Anda di halaman 1dari 247

Bacalah dengan (menyebut) nama Allah

yang telah menciptakanmu

“Ya Rabbi, berilah aku ilham agar tetap mensyukuri nikmat-Mu yang
telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku,
serta agar aku tetap beramal saleh yang Engkau ridhai. Dan dengan
rahmat-Mu, masukkanlah aku ke dalam golongan para hamba-Mu yang
saleh.” (QS. An-Naml [27]: 19)

~1~
Penerbit Saluni akan menghiasi kalbu
Anda dengan ilmu yang bermutu

~2~
Syaikh KH. Sa„adih Al-Batawi
Dr. Ir. Nandang Najmul Munir, MS.

PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM II

~3~
KARAKTER KEISLAMAN;
Kajian Fiqih Islam
Hak Cipta©2017 pada Penulis
Cetakan 1, Jumadil Ula 1438 H/Februari 2017

Penulis
Dr. Yayat Suharyat, Drs. M. Sabeni, M.A.,
H. Ahmad Kurtubi, Lc., Wisnawati Loeis, M.A.,
Drs. H. Agus Khalik, M.Pd.I.

Penyunting
Abu Isni

Pewajah Isi
Heni Pratiwi

Perancang Sampul
M. Hikam Isni

Diterbitkan oleh
Saluni
Jakarta – Indonesia
Jl. Tanah Ara II RT. 004/ RW. 012 No. 21 Pondok Pinang
Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12310
Saluni.media@yahoo.co.id

~4~
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap Alhamdulillah, segala puji bagi Rabul Izzati sudah


seharusnya kita sampaikan ke haribaan-Nya. Sholawat beserta salam
tercurah sebesar-besarnya kepada pembawa risalah Agung baginda
Rasulullah Muhammad SAW. Seiring perjalanan waktu, pembelajaran
Pendidikan Agama Islam (PAI) di Universitas Islam “45” (UNISMA)
Bekasi telah mengalami disain dan kontruksi yang lebih bermakna.
Terbukti telah dihasilkannya bahan ajar untuk kepentingan tersebut
yang berfungsi sebagai sumber utama untuk mata kuliah : UNG0101
Pendidikan Agama Islam, bobot 2 SKS yang dilaksanakan pada semester
satu, dan UNG0202 Karakter Keislaman (Kajian Fiqih Islam) bobot 2
SKS.
UNG0101 diarahkan untuk menanamkan kadar keimanan,
keyakinan dan jiwa spiritualis kepada peserta didik (mahasiswa).
Sedangkan UNG0202 ditujukan dalam upaya menumbuhkan tajaliyat
sifat sebagai seorang abdun yang tidak ada niat lain kecuali untuk
beribadah kepada Allah SWT. Dimensi kerohanian yang dibangun dari
kedua produk bahan ajar ini semuanya bermuara pada nilai kehidupan
yang sejati yaitu munculnya pemahaman terhadap sistem nilai islami
yang kokoh sehingga setiap mahasiswa akan menjadi manusia yang
mampu berakhlak kepada Allah SWT, kepada manusia dan kepada alam
raya.
Nilai-nilai spiritual yang diharapkan telah terbentuk pada awal
semester harus berlanjut menjadi bahasa gerak, lisan (dzikir) dan bahasa
~5~
amal shaleh. Sehingga dari sini setiap mahasiswa terdidik akan mampu
membuka cakrawala ilmu, iman, ihsan, dan amal saleh sebagai bekal
penting membangun dirinya, keluarga, masyarakat dan bangsanya. Buku
yang sedang digunakan ini adalah bahan ajar UNG0202 diberi nama
Karakter Keislaman (Kajian Fiqih Islam), semoga mampu memenuhi
tujuan utama yaitu menumbuhkan militansi ibadah dan sifat tawadhu
dalam ikhtiar muamalah berdasarkan Syariat Islam.
Demikian, kami ucapkan terimakasih kepada Tim penulis yaitu
dosen mata kuliah Pendidikan Agama Islam dan Karakter Keislaman
UNISMA Bekasi. Kritik dan masukan untuk memperbaiki dan
memperkaya materi buku ini sangat diharapkan dari berbagai pihak.
Semoga Allah SWT meridhoi dan selalu memberkahi ikhitar ini.

Bekasi, 27 Pebruari 2017

Dr. Yayat Suharyat


Wakil Rektor I

~6~
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ~ 5
DAFTAR ISI ~ 7

BAB I: HAKIKAT IBADAH ~ 15


1.1. Pendahuluan ~ 15
1.2. Makna Ibadah ~ 17
1.2.1. Makna ibadah dalam Tinjauan Kebahasaan ~ 17
1.2.2. Beberapa definisi Ibadah Menurut Para Ulama ~ 17
1.2.3. Makna Ibadah dalam Tinjauan Para Ulama Fiqih ~ 19
1.2.4. Pengertian Ibadah Menurut Ulama Fiqih (Fuqaha) ~ 20
1.2.5. Pengertian Ibadah Menurut Ulama Tasawuf ~ 22
1.3. Dasar dan Tujuan Ibadah ~ 23
1.4. Ruang Lingkup Ibadah ~ 26
1.5. Hakikat Ibadah ~ 27
1.6. Hikmah Ibadah ~ 29

BAB II: THAHARAH (BERSUCI) ~ 33


2.1. Makna Thaharah ~ 33
2.2. Macam-Macam Air ~ 34
2.2.1. Air suci dan mensucikan ~ 34
2.2.2. Air suci tetapi tidak mensucikan ~ 34
2.2.3. Air suci tetapi makruh hukumnya ~ 34
2.2.4. Air mutanajis ~ 34
2.3. Alat untuk Bersuci ~ 34
2.3.1. Air ~ 35
2.3.2. Tanah ~ 37
2.3.3. Batu & Benda Padat yang dapat Menyerap Kotoran ~ 37
2.4. Jenis Thaharah ~ 38
~7~
2.4.1. Hadas ~ 38
2.4.2. Junub (Janabat) ~ 38
2.4.3. Terhentinya haid dan nifas ~ 38
2.4.4. Seseorang yang baru masuk Islam ~ 39
2.4.5. Setelah Buang air besar dan kecil ~ 39
2.4.6. Menyentuh kemaluan ~ 39
2.5. Macam-macam Najis ~ 40
2.5.1. Najis Mughalazhah ~ 40
2.5.2. Najis Mutawasithah ~ 40
2.5.3. Najis Mukhafafah ~ 42
2.6. Wudhu ~ 43
2.7. Tayammum ~ 49
2.7.1. Fardhu Tayamum ~ 49
2.7.2. Syarat-syarat Tayamum ~ 50
2.7.3. Sunah-sunah Tayamum ~ 50
2.7.4. Perkara yang Membatalkan Tayamum ~ 50
2.8. Mandi Wajib ~ 51
2.8.1. Fardhu Mandi ~ 52
2.8.2. Sunnah dalam Mandi Janabah ~ 52

BAB III: SHALAT ~ 53


3.1. Makna, Dalil, dan Hikmah Shalat ~ 53
3.2. Waktu-Waktu Shalat ~ 56
3.2.1. Waktu Shalat Zhuhur ~ 57
3.2.2. Waktu Shalat Ashar ~ 58
3.2.3. Waktu Shalat Maghrib ~ 59
3.2.4. Waktu Shalat Isya ~ 59
3.2.5. Waktu Shalat Subuh ~ 59
3.3. Syarat-Syarat Shalat ~ 59
3.4. Rukun-Rukun Shalat ~ 61
~8~
3.5. Sunah-sunah Shalat ~ 67
3.6. Hal-Hal yang Membatalkan Shalat ~ 75
3.7. Shalat Sunah Rawatib ~ 76
3.7.1. Shalat sunah rawatib yang muakadah ~ 76
3.7.2. Shalat Sunah Rawatib Ghairu Muakadah ~ 81
3.8. Shalat Witir ~ 83
3.9. Shalat Jumat ~ 84
3.9.1. Pengertian Shalat Jum„at ~ 84
3.9.2. Hukum Shalat Jum„at ~ 84
3.9.3. Syarat-Syarat Mendirikan Shalat Jum„at ~ 85
3.9.4. Sunah Jum„at ~ 86
3.9.5. Khutbah Jum„at ~ 87
3.10. Shalat-shalat Sunah Nawafil ~ 89
3.10.1. Shalat Dhuha ~ 89
3.10.2. Shalat Tahajjud ~ 91
3.10.3. Shalat Istisqa ~ 93
3.10.4. Shalat Dua Hari Raya ~ 103
3.11. Hikmah Shalat ~ 109
3.12. Hikmah Gerakan dalam Shalat ~ 110

BAB IV: DOA DAN ZIKIR ~ 115


4.1. Pengertian Doa dan Zikir ~ 115
4.2. Adab Berdoa dan Berzikir ~ 116
4.3. Manfaat Berdoa ~ 119
4.4. Jenis-jenis Doa dan Zikir ~ 120
4.4.1. Zikir dan Doa Setelah Shalat ~ 120
4.5. Bacaan Doa dan Zikir ~ 124

BAB V : PUASA ~ 127


~9~
5.1. Makna, Manfaat, Keutamaan & Sejarah Puasa Ramadhan ~ 127
5.2. Keutamaan Puasa ~ 127
5.3. Keutamaan Khusus Puasa Bulan Ramadhan ~ 129
5.4. Sejarah Disyariatkannya Puasa Ramadhan ~ 130
5.5. Syarat-Syarat Puasa ~ 131
5.6. Rukun-Rukun Puasa ~ 132
5.7. Sunah-Sunah Puasa ~ 133
5.8. Hal-Hal yang Membatalkan Puasa ~ 136
5.9. Hari-Hari yang Dilarang Berpuasa ~ 138
5.10. Puasa-Puasa Sunah ~ 140
BAB VI: ZAKAT, INFAQ DAN SEDEKAH ~ 143
6.1. Zakat ~ 143
6.1.1. Pengertian Zakat ~ 144
6.1.2. Dorongan agar Menunaikan Zakat ~ 145
6.2. Infaq ~ 148
6.2.1. Pengertian Infaq ~ 148
6.2.2. Pengertian Infaq secara Bahasa dalam Al-Quran ~ 148
6.3. Sedekah ~ 150
BAB VII: HAJI DAN UMRAH ~ 153
7.1. Pendahuluan ~ 153
7.2. Makna Haji dan Umrah, Kedudukannya dalam Islam ~ 153
7.3. Syarat-Rukun Haji dan Umrah ~ 155
7.3.1. Syarat-Syarat Melakukan Haji ~ 155
7.4. Rukun-rukun Ibadah Haji dan Umrah ~ 157
7.5. Wajib Haji dan Umrah ~ 159
7.5.1. Ihram dari miqat ~ 159
7.5.2. Ketentuan tempat (tempat makani) ~ 160
7.5.3. Melempar Jumrah ~ 161
7.5.4. Mabit di Mudzalifah ~ 162
~ 10 ~
7.5.5. Mabit di Mina ~ 162
7.5.6. Thawaf Wada„ ~ 162
7.6. Yang Membatalkan Haji dan umrah ~ 162
7.7. Dam ~ 163
7.7.1. Jenis-jenis Dam yaitu ~ 163
7.8. Hikmah Haji dan Umrah ~ 164

BAB VIII: PERNIKAHAN ~ 167


8.1. Pengertian Nikah ~ 167
8.2. Hukum dan Alasan Nikah ~ 167
8.3. Syarat Sah Nikah ~ 168
8.4. Mahram ~ 168
8.5. Rukun Nikah ~ 171
8.6. Tata Cara Meminang ~ 172
8.6.1. Salah Kaprah setelah Pinangan Diterima ~ 173
8.6.2. Cincin Pertunangan ~ 174
8.6.3. Larangan bagi Pria Meminang Wanita yang Sedang
Dipinang oleh Saudaranya Sesama Muslim ~ 175
8.7. Talak ~ 178
8.7.1. Pengertian dan Hukum Talak ~ 178
8.7.2. Rukun Talak ~ 178
8.7.3. Lafal dan Bilangan Talak ~ 178
8.7.4. Macam-Macam Talak ~ 179
8.7.5. Macam-macam Sebab Talak ~ 180
8.8. Hadhonah ~ 181
8.9. Idah ~ 181
8.9.1. Lamanya Masa Idah ~ 182
8.9.2. Hak Perempuan dalam Masa Idah ~ 184
8.10. Rujuk ~ 184
8.10.1. Hukum Rujuk ~ 184
~ 11 ~
8.10.2. Rukun Rujuk ~ 185
8.11. Poligami ~ 185
8.12. Hikmah Pernikahan ~ 187

BAB IX: PEMULASYARAAN JENAZAH ~ 191


9.1. Memandikan Mayat ~ 191
9.1.1. Cara-cara Memandikan Mayat ~ 191
9.1.2. Mayat yang Haram Dimandikan ~ 192
9.1.3. Aturan Memandikan Mayat ~ 192
9.2. Mengkafani Mayat ~ 193
9.3. Menshalatkan Mayat (Jenazah) ~ 194
9.3.1. Syarat-syarat Shalat Jenazah ~ 194
9.3.2. Rukun Shalat Jenazah ~ 194
9.3.3. Cara Mengerjakan Shalat Jenazah ~ 194
9.4. Menguburkan Jenazah ~ 195

BAB X: JUAL BELI ~ 197


10.1. Pengertian Jual Beli ~ 197
10.2. Rukun Jual Beli dan Syarat-syaratnya ~ 197
10.3. Jenis-Jenis Jual Beli ~ 200
10.4. Jual Beli yang Dibolehkan dan yang Dilarang ~ 207

BAB XI: WAKAF ~ 219


11.1. Pengertian Wakaf ~ 219
11.2. Dasar Hukum Wakaf ~ 222
11.3. Persyaratan wakaf ~ 222
11.4. Macam-Macam Wakaf ~ 225
11.5. Hikmah Berwakaf ~ 227

BAB XII: MAKANAN DAN MINUMAN ~ 237


~ 12 ~
12.1. Dasar-dasar Perintah Makan dan Minum ~ 237
12.1.1. Makanan yang haram dalam Islam ~ 237
12.1.2. Makanan Yang Dihalalkan ~ 245

DAFTAR PUSTAKA ~ 247

~ 13 ~
~ 14 ~
Bab I: Hakikat Ibadah

BAB I
HAKIKAT IBADAH

1.1. Pendahuluan
Ibadah merupakan kata lain dari sembahan, penghambaan atau
pengabdian. Hal ini karena orang yang beribadah merupakan orang
yang siap menghambakan atau mengabdikan dirinya kepada Allah
Tuhannya. Dengan demikian, berarti ibadah merupakan manifestasi
hidup yang sesungguhnya bagi makhluk kepada al-Khalik (Pencipta).
Menghamba atau mengabdi memiliki pemahaman yang berbeda sekali
dengan menghormati atau menghargai. Menghormati dan menghargai
merupakan bentuk interaksi makhluk dengan makhluk lainnya yang
bersifat muamalah dan terjadi dalam kehidupan dunia. Sedangkan
penghambaan atau pengabdian merupakan komunikasi piritual yang
bersifat transenden dari makhluk kepada pemilik Rabbul Izzati yang
dilakukan di dunia untuk menyiapkan kepentingan hidup di akhirat.
Di dalam surat al-Fatihah disampaikan bahwa Allah adalah
Sembahan manusia, dan Allah tempat memohon segala pertolongan.
Jadi, yang patut disembah, dihambakan dan diabdikan hanya Allah Swt.
َ َ َّ َ ُ ُ ْ َ َ َّ
‫اك و ْس َت ِعين‬ ‫ِإياك وعبد وِإي‬
“Hanya kepada Engkaulah Kami menyembah, dan hanya kepada
Engkaulah Kami meminta pertolongan.”
Na„budu diambil dari kata ‘ibaadat: kepatuhan dan ketundukkan
yang ditimbulkan oleh perasaan terhadap kebesaran Allah, sebagai
Tuhan yang disembah, karena berkeyakinan bahwa Allah mempunyai
~ 15 ~
Bab I: Hakikat Ibadah

kekuasaan yang mutlak. Nasta„iin (minta pertolongan) terambil dari kata


isti„aanah: mengharapkan bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu
pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga sendiri.
Ibadah dalam bahasa Arab artinya adalah menyembah. Ibadah
memiliki makna yang luas yaitu meliputi berbagai aspek kehidupan
sosial, politik dan budaya. Ibadah adalah karakter utama dalam
memeluk agama, sentra kekuatan ajaran agama berlandaskan kepada
pengabdian seorang hamba pada Tuhan.
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya
dengan sesuatu pun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa,
karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang
dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba
sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong dan membangga-banggakan diri.
Berkaitan dengan ibadah berarti mengkaji tentang kedudukan
antara hamba (abdun) dengan Allah Swt. seperti hubungan raja dengan
rakyatnya. Seorang rakyat tidak memiliki pilihan lain kecuali ketundukan
dan kepatuhan pada rajanya. Seorang abdun menyadari sebagai hamba
yang lemah dan tak berdaya. Kesadaran ibadah bersifat fitrah/sunatullah
(berasal dari Allah), karena manusia menyadari akan kekurangan dan
kelemahan dirinya, sehingga ia membutuhkan kekuatan lain yang dapat
memberikan bantuan dan pertolongan. Dengan demikian, keadaan
manusia adalah ketundukkan kepatuhan kepada Allah Swt. (Al-Khalik),
sebagaimana Firman Allah Swt. dalam surat Adzariyat (51) ayat 56 :
َّ َ ْ ْ َ َّ ْ ُ ْ َ َ َ َ
‫س ِإَّل ِل َي ْع ُب ُدو ِ ِن‬‫وما خلقت ال ِجن و ِْلاو‬
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.”
Ayat ini menjelaskan tentang kecenderungan fitrah manusia
untuk beribadah. Sangat mungkin seorang abdun (hamba) keluar dari
~ 16 ~
Bab I: Hakikat Ibadah

kefitrahannya. Hal ini disebabkan oleh kelalaiannya dalam sandaran


wahyu. Bisa jadi seseorang meninggalkan bacaan yang Mulya yaitu Al-
Quran dan Sunah Rasulullah, dalam kaitan inilah manusia banyak
tergelincir dari jalan yang lurus. Akhirnya mereka jatuh ke dalam derajat
terhina.
1.2. Makna Ibadah
1.2.1. Makna ibadah dalam Tinjauan Kebahasaan
Secara bahasa (etimologi), asal kata ibadah berasal dari kata (‘Abdiyah,
‘Ubudiyah, ‘Ubudah), artinya dalam bahasa Arab adalah kepatuhan,
merendah, menyerah, pasrah, dan tunduk kepada sesuatu yang lain
hingga dapat dipergunakan dengan mudah dan menurut kehendak
pihak tersebut.
Sedangkan menurut syara„ (terminologi), ibadah mempunyai
banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definsi itu antara
lain adalah:
Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-
Nya melalui lisan para Rasul-Nya.
Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu
tingkat ketundukan yang tertinggi disertai dengan rasa mahabbah
(kecintaan) yang tertinggi pula.
Ibadah adalah definisi yang mencakup seluruh apa yang dicintai
dan diridhai Allah Azza wa Jalla, berkaitan dengan ucapan atau
perbuatan, baik yang zhahir maupun yang bathin.
1.2.2. Beberapa definisi Ibadah Menurut Para Ulama
Menurut Ibnul Qoyyim al-Jauziyah, ibadah merupakan kesempurnaan
cinta bersama kesempurnaan kepatuhan. Dia menyebutkan dalam an-
Nuniah, Mengibadahi ar-Rahman puncak cintanya bersama ketundukan

~ 17 ~
Bab I: Hakikat Ibadah

hamba-Nya, keduanya merupakan dua kutub (Al-Kafiah as-Syafiah lil


Intishar Lil Firqotin Najiah)
Menurut as-Syaikh Ibnu Sa„di, ibadah merupakan ruh dalam
ajaran agama dan hakikatnya adalah merealisasikan cinta dan
kepatuhan kepada Allah Subhanahu wa ta„alla. Kecintaan yang utuh dan
kepatuhan yang sempurna kepada-Nya. Itulah hakikat ibadah. Manakala
ibadah luput dari dua hal itu atau salah satunya, ia bukanlah ibadah.
Hakikat ibadah adalah ketundukan dan mengiba kepada-Nya, dan hal
itu tidak terjadi kecuali dengan mencintai-Nya dengan kecintaan penuh
yang dikuti seluruh kecintaan. (Lihat: al-Haqul Wâdhihatul Mubayyin,
hal.59-60.)
Menurut as-Syaikh Ibnu Sa„di, ibadah adalah penghambaan
kepada Allah Subhanahu wa ta„allaa melalui asma dan sifat yang
mencakup segala yang dicintai dan diridai-Nya, dari keyakinan, amal hati
dan lahiriah. Segala sesuatu yang mengarahkan kedekatan seseorang
kepada Allah Swt dari perbuatannya dan yang meninggalkan segala
sesuatu yang dilarang Allah dan Rasulnya adalah ibadah. Karenanya,
seorang yang meningalkan maksiat karena Allah Swt. tengah beribadah,
mendekat kepada Tuhannya dengan aksi itu.
Menurut Syaikh KH. Saadih al-Batawi, ibadah adalah semua
curahan ketundukkan seorang abdun kepada Sang Maha Raja, Pemilik
alam raya dan ruh setiap makhluk-Nya sebagai bukti tenggelamnya
abdun atas kebesaran Allah Tuhannya melalui lahir (fisik) yang sehat
dan kuat serta melalui batin yang bersih yang ditunjukkan melalui
amaliyah yang soleh.
Suatu perbuatan disebut memiliki nilai ibadah jika memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:

~ 18 ~
Bab I: Hakikat Ibadah

Pertama, memiliki objek amaliyah, yaitu ibadah yang dilakukan


atau qurbah (yang dijadikan sarana pendekat). Sebagai contoh adalah
shalat. Shalat adalah ibadah, bentuknya perbuatan shalat, dan shalat
yang tengah dilakukan itu sendiri ibadah, sarana pendekat.
Kedua, kejelasan aktivitas dan objeknya, dalam kaitan ini berupa
amal-amal saleh berdasarkan tuntunan Allah dan Rasul-Nya yang
dilakukan atas dasar kesadaran lahir dan batin.
Ketiga, kebersihan lahir dan batin, ibadah harus didasari atas
bersih lahir dan batin karena di situlah bersemayam ketulusan dan
keikhlasan, sehingga ibadah akan membuka tabir/hijab diri seorang
hamba di hadapan Allah Swt. Dalam konsep tasawuf disebut dengan
takhally, tahally, dan tajally. Takhally menghapus dosa dan kehilafan
dengan taubat yang sesungguhnya. Tahally adalah mengisi hati yang
sudah taubat itu dengan amal saleh secara istiqomah. Dan, tajally adalah
menghiasi setiap perbuatan baik dengan akhlak yang semakin tinggi
mengikuti akhlak Rasulullah Muhammad saw.

1.2.3. Makna Ibadah dalam Tinjauan Para Ulama Fiqih


Menurut ahli ushul fiqih, ibadah dikategorikan ke dalam dua hal.
Pertama, ibadah atau syariat yang tidak dipahami illat dan hikmahnya.
Illat dalam kajian ushul fiqih diartikan sebagai sebab musabab. Jadi,
ibadah kategori pertama ini dikatakan sebagai ibadah di mana seseorang
tidak mengetahui sebab Allah memerintah untuk beribadah. Manusia
juga tidak perlu mengerti hikmah di balik perintah ibadah tersebut. Hal
tersebut dikatakan sebagai ibadah ta„abbudiyah yang berarti ibadah
yang dilakukan semata karena Allah dengan niat menghamba kepada
Allah meskipun tidak mengetahui sebab musabab atau alasan dan
hikmah diperintahkannya ibadah tersebut. Hal ini menurut ahli ushul

~ 19 ~
Bab I: Hakikat Ibadah

fiqh disebut dengan “ghairu ma„qulatil ma„na” yang memiliki arti “tidak
terang hikmahnya”.
Sebagaimana dijelaskan di atas, ibadah yang dilakukan semata
karena ketundukan, ketakwaan dan penghambaan kepada Allah
meskipun tidak mengetahui sebab, alasan dan hikmahnya disebut
dengan “umur ta„abbudiyah”. Kebalikan dari ibadah ta„abbudi adalah
ibadah ta„aqquli di mana ibadah jenis sudah diketahui sebab, alasan,
serta hikmahnya. Ibadah ta„aqquli yang akan dijelaskan ke dalam ibadah
jenis kedua di bawah ini.
Kedua, ibadah yang sudah jelas illat dan hikmahnya. Ibadah ini
dinamakan “ma„qulatul ma„na” yang berarti “artinya sudah bisa
dipahami” atau “umur adiyah” yang berarti “urusan keduniaan”. Oleh
karena itu, ulama ushul fiqh memberikan pengertian bahwa ibadah
ma„qulatul ma„na adalah ibadah yang melengkapi segala ibadah yang
tidak diketahui sebab dan hikmahnya.
Ibadah ma„qulatul ma„na ini bisa dikategorikan sebagai ibadah
muamalah di mana syariat muamalah biasanya dalil, landasan hukum,
illat dan hikmahnya bisa diketahui secara jelas dan gamblang.
1.2. 4. Pengertian Ibadah Menurut Ulama Fiqih (Fuqaha)
Fuqaha adalah ulama yang ahli di bidang fiqih (al-Fiqh). Sedangkan fiqih
sendiri meliputi hasil ijtihad para alim ulama terdahulu, terutama imam
empat madzab yang populer dikenal dengan fiqih mazhab Imam Hanafi,
Imam Syafi„i, Imam Maliki, dan Imam Hambali. Berbeda dengan syariat
yang didefinisikan sebagai wahyu yang diturunkan Allah kepada
manusia berupa Al-Quran, termasuk hadis. Adapun pengertian ibadah
menurut fuqaha adalah segala perbuatan yang dilakukan untuk
mendapatkan ridha Allah dan berharap kepada pahala yang diberikan
Allah di akhirat.
~ 20 ~
Bab I: Hakikat Ibadah

Menurut fuqaha, ta„abbud yang diartikan “beribadah” bermakna


melaksanakan semua hak Allah. Menurut sebagian fuqaha, ubudiyah
akan menciptakan kehambaan diri kepada Allah, sedangkan ibadah
lebih dari sekadar menghambakan diri. Fuqaha berpandangan bahwa
ibadah adalah bentuk penghambaan diri secara totalitas kepada Allah,
hanya Allah yang berhak menerima atau menolaknya. Dari definisi
tersebut, sebagian ulama fuqaha mengartikan “ ubudiyah” dan “ibadah”
adalah dua kepentingan yang sama, memiliki arti serupa, dan satu
hakikat.
Ibadah diwujudkan dalam bentuk mencari keridhaan Allah secara
lahir dan batin serta secara sungguh-sungguh karena Allah ta„ala, bukan
karena manusia atau karena hal lainnya. Sementara itu, hal-hal yang
berkaitan dengan hukum yang dilakukan untuk keluarga, masyarakat,
serta negara bukan dikatakan sebagai ibadah, tetapi muamalah. Inilah
perbedaan ibadah menurut fuqaha dan ulama akhlak.
Menurut fuqaha, macam-macam ibadah dibagi menjadi dua, yaitu
ibadah mahdhah (misalnya shalat, puasa, serta haji) dan ibadah ghairu
mahdhah (misalnya zakat, amal jariyah, kaffarah). Selanjutnya, macam-
macam ibadah menurut fuqaha dibagi menjadi lima macam, yaitu:
Ibadah badaniyah atau ibadah dzatiyah, contohnya shalat. Ibadah
maliyah, contohnya adalah zakat, infaq, dan shodaqoh. Ibadah
ijtima„iyah, contohnya adalah haji. Ibadah ijabiyah, misalnya adalah
thawaf. Ibadah salbiyah, seperti meninggalkan sesuatu yang dilarang
atau diharamkan selama berihram.
Demikian pengertian dan macam-macam ibadah menurut fuqaha
di mana pengertian ibadah menurut pandangan fuqaha dan ulama
akhlak memiliki perbedaan yang signifikan. Jika ulama akhlak
memandang muamalah merupakan bagian dari ibadah, sedangkan

~ 21 ~
Bab I: Hakikat Ibadah

fuqaha mengklasifikasikan ke dalam “muamalah”, bukan ibadah. Hal ini


sebetulnya sama, tetapi berbeda pada tataran klasifikasi.
1.2.5. Pengertian Ibadah Menurut Ulama Tasawuf
Menurut ulama tasawuf, ibadah adalah mengerjakan segala sesuatu
yang berlawanan dengan keinginan hawa nafsunya dalam rangka
membesarkan Allah. Ulama tasawuf mendefinisikan ibadah sebagai hal-
hal yang dilakukan seorang mukallaf dalam hubungannya dengan
ubudiyah. Dalam hal ini, ibadah berarti menjalani apa yang menjadi
perintah Allah Swt dan menjauhi segala yang menjadi larangan Allah
Swt.
Ulama tasawuf juga mengartikan ibadah adalah perbuatan ridha
atau ikhlas terhadap apa yang diberikan Allah kepada kita dan bersabar
terhadap segala yang diberikan kepada Allah dan segala yang hilang atau
yang tidak diperolehnya. Pengertian ibadah menurut ulama tasawuf
dibagi menjadi tiga hal:
Pertama, beribadah kepada Allah lantaran mengharapkan ridho
dan pahalanya serta takut dengan segala ancaman dan siksaan yang
diberikan Allah kepada manusia. Hal ini berarti mengharapkan pahala
dan surga serta takut dengan dosa dan neraka adalah bagian dari ibadah
kepada Allah. Dengan pandangan ini, maka manusia didorong untuk
menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Kedua, beribadah kepada Allah lantaran beranggapan bahwa
ibadah adalah perbuatan mulia yang apabila dilakukan maka seseorang
tersebut akan mendapatkan kemuliaan dari Allah sehingga ibadah
kategori ini dilakukan oleh seseorang yang mulia jiwanya.
Ketiga, beribadah kepada Allah sebab berpandangan bahwa Allah
merupakan Tuhan pencipta manusia dan segala makhluk yang patut

~ 22 ~
Bab I: Hakikat Ibadah

disembah. Menyembah Allah tidak memandang apakah ibadahnya


mendapatkan imbalan dari Allah atau tidak.
Demikian definisi ibadah menurut ulama tasawuf yang dapat
dijadikan sebagai kerangka acuan untuk menilai pengertian ibadah
menurut ulama-ulama lainnya. Ibadah menurut ulama tasawuf identik
dengan ibadah yang berkaitan dengan ubudiyah.
1.3. Dasar dan Tujuan Ibadah
Seseorang yang memeluk Islam harus menunjukkan karakter yang
berbeda disebabkan keterpujian akhlak yang dimilikinya. Sebagai insan
pendidikan kepribadian seorang muslim terbentuk akibat interaksi
antara pembawaan dan lingkungan, serta bimbingan wahyu yang
terdapat dalam Al-Qur„an dan Hadits. Bimbingan wahyu merupakan
kemuliaan yang tertinggi, kokoh, dan mampu berhadapan dengan segala
macam persoalan dan permasalahan bagi seorang hamba. Ajaran Agama
Islam memperhalus budi dan pekerti sehingga semuanya selalu tertuju
bagi kesempurnaan pengabdian seorang hamba (abdun) kepada Allah
sang Raja Diraja. Ajaran agama diperuntukkan untuk dapat menembus
batin melalui dimensi ibadah jasadiyah yang dilakukan seseorang. Oleh
karena itu, setiap ibadah harus berdasarkan ajaran Al-Quran dan As-
Sunah. Dengan berlandaskan kepada kedua ajaran ini maka bimbingan
seorang muslim/muslimah untuk menemukan jati diri insaniyah akan
mempertemukannya kepada Allah Tuhannya. Ibadah bertujuan dalam
rangka menemukan jati diri seorang hamba dalam menemukan
keutamaan dan kesejatian dirinya sebagai seorang makhluk yang selalu
bergantung kepada Allah.
Oleh karena itu, maka syarat-syarat ibadah yang dapat
menemukan Allah di dalam diri seseorang adalah ibadah yang dilandasi
atas dasar ihsan, ikhlas, tawakal, sabar, dan mahabbah. Ihsan merupakan

~ 23 ~
Bab I: Hakikat Ibadah

sikap mental yang timbul dari kesadaran bahwa Allah akan terus
mengawasi perbuatan hamba-hambaNya.
Ikhlas adalah sikap memelihara niat suci, batin yang bersih, lurus
hati dalam bertindak, tidak berlaku pamer, berpura-pura dan
mengharapkan pamrih. Ikhlas itu dalam kerangka hanya untuk
mengharapkan ridha Allah. Ikhlas bisa membuat seorang muslim tidak
mudah tergoda oleh apa pun. Sebaliknya, ikhlas memperkukuh
pertahanan dan ketahanan uji seseorang.
Tawakal identik dengan sikap berserah diri setelah melakukan
upaya yang optimal. Tawakal mendorong seorang muslim untuk terus
berupaya dan mempercayakan hasil akhir upayanya semata-mata hanya
kepada Allah Swt. Sabar menunjukan sikap mental yang tidak suka
mengeluh ketika ditimpa bencana dan kesulitan. Dengan
mengembangkan sikap sabar, seorang muslim sanggup menghadapi
ujian apa pun dalam melaksanakan bakti dan perjuangan. Mahabbah
adalah cinta kepada Allah (makrifatullah), dari kecintaan kepada Allah
akan paham metodologi cara mencintai Allah Swt. Metodologi itu
tentunya tidak ada yang lain kecuali menjadikan Rasulullah saw sebagai
wasilah.
Ya ayyuhalladziina aamanut-Taqullaah wab-taghuu ilaihil wasilah
(Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan
carilah wasilah [perantara] yang mendekatkan diri kepada-Nya)
Rasulullah harus menjadi wasilah dalam semua hal dalam
kehidupan kita, termasuk dalam hal memaknai cinta ( mahabbah). Oleh
karenanya, mencintai rasul, para sahabatnya dikarenakan uswah mulia
yang mereka tunjukkan, maka kita akan mendapatkan tempat yang
mulia dan kebaikan yang sesungguhnya. Orang yang paling bahagia di
akhirat adalah mereka yang paling kuat cintanya kepada Allah Swt.
Akhirat laksana tangga menuju Allah dan titian untuk bertemu dengan-
~ 24 ~
Bab I: Hakikat Ibadah

Nya. Betapa besar kenikmatan yang dirasakan pencinta ketika ia


menemui yang dicintainya yaitu Allah Swt.
Seseorang yang ingin mencintai Allah, maka ia harus mencintai
rasul-Nya terlebih dahulu, sebab itulah metodologi yang disebutkan
Allah dalam firman-Nya. Allah Swt. berfirman,
َّ ُ ُ َُ ْ َّ ُ َ َّ َ ُ ُ
‫ق ْل ِإ ْن ك ْى ُت ْم ُت ِح َ ُّبىن الل َه ف َّات ِب ُع ِىوي ُي ْح ِب ْبك ُم الل ُه َو َيغ ِف ْر ل َك ْم ذ ُه َىبك ْم ۗ َوالل ُه‬
َْ َّ َ َّ َ َ َّ ُ ُ ٌ َ ٌ َُ
ِ َ ‫الر ُسى َل ۖ ف ِإ ْن ت َىل ْىا ف ِإ َّن الل َه َّل ُي ِح ُّب الك ِاف ِر‬
‫ين‬ َّ ‫الل َه َو‬ ‫ ق ْل أ ِطيعىا‬.‫يم‬ ‫غفىر ر ِح‬
Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah, “Taatilah Allah
dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang kafir,” (QS. Ali Imran [3]: 31-32).

Ayat di atas menunjukkan bahwa cinta manusia kepada Allah Swt.


bergantung cintanya kepada Rasul-Nya. Bahkan, bukan hanya itu yang
didapatnya, karena pecinta Allah dan Rasul-Nya juga akan mendapatkan
kasih sayang Allah dan ampunan Allah Swt. Kondisi ini akan menjadi
kenyataan jika sifat-sifat bahimiyah (sifat binatang buas), sifat sabuiyah
(sifat binatang ternak), dan sifat syaithoniyah (sifat kesetanan) telah
sirna dalam kehidupan seseorang. Artinya, seseorang akan mampu
mencintai Allah dan Rasul dengan sesungguhnya jika telah mampu
menyingkirkan perilaku-perilaku negatif dan memasukkan sifat-sifat
mulia di dalam dirinya.
Selama jiwa seseorang masih tertutup oleh sifat-sifat tercela,
maka ia tidak akan dapat menyaksikan ( musyahadah) makna-makna
yang berada di luar alam nyata yang dapat diinderai. Semakin berkurang
sifat-sifat tercela maka akan semakin bertambah jelas dan terang
hatinya, serta semakin nikmat dalam cintanya kepada Allah Swt.

~ 25 ~
Bab I: Hakikat Ibadah

1.4. Ruang Lingkup Ibadah


Ibadah memiliki hikmah dalam kehidupan manusia. Sebagai seorang
hamba Allah, ibadah merupakan cara untuk menunjukkan keyakinan
kepada Allah. Dengan cara ini maka Allah Swt. akan mudah didekati dan
dikenal dengan penuh keyakinan tanpa keraguan sedikit pun. Ibadah
merupakan ciri ketundukkan kepada Allah Swt. berfirman,
َ َ َ
‫ض ط ْى ًعا َوك ْر ًها َوِإل ْي ِه‬ ْ َ ْ َ ِ ‫الس َم َاو‬
َّ ‫الله َي ْب ُغى َن َو َل ُه َأ ْس َل َم َم ْن في‬
َّ َْ َ َ
ِ ‫أفغي َر ِد َ ِين‬
ِ ‫ات وْلار‬ ِ
‫ُي ْر َج ُعى ِن‬
Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal
kepada-Nya lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi,
baik dengan suka maupun terpaksa, dan hanya kepada Allahlah mereka
dikembalikan.
Kata menyerahkan diri (aslama) merupakan bentuk tunduknya
seseorang terhadap Allah, Tuhannya, dan itulah bentuk dari ibadah yang
sesungguhnya.
Hikmah Ibadah pada dasarnya berhubungan dengan manifestasi
iman seseorang terhadap Allah Swt. yang ditunjukkan dengan amal
saleh. Oleh karena itu, seseorang yang disebut “abdullah” hamba Allah
bertindak sebagai seorang abdun yang mencurahkan semua layanan,
dan bakti dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan peribadatan
hanya untuk menggapai ridha Allah Swt. Seorang ahli ibadah bercirikan
dari karya, kerja dan prestasinya hanya untuk kehidupan yang baik
dalam masyarakat (kemaslahatan umat).
Itu semua dilakukan karena seorang abdun yakin bahwa Allah
yang mengatur kehidupan alam semesta raya. Dia Allah yang
menyiapkan seluruhnya.

~ 26 ~
Bab I: Hakikat Ibadah

Dalam Islam, hakikat ibadah merupakan rasa tunduk, baik jiwa


dan raga kepada Tuhan di mana ketundukan tersebut didasari oleh rasa
cinta yang tulus kepada Tuhan, bukan karena hal lainnya. Ketundukan
segenap jiwa karena cinta kepada Tuhan yang Ma„bud dan mengakui
kebesaran-Nya sebab alam semesta ini tercipta karena ada yang
menguasai dan menciptakannya. Sementara itu, akal, rasio dan sains
hanya sebatas bisa merabanya melalui logika dan eksperimen ilmiah
sehingga ia tidak bisa menembus hakikat Allah. Untuk mengetahui
hakikat Allah, maka diperlukan keimanan yang kuat dan tulus dengan
merasakan tanda-tanda kebesaran-Nya.

1.5. Hakikat Ibadah


Hakikat ibadah dalam Islam berarti menghambakan dan menundukkan
segenap jiwa dan raga kepada Allah yang tidak bisa dilogika dengan ilmu
pengetahuan (sains) dan tidak bisa dirasionalisasikan bentuk hakikat
atau wujud-Nya.
Menurut Imam Ibnu Katsir melalui tafsirnya, hakikat ibadah
adalah suatu definisi yang merupakan kesempurnaan cinta, tunduk,
serta takut. Yang dimaksud cinta, tunduk dan rasa takut menurut Ibnu
Katsir di sini adalah bentuk perasaan manusia dari kesatuan “cinta, takut,
dan tunduk” kepada Allah yang menciptakan segenap alam, baik di
langit dan di bumi.
Menurut sejumlah ulama, hakikat dan pokok ibadah menurut
Islam adalah apabila seseorang tidak menolak syariat Islam (hukum
Allah), tidak berdoa dan meminta sesuatu selain kepada Allah, dan
seseorang melakukan segala sesuatu berada di jalan-Nya. Sementara itu,
sebagian ulama mengatakan bahwa hakikat ibadah adalah
menyerahkan segala sesuatu kepada Allah sebagai pengendali urusan,
~ 27 ~
Bab I: Hakikat Ibadah

sebagai orang yang memiliki maka menyerahkan urusan kepada Allah


selaku pembagi, sebagai orang yang menahan maka meridhai Allah
menjadi Sang Maha Kuasa yang disembah dan dipuja.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hakikat
ibadah dalam Islam yang dikemukakan antara satu ulama dengan ulama
lain saling menyempurnakan. Oleh karena itu, pengertian dan hakikat
ibadah dalam Islam tidak bisa hanya dimaknai menurut fuqaha atau ahli
ushul saja, tetapi juga memahami pengertian, definisi, dan hakikat
ibadah yang dikemukakan oleh alim ulama yang lain seperti ahli tauhid,
ahli hadis, ahli tafsir, serta ahli akhlak.
Abul A„la al-Maududi memberikan penjelasan yang sangat
gamblang di dalam buku Dasar-Dasar Islam mengenai apa sebenarnya
ibadah itu. Beliau menjelaskan, ibadah yang sebenarnya ialah bahwa
Anda mengikuti aturan dan hukum Tuhan dalam hidup Anda, dalam
setiap langkah dan setiap keadaan, dan melepaskan diri Anda dari ikatan
setiap hukum yang bertentangan dengan hukum Allah. Setiap gerakan
yang Anda lakukan haruslah selaras dengan garis-garis yang telah
ditentukan Allah bagi Anda. Setiap tindakan Anda harus sesuai dengan
cara yang telah ditentukan Allah. Dengan demikian, maka hidup Anda
yang Anda tempuhi dengan cara demikian inilah yang disebut ‘ibadat.
Dalam hidup yang demikian, maka tidur Anda, bangun Anda, makan dan
minum Anda, bahkan jalan dan bicara Anda, semuanya adalah ‘ibadat.
Pekerjaan-pekerjaan Anda yang umumnya Anda sebut sebagai
pekerjaan yang bersifat duniawi, sesungguhnya semuanya adalah
pekerjaan-pekerjaan keagamaan dan ‘ibadah, asalkan dalam
mengerjakannya Anda menjaga diri pada batas-batas yang telah
ditentukan Allah, dan dalam setiap langkah selalu memperhatikan apa
yang diperbolehkan Allah dan apa yang dilarang-Nya, apa yang halal
dan apa yang haram, apa yang diwajibkan dan apa yang dilarang,
~ 28 ~
Bab I: Hakikat Ibadah

perbuatan dan tindakan apa yang membuat Allah suka kepada Anda dan
perbuatan serta tindakan mana yang membuat-Nya tidak senang
terhadap Anda.
Demikianlah, segala sesuatu yang kita lakukan sebenarnya
merupakan ibadah jika kita melaksanakannya karena dilandasi harapan
mendapatkan ridha Allah Swt. sehingga manusia selama hidupnya
bernilai ibadah seperti dalam tujuan diciptakannya!

