua jenis
makanan yang merupakan isi haroa.
Tamu yang hadir di dalam tenda telah dipersiapkan sejumlah kursi
untuk tempat duduk rasul, acara selanjutnya adalah keluarga pengantin
perempuan menyiapkan hidangan untuk makan bersama.
Setelah makan bersama, keluarga pengantin perempuan
menghidangkan makanan di dalam tenda untuk para tamu. Di depan tenda
juga ada panggung tempat kedua pengantin berdiri dan didampingi oleh
kedua orang tua mereka. Di depan pintu tenda telah berdiri beberapa orang
dari keluarga kedua pengantin untuk menyambut tamu yang datang. Setiap
tamu yang datang disambut sambil berjabatan tangan kemudian menuju ke
panggung untuk berjabatan tangan dengan kedua pengantin dan kedua
orang tua pengantin sambil menaruh amplop uang atau kado di dalam guci
yang sudah disiapkan di atas panggung. Setelah itu para undangan
dipersilakan duduk dan mencicipi hidangan.

323
19.5.2. Kafelesao
Kata “kafofelesao” (dari bahasa Muna) berasal dari kata kerja dasar
“felesao” yang berarti menyelesaikan. Awalan ka- pada kata kafofelesao
berarti mengubah kata kerja menjadi kata benda. Jadi, kata “kafofelesao”
berarti penyelesaian. Ritus kafofelesao menurut tradisi etnik Muna dapat
didefinisikan sebagai suatu ritual yang dilaksanakan oleh pihak keluarga
pengantin laki-laki yang harus dilakukan sebelum kedua pengantin tidur
satu ranjang (tidur bersama). Pelaksanaan ritus kafofelesao merupakan
kewajiban keluarga pengantin laki-laki dan harus dilaksanakan di rumah
orang tua atau keluarga pengantin laki-laki.
Ritus kafofelesao dilaksanakan setelah pesta perkawinan sehingga
pelaksanaannya biasanya pada sore hari, yaitu sekitar pukul 17.00.
Sehubungan dengan itu, setelah pesta perkawinan, kedua orang tua dan
keluarga pengantin laki-laki pulang ke rumah mereka untuk
mempersiapkan ritus kafofelesao, sedangkan kedua pengantin langsung
masuk kembali ke rumah orang tua pengantin perempuan. Akan tetapi,
mereka belum diperbolehkan tidur satu ranjang.
Setelah mempersiapkan kelengakapan ritus kafofelesao, kedua orang
tua pengantin laki-laki ditemani oleh beberpa orang keluarganya datang
menjemput kedua pengantin di rumah orang tua pengantin perempuan.
Kedua pengantin sudah siap sehingga ketika dijemput mereka langsung
berangkat ke rumah orang tua atau keluarga pengantin laki-laki. Setelah
tiba di rumah orang tua pengantin laki-laki, kedua pengantin disambut
oleh lebe dan langsung dituntun masuk di sebuah kamar tempat akan
dilaksanakan ritus kafofelesao. Setelah itu lebe mengambil sebuah teko

324
yang berisi air bersih yang sudah disiapkan sebelumnya oleh keluarga
pengantin laki-laki.
Air dalam teko tersebut selanjutnya didoai oleh lebe dengan doa
pembawa berkah yang doanya sama dengan doa yang dibaca pada saat
mendoai oe metaano (air pembawa berkah) untuk disiramkan/dimandikan
kepada peserta kasambu, kangkilo, dan karia.
Setelah itu ibu pengantin laki-laki mengambil air yang sudah didoai
oleh lebe di dalam teko dan mempersilakan kedua pengantin duduk di atas
kursi yang sudah disiapkan. Pengantin laki-laki duduk di sebelah kanan
pengantin perempuan dan keduanya menghadap ke timur. Setelah itu
kedua kaki mereka dicuci oleh ibu pengantin laki-laki, dimulai dengan
kaki kanan (mulai dari betis sampai telapak kaki) sebanyak tiga kali. Yang
dicuci terlebih dahulu adalah kaki pengantin laki-laki dan terakhir kaki
pengantin perempuan.
Setelah kedua kaki mereka dicuci, pengantin perempuan dipasangi
dua buah sarung berlapis sebagai tanda bahwa ia telah bersuami.
Selanjutnya kedua pengantin dipersilakan duduk berdampingan dan
dikelilingi oleh keluarga pengantin laki-laki dan hadirin untuk dibacakan
doa haroa rasul seperti pada saat kabasano dhoa salama.

19.5.3. Kafosulino Katulu


Kata “kafosulino katulu” (dari bahasa Muna) terdiri atas dua kata,
yaitu “kafosulino” dan “katulu”. Kata “kafosulino” berasal dari kata kerja
dasar “suli” yang berarti kembali. Kata “kafosulino” mendapat dua
awalan, yaitu awalan fo- dan awalan ka- dan akhiran-no. Setelah mendapat
awalan fo-, kata fosuli berarti mengembalikan. Setelah mendapat awalan

325
ka- serta akhiran –no, maka kata kafosulino berarti pengembalian. Kata
“katulu” berarti jejak. Jadi, ritus kafosulino katulu dapat didefinisikan
sebagai bentuk upacara yang bertujuan untuk mengembalikan jejak kedua
pengantin ke rumah orang tua pengantin perempuan dan dilaksanakan
setelah ritus kafofelesao.
Ritus kafosulino katulu dilaksanakan setelah diadakan pesta
kafofelesao, yaitu selesai pembacaan doa haroa rasul untuk ritus
kafofelesao. Setelah makan bersama, kedua pengantin langsung diantar
lagi ke rumah keluarga pengantin perempuan. Sesampainya di rumah
pengantin perempuan, mereka disambut oleh kedua orang tua perempuan.
Lalu diantar ke sebuah ruangan tempat akan dilaksanakannya ritus
kafosulino katulu. Di dalam ruangan tersebut sudah disiapkan haroa rasul
(dulang) yang isinya sama dengan isi haroa rasul pada ritus kabasano
dhoa salama dan ritus kafofelesao.
Setelah kedua pengantin berada dalam ruangan tersebut, lebe mendoai
oe metaano dalam teko untuk mencuci kedua kaki mereka. Doa yang
dibaca oleh lebe untuk mencuci kaki kedua pengantin dalam ritus
kafofelesao sama dengan doa yang dibaca ketika mendoai oe metaano
dalam teko untuk menyirami peserta kasambu, kasariga, kangkilo, karia,
dan mencuci kaki kedua pengantin pada ritus kafofelesao.
Setelah air dalam teko tersebut didoai oleh lebe, kedua penggantin
dipersilakan duduk di atas kursi. Kedua pengantin duduk menghadap ke
timur dalam posisi pengantin laki-laki duduk di sebelah kiri pengantin
perempuan. Setelah itu kedua kaki kedua pengantin dicuci oleh ibu
pengantin perempuan mulai dari betis sampai telapak kaki. Yang dicuci

326
pertama adalah kakinya pengantin laki-laki kemudian kaki pengantin
perempuan.
Selanjutnya mereka dipersilakan duduk berdampingan dalam posisi
menghadap ke timur dan pengantin laki-laki duduk di sebelah kiri
pengantin perempuan. Mereka dikelilingi oleh keluarga pengantin
perempuan dan hadirin untuk dibacakan doa haroa rasul pada ritus
kafosulino katulu. Prosedur pembacaan doa haroa rasul dan doa yang
dibaca oleh lebe pada ritus kafosulino katulu sama dengan prosedur
pembacaan doa haroa rasul.

19.6. Ritus Mate


Kata “mate” (dari bahasa Muna) dapat berfungsi sebagai kata kerja
yang berarti mati/meninggal dan dapat pula berfungsi sebagai kata benda
yang berarti kematian. Ritus mate (kematian) dalam tradisi etnik Muna
terdiri atas tujuh tahap, yaitu (1) ritus kaalingkita (mandi biasa), (2) ritus
kaselino wite (penggalian tanah kuburan), (3) ritus kakadiu wadhibu
(mandi wajib), (4) ritus kabasano turuntana (pembacaan doa untuk bekal
mayat), (5) ritus kakoburu (penguburan), (6) ritus kansolo-nsolo
(kunjungan ke kuburan), dan (7) ritus poalo (peringatan malam-malam
tertentu).

19.6.1. Kaalingkita
Kata “kaalingkita” (dari bahasa Muna) merupakan kata benda yang
berarti pembersihan daki. Kata “kaalingkita” kata kerja dasarnya adalah
“alingkita” yang berarti membersihkan daki. Jadi, ritus kaalingkita adalah
memandikan mayat untuk menghilangkan daki dan kotoran pada mayat,

327
baik kotoran yang ada di dalam tubuhnya maupun di luar tubuhnya setelah
beberapa saat meninggal.
Dalam ritus kaalingkita, mayat dimandikan oleh empat orang, yaitu
tiga orang dari anggota keluarganya dan satu orang lebe. Keempat orang
yang memandikan mayat tersebut memiliki tugas yang berbeda, yaitu satu
orang mempersiapkan air; satu orang membersihkan najis/kotoran yang
ada di dubur mayat; satu orang membersihkan seluruh anggota tubuh
mayat; dan satu orang lebe bertugas memegang bhosu (ceret yang terbuat
dari tanah liat, sekarang diganti dengan teko) sekaligus menuntun dalam
memandikan mayat. Dalam tradisi etnik Muna apabila mayat laki-laki,
maka yang memandikannya adalah semua laki-laki. Sebaliknya, apabila
mayat perempuan, maka yang memandikannya adalah tiga orang
perempuan dan satu orang lebe yang menuntun.
Proses pelaksanaan ritus kaalingkita adalah sebagai berikut. Pertama,
mayat diangkat dari tempat pembaringannya dibawa ke tempat
permandian. Pada saat diangkat diiringi dengan ucapan “Bismillaahi a’laa
millaatiy rasulillaahi laa ilaaha illa Allah”. Kedua, air yang dipakai untuk
memandikan mayat ditaruh di dalam bhosu (teko) dan dijadikan sebagai
air istinja mayat. Ketiga, menyaring air lalu diserahkan kepada lebe
sambil melafalkan niat “Oe kakabusa ini oe mongkilo, oe fokongkilo, oeno
maaul hayati, oeno kalkautsar, oeno baharulla” (Ini air istinja dan ini air
suci, air penyambung hidup, air dari alkautsar, air baharulla). Keempat,
lebe meneteskan air di bagian ulu hati mayat sambil mengucapkan “Oeno
kalamullah (air kalamullah)” dan diteruskan sampai melingkari pusat arah
ke kiri dan arah kanan masing-masing tiga kali sambil mengucapkan
“Oeno maal hayati (air penyambung hidup)”, kemudian air ditumpahkan
328
di sekat antara paha kiri dan kemaluan sambil mengucapkan “Oeno
kalkausar (air alkautsar)”, air ditumpahkan pada dubur mayat sambil
mengucapkan “oeno baharullah (airnya baharullah)”, lalu ditumpahkan ke
tangan.
Orang yang bertugas membersihkan kotoran dan najis pada mayat
melaksanakan tugasnya, yaitu membersihkan kotoran dan najis yang ada.
Semua kotoran dikeluarkan, kemudian air diteruskan ke kaki kanan dan
kiri sambil dibersihkan kotoran yang ada pada kaki mayat. Setelah kedua
kaki bersih, air diteruskan ke bagian mulut sambil dikumur-kumurkan.
Selanjutnya air ditumpahkan di dahi, kemudian diteruskan ke bagian kaki.
Kelima, mayat dimandikan seperti biasa dengan menggunakan sabun
mandi dan sampo untuk membersihkan seluruh tubuh.
Setelah dimandikan dengan bersih (di-alingkita), dibentangkan
sepotong sarung baru di atas dada mayat dalam keadaan terlipat dua, lalu
dibentangkan lagi dua potong, empat potong, atau enam potong sarung
baru yang dilipat dua untuk mayat laki-laki, dan dibentangkan tiga potong,
lima potong, atau tujuh potong sarung untuk mayat perempuan (mayat
laki-laki berjumlah genap, sedangkan mayat perempuan berjumlah ganjil).
Sarung-sarung yang terlipat dua tersebut disusun mulai dari dagu sampai
jari kaki mayat. Setelah itu mayat diangkat ke tempat pembaringan dengan
posisi arah kepala pada sebelah barat (kiblat) yang sudah disiapkan untuk
menunggu keluarga atau pengunjung jenazah dan didampingi oleh anak-
anaknya atau keluarganya. Di samping kiri dan kanannya diganjal dengan
bantal guling.

329
19.6.2. Kaselino Wite
Kata “kaselino wite” (dari bahasa Muna) terdiri atas dua kata, yaitu
“kaselino” (penggalian) dan “wite” (tanah). Jadi, kata “kaselino wite”
berarti penggalian tanah. Yang dimaksud dengan ritus kaselino wite dalam
tradisi etnik Muna adalah penggalian tanah untuk menguburkan mayat.
Menurut keyakinan etnik Muna, tanah untuk kuburan harus dipilih
menurut ketentuan yang ada karena menempatkan mayat dalam kuburan
bukanlah hanya sekadar menyembunyikan barang busuk atau mayat. Akan
tetapi, sesungguhnya mengembalikan ke asalnya, bahkan mengantarkan
roh mayat ke pintu Arsy Tuhan Yang Maha Esa.
Sebelum dilaksanakan ritus kaselino wite (penggalian tanah kuburan),
tinggi mayat harus diukur dengan menggunakan pelepah daun pisang.
Mayat diukur oleh seorang lebe. Setelah diukur tingginya dengan pelepah
daun pisang, lebe memerintahkan beberapa orang untuk pergi menggali
tanah kuburan dengan membawa pelepah daun pisang yang telah diukur.
Pelepah daun pisang tersebut digunakan untuk mengukur panjang tanah
kuburan yang digali. Beberapa orang yang ditugasi pergi menggali tanah
kuburan dan ditemani oleh seorang lebe lain untuk menentukan dan
memulai penggalian tanah kuburan.
Setelah tiba di kuburan, lebe melangkahkan kaki kanan seolah-olah
menginjak pintu kuburan sambil mengucapkan “Assalamu alaikum ahlal
kubuuri” (keselamatan atas kamu sekalian para ahli kubur). Setelah itu ia
duduk di tempat membuat lubang kuburan. Selanjutnya ia meletakkan
ukuran mayat menurut arah kiblat, yaitu menurut fitrah orang meninggal.
Setelah itu ia mengambil tembilang untuk memulai menetak tanah kuburan
(tida wite) dengan adab sebagai berikut.
330
Pertama, ujung ibu jari kedua kaki dirapatkan, tangan kanan
memegang alat penggali (tembilang), tangan kiri menahan siku kanan, lalu
mengucapkan kalimat “Atimidakimo witeno Madhina, noposora bhe
koburuno Nabi Muhamadhi, falatana, fasil mutanaa fisuu wa
midzaduhuu, min taslim alaina yaa sirabubihaa mukarrabuu” (Saya akan
mulai tetak lubang tanah Madina ini, dia berdampingan dengan kuburan
Nabi Muhammad, semoga Engkau memberikan keberkahan pada liang
kubur ini dan Engkau menjadikan-Nya lebih luas). Kedua, tanah
ditetakkan dengan tidak membuka ketiak sambil mengucapkan kalimat
“Allahumma laa tahrimna bisyai im baadu” (Ya Allah, berikanlah
kesejukan pada lubang kuburan ini). Ketiga, lebe menyeduk tanah tiga
seduk pada bagian tengah dan dibuang di bagian kanan kuburan.
Selanjutnya tiga seduk dibuang di bagian kepala dan tiga seduk pada
bagian kaki, yang masing-masing dibuang pada tempat/kanan kuburan.
Setelah menetak tanah kuburan (tida wite), lebe kembali ke rumah
dengan membawa sebuah bhalobu (sejenis piring sup) atau sebuah piring
putih yang digunakan pada saat menyeduk tanah. Bhalobu atau piring
tersebut disebut sampowano wutono (penimbang amalan) dan harus
diambil oleh lebe yang telah menetak tanah kuburan (tida wite) karena
pahala pemberian atau penerimaan benda tersebut dapat memberatkan
timbangan mayat yang akan dimakamkan.
Setelah lebe pulang ke rumahnya, orang-orang yang ditugasi menggali
tanah kuburan melanjutkan galian sampai selesai menurut kedalaman yang
sudah menjadi ketentuan dalam tradisi etnik Muna, yaitu (1) satu sufu,
yaitu sedalam lewat lutut untuk kuburan mayat yang masih bayi, (2) dua
sufu, yaitu sedalam lewat pinggang untuk mayat anak-anak, (3) tiga sufu,
331
yaitu sedalam lewat bahu untuk mayat orang dewasa, (4) empat sufu, yaitu
sedalam lewat kepala untuk mayat orang sempurna atau mulia, (5) lima
sufu, yaitu sedalam lewat jangkauan tangan untuk mayat orang yang
dimuliakan dan diagungkan. Bersamaan dengan penggalian tanah kuburan,
beberapa orang juga membuat penutup pintu liang lahat yang dibuat dari
papan dan membuat nisan darurat dari kayu balok atau batang kayu. Nisan
darurat untuk mayat laki-laki hanya satu potong dan ditancapkan pada
bagian kepala setelah pemakaman. Apabila mayat perempuan, maka nisan
darurat yang disiapkan harus dua potong, yaitu satu potong ditancapkan di
bagian kepala dan satu lagi ditancapkan di bagian kaki setelah penguburan.
Setelah galian tanah kuburan mencapai kedalaman yang dikehendaki,
maka dibuatkan liang lahat (lingge). Tanah yang dikeluarkan dari liang
lahat (lingge) tidak boleh dicampur dengan tanah galian lainnya sehingga
harus dibuang di sebelah kiri kuburan agar tidak tercampur dengan galian
tanah lain. Tanah yang dikeluarkan dari liang lahat (lingge) disebut “wite
morani” (tanah amisan). Setelah galian tanah kuburan tuntas dan telah
disiapkan liang lahatnya, lubang kuburan tersebut ditutup dengan daun
pisang karena menurut kepercayaan etnik Muna bahwa tanah galian untuk
kuburan tidak boleh dibiarkan terbuka.
Setelah itu semua orang yang bertugas menggali tanah kuburan
kembali ke rumah duka sambil membawa pulang pelepah daun pisang
yang telah digunakan mengukur panjang tanah kuburan yang digali.
Pelepah daun pisang tersebut digunakan untuk mengukur kain kafan.
Setelah tiba di rumah duka, salah seorang dari mereka menyampaikan
kepada keluarga yang berduka bahwa galian tanah kuburan telah selesai.
Selanjutnya, keluarga yang berduka menyampaikan hal itu kepada lebe
332
yang ada di rumah duka dan selanjutnya ditindaklanjuti dengan cara
menyiapkan pemotongan kain kafan.

19.6.3. Kakadiu Wadhibu


Kata “kakadiu wadhibu” (dari bahasa Muna) terdiri atas dua kata,
yaitu “kakadiu” dan “wadhibu”. Kata “kakadiu” berasal dari kata dasar
“kadiu” yang berarti mandi. Setelah mendapat awalan ka-, kata kakadiu
berarti memandikan. Ritus kakadiu wadhibu dalam tradisi etnik Muna
dilaksanakan setelah pemotongan kain kafan.
Ada delapan orang yang memandikan mayat pada saat kakadiu
wadhibu (mandi wajib) dan memiliki tugas yang berbeda-beda. Pembagian
tugas mereka adalah satu orang menimba/mengisi air dari ember /guci
yang satu ke ember/guci yang kedua; satu orang menyaring air dengan
potongan kain kafan dari ember/guci yang kedua ke bhosu (teko); tiga
orang bertugas memangku mayat pada saat dimandikan; satu orang
bertugas membersihkan najis/kotoran yang ada di dubur mayat; satu orang
membasuh beberapa anggota tubuh mayat sesuai dengan urutan wudu; dan
satu orang lebe bertugas menuntun memandikan mayat sambil memegang
sebuah bhosu (teko) yang berisi air suci yang sudah disaring.
Lebe yang menuntun memandikan mayat duduk di atas kursi kayu
atau berdiri menghadap ke arah kiblat. Setelah itu mayat diangkat dan
dibaringkan di atas tiga potong batang pisang yang sudah dipersiapkan
oleh tiga orang pemangku mayat. Kemudian lebe mendoai oe metaano (air
bersih yang ada di dalam bhosu/teko dengan doa pembawa berkah yang
doanya hampir sama dengan doa yang dibaca untuk mendoai oe metaano
untuk memandikan peserta kasambu, kangkilo, dan karia.

333
Perbedaannya hanya pada kalimat salawatnya. Salawat untuk
memandikan mayat adalah “Allahumma shalli wa sallim a’laa sayydina
muhammadi wa a’laa alihi sayydina muhammadi illa hadrati nabiyl
mustafa muhaammadi shallaullaahu alaihi wasallam, sayydina ilaihi”.
Sebaliknya, salawat untuk memandikan peserta kasambu, kangkilo, dan
karia adalah “Allahumma shalli wa sallim a’laa sayydina muhammad wa
a’laa alihi sayydina muhammad illa hadrati nabiyl mustafa muhaammad
shallaullaahu alaihi wasallam, syadina ilaihi”.
Setelah air dalam ceret plastik tersebut didoai, lebe menyiram bagian
dubur mayat, sambil dibersihkan oleh orang yang bertugas membersihkan
dubur mayat. Setelah itu ia menyiram beberapa bagian anggota tubuh
mayat sambil dibasuh oleh orang yang sudah ditugaskan pula, dimulai
dengan membasuh kedua tangannya, lalu dimasukkan air ke dalam
mulutnya sambil dikumur-kumurkan, dimasukkan air ke dalam kedua
lubang hidungnya, dibasuh mukanya, dibasuh kedua tangannya sampai ke
siku, dibasuh kedua daun telinganya, dibasuh jidatnya, dan terakhir
dibasuh kedua kaki sampai kedua mata kakinya (dilakukan masing-masing
tiga kali, seperti orang berwudu). Kemudian disiram lagi seluruh anggota
tubuh mayat mulai dari mata pusatnya sampai ujung kakinya.
Setelah dimandikan, mayat langsung dibawa/diangkat ke sebuah
kamar untuk dikafani. Setelah dikafani, mayat dibacakan haroa turuntana
dengan sesajian makanan pokok seadanya, yaitu satu piring nasi putih, satu
butir telur rebus, dan satu gelas air putih. Piring nasi putih, telur rebus,
dan gelas air putih tersebut ditaruh di dalam talang, lalu ditutup dengan
penutup talang dan dibungkus dengan kerudung putih. Haroa turuntana
merupakan bekal bagi mayat ketika diantar ke kuburan. Setelah disiapkan
334
haroa turuntana (dulang), lebe yang diutus untuk membaca doa haroa
turunta dipersilakan. Pada saat dibacakan doa haroa turuntana, mayat
yang sudah dikafani dibaringkan di dekat pintu dan disaksikan oleh semua
keluarga dekat mayat.
Setelah berkumpul semua keluarga dekat mayat, lebe meminta izin
kepada keluarga mayat yang tertua untuk membacakan doa haroa
turuntana. Setelah itu, ia membakar dupa/kemenyan lalu membaca doa
haroa turuntana yang dimulai dengan urutan silsilah doa menurut tradisi
Islam pada etnik Muna. Inti doa yang dibaca untuk haroa turuntana adalah
memohon kepada Allah agar diampuni semua dosanya, diterima semua
amal baiknya selama di dunia, dan diberikan kelonggaran di kuburannya.
Setelah dibacakan doa haroa turuntana, lebe langsung berjabatan
tangan dengan keluarga mayat yang tertua dan keluarga lain yang
menyaksikan pembacaan doa haroa turuntana. Selanjutnya, haroa
turuntana (dulang) diangkat dan dibawa ke dapur. Berikutnya, mayat
langsung disembahyangkan di dalam rumah dan dipimpin oleh seorang
imam atau khatib kampung. Setelah disembahyangkan, mayat langsung
diangkat dan dimasukkan ke usungan, lalu dibawa ke kuburan.

19.6.4. Kakoburu
Kata “kakoburu” (dari bahasa Muna) berasal dari kata “koburu” yang
berarti kuburan atau menguburkan. Awalan ka- pada kata “kakoburu”
sama dengan fungsi awalan peng- dalam bahasa Indonesia. Jadi, kata
“kakoburu” berarti penguburan. Ritus kakoburu menurut tradisi etnik
Muna dilaksanakan setelah mayat disembahyangkan di rumah duka.

335
Sesudah disembahyangkan mayat langsung dimasukkan ke
usungan/keranda mayat lalu dipikul oleh beberapa orang.
Sesampainya di kuburan, mayat langsung diangkat oleh tiga orang
kemudian diturunkan ke dalam kuburan. Di dalam kuburan diterima oleh
tiga orang yang disebut fofoilino (orang yang menurunkan mayat ke dalam
kuburan), yaitu satu orang lebe yang bertugas meletakkan mayat di liang
lahat dan menyujudkannya, sedangkan dua orang lainnya hanya membantu
menerima mayat dalam kuburan dan memegang kain putih di dalam
kuburan ketika mayat dibaringkan di liang lahat. Setelah mayat diletakkan
di liang lahat oleh lebe, dua orang yang membantu lebe tersebut masing-
masing memegang ujung potongan kain putih (sisa kafan yang dipakai
mayat) sambil menutup liang lahat agar mayat tidak kelihatan dari atas
kuburan. Kedua ujung kain putih tersebut dipegang terus oleh kedua orang
yang ada di dalam kuburan sampai mayat selesai ditimbun.
Ikatan kafan pada mayat dibuka oleh lebe dan kepala mayat diletakkan
di atas sebuah bantal kecil yang dibuat dari potongan kain kafan. Isi bantal
tersebut adalah tanah galian dari kuburan. Setelah itu lebe meminta tiga
genggam tanah galian dari kuburan kepada orang-orang yang berada di
atas kuburan. Sambil memegang genggaman tanah yang pertama, lebe
membaca salawat nabi yang berbunyi “Aullahumma sholli a’laa
muhammadhi, wa a’laa ali muhammadhi”, lalu diletakkan pada telapak
kaki mayat (dalam kafan) sambil berniat dengan lafal “Ofinda ne
pulangkuno Arsyi Aullah taala”, genggaman tanah yang kedua diletakkan
pada tulang duduk (sulbi) mayat (dalam kain kafan).
Pada saat memegang genggaman tanah kedua tersebut, lebe
mengucapkan kalimat “Wite maighono ne Alamu Laaga Adhamu” dan
336
pada saat meletakkan genggaman tanah kedua tersebut, lebe melafalkan
niat “Omengkora ne Masigino Arashyi Aullah taala” (Engkau telah duduk
di dalam masjid Arsy Allah). Setelah itu lebe memegang langit-langit liang
lahat di atas mulut mayat sambil mengucapkan kalimat “Assalamu
Alaikum Nabi Adhamu”. Selanjutnya, mengangkat kepala mayat sambil
membaca doa dan mantra “Bismillahir rahmanir rahim. Bismillah,
bismillahi mubtadaai Rabbil aakhirati waluula”. Badhano, kalibino,
inawano, rahasiano, Atauranemo ne Aulla taala, Nosudhu ne wiseno
Aullahu Taala, nengkora ne ghawino Nabi Muhamadhi.
Inti doa dan mantra yang dibaca oleh lebe tersebut adalah menyebut
nama Allah, kemudian memuji Allah sebagai Tuhan seluruh alam, baik di
dunia maupun di akhirat. Selain itu, menitipkan badan, tulang-tulang,
nyawa, dan rahasia mayat kepada Allah, sambil mengungkapkan bahwa
dia (mayat) sedang bersujud di depan Allah dan duduk di atas pangkuan
Nabi Muhammad”.
Setelah membaca doa dan mantra, lebe memutar kepala mayat dengan
meletakkan genggaman tanah ketiga sambil membaca doa “Subhana Allah
hakyimul kariym. Subhana Allah, rabbul Arsyil azhiym. Alhamdulillahi
rabbil alamyin”. Doa tersebut mengandung makna memuji keesaan Allah,
Tuhan Arsy Yang Mahakuasa, segala puji bagi Tuhan sekalian alam”.
Kemudian mayat disujudkan sambil diperbaiki posisinya lalu dihamburkan
sisa tanah genggaman ketiga di atasnya sambil membaca doa “Laa Ilaaha
Illa Allahul hakyimul kariym. Yaa rahmani, ya rahiym. Warahmatuhu wa
aafihiy, wa afu anhu”. Ya rahmani, ya rahiym. warahmatuhu wa aafihiy,
wa afu anhu.”Doa tersebut mengandung makna kesaksian bahwa tidak ada
Tuhan yang wajib disembah, kecuali Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih
337
lagi Maha Penyayang. Kemudian memohonkan ampun mayat agar
diampuni semua dosanya oleh Allah. Setelah itu mayat diazankan oleh
lebe di dalam kuburan seperti azan pada waktu salat lima waktu.
Kemudian liang lahat ditutup dengan papan sambil ditimbun dengan tanah
galian. Pada saat ditimbun diucapkan lafal “Assalamu Alaikum ya
ziynazatu”. (Keselamatan bagi kamu semua ahli surga). Sambil ditimbun,
lebe dan kedua orang yang membantunya dalam kuburan naik ke darat
secara perlahan-lahan. Orang-orang yang menyaksikan ritus kakoburu
dengan kesadaran sendiri tanpa dipanggil untuk mengambil bagian
menimbun lubang kuburan mayat sampai selesai.
Setelah ditimbun sekitar 50 cm, di tentangan dada mayat
dipancangkan sebatang nisan darurat berupa sepotong kayu balok atau
sepotong batang kayu yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Kuburan
ditimbun terus sampai membentuk onggokan setinggi 30 cm. Setelah itu
tanah galian yang terletak di sebelah kiri galian yang disebut “wite
morani” (tanah amis) diambil lalu dihamburkan di atas onggokan kuburan.
Setelah mayat dikuburkan, seorang lebe berwudu kemudian mendoai
air dalam sebuah teko untuk kabubusi (penyiraman kuburan). Doa yang
dibaca oleh lebe pada saat mendoai air untuk kabubusi diambil dari kitab
suci Alquran, yaitu membaca surat Al-Fatihah ayat 1-7 satu kali, dan surat
Al-Ikhlas ayat 1-4 tiga kali. Setelah mendoai air dalam teko tersebut, lebe
langsung melakukan kabubusi (penyiraman kuburan) di atas gundukan
tanah timbunan mayat.
Setelah melakukan kabubusi kegiatan selanjutnya adalah
melaksanakan dupa ne koburu (sumbangan di kuburan) dan dilaksanakan
pada saat para lebe mengadakan pembacaan ratibu ne koburu. Sementara
338
para lebe melaksanakan ratibune koburu (ratib di kuburan), salah seorang
tokoh masyarakat memberitahukan kepada hadirin bahwa kegiatan dupa
ne koburu (sumbangan untuk keluarga mayat) sudah dapat dilaksanakan.
Sebuah tempat penampungan uang disediakan di depan para tokoh
masyarakat dan hadirin yang menyaksikan ritus kakoburu (penguburan)
sehingga mereka secara bersama-sama memberikan sumbangan seadanya.
Setelah semua uang sumbangan tersebut terkumpul maka diundang salah
seorang tokoh adat untuk menghitung uang sumbangan tersebut dan
dibagikan kepada lebe yang menetak (tida wite) tanah kuburan, orang-
orang yang menggali kuburan, para lebe yang menyembahyangkan mayat
sebelum dibawa ke kuburan, lebe yang menyujudkan mayat, para lebe
yang melaksanakan ratibu ne koburu (ratib di kuburan), dan orang-orang
yang menyaksikan pembagian dupa ne koburu (uang sumbangan di
kuburan).
Sementara dilaksanakan dupa ne koburu (sumbangan di kuburan),
para lebe juga melaksanakan ratibu ne koburu (ratib di kuburan). Mereka
mengambil tempat duduk masing-masing sesuai dengan aturan menurut
tradisi etnik Muna, yaitu imam berada di sebelah kanan kuburan, seolah-
olah ia berhadapan dengan wajah mayat, sedangkan khatib dan lebe lain
duduk di sebelah kiri imam. Bila mayat itu wanita, maka ia (imam) duduk
di tentangan dada mayat seperti halnya pada saat menyembahyangkan
jenazah. Apabila mayat itu laki-laki, maka ia (imam) duduk di tentangan
bahunya.
Setelah para lebe (pelaksana ratibu) duduk, imam mulai bertafakur,
yaitu memandang dirinya bagaikan dalam keadaan fitrah. Rohaninya
seolah-olah memandang roh di dahapan Tuhannya, sambil mengucapkan
339
dua kalimat syahadat yang berbunyi “Asyhadu anlaa ilaaha illa Allah wa
asyhadu anna Muhammadar rasulullah”. (Saya bersaksi bahwa tidak ada
Tuhan yang wajib disembah, kecuali Allah), kemudian dilanjutkan dengan
membaca talkin mayat, yaitu membaca kalimat “Laa ilaaha Illa Allah 100
kali”. (Tidak ada Tuhan yang wajib disembah, kecuali Allah). Setelah itu
ia membaca surat Yasin, ayat 1-83 satu kali. (Isi surat Yasin dalam versi
bahasa Arab dan terjemahannya dapat dilihat pada lampiran 25 dan 26).
Setelah membaca surat Yasin, ayat 1-83) dilanjutkan dengan ratibu
bersama. Ratibu bersama dipimpin oleh seorang lebe yang dianggap lebih
banyak mengetahui makna kematian dan lebih fasih dalam membaca
Alquran.
Proses pelaksanaan ratibu bersama adalah sebagai berikut. Pertama,
para lebe bertafakur dalam hati masing-masing, yaitu memandang dirinya
dalam keadaan suci sebagaimana fitrah asalnya. Kedua, mereka (para lebe)
secara serentak/bersamaan mengucapkan kalimat “Astaghfirullahul
adziym, alladzi laa ilaaha illa huwal hayyul qayyum wa atuubu ilaihi.
Aullahumma salyim alaa sayydina Muhammad wa alaa ali sayydina
Muhammad illa hadhratil mustafaa shallaullaahu alaihi wasallam” (Saya
memohonkan ampun atas segala dosaya, Dia (Allah) adalah Tuhan
sekalian alam, Dia Zat Yang tidak pernah tidur, ya Allah, berikanlah
salawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarga Nabi
Muhammad), kemudian membaca surat Al-Fatihah ayat 1-7 satu kali,
membaca surat Al-Ikhlas ayat 1-4 tiga kali, membaca surat Al-Falaq ayat
1-5 satu kali, membaca surat An-Nas ayat 1-6 satu kali, membaca surat Al-
Baqarah ayat 1-5 satu kali.

340
Setelah membaca surat Al-Fatihah ayat 1-7, Al-Ikhlas ayat 1-4, Al-
Falaq ayat 1-5, dan An-Nas ayat 1-6, para lebe mengucapkan kalimat
“Wa ilaa hukum illaahu wahidun, laa ilaaha illa huwarrohmanirrohiim
(dan hukum-hukum-Nya Allah hanya satu, yaitu Alquran, tidak ada Tuhan
yang wajib disembah, kecuali Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang). Selanjutnya membaca surat Al-Baqarah ayat 255 (ayat
kursiy) satu kali. Kemudian mengucapkan kalimat “Afdhalul dzikir
failamu annahuu laa ilaaha illaullah”, (Zikir yang paling utama adalah
zikir yang mendalami kalimat “Tidak ada Tuhan yang wajib disembah,
kecuali Allah), lalu mengucapkan kalimat “Laa Ilaaha illaullah”, (Tidak
ada Tuhan, kecuali Allah) tiga ratus kali, mengucapkan kata “Allah”
(Allah) seratus kali, mengucapkan kalimat “Laa ilaaha illaullah wa
muhammaddar rasulullah shallaullaahu alaihi wasallamu”, (Tidak ada
Tuhan yang wajib disembah, kecuali Allah dan Nabi Muhammad itu
adalah utusan Allah) satu kali. Selanjutnya, ditutup dengan membaca doa
kubur.
Setelah membaca doa kubur, maka selesailah rangkaian ratibu ne
koburu (ratib di kuburan), kemudian dilaksanakan penaburan bunga di atas
onggokan kuburan. Seusai penabuarn bunga, para lebe yang melaksanakan
ratibu ne koburu dan orang-orang yang menggali kuburan langsung
dibagikan uang dupa ne koburu (uang yang disumbang di kuburan) dengan
perincian (a) lebe yang menyembahyangkan mayat 5 bhoka (5 x
Rp 24.000,00 = Rp 120.000,00); (b) lebe yang melaksanakan ratibu we
koburu 20 bhoka (20 x Rp 24.000,00 = Rp 480.000,00); (c) lebe yang
menyujudkan mayat 5 bhoka (5 x Rp 24.000,00 = Rp 120.000,00); (d)
lebe yang membaca talkin mayat 1 bhoka (1 x Rp 24.000,00 = Rp
341
24.000,00); (e) lebe yang menetak tanah 1 bhoka (1 x Rp 24.000,00 = Rp
24.000,00); (f) orang-orang yang menggali tanah kuburan 2 bhoka (2 x Rp
24.000,00 = Rp 48.000,00); dan (g) orang-orang yang menyaksikan
pembagian uang dupa ne koburu 10 persen dari uang dupa seluruhnya.

19.6.5. Kansolo-nsolo
Kata “kansolo-nsolo” (dari bahasa Muna) berasal dari kata kerja
“solo” yang berarti mengunjungi. Setelah mendapatkan awalan ka- dan
terjadi pengulangan pada kata “kansolo-nsolo”, maka ia berubah makna
menjadi kunjungan secara berulang-ulang. Jadi, Ritus kansolo-nsolo dapat
didefinisikan sebagai kunjungan ke kuburan yang dilakukan setiap pagi
dan sore dimulai pada keesokan pagi hari setelah penguburan mayat dan
harus dilaksanakan secara berturut-turut selama tujuh hari.
Proses pelaksanaan ritus konsolo-nsolo pada pagi hari dan sore hari
dari hari pertama sampai hari ketujuh sama kegiatannya, yaitu seorang
lebe didampingi oleh salah seorang laki-laki keluarga yang berduka pergi
ke kuburan mayat dengan membawa sebuah teko berisi air bersih, sabut
kelapa yang kering, korek api, dupa/kemenyan, dan sebuah kumpulan surat
dan doa-doa yang bersumber dari kitab suci Alquran.
Setelah tiba di kuburan, lebe mendoai air dalam teko, yaitu
dibacakan surat Al-Fatihah ayat 1-7 tiga kali dan surat Al-Ikhlas ayat 1-4
satu kali. Setelah mendoai air dalam teko dengan doa-doa di atas, ia (lebe)
menyiram bumbungan timbunan kuburan mayat mulai dari arah pusat
menuju ke kepala kemudian kembali ke pusat dan terakhir di kaki.
Penyiraman bumbungan timbunan kuburan mayat dilaksanakan selama
tujuh kali berturut-turut.

342
Setelah itu ia membakar sabut kelapa kemudian dibakarkan dupa/
kemenyan di atas sabut kelapa lalu ditaruh di atas bumbungan timbunan
tanah kuburan mayat. Kemudian ia membaca surat Yasin ayat 1-83 satu
kali, dilanjutkan dengan membaca tahlil mayat, yaitu mengucapkan
kalimat “Laa Ilaaha Illaullah” tiga ratus kali, dan mengucapkan kata
“Allah” (Allah) seratus kali.
Setelah itu ia dan keluarga yang berduka menemaninya pulang ke
rumah duka. Di rumah duka sudah dipersiapkan haroa turuntana (dulang)
yang berisi satu piring nasi putih, empat butir telur rebus, dua buah pisang
masak, dan satu gelas air putih. Isi haroa turuntana tersebut ditaruh di
dalam piring, kemudian ditaruh di dalam sebuah talang besar lalu ditutup
dengan penutup talang dan dibungkus dengan kerudung putih.
Pada saat dibacakan doa haroa turuntana, lebe didampingi oleh
keluarga yang berduka, termasuk anak laki-laki yang menemani lebe pada
saat melaksanakan kabubusi di kuburan. Pembacaan doa haroa turuntana
dilaksanakan di kamar tempat mayat waktu meninggal. Proses pelaksanaan
pembacaan doa haroa turuntana dan doa yang dibaca oleh lebe sama
dengan proses dan doa yang dibaca pada saat membacakan doa haroa
turuntana sebelum mayat disembahyangkan/sebelum dikuburkan.
Inti doa yang dibacakan oleh lebe pada saat pembacaan doa haroa
turuntana adalah memohon kepada Allah agar diampuni semua dosa
mayat, diterima semua amal baiknya selama di dunia, dan diberikan
kelonggaran di kuburannya.

343
19.6.6. Poalo
Kata “poalo” (dari bahasa Muna) berasal dari kata dasar “alo” yang
berarti malam. Awalan po- pada kata “poalo” berarti
melaksanakan/memperingati. Jadi, ritus poalo adalah ritus yang
dilaksanakan pada malam-malam tertentu yang sudah ditetapkan setelah
seseorang meninggal dunia. Dalam tradisi etnik Muna, setelah seseorang
meninggal dunia, ada beberapa malam yang wajib diperingati, yaitu
malam ke-2 (ritus pataino itolu), malam ke-3 (ritus poitolu), malam ke-6
(ritus pataino ifitu), malam ke-40 (ritus pofato fulugha), dan malam ke-100
(ritus pomoghono).
Menurut kepercayaan etnik Muna, ketika seseorang meninggal maka
rohnya masih berada di sekitar lingkungan keluarganya, bahkan ia masih
bolak-balik dari rumah tempatnya meninggal ke kuburannya sejak
meninggal sampai malam ke-100.

“Setelah seseorang meninggal dan sebelum dikuburkan, maka rohnya


berada di loteng rumah tempatnya meninggal sambil memerhatikan
suasana keluarga yang ditinggalkannya. Setelah dikuburkan, rohnya
akan selalu bolak-balik dari kuburannya menuju ke rumah tempatnya
meninggal. Di kuburannya ia akan selalu memerhatikan keadaan
jasadnya, sedangkan di rumah tempatnya meninggal ia akan
memerhatikan suasana keluarga yang ditinggalkan, terutama pada
malam-malam berikutnya setelah dikuburkan jasadnya, seperti
malam ke- 2, ke- 3, ke- 6, ke- 7, ke- 40, dan ke- 100 setelah
meninggal. Rohnya akan selalu bolak-balik dari kuburan menuju ke
rumah tempatnya meninggal sampai selesai malam ke-100 harinya.

344
Setelah malam ke-100 harinya, rohnya akan naik ke angkasa, yaitu
tempat penampungan buku amal. Sambil menunggu hari kiamat,
rohnya akan selalu kembali ke dunia melalui jasad keluarganya yang
baru lahir. Setelah tiba hari kiamat, rohnya akan membawa buku
catatan amalnya dan ia akan singgah di alam padang mashar. Di
padang mashar semua amalnya pada saat hidup di dunia akan
ditimbang. Apabila amal kebaikannya selama hidup di dunia lebih
berat daripada kejelekan (pahalanya lebih berat daripada dosanya),
maka ia langsung menuju ke surga dan di sana ia akan tinggal
selama-lamanya. Sebaliknya, apabila amal kejelekannya selama
hidup di dunia lebih berat daripada amal kebaikannya (dosanya lebih
berat daripada pahalanya), maka ia akan langsung digiring oleh Allah
ke neraka”.

Berkaitan dengan peringatan malam-malam tertentu setelah


penguburan mayat, seperti malam ke-2, ke-3, ke-6, ke-7, ke-40, dan ke-
100 naskah yang ditulis oleh Ngkalusa (tanpa tahun: 3-13) memperkuat
bahwa pada malam-malam tersebut ada beberapa kejadian yang dianggap
istimewa setelah meninggal dunia yang selalu dikenang oleh keluarga
duka.
Adapun kejadian-kejadian tersebut adalah (1) pada malam ke-2
setelah meninggal, warna mayat berubah menjadi ungu kemerah-merahan;
(2) pada malam ke-3 warna mayat berubah menjadi kuning kemerah-
merahan; (3) pada malam ke-6 warna mayat berubah menjadi putih
kekuning-kuningan, tetapi pada waktu itu mayat sudah hancur,
membengkak, dan berulat; (4) pada malam ke-7 langsung turun hujan
keras, angin kencang, kilat dan guntur yang keras; (5) setelah empat puluh
345
hari (pada malam ke-40) gantungan jantung pada tubuh mayat ternyata
sudah berada di tentangan pusar berbentuk seperti sebuah jeruk nipis
berwarna putih kekuning-kuningan; (6) setelah tiga bulan sepuluh hari
(malam ke-100) gantungan jantung pada tubuh mayat yang seperti buah
jeruk nipis tersebut sudah berubah menjadi janin.
Kegiatan memperingati malam-malam tertentu, seperti malam ke-2,
ke-3, ke-6, ke-7, ke-40, dan ke-100 bertujuan untuk mengenang jasad
mayat dan sekaligus memberikan perhatian kepada roh mayat yang telah
meninggal seperti yang dilakukan oleh etnik Muna.
Pelaksanaan ritus poalo mulai dari memperingati malam ke-2 (pataino
itolu) sampai dengan memperingati malam ke-100 (pomoghono) prosesnya
dari awal samapai terakhir sama. Oleh karena itu, pada bagian ini hanya
diuraikan ritus pataino itolu (memperingati malam ke-2) dan ritus
pomoghono (memperingati malam ke-100) karena ritus pomoghono ada
sedikit tambahan, yaitu pemasangan batu nisan permanen mayat di
kuburan pada saat melakukan kabubusi (penyiraman bumbungan kuburan).

19.6.6.1. Patai
Kata “pataino itolu” (dari bahasa Muna) terdiri atas dua kata, yaitu
“patai” yang berarti pelengkap dan “itolu” berarti ke-3. Jadi, kata
“pataino itolu” berarti pelengkap memperingati malam ke-3. Ritus pataino
itolu menurut tradisi etnik Muna adalah suatu bentuk upacara dalam
kematian untuk memperingati malam ke-2 setelah penguburan mayat.
Tujuan memperingati ritus pataino itolu adalah untuk mengenang
perubahan warna mayat setelah dikuburkan. Menurut naskah yang ditulis
oleh Ngkalusa (tanpa tahun), ketika seseorang telah meninggal, maka pada

346
malam ke-2 setelah mayat dikuburkan maka warnanya berubah menjadi
ungu kemerah-merahan. Oleh karena itu, pada ritus pataino itolu keluarga
yang berduka berusaha sedapat mungkin untuk melaksanakan ritual
dengan tujuan untuk memohonkan ampun atau mengirimkan doa kepada
mayat yang telah dikubur.
Ritus pataino itolu dalam tradisi etnik Muna biasanya dilaksanakan
pada malam hari, yaitu sekitar pukul 19.00 atau 20.00. Beberapa jam
sebelum ritus pataino itolu dimulai, para tokoh masyarakat dan para lebe
telah diundang di rumah tempat pelaksanaan ritus pataino itolu lebih awal,
sedangkan orang tua dan masyarakat lainnya berdatangan sendiri tanpa
diundang.
Ibu-ibu dan tukang masak mulai sibuk di dapur sejak sore hari untuk
mempersiapkan hidangan makan malam dan isi haroa turuntana untuk
ritus pataino itolu. Isi haroa turuntana yang dipersiapkan dalam ritus
pataino itolu sama dengan isi haroa rasul yang dipersiapkan dalam ritus
kasambu, kangkilo, kampua, karia, dan kaga (kabasano dhoa salama,
kefofelesao, dan kafosulino katulu). Akan tetapi, pada ritus pataino itolu,
termasuk ritus lain yang berkaitan dengan kematian harus ditambahkan
lagi dengan surabi (sejenis kue tradisional etnik Muna yang hanya
dipersiapkan/disajikan dalam ritus kematian). Kelengkapan atau sarana isi
haroa turuntana dalam ritus pataino itolu pada etnik Muna meliputi;

“(1) dua atau empat sisir pisang raja yang sudah masak dan masih
utuh, (2) satu piring besar nasi (nasi beras putih dicampur dengan
beras merah) dilapisi dengan satu lembar telur goreng dadar di atas
nasi, (3) delapan atau enam belas buah lapa-lapa, (4) delapan buah
kue susuru (cucur), (5) delapan buah kue wadhe (baje), (6) delapan
347
butir ghunteli kasinganga (telur ayam kampung/ras direbus dengan
kulitnya sampai matang, kemudian kulitnya dikupas lalu digoreng
kembali dengan minyak goreng, (7) delapan butir telur rebus, (8) dua
cangkir kue sirikaea (jenis kue basah tradisional khas etnik Muna),
(9) delapan buah kue dhodholo (dodol), (10) delapan potong daging
ayam kasinganga (daging ayam yang dimasak lalu digoreng kemudian
dicelup dalam telur yang sudah dikocok lalu digoreng kembali), (11)
delapan buah sanggara (pisang masak dalam keadaan utuh/tidak
dibelah digoreng dengan minyak kelapa), (12) delapan buah kue
ngkea-ngkea (jenis kue tradisional khas etnik Muna delapan potong),
(13) delapan buah kue surabi (kue tradisional etnik Muna), (14)
delapan butir ghunteli katoofi (telur rebus), (15) delapan butir ghunteli
kasinganga (telus direbus lalu dikupas kulitnya kemudian digoreng
dengan minyak kelapa) , (16) delapan potong manu kasinganga
(daging ayam dimasak lalu digoreng dengan minyak kelapa), (17)
delapan potong manu kakele (daging ayam yang dimasak lalu diolesi
telur ayam kampung kemudian digoreng dengan minyak kelapa
sampai agak kering), dan (18) delapan potong manu kaowei (daging
ayam yang digulai)”.