1.6. Hikmah Ibadah


Ibadah memiliki hikmah dalam kehidupan manusia. Sebagai seorang
hamba Allah, ibadah merupakan cara untuk menunjukkan keyakinan
kepada Allah. Dengan cara ini maka Allah Swt. akan mudah didekati dan
dikenal dengan penuh keyakinan tanpa keraguan sedikit pun. Ibadah
merupakan ciri ketundukkan kepada Allah Swt. Allah berfirman,
َ َ َ
‫ض ط ْى ًعا َوك ْر ًها َوِإل ْي ِه‬ ْ َ ْ َ ِ ‫الس َم َاو‬
َّ ‫الله َي ْب ُغى َن َو َل ُه َأ ْس َل َم َم ْن في‬
َّ َْ َ َ
ِ ‫أفغي َر ِد َ ِين‬
ِ ‫ات وْلار‬ ِ
‫ُي ْر َج ُعى ِن‬
Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, Padahal
kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi,
baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka
dikembalikan, (QS. Ali Imran [3]: 83).
Kata menyerahkan diri (aslama) merupakan bentuk tunduknya
seseorang terhadap Allah, Tuhannya dan itulah bentuk dari ibadah yang
sesungguhnya.
Hikmah Ibadah pada dasarnya berhubungan dengan manifestasi
iman seseorang terhadap Allah Swt. yang ditunjukkan dengan amal
saleh. Oleh karena itu, seseorang yang disebut “abdullah”–hamba Allah
bertindak sebagai seorang abdun yang mencurahkan semua layanan,
dan bakti dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan peribadatan
hanya untuk menggapai ridha Allah Swt. Seorang ahli ibadah bercirikan
~ 29 ~
Bab I: Hakikat Ibadah

dari karya, kerja dan prestasinya hanya untuk kehidupan yang baik
dalam masyarakat (kemaslahatan umat).
Itu semua dilakukan karena seorang abdun yakin bahwa Allah
yang mengatur kehidupan alam semesta raya. Dia Allah yang
menyiapkan seluruhnya.
Dalam Islam, hakikat ibadah merupakan rasa tunduk, baik jiwa
dan raga kepada Tuhan di mana ketundukan tersebut didasari oleh rasa
cinta yang tulus kepada Tuhan, bukan karena hal lainnya. Ketundukan
segenap jiwa karena cinta kepada Tuhan yang Ma„bud dan mengakui
kebesarannya sebab alam semesta ini tercipta karena ada yang
menguasai dan menciptakannya. Sementara itu, akal, rasio dan sains
hanya sebatas bisa merabanya melalui logika dan eksperimen ilmiah
sehingga ia tidak bisa menembus hakikat Allah.
Untuk mengetahui hakikat Allah, maka diperlukan keimanan yang
kuat dan tulus dengan merasakan tanda-tanda kebesaran-Nya. Hakikat
ibadah dalam Islam juga berarti menghambakan dan menundukkan
segenap jiwa dan raga kepada Allah yang tidak bisa dilogika dengan ilmu
pengetahuan (sains) dan tidak bisa dirasionalisasikan bentuk hakikat
atau wujud-Nya.
Menurut Imam Ibnu Katsir melalui tafsirnya, hakikat ibadah
adalah suatu definisi yang merupakan kesempurnaan cinta, tunduk,
serta takut. Yang dimaksud cinta, tunduk dan rasa takut menurut Ibnu
Katsir di sini adalah bentuk perasaan manusia dari kesatuan “cinta, takut,
dan tunduk” kepada Allah yang menciptakan segenap alam, baik di
langit dan di bumi.
Menurut sejumlah ulama, hakikat dan pokok ibadah menurut
Islam adalah apabila seseorang tidak menolak syariat Islam (hukum
Allah), tidak berdoa dan meminta sesuatu selain kepada Allah, dan
~ 30 ~
Bab I: Hakikat Ibadah

seseorang melakukan segala sesuatu berada di jalan-Nya. Sementara itu,


kata beberapa alim ulama mengatakan bahwa hakikat ibadah adalah
menyerahkan segala sesuatu kepada Allah sebagai pengendali urusan,
sebagai orang yang memiliki maka menyerahkan urusan kepada Allah
selaku pembagi, sebagai orang yang menahan maka meridhai Allah
menjadi Sang Maha Kuasa yang disembah dan dipuja.[]

~ 31 ~
Bab I: Hakikat Ibadah

~ 32 ~
Bab II: Thaharah (Bersuci)

BAB II
THAHARAH (BERSUCI)

2.1. Makna Thaharah


Thaharah menurut bahasa berasal dari kata ‫( طهىز‬thohur), artinya
bersuci atau bersih. Menurut istilah adalah bersuci dari hadas, baik
hadas besar maupun hadas kecil, dan bersuci dari najis yang meliputi
badan, pakaian, tempat, dan benda-benda yang terbawa di badan.
Thaharah merupakan anak kunci dan syarat sah salat. Dalam
kesempatan lain Nabi saw. juga bersabda, “Kuncinya salat adalah suci,
penghormatannya adalah takbir, dan perhiasannya adalah salam.”
Hukum taharah ialah wajib di atas tiap-tiap mukallaf lelaki dan
perempuan. Dalam hal ini banyak ayat Al-Qur‘an dan hadis Nabi
Muhammad saw. yang menganjurkan agar kita senantiasa menjaga
kebersihan lahir dan batin.
Firman Allah Swt :
َ ‫الت َّىاب َين َو ُيح ُّب ْاْلُ َت َط ّهس‬
‫ين‬
َّ َّ
َّ ‫الل َه ًُح ُّب‬ ‫ِإن‬
ِِ ِ ِ ِ
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan mencintai
orang-orang yang suci lagi bersih,” (QS. Al-Baqarah [2]: 222)
Nabi Muhammad saw. juga bersabda,
ْ َ ُ َّ َ
‫الط َه َازة شط ُس ِالا ًْ َم ِان‬
“Kebersihan itu adalah sebagian dari iman.” (HR.Muslim)

~ 33 ~
Bab II: Thaharah (Bersuci)

2.2. Macam-Macam Air


2.2.1 Air suci dan mensucikan
Adalah air yang dapat digunakan untuk bersuci, air mutlak (air
sewajarnya), air yang masih murni, yang dapat menghilangkan hadas
maupun najis, dan airnya tidak berubah warna maupun zatnya dan
tidak makruh. Misalnya, air hujan, air sungai, air sumur, air laut, air salju,
air embun dan air sumber lain yang keluar dari mata air.
2.2.2. Air suci tetapi tidak mensucikan
Air ini halal diminum, tetapi tidak dapat mensucikan hadas dan najis.
Yang termasuk air suci tetapi tidak mensucikan adalah air yang berubah
salah satu sifatnya, seperti: air teh, air kopi, dan air susu; air buah-
buahan, seperti air kelapa dan perasan anggur.
2.2.3. Air suci tetapi makruh hukumnya
Yaitu, air Musyammas (air yang dijemur di tempat logam yang bukan
emas).
2.2.4. Air mutanajis
Adalah air yang terkena najis. Apabila airnya kurang dari 2 kulah lalu
terkena najis, maka hukumnya menjadi najis. Akan tetapi jika airnya
lebih dari 2 kulah, maka hukumnya tidak najis dan bisa digunakan
untuk bersuci selama tidak berubah warna, bau, maupun rasanya.
1.Tanah, boleh menyucikan jika tidak digunakan untuk sesuatu fardhu
dan tidak bercampur dengan sesuatu.
2. Debu, dapat digunakan untuk tayamum sebagai pengganti wudhu
atau mandi.
3. Batu bata, tisu, atau benda yang dapat menyerap bisa digunakan
untuk istinja.
2.3. Alat untuk Bersuci
Dalam Islam ada beberapa benda yang dapat digunakan untuk bersuci,
antara lain:
~ 34 ~
Bab II: Thaharah (Bersuci)

2.3.1. Air
Dalam kajian fiqih air dibagi lagi menjadi lima, yaitu (1) air mutlak, (2)
air musta„mal, (3) air perahan, (4) air campur, dan (5) air najis.
a. Air Mutlak
Air mutlak adalah air suci yang dapat mensucikan (untuk
membersihkan najis dan hadas). Adapun macam-macam air tersebut
yaitu air hujan, salju, air, embun, sumur, sungai, dan es yang sudah
hancur kembali. Allah berfirman,
َّ ‫اح ُب ْش ًسا َب ْي َن ًَ َد ْي َز ْح َمته ۚ َو َأ ْه َزْل َنا م َن‬
ً‫الس َم ِاء َم ًاء َط ُهىزا‬ ّ ‫َو ُه َى َّال ِري َأ ْز َس َل‬
َ ‫السَي‬
ِ ِِ ِ
Dan Kami turunkan dari langit air (hujan) yang mensucikan (QS. Al-
Furqan [25]: 48).
Air Laut, berdasarkan hadis Abu Hurairah. Ia berkata: Seorang laki-
laki bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, kami biasa berlayar
di laut dan hanya membawa sedikit air. Jika kami pakai air itu untuk
berwudlu, kami akan kehausan, bolehkan kami berwudlu dengan air
laut?” Lalu Rasulullah bersabda,
“Laut itu airnya suci lagi mensucikan, dan bangkainya halal
dimakan,” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Turmidzi dan Nasa„i).
Air telaga, diriwayatkan oleh Ali ra. bahwa Rasulullah saw. pernah
meminta satu ember air zam-zam lalu diminumnya sedikit dan
sisanya dipakai untuk berwudhu (HR. Ahmad)
b. Air Musta„mal (yang terpakai)
Air musata„mal adalah air curahan bekas bersuci (mandi dan wudlu).
Air yang demikian hukumnya suci dan mensucikan seperti air
mutlak, hal ini dikarenakan asalnya yang suci, sehingga tidak ada
satu alasan pun yang dapat mengeluarkan air dari kesuciannya.
Adapun dasarnya adalah hadis berikut. Jabir ibn Abdullah
meriwayatkan pada suatu hari Rasulullah menjengukku tatkala sakit

~ 35 ~
Bab II: Thaharah (Bersuci)

dan tidak sadarkan diri, maka Rasulullah berwudhu lalu


menuangkan sisa air wudhunya kepadaku, (HR. Bukhari dan
Muslim).
c. Air Campur
Air campur adalah air suci yang bercampur dengan barang suci
seperti sabun, kapur barus dan benda-benda lain yang biasanya
terpisah dari air, namun tidak merubah bentuk, bau dan rasanya.
Misalnya air kapur barus dan air mawar. Air tersebut hukumnya
menyucikan selama kemutlakannya (bau, bentuk dan rasanya)
masih terjaga, tetapi jika sudah tidak dapat lagi dikatakan air mutlak
maka hukumnya suci pada dirinya, tetapi tidak menyucikan bagian
yang lain (dapat digunakan untuk mensucikan najis namun tidak
dapat digunakan untuk membersihkan hadas).
Umi Athiyah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. masuk ke
ruang kami ketika wafat putrinya Zainab lalu berkata, “Mandikanlah
ia tiga kali, lima kali, atau lebih banyak lagi jika kalian mau dengan
air dan daun bidara, serta campurkanlah yang penghabisan dengan
kapur barus atau sedikit dari padanya,” (HR. Jamaah).

d. Air Perahan
Air perahan adalah air suci yang berasal dari perahan tumbuhan atau
buah-buahan. Misalnya air jus, air lira, dan air kelapa. Hukum air ini
suci namun tidak dapat digunakan untuk bersuci. Maksudnya, dapat
digunakan membersihkan najis namun tidak dapat digunakan untuk
membersihkan hadas, sebab tidak memiliki ciri-ciri air mutlak.

~ 36 ~
Bab II: Thaharah (Bersuci)

e. Air Najis
Air najis adalah yang tercampur benda najis sehingga merubah rasa,
warna, dan baunya. Air najis hukumnya tidak dapat mensucikan,
baik untuk mensucikan najis maupun hadas.

2.3.2. Tanah
Bahan kedua untuk membersihkan najis adalah tanah. Jadi tanah
hukumnya suci dan mensucikan. Dalam hadis digambarkan bahwa
sandal yang terkena kotoran maka cara membersihkannya adalah
dengan menggosoknya di tanah.
Rasulullah saw. bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian
menginjak kotoran dengan sendalnya, maka sesungguhnya debu
(tanah) menjadi penyuci baginya,” (HR. Ibnu Hibban).
Dari Ummu Walad Ibrahim bin Abdirrahman bin Auf
bahwasanya dia pernah bertanya kepada Ummu Salamah, istri Nabi
saw., “Sesungguhnya saya seorang wanita yang suka memanjangkan
ujung (bagian bawah) pakaian dan berjalan di tempat yang kotor, maka
Ummu Salamah menyatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, ‘Ia
(bagian bawah pakaian yang kotor) tersucikan oleh tempat setelahnya
(yang dilewati),„” (HR. Abu Dawud).
2.3.3. Batu dan Benda Padat yang dapat Menyerap Kotoran
Benda alternatif lainnya yang dapat digunakan untuk bersuci adalah
batu. Dikisahkan pada saat tidak ada air, Nabi saw. bersuci dengan
menggunakan tiga batu, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis.
Diriwayatkan dari Khuzaimah bin Tsabit bahwa Rasulullah saw.
bersabda berkenaan dengan istinja‘, “Hendaklah menggunakan tiga
batu dan tanpa menggunakan kotoran,” (HR. Ibnu Majah).

~ 37 ~
Bab II: Thaharah (Bersuci)

2.4. Jenis Thaharah


2.4.1. Hadas
Hadas adalah sebuah keadaan atau kondisi syar„i di mana seseorang
diharuskan bersuci, tanpanya ibadah batal (tidak sah). Keadaan syar„i
yang dimaksud adalah keadaan-keadaan yang digambarkan di dalam al-
Qur„an dan as-Sunnah. Hadas dibagi menjadi dua, besar dan kecil.
Hadas besar ada dua kondisi yakni, setelah bersenggama (junub) dan
setelah haid dan nifas. Berikut ini beberapa keadaan yang menyebabkan
seseorang berhadas (harus mandi ataupun wudhu):

2.4.2. Junub (Janabat)


Junub ialah keadaan sesudah bersetubuh atau keluar mani, baik melalui
mimpi atau disengaja. Junub dikategorikan sebagai hadas besar. Cara
mensucikannya adalah dengan cara mandi. Allah berfirman,
َّ َ ُ
‫َوِإ ْن ك ْن ُت ْم ُج ُن ًبا فاط َّه ُسوا‬
“Maka jika kamu junub hendaklah bersuci,” (QS. Al-Maidah ayat [5]: 6)
Ketika bersetubuh tidak mengeluarkan mani maka tetap harus mandi,
sebagaimana dalam hadis bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jika
seseorang telah duduk di antara keempat anggota badannya (menggauli
istri), maka sungguh wajiblah untuk mandi baik mengeluarkan mani
ataupun tidak,” (HR. Ahmad dan Muslim).

2.4.3. Terhentinya haid dan nifas


Wanita yang berhenti darah haid dan nifasnya mengalami hadas besar.
Oleh karena itu, cara mensucikannya dengan cara mandi sebagaimana
dijelaskan dalam hadis.
Dari ‘Aisyah bahwa Fatimah binti Abu Hubaisy bertanya kepada Nabi
saw., “Aku mengeluarkan darah istihadlah (penyakit). Apakah aku
tinggalkan shalat?” Beliau menjawab, “Jangan, karena itu hanyalah
~ 38 ~
Bab II: Thaharah (Bersuci)

darah penyakit seperti keringat. Tinggalkanlah shalat selama masa


haidmu, setelah itu mandi dan kerjakanlah shalat,” (HR. Bukhari).
2.4.4. Seseorang yang baru masuk Islam
Semua ulama fikih sepakat bahwa orang yang baru masuk Islam harus
mandi terlebih dahulu. Asumsinya karena mereka selama belum
memeluk Islam masih tidak mengetahui cara bersuci, maka ketika
memeluk Islam mereka harus mandi untuk membersihkan hadas besar.

2.4.5. Setelah Buang air besar dan kecil


Kondisi setelah buang air besar dan kecil termasuk hadas kecil. Cara
mensucikannya setelah dibersihkan najis dari keluarnya, yang
bersangkutan tidak perlu mandi melainkan cukup berwudhu. Allah
berfirman, “Atau jika salah seorang di antaramu keluar dari kakus
(maksudnya setelah buang air besar atau kecil), atau bersetubuh
dengan perempuan (istri), dan tidak mendapatkan air, maka
bertayamumlah dengan debu yang suci,” (QS. An-Nisa [4]: 43).
2.4.6. Menyentuh kemaluan
Seseorang yang menyentuh kemaluan tanpa alas juga termasuk
berhadas, maka ia wajib berwudhu ketika hendak shalat.
Basrah binti Shafwan meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Siapa
yang menyentuh kemaluannya hendaknya ia berwudhu sebelum
shalat,” (HR. Tirmidzi).
Jika menggunakan alas ketika menyentuh kemaluan maka tidak perlu
wudhu lagi. Rasulullah bersabda, “Jika seseorang di antara kalian
memegang kemaluannya tanpa ada pembatas atau selubung maka
wajib berwudhu,” (HR. Ibn Hibban).

~ 39 ~
Bab II: Thaharah (Bersuci)

2.5. Macam-macam Najis


2.5.1. Najis Mughalazhah
Najis mughalazhah adalah najis berat yang cara membersihkannya
adalah dengan cara diusap dengan tanah, kemudian dicuci dengan air
sebanyak tujuh kali. Contoh yang diberikan Nabi adalah liur anjing.
2.5.2. Najis Mutawasithah
Najis mutawasithah adalah najis sedang yang cara membersihkannya
cukup dicuci dengan air tiga kali atau lebih sampai hilang bau, warna,
dan bentuk najisnya. Contoh benda-benda najis yang masuk kategori ini
adalah:
a. Darah Haid dan Nifas
Mengenai kenajisan darah haid dijelaskan di dalam al-Qur„an berikut
ini:
َ َْ َ َ ّ ُ َْ َ ً َ َ ُ ْ ُ َْ َ َُ
‫يض ۖ َوَل‬
ِ ‫النساء ِفي اْل ِح‬
ِ ‫اعت ِزل َىا‬ ‫يض ۖ قل هى أذي ف‬ ِ ‫َو َي ْسألىه َك َع ِن اْل ِح‬
ْ ُ ‫َت ْق َسُب‬
ۖ ‫ىه َّن َح َّت ٰى ًَط ُه ْسن‬
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah
suatu kotoran.„ Karena itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita
di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati ,ereka sebelum mereka
suci,” (QS. Al-Baqarah [2]: 222).

b. Wadi dan Madzi


Wadi adalah air putih kental yang keluar mengiringi kencing. Biasanya
keluar diakibatkan kelelahan. Sementara madzi adalah air putih
bergetah yang keluar sewaktu mengingat senggama atau sedang
bercumbu. Keluarnya tidak terasa, terjadi pada perempuan dan laki-laki
sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadis.
Ali bin Abi Thalib berkata, “Aku adalah laki-laki yang kerap keluar madzi
dan aku malu menanyakannya kepada Nabi saw. karena putrinya
menjadi istriku, maka aku meminta Miqdad menannyakannya
~ 40 ~
Bab II: Thaharah (Bersuci)

kepadanya, lalu beliau menjawab, ‘Cucilah kemaluanya dan


berwudhulah.„”

c. Tinja
Semua tinja hewan, baik yang dagingnya dimakan ataupun tidak.
Abdullah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. buang air besar mandi
dan meminta, “Bawakan kepadaku tiga batu.” Lalu aku mencari namun
aku dapatkan dua buah batu. Aku tidak mendapat yang ketiga. Lalu aku
bawakan dua buah batu dan kotoran unta. Beliau mengambil dua buah
batu dan membuang kotoran unta. Beliau bersabda, “Ini adalah kotoran
(najis),” (HR. Abu Dawud).
Seandainya kotoran onta yang kering tidak najis, tentu Nabi saw. tidak
menolak menggunakannya untuk bersuci.

d. Air seni
Pada suatu ketika ada seorang Arab badui kencing di dalam masjid,
maka sebagian sahabat mendatanginya. Ketika itu Rasulullah saw.
bersabda, “Biarkan dia.” Ketika selesai kencing, Rasulullah menyuruh
salah seorang sahabat untuk menyiramnya dengan air satu ember.

e. Bangkai
Para ulama bersepakat bahwa bangkai termasuk najis. Hal ini
disandarkan pada hadis berikut ini.
Salamah Ibnul Muhabbaq meriwayatkan, ketika Perang Tabuk
Rasulullah saw. mendatangi sebuah rumah, lalu beliau menemukan
sebuah wadah dari kulit yang digantung. Beliau kemudian minta
diambilkan air dengan wadah tersebut, maka para sahabat pun berkata,
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya wadah itu dari kulit bangkai!” Beliau
bersabda, “Penyamakannya telah menjadikan ia suci,” (HR. Abu
Dawud).
~ 41 ~
Bab II: Thaharah (Bersuci)

Dari hadis di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kulit bangkai jika
disamak menjadi suci. Namun tidak semua bangkai najis. Dalam Islam
ada dua jenis bangkai yang dianggap suci, yakni bangkai ikan dan
bangkai belalang atau hewan yang tidak memiliki darah.

f. Babi
Semua ulama sepakat bahwa babi adalah najis. Allah berfirman,
“Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku,
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, darah yang mengalir, atau daging
babi—karena sesungguhnya semua itu kotor—atau binatang yang
disembelih atas nama selain Allah,” (QS. Al-An„am [6]: 145).
g. Muntah
Ada sebagian ulama yang memasukkan muntah sebagai barang najis.
Rasulullah saw. bersabda, “Wahai Ammar, sesungguhnya pakaian itu
dicuci oleh sebab salah satu dari 5 hal: kotoran, air kencing, muntah,
darah, dan mani.”
Namun dalam hadis ini terdapat dua orang perawi, Ibrahim Ibn
Zakariya dan Thâbit Ibn Humâdi yang dinilai kalangan hadis sangat
dhaif. Dari keterangan ini berarti muntah tidak dapat dikatakan najis,
meskipun termasuk kotoran.

2.5.3. Najis Mukhafafah


Najis mukhafafah adalah najis yang paling ringan. Contohnya adalah air
kencing bayi laki-laki yang belum diberi makan kecuali air susu ibunya.
Cara membersihkannya cukup dengan cara diperciki air saja.
Ummi Qais binti Mihshan meriwayatkan bahwa dia mendatangi
Rasulullah saw. bersama anak laki-lakinya yang belum makan apa pun
kecuali susu ibunya. Kemudian Rasulullah memangkunya, lalu bayi
~ 42 ~
Bab II: Thaharah (Bersuci)

tersebut mengencingi baju beliau. Lalu Rasulullah minta diambilkan air,


dan kemudian dia memerciki pakaiannya dan tidak mencucinya, (HR.
Abu Daud, An-Nasai, dan Al-Hakim).

2.6. Wudhu
Adapun tatacara berwudhu adalah sebagai berikut:
a. Membaca “Bismillahirrahmanirrahim”
Anas meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Berwudlulah
kalian dengan membaca basmalah.”
Perintah membaca basmalah diperkuat lagi dengan hadis yang
maknanya umum seperti berikut. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa
Rasulullah saw. bersabda, “Setiap perbuatan baik yang tidak dimulai
dengan membaca basmalah maka terputus.”

b. Mengikhlaskan niat karena Allah


Diriwayatkan bahwa Umar Ibnu Khattab ra. saat di atas mimbar, ia
berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya
semua pekerjaan itu disertai dengan niatnya.„”

c. Membasuh kedua telapak tangan sebanyak tiga kali


Diriwayatkan dari Humran maula Utsman Ibnu ‘Affan bahwasanya ia
melihat Utsman telah minta air wudhu, kemudian ia menuangkan air di
atas kedua tangannya. Lalu ia membasuh kedua telapak tangannya tiga
kali, memasukkan tangan kanannya ke dalam air wudhu, berkumur dan
menghirup air dan menyemburkannya. Kemudian beliau membasuh
mukanya tiga kali, lalu membasuh kedua tangannya sampai siku tiga
kali, mengusap kepalanya kemudian membasuh kakinya tiga kali. Beliau
lantas berkata, “Aku melihat Rasulullah wudhu seperti wudhuku ini.”

~ 43 ~
Bab II: Thaharah (Bersuci)

d. Menggosok gigi
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Kalau aku tidak khawatir akan menyusahkan umatku, niscaya aku
perintahkan kepada mereka bersiwak (menggosok gigi) ketika setiap
berwudlu.”
Menghisap air dari telapak tangan sebelah, berkumur-kumur dan
menyemburkannya tiga kali. Dan menyempurnakan dalam menghisap
dan berkumur selama tidak dalam keadaan berpuasa.
Diriwayatkan dari Abdu Khoir, telah datang menemui kami Ali r.a. Dia
(bermaksud) mengerjakan shalat, lalu ia meminta kami (sesuatu) untuk
bersuci, lalu kami berkata, ”Apa yang dapat digunakan untuk bersuci?”
Lalu ia diberi bejana yang berisi air dan tempat membasuh tangan,
kemudian ia menuangkan air dari bejana atas kedua tangannya tiga kali
kemudian berkumur dan menyemburkannya tiga kali, lalu ia shalat. Ia
melakukan hal itu tidak lain untuk mengajarkan kepada kami, (HR. Abu
Dawud dan An Nasa„i).
Diriwayatkan dari Abdullah bin Zaid bahwasanya Nabi saw.
menuangkan air dari bejana atas dua tangannya lalu membasuh
keduanya, kemudian setelah membasuh, lalu berkumur dan mengisap
air dari telapak tangan sebelah: beliau mengerjakan itu tiga kali, (HR.
Bukhari dan Muslim).
Dari Abdullah bin Zaid bin ‘Aashim al Anshari bahwasanya Nabi saw.
menuangkan air dari bejana atas dua tangannya lalu membasuh
keduanya. Kemudian setelah membasuh, lalu berkumur dan mengisap
air dari telapak tangan sebelah. Beliau mengerjakan itu tiga kali.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasannya Rasulullah saw.
memerintahkan berkumur dan menghisap air, (HR. Daruqutni).
Dari ‘Ashim bin laqith bin Shabirah yang bertanya pada Rasulullah saw.,
“Ajarkanlah kepadaku cara berwudhu!” Lalu Rasul bersabda,
~ 44 ~
Bab II: Thaharah (Bersuci)

“Sempurnakanlah wudhu, sela-selailah di antara jari-jari, dan


sempurnakanlah dalam mengisap air; kecuali kamu sedang berpuasa,”
(HR. Ahlus Sunan).
Diriwayatkan dari Ats Tsauri bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila
kamu berwudhu, maka sempurnakanlah dalam berkumur dan
mengisap air, kecuali jika kamu sedang berpuasa,” (HR. Ad Daulabi).

e. Membasuh muka tiga kali, dengan mengusap kedua sudut mata


dan melebihkan dalam membasuhnya.
Allah berfirman,
ُ َ ُ ُ ُ ْ َ َ َّ
‫ىهك ْم‬
َ ُ َ َ ‫ًَا َأ ُّي َها َّالر‬
‫ًن َآم ُنىا ِإذا ق ْم ُت ْم ِإلى الصَل ِة فاغ ِسلىا وج‬ ِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu ingin menyelenggarakan
shalat, maka basuhlah mukamu,” (QS. Al-Maidah [5]: 6).

Diriwayatkan dari Abu Umamah mengenai sifat wudhu Nabi


Muhammad saw., “Adalah Rasulullah saw. mengusap dua sudut mata
dalam wudhu.”
f. Melebihkan dalam membasuh:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Kamu sekalian bersinar: muka, kaki, dan tanganmu di hari kemudian
sebab menyempurnakan wudhu. Karena itu, siapa yang mampu di
antaramu supaya melebihkan sinar muka tangan dan kakinya,” (HR.
Abu Dawud).
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Zaid bahwa Rasulullah saw berwudhu,
maka beliau mengerjakan demikian, yakni menggosok, (HR. Ahmad).

g. Menyela-nyela jenggot
Diriwayatkan dari Utsman bin Affan bahwasanya Nabi saw. mensela-
selai janggutnya, membasuh kedua tangan sampai kedua sikut tiga kali
~ 45 ~
Bab II: Thaharah (Bersuci)

tiga kali, dengan mendahulukan tangan kanan, menggosok-gosoknya


dan menyela-nyelai jari tangan serta melebihkannya, (HR. Timidzi).
Allah berfirman, “... dan tanganmu sampai dengan siku,” (QS. Al-Maidah
[5]: 6).
Diriwayatkan dari Humran mengenai sifat wudhu Nabi saw.,
“Kemudian beliau membasuh wajahnya tiga kali, lalu membasuh kedua
tangannya sampai siku tiga kali,” (HR. Bukhari).
Diriwayatkan dari Humran bahwa Rasulullah saw. membasuh
tangannya yang kanan sampai sikunya tiga kali dan yang kiri seperti
demikian itu pula, (HR. Bukhari).
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Zaid bahwa Rasulullah saw.
berwudhu, maka beliau mengerjakan demikian, yakni menggosok (HR.
Ahmad).
Diriwayatkan dari Abdullah bin Zaid bahwa Nabi saw. diberi air dua
pertiga mud (± 1,5 liter) lalu menggosok dua lengannya (HR. Ahmad).
Mensela-selai jari-jari, berdasarkan hadis riwayat Tirmidzi dan Nasa„i
dari Laqit bin Shaburah, “Sela-selailah di antara jari-jari.”
Melebihkan dalam membasuh, berdasarkan hadis riwayat Muslim dari
Abu Hurairah, “Maka siapa yang mampu di antaramu supaya
melebihkan sinar muka tangan dan kakinya.”
Mendahulukan yang kanan, berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan
Muslim dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah saw. suka mendahulukan (yang)
kanan dalam memakai sandal, bersisir, bersuci dan dalam segala hal-
nya.
Mengusap kepala (ubun) dan atas surbannya satu kali dengan cara
menjalankan kedua telapak tangan, dimulai dari ujung kepala hingga
tengkuk dan mengembalikannya pada posisi semula, serta mengusap

~ 46 ~
Bab II: Thaharah (Bersuci)

kedua telinga, bagian dalam dengan telunjuk dan telinga bagian dalam
(daun telinga) dengan ibu jari.
Allah Swt. berfirman, “Dan sapulah kepalamu,” (QS. Al-Maidah [5]: 6).
Diriwayatkan dari Mughirah bin Syu„bah, bahwa Nabi saw. berwudhu
lalu mengusap ubun-ubunnya, dan atas surbannya, (HR. Muslim,
Tirmidzi dan Abu Dawud)
Diriwayatkan dari Abdullah bin Zaid yang menyampaikan tentang
mengusap kepalanya, Rasulullah memulai dengan permulaan
kepalanya sehingga menjalankan kedua tangannya sampai pada
tengkuknya, kemudian mengembalikannya pada tempat memulainya,
(HR. Muslim).
Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr yang berkata berkata, lalu
Rasulullah mengusap kepalanya dan memasukkan kedua telunjuknya
pada kedua telinganya, dan mengusapkan kedua ibu jari pada kedua
telinga yang luar, serta kedua telunjuk mengusapkan pada kedua telinga
yang sebelah dalam (HR. Abu Dawud).

h. Membasuh kedua kaki beserta kedua mata kaki sebanyak tiga


kali-tiga kali dengan mendahulukan kaki kanan, menggosok-
gosoknya dan menyela-nyelai jari kaki serta melebihkan dalam
membasuhnya.
Allah berfirman, “Dan (membasuh) kakimu sampai dengan kedua mata
kaki,” (QS. Al-Maidah [5]: 6).
Diriwayatkan dari Humran, “Lalu membasuh kakinya tiga kali,” (HR.
Bukhari). Berdasarkan hadis riwayat Muslim dari Humran, “Lalu
membasuh kakinya yang kanan sampai kedua mata kaki tiga kali dan
yang kiri seperti itu pula.”
~ 47 ~
Bab II: Thaharah (Bersuci)

i. Menggosok-gosok.
Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin Zaid,
bahwa Rasulullah saw. berwudhu dan beliau mengerjakan demikian,
yakni menggosok (HR. Ahmad).
j. Mensela-sela jari-jari kaki.
Hal ini berdasarkan hadis riwayat Ahlus Sunan dari Laqit bin Shaburah,
“Sela-selailah di antara jari-jari.”
k. Melebihkan dalam membasuh.
Hal ini berdasarkan hadis riwayat Muslim dari Abu Hurairah,
Rasulullah saw. bersabda, “Maka siapa yang mampu di antaramu
supaya melebihkan sinar muka tangan dan kakinya.”
l. Mendahulukan yang kanan.
‘Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. suka mendahulukan
(yang) kanannya selama ia mampu dalam segala hal; dalam memakai
sandalnya, berjalannya, dan bersucinya, (HR. Bukhari dan Muslim).
Umar bin Khattab ra. Meriwayatkan, sungguh telah datang seseorang
kepada Nabi saw. Ia telah berwudlu tetapi telah meninggalkan sebagian
kecil telapak kakinya selebar kuku. Rasulullah saw. lantas bersabda,
“Kembali dan perbaikilah wudhumu.” Kemudian, orang itu lalu kembali
berwudhu dan sembahyang (HR. Muslim dan Ahmad).
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Neraka Wail itu bagi orang yang tidak sempurna mencuci tumitnya,”
(HR. Bukhari, Muslim, Nasa„i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad).

~ 48 ~
Bab II: Thaharah (Bersuci)

m. Membaca doa wudhu:


“Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah semata. Tidak ada
sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba
dan Rasul-Nya,”
Umar bin Khattab mengungkapkan, sungguh aku telah melihat engkau
(Muhammad) tadi datang dan bersabda, “Tidak ada seorang pun dari
kamu yang berwudhu dengan sempurna lalu mengucapkan: Asyhadu
alla ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan ‘Abduhuu wa

2.7. Tayammum
Menggunakan tanah yang bersih dan berdebu. Jika kita sakit dan
dinasihatkan oleh Doktor kita tidak boleh terkena air atau kita berada di
suatu tempat yang tiada air, maka kita bolehlah bertayamum untuk
menggantikan wudhu.
2.7.1. Fardhu Tayamum
1. Niat.
Membaca niat sebelum bertayamum. Tekan kedua tapak tangan di atas
tanah yang bersih dan berdebu
َ َّ dengan menyatakan dalam hati,
َ َّ ‫َه َى ْي ُت‬
‫الت ّي ُّم َم َِل ْس ِت َباح ِت الصَل ِة‬
“Nawaitut tayamumma liistibahatis solaah”
“Sahjaku tayamum kerana menguruskan sembahyang.”
2. Muka
Menyapu muka dengan tanah yang bersih dan berdebu dengan sekali
tepukan.
3. Tangan
Menyapu tangan kanan hingga sampai ke siku dengan tanah yang
bersih dan berdebu dari tepukan yang kedua kalinya, kemudian tangan
kiri.
~ 49 ~
Bab II: Thaharah (Bersuci)

4. Tertib
Artinya, mengikut urutan atau turutan (dahulukan niat, muka kemudian
tangan).
“Nawaitut tayamumma liistibahatis solaah”
“Sahaja aku tayamum kerana menguruskan sembahyang “.

SAPUKAN KE MUKA SAPUKAN TANGAN


2.7.2. Syarat-syarat Tayamum
a. Sesudah masuk waktu sembahyang (sebelum masuk waktu tidak
boleh bertayamum).
b. Sesudah berusaha atau berikhtiar mencari air tetapi tidak berjumpa
atau air yang hendak digunakan terlalu sedikit ataupun cuma untuk
minuman sahaja.
c. Sebelum melakukan tayamum hendaklah terlebih dahulu
menghilangkan najis jika ada.
2.7.3. Sunah-sunah Tayamum
a. Menghadap ke arah Kiblat.
b. Membaca “Bismillah hirrahman nirrahim”.
c. Menipiskan debu di tangan.
2.7.4. Perkara yang Membatalkan Tayamum
a. Segala apa perbuatan atau perlakuan yang membatalkan wuduk
maka akan batal juga tayamum.
~ 50 ~
Bab II: Thaharah (Bersuci)

b. Terdapat air setelah hendak melakukan sembahyang.


2.8. Mandi Wajib
Seorang muslim wajib melakukan mandi disebabkan hal-hal berikut.
a. melakukan hubungan badan
jima„nya baik sesama manusia antara laki-laki dengan perempuan,
atau antara manusia dengan binatang . Demikian pula melalui qubul
(lubang kemaluan depan) atau dubur (lubang kemaluan belakang);
baik anak kecil maupun orang dewasa; baik keluar air mani ataupun
tidak.
Hal ini dijelaskan dalam hadis riwayat Siti Aisyah, jika ada dua
kemaluan bertemu maka majib mandi. Aku melakukan itu bersama
Rasulullah saw. lalu kami mandi.
b. Keluar air mani .
Keluarnya baik sedang tidur maupun dalam keadaan terjaga; sebab
syahwat maupun tidak; baik keluarnya dalam keadaaan
sengaja maupun tidak. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya air
itu (mandi besar) sebab ada air (keluar mani).”
c. Mati
Dasarnya hadis Rasulullah saw tentang seorang yang sedang
berpakaian ihrom jatuh dari unta dan meninggal dunia.
d. Haid
Rasulullah saw bersabda, “Jika telah datang masa haid tinggalkanlah
shalat. Dan jika telah habis masanya, maka bersihkan darahnya
(mandi) kemudian lakukan shalat.”
e. Selesai nifas bagi wanita.Dasarnya sama dengan hukum haid.
f. Melahirkan
Alasannya karena anak yang baru lahir itu diumpamakan sebagai air
mani mun„aqod (asalnya air mani) , maka wajib mandi. Sedangkan
ada pendapat ulama lain yang tidak mewajibkan mandi.
~ 51 ~
Bab II: Thaharah (Bersuci)

2.8.1. Fardhu Mandi


Ada tiga perbuatan yang wajib dilakukan bagi orang yang mandi
janabah yaitu :
a. Mengucap niat.
b. Sebelumnya harus menghilangkan najis jika ada terdapat pada
badan.
c. Meratakan air keseluruh badan hingga pada setiap lembaran rambut
dan kulit. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah saw dalam hadisnya,
“Setiap satu lembar rambut adalah janabah, maka basahilah rambut
dan bersihkanlah kulit.”