Isi haroa turantana disusun oleh seorang pomantoto (tokoh adat


perempuan) dalam sebuah talang besar seperti susunan haroa rasul dalam
ritus kasambu, kampua, kangkilo, karia, kabasano dhoa salama,
kefofelesao, dan kafosulino katulu. Perlu diketahui bahwa isi haroa rasul
dalam ritus yang berkaitan dengan kehidupan, seperti kasambu, kampua,
kangkilo, karia, kabasano dhoa salama, kefofelesao, dan kafosulino katulu
harus berjumlah ganjil, sedangkan isi haroa turuntan dalam ritus yang
348
berhubungan dengan ritus kematian, seperti pataino itolu, itolu, pataino
ifitu, ifitu, pofatofulugha, dan pomoghono isi haroa turuntana harus selalu
berjumlah genap.
Sebelum pembacaan doa haroa turuntana dalam ritus pataino itolu,
lebe yang bertugas melaksanakan kansolo-nsolo pergi ke kuburan untuk
melaksanakan kabubusi (penyiraman bumbungan timbunan mayat). Ia
pergi ke kuburan bersama seorang laki-laki keluarga pelaksana ritus
pataino itolu pada sore hari sekitar pukul 17.00. Mereka membawa sabut
kelapa kering, ceret/teko yang berisi air bersih, dupa/kemenyan, korek api,
dan sebuah kumpulan surat dan doa yang bersumber dari kitab suci
Alquran.
Sesampainya di kuburan, lebe mendoai ceret/teko yang berisi air
bersih yang doanya bersumber dari kitab suci Alquran, yaitu dibacakan
surat Al-Fatihah ayat 1-7 tiga kali dan surat Al-Ikhlas ayat 1-4 satu kali.
Seusai mendoai ceret/teko yang berisi air bersih, ia menyiram
bumbungan timbunan kuburan mayat mulai dari arah pusar mayat menuju
ke kepala, kemudian kembali ke pusat dan terakhir di kaki. Penyiraman
bumbungan timbunan kuburan mayat dilakukan sebanyak tujuh kali
berturut-turut. Setelah itu ia membakar sabut kelapa kemudian dibakarkan
dupa (kemenyan) di atas sabut kelapa lalu ditaruh di atas bumbungan
timbunan tanah kuburan mayat. Selanjutnya ia membaca surat Yasin ayat
1-83 dan dilanjutkan dengan membaca tahlil mayat, yaitu mengucapkan
kalimat “Laa Ilaaha IllAllah” tiga ratus kali, kemudian mengucapkan kata
“Allah” seratus kali. Setelah itu ia dan laki-laki yang menemaninya pulang
ke rumah tempat pelaksanaan ritus pataino itolu.

349
Di rumah tempat pelaksanaan ritus pataino itolu sudah berkumpul
para tokoh masyarakat, para lebe, dan hadirin. Setelah tiba di rumah lebe
yang baru datang dari melakukan kabubusi (penyiraman) langsung duduk
di tempat yang sudah dipersiapkan. Setelah itu proses pelaksanaan ritus
pataino itolu (pembacaan doa haroa turuntana dalam ritus pataino itolu)
dimulai dengan tahapan-tahapan berikut.
Pertama, para lebe duduk di bagian depan untuk membaca doa. Di
hadapan mereka telah disiapkan kantunuha dupa (bara api yang menyala
yang ditaruh dalam sebuah piring keramik) dan sebuah talang yang berisi
haroa turuntana (dulang). Kedua, para lebe duduk bertafakur dan
memandang diri mereka masing-masing dalam kesucian sesuai dengan
fitrahnya, kemudian secara serentak mengucapkan dua kalimat syahadat
yang berbunyi “Asyhadu anlaa ilaaha illAllah. Waasyhadu anna
Muhammadar rasulullah” (Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang
wajib disembah, kecuali Allah dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad
adalah utusan Allah).
Kemudian membaca salawat nabi yang berbunyi “Allahumma shalli
wasallim ‘alaa sayidina Muhammadi, Wa ‘alaa ali sayidina Muhammadi,
‘alaa hadratin Nabiy Mustafa shollallaahu alaihi wasallam”. Selanjutnya,
membaca Surat Al-Fatihah ayat 1-7 satu kali, membaca kalimat “Allaahu
akbar laa ilaaha illAllah waullaahu akbar” satu kali. Kemudian membaca
surat Al-Ikhlas ayat 1-4 tiga kali, membaca kalimat “Allaahu akbar laa
ilaaha illa Allah waullaahu akbar” satu kali, membaca surat Al-Falaq ayat
1-5 satu kali, membaca kalimat “Allahu akbar laa ilaaha illa Allah
wallaahu akbar” satu kali, lalu membaca surat An-Nas, ayat 1-5 satu kali,
membaca kalimat “Allaahu akbar laa ilaaha illa Allah wallaahu akbar”
350
satu kali, membaca surat Al-Baqarah ayat 1-5 satu kali, membaca surat Al-
Baqarah ayat 255 satu kali, membaca kalimat “Afdhalu zikir annahu laa
ilaaha illa Allah” satu kali, membaca kalimat “Laa ilaaha illa Allah” tiga
ratus kali, membaca kalimat “Muhammadar rasulullaahu ‘alaihi
wasallam” satu kali, membaca kata “Allah” seratus kali, dan ditutup
dengan membaca kalimat “Laa ilaaha illa Muhammadar rasulullahi
‘alaihi wassalam” satu kali.
Setelah membaca doa-doa di atas, para lebe menunjuk salah seorang
dari mereka untuk membacakan doa haroa turuntana. Doa haroa
turuntana dimulai dengan membaca istighfar tiga kali, kemudian
membaca salawat nabi. Selanjutnya, membaca urutan silsilah doa menurut
keyakinan etnik Muna Muslim tradisional. Berikutnya, membaca doa
berkah dan doa permohonan ampun.
Setelah pembacaan doa haroa turuntana pada ritus pataino itolu,
para lebe berjabatan tangan dimulai dari keluarga yang tertua pelaksanana
ritus pataino itilo, kemudian tokoh masyarakat, sesama lebe, dan hadirin.
Setelah itu haroa turuntana (dulang) diangkat oleh salah seorang keluarga
pelaksana ritus pataino itolu dibawa ke dapur dan diganti dengan hidangan
lain. Selanjutnya makan malam bersama. Setelah makan malam bersama,
rangkaian ritus pataino itolu dianggap selesai dan para tokoh masyarakat,
para lebe, dan hadirin yang menyaksikan ritus pataino itolu dapat pulang
ke rumah masing-masing.

19.6.6.2. Pomoghono
Kata “pomoghono” (dari bahasa Muna) berasal dari kata dasar
“moghono” yang berarti seratus. Setelah mendapat awalan po-, kata

351
“moghono” berfungsi sebagai kata kerja yang berarti
berseratus/memperingati malam ke-100. Menurut Kamus Budaya Sulawesi
Tenggara, “pomoghono” adalah melaksanakan upacara setelah 100 hari
penguburan mayat (dalam upacara tradisioanal kematian). Jadi, ritus
pomoghono dalam tradisi etnik Muna adalah memperingati malam
keseratus setelah meninggal. Tujuan memperingati malam keseratus bagi
orang Muna adalah untuk mengenang jasad atau tubuh mayat sebab pada
hari ke-100 tulang-tulang mayat telah berkumpul kembali di dalam liang
lahat.
Proses pelaksanaan ritus pomoghono dimulai dengan pemasangan
batu nisan permanen di kuburan mayat. Pemasangan batu nisan permanen
biasanya dilaksanakan pada sore hari setelah salat asar, yaitu sekitar pukul
15.30 atau pukul 16.00. Yang memasang batu nisan permanen tersebut
adalah seorang lebe disaksikan oleh beberapa keluarga pelaksana ritus
pomoghono. Proses pemasangan batu nisan permanen adalah sebagai
berikut.
Pertama, lebe yang diundang oleh keluarga pelaksana ritus
pomoghono untuk memasang batu nisan permanen bersama beberapa
orang keluarga pelaksana ritus pomoghono pergi ke kuburan membawa
batu nisan permanen, kapur tembok/cat tembok, kuas, jeriken atau teko
yang berisi air bersih, sabut kelapa kering, korek api, tembilang/linggis,
dan kumpulan surat dan doa-doa yang bersumber dari kitab suci Alquran.
Kedua, sesampainya di kuburan lebe langsung duduk di depan nisan
darurat kemudian membaca salawat “Allahumma shlli a’laa Muhammad
wa A’laa Aliy Muhammad” satu kali (Ya Allah, berikanlah salawat dan
salam kepada Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad).
352
Ketiga, lebe mencabut nisan darurat kemudian membaca lagi salawat
“Allahumma shalli a’laa Muhammad, wa a’laa Alyi Muhammad” satu kali
(Ya Allah, berikanlah salawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan
keluarga Nabi Muhammad). Selanjutnya membaca surat Al-Fatihah ayat
1-7 satu kali.
Keempat, lebe melaksanakan tida wite (mengawali galian tanah untuk
memasang batu nisan permanen), kemudian mempersilakan salah seorang
keluarga pelaksana ritus pomoghono yang ada di kuburan untuk
melanjutkan galian untuk memasang batu nisan permanen tersebut.
Kelima, keluarga pelaksana ritus pomoghono mengangkat batu nisan
untuk dipasang di tempat galian dan dituntun langsung oleh lebe.
Keenam, lebe duduk di depan batu nisan permanen lalu bertafakur
sambil membaca doa “Inna Lillaahi wa inna ilaihir rajiun”
(Sesungguhnya manusia berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya).
Kemudian dilanjutkan dengan membaca surat Al-Fatihah ayat 1-7 satu
kali, surat Al-Falaq ayat 1-5 satu kali, surat An-Nas ayat 1-6 satu kali,
surat Al-Ikhlas ayat 1-4 satu kali, dan ditutup lagi dengan surat Al-Fatihah
ayat 1-7 satu kali.
Ketujuh, lebe meluruskan batu nisan permanen yang telah dipasang
kemudian ditimbun secara bersama-ama dengan keluarga pelaksana ritus
pomoghono.
Kedelapan, lebe mencuci kedua tangan lalu mendoai air di dalam
jeriken untuk menyiram (bubusi) bumbungan kuburan mayat. Doa yang
dibaca oleh lebe pada saat mendoai air dalam jeriken untuk menyirami
kuburan pada saat ritus pomoghono bersumber dari kitab suci Alquran,

353
yaitu surat Al-Fatihah ayat 1-7 dibaca satu kali dan surat Al-Ikhlas ayat 1-4
dibaca tiga kali.
Kesembilan, lebe menyirami bumbungan kuburan mayat dimulai dari
bagian dada sampai ke kaki, kemudian kembali ke bagian dada, lalu
dilanjutkan ke atas batu nisan permanen yang baru dipasang selama tujuh
kali. Air di dalam jeriken tersebut disiramkan di atas bumbungan kuburan
mayat sampai habis.
Kesepuluh, lebe mempersilakan keluarga pelaksana ritus pomoghono
untuk mengapuri batu nisan permanen yang sudah dipasang tersebut.
Setelah batu nisan permanen tersebut dikapuri keluarga pelaksana ritsu
pomoghono yang menemani lebe di kuburan langsung membentangkan
sebuah tikar di samping kanan batu nisan permanen yang telah dipasang.
Kemudian lebe duduk di atas tikar bersama keluarga pelaksana ritus
pomoghono yang mendampinginya. Mereka duduk bersila menghadap ke
kiblat.
Kesebelas, lebe membakar sabut kelapa di atas piring keramik
kemudian membakar dupa/kemenyan di atas sabut kelapa tersebut. Kedua
belas, lebe membaca surat Yasin ayat 1-83 dilanjutkan dengan membaca
doa selamat untuk dikirimkan kepada mayat. Setelah membaca surat
Yasin, lebe membaca doa selamat seperti doa yang dibaca pada saat
membacakan doa haroa rasul. Setelah membaca surat Yasin dan doa
selamat di kuburan, lebe dan beberapa keluarga pelaksana ritus pomogho
yang menemaninya pulang ke rumah tempat pelaksanaan ritus
pomoghono.
Doa selamat yang dibaca oleh lebe setelah membaca surat Yasin ayat
1-83 sama dengan doa yang dibaca oleh lebe pada saat membacakan doa
354
haroa turuntana dan haroa rasul pada ritus pataino itolu, poitolu, pataino
ifitu, poifitu, dan pofato fulugha.
Di rumah tempat pelaksanaan ritus pomoghono ibu-ibu dan para
tukang masak sejak pagi sudah mulai sibuk mempersiapkan makanan
untuk para hadirin dan isi haroa turuntana untuk ritus pomoghono. Isi
haroa turuntana untuk ritus pomoghono sama dengan isi haroa turuntana
pada ritus pataino itolu, poitolu, pataino ifitu, poifitu, dan popofato
fulugha, yaitu dua sisir pisang raja yang sudah masak dan masih utuh;
delapan atau enam belas buah lapa-lapa; satu piring besar nasi dilapisi
dengan satu lembar telur goreng dadar di atas nasi; delapan butir ghunteli
kasinganga; delapan butir telur rebus; delapan potong daging ayam
kasinganga; delapan potong ayam kakele; delapan potong daging ayam
kaowei; delapan buah kue susuru; delapan buah kue dhodholo; dua
cangkir kue sirikaea; delapan buah kue wadhe; delapan buah pisang
goring; delapan buah kue ngkea-ngkea; dan delapan buah kue surabi. Isi
haroa turuntana (dulang) tersebut juga disusun oleh seorang pomantoto
(tokoh adat perempuan) dalam sebuah talang besar seperti halnya susunan
haroa turuntana pada ritus pataino itolu, poitolu, pataino ifitu, poifitu, dan
pofato fulugha.
Setelah tiba di rumah tempat pelaksanaan ritus pomoghono, lebe dan
beberapa keluarga pelaksana ritus pomoghono yang menemaninya di
kuburan, langsung masuk ke rumah tempat pelaksanaan ritus pomogho.
Lebe langsung duduk di tempat yang sudah dipersiapkan. Di tengah-tengah
para lebe dan hadirin sudah dipersiapkan haroa turuntana (dulang). Pada
saat pelaksanaan ritus pomoghono di rumah tempat pelaksanaan ritus
pomoghono biasanya ada lima orang lebe yang diundang, yaitu tiga orang
355
modhi (pegawai syariat Islam), satu orang hatibino liwu (khatib desa), dan
satu orang imamuno liwu (imam desa).
Tahapan-tahapan pelaksanaan ritus pomoghono adalah sebagai
berikut. Pertama, pembacaan ayat-ayat suci Alquran oleh lima lebe yang
telah diundang. Kedua, kelima lebe tersebut duduk berderet dan
didampingi oleh semua keluarga pelaksana ritus pomogho, para hadirin.
Ketiga, salah seorang keluarga pelaksana ritus pomoghono menyiapkan
lima gelas air putih lalu meminta izin kepada kelima orang lebe tersebut
dan hadirin untuk menyajikan kelima gelas air putih tersebut. Kelima gelas
air minum tersebut ditaruh di depan para lebe yang akan membaca kitab
suci Alquran. Setelah menaruh lima gelas air putih di hadapan para lebe, ia
mengambil sebuah piring keramik berisi bara api yang sedang menyala,
lalu ditaruh di depan imam yang akan membacakan doa haroa turuntana.
Keempat, salah seorang lebe dipersilakan oleh imam untuk membakar
dupa/kemenyan. Kelima, seteladak sebagai pemimpin para lebe meminta
izin kepada keluarga pelaksana ritus pomogho, para lebe, dan hadirin
untuk memulai membacakan doa haroa rasul pada ritus pomoghono.
Proses pembacaan doa haroa turuntana dan doa yang dibaca untuk ritus
pomoghono sama dengan proses pembacaan doa haroa turuntana dan doa
yang dibaca pada ritus pataino itolu, poitolu, pataino ifitu, poifitu, dan
pofatofulugha.
Setelah imam membacakan doa haroa turuntana dilanjutkan dengan
pembacaan kitab suci Alquran dimulai dari surat Adh-Dhuha sampai surat
An-Nas. Imam membaca surat Adh-Dhuha ayat 1-8, dan beberapa surat
berikutnya. Setelah itu dilanjutkan oleh lebe lain secara bergilir sampai
selesai surat An-Nas. Pada saat peralihan bacaan dari imam ke lebe yang
356
lain atau dari lebe yang satu ke lebe yang lain, secara serentak mereka
mengucapkan kalimat “Wa Allaahu akbar, laa ilaaha illa Allah, wa
Allaahu akbar”. Setelah surat Adh-Dhuha sampai surat An-Nas dibaca,
imam yang memimpin doa langsung membaca doa hatam Alquran sebagai
penutup.

357
XX. Kepercayaan Tradisional
20.1. Kebiasaan Memanggil dan Mengusir Hujan
Pada musim kering yang berkepanjangan, bila tanaman terancam
gagal diminta pertolongan seorang pemanggil hujan, pande bhasi ghuse.
Bila bantuannya diminta maka dijawab oleh si pemanggil hujan bahwa ia
harus berpikir dahulu dan bahwa mereka harus kembali lagi setelah
beberapa hari. Selama hari-hari itu ia berpikir keras akan permohonan itu,
sebegitu lama ia sampai-sampai ia bermimpi pada malam harinya.
Bila ia bermimpi bahwa ia minum-minuman keras, makan jagung
bakar, atau menyapu rumah atau halamannya, maka ini adalah mimpi yang
buruk dan memanggil hujan tidak akan berhasil. Hal ini disampaikan
kepada para pemohon. Bila ia mimpi banyak air, bahwa ia mandi atau
minum air ataupun kameko (tuak), ini adalah mimpi yang baik dan
keesokan harinya ia siap untuk memanggil hujan.
Untuk itu ia mengambil separuh tempurung kelapa berisi air dan
menaruh di dalamnya beberapa lembar daun kaghuse-ghuse. Daun pohon
ini sangat mirip dengan daun kelor. Daun ini diaduk beberapa waktu dalam
air, kemudian kelapa itu ditutup dengan belahan lainnya, diambil dengan
kedua tangannya dan digoyang-goyangkan beberapa lama di atas
kepalanya sambil berkata: Qul huwaullahu ahad, allahu samad lam yalid
walam yulad walam yakullahu kufuwan ahad”, yang berarti
“Katakanlah: Tuhan adalah satu-satunya Tuhan. Tuhan yang abadi. Ia
tidak melahiran dan tidak dilahirkan. Tiada yang sama seperti Dia”.
Hujan pasti datang, kecuali telah terjadi sesuatu di kampung yang
sangat membuat marah para roh, umpamanya: perzinahan, perbuatan inses
(hubungan seks antara anggota keluarga dekat), janin seorang wanita yang
358
tidak dibuang ke laut, seorang gadis yang belum kawin tetapi sudah
bersenggama dengan seorang laki-laki dan sebagainya. Biasa juga terjadi
bahwa di kampung ada seseorang sedang mngusir hujan. Hal seperti ini
belum lama terjadi di kampung Tampo, di mana seorang pemanggil hujan
berusaha sekuat-kuatnya untuk mendatangkan hujan, sementara seorang
pengusir hujan pada waktu yang sama lagi sibuk mengusir hujan. Langit
selalu mendung, tetapi hujan tidak datang-datang juga. Lalu dicari
penyebabnya dan di kampung itu terdapat seorang pengusir hujan yang
terkenal Duruka. Orang tersebut segera diusir dari kampung dan malam itu
juga hujan turun.
Untuk mengusir hujan, (pande dia ghuse) harus bermimpi dulu.
Mimpi yang baik untuk memanggil hujan merupakan mimpi yang buruk
bagi pengusir hujan, sedangkan mimpi buruk bagi pemanggil hujan
merupakan mimpi baik bagi pengusir hujan. Biasanya pengusir hujan
diminta mengusir hujan pada waktu tertentu, umpamanya pada waktu
membakar ladang atau pada waktu panen. Di bawah rumahnya atau di
bawah atap serambi si pengusir hujan membuat sebuah lubang dalam tanah
sedalam lebih kurang 20 cm dan lebarnya sedemikian sehingga tangan bisa
masuk ke dalam. Lubang ini diisi dengan loghia (dalam bahasa melayu
disebut ala, yaitu sumsum batang pohon yang biasanya dibuat obat. Obat
ini kadang-kadang dimakan serta dipakai juga oleh pencuri, dalam bentuk
bubuk ditiup ke dalam rumah atau ruangan sehingga orang-orang menjadi
tidak sadar).
Lubang itu ditutupnya kembali dalam tanah kemudian dibuat api di
atasnya. Selama hari-hari yang tidak diharapkan turun hujan, api ini harus
tetap menyala siang dan malam. Kalau dalam waktu ini datang awan
359
hujan, si pengusir hujan lalu meniup ke udara dan dengan jalan ini ia
mengusir hujan. Asap dari api itu harus selalu dikipas, untuk menghindari
terbentuknya awan. Setelah berakhir waktu yang ditetapkan, api
dipadamkan dan lubang yang berisi loghia disiram dengan air supaya
dingin. Dengan cara ini si pengusir hujan mau menghindari ada hawa
panas yang naik dari lubang, yang menyebabkan musim panas dan kering
yang panjang.

20.2. Penyebab Kegagalan Panen


Sebagaimana telah dikemukakan di atas, tidak adanya hujan walaupun
dipanggil oleh pemanggil hujan disebabkan oleh kejadian di kampung
yang bertentangan dengan adat dan menimbulkan kemarahan para roh. Hal
ini juga berlaku bila dalam waktu yang seharusnya kering, ternyata banyak
hujan. Ini juga pasti terjadi karena adanya suatu hal yang tidak baik di
kampung. Pernah terjadi di kampung Lohia (Couvreur, 1935), akibat turun
hujan, tanaman menjadi layu, bukan hanya di Lohia, tetapi semua
kampung di pinggir pantai Katobu. Tentu saja ada penyebabnya. Lalu
diselidiki di semua kampung sampai didapat kemarahan roh itu di Lohia
sendiri. Ada seorang wanita yang keguguran. Biasanya bila tidak kelihatan
hal yang istimewa pada janin yang lahir sebelum waktunya, maka janin itu
bersama dengan darah wanita tersebut harus disimpan selama tujuh hari di
bawah rumah, di dalam belahan kelapa yang diisi tanah setengahnya. Bila
janin dalam waktu itu tidak hancur, itu berarti ada yang istimewa dan
kelapanya tidak boleh ditanam, tetapi harus dibuang di laut dengan isinya.
Bila ada sesuatu yang istimewa pada janin yang baru lahir, seperti halnya
di Lohia, di mana belahan yang satu merah dan belahan lainnya putih,

360
maka ini harus segera dibuang di laut. Ini tidak terjadi, tetapi suaminya
menanam kelapa dengan isinya di kaki sebatang pohon dalam hutan.
Akibatnya hujan tidak datang dan tanaman jagung menjadi layu. Ketika
hal ini diteliti oleh kepala kampung, suaminya dipaksa untuk menunjukkan
tempat kelapa itu ditanam, lalu kelapa dan isinya itu digali kembali oleh
syarat kampung dan dibuang di laut. Pada malam itu turun hujan yang
deras (syarat kampung mengajukan pengaduan kepada pengadilan atas
tindakan laki-laki ini dengan permohonan agar ia dihukum. Tentu saja
permohonan itu tidak bisa dipenuhi).
Jenazah anak yang lahir cacat, umpama tanpa alat kelamin, tanpa lidah
atau tanpa pantat (belum lama ini terjadi di kampung Labunti), atau lahir
dengan bentuk istimewa, seperti dalam bentuk katak, tokek atau taripang,
atau dengan mulut buaya, berkepala ular, tak boleh dikuburkan, tetapi
harus dibuang di laut. Jenazah ini tidak dibungkus dengan kain putih,
tetapi diletakkan telanjang dalam sebuah perahu kecil yang terbuat dari
seludung pohon pinang. Dalam hal ini, begitu juga dalam hal melemparkan
janin yang belum sempurna di laut, sebelum perahu atau janin itu
dilempar, lima bagian dari buah dibuang dalam air laut, serta lima
gulungan tembakau sepanjang satu jari, satu biji telur, lima daun sirih yang
digulung dan diisi dengan kapur dan dua buah kelapa muda. Setelah semua
ini dibuang di laut, maka perahu kecil dengan jenazah atau janin yang
belum sempurna itu ditaruh di atas air. Biasanya terjadi lubang di dalam
air sehingga perahu dan isinya langsung tenggelam dan segera tertutup lagi
dengan air dan tidak pernah muncul lagi di atas. Bila jenazah semacam ini
tidak dibuang di laut, maka sudah pasti panen akan gagal. Juga dalam hal
perbuatan inses dalam kampung (hubungan seks antara anggota keluarga
361
dekat), akan terjadi panen yang gagal oleh karena terlalu sedikit atau
terlalu banyak hujan, atau ladang tidak bisa dibakar karena hujan terus-
menerus.
Di kampung Rangka pernah terjadi bahwa seorang wanita
bersenggama dengan seorang anggota keluarga yang ia tidak boleh di
nikahi. Karena pergaulan ini ia menjadi hamil. Masih dalam keadaan
hamil, dia kawin dengan seorang laki-laki yang sudah sangat tua. Segera
sesudah anak itu lahir, ia langsung dibunuh oleh laki-laki itu, karena kalau
tetap dibiarkan hidup, pasti akan menyebabkan panen gagal. Darah wanita
itu tidak boleh kena tanah dan ditimba dengan hati-hati, dimasukkan ke
dalam kelapa dan ditanam.
Pernah pula terjadi di kampung Lemoambo seorang ayah
bersenggama dengan anaknya sehingga anaknya menjadi hamil. Hal itu
terungkap karena ladang tidak bisa dibakar karena hujan terus-menerus.
Dalam hal ini syarat kampung mengajukan pengaduan kepada pengadilan
Swapraja.
Pada masa pemerintahan Raja Muna La Ode Ahmad, ada seorang La
Ode diangkat menjadi ghoerano di Tongkuno atas pemerintah Belanda.
Waktu itu pemerintah menghendaki orang yang paling cocok untuk
jabatan ini, dan diantara para walaka tidak ada satupun yang cocok.
Akibatnya ada kelaparan dan pemyakit berat (kolera atau disentri),
sehingga ratusan orang meninggal dunia (di kampung Tobea saja lebih
kurang 300 orang). Banyak orang melarikan diri dari Tongkuno, lalu
menetap di kampung Bone Tondo dan Bone Kancitala. Baru sesudah La
Ode ini diberhentikan sebagai ghoerano penyakit dan kelaparan ini
menghilang.
362
20.3. Kepercayaan Terhadap Roh dan Jin
Kepercayaan akan roh dan jin masih amat kuat. Beberapa orang,
diantaranya wakil raja agama dan imam Raha, menyatakan pernah melihat
jin. Raja agama pernah melihat jin dekat kampung Duruka, sedangkan
imam Raha menyatakan pernah menemui jin di Kota Raha dekat
pelabuhan. Kedua-duanya sangat besar, tingginya beberapa meter,
bentuknya manusia dan seluruh tubuhnya tertutup bulu-bulu yang sangat
panjang (dikatakan 1 depa = 1,50 meter). Imam Raha masih dapat
menceritakan, bahwa pernah sewaktu pulang dari tempat mandi ke rumah,
tiba-tiba dia mendengar suara di belakangnya yang bertanya “Mengapa
tidak melihat padaku?” Ketika berpaling, dia melihat seorang wanita muda
yang sangat cantik berambut panjang dan indah duduk di pohon. Ternyata
itu jin karena ada lubang besar di belakangnya.
Pernah terjadi, bahwa orang jalan kaki dari Lambiku ke Tampo
melalui hutan dan tiba-tiba kepalanya diputar ke samping. Ia tidak bisa
memutarnya kembali sehingga tiba di Tampo dengan kepala terputar. Ini
tentunya pekerjaan jin. Laki-laki itu lalu dimandikan oleh seorang dukun
dan diberi minum, barulah kepalanya bisa diputar kembali.
Pernah ada orang yang sakit keras, sehingga tangannya berputar-putar
dan tangannya gemetar. Kata dukun yang diminta bantuannya, jiwa orang
sakit ini digantung oleh jin. Mereka harus meletakkan nasi, telur dan bahan
rokok di depan pintu rumah untuk memberi makan kepada jin dan
demikian mendamaikan dia. Menurut informasi, hal seperti ini sering
terjadi. Jelas makanan itu dimakan oleh anjing dan ayam, tetapi bila betul
jiwa sisakit digantung jin, maka ia segera sembuh kembali sesudah
makanan diletakkan di luar.
363
Mengusir roh dari tubuh orang sakit sering dilakukan dengan
membakar kotoran ayam. Bila roh mencium bau ini, ia melarikan diri jauh-
jauh.
Dahulu terjadi, bahwa orang pergi ke suatu tempat dalam alang-alang,
dimana tidak ada orang yang datang atau tidak bisa dilihat, dan di sana ia
mencoba memanggil roh-roh untuk menjadikannya teman.

20.4. Mantiana dan Kandoli


Ada juga roh dan jin dalam bentuk burung. Yang paling ditakuti
adalah mantiana yang hanya didengar waktu malam. Ini bukan burung
sungguhan, tetapi buatan manusia. Bila seseorang menghendaki kematian
orang lain, maka jiwanya disuruh diambil oleh burung itu. Mantiana
dibuat dari daun jagung atau dari daun tebu. Daun ini dipotong dalam
bentuk burung. Taruh dua jarum sebagai kakinya, diucapkan mantra,
ditiupi dan lihatlah, burungnya hidup dan terbang ke rumah orang yang
jiwanya mau diambil. Bila orang ini mendengar bunyi burung di jalan
yang dilalui atau dekat rumahnya, maka ia masih bisa mengelak dari
bahaya ini dengan jalan mengucapkan mantra, dan sesudah itu harus
meniup ke arah didengarnya bunyi itu. Burung itu akan jatuh dan mati.
Warna buluh mantiana sama dengan warnaa kulit kerbau, badannya
kecil, paruhnya bengkok, hitam dan tajam dan kukunya panjang sekali
setajam jarum. Untuk menghindari kunjungan burung ini, digantung
sebuah botol di depan pintu dengan mantera yang sudah disebut di
dalamnya. Bila mantiana datang dalam jarak 40 meter dari rumah, maka ia
jatuh mati.

364
Kandoli adalah jin dalam bentuk gadis cantik. Dulu dia seorang
wanita muda yang amat mencintai seorang laki-laki, tetapi bisa juga
seorang perempuan jalang. Ia mengalami sakaratulmaut yang sangat berat,
karena ia mencintai dunia dengan seluruh jiwa raganya. Dia amat
berbahaya untuk laki-laki, karena ia mau mencuri alat kelamin mereka.
Dia hanya memperlihatkan dirinya pada malam hari.

20.5. Makna Suara Burung


Bila burung kiu malam hari bersuara satu kali (kiu!) di depan rumah,
artinya bahaya bagi penghuni rumah, seperti kematian, kebakaran,
pencurian, dan sebagainya.
Bila burung kuhu-kuhuti bersuara satu kali pada malam hari dekat
dapur rumah, artinya akan ada bahaya kalau orang tetap tinggal di rumah
ini. Jadi orang segera pindah.
Bila burung gara bersuara satu kali pada malam hari di depan rumah,
artinya untuk penghuni rumah ada bahaya yang tidak dapat dielakkan;
bahaya itu akan kena dimanapun si penghuni berada. Orang akan mati, ada
kebakaran, pencurian dan sebagainya. Bahaya ini tidak dapat dielakkan
jadi tidak usah pindah juga.
Masih ada satu burung malam yang bersuara “ kiu – koh – koh – koh”.
Burung ini lain dari burung kiu yang disebut di atas. Bila burung ini
terdengar pada malam hari di bagian timur rumah, artinya rumah ini
dilindungi oleh roh dan semua serangan atas nyawa penghuni dan atas
harta mereka tidak akan berhasil. Akan tetapi, bila suaranya terdengar di
dekat rumah sebelah barat, artinya penghuni rumah akan mendapat
kesulitan. Seorang pencuri yang mendengaar burung ini, tahu bahwa

365
nanti malam ia akan berhasil, dan tidak takut akan ditangkap, tetapi bila
hanya ia mendengar suara burung itu di sebelah timur, sebelah barat atau
dari depan. Bila suaranya datang dari belakang, maka ia akan kembali
karena ia tidak berhasil dan pasti ia akan ditangkap.
Bila seorang dalam perjalanan mendengar suara burung kaminsi satu
kali di sebelah kanan, ia tidak berhasil dalam usahanya. Bila burung ini
terdengar dari depan dalam jarak lebih kurang 20 meter, maka artinya akan
ada bahaya di rumah atau sudah ada, sehingga harus pulang.
Bila seorang dalam perjalanan mendengar bunyi tooke (tokek) di
sebelah jalan, ia tidak akan berhasil hari itu, apapun usahanya. Bila
terdengar tooke di sebelah kirinya, maka ia akan berhasil. Pencuri dan
penjudi tidak akan tertangkap.

20.6. Tafsir Mimpi


Mimpi juga mempunyai peranan penting dalam hidup orang Muna.
Bila dalam mimpinya ia melihat lubang besar di bawah rumahnya, artinya
segera akan ada yang meninggal dalam rumahnya. Bila ia bermimpi,
bahwa rumahnya dibongkar, artinya ia akan mendapat banyak kesulitan.
Bila bermimpi, salah satu penyangga rumah di samping patah, artinya
kemungkinan besar salah satu anaknya akan meninggal. Bila bermimpi
bahwa balok pada bubungan rumah patah, maka artinya kemungkinan
besar ia sendiri atau istrinya akan segera meninggal. Bila dilihatnya dalam
mimpi sebuah bukit di halamannya, artinya akan mendapat banyak rezeki
atau jabatan. Bila dalam mimpinya ia melihat air di kolong rumah atau
halaman, artinya banyak rezeki. Oleh karena itu,banyak orang Muna
membangun rumahnya di atas tanah yang berlumpur dan tidak segera akan

366
bertindak kalau dinasihati atau disuruh mengeringkan halaman ataupun
menimbunnya.

20.7. Sihir
Tukang sihir (wurake) juga terkenal di Muna, baik laki-laki maupun
perempuan. Mereka dapat menyihir orang dan membuat mereka sakit.
Tujuan utama mereka adalah anak-anak kecil yang dibuat sakit sehingga
mati.
Dulu ada kampung yang tidak ada anak-anak atau hanya tiga atau
empat anak kecil yang hidup; yang lainnya dimatikan oleh tukang sihir.
Jadi dahulu anak-anak kecil yang masih hidup dijaga ketat. Tukang sihir
terbang malam hari. Bila seseorang disangka tukang sihir, ia dibawa ke
depan Syarat Muna dan dihukum mati.
Kadang-kadang sebuah keluarga menderita banyak penyakit.
Penyebab biasanya sepotong kayu di dalam rumah, umpama tiang atau
balok juga mata kayu yang besar dapat menyebabkan penyakit. Dalam hal
seperti ini, diminta bantuan seseorang, yang dapat menemukan penyebab
penyakitnya, yaitu seorang yang dapat menyelidiki apakah penyakit ini
disebabkan oleh sepotong kayu yang “salah” jadi boleh dikatakan ahli
nujum dalam bidang kayu. Orang ini disebut “pande ghondo sau”
(sau=kayu). Orang pande ghondo sau ini menunjukkan mata kayu dalam
salah satu tiang rumah.

367
DAFTAR PUSTAKA

Boll, V.G.A., 1913. De Nieuwe Bestuursregeling Op Muna: Koloniaal


Tijdschrift. Nederlandasch-Indie.
CH. F.H. Dumont, 1917. Aadrijkskundig Woorden Boek Van
Nederlandsch – Indie.
Couvreur, J, 2001. Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna. Kupang:
Artha Wacana Press.
Engelhard, 1884. Mededeelingen OverHet Eiland Seleijer. S.
Gravenhage.
E.J. Van den Berg, 1954. Medelingen uit de Verslagen Taalamtenaar Op
Buton. Leiden.
Johannes, Bekker, 2009. The Netherlands Indies in Aceh, Bali and
Buton. Leiden: Universitas Leiden.
J.E. Jasper En Mas Pirngadie, 1912. De Islandsche Konstnijverheid In
Nederlandsch Indie. S. Gravenhage.
M.B. Teenstra, 1859. Beknopte Beschrijving van de Nederlandsche Over
Zeesche Bezittingen. Groningen.
La Aso, 2015. Ritus Peralihan pada Etnik Muna: Keberlanjutan dan
Perubahan. Disertasi Program Doktor FIB. Universitas Udayana.
La Niampe, 1998. Kabanti Bula Malino : Kajian Sastra Wolio Klasik.
Tesis pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung.

368
-------, 1998. Undang-Undang Kesultanan Buton, Makalah Seminar
dalam Simposium Internasional Manassa II. FS41, Pusat Studi
Jepang.
-------, 1999. Dari Melayu Ke Negeri Buton (Sejarah Terbentuknya
Kerajaan Melayu-Buton dan Silsilah Rajanya). Jogyakarta: Ashaff
Offset.
-------, 1999. Nasihat Haji Abdul Ganiu Kepada Sultan La Ode
Muhammad Idrus Kaimuddin, Makalah Seminar dalam
Simposium Internasional Manassa III. Jakarta: Taman Ismail
Marzuki.
-------, 1999. Naskah Buton: Inventarisasi dan Pencatatan. Kerja
sama Manassa Cabang Buton dengan Bappeda Buton.
-------, 2000. Kabanti Oni Wolio (Seri 1-2). Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa.
-------, 2000. Mengungkap Sejarah Masa Lampau Hubungan Buton-
Belanda, Makalah Seminar dalam Simposium Internasional
Manassa V. Pekanbaru: Universitas Riau.
------- dan Hj. Wan Mohammad Saghir Abdullah, 2001. Haji Abdul Ganiu
Penentu Undang-Undang Kerajaan Buton. Kuala Lumpur:
Persatuan Pengkajian Khazanah Klasik Nusantara dan Khazanah
Fathaniyah Kuala Lumpur.
------- dkk, 2001. Katalog Naskah Buton Koleksi Abdul Mulku Zahari.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
-------, 2003. Hikayat Negeri Buton (Pendahuluan, Analisis Teks
dan Tranliterasi). Kerja sama Manassa Buton dengan Dewan
Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur.
-------, 2003. Istiadat Negeri Buton (Pendahuluan, Analisis Teks dan
Transliterasi). Kerja sama Manassa Buton dengan Dewan Bahasa
dan Pustaka, Kuala Lumpur.
-------, 2003. Silsilah Bangsawan Butun (Pendahuluan, Analisis
Teks dan Transliterasi). Kerja sama Manassa Buton dengan Dewan
Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur.

369
--------, 2004. Butun dalam Sastra Melayu Lintas Daerah (172-178).
Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
-------, 2004. Surat Wasiat Muhammad Idrus al-Butuni (Sebuah
Penjelasan Singkat) dalam Jurnal Filologi Melayu (Jilid 12,
20114) halaman 91-108. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara
Malaysia.
-------, 2007. Sarana Wolio : Unsur-Unsur Tasawuf dalam Kitab
Undang-Undang Buton serta Edisi Teks. Disertasi pada Program
Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung.
------, 2009. Kesultanan Buton dalam Sejarah dan Naskah
Nusantara dalam Naskah Buton Naskah Dunia. Bau-Bau:
Respect.
-------, 2009. Nasihat Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin Ibnu
Badaruddin Al-Buthuni. Kendari: FKIP Unhalu.
-------, 2009. Sejarah Islam dalam Kebudayaan Buton di Sulawesi
Tenggara dalam Sejarah Kebudayaan Islam di Sulawesi
Tenggara (53-128). Kendari: Universitas Muhammadiyah Kendari.
-------, 2009. Silsilah Bangsawan Buton (Pengantar dan Suntingan
Teks). Kendari: FKIP Unhalu.
-------, 2009. Syair Ajonga Inda Malusa (Pengantar dan Suntingan
Naskah). Kendari: FKIP Unhalu.
-------, 2009. Undang-Undang Buton Versi Muhammad Kaimuddin.
Kendari: FKIP Unhalu.
-------, 2010. La Ode Muhammad Idrus Qaimuddin Sastrawan Sufi
Ternama di Buton Abad XIX dalam Jurnal Humaniora, Volume
22, Nomor 3 Oktober 2010 (250-265). Jogyakarta: Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Gajah Mada.
-------, 2010. Surat-Surat Kerajaan Buton dari Abad XVII-XIX
(Aspek Kebahasaan dan Komponen Surat) dalam Jurnal Filologi
Melayu Jilid 17, 2010 (93-105). Kuala Lumpur: Perpustakaan
Negara Malaysia.

370
-------, 2011. Bahasa Wolio di Kerajaan Buton dalam Jurnal
Linguistika Edisi Maret 2011, Vol. 18 No. 34 (61-65). Bali:
Universitas Udayana.
-------, 2011. Unsur Tasawuf dalam Undang-Undang Kerajaan
Buton dalam Jurnal Lektur Keagamaan Vol. 9. No.1 Juni 2011
(63-92). Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan
Diklat Kementrian Agama RI.
-------, 2012. Bahasa Melayu di Kerajaan Buton (Studi Berdasarkan
Naskah Kuno Koleksi Abdul Mulku Zahari di Buton) dalam
Jurnal Bahasa dan Seni Tahun 40, Nomor 1, Februari 2012 (14-
25). Malang: Universitas Negeri Malang.
-------, 2012. Pengaruh Islam dalam Kebudayaan Lokal di Buton
(Satu Kajian Berdasarkan Teks Sarana Wolio) dalam Jurnal El
harakah (Vol.14,No.2, Juli-Desember (239-263)). Malang: UIN
Maulana Malik Ibrahim.
-------, 2012. Sejarah Pendidikan Pesantren di Sulawesi Tenggara
Abad XVIII-XX dalam Perspektif Filologi. Kerjasama ATL
Sulawesi Tenggara dengan Kementrian Agama RI Sulawesi
Tenggara.
-------, 2014. Nasihat Leluhur untuk Masyarakat Buton-Muna.
Bandung: Mujahid.
-------, 2018. Revolusi Mental Zaman Kesultanan Buton Abad XIX:
Pesan-Pesan Peradaban untuk Indonesia dan Dunia. Depok:
Oceania Press.
Ligtvoet, 1878. Beschrijving En Geschiedenis van Boeton. Nederlandsch.
Muller, 1908. Onze Eeuw Jaargang 8. Nederlandsch.
Rauf, La Ode Abdul, 1996. Peranan Etik dalam Proses Modernisasi:
Suatu Studi Kasus di Muna. Jakarta: Balai Pustaka.
Stontenbeker, 1866. Tijdschrift voor Indische Taal, Land En
Volkenkunde. Batavia Hage Lange & CO M.Nijhoff
--------, 1996. Martabat Buton Versi Kesultanan Buton dalam Sejarah
dan Naskah. Orasi Dies Natalis Dibawakan pada Wisuda VIII dan

371
Dies Natalis XII Universitas Dayanu Iksanuddin Bau-Bau Tanggal
19 Oktober 1996.
Tim, 1934. Malay Archipelago Kolonial Tijdscrift. Nederlandsch.
Tim, 1936. Volkstelling 1930 Deel V Inheemsche Bevolking Van
Borneo, Celebes, de Kleine Soenda Eilanden En De Molukken.
Batavia: Landsdrukkerij.
Tim, 1941. Archief voor de Rubber – Cultuur in Nederlandsch Indie.
Ruygrok & Batavia.

372
GLOSARIUM

A
Abaluara Abarata : pertahanan wilayah bharata (Wuna, Tiworo,
Kaledupa dan Kulisusu) pada masa
pemerintahan kesultanan Buton
Adhati Wuna : Adat Muna atau Wuna atau Pancana
Ahdiyah : peringkat pertama dari tujuh martabat
dalam Martabat Tujuh
Alam Ajsam : peringkat keenam dari tujuh martabat dalam
Martabat Tujuh
Alam Arwah : peringkat keempat dari tujuh martabat
dalam Martabat Tujuh
Alam Insani : peringkat ketujuh dari tujuh martabat dalam
Martabat Tujuh
Alam Mitsal : peringkat kelima dari tujuh martabat dalam
Martabat Tujuh
Ambara : adat mengenai hasil laut yang menjadi hak
kekayaan sultan atau pihak istana
Anangkolaki : salah satu golongan masyarakat dalam adat
Muna
Anti-Anti : anting-anting, salah satu jenis perhiasan
wanita Muna

373
Apogaa yinda Koolota : salah satu ungkapan filosofis dalam istilah
kebudayaan Buton yang berarti “berpisah
tidak berantara”
Aporomu yinda aposaangu : salah satu ungkapan filosofis dalam istilah
kebudayaan Buton yang berarti “berkumpul
tidak bersatu”
Asrar Al-Umara Fil Al-Adat : nama lain dari Sarana Wolio, atau Martabat
Al-Wuzarah
Tujuh atau Sara Pataanguna yang berarti
rahasia para pemimpin yang dikandung
oleh para mentri dalam kesultanan Buton
Awamiu : salah satu jenis sapaan dalam adat Muna
yang berarti “cucu Tuan”

B
Baaluwu : nama kampung adat dalam wilayah
kerajaan Buton, mentri Baaluwu, mentri
yang menguasai kampung tersebut, salah
satu kampung adat pendiri kerajaan Buton
atau cikal-bakal wilayah kerajaan Buton
Baaluwu Peropa : dua kampung adat dalam kerajaan Buton
yang dikenal sebagai pendiri kerajaan
Buton. Mentri Baaluwu pertama bernama
Sangariarana dan mentri Peropa pertama
bernama Betoambari

374
Baiduzzamani : nama lain dari La Eli gelar Bheteno ne
Tombula, yaitu raja Muna yang pertama
Baluna Lakologou : gelar yang diberikan mantan istri kepada
kampung Lakologou setelah meninggal
dunia
Bante : pajak yang dibebankan kepada masyarakat
golongan maradika atau papara berupa hasil
bumi, Putra Sipajongan dari raja di Pulau
Liya tanah Melayu
Barangka Tongkuno
Betoambari : mentri Peropa pertama, salah seorang tokoh
pendiri kerajaan Buton
Bhaladhadha : sejenis baju kebesaran kerajaan Muna
Bhalatu : kain tenun kasar pada masyarakat Muna
Bhangka Mapasa : “perahu yang pecah” salah satu jenis
perarturan kesultanan Buton berasal dari
Sara Jawa (Adat Jawa)
Bhangulea : semacam putra mahkota
Bhante : pajak yang dibebankan kepada rakyat
maradika atau papara berupa hasil bumi
Bhantea : barak atau bangsal biasanya digunakan
untuk keperluan pesta keluarga atau pesta
kampung
Bharata : semacam pengikat tali perahu atau pengikat
cadik, sebutan untuk wilayah yang terletak
di perbatasan. Empat wilayah bharata
375
Kerajaan Muna (Lohia, Labhora, Lahontohe
dan Wasolangka)memiliki pemerintahan
otonom, berfungsi sebagai benteng
keamanan terhadap musuh dari luar
Bharata Kaledupa : salah satu kerajaan otonom (kerajaan
Kaledupa) dari empat kerajaan otonom
(Wuna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa)
berbatasan dengan Kerajaan Wolio (Buton),
pada masa lampau membantu kerajaan
Buton dalam menghalau musuh kerajaan
Buton terutama yang melewati jalur laut
antara Pulau Kaledupa sampau Pulau Batu
Atas (dari Ternate)
Bharata Kulisusu : salah satu bagian otonom (Kerajaan
Kulisusu) berbatasan dengan kerajaan
Wolio Buton, pada masa lampau membantu
Kerajaan Wolio dalam menghalau musuh
Kerajaan Buton terutama yang melalui jalur
laut antara Kerajaan Kulisusu sampai Pulau
Murumaho (musuh Kerajaan Buton dari
Tobelo)
Bharata Laboora : salah satu dari empat wilayah Kerajaan
Muna (Lohia, Labhoora, Lahontohe dan
Wasolangka) yang terletak diperbatasan
pantai (pesisir pantai), menjaga musuh
Kerajaan Muna yang berasal dari luar.
376
Pemerintahan di kawasan tersebut berstatus
semi otonom
Bharata Laghontoghe : sama dengan bharata Labhoora
Bharata Loghia : sama dengan bharata Labhoora, dalam
perkembangan kemudian bharata Labhoora
bergabung ke dalam bharata Lohia
Bharata Patapalena : empat kerajaan otonom (Wuna, Tiworo,
Kolencusu dan Kaledupa) berbatasan
dengan Kerajaan Buton pada masa lampau
membantu dalam rangka menghalau
musuh-musuh Kerajaan Buton seperti
Luwu, Goa, Tobungku, Tobelo dan Ternate
Bharata Wasolangka : sama dengan bharata Lahontohe, Lohia,
Wasolangka dan Labhoora
Bharata Wuna : salah satu kerajaan otonom (Kerajaan
Wuna) berbatasan dengan Kerajaan Buton
yang pada masa lampau membantu
Kerajaan Buton dalam rangka menghalau
musuh Kerajaan Buton yang melalui jalur
laut antara Pulau Muna sampai dengan
Pulau Sagori (Luwu dan Goa)
Bhasari : sejenis injelai
Bhelai : semacam atau sejenis ritual dalam
membuka kebun atau memulai mendirikan
suatu bangunan rumah

377
Bhelobharuga Bhawine : salah satu kelengkapan undang-undang dua
belas yang berasal dari sara Wolio yaitu
berupa dayang-dayang perempuan yang
bertugas mengipas-ngipas sultan (kawula
muda)
Bhelobharuga Umane : salah satu kelengkapan undang-undang Dua
Belas yang berasal dari sara Wolio yaitu
dayang-dayang berjenis kelamin laki-laki
dan bertugas mengipas-ngipas raja atau
sultan
Bheta Wuna : sarung adat khas Muna
Bheteno Ne Tombula : gelar yang diberikan kepada raja Muna
pertama dan juga gelar yang diberikan
kepada raja Buton yang pertama bernama
Wa Kaakaa
Bharata Tiworo : salah satu kerajaan otonom (kerajaan
Tiworo) berbatasan dengan Kerajaan Buton
dalam rangka menghalau musuh Kerajaan
Buton yang melalui jalur laut antara Tiworo
sampai Pulau Wawonii (dari Tobungku)
Bhida
Bhoka : satuan mata uang zaman dahulu yang
digunakan untuk pembayaran menurut
ketentuan adat misalnya denda dan mahar
perkawinan

378
Bhonto : jabatan tertinggi dari masyarakat golongan
walaka pada zaman kerajaan, bhonto berarti
mentri atau wazir
Bhonto Baaluwu : mentri kampung Baaluwu, salah satu
kampung adat di kerajaan Buton
Bhonto Bhalano : mentri besar, jabatan tertinggi untuk
mayarakat golongan walaka
Bhonto Kapili : mentri pilihan pada masa pemerintahan
kerajaan
Bhonto Peropa : mentri kampung Peropa, salah satu
kampung adat di Kerajaan Buton
Bhonto Kafowawe : mentri pada zaman kerajaan bertugas untuk
membantu pekerjaan pemerintah
Bhontono Liwu : mentri kampung yang berasal dari
masyarakat golongan maradika
Bhoroko Malanga : gelar yang diberikan kepada Wa
Tampaidonge istri raja Lakilaponto,
bhoroko malanga berarti “leher yang
tinggi”
Bobato : jabatan mentri atau kepala kampung atau
kepala kadie berasal dari masyarakat
golongan La Ode atau kaomu
Bobato Oaluno : mentri dari kalangan bangsawan kaomu
berjumlah delapan orang
Bukit Lelemangura
Buli
379
Bungi