2.8.2. Sunah dalam Mandi Janabah.


Di samping ada yang hukumnya wajib dalam mandi janabah, ada juga
yang sunnah, yaitu: (1) Mengucap basmalah, (2) Mencuci dua telapak
tangan sebelumnya, (3) melakukan wudhu, (4) Melurutkan tangan
keseluruh badan, dan (5) Mendahulukan kanan atas kiri.[]

~ 52 ~
Bab III: Shalat

BAB III
SHALAT

3.1. Makna, Dalil, dan Hikmah Shalat


Dalam Islam, shalat memiliki kedudukan istimewa, yang tidak dimiliki
oleh ibadah-ibadah yang lain. Shalat adalah tiang agama, dan agama
bisa tegak karenanya. Rasulullah saw. bersabda, ―Islam adalah puncak
segala sesuatu, dan shalat adalah tianganya. Ujung tombaknya adalah
jihad di jalan Allah.‖
Shalat adalah ibadah pertama yang diwajibkan oleh Allah Swt.
Kewajiban itu disampaikan kepada Rasulullah saw. pada saat malam Isra
Mikraj, tanpa perantara. Anas r.a. bercerita, ―Shalat diwajibkan kepada
Nabi saw. pada saat beliau diangkat pada malam Isra, yaitu sebanyak 50
kali, kemudian dikurangi hingga mencapai 5 kali. Lalu dipanggilah
Rasulullah saw, ‘Wahai Muhammad! Sungguh, perkataan-Ku tidak bisa
diganti-ganti. Dengan 5 ini, kamu mendapatkan 50.‖
Shalat adalah ibadah pertama yang akan dihisab dari diri seorang
manusia. Abdullah bin Qarth bercerita bahwa Rasulullah saw. bersabda,
―Sesuatu yang pertama kali dihisab dari seorang hamba adalah shalat.
Jika shalatnya baik, maka seluruh amalnya akan baik. Jika shalatnya
rusak, maka rusaklah seluruh amalnya.‖
Shalat adalah wasiat terakhir Rasulullah saw. yang disampaikan
kepada umat beliau pada saat beliau akan meninggal dunia. Beliau
bersabda pada saat yang akan menghembuskan napas beliau yang

~ 53 ~
Bab III: Shalat

terakhir, ―Shalat, shalat, dan apa yang menjadi tanggung jawab kalian
semua….‖
Shalat adalah hal terakhir yang akan hilang dari agama. Jika shalat
tiada, maka agama pun sirna. Rasulullah saw. bersabda, ―Tali (jati diri)
Islam akan sirna sedikit demi sedikit. Setiap kali satu tali hilang, maka
manusia akan bergantung kepada tali selanjutnya. Tali pertama yang
akan hilang adalah hukum, dan tali yang terakhir adalah shalat.‖
Ketika kita menelaah ayat-ayat Al-Qur‗an kita akan mendapatkan
bahwa shalat sering kali disandingkan dengan dzikir.
―Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar
dan (ketahuilah) mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaanya
dari ibadah yang lain),‖ (QS. Al-‘Ankabut [29] : 45)
―Sungguh beruntung orang yang mensucikan diri (dengan beriman), dan
mengingat nama Tuhannya, lalu dia shalat,‖ (QS. Al-‘Ala [87] : 14-15).
―Dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku,‖ (QS. Thaha [20] : 14).
Terkadang, shalat juga disandingkan dengan zakat.
―Dan laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat,‖ (QS. Al-Baqarah [2] :
110).
Terkadang juga dengan ibadah haji.
―Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai
ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah),‖ (QS. Al-Kautsar [108] : 2)
―Katakanlah (Muhammad), sesungguhnya shalatku, ibadahku, sekutu
bagi-Nya; dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada
sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku
adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim),‖ (QS. Al-
Mu‗minun [23] : 1-11)
Terkadang juga, pembahasan shalat didahului dengan
(pembahasan) amal baik dan diakhiri dengan amal baik pula. Seperti
yang disebutkan di dalam surah al-Ma‗arij dan di awal surah al-
Mu‗minun.
~ 54 ~
Bab III: Shalat

―Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang


khusyu‗ shalatnya… serta orang yang memelihara shalatnya. Mereka
itulah orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi (surga)
Firdaus. Mereka kekal di dalamnya,‖ (QS. Al-Mu‗minun [23] : 1-11).
Salah satu bentuk kepedulian ajaran Islam terhadap shalat adalah
perintah untuk melaksanakannya dalam perjalanan atau saat sedang
berada di rumah, baik dalam keadaan aman maupun dalam perperangan
(ketakutan). Allah berfirman,
―Peliharalah semua shalat dan shalat wustha (ashar). Dan laksanakanlah
(shalat) karena Allah dengan khusyu. Jika kamu takut (ada bahaya),
shalatlah sambil berjalan kaki atau berkendaraan. Kemudian apabila telah
aman, maka ingatlah Allah (shalatlah), sebagaimana Dia telah
mengajarkan kepadamu apa yang tidak kamu ketahui,‖ (QS. Al-Baqarah
[2]: 238-239)
Allah berfirman untuk menjelaskan tata cara shalat pada saat
perjalanan, kondisi perang, atau di dalam keadaan yang aman.
―Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu
mengqasar shalat, jika kamu takut diserang orang kafir. Sesungguhnya
orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu. Dan apabila engkau
(Muhammad) berada ditengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu engkau
hendak melaksanakan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah
segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang
senjata mereka, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud
(telah menyempurnakan satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari
belakangmu (untuk mengahadapi musuh) dan hendaklah datang
golongan yang lain yang belum shalat, lalu mereka shalat denganmu, dan
hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata mereka. Orang-
orang kafir ingin agar kamu lengah terhadap senjatamu dan harta
bendamu, lalu mereka menyerbu kamu sekaligus. Dan tidak mengapa
kamu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat suatu
kesusahan karena hujan atau karena kamu sakit, dan bersiap siagalah
kamu. Sungguh, Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi
orang-orang kafir itu. Selanjutnya, apabila kamu telah menyelesaikan
shalat-(mu), ingatlah Allah ketika kamu berdiri, pada waktu duduk dan
~ 55 ~
Bab III: Shalat

ketika berbaring. Kemudian, apabila kamu telah merasa aman, maka


laksanakanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sungguh, shalat itu adalah
kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman,‖
(QS. An-Nisa [4]: 101-103).
Allah Swt. sangat membenci orang-orang yang menganggap
remeh shalat dan mengancam orang yang meninggalkannya. Allah Swt.
berfirman,
―Kemudian datanglah setelah mereka, pengganti yang mengabaikan shalat
dan mengikuti keinginannya, maka mereka kelak akan tersesat,‖ (QS.
Maryam [19]: 59).
―Maka celakalah orang yang shalat adalah persoalan (yaitu) orang-orang
yang lalai terhadap shalatnya,‖ (QS. Al-Ma‗un [107]: 4-5)
Hal itu karena shalat adalah persoalan agung yang memerlukan
adanya hidayah khusus, maka Ibrahim a.s. memohon kepada Tuhan agar
menjadikan dirinnya dan keluarganya senantiasa melaksanakan shalat.
―Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap
melaksanakan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku,‖ (QS.
Ibrahim [14]: 40)
3.2. Waktu-Waktu Shalat
Setiap shalat memiliki waktu tertentu di mana ia harus dilaksanakan.
Allah Swt, berfirman,
―Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas
orang-orang yang beriman,‖ (QS. an-Nisa‗4:103).
Artinya, shalat adalah kewajiban yang sangat jelas, sebuah kewajiban
yang didasarkan kepada Al-Quran.
Al-Quran telah menjelaskan waktu-waktu tersebut. Allah Swt. berfirman,
―Dan Dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang)
dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-
perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang

~ 56 ~
Bab III: Shalat

buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat,‖ (QS. Hud [11]:
114).
―Laksanakanlah shalat sejak matahari tergelincir sampai gelapnya malam
dan (laksanakanlah pula shalat) Subuh. Sungguh, shalat Subuh itu
disaksikan oleh malaikat,‖ (QS. al-Isra‗ [17]: 78).
―Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum matahari terbit, dan
sebelum terbenam; dan bertasbihlah pula pada waktu tengah malam dan
di ujung siang hari, agar engkau merasa tenang,‖ (QS. Thaha [20]: 130).

Yang dimaksud dengan tasbih sebelum fajar menyingsing adalah


shalat Subuh, dan tasbih sebelum matahari terbenam adalah shalat
Ashar. Jarir bin Abdullah al-Bajli menceritakan, ―Kami sedang duduk
bersama Rasulullah saw. Ketika itu beliau sedang memerhatikan bulan
purnama, lalu bersabda, ‘Sungguh kalian akan melihat Tuhan kalian,
seperti kalian lihat bulan purnama ini. Kalian tidak akan rugi dalam
melihat-Nya. Jika kalian bisa melaksanakan shalat sebelum fajar
menyingsir dan matahari terbenam, maka katakanlah!‖ lalu beliau
membaca ayat: Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum
matahari terbit, dan sebelum terbenam.‖
3.2.1. Waktu Shalat Zhuhur
Dari dua hadits di depan, kita tahu bahwa wakktu Zhuhur dimulai sejak
tergesernya matahari dari pertengahan langit (tengah hari) dan berakhir
saat bayang-bayang menjadi sepanjang sesuau aslinya. Namun
demikian, disunnahkan untuk mengakhirkan shalat Zhuhur dari awal
waktu ketika panas benar-benar menyengat—agar kekhusyuan tetap
tergaja dan tidak terburu-buru. Dalil di atas hal ini sebagai berikut.
Anas r.a. bercerita bahwa Rasulullah saw. menyegerakan shalat
(Zhuhur) pada saat cuaca dingin, dan jika cuaca panas beliau
mengakhirinnya.

~ 57 ~
Bab III: Shalat

Abu Dzar r.a. bercerita, kami sedang berpergian bersama


Rasulullah saw. Lalu seseorang ingin mengumandamkan azan Zhuhur.
Rasulullah saw, bersabda,
―Tundalah!‖
Lalu orang itu mau mengumandangkan azan lagi. Kata Rasulullah,
―Tundalah!‖

Batas Penundaan Shalat Zhuhur


Di dalam al-Fath Hafizh Ibnu Hajar berkata, ―Para ulama berbeda
pendapat tentang penundaan shalat (Zhuhur). Ada yang mengatakan
hingga bayang-bayang benda menjadi sepanjang satu depa. Ada yang
mengatakan bayang-bayang benda menjadi seperempat bentuk aslinya.
Ada yang mengatakan sepertiga, separuh, dan beberapa pendapat
lainnya. Pendapat yang sesuai dengan kaidah (ushul fiqih) semuanya
berbeda, berdasarkan situasi masing-masing, selama tidak sampai pada
akhir dari waktu shalat (Zhuhur).
Beliau mengatakan demikian dua atau tiga kali, hingga kami bisa
melihat bayang-bayang gundukan tanah. Lalu beliau bersabda, ‘Jika
cuaca menjadi sangat panas, dinginkanlah dengan shalat. Sesungguhnya
cuaca yang sangat panas adalah gambaran Neraka Jahanam.‗‖
3.2.2. Waktu Shalat Ashar
Waktu shalat Ashar dimulai ketika bayang-bayang benda telah menjadi
seperti bentuk aslinya, dan berakhir hingga matahari terbenam. Abu
Hurairah r.a. bercerita bahwa Rasulullah saw bersabda, ―Barang siapa
yang masih bisa melaksanakan satu rakaat sebelum matahari terbenam,
maka ia telah melaksanakan shalat tersebut tepat waktu.

~ 58 ~
Bab III: Shalat

3.2.3. Waktu Shalat Maghrib


Waktu shalat Maghrib dimulai sejak matahari terbenam dan malam
datang hingga mega merah menghilang. Abdullah bin Amru r.a. bercerita
bahwa Rasulullah saw, bersabda, ―Waktu shalat Maghrib adalah ketika
matahari tetrbenam, sebelum mega (merah) sina.

3.2.4. Waktu Shalat Isya


Waktu shalat Isya dimulai dari hilangnya mega merah hingga
pertengahan malam. Aisyah r.a. berkata bahwa para sahabat
melaksanakan shalat Isya mulai dari hilangnya mega merah hingga
sepertiga pertama malam.

3.2.5. Waktu Shalat Subuh


Waktu shalat Subuh dimulai dari terbitnya fajar shadiq hingga terbitnya
matahari, seperti dijelaskan oleh hadits di depan.
Dianjurkan untuk menyegerakan shalat Subuh, melaksanakannya
di awal waktu. Abu Mas‗ud al-Anshari bercerita bahwa Rasulullah saw.
pernah melaksanakannya ketika hari sudah agak pagi (ashfar). Lalu
beliau senantiasa melaksanakan shalat Subuh pada penghujung malam,
hingga beliau wafat. Beliau tidak lagi melaksanakannya saat hari sudah
hampir pagi.
3.3. Syarat-Syarat Shalat
1) Mengetahui masuknya waktu shalat
Mengetahuinya cukup dengan perkiraan yang kuat. Siapa yang yakin
atau memiliki perkiraan yang kuat bahwa waktu shalat telah tiba, ia
diperbolehkan mengerjakan shalat, baik keyakinannya itu berdasarkan
pemberitahuan dari seorang yang terpercaya, karena ia telah mendengar
adzan yang dikumandangkan oleh muadzin yang terpercaya, karena

~ 59 ~
Bab III: Shalat

ijtihadnya (usahanya) sendiri, maupun karena sebab lainnya yang


membuatnya menjadi yakin.
2) Suci Dari Hadats Kecil Dan Hadats Besar
Allah Swt. berfirman,
―Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan
shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku,dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki.
Jika kamu junub maka mandilah.‖ (QS. Al-Maidah [5]: 6).

Rasulullah saw. bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan


oleh Ibnu Umar, ―Allah tidak menerima shalat (seorang hamba) tanpa
bersuci terlebih dahulu. Dia juga tidak menerima sedekah (seorang
hamba) dari harta curian.‖
3) Suci Badan, Pakaian, dan Tempat Shalat dari Najis Yang Dapat
Diindera
Apabila tidak dapat menghilangkan najis itu (dari badan, pakaian atau
tempat shalatnya), ia diperbolehkan mengerjakan shalat dengan badan,
pakaian atau tempat yang terkena najis itu dan tidak wajib mengulangi
shalatnya. Suci badan (menjadi syarat sahnya shalat) berdasarkan
sebuah hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Anas. Beliau bersabda,
―Sucikanlah badan kalian dari air kencing karena kebanyakan siksa
kubur (yang diderita oleh seorang hamba) disebabkan oleh air kencing.‖

4) Menutup Aurat
Hal ini berdasarkan firman Allah Swt., ―Wahai anak cucu Adam! Pakailah
pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid,‖ (QS. al-A‗raf [7]:
31).

~ 60 ~
Bab III: Shalat

―Pakaian yang indah‖ adalah pakaian yang menutupi aurat. ―Di


setiap (memasuki) masjid‖ maksudnya setiap kalian hendak
mengerjakan shalat. Jadi, maksud ayat itu adalah ―tutupilah aurat kalian
setiap kalian hendak mengerjakan shalat‖.

3.4. Rukun-Rukun Shalat


Shalat memiliki fardhu-fardhu atau rukun-rukun. Hakikat shalat terdiri
atas fardhu-fardhu dan rukun-rukun tersebut. Jika satu fardhu saja tidak
dikerjakan (oleh seorang muslim), hakikat shalat tidak tercapai dan
shalat yang ia kerjakan tidak sah menurut syara‗. Berikut ini adalah
penjelasan tentang fardhu-fardhu shalat.
1) Niat
Allah Swt. berfirman ,
―Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas
menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama,‖ (QS. al-
Bayyinah [98]: 5).
Rasullulah saw. bersabda, ―Setiap amal pasti disertai niat. Setiap orang
mendapat pahala sesuai dengan niatnya. Siapa yang berhijrah (dengan
niat) menuju (keridhaan) Allah dan (menaati perintah) Rasul-Nya maka
ia benar-benar telah berhijrah menuju Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang
berhijrah (dengan niat) mencari keuntungan duniawi atau (dengan niat)
mencari seorang wanita yang hendak dinikahinya maka ia telah
berhijrah mencari yang ditujunya itu.‖

2) Takbiratul Ihram
Ali r.a. meriwayatkan bahwa Rasullulah saw. bersabda, ―Bersuci
merupakan kunci dalam shalat. Takbiratul ihram merupakan
pengharaman dalam shalat. Salam merupakan penghalalan dalam
shalat.‖
~ 61 ~
Bab III: Shalat

Takbiratul ihram menjadi salah satu rukun shalat juga berdasarkan


perbuatan dan perkataan Rasullulah saw. di dalam dua hadits yang
sudah disebutkan di atas. Lafal takbiratul ihram adalah ―Allahu Akbar‖.

3) Berdiri
Berdiri merupakan satu kewajiban bagi orang yang mampu berdiri. Hal
ini berdasarkan Al-Qur‗an, Sunnah, dan ijma‗. Allah Swt. berfirman,
―Peliharalah semua shalat dan shalat wustha. Dan laksanakanlah
(shalat) karena Allah dengan khusyu,‖ (QS. al-Baqarah [2]: 238).

Imran bin Hashin berkata, ―Aku menderita penyakit bawasir


(ambeien) lalu aku bertanya kepada Rasullulah saw. tentang cara
mengerjakan shalat (bagi orang yang menderita penyakit bawasir seperti
diriku). Beliau bersabda, ‘Kerjakanlah shalat dengan berdiri. Jika engkau
tidak mampu (mengerjakannya dengan berdiri), kerjakanlah shalat
dengan duduk. Jika engkau tidak mampu (mengerjakannya dengan
duduk), kerjakanlah shalat dengan berbaring.‗‖

4) Membaca Surah Al-Fatihah Pada Setiap Rakaat


Ada banyak hadits sahih yang menjelaskan bahwa membaca surah al-
Fatihah pada setiap rakaat itu hukumnya fardhu. Hal itu tidak perlu
diperdebatkan lagi. Berikut kami sebutkan hadits-hadits sahih tersebut.
Ubadah Ibnu Shamit r.a. meriwayatkan bahwa Rasullulah saw.
bersabda, ―Tidak sah shalat orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab
(surah al-Fatihah).‖
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Rasullulah saw. bersabda,
―Barang siapa mengerjakan shalat, tetapi tidak membaca ummul Qur‗an
dalam riwayat yang lain disebutkan ‘(tidak membaca) Fatihatul Kitab‗

~ 62 ~
Bab III: Shalat

maka shalatnya berkurang, (beliau ucapkan sebanyak tiga kali) tidak


sempurna.‖

5) Rukuk
Para ulama sepakat bahwa hukum rukuk itu fardhu berdasarkan firman
Allah Swt., ―Wahai orang-orang yang beriman! Rukuklah, sujudlah,‖ (QS.
al-Hajj [22]: 77)

Cara Mengerjakan Rukuk


Rukuk dilakukan dengan cara membukukkan tubuh dan meletakkan
kedua tangan di atas kedua lutut. Rukuk harus dikerjakan dengan
thuma‗ninah berdasarkan hadits tentang orang yang mengerjakan shalat
dengan cara yang tidak benar yang telah disebutkan di atas bahwa
Rasullullah saw. bersabda, ―Kemudian rukuklah dengan tuma‗ninah
(tenang dan tidak tergesa-gesa).‖
Abu Qatadah meriwayatkan bahwa Rasullulah saw. bersabda,
―Pencuri yang paling buruk adalah orang yang mencuri dari shalatnya.‖
Para sahabat bertanya, ―Wahai Rasullulah, bagaimana ia mencuri dari
shalatnya?!‖
Rasullulah saw. menjawab, ―Dia tidak mengerjakan rukuk dan
sujudnya dengan sempurna.‖ Atau (mungkin) beliau menjawab, ―Dia
tidak meluruskan punggungnya pada saat mengerjakan rukuk dan
sujud.‖ Abu Mas‗ud al-Badri meriwayatkan bahwa Rasulullah saw.
bersabda, ―Shalat seseorang tidak sah jika ia tidak meluruskan
punggungnya pada saat mengerjakan rukuk dan sujud.‖

~ 63 ~
Bab III: Shalat

6) I‗tidal dengan Thuma‗ninah


(Hal ini menjadi salah satu rukun shalat) berdasarkan perkataan Abu
Humaid ketika menjelaskan sifat shalat Nabi saw., ―Apabila Rasulullah
saw. mengangkat kepalanya (bangkit dari rukuk), beliau berdiri tegak
hingga tulang punggungnya lurus kembali.‖ Aisyah ra. berkata, ―Apabila
Rasulullah saw. bangkit dari rukuknya, beliau berdiri tegak terlebih
dahulu sebelum bersujud.‖
Rasulullah saw. bersabda, ―Kemudian bangkitlah dari rukuk
sampai engkau berdiri tegak.‖
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,
―Allah Swt. tidak melihat shalat seorang hamba yang tidak meluruskan
tulang punggungnya di antara rukuk dan sujud.‖
Al-Mundziri berkata, ―Sanad hadits ini jayyid‖.

7) Sujud
Di atas telah disebutkan dalil Al-Qur‗an yang menjelaskan bahwa sujud
itu hukumnya wajib. Rasulullah saw. juga telah menjelaskannya dalam
sabdanya terhadap orang yang mengerjakan shalat dengan cara yang
tidak benar, ―Kemudian sujudlah dengan tuma‗ninah. Kemudian
bangkitlah dari sujud lalu duduklah dengan tuma‗ninah. Kemudian
sujudlah kembali dengan tuma‗ninah.‖ Jadi, sujud yang pertama dengan
tuma‗ninah, bangkit dari sujud (dan duduk) dengan tuma‗ninah lalu
sujud yang kedua dengan tuma‗ninah hukumnya fardu dalam setiap
rakaat, baik dalam shalat fardu maupun dalam shalat sunnah.

~ 64 ~
Bab III: Shalat

Batasan Thuma‗ninah
Thuma‗ninah adalah berdiam sejenak setelah seluruh anggota tubuh
menetap (tidak bergerak). Para ulama menetapkan batasan minimal
thuma‗ninah yaitu selama satu kali ucapan tasbih.

Bagian-Bagian Tubuh yang Digunakan untuk Bersujud


Bagian-bagian tubuh yang digunakan untuk bersujud adalah wajah, dua
telapak tangan, dua lutut, dan dua telapak kaki. Abbas bin Abdul
Muthalib mendengar Rasulullah saw. bersabda, ―Jika seorang hamba
bersujud, (seharusnya) tujuh anggota tubuhnya ikut bersujud, yaitu
wajahnya, dua telapak tangannya, dua lututnya dan dua telapak
kakinya.‖
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Nabi saw. memerintahkan
(setiap muslim) untuk mengerjakan sujud di atas tujuh anggota tubuh,
yaitu kening, kedua tangan, kedua lutut, dan kedua kaki. Tidak
diperbolehkan memegang rambut atau pakaian. Dalam lafal yang lain,
bahwa Nabi saw., ―Aku diperintahkan (oleh Allah Swt.) untuk
mengerjakan sujud di atas tiga tulang, yaitu di atas kening—beliau
menunjuk hidungnya—dua tangan, dua lutut, dan diatas jari-jari kaki.‖
Pada riwayat lain, Rasulullah saw bersabda, ―Aku diperintahkan
untuk melakukan sujud di atas tujuh (anggota tubuh), aku tidak
memegang rambut dan pakaian (tujuh anggota tubuh itu adalah) kening
dan hidung, dua tangan, dua lutut, dan dua telapak kaki.‖

8) Tahiyat Akhir dan Membaca Tasyahud


Sudah menjadi ketetapan dan bimbingan yang terkenal bahwa
Rasulullah saw. melakukan duduk yang terakhir dalam shalat lalu
membaca tasyahud. Beliau bersabda kepada orang yang melakukan

~ 65 ~
Bab III: Shalat

shalat dengan cara yang tidak benar, ―Apabila engkau telah bangkit dari
sujud terakhir dan telah duduk seraya membaca tasyahhud, shalatmu
telah sempurna.‖
Ibnu Qudamah berkata, ―Ibnu Abbas meriwayatkan, sebelum
tasyahhud diwajibkan atas kami, (ketika duduk terakhir) kami
mengucapkan, ‘Assalamu ‘alallah. Assalamu ‗ala Jibril. Assalamu ‗ala
Mikail (keselamatan bagi Allah, Jibril, dan Mikail).‗ Nabi saw. lalu
bersabda, ‘Janganlah kalian mengucapkan assalamu ‗alallah, tapi
katakanlah at-tahiyyatu lillah (segala penghormatan bagi Allah).‗‖
Hadits ini menjelaskan bahwa pada mulanya tasyahud tidak
diwajibkan kemudian diwajibkan.

9) Mengucapkan Salam
Kewajiban mengucapkan salam (di akhir shalat) telah di tetapkan oleh
Rasullulah saw. melalui sabda dan perbuatannya. Ali r.a. meriwayatkan
bahwa Rasullulah saw. bersabda, ―Kunci shalat adalah bersuci,
pengharamnya adalah takbir, dan penghalalnya adalah salam.‖ Hadits
ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, asy-Syafi‗i, Abu Dawud,
Ibnu Majah, dan Tirmidzi. Tirmidzi berkata, ―ini adalah hadits yang
paling shahih dan paling baik terkait dengan kewajiban mengucapkan
salam.‖
Amir bin Sa‗ad meriwayatkan bahwa ayahnya berkata, ―Aku
melihat Nabi saw. mengucapkan salam (sambil menoleh) ke arah kanan
dan kiri sehingga pipi beliau yang putih terlihat (oleh kami).‖
Wail bin Hajar berkata, ―Aku mengerjakan shalat bersama
Rasullulah saw. Beliau mengucapkan salam (sambil menoleh) ke arah
kanan, ‘Assalamu‗alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.‗ Setelah itu,
beliau menoleh ke arah kiri sambil mengucapkan, ‘Assalamu‗alaikum wa
rahmatullahi wa barakatuh.‖‖ Dalam Bulughal Maram, al-Hafizh Ibnu
~ 66 ~
Bab III: Shalat

Hajar berkata, ―Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad
sahih.‖

Diwajibkannya Salam Pertama dan Disunnahkannya Salam Kedua


Mayoritas ulama berpendapat bahwa mengucapkan salam yang
pertama hukumnya sunnah. Ibnu Mundzir berkata, ―Para ulama sepakat
bahwa seseorang diperbolehkan mengucapkan hanya satu salam di
(akhir) shalatnya. ― Dalam al-Mugni, Ibnu Qudamah berkata, ―Redaksi
(pendapat) Ahmad yang mengatakan bahwa mengucapkan kedua salam
adalah wajib itu tidaklah jelas. Ahmad (sebenarnya) berkata, ‘Riwayat
yang paling shahih adalah yang mengatakan bahwa Rasullulah saw.
mengucapkan dua salam.‗ Karena itu, siapa saja diperbolehkan
mengucapkan salam (sebanyak dua kali) karena hal itu disyariatkan,
tetapi tidak diwajibkan (mengucapkan keduanya, yang wajib hanya
salam yang pertama) sebagaimana ulama lain mengungkapkan
pendapat yang sama (dengan pendapat yang sama Ahmad ini). Hal ini
dipertegas oleh perkataan Ahmad yang lain, ‘Aku lebih menyukai
mengucapkan salam dua kali (di akhir shalat )‗. Aisyah, Salamah, Ibnul
Aku‗, dan Sahl bin Sa‗ad meriwayatkan bahwa Rasullulah saw.
mengucapkan satu salam (di akhir shalatnya), kaum Muhajirin juga
mengucapkan satu salam (di akhir shalat mereka)

3.5. Sunah-sunah Shalat


Shalat memiliki sunah-sunah yang hendaknya dikerjakan oleh seorang
mushalli agar ia mendapatkan pahala lebih. Sunah-sunah shalat adalah
sebagai berikut.

~ 67 ~
Bab III: Shalat

1) Mengangkat Kedua Tangan


Tata Cara Mengangkat Kedua Tangan
Ada banyak riwayat yang menjelaskan tata cara mengangkat kedua
tangan. Tata cara yang dipilih oleh mayoritas ulama adalah (hendaknya
seorang musahalli) mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua
pundaknya, sekiranya ujung-ujung jari sejajar dengan bagian atas
telinganya, kedua ibu jarinya sejajar dengan bagian bawah telinganya
(yaitu cuping, tempat anting), dan kedua telapak tangannya sejajar
dengan kedua pundaknya. An-Nawawi berkata, ―Demikianlah Asy-Syafi‗i
menyatukan berbagai hadits yang diriwayatkan (terkait dengan tata cara
mengangkat kedua tangan lalu ia mengambil kesimpulan). Para ulama
menilai kesimpulan As-Syafi‗i itu sebagai kesimpulan yang baik.‖
Seorang mushalli didisunahkan membentangkan jari-jari tangannya
ketika mengangkat kedua tangannya. Abu Hurairah berkata, ―Apabila
Nabi saw. berdiri untuk mengerjakan shalat, beliau mengangkat kedua
tangannya dengan membentangkan jari-jarinya.‖

Waktu Mengangkat Kedua Tangan


Hendaknya (seorang mushalli) mengangkat kedua tangannya
berbarengan dengan takbiratul Ihram atau lebih dahulu daripada
takbiratul ihram. Nafi‗ meriwayatkan apabila Ibnu Umar hendak
mengerjakan shalat, ia bertakbir seraya mengangkat kedua tangannya. Ia
menjelaskan bahwa Rasulullah saw. melakukan hal yang sama ketika
hendak memulai shalatnya. Nafi‗ juga meriwayatkan bahwa Nabi saw.
mengangkat kedua tangannya ketika beliau bertakbir (mengucapkan
takbiratul ihram) sampai sejajar dengan kedua pundaknya atau
mendekati kedua pundaknya.
Seorang mushalli disunahkan mengangkat kedua tangannya pada empat
kondisi sebagai berikut.
~ 68 ~
Bab III: Shalat

a. Pada Saat Mengucapkan Takbiratul Ihram


Ibnu Mundzir berkata, ―Para ulama tidak berbeda pendapat bahwa
Rasulullah saw. mengangkat kedua tangannya ketika memulai shalat.‖
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, ―Ada lima puluh sahabat yang
meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. mengangkat kedua tangannya
pada permulaan shalat. Di antara mereka ada sepuluh orang yang
dijamin akan masuk kedalam surga.‖ Baihaqi meriwayatkan bahwa
Hakim berkata, ―Tidak ada satu sunah pun selain sunah ini (mengangkat
kedua tangan pada awal shalat) yang diriwayatkan secara sepakat
khalifah yang empat, sepuluh orang sahabat yang dijamin masuk ke
dalam surga, dan para sahabat yang lain meskipun mereka terpencar di
berbagai negeri.‖ Baihaqi berkata, ―Memang benar yang dikatakan oleh
Abu Abdullah, guru kami itu.‖

b. Pada Saat Melakukan Rukuk dan Ketika Bangkit dari Rukuk


Seorang mushalli disunahkan mengangkat kedua tangannya ketika
melakukan rukuk dan ketika bangkit dari rukuk. Sebanyak dua puluh
dua orang sahabat meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. melakukan hal
itu. Ibnu Umar r.a. berkata, ―Apabila Nabi saw. berdiri hendak memulai
shalat, beliau mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan
kedua pundaknya kemudian beliau bertakbir. Apabila hendak
melakukan rukuk, beliau kembali mengangkat kedua tangannya seperti
itu. Ketika beliau mengangkat kepalanya (bangkit) dari rukuk, beliau
kembali mengangkat kedua tangannya seraya mengucapkan,
‘sami‗Allahu li man hamidah rabbana walakal-hamd
(Allah mendengar orang yang memuji-nya. Wahai Tuhan Kami, ‘segala
puji hanya bagi-mu).‖
~ 69 ~
Bab III: Shalat

Pada saat bangkit memasuki rakaat ketiga


Seorang mushalli di sunahkan mengangkat kedua tangannya ketika
bangkit memasuki rakaat ketiga. Nafi‗ meriwayatkan bahwa apabila ibnu
‘umar ra. bangkit dari rakaat kedua, ia mengangkat kedua tangannya.
Ibnu umar mengungkapkan bahwa hal itu dilakukan oleh Nabi saw.
(riwayat seperti ini di sebut sebagai haditst marfu‗). Hadits ini di
riwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, dan Nasa‗i.

2) Meletakkan Tangan Kanan di Atas Tangan Kiri


(Seorang mushalli) disunahkan meletakkan tangan kanan di atas tangan
yang kiri ketika mengerjakan shalat. Ada dua puluh hadits yang
menjelaskan hal ini yang diriwayatkan oleh delapan belas orang sahabat
dan dua tabi‗in dari Nabi saw. Sahl bin Sa‗ad berkata, ―Kaum muslimin
diperintahkan (oleh Nabi saw.) agar meletakkan tangan kanannya di
atas lengan kirinya di dalam shalat.‖ Abu Hazim berkata, ―Ia (Sahl bin
Saad) menjelaskan bahwa yang memerintahkan mereka adalah
Rasulullah saw.‖ Al- Hafizh Ibnu Hajar berkata, ―Riwayat seperti ini
disebut hadits marfu‗ sebab riwayat itu menjelaskan behwa orang yang
memerintahkan mereka adalah Rasulullah saw.
―Kami, para nabi, diperintahkan untuk menyegerakan berbuka puasa,
mengakhirkan sahur, dan meletakkan tangan kanan kami di atas tangan
kiri ketika mengerjakan shalat.‖

3) Tawajjuh atau membaca doa iftitah


Seorang mushalli di sunahkan membaca salah satu doa yang di baca
oleh Rasulullah saw. Pada saat memulai shalat, setelah mengucapkan
takbiratul ikhram, dan sebelum membaca (surah al-fatihah). Berikut
kami sebutkan beberapa doa beliau.

~ 70 ~
Bab III: Shalat

Abu Hurairah berkata, ―Apabila Rasulullah saw. telah mengucapkan


takbiratul ihram di dalam shalatnya, beliau berdiri sebentar sebelum
membaca surah al-Fatihah. Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, engkau
berdiam sebentar setelah mengucapkan takbiratul ihram, sebelum
membaca surah al-Fatihah. Pada saat itu, apa yang engkau baca?‗
Rasulullah saw. menjawab, ‘Aku mengucapkan,
‘Allahumma ba‗id baini wa baina khathayaya ka maba‗adta bainal
masyriqi wal-maghribi. Allahumma naqqini min khathayaya kama
yunaqqats tsaubul abyadhu minad-danasi. Allahummaghsilni min
khathayaya bits-tsalji wal –ma‗i wal baradi. (Ya Allah, jauhkanlah antara
aku dan segala dosaku sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur
dan barat. Ya Allah, bersihkanlah diriku dari segala dosaku sebagaimana
baju yang putih di bersihkan dari kotoran yang mengotorinya. Ya Allah,
mandikanlah dari segala dosaku dengan salju, air, dan embun).
َ ْ َ َ ْ َ َ َ َّ ُ ّ َ َ ْ َ ُ ْ َ ْ َ َ َّ ُ
‫ َول َك ال َح ْم ُد ا ْه َت َم ِال ُك‬.‫ض َو َم ْن ِف ْي ِه َّن‬ ‫ز‬ ْ ‫لْا‬ ‫للهم لك الحمد اهت قيم السم َىات و‬
ْ‫لْا ْزض َو َمن‬ َ ْ َ َ َ َّ ُ ْ ُ َ ْ َ ُ ْ َ ْ َ ِ َ َ َّ ْ ِْ َ َ ْ َ ْ
ِ
ِ ‫ات و‬
ِ ‫ ولك الحمد اهت هىز السمى‬.‫ض ومن ِفي ِهن‬ ِ ‫ات ولْاز‬ ِ ‫الس َم َى‬
َّ
ُ ْ ُ َ َ ْ ْ َ ْ َ
‫ َول َك ال َح ْم ُد ا ْه َت ال َح ُّق َو َو ْع ُد َك ال َح ُّق َو ِلق ُاء َك َح ٌّق ََوق ْىل َك َح ٌّق َوال َج َّنة‬.‫ِف ْي ِه َّن‬
ُ َ َّ َ ٌّ َ َ َّ َ َ ْ َ ُ َ َّ َ ٌ َّ َ ُ ٌّ َ َ ْ ُّ َّ َ ٌّ َ ُ َّ َ ٌّ َ
.‫اعة َح ٌّق‬ ‫صلى هللا علي ِه وسلم حق والس‬ ‫حق والناز حق والنبيىن حق محمد‬
َ
َ‫اص ْم ُت َوال ْيك‬ َ َ َ َ ُ ْ َ َ ْ َ ُ َ َ َ ْ َ َ َ ُ ْ َ َ َ ِ َ ُ ْ َ ْ َ َ َ َّ ُ َ
َ َ ْ َّ
ِ َ َ َ ‫للهم لك َ اسلمت و ِب َك امنت و َعليك ثىمل َت وِاليك اهب َت َ و ِبك خ‬ ‫ا‬
ُ ْ َ ْ َ َ ُ ْ ْ َ َ ُ ‫َ َ ْ ُ ْ ْ ْ َ َّ ْ ُ َ َ َّ ْ ُ َ َ ْ َ ْز‬
‫حال َمت ف ْاغ ِفس ِلي َماقد ْمت وما ا َخست َوما اسس ت وما اعلنت وما اهت اعلم ِب ِه‬ َ
َّ َ َّ ُ َ َ ‫ّ ْ ْ َ ُ َ ّ ُ َ ْ َ ُ َ ّ ُ َ َ َّ ْ َ َ َ َ ْ َل‬
َ ِ‫ وال حى وال قىة ِلْا ِباهلل‬.‫ اهت اْلق ِدم واهت اْلؤ ِخس ال ِاله ِلْا اهت‬.‫ِم ِني‬
(Ya Allah, segala puji bagi-Mu. Engkau wali langit dan bumi serta wali
semua mahluk yang ada di langit dan bumi. Segala puji bagi-Mu.
Engkau pemberi cahaya kepada langit dan bumiserta kepada semua
makhluk yang ada di langit dan bumi. Segala puji bagi-Mu. Engkau
pemilik langit dan bumi dan engkau pemilik makhluk yang ada di
langit dan bumi. Segala puji bagi-Mu. Engkau adalah tuhan yang haq,
Janjimu adalah haq, pertemuan dengan mu adalah haq, firman mu
adalah haq, surge adalah haq, neraka adalah haq, para nabi adalah
~ 71 ~
Bab III: Shalat

haq, Muhammad adalah haq hari kiamat adalah haq. Ya Allah


kepada-Mu aku berserah diri, kepada-Mu aku beriman, kepadamu
aku bertawakal, kepadamu aku kembalikepadamu aku mengadu
kepadamu aku mengajukan orang yang menentang kebenaran [aku
menjadikanmu hakim di antara aku dan penentang kebenaranitu].
Ampunilah dosa yang telah aku lakukan, dosa yang belum aku
lakukan, dosa yang aku lakukan dengan sembunyidan dosa yang aku
lakukan dengan terang-terangan, engkau tuhan yang mendahulukan
dan mengakhirkan. Tiada tuhan selain engkau. Tiada daya dan upaya
kecuali dengan pertolongan Allah.) Dalam riwayat Abu Dawud, Ibnu
Abbas berkat, ―Rasulullah saw. membaca doa itu dalam shalat
tahajjud setelah mangucapkan Allahu Akbar (takbiratul ihram).‖

4) Membaca Isti‗adzah
Seorang mushalli disunahkan membaca isti‗adzah setelah membaca doa
iftitah, sebelum membaca (surat al-Fatihah), karena Allah berfirman,
―Maka apabila engkau (Muhammad) hendak membaca ayat Al-Quran,
mohonlah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk,‖ (an-
Nahl [16] : 98).
Di dalam hadits yang di riwayatkan oleh Nafi‗ yang telah disebutkan di
atas dijelaskan bahwa Rasulullah saw. membaca,
―Allahumma inni a‗udzu bika minasy-syaitanir rajim, min hamazihi wa
nafatsihi wa nafkhihi (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari
kejahatan setan yang terkutuk)… sampai akhir hadits.‖ Ibnu Mundzir
berkata, ―Telah diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa sebelum membaca
(surah al-Fatihah), beliau membaca, ‘Aku berlindung kepada Allah dari
(kejahatan) setan yang terkutuk.‗‖

~ 72 ~
Bab III: Shalat

Membaca Isti‗adzah dengan Suara Pelan


Seorang mushalli di sunahkan membaca isti‗adzah dengan suara pelan.
Di dala al-Mugni, (Ibnu Qudamah) berkata, ―Seorang mushalli
hendaknya membaca isti‗adzah dengan suara pelan, tidak membacanya
dengan suara lantang. Aku tidak menemukan perselisihan ulama dalam
hal ini.‖ Walaupun demikian, Imam asy-Syafi‗i berpendapat bahwa di
dalam shalat jahriyyah (shalat yang bacaannya di keraskan, yaitu shalat
Magrib, Isya dan Subuh), seorang mushalli boleh memilih antara
membaca isti‗adzah dengan suara lantang dan dengan suara pelan.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah melalui jalan (sanad) yang dha‗if
(bahwa Rasulullah saw.) membaca isti‗adzah dengan suara lantang.

Membaca Isti‗adzah hanya Disunnahkan pada Rakaat Pertama


Membaca isti‗adzah hanya di sunahkan pada rakaat yang pertama. Abu
Hurairah r.a. berkata, ―Apabila Rasulullah saw. bangkit memasuki rakaat
yang kedua, beliau membuka bacaan Al-Quran dengan Alhamdulillahi
rabbil ‘alamin; beliau tidak berdiam terlebih dahulu.‖

5) Mengucapkan Amin
Seorang mushalli disunahkan, baik ia sebagai imam, makmum maupun
mengerjakan shalat sendirian, mengucapkan amin setelah membaca
surat al-Fatihah dengan suara lantang di dalam shalat jahriyyah dan
dengan suara pelan di dalam shalat sirriyyah (shalat yang bacaannya
dipelankan yaitu shalat Zuhur dan Asar). Nu‗aim al-Mujammir berkata,
―Aku mengerjakan shalat (sebagai makmum)di belakang Abu Hurairah.
Ketika membaca Bismillahirahmannirrahim lalu membaca ummul
Qur‗an, ketika ia sampai pada bacaan wa ladh-dhallin, ia mengucapkan
Amin. Kaum muslimin juga mengucapkan amin. Setelah mengucapkan

~ 73 ~
Bab III: Shalat

salam, ia berkata, ‘Sesungguhnya shalatku paling sama dengan shalat


Rasulullah saw. dibandingkan shalat kalian.‖
Dalam Shahih Bukhari disebutkan bahwa Ibnu Syihab berkata,
―Rasulullah saw. mengucapkan amin.‖ Atha berkata,‖ kata amin
merupakan doa. Bnu Zubair dan kaum muslimin yang bermakmum di
belakangnya mengucapkan amin sehingga terdengar suara keras dari
dalam masjid.‖ Nafi‗ berkata,‖Ibnu Umar selalu mengucapkan amin. Ia
menganjurkan kaum muslimin untuk selalu mengucapkan amin (setelah
membaca surah al-Fatihah). Aku mendengar sebuah hadits darinya
bahwa Abu Hurairah berkata, ―Apabila Rasulullah saw. membaca ghairil
maghdubi ‘alaihim waladh-dhaallin, beliau mengucapkan amin. Beliau
memperdengarkan ucapannya itu kepada kaum muslimin yang berdiri di
barisan pertama.‖
Arti Amin
Lafal amin, dengan hurup alif dibaca pendek atau panjang, tanpa tasyid
di di atas huruf mim bukanlah bagian dari surah al-Fatihah. Lafal amin
merupakan doa yang berarti ―Ya Allah, kabulkanlah‖.

6) Takbir Intiqal (Takbir pada Saat Berpindah dari Satu Gerakan ke


Gerakan Lain dalam Shalat)
Seorang mushali disunahkan mengucapkan takbir setiap mengangkat
kedua tangan, bangkit dari sujud, melakukan rukuk, ia disunahkan
mengucapkan sami‗allahu li man hamidah. Ibnu Mas‗ud berkata, ―Aku
melihat Rasulullah saw. mengucapkan takbir setiap melakukan rukuk,
sujud, mengangkat kedua tangan, bangkit dari sujud, berdiri, dan ketika
hendak duduk‖. Tarmidzi menilai hadis ini sahih kemudian ia berkata,
―Hal ini dilakukan para sahabat Nabi saw., di antara mereka adalah Abu
Bakar, Umar, Utsman bin Affan, Ali, para sahabat yang lain, dan para
tabiin. Para fuqaha (ahli fiqih), dan para ulama juga melakukannya.‖
~ 74 ~
Bab III: Shalat

3.6. Hal-Hal yang Membatalkan Shalat


1) Makan dan Minum secara Sengaja
Ibnu Mundzir berkata ―Para ulama telah sepakat bahwa orang yang
makan atau minum dengan sengaja ketika mengerjakan shalat fardhu,
shalatnya batal dan ia wajib mengulanginnya. Menurut jumhur ulama,
hal ini bahkan berlaku juga dalam shalat sunah sebab hal-hal yang
membatalkan shalat fardhu juga membatalkan shalat sunah

2) Berbicara dengan Sengaja


Ada beberapa hadis yang menjelaskan tentang masalah ini, di antaranya
sebagai berikut.
Zaid bin Arqam meriwayatkan, ―Dahulu kami biasa bercakap-cakap
dalam shalat, seseorang berbicara dengan teman yang ada di
sampingnya, hingga turunlah ayat: …dan laksanakanlah (shalat) karena
Allah dengan khusyuk (QS, al-Baqarah [2]: 238). Semenjak itu,kami pun
diperintahkan untuk diam dan dilarang berbicara (ketika shalat).‖

3) Banyak Melakukan Gerakan


Para ulama berbeda pendapat tentang batasan gerakan, yakni banyak
sedikitnya gerakan yang diperbolehkan dalam shalat. Ada yang
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ―banyak gerakan‖ adalah
gerakan yang dilakukan oleh orang yang sekiranya ada orang yang
melihat dari jauh, ia akan mengira bahwa orang tersebut tidak sedang
dalam shalat. Adapun jika sebaliknya (orang yang melihat tidak mengira
seperti ini), itu disebut bergerak sedikit. Ada pula yang mengatakan
bahwa jika yang melakukannya (orang yang bergerak itu) dianggap tidak
shalat oleh orang-orang yang melihatnya, hal itu disebut ―banyak
gerakan‖.

~ 75 ~
Bab III: Shalat

4) Sengaja Meninggalkan Salah Satu Rukun atau Syarat Shalat tanpa


Uzur
Nabi saw. bersabda kepada seorang badui yang tidak menyempurnakan
shalatnya, ―Ulangilah shalatmu, sesungguhnya kamu (sebenarnya)
belum shalat.‖ Hal ini telah disebutkan pada bab terdahulu.
Ibnu Rusyd berkata, ―Para ulama telah sepakat yang dikerjakan tanpa
bersuci (terlebih dahulu), baik dengan sengaja maupun karena lupa,
wajib diulangi. Begitu juga seseorang yang shalat dengan tidak
menghadap ke arah kiblat. Dapat disimpulkan bahwa orang yang
melalaikan salah satu syarat sahnya shalat, ia harus mengulangi
shalatnya.

5) Tertawa ketika Shalat


Ibnu Mundzir menyebutkan bahwa menurut ijma‗ ulama, tertawa dalam
shalat itu menjadikan shalat seseorang batal. Imam Nawawi berkata,
―Pendapat ini dimaksudkan jika tertawa itu sampai mengeluarkan dua
bunyi huruf dengan jelas.‖
Menurut mayoritas ulama, tersenyum itu tidak membatalkan shalat.
Adapun orang yang tidak dapat menahan tawanya, kalau hanya sedikit
tidaklah batal shalatnya, tetapi kalau banyak, batal shalatnya. Ukuran
sedikit itu tergantung kepada ‘urf‗ (tradisi atau kebiasaan yang berlaku).

3.7. Shalat Sunah Rawatib


3.7.1. Shalat sunah rawatib yang muakadah
Berikut ini merupakan shalat-shalat sunah rawatib yang hukumnya
sunah muakadah, yaitu:
1) Shalat Sunah Fajar
Berikut ini merupakan hal-hal yang berkaitan dengan shalat sunah fajar.

~ 76 ~
Bab III: Shalat

Pertama, keutamaan shalat sunah fajar.


Ada banyak hadis yang menjelaskan tentang keutamaan mengerjakan
shalat sunah fajar. Berikut ini kami sebutkan hadis-hadis itu.
Aisyah meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda tentang dua rakaat
shalat sunah yang dikerjakan sebelum shalat fajar (shalat Subuh),
―Kedua rakaat itu lebih aku cintai daripada dunia dan segala yang ada
padanya.‖
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, ―Janganlah
kalian meninggalkan dua rakaat shalat sunah fajar, walaupun pasukan
musuh mengusir kalian.‖
Aisyah berkata, ―Rasulullah saw. sangat konsisten mengerjakan shalat
sunah dua rakaat sebelum shalat subuh dibanding shalat sunah yang
lainnya.‖
Aisyah meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, ―Dua rakaat (shalat
sunnah) fajar lebih baik daripada dunia dan seisinya.‖
Ahmad dan Muslim meriwayatkan bahwa Aisyah r.a. berkata, ―Aku
melihat Rasulullah saw. paling segera melakukan (shalat sunah) dua
rakaat sebelum shalat fajar ketimbang amal-amal kebaikan yang lainya.‖

Kedua, hukum memendekkan bacaan dalam shalat sunah fajar.


Bimbingan Nabi saw. yang telah maklum beliau memendekkan bacaan
dalam dua rakaat shalat sunah fajar.
Hafshah berkata, ―Rasulullah saw. mengerjakan dua rakaat shalat sunah
fajar di rumahku sebelum mengerjakan shalat Subuh. Beliau sangat
memendekkan bacaan dalam dua rakaat itu.‖
Aisyah ra. berkata, ―Rasulullah saw. mengerjakan shalat sunah dua
rakaat sebelum Subuh dengan memendekkan bacaan dalam kedua

~ 77 ~
Bab III: Shalat

rakaat itu, sehingga aku ragu apakah beliau membaca surah al-Fatihah
atau tidak.‖
Aisyah ra. berkata, ―Lama berdiri Rasulullah saw. dalam dua rakaat shalat
sunnah sebelum shalat fajar adalah sama dengan lamanya bacaan surah
al-Fatihah beliau.‖
―Barang siapa yang pada pagi hari jum‗at, sebelum shalat Subuh
mengucapkan, ‘Aku memohon ampun kepada Allah yang tiada tuhan
selain Dia, Yang Hidup dan Yang terus-menerus mengurus makhluk-
Nya. Aku bertobat kepada-Nya‗ sebanyak tiga kali, maka Allah
mengampuni segala dosanya walaupun sebanyak buih di lautan.‖

Ketiga, hukum berbaring setelah melaksanakan shalat sunah fajar.


Aisyah r.a. berkata, ―Apabila Rasullah saw. telah selesai mengerjakan dua
rakaat shalat sunnah fajar, beliau berbaring di atas lambung kanannya.‖
Para perawi juga meriwayatkan bahwa Aisyah berkata, ―Apabila
Rasulullah saw. telah selesai mengerjakan dua rakaat shalat sunah fajar,
jika aku masih tidur, beliau berbaring. Tetapi jika aku telah bangun tidur,
beliau mengajakku berbicara.‖

Keempat, hukum mengqadha shalat sunah fajar


Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, ―Barang siapa
yang belum mengerjakan dua rakaat shalat sunnah fajar hingga matahari
terbit, hendaknya ia mengerjakannya (mengqadhanya).‖
Imam Nawawi berkata, ―sanadnya jayyid (bagus).‖
Menurut Zahir hadis-hadis di atas jelas bahwa shalat sunnah Fajar dapat
diqadha sebelum dan setelah matahari terbit, baik shalat sunah fajar itu
tertinggal karena adanya suatu uzur (halangan) maupun tertinggal tanpa

~ 78 ~
Bab III: Shalat

adanya uzur; baik hanya shalat sunnah fajar saja yang tertinggal maupun
shalat sunah fajar dan shalat Subuh tertinggal.

2) Shalat Sunah Zuhur


Ada riwayat yang menjelaskan bahwa shalat sunah Zuhur terdiri dari
empat rakaat. Ada juga riwayat yang menjelaskan bahwa ia terdiri dari
enam rakaat, dan juga riwayat yang menjelaskan bahwa ia terdiri dari
delapan rakaat. Berikut kami akan sampaikan penjelasanya secara
terperinci.
Berikut ini merupakan riwayat yang menjelaskan bahwa shalat sunah
Zuhur terdiri dari empat rakaat.
Ibnu Umar ra. berkata, ―Aku menghapal dari Nabi saw. sepuluh rakaat
(shalat sunnah rawatib), yaitu dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat
setelahnya, dua rakaat setelah Maghrib dikerjakan di rumah beliau, dua
rakaat setelah Isya dikerjakan di rumah beliau, dan dua rakaat sebelum
shalat Subuh.‖
Mughirah bin Suliaman berkata, ―Aku pernah mendengar Ibnu Umar
berkata, ‘Rasulullah saw. selalu mengerjakan shalat (sunah rawatib) dua
rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah
Maghrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum shalat Subuh.‖
Berikut ini merupakan riwayat yang menjelaskan bahwa shalat sunah
Zuhur terdiri dari enam rakaat.
Abdullah bin Syaqiq berkata, ―Aku bertanya kepada Aisyah tentang
shalat (sunah) yang dikerjakan oleh Rasulullah saw. Ia menjawab, ‘Beliau
mengerjakan shalat sunnah empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat
setelahnya.‗‖
Ummu Habibah binti Abu sufyan meriwayatkan bahwa Rasulullah saw.
bersabda, ―Barang siapa yang mengerjakan shalat sunnah dalam sehari
~ 79 ~
Bab III: Shalat

semalam sebanyak dua belas kali, maka Allah akan membangun sebuah
rumah baginya di dalam surga, yaitu empat rakaat sebelum Zuhur, dua
rakaat setelahnya, dua rakaat setelah Maghrib, dua rakaat setelah Isya
dan dua rakaat sebelum shalat Fajar (Subuh).‖
―Shalat (sunnah) malam dan siang dikerjakan dua rakaat, dua rakaat.‖
Kedua, hukum mengqadha shalat sunah Zuhur
Aisyah meriwayatkan bahwa pada suatu saat Nabi saw. belum
mengerjakan shalat sunah empat rakaat sebelum Zuhur. Ibnu Majah
meriwayatkan bahwa Aisyah berkata, ―Apabila Rasulullah saw. belum
mengerjakan shalat sunah empat rakaat sebelum shalat Zuhur, beliau
mengerjakannya setelah mengerjakan dua rakaat shalat sunnah setelah
Zuhur.‖
Penjelasan di atas adalah terkait dengan hal yang mengqadha shalat
sunah ratibah qabliyyah (sebelum shalat fardhu). Berkenaan dengan
mengqadha shalat sunnah ratibah ba‗diyah (setelah shalat fardhu),
Ahmad meriwayatkan bahwa Ummu Salamah berkata, ―Pada suatu hari
Rasulullah saw. mengerjakan shalat Zuhur. Pada hari itu beliau
mendapatkan harta. Setelah mengerjakan shalat Zuhur, beliau duduk
membagikan harta itu sampai muazin datang mengumandangkan azan
Ashar. Beliau lalu mengerjakan shalat Ashar, kemudian kembali ke
rumahku. Hari itu adalah hari giliran beliau menginap di rumahku.
Beliau lantas mengerjakan shalat dua rakaat. Kami bertanya, ‘Dua rakaat
shalat apa ini, wahai Rasulullah? Apakah engkau diperintahkan untuk
melaksanakannya?‗
Beliau menjawab, ―Tidak. Itu adalah dua rakaat yang semestinya aku
kerjakan setelah shalat Zuhur, tetapi aku disibukkan dengan pembagian
harta sampai muazin datang dan mengumandangkan azan Ashar. Aku
tidak ingin meninggalkan kedua rakaat itu.‖

~ 80 ~
Bab III: Shalat

3) Shalat Sunah Maghrib


Disunahkan bagi mushalli untuk mengerjakan shalat sunah dua rakaat
setelah mengerjakan shalat maghrib. Hal ini sesuai dengan hadis yang
telah disebutkan di atas yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar bahwa shalat
sunah dua rakaat setelah Maghrib merupakan shalat sunah yang tidak
pernah ditinggalkan oleh Nabi saw.
Sementara itu, ketika mengerjakan shalat sunnah Maghrib, setelah
membaca surat al-Fatihah, umat Islam disunahkan unutk membaca surat
Aal-Kafirun dan surat Al-Ikhlas.
Ibnu Mas‗ud berkata, ―Aku tidak dapat menghitung (karena terlalu
sering) Rasulullah saw. membaca surat al-Kafirun dan surat al-Ikhlas
dalam dua rakaat sunah sebelum Maghrib dan dua rakaat sunah
sebelum shalat Subuh.‖
Shalat sunnah setelah Maghrib dianjurkan untuk dikerjakan di rumah.
Mahmud bin Labid berkata, ―Rasulullah saw. mengunjungi bani Abdul
Asyhal. Beliau mengerjakan shalat Maghrib bersama mereka. Setelah
mengucapkan salam, beliau bersabda, ―Kerjakanlah dua rakaat (shalat
sunah setelah Maghrib) ini di rumah kalian.‖
Sudah kami sebutkan di atas, sebuah riwayat yang menjelaskan bahwa
beliau mengerjakan dua rakaat setelah Maghrib di rumah beliau.

4) Shalat Sunah Isya


Kami telah meyebutkan beberapa hadis yang menjelaskan tentang
shalat dua rakaat setelah mengerjakan shalat Isya.

3.7.2. Shalat Sunah Rawatib Ghairu Muakadah


Shalat-shalat sunah rawatib yang telah disebutkan di atas hukumnya
adalah sunah muakadah (sunah yang sangat dianjurkan untuk
~ 81 ~
Bab III: Shalat

dilaksanakan). Selanjutnya, kami akan meyebutkan shalat-shalat sunah


rawatib yang hukumnya sunah ghairu muakadah (tidak ditekankan
untuk selalu dikerjakan).

1) Dua atau Empat Rakaat sebelum Melaksanakan Shalat Ashar


Ada bebarapa hadis yang diperselisihkan kesahihanya, tetapi karena
diriwayatkan melalui jalur yang banyak, maka antarhadis saling
menguatkan. Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu
Umar bahwa Rasullah saw. bersabda, ―Allah mencurahkan rahmat-Nya
kepada seorang hamba yang mengerjakan shalat sunah empat rakaat
sebelum mengerjakan shalat Ashar.‖
Kemudian, hadis yang diriwayatkan oleh Ali bahwa Nabi saw.
mengerjakan shalat sunah sebanyak empat rakaat sebelum mengerjakan
shalat Ashar. Beliau memisah antara setiap dua rakaat dengan
mengucapkan salam untuk para malaikat, para nabi dan seluruh kaum
muslimin dan mukminin yang menjadi pengikut mereka. Sementara itu,
dalil yang menjelaskan bahwa shalat sunah sebelum Ashar hanya
dikerjakan sebanyak dua rakaat adalah sabda beliau yang bersifat
umum, ―Di antara setiap dua adzan ada shalat sunah yang dikerjakan.‖

2) Dua Rakaat sebelum Shalat Maghrib


Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Mughafal bahwa Nabi saw.
bersabda, ―Kerjakanlah shalat sebelum Maghrib, kerjakanlah shalat
sebelum Maghrib.‖ Selanjutnya beliau bersabda, ―Bagi orang yang ingin
mengerjakannya.‖
Beliau tidak ingin kaum muslim mengangap sebagai shalat sunah yang
sangat ditekankan. Ibnu Hibban meriwayatkan bahwa Nabi saw.
mengerjakan shalat sunnah sebelum Maghrib sebanyak dua rakaat.
Muslim meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, ―Kami mengerjakan
~ 82 ~
Bab III: Shalat

shalat sebanyak dua rakaat sebelum matahari terbenam. Pada saat itu,
Rasulullah saw. melihat kami. Beliau tidak memerintahkan juga tidak
melarang kami.‖
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam Fath al-Bari, ―Beberapa dalil telah
menjelaskan bahwa shalat sunah sebelum Maghrib sunah dikerjakan
oleh mushalli dengan bacaan yang tidak panjang seperti pada saat ia
mengerjakan dua rakaat shalat sunah Fajar.‖

3) Dua Rakaat Sebelum Isya


Para perawi meriwayatkan dari Abdullah bin Mughafal bahwa Nabi saw.
bersabda, ―Di antara setiap dua azan adalah shalat (sunah yang
dikerjakan).‖ Selanjutnya, beliau bersabda, ―Bagi orang-orang yang ingin
mengerjakanya.‖
Ibnu Hibban meriwayatkan dari Zubair bahwa Rasulullah saw. bersabda,
―Sebelum dan setelah setiap shalat fardu ada dua rakaat yang sunnah
dikerjakannya.‖

3.8. Shalat Witir


Ketentuan dan Hukum Shalat Witir
Shalat witir hukumnya sunnah muakkad. Rasulullah saw. menganjurkan
umatnya untuk mengerjakannya. Ali r.a. berkata, ―Sesungguhnya shalat
witir tidak wajib seperti shalat fardhu yang kalian kerjakan. Rasulullah
saw. mengerjakan shalat witir, kemudian beliau bersabda, ‘Wahai Ahlul
Qur‗an (kaum muslim), kerjakanlah shalat Witir (ganjil) karena Allah itu
ganjil dan menyukai hal yang ganjil.‗‖
Pendapat Abu Hanifah yang mengatakan bahwa shalat Witir
hukumnya wajib adalah pendapat yang lemah. Ibnu Mundzir berkata,
―Aku pernah tahu apakah ada seorang ulama yang sependapat dengan
Abu Hanifah dalam masalh ini.‖
~ 83 ~
Bab III: Shalat

Ahmad, Abu Dawud, Nasa‗i dan Ibnu Majah meriwayatkan bahwa


ada seseorang di kalangan Anshar yang dijuluki Abu Muhammad
memberi tahu Mukhdiji bahwa shalat Witir hukumnya wajib. Mukhdiji
lalu berangkat menemui Ubadah bin Shamit. Ia menceritakan kepada
Ubadah bin Shamit bahwa Abu Muhammad mengatakan bahwa shalat
Witir hukmnya wajib. Ubadah bin shamit berkata, ―Abu Muhammad
mengatakan pendapat yang salah. Aku pernah mendengar Rasulullah
bersabda, ‘Ada lima shalat yang diwajibkan oleh Allah kepada hamba-
hamba. Barang siapa yang mengerjakan dan tidak meninggalkan dengan
maksud yang meremehkannya, maka ia telah memiliki kepastian di sisi
Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi bahwa dia akan memasukannya
ke dalam surga. Barang siapa yang tidak mengerjakannnya, Dia akan
menyiksanya. Jika Dia berkehendak mengampuninya, Dia akan
mengampuninya,‖

3.9. Shalat Jumat


3.9.1. Pengertian Shalat Jum’at
Shalat Jum‗at adalah shalat fardhu dua rakaat yang dikerjakan pada
waktu zuhur sesudah dua khutbah. Orang yang telah mengerjakan
shalat jum‗at, tidak diwajibkan mengerjakah shalat Zuhur lagi.

3.9.2. Hukum Shalat Jum’at


Shalat Jum‗at hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap muslim yang mukallaf,
laki-laki, merdeka, sehat, dan bukan musafir serta dikerjakan secara
berjama‗ah, sebagaimana firman Allah Swt.
َّ ْ َ ْ ‫لص ََلة م ْن ًَ ْىم ْال ُج ُم َعة َف‬
‫اس َع ْىا ِإل ٰى ِذل ِس الل ِه‬ َّ ‫ىد َي ِل‬ َ ‫ًَا َأ ُّي َها َّالر‬
ُ ‫ًن َآم ُنىا إ َذا‬
‫ه‬
ِ ِ ِ ِ
َ‫َ َ ُ ِ ْ َ ْ َ َٰ ُ ْ َ ْ ٌ َ ُ ْ ِ ْ ُ ْ ُ ْ َ ْ َ ُ ن‬ ِ
َ َ ‫وذزوا البيع ۚ ذ ِلنم خير لنم ِإن لنحم جعلمى‬
―Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum‗at,
maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual

~ 84 ~
Bab III: Shalat

beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui,‖ (QS. Al-
Jumu‗ah [62]: 9).

Arinya, pergi (ke tempat shalat) jum‗at itu wajib atas tiap-tiap orang yang
telah dewasa.
Ada empat golongan yang tidak dikenakan kewajiban melakukan shalat
Jum‗at, yaitu: hamba sahaya, perempuan, anak-anak, dan orang sakit.
Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah saw. dalam hadisnya, ―Shalat Jum‗at
itu wajib atas setiap muslim, kecuali 4 golongan yaitu hamba sahaya,
perempuan, anak-anak, dan orang sakit,‖ (HR. Abu Daud).
Selain itu hal-hal yang merupakan uzur jama‗ah, juga dipandang sebagai
uzur dalam melaksanakan shalat Jum‗at.
Orang tua bangka dan orang lumpuh, tetap wajib melakukan shalat
Jum‗at jika mereka mendapatkan pengangkutan, walaupun dengan
menyewa ataupun meminjam. Begitu juga dengan orang buta juga tetap
wajib melakukan shalat Jum‗at bila ia dapat berjalan sendiri tanpa
kesulitan atau ada orang yang menuntunnya, sekalipun dengan upah.
Dan bagi orang yang mampu mengerjakannya kemudian ia tinggalkan
maka akan dicap sebagai orang yang munafik. Nabi bersabda, ―Barang
siapa meninggalkan shalat Jum‗at tiga kali karena menganggapnya
enteng, niscaya Allah akan menutup mata hatinya,‖ (HR. Abu Daud dan
Tirmidzy)

3.9.3. Syarat-Syarat Mendirikan Shalat Jum’at


Untuk sahnya melakukan shalat Jum‗at harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a. diadakan di lingkungan bangunan tempat tinggal tetap (wathan);
b. dilakukan dengan berjama‗ah tidak boleh kurang dari 40 orang;
~ 85 ~
Bab III: Shalat

c. dilakukan pada waktu Zhuhur;


d. dua khutbah sebelum shalat. Keharusan khutbah pada shalat Jum‗at
itu dapat diketahui dari hadis Jabir Ibn Samurah ra., bahwasanya
Rasulullah saw. selalu berkhutbah dua kali pada hari Jum‗at, duduk di
antara keduanya, dan ketika berkhutbah dengan berdiri.

3.9.4. Sunah Jum’at


Sunah-sunah Jum‗at antara lain:
1) mandi.
Orang yang akan melakukan shalat Jum‗at disunnahkan mandi sesuai
dengan anjuran Nabi saw. dalam hadisnya, ―Barang siapa berwudhu‗
pada hari Jum‗at maka itu sudah baik, namun siapa yang mandi maka
itu lebih baik;
2) membersihkan tubuh dari segala bau yang tidak enak;
3) memotong kuku dan kumis;
4) memakai pakaian yang terbaik (terutama yang putih);
5) memakai wangi-wangian;
6) berdiam diri sambil mendengarkan khutbah.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum berkata-kata pada
waktu imam menyampaikan khutbah. Imam Malik dan Abu Hanifah
mengatakan hukumnya haram berdasarkan Al-Quran dan Hadis.
Allah berfirman, ―Dan apabila dibacakan Al-Qur‗an maka
dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang,‖ (QS. Al-
A‗raf [7]: 204). Rasulullah saw. bersabda, ―Bila engkau mengatakan
‘diamlah‗ kepada temanmu di hari Jum‗at, ketika imam sedang
berkhutbah, maka sesungguhnya engkau telah berbuat sia-sia,‖ (HR.
Bukhari).

~ 86 ~
Bab III: Shalat

Sedangkan Imam Syafi‗I dalam Qawl Jadid-nya berpendapat bahwa


berdiam diri itu adalah sunnah dan tidak haram berkata-kata pada
saat khutbah berlangsung.

3.9.5. Khutbah Jum’at


Khutbah shalat Jum‗at ialah perkataan yang mengandung mau‗izhah dan
tuntunan ibadah yang diucapkan oleh khatib dengan syarat yang telah
ditentukan syara‗ dan menjadi rukun untuk memberikan pengertian para
hadirin, menurut rukun dari shalat Jum‗at.
Khutbah Jum‗at terbagi menjadi dua yang antara keduanya diadakan
waktu istirahat yang pendek dan khutbah ini dilakukan sebelum shalat

Adapun syarat-syarat dua khutbah Jum‗at ada tiga belas.


1) Yang berkhutbah harus laki-laki.
2) Yang berkhutbah bukan orang yang tuli, yang tidak dapat
mendengar sama sekali.
3) Khutbah harus dilakukan dalam bangunan yang digunakan shalat
Jum‗at.
4) Suci dari hadas besar dan hadas kecil.
5) Badan, pakaian dan tempat khatib harus suci dari najis.
6) Menutup aurat.
7) Berdiri di waktu melakukan khutbah itu bagi yang berkuasa.
8) Duduk antara dua khutbah dengan istirahat yang pendek.
9) Berturut-turut antara kedua khutbah itu dengan shalat.
10) Berturut-turut antara kedua khutbah itu dengan shalat.
11) Suaranya keras sehingga dapat didengar oleh paling sedikit 40
orang pengunjung mesjid.
12) Khutbah dilakukan di waktu Zhuhur.
13) Rukun-rukun khutbah itu harus dengan bahasa Arab.
~ 87 ~
Bab III: Shalat

Adapun rukun-rukun khutbah Jum‗at ada 6, yaitu:


1) Memuji Allah pada tiap-tiap permulaan dua khutbah, sekurang-
kurangnya membaca hamdalah.
2) Mengucapkan shalawat atas Rasulullah saw. dalam kedua khutbah
itu, sekurang-kurangnya: ‫( صل هللا عليه وسلم‬semoga Allah
melimpahkan shwalawat dan salam kepada Rasulullah saw.).
3) Membaca syahadatain (dua kalimat syahadat).
4) Berwasiat takwa, yakni menganjurkan agar taqwa kepada Allah
pada tiap-tiap khutbah, sekurang-kurangnya: bertakwalah kepada
Allah.
5) Membaca ayat Al-Qur‗an barang seayat di salah satu kedua
khutbah itu dan lebih utama di dalam khutbah yang pertama.
6) Memohonkan ampunan bagi kaum muslimin dan muslimat,
mukminin dan mukminat.

Adapun sunah-sunah khutbah Jum’at antara lain:


1) Khatib berdiri di atas mimbar atau tempat yang tinggi.
2) Memberi salam kepada hadirin dan menghadap kepada yang hadir.
3) Khatib berpegang sebuah tongkat atau panah dan atau yang serupa
dengan itu.
4) Duduk istirahat sejenak sesudah mengucapkan salam.
5) Hendaklah fasih dan keras suaranya, agar yang mendengarkannya
paham akan kata-kata yang diucapkan.
6) Hendaklah khutbah itu lebih pendek dari shalat.
7) Khutbah hendaknya disudahi dengan permohonan ampunan
kepada Allah, dan yang lebih utama pada khutbah kedua.
8) Supaya jangan ada seorang pun yang berkata-kata ketika khutbah
sedang dibaca.

~ 88 ~
Bab III: Shalat

9) Supaya khatib masuk ke mesjid ketika khutbah akan dimulai dan


gugurlah dari padanya sunat tahyat mesjid.
10) Membaca surat al-Ikhlas di waktu duduk antara dua khutbah.

3.10. Shalat-shalat Sunah Nawafil


3.10.1. Shalat Dhuha
Shalat Dhuha adalah shalat sunah yang dilakukan seorang muslim
ketika waktu dhuha. Waktu dhuha adalah waktu ketika matahari mulai
naik kurang lebih 7 hasta sejak terbitnya (kira-kira pukul tujuh pagi)
hingga waktu zuhur.
Jumlah rakaat shalat Dhuha minimal dua rakaat dan maksimalnya dua
belas rakaat dan dilakukan dalam 2 rakaat sekali salam.

Tata Cara melaksanakan Shalat Dhuha


Pada dasarnya Pelaksanaan shalat Dhuha adalah sama dengan shalat
fardhu, yang membedakan hanya bacaan niat dan jumlah rakaatnya
saja.
Berikut bacaan niat shalat dhuha :
َ َ ْ ُّ ‫ص ّلى ُس َّن َة‬
َ ُ
َ ‫الض َحى َزل َع َح ْي ِن هللِ ج َعالى‬ ِ ‫ا‬
Aku niat shalat sunat Dhuha dua rakaat, karena Allah ta‗ala.

Niat shalat Dhuha dilakukan di dalam hati berbarengan dengan


takbiratul ihram. Gerakan selanjutnya adalah sama seperti shalat pada
umumnya.
Surah-surah yang paling baik dibaca ketika shalat duha adalah
surah al-Waqi‗ah, surah asy-Syams, surah Ad-Dhuha, surah al-Kafirun,
surah al-Quraisy, dan surah al-Ikhlas.

~ 89 ~
Bab III: Shalat

Surah yang paling disunahkan ketika shalat Dhuha yaitu rakaat


pertama disunahkan membaca surah asy-Syams dan rakaat kedua
disunahkan membaca surah ad-Dhuha. Adapun untuk rakaat berikutnya
yaitu setiap rakaat pertama disunahkan membaca surah al-Kafirun dan
setiap rakaat kedua disunahkan membaca surah al-Ikhlas.
Setelah selesai kita membaca doa seperti yang Rasulullah saw.
ajarkan.
ُ َ ْ ُ َ ‫ض َح ُاء َك َو ْال َب َه َاء َب َه ُاء َك َو ْال َج َم‬ ُّ ‫َا ّلل ُه َّم ِا َّن‬
‫ال َج َمال َك َوال ُق َّىة ق َّى ُث َك‬ ُ ‫الض َحى‬
َ ‫الس َماء َف َا ْهزْل ُه َوا ْن َم‬ َ َ ْ ّ َ َ ُ ُْ َ ْ ُْ َ ُ ْ ََْ ْ َ
‫ان‬ ِ َ ِ ِ َّ َ ‫ص َمحك َوالقد َ َزة قد َزثك الل ُه ََّم َِان مان ِفى‬ ‫والعصمة ع‬
ّ‫ان َب ْعي ًدا ف َق ّسْب ُه ب َحق‬ َ ‫ان ُم َعاس ًسا ف َي ّس ْس ُه َوا ْن م‬ َ ‫فى ِ ْ َلْا ْ ض ِ َف َا ْخس ْج ُه َوا ْن م‬
ِ َ ْ ِ َّ ِ َ ِ َ ْ َ ْ َ ِ َ ِ َ ْ ِ ُ َ َ َّ ُ َ َ ِ َ َ َ ِ َ َ َ َ ِ َ ‫ِ ُ َ ز‬
َ ‫ال ِحي َن‬ َ ِ ‫ضح ِاءك وبه ِاءك وجم ِالك وقى ِثك وقد َ ِزثك ِآث ِن ْى ماآثيت ِمن ِعب ِادك الص‬

Allahumma innadh-Dhuha`a dhuha`uka, wal bahaa`a bahaa`uka, wal


jamaala jamaaluka, wal quwwata quwwatuka, wal qudrata
qudratuka, wal ishmata ishmatuka. Allahuma in kaana rizqii fis-
Samma`i fa anzilhu, wa in kaana fil ardhi fa akhrijhu, wa in kaana
mu‗asaran fa yassirhu, wa in kaana haraaman fa thahhirhu, wa in
kaana ba‗iidan fa qaribhu, bihaqqi dhuhaa`ika wa bahaaika, wa
jamaalika wa quwwatika wa qudratika, aatini maa ataita min
‘ibadikash-Shalihin.
―Ya Allah, sesungguhnya waktu dhuha adalah waktu dhuha-Mu,
keagungan adalah keagungan-Mu, keindahan adalah keindahan-Mu,
kekuatan adalah kekuatan-Mu, penjagaan adalah penjagaan-Mu. Ya
Allah, apabila rezekiku berada di atas langit maka turunkanlah.
Apabila berada di dalam bumi maka keluarkanlah. Apabila sukar
mudahkanlah. Apabila haram sucikanlah. Apabila jauh dekatkanlah
dengan kebenaran dhuha-Mu, kekuasaan-Mu (Wahai Tuhanku),

~ 90 ~
Bab III: Shalat

datangkanlah padaku apa yang Engkau datangkan kepada hamba-


hamba-Mu yang saleh.‖

Keutamaan dan Manfaat Shalat Dhuha untuk kehidupan


Ini juga merupakan amalan yang dianjurkan Rasulullah saw. kepada
umatnya sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim dari Abu
Hurairoh yang berkata, ―Nabi saw. kekasihku telah memberikan tiga
wasiat kepadaku, yaitu berpuasa tiga hari dalam setiap bulan,
mengerjakan dua rakaat dhuha, dan mengerjakan shalat witir terlebih
dahulu sebelum tidur.‖

3.10.2. Shalat Tahajjud


Tata Cara, Praktek dan Bacaan Doa Shalat Tahajud
Seperti yang telah kita ketahui sebelumnya bahwa shalat Tahajud adalah
shalat sunah yang dikerjakan pada waktu malam hari, dimulai selepas
isya sampai menjelang subuh dan dikerjakan setelah tidur atau bangun
tidur di malam hari.
Shalat Tahajud sering juga disebut shalat malam atau disebut juga
(shalatul-Lail/qiyamul-Lail) karena waktu yang melaksanakan shalat ini
pada malam hari saat semua orang sedang tertidur lelap. Shalat Tahajud
juga adalah shalat sunah yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah
saw. sepanjang hidupnya.
Sebelum kepada prakteknya, alangkah baiknya kita mengetahui
waktu yang terbaik untuk melaksanakan shalat tahajud, karena para
ulama telah membagi waktu-waktu yang utama untuk shalat Tahajud
sebagai berikut.
Sepertiga pertama, yaitu kira-kira mulai dari jam 19.00 sampai
jam 22.00. Ini saat utama. Sepertiga kedua, yaitu kira-kira mulai dari jam
22.00 sampai dengan jam 01.00. Ini saat yang lebih utama. Dan,
~ 91 ~
Bab III: Shalat

sepertiga ketiga, yaitu kira-kira dari jam 01.00 sampai dengan masuknya
waktu subuh, inilah saat yang paling utama.
Jumlah rakaat shalat tahajud adalah tidak terbatas, paling sedikit 2
rakaat dan dikerjakan dalam dua rakaat satu salam.

Niat shalat tahajud


َ َ ْ َّ ‫ص ّلى ُس َّن َة‬
َ ُ
َ ‫الح َه ُّج َد َزل َع َح ْي ِن هللِ ج َعالى‬ ِ ‫ا‬
―Aku niat shalat sunat tahajud dua rakaat karena Allah‖

Doa setelah Shalat Tahajud


Setelah selesai shalat Tahajud hendaknya kita perbanyak istighfar
memohon ampunan Allah Swt. Sebenarnya tidak ada bacaan doa
tertentu yang dikerjakan setelah shalat Tahajud. Namun, kebiasaan
Rasulullah saw. selalu membaca doa berikut ini setelah shalat Tahajud.
َ ْ َ َ ْ َ َ َ َّ ُ ّ َ َ ْ َ ُ ْ َ ْ َ َ َّ ُ َ
‫ َول َك ال َح ْم ُد ا ْه َت‬.‫ض َو َم ْن ِف ْي ِه َّن‬ ‫ز‬ْ ‫لْا‬ ‫اللهم لك الحمد اهت قيم السمىات و‬
َ ْ َ َ َ َّ ُ ْ ُ َ ْ َ ُ ْ َ ْ َ َ َ ِ َّ ْ ْ َ َ ِ ْ َ ْ
ِ َ َّ ‫َمال ُك‬
‫ض‬ ْ
ٌِّ َ ‫ات ُ و َلْاز‬ َِ ‫ ولك الح ْمد اهت َ هىز السمى‬.‫ض َ ومن ْ ِفي ِهن‬ ِ ‫ات ْولْاز‬ ِ َ ‫الس َمى‬ ِ
ْ َ
‫ ولك الحمد اهت الحق و عدك الحق و ِلقاءك حق وقىلك حق‬.‫ََو َمن ِفي ِهن‬
َ ٌّ َ ُ َ ُّ َ َ ُ ْ ‫و‬َ َ ُّ َ َ ْ ُ ْ َ َ َ َّ ْ ْ
َّ َ ُ َّ َ ٌ َّ َ ُ ٌّ َ َ ْ ُّ َّ َ ٌّ َ ُ َّ َ ٌّ َ ُ َّ َ ْ َ
‫هللا َعل ْي ِه َو َسل َم َح ٌّق‬ ‫صلى‬ ‫والجنة حق والناز حق والن ِبيىن حق محمد‬
َ‫ت َوب َك َا َم ْن ُت َو َع َل ْي َك َث َى َّم ْل ُت َوا َل ْي َك َا َه ْب ُت َوبك‬ َ ُ ‫لله َّم َل َك َا ْس َل ْم‬ ُ ‫ َا‬.‫اع ُة َح ٌّق‬ َ ‫الس‬
َّ ‫َو‬
ِ َ َ ِ َ َ َ ِ َ َ َ
ْ َ ‫َخ‬
‫اص ْم ُت َوِال ْي َك َحال ْم ُت ف ْاغ ِف ْس ِل ْي َماق َّد ْم ْ ُت َو َما ا َّ َخ ْس ُت َو َما ا ْس َس ْز ُت َو َما ا ْعل ْن ُت‬
َ ُ َ َ َ َّ َ ّ َُ َ َُ َ َ َ َ
‫ َوال َح ْى َل َوال ق َّىة‬.‫ ا ْه َت اْلق ِّد ُم َوا ْه َت اْلؤ ِخ ُس َال ِال َه ِلْا ا ْه َت‬.‫َو َما ا ْه َت ا ْعل ُم ِب ِه ِم ِ ّن ْي‬
َّ
َ ِ‫ِلْا ِباهلل‬
Allaahumma lakal hamdu anta qayyimus-Samaawaati wal ardhi wa man
fiihinna. Wa lakal hamdu anta malikus-Samaawaati wal ardhi wa man
fiihinna. Wa lakal hamdu anta nuurus-Samaawaati wal ardhi wa man
fiihinna. Wa lakal hamdu antal haqqu, wa wa‗dukal haqqu, wa liqaa‗uka
haqqun, wa qauluka haqqun, wal jannatu haqqun, wan-Naaru haqqun,
wan-Nabiyyuuna haqqun, wa muhammadun shallallaahu ‘alaihi wa
sallama haqqun was-Saa‗atu haqqun. Allaahumma laka aslamtu, wa bika
aamantu, wa ‘alaika tawakkaltu, wa ilaika anabtu, wa bika khaashamtu, wa
~ 92 ~
Bab III: Shalat

ilaika haakamtu, faghfir lii maa qaddamtu, wa maa akh-khartu, wa maa


asrartu, wa maa a‗lantu, wa maa anta a‗lamu bihi minnii. antal
muqaddimu, wa antal mu‗akhkhiru, laa ilaaha illaa anta, wa laa haula wa
laa quwwata illaa billaah

―Ya, Allah! Bagi-Mu segala puji, Engkau cahaya langit dan bumi serta
seisinya. Bagi-Mu segala puji, Engkau yang mengurusi langit dan bumi
serta seisinya. Bagi-Mu segala puji, Engkau Tuhan yang menguasai langit
dan bumi serta seisinya. Bagi-Mu segala puji dan bagi-Mu kerajaan langit
dan bumi serta seisinya. Bagi-Mu segala puji, Engkau benar, janji-Mu
benar, firman-Mu benar, bertemu dengan-Mu benar, surga adalah benar
(ada), neraka adalah benar (ada), (terutusnya) para nabi adalah benar,
(terutusnya) Muhammad adalah benar (dari- Mu), peristiwa hari Kiamat
adalah benar. Ya Allah, kepada-Mu aku pasrah. Kepada-Mu aku
bertawakal. Kepada-Mu aku beriman. Kepada-Mu aku kembali (bertobat),
dengan pertolongan-Mu aku berdebat (kepada orang-orang kafir), kepada-
Mu (dan dengan ajaran-Mu) aku menjatuhkan hukum. Oleh karena itu,
ampunilah dosaku yang telah lalu dan yang akan datang. Engkaulah yang
mendahulukan dan mengakhirkan. Tiada Tuhan yang berhak disembah
kecuali Engkau. Engkau adalah Tuhanku. Tidak ada Tuhan yang berhak
disembah kecuali Engkau.‖

3.10.3. Shalat Istisqa


Istisqa artinya meminta hujan. Dalam kamus Lisaanul ‘Arab disebutkan:
―Istisqa disebutkan dalam hadits. Arti istisqa adalah permohonan
meminta as-Saqa, yaitu diturunkannya hujan kepada sebuah negeri atau
kepada orang-orang. Namun di kalangan ahli fiqih, sudah dipahami jika
disebut shalat istisqa, yang dimaksud adalah permohonan
diturunkannya hujan kepada Allah, bukan kepada makhluk.‖
~ 93 ~
Bab III: Shalat