D
Dariango : sejenis tumbuhan obat (jahe)
Dasa : kawasan atau lahan pertanian milik
perseorangan (ulayat)
Dayiyalo tombi pagi : semacam sandi, bendera yang salah satu
tangkainya menggunakan ekor ikan pari,
milik raja ketika berada di laut
Detongka : memanen jagung yang telah tua, telah
berumur sekitar tiga bulan
Dhao-Dhaonga : jenis perhiasan kalung pada wanita Muna
Doa Wuna : doa atau mantra yang menggunakan bahasa
Muna

E
Ewa Wuna : silat kampung cirri khas etnis Muna

F
Fafa : sejenis pohon
Fato Lindono : yang empat kampungnya (kampung adat) di
Muna
Fatoghoerano : empat wilayah adat dalam Kerajaan Muna
yang meliputi ghoerano Tongkuno,
380
ghoerano Lawa, ghoerano Kabawo dan
ghoerano Katobu
Fele : nama sejenis binatang yang member
petunjuk perihal waktu atau musim tertentu
Feompu : dalam istilah adat “menghambakan diri
kepada raja”, atau biasa juga seorang laki-
laki yang mengabdikan diri secara adat
kepada keluarga tunangan perempuan
Findahi Wite : menginjakkan kaki seperti pada wanita
peserta karia atau bayi yang berusia 44 hari
Firisi : salah satu jenis tentara kerajaan dalam
Kerajaan Muna “pengamanan”
Firisino Kolaki : pengamanan dari pihak bangsawan
Firisino Pasi : pengamanan sejenis polisi kerajaan
Foampe : dalam istilah adat Muna berarti menaikan
mahar atau adat
fumaano fini moghane : dalam istilah Muna disebut makanan atau
bahagian sandra laki-laki calon pengantin
wanita

G
gambi Isoda : salah satu jenis kelengkapan adat Dua
Belas atau adat sultan Buton yang berasal
dari adat Jawa atau Sara Jawa

381
gampikaro : pengganti diri bhonto Peropa dan Baluwu
bhontona gampikaro
gata : sejenis tandu yaitu alat yang digunakan
untuk memikul pejabat penting pada zaman
dahulu di Kerajaan Buton
ghefi : sejenis kapur yang berasal dari batu putih
ghoera : lihat fatoghoerano
ghoerano : lihat fatoghoerano
ghoerano Kabawo : wilayah adat Kabawo
ghoerano Katobu : wilayah adat Katobu
ghoerano Lawa : wilayah adat Lawa
ghoerano Tongkuno : wilayah adat Tongkuno
ghoti katumpu : memberi makan atau sesajen kepada
makhluk halus

H
halano lalo : sejenis ritual yang berkaitan dengan kaget
hari kunu : hari kunut
hatibi : khatib

I
Ibatuaka : yang menjadikan budak
ihino kawi : mas kawin atau isi mahar
ikane ogena : sejenis ikan besar yaitu salah satu ketentuan
Sara Jawa dalam adat Buton
382
ikodosaaka : yang menjadikan berutang
imamu : imam, jabatan kedua dalam sara kidina
setelah jabatan Lakina agama di kesultanan
Buton
Imateaaka : yang menyebabkan kematian
isalaaka : yang menyebabkan bersalah

J
Jawana : peraturan pajak menurut ketentuan Jawa

K
kaago-ago : sejenis ritual yang dilaksanakan pada awal
musim tanam, biasanya pada pembukaan
lahan baru
Kaangkafi : sejenis adat dalam perkawinan yang berarti
adat pengikut
Kabawo : nama salah satu dari empat ghoera (wilayah
adat) dalam Kerajaan Muna. Keempat
wilayah adalah Kabawo, Katobu, Tongkuno
dan Lawa
kabhantapi : yang berarti berlapis, dimaksudkan pakaian
atau sarung yang dipakai wanita Muna yang
telah kawin ditandai dengan memakai
sarung berlapis atau kabantapi

383
kabhentano pongke : pelubang telinga, istilah adat dalam adat
perkawinan orang Muna
Kabumbu malanga : gelar yang diberikan kepaa sultan Buton
bernama La Dini. Kabumbu malanga berarti
bukit yang tinggi
kabutu : pajak hasil bumi atau kebun yang
dibebankan kepada masyarakat papara
berdasarkan sara Pancana
kafeena : pertanyaan, biasanya berbentuk satuan
mata uang yang diberikan kepada calon
pengantin wanita dalam masyarakat Muna
kafematai : menyemai bibit permulaan oleh tetua
kampung sebagai tanda memulai menanam
kafuwawe : pegawai Kerajaan Muna yang bertugas
mengantarkan undangan atau
menyampaikan berita
kaganda-ganda mbite : salah satu bentuk alat musih dari Muna
yang terbuat dari bambu
kagau Wuna : masakan atau kuliner khas Muna
kaghati kolope : layang-layang tradisional Muna yang salah
satu bahannya terbuat dari daun kolope (ubi
gadung)
kaghati Wuna : lihat kaghati kolope
kaghimpi
kagholei
kaghombuni
384
kaghonto
kaghoro : pemberian hadiah biasanya dalam bentuk
uang dalam suatu pesta perkawinan dan
sejenisnya
Kaghua Bhangkano : salah satu gelar yang diberikan kepada raja
Muna
Kaghuse-ghuse : sejenis tumbuhan
kahoti : pajak berupa bahan makanan, kahoti
mamata; pajak berupa tuak, dan kahoti
mamasa pajak berupa gula merah cair
kaindea
kaintarano lima : upacara jabatan tangan misalnya seseorang
yang mendapatkan jabatan kehormatan
dalam adat
kalambe mokesa : gadis cantik
kalibu
kambilo
Kamboru-Mboru Talupalena
kameko : sejenis tuak berasal dari air enau
kamokulano Barangka : pangkat tertinggi dari masyarakat golongan
maradika di kampung Barangka
kamokulano Lindo : pangkat tertinggi dari masyarakat golongan
maradika di kampung Lindo
kamokulano Liwu : pangkat tertinggi dari masyarakat golongan
maradika di tingkat kampung

385
kamokulano Tongkuno : pangkat tertinggi dari masyarakat golongan
maradika di kampung Tongkuno
kamokulano Wapepi : pangkat tertinggi dari masyarakat golongan
maradika di Wapepi
kampue
kampurui : kain panjang yang dililitkan di kepala yaitu
dostar
kandoli : sejenis makhluk atau burung hantu,
biasanya berasal dari wanita yang baru saja
meninggal dunia
kansisiri : sejenis motif pada sarung adat Muna
kantaburi : tambahan pembayaran uang dalam proses
penyelesaian adat perkawinan pada
masyarakat Muna
kantola : sejenis sastra lisan (prosa berirama) pantun
panjang biasanya dipentaskan pada acara
pingitan atau pascapanen di masyarakat
Muna
kaomu : golongan masyarakat Muna tertinggi
(keturunan anak laki-laki Sugimanuru
dengan permaisuri). Di Buton terdapat tiga
golongan kaomu yaitu kaomu Tanailandu,
kaomu Kumbewaha dan kaomu Tapi-Tapi
kaomu Kumbewaha : kaomu dari Kumbewaha yaitu dari
keturunan sapati La Singga

386
kaomu Tanailandu : kaomu dari Tanailandu yaitu dari keturunan
sapati La Elangi
kaomu Tapi-Tapi : kaomu dari Tapi-Tapi yaitu dari keturunan
La Bula
kapili : pegawai dalam istana raja Muna yang
tugasnya mengambil air dan kayu bakar
kapita : kepala pengawal dan pengamanan dalam
istana raja Muna, berasal dari masyarakat
golongan La Ode atau kaomu
kapitalao : kapten laut, jabatan kepala keamanan negeri
khususnya wilayah laut
kapitalao : kansoopa kapten laut sebelah barat
kapitalao : matagholeo kapten laut sebelah timur
kapoo-pongku : sejenis adat bunyi-bunyian terbuat dari
belahan kayu
karambau : kerbau, binatang persembahan dalam adat
karewu-rewu : nama sejenis rerumputan
karia : upacara adat pingitan pada anak perempuan
menjelang dewasa atau sebelum menempuh
perkawinan
karimbi : sejenis denda dalam adat
korondo : sejenis gelang yang dipasang pada kaki
kasangilai : permintaan dalam adat perkawinan yang
melampaui batas ketentuan adat
katisa : acara menanam secara gotong-royong atau
masal
387
katoba : salah satu jenis ritual dalam daur hidup
masyarakat Muna. Proses dan prosesi
pengislaman atau biasa disebut kangkilo
atau sunatan
katobu : salah satu wilayah adat yang disebut ghoera
di Muna. Ghoerano Tongkuno, ghoerno
Lawa, ghoerano Kabawo dan ghoerano
Katobu
katuko bulawa : tongkat emas biasanya milik adat menurut
adat Muna
katuko salaka : tongkat panah, dalam adat Muna biasanya
dipegang oleh bonto bhalano atau mentri
besar
katumbu : sejenis hasil pekerjaan menumbuk jagung,
bisa jagung tua dan bisa juga jagung muda
kaumu wasembali : golongan kaomu sebelah dimaksudkan anak
dari hasil perkawinanantara golongan
kaumu dan walaka
kayu bhatari : pohon injelai, salah satu jenis adat
persembahan dari sara Pancana
kenepulu : jabatan raja hokum dalam kesultanan Buton
setelah jabatan sultan dan sapati dan urutan
ketiga adalah kenepulu (yudikatif)
kepulauan Tukang Besi gugusan pulau yang terdiri dari Wangi-
Wangi, Kaledupa, Tomia, Binongko,
Langkesi, Runduma dan Kapota. Zaman
388
dahulu masuk wilayah kesultanan Buton
yang bersifat otonom
ki : perwakilan kepala kampung dari golongan
kaomu atau pelaksana tugas jabatan kino
kila Mbibhito : salah satu gelar yang diberikan kepada raja
Muna
kino : jabatan kepala kampung atau bharata yang
berasal dari masyarakat golongan La Ode
atau kaomu
Kitab Martabat Tujuh : kitab yang memuat ajaran tujuh peringkat
atau martabat; ahdiyah, wahdah, wahidiyah,
alam arwah, alam mitsal, alam ajsam dan
alam insani
kobhangkuduno : gelar kerajaan yang diberikan kepada raja
Muna VIII bernama La Posasu
koghoerano : pemilik ghoera atau kepala ghoera (wilayah
adat dalam kerajaan Muna)
kokalukuna : salah satu nama kadie atau kerajaan kecil di
Kepulauan Buton pada zaman dahulu
kolaki : bangsawan, (panggilan untuk pejabat
tinggi) dalam kerajaan Muna
kontu kowuna : batu berbunga, terletak di Kota Wuna ibu
kota kerajaan Wuna zaman tradisional
kuhu-kuhuti : sejenis burung hantu
Kumpeni : Kumpeni Belanda atau Walanda

389
L
La Ode : gelar yang diberikan kepada orang Muna
dan Buton yang masuk ke dalam golongan
masyarakat bangsawan kaomu
Lagu Wuna : lagu Muna atau nyanyian yang
menggunakan bahasa daerah Muna
Lakina : raja atau penguasa atau raja pada suatu
wilayah di Buton
Lakina agama : raja atau pemimpin tertinggi di bidang
agama di lingkungan kerajaan Buton
Lakina Barata : raja barata
Lakina Kaledupa : raja Kaledupa
Lakina Kolencucu : raja Kulisusu
Lakina Luwu : raja Luwu
Lakina Muna : raja Muna atau Wuna
Lakina Sara Wolio : raja Sara Wolio
Lakina Wuna : lihat lakina Muna
Lalaki Mancuana : raja yang dituakan di Kumbewaha yaitu La
Kumbewaha Singga bergelar Sapati
lalakinya Wolio : raja Wolio atau sultan Buton
lambu bhalano : rumah besar, rumah pada zaman kerajaan
Muna dahulu terletak di ghoerano Lawa
landaka : sejenis tikar tempat duduk
ledha : sejenis warna kain dalam adat Muna

390
lee keturunan masyarakat dari golongan
maradika
Liang ngkabhori : gua batu bertulis, salah satu tempat
bersejarah di Muna
lindono : negerinya
Lolabi : sejenis senjata terbuat dari besi (keris)
lotenani : letnan, salah satu pejabat pengawal kerajaan
Muna setingkat di bawah kapita

M
Mantiana : sejenis butung hantu
maradika : maradika, golongan merdeka
maradika ghoera : masyarakat golongan maradika pada tingkat
ghoera
maradika poino kontu : golongan masyarakat setingkat di bawah
lakono sau maradika
Martabat Tujuh : lihat kitab Martabat Tujuh
mebhawoino wamba : yang menambah bicara
meno : jabatan kepala kampung berasal dari
masyarakat golongan walaka
meno Wamelai : kepala kampung Wamelai
Mesandano
Metubharino wamba : yang menambah perkataan atau bicara
mia patamiana : orang yang empat yaitu Sipajongan,
Sijawangkati, Sitamanajo dan Simalui

391
Mieno Wuna : orang Muna atau Wuna
mino : lihat meno
mino Kaliwu-Liwu : kepala kampung Kaliwu-Liwu
Mintarano bhitara : jabatan dalam syarat Muna (sarano Wuna)
yang berfungsi sebagai raja hokum atau
hakim
modhi ` : muadzim pegawai agama atau syarat yang
berasal dari golongan walaka
modhi anahi : muadzim anak
Modhi bhalano : muadzim besar
Modhi kamokula : muadzim orang tua
Mokimu : jabatan di bidang keagamaan mokim
moose : perempuan muda

N
Nasarani : nasrani atau Kristen

O
Ome : sejenis kebun
Omputo : tuan kita atau raja, penguasa

P
pae Wuna : beras Muna

392
palangga : sejenis keranjang terbuat dari anyaman
bambu atau rotan
Pancana : nama lain dari Wuna dan Muna atau
Pangasana atau Pansiano
pande dia ghuse : pawang hujan
pande ghondo sau : ahli di bidang perkayuan, misalnya
menentukan baik buruknya kau untuk
ramuan bangunan rumah
Pande Kaago-ago : ahli ritual atau ritus kaago-ago
Pande kotika : sejenis ahli nuzum atau bisa
Pangasane : lihat pancana
Paniwi : pemberian berupa barang atau berupa uang
dalam adat perkawinan orang Muna
pantsiano : lihat pancana
papara : golongan ketiga struktur masyarakat dalam
Kerajaan Buton setelah golongan kaomu
dan walaka. Papara terdiri atas tiga jenis,
Papara Paraka, papara talubirana, dan
papara kantinale
parabhela : pangkat tradisioan setara kepala kampung
dalam pemerintahan di Kerajaan Buton dan
di Kerajaan Muna. Parabhela biasanya juga
dikenal dengan penguasa kawasan
parika : sejenis ahli memantrai seperti memantrai
kebun pada permulaan menanam atau

393
menabur benih, membangun rumah dan
lain-lain
pasali : semacam imbalan atau upah yang diberikan
kepada tukang baca misalnya pembacaan
doa dalam suatu kegiatan ritus dan lain-lain
pasi : sejenis pejabat di bidang militer dalam
pemerintahan Kerajaan Muna
peda bhake : seperti beringin
peda gholeo : seperti matahari
peda kawea : seperti angin
peda kolipopo : seperti bintang
peda lia : seperti gua
peda oe : seperti air
peda wula : seperti bulan
pende solo : sejenis tukang ramal atau ahli nuzum
Peropa Baaluwu : dua kampung tua sebagai cikal-bakal
Kerajaan Buton
poalo : memperingati malam atau hari berkaitan
dengan ritus kematian
poangka-angkataka : salah satu falsafah Buton yang berarti
“saling menghormati”
Pobhincibhinciki kuli : salah satu falsafah Buton yang berarti
“saling mencubit kulit”
Pobhini-bhiniti kuli : salah satu falsafah dalam budaya Muna
yang berarti “saling mencubit kulit”

394
Polongana papara : ketentuan pajak dari masyarakat golongan
papara
Pomaa-maasiaka : salah satu falsafah Buton yang berarti
“saling menyayangi”
Pomae-maeaka : salah satu falsafah Buton yang berarti
“saling menakuti”
pomua : pajak berupa hasil bumi
popene : sejenis pengaduan perkara dalam adat
Buton
popia-piaraaka : salah satu falsafah Buton yang berarti
“saling memelihara”

R
rambanua : prajurit Kerajaan Buton dari golongan
bangsawan
rampe : salah satu jenis adat Buton, yaitu berupa
barang-barang yang hanyut atau yang
terapung menjadi harta kekayaan sultan
atau pihak istana
Rampe Isomba : nama raja Muna ke-9, pengganti raja Muna
ke-8 bernama La Posasu
Runtu Wulou

S
salaka kasopu : perak yang disepuh
395
salaka sadoro : jenis perak tiruan
salenda : selendang
Sangariarana : dikenal sebagai salah satu pendiri kerajaan
Buton, putra Betoambari atau pejabat
mentri Baluwu yang pertama
Sangkolaki : salah satu golongan masyarakat di Muna
setingkat di bawah maradika
santiago : sejenis upacara pada masa pemerintahan
tradisional, kerajaan Buton
santiri : pegawai keagamaan (masjid) dari
masyarakat golongan maradika
Sapati : jabatan kesultanan Buton setelah sultan,
semacam perdana mentri
sara : majelis, atau pemerintah atau biasa juga
disebut undang-undang
Sara Jawa : peraturan adat Buton yang berasal dari Jawa
(paying kain, permadani, sembah dan
gambit isoda)
Sara Pataaguna : peraturan yang empat atau disebut juga
dengan nama sarana Wolio atau Martabat
Tujuh
Sarana Barata : peraturan empat wilayah kerajaan otonom
(Wuna Tiworo, Kolencusu dan Kaledupa)
Sarana Wolio : lihat sara Pataanguna

396
Sarano Ghoera : peraturan ghoera yang meliputi empat
wilayah adat (Tongkuno, Lawa, Kabawo
dan Katobu)
Sarano Liwu : peraturan kampung
Sarano Wite : peraturan negeri
Sarano Wuna : Syarat Muna atau peraturan pemerintahan
kerajaan Muna
saungkofolo : sejenis kayu atau pohon yang mengandung
getah
Sawerigadi : nama Sawerigading dalam sebutan bahasa
Muna
Satali : satu tali (satuan nilai tukar pada zaman
tradisional
Simbi : sejenis perhiasan berupa gelang
Siolimbona : sembilan limbo atau negeri di kesultanan
Buton. Mentri Siolimbona, Dewan ahli adat
Buton yang berjumlah 9 orang yang
bertugas memilih jabatan sultan
Siriganti : pengawal Kerajaan Muna dan juga dikenal
di Buton berpangkat Sersan
Siwulu : asal-usul keturunan bangsa atau kaum
Somba : menyembah, salah satu peraturan adat
Buton yang berasal dari Jawa
Sugi : tuan atau raja atau dipertuan
Sulepe : sejenis tali pinggang

397
Suminanga : salah satu jenis perangkat adat dalam
kesultanan Buton
Suruna karo : hak mempekerjakan masyarakat gologan
papara yang tidak dapat menebus atau
melunasi pembayaran pajak
Susua papara : salah satu jenis kelengkapan adat Buton
yang berasal dari Wolio (Undang-Undang
Dua Belas)
Susua Wolio : salah satu jenis kelengkapan adat sultan
Buton menurut undang-undang Dua Belas,
yaitu peraturan tentang ikhwal menyusukan
anak dari Wolio
Syarat Muna : struktur pemerintah kerajaan Muna Sarano
Wuna

T
tali-tali : salah satu satuan mata uang nilai tukar pada
zaman tradisional
tambori : membuka kebun baru yang berarti memulai
Tandiabe : nama di Muna untuk Tandriabeng, nama
dari Kerajaan Luwu
Tapi-Tapi : nama salah satu kamboru-boru dari tiga
kamboru-boru (Tanailandu, Kumbewaha
dan Tapi-Tapi) di Kesultanan Buton

398
Titakono : gelar yang diberikan kepada raja Muna ke-
10 bernama Muhammad Idrus
Tolu Bhengkauno : nama salah satu golongan masyarakat
dalam lingkungan Kerajaan Muna
tondo-tondo : kebun yang dipagari dengan batu
tooke tokek : (sejenis binatang)
topisa : sepupu dua kali
tughori : menebangi banyak pohon

U
upeti : pajak

W
Wa Ode : gelar bangsawan wanita dari tingkat
golongan masyarakat tinggi pada
masyarakat Muna dan Buton
Wahdah : tingkatan atau martabat kedua dari tujuh
peringkat dalam Martabat Tujuh
Wahidiyah : tingkatan atau martabat ketiga dari tujuh
peringkat dalam Martabat Tujuh
wakutuuno bhara : musim barat
walaka : golongan masyarakat tertinggi setelah
golongan bangsawan Ode atau kaomu
walaka wasembali : keturunan dari hasil perkawinan antara
golongan kaomu dan walaka atau antara
399
golongan walaka dengan golongan
maradika
wamba Wuna : bahasa Muna atau Wuna atau Pancana
Wamelai : nama kampung tua di Kerajaan Muna
Weano wamba : sejenis ritual berkaitan dengan hajat atau
nazar
wati : salah satu jabatan tradisional dalam
lingkungan Kerajaan Buton
We ghowano witeno Rumu : sekitar tanah atau negeri Rum
wei : kegiatan menebas hutan untuk kebun atau
ladang
Wiseno kontu : depan batu
Wonta : sejenis akar yang menjalar
Wurake : sejenis setan atau roh jahat

Y
yarona : sebutan atau gelar yang diberikan kepada
bekas atau mantan pejabat

400
LAMPIRAN

401
Lampiran 1:
Tula-Tulano Mie Mobheteno Ne Tombula
Terjemahan
Menurut orang-orang tua zaman dahulu, di Muna ada orang yang
keluar dari dalam bambu yang namanya disebut "ZAIDHUL DHALALI”.
Waktu itu orang-orang di Muna belum terlalu banyak seperti sekarang ini.
Peristiwa ini terjadi di kampung Tongkuno. Banyaknya orang-orang
kampung Tongkuno waktu itu kira-kira sekitar empat puluh rumah tangga.
Kepala kampungnya disebut kamokulano Tongkuno. Suatu waktu
kepala kampung Tongkuno ini menyuruh orang kampungnya empat orang
pergi memotong bambu di hutan Lambu Balano. Bambu ini dimaksudkan
untuk dianyam menjadi tali pengikat. Kemudian pergilah empat orang
yang ditunjuk itu di hutan Lambu Balano tersebut. Sampai mereka di sana
setelah mereka melihat rumpun bambu, mereka terus memilih batang yang
terbesar lalu mereka tebang. Pada saat ditebang bambu itu terus
berteriak, katanya: “Aduh, kakiku”. Mereka lalu menebang agak di atas,
bambu itu berteriak lagi, katanya: “Aduh, perutku”. Kemudian yang
keempat orang ini menebang yang lebih atas lagi, tetapi bambu masih
tetap lagi berbicara, katanya: “Aduh, kepalaku”.
Karena bambu yang ditebang itu selalu berteriak, maka yang empat
orang ini berhenti menebang, lalu mereka keempatnya dengan perasaan
ketakutan, mencabut bambu itu bersama dengan akar-akarnya kemudian
mereka pikul bawa ke Tongkuno. Tiba di Tongkuno, bambu yang mereka
pikul itu langsung mereka bawa di hadapan kepala kampung Tongkuno.
Kemudian empat orang yang memikul ini menceriterakan bahwa mereka
mencabut bambu ini bersama dengan akar-akarnya karena pada saat
402
ditebang beberapa kali, bambu itu berteriak pada setiap kali ditebang.
Belum selesai ceritera keempat orang ini, tiba-tiba bambu yang
dibaringkan di hadapan kepala kampung, berbicara lagi, katanya:
“Jangan kamu orang ganggu saya, saya inilah raja kamu orang, buatkan
saya kelambu, dan kelambuilah saya”. Mendengar pembicaraan bambu
ini, kepala kampung Tongkuno langsung yakin dan percaya akan
keterangan empat orang tadi, sambil memerintahkan beberapa wanita
dalam kampung membuat kelambu. Kelambu yang disuruh buat itu, waktu
itu juga selesai dikerjakan. Setelah kelambu itu selesai, bambu yang
dipikul dari hutan itu, terus dibawa naik dalam rumah kepala kampung
Tongkuno kemudian dikelambui. Setelah tujuh hari lamanya, batang
bambu yang dikelambui itu tiba-tiba menghilang, dan tinggallah seorang
laki-laki yang gagah perkasa dalam kelambu itu.
Itulah yang disebut orang yang keluar dari dalam batang bambu, dan
mulailah diabdi oleh seluruh orang kampung Tongkuno bersama kepala
kampung Tongkuno. Berita ini tidak lama langsung tersiar di seluruh
Muna. Orang-orang yang mengabdi bukan saja orang-orang Tongkuno,
tetapi berasal dari seluruh Pulau Muna di mana saja ada orang,
berdatangan di Tongkuno. Jadi mulai saat itu Beteno ne Tombula telah
mulai dijamin seluruh kehidupannya oleh rakyat Muna yang ada pada
saat itu, dan dianggap sebagai raja pertama di Muna. Empat puluh hari
setelah raja itu keluar dari dalam bambu, terus ada orang yang datang
membawa kabar, bahwa ada seorang gadis berparas cantik yang tiba di
pantai kampung Duruka yang bernama Wa Bahara dengan menumpang
sebuah kentoang. Mendengar ini raja langsung memerintahkan kepala
kampung Tongkuno: “pergi jemput gadis itu dan itulah istri saya yang
403
bernama “Tandiabe”. Kepala kampung Tongkuno setelah menyampaikan
laporan atas kabar yang datang dari pantai Wa Bahara bersama yang
membawa kabar tadi, untuk menjemput isteri raja yang tiba di pantai Wa
Bahara dengan menumpang sebuah ketoang itu. Setibanya isteri raja itu
di Tongkuno, terus masuk dan tinggal bersama raja dalam kelambu yang
sudah tersedia itu.
Bulan berganti tahun, beranaklah mereka berturut-turut: Sugimanuru,
Sugilaende, Sugipatola dan beberapa Sugi lainnya. Maka tinggallah
keluarga Raja ini dan diabdi di Tongkuno. Rumah kepala kampung
Tongkuno telah menjadi istana tempat tinggal raja Muna yang pertama,
raja yang ajaib yang keluar dari dalam bambu.

404
Lampiran 2:
“Hatta maka tersebut cerita itu yang ke Butun yaitu Batara Wa
Kaakaa namanya. Demikian bunyi ceritanya. Adapun sekali peristiwa, ada
seorang Butun yang membawa anjingnya mencari perburuan, Sangia I
Langkuru namanya yaitu dari kampung Walalogusi. Maka ia berjalan
mengikut ke hulu sungai membawa anjing mencari perburuan. Hari pun
petanglah, seekor pun tiada dapat perburuan, dan anjingnya pun bercerai
dengan Sangia I Langkuru. Maka ia mencari anjingnya lalu naik ke atas
bukit. Setelah sampailah ke atas bukit itu, maka kedengaran suara
anjingnya. Maka Sangia I Langkuru pun berlari-lari mengikuti suara
anjingnya itu. Setelah sampailah pada suatu kebun di atas tengah bukit
itu, lalu ia masuk ke dalam kebun itu. Setelah maka anjing itu pun telah
melihat tuhannya mangkin berseru-seru. Demikianlah bunyinya, “aw, aw,
aw” dan kakinya pun menggali tanah di pohon bulu gading namanya.
Yaitu Patungkadingi.
Setelah maka Sangia I Langkuru pun bertemu dengan anjingnya.
Seekor pun tiada melihat perburuan, hanya dilihat oleh anjing dan
kelakuan anjingnya itu digalinya tanah kukunya pada puhun bulu gading
itu. Sebentar berlari-lari pada tuhannya, sebentar kembali berlari-lari
pada pohon bulu itu. Digalinya tanah dengan kukunya anjing itu berturut-
turut dengan tujuh kali. Demikian kelakuan Fiilnya anjing itu. Maka
Sangia I Langkuru melihat hal anjingnya demikian itu, maka ia berfikir di
dalam hatinya. Demikian bunyi pikirannya, “Apalah sebab anjing ini
maka digalinya puhun bulu ini?” dan dirasanya seboleh-boleh berisi di
dalam bulu ini rupanya. Baiklah aku ambil bulu ini, lalu diparanginya
pohon bulu itu, lalu luka sedikit kaki Batara Wa Kaakaa di dalam buluh
405
itu. Lalu keluarlah darahnya sangatlah putihnya seperti air susu rupanya.
Lalu bersuara demikian katanya, ”tanganku berturut-turut dengan tiga
kali bersuara, “aa…aa…aa, jangan penggal.”
Maka Sangia I Langkuru pun takut, lalu ia kembali berlari-lari
memberi tahu orang besar-besarnya yaitu Betoambari. Diceritakanlah
barang apa dilihat dan didengarnya daripada permulaan digalinya anjing
dan disuruhnya datang pada kesudahannya kembalinya itu. Maka
Betoambari pun suka citanya rasa hatinya, lalu menyuruh orang
memanggil anaknya Sangariarana, segala menteri-menteri dan rakyat
sekaliannya pun datanglah semuanya berkumpul penuh sesak. Maka
berangkatlah Betoambari dan anaknya Sangariarana dan sekalian
menteri dan rakyat sekalian pun naik berjalan atas bukit Lelemangura.
Setelah sampai kepada bukit itu, maka segala orang banyak itu pun duduk
berkeliling pada pohon bulu gading itu. Maka Betoambari dan
Sangariarana dan segala menteri-menteri pun duduk bersaf-saf.
Maka Betoambari memeriksa suara dalam buluh itu, lalu diambilnya
kayu, maka dipukulnya dengan kayu buluh itu, demikian katanya, a..a..a,
jangan kau penggal kaki dan tanganku dan kepalaku itu”. Setelah
diperiksa oleh Betoambari akan suara itu, maka dipanggil segala ahli
nuzum. Maka dilihat di dalam nuzumnya yaitu katanda-katanda namanya.
Maka berkata segala ahli nuzum itu, demikian katanya pada Betoambari
dan Sangariarana, “Ya, Tuanku, jangan kau penggal buluh itu, di
dalamnya ada seorang perempuan peri namanya, dari atas langit terlalu
baik parasnya.
Maka Betoambari menyuruh orang menggali tanah pohon buluh itu
supaya kita belah buluh itu. Maka segala orang pun digalinya tanah itu,
406
lalu di bawanya dapat diangkatnya. Maka dibelahnya buluh itu, sudah
dibelah oleh Betoambari dan Sangariarana, maka keluarlah seorang putri
perempuan dalam buluh itu yaitu Batara yang ke Butun Wa Kaakaa
namanya. Terlalu baik parasnya, gilang gemilang warna rupanya seperti
bulan purnama empat belas hari dan kulitnya pun terlalu sangat putihnya.
Maka Betoambari dan Sangariarana pun melihat rupa Wa Kaakaa itu pun
rebahlah keduanya tiada habarkan dirinya. Maka Wa Kaakaa itu pun
telah melihat hal yang demikian, maka diludahinya tubuh Betoambari dan
Sangariarana. Setelah sudah Betoambari dan Sangariarana baharulah
diingat dirinya, lalu bangun dengan sembah sujudnya di bawah kaki
Batara ke Butun. Kemudian Batara pun berturut-turut berkata-kata,
demikian katanya, “aa..aa..a”, sebab itulah kamu dinamainya Wa
Kaakaa.
Maka segala orangpun hadirlah berbuat “gata”. Setelah sudah maka
Betoambari pun berbangkit mengambil segelas kain keemasan akan
selendang Wa Kaakaa itu. setelah sudah diperselendang oleh Betoambari
pun menyembah pada tuan Wa Kaakaa. Demikian sembahnya,”Ya
Tuanku, naiklah tuan atas gata.” Maka Wa Kaakaa itu pun naik duduk di
atas gata itu. Maka orang pun diangkatnya gata itu lalu berjalan dua
selangkah dua berjalan.
Maka matahari pun tiada kelihatan, maka turunlah ribut, topan
halilintar, petir. Gata gelaplah tiada kelihatan seorang kepada seorang,
berpegang tangan sebab sangatlah gelapnya. Setelah maka Betoambari
pun berseru-seru, “Hai kamu sekalian, duduklah kamu!” maka segala
orang pun duduklah, dan gata itu pun diturunkan ke tanah. Setelah
matahari pun kelihatanlah, ribut, topan tiadalah. Betoambari dan
407
Sangariarana dengan tiga kali berturut-turut diangkatnya, ribut topan pun
demikian lagi beturut-turut dengan tiga itu juga. Demikian hal berkata Wa
Kaakaa itu, maka segala orang banyak pun takutlah.
Setelah di dalam antara itu, maka adalah seorang perempuan tua Wa
Bua namanya yaitu dari kampung Baluwu, yaitulah tertidur matanya
sebab sangatlah hujan dan ribut topan. Maka ia terpaling penglihatan dan
pandangannya seperti orang bermimpi rasanya. Demikian bunyi di dalam
mimpinya itu, melihat seorang laki-laki orang tua besar tubuhnya lagi
panjang dengan janggutnya, tiada diketahui ke sana sini datangnya orang
itu seperti kilat lakunya. Lalu ia berdiri dengan marahnya dihadapn
segala orang banyak itu. demikian katanya, “Hai kamu segala orang
Butun sekalian, janganlah kau bawa anak hamba itu. Aku tiada mau
kuberikan pada kamu sekalian itu, melainkan perhiasanlah gata itu
dengan perhiasan yang keemasan dan intan, itu pun dihiasi juga dengan
kain yang maha mulia dan gendang, gong pun dipalu orang seperti adat
segala raja-raja. Maka kamu sekalian baharu kau angkat gata itu lalu
kamu berjalan. Maka hamba pun mau aku berikan kau bawa anak itu. Jika
segala hal yang demikian itu juga bersalahan adat segala raja-raja,
niscaya aku turunkan hujan, guruh, kilat, ribut topan, supaya robohlah
bukit ini lalu binasa, dan kamu sekalian nyawamu di dalam tanganku
juga. Dan juga kuberikan duka cita lagi mudah-mudahan anak itu niscaya
aku turunlah ku naikkan ke langit atas ke kayanganku juga.
Setelah orang bermimpi itu pun jaga daripada tidurnya lalu
menyembah kepada orang tua di dalam mimpinya itu juga, “Ya Tuanku,
“Dari mana datang tuan hamba, siapa nama tuan hamba, apa nama
negeri tuan hamba, dan asal mana tuan hamba?” maka menyahut orang
408
tua itu, “Hai perempauan.”Adapun namaku Bataraguru dan asalku asal
peri, dan tempatku asal tujuh lapis langit, sebab hamba sampai kemari
hendak kuajar kamu sekalian seperti kata itu juga.” Setelah berkata
Bataraguru itu dengan sekejap mata lenyaplah tiada kelihatan daripada
pandangan. Demikianlah katanya, “Hai kamu sekalian, turun ambil orang
yang didapat itu naik kemari, yaitu akan suamiku dan berilah aku nasinya
dan barang makanan niscaya kumakanlah supaya kuat tulangku,”
demikian katanya. Tetapi sungguh pun mulutnya berkata demikian itu,
hatinya jangan lagi diketahuinya di dalam hatinya, didengarnya dengan
telinganya pun tiada mengetahui takdir Allah Taala. Maka dapat berkata
yang demikian itu karena Wa Kaakaa adalah lemah lembut dilihatnya,
segala orang di dalam huma itu dan tiada lagi bergerak, dan tiada lagi
berkata-kata, dan tiada lagi dapat bangun duduk sendirinya, melainkan
orang yang membangunkan dia. Maka Betoambari dan Sangariarana
telah mendengar suara Wa Kaakaa baharulah dapat berkata dan
baharulah dia minta nasi akan dimakannya Wa Kaakaa itu. Maka
Betoambari dan Sangariarana pun suka citalah rasa hatinya, lalu ditanya-
tanya, demikian katanya “Ya Tuanku, jikalau hendak mau santap,
bangunlah akan diri tuan hamba, supaya puaslah rasa hati segala
hambamu sekalian ini.” Maka Wa Kaakaa pun tiada lagi dapat menyahut.
Jangan lagi menyahut, bergerak pun tiada dapat oleh Wa Kaakaa itu.
Setelah maka Betoambari dan Sangariarana pun hadirlah menyuruh
orang-orang membawa nasi, dan segala makan-makanan dibawanya akan
dimakan oleh Wa Kaakaa itu. Maka Betoambari pun diambilnya sebuah
mangkuk emas berisi nasinya lalu diunjukkan kepada Wa Kaakaa nasi itu.
maka Wa Kaakaa pun disambutnya nasi itu, lalu dimakannya dengan tiga
409
kali, sudah itu tiada lama duduk pada perutnya nasi yang dimakannya itu,
maka ia berseru-seru. Demikian serunya, Kaa…kaa..kaa..dan tangannya
sebentar memegang perutnya dan sebentar memegang pantatnya. Maka
segala bani menteri dan orang besar-besar itu pun masing-masing datang
membuka lantai, maka Wa Kaakaa itupun makin berseru-seru,
“Kaa..kaa..kaa.. lalu ia berjalan empat kaki menuju dapur. Lalu duduk
berpindah batu sampai peristiwa itu keluarlah hajat pada dapur itu.
Setelah keluarlah tahi emas yaitu wandoke sebelah jatuhkan pada api.
Setelah jatuh pada api tahi itu, sebab itulah jadi hitam sebelah rupanya
wandoke itu. Ada pun wasampu itu kemudian kembalinya kepada ke
kayangan dari atas langit, maka dijatuhkannya lagi. Setelah sudah hajat,
maka mengambil air. Setelah maka lalu berdiri dan serta dapat berkata-
kata dengan kata manis. Lalu duduk di hadapan segala nini menteri dan
nini orang besar-besarnya.
Hatta maka Sangariarana pun bermohonlah pada bapaknya
Betoambari dan segala orang besar-besar dan rakyatnya sekalian pun
turunlah mengalu-alukan orang yang menjadi pada air sungai yaitu
pantai bumbu namanya, sebab mendapat seorang laki-laki yang baik
parasnya, gilang-gemilang rupanya seperti bulan purnama empat belas
hari. Entah jinkah entah perikah. Sangariarana pun turunlah mengalu-
alukan orang yang dijala oleh Simanguranca pun turunlah mengalu-
ngalukan orang yang dijala oleh Simanguranca dan Simandalu
didapatnya di dalam jalannya. Betoambari pun berjalan di belakang
hendaknya dihabiskannya segala orang hina-dina dan menyuruh orang
berseru-seru yaitu “Tolambu Sejangalang” namanya dan “Sibasarapu”
namanya dan orang namanya “Situlubu”. Setelah sudah habis sekalian
410
orang itu, maka Betoambari pun turun di belakang segala orang itu.
Setelah sampailah Betoambari dan Sangariarana dan segala rakyat
sekalian pun berkeliling, duduklah di hadapan orang yang di dapat di
dalam jalan itu. Maka Betoambari dan Sangariarana pun menyuruh orang
berbuat gata. Maka segala orang pun hadirlah masing-masing pada
membuat gata itu. Setelah sudah berbuat, maka Betoambari dan
Sangariarana pun diangkatnya orang itu atas gata. Setelah sudah duduk,
maka segala orang pun hadirlah diangkatnya gata itu dan ditaruhnya atas
bahunya lalu berjalan.
Hatta dengan takdir Allah Taala, maka laut itu pun telah berbunyilah.
Maka ombak pun tambahlah seperti daun di langit dan mega rupanya,
maka arus pun berdengung seperti sampai ke udara. Maka ombak itu
memecah seperti lagi kiamat rupanya, ombak itu mengikut, segala orang
banyak itu pun takutlah. Lalu diturunkan ke tanah geta itu. Setelah
demikian, bunyi pun tiada didengarnya dan ombak pun berhentilah tiada
dilihatnya.
Hatta dengan seketika itu, maka kelihatanlah seorang laki-laki terlalu
indah-indah rupanya seperti cermin yang kena sinar matahari tiada
diketahui datangnya. Orang itu dengan hebatnya lalu berdiri di tengah-
tengah segala orang banyak itu. Maka berkata, “Hai kamu segala orang
Butun, janganlah kamu ambil cucuku ini. Tiada kuberikan jangan muda-
mudahan cucuku ini.” Maka disahut oleh Betoambari dan Sangariarana,
“Demikian katanya, “Ya Tuhanku, jangan kau hantarkan nene hamba ini
akan suami raja kami, karena raja kami perempuan belum bersuami.
Itulah sebabnya maka diceriterakan daripada pertamanya didapatnya Wa
Kaakaa itu datang daripada kesudahannya, habis diceriterakan oleh
411
Betoambari dan Sangariarana. Maka Betoambari pun berkata pada orang
itu. Demikian katanya, “Ya Tuhanku, berkata benar supaya tak haru hati
hambamu beranak nene tuan hamba ini. Siapa nama tuan hamba dan asal
mana tuan hamba dan dari mana datang tuan hamba maka sampai kemari
dan mana negeri tuan hamba?” maka menyahut orang itu, “Hai manusia,
Bataraguru dan asalku asal peri dan tempatku pada langit yang ke tujuh.
Adapun hamba ini telah sampai kemari sebab kelakuan hal cucuku ini,
tiga orang kembar dua orang laki-laki dan seorang perempuan
dibuangkannya bapaknya ke laut itu ketiganya. Sebab maka Betoambari
pun bertanya pula,”Ya Tuhanku, adapun bapak cucu tuan hamba ini siapa
namanya dan asal mana dan apa nama negerinya?” Maka menyahut
Bataraguru itu, “Adapun namanya bapaknya Raja Manyuba dan namanya
negerinya Majapay dan asalnya asal kamu juga, tiada lain baharu dari
mana diturunkan Allah Subhanahu Wa Taala ke dalam dunia. Maka
diceriterakan oleh Bataraguru dari pada permulaan turunnya dari atas
langit datang kepada kesudahannya, dibuangnya oleh bapaknya. Lalu
didapatnya oleh orang Butun pada pantai Bumbu itu, habis
diceriterakannya.
Setelah sudah diceriterakan, maka Bataraguru pun memohon kepada
segala orang banyak itu. Maka Betoambari pun bertanya pada
Bataraguru itu, “Ya Tuhanku, di mana tuan hamba pergi dan pada pihak
hamba tuju?” Maka Barataguru pun tiada menyahut, hanya menunjukkan
tangannya kepada tanah Pancana. Telah sudah, maka Bataraguru pun
lenyaplah dengan sekejap mata tiada kelihatan daripada mata segala
orang banyak seperti kilat pantasnya.