Hukum Shalat Istisqa


Shalat Istisqa hukumnya sunnah muakkadah (sangat ditekankan) ketika
terjadi musim kering, karena Rasulullah saw. memerintahkan hal
tersebut. ‘Aisyah ra. meriwayatkan, ―Orang-orang mengadu kepada
Rasulullah saw. tentang musim kemarau yang panjang. Lalu beliau
memerintahkan untuk meletakkan mimbar di tempat tanah lapang, lalu
beliau membuat kesepakatan dengan orang-orang untuk berkumpul
pada suatu hari yang telah ditentukan‖. Aisyah lalu berkata, ―Rasulullah
saw. keluar ketika matahari mulai terlihat. Lalu beliau duduk di mimbar.
Beliau bertakbir dan memuji Allah Azza wa Jalla, lalu bersabda,
‘Sesungguhnya kalian mengadu kepadaku tentang kegersangan negeri
kalian dan hujan yang tidak kunjung turun, padahal Allah Azza Wa Jalla
telah memerintahkan kalian untuk berdoa kepada-Nya dan Ia berjanji
akan mengabulkan doa kalian.‗
Kemudian beliau mengucapkan, ‘Segala puji bagi Allah, Rabb
semesta alam, Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai
hari Pembalasan,‗ (QS. Al-Fatihah: 2-4). Laa ilaha illallahu yaf‗alu maa
yuriid. Allahumma antallahu laa ilaaha illa antal ghaniyyu wa nahnul
fuqara‗. Anzil alainal ghaitsa waj‗al maa anzalta lanaa quwwatan wa
balaghan ilaa hiin (Tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali
Dia. Dia melakukan apa saja yang dikehendaki. Ya Allah, Engkau adalah
Allah, tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Engkau Yang
Mahakaya sementara kami yang membutuhkan. Maka, turunkanlah
hujan kepada kami dan jadikanlah apa yang telah Engkau turunkan
sebagai kekuatan bagi kami dan sebagai bekal di hari yang ditetapkan).‗
Kemudian beliau terus mengangkat kedua tangannya hingga terlihat
putihnya ketiak beliau. Kemudian beliau membalikkan punggungnya,
membelakangi orang-orang dan membalik posisi selendangnya. Ketika
itu beliau masih mengangkat kedua tangannya. Kemudian beliau
menghadap ke orang-orang, lalu beliau turun dari mimbar dan shalat
~ 94 ~
Bab III: Shalat

dua rakaat. Lalu Allah mendatangkan awan yang disertai guruh dan
petir. Turunlah hujan dengan izin Allah. Beliau tidak kembali menuju
masjid sampai air bah mengalir di sekitarnya. Ketika beliau melihat
orang-orang berdesak-desakan mencari tempat berteduh, beliau tertawa
hingga terlihat gigi gerahamnya, lalu bersabda, ‘Aku bersaksi bahwa
Allah adalah Mahakuasa atas segala sesuatu dan aku adalah hamba serta
Rasul-Nya,‗‖ (HR. Abu Daud no.1173, dishahihkan al-Albani dalam
Shahih Abi Daud).
Ibnu Qudamah berkata, ―Shalat Istisqa hukumnya sunah
muakkadah, ditetapkan oleh sunnah Rasulullah shallallahu‗alaihi
wasallam dan Khulafa Ar Rasyidin.‖
Ibnu ‘Abdil Barr berkata, ―Para ulama telah ber`ijma bahwa keluar
beramai-ramai untuk shalat Istisqa di luar daerah dengan doa dan
memohon kepada Allah untuk menurunkan hujan ketika musim
kemarau dan kekeringan melanda hukumnya adalah sunnah, yang telah
disunnahkan oleh Rasulullah shallallahu‗alaihi Wasallam tanpa ada
perbedaan pendapat di antara para ulama dalam hal ini.‖4

Beberapa Jenis Istisqa kepada Allah


Memohon kepada Allah agar diturunkan hujan berdasarkan apa yang
ditetapkan oleh syari‗at, dapat dilakukan dengan beberapa cara:
Pertama, shalat istisqa secara berjama‗ah ataupun sendirian.5
Kedua, imam shalat Jum‗at memohon kepada Allah agar
diturunkan hujan dalam khutbahnya. Para ulama ber-ijma‗ bahwa hal ini
disunahkan senantiasa diamalkan oleh kaum muslimin sejak dahulu.6
Hal ini dilakukan oleh Rasulullah shallallahu‗alaihi wasallam,
sebagaimana diceritakan sahabat Anas Bin Malik radhiallahu‗anhu:

~ 95 ~
Bab III: Shalat

―Seorang lelaku memasuki masjid pada hari Jum‗at melalui pintu


yang searah dengan Daarul Qadha. Ketika itu Rasulullah saw. sedang
berkhutbah dengan posisi berdiri. Lelaki tadi berkata, ‘Wahai Rasulullah,
harta-harta telah binasa dan jalan-jalan terputus (banyak orang
kelaparan dan kehausan). Mintalah kepada Allah agar menurunkan
hujan!‗ Rasulullah saw. lalu mengangkat kedua tangannya dan
mengucapkan, Allahumma aghitsna (3x). Demi Allah, sebelum itu kami
tidak melihat sedikit pun awan tebal maupun yang tipis. Awan-awan
juga tidak ada di antara tempat kami, di bukit, rumah-rumah atau satu
bangunan pun. Tapi tiba-tiba dari bukit tampaklah awan bagaikan
perisai. Ketika sudah membumbung sampai ke tengah langit, awan pun
menyebar dan hujan pun turun‖. Anas melanjutkan, ―Demi Allah,
sungguh kami tidak melihat matahari selama enam hari,‖ (HR. Bukhari
dan Muslim).
Ketiga, berdoa setelah shalat atau berdoa sendirian tanpa
didahului shalat. Para ulama ber-‘ijma akan bolehnya hal ini.7

Tempat Shalat Istisqa


Shalat Istisqa lebih utama dilakukan di lapangan, sebagaimana dalam
hadits ‘Aisyah radhiallahu‗anha disebutkan, ―Lalu beliau memerintahkan
untuk meletakkan mimbar di tempat tanah lapang.‖
Juga dalam hadits Abdullah bin Zaid al-Mazini:
―Nabi shallallahu‗alaihi Wasallam keluar menuju lapangan.
Beliau meminta hujan kepada Allah dengan menghadap kiblat,
kemudian membalikan posisi selendangnya, lalu shalat 2 rakaat,‖ (HR.
Bukhari no. 1024).
Namun boleh melakukannya di masjid, sebagaimana yang
disampaikan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani, ―Perkataan Imam Al Bukhari

~ 96 ~
Bab III: Shalat

‘Bab Shalat Istisqa di Masjid Jami‘, menunjukkan tafsiran beliau bahwa


keluar menuju lapangan bukanlah syarat sah shalat Istisqa.‖8

Waktu Pelaksanaan Shalat Istisqa


Shalat Istisqa tidak memiliki waktu khusus namun terlarang dikerjakan
di waktu-waktu terlarang untuk shalat.9 Akan tetapi yang lebih utama
adalah sebagaimana waktu pelaksanaan shalat ‘Id, yaitu ketika matahari
mulai terlihat, sebagaimana dalam hadis ‘Aisyah radhiallahu‗anha
disebutkan, ―Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar ketika
matahari mulai terlihat.‖

Tata Cara Shalat Istisqa


Para ulama berbeda pendapat mengenai tata cara shalat Istisqa. Ada dua
pendapat dalam masalah ini.
Pendapat pertama, tata cara shalat Istisqa adalah sebagaimana
shalat ‘Id, seperti dijelaskan dalam hadis Ibnu ‘Abbas radhiallahu‗anhu,
―Rasulullah saw. berjalan menuju tempat shalat dengan penuh
ketundukan, tawadhu‗, dan kerendahan hati hingga tiba di tempat
shalat. Lalu beliau berkhutbah tidak sebagaimana biasanya, melainkan
beliau tidak henti-hentinya berdoa, merendah, bertakbir dan
melaksanakan shalat dua rakaat sebagaimana beliau melakukan shalat
‘Id,‖ (HR. Tirmidzi no.558, ia berkata, Hadits hasan shahih).
Tata caranya sama dengan shalat ‘Id dalam jumlah rakaat, tempat
pelaksanaan, jumlah takbir, jahr dalam bacaan dan bolehnya khutbah
setelah shalat. Ini adalah pendapat mayoritas ulama di antaranya Sa‗id
bin Musayyab, ‘Umar bin Abdil Aziz, Ibnu Hazm, dan Imam Asy Syafi‗i.
Hanya saja berbeda dengan shalat ‘Id dalam beberapa hal:
Hukum. Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah
berkata, ―Namun shalat Istisqa berbeda dengan shalat ‘Id dalam hal
~ 97 ~
Bab III: Shalat

hukum shalat Istisqa adalah sunah, sedangkan shalat ‘Id adalah fardhu
kifayah. Sebagian ulama muhaqqiqin juga menguatkan hukum shalat ‘Id
adalah fardhu ‘ain.‖
Pendapat kedua, tata cara shalat Istisqa adalah sebagaimana
shalat sunnah biasa, yaitu sebanyak dua rakaat tanpa ada tambahan
takbir. Hal ini didasari hadis dari Abdullah bin Zaid, ―Nabi
shallallahu‗alaihi Wasallam keluar menuju lapangan. Beliau meminta
hujan kepada Allah dengan menghadap kiblat, kemudian membalikan
posisi selendangnya, lalu shalat 2 rakaat,‖ (HR. Bukhari no.1024, Muslim
no.894).
Zhahir hadis ini menunjukkan shalat Istisqa sebagaimana shalat
sunah biasa, tidak adanya takbir tambahan. Ini adalah pendapat Imam
Malik, al-Auza‗i, Abu Tsaur, dan Ishaq bin Rahawaih.
Ibnu Qudamah al-Maqdisi setelah menjelaskan dua tata cara ini
beliau mengatakan, ―Mengerjakan yang mana saja dari dua cara ini
adalah boleh dan baik.‖12

Khutbah Istisqa
Khutbah Istisqa hukumnya sunah, sebagaimana disebutkan dalam hadis
‘Aisyah dan hadits Ibnu ‘Abbas. Namun, para ulama berbeda pendapat
apakah lebih dahulu shalat kemudian khutbah ataukah sebaliknya.
Pendapat pertama, shalat dahulu kemudian khutbah lalu berdoa.
Di antara dalilnya adalah hadis Abu Hurairah radhiallahu‗anahu, ―Pada
suatu hari, Rasulullah shallallahu‗alaihi wasallam keluar untuk
melakukan Istisqa‗. Beliau shalat 2 rakaat mengimami kami tanpa azan
dan iqamah. Lalu beliau berkhutbah di hadapan kami dan berdoa
kepada Allah. Beliau mengarahkan wajahnya ke arah kiblat seraya
mengangkat kedua tangannya. Setelah itu, beliau membalik
selendangnya, menjadikan bagian kanan pada bagian kiri dan bagian kiri
~ 98 ~
Bab III: Shalat

pada bagian kanan,‖ (HR. Ahmad. Hadits ini dinilai dhaif oleh al-Albani
dalam Silsilah Adh Dha‗ifah).
Dalil lain yang menunjukkan hal ini adalah riwayat lain dari hadis
Abdullah bin Zaid al-Mazini radhiallahu‗anahu, ―Rasulullah saw. keluar
bersama orang-orang untuk Istisqa‗. Beliau lalu shalat mengimami
mereka sebanyak 2 rakaat dengan bacaan yang dikeraskan pada kedua
rakaat. Kemudian beliau membalik posisi selendangnya, lalu
mengangkat kedua tangannya dan berdoa meminta hujan sambil
menghadap kiblat,‖ (HR. Abu Daud, dishahihkan oleh al-Albani dalam
Shahih Abi Daud).
Pendapat kedua, khutbah dahulu, lalu berdoa, kemudian shalat.
Di antara dalilnya adalah hadis ‘Aisyah dan hadis Ibnu ‘Abbas yang telah
disebutkan.
Namun perbedaan ini adalah jenis khilaf tanawwu‗ atau
perbedaan dalam variasi, artinya dibolehkan mendahulukan shalat dulu
ataupun khutbah dulu. Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, ―Apa yang
diperselisihkan ini dapat digabungkan dari segi riwayat. Yaitu, sebagian
riwayat menyebutkan bahwa Rasulullah saw. memulai dengan doa
kemudian shalat 2 rakaat kemudian khutbah. Lalu sebagian rawi
mencukupkan diri pada riwayat tersebut. Sebagian riwayat lagi
menyebutkan dimulai dengan khutbah yang di dalamnya ada doa,
sehingga terjadilah perbedaan pendapat.‖

Membalik Rida’
Memakai rida‗ (semacam selendang) dan membalik posisi rida‗
disunahkan dalam Istisqa, yaitu dengan menaruh kain yang di sebelah
kiri ke sebelah kanan, dan kain yang ada di sebelah kanan ke sebelah kiri.
Hadis-hadis yang menyatakan dianjurkannya hal ini sangatlah banyak,
~ 99 ~
Bab III: Shalat

di antaranya hadis Abu Hurairah, hadis Abdullah bin Zaid, hadis ‘Aisyah
yang sudah disebutkan.
Membalikkan rida‗ ini dapat dilakukan setelah berdoa,
sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah, atau ketika hendak berdoa,
sebagaimana hadits Abdullah bin Zaid ra., ―Rasulullah shallallahu ‗alaihi
wa sallam keluar menuju lapangan untuk Istisqa‗. Beliau membalik rida‗-
nya ketika mulai menghadap kiblat,‖ (HR. Muslim).
Namun, para ulama berbeda pendapat apakah hanya imam yang
melakukan hal tersebut ataukah makmum juga? Perbedaan pendapat ini
terkait beberapa riwayat yang diperselisihkan keshahihannya, di
antaranya hadis berikut.
―Aku melihat Rasulullah saw. ketika Istisqa. Beliau
memperpanjang doanya, memperbanyak permintaannya, lalu membalik
badan ke arah kiblat dan membalik posisi rida‗-nya, kain yang atas di
perut dipindah ke punggung. Lalu orang-orang pun ikut membalik rida‗
mereka,‖ (HR. Ahmad).
Kebanyakan ahli hadis menilai hadis ini atau semisalnya sebagai
hadis yang syadz. Wallahu‗alam, yang lebih rajih, perbuatan ini hanya
dianjurkan kepada imam.
Rida‗ dalam hal ini bisa digantikan dengan yang semisalnya.
Syaikh Shalih Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata, ―Disunahkan
membalikkan rida‗ ketika mengakhiri doa. Ujung kanan diletakkan di
sebelah kiri, yang kiri diletakkan di sebelah kanan. Demikian juga kain
yang sejenis rida‗, seperti abaya atau yang lain.‖ 14
Adab-Adab Istisqa
Pertama, karena tidak ada waktu khusus untuk melakukan shalat istisqa,
maka hendaknya imam membuat kesepakatan dengan masyarakat
mengenai hari pelaksanaan shalat. ‘Aisyah meriwayatkan, ―Lalu beliau

~ 100 ~
Bab III: Shalat

membuat kesepakatan dengan orang-orang untuk berkumpul pada


suatu hari yang telah ditentukan.‖
Kedua, keluar menuju lapangan tempat shalat dengan penuh
ketundukan, tawadhu dan kerendahan hati. Ibnu ‘Abbas meriwayatkan,
―Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam berjalan menuju tempat shalat
dengan penuh ketundukan, tawadhu‗, dan kerendahan hati hingga tiba
di lapangan.‖
Ketiga, mengajak semua orang untuk hadir, kecuali para wanita
yang dapat menimbulkan fitnah. Ibnu Qudamah berkata, ―Dianjurkan
bagi semua orang untuk hadir. Lebih diutamakan lagi orang yang
memiliki hutang, para masyaikh dan orang-orang saleh, karena doa
mereka lebih cepat diijabah. Para wanita, orang-orang yang sudah tua
yang kecantikannya tidak menarik perhatian, tidak mengapa ikut keluar.
Adapun para gadis atau wanita yang sangat cantik, tidak dianjurkan
untuk keluar, karena bahaya yang dapat terjadi dengan keluarnya
mereka, lebih besar daripada manfaatnya.‖ 15
Keempat, tidak ada adzan atau iqamah sebelum shalat Istisqa.
Berdasarkan hadis Abu Hurairah dan juga demikianlah praktek yang
dilakukan oleh para sahabat, sebagaimana dikisahkan oleh Abu Ishaq,
―Abdullah bin Yazid al-Anshari keluar. Barra bin Azib dan Zaid bin Arqam
membersamainya. Semoga Allah meridhai mereka semua. Mereka lalu
melaksanakan Istisqa‗. Abdullah bin Yazid berdiri tanpa menggunakan
mimbar. Ia beristighfar, kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan yang
dikeraskan, tanpa ada adzan dan iqamah.‖ Abu Ishaq berkata, Abdullah
bin Yazid pernah melihat Rasulullah shallallahu‗alaihi wasallam,‖ (HR.
Bukhari).
Kelima, menasehati kaum muslimin untuk bertaqwa kepada
Allah, meninggalkan maksiat, memperbanyak istighfar, puasa dan
sedekah. Kebiasaan ini dilakukan oleh para salafus shalih, sebagaimana
~ 101 ~
Bab III: Shalat

Abdullah bin Yazid ra., juga yang dilakukan oleh Umar bin ‘Abdil ‘Aziz
dalam suratnya kepada Maimun bin Mihran. Beliau berkata,
―Aku menulis surat ini kepada para penduduk kota, supaya
mereka keluar pada suatu hari yang mereka tentukan, untuk ber-istisqa‗.
Barangsiapa yang sanggup berpuasa dan bersedekah, hendaknya
lakukanlah. Karena Allah ta‗ala berfirman (yang artinya): ‘Sungguh
beruntung orang yang mensucikan diri, menyebut nama Rabb-nya dan
mengerjakan shalat‘. Dan berdoalah sebagaimana doa bapak kalian
(Adam): ‘Keduanya berkata, Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri
kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi
rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang
merugi.‗ Dan berdoalah sebagaimana doa Nabi Nuh, ‘Sekiranya Engkau
tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan
kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi.‗ Dan
berdoalah sebagaimana doa Nabi Musa, ‘Ya Rabb-ku, sesungguhnya aku
telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku. Maka Allah
mengampuninya, sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.‗ Dan berdoalah sebagaimana doa Nabi Yunus,
‘Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Mahasuci
Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.‗‖
Keenam, bersungguh-sungguh dalam menengadahkan tangan ke
langit ketika berdoa, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
Sahabat Anas bin Malik ra. berkata, ―Biasanya Nabi shallallahu‗alaihi wa
sallam tidak mengangkat kedua tangannya ketika berdoa, kecuali ketika
Istisqa. Beliau mengangkat kedua tangannya hingga terlihat ketiaknya
yang putih,‖ (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat Muslim disebutkan, ―Nabi shallallahu‗alaihi wa
sallam ber-istisqa dan mengarahkan punggung kedua tangannya ke
langit.‖
~ 102 ~
Bab III: Shalat

Ketujuh, imam membalikkan badan ke arah kiblat, membelakangi


para jamaah, ketika berdoa, sebagaimana disebutkan dalam hadis
‘Aisyah, ―… kemudian beliau terus-menerus mengangkat kedua
tangannya sampai terlihat ketiaknya yang putih, lalu membelakangi
orang-orang.‖
juga dalam hadits Abdullah bin Zaid disebutkan, ―Nabi
shallallahu‗alaihi wa sallam keluar menuju lapangan. Beliau meminta
hujan kepada Allah dengan menghadap kiblat.‖

3.10.4. Shalat Dua Hari Raya


Shalat ‘Id dilakukan sebanyak 2 rakaat. Tidak ada perselisihan atas hal
ini. Ulama telah sepakat. Hal tersebut berdasarkan riwayat Sayyidina
Umar bin Khaththab ra. yang berkata, ―Shalat ‘Idul Adlha 2 rakaat, shalat
Idul Fithri 2 rakaaat, shalat ketika safar 2 rakaat, shalat Jum‗at juga 2
raka‗at, sempurna tanpa qashar berdasarkan dari lisan Nabi saw.‖
Menurut Imam Nawawi hadis tersebut hadits hasan, telah
diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam An-Nasaa‗i dan yang lainnya.
Sunnah melaksanakan shalat ‘Ied secara berjamaah karena ulama
khalaf mengambil hal ini dari para salafush shaleh. Adapun rincian
pelaksanaan shalat ‘Ied sama halnya seperti pelaksaan shalat sunnah
dua rakaat yang lainnya, hanya berbeda dalam hal niat dan beberapa
masalah kesunnahan.

Rakaat Pertama Takbir 7 Kali, Rakaat Kedua 5 Kali


Shalat ‘Ied dimulai dengan takbiratul ihram yang disertai dengan niat,
yaitu niat shalat ‘Ied. Kemudian membaca doa iftitah dan melakukan
takbir sebanyak 7 kali dengan cara mengangkat tangan. Untuk rakaat
kedua, sebanyak 5 kali selain takbir ketika hendak berdiri. Imam Ibnu

~ 103 ~
Bab III: Shalat

Qasim al-Ghazi di dalam kitab Fathul Qarib memberikan perincian tata


cara shalat ‘Ied sebagai berikut.
―Shalat ‘Ied dilakukan sebanyak 2 rakaat, melakukan takbir
dengan niat shalat ‘Idul Fithri atau niat shalat ‘Idul Adha, kemudian
membaca doa Iftitah, kemudian bertakbir sebanyak 7 kali pada rakaat
pertama selain takbiratul Ihram, kemudian membaca ta‗awudz,
membaca surah al-Fatihah, kemudian membaca surah Qaf secara jahr
(dikeraskan), dan takbir pada rakaat kedua sebanyak 5 kali selain takbir
qiyam (takbir ketika hendak berdiri), kemudian membaca ta‗awudz,
surah al-Fatihah dan surah al-Qamar secara jahr.‖
Imam al-Imraniy didalam kitabnya al-Bayan mengatakan, ―Dan
ketika telah selesai membaca doa Iftitah, maka bertakbir sebanyak 7 kali
pada rakaat pertama sebelum membaca surah al-Fatihah, dan pada
rakaat kedua sebanyak 5 kali sebelum membaca surah al-Fatihah. Ini
juga pendapat para sahabat Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin
Khaththab, ‗Ali bin Abi Thalib, Ibnu Umar, Sayyidah ‘Aisyah, dan Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhum, serta dari kalangan fuqaha‗ seperti Al-
Awza‗iy, Imam Ahmad, dan Ishaq.‖
Imam al-Syairaziy di dalam al-Muhadzdzab mengatakan, ―Sunah
bertakbir 7 kali pada rakaat pertama selain takbiratul Ihram dan takbir
untuk rukuk, sedangkan pada rakaat kedua sebanyak 5 kali selain takbir
qiyam (takbir untuk berdiri) dan takbir untuk rukuk.‖
Hal ini berdasarkan riwayat, bahwa Rasulullah saw. bertakbir
pada shalat ‘Idul Fithri dan Idul Adlha. Pada rakaat pertama sebanyak 7
kali dan pada rakaat kedua sebanyak 5 kali.‖ (HR. Abu Daud dan Imam
Baihaqi di dalam Ma‗rifatus Sunani wal Atsar).
Al-Muthi‗iy di dalam Takmilah al-Majmu‗ syarh al-Muhadzdzab
mengatakan bahwa hadis tersebut shahih, diriwayatkan oleh Abu Daud
dan yang lainnya dengan sanadnya yang hasan. Takbir-takbir
~ 104 ~
Bab III: Shalat

sebagaimana disebutkan di atas, dilakukan sebelum membaca surah al-


Fatihah. Di dalam Takmilah al-Majmu‗ dikatakan, ―Takbir-takbir tersebut
dilakukan sebelum bacaan (surah al-Fatihah dan surah lainnya),
berdasarkan riwayat Katsir bin Abdullah, dari ayahnya, dari kakeknya
yang berkata, ‘Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bertakbir ketika shalat
dua hari raya pada rakaat pertama 7 kali dan pada rakaat kedua
sebanyak 5 kali sebelum qira‗ah.‖
Hadis ini diriwayatkan oleh at-Turmidzi, Ibnu Majah dan At-
Thabrani. Imam at-Turmidzi mengatakan bahwa hadis kakeknya Katsir
bin Abdullah adalah hadis hasan, dan itu merupakan hadis yang paling
hasan yang diriwayat dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa Sallam pada bab
tersebut.
Disunahkan mengangkat tangan sebagaimana takbiratul Ihram
serta meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri. Disebutkan didalam
Takmilah al-Majmu‗, ―Dan mustahab (dianjurkan) mengangkat tangan
sejajar bahunya pada setiap kali melakukan takbir-takbir tambahan
tersebut, dan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di
antara dua takbir tersebut.‖

Zikir di antara Takbir-Takbir Tambahan


Di antara takbir yang satu dengan takbir yang lain (di antara dua takbir)
dipisah atau berdiam sejenak kira-kira kadar lamanya membaca 1 ayat
Al-Qur‗an, tidak panjang, juga tidak pendek, seraya membaca dzikir.
Dalam Takmilah al-Majmu‗ disebutkan, ―Imam Syafi‗i dan ashhab
kami berkata, disunahkan berdiam di antara dua takbir-takbir tambahan
kira-kira kadar lamanya membaca satu ayat, tidak panjang dan tidak
pendek, sambil bertahlil kepada Allah, mengucapkan takbir,
mengucapkan hamdalah dan memuji Allah. Ini merupakan lafadz Imam

~ 105 ~
Bab III: Shalat

Syafi‗i di dalam kitab al-Umm dan juga Mukhtashar al-Muzanniy, akan


tetapi di dalam al-Umm tidak ada lafadz ―memuji Allah.‖
Jumhur ulama Syafi‗iyah mengucapkan, Ibnu al-Shabbagh
berkata, ―Seandainya mengucapkan dengan apa-apa yang sudah
menjadi kebiasaan masyarakat seperti lafadz

Bacaan Surah dalam Shalat Hari Raya


Surah yang dibaca sesudah membaca surah al-Fatihah adalah surah Qaf
pada rakaat pertama dan pada rakaat kedua membaca surah Al Qamar.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, ―Bahwa Umar bin Khaththab
bertanya kepada Abu Waqid Al-Laitsiy, ‘Apa yang Rasulullah saw. baca
pada shalat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adlha?‗ Ia menjawab, ‘Nabi saw.
membaca surah Qaf dan surah Al Qamar.‖ (HR. Ibnu Hibban di dalam
shahihnya).
Dari Nu‗man bin Basyir berkata, ―Rasulullah saw. membaca surah
al-A‗laa dan al-Ghasyiyah pada shalat hari raya dan shalat Jumat.‖ Ia
berkata, ―Apabila shalat ‘Ied dan shalat jum‗at berkumpul pada hari yang
sama, maka tetap membaca kedua surat tersebut pada keduanya,‖ (HR.
Muslim).
Al-Muthi‗i di dalam Takmilah al-Majmu‗ Syarh al-Muhadzdzab
mengatakan, ―Kemudian setelah membaca ta‗awudz, membaca surah al-
Fatihah, kemudian surah Qaf, dan pada rakaat kedua setelah membaca
surah al-Fatihah membaca surah al-Qamar. Di dalam shalat ‘Ied
membaca surah al-A‗laa dan al-Ghasyiyah. Keduanya sama-sama
sunnah. Wallahu A‗lam.‖

~ 106 ~
Bab III: Shalat

Adzan, Iqamah dan Nida’ pada Hari Raya


Di dalam shalat Ied (Hari Raya), tidak ada adzan dan iqamah. Disebutkan
di dalam Takmilah al-Majmu‗, ―Tidak ada adzan pada shalat ‘Ied, tidak
pula iqamah, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma yang berkata, ‘Aku menyaksikan shalat ‘Ied bersama Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa sallam, dan juga bersama Abu bakar Ash-Shiddiq,
Umar, Utsman—radhiyalahu ‘anhum—mereka semua shalat ‘Ied
sebelum khutbah tanpa adzan dan tanpa iqamah.‗‖
Dan sunah mengucapkan nida‗ pada shalat Hari Raya ―Ash-
Shalatu Jami‗ah‖, berdasarkan riwayat dari Az-Zuhri bahwa ia
mengucapkan nida‗ seperti itu.
Hadis Ibnu Abbas di atas adalah shahih, telah diriwayatkan oleh
Abu Daud dengan sanadnya yang shahih berdasarkan kriteria al-Bukhari
dan Muslim. Imam al-Bukhari dan Imam Muslim juga meriwayat bahwa
tidak ada adzan dan iqamah pada shalat ‘Ied. Dari Jabir bin Abdullah
berkata, ―Aku menyaksikan shalat ‘Ied bersama Rasulullah. Shalat
dimulai sebelum khutbah, tanpa adzan dan iqamah,‖ (HR. Muslim).
Disebutkan di dalam Takmilah al-Majmu‗, Imam Syafi‗i dan
ashhab (para ulama Syafi‗iyyah) berkata bahwa tidak ada adzan dan
iqamah pada shalat ‘Ied, dan ini juga pandangan jumhur ulama dari
kalangan para sahabat, para tabi‗in dan ulama-ulama yang datang
setelah mereka. Umat Islam telah beramal seperti ini di setiap masa,
berdasarkan hadis-hadis shahih yang telah kami sebutkan.‖
Namun, kalau melihat dari sisi sejarah, dulu pernah ada yang
melakukan adzan dan iqamah untuk shalat ‘Ied. Sebagaan riwayat
mengatakan, Ibnu Az-Zubair melakukan adzan dan iqamah untuk shalat
‘Ied. Ada juga yang mengatakan bahwa yang pertama kali mengadakan
adzan untuk shalat ‘Ied adalah Ziyad. Ada juga yang mengatakan,

~ 107 ~
Bab III: Shalat

dilakukan oleh Mu‗awiyah di negeri Syam. Ada pula yang mengatakan,


dilakukan oleh orang lain.
Tentang nida‗ sendiri, di dalam kitab al-Fiqhu alaa Madzahibil
Arba‗ah, disebutkan, ―Tidak ada adzan untuk dua shalat Hari Raya, tidak
pula ada iqamah. Akan tetapi, dianjurkan mengucapkan nida‗, dengan
mengucapkan: ash-Shalatu Jami‗ah berdasarkan kesepakatan dari 3
imam, yakni Abu Hanifah, Syafi‗i, dan Imam Ahmad. Berbeda halnya
dengan Malikiyah, mereka mengatakan bahwa nida‗ dengan
mengucapkan ash-Shalatu Jami‗ah atau seumpamanya hukumnya
makruh atau menyelisihi yang lebih utama ( khilaful aulaa). Namun,
sebagian dari Malikiyah mengatakan, sesungguhnya nida‗ dengan yang
seperti itu tidaklah makruh, kecuali berkeyakinan bahwa hal itu sebagai
sebuah anjuran. Namun jika tidak, maka tidaklah makruh.‖
Imam al-Baihaqi di dalam kitabnya Ma‗rifatus Sunani wal Atsar
meriwayatkan perkataan Imam Syafi‗i. Imam Syafi‗i berkata, az-Zuhri
berkata, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam memerintahkan
mu‗adzin pada shalat dua Hari Raya agar mengucapkan Ash-Shalatu
Jami‗a / Nida‗.‖

Shalat Sunah sebelum dan sesudah Shalat ‘Ied


Dijelaskan di dalam kitab Takmilah al-Majmu‗, al Muthi‗i: ―Boleh bagi
selain imam melakukan shalat an-Nafl (sunah) pada Hari Raya sebelum
shalat ‘Ied maupun setelah shalat ‘Ied, baik di rumahnya, di sebuah jalan
dan di mushalla (tempat pelaksanan shalat ‘Ied) sebelum hadirnya
imam. Namun, bukan dengan maksud shalat untuk shalat ‘Ied (bukan
shalat qabliyah/ba‗diyah ‘Ied) dan tidak makruh pada yang demikian.‖
―....Dimakruhkan bagi imam melakukan shalat sebelum shalat ‘Ied
ataupun setelahnya di mushalla (tempat shalat), sebab jikalau
melakukan shalat maka akan diduga itu sunah padahal bukan sunah.‖
~ 108 ~
Bab III: Shalat

Dijelaskan pula di dalam Takmilah Al Majmu‗ mengenai


pendangan-pandangan ulama tentang shalat sunah/an-Nafl sebelum
shalat ‘Ied dan sesudahnya (qabliyah dan ba‗diyah), ―Ulama bersepakat
(ijma‗) bahwa tidak ada shalat sebelum dan sesudah shalat ‘Ied,
bukanlah sunah. Namun, mereka berbeda pandangan tentang
kemakruhan shalat an-Nafl sebelum dan sesudah shalat ‘Ied. Madzhab
Syafi‗i menyatakan bahwa tidak makruh shalat an-Nafl sebelum shalat
‘Ied dan setelahnya, di rumah maupun di mushalla, bagi selain imam.
Dengan hal ini berpendapat Anas bin Malik, Abu Hurairah, Rafi‗ bin
Hudaij, Sahl bin Sa‗ad, Abu Burdah, al-Hasan Al Bashri beserta
saudaranya Sa‗id bin Abul Hasan, Jabir bin Zaid, Urwah bin Az-Zubair,
Ibnu al-Mundzir.‖

3.11. Hikmah Shalat


1) Meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah dan mengingat-Nya,
seperti surat Thaha ayat 14.
2) Mencegah dari perbuatan yang keji dan mungkar, seperti surat al-
Ankabut ayat 45.
3) Mendekatkan diri kepada Allah, seperti surat al-‘Alaq ayat 19
4) Penyerahan diri manusia kepada Allah secara tulus ikhlas, seperti
surat al-Bayyinah ayat 5.
5) Meningkatkan disiplin, sabar, dan khusuk, seperti surat al-
Mukminum ayat 1-3.
6) Menjaga kebersihan dan kesucian jiwa raga, seperti surat asy-Syams
ayat 9-10.
7) Meningkatkan sifat toleransi terhadap sesama manusia, seperti surat
al-Isra‗ ayat 110.

~ 109 ~
Bab III: Shalat

Hikmah Shalat Fardhu


1) Sepanjang waktu sejak pagi, siang, sore, petang hingga malam hari
agar senantiasa bersyukur dan ingat kepada Allah dengan
menjalankan shalat lima waktu.
2) Setiap kali hendak mengerjakan shalat kita disyaratkan agar bersih
dan suci dari najis dan hadats adalah sebagai simbol dan tuntunan
agar kita senantiasa hidup bersih.
3) Shalat harus dilaksanakan dengan khusuk, dan khusuk akan dapat
dilakukan manakala hati kita bersih dan teguh.
4) Shalat adalah ekspresi penghambaan diri manusia kepada Allah yang
paling sempurna sehingga akan menimbulkan ketentraman jiwa dan
terhindar dari gangguan kejiwaan maupun stres.

Hikmah Shalat Berjamaah


1) Nilai shalat berjamaah lebih utama dari pada shalat sendiri.
2) Shalat berjamaah dapat menyempurnakan kekurangan dalam
melaksanakan shalat.
3) Shalat berjamaah dapat menumbuhkan rasa persaudaraan,
persamaan derajat, dan kesatuan umat.
4) Shalat berjamaah dapat menumbuhkan sikap disiplin baik sebagai
imam maupun sebagai makmum.

3.12. Hikmah Gerakan Dalam Shalat


Menurut Al-Quran shalat adalah salah satu cara untuk membersihkan
jiwa dan raga manusia, seperti dalam surat al-Muddatsir ayat 4-5. Sikap
tubuh ketika melakukan shalat dalam Islam sebagaimana telah
dicontohkan oleh Nabi Muhammad sesuai dengan wahyu Allah yang
diterimanya. Makna gerakan shalat menurut kesehatan badaniah adalah
sebagai berikut.

~ 110 ~
Bab III: Shalat

Gerakan shalat secara umum


Menurut Prof. Dr. Vonschreber bahwa gerakan dalam shalat menurut
agama Islam adalah cara untuk memperoleh kesehatan dalam arti kata
dan pengertian yang luas sekali. Ia mencakup semua gerakan dengan
tujuan mempertinggi daya prestasi tubuh. Dalam Islam setiap hari 5 kali
kita melaksanakan shalat yang demikian itu dapat menghasilkan tubuh
menjadi bentuk yang bagus dan menjadi lembut serta lincah, di samping
mudah bergerak dan dapat menambah daya tahan.
Menurut Prof. Leube bahwa gerakan dalam shalat secara Islam
mengurangi dan mengentengkan penyakit jantung sperti penyakit dari
klep-klep bilik jantung, otot jantung, pembuluh darah, angina pectoris
(dada sakit, sesak, dan tertekan) penyumbatan urat darah, kaki menjadi
bengkak karena penyakit jantung, penyakit paru seperti bronchitis, asma,
radang tulang rusuk, TBC, penyakit perut seperti maag yang membesar,
sembelit, penyakit empedu, serta penyakit pembawaan seperti
kegemukan, diabetes dan reumatic.

Melipat kedua tangan


Gerakan melipat kedua tangan di daerah pusat atau sedikit di bawahnya
merupakan sikap rileks atau istirahat yang paling sempurna bagi kegua
tangan, oleh sebab sendi siku dan sendi pergelangan tangan serta otot-
otot kedua tangan dalam istirahat penuh. Sirkulasi darah terutama aliran
darah kembali ke jantung serta produksi getah bening dan air jaringan
yang terkumpul dalam kantong kedua persendian itu menjadi lebih baik
sehingga gerakan di dalam kedua sendi tangan menjadi lebih lancar dan
mudah menghindarkan timbulnya pelbagai penyakit persendian seperti
penyakit kekakuan sendi/reumatic. Sikap tangan seperti itu tidak
mengakibatkan perasaan capek, lelah, atau nyeri pada kedua tangan
sehingga pemusatan pikiran kepada yang disembah dapat diperkuat.

~ 111 ~
Bab III: Shalat

Gerakan Rukuk
Menurut petunjuk ilmiah dengan sikap rukuk otot–otot punggung yang
meliputi otot kerudung, otot punggung lebar, otot belah ketupat dapat
berkontraksi sama rata dan serentak sehingga penyakit kekerutan atau
membengkoknya tulang punggung yang sering timbul pada anak-anak
yang disebabkan sikap duduk yang salah pada waktu menulis atau
membaca dapat dihindarkan atau disembuhkan. Kelainan dari tulang
punggung di mana satu atau beberapa ruas tulang belakang
membokong ke belakang dapat diperbaiki dan dikembalikan pada posisi
yang normal. Kelainan di mana tulang punggung terlalu melentur ke
muka yaitu pinggang lentik dapat diperbaiki. Kelainan dari tulang
punggung ini dapat menimbulkan penyakit albumuria lordotica yaitu
keluarnya zat telur di dalam air kemih pada orang muda yang
disebabkan oleh karena waktu berdiri ruas tulang punggungnya
melentik ke muka dan menekan buah pinggang.

Gerakan sujud
Secara ilmiah sujud menghasilkan otot-otot menjadi lebih besar dan
kuat terutama otot-otot dada sebagai otot sela iga dalam atau otot antara
iga dalam. Sewaktu menarik napas tampak iga-iga atau tulang-tulang
rusuk ditarik ke atas oleh pekerjaan otot-otot di antara iga-iga itu.
Dengan demikian tulang dada terangkat ke atas dan maju ke depan
sehingga rongga dada bertambah besar dan paru-paru akan berkembang
dengan baik dan dapat mengisap udara yang bersih ke dalamnya. Dada
yang picik dan tidak kuat adalah salah satu sumber dari timbulnya
penyakit TBC. Dalam keadaan sujud terjadi sirkulasi atau aliran darah di
dalam otak. Dengan sikap sujud dinding dari urat-urat nadi otak dapat
dilatih dan dibiasakan dengan menerima darah yang relatif lebih banyak
dari biasanya sehingga kematian yang sekonyong-konyong yang
disebabkan oleh pecahnya urat nadi otak dapat dihindarkan terutama
~ 112 ~
Bab III: Shalat

bila emosi, amarah lebih banyak darah yang dipompakan ke urat-urat


nadi otak yang dapat mengakibatkan pecahnya dinding urat-urat nadi
otak tersebut terutama bila dinding urat nadi otak telah menjadi sempit,
keras, dan rapuh oleh degenerasi ketuaan.[]

~ 113 ~
Bab III: Shalat

~ 114 ~
Bab IV: Doa dan Zikir

BAB IV
DOA DAN ZIKIR

4.1. Pengertian Doa dan Zikir


Pengertian zikir menurut bahasa berasal dari kata dzakara yang artinya
ingat. Kata zikir mengambil dari masdarnya dzikran, kemudian terkenal
dalam bahasa Indonesia dengan istilah zikir. Sedangkan zikir menurut
syara„ adalah ingat kepada Allah dengan etika tertentu yang sudah
ditentukan dalam Al-Quran dan Hadis dengan tujuan mensucikan hati
dan mengagungkan Allah. Zikir yang terbaik bagi umat Islam adalah Al-
Quran. Allah berfirman,
ُ َ َ ْ ّ َ ْ َّ َ ُ ْ َ َّ
‫الرك َس َوِإ َّها ل ُه ل َح ِافظى َ َن‬
ِ ‫ِإها هحن َهزلىا‬
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya
Kami benar-benar memeliharanya,” (QS. al-Hijr: 9).

Disebut sebagai zikir terbaik karena Al-Quran adalah mukjizat


Rasulullah Muhammad. Melalui seringnya kita membaca Al-Quran
maka Allah akan mematrikan ke dalam diri kita akhlak Rasulullah yang
mulia. Akhlak itu merupakan eksistensi yang utama dari keberadaan
manusia dalam hidup di dunia dan kesejahteraan di akhirat.
َّ َّ َ َ ّ َ ْ َ َ ْ َ ْ َ َ ُ ُّ َ َ ّ َ ْ
َّ ‫الر ْك َس ل ُح َب ّي َن ل‬
َ ‫اس َما ُه ّ ِز َل ِإل ْي ِه ْم َول َعل ُه ْم ًَ َح َفك ُس ْو َ َن‬
ِ ‫لى‬ ِ ِ ِ ِ ‫ات والزب ِس َوؤهزلىأ ِإليك‬
ِ ‫ِبالب ِيى‬
“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami
turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya
mereka memikirkan,” (QS. An-Nahl [16]: 44).
~ 115 ~
Bab IV: Doa dan Zikir

ُُْ ْ َ ْ ََ ْ ْ ُ ْ ُ ُ ُّ َ ْ َ َ ْ ُ َ َ ْ َّ ّ
َ ُ ‫ط ََم َِئ ُّ َن َال َق َل َْى‬
َ‫ب‬ َ ‫هللا َث‬ ِ ‫ال ِرًن آمىىا وثطم ِئن قلىب ُهم ِب ِرك ِس‬
َِ ‫هللا ؤَل َِب ِ َر َك َِس‬
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi
tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan
mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram,” (QS. Ar-Ra„d [13]: 8).