412
Setelah maka Betoambari dan Sangariarana dan segala rakyat
sekalian pun naik berjalan ke Negeri Butun menuju kampung Baaluwu itu,
maka Betoambari dan Sangariarana pun musyawarahlah. Demikian
bunyinya musyawarahnya, “baiklah kita berbuat lagi suatu dusun pada
tempat ini, dan sebuah rumah besar akan tempat raja lagi besarlah dahulu
raja ini duduk pada tempat ini supaya kita bahagi segala orang ini dengan
dua bahagi. Setelah sudah musyawarah itu, maka segala orang banyak
masing-masing hadirlah berbuat dusun pada tempat itu. Setelah sudah
habis diperbuatnya dusun itu, dan rumah tempat raja itu dengan rumah
segala orang banyak itu pun habislah semua diperbuatnya.
Dan segala orang banyak pun seraya dibahaginya dengan dua
bahagi. Sebagahi dengan tiga kampung; pertama Kampung Baaluwu,
kedua Kampung Barangkatopa, dan ketiga Kampung Wandailo yaitu
bahagiannya Sangariarana akan rakyat raja laki-laki yaitu Sibatara
namanya. Dan lagi sebahagiannya lagi itu dengan lima kampung, pertama
Kampung Peropa, kedua Kampung Gundu-Gundu, ketiga Kampung
Kadatua, keempat Kampung Rakia, dan kelima Kampung Gama, yaitu
bagian Betoambari akan raja perempuan yaitu Wa Kaakaa.
Setelah sudah dibahagi segala orang itu dan rumah raja itu pun
dihiasi dengan perhiasan yang maha mulia. Maka raja pun naik atas
rumah duduk kepada atas hamparan yang keemasan itu di hadapan
menteri, dan orang besar-besarnya dan rakyatnya sekalian penuh sesak
pada duduk itu. Dan segala perempuan itu pun masing-masing membawa
makan-makanan dan segala buah-buahan yang dimakan pun dibawanya.
Dan kepada raja perempuan itu pun demikianlah tiap-tiap hari, sebab
sudah terbahagi rakyatnya.
413
Setelah dengan berapa hari Betoambari dan Sangariarana pun
musyawarah lagi hendak mengawinkan rajanya memulai berjaga-jaga.
Setelah sudah musyawarah, maka Betoambari dan Sangariarana pun
menyuruh orang berbuat suatu malige besar lagi tinggi pada telah yang
dipilih oleh Betoambari dan Sangariarana di atas bukit Waberongalu itu.
Setelah sudah habis diperbuatnya malige itu maka dihiasinya maligai itu
dengan kain jangki yang keemasan, dan kain calala yang keemasan, dan
dikenakan tirai kelambu yang keemasan dan kena tirai langit-langit
bermanik-manikan mutiara malige itu. setelah sudah diperhias malige itu,
maka Betoambari dan Sangariarana itu pun kembali dahulu mengalu-
alukan Batara Wa Kaakaa.
Setelah sampailah pada huma Batara Wa Kaakaa itu, maka Wa
Kaakaa pun dihiasi oleh Betoambari dan Sangariarana dengan pakaian
yang indah-indah. Setelah sudah memakai, maka Wa Kaakaa pun duduk
atas geta. Maka orang pun di angkatnya geta itu lalu ditaruhnya atas
bahunya lalu berjalan naik ke malige di atas bukit Waberongalu,
diiringkan dengan bini menteri dan bini orang besar-besarnya tiada dapat
berjalan segala orang itu sebab kebanyakan manusia.
Setelah sampailah pada malige maka Wa Kaakaa pun naiklah lalu
masuk ke dalam peraduannya, maka kelambu yang keemasan itu pun
dirunut oranglah. Maka segala bini perdana menteri dan bini wazir yang
menghadap di hadapan putri Wa Kaakaa itu. Betoambari dan
Sangariaran pun turunlah mengalu-alukan Sibatara. Setelah sampai pada
huma Sibatara itu lalu mengadap semuanya berdatang sembah sujudnya
di bawah dulu Sibatara.Demikian sembahnya, “Ya Tuanku, baik tuan
hamba berangkat ke malige tuan putri Wa Kaakaa. Baik, tuan hamba
414
mandi dahulu. Maka orang pun hadirlah di hadapan Betoambari dan
Sangariarana menantikan katanya Betoambari dan Sangarirana pun
dibahagi segala kampung itu masing-masing dengan bahagiannya.
Adapun bagian kampung Peropa tempat makanan raja Butun, dan
bagian kampung Baaluwu kain basaan raja Butun yaitu kain permadani,
dan bagian Negeri Tobe-Tobe adalah yang membawa air, bagian
Kampung Gundu-Gundu, Kadatua, Rakia, Gama, Wandailolo dan
Barangkatopa bagiannya sirih pinang, dan barang makanan dan buah-
buahan pun ialah yang membawa dia.
Setelah sudah hadir maka Sibatara pun dimandikan oleh Betoambari
dan Sangariarana. Setelah sudah mandi, maka dihiasi dengan pakaian
yang keemasan. Setelah sudah memakai, maka Sibatara pun berjalan
diiringkan Betoambari, Sangariarana, segala orang besar-besar dan
rakyat sekalian. Setelah sampailah pada malige Tuan Puteri Wa Kaakaa
itu, maka Sibatara pun naik ke malige lalu masuk ke peraduan Tuan Putri.
Maka kelambu yang keemasan pun dilabu orang. Setelah sudah masuk,
maka segala orang pun masing-masing kembali ke rumahnya. Setelah
sudah beristri Sibatara dengan Wa Kaakaa itu, maka Betoambari dan
Sangariarana pun mendirikan perintah istiadat segala wazir ma’dun dan
perdana menteri.
Syahdan bicara adat segala menteri dan hukum di dalam negeri itu
pun lengkap semuanya habis dibahagi barang segala hukum di dalam
negeri itu, masing-masing dengan pampungnya.
Hatta tersebut perkataan Sibatara dengan tuan puteri beberapa
lamanya bersuka-sukaan di dalam peraduannya, maka dengan takdir
Allah taala tuan putri pun hamillah. Setelah datang bulannya, kepada hari
415
yang baik dan saat yang baik, maka tuan puteri Wa Kaakaa pun beranak
seorang perempuan yang baik parasnya gilang-gemilang cahayanya
seperti bulan purnama empat belas hari rupanya, maka dinamai
Bulawambona anaknya itu. Maka Betoambari dan Sangariarana pun
mengambil inang pengasuh di dalam kampung itu juga delapan orang.
Kemudian maka puteri Wa Kaakaa pun beberapa pula seorang
perempuan yaitu Patolambona namanya. Dan beberapa lagi bulan
antaranya, Patolambona maka beranakkan pula Patolasunda namanya,
ketiganya hanya perempuan. Dan lagi beberapa bulan lamanya
antaranya, maka pun menjadi raja Negeri Butun Sibatara dan Wa
Kaakaa, maka masyhurlah wartanya ada sepohon huu namanya menjadi
pada sisi rumah Betoambari. Dan dilihatnya segala orang banyak menjadi
sepohon kayu huu namanya hampir ke sisi pasar Peropa yaitu telah
terkembangkan payung segala raja-raja yang sultan Butun tempat
pohonnya itu. Maka orang pun telah menengar warta itu, maka gemparlah
lalu berjalan dengan Betoambari dan Sangariarana. Setelah sampailah
pada pasar itu, lalu duduk pada pohon huu itu dikelilingi orang yang
hampir sepohon kayu besar lagi tingginya, kayu itu Peropa namanya,
sebab itulah dinamai menteri Peropa.
Hatta maka Betoambari dan Sangariarana pun musyawarahlah
dengan segala rakyat sekalian. Setelah sudah musyawarah, maka
Betoambari dan Sangariarana pun naik keduanya memberi tahu raja
Butun. Setelah sampailah pada kota itu.
Hatta maka tersebut perkataan raja Butun pada ketika itu sedang
pangku dihadap segala dayang-dayang sekalian ada hadir. Maka
Betoambari pun datang dengan Sangariarana itu, lalu menghadap raja
416
serta berdatang sembah. Demikian sembahnya kepalanya sampai ke
tanah, tiada dapat mengangkatkan kepalanya keduanya. Maka Sibatara
pun melihat hal menteri itu, maka raja itu pun berkata pada Betoambari
dan Sangariarana. Demikian katanya, “Hai menteriku, apa hendak kamu
datang daripada ini?” Maka sambah Betoambari dan Sangariarana,
demikian sembahnya, Ya Tuanku, hambamu melihat sepohon kayu huu
namanya pohon hanya daunnya lebar di dalam kebun hambamu tuanku.
Maka raja pun tersenyum mendengar perkataan menteri keduanya itu,
serta berkata, “Hai menteriku, itulah payungku, kembalilah kedua kamu
pada kebun, bicara panggil segala rakyat semuanya turun mengambil
payung huu itu, serta dengan bunyi-bunyian semuhanya bawa bagimulah
kerajaan. Demikianlah perintah payung itu, maka Betoambari dan
Sangariarana pun musyawarat pada sekalian orang tua-tua.
Setelah sudah musyawarah, maka Betoambari dan Sangariarana itu
pun hadirlah berangkat dirinya masing-masing ada membawa emas dan
perak dan kain yang mulia-mulia, jingga seluruh yang keemasan dan kain,
sirih, pinang yang maha indah-indah dibawanya akan memerintahkan
payung huu itu, gendang dan gong pun dipalu orang. Maka Betoambari
dan Sangariarana pun turun berjalan kepada tempat huu itu. Setelah
sampailah pada huu itu, maka hari pun malamlah, kendil, pelita pun
terpasang. Maka orang pun masing-masing duduk dihadapan mengelilingi
pada pohon payung huu itu. Dan orang-orang yang baik suaranya pun
bunyilah, lalu berdiri menari berganti-ganti kepada seorang kepada
seorang. Demikian kelakuan hal segala orang pada malam itu. Setelah
malam pun sianglah, maka Betoambari dan Sangariarana pun berangkat
naik berjalan mengalu-alukan Sibatara. Setelah sampailah Betoambari
417
dan Sangariarana dan segala rakyat sekalian pun, lalu masuk di dalam
kota raja Butun.
Hatta dengan takdir Allah Taala, Sibatara dan Tuan Puteri pun
sedang pangku dihadapan sekalian dayang-dayang, bata-bata pengawal
sekalian di dalam malige itu. Maka Betoambari dan Sangariarana pun
masuk di dalam malige, lalu sujud di hadapan raja serta sembah
kepalanya, lalu dibawa hamparan. Demikian sembahnya, “Ya tuhanku,
baik tuan hamba berangkat karena matahari pun belum terbit. Maka raja
pun hadirlah lalu naik duduk di atas geta yang keemasan. Maka geta itu
pun diangkat ditaruhnya atas bahunya lalu turun berjalan diiringkan
Betoambari dan Sangariarana dan rakyat sekaliannya.
Setelah sampailah pada rumah Betoambari dan Sangariarana dan
rakyat, maka raja pun turunlah atas getanya, lalu duduk atas rumah
Betoambari itu, di hadapan oleh segala menteri dan segala waziral alam.
Maka datang seorang, orangnya berlari-lari lalu berdatang sembah di
hadapan raja itu. Demikian sembahnya, “Ya Tuanku, ada hamba melihat
air kolam batu pada tempat buluh gading atas Bukit Lelemangura itu.”
Setelah maka raja pun telah menengar seraya menyuruh orang mengambil
air itu. Setelah maka Betoambari dan Sangariarana pun menyuruh orang
Tobe-Tobe lima orang mengambil air atas bukit Lelemangura. Maka
orang Tobe-Tobe itupun segera berlari-lari dengan sekejap mata
sampailah orang itu pada bukit Lelemangura itu, lalu ia ditimbanya kolam
itu.
Setelah sudah diisinya tempat air itu, maka orang Tobe-Tobe itu pun
kembalilah kelimanya itu. Setelah sampailah orang itu lalu dihadapan
Betoabari dan Sangariarana, maka Betoambari menyuruh anaknya
418
Sangariarana memandi raja itu. Setelah mandi raja itu, seraya lalu turun
pada huu itu, lalu memegang pohon huu itu, dengan kedua tangannya
dapat di bawah bahunya, maka diserahakan oleh Sangariarana pohon huu
itu. Setelah sudah menyerahkan huu itu maka raja pun hendak kembali ke
maligenya. Lalu berjalan dihadapannya pohon huu itu, didahulukan
berjalan dari kanannya. Betoambari dan Sangariarana dari kirinya dan
belakangnya segala menteri diiringkan rakyat hina dina sekalian rumah
dan jalan sekalian pun. Setelah sampailah pada atas pasar besar itu serta
terbit matahari, maka payung huu itu pun terdirilah atas kepala raja itu.
Maka dipayungnya oleh Sangariarana, maka tiada dikenanya lagi
matahari raja itu. Setelah sampailah kepada maligenya, lalu duduk di atas
kursinya dihadap segala menteri-menterinya, dan orang besar-besarnya
dan hulubalang rakyatnya, sekalian hina dina. Setelah sudah maka
hidangan nasi pun peredarkan orang lah, maka minum-minuman pun
terangkat orang. Maka raja pun makan minum bersuka-sukaan dengan
segala menteri-menterinya dan hulubalang rakyat sekalian. Setelah sudah
makan minum, maka raja pun masuk dalam malige. Maka segala menteri,
orang banyak masing-masing kembali ke rumahnya.
Hatta dengan takdir Allah Taala, berapa lamanya raja itu antaranya
beranakkan tiga perempuan, maka beranakkan pula empat orang
perempuan juga, seorang laki-lakipun tiada hanya perempuan juga
antaranya. Maka beranakkan Patolasunda, dan berapa lagi antaranya
maka beranakkan Wa Batau, dan berapa lagi lamanya antaranya maka
beranakkan Wa Betao, dan berapa lagi lamanya antaranya, maka
beranakkan pula Paramasuni yaitu anak empunya itu kaum segala anak

419
raja-raja, jumlahnya anak Wa Kaakaa dengan Sibatara itu menjadi tujuh
orang perempuan.
Setelah dengan berapa tahun antaranya menjadi raja di dalam negeri
Butun, Sibatara dan Wa Kaakaa itu, maka hendaklah maka ia pulang ke
kayangannya dari atas langit sebab karena malunya Wa Kaakaa kepada
gundinya Sibatara yaitu kampung Baaluwu.
Hatta maka tersebut ceritra pulangnya Wa Kaakaa pada
kayangannya dari atas langit. Demikian ceriteranya. Sekali peristiwa
pada hari yang lain tengah hari benar, maka Wa Kaakaa hendaklah tidur
lalu ke bantak kepalanya, seraya memanggil seorang hambanya menyikat
rambutnya. Maka hambanya pun datang menyikat rambutnya Wa Kaakaa
pada bantal itu, lalu disisirnya Wa Kaakaa itu. Setelah terlihatlah ubun-
ubun Wa Kaakaa itu, bekata hambanya itu, “Ya Tuanku, mengapa ubun-
ubun tuan hamba ini seperti tahi bau rupanya?” Serta dengarlah yang
emikian itu katanya, maka Wa Kaakaa itu pun terkejut lalu bangun
daripada tidurnya. Dengan malunya dan marahnya hatinya. Jangan
terdengar pada istri Sibatara yang lain di kampung Baaluwu , yaitulah
yang dikasih oleh Sibatara pada perempuan itu. Sering-sering Wa Kaakaa
pun disamakan istimewa pula pada istri yang lain, sugguh pun Wa Kaakaa
terlalu baik parasnya seperti anak-anakkan kadang rupanya, tetapi dingin
penglihatan segala orang banyak karena ia peri.
Setelah sudah, maka Wa Kaakaa pun terlalu sangat marahnya,
bertambah-tambah malunya sebab terlihat ubun-ubunnya. Tiada lagi
dapat berkata-kata, lalu tunduk berdiam dirinya seraya di dalam
rahasianya, baiklah aku kembali naik kepada kayanganku rahasia ini
jangan kau katakan ke sana sini. Jika aku tiada pada tempat ini sekali pun
420
jangan mudah-mudahan.” Setelah sudah berkata-kata, Wa Kaakaa pun
menyuruh orang memanggil Betoambari dan Sangariarana. Maka
Betoambari dan Sangariarana datanglah dihadapan Wa Kaakaa lalu
sujud menyentuh kepalanya kepada lantai. Maka berkata-kata, “Hai kamu
bapakku, salamku atasmu kedua kamu itu. Hamba minta memohon pada
kamu kedua itu dan orang di dalam negeri itu sekalian.” Maka sembah
Betoambari dan Sangariarana, demikian sembahnya, “Ya Tuanku, raja
yang kebutuhan patik di bawah dulu atas batu kepala hambamu,
sekalian.” Di mana Tuan hamba pergi dan negeri mana tuan hamba main-
main”. Maka berkata Wa Kaakaa, “Hai Bapakku, sebab minta memohon
pada kamu kedua, “Hamba hendak kembali ke khayangaku di atas
langit,” Maka sembah Betoambari dan Sangariarana, “Ya Tuanku, siapa
anak Tuan hamba meninggalkan kami akan ganti tuan hamba di dalam
negeri ini Tuanku?” Maka Wa Kaakaa bersuamikan anaknya seorang
bernama Bulawambona dan anaknya Sangariarana La Baluwu namanya,
yaitu cucu Betoambari.
Setelah bersuamikan anaknya Bulawambona dan La Baluwu, maka
diangkat pula menjadi raja Butun akan ganti dirinya, tetapi tiada
terkembang paying kepada La Baluwu, hanya Bulawambona yang
dikembangkannya payung atas kepalanya. Setelah sudah diangkat
Bulawambona dan La Baluwu itu, maka Wa Kaakaa pun berpesanlah
pada Betoambari dan Sangariarana. Demikian bunyi pesannya, “Hai
bapakku, dengar pesanku ini, jangan kau lalai oleh anakku ini.” Jangan
kau melihat dan ingatkan salahnya dan bebalnya atas kamu dalam tangan
kamu kedua kita hubaya-hubaya. Jangan ajarkan baik, karena lagi muda

421
piatu dan jangan kau dengarkan ke sana sini. Peliharakanlah anak kita ini
seperti engkau memelihara akan daku.
Setelah sudah berpesan Wa Kaakaa itu, maka diambilnya antakesuma
anaknya Bulawambona. Lalu dibahunya antakesuma itu dengan empat-
empat jari lebarnya antakesuma itu yaitu Sangke namanya. Maka
diberikan Betoambari dan Sangariarana Sangke itu seraya berkata “Hai
menteri yang budiman lagi bijaksana, “kedua kamu itu ambillah olehmu
antakesuma hamba itu hubaya-hubaya. Jangan tiada kamu suruh orang
berbuat belanja akan seperti, lebarnya empat jari akan belanja negeri ini.
Hai mentriku, dengarkan pesanku ini, jangan kamu mengambil akan
belanja seperti negeri yang lain supaya selamat dan berkan negeri ini.
Ambillah belanja kamu seperti pesanku ini. Jikalau kau lalai seperti
kataku ini, kamu atau anak cucumu atau kaum keluarganya atau barang
dalam negeri itu dikutuk Allah Taala dengan beribu-ribu kutuk datang
bala. Jika kamu menanam padi menjadi padang, jika kamu menanam
barang makan-makanan menjadi batu atau kayu.
Dan lagi pesanku, “hukum dalam negeri jangan kau bertukar-
tukarkan, seperti kampung dengan menteri-menterinya atau seperti anak
raja-raja dengan negerinya melainkan asalnya juga. Dan jangan kau
ambilkan upeti dalam hukum negeri ini yaitu baku makan. Dan jangan
lagi musyawarah malam atau berhukum. Itulah barang sesuatu bicara
jangan lagi musyawarah malam, waktu asar pun jangan kurang katanya
karena setan hampir masuk di dalam negeri, itulah sebab. Dan pilihnya
yang keemasan pun diangkat orang. Maka bermain, makan dan minum
bersuka-sukaan dengan menterinya dan segala rakyatnya sekalian.

422
Setelah sudah makan, maka dianugerahinya segala rakyatnya hina dina
dengan arta yang mulia.
Setelah Wa Kaakaa pun mencium anaknya Bulawambona dan
mantunya La Baluwu, maka Bulawambona dan La Baluwu pun menangis.
Maka Betoambari dan Sangariarana pun segera ia menyembah keduanya
lalu mencium kaki Wa Kaakaa itu. Maka segala rakyat pun datang
berjabat tangan dan mencium kaki Wa Kaakaa.
Setelah belum habis segala orang memegang tangan Wa Kaakaa
maka guruh pun berbunyilah dan kilat hujan pun turunlah, ribut, topan,
halilintar, petir, kilat, gelap-gulita sambung-menyambung. Maka Wa
Kaakaa pun lenyap akan dirinya. Ia pulang ke kayangannya, di atas langit
dengan enam orang anaknya yang ada serta hanya seorang ditinggalnya
akan digantinya Bulawambona namanya yaitulah yang diangkat oleh
ibunya menjadi raja Butun. Setelah bunyi guruh pun tiada kedengaran dan
ribut, topan matahari telah terbitlah. Maka raja yang kebutuhan itu pun
tiada kelihatan mata segala orang banyak itu. Maka berseru-seru segala
manusia menangis, gempar bunyi segala orang seperti lagi kiamat
bunyinya. Dan cerai-berailah segala manusia tiada mengetahui akan
dirinya sebab bercintakan Tuannya itu. Maka Betoambari dan
Sangariarana pun berseru-serulah menangis keduanya. Demikian bunyi
suaranya, “Ya tuanku yang kebutuhan, “Hambamu ini pun itulah dan
negerimu pun kasihanilah. Ya tuanku, Hambamu belum puas rasa hati
hambamu pada tuanku yang kebutuhan. Betapalah hal kami sekarang.
Hatta dengan takdir Allah taala, maka terdengarlah seperti suara
dari atas langit yaitu suara raja yang kebutuhan. Demikian katanya,
“Janganlah bercintakan diri kamu dan negerimu adalah kupulang karena
423
Sibatara lebih kasihan istrinya yang lain daripada aku, yaitulah kampung
Baaluwu memberi kemaluanku,” Sebab itulah maka aku pulang ke
kayanganku, kutinggalkan anakku dan kamu dan negeri itu.
Setelah sudah maka tersebutlah kemaluan kebutuhan. Demikian bunyi
ceriteranya. Sekali peristiwan Sibatara lagi bertangis-tangis dengan
anaknya. Bulawambona pun rebahlah (di) atas ribaan bapanya.”

424
Lampiran 3:
Pertama kali yang menemukan pulau Buton dan pulau Muna adalah
Nabi Muhammad. Kedua pulau tersebut baru saja muncul dari permukaan
laut serta masih merupakan rawa-rawa berlumpur yang belum dapat
ditumbuhi atau dihuni oleh apapun juga. Setelah menemukan pulau ini,
Nabi Muhammad kembali kepada Allah memberitahukan apa yang
dilihatnya dan menambahkan bilamana Allah menghendaki tanah-tanah
tersebut dikeringkan kira-kira akan terdapat daratan yang akan sama
dengan Tanah Rum (Turki dan Eropa). Allah lalu bertanya kepada
Muhammad, di mana Ia melihat daratan tersebut. Jawaban Muhammad
“Di bawah daratan Turki (Eropa)” (dalam bahasa Muna we ghowano
witeno Rumu). Allah kemudian bertanya kepada Muhammad “Nama apa
yang harus diberikan kepada tanah ini?” Muhammad menjawab, “Butu’uni
(artinya nama ini tidak diketahui).” Allah lalu membuat daratan tersebut.
Menurut tradisi ini orang pertama yang menetap di sini adalah roh-roh.
Cerita yang kedua berbunyi sebagai berikut. Dahulu kala ditempat ini
semuanya digenangi air. Pada suatu hari berlayarlah di laut ini sebuah
perahu, di dalamnya berada seorang lelaki yang bernama ‘Sawirigadi’
(Sawerigading). Perahu tersebut terbentur pada batu karang di bawah
permukaan air laut terdampar. Sawerigading adalah putra Lakina Luwu,
dan dia dilahirkan ibunya bersama dengan seekor ayam kuning sehingga
dianggap orang mulia.
Karena terbenturnya perahu tersebut pada ujung batu karang di
bawah permukaan air laut, yaitu pulau Muna sekarang ini. Nama gunung
itu Bahutara; tempat ini tidak jauh dari kota Muna yang dahulu. Di atas

425
gunung itu sampai sekarang terdapat sebuah batu besar yang menyerupai
perahu.
Setelah terdampar perahunya, berjalanlah Sawirigadi di atas daratan
yang baru muncul itu sampai pada wiseno kontu, dan dari sana dia kembali
ke tanah asalnya di seberang (wiseno kontu berarti ‘di depan batu’).
Setelah itu Lakina Luwu mengutus beberapa orang untuk pergi mencari
perahu Sawirigadi. Sebagian dari orang- orang ini konon menetap di sini
dan merupakan pernghuni pertama pulau Muna kemudian mereka
mendirikan suatu kolono yang mereka namakan Wamelai. (Arti nama ini
tidak lagi diketahui. Kampung ini hingga sekarang masih ada, akan tetapi
saat ini merupakan bagian dari kampung Tongkuno). Mata pencaharian
mereka berburu dan sebahagian kecil bertani.
Setelah beberapa lama mereka menetap di sini, maka sebahagian
orang yang terdiri atas laki-laki itu kembali ke tempat asal mereka untuk
mengambil istri-istri dan anak-anak mereka yang tertinggal di sana dan di
bawa ke Muna. Sekembalinya mereka, maka atas musyawarah bersama
lalu ditunjuklah seorang kepala yang diberi gelar ‘mino Wamelai’.
Suatu hari dibuatlah sebuah rumah besar untuk mino tersebut, akan
tetapi mereka kekurangan bambu untuk membuat lantainya. Jadi sang
mino menyuruh empat orang pembantunya (kafowawe) untuk pergi
mencari bambu di hutan untuk keperluan rumah tersebut. Keempat laki-
laki itu lalu mencarinya keseluruh kawasan hutan dan pada akhirnya
mereka menemukan juga sebatang pohon bambu besar serta tebal di satu
tempat. Di tempat itu kini terletak kampung Barangka. Ketika mereka
hendak memotong bambu itu tiba-tiba terdengar suara seseorang dari
pohon bambu itu. Mereka tidak berani memotongnya dan kembali ke
426
kampung dengan tangan hampa. Mereka menceritakan kepada mino bahwa
mereka telah menemukan sebatang bambu, akan tetapi mereka tidak berani
memotongnya, karena bilamana mereka hendak memotong bambu bagian
bawahnya, terdengar suara yang mengatakan “Aduh, betisku/kakiku”, dan
bila dipotong agak tinggi, maka terdengarkah suara yang sama “Aduh
punggungku”, dan bila dipotong lebih tinggi, di dengar lagi “Aduh,
kepalaku”.
Sang mino tidak percaya akan cerita mereka, tetapi mengira mereka
malas. Lalu orang itu disuruh kembali ke hutan dengan perintah keras
untuk membawah bambu itu, karena bila mana mereka kembali tanpa
bambu, maka mereka akan dibunuh. Untuk mengawasi mereka, diikut
sertakan orang kelima. Ketika tiba di bambu tersebut, orang kelima itu
segera hendak memotongnya, akan tetapi ia pun mendengarkan kata-kata
yang sama. Namun, tanpa bambu merka tidak berani kembali ke kampung,
sehingga mereka menggali bambu itu dan membawanya ke kampung.
Sang mino, yang mendengar laporan dari orang kelima mengenai
suara itu, kini hendak juga membelah bambu itu, akan tetapi ia pun
mendengar kata-kata yang sama. Kemudian ia pun memanggil seluruh
rakyat untuk berkumpul di depan rumahnya dan menyuruh mereka untuk
menjaga bambu itu.
Setelah bambu itu dijaga empat puluh hari empat puluh malam
lamanya, masuklah suatu berita aneh. Dua orang lelaki dari Wamelai yang
bernama La Lele dan La Katumende, waktu menjelajahi pulau Muna dan
tiba di pesisir pantai yang kini terletak kampung Lohia, tiba-tiba melihat
seorang wanita duduk di atas palangga (sebuah pinggan batu yang besar)
datang terapung, di sekitar pulau Lima. Wanita tersebut lalu ditangkap
427
oleh mereka, kemudian La Katumende pulang kembali ke Wamelai untuk
memberitahukan kepada mino mengenai tangkapannya yang luar biasa ini.
Mino lalu menyuruh agar wanita itu dibawa ke Wamelai.
Wanita itu ternyata putri Lakina Luwu dan saudara perempuan
Sawerigading. Ketika Sawerigading kembali ke Luwu dari Muna, didapati
ayahnya dalam kesusahan besar karena anak gadisnya yang belum
menikah, yaitu saudara perempuan Sawerigading. Tandiabe namanya,
sedang hamil dan tidak mau atau tidak dapat mengatakan siapa yang
menghamilinya. Satu-satunya yang ia katakan ialah bahwa ayah anaknya
itu tidak tinggal di Luwu, melainkan di Timur.
Sang lakina bukan hanya malu, tetapi juga sangat marah atas
kelakuan putrinya. Jadi, sesuai dengan kebiasaan diperintahkannya agar
putrinya dibuang di laut dan didudukkan di atas batu besar yang pipih.
Namun, batu tersebut tidak tenggelam, tetapi terapung-apung bersama
Tandiabe semakin jauh dan dengan demikian tiba di sekitar pulau Lima
dimana ia tertangkap oleh La Lele dan La Katumende.
Ketika dibawa ke Wamelai, ia diletakan di depan rumah mino,
dimana seluruh rakyat mengagumi wanita itu yang muncul dari laut di atas
sebuah batu. Tiba-tiba terdengar lagi suara dari dalam bambu yang
ditujukan kepada wanita itu, ‘Engkau menjadi istriku’. Wanita itu
menjawab ‘saya dalam keadaan begini karena ulahmu’. Oleh karena itu
atas perintah mino wanita itu yang telah diberi nama Sangke Palangga
(‘diambil dari pinggan batu’) bersama dengan bambu itu dibawa ke Lambu
Balano (letaknya dekat kota Muna, di sebelah kanan jalan menuju kota).
Keempat lelaki yang membawa bambu itu dari hutan ke Wamelai,
kini juga membawahnya ke Lambubalano dan membelahnya di sana atas
428
perintah mino. Ketika bambu itu dibelah, muncullah seorang lelaki. Ketika
melihat keempat lelaki itu ia berkata, ‘kamu tanombaura-uramo,
tanombalembo-lembomo, tanombatala-talamo, pedamo ndoke’. Adapun
makna kata-kata ini, tidak diketahui lagi, tetapi sesuai dengan kata-kata ini
keempat lelaki itu memperoleh nama-nama mereka, secara berurut La
Kaura, La Lembo, La Kuncitala, La Ndoke. Keturunan mereka sekarang
ini adalah fato lindono. Lelaki yang muncul dari bambu itu oleh rakyat
Wamelai diberi nama menurut asalnya, yaitu Bheteno ne Tombula
(‘dilahirkan di dalam bambu’). Dia bersama wanita Sangke Palangga
dibawa kembali ke Wamelai dimana mereka menikah dan mendapat
tempat tinggal rumah mino. Dari perkawinan itu lahirlah tiga orang anak
yaitu: yang pertama seorang putra yang bernama Runtu Wulau; anak
kedua seorang putri bernama Kila Mbibito, dan anak ketiga seorang putra
pula yang diberi nama Kaghua Bhangkano. Runtu Wulau kemudian
kembali ke Luwu; Kila Mbibito menikah dengan La Singkakabu, putra
mino Wamelai, dan Kaghua Bhangkano juga menetap di Wamelai dimana
ia pun menikah.

429
Lampiran 4:
 Transliterasi I
Inilah perturunannya yang pertama daripada nene moyang dahulu
kala pertama raja dalam negeri Butun yakni Wa Kaakaa namanya yaitu
bersuami dengan Sibatara anak raja Majapayi. Maka beranak tujuh
orang, enam orang terbang serta ibu bapanya. Yang tinggal seorang
dalam negeri ini yang bernama Bulawambona.
Adapun riwayat istiadat daripada Wa Kaakaa itu dua istiadat, suatu
dayang-dayang sepuluh anak laki-laki dan sepuluh anak perempuan (jadi
dayang-dayangnya), dan lagi pula adatnya enam puluh laki-laki yang
besar akan yang menjagai rumahnya. Sampai kepada kerajaan
Bulawambona istiadat dua ini. Kemudian dari itu matilah Bulawambona
itu, maka ditanamnya di tengah pasar itu dahulu memberi apinya di atas
kubunya.
Dan adapun Bulawambona itu bersuami dengan La Baluwu. Maka
beranakkan seorang laki-laki bernama Bataraguru. Ialah menggantikan
ibunya. Maka berapa lama jadi raja Bataraguru itu maka hendaklah ia
mencari asalnya ke negeri Majapayi. Setelah bertemulah dengan segala
kaumnya kemudian maka Bataraguru pun hendaklah kembali ke negeri
Butun. Maka raja Majapayi pun darinya empat istiadat akan Bataraguru
itu karena anak mudanya raja Majapayi dengan Bulawambona itu sepupu.
Adapun istiadat itu suatu, isi laut, kedua, isi sungai. Adapun isi laut
seperti ikan besar atawa tuwa karang atawa orang rusak pecah di karang.
Dan adapun isi sungai itu seperti suminanga dan seperti budak orang
dagang lari di sungai itu. Jadi empat istiadat kepada Bataraguru.
Kemudian pun beranak empat orang; pertama Tuamaruju, kedua
430
Tuarade, ketiga Rajamanguntu. Dan lagi anaknya kepada gundinya
bernama Kiyayijula. Kemudian maka matilah Bataraguru, maka
digantikan anaknya bernama Tuarade itu, tetapi tiada beranak. Kemudian
dari itu berapa lamanya maka kakanya bernama Tuamaruju itu
beranakkan seorang laki2 maka diambilnya raja Tuarade diangkatnya
anaknya. Maka diberinya anaknya itu Rajamulae namanya. Kemudian
maka raja Tuarade itu pun matilah, maka digantikan anaknya itu bernama
Rajamulae.
Maka hendaklah mengerjakan anak mudanya bernama Lakilaponto
karena Lakilaponto itu anak raja Wuna bernama Sugimanuru, akan
bundanya Lakilaponto itu bernama Wa Tubapala. Adapun Wa Tubapala
itu anak Kiyayijula. Akan ibunya Wa Tubapala itu Wa Randea [namanya]
anak raja Tiworo.
Maka tatkala ada kerajaan Lakilaponto itu maka diambilnya istiadat
daripada negeri Wuna yaitu lima istiadat; pertama, upeti seperti buah-
buahan kayu dan seperti kayu batari
Maka jumalahannya jadi dua belas istiadat di dalam tangan raja
Butun itu. Adapun lama Murhum menjadi raja empat puluh dengan enam
tahun lamanya tatkala ia masuk agama Islam.
Adapun tatkala dahulu daripada Wa Kaakaa itu tiada dengan anak
negerinya. Kemudian dari itu tatkala [ia] Tuarade menjadi raja sekalian
anak negeri ini seperti bersahabat rupanya. Sampai kepada kerajaan
Rajamulae anak negeri ini seperti kaka dengan adik. Dapatlah ia minta
kayu atawa bambu yang dahulu itu belum ia anak negeri. Tatkala belum
ada menteri Baaluwu dan Peropa itu hanya [ia] negeri Kamaru akan
sahabatnya negeri Butun ini seperti sudara rupanya. Sebab apa, karena
431
Sangariarana itu beristri dengan anak raja negeri Kamaru bernama Wa
Guntu tatkala Tuamaruju, [dan] Tuarade dan Raja Manguntu tiga
bersudara [itu]' Adapun Tuamaruju itu ialah yang pergi pada pihak
negeri Todanga dan Tumada. Sekalian negeri dari sebelah sana ialah
bersahabat akan berkasih-kasihan. Tuamaruju dengan negeri itu lalu
dibawanya ke negeri Butun. Ialah yang memegang dia. Adapun Raja
Manguntu ialah yang pergi pada pihak Batauga, [dan] Wawoangi, dan
sekalian negeri di sana. Raja Manguntu memegang dia lalu dibawanya ke
negeri ini.
Adapun tatkala Murhum menjadi raja dalam negeri Butun ini tatkala
dikaruniai Murhum maka menjadi sekalian negeri. Karena [ia] Raja
Lakilaponto membawahi negeri yang besar yaitu Butun dan Wuna. Jadi
takut sekalian negeri ini seperti Kaedupa dialihnya. Maka sekalian negeri
pun dialihnya [oleh Murhum].
Bahwa inilah anaknya Wa Kaakaa yang tinggal di dalam negeri
Butun ini yang bernama Bulawambona. Maka Bulawambona bersuami
dengan La Baluwu, maka beranakan seorang laki-laki Bancapatola
[namanya] yaitu Bataraguru. Maka Bataraguru beristri dengan Wa
Eloncugi yaitu anak Dungkuncangia tetapi ashal peri juga. Maka
Bataraguru dan Wa Eloncugi pun beranak tiga orang laki-laki; pertama,
Rajamanguntu, kedua, Tuamaruju, ketiga, Tuarade. ltulah yang menjadi
raja Butun. Dan lagi anaknya kepada gundinya seorang laki-laki yang
bernama Kiyayijula. Maka Kiyayijula beristri dengan anaknya raja
Tiworo Wa Randea [namanya). Maka Wa Randea beranak seorang
perempuan Wa Tubapala namanya. Maka Wa Tubapala bersuami dengan
raja Wuna bernama Sugimanuru. Setelah itu maka Wa Tubapala beranak
432
tiga orang, dua orang laki-laki dan seorang perempuan. [Yang bernama]
laki-laki itu La Tolaki namanya Timbang-Timbangan Lakilaponto yaitu
Murhum, dan lagi seorang Kobangkuduna yaitu La Posaasu [namanya]
dan perempuan itu Wa Karamaguna [namanya] yaitu Wa Ode Pogo.
Maka tersebut pula nomor satu pasal dari Kiyayijula. Pasal yang
kedua turunannya Rajamanguntu beristri dengan anak raja Tobe-Tobe
yang bernama Wa Solongki. Maka beranak empat orang tiga orang laki-
laki dan seorang perempuan; pertama [anaknya Raja Manguntu itu] La
Katuturi [namanya], kedua La Karakamba, ketiga Dae Ncoreya, keempat
Wa Guruncing [namanya]. Kemudian maka La Katuturi beristri dengan
Wa Datogunu sudara raja Batauga yang bernama La Luwu. Maka
beranak seorang laki-laki yang bernama La Maindo. Maka La Maindo
beristri dengan anak sapati Rampagau yaitu anak yang dinamai sapati
Manjawari. Dan anaknya itu Wa Banaka namanya. Dan ibu Wa Banaka
itu Wa Buadatu [namanya]. Itu pun raja Batauga juga. Maka Wa Banaka
beranak empat orang laki-laki dan dua orang perempuan, pertama laki-
laki itu La Kabaura, [namanya] dan kedua La Siridatu [namanya]. Dan
perempuan itu Wa Solongki [namanya] dan [lagi] Wa Melai [namanya].
Dan lagi anaknya kepada perempuan yang lain tiga orang, pertama La
Tangamasa, [namanya] kedua Wa Lakui [namanya] ketiga Wa Labanga
[namanya].
Maka tersebut puIa riwayat La Karakamba beristri dengan Wa Ngkita
anak sapati Rampagau juga. Maka Wa Ngkita beranak seorang laki-laki
yang dinamai La Saompula. Maka La Saompula beristri dengan Wa
Solongki anak raja Batauga La Maindo. Maka beranak empat orang;
pertama, La Laja, kedua, La Siritapu yaitu raja Wabula, ketiga, La Mata
433
yaitu raja Siompu, dan keempat, Wa Mbolode. Maka La Mata kedatangan
hukum Allah itu maka digantikan La Laja menjadi raja Siompu. Itulah
yang dinamai Kosakuna. Dan lagi anaknya La SaompuIa La Nciwalula
namanya kepada limbo Barangkatopa Wa Samatandi namanya.
Kemudian dari itu maka tersebut puIa riwayat Dae Ncorea beristri
dengan anak La Mimara Wa Baka namanya dan ibunya Wa Tinga
(namanya] yaitu Kowawoangina. Maka Wa Baka dan Dae Ncorea
beranak dua orang laki-laki pertama La Weiwei [namanya] dan kedua La
Mbaawu [namanya]. Dan lagi anak Dae Ncorea kepada perempuan yang
lain Kiyayi Baai namanya. Dan nama ibunya Wa Ragimali [namanya]
kepada limbo Melay. Maka La Mbaawu beristri dengan Wa Datalangi dan
Luwulamaipama yaitu raja Kambe-Kambero. Wa Giira istri La Mimara
yaitu raja Wawono Liwu. Maka Wa Datalangi dan La Mbaawu beranak
dua orang seorang laki-laki La Wawa namanya dan seorang perempuan
Wa Tubapala [namanya]. Dan La Wawa beristri dengan Wa Darasangka
yaitu raja Luri sudara Waparakaci namanya. Maka La Wawa dan Wa
Darasangka beranak tiga orang seorang La Jadi [namanya] dan seorang
La Tandabaali [namanya] dan bapanya La Tandatara sudara Wa
Lambangahi. Maka Wa Palulancugi beranak seorang perempuan Wa
Ruwia namanya. Maka Wa Ruwia beristri dengan anak yang bernama La
Kunisa, maka beranak dua orang perempuan Wa Pantalanama dan
seorang Wa Tangkalanama [namanya]. Maka Wa Tangkalanama beristri
dengan Patolakambang. Dan Wa Pantalanama beristri dengan La
Ndawalangu yaitu raja Kambe-Kambero. Dan La Ndawalangu itu sudara
La Batala beristri dengan Wa Mariwata, maka beranak dua orang laki-
laki; pertama La Mpangula dan [seorang] La Ululi. Maka beristri dengan
434
Wa Eloncugi maka beranak empat orang; pertama, La Paka, kedua, La
Seri, ketiga, Wa Sakamalanda, keempat, Wa Sakati. Maka La Mpangula
beristri dengan Wa Buakota maka beranakkan La Siritapu [namanya],
tetapi [La Siritapu] tiada beranak [nya].
Seperkara lagi La Ndolangu beranak seorang laki-laki La Baruba.
Maka La Baruba beristri dengan Wa Bungarantia anak La Tubiri itu pun
anak Nulimu. Dan La Baruba beranak tiga orang pertama Wa Tandiwani
kedua Wa Lapanguhi ketiga Wa Surulangi. Maka Wa Tandiwani beristri
dengan La Nasiru yaitu sapati yang datang khabarnya maka beranakkan
La Manimpa yaitu Kapolangku dan Wa Surulangi itu ibu Wa Wudea.
Kemudian dari itu maka tersebut pula riwayat Wa Guruncing
anaknya juga Rajamanguntu yang tersambil juga dari pasal yang kedua.
Maka Wa Guruncing beristri dengan Betaotumbaari yaitu raja Wajo
sudara Simbata. Maka Wa Guruncing beranak seorang laki-laki La
Tarantumara namanya. Maka La Tarantumara beristri dengan Wa
Mbolode, maka beranakkan La Uruntinaga. Maka La Uruntinaga beristri
dengan Wa Waaniloji La Untu maka beranakkan La Susumungku
[namanya] yaitu menteri Kadolo.
Kemudian dari itu maka tersebut pula riwayat pasal yang ketiga
turunannya dari Tuamaruju. Maka Tuamaruju beristri dengan Wa
Talubangana sudara Wa Solongki anaknya juga raja Tobe-Tobe. Maka
Tuamaruju dan Wa Talubangana beranakkan laki-laki dua orang bernama
Nganciraja dan Rajamulae [namanya] yaitu Sangia Igola. Maka
Nganciraja beristri dengan Wa Nimpu anak Batukara anak Kadura dan
ibunya Wa Musambi [namanya]. Maka Nganciraja beranak seorang
perempuan Wa Sameka [namanya] yaitu Talulabina.
435
Dan lagi riwayat Rajamulae beristri dengan Wa Randima maka
beranakkan seorang perempuan Wa Tampaidonge namanya yaitu
Borokomalanga. Dan lagi istri Rajamulae kepada limbo Lanto Wa
Panciribala namanya maka beranakkan dua orang, seorang La Patikana
dan seorang Wa Sakatanga [namanya]. Dan lagi istri Rajamulae kepada
limbo Melai Wa Talubangana namanya maka beranakkan Katimanuru
dan [seorang] Tuamaruju. Dan lagi istri Rajamulae kepada negeri
Burangasi Wa Nupu, [namanya dan] kedua Wa Lambi [namanya] dan
ketiga Wa Nialara [namanya], maka beranakkan Wa Gunaimbu
[namanya]. Dan lagi istri Rajamulae kepada negeri Kabiriya maka
beranakkan Rarayiya [namanya] dan La Maradalubu [namanya]. Dan
lagi istri Rajamulae Wa Muuwi namanya maka [beranakkan) La Landawa
[namanya]. Dan lagi istri Rajamulae Totangku Wa Randamasa namanya
maka beranakkan Mawasila [namanya]. Dan lagi istri Rajamulae kepada
negeri Lea-Lea Wa Katasangka namanya maka beranakkan La Kiyayi dan
La Halaba, jumlahnya menjadi sembilan orang.
Kemudian dari itu maka tersebut pula riwayat Katimanuru beristri
dengan Wa Tubapala anak La Mbawa. Maka beranak lima orang;
pertama La Galunga (namanya), kedua Wa Lakui (namanya], ketiga La
Tangka (namanya], keempat La Wusasura (namanya] (dan) kelima Wa
Tandawani (namanya].
Kemudian dari itu maka tersebut pula riwayat Tuarade tiada beranak.
Itulah yang menjadi raja Butun yang dinamai Sangia Isara Jawa yang
turun di negeri Majapay.
Maka tersebut pula riwayat Murhum maka adalah fasalnya Murhum
itu nomor yang keempat tetapi diambil turunnya nomor yang kedua maka
436
nene dari Kiyayijula juga. Maka Murhum itu beristri dengan Wa Samika
anak Nganciraja sudara Sangia Igola anak Tuamaruju. Maka Murhum
dan Wa Samika beranak tiga orang; pertama Paramasuni, kedua Wa
Sugirumpu, ketiga Wa Batau. Maka Paramasuni beristri dengan La
Siridatu maka beranak dua lapan orang; pertama Mobolina Pauna La
Ilalangi [namanya], kedua Sangia i-Waeroero La Ngajiraja [namanya],
ketiga Sangia i-Lampenano La Faajara [namanya], keempat Sangia i--
Lahulu La Rajangkatu [namanya], kelima Sangia i-Kambowa La Siribaja
(namanya], keenam Sangia i-Gundu-Gundu La Kandawa [namanya],
ketujuh Sangia Lantogau La Mantara [namanya], dan kedua lapan Sangia
i-Wawonowo yaitu Wa Salangi [namanya].
Maka tersebut pula riwayat La Kabaura beristri dengan Wa
Bunganila anak Murhum juga. Maka La Kabaura dan Wa Bunganila
beranak dua orang laki- laki; pertama Lalaki Mancuana i-Kumbewaha La
Bula [namanya] kedua sangia i-Tapi-Tapi La Singka [namanya]. Dan lagi
anaknya dari Maluku Kapitalao Ali [namanya].
Maka tersebut pula riwayat lalaki mancuana beristri dengan Wa
Lambencugi maka beranak tiga orang, dua orang laki-laki dan seorang
perempuan; pertama Mosabuna i-Kumbewaha La Buke [namanya], kedua
Ibubaanalanda [namanya], dan perempuan itu
Mandawanigantarasanggaranabati [namanya]. Dan lagi anaknya lalaki
mancuana dengan perempuan yang lain anak menteri Katapi Wa Wanaaja
namanya, beranakkan La Napaati [namanya] yaitu Kasawari. Dan lagi
istri lalaki mancuana Wa Ninisingka kaum Peropa maka beranakkan
Sapati Baaluwu La Arafaani [namanya].
Maka tersebut pula riwayat Sangia Tapi-Tapi beristri dengan anak
437
Abdul Wahid yaitu Balu i-Tete namanya maka beranakkan empat orang,
tiga orang laki-laki dan seorang perempuan; pertama kapitan Mutanga
bernama La Nuuru, (kedua) Mokawana Lelena bernama La Nisuru, ketiga
Kenepulu Lowu-Lowu bernama La Rasa, (dan) keempat Baluna Tete
Maka tersebut pula riwayat Mosabuna i-Kumbewaha beristri dengan
Wa Ode Torisi anak sangia i-Labalawa beranak seorang laki-laki Igogoli
i-Waruruma [namanya]. Maka Gogoli Waruruma beristri Iwapatanga
anaknya Mosabuna i-Lea-Lea maka beranak lima orang, tiga orang laki-
laki dua orang perempuan; pertama yarona Sura Wolio, kedua raja
Batauga, ketiga raja Agama Sulthan Mazhar AI-Din La Tumparasi,
keempat Wa Ode Sampela, (dan) kelima Wa Ode Torisi. Maka tersebut
pula riwayat Lebay Pangulu beristri dengan anaknya Tulamiwa maka
beranakkan dua orang laki-laki seorang perempuan [satu] yaitu paapana
Moposuruna Arataana dan laki-laki itu Lebay i-Daoa.
Dan lagi riwayat Lebay i-Daoa beranak dua orang laki-laki; pertama
Imam Malanga, kedua La Ode Banui tiada beranak. Maka Imam Malanga
beranakkan tiga orang perempuan; pertama Wa Didi i-Lampanana, kedua
Wa Didi i-Dasiyoa, ketiga baluna Sura Wolio. Maka baluna Sura Wolio
bersuami dengan anaknya Gogoli Waruruma maka beranakkan dua
orang, seorang laki-laki dan seorang perempuan; pertama hatibi
Kokalukuna, kedua Wa Ode Wolowa [namanya]. Maka Wa Ode Wolowa
beranak seorang perempuan Baluna Kamam [namanya] tiada beranak.
Maka hatibi Kokalukuna beristri dengan anak Sangia i-Manuru maka
beranak seorang perempuan Wa Ode Bombowa namanya. Dan lagi Wa
Ode Bombowa bersuami dengan kapitan laut yang ditembak oleh Walanda
maka beranakkan seorang perempuan oputa balu i-Wandailolo yaitu Wa
438
Ode Buna [namanya]. Maka Wa Ode Buna bersuami dengan oputa
mosabuna i-Wandailolo maka beranak enam belas orang, sepuluh orang
laki-laki dan enam orang perempuan; pertama, oputa mosabuna
Labalawa La Ode Dam [namanya], kedua, raja Lasalimu i-Bau-Bau La
Ode Ruwahi [namanya], ketiga, raja Lolibu iLoji La Ode Sada
[namanya], keempat, raja Watumotobe i-Munara La Ode Tobelo
[namanya], kelima, raja Bola i-Tambina Maa La Sonte La Ode Sarangka
[namanya], keenam, raja Wolowa i-Uwe La Ode Sidamangura
[namanya], ketujuh, yarona Bewe La Ode Jurutulisi [namanya], kedua
lapan, yarona Bamba i-bantea La Ode Abas [namanya], kesembilan,
Kokalukuna La Ode Nanti [namanya], kesepuluh, yarona Takimpo La Ode
Sapala [namanya], kesebelas, baluna Lakologou Wa Ode Torisi
[namanya], kedua belas, yarona Kalanda Wa Ode Huna [namanya],
ketiga belas, yarona Bola Wa Ode Sinta [namanya], keempat belas,
yarona Kalanda Wa Ode Sapati [namanya], kelima belas, Wa Ode
Liumani [namanya], [dan] keenam belas, Wa Ode Kamila [namanya].
Dan lagi dan anaknya oputa Mosabuna i-Wandailolo dua orang laki-laki;
pertama, La Ode Labili, kedua, La Ode Irawa [namanya] yaitu yarona
Labalasu. Dan lagi Wa Ode Bumbu bersuami dengan yarona Lowu-Lowu
La Ode Hasani [namanya] anaknya raja Lea-Lea maka beranakkan enam
orang, dua orang laki-laki dan empat orang perempuan; pertama, La Ode
Sepa [namanya], kedua, La Ode Asamana [namanya], ketiga, perempuan
itu Wa Ode Waruruma [namanya], keempat, Wa Ode Teba [namanya],
kelima, Wa Ode Pasi, [dan] keenam, Wa Ode Inaana. Dan lagi anaknya
La Ode Hasan dengan perempuan yang lain lima orang laki-laki;
pertama, La Ode Lani, kedua, La Ode Labasa, [namanya], ketiga, La Ode
439
Landawuma, keempat, La Ode Larubaa [namanya], [dan] kelima, La Ode
Maliwunga [namanya].
Dan lagi riwayat oputa Mosabuna i-Baaluwu beristri dengan anaknya
oputa Lakina Agama Mancuana bernama Wa Ode Mapute maka
beranakkan sebelas, orang tujuh orang laki-laki dan empat orang
perempuan; Pertama, raja Tiworo [bernama] La Ode Muhammad, kedua,
raja Todanga [bernama] La Ode Ganaparasi, ketiga, raja Lasalimu
[bernama], La Ode Imana, keempat, raja Wolowa [bernama] La Ode
Ramuli, kelima, [raja] Lolibu [bernama] La Ode Saadati, keenam,
Kenepulu [bernama] La Ode Habasanasa, ketujuh, La Ode Hanifa, kedua
lapan, oputa Mobolina Kamalina i-Baadia [bernama] Wa Ode Baai,
kesembilan raja Holimombo perempuan [bernama] Wa Ode Bintangsari,
kesepuluh, Baluna Kapitan Lao [bernama] Wa Ode Ida, [dan] kesebelas,
Wa Ode Rarambia.
Dan lagi riwayat raja Tiworo La Ode Muhammad beristri dengan
anaknya raja Lasalimu i-Bau-Bau [bernama] Wa Ode Jabal Arafa maka
beranak tujuh orang, dua orang laki-laki dan lima orang perempuan;
pertama, La Ode Abdul Al-Samad [namanya], kedua La Ode Saleh
[namanya], ketiga Wa Ode Baluogena, keempat Wa Ode Bulumomate,
kelima Wa Ode Bulukadana, keenam Wa Ode Ngkito, [dan] ketujuh Wa
Ode Kalakamba [namanya].
Dan lagi riwayat raja Todanga [bernama] La Ode Ganapirusu
beristri dengan anaknya yarona Kalanda i-Wawolima yang beranak[an]
Wa Ode Siti Maladiri maka beranak lima orang, empat orang laki-laki
seorang perempuan; pertama laki-laki belum ada namanya, kedua, Saleh
[namanya], ketiga Abdul Al-Ghaniy [namanya], keempat laki-laki belum
440
ada namanya, [dan] kelima Wa Ode Dambe [namanya]. Dan lagi anaknya
kepada perempuan yang lain lima orang, dua orang laki-laki dan tiga
orang perempuan; pertama Abdul Malik [namanya], kedua yarona
imamuna Sura Wolio Liabe [namanya], ketiga Wa Usukuwa [namanya],
keempat Wa Buku [namanya], [dan] kelima Pamariia [namanya].
Dan lagi riwayat raja Lolibu i-Loji beristri dengan anaknya oputa
Lakina Agama Mancuana yang bernama Wa Ode Ulia maka beranak
sembilan orang, empat orang laki-laki dan tujuh orang perempuan;
pertama La Ode Jawari [namanya], kedua yarona Kaedupa La Ode
Japere [namanya], ketiga raja Lawele Abdullah [namanya], keempat
tiada namanya, kelima Wa Ode Kampoilea, keenam Wa Ode
Saharabaanana, ketujuh yarona Wasaga Wa Ode Amalami, kedua lapan
Aisyah [namanya], kesembilan Mandara [namanya], kesepuluh Wa
Lapurui dari Melay, (dan) kesebelas Wa Ode Hajar [namanya].
Dan lagi riwayat [bernama] La Ode Pere beristri dengan Wa Ode
Nanti yarona Lele maka beranak sepuluh orang, lima orang laki-laki dan
lima orang perempuan; pertama Abdul Haim [namanya], kedua La
Indala. Dan lagi kepada perempuan i-Lombe. Dan lagi anaknya kepada
perempuan yang lain enam belas orang, sembilan orang laki-laki tujuh
orang perempuan; pertama La Panguju, kedua La Tami, ketiga Ibadi,
keempat Isak, kelima Qayim, dan empat belum ada namanya, dan
perempuan itu; pertama Wa Ngkida, kedua Wa One, ketiga Amala,
keempat Quraisi kelima Wa Kana, keenam Wa Taibi, (dan) ketujuh belum
ada namanya.
Dan lagi riwayat raja Lawele bernama Abdullah beristri dengan Wa
Ode Sarimudana anaknya yarona Bombona Wulu La Ode Andaraja maka
441
beranak dua orang perempuan; pertama Wa Ode Ayisya [namanya],
kedua Wa Ode Hadia [namanya). Dan lagi anak raja Lawele kepada
perempuan yang lain dua orang laki-laki; pertama La Ode Koni
[namanya], (dan) kedua La Ode Fii [namanya].
Dan lagi riwayat raja Holimombo bernama La Ode Tia beristri
dengan anaknya oputa Mosambuna i-Baaluwu [yang bernama] Wa Ode
Bintangsari maka beranak enam orang, dua orang laki-laki dan empat
orang perempuan; pertama raja Kamelanta [bernama] La Ode Abdul
Karim, kedua La Ode Bula [namanya], ketiga Wa Ode Habiba, keempat
raja kapita perempuan [bernama] Wa Ode Enge, kelima Wa Ode Bula,
(dan) keenam Wa Ode Hajar [namanya).Dan lagi riwayat Wa Ode Ayisya
bersuami dengan yarona Bombona Wulu La Ode Baaluwu anaknya raja
Lasalimu i-Bau-Bau maka anaknya empat orang, seorang laki-laki dan
tiga orang perempuan; pertama La Ode Budi [namanya], kedua Wa Ode
Gantea [namanya], ketiga Wa Ode Ruhaana, (dan) keempat Wa Ode Keda
[namanya].
Dan lagi riwayat Wa Ode Mili bersuami dengan yarona Wasaga
[bernama] La Ode Jiwa anaknya kapitalao Inulu maka beranak empat
orang perempuan; pertama Wa Ode Ngkana, kedua Wa Ode Ngkoba,
ketiga Wa Ode Baa, (dan) keempat Wa Ode Sangka [namanya].
Dan lagi riwayat raja Lasalimu i-Bau-Bau beristri dengan anaknya
Kapitalao Wolowa [bernama] Wa Ode Mangura maka beranak empat
orang, tiga laki-laki dan seorang perempuan; pertama La Ode
Pirancumani [namanya], kedua yarona Lambelu [bernama] La Ode
Harisi, ketiga yarona Bombona Wulu [bernama] La Ode Baaluwu,
keempat raja Tiworo bawine [bernama] Wa Ode Jabal Arafa. Maka
442
yarona Lambelu beristri dengan Wa Ode Malam Cahaya beranakkan dua
orang, seorang laki-laki dan seorang perempuan; [bernama] Wa Ode
Pameri [namanya]. Maka yarona Lambelu bercerai dengan Wa Ode
Malam Cahaya maka beristri pula dengan Wa Ode Pitiri anaknya raja
Lasalimu Haji Sulaiman. Dan Wa Ode Pitiri Tene-Tene dengan yarona
Lambelu beranakkan seorang perempuan Wa Ode Saleha [namanya].
Dan lagi riwayat raja Watumotobe La Ode Tobelo beristri dengan Wa
Ode Enu anaknya raja Wolowa i-Lelemangura. Maka Wa Ode Enu
beranak seorang laki-laki bernama La Ode Labunta [namanya]. Maka
bercerai raja Watumotobe dengan Wa Ode Enu sebab matinya maka
beristri dengan Wa Ode Ili anak(nya] yarona Tobe-Tobe La Ode Hanaa
(namanya]. Maka Wa Ode Ili beranak empat orang, dua orang laki-laki
dan dua orang perempuan; pertama Abdul Aziz (namanya], kedua raja
Bombona Wulu La Ode Yaafi (namanya], ketiga raja Lele perempuan Wa
Ode Yasilaa [namanya], keempat raja Bumbu perempuan Wa Ode Shafia
(namanya]. Dan lagi anaknya raja Tobe-Tobe dengan perempuan yang
lain; pertama raja Baruta [bernama] La Ode Hulubala, kedua La
Galampa, ketiga Hangatuatua, keempat Malabai, kelima Abubakar,
keenam La Wune, ketujuh yarona Kondowa [bernama] Iwanasi, kedua
lapan raja kapita [bernama] Hasim, kesembilan Wa Ode Noi, kesepuluh
Wa Ode Daambe, kesebelas Wa Ode Rinawo, kedua belas Wa Ode
Maparawa, ketiga belas Wa Ode Onda, keempat belas Wa Ode Naasiri,
kelima belas Wa Ode Kalima, (dan) keenam belas Wa Ode Asia.
Dan lagi riwayat raja Wolowa beranak dua orang seorang laki-laki
dan seorang perempuan. Laki-laki itu yarona Kambe-Kambero La Ode
Siadi [namanya], dan perempuan itu kenepulu perempuan [bernama] Wa
443
Ode Wia. Maka bersuami dengan kenepulu [bernama] La Ode Nuhu.
Maka Wa Ode Wia beranak tujuh orang, enam orang perempuan dan
seorang laki-laki bernama La Ode Adirisa (namanya]. Dan lagi yarona
Kambe-Kambero beranak dua orang, seorang laki-laki dan seorang
perempuan; pertama Salman, (dan) kedua Wa Bunu.
Dan lagi riwayat yarona Bewe beranak tujuh orang, empat orang
laki-laki tiga orang perempuan; pertama La Ode Tara, kedua La Ode
Makali, ketiga yarona Kamelanta La Ode Balubi (namanya], keempat La
Ode Pata, kelima Wa Ode Kambi, keenam Wa Ode Sahafina, (dan) ketujuh
Wa Ode Kalanda. Dan lagi yarona Bumbu i-Bente La Ode Abas beristri
dengan Wa Ode Ncawaka anaknya raja Inulu, maka Wa Ode Ncawaka
beranakkan dua lapan orang, lima orang laki-laki tiga orang perempuan;
pertama La Ode Nurdin, kedua sapati raja Lakudo [bernama] La Ode
Ngkonawe, ketiga raja Todanga [bernama] La Ode Bahaman Ali, keempat
yarona Todanga La Ode Thalibu (namanya], kelima raja Lele La Ode
Muhammad (namanya], keenam oputa Bola Wa Ode Mpata, ketujuh raja
Lolibu perempuan (bernama] Wa Ode Hatiba, (dan) kedua lapan Wa Ode
Kapute [namanya]. Dan lagi anaknya yang lain La Ode Barata
[namanya].
Dan lagi riwayat yarona Kokalukuna beristri dengan La Ode Dewa
maka beranak lima orang; pertama La Ode Pota, kedua La Ode llaihi,
ketiga La Ode Sirina, keempat La Ode Gaa, kelima Wa Ode Manta [maka
beranak]. Maka yarona Kokalukuna beristri pula dengan anaknya yarona
Lipu Malanga maka beranak seorang laki-laki
bernama La Ode Tabu (namanya]. Maka La Ode Tabu beristri
dengan anak[nya] yarona Wasilomata maka beranak seorang perempuan
444
Wa Ode Imbiimbi [namanya]. Da lagi anaknya yang lain tiga orang
perempuan; pertama Wa Ode Pinda, kedua Wa Ode Taha, (dan) ketiga
Wa Ode Jahi.
Dan lagi riwayat yarona Takimpo La Ode Sapala beristri dengan Wa
Ode Maupulu maka beranak[nya] seorang laki-laki bernama La Ode
Baho [namanya]. Dan lagi anak(nya] La Ode Talu dan raja Wolowa
perempuan Wa Ode Besiteo [namanya] dan Wa Ode Rasi [namanya]. Dan
lagi Lakina Kokalukuna tiada beranak.
Dan lagi riwayat Wa Ode Hana bersuami dengan yarona Kalanda i-
Walalami yang bernama La Ode Sarafi maka beranak lima orang, dua
orang laki-laki tiga orang perempuan; pertama hatibi Kaluku [bernama]
La Ode Iri, kedua raja Wolowa (bernama] La Ode Muhammad, ketiga Wa
Ode Siti Maladari, keempat Wa Ode Towe, (dan) kelima Wa Ode Tuni.
Dan lagi riwayat Wa Ode Sunati bersuami dengan yarona Bola
[bernama] La Ode Sinta maka beranak empat orang" dua orang laki-laki
dan dua orang perempuan; pertama yarona Wasuemba perempuan
(bernama] Wa Ode Narija, kedua Wa Ode Mboja, ketiga La Ode Bula,
(dan) keempat La Ode Miimu.
Dan lagi riwayat Wa Ode Sampati beristri dengan yarona Kaedupa
[bernama] La Ode Lincada maka beranak empat orang, tiga orang laki-
laki dan seorang perempuan; pertama La Ode Sangka, kedua raja
Kaedupa [bernama] La Ode Daa, (dan) ketiga La Ode Subali. Maka
bercerai dengan dia maka bersuami pula dengan raja Lasalimu Haji
Sulaiman maka beranak seorang perempuan yang bernama Wa Ode Teni.
Maka Wa Ode Teni bersuami dengan raja Wolowa maka beranakkan tiga
orang, dua orang laki-laki dan seorang perempuan; pertama yarona Tete
445
(bernama] La Ode Arabu, kedua La Ode Qasimu, (dan) ketiga Wa Ode
Sirikumala (namanya).
Maka tersebut pula riwayat raja Batauga beristri dengan anaknya
raja Kokalukuna maka beranak seorang laki-laki raja agama La Mami
(namanya). Maka raja agama beranakkan empat belas orang tetapi
sepuluh mati tinggal empat orang laki-laki; pertama bapa La Libu, kedua
raja Kamelanta bapa La Ode Nui, ketiga raja Kamelanta bapa Wa Liina,
(dan) keempt raja agama La Onda.
Seperkara lagi raja Batauga beristri dengan anak[nya) sangia i-
Kopea maka beranak seorang perempuan Wa Ode Bungku [namanya).
Maka Wa Ode Bungku bersuami dengan raja Koroni maka beranak
seorang perempuan Wa Musombi namanya. Maka Wa Musombi bersuami
dengan seorang raja Koroni maka beranakkan empat orang, dua orang
laki-Iaki dan dua orang perempuan; pertama yarona Wasaga La Ntai
[namanya), kedua raja Koroni Sombintalanga, (dan) ketiga Wa Ode
Saramalapi [namanya).
Seperkara lagi raja Batauga beristri dengan anak raja Liahura maka
beranak seorang perempuan baluna Bombona Wulu [namanya). Maka
baluna Bombona Wulu beranak tiga orang, seorang perempuan dua orang
laki-laki; pertama raja Baraahi [namanya), kedua Sajahateri [namanya),
(dan) ketiga Wa Nuri [namanya). Maka raja Baraahi beranak seorang
laki-Iaki Rajunaa namanya. Maka Wa Ode Nuru bersuami dengan raja
Inulu beranak seorang laki-Iaki yarona Batauga La Rabu [namanya).
Maka bercerai dengan Wa Ode Nuru dengan raja Inulu. Maka bersuami
pula dengan raja Lawele maka beranak dua orang laki-Iaki; pertama
Sabandara Masati [namanya), kedua yarona Baruta Baahira [namanya).
446
Maka Sajahateri bersuami dengan raja Inulu maka beranak seorang laki-
Iaki Haandasa namanya.
Maka tersebut pula riwayat bapa Lolibu maka beranakkan tujuh
orang; empat orang laki-laki dan tiga orang perempuan; laki-laki itu tiada
beranak dan seorang perempuan tiada beranak.
Maka tersebut pula riwayat Wa Rakeo bersuami dengan yarona
imamuna Sura Wolio [yang bernama) La Tambia maka beranak seorang
laki-laki La Ida namanya. Maka bercerai dengan yarona imamuna Sura
Wolio maka bersuami dengan yarona Sampolawa maka beranakkan
seorang laki-laki La Marisi namanya. Maka La Marisi beristri dengan Wa
Mangulea [namanya].
Maka tersebut pula riwayat Wa Unuda bersuami dengan yarona
Wasilomata [bernama] La Sori maka beranakkan sembilan orang, lima
orang sudah mati, empat orang yang hidup; pertama yarona Kokalukuna
La Ode Ide [namanya], kedua La Panca [namanya], ketiga raja Laompo
La Ode Rajaluwu [namanya], (dan) keempat baluna Bumbu Wa Kia
[namanya). Maka baluna Bumbu beristri dengan yarona Lowu-Lowu La
Ode Parangka maka beranak seorang laki-laki Kawaowe namanya. Maka
bercerai dengan yarona Lowu-Lowu sebab matinya. Maka bersuami pula
dengan raja Bumbu [bernama] La Ode Mandi maka beranak empat
orang, dua orang perempuan dua orang laki-laki; pertama yarona Kaluku
La Imbu [namanya], kedua yarona Luwo-Lowu La Pala [namanya],
ketiga Wa Daode [namanya], (dan) keempat Wa Hoga [namanya).
Maka tersebut pula riwayat raja Kamelanta bapa La Danuwi
[namanya] beristri dengan anak[nya] raja Lambelu maka beranak dua
lapan orang, empat orang laki-Iaki dan empat orang perempuan; pertama
447
La Galu, kedua La Jamalu, ketiga La Cica, keempat La Puta, kelima Wa
Rapi, keenam Wa Sahada, ketujuh Wa Salamata, (dan) kedua lapan Maa
Harami.
Maka tersebut pula riwayat raja Kamelanta bapa Wa Liina maka
beranakkan sepuluh orang, tiga orang laki-laki tujuh orang perempuan;
pertama La Ntuga [namanya], kedua La Kuusi [namanya], ketiga La
Wakuu [namanya], keempat Haasapi [namanya], kelima Wa Liima
[namanya], keenam Wa Wau [namanya], ketujuh Wa Podi [namanya]
kedua lapan Wa Rakiba [namanya], kesembilan Kasiaani [namanya],
(dan) kesepuluh Wa Teolawo [namanya]. Maka La Ntuga beranak
seorang laki-Iaki La Mahmud namanya.
Maka tersebut pula riwayat raja agama La Wanda beristri dengan
anak[nya] raja Wolowa bernama Wa Ode Hawu maka beranakkan enam
orang, lima orang laki-laki seorang perempuan; pertama raja Lowu-Lowu
La Santi [namanya], kedua imamu La Bantulaka, ketiga La Kamata
[namaya], keempat yarona imamu La Malape [namanya], kelima La
Danga [namanya], (dan) keenam yarona Todanga Wa Muhu [namanya].
Maka bercerai dengan Wa Ode Hawu sebab matinya, maka beristri
dengan baluna Burangasi maka beranak empat orang, seorang laki-Iaki
tiga orang perempuan; pertama laki-laki itu raja Manguntu [namanya],
kedua raja Bataraguru [namanya], yaitu kapitalao Lolibu. Maka
Kapitalao Lolibu beristri dengan paapana La Tugho maka beranak
seorang perempuan bernama Wa Ode Wioka [namanya]. Maka beristri
dengan baluna Burangasi Wa Ode Tanailandu [namanya] maka beranak
seorang laki-Iaki La Torisi [namanya]. Maka Wa Ode Wioka bersuami
dengan yarona Burukene [bernama] Abdul Rahman maka beranak tujuh
448
orang, enam orang laki-laki seorang perempuan tetapi yang tiga orang
tiada beranak, tinggal empat orang beranak; pertama raja Wasilomata
yang kena peluru La Pajere [namanya], kedua yarona kapitalao
Kumbewaha Abdul AI-Ghani [namanya], ketiga raja Wasilomata yang
kena peluru La Gamba [namanya], keempat yarona Tobe- Tobe La
Kaadiri [namanya].
Maka tersebut pula riwayat raja Wasilomata yang kena peluru maka
beranak seorang laki-Iaki yang amat putih yang bernama La Dongkulo.
Dan lagi raja Wasilomata yang kena peluru maka beranak dua orang,
seorang laki-Iaki itu raja Sura Wolio Cali namanya dan perempuan itu
Wa Budami [namanya].
Maka tersebut pula riwayat yarona kapitalao Kumbewaha maka
beranak dua orang laki-laki; pertama raja Bombona Wulu [bernama] La
Cibolo, kedua yarona Batauga [bernama] La Aka.
Dan riwayat yarona Tobe-Tobe La Kaadiri maka beranak seorang
laki-laki yarona Kalanda bernama La Siraja [namanya]. Dan lagi
anaknya sapati Kumbewaha dengan perempuan yang lain nama anaknya
itu Wa Tanga [namanya]. Maka beranak pula kepada perempuan yang
lain paapana Wa Kudi [namanya]. Maka beranak gundi-gundinya orang
Kembewaha dua orang, seorang laki-Iaki dan seorang perempuan; [dan]
perempuan itu baluna imamu [namanya] dan laki-Iaki itu La Ode Lasinta
[namanya].
Dan lagi riwayat La Ode Torisi beristri dengan anak[nya] bapa La
Mbala maka beranak empat orang, dua orang laki-Iaki dua orang
perempuan; pertarna La Ode Wingke [namanya], kedua La Ode Moloku,
ketiga Wa Ode Bawa [namanya], (dan) keempat Wa Ode Dangguri
449
[namanya]. Maka La Ode Torisi beristri pula dengan anak[nya] raja
Walowa maka beranak seorang perempuan bernama Wa Ode Abadi
[namanya].
Maka tersebut pula riwayat Rajamanguntu maka beranak tiga orang,
seorang laki-Iaki dua orang perempuan; pertama La Dani [namanya],
kedua Barancilai [namanya], (dan) ketiga Wa Ode Wau [namanya].
Maka tersebut pula riwayat Bubaana beranak seorang laki-Iaki
kenepulu La Salimu namanya. Maka kenepulu La Salimu beristri dengan
anak(nya) kapulangku maka beranak seorang perempuan. Adapun
perempuan itu beranamakan dua orang; pertama sabandara raja Lolibu,
dan kedua yarona Kaedupa. Maka kenepulu Lasalimu beristri pula dengan
perempuan yang lain anak raja Lohia [yang bernama] Wa Ode Lohia
maka beranak seorang laki-Iaki bernama Sapati Torisi. Maka Sapati
Torisi beranak seorang maka beristri dengan anak[nya] imamu yang
tinggi maka beranak tiga orang, dua orang laki-Iaki dan seorang
perempuan; pertama imam yang tua, kedua sapati yang ditembak oleh
Walanda, dan perempuan itu baluna Sura Wolio. Dan anaknya kepada
gundinya tiga orang, dua orang laki-laki dan seorang perempuan;
pertama yarona Burangasi, kedua yarona kenepulu, ketiga perempuan
paapana yarona imamuna Sura Wolio. Dan lagi beristri pula Gogoli
Waruruma dengan anak[nya] Gogoli Liwuto maka beranak dua orang
perempuan; pertama baluna Kumbewaha [namanya], kedua paapana
baluna sapati Bualangana yaitu Wa Ode Samua [namanya].
Maka tersebut pula riwayat Wa Ode Samua bersuami dengan sapati
Kalanda maka beranakkan seorang perempuan yaitu baluna sapati
Bualangana. Maka bersuami dengan yarona Inulu yang buta maka
450
beranak seorang perempuan bapanya Bualangana [namanya]. Maka Wa
Ode Samua bersuami dengan raja Burangasi maka beranak seorang laki-
laki raja Bombona Wulu [namanya]. Maka raja Bombona Wulu beristri
dengan anak[nya] raja Batauga maka beranakkan tiga orang, seorang,
laki-Iaki dua orang perempuan; pertama raja Beraahi [namanya], kedua
Wa Ode Nuri [namanya], ketiga Sejahatari [namanya]. Dan lagi anaknya
( dengan) perempuan yang lain dua lapan orang; lima orang laki-laki tiga
orang perempuan; pertama Haira (namanya], kedua Besaana (namanya],
ketiga La Pamarui (namanya], keempat Badui (namanya], kelima Hadida
(namanya], keenam Wa Lanapi (namanya] ketujuh Tanamaana
(namanya], (dan) kedua lapan Alahari (namanya].
Maka tersebut pula riwayat anak(nya] Gogoli Waruruma bersuami
dengan yarona Kumbewaha dengan anaknya yang lain dari Maluku
beranak empat orang, tiga orang laki-laki dan seorang perempuan;
pertama yarona kenepuJu (namanya], kedua kenepulu Komba-Komba,
ketiga kenepulu i-Baaluwu, keempat, baluna sabandara tiada beranak i-
Komba-Komba. Maka kenepulu iBaaluwu beristri dengan anak(nya]
menteri Gama (namanya]. Maka La Ode Gama beristri dengan Wa Ode
Atati maka beranak(kan)(nya] seorang laki-laki Masakaala (namanya].
Maka beristri dengan Wa Ode Nuri beranak dua orang laki-laki; pertama
La Ode Masatisu (namanya], (dan) kedua La Ode Bahari (namanya].
Maka La Ode Bahari beristri dengan Wa Wani maka beranak dua orang,
seorang laki-laki dan seorang perempuan. Maka La Ode Masatisu beristri
dengan Wa Ode Poasia maka beranak dua orang perempuan pertama Wa
Ode Udei (namanya], (dan) kedua Wa Ode Tambaga (namanya). Dan lagi
anaknya Masatisu kepada perempuan yang lain Wa Ode Anakara
451
(namanya].
Maka tersebut pula riwayat yarona kenepulu maka beristri dengan
anak( nya] sangia i-Manuru maka beranak lima orang, tiga orang laki-
laki dua orang perempuan; pertama yarona Kasaka (namanya], kedua
Sangia Lawalangke, ketiga raja Kumbewaha, keempat baluna kapitalao
(namanya], kelima raja Lasehao perempuan (namanya) tetapi kedua(nya)
perempuan itu tiada beranak. Maka yarona Kasaka beranak tiga orang
laki-Iaki; pertama La Kharuju (namanya), kedua La Kampi (namanya),
(dan) ketiga La Hada (namanya). Maka raja Kumbewaha beranak
seorang perempuan Hasaria namanya. Maka sangia iLawalangke beristri
dengan anak(nya) sangia i-Wolowa maka beranak seorang perempuan Wa
Ode Rimana (namanya). Dan lagi anak yarona kenepulu kepada
perempuan yang lain dua orang, seorang perempuan dan seorang laki-
Iaki tetapi perempuan itu tiada beranak, dan laki-Iaki itu hatibi Tumada.
Maka hatibi Tumada beristri dengan anak(nya) sangia i-Manuru maka
beranak seorang perempuan Ismaa namanya. Maka Ismaa bersuami
dengan Datasi maka beranak tiga orang laki-Iaki dan seorang
perempuan; pertama La Diri (namanya), (kedua) La Ide (namanya), (dan)
ketiga Wa Bakia (namanya]. Dan lagi anaknya kepada gundinya empat
orang, tiga laki-Iaki seorang perempuan; pertama La Diri (namanya),
kedua La Sariga (namanya), ketiga La Inaina (namanya), (dan) keempat
Wa Maliki (namanya). Maka La Inaina beranak tiga orang, dua orang
laki-Iaki seorang perempuan; pertama La Mpida (namanya), kedua Wa
Lasudu (namanya), ketiga Wa Diritaji (namanya) dan lagi anak(nya)
yarona kenepulu seorang laki-Iaki La Ode Siompuna (namanya].
Maka tersebut pula riwayat Kasoria beristri dengan Wa Ode Wabini
452
anak(nya) sangia i-Labalawa maka beranak seorang laki-Iaki sangia i-
Pati (namanya). Maka sangia i-Pati beranak empat orang laki-Iaki;
pertama raja Kaedupa yang (bernama) Wa Miwa, kedua raja Kaedupa
Galampata Malangka, ketiga raja Kaedupa yang mati Kalampata, (dan)
keempat raja Kaedupa Wande-Wande.
Maka tersebut pula riwayat sapati Baaluwu beristri dengan anak(nya]
sangia i-Gundu-Gundu maka beranakkan empat orang, tiga orang
perempuan dan seorang laki-laki; pertama Kabumbu Malanga (namanya],
kedua Wa Odeode Karawu (namanya], ketiga paapana Soromba
(namanya], (dan) keempat paapana La Mana. Dan lagi paapana La Nsiri
(namanya dan], paapana Sahabati (namanya dan], Wa Ode Sope
(namanya dan] Wa Ode Koroni (namanya dan lagi] baluna Sora Wolio
(namanya dan], sapati Wa Ode Wau (namanya], dan bapa La Takalangi
(namanya].
Maka tersebut pula riwayat Kabumbu Malanga beristri dengan anak(
nya] Gogoli Liwuto maka beranak seorang laki-laki yaitu sangia i-
Manuru (namanya]. Dan lagi anaknya Kabumbu Malanga kepada
perempuan yang lain dua lapan orang, tujuh orang laki-laki dan seorang
perempuan; pertama yarona Kamaru, kedua sapati Kumbewaha, ketiga
Junaida, keempat yarona Laboora, kelima yarona Inulu, keenam bapa
Ramujangi, ketujuh sangia i- Tobe- Tobe, (dan) kedua lapan Wa Ode Bola
(namanya].
Maka tersebut pula riwayat sangia i-Manuru beristri dengan
anak(nya] Wolowa yang bernama Mobolina Kamalina maka beranak dua
lapan orang; pertama sangia i- Wolowa, kedua raja Laompo, ketiga raja
Lia, keempat La Kaaka, kelima balu i-Kopea, keenam balu i-Kowa-Kowa,
453
ketujuh yarona Kumbewaha, (dan) kedua lapan paapana raja Lawele.
Dan lagi anaknya kepada orang lain sembilan belas orang; pertama La
Ode Bante, kedua raja Baruta, ketiga raja Sora Wolio, keempat yarona
Bola, kelima yarona Tobe-Tobe, keenam La Ode Halisi, ketujuh La Ode
Mbatari, kedua lapan oputa baluna agama, kesembilan baluna Burangasi,
kesepuluh baluna kenepulu, kesebelas baluna Kaedupa, kedua belas
baluna Kolencucu, tiga belas baluna Kambe-Kambero, keempat belas
paapana raja Wuna La Ode Harisi, kelima belas Wawoliwu, keenam belas
paapana Amali, ketujuh belas paapana La Daga, kedelapan belas La Ode
Siomala, (dan) kesembilan belas belum ada namanya.
Maka tersebut pula riwayat sangia i-Wolowa beristri dengan baluna
kenepulu maka beranak seorang laki-Iaki yang bernama La Ode Lawa.
Dan lagi sangia i-Wolowa beristri pula dengan anak[nya] kapitalao
Kamaru Harikiama yang bernama balu i-Wadolao maka beranak sepuluh
orang, empat orang laki-Iaki enam orang perempuan; pertarna kapita
Batauga, kedua kapitalao Wolowa, ketiga raja Baruta, keempat raja
Wolowa, kelima Wa Ode Piu, keenam Wa Ode Binta, ketujuh Wa Ode
Kuba, kedua lapan Wa Ode Salia, kesembilan yarona Lowu-Lowu
perempuan, (dan) kesepuluh oputa Balu i-Lawalangke.
Maka tersebut pula riwayat Kapita Ibatanga beristri dengan Baluna
Lolibu maka beranak lima orang tiga orang laki-Iaki dua orang
perempuan pertama raja Wolowa La Ode Santila namanya kedua
Kapitana Baruta ketiga raja Lakologou La Ode Kakaali namanya keempat
Wa Ode Haafari kelima Wa Ode Ode namanya.
Maka tersebut pula riwayat raja Laea dengan anak raja Sura Wolio
maka beranak enam orang, empat orang laki-Iaki dua orang perempuan;
454
pertama raja Laea, kedua yarona Kaduwaka, ketiga La Ode Baraba,
keempat kapitalaona Wuna, kelima baluna kapitalao, (dan) keenam
paapana Wa Ode Rawana. Dan lagi anaknya raja Laea kepada
perempuan yang lain tiga orang, seorang laki-Iaki dua orang perempuan;
pertama La Saraha (namanya], kedua Wa Mahiia (namanya], (dan) ketiga
Wa lsa (namanya].
Maka tersebut pula riwayat oputa i-Wasuemba beristri dengan
anak(nya] sangia i-Manuru maka beranak seorang laki-Iaki La Ode
Lawele (namanya] yaitu raja Lawele. Maka raja Lawele beristri dengan
anak imam tua maka beranak dua orang, seorang laki-laki dan seorang
perempuan; pertama La Ode Naga (namanya], (dan) kedua Wa Ode
Kamala (namanya]. Dan lagi beristri pula raja Lawele dengan anak(nya]
yarona Lakudo maka beranak seorang perempuan Wa Jadi (namanya].
Maka tersebut pula riwayat anak(nya] sangia i-Manuru bersuami
dengan yarona kenepulu maka beranak lima orang, tiga orang laki-Iaki
dua orang perempuan; pertama yarona Kasaka, kedua sangia i-
Lawalangke, ketiga raja Kumbewaha, keempat baluna kapitalao, (dan)
kelima raja Lasehao perempuan.
Maka tersebut pula riwayat yarona Laboora beristri dengan anak(
nya] sangia i-Kopea (bernama] Wa Ode Tumada maka beranak seorang
laki-Iaki yaitu oputa Lakina Agama Mancuana La Jampi (namanya].
Maka raja agama beristri dengan anak(nya] oputa sangia i-Manuru maka
beranak tiga orang, dua orang laki-Iaki dan seorang perempuan; pertama
raja Waaleale La Ode Walanda (namanya], kedua oputa Lakina Agama
Ana La Ode Badaru (namanya], (dan) ketiga paapana La Ode Maalim Wa
Ode Balante (namanya]. Dan lagi anaknya kepada baluna barugana
455
Bawona Bata dua orang, seorang laki-Iaki dan seorang perempuan, tetapi
laki-laki itu mati ada kecil dan perempuan itu sapati bawine Wa Ode
Auliaa [namanya]. Dan lagi baluna barugana Kumbewaha beranak dua
orang, seorang laki-laki dan seorang perempuan yaitu; oputa Mosabuna i-
Baaluwu bawine Wa Ode Mpati [namanya dan lagi), raja Mawasangka La
Ode Afaradi [namanya] dan lagi seorang belobarugana Laompo beranak
seorang laki-laki yarona Labalawa Majini La Ode Wiridi [namanya]. Dan
lagi kepada gundinya seorang laki-laki [bernama] raja Kamaru La Ode
Wita [namanya].
Maka tersebut pula riwayat La Ndilebola maka beranak empat orang,
tiga orang laki-laki dan seorang perempuan; pertama raja Batauga yang
mati di tanah Jawa La Ode Paranaaka [namanya], kenepulu Kamaru
yang mati di tanah Mangkasar La Ode Ismail [namanya], ketiga raja
Kamaru La Ode Ishak [namanya], (dan) keempat Wa Ode Raangka
[namanya].
Maka tersebut pula riwayat raja Batauga yang mati di tanah Jawa
maka beranak sembilan orang dua orang laki-laki tujuh orang perempuan
pertama La Ode Suriaana namanya kedua raja Lowu-Lowu Ismaatin
namanya ketiga Baluna Baruta Wa Ode Kampe namanya keempat Baluna
Sabandara Wa Ode Amulia namanya kelima Baluna Kokalukuna Wa Ode
Ani namanya keenam Baluna Kenepulu Wa Ode Hajar namanya ketujuh
paapana La Pota Wa Ode Dewa namanya kedua lapan Haji Sabamba Wa
Ode Sanaga namanya kesembilan Wa Ode Sandi namanya.
Maka tersebut pula riwayat kapitalao Kamaru yang mati di tanah
Mangkasar maka beristri dengan anak[ nya] oputa Lakina Agama Ana
bernama Wa Ode Liha beranak enam orang perempuan; pertama i-Wuna
456
sapati bawine Wa Ode Dawala [namanya], kedua raja Lagadi bawine Wa
Ode Biibi [namanya], ketiga Wa Ode Rangku [namanya], keempat imamu
bawine Wa Ode Habiiba [namanya], kelima Wa Ode Danasima
[namanya], (dan) keenam Wa Ode Batari namanya. Dan lagi anaknya
kepada perempuan yang lain sembilan orang, lima orang laki-Iaki empat
orang perempuan; pertama yarona Waaleale Yakub [namanya], kedua
raja Lambelu La Ntarabi, ketiga La Ngkariirii [namanya], keempat La
Kambisi [namanya], kelima La Daodao [namanya], keenam Wa
Gandamboose [namanya], ketujuh Wa Bula [namanya], kedelapan Wa
Dida [namanya], (dan) kesembilan Wa Kelu [namanya].
Dan lagi riwayat raja Kamaru Ishak tiada beranak. Dan lagi riwayat
Wa Ode Rangku bersuami dengan La Ode Sanabaka anak yarona Lowu-
Lowu maka beranak seorang laki-Iaki bernama La Kanahi [namanya].
Maka tersebut pula riwayat Raja Agama Ana beristri dengan oputa i-
Lampenana maka beranak empat orang, dua orang laki-Iaki dan dua
orang perempuan; pertama raja Watumotobe La Ode Mushaleh
[namanya], kedua Sulthan Qaimuddin Aidurusu [namanya], ketiga
paapana Wa Ode Angkuri Wa Ode Tangkabala [namanya] (dan) keempat
raja Kalende Wa Ode Mihrab [namanya].
Maka tersebut pula riwayat raja Watumotobe La Ode Musyaleh
beristri dengan anak[nya] oputa Mosabuna i-Baaluwu [yang bernama]
Wa Ode Linda maka beristri maka beranak empat orang, dua orang laki-
Iaki dan dua orang perempuan; pertama Wa Ode Limbo [namanya],
kedua yarona Lolibu bawine [bernama] Wa Ode Aisya [namanya], ketiga
yarona Todanga La Ode Abdul Rahim (namanya], (dan) keempat hatibina
Sura Wolio La Ode Muhammad (namanya].
457
Dan lagi anaknya raja Watumotobe tiga orang, dua orang laki-laki
dan seorang perempuan; pertama raja Sura Wolio La Ode Said
(namanya], kedua La Ode Sipala (namanya], dan ketiga Wa Ode Weya
(namanya].
Maka tersebut pula riwayat Sulthan Idrus beristri dengan anak(nya]
oputa Mosabuna i-Baaluwu (bernama] Wa Ode Baau maka beranak tiga
belas orang, lima orang laki-laki dua lapan orang perempuan, pertama La
Ode Abdullah (namanya], kedua Sulthan Qaimuddin bernama Muhammad
Isa, ketiga La Ode Kamaluddin (namanya], keempat raja Lia La Ode
Baadia [namanya], kelima La Ode Umar (namanya], keenam kapitalao
bawine [yang bernama] Wa Ode Maari, ketujuh Wa Ode Hamida, kedua
lapan Wa Ode Siaida, kesembilan baluna Bombona Wulu [bernama] Wa
Ode Salimaa, kesepuluh Wa Ode Tamiima, kesebelas Wa Ode Muhasna,
kedua belas Wa Ode Kamala, (dan) ketiga be1as Wa Ode Imatullah. Maka
mati Sulthan perempuan maka digantikan dua orang pertama Wa Ode
Mapute anak[nya] yarona Bumbu La Ode Abas [namanya] yaitulah oputa
balu i-Bente, dan kedua Wa Ode Siribulae anak[nya] yarona Todanga La
Ode Tiga [namanya], itulah oputa balu i-Baadia. Maka oputa balu iBente
beranak dua orang perempuan; pertama Wa Ode Sauda [namanya], (dan)
kedua Wa Ode Marura [namanya]. Maka oputa balu i-Baadia beranak
tiga orang, dua orang laki-Iaki dan seorang perempuan; pertama raja
Todanga La Ode Miram [namanya], kedua La Ode Muhammad
[namanya], (dan) ketiga Wa Ode Umati (namanya]. Dan lagi anaknya
kepada yang lain Wa Ode Kampamance seorang perempuan Wa Ode
Faatima namanya. Dan lagi Wa Ode Ana seorang perempuan Wa Ode
Hasina namanya. Dan Wa Ode Aminah dua orang laki-Iaki seorang
458
Muhammad Sahri dan (seorang] Muhammad Kubra (namanya]. Dan Wa
Ode Kamali seorang perempuan dan Wa Inga seorang laki-laki Inisi
namanya. Dan lagi anaknya kepada belobarugana Batauga tiga orang
laki-Iaki; pertama Abdullah, kedua La Baluwu, (dan) ketiga Muhammad
(namanya]. Maka belobarugana Busoa enam orang, tiga orang laki-Iaki
tiga orang perempuan; pertama kenepulu i-Bente La Ode Nuha
(namanya], kedua Muhammad, ketiga Tamim, keempat Nafaa, kelima
Zainab, (dan) keenam Salama. Maka belobaruga Kolencucu dua lapan
orang; pertama Ilias (namanya], kedua Abdul Haadi (namanya], ketiga
Daud (namanya], keempat Muhammad Yusuf (namanya], kelima Zahada
(namanya], keenam Lianda (namanya], ketujuh Abadi (namanya], (dan)
kedua lapan Umat Al-Kalam (namanya]. Dan lagi Kolencucu Wasiara
tiga orang; pertama Abadi, (namanya] kedua Yasir, (namanya] ketiga
perempuan Ramlia (namanya]. Dan lagi Kolencucu Walanto seorang laki-
Iaki Maamun namanya. Dan lagi Kolencucu Waina seorang laki-Iaki
Muhammad Gento namanya. Dan lagi Kolencucu bukan belobaruga
seorang yarona Lipu Malanga La Barangka namanya. Dan belobaruga
Burukene enam orang; pertama raja Baadia Harun (namanya] , kedua La
Mpara (namanya], ketiga Jabal (namanya], keempat Haadia (namanya],
kelima Maira (namanya], (dan) keenam belum ada namanya. Dan lagi
belobaruga Liabuku dua orang; pertama Haia (namanya], (dan) kedua
belum ada namanya. Dan lagi belobaruga Kaibaka seorang perempuan
Rabia namanya. Dan lagi Belobarugana Tobe- Tobe tiga orang
perempuan; Wa Bula (namanya], dua orang belum ada namanya. Dan
lagi Kumbewaha Mpada seorang perempuan. Dan lagi belobarugana
Kumbewaha Malanga enam orang; pertama Sulthan Muhammad Saleh
459
(namanya], kedua Iliyas (namanya], ketiga Hadlir (namanya], keempat
Muhammad (namanya], kelima Nuryani (namanya], (dan) keenam Halima
(namanya]. Dan lagi belobarugana Taaluki tujuh orang; pertama
Muhammad, kedua Hakim, ketiga Haris, keempat Shaleh, kelima
Maimuna, keenam Maliha, (dan) ketujuh Razina. Dan lagi belobaruga
Kaesabu seorang Kamaara namanya. Dan lagi belobarugana Laompo
tiga orang; pertama raja Laompo Hawad (namanya], dan dua orang
perempuan belum ada namanya. Dan lagi Wa Umbe seorang perempuan
belum ada namanya. Dan lagi seorang perempuan Aminab namanya. Dan
lagi Wa Lanja dua orang; pertama Abdul AlGhani, (dan) kedua Salama
(namanya]. Dan lagi Wa Sapi dua orang; pertama Abdullah, (dan) kedua
Wa Muumana (namanya]. Dan lagi Wa Hamisi seorang Muhammad
namanya. Dan lagi Wa Lina seorang Amiinah namanya. Dan lagi Wa
Haari seorang Aisya namanya. Dan lagi Wa Kamba seorang La Mbila
namanya.
Dan lagi riwayat paapana Wa Angkuri tiada beranak.
Dan lagi riwayat Wa Ode Mihrab bersuami dengan raja Kalende
[yang bernama] La Ode Gure maka beranak seorang perempuan Wa Ode
Angkuri namanya. Dan lagi anaknya oputa Lakina Agama Ana kepada
gundinya tujuh orang, enam orang perempuan dan seorang laki-laki;
(pertama) Wa Ode Kadapi, kedua Wa Ode Bira (namnya], ketiga Wa Ode
Lawa (namanya], keempat Wa Ode Laha (namanya], kelima Wa Ode
Mancari (namanya], keenam Wa Ode Hadijah (namanya], (dan) ketujuh
La Ode Bata (namanya]. Dan lagi anaknya oputa Lakina Agama Raja
Wawoangi La Ode Jahana (namanya). Dan lagi anaknya La Ode Ntala
(namanya]. Dan lagi Wa Lati (namanya].
460
Dan lagi riwayat Wa Ode Kadapi bersuami dengan La Ode Riba
maka beranak dua orang perempuan; pertama Wa Ode Bakara
[namanya], (dan) kedua Wa Mbaambaa (namanya). Dan lagi Wa Ode
Bira bersuami dengan La Ode Malunga maka beranak lima orang laki-
Iaki; pertama raja Holimombo (bernama] Haji Abdullah, kedua yarona
Tangana La Sopi (namanya], ketiga [bernama] yarona imamuna Wuna La
Mato (namanya], keempat La Ingga (namanya], (dan) kelima La Mpodo
(namanya).
Dan lagi riwayat Wa Ode Luwu bersuami dengan La Ida maka
beranak sebelas orang, empat orang laki-Iaki tujuh orang perempuan;
pertama La Wele, kedua La Rempa (namanya], kedua raja Burukene La
Awa (namanya], ketiga yarona kapita La Tabibu (namanya], keempat La
Mpalanga [namanya], kelima paapana Muhammad Wa Malesi
(namanya], keenam paapana Abdullah Wa Ati [namanya], ketujuh Wa
Tatana [namanya], kedua lapan Wa Inaali [namanya], kesembilan Wa
Lulu (namanya], kesepuluh Halima (namanya], (dan) kesebelas Muumana
(namanya).
Dan lagi riwayat raja Wasalamata La Ode Bita maka beranak dua
belas orang, enam orang laki-laki enam orang perempuan; pertama
Muhammad (namanya], kedua yarona Tangana La Daha (namanya],
ketiga Haji Abdul Rauf (namanya], keempat raja Wasaga Saliman
(namanya], kelima La Duuwu (namanya], keenam yarona Labuandiri La
Padangke (namanya], ketujuh Jawukapantara (namanya], kedua lapan
raja Sampolawa perempuan Wa Ngata [namanya], kesembilan belum ada
namanya, kesepuluh Wa Cinai [namany a] , kesebelas Wa Pata
[namanya] (dan) kedua belas Wa Wala [namanya].
461
Dan lagi riwayat raja Wawoangi La Ode Jahi [namanya] beranakkan
tiga orang perempuan; pertama yarona Waaleale perempuan Wa
Kantolalo [namanya], kedua Maimuna [namanya], (dan) ketiga Wa
Sahada [namanya].
Dan lagi riwayat Wa Ode Lolita bersuami dengan Murimba maka
beranak tiga orang laki-Iaki; pertama yarona Kokalukuna La Maani
[namanya], kedua La Agama [namanya], ketiga yarona Batanga
Masalamu [namanya] maka bercerai dengan Munimba maka paapana La
Imamu bersuami bersuami dengan Sidamalanti maka beranak seorang
perempuan Wa Ode Yama namanya.
Dan lagi riwayat paapana Wa Angkuri tiada beranak. Dan lagi
riwayat Wa Ode Mihrab bersuami dengan raja Kalende [yang bernama]
La Ode Gure maka beranak seorang perempuan bernama Wa Ode
Angkuri.
Dan lagi riwayat raja Lasalimu Haji Sulaiman [namanya] beristri
dengan Wa Ode Sapati anak[nya] oputa Mosabuna i-Wandailolo maka
beranak seorang perempuan yang bernama Wa Ode Tani. Dan lagi
anaknya kepada perempuan yang lain tiga belas orang, enam laki-Iaki
dan tujuh perempuan; pertama Tayeb [namanya], kedua raja Laompo
Amiri [namanya], ketiga yarona Waghatika Saada [namanya], keempat
raja Holimombo Suaib [namanya], kelima SahaI, keenam La Pawewe,
ketujuh Wa Pane, kedua lapan Wa Pitara, kesembilan Wa Ida, kesepuluh
Hamaai, kesebelas Rudam, kedua belas Wa Uti, (dan) ketiga belas Wa
Limpa.
Maka tersebut pula riwayat Wa Ode Sapati bersuami dengan raja
Lolibu anak(nya] oputa Mosabuna i-Wandailolo maka beranak sebelas
462
orang, empat orang laki-Iaki tujuh orang perempuan.
Maka tersebut pula riwayat Wa Ode Maputi bersuami dengan oputa
Mosabuna i-Baaluwu anak(nya] oputa Mosabuna i-Wandailolo maka
beranak sebelas orang, tujuh orang laki-Iaki empat orang perempuan.
Maka tersebut pula riwayat raja Mawasangka [bernama] La Ode
Awaradi beristri dengan Wa Ode Siisi maka beranak dua orang, seorang
laki-Iaki dan seorang perempuan; laki-Iaki itu La Ode Weta (namanya]
dan perempuan itu Wa Ode Ideide (namanya]. Maka La Ode Weta
beranak seorang laki-Iaki yarona Liya (bernama] La Ode Ngkalawitu.
Dan Wa Ode Ide-ide bersuami dengan raja Kaedupa La Ode Adam
(namanya] maka beranak tiga orang perempuan; pertama Masalaha
(namanya], kedua Wa Ode Ambekakanda (namanya], (dan) ketiga Wa
Ambekakuni (namanya].
Dan lagi riwayat yarona Labalawa Majana (bernama] La Ode Wiridi
maka beranak enam orang, empat orang laki-Iaki dan dua orang
perempuan; pertama La Ode Bate (namanya], kedua La Ode Burane
(namanya], ketiga La Ode Balanapa (namanya], keempat La Ode Tabi
(namanya] dan dua orang perempuan.
Dan lagi riwayat raja Kamarum [bernama] La Ode Weta beristri
dengan Wa Ode Baeru maka beranak lima orang laki-Iaki ;pertama
anak(nya] raja Kamam La Ode Kaimbimana (namanya], kedua raja
Laompo La Ode Mujabar (namanya], ketiga raja Tiworo La Ode Baning
(namanya], keempat yarona imamuna Wuna La Ode Waruhama
(namanya], (dan) kelima La Ode Tandi. (namanya]. Dan lagi anak(nya]
raja Kamaru sebelas orang, dua lapan orang lakilaki tiga orang
perempuan; pertama yarona Burukene La Ode Petuga (namanya], kedua
463
La Ode Bangkuta (namanya], ketiga yarona Lawele La Ode Kahaa
(namanya], keempat La Ode Tuwa (namanya], kelima La Ode Pajampa
(namanya], keenam La Ode Koko (namanya], ketujuh yarona Labalasi La
Ode Purasa (namanya], kedua lapan Fajar (namanya], kesembilan
paapana Lakina Kaedupa Wa Ode Kamam (namanya], kesepuluh
paapana yarona Laompo Wa Ode Gada (namanya] (dan),kesebelas Wa
Ode Baini (namanya].
Maka tersebut pula riwayat sangia I-Tapi-Tapi beristri dengan
anak(nya] Abdul Wahid yang bernama Balu i-Tete maka beranak empat
orang, tiga orang laki-laki dan seorang perempuan; pertama kapita
Mutanga La Nuru (namanya], kedua sapati yang datang habamya La
Nasir (namanya], ketiga kenepulu Lowu-Lowu La Rasa (namanya], (dan)
keempat Wa Ode Kapaia tiada beranak. Dan lagi kapita Mutanga La Nuru
beranak seorang laki-Iaki Jamali namanya. Maka Jamali beristri dengan
anak Kuja maka beranak seorang bernama imam Lelemangura. Maka
Imam Lelemangura beranak imam Wandailolo. Maka Imam Wandailolo
beranak empat orang laki-laki; pertama raja Wanei, kedua bapa Wa
Sarina, ketiga raja lipu Malanga, (dan) keempat La Ode Lamenti.
Dan lagi riwayat raja Wanci beristri dengan baluna Wanci maka
beranak tujuh orang, empat orang laki-laki tiga orang perempuan;
pertama raja Wanci La Sarah (namanya], kedua imam La Jarambi
(namanya], ketiga yarona Wanci La Pomandai (namanya], keempat raja
Lambelu La Mpika (namanya] dan perempuan itu Wa Biina (namanya]
dan Wa Daura (namanya] lagi Wa Sagaraga (namanya]. Dan lagi anak
kepada yang lain tiga orang perempuan; pertama Wa Bangka [namanya],
kedua Wa Mainuma [namanya], (dan) ketiga Wa Nafia [namanyal
464
Dan lagi riwayat Sarina beranak seorang perempuan Wa Kasa
namanya.
Maka Wa Kasa bersuami dengan yarona Lawele maka beranak tiga
orang, dua orang laki-laki dan seorang perempuan; Wa Pitara [namanya]
tiada beranak dan laki-laki itu La Dami [namanya] dan La Kalapantu
[namanya]
Seperkara lagi raja Lipu Malanga beristri dengan kapitan Lahontohe
bersuami dengan yarona Burangasi maka beranak dua orang seorang
laki-laki dan seorang perempuan; pertama La Aruba [namanya] dan
perempuan itu Wa Ugi [namanya].
Dan lagi riwayat La Ode Lamanti beranak seorang perempuan Naji
namanya.
Maka tersebut pula riwayat sapati yang datang khabarnya beristri
dengan Wa Tandawani maka beranakkan Kapulangku La Manempa
[namanya). Dan lagi sapati yang datang khabamya maka beristri dengan
perempuan yang lain maka beranak dua orang perempuan; pertama Wa
Ode Sewa [namanya], (dan) kedua Wa Ode Pangka [namanya]
Seperkara lagi riwayat Kapulangku beristri dengan anak[ nya]
Moposuruna Arataana Wa Ode Waja [namanya] tiada beranak. Dan lagi
beristri Kapulangku dengan Wa Ode Manggasa maka beranak dua lapan
orang; pertama baluna Koroni, kedua yarona Kamaru, ketiga paapana
Puwatang, keempat paapana sabandara raja Lawele, kelima yarona
Waaleale, keenam baluna Wuna paapana La Tuhu bernama Wa Ode
Wakelu, ketujuh raja Waaleale, (dan) kedua lapan kapitalao Lahontohe.
Maka tersebut pula riwayat baluna Koroni bersuami dengan sapati
Wolowa maka beranak seorang perempuan Mobolina Kamalina. Maka
465
beristri dengan sangia i-Manuru maka beranak delapan orang.
Maka tersebut pula riwayat anak[nya] Kapulangku beristri dengan
kenepulu La Salimu maka beranak dua orang, seorang laki-Iaki dan
seorang perempuan; pertama sabandara raja Lawele, kedua yarona
Kaedupa. Maka bersuami dengan anak raja Kaedupa maka beranak dua
orang, seorang laki-Iaki seorang perempuan; pertama Wa Ode ode
Kaedupa, (dan) kedua bapa Samputa La Taadi [namanya].
Dan lagi riwayat bapa Samputa beristri dengan Wa Ondea maka
beranak seorang laki-Iaki La Puwi namanya.
Dan lagi riwayat Wa Ode-ode Kaedupa bersuami dengan bapa La
Mbala maka beranak dua orang perempuan; pertama baluna Kaedupa,
(dan) kedua paapana La Wangke.
Maka tersebut pula riwayat sabandara raja Lawele beristri dengan
Dae Ntale maka beranak seorang perempuan paapana Jalil bersuami
dengan raja agama maka beranak seorang laki-laki La Mbaude namanya.
Maka La Mbaude beranakkan tujuh orang, empat orang laki-Iaki tiga
orang perempuan lima orang tiada beranak. Dua orang perempuan yang
beranak; pertama Wa Raniina, (dan) kedua Wa Inda [namanya].
Maka tersebut pula riwayat sabandara beristri dengan ibu Langkuri
maka beranak seorang laki-laki La Pagarima namanya. Maka beristri
dengan anak raja Sura Wolio bapa Halambi maka beranak tiga orang
laki-laki; pertama La Gantu [namanya], kedua Wa Liuwa [namanya]
keduanya tiada beranak, (dan) ketiga yarona Sura Wolio Syahabuddin
[namanya]. Maka Yarona Sura Wolio beranakkan dua lapan orang, tiga
orang laki-laki lima orang perempuan; pertama yarona Tobe-Tobe La
Huma [namanya], kedua yarona Kambowa La Harikuta [namanya], tiga
466
yarona Wasambaia La Mbalabala [namanya], keempat Maradada
[namanya], kelima Wa Mbini [namanya], keenam Wa Masiri [namanya],
ketujuh Wa Maaba [namanya], (dan) kedua lapan Wa Maliki [namanya].
Tersebut pula riwayat anak[nya] Kapulangku bersuami dengan La
Songkobaruta maka beranak tiga orang laki-Iaki; pertama kapitalao
Labunta, kedua yarona Baringabuta, (dan) ketiga kapitalao Lahontohe.
Dua orang tiada beranak hanya seorang beranak. Kapitalao Lahontohe
beristri dengan anak raja Wawana maka beranak lima orang, dua orang
laki-laki tiga orang perempuan; pertama La Sarandaida [namanya],
kedua La Jamidatu [namanya], ketiga balu iLahontohe [namanya],
keempat paapana raja Lolibu [namanya], (dan) kelima paapana raja
Todanga. Maka bersuami dengan yarona Burangasi maka beranak dua
orang, seorang laki-laki dan seorang perempuan, laki-laki itu raja
Lasalimu La Amba [namanya] dan perempuan itu yarona Waale-ale
[namanya]. Maka paapana raja Lolibu bersuami dengan raja
Kambekambero maka beranak dua orang, seorang laki-Iaki dan seorang
perempuan, yang perempuan itu tiada beranak dan laki-laki itu raja
Lolibu. Maka raja Lolibu beristri dengan anak[nya] raja Lakologou maka
beranak tiga orang laki-Iaki; pertama La Kasami [namanya], kedua La
Katupi [namanya], (dan) ketiga La Siribu [namanya]. Dan lagi anaknya
tiga orang dua orang laki-Iaki seorang perempuan; pertama La
Polimbose namanya], kedua La Bahamana [namanya], (dan) ketiga Wa
Bawu [namanya].
Seperkara lagi riwayat anak[nya] Kapulangku bersuami dengan
hatibi Koroni maka beranak seorang perempuan paapana Laloea
[namanya]. Maka bersuami dengan yarona Kamaru maka beranak
467
seorang laki-laki sapati Bilungana, Maka Sapati Bilungana beranakkan
lima orang, dua orang laki-Iaki tiga orang perempuan; pertama raja lnulu
La Iha [namanya], kedua La Pangura namanya], ketiga paapana Wa Ugi
[namanya], keempat Wa Ode Surumba [namanya], (dan) kelima paapana
La Diwa [namanya] tiada beranak. Maka raja Inulu beristri dengan anak
raja Bombona Wulu maka beranak seorang laki-Iaki La Awa namanya.
Dan lagi beristri dengan anak[nya] raja Bombona Wulu juga beranak
seorang laki-Iaki Handawasa namanya. Dan lagi beristri dengan
perempuan yang lain maka beranak enam orang, lima orang laki-Iaki
seorang perempuan; pertama Wa Inda [namanya], kedua La Rangkina
[namanya], ketiga liwa [namanya], keempat La Sanjata [namanya],
kelima La Bunalala [namanya], (dan) keenam La Rasimu [namanya]. Dan
lagi anak[nya] sapati beristri dengan yarona Burangasi maka beranak
seorang laki-laki Daanasi namanya. Maka Daanasi beristri dengan anak
hatibi Tumada maka beranak tiga orang, dua orang laki-Iaki dan seorang
perempuan; pertama La Diri namanya], kedua La Iwadi [namanya], (dan)
ketiga Wa Iki [namanya]. Maka beristri pula dengan perempuan yang lain
maka beranak seorang perempuan Wa Sabandara namanya. Dan lagi
anak(nya] sapati Bilungana maka beristri dengan anak(nya] kapitalao
Lolibu maka beranak seorang perempuan Wa Ode Iki namanya. Maka Wa
Ode Iki bersuami dengan yarona Burukene (bernama] Abdul Rahman
maka beranak tujuh orang, enam orang laki-Iaki dan seorang perempuan
tetapi yang tiga orang tiada beranak. Tinggal empat orang yang beranak;
pertama raja Wasilomata yang kena peluru La Pajere (namanya], kedua
yarona Kenepulu Kumbewaha Abdul Ghani (namnya], ketiga raja
Wasilomata yang kena peluru maka beristri dengan Wa Nuru maka
468
beranak dua orang laki-Iaki dan seorang perempuan; pertama raja Sura
Wolio Camalai (namanya], kedua Wa Udina (namanya]. Dan lagi yarona
Tobe-Tobe La Kadiri beristri dengan Wa Duru maka beranak dua orang
perempuan; pertama Wa Mbaga (namanya], (dan) kedua Wa Ngkakuni
(namanya]. Maka beristri pula dengan Wa Ode Ewo maka beranak
seorang laki-Iaki raja Bumbu La Siraja namanya. Dan lagi yarona
Kenepulu Kumbewaha maka beranak dua orang laki-Iaki; pertama raja
Bombona Wulu La Cabala (namanya], (dan) kedua raja Batauga
(namanya].
Maka tersebut pula riwayat yarona Kamaru beristri dengan anak(
nya] Mobolina Pauna maka beranak empat orang laki-laki dua orang
perempuan; pertama La Ode Lasaganti, kedua La Ode Liwarande, ketiga
Wa Ode Sambali, (dan) keempat Wa Ode Pute. Maka La Ode Lasaganti
beranak dua orang seorang laki-laki dan seorang perempuan; pertama La
Ode Lamani, (dan) kedua Wa Ode Bune (namanya]. Keduanya itu tiada
beranak. Maka La Ode Liwarande beranak tiga orang, seorang laki-laki
dua orang perempuan; pertama La Paa (namanya] kedua paapana La
Miraja (namanya], (dan) ketiga Wa Kaia (namanya]. Maka tersebut pula
riwayat sangia i-Lampenana beristri dengan anak Abdul Wahid yaitu balu
i-Lampenana maka beranak seorang laki-laki yang bernama
Bawakabutuna. Maka Bawakabutuna beranak dua orang, seorang laki-
laki dan seorang perempuan pertama raja Kaluku [namnya], (dan) kedua
Wa Ode Kaluku [namanya]. Maka raja Kaluku beristri dengan Wa Ode
Ilampenana maka beranak seorang laki-laki yarona Sura Wolio
[namanya]. Maka yarona Sura Wolio beranak dua orang; pertama La
Talaga [namanya], (dan) kedua La Kudusi [namanya]. Maka La Kudusi
469
beranak lima orang, tiga orang laki-laki dua orang perempuan; pertama
La Mpenana [namanya], kedua La Kalisi [namanya], ketiga La Mada
[namanya], keempat Wa Iloncugi [namanya], (dan) kelima Wa Saasa
[namanya]. Maka La Takala beranak dua orang perempuan; pertama Wa
Ode Andarasi [namanya] kedua paapana La Parisa [namanya]. Maka
paapana La Parisa bersuami dengan raja Kamaru maka beranak empat
orang, dua orang laki-laki dan dua orang perempuan; pertama La Parisa
[namanya], kedua La Pajira [namanya], ketiga Wa Binia [namanya],
(dan) keempat Wa Abaini [namanya]. Maka Wa Andarasi beranak
seorang laki-laki La Sala namanya.
Maka tersebut pula riwayat sangia i-Labalawa anak[nya] Mobolina
Pauna beristri dengan anak Makengkuna yang bernama Darumaratasa
maka beranak lima orang, seorang laki-laki empat orang perempuan;
pertama kapitalao i-Towatara, kedua Wa Ode Wabani, ketiga Wa Ode
Kalau, keempat Wa Ode Korowi, (dan) kelima Wa Ode Torisi [namanya].
Dan lagi anaknya kepada yang lain Gogoli i-Mbela-Mbe1a dan lagi
anak[nya] Mobolina Pauna Mosabuna iWatole. Maka beristri dengan Wa
Lambencugi maka beranak tiga orang, dua orang laki-laki dan seorang
perempuan; pertama mosabuna i-Lakumbe, kedua bapa Buke, (dan) ketiga
Wa Ode Kantu (namanya]. Maka Wa Ode Kantu bersuami dengan gogoli i
Mbela-Mbela maka beranak seorang laki-laki yang bernama Sangia
Ikopea La Umati namanya. Maka Sangia i-Kopea beranak dua belas
(orang), enam orang laki-laki enam orang perempuan; pertama mosabuna
i- Lawalangke, kedua kapitalao Kamaru, ketiga oputa i-Wasuemba,
keempat yaona Lakudo, kelima yarona Laompo, keenam yarona Kamam
Harikiama, ketujuh raja agama perempuan, kedua lapan paapana Wa Ode
470
Ingku, kesembilan paapana La Ode Maeta, kesepuluh papaana Wa Ode
Ita, kesebelas Sulthan Mosabuna i- Jupanda Wa Ode Tumada, (dan) kedua
belas paapana Hatibi Tumada (namanya]. Maka tersebut pilla riwayat
kapitalao Kamaru beristri dengan anak(nya] sangia i-Kaesabu maka
beranak seorang perempuan balu i-Wadolao. Maka balu i- Wadolao
bersuami dengan anak raja Wawana maka beranak dua orang, seorang
laki-laki dan seorang perempuan; pertama Sugimanuru (namanya], (dan)
kedua Wa Ode Kara (namanya]. Maka bercerai dengan anak raja
Wawana maka bersuami pula dengan sangia i-Wolowa maka beranak
sepuluh orang.
Maka tersebut pula riwayat kapitalao Wolowa beranak(kan] tujuh
orang, tiga orang laki-laki empat orang perempuan; pertama La Ode
Handapi, kedua La Ode Wakara, ketiga La Ode Tamuwu, keempat Wa
Ode Lapalape, kelima Wa Ode Poasaa, keenam Wa Ode Mangkura, (dan)
ketujuh Wa Ode Cangki.
Maka La Ode Handapi beristri dengan Wa Ode Haafari maka
beranak seorang perempuan Wa Mauka namanya. Maka Wa Ode Poasaa
bersuami dengan Masati maka beranak dua orang perempuan; pertama
Wa Wauda (namanya], (dan) Wa Nambaaka (namanya].
Maka tersebut pula riwayat kapitan Baruta beristri dengan anak(nya]
raja Sura Wolio La Salimu maka beranak lima orang laki-Iaki; pertama
yarona Bola La Ode Santa (namanya], kedua yarona Todanga La Ode
Tiga (namanya], ketiga La Ode Talanu (namanya], keempat yarona Tete
La Ode Sura Wolio (namanya] (dan) kelima La Ode Matalanta
(namanya].
Maka tersebut pula riwayat raja Baruta beranak seorang laki-Iaki
471
Maa Lada (namanya], maka Maa Lada beristri dengan anak( nya] bapa
La Mbala maka beranak seorang perempuan Wa Ode Siribula [namanya].
Maka tersebut pula riwayat raja Wolowa beristri dengan anak(nya]
yarona Bola maka beranak dua orang laki-Iaki pertama La Ode Syarif,
kedua La Ode Kosarana (namanya], dan lagi anaknya yang lain Wa
Yudahawa (namanya].
Maka tersebut pula riwayat Wa Ode Maruda bersuami dengan Abdul
Ghafar maka beranak seorang perempuan Wa Ode Raimuna namanya.
Maka tersebut pula riwayat Wa Ode Kuni bersuami dengan yarona
Sura Wolio Syahabuddin maka beranak seorang laki-Iaki La Huna
namanya.
Maka tersebut pula riwayat raja Kamaru beristri dengan perempuan
yang lain maka beranak sembilan orang, enam orang laki-Iaki tiga orang
perempuan; pertama bapa Tuga, kedua La Ode Manti, ketiga yarona
Burukene bapa La Abu, keempat yarona Kamaru La Hariira, kelima
yarona kapitalao Todanga, keenam yarona Ambuau, ketujuh Wa Ode
Sirikani, kedua lapan Wa Ode Tuga tiada beranak, (dan) kesembilan
baluna imamu tiada beranak. Maka Wa Ode Sirikani bersuami dengan La
Tulaki maka beranak tiga orang, (seorang) laki-laki dan dua orang
perempuan; pertama La Mada [namanya), kedua Wa Haraja [namanya),
(dan) ketiga Wa Kapuntu [namanya).
Maka tersebut pula riwayat yarona Burukene beristri dengan
anak[nya) imam tua maka beranak empat orang, seorang laki-laki tiga
orang perempuan; pertama ba Mbara [namanya), kedua Wa Bati
[namanya), ketiga Wa Gara [namanya), keempat Wa Saini [namanya),
keduanya perempuan itu tiada beranak. Maka Wa Siini bersuami dengan
472
La Kara dan maka beranak seorang laki-laki La Buke namanya. Maka La
Matum beristri dengan Wa Uke maka beranak tiga orang laki-laki dan
seorang perempuan; pertama La Kaungi, kedua La Jumran [namanya)
(dan) ketiga WaKanti [namanya).
Maka tersebut pula riwayat La Ode Hanadati beristri dengan Wa
Padawasa maka beranak lima orang, tiga orang laki-laki dua orang
perempuan; pertama La Mbata [namanya), kedua La Wanda, ketiga La
Sangkakara, keempat Wa Ode Kandi, (dan) kelima paapana Wa Kadi
[namanya). Maka paapana Wa Kadi beranak dua orang perempuan;
pertama Wa Kude [namanya), (dan) kedua Wa Maha [namanya).
Maka tersebut pula riwayat bapa Tuga beristri dengan anak[nya)
menteri Barangkatopa maka beranak seorang laki-Iaki La Rafaani
namanya. Maka La Rafaani beranak tujuh orang, seorang laki-laki enam
orang perempuan; pertama La Ode Juringa [namanya), kedua Wa Sarina,
ketiga Wa Samika [namanya), keempat Wa Maau, kelima Wa Rapi,
keenam Wa Bili, (dan) ketujuh Wa Halada (namanya].
Maka tersebut pula riwayat La Harabaru beranakkan sepuluh orang,
tujuh orang laki-Iaki tiga orang perempuan; pertama La Darika
(namanya], kedua La Pomanci, ketiga La Patambi (namanya], keempat La
Pada (namanya], kelima La Panuri (namanya], keenam La Pabalaka
(namanya], ketujuh La Tanapu, kedua lapan La Baha (namanya],
kesembilan Wa Wangku (namanya], (dan) kesepuluh Baila (natnanya].
Maka tersebut pula riwayat paapana La Manya bersuami dengan raja
Tobe- Tobe maka beranak lima orang, tiga orang laki-Iaki dua orang
perempuan; pertama La Ode Sarifu (namanya], kedua Wa Oda. Maka Wa
Oda bersuami dengan yarona Bula maka beranak seorang perempuan Wa
473
Ode Karawosi namanya. Maka Wa Ode Karaisi bersuami dengan raja
Wolowa maka beranak dua orang lalci-Iaki; pertama La Ode Sarif, (dan)
kedua La Ode Kosarana.
Maka tersebut pula riwayat yarona La Kudo beranak empat orang,
dua orang laki-Iaki dua orang perempuan; pertama bapa La Jaalu
(namanya], kedua La Kandawa (namanya], ketiga Wa Ode Maiyaba
(namanya], (dan) keempat paapana Pitiri. Maka bapa La Jaalu beranak
tiga orang, seorang lalci-Iaki dua orang perempuan; pertama La
Hawunga, kedua Wa Kalaabi (namanya], (dan) ketiga Wa Moriwa
(namanya]. Maka La Kandawa beristri dengan Wa Kaasi maka beranak
tiga orang, dua orang laki-Ialci seorang perempuan tetapi perempuan itu
tiada beranak; pertama anaknya itu La Daamu (namanya], (dan) kedua
La Kapantu (namanya]. Maka La Daamu beranak seorang perempuan Wa
Idarabaa namanya. Maka La Kandawa beristri dengan perempuan yang
lain maka beranak lima orang, tiga orang laki-Iaki dua orang perempuan;
pertama La Ode Jaludi [namanya], kedua La Ode Qasim [namanya],
ketiga La Ode Pangula [namanya], keempat Wa Cuyasa [namanya], (dan)
kelima Palasari [namanya].
Maka tersebut pula riwayat Harikiyama beranak dua orang laki-Iaki;
pertama La Ode Sudi, (dan) kedua La Ode Lamanguwa [namanya]. Maka
La Ode Lamanguwa beranak dua orang perempuan; pertama Wa Sahari
[namanya], (dan) kedua Wa Ihda [mm.fa.].
Maka tersebut pula riwayat mosabuna i-Wasuemba beristri dengan
anak[nya] sapati i-Manuru maka beranak seorang Jaki-Iaki [bernama]
raja Lawele dan lagi anaknya dua orang laki-Iaki; pertama La Ode
Pangku, (dan) kedua La Ode Harimau.
474
Maka tersebut pula riwayat yarona Laompo beristri dengan Wa Ode
Bula maka beranak seorang laki-Iaki La Ode Lanuli [namanya]. Dan lagi
anaknya kepada perempuan yang lain tiga orang laki-Iaki dua orang
perempuan; pertama La Ode Andarasi, kedua La Ode Bumbuna, ketiga La
Ode Lapi [namanya], keempat paapana Buruhi, (dan) kelima paapana La
Ode Ngai.
Seperkara lagi riwayat La Ode Lauru beristri dengan anak[nya] raja
Tobe-Tobe maka beranak lima orang, tiga laki-laki dan dua perempuan;
pertama La Ode Libu [namanya], kedua La Ode Buangi [namanya],
ketiga La Ode Sagambara [namanya], (dan) keempat Wa Ode Ibaduri
[namanya].
Maka tersebut pula riwayat La Ode Rasi beristri dengan Wa Ode Titi
maka beranak lima orang, seorang laki-laki empat orang perempuan;
pertama La Ode Hamiraka [namanya], kedua Wa Ode Halamija
[namanya], ketiga Wa Ode Warasula [namanya], keempat Wa Ode
Kanciawari [namanya], (dan) kelima Wa Ode Kaudati [namanya]. Dan
lagi anaknya La Hawuga [namanya dan], La Bombo [namanya], dan
Jungaai [namanya]. Maka La Hawuga beranak tiga orang, dua orang
laki-laki seorang perempuan; pertama La Ode Hasana [namanya], kedua
La Ode Kaida [namanya], (dan) ketiga Wa Buani [namanya].
Maka tersebut pula riwayat anaknya sangia i-Kopea bersuami dengan
raja Sura Wolio bapa Halamba maka beranak seorang laki-Iaki La Ode
Maeta namanya. Maka La Ode Maeta beranak enam orang, tiga orang
laki-Iaki tiga orang perempuan; pertama La Ode Ruyaangu [namanya],
kedua La Ode Sadara [namanya], ketiga La Ode Ayahada [namanya],
keempat Wa Ode HadiIu, kelima Wa Ode Badasabayani, (dan) keenam Wa
475
Ode Paladatu [namanya].
Maka tersebut pula riwayat kapitan bapa Wa Tanga beranak seorang
laki-Iaki Camali namanya, maka Camali beristri dengan anak Kuja
beranakkan imam Lelemangura. Maka imam Lelemangura beranakkan
imam Wandailolo. Maka Imam Wandailolo beranakkan empat orang;
pertama raja Wanci, kedua bapa Wa Sarana, ketiga raja Lipumalanga,
(dan) keempat La Ode Manti.
Maka tersebut pula riwayat raja Wanci beristri dengan baluna Wanci
maka beranak tujuh orang, empat orang laki-Iaki tiga orang perempuan;
pertama raja Wanci La Sara [namanya], kedua imam La Jarambi
[namanya], ketiga yarona Wanci La Pawandi [namanya], keempat raja
Lambelu La Mpika [namanya], kelima Wa Bina [namanya], keenam Wa
Daiwara [namanya], (dan) ketujuh Wa Sagogo (namanya]. Dan lagi
anaknya kepada yang lain tiga orang; pertama Wa Bangki, kedua Wa
Maimuna, (dan) ketiga Wa Nifa (namanya].
Maka tersebut pula riwayat bapa Sarana beranakkan seorang
perempuan Wa Kasa namanya. Maka Wa Kasa bersuami dengan yarona
Lawele maka beranak tiga orang, dua orang laki-laki dan seorang
perempuan; pertama La Damu (namanya], kedua La Kapanta (namanya],
(dan) ketiga Wa Pitiri (namanya] tiada beranak. \
Seperkara lagi riwayat raja Lipu Malanga beristri dengan anak
kapitalao Lahontohe. Dan lagi La Ode Manti beranak seorang perempuan
Wa Nala namanya.
Maka tersebut pula riwayat Wa Ode Kalau bersuami dengan sangia i-
Labora maka beranakkan seorang laki-laki Kabila namanya. Maka Kabila
beranak dua orang laki-Iaki; pertama Paingku (namanya], (dan) kedua
476
Baluranda (namanya]. Maka Paingku beranak dua orang; pertama
kapitalao Wawoangi (namanya], (dan) kedua yarona Wawoangi bapa Wa
Ode Waku (namanya]. Maka bapa Wa Ode Waku beristri dengan anak
raja Sura Wolio maka beranak lima orang, empat orang laki-laki seorang
perempuan pertama La Kaluri (namanya], kedua La Kadalo, ketiga La
Nambo (namanya], keempat La Ambarata (namanya], (dan) kelima raja
Lipu Malanga perempuan.
Seperkara lagi riwayat raja Wawoangi beristri dengan paapana La
Ode Ode maka beranakkan seorang perempuan yaitu oputa i-Wandailolo.
Dan lagi anaknya kepada perempuan yang lain dua belas orang; dua
lapan laki-laki empat orang perempuan; pertama La Ode Sangadi
(namanya], kedua raja Lipurnalanga bapa La Dawa [namanya], ketiga La
Rampalagi, keempat yarona Sapolawa bapa Marhamin, kelima La
Saramambi1a, keenam La Nggawu, ketujuh yarona Ta1uki, kedua lapan
bapa Wa Dawana [namanya], kesembilan paapana Wa Ndaiwa, kesepuluh
paapana La Nggawu, kesebelas yarona Lambelu perempuan, (dan) kedua
belas yarona Lowu-Lowu perempuan.
Maka tersebut pula riwayat Murhum, maka bersuami dengan Wa
Sameka anak La Nganjiraja sangia Igola maka beranakkan lima orang;
pertama Sulthan Mosabuna i-Boleka La Tumparasi [namanya], kedua
Sulthan Makengkuna La Sangaji [namanya], ketiga Paramasuni, keempat
Wa Sugirumpu, (dan) kelima Wa Betao.
Maka tersebut pula riwayat Sulthan Ghafurul Wadudu La Buke
[namanya] maka bersuami dengan Wa Tonsi anak[nya] sangia i-
Waruruma.
Maka tersebut pula riwayat Sulthan Tagi aI-Din Darnl Alam La
477
Ngkariri [namanya] bersuami dengan anak[nya] sapati i-Wo1owa maka
beranakkan dua lapan orang; pertama Sulthan Tagi ai-Din Thnu Sulthan
Tagi ai-Din Hamim [namanya] yaitu sangia i-Wolowa, kedua raja Siompu
La Ode Ali, ketiga raja Lia La Ode Umar, keempat La Ode Gigi, kelima
oputa balu i-Kopea, keenam oputa balu i-Guu, ketujuh yarona
Kumbewaha, kedua 1apan kapitalao paapana kapitalao Lawele La Ode
Lawele. Anaknya dengan belobaruga sembilan belas orang; pertama La
Ode Bante, kedua Daacabaruta, ketiga raja Sura Wolio, keempat raja
Bola La Ode Manta anak Bawari, kelima yarona Tobe-Tobe, keenam La
Ode Halisa, ketujuh La Ode Mbatari, kedua lapan oputa baluna agama.
Tamat AI-Qalam Bilghair Ajmain
Bahwa ini riwayat tatkala negeri Butun mendapat rajanya pertama
Sibatara dengan Wa Kaakaa, kedua Bulawambona dengan La Baluwu,
ketiga Bataraguru dengan Wa Iloncugi, keempat Tuarade Sangia Isara
Jawa, (dan) kelima Sangia I-gola yaitu Rajamulae (namanya].
Sanat Hijrat al-nabi Shalallahu alaihi wasallam sembilan ratus empat
puluh delapan tahun cerita tatkala negeri Butun masuk agama Islam pada
tahun wau. Pada masa itu naik kerajaan paduka Sri Sulthan Murhum
Lakilaponto namanya Timbang- Timbanganya La Tolaki empat puluh
enam tahun lamanya. Maka digantikan paduka Sri Sulthan Mosabuna i-
Boleka La Tumparasi namanya tujuh tahun lamanya. Maka digantikan
paduka Sri Sulthan Makengkuna yaitu Sangaji namanya enam tahun
lamanya. Maka digantikan paduka Sri Sulthan Dayanu Ikhsanuddin
Mabolina Pauna La Elalangi namanya tiga puluh empat tahun lamanya.
Dan paduka Sri Sulthan Abdul Wahab Mosabuna i-Watole La Balawo
namanya setahun lamanya. Dan paduka Sri Sulthan Ghafurul Wadudu
478
Mosabuna i-Kumbewaha La Buke namanya tiga belas tahun lamanya.
Dan paduka Sri Sulthan Mogaana Pauna Saparigau namanya setahun
lamanya. Dan paduka Sri Sulthan Mardhan Ali Gogoli i-Lowuto La Cila
namanya tujuh tahun lamanya. Dan paduka Sri Sulthan Malik Sirullah
Mposuruna Arataana La Awu namanya sepuluh tahun lamanya. Dan
paduka Sri Sulthan Aidil Rakhlm Mosabuna i-LeaLea La Simbata
namanya lima tahun lamanya. Dan paduka Sri Sulthan Mosabuna i-
Lakumbe La Tangkaraja namanya tiga tahun lamanya dan paduka Sri
Sulthan Nazinuddin Sangia i-Kaesabu La Tumpamana namanya sembilan
tahun lamanya. Dan paduka Sri Sulthan Aliuddin Ismail Sangia i-Kopea
La Umati namanya dua lapan tahun lamanya. Dan paduka Sri Sulthan
Syaifuddin Raja Tua namanya tujuh tahun lamanya. Dan paduka Sri
Sultan Syaiful Rejali La Rabaenga namanya tujuh hari lamanya. Dan
paduka Sri Sulthan Syamsuddin Mosabuna i-Kaesabu La Ida namanya
lima tahun lamanya dan paduka Sri Sulthan Nasyaruddin Mosabuna i-
Lawalangke La Ibi namanya tiga tahun lamanya. Dan paduka Sri Sulthan
Mazharuddin Abdul Rasyid mosabuna raja agama La Tumparasi namanya
tiga bulan lamanya. Dan paduka Sri Sulthan Mosabuna i-Jupanda lebih
setahun lamanya. Dan paduka Sri Sulthan Taqiuddin Darul Alam
namanya empat tahun lamanya. Dan paduka Sri Sulthan Hayatuddin
Muhammad al-Syaid Mosabuna i- Wasuamba Ibnu Sulthan Dliauddin
sudah dua kali mendirikan agama jadi enam tahun lamanya. Dan paduka
Sri Sulthan Taqiuddin Thnu Sulthan Taqiuddin Hamim namanya Sangia i-
Wolowa dua lapan tahun lamanya. Dan paduka Sri Sulthan Rafiuddin raja
Tobe- Tobe tujuh bulan larnanya. Dan paduka Sri Sulthan Azlimuddin
Mosabuna i-Wandailolo La Masalumu namanya empat tahun lamanya.
479
Dan paduka Sri Sulthan Mahiyuddin Abdul Ghafur namanya dua lapan
tahun lamanya. Dan paduka Sri Sulthan Dayan Asraruddin La Badara
namanya dua puluh empat tahun lamanya. Dan paduka Sri Sulthan
Muhammad Anharuddin La Dani namanya lebih setahun lamanya. Dan
paduka Sri Sulthan Idrus Qaimuddin dua puluh sembilan tahun dengan
empat bulan. Dan digantikan paduka Sri Sulthan Muhammad Isa
Qaimuddin selikur tahun lamanya. Dan digantikan paduka Sri Sulthan
Qaimuddin Muhammad Shaleh namanya lima belas tahun lamanya. Dan
digantikan paduka Sri Sulthan Muhammad Umar Qaimuddin namanya
dua lapan belas tahun dengan lima bulan lamanya. Maka digantikan
paduka Sri Sulthan Aidil Rakhlm Muhammad Yusup namanya kurang
sebulan lima tahun dan antaranya dua tahun dengan delapan bulan. Maka
digantikan Sri Sulthan Muhammad Dayan Qaimuddin tiga bulan lamanya
matinya hari Jumat antaranya lima tahun dengan enam bulan. Dan
paduka Sri Sulthan Qaimuddin Muhammad Ali dua tahun dengan dua
bulan lamanya. Maka Syafialanaami Qaimuddin kurangnya satu bulan
dua tahun lamanya. Maka di antikan paduka Sri Sulthan Muhammad
Hamidi Qaimuddin dua belas tahun lamanya. Maka digantikan paduka Sri
Sulthan Muhammad Faalihi Qaimuddin dua puluh dua tahun lamanya.