Semua kata dzikr dalam ayat-ayat di atas maksudnya adalah Al-


Quran. Imam Ibnu Qoyyim berpendapat, “Zikrullah itu ialah Al-Qur„an
yang telah Allah turunkan kepada Rasul-Nya. Dengannya akan tenang
hati orang yang beriman, karena hati tidak akan tenang kecuali dengan
iman dan yakin. Dan tidak ada jalan untuk memperoleh keimanan dan
keyakinan kecuali dengan Al-Qur„an.”
Sedangkan doa merupakan wujud ketergantungan kita kepada
Allah Swt. Allah yang menyiapkan semua perangkat kehidupan untuk
hamba-Nya. Maka, doa adalah ciri dari kerendahan hati dan jiwa
manusia di hadapan Allah Swt. Doa didefinisikan sebagai suatu
permohonan atau meminta suatu yang bersifat baik kepada Allah Swt.,
seperti meminta keselamatan dan perlindungan hidup, diberi ketakwaan
dan dikuatkan iman dan Islam, serta permasalahan dan persoalan
ibadah lainnya. Sebaiknya kita berdoa kepada Allah Swt. setiap saat
karena akan selalu didengar oleh-Nya.

4.2. Adab Berdoa dan Berzikir


Untuk melaksanakan zikir ada tata krama yang harus diperhatikan, yakni
adab berzikir. Semua bentuk ibadah bila tidak menggunakan tata krama
atau adab, maka akan sedikit sekali faedahnya. Sebagaimana
disampaikan para ulama bahwa adab berzikir terbagi menjadi 3 (tiga)
bagian, yaitu: adab dilakukan sebelum berzikir, adab dilakukan pada saat
berzikir, dan adab dilakukan setelah selesai berzikir.
~ 116 ~
Bab IV: Doa dan Zikir

Adapun 5 (lima) adab yang harus diperhatikan sebelum berzikir


adalah:
1) Mandi atau berwudhu.
2) Tobat, yang hakekatnya adalah meninggalkan semua perkara yang
tidak berfaedah bagi dirinya, baik yang berupa ucapan, perbuatan,
maupun keinginan.
3) Diam dan tenang. Hal ini dilakukan agar di dalam zikir nanti dia
dapat memperoleh shidq, artinya hatinya dapat terpusat pada
bacaan Allah yang kemudian dibarengi dengan lisannya yang
mengucapkan Laa ilaaha illallaah.
4) Menyaksikan dengan hatinya ketika sedang melaksanakan zikir.
5) Menyakini bahwa zikir merupakan bacaan yang sangat dianjurkan
oleh Rasulullah saw.
Sedangkan 12 (dua belas) adab yang harus diperhatikan pada saat
melakukan zikir adalah:
1) Duduk di tempat yang suci seperti duduknya di dalam shalat.
2) Meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua pahanya.
3) Mengharumkan tempatnya untuk berdzikir dengan bau
wewangian, demikian pula dengan pakaian di badannya.
4) Memakai pakaian yang halal dan suci.
5) Memilih tempat yang gelap dan sepi jika memungkinkan.
6) Memejamkan kedua mata, karena hal itu akan dapat menutup
jalan indera zhahir, karena dengan tertutupnya indera zhahir akan
menjadi penyebab terbukanya indera hati/batin.
7) Membayangkan pribadi guru mursyidnya di antara kedua
matanya. Dan ini menurut ulama tarekat merupakan adab yang
sangat penting.

~ 117 ~
Bab IV: Doa dan Zikir

8) Jujur dalam berzikir. Artinya, hendaknya seseorang yang berzikir


itu dapat memiliki perasaan yang sama, baik dalam keadaan sepi
(sendiri) atau ramai (banyak orang).
9) Ikhlas, yaitu membersihkan amal dari segala ketercampuran.
Dengan kejujuran serta keikhlasan seseorang yang berdzikir akan
sampai derajat ash-Shidiqiyah dengan syarat dia mau
mengungkapkan segala yang terbesit di dalam hatinya (berupa
kebaikan dan keburukan) kepada syaikhnya. Jika dia tidak mau
mengungkapkan hal itu, berarti dia berkhianat dan akan terhalang
dari fath (keterbukaan batiniyah).
10) Memilih shighat zikir bacaan La ilaaha illallah, karena bacaan ini
memiliki keistimewaan yang tidak didapati pada bacaan-bacaan
dzikir syar„i lainnya.
11) Menghadirkan makna zikir di dalam hatinya.
12) Mengosongkan hati dari segala apapun selain Allah dengan Laa
ilaaha illallah, agar pengaruh kata “illallah” terhujam di dalam hati
dan menjalar ke seluruh anggota tubuh.

Adapun adab setelah berzikir adalah:


1) Bersikap tenang ketika telah diam (dari zikirnya), khusyu„ dan
menghadirkan hatinya, memakmurkan hati dan menunjukkan
konsentrasi pada riyadhah melalui musyahadah.
2) Menyingkapkan hijab-hijab dan memutus bisikan–bisikan hawa
nafsu dan setan.

Para ulama berkata, “Orang yang berzikir hendaknya


memperhatikan tiga tata krama ini, karena natijah (hasil) zikirnya hanya
akan muncul dengan hal tersebut.” Wallahu a„lam.
Menurut Hujjatul Islam Imam Ghazali, adab berdoa meliputi
keterlibatan hati, bukan hanya lisan yang berucap. Oleh karena itu,
~ 118 ~
Bab IV: Doa dan Zikir

orang yang berdoa harus melalui kekhusyuan dan keikhlasan


menyampaikan atas rasa kerendahan hati dan diri di hadapan Allah.
Adab-adab berdoa meliputi:
1) Di lakukan pada saat yang mulia, seperti hari Arafah, pada bulan
Ramadhan, pada waktu sahur, dan pada hari Jumat.
2) Dilakukan dalam keadaan yang khidmat, seperti pada waktu
sujud.
3) Menghadap ke arah kiblat dan mengangkat tangan.
4) Merendahkan suara sekedar dapat di dengar sendiri atau oleh
orang lain sekitarnya.
5) Memakai bahasa yang sederhana yang menunjukkan kerendahan
hati.
6) Merendahkan diri dan menundukkan hati.
7) Meyakini doanya pasti didengar dan dikabulkan oleh Allah Swt.
8) Mengulangi doanya sampai tiga kali, dengan penuh keyakinan.
9) Mulai doa dengan menyebut nama Allah, alhamdulillah, dan
shalawat atas Nabi Muhammad saw.
10) Melaksanakan adab batin (membuang sifat-sifat tercela), supaya
Allah berkenan atas semua harapan dan keinginan yang berdoa,
yaitu melakukkan tobat sebelum berdoa.

4.3. Manfaat Berdoa


Manfaat, hikmah, dan tujuan dari berdoa dan berzikir dalam Islam
sangat besar. Sebab, Rasulullah saw. pernah bersabda, “Doa itu ruhul
ibadah,” (HR. Bukhari). Ruhul ibadah artinya adalah sarinya, intinya, dan
yang paling berarti dari sesuatu itu (ibadah). Demikian yang diterangkan
oleh Imam Syaukani dalam kitab Tuhfatudz-Dzakirin. Karena doa adalah
intinya ibadah maka setiap ibadah tanpa doa bagaikan buah tanpa isi,
atau seperti jasad yang tidak memiliki otak waras. Tujuan berdoa antara
~ 119 ~
Bab IV: Doa dan Zikir

lain adalah: (1) memohon hidup selalu dalam bimbingan Allah Swt., (2)
untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Allah Swt. dan (3) meminta
perlindungan Allah Swt. dari setan yang terkutuk.

4.4. Jenis-jenis Doa dan Zikir


4.4.1. Zikir dan Doa Setelah Shalat
Zikir dan doa setelah shalat merupakan waktu yang tepat ketika kita
dalam keadaan berpasrah kepada Allah. Dasar ajaran yang menjadi
rujukan kita atas kondisi tersebut adalah sabda Rasulullah saw. Berdoa
dan mengangkat tangan sesudah shalat merupakan ketinggian dan ruhul
ibadah dari seorang hamba.
Rasulullah saw. bersabda, “Aku wasiatkan kepadamu, wahai
Mu„adz, yaitu janganlah engkau tinggalkan untuk berdoa setiap akhir
shalat: Allahumma a„innii ‘alaa dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibaadatik
(ya Allah, tolonglah aku untuk berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-
Mu, dan memperbagus ibadah kepada-Mu),” (HR. Abu Daud).
Bacaan Zikir sesudah Shalat
Berikut ini adalah bacaan zikir sesudah shalat yang sering di baca.
َ ُ ْ ُ َ َ ُ ْ ُّ َ ْ ُّ َ ْ َ ُ َّ َ َّ ْ َ ُ َْْ َ
‫ب َِا َل َْي ِ َه‬
َ ‫لِا َُ َى َال َح َى َال َق َي َى َم َوَا َث َى‬
َ ِ ‫له‬
َ ‫ي َل َِا‬ َ ِ ‫هللا َال ََع‬
َ ْ ‫ظ َْي ََم َال ِ َر‬ َ ‫ش َح َغ َِف َس‬
َ ‫َا‬
Astaghfirullaahal ‘azhiim, alladzii laa ilaaha illaa huwal hayyul qayyuum,
wa atuubu ilaiih (3x)
”Saya mohon ampun kepada Allah Yang Mahabesar. Tidak ada Tuhan
melainkan Dia, Yang Mahahidup yang terus-menerus mengurus
makhluk-Nya, dan saya bertobat kepada-Nya.”
َ ُ َ ْ َ ُ ْ ُ ْ ُ َ ُ َ َ ْ َ َ ُ َ ْ َ ُ َّ َ َ
َ ُ ‫ال ََح َْم ُ َد ًَُ َْح ِ َى ََوٍَُ َِم َْي‬
َ‫ت ََو َُُ ََى ََع َلى َك ِ َّل ش َ َْيء‬ َ ‫ك ََوَل َُه‬ َ ‫ال َل‬
َ ‫ك َل َه َل َه‬
َ ٍَ‫ش َِس‬
َ ‫ح َد َه ََل‬
َ ‫هللا َو‬
َ ‫لِا‬َ ِ ‫له‬
َ ‫ََل َِا‬
َْ‫ََق َد ًَس‬
ِ

~ 120 ~
Bab IV: Doa dan Zikir

Laa ilaaha illallaahu wahdahuu laa syarikalah, lahul mulku wa lahul


hamdu yuhyii wa yumiitu wa huwa ‘alaa kulli syai„in qadiir
“Tidak ada tuhan yang wajib disembah kecuali Allah, Yang Maha Esa,
tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nyalah segala kerajaan, dan bagi-Nya
segala puji. Dialah yang menghidupkan dan mematikan, dan Dia
Mahakuasa atas segala sesuatu.”
ْ ْ َ َ َ َّ َ َ َّ ُ ْ ُ َ َ ْ َ َ ُ َ َّ َ ْ َ ُ َ َّ َ ْ َ َّ ُ ّ َ
‫خ َل ََىا‬ َ ‫ح َِّي ََىا ََزََّب ََىا َِب‬
َ ِ ‫الص َل ِ َم َوَا َد‬ َ َ ‫الص َل َُم َف‬
َ ‫ك ٌَ َع َى َد‬ َ ‫الص َل َم َوَا َل َي‬
َ ‫ك‬ َ ‫الص َل َم َو َم َى‬ َ ‫ت‬ َ ‫َا َلل َه َم َا َه‬
َ ْ َ َ َ ْ َ َ َ ِْ َ َ َ َ َ َّ َ َ ْ ِ َ َ َ َ َّ َ َ َ َّ َ ْ
َ ِ ‫لِا َك َس‬
‫ام‬ َ ِ ‫ل ِ َل َو‬
َ ‫اال َج‬
َ ‫ت ًَا َذ‬
َ ‫ت َزَب َىا َوَج َع َال َي‬َ ‫الص َل ِ َم َث َب َاز َك‬
َ ‫ال َج َى َة َد َاز‬
َ
Allaahumma antas-Salaamu wa minkas-salaamu wa ilaika ya„uudus-
Salaamu fa hayyinaa Rabbanaa bis-Salaami wa adkhilnal jannata daaras-
Salaami tabaarakta Rabbanaa wa ta„aalaita yaa Dzal jalaali wal ikraam
”Ya Allah, Engkau adalah Zat yang mempunyai kesejahteraan; dari-
Mulah kesejahteraan itu; kepada-Mulah akan kembali segala
kesejahteraan itu, maka hidupkanlah kami, ya Allah, dengan sejahtera.
Dan masukkanlah kami ke dalam surga kampung kesejahteraan.
Engkaulah yang kuasa memberi berkah yang banyak, dan Engkaulah
Yang Mahatinggi, wahai Zat yang memiliki keagungan dan kemuliaan.”
َ ْ َّ ْ َّ ْ
‫ َم ِال ِك ًَ ْى ِم‬- ‫الس ِح ِيم‬
َّ ‫الس ْح َمن‬
ِ ََّ - ‫ ال َح ْم ُد ِلل ِه َز ِ ّب ال َع ِال َين‬-‫الس ِحيم‬
َّ ‫الس ْح َمن‬
ِ
َّ ‫الل ِه‬ ‫بص ِم‬
َّ َ
َ‫ ص َساط الرًن‬- ‫يم‬ َ َُْ ْ َ َ ّ َ ْ ُ َ ْ َ َ َّ َ ُ ُ ْ َ َ َّ ّ
ِ ِ ‫الصساط الصح ِق‬ ِ َ ‫ اُ ِد ّها‬- َ‫ ِ َإًاك َوعب ْ َد ْ وِإًاك و َصح ِعين‬- َ ‫الد ًِن‬ ِ
-‫ين‬ َّ ‫ضىب َعل ْيه ْم َوَل‬
َ ‫الض ِال‬ ُ ‫َؤ ْو َع ْمت َعل ْيه ْم غ ْير الغ‬
ِ ِ ِ ِ
Bismillaahir-Rahmaanir-Rahiim. Alhamdu lillaahi Rabbil ‘aalamiin. Ar-
rahmaanir-Rahiim. Maaliki yaumid-Diin. Iyyaaka na„budu wa iyyaaka
nasta„iin. Ihdinash-Shiraathal mustaqiim. Shiraathal-Ladziina an„amta
‘alaihim ghairil maghdhuubi ‘alaihim wa ladh-Dhaalliin. Aamiin.
”Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang; segala puji
bagi Allah, Tuhan seluruh alam; Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang;
Pemilik Hari Pembalasan; Hanya kepada Engkaulah kami menyembah,
~ 121 ~
Bab IV: Doa dan Zikir

dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan; tunjukilah kami


jalan yang lurus; (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat
kepadanya, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan)
mereka yang sesat.
ُ ‫السح‬ ُ ْ َّ ‫َوإ َل ُـه ُك ْم إ َله َواحد َََّل إ َل َه إ ََّل ُُ َى‬
َ‫يم‬ ِ َّ ‫السحمن‬ ِ ِ ِ ِ ِ
Wa ilaahukum ilaahuw-Waahidun laa ilaaha illaa huwar¬Rahmaanur-
Rahiim.
”Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada tuhan melainkan
Dia, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
َّ َ َ ُ ُ ْ َ َ ُ ُّ َ ْ ُّ َ ْ َ ُ َّ َ َ َ ُ ّ
‫ات َو َما ِفي‬ ِ َ َّ ‫ىم َل ثإخر ُه ِش َىة َوَل ه ْىم ل ُه َ َما ِفي‬
‫الص َم َاو‬ ‫الله َل ِإلـه ِإَل ُى الحي القي‬ َ
َ َ ْ ُ َ ْ َ َ َ ْ ْ َ ْ َ َ ُ َ ْ َ ْ َّ ُ َ ْ ُ َ ْ َ َّ َ
‫ض َمن ذا ال ِري ٌشفع ِعىده ِإَل ِب ِئذ ِه ِه ٌعلم ما بين ؤً ِد ِيهم َوما خلفهم وَل‬ ِ ‫ز‬ْ ‫ألا‬
ُ ‫ض َو ََل ًَ ُؤ‬ َ َّ ‫يطى َن ب َش ْيء ّم ْن ع ْلمه إ ََّل ب َما َشاء َوش َع ُك ْسش ُّي ُه‬ُ ُ
‫ود ُه‬ َ ‫ات َوألا ْز‬
ِ ‫الص َماو‬ ِ ِ ِ ُِ ِ ِ َ ِ ْ ِ َ ْ َ ُ ِ َ َ ُ ‫ً ِ ْح‬
َ ‫ِحفظ َُهما وُى الع ِل ُّي الع ِظ‬
‫يم‬
Allaahu laa ilaaha illaa huwal hayyul qayyuum, laa ta`khudzuhuu
sinatuw wa laa nauum, lahuu maa fis-Samaawaati wa maa fil ardh, man
dzal-Ladzii yasyfa‘u ‘indahuu illaa bi idznih, ya„lamu maa baina aidiihim
wa maa khalfahum wa laa yuhiithuuna bisyai„im-Min ‘ilmihii illaa bimaa
syaa„, wasi„a kursiyyuhus-Samaawaati wal ardh, wa laa ya`uuduhuu
hifzhuhumaa wa huwal ‘aliyyul ‘azhim.
“Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mahahidup, Yang terus-menerus
mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya
apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat
memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang di
hadapan mereku dan apa yang di belakang mereka, dan mereka tidak
mengetahui sesuatu pun tentang ilmu-Nya melainkan apa yang Dia
kehendaki. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Dia tidak merasa berat
memelihara keduanya. Dia Mahatinggi dan Mahabesar.”
~ 122 ~
Bab IV: Doa dan Zikir

َ َ َ َ َ َّ َ َ َ ْ َ َ َ ْ ُ َ ْ َ ْ َ َ ّ
‫ت َوَل ًَ ْىف ُـع ذا‬
َ ‫ض ْي‬‫اد ِلا ق‬
َ ‫ وَل ز‬،‫ وَل مع ِطـي ِلا مىـعت‬،‫ماوع ِلا ؤعطـيت‬
ِ ‫الل ُه َّـم َل‬
َ ‫الج ّـد م ْى َـك‬
.‫الجـد‬ َ
ِ ِ
Allaahumma laa maani„a limaa a„thaita wa laa mu„thiya limaa mana‘ta
wa laa raadda limaa qadhaita wa laa yanfa„u dzal jaddi minkal jaddu.
”Ya Allah, tidak ada yang menghalangi segala apa yang Engkau berikan,
dan tidak ada yang dapat memberikan segala yang Engkau larang. Tidak
ada yang menolak segala apa yang Engkau putuskan, dan tidak
bermanfaat kepada orang yang kaya di sisi Engkau segala kekayaannya.”
َ ّ ِ ‫له َْى ًََ ََاز‬
‫ب‬ َ ِ ‫َِا‬
Ilaahi yaa rabbii
“Wahai Tuhan kami.”
33x ‫هللا‬ ََ ‫ح‬
َِ ‫ان‬ ََ ‫ش َْب‬
َُ
Subhaanallaahi
“Mahasuci Allah,” 33x
َْ
33x ‫له‬َ ِ ‫َا َل ََح َْم ُ َد َِل‬
Al-Hamdu lillaahi
“Segala puji bagi Allah.” 33x
َْ َ
33x ‫اهللُ اك َب ُر‬
Allaahu akbar 33x
“Allah Mahabesar,” 33x
َّ َ َ ْ َ َّ َ ْ ُ َ ْ َ َْ َ
َ‫ح َ َد ُه‬ َُ َ‫له ِلِا‬
َْ ‫هللا ََو‬ َ َ‫ص َي َل ََل ِا‬
َ ِ ‫هللا َب َك َسةَ َوَا‬
َِ ‫ان‬ََ ‫ح‬ َ ِ ‫ال ََح َْم ُ َد َِل‬
َ ُ ‫له َك َِث َْي َرا ََو‬
ََ ‫ش َْب‬ َ ‫َاهللُ َا َك ََب َُر َك َِب َْي َرا ََو‬
َ َ ُ َ ْ َ ُ ُْ ْ ُ َ ُ َ َ ْ َ َ
َ‫ك َول ُه ال َح ْم ُد ًُ ْح ِي َو ٍُ ِم ْي ُت َو ُُ َى َعلى ك ِ ّل ش ْيئ ق ِد ًْس‬ َ ‫ال َل‬
َ ‫ك َل َه ل َه‬ َ ٍَ‫ش َِس‬ َ ‫ََل‬
Allaahu akbar kabiiraw-Wal hamdu lillaahi katsiira, wa subhaanallaahi
bukrataw-Wa ashilaa. Laa ilaaha illallaahu wahdahuu laa syariika lah,
lahul mulku wa lahul hamdu yuhyi wa yumiitu wa huwa ‘alaa kulli
syai„in qadir.
~ 123 ~
Bab IV: Doa dan Zikir

”Allah Mahabesar lagi sempurna kebesaran-Nya. Segala puji hanya bagi


Allah dengan pujian yang banyak. Mahasuci Allah sepanjang pagi dan
petang. Tidak ada tuhan melainkan Allah Yang Maha Esa, tidak ada
sekutu bagi-Nya. Dialah yang me¬miliki kekuasaan dan bagi-Nyalah
segala puji, Dialah Zat yang menghidupkan dan yang mematikan. Dia
Mahakuasa atas segala sesuatu.”
ْ َ ُ َْْ َ ْ َْ ّ َْ َّ َ ُ َ َ
َ‫هللا ال َع ِظ ْي َم‬ ‫ ؤشحغ ِفس‬,‫ظ َي ِ َم‬ َ ِ ‫ح َْى ََل ََو ََل َق ََّى َة‬
َ ِ ‫لِا َِباهللِ َال َع ِ َل َِي َال َع‬ ََ ‫ََو ََل‬
Wa laa haula wa laa quwwata illa billaahil ‘aliyyil ‘azhiim.
Astaghfirullaahal ‘azhiim.
”Tidak ada daya upaya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan
Allah Yang Mahatinggi lagi Mahamulia. Saya mohon ampun kepada
Allah Yang Mahaagung.”

4.5. Bacaan Doa dan Zikir


Setelah selesai melaksanakan shalat fardhu dianjurkan secara
muakkadah untuk berdoa. Doa dapat dilakukan secara sendiri ataupun
berjamaah. Selain daripada itu juga, doa dapat disampaikan dengan
bahasa Arab maupun bahasa sehari-hari. Namun, syarat berdoa seperti
yang sudah disebutkan pada adab berdoa, harus dimulai dengan
menyampaikan istighfar sebagai keinginan untuk bertobat, menyebut
pujian kepada Allah Swt. dan jangan lupa bershalawat kepada Baginda
Rasulullah saw. Hal ini seperti disebutkan oleh Syaikh Nawawi yang
mengambil pendapat Imam Syafi„i dalam kitab al-Adzkar pada halaman
103 yaitu:
Mengawali segala sesuatu termasuk khuthbah atau doa dengan bacaan
basmalah, hamdalah, dan shalawat kepada baginda Nabi Rasulullah
Muhammad saw, kemudian mengungkapkan isi permohonannya kepada
Allah Swt. Bahkan menurut Al-Quran, sebaiknya penutup doa juga diakhiri
dengan bacaan al-Hamdulillahi robbil ‘alamin.
~ 124 ~
Bab IV: Doa dan Zikir

Berdoa setelah shalat fardlu adalah termasuk doa yang paling


didengar oleh Allah, sebagaimana sabda Rasulullah saw. riwayat Imam
At-Turmudzi yang ditulis oleh imam An-Nawawy dalam kitab beliau al-
Adzkaar An-Nawawy halaman 66. Bahkan, beliau menukil hadis dari
Imam Bukhari dan Imam Muslim yang menjelaskan bahwa Abdullah bin
‘Abbaas menegaskan bahwa zikir dengan suara keras setelah shalat
fardhu itu telah dilakukan pada zaman Rasulullah (al-Adzkaar An-
Nawawy, hlm. 67). []

~ 125 ~
Bab IV: Doa dan Zikir

~ 126 ~
Bab V: Puasa

BAB V
PUASA

5.1. Makna, Manfaat, Keutamaan dan Sejarah Puasa Ramadhan


Pada umumnya pengertian puasa atau as-shiyam berarti menahan,
sebagaimana firman Allah:
َ ‫إ ّوي َه َر ْز ُث ل َّلس ْح ََٰمن‬
‫ص ْى ًما‬ ِ ِ ِِ
“Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha
Pemurah,” (QS. Maryam [19]: 26).

Maksud kata “puasa” pada ayat di atas yaitu menahan diri dari
berbicara. Menurut Istilah, puasa yaitu menahan diri dari semua yang
membatalkannya, semenjak terbit fajar sampai terbenam matahari,
dengan disertai niat.

5.2. Keutamaan Puasa


Puasa memiliki keutamaan yang banyak, pahala yang besar, dan
pengaruh positif yang beragam, baik bagi individu maupun bagi
masyarakat.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw
bersabda, “Allah berfirman, ‘Setiap amal anak Adam untuk dirinya,
kecuali puasa. Sesungguhnya puasa adalah untuk-Ku dan Aku sendiri
yang akan membalasnya.„ Puasa itu adalah perisai. Oleh karena itu, jika
salah seorang kamu berpusa janganlah ia berkata keji atau berteriak-
~ 127 ~
Bab V: Puasa

teriak yang tidak ada manfaatnya. Apabila ada orang yang mencaci maki
atau mengajak bertengkar, hendaklah ia berkata, ‘Aku sedang berpuasa,„
sebanyak dua kali. Demi Allah yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya,
aroma mulut orang yang berpuasa itu lebih harum daripada aroma
minyak misik (kasturi). Bagi orang yang berpuasa disediakan dua
kegembiraan, yaitu ketika berbuka ia merasa gembira dengan bukanya,
dan ketika bertemu Tuhannya ia bergembira dengan puasanya.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Dalam hadis qudsi riwayat Imam Bukhari disebutkan, “Orang
yang berpuasa ia meninggalkan makan dan minumnya serta kesenangan
nafsunya demi Aku. Puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan
membalasnya. Satu kebajikan itu dilipatgandakan sepuluh kali.”
Yang dimaksud berkata keji dalam hadis di atas adalah berkata
yang jorok, terutama yang berkaitan dengan lawan jenis.
Yang dimaksud perisai ialah sesuatu yang dapat melindungi Anda
dari hal-hal yang menakutkan. Jadi, pada hakikatnya puasa itu dapat
melindungi dan menjaga orang yang melakukannya dari perbuatan-
perbuatan maksiat.
Bersumber dari Sahal bin Sa„ad dari Nabi saw. bersabda,
“Sesungguhnya di dalam surga terdapat sebuah pintu yang bernama Ar-
Rayyan. Dari pintu itulah orang-orang yang berpuasa masuk ke dalam
surga pada hari Kiamat nanti, dan tidak ada yang akan bisa
memasukinya selain mereka. Ketika mereka sudah masuk, pintu itu
ditutup sehingga tidak ada seorang pun yang memasukinya,” (HR.
Bukhari, Muslim, an-Nasa„i, dan lainnya).
Bersumber dari Abdullah bin Umar sesungguhnya Rasulullah saw.
bersabda, “Pada hari Kiamat kelak, puasa dan Al-Quran akan memberi
syafaat kepada seorang hamba. Si Puasa berkata, ‘Hai Tuhanku, aku
telah melarangnya dari makan dan bersenang-senang. Oleh karena itu,
~ 128 ~
Bab V: Puasa

berikanlah aku sekarang bisa memberikan syafaat kepadanya.„ Si Al-


Qur„an berkata, ‘Wahai Tuhanku, aku telah mencegahnya dari tidur
malam hari. Oleh karena itu, biarkanlah aku sekarang memberikan
syafaat kepadanya.„ Keduanya lalu memberikannya syafaat,” (HR.
Ahmad dan ath-Thabrani dalam Al-Kabir).

5.3. Keutamaan Khusus Puasa Bulan Ramadhan


Allah Swt. berfirman:
َ ْ ْ
ۚ ‫اث ِم َن ال ُه َد َٰي َوال ُف ْسق ِان‬ ُ ‫ان َّالري ُأ ْهص َل فيه ْال ُق ْس‬
َ ّ َ ‫آن ُه ًدي ل َّلى‬ َ ‫ض‬َ ‫َش ْه ُس َ َم‬
ٍ ‫اض و َب ِيى‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫ز‬
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang hak dan yang bathil),” (QS. Al-Baqarah [2]: 185).

Bersumber dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi saw. bersabda,


“Barang siapa yang bangun (untuk beribadah) di malam Lailatul Qadar
karena iman dan semata ingin mengharap ridha Allah, niscaya dosa-
dosanya yang telah lalu diampuni. Dan barang siapa yang berpuasa di
bulan Ramadhan karena iman dan semata mengharap ridha Allah,
niscaya dosanya yang telah lalu diampuni,” (HR. Bukhari, Muslim, Abu
Daud, dan an-Nasa„i).
Bersumber dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Ada tiga orang yang doa mereka tidak ditolak, yaitu orang yang
berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan doa orang yang
teraniaya. Allah akan mengangkat doa mereka di atas awan dan
membukakan pintu-pintu langit untuknya. Allah berfirman, ‘Demi
kemulian-Ku, Aku akan selalu menolongmu walaupun sesudah
beberapa waktu lagi,„” (HR. Ahmad, Tirmidzi dan menilainya sebagai
hadis hasan, Ibnu Khuzaimah dalam Shahih Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu
Hibban dalam Shahih Ibnu Hibban)
~ 129 ~
Bab V: Puasa

5.4. Sejarah Disyariatkannya Puasa Ramadhan


Puasa bulan Ramadhan disyariatkan pada bulan Sya„ban tahun 2
Hijriyah. Sebelum itu, puasa sudah dikenal bangsa-bangsa terdahulu dan
oleh Ahli Kitab yang hidup jaman Nabi Muhammad saw. Allah Swt.
berfirman,
ُ َ
‫ًن ِم ْن ق ْب ِلك ْم‬ َ ‫الص َي ُام َك َما ُكت َب َع َلى َّالر‬ ّ ُ ُ ْ َ َ َ ُ ُ َ َ َّ َ َ
ِ ِ َ ُ َّ َ ِ ُ َّ ‫ًا أ ُّي َها ال ِرًن آمىىا ك ِتب عليك َم‬
‫ل َعلك ْم جتقىن‬
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa,” (QS. Al-Baqarah [2]: 183).
Hanya saja, kewajiban puasa Ramadhan belum pernah
disyari„atkan sebelumnya. Jadi, umat Islam dan umat-umat Nabi
terdahulu sama dalam soal disyariatkannya puasa. Tetapi tentang
diwajibkannya puasa pada bulan Ramadhan, hanya umat Muhammad
saw. sajalah yang mendapat keistimewaan. Allah Swt. berfirman,
َ ْ ْ
ۚ ‫اث ِم َن ال ُه َد َٰي َوال ُف ْسق ِان‬ َ ّ َ ‫آن ُه ًدي ل َّلى‬ ُ ‫ان َّالري ُأ ْهص َل فيه ْال ُق ْس‬
َ ‫ض‬َ ‫َش ْه ُس َ َم‬
ٍ ‫اض و َب ِيى‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫ز‬
ُ‫ص ْمه‬ ُ ‫الش ْه َس َف ْل َي‬
َّ ‫َف َم ْن َشه َد م ْى ُك ُم‬
ِ ِ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barang siapa di antara kamu
hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu,” (QS. Al-Baqarah [2]: 185).

Rasulullah saw. bersabda, “Islam dibangun atas lima dasar, yaitu:


(1) bersaksi bahwa tiada Tuhan yang wajib disembah kecuali Allah dan
bahwa Nabi Muhammad adalah rasul (utusan) Allah, (2) mendirikan
shalat, (3) membayar zakat, (4) pergi haji, dan (5) berpuasa di bulan
Ramadhan,” (HR. Bukhari dan Muslim).

~ 130 ~
Bab V: Puasa

5.5. Syarat-Syarat Puasa


Puasa bulan Ramadhan wajib dilakukan apabila telah memenuhi syarat-
syarat berikut:
1) Islam, orang non muslim (kafir) tidak wajib berpuasa, karena puasa
cabang dari keimanan. Selama belum masuk Islam maka tidak
terkena kewajiban bepuasa. Adapun kelak di Akhirat mereka akan
dihukum atas kekafirannya.
2) Taklif, yaitu bila orang Islam itu telah baligh dan berakal. Apabila sifat
ini tidak ada pada orang Islam, maka kemukallafannya gugur. Artinya,
ia tidak terkena kewajban bepuasa. Rasulullah saw. bersabda, “Pena
diangkat dari 3 orang, yaitu orang tidur sampai ia bangun, anak kecil
sampai ia dewasa, dan orang gila sampai sembuh,” (HR. Abu Daud
dan lainnya).
3) Tidak ada udzur yang mencegah dilakukannya puasa, atau yang
membolehkan berbuka.
Adapun udzur yang mencegah dilakukannya puasa yaitu haid atau
nifas; pingsan atau gila sepanjang siang. Tetapi kalau sadar sekalipun
sebentar di siang itu, maka gugurlah udzurnya, dan wajib menahan
makan dan minum selebihnya pada hari itu.
Adapun udzur yang membolehkan untuk berbuka seperti sakit yang
mengakibatkan bahaya besar, penderitaan, atau kehawatiran hebat
sehingga dapat mebinasakan diri, maka wajib berbuka.
Perjalanan jauh (musafir) yang jaraknya tidak kurang dari 83 km.
Dengan syarat perjalanan yang diijinkan agama dan memakan waktu
sepanjang hari.
َ ُ َ ٌ َ َ َ ً َ َ َ ْ َ
‫يضا أ ْو َعل َٰى َط َف ٍس ف ِع َّدة ِم ْن أ ًَّ ٍام أخ َس‬
‫من كان م ِس‬
“Dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain,” (QS. Al-Baqarah [2]: 185).

~ 131 ~
Bab V: Puasa

Contoh yang lain yaitu orang yang tidak mampu berpuasa karena tua
renta, atau karena sakit yang sulit diharapkan akan kesembuhannya.
Allah berfirman,
َ ٌ َ َ ‫َو َع َلى َّالر‬
‫ًن ًُ ِط ُيقىه ُه ِف ْد ًَت ط َع ُام ِم ْظ ِك ٍين‬ ِ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka
tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang
miskin,” (QS. Al-Baqarah [2]: 184).

Adapun syarat-syarat sahnya Puasa adalah sebagai berikut:


1) Islam. Orang kafir tidak sah berpuasa.
2) Berakal atau tamyiz. Puasanya orang gila atau anak kecil yang belum
tamyiz tidak sah. Adapun puasanya anak kecil yang sudah tamyiz sah
hukumnya. Mereka patut disuruh melakukannya bila mampu
mengerjakannya, ketika berumur tujuh tahun. Dan dipukul bila
meninggalkannya dikala berumur sepuluh tahun, seperti halnya
shalat.
3) Tidak ada udzur yang mencegah dilakukannya puasa, seperti haid,
nifas, pingsan, dan gila yang memakan waktu seluruh hari.

5.6. Rukun-Rukun Puasa


Rukun Puasa yang pokok ada 2, yaitu niat berpuasa dan menahan diri
dari semua yang membatalkan puasa.
Niat maksudnya menyengaja berpuasa. Tempat niat adanya
dalam hati, dan tidak cukup hanya diucapkan dengan lidah, bahkan
tidak dipersyaratkan melafalkannya. Adapun kewajiban niat
berdasarkan sabda Nabi saw., “Sesungguhnya sahnya amal itu harus
dengan niat.”

~ 132 ~
Bab V: Puasa

Jika puasanya adalah puasa Ramadhan maka niatnya


dipersyaratkan memenuhi hal-hal sebagai berikut:
1) Tabyit, yaitu melakukan niat di waktu malam hari sebelum fajar.
Jika dilakukan setelah terbit fajar maka tidak sah. Rasulullah saw.
bersabda, “Barang siapa tidak berniat puasa pada malam hari,
sebelum fajar, maka tidak sah puasanya,” (HR. Ad-Daruquthni dan
Imam Baehaqi).
2) Ta„yin, yakni menentukan puasa apa yang akan dikerjakan. Kalau
dalam hati berniat puasa secara mutlak maka tidak sah. Pendapat
ini berdasarkan hadis Nabi saw., “Dan sesungguhnya setiap amal
itu tergantung niatnya.”
3) Tikrar, yaitu mengulang niat setiap malam sebelum fajar untuk
melakukan puasa esok hari. Jadi, niat sekali untuk satu bulan
tidaklah cukup, karena puasa bulan Ramadhan bukan satu ibadat,
tetapi ibadah yang berulang-ulang. Dan setiap ibadah harus
diniatkan sendiri.

5.7. Sunah-Sunah Puasa


Hal-hal yang disunahkan dalam puasa, yaitu:
1) Menyegerakan berbuka
Sahal bin Sa„ad meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Orang-orang akan senantiasa baik keadaannya selagi mereka
menyegerakan berbuka puasa,” (HR. Bukhari dan Muslim).
2) Hendaklah berbuka dengan kurma, kalau tidak ada maka boleh
dengan air.
Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Nabi saw. berbuka puasa
sebelum shalat dengan beberapa butir kurma setengah masak. Kalau
tidak ada maka dengan beberapa butir kurma masak. Kalau tidak ada

~ 133 ~
Bab V: Puasa

maka meneguk beberapa teguk air. Sesungguhnya air itu suci, (HR.
Ahmad dan juga Turmudzi yang menyatakan hadis ini hasan lagi
shahih).
3) Makan Sahur
Kata as-Sahur (dengan huruf Sin berbaris fathah), artinya sesuatu
yang dimakan dini hari, sementara as-Suhur (dengan
mendhamahkan Sin) berarti makan di waktu itu.
Anas r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Makan
Sahurlah kamu, karena makan sahur itu berkah,” (HR. Bukhari dan
Muslim)
4) Mengakhirkan Sahur
Yakni, agar makan dan minum berakhir beberapa saat menjelang
fajar. Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersahur
bersama Zaid bin Tsabit. Setelah sahur Rasulullah saw. bangkit lalu
shalat. Kami tanyakan kepada Anas, “Berapa jarak antara selesai
sahur mereka dengan mulainya shalat?” Anas menjawab, “Kira-kira
selama seseorang membaca 50 ayat,” (HR. Bukhari).
5) Meninggalkan perkataan kotor.
Seperti mengancam, berdusta, mengumpat, dan mengadu domba.
Juga memelihara diri dari syahwat, seperti memandang lawan jenis
yang bukan mahram, dan mendengarkan nyanyian.
Abu Hurairah ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. besabda,
“Barang siapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta,
maka Allah tidak memerlukan dia meninggalkan makanan dan
minumannya,” (HR. Bukhari).
Ketahuilah bahwa mengecam, berdusta, mengumpat, mengadu
domba, dan lain sebagainya adalah hal-hal yang pada asalnya
diharamkan.
~ 134 ~
Bab V: Puasa

6) Mandi Janabah sebelum Fajar


Janabah tidak menafikan puasa, hanya yang lebih utama agar tidak
berjanabat lagi sebelum fajar. Dalam sebuah hadis diriwayatkan
bahwa Nabi saw. pernah sampai Subuh tetap dalam keadaan
berjunub setelah jimak, bukan karena mimpi, kemudian beliau mandi
dan tetap berpuasa, (HR. Bukhari).
Begitu juga sunnah mandi bagi wanita dari haid dan nifas sebelum
fajar, apabila telah suci dan darah telah berhenti sebelum fajar.
7) Membaca Doa ketika Berbuka.
َْ َ ُ ْ َّ ُ َّ َ َ َْ َ ُ ‫َا ّلل ُه َّم َل َك‬
‫ص ْم ُت َو َعلى ِز ْش ِق َك أفط ْس ُث ذ َه َب الظ َمأ َو ْاب َتل ِت العسق َوث َب ِت ْلا ْج ُس‬
ُ ‫إ ْو َش َاء‬
‫للا‬ ِ
Allahumma laka shumtu, wa ala rizkika afthartu, dzahabadzamau,
wabtallatil uruuqu, watsabatil ajru Insya Allah.
“Ya Allah karena Engkau aku berpuasa, dan karena rizkimu aku
berbuka. Telah lenyap haus dahaga, telah basah urat-urat, dan
tetaplah pahala bagiku Insya Allah.”
8) Banyak Bersedekah, Membaca dan Mempelajari Al-Qur„an, serta
beri„tikaf di Masjid.
Anas bin Malik meriwayatkan, pernah seseorang bertanya kepada
Rasulullah, “Ya Rasulullah, sedekah yang bagaimanakah yang paling
baik?” Beliau menjawab, “Sedekah pada bulan Ramadhan,” (HR. At-
Turmudzi).
Dalam sebuah riwayat disebutkan sesungguhnya Malaikat Jibril
menemui Nabi saw. pada setiap tahun di bulan Ramadhan sampai
akhir, Nabi saw. membaca Al-Qur„an di hadapannya, (HR.Bukhari
dan Muslim).