480
Lampiran 5:
 Transliterasi II
Bab inilah peri pada menyatakan perturunan yang pertama-tama
daripada nenek moyang dahulu-dahulu kala pertama raja dalam negeri
Butun yakni Wa Kaa-Kaa namanya yaitu bersuami dengan Sibatara anak
raja Majapayi maka beranak tujuh orang enam orang terbang serta ibu
bapanya yang tinggal seorang dalam negeri ini yang bernama
Bulawambona
Adapun riwayat istiadat dari Wa Kaa-Kaa itu dua istiadat suatu
dayang-dayang sepuluh anak laki-laki dan sepuluh anak perempuan jadi
dayang-dayangnya dan lagi pula adatnya enam puluh laki-laki yang besar
akan yang menjagai rumahnya samapai kepada kerajaan Bulawambona
istiadat yang kedua ini. Kemudian dari itu matilah Bulawambona itu maka
ditanamnya di tengah pasar itu dahulu memberi apinya di atas kuburnya.
Dan adapun Bulawambona itu bersuami dengan La Baluwu maka
beranakkan seorang laki-laki bernama Bataraguru. Ialah menggantikan
ibunya.
Maka berapa lama jadi raja Bataraguru itu maka hendak pula ia
mencari asalnya ke negeri Majapayi. Setelah bertemulah dengan segala
kaumnya kemudian maka Bataraguru pun hendaklah kembali ke negeri
Butun maka raja Majapayi pun diberinya empat istiadat akan Bataraguru
itu karena anak mudanya raja Majapayi dengan Bulawambona itu sepupu
Adapun istiadat itu suatu isi laut kedua isi sungai. Adapun ikan laut itu
seperti ikan besar atawa tuwa karang atawa orang rusak perahunya pecah
di karang dan adapun isi sungai itu seperti sumananga dan seperti budak
orang dagang lari di sungai itu. Jadi empat istiadat kepada Bataraguru
481
kemudian pun beranak empat orang pertama Tuamaruju, kedua Tuarade,
ketiga Rajamanguntu. Dan lagi anaknya kepada gundinya bernama
Kiyayijula. Kemudian maka matilah Bataraguru, maka digantikan
anaknya bernama Tuarade itu tetapi tiada beranak.Kemudian dari itu
berapa lamanya maka kakanya bernama Tuamaruju itu beranakkan
seorang laki-laki maka diambilnya raja Tuarade diangkatnya anaknya.
Maka diberinya anaknya itu Rajamulae namanya kemudian maka raja
Tuarade itupun matilah, maka digantikan anaknya itu bernama Rajamulae
Maka hendaklah mengerjakan anak mudanya bernama Lakilaponto
karena Lakilaponto itu anak raja Wuna bernama Sugimanuru, akan
bundanya Lakilaponto itu bernama Wa Tubapala itu Wa Randea namanya
anak raja Tiworo.
Maka tatkala ada kerajaan Lakilaponto itu maka diambilnya istiadat
daripada negeri Wuna yaitu lima istiadat pertama upeti seperti buah-
buahan kayu dan seperti batang batari dari kahoti dan ketiga ….. seperti
orang berkebun bante keempat kerbau kelima rambanua dan moose
yaitulah …….. maka jumlahnya jadi dua belas istiadat di dalam tangan
raja Butun itu. Adapun lamanya Murhum menjadi raja Butun itu menjadi
empat puluh dengan enam tahun lamanya tatkala ia masuk agama Islam.
Adapun tatkala dahulu daripada Wa Kaa-Kaa itu tiada dengan anak
negerinya. Kemudian dari itu tatkala ia Tuarade menjadi raja sekalian
anak negeri ini seperti bersahabat rupanya. Sampai kepada kerajaan
Rajamulae anak negeri ini seperti kakak dengan adik. Dapatlah ia minta
kayu atawa bambu yang dahulu itu belum ia anak negeri. Tatkala belum
ada menteri Baaluwu dan Peropa itu hanya ia negeri Kamaru akan
sahabatnya negeri Butun ini seperti saudara rupanya. Sebab apa, karena
482
itu beristri dengan anak raja negeri Kamaru bernama Wa Guntu tatkala
Tuamaruju, dan Tuarade dan Raja Manguntu tiga bersaudara itu Adapun
Tuamaruju itu ialah yang pergi pada pihak negeri Todanga dan ia ……
Sekalian negeri dari sebelah sana ialah bersahabat akan berkasih-kasihan
Tuamaruju dengan negeri itu lalu dibawanya ke negeri Butun. Ialah yang
memegang dia. Adapun Raja Manguntu ialah yang pergi pada pihak
Batauga, dan Wawoangi, dan sekalian negeri di sana. Raja Manguntu
memegang dia bersahabat lalu dibawanya ke negeri ini Adapun tatkala
Murhum menjadi raja dalam negeri Butun ini tatkala dikaruniai Murhum
maka menjadi sekalian negeri. Karena ia Raja Lakilaponto membawahi
negeri yang besar yaitu Butun dan Wuna. Jadi takut sekalian negeri ini
seperti Kaedupa dialihnya. Maka sekalian negeri pun dialihnya oleh
Murhum.
Fasal yang kedua Bahwa inilah anak Wa Kaa-Kaa yang tinggal di
dalam negeri Butun ini yang bernama Bulawambona. Maka Bulawambona
bersuami dengan La Baluwu, maka beranakkan seorang laki-laki bernama
Bancapatola namanya yaitu Bataraguru. Maka Bataraguru itu beristri
dengan Wa Eloncugi yaitu anak Dungkucangia tetapi ashal peri juga Wa
Eloncugi pun beranak tiga orang laki-laki pertama Rajamanguntu kedua
Tuamaruju ketiga Tuarade. Itulah yang menjadi Raja Butun. Dan lagi
anaknya kepada gundinya seorang laki-laki yang bernama Kiyayijula.
Maka Kiyayijula beristri dengan anaknya Raja Tiworo Wa Randea
namanya maka Wa Randea beranak seoraang perempuan bernama Wa
Tubapala namanya. Maka Wa Tubapala bersuami dengan Raja Wuna
yang bernama Sugimanuru. Setelah itu maka Wa Tubapala beranak tiga
orang, dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Yang bernama laki-
483
laki itu La Tolaki namanya Timbang-Timbangan Lakilaponto yaitu
Murhum, dan lagi seorang Kobangkuduna yaitu La Posaasu namanya dan
perempuan itu Wa Karamaguna namanya yaitu Wa Ode Pogo.
Maka Fasal yang ketiga, maka tersebut pula riwayat keturunannya
Rajamanguntu beristri dengan anaknya Raja Tobe-Tobe yang bernama
Wa Salalanggi maka beranak empat orang tiga orang laki-laki dan
seorang perempuan pertama anaknya Raja manguntu itu La Katuturi
namanya, kedua La Karakamba, ketiga Dae Ncoreya, keempat Wa
Guruncing namanya. Kemudian maka La Katuturi beristri dengan Wa
Datogunu saudara Raja Batauga yang bernama La Luwu. Maka beranak
seorang laki-laki yang bernama La Maindo. Maka La Maindo beristri
dengan anak Sapati Rampagau, Sapati yaitu anak yang dinamai Sapati
Manjawari dan anaknya itu Wa Banaka namanya. Dan ibu Wa Banaka itu
Wa Buadatu namanya, itu pun Raja Batauga juga. Maka Wa Banaka
beranak empat orang dua orang laki-laki dan dua orang perempuan,
pertama laki-laki itu La Kabaura, namanya dan kedua La Siridatu
namanya dan perempuan itu Wa Salalanggi namanya dan lagi Wa Melai
namanya. Dan lagi anaknya kepada perempuan yang lain tiga orang,
pertama La Tangamasa, namanya kedua Wa Lakui namanya ketiga Wa
Linga namanya.
Maka tersebut pula riwayat La karakamba beristri dengan Wa Ngkita
anak Sapati Rampagai juga. Maka Wa Ngkita beranak seorang laki-laki
yang dinamai La Saompula. Maka La Saompula beristri dengan Wa
Salalanggi anak raja Batauga La Maindo, beranak empat orang pertama
La Laja kedua La Siritapu yaitu Raja Wa Bula ketiga La Mata yaitu Raja
Siompu, dan keempat Wa Mbolode. Maka La Mata kedatangan hukum
484
Allah itu maka digantikan La Laja menjadi Raja Siompu. Itulah yang
dinamai kosukuna dan lagi anaknya La Saompula La Nciwalula namanya
kepada Limbo. Barangkatopa Wa Samatandi namanya.
Kemudian dari itu maka fasal yang keempat Dae Ncorea beristri
dengan anak La Mimara bernama Wa Baka namanya dan ibunya Wa
Taenga namanya yaitu Kowawoangina. Maka Wa Baka dan Daencorea
beranak dua orang laki-laki pertama La Weiwei namanya dan kedua La
Mbaawu namanya dan lagi anak Daencorea kepada perempuan yang lain
Keyayibaai namanya dan nama ibunya Wa Ragimali namanya kepada
limbo Malayu. Maka beranak seorang laki-laki bernama La Mbaawu
maka La Mbaawu beristri dengan Wa Datalangi dan Luwulamaipama
yaitu Raja Kambe-Kambero, Wa Giira istri La Mimara yaitu raja Wawono
Liwu. Maka Wa Datalangi dan La Mbaawu beranak dua orang seorang
laki-laki La Wawa namanya dan seorang perempuan. Wa Tubapala
namanya dan La Wawa beristri dengan Wa Darasangka yaitu Raja Luri
saudara Waparakaci namanya maka La Wawa dan Wa Darasangka
beranak tiga orang seorang La Jadi namanya dan seorang La
Santadabaali namanya dan seorang Wa Poasa namanya dan La Wawa
beristri dengan Wa Palulancugi saudara La Kowasi. Adapun nama ibunya
Wa Biaguri yaitu negeri Selayar dan nama bapanya La Tandatara
saudara Wa Lambangahi. Maka Wa Palulancugi beranak seorang
perempuan Wa Ruwia namanya. Maka Wa Ruwia beristri dengan anak
yang bernama La Kunisa maka beranak dua orang perempuan Wa
Pantalanama dan seorang Wa Tangkalanama namanya. Maka Wa
Tangkalanama beristri dengan Patolakambang. Dan Wa Pantalanama
beristri dengan La Ndawalangu yaitu raja Kambe-Kambero. Dan La
485
Ndawalangu itu saudara La Batala beristri dengan Wa Mariwata, maka
beranak dua orang laki-laki; pertama La Mpangula kedua La Ululi
namanya. Maka La Ululi beristri dengan Wa Eloncugi maka beranak
empat orang; pertama La Paka, kedua La Seri, ketiga Wa Sakamalanda,
keempat Wa Sakati. Maka La Mpangula beristri dengan Wa Buakota maka
beranakan La Siritapu namanya tetapi La Siritapu tiada beranak dan lagi
La Ndolangu beranak seorang laki-laki La Baruba namanya maka La
Baruba beristri dengan Wa Bungarantia anak La Tubiri itupun anak
Nulimu dan La Baruba beranak tiga orang pertama Wa Tandiwani kedua
Wa Lapanguhi ketiga Wa Surulangi. Maka Wa Tandiwani beristri dengan
La Nasiru yaitu Sapati yang datang kabarnya maka beranakan La
Manimpa yaitu Kapolangku dan Wa Surulangi itu ibu Wa Wudea.
Kemudian dari itu Fasal yang kelima turunannya Wa Guruncing
anaknya juga Rajamanguntu maka Wa Guruncing beristri dengan
Betumbaari yaitu Raja Wajo saudara Simbata. Maka Wa Guruncing
beranak seorang laki-laki La Tarantumara namanya. Maka La
Tarantumara beristri dengan Wa Mbolode, maka beranakan La
Uruntinaga. Maka La Uruntinaga beristri dengan Wa Waani Loji La Untu
maka beranakkan La Susumungku namanya yaitu menteri Kadolo.
Fasal yang keenam turunannya Tuamaruju maka Tuamaruju beristri
dengan Wa Talubangana saudara Wa Solongki anaknya juga raja Tobe-
Tobe. Maka Tuamaruju dan Wa Tulubangana beranakkan laki-laki dua
orang bernama Ngaciraja dan Rajamulae namanya yaitu sangia Igola.
Maka Ngaciraja beristri dengan Wa Nipu anak Batukara anak Kadura
dan ibunya Wa Musambi namanya maka Ngaciraja beranak seorang
perempuan Wa Sameka namanya yaitu....... Talulabina.
486
Dan lagi riwayat Rajamulae beristri dengan Wa Randima maka
beranakkan seorang perempuan Wa Tampaidongi namanya yaitu
Borokomanlanga dan lagi istri Rajamulae kepada limbo Lanto Wa
Panciribala namanya maka beranakkan dua orang, seorang namanya La
Patikana dan seorang Wa Sakatanga namanya. Dan lagi istri Raja mulae
kepada limbo Melai Wa Talubangana namanya maka beranakkan La
Lorojawa. Dan lagi istri Rajamulae kepada Limbo peropa Wa Pulisa
namanya maka beranakkan Katimanuru dan seorang Tuamaruju. Dan lagi
istri Rajamulae kepada negeri Burangasi Wa Nupu, namanya dan kedua
Wa Lambi namanya dan ketiga Wa Nialara namanya, maka beranakkan
Wa Guna Imbo namanya. Dan lagi Rajamulae kepada negeri Kabiriya
maka beranakkan La Raraea namanya dan La Maradalubu namanya. Dan
lagi istri Rajamulae kepada negeri Lea-Lea Wa Kotasangka namanya
maka beranakkan La Kiyayi dan La Halaba jumlahnya menjadi sembilan
orang.
Kemudian dari itu maka tersebut pula Fasal yang ketujuh
Katimanuru beristri dengan Wa Tubapala anak La Mbaawu maka beranak
lima orang pertama La Galunga namanya kedua Wa Lakui namanya
ketiga La Tangka namanya keempat La Wusasura namanya dan kelima
Wa Tandiwani namanya.
Kemudian dari itu maka tersebut pula riwayat Tuarade tiada beranak.
Itulah yang menjadi Raja Butun yang dinamai Sangia Isara Jawa yang
turun di negeri Majapai. Maka tersebut pula riwayat fasal yang kedua
lapan turunannya Murhum, maka Murhum itu beristri dengan Wa Sameka
anak Ngaciraja saudara Sangia Igola anak Tuamaruju. Maka Murhum
dan Wa Samika beranak tiga orang pertama Paramasuni kedua Wa
487
Sugirumpu ketiga Wa Batao. Maka Paramsuni beristri dengan La Siridatu
maka beranak dua lapan orang pertama Mobolina Pauna La Ialalangi
namanya, kedua Sangia iWaeroero La Ngajiraja namanya, ketiga Sangia
i-Lampaenano La Fajaara namanya, keempat Sangia i-Lahulu La
Rajangkatu namanya, kelima Sangia iKambowa La Siribaja namanya,
keenam Sangia iGundu-Gundu La Kandawa namanya, ketujuh Sangia
Lantogau La Mantara namanya, dan kedua lapan Sangia i-Wawonowo
yaitu Wasalangi namanya.
Maka tersebut pula riwayat Fasal yang kesembilan La Kabaura
beristri dengan Wa Bunganila anak Murhum juga maka La Kabaura dan
Wa Bunganila beranak dua orang laki-laki pertama Lalaki Mancuana
iKumbewaha La Bula namanya kedua sangia i-Tapi-Tapi La Singka
namanya. Dan lagi anaknya dari Maluku Kapitalao Ali namanya. Maka
tersebut pula riwayat Lalaki Mancuana beristri dengan Wa Lambencungi
maka beranak tiga orang dua orang laki-laki dan seorang perempuan
pertama Mosabuna iKumbewaha La Buke namanya kedua Ibubaana La
Walanda namanya dan perempuan itu Mandawani
iGantarasanggaranabati namanya. Dan lagi anaknya Lalaki Mancuana
dengan perempuan yang lain anak menteri Katapi Wa Wanaaja namanya
beranakkan La Napaati namanya yaitu Kasawari. Dan lagi istri Lalaki
Mancuana Wa Ninisangka kaum Peropa maka beranakkan Sapati
Baaluwu La Arafani namanya.
Maka tersebut pula riwayat Fasal yang kesepuluh turunannya Tapi-
Tapi beristri dengan anak Abdul Wahid yaitu Balu Itete namanya maka
beranakkan empat orang, tiga orang laki-laki dan seorang perempuan;
pertama kapitan Mutangana bernama La Nuru kedua, Mokawana Lelena
488
bernama La Nisuru, ketiga Kenepulu Lowu-Lowu bernama La Hasa,
keempat Baluna Tete.
Maka tersebut pula riwayat Fasal yang kesebelas turunannya
Mosabuna iKumbewaha beristri dengan Wa Ode Torisi anak Sangia
Ilabalawa maka beranak seorang laki-laki Igogoli Iwaruruma namanya.
Maka Gogoli Waruruma beristri Iwapatanga anaknya Mosabuna iLealea
maka beranak lima orang tiga perempuan dan dua orang laki-laki;
pertama Yarona Sura Wolio, kedua raja Batauga, ketiga raja Agama,
keempat Sulthan Mazhar Al-Din La Tumparasi, keempat Wa Ode
Sampela, kelima Wa Ode Torisi.
Maka tersebut pula riwayat Fasal kedua belas turunannya Lebey
Pangulu beristri dengan anaknya Tulamiwa maka beranakkan dua orang
seorang laki-laki seorang perempuan yang bernama paapana
Moposuruna Arataana dan laki-laki itu Lebay i-Daoa.
Dan lagi riwayat Lebay i-Daoa beranak dua orang laki-laki pertama
imam Malanga, kedua La Banui tiada beranak. Maka imam Malanga
beranakkan tiga orang perempuan pertama, Wa Didi i-Lampanana, kedua
Wa Didi Idaoa ketiga baluna Sura Wolio. Maka Baluna Sura Wolio
bersuami dengan anaknya Gogoli Waruruma maka beranakkan dua orang
seorang laki-laki dan seorang perempuan; pertama Hatibi Kokalukuna,
kedua Wa Ode Wolowa namanya. Maka Wa Ode Wolowa beranak
seorang perempuan baluna Kamaru namanya tiada beranak. Maka Hatibi
Kokalukuna beristri dengan anak Sangia i-Manuru maka beranak seorang
perempuan Wa Ode Bombo namanya. Maka Wa Ode Bombo bersuami
dengan Yarona Ambuau maka beranak seorang laki-laki Andaraja atawa
La Ode Sungkuaboso namanya. Dan lagi Wa Ode Bombo bersuami pula
489
dengan kapitan laut yang ditembak oleh Walanda maka beranakkan
seorang perempuan oputa balu i-Wandailolo yaitu Wa Ode Banu
namanya. Maka Wa Ode Bunu bersuami dengan Oputa Mosabuna i-
Wandailolo maka beranak enam belas orang, sepuluh orang laki-laki dan
enam orang perempuan; pertama oputa mosabuna Ibaaluwu La Ode Dani,
kedua raja Lasalimu iBau-Bau La Ode Ruwari namanya, ketiga raja
Lolibu iLoji La Ode Sada namanya, keempat raja Watumotobe iMunara
La Ode Tobelo namanya, kelima raja Bola iTambina Maa La Sonte La
Ode Sarangka namanya, keenam raja Wolowa i-Uwe La Ode
Sidamangura namanya, ketujuh yarona Bewe La Ode Jurutulisi namanya,
kedua lapan yarona Bumbu iBante La Ode Abas, kesembilan Lakina
Kokalukuna La Ode Nanti namanya, kesepuluh yarona Takimpo La Ode
Sapala, namanya kesebelas baluna Lakologou Wa Ode Torisi namanya,
kedua belas yarona Kalanda Wa Ode Huna namanya, ketiga belas yarona
Bola Wa Ode Sinta namanya, keempat belas yarona Kalanda Wa Ode
Sapati namanya, kelima belas Wa Ode Liumani namanya, keenam belas
Wa Ode Kamila namanya. Dan lagi anakna oputa mosabuna i-Wandailolo
dua orang laki-laki pertama La Ode Labili kedua La Ode Aero namanya
yaitu Yarona Labalasu.
Dan lagi riwayat Fasal yang ketiga belas turunannya Wa Ode Bumbu
bersuami dengan Yarona Lowu-Lowu La Ode Hasani namanya anaknya
raja Lea-Lea maka beranak enam orang dua orang laki-laki dan empat
orang perempuan, pertama La Ode Sepa namanya, kedua La Ode
Asamana namanya, ketiga perempuan itu Wa Ode Waruruma namanya,
keempat Wa Ode Teba namanya, kelima Wa Ode Pasi keenam Wa Ode
Ina-Ina. Dan lagi anaknya La Ode Hasani dengan perempuan yang lain
490
lima orang pertama La Ode Lani, kedua La Ode Labasa namanya, ketiga
La Ode Landuwama, keempat La Ode Larubaa, namanya kelima La Ode
Maliwungi, namanya. Dan lagi riwayat Fasal yang keempat belas
turunannya, Oputa Mosabuna IBaaluwu beristri dengan anaknya Opula
Lakina Agama Mancuana bernama Wa Ode Mapute maka beranakkan
sebelas orang tujuh orang laki-laki dan empat orang perempuan; pertama
raja Tiworo bernama La Ode Muhammad, kedua raja Todanga bernama
La Ode Ganaparasi, ketiga raja Lasalimu bernama La Ode Umaumane,
keempat raja Wolowa bernama La Ode Ramuli, kelima raja Lolibu
bernama La Ode Saadati, keenam Kenepulu bernama La Ode
Habasanasa, ketujuh La Ode Hanifa, kedelapan oputa Mobolina
Kamalina iBaadia bernama Wa Ode Baau, kesembilan raja Holimombo
perempuan bernama Wa Ode Bintangsari, kesepuluh baluna kapitan lao
bernama Wa Ode Ida, kesebelas Wa Ode Rarambia.
Dan lagi riwayat raja Tiworo La Ode Muhammad beristri dengan
anaknya raja Lasalimu i-Bau-Bau bernama Wa Ode Jabal Arafa maka
beranak tujuh orang, dua orang laki-laki dan lima orang perempuan,
pertama La Ode Abdul Samad namanya kedua La Ode Saleh namanya
ketiga Wa Ode Baluogena keempat Wa Ode Balulmomate, kelima Wa Ode
Bulukadana, keenam Wa Ode Ngkito, ketujuh Wa Ode Kalakalambe
namanya.
Dan lagi riwayat Fasal yang kelima belas turunannya raja Todanga
La Ode Gunuparasi beristri dengan anaknya yarona Kalanda iwalalima
yang bernama Wa Ode Siti Maladiri maka beranak lima orang empat
orang laki-laki seorang perempuan, pertama laki-laki belum ada
namanya, kedua Saleh namanya, ketiga Abdul Ghaniy namanya, keempat
491
laki-laki belum ada namanya, kelima Wa Ode Dambe namanya. Dan lagi
anaknya kepada perempuan yang lain lima orang dua orang laki-laki tiga
orang perempuan pertama Abdul Malik namanya kedua yarona imamuna
Sura Wolio Liabe namanya ketiga Wa Usuku namanya, keempat Wa Buku
namanya, kelima Kamariya namanya.
Dan lagi riwayat fasal yang keenam belas turunannya raja Lolibu
iLoji beristri dengan anaknya oputa Lakina Agama Mancuana yang
bernama Wa Ode Ulia maka beranak sebelas orang empat orang laki-laki
dan tujuh orang perempuan, pertama La Ode Jawari namanya, kedua
yarona Kaedupa La ode Japere namanya, ketiga raja Lawele Abdullah
namanya, keempat tiada namanya, kelima Wa Ode Kampoilea, keenam
Wa Ode Saharibaanana, ketujuh yarona Wasaga Wa Ode Malami, kedua
lapan Aisyah namanya, kesembilan Mandara namanya, kesepuluh
Kasampu Wa Laputui dan Melay kesebelas Wa Ode Hajar namanya.
Dan lagi riwayat Fasal yang ketujuh belas turunannya La Ode Pere
beristri dengan Wa Ode Nanti yarona Lowu-Lowu maka beranak sepuluh
orang, lima orang laki-laki dan lima orang perempuan, pertama Abdul
Haim namanya, kedua La Indala. Dan lagi anaknya kepada perempuan
yang lain enam belas orang sembilan orang laki-laki, tujuh orang
perempuan, pertama La Panguju, kedua La Tami, ketiga Abadi, keempat
Isak, kelima Qayim dan empat orang belum ada namanya dan perempuan
itu pertama Wa Ngkida, kedua Wa One, ketiga Amala, keempat Quraisi,
kelima Wa Taibi, keenam Wa Kana, ketujuh belum ada namanya.
Dan lagi riwayat Fasal yang kedelapan belas turunannya raja Lawele
bernama Abdullah beristri dengan Wa Ode Sarimudana anaknya yarona
Bombona Wulu La Ode Andaraja maka beranak dua orang perempuan,
492
pertama Wa Ode Ayisya namanya, kedua Wa Ode Hadia namanya. Dan
lagi raja Lawele beranak kepada perempuan yang lain dua orang laki-
laki, pertama La Ode Kimo namanya, kedua La Ode Fii namanya.
Dan lagi riwayat Fasal yang kesembilan belas turunannya raja
Holimombo bernama La Ode Tia beristri dengan anaknya oputa
Mosambuna IBaaluwu yang bernama Wa Ode Bintangsari maka beranak
enam orang, dua orang laki-laki dan empat orang perempuan, pertama
raja Kamelanta bernama La Ode Abdul Karim, kedua La Ode Bula
namanya, ketiga ketiga Wa Ode Habiiba, keempat raja kapita perempuan
bernama Wa Ode Enge, kelima Wa Ode Bula keenam Wa Ode Hajiri
namanya. Dan lagi riwayat fasal yang kedua puluh turunannya Wa Ode
Aisya anaknya Yaronan raja Lawele bernama Abdullah maka Wa Ode
Aisya bersuami dengan yarona Bombona Wulu La Ode Baaluwu anaknya
raja Lasalimu IBau-Bau maka anaknya empat orang seorang laki-laki dan
tiga orang perempuan, pertama La Ode Budi namanya, kedua Wa Ode
Gantea namanya, ketiga Wa Ode Ruhaana, keempat Wa Ode Keda
namanya.
Dan lagi riwayat Fasal yang kedua puluh satu turunannya Wa Ode
Mili bersuami dengan yarona Wasaga bernama La Ode Jiwa anaknya
kapitalao Inulu maka beranak empat orang perempuan, pertama Wa Ode
Ngkana, kedua Wa Ode Ngkoba, ketiga Wa Ode Deba, keempat Wa Ode
Pangka namanya dan lagi riwayat Fasal yang kedua puluh dua
turunannya raja Lasalimu iBau-Bau beristri dengan anaknya kapitalao
Wolowa bernama Wa Ode Mangur maka beranak empat orang tiga laki-
laki seorang perempuan pertama La Ode Pirancumani namanya kedua
yarona Lambelu bernama La Ode Harisi ketiga yarona Bombona Wulu
493
bernama La Ode Baaluwu keempat raja Tiworo bawine bernama Wa Ode
Jabal Arafa. Maka yarona Lambelu beristri dengan Wa Ode Malam
Cahaya anaknya yarona Kedupa La Ode Walincada nama bundanya Wa
Ode Sapati maka Wa Ode Malam Cahaya beranak dua orang seorang
laki-laki dan seorang perempuan bernama Wa Ode Pameri namanya
maka yarona Lambelu bercerai dengan Wa Ode Malam Cahaya maka
beristri pula dengan Wa Ode Pitiri anaknya raja Lasalimu Haji Sulaiman.
Dan Wa Ode Pitiri Tene-Tene dengan yarona Lambelu beranak seorang
perempuan Wa ode Saleha namanya dan lagi riwayat Fasal yang kedua
puluh tiga turunannya raja Watumotobe La Ode Tobelo beristri dengan
Wa Ode Enu anaknya raja Wolowa iLelemangura. Maka Wa Ode Enu
beranak seorang laki-laki bernama La Ode Labunta namanya. Maka
bercerai raja Watumotobe dengan Wa Ode Enu sebab matinya maka
beistri pula dengan Wa Ode Ili anaknya yarona Tobe-Tobe La Ode Hanaa
namanya maka Wa Ode Ili beranak empat orang dua orang laki-laki dan
dua orang perempuan pertama Abdul Aziz namanya kedua raja Bombona
Wulu La Ode Jaafi namanya ketiga raja Lele perempuan Wa Ode Jasilaa
namanya keempat raja Bumbu perempuan Wa Ode Shafia namanya. Dan
lagi anaknya raja Watumotobe dengan perempuan yang lain pertama raja
Baruta bernama La Ode Hululaba, kedua La Galampa, ketiga Hangatua-
tua, keempat Malabai, kelima Abubakar, keenam La Wune, ketujuh yarona
Kondowa bernama Iwanasi, kedua lapan raja kapita bernama Hasim,
kesembilan Wa Ode Noi, kesepuluh Wa Doe Ambe, kesebelas Wa Ode
Rino, kedua belas Wa Ode Maparawa, ketiga belas Wa Onda, keempat
belas Wa Ode Naasiri, kelima belas Wa Ode Kalima, keenam belas Wa
Ode Asia.
494
Dan lagi riwayat Fasal yang ke dua puluh empat turunannya raja
Wolowa Yuwe La Ode Sidamangura namanya beranak dua orang seorang
laki-laki dan seorang perempuan. Laki-laki itu Yarona Kambekambero La
Ode Siadi namanya dan perempuan itu kenepulu perempuan bernama Wa
Ode Dawia. Maka Wa Ode Dawia bersuami dengan kenepulu bernama La
Ode Nuhu maka beranak tujuh orang enam orang perempuan seorang
laki-laki Idirisi namanya.
Fasal yang ke dua puluh lima turunannya Yarona Kambekambero
beranak dua orang laki-laki dan seorang perempuan pertama La Ode
Salamana, kedua Wa Unu.
Dan lagi riwayat fasal yang ke dua puluh enam turunannya yarona
Bewe beranak tujuh orang empat orang laki-laki tiga orang perempuan
pertama La Ode Tara, kedua La Ode Makali, ketiga Yarona Kamelanta La
Ode Balubi namanya, keempat La Ode Pata, kelima Wa Ode Kambi,
keenam Wa Ode Sahafina, ketujuh Wa Ode Kalanda.
Dan lagi riwayat fasal yang kedua puluh tujuh turunannya Yarona
Bumbu iBente La Ode Abas beristri dengan Wa Ode Ncawaka anaknya
raja Inulu. Maka Wa Ode Ncawaka beranak dua lapan orang lima orang
laki-laki tiga orang perempuan, pertama La Ode Nurudin, kedua sapati
raja Lakudo bernama La Ode Ngkonawe, ketiga raja Todanga bernama
La Ode Bahamana Ali, keempat yarona Todanga La Ode Talibu namanya,
kelima Raja Lele La Ode Muhammad namanya, keenam Oputa Balu Wa
Ode Mpata, ketujuh raja Lolibu perempuan bernama Wa Ode Hatiba,
kedua lapan Wa Ode Kapute namanya. Dan lagi riwayat anaknya kepada
perempuan yang lain La Ode Barata namanya.