~ 135 ~
Bab V: Puasa

5.8. Hal-Hal yang Membatalkan Puasa


Ada beberapa perkara yang dapat membatalkan puasa, yaitu:
1) Makan dan minum dengan sengaja
Jika orang yang berpuasa lupa bahwa dirinya sedang berpuasa
kemudian ia makan dan minum, maka puasanya tidak batal
sekalipun yang dimakan atau diminum cukup banyak. Rasulullah
saw. bersabda, “Barang siapa lupa padahal ia berpuasa lalu makan
dan minum, maka selesaikan puasanya. Karena, sesungguhnya ia
diberi makan dan minum oleh Allah Swt.,” (HR. Bukhari dan Muslim).
2) Memasukkan benda terlihat mata ke lobang normal yang tembus ke
perut dengan sengaja.
Yang dimaksud mata adalah apa saja yang bisa dilihat oleh mata,
sedangkan jauf adalah rongga dalam tubuh di balik kerongkongan
sampai ke lambung dan usus. Adapun rongga yang tembus ke perut
adalah mulut, hidung, telinga, kubul, dan dubur laki-laki dan
perempuan.
Dengan demikian, memberi obat tetes ke telinga membatalkan puasa
karena telinga rongga yang tembus ke perut. Begitu pula suntikan
lewat dubur atau kubul, karena keduanya tembus ke perut.
3) Muntah dengan sengaja
Muntah dengan sengaja membatalkan puasa, sedangkan kalau
muntah itu tidak disengaja tidak membatalkan puasa, sekalipun
yakin ada sebagian yang telah keluar masuk lagi ke perut tanpa
sengaja. Nabi Muhammad saw. bersabda, “Barang siapa muntah
tanpa sengaja selagi berpuasa, maka dia tidak wajib qadha. Tetapi

~ 136 ~
Bab V: Puasa

apabila ia sengaja muntah maka hendaklah mengqadhanya,” (HR.


Abu Daud, Tirmidzi, dan lainnya).
4) Bersetubuh dengan sengaja
Bersetubuh dengan sengaja membatalkan puasa, sekalipun tidak
keluar sperma.
Allah berfirman:
َْ َ ْ َ ْ ُ ْ َ ْ ُ ُ َ َ َّ َ َ َ َٰ َّ َ ُ َ ْ َ ُ ُ َ
‫َ ِمو و َون اأَب و ْوي ِن ْلا ْطو و َوى ِ ِمو و َون‬
ُ ‫ْلا ْبو و َوي‬ ‫وكل ووىا واشو ووس َبىا ح و و ًتبو ووين لكو ووم اأب ووين‬
َ‫ّ َ َ َ َّ ْ َ َ ُ َ ُ ُ َّ َ ْ ُ ْ َ ُ ن‬ َّ ُ ْ َ ْ
‫الص و وويام ِإُ و ووى اللي و و ِوُ ۚ وي جب ِاش و ووسوهن وأه و ووتم ع و و ِواكفى ِ و و و‬ ِ ‫ْال َفج و و ِوس ث و ووم أ ِج ُّم و ووىا‬
‫اْل َظ ِاج ِد‬
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang)
malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu
beri„tikaf dalam mesjid,” (QS. Al-Baqarah [2]: 187).
5) Mengeluarkan mani dengan sengaja (Istimta„)
Yakni, karena berciuman atau onani. Kesengajaan mengeluarkan
mani membatalkan puasa. Dalam pada itu mencium istri ketika
berpuasa Ramadhan adalah hukumnya makruh tahrim bagi orang
yang masih tergerak syahwatnya, baik laki-laki atau perempuan,
karena hal itu mengarah rusaknya puasa.
Aisyah ra. meriwayatkan, “Pernah Rasulullah menciumku sedang
beliau berpuasa. Tapi siapakah di antara kamu yang menguasai
syahwatnya, seperti halnya yang dilakukan Rasulullah saw.?”
6) Haid dan Nifas
Haid dan nifas membatalkan puasa, karena keduanya merupakan
udzur yang menghalangi sahnya puasa. Jadi, apabila seorang wanita
sedang berpuasa kemudian kedatangan haid atau nifas pada

~ 137 ~
Bab V: Puasa

sebagian siang, maka batallah puasanya dan wajib mengqadha pada


hari-hari lain
7) Gila dan Murtad
Gila dan murtad adalah pencegah sahnya puasa, karena orang yang
mengalaminya keluar dari kepatutan beribadah.

5.9. Hari-Hari yang Dilarang Berpuasa


Ada beberapa hadis yang tegas menjelaskan tentang larangan berpuasa
pada hari-hari tertentu, yaitu:
1) Pada kedua hari raya
Para ulama sepakat tentang haramnya berpuasa pada kedua hari
tersebut, baik puasa fardhu maupun puasa sunah. Umar ra. berkata,
“Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang berpuasa pada kedua hari
ini. Mengenai hari raya idul Fitri, karena ia merupakan saat
berbukamu dari puasamu. Sedang mengenai hari raya Idul Adha agar
kamu dapat memakan hasil korbanmu,” (HR. Ahmad dan empat
Imam Ahli Hadis).
2) Hari Tasyrik
Hari Tasyrik yaitu tiga hari berturut-turut setelah Idul Adha.
Berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. bahwa
Rasulullah saw. mengutus Abdullah bin Khudzaifah berkeliling Mina
untuk menyampaikan, “Janganlah kamu berpuasa pada hari ini,
karena ia merupakan hari makan minum dan mengingat Allah Azza
Wajalla,” (HR. Ahmad dengan sanad yang baik).
3) Puasa khusus Hari Jumat
Hari Jumat merupakan hari raya mingguan bagi kaum muslimin.Oleh
sebab itu, dilarang oleh agama berpuasa pada hari itu. Menurut
jumhur ulama, larangan itu menunjukkan makruh bukan haram,
~ 138 ~
Bab V: Puasa

kecuali apabila seseorang berpuasa sehari sebelum atau sehari


sesudahnya, sesuai dengan kebiasaannya, atau kebetulan pada hari
Arafah atau hari ‘Asyura, maka tidaklah makruh berpuasa pada hari
Jumat.
Abdullah bin Amar meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. masuk ke
rumah Juwairiyah binti Harits pada hari Jumat, sedang ia berpuasa.
Nabi lantas bertanya, “Apakah engkau puasa pada hari kemarin?”
“Tidak,” jawabnya. Nabi tanya lagi, “Dan besok apakah engkau
bermaksud hendak puasa?” “Tidak!” ujarnya pula. “Kalau begitu,”
kata Nabi, “berbukalah kini!” (HR. Ahmad dan Nasa„i dengan sanad
yang baik).
Amir al-Asy„ari meriwayatkan, saya mendengar Rasulullah saw.
bersabda, “Sesungguhnya hari Jumat itu merupakan hari rayamu.
Karena itu, janganlah berpuasa pada hari itu, kecuali jika kamu
berpuasa sebelum atau sesudahnya,” (HR. Bazzar dengan sanad yang
baik)
4) Larangan Mengkhususkan Hari Sabtu Untuk Berpuasa
Diriwayatkan dari Busri as-Salmi dari saudara perempuannya
Shamma, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kamu
berpuasa pada hari sabtu, kecuali apa yang diwajibkan kepadamu.
Dan seandainya seseorang di antaramu tidak menemukan kecuali
kulit anggur atau bonggol kayu, hendaklah dimamahnya makanan
itu!” (HR. Ahmad dan Ashhabus Sunan, juga oleh Hakim yang
mengatakan sahnya menurut syarah Muslim)
5) Pada Hari Yang Diragukan
Ammar bin Yasir ra. mengatakan, “Barang siapa yang berpuasa pada
hari yang diragukan, berarti ia telah durhaka kepada Abul Qosim
(Nabi Muhammad saw.),” (HR. Ashhabus Sunan).

~ 139 ~
Bab V: Puasa

6) Berpuasa Sepanjang Masa


Haram hukumnya berpuasa sepanjang tahun tanpa meninggalkan
hari-hari yang dilarang oleh agama. Nabi saw. bersabda, “Tidak
puasa, orang yang puasa sepanjang masa,” (HR. Ahmad, Bukhari,dan
Muslim).
7) Larangan Bagi Wanita Berpuasa Jika Suaminya di Rumah, kecuali
dengan Izinnya
Para ulama memandang larangan ini berarti haram, dan mereka
membolehkan suami membatalkan puasa istrinya jika ia
melakukannya itu tanpa izinnya, karena dengan demikian si istri
telah melanggar hak suami.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw, bersabda,
“Janganlah seorang perempuan itu berpuasa walau satu hari pun jika
suaminya berada di rumah tanpa izinnya, kecuali puasa Ramadhan,”
(HR. Bukhari dan Muslim).

5.10. Puasa-Puasa Sunah


Puasa tathawwu„ adalah puasa sunah. Tathawwu„ artinya mendekatkan
diri kepada Allah Swt. dengan melakukan ibadah-ibadah tidak wajib.
Adapun hikmah diadakannya puasa sunah ialah menambah ibadah dan
taqarrub (pendekatan) diri kepada Allah Swt. Rasulullah menganjurkan
puasa pada hari-hari berikut:
1) Puasa enam hari pada Bulan Syawal
Diriwayatkan oleh Jamaah ahli Hadis kecuali Bukhari dan Nasa„i dari
Abu Ayyub al-Anshari bahwa Nabi saw. bersabda, “Barang siapa yang
berpuasa pada bulan Ramadhan lalu diirigninya dengan enam hari di
bulan Syawal, maka seolah-olah ia telah berpuasa sepanjang masa,”
(HR. Muslim).

~ 140 ~
Bab V: Puasa

2) Puasa Hari ‘Arafah


Hari ‘Arafah ialah pada tanggal 10 Dzulhijjah. Puasa pada hari itu
sunah bagi orang yang tidak sedang ibadah haji. Abu Qatadah ra.
mengatakan, Rasulullah saw. pernah ditanya tentang puasa hari
‘Arafah, maka jawab beliau, ia menghapus dosa-dosa di tahun lalu
dan yang akan datang,” (HR. Muslim).
Bagi yang sedang menunaikan ibadah haji tidak disunahkan pada
hari ‘Arafah, bahkan disunahkan berbuka, karena mengikuti jejak
Nabi saw. dan agar memperoleh kekuatan untuk berdoa.
3) Puasa Hari ‘Asyura dan Tasu„a
Hari ‘Asyura ialah tanggal 10 Muharram, sedang hari Tasu„a ialah
tanggal 9 Muharram. Dalil yang mensunahkan puasa pada 2 hari itu
ialah hadis riwayat Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw. berpuasa pada
hari „Asyura dan menyuruh puasa pada hari itu, (HR. Bukhari dan
Muslim).
Dari Abu Qatadah ra., bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya tentang
puasa hari ‘Asyura, maka jawab beliau, “Menghapuskan dosa-dosa
tahun lalu,” (HR. Muslim).
Dari Ibnu Abbas ra. yang meriwayatkan bahwa Rasulullah saw.
bersabda, “Andaikan aku masih hidup tahun depan, niscaya aku
berpuasa pada hari kesembilan,” (HR. Muslim).
Sayang, beliau wafat sebelum hari itu tiba. Adapun hikmah puasa
pada hari Tasu„a, di samping ‘Asyura karena ihthiyath (hati-hati),
mungkin terjadi kekeliruan tanggal sejak awal bulan dan agar tidak
sama dengan orang-orang Yahudi, karena mereka juga berpuasa
pada tanggal 10 Muharram. Oleh sebab itu, jika pada hari Tasu„a
tidak berpuasa bersama hari ‘Asyura, disunahkan pada tanggal 11-
nya berpuasa.
~ 141 ~
Bab V: Puasa

4) Puasa Senin –Kamis


Dari ‘Aisyah ra. yang berkata, “Rasulullah saw. telah menganjurkan
puasa hari Senin dan Kamis,” (HR. Turmudzi).
Dan bersumber dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw.
bersabda, “Amal-amal dihadapkan (kepada Allah) pada hari Senin
dan Kamis. Oleh karena itu, aku ingin amalku dihadapkan dikala aku
sedang berpuasa,” (HR. Turmidzi).
5) Puasa tiga hari setiap bulan
Yaitu, puasa yang dilakukan pada pertengahan bulan pada tanggal
13, 14, dan 15 setiap bulan Hijriyah. Atau, disebut dengan istilah
malam putih karena pada tanggal tersebut malam begitu terang
dengan adanya bulan purnama. Adapun dalil disunahkannya puasa
pada pada hari itu adalah hadis dari Abu Hurairah ra. yang berkata,
“Kekasihku Rasulullah saw. pernah berpesan kepadaku tiga perkara:
berpuasa tiga hari setiap bulan, shalat Dhuha dua rakaat, dan shalat
Witir sebelum tidur,” (HR. Bukhari dan Muslim).
Qatadah bin Milhan meriwayatkan, Rasulullah saw. pernah
menyuruh kami berpuasa pada hari dan malam-malam putih, yaitu
tanggal 13, 14, dan 15 bulan Hijriyah. Qatadah mengatakan, “Puasa-
puasa tersebut adalah seumpama puasa sepanjang tahun,” (HR. Abu
Daud). Tetapi, ada hari yang dikecualikan yaitu pada tanggal 13
Dzulhijjah (hari Tasyrik), karena puasa pada hari itu haram
hukumnya. []

~ 142 ~
Bab VI: Zakat, Infaq, dan Sedekah

BAB VI
ZAKAT, INFAQ, DAN SEDEKAH

6.1. Zakat
Setiap muslim diwajibkan memberikan sedekah dari rezeki yang
dikaruniakan Allah. Kewajiban ini tertulis di dalam Al-Quran. Pada
awalnya, Al-Quran hanya memerintahkan untuk memberikan sedekah
(pemberian yang sifatnya bebas, tidak wajib). Namun, pada kemudian
hari, umat Islam diperintahkan untuk membayar zakat.
Zakat menjadi wajib hukumnya sejak tahun 662 M. Nabi
Muhammad melembagakan perintah zakat ini dengan menetapkan
pajak bertingkat bagi mereka yang kaya untuk meringankan beban
kehidupan mereka yang miskin. Sejak itu, zakat diterapkan dalam
negara-negara Islam. Hal ini menunjukkan bahwa pada kemudian hari
ada pengaturan pemberian zakat, khususnya mengenai jumlah zakat
tersebut.
Pada zaman khalifah, zakat dikumpulkan oleh pegawai sipil dan
didistribusikan kepada kelompok tertentu dari masyarakat. Kelompok
itu adalah orang miskin, janda, budak yang ingin membeli kebebasan
mereka, orang yang terlilit utang dan tidak mampu membayar. Syariah
mengatur dengan lebih detail mengenai zakat dan bagaimana zakat itu
harus dibayarkan.
~ 143 ~
Bab VI: Zakat, Infaq, dan Sedekah

6.1.1. Pengertian Zakat


Secara etimologi kata zakat tersebut berarti bersih, bertambah, dan
bertumbuh. Jika dikatakan bahwa tanaman itu zakat, artinya ia tumbuh
dan kemudian bertambah pertumbuhannya. Jika tanaman itu tumbuh
tanpa cacat, maka kata zakat di sini berarti bersih. Tumbuh; berkembang
dan berkah (HR. At-Tirmidzi) atau dapat pula berarti membersihkan atau
mensucikan.
M. Quraish Shihab menyatakan bahwa kata zakat juga bisa berarti
suci. Sebab, pengeluaran harta bila dilakukan dalam keadaan ikhlas dan
sesuai dengan tuntunan agama, dapat menyucikan harta dan jiwa yang
mengeluarkannya. Dengan demikian, makna bahasa yang terkandung
dalam term zakat adalah pengembangan harta dan pensuciannya,
sekaligus mensucikan diri orang yang berzakat.
Sedangkan menurut terminologi syari„ah (istilah syara„), kata zakat
berasal dari bahasa Arab, terdiri atas huruf za (‫)ش‬, ka (‫)ك‬,dan wa (‫)و‬.
Huruf terakhir, adalah huruf mu„tal dan karena ia sulitdilafazkan, maka
cukup dibaca zakat (‫)شكاة‬, ia terganti dengan huruf Ta al-Marbuthah.
Zakat adalah jumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh
orang yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak
menerimanya (fakir miskin dan sebagainya). Zakat adalah satu
kewajiban dari kewajiban-kewajiban Islam. Ia adalah salah satu dari
rukun-rukunnya, dan termasuk rukun yang terpenting setelah syahadat
dan shalat. Kitab dan sunnah serta ijma„ telah menunjukkan
kewajibannya. Barang siapa mengingkari kewajibannya maka ia adalah
kafir dan murtad dari Islam, harus diminta agar bertobat. Jika tidak
bertaubat dibunuh. Dan barang siapa kikir dengan enggan
mengeluarkan zakat atau mengurangi sesuatu derinya maka ia termasuk
orang-orang zalim yang berhak atas sangsi dari Allah Swt.

~ 144 ~
Bab VI: Zakat, Infaq, dan Sedekah

6.1.2. Dorongan agar Menunaikan Zakat


Allah Swt. berfirman,
َ َ َّ ُ ُ َ َ َ ُ َ ْ َ َ َّ َّ َ َ ْ َ َ َ
ْ ‫الل ُام ْ ْان َل‬
‫ه ِال ِم ُم َاو ا ْل ماُا ل ُبا ْ ُ َبا ْ ُم َاو‬ ِ ‫وَل يحظبن ال ِرين يبخلون ِبماا تجاام‬
َ ُ َ َّ َ َ َ ْ َ ْ َ ُ َ َ ُ َ َ َ َ
‫اث‬ ِ ‫ش اْ َهاس ل ُبا ا ْ ُ طَّ ا ُاما َّوخ َون َُْ ااا َب ِخ َل ااوا ِب ا ِام ي ااوي ال ِ ماْ ا ِات و ِلل ا ِام ِْل ااُا الظ ااماو‬
َ َّ
ٌُ‫ض َوالل ُم ِب َما ح ْع َملون ا ِبل‬ ْ َ
ِ ‫وْلاز‬
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah
berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan
itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi
mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di
lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang
ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan,” (QS. Ali-Imran [3]: 180).

Abu Hurairah meriwayatkan, Rasulullah saw. bersabda, “Barang


siapa Allah berikan kepadanya harta, lalu ia tidak menunaikan zakatnya,
maka akan ditampilkan di hadapannya pada hari kiamat seekor ular
jantan yang memiliki dua bisa. Ia menjulurkan mahkota kepalanya
karena penuh dengan racun bisa. Ular itu memakaikan kalung
kepadanya, kemudian memegang kedua tulang rahangnya, kemudian
mengatakan, ‘Aku adalah hartamu. Aku adalah harta simpananmu,„”
(HR. Bukhari).
Dan Allah berfirman
َ ّ َ َّ ُ َ َ َّ ْ َ َ َ َّ َ ُ ْ َ َ َّ
‫ه اات َوَل ُي ْ َِل َوب َي ااا ِه ااب َط ا ِاهم ِ الل ا ِام ل َه ِ ا ْاس ُم ْ ِ َع اارا‬ ‫ال ا ِارين يِ ُِ اااون ال اارمِ وال َِل‬
ُ ‫اوو ٌُي ْ َو ُظ ُب ا‬
ُْ ‫اوز ُم‬ ُ ‫َأل اام و ي ا ْاو َي ُي ْح ََ ا َاه َ َل ْ َي ااا ه ااب َف اااز َٰ َب ا َّ َ َل ُخ ُْ ا َاو َُ و َي ااا ٰ َب ا‬
ُ ‫اام ُب ْ َو ُٰ ُ ا‬
ِ َ ُِ ْ َ ُُْ ُِ ُ َِ ُ َ ََ َ َِ
ٌ ‫مرا َْا كُ ْاُج ْ ِِل ْف َُل ِظِ ْ لروخوا َْا ك خ ْ جِ ُِا‬
‫ون‬
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak serta tidak
menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka,
(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan
emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi
mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka,
~ 145 ~
Bab VI: Zakat, Infaq, dan Sedekah

‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka
rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu,„” (QS. At-
Taubah [9]: 34-35).
َّ َ َ ُ َ َ َ َ َّ َ َ َّ َ
‫الصكاة ۚ َو َْا ُج ِّد ُْوا ِِل ْف َُل ِظِ ْ ِْ ْن ا ْلُ ج ِج ُد ُوه ِ ْ َد الل ِم‬ ‫الصَلة َو ُتجوا‬ ‫َوأ ِخ ُمموا‬
َ ُ َ َّ
ٌ ٌُ‫ِإ َّن الل َم ِب َما ح ْع َملون َب ِصل‬
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kebaikan apa saja yang
kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada
sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu
kerjakan,” (QS.Al-Baqarah [2]: 110).
َ َ َّ َ ‫الن َلا ُام الا ّاد‬ َّ ُ ُ ْ َ َّ ُ ُ َ َ
َ ‫اللا َام ُْ ْخلصا‬
‫الصااَلة َو ُُ ْ ُجااوا‬ ‫ين ُو َ ََلا َااَ َو ُُ ِ ُممااوا‬ ِ ِ ِ ‫وْااا أ ِْااس َوا ِإَل ِلمعبا ْادوا‬
َ ّ َ ُ َ َ َ َ َّ
ٌ ‫ين ال ِمم ِ ٌت‬ ‫الصكاة ۚ وذ ِلك ِد‬
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang
lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan
yang demikian Itulah agama yang lurus,” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5)
َ َّ َ َ َّ
ٌ ‫الصك ِاة َْا ُد ْْ ُت َو ًّما‬ َ ‫َو َٰ َع َلني ُْ َب َاز مكا َأ ْي َن َْا ُك ْ ُت َو َأ ْو‬
‫ص ِاني ِبالصَل ِة و‬ ِ
“Dan Dia menjadikanku sebagai seorang yang diberkati di mana saja aku
berada, serta Dia memerintahku untuk (mendirikan) shalat dan
(menunaikan) zakat selama aku hidup,” (QS. Maryam [19]: 31)).

Dan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw.
bersabda, “Tidaklah pemilik emas atau perak yang tidak menunaikan
zakatnya, kecuali di hari Kiamat akan dibentangkan baginya lempengan
logam dari api, lalu dibakar denganya dahi, lambung dan punggungnya,
setiap kali lempengan itu dingin dipanaskan lagi pada hari yang
hitunganya lima puluh ribu tahun, hingga Dia memutuskan perkara
hamba-hamba-Nya, maka ia melihat jalannya, apakah ke surga atau ke
neraka.”
~ 146 ~
Bab VI: Zakat, Infaq, dan Sedekah

Kewajiban zakat yang telah diremehkan oleh kebanyakan kaum


muslimin, mereka tidak mengeluarkanya sebagaimana cara yang
disyariatkan, meski perkara ini adalah besar, dan merupakan salah satu
dari Rukun Islam yang lima di mana bangunan Islam tidak akan tegak
tanpanya. Rasulullah saw bersabda, “Islam dibangun di atas lima
landasan, yaitu: (1) syahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
Muhamad utusan Alah, (2) menegakkan shalat, (3) menunaikan zakat,
(4) puasa ramadhan, dan (5) pergi haji,” (HR. Bukhari dan Muslim).
Allah SWT berfirman,
َ َ َ َ َّ ْ ْ َ َ ّ َ َ َ ْ ّ َ ُ َ ْ ُ ُ ّ َ ُ ‫ُ ْ ْ َ ْ َ ْ َ َ َ م‬
‫صَلج َك َطِن‬ ‫ار ِْن أْو ِال ِب صدخت ج َا ِبسم وجص ِك ِي ِويا وص ِ ل ِي ُ ِإن‬
َّ
ٌ ٌ ‫ل ُب ْ َوالل ُم َط ِممع َ ِلم‬
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka,” (QS. at-Taubah [9]: 103).
Dan Allah Swt. berfirman,
َ َ َّ ََ
‫اض َلَل َي ْ ُسبو ِ ْ ْ َد الل ِم ُ َو َْا تج ْي ُخ ْ ِْ ْن َشكاة‬ َّ ‫َو َْا َتج ْي ُخ ْ ْ ْن مبا ل َل ُُْب َو هب َأ ْْ َوال ال‬
‫ز‬
َ‫ِ ِ ِ ُ ُ ِ َن َ ْ َ ِ َّ َ ُ َ ُ ُ ُ ْ ُ ن‬
ِ
ٌ ٌ ‫ج ِسُدو وٰم الل ِم لأول ِئك م اْله ِعَلو‬
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah
harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa
yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang
melipatgandakan (pahalanya),” (QS. Ar-Ruum [30]: 39).

Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda,


“Barangsiapa yang bersedekah sesuatu senilai harga satu tamar (kurma
kering) dari hasil usaha yang halal, dan Allah tidak akan menerima
kecuali yang halal, maka Allah menerimanya dengan tangan kanan-Nya,
kemudian Dia memeliharanya untuk pelakunya sebagaimana seorang di
antara kamu memelihara anak kandungnya sampai seperti gunung.”

~ 147 ~
Bab VI: Zakat, Infaq, dan Sedekah

Kewajiban zakat atas muslim adalah di antara kebaikan Islam yang


menonjol dan perhatianya terhadap urusan para pemeluknya. Hal itu
karena begitu banyak manfaat zakat dan betapa besar kebutuhan orang-
orang fakir kepada zakat.

6.2. Infaq
6.2.1. Pengertian Infaq
Asal kata infaq yaitu anfaqa-yunfiqu-infaaqan yang bermakna
mengeluarkan atau membelanjakan harta. Infaq itu mengeluarkan harta
atau membelanjakannya, baik untuk kebaikan, donasi, atau sesuatu
yang bersifat untuk diri sendiri, atau bahkan keinginan dan kebutuhan
yang bersifat konsumtif. Semua masuk dalam istilah infaq.

6.2.2. Pengertian Infaq secara Bahasa dalam Al-Quran


a. Membelanjakan Harta
Allah berfirman, “Walaupun kamu membelanjakan semua yang berada
di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka,” (QS.
Al-Anfal [8]: 63).
Dalam terjemahan versi Departemen Agama RI tertulis kata
anfaqta dengan arti ‘membelanjakan„, bukan menginfakkan. Sebab,
memang asal kata infak adalah mengeluarkan harta, mendanai,
membelanjakan, secara umum apa saja. Tidak hanya terbatas di jalan
Allah, sosial atau donasi.

b. Memberi Nafkah
Kata infaq ini juga berlaku ketika seorang suami membiayai belanja
keluarga atau rumah tangganya. Dan istilah baku dalam bahasa
Indonesia sering disebut dengan nafkah. Kata nafkah tidak lain adalah

~ 148 ~
Bab VI: Zakat, Infaq, dan Sedekah

bentukan dari kata infak. Dan hal ini juga disebutkan di dalam Al-Quran
surat an-Nisa‘ ayat 34.
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena
mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka,” (QS. An-Nisa` [4]:
34).
Rasulullah saw. bersabda, “Uang Dinar yang engkau nafkahkan di
jalan Allah, uang Dinar yang engkau nafkahkan (untuk menebus) budak,
uang Dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan uang
Dinar yang engkau nafkahkan kepada keluargamu, maka yang paling
besar pahalanya (di antara semua itu) adalah yang engkau nafkahkan
kepada keluargamu,” (HR. Muslim).
Allah berfirman,
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak
berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di
tengah-tengah antara yang demikian,” (QS. Al-Furqan [25]: 67).

Orang yang beli minuman keras yang haram hukumnya bisa


disebut mengifakkan uangnya. Orang yang membayar pelacur untuk
berzina, juga bisa disebut menginfakkan uangnya. Demikian juga orang
yang menyuap atau menyogok pejabat juga bisa disebut menginfakkan
uangnya.

c. Mengeluarkan Zakat
Dan kata infak di dalam Al-Quran kadang juga dipakai untuk
mengeluarkan harta (zakat) atas hasil kerja dan hasil bumi (panen). Allah
berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, keluarkanlah zakat sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari
bumi untuk kamu,” (QS. Al-Baqarah [2]: 267).
~ 149 ~
Bab VI: Zakat, Infaq, dan Sedekah

Istilah infaq itu sangat luas cakupannya, bukan hanya dalam


masalah zakat atau sedekah, tetapi termasuk juga membelanjakan harta,
memberi nafkah bahkan juga mendanai suatu hal, baik bersifat ibadah
ataupun bukan ibadah. Termasuk yang halal atau yang haram, asalkan
membutuhkan dana dan dikeluarkan dana itu, semua termasuk dalam
istilah infak.

d. Harta yang dikeluarkan oleh orang kafir juga disebut infak


Termasuk dalam pengertian infaq adalah yang dikeluarkan orang-orang
kafir untuk kepentingan agamanya. Allah berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu menafkahkan harta mereka
untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan
harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan
dikalahkan. Dan ke dalam neraka Jahannamlah orang-orang yang kafir itu
dikumpulkan,” (QS. al-Anfal [8]: 36).

e. Harta yang Diinfaqkan


Dan kata infaq di dalam Al-Quran kadang juga dipakai untuk
mengeluarkan harta (zakat) atas hasil kerja dan hasil bumi (panen). Allah
berfirman,
ٌ ٌُ ‫ض‬ ْ َ ْ َ ْ ُ َ َ ْ َ ْ َ َّ َ ْ ُ ْ َ َ َ ِ ‫ين َتْ ُ وا َأ ْف َِل ُ وا ِْ ْن َط ّم َب‬
َ ‫َيا َأ ُّي َيا َّالر‬
ِ ‫اث ْا كظهخ و ِْما أاسٰ ا لِ ِْن ْلاز‬ ِ ِ
“Hai orang-orang yang beriman, keluarkanlah zakat sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari
bumi untuk kamu,” (QS. Al-Baqarah [2]: 267).

6.3. Sedekah
Pengertian Sedekah
Kata sedekah merupakan kata serapan dari bahasa Arab, yaitu ‫ صدخت‬.
Sedekah memiliki makna yang hampir mirip dengan istilah infak di atas,

~ 150 ~
Bab VI: Zakat, Infaq, dan Sedekah

tetapi lebih spesifik. Sedekah adalah membelanjakan harta atau


mengeluarkan dana dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah.
Ciri yang mencolok terkait dengan sedekah di antaranya:
1) Orang yang suka bersedekah adalah orang yang benar pengakuan
imannya.
2) Sedekah memiliki arti lebih luas menyangkut hal yang bersifal
materi dan nonmateri. Rasulullah saw. bersabda, “Setiap ruas yang
aktif dari kamu itu harus disedekahi. Maka, setiap tasbih itu nilainya
sedekah, setiap tahmid sedekah, setiap tahlil sedekah, setiap takbir
sedekah, dan amar makruf nahi munkar itu juga sedekah,” (HR.
Muslim).
Beda antara infaq dan sedekah dalam niat dan tujuan, di mana
sedekah itu sudah lebih jelas dan spesifik bahwa harta itu dikeluarkan
dalam rangka ibadah, sedangkan infak ada yang sifatnya ibadah
(mendekatkan diri kepada Allah) dan ada juga yang bukan ibadah.
Sedekah tidak bisa dipakai untuk membayar pelacur, membeli
minuman keras, atau menyogok pejabat. Sebab, sedekah hanya untuk
kepentingan mendekatkan diri kepada Allah semata. Lebih jauh, istilah
sedekah intinya mengeluarkan harta di jalan Allah. Ada yang hukumnya
wajib dan ada yang hukumnya sunah.[]

~ 151 ~
Bab VI: Zakat, Infaq, dan Sedekah

~ 152 ~
Bab VII: Haji dan Umrah

BAB VII
HAJI DAN UMRAH

7.1. Pendahuluan
Agama Islam bertugas mendidik zahir manusia, mensucikan jiwa
manusia, dan membebaskan diri manusia dari hawa nafsu. Dengan
ibadah yang tulus ikhlas dan akidah yang murni sesuai kehendak Allah,
insya Allah kita akan menjadi orang yang beruntung. Ibadah dalam
agama Islam banyak macamnya. Haji adalah salah satunya, yang
merupakan Rukun Iman yang kelima. Ibadah haji adalah ibadah yang
baik karena tidak hanya menahan hawa nafsu dan menggunakan tenaga
dalam mengerjakannya, namun juga semangat dan harta.
Dalam mengerjakan haji, kita menempuh jarak yang demikian
jauh untuk mencapai Baitullah, dengan segala kesukaran dan kesulitan
dalam perjalanan, berpisah dengan sanak keluarga dengan satu tujuan
untuk mencapai kepuasan batin dan kenikmatan rohani.
Untuk memperdalam pengetahuan kita, penulis mencoba
memberi penjelasan secara singkat mengenai pengertian haji dan
umrah, tujuan yang ingin kita capai dalam haji dan umrah, dasar hukum
perintah haji dan umrah, syarat, rukun dan wajib haji dan umrah serta
hal-hal yang dapat membatalkan haji dan umrah.

7.2. Makna Haji dan Umrah, Kedudukannya dalam Islam


Asal mula arti haji menurut lughah atau arti bahasa (etimologi) adalah
“al-qashdu” atau “menyengaja”. Sedangkan arti haji dilihat dari segi
~ 153 ~
Bab VII: Haji dan Umrah

istilah (terminologi) berarti bersengaja mendatangi Baitullah (Ka„bah)


untuk melakukan beberapa amal ibadah dengan tata cara yang tertentu
dan dilaksanakan pada waktu tertentu pula, menurut syarat-syarat yang
ditentukan oleh syara„, semata-mata mencari ridha Allah.
Adapun umrah menurut bahasa bermakna ‘ziarah„. Sedangkan
menurut syara„ umrah ialah menziarahi Ka„bah, melakukan thawaf di
sekelilingnya, bersa„i antara Shafa dan Marwah, serta mencukur atau
menggunting rambut dengan cara tertentu dan dapat dilaksanakan
setiap waktu.
Allah Swt. telah menjadikan Baitullah suatu tempat yang dituju
manusia pada setiap tahun.
Allah Swt. berfirman,
َْ َ َ َ ُ َ َْ ََ ْ ُ َ َّ ‫َوإ ْذ َج َع ْل َنا ْال َب ْي َت ََم َث َاب ًة ل‬
‫اس َوأ ْم ًنا َو َّات ِخذوا ِمنْ ْ مَنا ِ ِإبنه ِام م مًّنۖو ع ود ِنن ها‬ ‫لن‬
ُ ُّ َّ ُّ َ َ َ َ َ َّ َ ْ َ َ ّ َ ْ ِ َ َ َ ْ َ َ َ ْ ٰ ِ َ
ِ
َ ‫ود‬
َ ِ ‫اد ل أن ط ِنها ب ِتي ِللط ِائ ِفين والع ِاك ِفين والهك ِع السج‬ ِ ‫ِإلو ِإبه ِام م وِإسم‬
“Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat
berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah
sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan
kepada Ibrahim dan Ismail, ‘Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang
yang thawaf, yang i„tikaf, yang ruku„ dan yang sujud,„” (QS. Al-baqarah [2]:
125).

Baitullah adalah suatu tempat yang didatangi manusia pada setiap


tahun. Lazimnya mereka yang sudah pernah mengunjungi Baitullah,
timbul keinginannya untuk kembali lagi yang kedua kalinya.
Makna Hajjul baiti menurut syara„ ialah mengunjungi Baitullah
dengan sifat yang tertentu, di waktu yang tertentu, disertai dengan
perbuatan-perbuatan yang tertentu pula.

~ 154 ~
Bab VII: Haji dan Umrah

Para ulama telah mengkhususkan kalimat haji untuk


mengunjungi Ka„bah untuk menyelesaikan manasik haji (Pedoman Haji,
1998: 2).

7.3. Syarat-Rukun Haji dan Umrah


7.3.1. Syarat-Syarat Melakukan Haji
Adapun syarat-syarat wajib melakukan ibadah haji dan umrah adalah:
1) Islam
Beragama Islam merupakan syarat mutlak bagi orang yang akan
melaksanakan ibadah haji dan umrah. Karena itu, orang-orang kafir
tidak mempunyai kewajiban haji dan umrah. Demikian pula orang
yang murtad.
2) Baligh (dewasa)
Anak kecil tidak wajib haji dan umrah, sebagaimana dikatakan oleh
Nabi Muhammad saw., “Kalam dibebaskan dari mencatat atas anak
kecil sampai ia menjadi baligh, orang tidur sampai ia bangun, dan
orang yang gila sampai ia sembuh.”
3) Aqil (berakal sehat)
Orang yang tidak berakal, seperti orang gila, orang tolol juga tidak
wajib haji.
4) Merdeka
Bukanlah seorang budak, hamba sahaya.
5) Mampu (Istitha„ah)
Mampu mengerjakan haji dengan sendirinya, dengan beberapa
syarat sebagai berikut :
a. Mempunyai bekal yang cukup untuk pergi ke Mekah dan
kembalinya.
~ 155 ~
Bab VII: Haji dan Umrah

b. Ada kendaraan yang pantas dengan keadaannya, baik kepunyaan


sendiri ataupun dengan jalan menyewa.
c. Aman perjalanannya. Artinya, di masa itu biasanya orang-orang
yang melalui jalan itu selamat sentosa.

Syarat wajib haji bagi perempuan, hendaklah ia berjalan bersama-


sama dengan mahramnya, bersama-sama dengan suaminya, atau
bersama-sama dengan perempuan yang dipercayai (Fiqih Islam. 2001:
204-205).
Demikian pula kesehatan badan tentu saja bagi mereka yang
dekat dengan Mekah dan tempat-tempat sekitarnya yang bersangkut
paut dengan ibadah haji dan umrah, masalah kendaraan tidak menjadi
soal. Dengan berjalan kaki pun bisa dilakukan. Pengertian mampu ,
istitha„ah atau juga as-sabil (jalan, perjalanan), luas sekali, mencakup
juga kemampuan untuk duduk di atas kendaraan, adanya minyak atau
bahan bakar untuk kendaraan.
Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ad-Daru Quthni dari Anas
ra. terdapat percakapan sebagai berikut, yang artinya Rasulullah saw.
ditanya, “Apa yang dimaksud jalan (as-Sabil, mampu melakukan
perjalanan) itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu bekal dan
kendaraan.”
Sedangkan yang dimaksud bekal dalam Fathul Qarib disebutkan,
Dan diisyaratkan tentang bekal untuk pergi haji (sarana dan
prasarananya) hal mana telah tersebut di atas tadi, hendaklah sudah
(cukup) melebihi dari (untuk membayar) utangnya, dan dari (anggaran)
pembiayaan orang-orang, dimana biaya hidupnya menjadi tanggung
jawab orang yang hendak pergi haji tersebut. Selama masa
keberangkatannya dan (hingga sampai) sekembalinya (di tanah airnya).
Dan juga diisyaratkan harus melebihi dari (biaya pengadaan) rumah
~ 156 ~
Bab VII: Haji dan Umrah

tempat tinggalnya yang layak buat dirinya, dan (juga) melebihi dari
(biaya pengadaan) seorang budak yang layak buat dirinya (baik rumah,
dan budak disini, apabila benar-benar dibuktikan oleh orang tersebut)
(Fathhul Qarib, 1991 : 30)

7.4. Rukun-rukun Ibadah Haji dan Umrah


Rukun haji dan umrah merupakan ketentuan-ketentuan/perbuatan-
perbuatan yang wajib dikerjakan dalam ibadah haji apabila ditinggalkan,
meskipun hanya salah satunya, ibadah haji atau umrahnya itu tidak sah.
Adapun rukun-rukun haji dan umrah itu adalah sebagai berikut :
1) Ihram
Melaksanakan ihram disertai dengan niat ibadah haji dengan
memakai pakaian ihram.Pakaian ihram untuk pria terdiri dari dua
helai kain putih yang tak terjahit dan tidak bersambung semacam
sarung. Dipakai satu helai untuk selendang panjang serta satu helai
lainnya untuk kain panjang yang dililitkan sebagai penutup aurat.
Sedangkan pakaian ihram untuk kaum wanita adalah berpakaian
yang menutup aurat seperti halnya pakaian biasa (pakaian berjahit)
dengan muka dan telapak tangan tetap terbuka.
2) Wukuf di Arafah
Yakni menetap di Arafah, setelah condongnya matahari (ke arah
Barat) jatuh pada hari ke-9 bulan Dzulhijjah sampai terbit fajar pada
hari penyembelihan kurban yakni tanggal 10 Dzulhijjah.
3) Thawaf
Yang dimaksud dengan thawaf adalah mengelilingi Ka„bah sebayak
tujuh kali, dimulai dari tempat Hajar Aswad (batu hitam) tepat pada
garis lantai yang berwarna coklat, dengan posisi ka„bah berada di
sebelah kiri dirinya (kebalikan arah jarum jam).
(kumpulanmakalahpai haji)
~ 157 ~
Bab VII: Haji dan Umrah

Macam-macam Thawaf
Thawaf Qudum, yakni thawaf yang dilaksanakan saat baru tiba di
Masjidil Haram dari negerinya.
Thawaf Tamattu„, yakni thawaf yang dikerjakan untuk mencari
keutamaan (thawaf sunnah)
Thawaf Wada„, yakni thawaf yang dilaksanakan ketika akan
meninggalkan Mekah menuju tempat tinggalnya.
Thawaf Ifadhah (thawaf rukun), yakni thawaf yang dikerjakan setelah
kembali dari wukuf di Arafah. Thawaf Ifadhah merupakan salah satu
rukun dalam ibadah haji.

4) Sa„i
Sa„i adalah lari-lari kecil sebayak tujuh kali dimulai dari bukit Shafa
dan berakhir di bukit Marwah yang jaraknya sekitar 400 meter. Sa„i
dilakukan untuk melestarikan pengalaman Hajar, ibunda nabi Ismail
yang mondar-mandir saat ia mencari air untuk dirinya dan putranya,
karena usaha dan tawakalnya kepada Allah, akhirnya Allah
memberinya nikmat berupa mengalirnya mata air zam-zam.
Dalam sa„i harus diperhatikan ketentuan-ketentuan berikut :
a. Sa„i mesti dilakukan setelah melakukan thawaf, sebagaimnana
yang dicontohkan Nabi.
b. Tartib, dimulai dari Shafa. Jabir meriwayatkan bahwa Nabi
bersabda, “Kita mulai dari tempat yang Allah memulai dengan-
Nya, dan beliau memulai dari shafa hingga selesai dari sa„inya di
Marwah.”
c. Sa„i mesti dilakukan tujuh kali dengan ketentuan bahwa
perjalanan dari Shafa ke Marwah dihitung satu kali, dan
berikutnya dari Marwah ke shafa pun demikian ( Materi
Pendidikan Agama Islam, 2001 : 105).