495
Dan lagi riwayat Fasal yang kedua puluh dua lapan Yarona
Kokalukuna beristri dengan Wa Ode Dewa maka beranak lima orang
empat orang laki-laki dan seorang perempuan pertama La Ode Pota,
kedua La Ode Ilaihi, ketiga La Ode Sirina, keempat La Ode Gaa, kelima
Wa Ode Manta. Maka Yarona Kokalukuna beristri pula dengan anaknya
yarona Lipu Malanga maka beranak seorang lai-laki bernama La Ode
Tebu namanya. Maka La Ode Tebu beristri dengan anaknya Yarona
Wasilomata maka beranak seorang perempuan Wa Ode Imbiimbi
namanya.
Dan lagi anaknya yang lain tiga orang perempuan, pertama Wa Ode
Pinda, kedua Wa Ode Taha, ketiga Wa Ode Jaha.
Dan lagi riwayat Fasal yang kedua puluh sembilan turunannya
Yarona Takimpo La Ode Sapala beristri dengan Wa Ode Maopulu maka
beranak seorang laki-laki bernama La Ode Boha namanya. Dan lagi
riwayat anaknya La Ode Talu dan raja Wolowa perempuan Wa Ode
Bisteo namanya dan Wa Ode Rasi namanya. Dan lagi lakina Kokalukuna
tiada beranak.
Dan lagi riwayat fasal yang ketiga puluh turunannya Wa Ode Huna
bersuami dengan Yarona Kalanda IWalilima yang bernama La Ode
Sarafa maka beranak lima orang dua orang laki-laki tiga orang
perempuan pertama Hatibi Kaluku ber nama La Ode Iri, kedua raja
Wolowa bernama La Ode Muhammad, ketiga Wa Ode Sitti Maladiri,
keempat Wa Ode Tewe, kelima Wa Ode Nini.
Dan lagi riwayat fasal yang ketiga puluh satu turunannya Wa Ode
Sunati bersuami dengan Yarona Bola bernama La Ode Sinta maka
beranak empat orang dua orang laki-laki dan dua orang perempuan,
496
pertama Yarona Wasuemba perempuan bernama Wa Ode Anaraja, kedua
Wa Ode Munaja, ketiga La Ode Bula, keempat La Ode Miimi.
Dan lagi riwayat Fasal yang ketiga puluh dua turunannya Wa Ode
Sapati beristri dengan Yarona Kaedupa bernama La Ode Lincada maka
beranak empat orang tiga orang laki-laki dan seorang perempuan
pertama La Ode Sangka, kedua raja Kaedupa bernama La Ode Daa,
ketiga La Ode Subali. Maka bercerai dengan dia maka bersuami pula
dengan raja Lasalimu Haji Saliman maka beranak seorang perempuan
yang bernama Wa Ode Tenei bersuami dengan raja Wolowa maka
beranak tiga orang dua orang laki-laki dan seorang perempuan pertama
Yarona Tete bernama La Ode Arabu, kedua La Ode Kaasimu, ketiga Wa
Ode Sirikumala namanya. Maka tersebut pula riwayat fasal yang ketiga
puluh tiga turunannya raja Batauga beristri dengan anaknya raja
Kokalukuna maka beranak seorang laki-laki raja agama La Mimi
namanya. Maka raja agama beranak empat belas orang tetapi sepuluh
mati tinggal empat orang laki-laki pertama bapa La Libu, kedua raja
Kamelanta bapa La Ode Nui, ketiga raja Kamelanta bapa Wa Liyani
keempat raja agama La Onda. Seperkara lagi raja Batauga beristri
dengan anaknya Sapati IKopea maka beranak seorang perempuan Wa
Ode Bungku namanya. Maka Wa Ode Bungku bersuami dengan raja
Koroni maka beranak seorang Wa Mosombi namanya. Maka Wa Mosombi
bersuami dengan anaknya raja Koroni maka beranak empat orang dua
orang laki-laki dan dua orang perempuan pertama Yoarana Wasaga La
Ntaai namanya, kedua raja Koroni Sombintalanga, ketiga Wa Ode
Saramalapi namanya. Fasal raja Batauga lagi beristri pula dengan anak
raja Liahura maka beranak seorang perempuan baluna Bombona Wulu
497
namanya. Maka Baluna Bombona Wulu beranak tiga orang seorang
perempuan dua orang laki-laki, pertama raja Barahi namanya, kedua
Sajahatara namanya, ketiga Wa Nuru namanya. Maka raja Barahi
beranak seorang Lakarajuna namanya. Maka Wa Ode Nuru bersuami
dengan Raja Inulu maka beranak seorang laki-laki Yarona Batauga La
Rabu namanya. Maka bercerai dengan Wa Ode Nuru dengan Raja Inulu
maka bersuami pula sama raja Lawele maka beranak dua orang laki-laki
pertama Sabandara Masati namanya, kedua Yarona Baruta Baahira
namanya. Maka Sajahatara bersuami dengan Raja Inulu maka beranak
seorang laki-laki Haandasa namanya. Maka tersebut pula riwayat Fasal
yang ketiga puluh empat turunannya bapa Lolibu maka beranak tujuh
orang empat orang laki-laki tiga orang perempuan, laki-laki itu tiada
beranak dan seorang perempuan tiada beranak.
Maka tersebut pula riwayat fasal yang ketiga puluh lima turunannya
Wa Rakeo bersuami dengan Yarona Imamuna Sura Wolio bernama La
Tambia maka beranak seorang laki-laki La Ida namanya. Maka bercerai
dengan Yarona Imamuna Sura Wolio maka bersuami pula dengan Yarona
Sampolawa maka beranak seorang perempuan Wa Mangulea namanya.
Maka tersebut pula riwayat Fasal yang ketiga puluh enam turunannya
Wa Unda bersuami dengan Yarona Wasilomata bernama La Sori maka
beranak sembilan orang lima orang sudah mati empat yang hidup pertama
Yarona Kokalukuna La Ode Ide, namanya La Panca, namanya ketiga raja
Laompo La Ode Rajaluwu, namanya keempat Baluna Bumbu Wa Kia
namanya. Maka Baluna Bumbu beristri dengan Yarona Lowu-Lowu La
Ode Parangka maka beranak seorang laki-laki Kawaowe namanya. Maka
bercerai dengan Yarona Lowu-Lowu sebab matinya maka bersuami pula
498
dengan raja Bumbu bernama La Ode Mandi, maka beranak empat orang
dua orang perempuan dua orang laki-laki pertama yarona Kaluku La
Imbu namanya, kedua Yarona Lowu-Lowu La Pala namanya, ketiga Wa
Daode namanya, keempat Wa Hoga namanya.
Maka tersebut pula riwayat Fasal yang ketiga puluh tujuh
turunannya Raja Kamelanta bapak La Dunuwi namanya beristri dengan
anaknya raja Lambelu maka beranak dua lapan orang empat orang laki-
laki dan empat orang perempuan, pertama La Galu, kedua La Jamalu,
ketiga La Cica, keempat La Puta, kelima Wa Raapi, keenam Wa Sahada,
ketujuh Wa Salamata, kedua lapan Maahami.
Maka tersebut pula riwayat Fasal yang ketiga puluh dua lapan
turunannya raja Kamelanta bapa Wa Liina maka beranak sepuluh orang
tiga orang laki-laki tujuh orang perempuan pertama La Ntuga namanya,
kedua La Kuusi namanya, ketiga La Wakuu namanya, keempat Haasaka
namanya, kelima Wa Liana namanya, keenam Wa Wau namanya, ketujuh
Wa Podi namanya, kedua lapan Wa Rakia namanya, kesembilan Kasiyani
namanya, kesepuluh Wa Tiawo namanya. Maka La Ntuga beranak
seorang laki-laki La Mahamudu namanya.
Maka tersebut pula riwayat fasal yang ketiga puluh sembilan
turunannya raja agama La Onda beristri dengan anaknya raja Wolowa
bernama La Ode Huu maka beranak enam orang lima orang laki-laki
seorang perempuan pertama raja Lowu-Lowu La Santi namanya, kedua
imamu La Buntulaka, ketiga La Kamata namanya, keempat Yarona Imamu
La Malape namanya, kelima La Ganda namanya, keenam Yarona
Todanga Wa Muhu namanya. Maka bercerai dengan Wa Ode Huu sebab
matinya maka beristri pula dengan Baluna Burangasi maka beranak
499
empat orang seorang laki-laki tiga orang perempuan pertama laki-laki itu
raja Manguntu namanya kedua raja Bataraguru namanya yaitu Kapitalao
Lolibu beristri dengan paapana La Tugho maka beranak seorang
perempuan Wa Ode Waoge. Maka beristi lagi Kapitalao Lolibu dengan
baluna Burangasi Wa Ode Tanailandu namanya. Maka beranak seorang
laki-laki La Taranisi namanya maka Wa Ode Waoge bersuami dengan
Yarona Burukene bernama Abdul Rahman maka beranak tujuh orang
enam orang laki-laki seorang perempua tetapi yang tiga orang tiada
beranak tinggal empat orang beranak pertama Raja Wasilomata yang
kena peluru La Pajere namanya, kedua Yarona Kapitalao Kumbewaha
Abdul Al-Ghaniy namanya ketiga raja Wasilomata yang kena keris ...... La
Gamba namanya, keempat Yarona Tobe-Tobe La Kadiri namanya. Maka
tersebut pula riwayat raja Wasilomata yang kena peluru maka beranak
seorang laki-laki yang amat putih yang bernama La Dongkulo. Dan lagi
raja Wasilomata yang kena keris ...... maka beranak dua orang laki-laki
seorang laki-laki dan seorang perempuan, laki-laki itu Raja Sura Wolio
Cali namanya dan perempuan itu Wa Budani namanya. Dan lagi riwayat
Yarona Kapitalao Kumbewaha maka beranak dua orang laki-laki pertama
raja Bombona Wulu bernama La Cibolo kedua Yarona Batauga bernama
La Aka. Dan riwayat Yarona Tobe-Tobe La Kadiri maka beranak seorang
laki-laki Yarona Kalanda namanya. Dan lagi anaknya Sapati Kumbewaha
dengan perempuan yang lain nama anaknya itu Wa Tanga namanya.
Maka beranak pula kepada perempuan yang lain Paapana Wa Kudi
namanya. Dan lagi beranak kepada gundi-gundinya orang Kumbewaha
dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Perempuan itu Baluna
Imamu namanya dan laki-laki itu La Ode Lasitana namanya.
500
Dan lagi riwayat Fasal yang keempat puluh turunannya La Ode
Torisi beristri dengan anaknya bapa La Mbala maka beranak empat orang
dua orang laki-laki dua orang perempuan, pertama La Ode Wangke
namanya, kedua La Ode Moloku, ketiga Wa Ode Bawa namanya, keempat
Wa Ode Angkuri namanya. Maka La Ode Torisi beristeri pula dengan
anaknya Raja Wolowa maka beranak seorang perempuan bernama Wa
Ode Abadi namanya.
Maka tersebut pula riwayat fasal yang keempat puluh satu
turunannya Raja Manguntu maka beranak tiga orang seorang laki-laki
dua orang perempuan pertama La Dani namanya, kedua Barancalai
namanya, ketiga Wa Ode Wau namanya.
Maka tersebut pula riwayat fasal yang keempat puluh dua turunannya
Bawabaana beranak seorang laki-laki Kenepulu Lasalimu namanya maka
Kenepulu Lasalimu beristri pula dengan anaknya Kapulangku maka
beranak seorang perempuan. Adapun perempuan itu beranak dua orang
pertama Sabandara raja Lolibu dan kedua Yarona Kaedupa. Maka
Kenepulu Lasalimu beristri pula dengan perempuan yang lain anak Raja
Lohia yang bernama Wa Ode Lohia maka beranak seorang laki-laki
bernama Sapati Torisi. Maka Sapati Torisi beranak seorang maka beristri
dengan anaknya Imamu yang tinggi maka beranak tiga orang dua orang
laki-laki dan seorang perempuan pertama imamu yang tua kedua sapati
yang ditembak oleh Walanda ........ Baluna Sura Wolio dan anaknya
kepada gundinya tiga orang dua orang laki-laki dan seorang perempuan
pertama Yarona Burangasi kedua Yarona Kenepulu ketiga perempuan
Paapana Yarona Imamuna Sura Wolio. Dan lagi beristri pula Gogoli
Waruruma dengan anaknya Gogoli Liwuto maka beranak dua orang
501
perempuan pertama Baluna Kumbewaha namanya, kedua Paapana
Baluna Sapati Bualangana yaitu Wa Ode Samua namanya.
Maka tersebut pula riwayat fasal yang keempat puluh tiga
turunannya Wa Ode Samua bersuami dengan Sapati Kalanda maka
beranak seorang perempuan yaitu Baluna Sapati Bualangana, maka
bersuami dengan Yarona Inulu yang buta maka beranak seorang
perempuan Paapana Bualangana namanya. Maka Wa Ode Samua
bersuami dengan raja Burangasi maka beranak seorang laki-laki raja
Bombona Wulu namanya. Maka Raja Bombona Wulu beristri dengan
anaknya raja Batauga maka beranak tiga orang, seorang laki-laki dan
dua orang perempuan, pertama raja Barahi namanya, kedua Wa Ode
Nuru namanya, ketiga Sajahatara namanya. Dan lagi anaknya kepada
perempuan yang lain dua lapan orang, lima orang laki-laki tiga orang
perempuan pertama Haira namanya, kedua Besaana namanya, ketiga
Sapamarui namanya, keempat Badui namanya, kelima Hadda namanya,
keenam Wa Lanaka namanya, ketujuh Tanaamana namanya, kedua lapan
Alahia namanya.
Maka tersebut pula riwayat fasal yang keempat puluh empat
turunannya Gogoli Waruruma bersuami dengan yarona Kumbewaha
dengan anaknya yang naik dari Maluku maka beranak empat orang tiga
orang laki-laki dan seorang perempuan pertama Yarona Kenepulu
namanya, kedua Kenepulu Komba-Komba, ketiga Kenepulu i-Baluwu,
keempat Baluna Sabandara tiada beranak. Kenepulu Komba-Komba maka
Kenepulu IBaluwu beristri dengan anaknya Menteri Gama beranak
seorang laki-laki La Ode Kama namanya. Maka La Ode Kama beristri
dengan Wa Ode Atati maka beranak seorang laki-laki Masakaala
502
namanya. Maka Masakaala beristri dengan Wa Ode Nuru maka beranak
dua orang laki-laki pertama La Ode Masatisa namanya, kedua La Ode
Baahari namanya. Maka La Ode Bahari beristri dengan Wa Wani maka
beranak dua orang seorang seorang laki-laki dan seorang perempuan.
Maka Wa Masatisa beristri dengan La ode Poasia maka beranak dua
orang perempuan pertama Wa Ode Ai namanya, kedua Wa Ode Tambaga
namanya. Dan lagi anaknya Masatisa kepada perempuan yang lain Wa
Ode Anakara namanya.
Maka tersebut pula riwayat Yarona Kenepulu Fasal yang keempat
puluh lima turunannya Yarona Kenepulu maka beristri dengan anaknya
Sangia Imanuru maka beranak lima orang tiga orang laki-laki dua orang
perempuan, pertama Yarona Kasaka namanya, kedua Sangia Lawalangke,
ketiga raja Kumbewaha, keempat Baluna Kapitalao namanya, kelima raja
Lasehao perempuan tetapi keduanya perempuan itu tiada beranak. Maka
Yarona Kasaka beranak tiga orang laki-laki pertama Kharuju namanya,
kedua La Kampi namanya ketiga La Hada namanya. Maka raja
Kumbewaha beranak perempuan Hasaria namanya.
Fasal yang keempat puluh enam turunannya Sapati Ilawalangke
beristri dengan anaknya sapati IWolowa maka beranak seorang
perempuan Wa Ode Rimana namanya.
Fasal yang keempat puluh tujuh turunannya yarona Kenepulu kepada
perempuan yang lain dua orang, seorang laki-laki dan seorang
perempuan tetapi perempuan itu tiada beranak, dan laki-laki itu Hatibi
Tumada. Maka Hatibi Tumada beristri dengan anaknya Sapati Imanuru
maka beranak seorang perempuan Ismaa namanya. Maka Ismaa bersuami
dengan Danasi maka beranak tiga orang dua orang laki-laki dan seorang
503
perempuan, pertama La Dara namanya, kedua La Ide namanya, ketiga Wa
Bakia namanya. Dan lagi anaknya kepada gundinya empat orang, tiga
orang laki-laki dan seorang perempuan, pertama La Daba namanya,
kedua La Sariga namanya, ketiga La Ina-Ina namanya, keempat Wa
Malaka namanya. Maka La Ina-Ina beranak tiga orang, dua orang laki-
laki dan seorang perempuan, pertama La Mpida namanya, kedua Wa
Lasudu namanya, ketiga Wa Ode Rataji namanya. Dan lagi anaknya
Yarona Kenepulu seorang laki-laki La Ode Siompuna namanya.
Maka tersebut pula riwayat fasal yang keempat puluh dua lapan
turunannya Kasoria beristri dengan Wa Ode Wabini anaknya Sapati
IBaluwu maka beranak seorang laki-laki Sapati iPute namanya. Maka
Sapati Ipute beranak empat orang laki-laki pertama raja Kaedupa yang
diwawima, kedua Raja Kaedupa Galampata Malangka, ketiga Raja
Kaedupa yang mati, keempat Raja Kaedupa Wande-Wande.
Maka tersebut pula riwayat fasal yang keempat puluh sembilan
turunannya Sapati Baaluwu beristri dengan anaknya Sapati IGundu-
Gundu maka beranak empat orang tiga orang perempuan dan seorang
laki-laki, pertama Kabumbu Malanga namanya, kedua Wa Ode Ode
Karawu namanya, ketiga Paapana Sorumba namanya, keempat Paapana
La Masa. Dan lagi beristri pula Sapati Baluwu dengan perempuan yang
lain maka beranak tujuh orang pertama Paapana La Nisuru namanya,
dengan Paapana Sahabati namanya, dan Wa Ode Sope namanya, dan Wa
Ode Koroni namanya, dan Baluna Sura Wolio namanya, dan sapati Wa
Dauwiya namanya, dan bapa Wa Talalangi namanya. Maka tersebut pula
riwayat Kabumbu Malanga beristri dengan anaknya raja Wuna yang
dinamai La Tuuhu anaknya yaitu dinamai Babalana La Boora. Maka
504
Kabumbu Malanga beranak dengan perempuan itu tujuh orang pertama
Yarona Kamaru, kedua Sapati Kumbewaha Janida, keempat Yarona Inulu,
kelima Bapa Ranjangi, keenam Sapati ITobe-Tobe, ketujuh Wa Ode Bala.
Dan lagi Kabumbu Malanga beristri dengan anaknya Kapitalao ITete
maka beranak seorang laki-laki yang bernama La Ode Kaili itu Yarona
Laboora. Dan lagi Kabumbu Malanga beristri dengan anaknya Gogoli
Liwuto maka beranak seorang laki-laki yang bernama La Ngkaririi
namanya atawa Sapati Imanuru atau oputa Sangia. Jumlahnya anak
Kabumbu Malanga sembilan orang. Maka tersebut pula riwayat Oputa
Sangia itu beristri dengan anaknya Sapati IWolowa maka Oputa Sangia
beranak dua lapan orang pertama Sangia IWolowa, kedua Raja LaOmpo,
ketiga Raja Liya, keempat La Gaaga, kelima Bapa Kopea, keenam Balu
Igowa, ketujuh Yarona Kumbewaha, kedua lapan Paapana raja Lawele.
Dan lagi Oputa Sangia beristri dengan perempuan yang lain maka
beranak sembilan belas orang pertama La Ode Bante namanya, kedua
raja Baruta, ketiga Raja Sura Wolio, keempat Yarona Bola, kelima Yarona
Tobe-Tobe, keenam La Ode Halisi, ketujuh La Ode Muntari, kedua lapan
Oputa Baluna Agama, kesembilan Baluna Burangasi, kesepuluh Baluna
Kenepulu, kesebelas Baluna Kaedupa, kedua belas Baluna Kolencusu,
ketiga belas Baluna Kambe-Kambero, keempat belas paapa raja Wuna
Harisi, kelima belas Wa Wou, keenam belas belum ada namanya, ketujuh
belas Paapana Amlia, kedua lapan belas Paapana La Daka, kesembilan
belas Wa Ode Saumala Paapana Wa Ode Sangaapa. Dan lagi riwayat
anaknya Kabumbu Malanga yang bernama Yarona Laboora beristri
dengan anaknya Sangia IKopea yang bernama Wa Ode Tumada. Maka
Yarona Laboora beranak seorang laki-laki yang bernama La Ode Jampi
505
yaitu Oputa Lakina Agama Mancuana. Maka Oputa Lakina Agama
Mancuana beristri dengan anaknya oputa Sangia Imanuru maka beranak
empat orang tiga orang laki-laki seorang perempuan pertama La Ode
Taama, kedua La Ode Walanda namanya, ketiga La Ode Badaru
namanya, keempat Paapana Maalam Bulantea namanya. Maka Oputa
Lakina Agama Mancuana beristri dengan Belubarugana Bawona Bata
maka beranak dua orang seorang laki-laki seorang perempuan tetapi laki-
laki itu mati ada kecil dan perempuan itu Sapati Bawana Wa Ode Aulia
namanya. Dan lagi Belobarugana Kumbewaha beranak dua orang
seorang laki-laki dan seorang perempuan yaitu Oputa Mosabuna
IBaaluwu Bawine Wa Ode Mpati namanya dan laki-laki itu raja
Mawasangka La Ode Afaradi namanya. Dan lagi Belobarugana Laompo
beranak seorang laki-laki yaitu Yarona Labalawa Majene La Ode Wiridi
namanya.
Maka tersebut pula riwayat anaknya Oputa Lakina Agama Mancuana
yang bernama Lakina Waale-Ale Bula La Ode Walanda Kawana maka
beranak empat orang tiga orang laki-laki seorang perempuan pertama
raja Batauga yang mati di tanah Jawa. La Ode Paranaka namanya, kedua
Kapitalao Kamaru yang mati di tanah Mangkasar La Ode Ismail
namanya, ketiga Raja Kamaru La Ode Ishak namanya, keempat Wa Ode
Rangka namanya.
Fasal riwayat raja Batauga yang mati di tanah Jawa maka beranak
sembilan orang dua orang laki-laki tujuh orang perempuan pertama La
Ode Suriana namanya, kedua Raja Lowu-Lowu Ismaatim namanya, ketiga
Baluna Baruta Wa Ode Kampe namanya, keempat Baluna Sabandara Wa
Ode Amulia namanya, kelima Baluna Kokalukuna Wa Ode Ami namanya,
506
keenam Baluna Kenepulu Wa Ode Haajiri paapana La Ode Guru
namanya, ketujuh paapana La Pota Wa Ode Dewa namanya, kedua lapan
Paapana Haji Sulaiman Wa Ode Songi namanya, kesembilan Wa Ode
Sandi namanya.
Fasal riwayat Kapitalao Kamaru yang mati di tanah Mangkasar yang
bernama La Ode Ismail maka beristri dengan anaknya Oputa Lakina
Agama Ana bernama Wa Ode Lia maka beranak enam orang perempuan
pertama Yarona Sapati bawine Wa Ode Duulu namanya, kedua Raja
Lagadi bawine Wa Ode Biibi namanya, ketiga Wa Ode Rangku namanya,
keempat Imamu Bawine Wa Ode Habiiba namanya, kelima Wa Ode
Nasiima namanya, keenam Wa Ode Batari namanya. Dan lagi anaknya
Kapitalao Kamaru kepada perempuan yang lain sembilan orang lima
orang laki-laki empat orang perempuan pertama Yarona Waale-ale Yakub
namanya, kedua Raja Lambelu La Natarabi namanya, ketiga Langkariirii
namanya, keempat La Kambisa namanya, kelima La Daodao namanya,
keenam Wa Ganda Mboose namanya, ketujuh Wa Bula namanya, kedua
lapan Wa Dida namanya, kesembilan Wa Kelu namanya. Fasal riwayat
Wa Ode Rangku beranak seorang laki-laki yang bernama La Kanahi
namanya.
Fasal Riwayat Opuna Lakina Agama Ana anaknya Oputa Lakina
Agama Mancuana maka Oputa Lakina Agama Ana beristri dengan Oputa
Ilampenana maka beranak empat orang dua orang laki-laki da dua orang
perempuan pertama raja Watumotobe La Ode Musaleh namanya, kedua
Sultan Qaimuddin Aidrusu namanya, ketiga Paapana Wa Ode Angkuri Wa
Ode Tangkabala namanya, keempat raja Kalende bawine Wa Ode Mihrab
namanya.
507
Fasal riwayat raja Watumotobe La Ode Musaleh anaknya Oputa
Lakina Agama Ana. Maka Lakina Watumotobe La Ode Musaleh beristri
dengan anaknya Oputa Mosabuna IBaluwu yang bernama Wa Ode Linda
maka beranak empat orang dua orang laki-laki dua orang perempuan,
pertama Wa Ode Limbo namanya, kedua Yarona Lolibu bawine bernama,
Wa Ode Aisa namanya, ketiga Yarona Todanga La Ode Abdul Rahim
namanya, keempat Hatibina Sura Wolio La Ode Muhammad namanya.
Dan lagi anaknya raja Watumotobe kepada perempuan yang lain maka
beranak tiga orang dua orang laki-laki dan seorang perempuan pertama
raja Sura Wolio La Ode Saidi namanya, kedua La Ode Saepulu namanya,
ketiga Wa Ode Wee namanya.
Fasal Riwayat Sultan Aidrusu beristri dengan anaknya Oputa
Mosabuna IBaaluwu yang bernama Wa Ode Baai maka beranak tiga belas
orang, lima orang laki-laki dua lapan orang perempuan pertama La Ode
Abdullah namanya, kedua Sultan Qaimuddin bernama Muhammad Isa,
ketiga La Ode Kamaludin namanya, keempat Raja Liya La Ode Baadia
namanya, kelima La Ode Umar namanya, keenam Kapitalao bawine yang
bernama Wa Ode Mariya, ketujuh Wa Ode Hamida namanya, kedua lapan
Wa Ode Saida namaya, kesembilan Baluna Bombona Wulu bernama, Wa
Ode Salina namanya, kesepuluh Wa Ode Tamimaa, kesebelas Wa Ode
Muhasana kedua belas, Wa Ode Kamala ketiga belas Wa Ode Imatullah.
Maka mati Sultan perempuan maka digantikan dua orang pertama Wa
Ode Maputi anaknya Yarona Bumbu La Ode Abas namanya itulah Oputa
Balu IBente, kedua Wa Ode Sarabula anaknya Yarona Todangan La Ode
Tiga namanya, itulah Oputa Balu IBaadia. Maka Oputa Balu IBente
beranak dua orang perempuan pertama Wa Ode Sauda, namanya kedua
508
Wa Ode Manira namanya. Maka Oputa Balu IBaadia beranak tiga orang
dua orang laki-laki dan seorang perempuan pertama raja Todanga La
Ode Miiramu namanya, kedua La Ode Muhammad namanya, ketiga Wa
Ode Amana namanya. Dan lagi anaknya kepada yang lain Wa Ode
Kampamance seorang perempuan Wa Ode Faatima namanya. Dan lagi
Wa Ode Ana seorang perempuan Wa Ode Hasina namanya. Dan Wa Ode
Anisa dua orang laki-laki pertama Muhammad Sahri, kedua Muhammad
Kubra namanya. Dan Wa Ode Kamali beranak seorang perempuan dan
Wa Inga seorang laki-laki Anisa namanya. Dan lagi anaknya kepada
Belobarugana Batauga tiga orang laki-laki pertama Abdullah, kedua La
Baluwu, ketiga Muhammad namanya. Maka Belobarugana Busoa beranak
enam orang tiga orang laki-laki tiga orang perempuan pertama Kenepulu
IBente La Ode Nuha, kedua Muhammad, ketiga Tamim namanya, keempat
Nafaa namanya, kelima Zainab, keenam Saalima. Maka belobarugana
Kolencusu beranak dua lapan orang pertama Ilias namanya, kedua Abdul
Hadi namanya, ketiga Daud namanya, keempat Muhammad Yusuf
namanya, kelima Zahada namanya keenam Lianda namanya, ketujuh
Abadi namanya, kedua lapan Umat al-Kalam namanya. Dan lagi
Kolncusu Wasiara tiga orang pertama Abadi namanya, kedua Yasir
namanya, ketiga perempuan Ramulia namanya. Dan lagi Kolencusu
Walanto seorang laki-laki Maamun namanya. Dan lagi Kolencusu Wa Ene
seorang laki-laki Munammad Gento namanya. Dan Kolencusu bukan
belobarugana seorang laki-laki Lakina Baadia IBone-Bone bernama La
Ode Barangka namanya. Dan belobarugana Burukene enam orang
pertama raja Baadia Harun namanya, kedua La Ode Mpare namanya,
ketiga Jabal namanya, keempat La Ode Haadia namanya, kelima La Ode
509
Miramu namanya, keenam belum ada namanya. Dan lagi belobarugana
Liabuku dua orang pertama Haiya namanya, kedua belum ada namanya.
Dan lagi belobarugana Liabuku seorang perempuan Wa Ode Rabiah
namanya. Dan lagi belobarugana Tobe-Tobe tiga orang perempuan Wa
Bula namanya, dua orang belum ada namanya. Dan lagi belobarugana
Kumbewaha Mapanda seorang perempuan. Dan lagi belobarugana
Kumbewaha Malanga enam orang empat orang laki-laki dua orang
perempuan pertama Sultan Muhammad Saleh namanya, kedua Iliyas
namanya, ketiga Hadlir namanya, keempat Muhammad Namanya kelima
Nuriyani namanya, keenam Halimati namanya. Dan lagi belobarugana
Taaluki tujuh orang, pertama Muhammad namanya, kedua Hakim
namanya, ketiga Haarisi namanya, keempat Saleh namanya, kelima
Maimuna namanya, keenam Maliha namanya, ketujuh Wa Ode Razina.
Dan lagi belobarugana Kaesabu seorang Sahamara namanya. Dan lagi
belobarugana Laompo tiga orang, pertama raja Laompo Hawad
namanya, dan dua orang perempuan belum ada namanya. Dan lagi Wa
Umbe beranak seorang perempuan belum ada namanya dan lagi seorang
perempuan Aminah namanya. Dan lagi Wa Naja beranak dua orang
pertama Abdul Ghani kedua Salama namanya, dan lagi Wa Sarapi dua
orang pertama Abdullah namanya, kedua Wa Muumana namanya dan lagi
Wa Hamisi beranak seorang laki-laki Muhammad namanya. Dan lagi Wa
Limi beranak seorang Aminah namanya. Dan lagi Wa Hari beranak
seorang perempuan Aisya namanya. Dan lagi Wa Kamba beranak
seorang laki-laki La Mbila namanya. Dan lagi riwayat Paapana Wa
Angkuri tiada beranak.

510
Fasal riwayat Wa Ode Mihrab bersuami dengan raja Kalende yang
bernama La Ode Gure maka beranak seorang perempuan Wa Ode
Angkuri namanya. Fasal riwayat Oputa Lakina Agama Ana disamakan
nomor lima puluh tiga maka Oputa Lakina Agama Ana beristri dengan
perempuan yang lain maka beranak tujuh orang enam orang perempuan
dan seorang laki-laki pertama Wa Ode Kadapi namanya, kedua Wa Ode
Biru namanya, ketiga Wa Ode Lawa namanya, keempat wa Ode Laha
namanya, kelima Wa Ode Najarya namanya, keenam Wa Ode Jidili
namanya, ketujuh La Ode Bate namanya. Dan lagi anaknya Oputa Lakina
Agama Ana raja Wawoangi La Ode Jahana namanya. Dan lagi anaknya
kepada perempuan yang lain lagi maka beranak dua orang seorang
seorang laki-laki seorang perempuan pertama La Ode Tanda namanya
dan kedua Wa Ode Lolita namanya.
Fasal riwayat Wa Ode Kadapi anaknya Oputa Lakina Agama Ana
maka Wa Ode Kadapi bersuami dengan La Ode Riba maka beranak dua
orang perempuan pertama Wa Ode Bakara namanya, kedua Wa Ode
Mbaambaa namanya.
Fasal riwayat Wa Ode Biru anaknya Oputa Lakina Agama Ana maka
Wa Ode Biru bersuami dengan La Ode Maliwungi maka beranak lima
orang laki-laki pertama raja Holimombo Haji Abdullah namanya, kedua
Yarona Tangana La Sopi namanya, ketiga Yarona Imamuna Wuna La
Mato namanya, keempat La Ingga namanya, kelima La Mpodo namanya.
Fasal riwayat Wa Ode Lawa anaknya Oputa Lakina Agama Ana.
Maka Wa Ode Lawa bersuami dengan La Ode Maka maka beranak
sebelas orang empat orang laki-laki tujuh orang perempuan pertama
Yarona Lawele La Rempa namanya, kedua Raja Burukene La Awa
511
namanya, ketiga Yarona Kapita Latabiibu namanya, keempat La
Mpalunga namanya, kelima paapana Muhammad Wa Malasi namanya,
keenam Paapana Abdullah Wa Ata namanya, ketujuh Wa Taatana
namanya, kedua lapan Wa Ana Mulya namanya, kesembilan Wa Lowu-
Lowu namanya, kesepuluh Halima namanya, kesebelas Muumana
namanya.
Fasal riwayat Raja Wasilomata yang bernama La Ode Bita anaknya
Oputa Lakina Agama Ana. Maka La Ode Bita beranak dua belas orang
enam orang laki-laki enam orang perempuan pertama Ahmad namanya,
kedua Yarona Tangana La Daha namanya, ketiga Haji Abdul Rauf
namanya, keempat Raja Wasaga Saliman namanya, kelima La Duuwu
namanya, keenam Yarona Labuandiri La Padangka namanya, ketujuh Wa
Kapuntori namanya, kedua lapan Raja Sampolawa perempuan Wa Nganta
namanya, kesepuluh Wa Cinai namanya, kesebelas Wa Pota namanya,
kedua belas Wa Walu namanya.
Fasal riwayat Raja Wawoangi La Ode Jahana anaknya Oputa Lakina
Agama Ana maka La Ode Jahana beranak tiga orang perempuan,
pertama Yarona Waaleale perempuan Wa Kantolalo namanya, kedua
Maimuna namanya, ketiga Wa Sahada namanya.
Fasal riwayat Wa Ode Lolita anaknya Oputa Lakina Agama Ana
maka Wa Ode Lolita bersuami dengan Murimba maka beranak tiga orang
laki-laki pertama Yarona Kokalukuna La Imamu namanya, kedua La
Agama namanya, ketiga yarona Batauga Masalamu namanya. Maka
bercerai dengan Murimba maka Wa Ode Lolita bersuami pula dengan
Sidamalantabi maka beranak seorang perempuan Wa Ode Amana
namanya.
512
Fasal maka tersebut riwayat Kaimuddin yang kedua yang bernama
Muhammad Isa maka beranak sebelas orang, empat orang laki-laki tujuh
orang perempuan pertama tuan Sapati Muhammad Saafi, kedua tuan
Sapati Abdul Latif namanya, ketiga Raja Sura Wolio Muhammad Zuhri,
keempat Yarona Bumbu Muhammad Ilyas namanya, kelima Baluna
Kalende perempuan yang bernama Wa Ode Rahama namanya tiada
beranak, keenam Wa ode Mutiba namanya tiada beranak, ketujuh Wa ode
Safaa namanya tiada beranak, kesembilan Wa Ode Atiya namanya tiada
beranak, kesepuluh Wa Ode Anafa, kesebelas Wa Ode Asamu namanya.
Fasal riwayat Wa Ode Maariya anaknya Oputa Mancuana IBadia
maka Wa Ode Mariya bersuami dengan Kapitalao Bombona Wulu yang
bernama La Ode Guru anaknya Kenepulu Bula maka Wa Ode Maariya
beranak lima orang tiga orang laki-laki dua orang perempuan pertama
anaknya Wa Ode Maariya Sultan Muhammad Umar, kedua Raja
Wawoangi, ketiga Sultan Muhammad Huseini namanya, keempat baluna
Kapitalao bawine Wa Ode Makhara namanya, kelima raja Wolowa
perempuan yang bernama Wa Ode Asia namanya.
Fasal riwayat Wa Ode Salima anaknya Oputa Mancuana IBaadia.
Maka Wa Ode Salima bersuami dengan raja Bombona Wulu La Ode
Jaafara anaknya raja Watumotobe Mokomunarana. Maka Wa Ode Salima
dan La Ode Jaafara beranak tiga orang dua orang laki-laki seorang
perempuan pertama Tuan Sapati bernama La Ode Mansur, kedua La Ode
Amiri, ketiga sultan perempuan yang bernama Wa Ode Imaama namanya.
Fasal riwayat Sultan Kaimuddin yang ketiga bernama Muhammad
Saleh maka beranak enam orang tiga orang laki-laki tiga orang
perempuan pertama Hatibi Kalende, kedua Raja Wuna La Ode Ahmad
513
namanya, ketiga Muhammad Yusuf imamu d-w-k-r-t-w, keempat Baluna
Wasilomata bawine, kelima Wa Ode Aini namanya, keenam raja Wolowa
perempuan yang bernama Wa Ode Iza namanya. Maka Wa Ode Iza
bersuami dengan Raja Wolowa yang bernama La Ode Adi anaknya tuan
Sapati bernama Muhammad Jabali. Maka Wa Ode Iza beranak tiga orang
seorang laki-laki dua orang perempuan pertama kepala Distrik Wolio La
Ode Sida namanya, kedua Wa Ode Zahoba namanya, ketiga Wa Ode
Malahama namanya. Maka Baluna Wasilomata bersuami dengan Raja
Wasilomata maka beranak seorang perempuan yang bernama Wa Ode
Humuuda namanya. Maka Hatibi Kalende beristri dengan Wa Uda maka
beranak dua orang seorang laki-laki dan seorang perempuan. Maka
perempuan itulah Oputa Balu IKabumbu yang bernama Wa Ode Azima
maka laki-laki itu Raja Agama iKabumbu bernama La Ode Badia
namanya. Dan Raja Wuna La Ode Ahmad itu beristri dengan Wa Mbone
maka beranak seorang laki-laki Sultan Muhammad Safiulanaami namanya
dan imamu La Ode Muhammad Yusuf yaitu beranak lima orang
perempuan pertama hatibi bawine bernama Wa Ode Nurayini, kedua Wa
Ode Ambe, ketiga Wa Ode Waze, keempat Yarona Hatibina Baadia
bawine yang bernama Wa Ode Kancese, kelima Wa Ode Zajida namanya.
Maka tersebut pula riwayat Sultan Safiullanaami anaknya Raja Wuna
itu beristri dengan Wa Ode Maalimu anaknya Yarona Agamana Wuna
maka Sultan Safiu Ilanaami beranak seorang laki-laki bernama
Muhammad Saleh namanya, dan Sultan Safiulanaami beristri dengan Wa
Raea maka beranak seorang perempuan bernama Wa Ode Mahfuza
namanya dan lagi anaknya kepada gundinya La Ode Muhammad Nuuru.
Maka tersebut pula riwayat Wa Ode Nurayini anaknya Imamu Muhammad
514
Yusuf yaitu bersuami dengan yarona Imamu La ode Muhammad Idirisi
anaknya Sultan Muhammad Umar maka Wa Ode Nurayini beranak
seorang perempuan berna Wa Ode Maruhuma namanya. Maka tersebut
pula riwayat kepala Wolio bernama La Ode Siidi beristri dengan Wa Ode
Faatima anaknya Sultan Abdul Hamid. Maka La Ode Siidi beranak dua
orang perempuan tiga orang laki-laki pertama La Ode Rauf, kedua La
Ode Rahim, ketiga La Ode Yusuf, keempat Wa Ode Saidi Wa Ode Mampi
namanya. Dan lagi anaknya Sultan Muhammad Saleh bernama Wa Ode
Liima. Maka Wa Ode Liima bersuami dengan La Ode Umairi maka
beranakan Wa Ode Saliya. Maka Wa Ode Saliya bersuami dengan La Ode
Mandi maka beranakkan Wa Ode Muhima namanya.
Fasal maka tersebut pula riwayat Tuan Sapati Muhammad Saafi
anaknya Sultan Muhammad Isa. Maka Muhammad Saafi beristri dengan
anaknya Raja Liya, La Ode Baadia maka beranak seorang perempuan
bernama Wa Ode Zahida. Maka Muhammad Saafi beristri pula dengan
peempuan yang lain maka beranak lima orang laki-laki pertama Yarona
Kalende La Ode Muhammad namanya, kedua raja Baadia bernama La
Ode Mane Guntu, ketiga raja Kamaru bernama La ode Suhaimi, keempat
tuan Sapati bernama La Ode Aero, kelima raja Wawoangi bernama La
Ode Siimu.
Fasal riwayat Tuan Sapati bernama Abdul Latif anaknya Sultan
Muhammad Isa maka bersuami dengan Wa Ode Aksa anaknya raja
Koroni. Maka Tuan Sapati bernama Abdul Latif beranak enam orang lima
orang laki-lai seorang perempuan pertama Sultan Abdul Hamid, kedua
yarona Bombona Wulu bernama La Ode Saraga, ketiga tuan Sapati
bernama La Ode Muhammad Faalihi, keempat Yarona Kepala Sampolawa
515
bernama La Ode Adam, kelima raja Kaedupa La Ode Amuna namanya.
Dan lagi tuan Sapati Abdul Latif beristri pula dengan Wa Ode Anafa maka
beranak tiga orang seorang laki-laki dua orang perempuan pertama
Yarona Mawasangka La Ode Humaidi, kedua raja Wanci perempuan
bernama Wa Ode Zara, ketiga Kepala Distrik Bungi perempuan bernama
Sarifa.
Fasal Riwayat raja Sura Wolio bernama La Ode Muhammad Zahri
anaknya Sultan Muhammad Isa. Maka raja Sura Wolio bernama
Muhammad Zahri beristri dengan Wa Nasi maka beranak dua orang
seorang laki-laki dan seorang perempuan pertama kepala Lasalimu La
Ode Ibrahim, kedua Tuan Sapati perempuan Wa Ode Ziiza. Dan lagi raja
Sura Wolio Muhammad Zahri beristri pula dengan perempuan yang lain
bernama Wa Ode Patirangka anaknya La Ode Musuhi maka beranak
empat orang seorang laki-laki tiga orang perempuan pertama yarona
Kepala Bungi La Ode Abdul Ghaniu namanya, kedua Yarona Kepala
Sampolawa bawine Wa Ode Muhiiba, ketiga yarona Waganta bawine Wa
Ode Takimpo, keempat raja Kaedupa perempuan bernama Wa Ode Taeo.
Fasal riwayat raja Bumbu bernama La Ode Ilyas anaknya Sultan
Muhammad Isa maka Raja Bumbu beristri dengan raja Bumbu perempuan
maka beranak seorang laki-laki Raja Bola bernama La Ode Salaka. Maka
raja Bola bernama La Ode Salaka itu beristri dengan Wa Ode Ati maka
beranak seorang perempuan.
Fasal riwayat Wa Ode Asimu anaknya Sultan Muhammad Isa. Maka
Wa Ode Asimu beristri dengan La Ode Barata yaitu raja Wasuemba maka
beranak dua orang perempuan pertama Wa Ode Abe yaitu Yarona
Bombona Wulu perempuan, kedua Wa Ode Rapi namanya. Maka Wa Ode
516
Abe beristri dengan La Ode Saraga anaknya Tuan Sapati Abdul Latif
maka Wa Ode Abe beranak dua orang perempuan bernama Wa Ode
Nggia yaitu raja Lakudo perempuan namanya, kedua Wa Ode Boa. Maka
Wa Ode Boa bersuami dengan La Ode Maala beranak dua orang laki-
laki. Dan lagi Wa Ode Nggia bersuami dengan La Ode Mbero yaitu raja
Lakudo anaknya Yarona Agamana Wolio La Ode Madi. Maka Wa Ode
Nggia dan La Ode Mbero beranak tiga orang dua orang laki-laki dan
seorang perempuan.
Fasal maka tersebut pula riwayat Kenepulu Ikota bernama La Ode
Muhammad Harun anaknya Sultan Aidrusu maka Kenepulu La Ode Harun
itu beranak empat orang tiga orang laki-laki dan seorang perempuan
pertama La Ode Aba, dan kedua Wa Ode Musa, ketiga La Ode
Muhammad Umba namanya, keempat Wa Ode Une tetapi tiga orang tiada
beranak hanya seorang yang beranak yaitu La Ode Muhammad Umba,
maka beranak tiga orang laki-laki pertama Yarona Hatibi Godo bernama
La Ode Umi, kedua Yarona Hatibina Baadia La Ode Nuru, ketiga Yarona
Imamuna Baadia La Ode Fahiri namanya. Maka La Ode Umiya beristri
dengan Wa Ode Ngkawahe anaknya kenepulu IBente bernama La Ode
Nuhu. Maka yarona Hatibi Igodo yang bernama La Ode Umi beranak
tiga orang dua orang perempuan dan seorang laki-laki yaitu Yarona
Kepala Distrik mandati Hatibina Wolio yang bernama La Ode Lalangi
dan perempuan itu pertama Wa Ode Muhita, kedua Wa Ode Muasrifa
namanya. Maka Wa Ode Muhita bersuami dengan Yarona Wasuemba
bernama La Ode Asimi maka Wa Ode Muhita beranak seorang laki-laki
bernama La Ode Maliki. Dan lagi La Ode Lalangi beristri dengan Wa
Ode Saba anaknya Yarona Kepala Distrik Kabaena La Ode Mandiya.
517
Maka La Ode Lalangi beranak empat orang tiga orang perempuan
seorang laki-laki pertama La Ode Malim, kedua Wa Ode Maliya, ketiga
Wa Ode Dawia namanya keempat ..... Dan lagi Yarona Hatibina Baadia
La Ode Nduru tiga orang perempuan pertama Wa Ode Kadombe
namanya, kedua Wa Ode Kirama, ketiga Wa Ode Kamomo namanya.
Maka Wa Ode Kirama yaitu beristri dengan La Ode Kuna yaitu raja
Wasuemba anaknya Yarona Imamuna Baadia maka Wa Ode Kirama
beranak seorang perempuan bernama Wa Ode Kalambe. Dan lagi Yarona
Imamuna Baadia La Ode Fakhiri beranak dua orang laki-laki seorang
perempuan pertama Raja Wasuemba bernama La Ode Kuna, kedua raja
Kumbewaha perempuan. Maka raja Wasuemba La Ode Kuna beristri
dengan Wa Ode Kirama anaknya La Ode Nduru. Maka La Ode Kuna
beranak seorang perempuan bernama Wa Ode Kalambe namanya. Dan
lagi raja Kumbewaha perempuan bersuami dengan raja Kumbewaha
bernama La Ode Ado maka beranak tiga orang.
Fasal maka tersebut pula riwayat Kenepulu IBente bernama La Ode
Nuhu anaknya Sultan Muhammad Aidrusu maka Kenepulu Ibente bernama
La Ode Nuhu beristri dengan Wa Ode Dawia anaknya Tuan Sapati Raja
Wolowa yang bernama La Ode Sidamangura maka Kenepulu Ibente
bernama La Ode Nuhu beranak tujuh orang dua orang laki-laki lima
orang perempuan, pertama La Ode Idirisi namanya, kedua La Ode
Nasiimu namanya, ketiga Wa Ode Muniisa namanya, keempat Wa Ode
Haasina namanya, kelima Wa Ode Samila namanya, keenam Wa Ode
Hakima namanya, ketujuh Wa Ode Ngkawahe namanya. Maka Wa Ode
Ngkawahe beranak tiga orang dua orang perempuan dan seorang laki-
laki La Ode Umi anaknya La Ode Muhammad Umba. Maka Wa Ode
518
Ngkawahe beranak tiga orang dua orang perempuan dan seorang laki-
laki pertama Wa Ode Muhita namanya, kedua Wa Ode Musrifa, ketiga La
Ode Lalangi namanya. Maka Wa Ode Muhita bersuami dengan Yarona
Wasuemba La Ode Asimu maka beranak seorang laki-laki yang bernama
La Ode Maaliki. La Ode Maaliki beristri dengan Wa Ode Saba anaknya
Yarona Kepala Distrik Kabaena bernama La Ode Mandi. Maka La Ode
Lalangi beranak empat orang tiga orang perempuan seorang laki-laki
pertama La Ode Malim namanya, kedua Wa Ode Malia, ketiga Wa Ode
Dawia, keempat Wa Ode Muniisa anaknya kenepulu La Ode Nuhu. Maka
Wa Ode Muniisa bersuami dengan Raja Sura Wolio bernama Muhammad
Zahari maka beranak tiga orang dua orang laki-laki dan seorang
perempuan pertama Wa ode Alifa namanya, kedua La Ode Abdulu
Itobogina La Ode Mone, ketiga La Ode Taao bekas Kepala Distrik Bungi.
Maka La Ode Taao beristri dengan Wa Ode Safaa anaknya Yarona
Watumotobe La Ode Piluru. Maka La Ode Taao dan Wa Ode Safaa
beranak seorang laki-laki. Dan lagi La Ode Taao beristri pula dengan Wa
Sarufiya maka beranakkan Yarona Wasilomata bernama La Ode
Muhamadi namanya. Dan lagi La ode Abdulu beranak seorang
perempuan bernama Wa Ode Ambe.
Fasal maka tersebut pula riwayat Yarona Agama bernama La Ode
Jabal anaknya Sultan Muhammad Aidrusu maka Yarona Agama La ode
Jabal beristri dengan Wa Dawu maka beranak enam orang tiga orang
laki-laki tiga orang perempuan pertama Yarona Kolencusu La Ode Iru,
kedua La Ode Ndaeta, namanya ketiga Yarona Wolowa La Ode Adi,
keempat Baluna Wanci Wa Ode Obe, kelima Wa Ode Ruwaeda, keenam
Wa Ode Musiia. Dan lagi Yarona Agama La Ode Jabal beristri Wa Ode
519
Same anaknya La Ode Taao. Maka La Ode Jabal dengan Wa Ode Same
beranak seorang laki-laki yaitu Lakina Kamaru La Ode Maaji namanya.
Maka Lakina Kamaru La Ode Maaji beranak tiga orang perempuan
pertama Wa Ode Maindi, kedua Wa Ode Maiya, ketiga Wa Ode Najiha
namanya. Dan lagi Yarona Kolencusu La Ode Iru beristri dengan Wa Ode
Saaida maka beranakan seorang laki-laki bernama La Ode Kampaci
namanya. Dan lagi Yarona Wolowa La Ode Adi beristri dengan Wa Ode
Ija anaknya Sultan Muhammad Saleh. Maka La Ode Adi dengan Wa Ode
Ija beranak tiga orang dua orang perempuan seorang laki-laki pertama
kepala Distrik Wolio La Ode Siidi namanya, kedua Wa Ode Jahiba, ketiga
Wa Ode Malahama. Dan lagi La Ode Adi beranak kepada perempuan
yang lain seorang perempuan bernama Wa Ode Mai. Maka tersebut pula
riwayat kepala Wolio La Ode Siidi beristri dengan Wa Ode Faatima
anaknya Sultan Abdul Hamid. Maka La Ode Siidi dan Wa Ode Faatima
beranak dua orang seorang laki-laki dan seorang perempuan pertama Wa
Ode Siidi kedua La Ode Muhammad Yusuf. Dan lagi La Ode Siidi beranak
sama perempuan yang lain tiga orang pertama La Ode Rauf, kedua La
Ode Rahim, ketiga Wa Ode Nafaa namanya.
Fasal maka tersebut pula riwayat Yaroona Baadia bernama La Ode
Abidi anaknya Sultan Muhammad Aidrusu maka La Ode Abidi beranak
dua orang seorang laki-laki dan seorang perempuan pertama Yarona
Hatibina Baadia La Ode Amane kedua Wa ode Hamida. Maka Yarona
Hatibina Baadia La Ode Amane beristri dengan Wa Ode Kaabe maka
beranak seorang laki-laki Yarona Hatibina Baadia La Ode Salamana
dengan La Ode Rambega anaknya Raja Wuna La Ode Bulae. Maka Wa
Ode Hamida beranak seorang laki-laki bernama La Ode Karape maka La
520
Ode Karape beristri dengan Wa Ode Mangka anaknya Kapitalao Lohia La
Ode Tao. Maka La Ode Karape beranak seorang perempuan bernama Wa
Ode Ndimada. Maka Wa Ode Ndimada bersuami dengan Raja Wuna
bernama La Ode Dika. Maka Wa Ode Ndimada dan La Ode Dika beranak
lima orang tiga orang laki-laki dua orang perempuan pertama La Ode
Nduasa kedua La Ode Dlialadin.
Fasal maka tersebut pula riwayat Kenepulu yorakiya bernama La
Ode Muhammad Sahara anaknya Sultan Muhammad Aidrusu maka
Kenepulu yirakiya beristri dengan Wa Ode Nuhu anaknya Raja Wuna La
Ode Bulae. Maka Yarona Kenepulu beranak dua orang laki-laki pertama
Yarona Wali beranak dua orang laki-laki pertama Yarona Kepala Distrik
Tongkuno bernama La ode Urusadi, kedua La Ode Sangia. Dan lagi La
Ode Fajara beranak dua orang perempuan pertama Wa Ode Kaambe
kedua Wa Ode Melai.
Fasal maka tersebut pula riwayat Raja Liya La Ode Baadia anaknya
Sultan Muhammad Aidrusu beranak seorang perempuan yaitu Paapana
Wa Ode Jahida. Maka Paapana Wa Ode Jahida bersuami dengan Tuan
Sapati bernama La Ode Muhammad Saafi anaknya Sultan Muhammad Isa.
Maka Paapana Wa Ode Jahida beranak seorang perempuan bernama Wa
Ode Jahida. Maka Wa Ode Jahida bersuami dengan Imamu bernama La
Ode Afi maka beranak dua orang perempuan pertama Yarona Holimombo
perempuan bernama Wa Ode Amba kedua Wa Ode Mida namanya. Maka
Wa Ode Amba bersuami dengan Yarona Holimombo bernama La Ode
Rahimu anaknya La Ode Kirami maka Wa Ode beranak tiga orang
seorang perempuan dua orang laki-laki.

521
Fasal maka tersebut pula Riwayat Yarona Lawele bernama La Ode
Mpare anaknya Sultan Muhammad Aidrusu maka Yarona Lawele La Ode
Mpare beranak empat orang dua orang laki-laki dua orang perempuan.
Fasal maka tersebut pula riwayat Haji Abdul Haadi anaknya Sultan
Muhammad Aidrusu maka Haji Abdul Haadi.
Fasal maka tersebut pula raja Baadia bernama La Ode Barangka
anaknya Sultan Muhammad Idrusu maka Raja Baadia bernama La Ode
Barangka.
Fasal maka tersebut pula riwayat raja Todangan La Ode Miramau
anak Sultan Aidrusu maka Raja Todanga bernama___?
Fasal maka tersebut pula riwayat Sultan Abdul Hamid anaknya Tuan
Sapati Abdul Latif maka Sultan Abdul Hamid beranak kepada Gundinya
bernama Wa Ene dua orang laki-laki pertama Kepala Distrik Sampolawa
bernama Muhammad Ayub, kedua Raja Bone bernama La Ode
Sampolawa. Dan lagi Sultan Abdul Hamid bergundi kepada Wa Anaidi
maka beranak seorang perempuan bernama Wa Ode Halima. Dan lagi
Sultan Abdul Hamid bergundi kepada Wa Angge maka beranak tiga orang
dua orang laki-laki seorang perempuan pertama La Ode Hibali kedua La
Ode Badiiru, ketiga Wa Ode Fatima. Dan lagi Sultan Abdul Hamid
bergundi kepada Wa Maji maka beranak tujuh orang lima orang laki-laki
dua orang perempuan pertama La Ode Ajiji, kedua La Ode Hadi, ketiga
La Ode Bau, keempat La Ode Saidi, kelima Syamsuddin, keenam Wa Ode
Aisa, ketujuh Wa Ode Hasina, kedua lapan Hariisa. Maka tersebut pula
riwayat Wa Ode Halima bersuami dengan La Ode Toromu anaknya raja
Agama bernama La Ode Umara maka Wa Ode Halima dan La Ode
Toromu beranak dua orang laki-laki pertama La Ode Mansuru kedua La
522
Ode Jakiri. Dan lagi anaknya Sultan Abdul Hamid bernama Fatima
bersuami dengan Kepala Distrik Wolio bernama La Ode Siidi anaknya
raja Wolowa La Ode Adi. Maka Wa Ode Fatima beranak dua orang
pertama Wa Ode Saiida kedua La Ode Muhammad Yusuf. Dan lagi
anaknya Sultan Abdul Hamid bernama La Ode Ayub beristri dengan Wa
Ode Hasa maka beranak seorang laki-laki bernama La Ode Onde. Dan
lagi La Ode Ayub beristri dengan Wa Fiia maka beranak seorang
perempuan. Dan lagi La Ode Ayub bergundi orang Tambana Loko maka
beranak seorang perempuan. Dan lagi Kepala Distrik Sampolawa
bernama La Ode Ayub beristri dengan anaknya Tuan Kenepulu bernama
La Ode Aero anaknya yaitu bernama Wa Ode Muhlisa.
Fasal maka tersebut pula riwayat Yarona Bombona Wulu bernama La
Ode Saraga anaknya Tuan Sapati Abdul Latif maka Yarona Bombona
Wulu beristri dengan Wa Ode Abe anaknya Wa ode Asima. Maka Yarona
Bombona Wulu dan Wa Ode Abe beranak tiga orang dua orang
perempuan seorang laki-laki pertama Wa Ode Nggia kedua Wa Ode Boa
ketiga La Ode Aongge. Dan lagi Yarona Bombona Wulu bernama La Ode
Saraga bergundi kepada Maiya maka beranak dua orang seorang laki-laki
dan seorang perempuan pertama La Ode Indu, kedua Wa Ode Kalambe.
Maka Wa Ode Nggia bersuami dengan Raja Lakudo bernama La Ode
Mbero. Maka Wa Ode Nggia beranak dua orang seorang laki-laki seorang
perempuan pertama Wa Ode Maida, kedua La Wadunana namanya. Dan
lagi Wa Ode Bua bersuami dengan La Ode Maalu anaknya Lakina
Agamana Tiworo bernama La Ode Madi. Maka Wa Ode Bua beranak dua
orang laki-laki pertama La Ode Baning kedua La Ode Rana namanya dan
seorang lagi Asafa.
523
Fasal maka tersebut pula riwayat Tuan Sapati bernama La Ode
Muhammad Faalihi anaknya Tuan Sapati Abdul Latif maka Tuan Sapati
Muhammad Faalihi beristri dengan Wa Ode Ijija anaknya raja Surawolio
bernama La Ode Muhammad Zuhri. Maka Tuan Sapati Muhammad
Faalihi dan Wa Ode Ajija beranak dua orang laki-laki pertama La Ode
Manarfa kedua La Ode Nafsahu. Dan lagi tuan Sapati beristri dengan Wa
Ode Patani beranakan Wa Ode Riasa. Dan lagi tuan Sapati beristri
dengan Wa Ode Nuriida maka beranakan seorang laki-laki bernama La
Ode Mufti. Dan lagi tuan Sapati beristri dengan Wa Ode Naasia
beranakkan La Ode Muhammad Hakim. Dan lagi bergundi kepada Wa
Sari maka beranakkan seorang perempuan bernama Wa Ode Nuru. Dan
tuan Sapati bergundi lagi seorang perempuan dari Kampokenaho
beranakkan Wa Ode Rama namanya.
Fasal maka tersebut pula riwayat Yarona kepala Sampolawa bernama
La Ode Adam anaknya Tuan Sapati Abdul Latif. Maka La Ode Adam
beristri dengan Wa Ode Muhiba anaknya Raja Sura Wolio La Ode
Muhammad Zahri. Maka La Ode Adam dan Wa Ode Muhiba beranak
empat orang seorang laki-laki tiga orang perempuan pertama Wa Ode
Baralia, kedua Wa Ode Ontimu, ketiga Wa Ode Sauma, keempat Wa Ode
Meramera. Dan lagi La Ode Adam beranak kepada perempuan yang lain
bernama La Ode Muhammad Ali. Fasal maka tersebut pula riwayat Raja
Kaedupa bernama La Ode Amunu anaknya Tuan Sapati Abdul Latif maka
La Ode Amunu beristri dengan Wa Ode Taeo anaknya Raja Sura Wolio
Muhammad Jahari. Maka La Ode Amunu dan Wa Ode Taeo beranak tiga
orang dua orang laki-laki seorang perempuan pertama La Ode
Lapandewa, kedua La Ode Kaedupa, ketiga Wa Ode Bulawa. Dan lagi La
524
Ode Amunu beristri pula dengan Wa Ode Isampolawa maka beranak
seorang laki-laki bernama.
Fasal maka tersebut pula riwayat tuan Sapati perempuan bernama
Wa Ode Jaaria anaknya Tuan Sapati Abdul Latif maka Wa Ode Jaaria
bersuami dengan Tuan Kenepulu bernama La Ode Aero anaknya Tuan
Sapati Muhammad Saafi. Maka Wa Ode Jaaria dan La Ode Aero beranak
tujuh orang empat orang laki-laki tiga orang perempuan pertama La Ode
Naane, kedua La Ode Bojo, ketiga La Ode Ajimu keempat La Ode
Muhammadi, kelima Wa Ode Gambara, keenam Wa Ode Muni ketujuh Wa
Ode Wine. Dan lagi kenepulu La Ode Aero beristri dengan Wa Ode
Ambeambe anaknya Yarona Agama Kolencusu maka La Ode Aero dan Wa
Ode Ambeambe beranak.

525
Lampiran 6:
 Transliterasi III
Bab ini peri pada menyatakan riwayat negeri Tobe-Tobe pulangana
segala Raja-Raja dalam negeri Buton.
Maka tersebut pula riwayat pulangana negeri Batauga LA MAINDO
namanya. Maka La Maindo beristri dengan anaknya Sapati Rampagau
WA BANAKA namanya maka beranak empat orang, dua orang laki-laki,
dua orang perempuan, pertama laki-laki itu LA KABAURA, kedua LA
SIRIDATU, ketiga WA SULALANGGI, keempat WA MALUI, itulah
pulangana negeri Batauga.
Maka tersebut pula riwayat La Kabaura maka beristeri dengan
anaknya Murhum namanya Wa Bunganila, maka beranak dua orang laki-
laki, pertama lalaki Mancuyana La Bula namanya, kedua Sangia iTapi-
Tapi namanya dan lagi anaknya dari Maluku Kapitan Laut Ali namanya
tiada beranak.
Maka tersebut pula riwayat Lakinamancuyana i-Kumbewaha, maka
beristri dengan anaknya makengkuna Wa Lambencugi namanya, maka
beranak empat orang tetapi dua orang tiada beranak pertama La Buke
yaitu Mosabuna i-Kumbewaha, kedua La Walanda. Maka La Buke yaitu
Mosabuna I-Kumbewaha beristri dengan anaknya Sangia i-Labalawa Wa
Ode Torisi namanya, maka beranak seorang laki-laki i-Gogoli Waruruma
namanya. Maka i-Gogoli Waruruna beristeri dengan anaknya Mosabuna
i-Lea-Lea maka beranak lima orang, tiga orang laki-laki, dua orang
perempuan. Pertama Yarona Surawolio, kedua Raja batauga, ketiga
Abdul rasyid Raja Agama i-Labunta, keempat Wa Ode Sampalu, kelima
Wa Ode Torisi. Dan lagi Gogoli Waruruma beristri dengan anaknya
526
Gogoli i-Liwuto, maka beranak dua orang perempuan. Paapana Raja
Bombonaluwu, kedua Baluna Kumbewaha.
Maka tersebut pula riwayat La Walanda maka beranak seorang laki-
laki Kenepulu Lasalimu namanya. Maka Kenepulu Lasalimu beranak
enam orang, lima orang laki-laki, seorang perempuan. Pertama Sapati
Torisi, kedua Raja Lolibu, ketiga Raja Kambe-Kambero, ke empat
Mokalubuna; kelima Bapa Karimu dan keenam Paapana Wa Ode
Kaedupa.itulah pulangan Lasalimu dan Ambuau dan lagi gogoli
Waruruma pulangan Kumbewaha dan Ambuau juga.
Maka tersebut pula riwayat pulangan negeri KAMARU. Mosabuna i-
Watole maka beristeri dengan Wa Lambencugi, maka beranak tiga orang,
dua orang laki-laki seorang perempuan. Pertama Mosabuna i-Lakambau,
kedua Bapa Buke, ketiga Wa Ode Kontu, itulah pulangan negeri
KAMARU.
Maka tersebut pula riwayat Wa Ode Kontu bersuami dengan Gogoli
Mbela-Mbela, maka beranak seorang laki-laki Sangia i-Kopea La Umati
namanya. Maka Sangia Kopea beranak sebelas orang, enam orang laki-
laki, lima orang perempuan. Pertama Kapitan Laut Kamaru, kedua
Mosabuna i-Koo, ketiga Yarona Lakudo, keempat yarona Laompo, kelima
Yarona Kamaru, keenam Raja Agama i-Labunta, ketujuh Baluna
Surawolio, kedelapan paapana Wa Dete, kesembilan Paapana Wa Ode
Bungku, kesepuluh Paapana Khatibi Tumada, kesebelas Paapana Raja
agama i-Rakia, itulah pulangan Kalende dan Luwele.
Maka tersebut pula riwayat Mosabuna i-Lakambau, maka beranak
dua orang laki-laki, pertama Sapati Kalende, kedua Raja Burukene Wa
Lakoci.
527
Maka tersebut pula riwayat pulangana negeri Baruta. Gogoli i-
Liwuto beristri dengan anaknya Sapati yang datang khabarnya, maka
beranak seorang perempuan Paapana Sangia Manuru. Dan lagi anaknya
Gogoli i-Liwuto negeri Baruta, maka beranak seorang laki-laki bernama
La Songo Baruta.
Maka tersebut pula riwayat pulangana negeri Koroni. Maligana
beranak tiga orang, dua orang laki-laki seorang perempuan. Pertama
paapana Raja Labalawa, kedua Paapana Baluna Koroni, ketiga Paapana
Menteri Besar Selayar, itulah Pulangan negeri Koroni dan Wasaga.
Maka tersebut pula riwayat pulangana negeri Kokalukuna Sapati
Torisi dan Gogoli Waruruma itulah pulangana negeri Kokalukuna.
Maka tersebut pula riwayat pulangana negeri Molimbo. Imam
Lelemangura beristeri dengan anaknya Raja Todanga dan ia beranakkan
imam Wanadilolo, Pulangana imam Wandilolo bnegeri Todanga, negeri
Lipumalanga dan negeri Lambelu.
Maka tersebut pula riwayat pulangana negeri Wawoangi dan negeri
Takimpo, yaitu Mopogaana Pauna beranakkan Katimanuru. Paapana
Katimanuru anaknya Sangiya i-Waoulaka dan gundiknya namanya I-
Ranti, pertama Yarona Lasaidewa, kedua La Sugi, ketiga Wa Ode Bombo,
keempat Wa Ode Girisa, kelima Wa Ode Lawela, tetapi negeri Wawoangi
dan negeri Takimpo Sangiya Lauro dan Mbarapa. Sangiya Lauro beristri
dengan anaknya Sangia i-Labalawa nama Wa Ode Wabani, maka beranak
seorang laki-laki Kabela namanya. Dan Kabela beranak tiga orang laki-
laki, pertama Yarona Bola, kedua Yarona Wali, ketiga Paengko dan
Mbarapa maka beranak seorang laki-laki Raja Surawolio. Maka Raja

528
Surawolio beristeri dengan anaknya Sapati i-Lambelu, maka beranak tiga
orang, seorang laki-laki dan seorang perempuan.
Laki-laki yaitu Raja Lipumalanga serta Paapana Rubni dan Paapana
Rajanngi. Dan lagi anaknya yang perempuan yang lain Raja Surawolio
bersuami (beristeri) dengan anaknya Sapati Torisi, maka beranak tiga
orang perempuan. Pertama Baluna Liya kakak, kedua Baluna Liya adik
yaitu Paapana Sahabuddin. Dan lagi anaknya perempuan yang lain maka
beranak seorang laki-laki La Ira namanya.
Maka tersebut pula pulangana negeri Bola dan negeri Sampolawa
dan Bola adalah keturunan Kabela.
Maka tersebut pula riwayat pulangana negeri Kambe-Kambero La
Baharuba namanya. Maka La Baharuba beristeri dengan Wa Bungaranti
La Taoburu anak Tulimu. Maka La Baharuba beranak seorang perempuan
Wa Tandi Waniya namanya. Maka Wa Tandi Waniya bersuami dengan
Lebe Pengulu, maka beranak dua orang seorang laki-laki seorang
perempuan. Laki-laki itu Lebe i-Daoa dan perempuan itu Wa Ode
Makolona. Maka Lebe i-Daoa beranakan Imam Malanga. Anaknya empat
orang (anak Imam Malanga) seorang laki-laki, tiga orang perempuan.
Pertama Paapana Khatibi Kokalukuna, kedua Wa ode ode i-daoa, ketiga
Wa ode ode i-Lampenano, laki-laki itu Bapa Ngi.
Maka tersebut pula riwayat Yarona Surawolio maka beristeri dengan
anaknya Imam Malanga maka beranak dua orang, seorang laki-laki yaitu
Khatib Kokalukuna dan perempuan yaitu Wa Ode Lowu-Lowu. Dan lagi
anaknya Imam Malanga bersuami dengan Sapati Torisi, maka beranak
tiga orang, dua orang laki-laki seorang perempuan yaitu pertama Imam
Tua, kedua Sapati Tembana Walanda, ketiga Baluna Surawolio. Dan lagi
529
anaknya Imam Malanga bersuami dengan Raja Kaluku maka beranak
seorang laki-laki yaitu Yarona Surawolio i-Lampenano.
Maka tersebut pula riwayat Wa Ode Makolona, maka bersuami
dengan Sangia i-Lahulu, maka beranak seorang laki-laki Moposuruna
Arataana La Awu namanya. Maka La Awu beristeri dengan anaknya Raja
Tolandona maka beranak empat orang tiga orang laki-laki seorang
perempuan, seorang laki-laki serta seorang perempuan tidak beranak.
Maka Kade Mata beranak seorang perempuan Baluna Bone. Maka
Baluna Bone bersuami dengan Raja Laiworu, maka beranak seorang
perempuan Baluna Batauga namanya.
Maka Mosabuna i-Lea-Lea beristri dengan anaknya Kapolangku,
maka beranak dua orang, seorang laki-laki dan seorang perempuan.
Perempuan itu Pua Watanga namanya, laki-laki itu Raja Burangasi. Dan
lagi pula Watanga bersuami dengan Gogoli Waruruma maka beranak
lima orang, tiga orang laki-laki dan dua orang perempuan, seorang tiada
beranak yang beranak empat orang.
Pertama Yarona Sorawolio, kedua Lakina Batauga, ketiga Lakina Agama
i-Labunta, keempat Wa Ode Sampalu. Dan lagi anaknya Mosabuna i-Lea-
Lea perempuan yang lain negeri Lea-Lea maka beranak seorang
perempuan Wa Bulaba namanya. Maka Wa Bulaba bersuami dengan
Yarona Waaleale, maka beranak tiga orang; seorang laki-laki dua orang
peermpuan; pertama Laki-Laki itu Kapitan Laut Lakudo, kedua Paapana
Yarona Ambuau, ketiga Paapana Kenepulu i-Gama La Ridu namanya,
itulah Pulangan negeri kambero-Kambero dan Taloki. Dan lagi
Moposuruna Arataana beristeri dengan Wambolode, maka beranak dua
orang, seorang laki-laki seorang perempuan, Jiparamba dan Wadowaja.
530
Maka Jiparamba beristeri dengan anaknya Sapati i-Baluwu maka beranak
dua orang seorang laki-laki seorang perempuan, yaitu Paapana Sarimba
tiada beranak dan yang beranak itu Yarona Kumbewaha, maka beristri
dengan anaknya Gogoli Waruruma maka beranak empat orang, tiga
orang laki-laki seorang perempuan, pertama Yarona Kumbewaha, kedua
Kenepulu i-Baluwu ketiga Kenepuli i-Kabumbu dan keempat Baluna
Sabandara.
Maka tersebut pula riwayat Sangia i-Tapi-Tapi maka beristri dengan
Balu i-Tete maka beranak empat orang; tiga orang laki-laki seorang
perempuan yaitu tiada beranak. Pertama laki-laki itu La Nuru namanya.
Maka beristeri dan Wa Tandi Waniya maka beranak seorang laki-laki La
Manempa yaitu Kapolangku. Maka beristeri dengan anaknya Moposuruna
Arataana maka beranak dua orang laki-laki pertama La Rabaenga, kedua
La Dini. Dan lagi anaknya pada perempuan yang lain sembilan orang,
tiga orang laki-laki enam orang perempuan. Pertama yarona Kamaru,
kedua Yarona Waaleale, ketiga Bapanya Raja Wanai Bapa Dini,
perempuan yaitu enam orang pertama Paapana Pua Watanga, kedua
Paapana Yarona Batauga Buta mata, ketiga Paapana Khatibi Kotoni,
keempat Paapana Sabandara Lolibu, kelima Paapana La Tubo, keenam
Mobolina Kamalina, yaitu Pulangan negeri Taloki dan Kambe-Kambero
dan Lowu-Lowu.
Maka tersebut pula riwayat Mosabuna i-Lea-Lea pulangana Bapanya
negeri Bombonawulu dan Tumada dan Wou; pulangan ibunya negri Lea-
Lea dan negeri Kemelanta.
Maka tersebut pula pulangana negeri Kaesabu, Sangia i-Kaesabu
maka beranak dua orang, seorang laki-laki seorang perempuan yaitu
531
Papana Balu i-Wolowa dan laki-laki itu Mosabuna i-Kaesabu (Sultan
Buton). Maka beristeri (dimaksudkan Mosabuna i-Kaesabu empat orang,
pertama Yarona Batauga Buta kedua La Ode Kubi tiada beranak, tiga
Baluna Kapitalao tiada beranak, keempat Paapana Baluna Lipumalanga,
Yarona Takimpo perempuan dan Yarona Batauga perempuan tiga orang
bersaudara. Dan lagi Yarona Batauga yang buta itu beristri dengan Wa
Didi Bula, maka beranak dua orang, seorang laki-laki seorang
perempuan. Perempuan itu Baluna Tobe-Tobe, laki-laki itu Yarona
Burukene. Dan lagi Paapana Balu i-Wolowa, maka bersuami dengan
Kapitan Laut Kamaru maka beranak seorang perempuan bernama
Wadipanata. Maka Waipanata bersuami dengan Sangia i-Wolowa, maka
beranak sepuluh orang, tetapi tiada beranak enam orang dan yang
beranak itu empat orang. Pertama Kapitn Laut Wolowa, kedua Kapitan
Batauga, ketiga Raja Wolowa, keempat perempuan Paapana Yarona
Tobe-Tobe. Dan lagi Wadipanata maka bersuami dengan lain laki-laki
maka beranakan dua orang olehseorang laki-laki seorang perempuan,
pertama Lakina Lahontohe, kedua Paapana Wa Ode Malape, yaitu
pulangan negeri Kaesabu Wadulu;
Maka tersebut pula riwayat pulangana negeri Labalawa dengan enam
orang; pertama Gogoli Mbela-Mbela, kedua Kapitan Laut i-Tatari, ketiga
Paapana Maligana, keempat Paapana Patua, kelima Paapana Kabela,
keenam Wa Ode Torisi. Dan lagi pulangan ibunya negeri Lakudo dan
Boneoge lima orang, ertama Kapitan Lait i-Tatari, kedua Paapana
Maligana, ketiga Paapana Patua, keempat Paapana Kabela, kelima
Paapana Gogoli Waruruma. Maka beristeri dengan anaknya Sapati yang
datang khabarnya maka beranak seorang perempuan Paapana Sangia
532
Manuru. Dan lagi anaknya Gogoli i-Liwuto dengan negeri Baruta maka
beranak seorang laki-laki La Sango Baruta namanya.
Maka tersebut pula riwayat negeri Kaluku Sangia i-Lampenano maka
Sangia i-Lampenano beristeri dengan anaknya Batupoaro, maka beranak
seorang laki-laki La Balawo namanya. Maka La Balawo beristeri dengan
anaknya Makengkuna, maka beranak dua orang laki-laki yaitu Lakina
Kaluku dan Wa Ode Kaluku. Maka Lakina Kaluku beristeri dengan
anaknya Imam Malanga maka beranak seorang laki-laki Yarona
Surawolio i-Lampenano namanya.
Maka tersebut pula riwayat pulangana Mobolina Kamalina, maka
bersuami dengan Sangia Manuru. Maka beranak delapan orang tiga
orang tiada beranak dan yang beranak lima orang, pertama Sangia i-
Wolowa, kedua Lakina Lia, ketiga Paapana Lakina Lawele, keempat
Paapana Sangia Lawalangke (ibu dari Sultan Buton ke 26 La Kopuru),
kelima Paapana Baluna Lolibu.
Maka tersebut pula riwayat pulangana negeri Kondowa dua orang;
Mobolina Kamalina juga, kedua Menteri Besar Selayar. Maka beranak
dua orang laki-laki; pertama Bapanya Raja Labalawa, kedua Raja
Kondowa. Dan lagi pulangana negeri Todanga dan Lipumalanga dan
Lambelu Imam Abuju juga.
Maka tersebut pula riwayat La Siridatu maka beisteri dengan
permaisuri maka beranak delapan orang, tujuh orang laki-laki seorang
perempuan; Pertama Sangia i-Lampenano, kedua Sangia i-Waero-ero,
ketiga Sangia i-Lahulu, keempat Mobolina Pauna, kelima Sangia i-
Kumbewaha, keenam Sangia i-Gundu-Gundu, ketujuh Sangia i-

533
Lantongau, kedelapan perempuan yaitu Sangia i-Wawono Wasulalanggi
namanya.
Maka tersebut pula riwayat Mobolina Pauna maka beranak delapan
orang, lima orang laki-laki tiga orang perempuan; pertama Sangia i-Eya,
kedua Sangia i-Labalawa, ketiga Mosabuna i-Watole, keempat Gogoli i-
Liwuto, kelima Sangia i-Keasabu, keenam Paapana Yarona Kamaru,
ketujuh Paapana Sapati, kedelapan Wadidi Bula yaitu pulangan negeri
Kambowa.
Maka tersebut pula riwayat negeri Lolibu dan negeri Mone dan
negeri Burukene dan negeri Lawela dan negeri Laompo, lipuna sara,
moalana kopulangana yaitu anana pau dan anana sara dan orang berani.
Maka tersebut pula pulangana negeri Kampeonaho. Lebe Pengulu
maka beristeri dengan Watandi Waniya maka beranak dua orang seorang
laki-laki seorang perempuan, perempuan itu Paapana Moposuruna
arataana dan Lebe i-Daoa yaitu pulangana negeri Burangasi.
Maka tersebut pula pulangana negeri Inulu; Gogoli Waruruma dan
lagi sapati i-Daoa dan lagi raja Inulu yang mati di Lelamu.

534
Lampiran 7:

SARANA BARATA
Pasal 1
Pertama-tama yang besar yang dijaga barata patapalena; Wuna, Tiworo,
Kolencusu, Kaedupa itu adalah musuh pemerintah Wolio. Oleh karena itu,
barata patapalena itu selalu siap sedia dengan kelengkapan
perlawanannya baik negerinya baik perahunya. Apabila didatangi musuh
setiap barata itu sedapat-dapatnya melawan betul musuh itu, jangan
dahulu meminta bantuan kepada pemerintah Wolio kecuali ada
kekurangan senjata seperti mesiu atau peluruh atau lawan atau musuh yang
datang itu tadi tidak dapat lagi ditahan sehingga harus secepatnya
memberitahukan kepada pemerintah Wolio. Pemerintahan seperti inilah
yang dinamakan abaluara barata.

Pasal 2
Kemudian yang besar yang dijaga nama barata itu kalau ada orang
Kumpeni atau orang Bone atau orang Ternate jangan sampai ada yang
hanyut atau pecah perahunya atau sedapat-dapatnya betul barata itu
memeliharanya dengan baik, baik dirinya barang-barangnya diupayakan
dapat sampai dengan cepat di Wolio. Jika tidak dapat tumpangan agar
dicarikan tumpangan, bila tidak mempunyai makanan supaya dikasih
makanan sebab harta orang yang pecah perahunya itu tidak boleh diambil
dari tangannya atau dirampas semasih ada orangnya kecuali sudah tidak
dapat dimuat kemudian dapat diambil harta itu tetapi jangan dilihat
pemiliknya akan harta seperti itu. Siapa saja yang ingin mendapatkannya
segera dengan cepat diserahkan kepada sultan barang hanyut seperti itu
535
walaupun sepotong papan atau sebatang paku diserahkan secepatnya
kepada sultan. Tiba pada sultan itu menunggulah keadilan apakah ada
bahagian yang membawa itu tadi ataukah tidak dibagi atau semuanya
diberikan kepadanya maka adalah keadilan sultan itu tadi.

Pasal 3
Kemudian juga sara yang diketahui barata itu, kalau ada hamba dagang
yang lari baik yang melarikan diri dari negrinya maupun melarikan diri
dari perahunya agar diusahakan secepatnya sampai kepada sultan itu.

Pasal 4
Kemudian juga sara yang diketahui barata itu bahwa yang namanya lalaki
kabumbu yang tiga itu, baik kaomu Tanailandu, Tapi-Tapi maupun
kaomu Kumbewaha tidak boleh nama barata itu memberinya hukuman
mati bila ada kesalahannya atau merampasnya atau mengusirnya dengan
hukumnya yang keras itu melainkan diketahui Baluwu Peropa. Demikian
juga bagi anak Siolimbona bila keluar masuk di barata itu. Demikian juga
itu bagi nama negri yang tiga yaitu orang Kumpeni atau orang Bone atau
orang-orang Ternate atau semua nama jenis orang putih seperti Inggris
atau Prancis atau yang lainnya yang sama dengan itu tidak boleh juga
dihukum nama barata itu karena semuanya kesalahan negri. Mereka itu
datang melaporkannya kepada lalakinya Wolio (Sultan Buton) dan juga
bagi barata yang empat itu tidak boleh ada perutusan pada negeri yang
tiga ke Belanda, ke Bone, ke Ternate melainkan ada cap lakina Wolio
(Sultan Buton).

536
Pasal 5
Dan juga sara yang dijaga barata itu kalau ada utusan dari pemerintah
Wolio baik bonto baik boboto baik pangalasa baik jabatan yang lainnya,
semua utusan pemerintah yang pergi di barata itu diperhatikan dan
disediakan rumah. Dan juga perutusan dari pemerintah (Wolio) itu jika
membuat kesalahan di barata itu tidak boleh dihukum oleh barata itu
kecuali datang dengan segera menyampaikannya kepada pemerintah
(Wolio) tentang kesalahan perutusan itu.

Pasal 6
Ada juga yang dijaga barata itu jika ada utusan sultan atau pemerintah
Wolio untuk mengundang barata itu dijemput dengan segera datang
(muncul).

Pasal 7
Dan juga jika mendengar berita musuh yang akan menginginkan Wolio
maka dengan segera memberi berita supaya didengar oleh pemerintah
Wolio. Begitu juga jika keluar kapitalao ke barata yang empat itu baik
menyerbu musuh maupun yang selain itu jika tiba di tiap-tiap barata itu
maka masih kapitalao itu yang memegang kuasa untuk memutuskan
semua pembicaraan di dalam barata yang didatangi kapitalao itu, hanya
saja kapitalao itu tidak boleh melangkahi lakina barata atau pemerintah
barata itu. Semua yang dilakukannya di dalam barata itu apalagi jika
diketahui oleh lakina barata atau pemerintah barata itu. Sapati jika keluar
ke barata begitu juga itu. Demikian pula jika ada orang yang dihukum
pemerintah Wolio yang lari di barata itu tidak boleh lakina barata atau
pemerintah barata menyembunyikannya. Apabila ditemukan musuh di
537
barata itu ada dengan kapitalao di barata itu lebih dahulu lakina barata
yang menghadapi musuh itu, kemudian kapitalao seperti itu juga.

Pasal 8
Peraturan yang diketahui lakina barata dan pemerintah barata itu
pertama-tama yang dibesarkan adalah melihat kalbu hati lakina barata dan
pemerintah barata itu apakah mau memperbaiki orang banyak dari orang-
orang di dalam negerinya itu akan segala jenis api demi kebaikan orang
banyak itu. Sebab itulah disepakati oleh Peropa dan Baaluwu nama api
barata itu telah diberikan kekuasaan untuk mengikut-ikut pemerintah
Wolio di dalam negerinya itu, lakina barata itu mengikut-ikut keadilan
sultan Wolio (Buton), pemerintah barata itu mengikut-ikut kekerasan
pemerintah Wolio dikandung makna disebut adil itu benar melakukan
kebaikan memperbaiki dirinya dan sesamanya, sebab yang disebut
mengikut-ikut kekerasan pemerintah Wolio itu artinya lima perkara;
pertama-tama mampu menyalahkan jika ada yang melakukan kesalahan
orang yang sendirinya di dalam negerinya itu; kemudian mampu
merampas jika ada yang melakukan kesalahan besar di dalam negeri itu;
kemudian mampu mengusir jika ada yang melakukan tuduhan buruk di
dalam negrinya itu; kemudian mampu membunuh jika ada yang berbuat
kesalahan yang patut untuk mati. Kedua yang dibesarkannya ialah untuk
melihat-lihat dalam lubuk hatinya lakina barata serta pemerintah barata
itu dijauhkan benar yang namanya api segala yang menjadikan kita pada
pemerintah Wolio, artinya membantah Peropa Baaluwu atau saling denda
sesama barata. Apabila adalah satu sebab yang membuat saling
menyalahkan pada sesama mereka jangan dahulu langsung berani

538
namanya kesalahan itu didahului penyampaian pada pemerintah Wolio
supaya ada penawar yang datang dari Peropa Baaluwu. Apabila telah ada
penawar yang dikatakan pemerintah Wolio pada setiap barata yang saling
menyalahkan itu maka wajiblah, artinya jangan ada lagi lakina barata dan
pemerintah barata itu dan orang banyaknya semua mendengar mematuhi
dan menjunjungnya dipikulnyalah penawar yang datang dari pemerintah
Wolio itu. Dan juga mampulah nama lakina barata dan pemerintah barata
itu berjalan-jalan mencari musuh pemerintah Wolio siapa saja di pesisir
tanah Wolio hanya saja jika beristirahat di salah satu pantainya papara
pemerintah Wolio itu sebab kekurangan armada dengan segera
menyampaikan kepada pemerintah Wolio supaya sampai utusan
pemerintah kepada papara tempatnya itu. Keberaniannya mencari lawan
pemerintah Wolio itu maka itulah lakina barata itu bernama kapitalao
yang empat orangnya, oleh karena lakina barata itu dapat memakai
dayiyalo tombi pagi, terkecuali telah kelihatan di Wolio perahunya itu
barulah diturunkan dayiyalo tombi paginya itu. Apabila bertemu dengan
perahu dagang di dalam perjalanan mencari musuh tidak dibolehkan
memanggilnya kecuali dengan pengetahuan pemerintah Wolio barulah
boleh memanggilnya. Dan juga tidak boleh yang namanya dagang itu
dimintai lewo baik ditemukan oleh kapitalao maupun lakina barata atau
pejabat yang lainnya melainkan dengan cap kecuali yang dagang itu kita
panggil apabila memanggil-manggil dari dagang itu untuk membongkar
apa-apa di situ atitombasakamo dagang itu hanya saja yang melakukan
seperti itu lebih lagi harus lebih dahulu meminta kebenaran dari Sultan
Wolio. Jika tidak ada kebenaran dari sultan, tidak boleh melakukan seperti
itu walaupun kapitalao maupun lakina barata.
539
Pasal 9
Dan lagi peraturan yang diketahui yang namanya barata itu jika ada orang
merdeka di dalam bersekongkol dengan orang barata tidak akan dibagi
dengan anaknya, hanya saja mahar yang dihantarkan menjadi laki-laki di
Wolio dan negerinya berpindah ke barata sebagai negrinya kecuali lagi
papara pemerintah Wolio kawin dengan orang banyak di barata bukan
anaknya mentri barata harus dibagi anaknya. Apabila kawin dengan anak
mentri barata itu tidak boleh dibagi anaknya oleh sebab masih akan
dikenai hukuman mati laki-laki itu kecuali masih ada kerelaan orang tua
perempuan itu atau saudaranya, itulah walaupun tidak mematikannya.

Pasal 10
Dan lagi ini jika berkehendak orang nasrani berjalan-jalan di barata itu
seboleh-bolehnya barata itu menjaganya dan juga pemerintah untuk
diketahui barata itu. Jika ada kesusahan besar supaya sampai kepada
sultan itu melalui mentri gampikaro itu. Dan juga peraturan yang harus
diketahui Wuna itu adalah jawana satu orang hamba, apabila dijadikan
uang empat puluh real, antaha.

Pasal 11
Dan juga peraturan yang harus diketahui barata itu jawana setiap tahun.
Jawana Wuna empat puluh real bilamana menjadi orang adalah seorang
budak, untuk jawana Tiworo seperti itu juga melalui pemerintah yang
mengambil, untuk jawana Kolencusu empat puluh lima boka, apabila
dijadikan orang adalah seorang budak dan dua puluh empat lembar kain
bida, untuk jawana Kaedupa delapan puluh real, apabila dijadikan orang
adalah dua orang budak pada sultan Wolio (Buton) yang mengambilnya.
540
= Penutup =
Penulisan Undang-Undang ini di dalam zaman Sultan Qayimul al-Din
Muhammad Aydrus, adalah yang menjabat Sapati La Tobelo, yang
menjabat Kenepulu La Kosarana, yang menjabat Lakina Sora Wolio La
Sida, yang menjabat Kapitalao La Tia dan Ismail, dan yang menjabat
Lakina Wuna Ismail juga, dan yang menjabat Lakina Tiworo
Muhammad, yang menjabat Lakina Kolencusu La Madja, yang menjabat
Lakina Kaedupa Adamu, yang menjabat Mentri besar sebelah Timur La
Peropa dan yang menjabat mentri besar sebelah Barat Haji Abdulrakhim,
Hijrat Al-nabi Shalallahu alaihi wasallam seribu dua ratus lima puluh dan
dan tujuh tahun ١٢۸۷/1257.

541
Lampiran 8:
Gua Liang Kobori

~ Tamat ~

542

Anda mungkin juga menyukai