~ 158 ~
Bab VII: Haji dan Umrah

5) Bercukur (tahallul)
Tahallul adalah menghalalkan pada dirinya apa yang sebelumnya
diharamkan bagi dirinya karena sedang ihram. Tahallul ditandai
dengan memotong rambut kepala beberapa helai atau mencukurnya
sampai habis (lebih afdhal).
6) Tertib Berurutan
Sedangkan Rukun dalam umrah sama dengan haji yang
membedakan adalah dalam umrah tidak terdapat wukuf.
7.5. Wajib Haji dan Umrah
Wajib haji dan umrah adalah ketentuan-ketentuan yang wajib
dikerjakan dalam ibadah haji dan umrah tetapi jika tidak dikerjakan haji
dan umrah tetap sah namun harus mambayar dam atau denda.
Adapun Wajib-wajib haji adalah:
7.5.1. Ihram dari miqat
Dalam melaksanakan ihram ada ketentuan kapan pakaian ihram
itu dikenakan dan dari tempat manakah ihram itu harus dimulai.
Persoalan yang membicarakan tentang kapan dan dimana ihram
tersebut dikenakan disebut miqat atau batas yaitu batas-batas
peribadatan bagi ibadah haji dan atau umrah.

Macam-macam Miqat Menurut Fathul Qarib


1) Miqat zamani (batas waktu)
pada konteks (yang berkaitan) untuk memulai niat ibadah haji,adalah
bulan Syawal, Dzulqa„dah dan 10 malam dari bulan Dzilhijjah
(hingga sampai malam hari raya qurban). Adapun (miqat zamani)
pada konteks untuk niat melaksanakan “Umrah” maka sepanjang
tahun itu, waktu untuk melaksanakan ihram umrah.

~ 159 ~
Bab VII: Haji dan Umrah

2) Miqat makany (batas yang berkaitan dengan tempat)


untuk dimulainya niat haji bagi hak orang yang bermukim (menetap)
di negeri Mekah, ialah kota Mekah itu sendiri, baik orang itu
penduduk asli Mekah, atau orang perantauan. Adapun bagi orang
yang tidak menetap di negeri Mekah, maka :
a. Orang yang (datang) dari arah kota Madinah as-Syarifah, maka
miqatnya ialah berada di (daerah) “Dzul Halifah”.
b. Orang yang (datang) dari arah negeri Syam (syiria), Mesir dan
Maghribi, maka miqatnya ialah di (daerah) “Juhfah”.
c. Orang yang (datang) dari arah Thihamatil Yaman, maka miqatnya
berada di daerah “Yulamlam”.
d. Orang yang (datang) dari arah daerah dataran tinggi Hijaz dan
daerah dataran tinggi Yaman, maka miqatnya ialah berada di
bukit “Qaarn”.
e. Orang yang (datang) dari arah negeri Masyrik, maka miqatnya
berada di desa “Dzatu “Irq” (Fathul Qarib, 1991 : 35)

7.5.2. Ketentuan tempat (tempat makani) :


1) Mekah, miqat (tempat ihram) orang yang tinggal di Mekah, berarti
orang yang tinggal di Mekah hendaklah ihram dari rumah masing-
masing.
2) Zul-hulaifah, miqat (tempat ihram) yang datang dari pihak Madinah
dan negeri-negeri sejajar dengan Madinah.
3) Juhfah, miqat (tempat ihram) orang yang datang dari sebelah Syam,
Mesir, dan negeri-negeri yang sejajar dengan negeri-negeri tersebut.
Juhfah nama suatu kampung di antara Mekah dan Madinah,
kampung itu sekarang telah rusak (roboh), kampung yang dekat
kepadanya ialah : ‟Rabigh”.

~ 160 ~
Bab VII: Haji dan Umrah

4) Yalamlam (nama suatu bukit dari beberapa bukit tuhamah). Bukit ini,
miqat orang yang datang dari sebelah Yaman, India, Indonesia, dan
negeri-negeri yang sejalan dengan negeri-negeri tersebut.
5) Qarnu (nama sebuah bukit, jauh dari Mekah kira-kira 80,640 km).
Bukit ini, miqat orang yang datang dari sebelah Najdil-Yaman dan
Najdil-hijaz dan orang-orang yang datang dari negeri-negeri yang
sejalan dengan itu.
6) Zatu„irqain (nama kampung yang jauhnya dari Mekah kira-kira
80,640 km). Kampung ini, miqat orang yang datang dari Iraq dan
negeri-negeri yang sejalan dengan itu.
7) Adapun bagi penduduk negeri-negeri yang di antara Mekah dan
miqat-miqat tersebut maka mikat mereka negeri masing-masing.
(Fiqih Islam, 1954 : 204-205)

7.5.3. Melempar Jumrah


Wajib haji yang ketiga adalah melempar jumrah “Aqabah”, yang
dilaksanakan pada tanggal 10 Dzulhijjah, sesudah bermalam di
Mudzalifah. Jumrah sendiri artinya bata kecil atau kerikil, yaitu kerikil
yang dipergunakan untuk melempar tugu yang ada di daerah Mina.
Tugu yang ada di Mina itu ada tiga buah, yang dikenal dengan nama
jamratul„Aqabah, Al-Wustha, dan ash-Shughra (yang kecil). Ketiga tugu
ini menandai tepat berdirinya ‘Ifrit (iblis) ketika menggoda nabi Ibrahim
sewaktu akan melaksanakan perintah menyembeliih putra tersayangnya
Ismail a.s. di jabal-qurban semata-mata karena mentaati perintah Allah
Swt.
Di antara ketiga tugu tersebut maka tugu jumratul ‘Aqabah atau
sering juga disebut sebagai jumratul-kubra adalah tugu yang terbesar
dan terpenting yang wajib untuk dilempari dengan tujuh buah kerikil
pada tanggal 10 Dzulhijjah.

~ 161 ~
Bab VII: Haji dan Umrah

7.5.4. Mabit di Mudzalifah


Wajib haji yang kedua adalah bermalam (mabit) di mudzalifah pada
malam tanggal 10 Dzulhijjah, sesudah menjalankan wuquf di Arafah.

7.5.5. Mabit di Mina


Wajib haji keempat adalah bermalam (mabid) di mina pada hari Tasyrik,
yaitu pada tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah.

7.5.6. Thawaf Wada’


Thawaf Wada„ yakni thawaf yang dilaksanakan ketika akan
meninggalkan Mekah menuju tempat tinggalnya. (Bimbingan Manasik
Ziarah dan Perjalanan Haji, 1989 : 44-47)

Sedangkan wajib umrah adalah sebagai berikut:


1) Ihram dari tempat yang telah ditentukan (miqat makani). Sedang
miqat zamaninya tidak ditentukan karena ibadah umrah dapat
dikerjakan sepanjang tahun.
2) umrah atau haji.

7.6. Yang Membatalkan Haji dan umrah


Beberapa larangan dalam haji yaitu :
1) Bersetubuh, bermesra-mesraan, berbuat maksiat, dan bertengkar
dalam haji.
2) Dilarang menikah dan menikahkan (menjadi wali).
3) Dilarang memakai pakaian yang di jahit, harum-haruman (minyak
wangi), memakai kain yang di celup, menutup kepala, memakai
sepatu yang menutup mata kaki. Adapun kaum wanita, mereka boleh
memakai pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya, kecuali dan
kedua telapak tangannya. Yang haram bagi mereka bagi mereka

~ 162 ~
Bab VII: Haji dan Umrah

hanya kaos tangan dan pakaina yang telah di celup dengan celupan
yang berbau harum.
4) Perempuan dilarang menutup muka dan kedua telapak tangan.
5) Dilarang menghilangkan rambut dan bulu badan, memotong kuku
selama haji, kecuali sakit tetapi wajib membayar dam.
6) Dilarang berburu atau membunuh binatang liar yang halal di makan.

7.7. Dam
7.7.1. Jenis-jenis Dam yaitu :
1) Dam (denda) karena memilih tamattu„ atau qiran. Dendanya ialah
menyembelih seekor kambing (qurban), dan bila tidak dapat
menyembelih kurban, maka wajib puasa tiga hari pada masa haji dan
tujuh hari setelah pulang ke negerinya masing-masing.
2) Dam (denda) meninggalkan ihram dari miqatnya, tidak melempar
jumrah, tidak bermalam di Muzdalifah dan mina, meninggalkan
tawaf wada„, terlambat wukuf di arafah, dendanya ialah memotong
seekor kambing kurban.
3) Dam (denda) karena bersetubuh sebelum tahallul pertama, yang
membatalkan haji dan umrah. Dendanya menurut sebagian ulama
ialah menyembelih seekor unta, kalau tidak sanggup maka seekor
sapi, kalau tidak sanggup juga, maka dengan makanan seharga unta
yang di sedekahkan kepada fakir miskin di tanah haram, atau puasa
sehari untuk tiap-tiap seperempat gantang makanan dari harga unta
tersebut.
4) Dam (denda) karena mengerjakan hal-hal yang di larang selagi ihram,
yaitu bercukur, memotong kuku, berminyak, berpakaian yang di jahit,
bersetubuh setelah tahallul pertama. Dendanya boleh memilih
diantara tiga, yaitu menyembelih seekor kambing, kerbau, puasa tiga
hari atau sedekah makanan untuk 6 orang miskin sebanyak 3 sha„
(kurang lenih 9,5 liter).
~ 163 ~
Bab VII: Haji dan Umrah

5) Orang yang membunuh binatang buruan wajib membayar denda


dengan ternak yang sama dengan ternak yang ia bunuh.
6) Dam sebab terlambat sehingga tidak bisa meneruskan ibadah haji
atau umrah, baik terhalang di tanah suci atau tanah halal, maka
bayarlah dam (denda) menyembelih seekor kambing dan berniatlah
tahallul (menghalalkan yang haram) dan bercukur di tempat
terlambat itu. (Fiqih Ibadah, 1998 : 50-57 )

7.8. Hikmah Haji dan Umrah


Ada beberapa hikmah yang dapat diambil dari pelaksanaan haji dan
umrah, baik dari aspek waktu maupun pelaksanaannya. Di antara
hikmah-hikmahnya adalah sebagai berikut :
1. Dalam pelaksanaan ihram, manusia dilatih untuk dapat
mengendalikan hawa nafsu, khususnya syahwat, perbuatan-
perbuatan dosa, dan hal-hal yang menyenangkan dirinya (hedonis).
2. Dalam pelaksanaan thawaf, Ka„bah merupakan simbol monoteisme
(tauhid). Melakukan thawaf di sekeliling Ka„bah merupakan simbol
bahwa segala usaha kegiatan hidup manusia didunia ini tidak akan
pernah lepas dari pengawasan dan kekuasaan Allah. Dengan dzikir
ketika thawaf yang disertai penghayatan yang mendalam, diharapkan
akan tertanam dalam jiwa orang yang membacanya kesadaran
bahwa manusia itu sangat lemah. Di sini orang akan menganggap
bahwa manusia tidak layak berlaku sombong dan angkuh.
3. Ibadah sa„i antara Shafa dan Marwah mengingatkan sejarah
perjuangan Siti Hajar ketika mencari air. Ini mengisyaratkan bahwa
orang yang haji diharapkan memiliki etos kerja tinggi, tidak boleh
berpangku tangan, mengharap rezeki datang dari langit.
4. Wukuf di Arafah bisa disebut sebagai malam perenungan. Arafah
sendiri berarti pengalaman. Maksudnya, orang yang melakukan haji
~ 164 ~
Bab VII: Haji dan Umrah

dan umrah diharapkan dapat mengenal jati dirinya, menyadari segala


kesalahannya dan bertekad untuk tidak mengulanginya.
5. Melempar jumrah terkait erat dengan kisah ibrahim ketika melempar
setan. Hal ini dimaksudkan agar orang yang melakukan haji dan
umrah memiliki tekad dan semangat untuk tidak terbujuk rayuan
setan yang merusak dunia ini.
6. Bermalam di mina dan muzdalifah dan diistilahkan malam istirahat
dari rangkaian ibadah haji. Disini orang dapat memulihkan kondisi
yang sangat lelah. Ini sebagai isyarat bahwa manusia memerlukan
waktu istirahat dalam hidup, tidak selamanya bekerja sampai tidak
ingat menjaga kondisi badan.
7. Dalam tahallul terkadang ajaran agar manusia mampu
mengendalikan sifat pembawaannya. Tahallul diibaratkan sebagai
lampu hijau yang mengisyaratkan kendaraan boleh berjalan kembali
setelah untuk sementara diharuskan berhenti.
8. Khusus untuk ibadah umrah, ibadah ini memberi kesempatan yang
sangat leluasa kepada kaum muslimin untuk mengunjungi Ka„bah
karena waktunya tidak ditentukan (Materi Pendidikan agama islam,
2001 : 115-116). []

~ 165 ~
Bab VII: Haji dan Umrah

~ 166 ~
Bab VIII: Pernikahan

BAB VIII
PERNIKAHAN

8.1. Pengertian Nikah .


Kata nikah berasal dari bahasa Arab. Nikah adalah melakukan akad
perjanjian dengan beberapa syarat dan rukun.

8.2. Hukum dan Alasan Nikah


Menurut sebagian besar ulama, hukum asal nikah adalah mubah, artinya
boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Meskipun demikian ditinjau
dari segi kondisi orang yang akan melakukan pernikahan, hukum nikah
dapat berubah menjadi wajib, sunat, makruh dan haram. Adapun
penjelasannya adalah sebagi berikut :
Mubah, artinya dibolehkan dan inilah yang menjadi dasar hukum
nikah.
Wajib, yaitu orang yang telah mampu/sanggup menikah
sedangkan bila tidak menikah khawatir akan terjerumus ke dalam
perzinaan.
Sunah, yaitu orang yang sudah mampu menikah namun masih
sanggup mengendalikan dirinya dari godaan yang menjurus kepada
perzinaan.
Makruh, yaitu orang yang akan melakukan pernikahan dan telah
memiliki keinginan atau hasrat tetapi ia belum mempunyai bekal untuk
memberikan nafkah tanggungan-nya.

~ 167 ~
Bab VIII: Pernikahan

Haram, yaitu orang yang akan melakukan perkawinan tetapi ia


mempunyai niat yang buruk, seperti niat menyakiti perempuan atau niat
buruk lainnya.

8.3. Syarat Sah Nikah .


Setiap akad pernikahan dilakukan harus dengan beberapa syarat. Jika
syarat–syarat ini tidak dipenuhi maka akad tersebut tidak sah. Syarat
sahnya akad nikah yaitu: (1) pengantin laki-laki, (2) pengantin
perempuan, (3) wali, (4) dua orang saksi dan (5) ijab qobul.
Rasulullah saw. bersabda, ―Tidak sah suatu pernikahan melainkan
dengan seorang wali dan dua orang saksi. Setiap pernikahan selain itu
maka pernikahannya batal.‖
Wali nikah dan saksi harus memenuhi enam syarat. Jika tidak
maka pernikahannya tidak sah. Syarat wali dan saksi ialah beragama
Islam, sudah dewasa, sehat jasmani rohani (sehat akal), laki laki, dan ahli
ibadah (tidak fasik).

8.4. Mahram
Menurut pengertian bahasa mahram berarti yang diharamkan. Menurut
Istilah dalam ilmu fikih mahram adalah wanita yang haram dinikahi.
Penyebab wanita haram dinikahi ada 4 macam:
1) Wanita yang haram dinikahi karena keturunan
a. Ibu kandung dan seterusnya ke atas (nenek dari ibu dan nenek
dari ayah).
b. Anak perempuan kandung dan seterusnya ke bawah (cucu dan
seterusnya).
c. Saudara perempuan sekandung (sekandung, sebapak atau seibu).
d. Saudara perempuan dari bapak.
e. Saudara perempuan dari ibu.
~ 168 ~
Bab VIII: Pernikahan

f. Anak perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya ke bawah.


g. Anak perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya ke
bawah.
2) Wanita yang haram dinikahi karena hubungan sesusuan
a. Ibu yang menyusui.
b. Saudara perempuan sesusuan
3) Wanita yang haram dinikahi karena perkawinan
a. Ibu dari istri (mertua).
b. Anak tiri (anak dari istri dengan suami lain) apabila suami sudah
kumpul dengan ibunya.
c. Ibu tiri (istri dari ayah) baik sudah dicerai atau belum.
Allah Swt. berfirman,
ً َ َ َ َ ُ ‫ََ َْ ُ َ َ َ َ َ ُ ُ ْ َ ّ َ ا َ َ ْ َ َ َ ا‬
‫ان ف ِاحشة‬ ‫اليس ِاء ِئَل ما قد سلف ۚ ِئهه ك‬ ً‫وَل تى ِكحىا ما هكح آباؤكم م‬
ً َ َ َ َ ِ ً ْ َ َِ
‫يل ا‬
‫ومقتا وساء س ِب ا‬
―Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh
ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya
perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan
(yang ditempuh),‖ (QS. An-Nisa [4]: 22).

d. Menantu (istri dari anak laki-laki), baik sudah dicerai maupun


belum.
4) Wanita yang haram dinikahi karena mempunyai pertalian mahram
dengan istri.
Misalnya, haram melakukan poligami (memperistri sekaligus)
terhadap dua orang bersaudara, terhadap perempuan dengan
bibinya, terhadap seorang perempuan dengan kemenakannya.
َْ ُ َََ ْ ُ ُ َ َ َ ْ ُ ُ ‫ُ َّ ْ ََ ْ ُ ْ ُا َ ُ ُ ْ َََ ُ ُ ْ ََ َ َ ُ ُ ْ َ َ ا‬
ُِ َ ‫تاخ‬ ُ َ ‫تاَل ات َكم َووى ت ت‬‫ح ِسمت تتَ ُكل ت تتيكم ُْمبت تتاتكم ووى ت تتاتك َم وْْ ت تتىاتكم َ وك ت تتاتكم وْ ت ت‬
ُُ َ َُ َ ْ ‫ُُ ا‬ ْ ْ ُ َََ
‫ْ ت ت ْترىك ْم َوْْ ت ت َتىاتك ْم ِم ت ت َتً السْ ت تتاك ِة وْمب ت ت َتاخ‬
‫ا‬ ‫ا‬ ‫ز‬ ْ ‫تاخ ْ ت ت ِتَ َوْ ام َب ت تتاتك ُم الل ِو ت تتا‬ ‫ووى ت ت‬
ْ‫الل ِوتتا ََّ َْ ْلت ُتت ْم ت اتً َفتتا ْن لتتم‬
‫ُ ُ ُ ْ ْ َ ُ ُ ا‬
‫تىزكم ِمتتً ِوست ِتاككم‬
‫َ ُ ْ َََ ُُ ُ ا‬
ِ ِِ ِ ‫ِوست ِتاككم وزوت ِتاكمكم الل ِوتتا ِجتتِ ُْت‬
~ 169 ~
Bab VIII: Pernikahan
َ ُ َ َ َ ‫تاْ َك َلت ْتي ُك ْم َو َح َلكت ُتك َْ ْب َىتتاك ُك ُم االتتر‬
َ ‫َت ُك ُىهتتىا َاَّ َْ ْلت ُتت ْم ت اتً َفت َتل َُ َىت‬
‫ًِ ِمت ْتً ْ ْ تتل ِبك ْم َوْ ْن‬ ِ ِ ِ
ً ‫ان َغ ُف‬َ ‫الل َه َك‬ ‫َ ْ َ ُ َ ْ َ ْ ُ ِِْ َ ْ ا َ َ ْ َ َ َ ا ا‬
‫ىزا َز ِحي ً ا ا‬ ‫تج رىا بين ْتي ِن ِئَل ما قد سلف ۗ ِئن‬
―Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu
(mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang
telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu
(dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya;
(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan
menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang,‖ (QS. An-Nisa [4]: 23).

Wali nikah dibagi menjadi 2 macam, yaitu wali nasab dan wali
hakim. Wali nasab yaitu wali yang mempunyai pertalian darah dengan
mempelai wanita yang akan dinikahkan. Adapun Susunan urutan wali
nasab adalah sebagai berikut:
1) Ayah kandung, ayah tiri tidak sah jadi wali;
2) kakek (ayah dari ayah mempelai perempuan) dan seterusnya ke atas;
3) saudara laki-laki sekandung;
4) saudara laki-laki seayah;
5) anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung;
6) anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah;
7) saudara laki-laki ayah yang seayah dengan ayah;
8) anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah yang sekandung dengan
ayah;
9) anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah yang seayah dengan ayah

~ 170 ~
Bab VIII: Pernikahan

Sementara itu, wali hakim adalah seorang kepala negara yang


beragama Islam. Di Indonesia, wewenang presiden sebagai wali hakim
dilimpahkan kepada pembantunya yaitu menteri agama. Kemudian,
menteri agama mengangkat pembantunya untuk bertindak sebagai wali
hakim, yaitu kepala kantor urusan agama Islam yang berada di setiap
kecamatan. Wali hakim bertindak sebagai wali nikah apabila memenuhi
kondisi sebagai berikut:
1) Wali nasab benar-benar tidak ada;
2) wali yang lebih dekat (aqrab) tidak memenuhi syarat dan wali yang
lebih jauh (ab‗ad) tidak ada. Wali aqrab bepergian jauh dan tidak
memberi kuasa kepada wali nasab.
Wali hakim berhak untuk bertindak sebagai wali nikah, sesuai
dengan sabda Rasulullah saw. Diriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa
Rasulullah saw. bersabda, ―Tidak sah nikah seseorang kecuali dengan
wali dan dua orang saksi yang adil. Jika wali-wali itu menolak jadi wali
nikah maka sulthan (wali hakim) bertindak sebagai wali bagi orang yang
tidak mempunyai wali,‖ (HR. Darulquthni).

8.5. Rukun Nikah .


Rukun nikah harus ada dalam akad pernikahan dan merupakan inti
pernikahan, ialah ijab dan qabul. Ijab adalah ucapan penyerahan yang
diucap oleh wali dan qabul ialah ucapan penerimaan yang diucap oleh
calon suami.
Ucapan ijab dan qabul sah jika memenuhi lima syarat, yaitu:
1) Ijab harus dengan ucapan khusus, yaitu: ―Wahai saudara …….. Saya
nikahkan engkau dan aku kawinkan engkau kepada putri kandung
saya dengan mas kawin sejumlah ….. tunai;
2) harus dilakukan dalam satu majelis;
3) tidak boleh menyalahi kalimat ijab dan qabul;
~ 171 ~
Bab VIII: Pernikahan

4) ucapannya didengar saksi dan yang beraqad;


5) tidak ada ikatan dengan waktu tertentu.
8.6. Tata Cara Meminang
Al-Khitbah dengan dikasrah huruf khonya berarti pendahuluan
pernikahan, ikatan yang maknanya permintaan seorang laki-laki pada
wanita untuk dinikahi. Dan hal ini pada umumnya ada pada laki-laki.
Maka, yang memulai disebut ―khathaban‖ (yang meminang) sedang
yang lain disebut ―makhthuuban‖ (yang dipinang).
Meminang itu sunah sebelum akad nikah, karena Nabi
Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam meminang untuk dirinya dan
untuk yang lain. Dan tujuan meminang yaitu mengetahui pendapat yang
dipinang, apakah ada yang setuju atau tidak. Demikian juga untuk
mengetahui pendapat walinya.
Setelah seseorang mengetahui keadaan si wanita dan mantap
untuk menjadikannya sebagai istri, dilakukanlah tahap khitbah. Khitbah
adalah seorang pria meminta wanita dari walinya dengan tujuan
menikahinya. Permintaan ini harus diungkapkan dengan jelas, seperti,
―Saya ingin menikahi putri Bapak‖ atau ―Saya ingin putri Bapak menjadi
istri saya‖.
Khitbah bertujuan mengetahui persetujuan si wanita dan walinya,
karena keridhaan si wanita dan izin walinya adalah rukun pernikahan.
Tidak sah pernikahan tanpa dua hal tersebut.
Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam melarang menikahi seorang
wanita tanpa izinnya. Beliau bersabda, ―Janda tidak boleh dinikahkan
sehingga ia diajak musyawarah, sedangkan seorang gadis tidak boleh
dinikahkan hingga dimintai izin.‖ Para sahabat bertanya, ―Wahai
Rasulullah, bagaimana izinnya?‖ Beliau bersabda, ‖(Izinnya adalah)
diamnya,‖ (HR. Bukhari).
~ 172 ~
Bab VIII: Pernikahan

Dari hadis ini diketahui bahwa seorang janda harus dimintai


persetujuannya secara terang-terangan oleh walinya ketika hendak
dinikahkan. Adapun gadis, persetujuannya cukup dengan diamnya
karena seringnya gadis itu malu untuk menyatakan izin terang-terangan.
Namun, harus diperhatikan bahwa diamnya itu karena ridha, bukan
karena menolak. Hal itu biasanya tidak akan samar bagi walinya dan
akan tampak tanda-tandanya. Adapun tentang disyaratkannya
persetujuan wali, Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, ―Tidak ada
(tidak sah) nikah tanpa wali,‖ (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai,
dan Ibnu Majah).
Khitbah bisa berbeda-beda caranya sesuai dengan situasi dan
kondisi. Bisa dengan cara si pria mendatangi sendiri wali si wanita, lalu
menyatakan niatnya; bisa dengan cara mengutus utusan, dan bisa juga
melalui surat. Si pria boleh memilih cara yang memungkinkan baginya
atau yang sesuai dengan keadaan setempat.
Jika pria yang meminang ingin mengurungkan niatnya untuk
menikah, hendaknya dia mengabarkan hal itu dengan penuh adab dan
sopan santun serta tidak menyiarkan pengunduran dirinya. Hal ini
dilakukan agar tidak melukai hati si wanita dan keluarganya.

8.6.1. Salah Kaprah yang Terjadi setelah Pinangan Diterima


Banyak kaum muslimin yang masih salah memahami makna khitbah.
Mereka menganggap si wanita menjadi milik si pria setelah khitbah
diterima, sehingga keduanya diizinkan berdua-duan, makan bersama,
pulang dan pergi bersama, begadang bersama, dan seterusnya. Menurut
mereka, semua itu agar keduanya bisa saling mempelajari akhlak
pasangannya supaya pernikahan mereka berdua bahagia.
Subhanallah (Mahasuci Allah)! Bagaimana mungkin cara tersebut
akan mendatangkan kebahagiaan jika syariat Allah yang mulia
~ 173 ~
Bab VIII: Pernikahan

dilanggar? Sungguh, ini kekeliruan yang besar dan berbahaya. Pada


hakikatnya, si wanita tetap haram bagi si pria hingga akad nikah
terlaksana. Semua hukum yang terkait dengan wanita bukan mahram
tetap berlaku padanya.
Kenyataan yang terjadi, pada masa perkenalan yang tidak syar‗i
itu setiap pihak akan berlaku semanis mungkin di depan pasangannya
dan menampakkan segala sisi yang bagus saja. Hakikat asli baru akan
tampak setelah mereka menikah, karena tidak mungkin seseorang terus
berpura-pura. Bisakah seseorang mempelajari dan mengetahui dengan
benar akhlak pasangannya dengan cara seperti itu? Yang lebih
mengerikan, cara yang tidak syar‗i tersebut menyebabkan banyak wanita
hamil sebelum akad nikah. Wallahul musta‗an . Nyatalah bahwa itu
adalah kesalahan fatal. Itu adat buruk orang-orang kafir. Tidak
sepantasnya kaum muslimin membebek kepada mereka setelah
meyakini kebenaran agama yang sempurna ini, yang telah diridhai oleh
Allah.
Menempuh jalan yang disyariatkan dalam seluruh tahapan proses
pernikahan akan mengantarkan keduanya menuju bahtera rumah
tangga yang bahagia dengan taufik Allah subhanahu wa ta‗ala di bawah
naungan ridha-Nya. Adapun cara-cara yang lain hanya berujung
penyesalan.

8.6.2. Cincin Pertunangan


Beredar kebiasaan di tengah-tengah kaum muslimin, saat pria
meminang wanita, keduanya saling memakaikan cincin pertunangan di
jari pasangannya. Mengenai hal ini, asy-Syaikh Shalih al-Fauzan berkata,
―Mengenakan cincin pertunangan bukanlah kebiasaan kaum muslimin.
Jika diyakini bahwa cincin itu bisa menumbuhkan cinta antara pasangan
suami istri dan tidak memakainya akan memengaruhi keharmonisan

~ 174 ~
Bab VIII: Pernikahan

hubungan mereka, hal ini terhitung kesyirikan (yang pelakunya akan


diazab di neraka). Hal ini termasuk keyakinan jahiliah.
Oleh karena itu, cincin pertunangan tidak boleh sama sekali
dipakai karena tindakan tersebut adalah perbuatan membebek kepada
orang-orang yang tidak ada kebaikan sama sekali pada mereka. Itu
adalah adat (asing) yang datang kepada kaum muslimin, bukan adat
kaum muslimin. Jika disertai keyakinan bisa memengaruhi
keharmonisan suami istri, pemakaian cincin tersebut termasuk
kesyirikan. Wala haula wala quwwata illa billah,‖ (al–Muntaqa min
Fatawa Fadhilatisy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah al–Fauzan).

8.6.3. Larangan bagi Pria Meminang Wanita yang Sedang Dipinang


oleh Saudaranya Sesama Muslim
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam melarang pria muslim meminang
wanita yang sedang dipinang oleh saudaranya sesama muslim. Sebab,
hal ini mengandung kezaliman dan tidak menghargai hak saudaranya,
sehingga bisa mengundang permusuhan dan kebencian. Beliau
bersabda, ―Janganlah salah seorang dari kalian meminang (wanita) yang
telah dilamar oleh saudaranya, hingga pelamar sebelumnya
meninggalkan si wanita atau memberi izin kepadanya,‖ (Muttafaqun
‘alaihi).
Jika seorang pria muslim telah meminang si wanita, pria lain tidak
boleh meminangnya, kecuali pada salah satu dari tiga keadaan berikut.
1) Diketahui dengan jelas bahwa pelamar pertama ditolak;
2) pelamar pertama meninggalkan lamarannya;
3) pelamar pertama memberi izin kepada pria kedua untuk meminang,
yang hal ini berarti pelamar pertama mengundurkan diri.
Adapun kisah Fathimah bintu Qais radhiyallahu ‘anha yang meminta
nasihat kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam tatkala dilamar
~ 175 ~
Bab VIII: Pernikahan

oleh tiga sahabat mulia, yaitu Abu Jahm, Mu‗awiyah, dan Usamah
radhiyallahu ‘anhum, hal ini dibawa kepada pemahaman bahwa para
sahabat tersebut tidak saling mengetahui lamaran saudaranya.
Wali boleh menawarkan putrinya kepada pria yang saleh untuk
dinikahkan dengannya, sebagaimana yang dilakukan oleh ‘Umar bin al-
Khaththab radhiyallahu ‘anhu terhadap putrinya, Hafshah radhiyallahu
‘anha. ‘Umar menawarkan Hafshah kepada ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu,
tetapi ‘Utsman belum berhasrat untuk menikah lagi. Kemudian, ‘Umar
menawarkannya kepada Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu, tetapi Abu Bakr
tidak memberikan keputusan—karena menjaga rahasia Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wassalam. Kemudian, datanglah Rasulullah shalallahu
‘alaihi wassalam meminang Hafshah dan menikahinya.
Meminang itu akan mengungkap keadaan, sikap wanita itu dan
keluarganya. Dimana kecocokan dua unsur ini dituntut sebelum akad
nikah, dan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang menikahi
seorang wanita kecuali dengan izin wanita tersebut, sebagaimana
diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu berkata, telah bersabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam,
―Tidak dinikahi seorang janda kecuali sampai dia minta dan tidak
dinikahi seorang gadis sampai dia mengizinkan (sesuai kemauannya).‖
Mereka bertanya, ―Ya Rasulullah, bagaimana izinnya?‖ Beliau menjawab
―Jika dia diam.‖
Maka, bila janda dikuatkan dengan musyawarahnya dan wali
butuh pada kesepakatan yang terang-terangan untuk menikah. Adapun
gadis, wali harus minta izinnya, artinya dia dimintai izin/pertimbangan
untuk menikah dan tidak dibebani dengan jawaban yang terang-
terangan untuk menunjukkan keridhaannya, tetapi cukup dengan
diamnya, sungguh dia malu untuk menjawab dengan terang-terangan.
Dan makna ini juga terdapat dalam hadis ‘Aisyah radhiallahu ‘anha
~ 176 ~
Bab VIII: Pernikahan

bahwa beliau berkata ―Ya Rasulullah, sesungguhnya gadis itu akan


malu‖, maka beliau bersabda, ―Ridhanya ialah diamnya,‖ (HR. Bukhari
dan Muslim).
Akan tetapi, hendaknya diyakinkan bahwa diamnya adalah diam
ridha, bukan diam menolak, dan itu harus diketahui oleh walinya
dengan melihat kenyataan dan tanda-tandanya. Dan perkara ini tidak
samar lagi bagi wali pada umumnya. Adapun kesepakatan wali dari
pihak wanita itu merupakan perkara yang harus dan merupakan syarat
dalam nikah menurut jumhur ulama karena jelasnya hadis dari Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda, ―Tidak ada nikah kecuali
dengan wali,‖ (HR. Ahmad dan Ashhabus Sunan).
Jumhur mengambil dalil atas syarat ridhanya wali dengan firman
Allah subhanahu wa ta‗ala,
َ
‫اَ ُب ت ت اتً ِئذا‬َ ‫ىِ اً َْ ْن َِت ت ْتىك ْح ًَ َْ ْش َو‬ ُ ‫الي َست ت َتاء َفت ت َتم َل َْل ًَ َْ ََ َل ُبت ت اتً َفت ت َتل َو ْر‬
ُ ‫وت ت ُتل‬ ّ ُ ُ ْ ‫َ َ َا‬
‫وئذا طلقت تتتم‬
ِ ُ َ ْ ِ ْ ُ َ ْ َ ْ َ َِ َ
ْ‫الل تته َو ْال َي تتى‬
‫َ ْ َ َ ُْ ْ ُ ْ ُ ا‬ ُ َ ُ َ َ ُ ْ
ِ ِ ‫ت ْساْ تتى َُا ب ُي تتِ َم ْ َِب تتا َ ُرسو ِ َ ۗ ْ ذ ِل تتم ِ ات ُتىك َ ِب ت ِته َ ْم ُ تتً َك ت َتان َ ِم تتى َكم ِ تتإ ِمً ِب‬
‫ْلا ِْ ِس ۗ ذ ِلك ْم ْشك ُى لك ْم َوْط َب ُس ۗ َوالله َي ْرل ُم َوْهت ْم َل و ْرل ُ ى ان ا‬
―Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis masa iddahnya, maka
janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal
suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara
yang ma‗ruf. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang yang beriman
di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan
lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui,‖ (QS. Al-
Baqarah [2]: 232).

Artinya, jangan kau cegah wanita yang tercerai untuk kembali ke


pangkuan suaminya, karena dia lebih berhak untuk ruju‗ jika
memungkinkan secara syariat. Telah berkata Imam Syafi‗i, ―Ini ayat yang
paling jelas tentang permasalahan wali dan kalau tidak maka pelarangan
wali tidak bermakna,‖ (Subulussalaam Syarah Bulughul Maram, Ash-
Shan‗any, juz 3, hal 130).
~ 177 ~
Bab VIII: Pernikahan

8.7. Talak
8.7.1. Pengertian dan Hukum Talak.
Menurut bahasa talak berarti melepaskan ikatan. Menurut istilah talak
ialah lepasnya ikatan pernikahan dengan lafal talak. Asal hukum talak
adalah makruh, sebab merupakan perbuatan halal tetapi sangat dibenci
oleh Allah Swt. Nabi Muhammad saw. bersabda, ―Perbuatan halal tetapi
paling dibenci oleh Allah adalah talak,‖ (HR. Abu Daud).

8.7.2. Rukun Talak


Rukun talak terdiri atas 3 macam, yaitu:
1) Yang menjatuhkan talak(suami). Syaratnya yaitu baligh, berakal, dan
kehendak sendiri.
2) Yang dijatuhi talak, yaitu istri.
3) Ucapan talak, baik dengan cara sharih (tegas) maupun dengan cara
kinayah (sindiran). Cara sharih, misalnya, ―Saya talak engkau!‖ atau
―Saya cerai engkau!‖ Ucapan talak dengan cara sharih tidak
memerlukan niat. Jadi kalau suami mentalak istrinya dengan cara
sharih, maka jatuhlah talaknya walupun tidak berniat mentalaknya.
Cara kinayah, misalnya, ―Pulanglah engkau pada orang tuamu!‖ atau
―Kawinlah engkau dengan orang lain, saya sudah tidak butuh lagi
kepadamu!‖ Ucapan talak cara kinayah memerlukan niat. Jadi, kalau
suami mentalak istrinya dengan cara kinayah, padahal sebenarnya
tidak berniat mentalaknya, maka talaknya tidak jatuh.
8.7.3. Lafal dan Bilangan Talak.
Lafal talak dapat diucapkan/dituliskan dengan kata-kata yang jelas atau
dengan kata-kata sindiran. Adapun bilangan talak maksimal 3 kali.
Talak satu dan talak dua masih boleh rujuk (kembali) sebelum habis
masa idahnya, dan apabila masa idahnya telah habis maka harus
dengan akad nikah lagi.
~ 178 ~
Bab VIII: Pernikahan
َ َُ َ ْ ‫تاف ب َ ْر ت ُتسو َْ ْو َو‬
ٍ ‫الط ت َتل َُ َم اسَت تتان س َفا ْم َس ت‬
‫ا‬
‫س ت ِتس ٍح ِب ِا ْح َست تان ۗ َوَل َِ ِح ت كتك لك ت ْتم ْ ْن‬
َ َ ِ ِ ِ
َ ‫َْ ُ ُ ا َُْ ُ ُ ا َ ًْ ا ْ َ َ َ ا ُ َ ُ ُ َ ا‬
‫وَّ اللت ِته س ف ِتا ْن ِْ ْفت ُتت ْم‬ ‫َتأْتروا ِم تتا آتُت تىًِ ئتتَُّلا ِئَل ْن ِ افتا َْل ِ ِقي تتا حتد‬
ََ ‫ْ َ ُ ُ ُ ا‬ ْ َ َ َ ُ ََ ‫ا ُ َ ُ ُ َ ا‬
‫اْ َكل ُ ْي ِ َُ َ تا ِفي َ تا اف َت َتد ْخ ِب ِته ۗ ِتلتم حتدوَّ الل ِته ف اتل‬ ‫َْل ِقي ا حدوَّ الله فل َى‬
‫ن‬َ ُ ‫َ ْ َ ُ ِ َ َ َ ْ َ َ َ اِ ُ ُ َ ا َ َ ُ ُ ا‬
‫ورتدوِا ۚ ومً ِترد حدوَّ الل ِه فأول َِّلم ِم الظا ِ ى ا ا‬
―Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah
kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak
akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir
bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum
Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum
Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang
melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang
zalim,‖ (QS. Al-Baqarah [2]: 229).

Pada talak 3, suami tidak boleh rujuk dan tidak boleh nikah lagi
sebelum istrinya itu nikah dengan laki-laki lain dan sudah digauli serta
telah ditalak oleh suami keduanya itu.

8.7.4. Macam-Macam Talak.


Talak dibagi menjadi 2 macam, yaitu:
1) Talak raj‗i, yaitu talak di mana suami boleh rujuk tanpa harus
dengan akad nikah lagi. Talak raj‗i ini dijatuhkan suami kepada
istrinya untuk pertama kalinya atau kedua kalinya dan suami boleh
rujuk kepada istri yang telah ditalaknya selama masih dalam masa
idah.
2) Talak Bain. Talak bain dibagi menjadi 2 macam, yaitu talak bain
sughra dan talak bain kubra. Talak bain sughra yaitu talak yang
dijatuhkan kepada istri yang belum dicampuri dan talak khuluk
~ 179 ~
Bab VIII: Pernikahan

(karena permintaan istri). Suami istri boleh rujuk dengan cara akad
nikah lagi baik masih dalam masa idah maupun sudah habis masa
idahnya.
Adapun talak bain kubra yaitu talak yang dijatuhkan suami sebanyak
tiga kali (talak tiga) dalam waktu yang berbeda. Dalam talak ini,
suami tidak boleh rujuk atau menikah dengan bekas istri kecuali
dengan syarat: (a) bekas istri telah menikah lagi dengan laki-laki lain,
(b) telah dicampuri dengan suami yang baru, (c) telah dicerai dengan
suami yang baru, dan (d) telah selesai masa idahnya setelah dicerai
suami yang baru.

8.7.5. Macam-macam Sebab Talak.


Talak bisa terjadi karena beberapa hal, yaitu:
1) Ila‗ yaitu sumpah seorang suami bahwa ia tidak akan mencampuri
istrinya. Ila‗ merupakan adat arab jahiliyah. Masa tunggunya adalah 4
bulan. Jika sebelum 4 bulan sudah kembali maka suami harus
menbayar denda sumpah. Bila sampai 4 bulan atau lebih hakim
berhak memutuskan untuk memilih membayar sumpah atau
mentalaknya.
2) Lian, yaitu sumpah seorang suami yang menuduh istrinya berbuat
zina. Sumpah itu diucapkan 4 kali dan yang kelima dinyatakan
dengan kata-kata, ―Laknat Allah Swt. atas diriku jika tuduhanku itu
dusta‖. Istri juga dapat menolak dengan sumpah 4 kali dan yang
kelima dengan kata-kata, ―Murka Allah Swt. atas diriku bila tuduhan
itu benar‖.
3) Dzihar, yaitu ucapan suami kepada istrinya yang berisi penyerupaan
istrinya dengan ibunya, seperti: ―Engkau seperti punggung ibuku.‖
Dzihar merupakan adat jahiliyah yang dilarang Islam sebab dianggap
salah satu cara menceraikan istri.

~ 180 ~
Bab VIII: Pernikahan

4) Khulu‗ (talak tebus) yaitu talak yang diucapkan oleh suami dengan
cara istri membayar kepada suami. Talak tebus biasanya atas
kemauan istri. Penyebab talak antara lain istri sangat benci kepada
suami, suami tidak dapat memberi nafkah, atau suami tidak dapat
membahagiakan istri
5) Fasakh ialah rusaknya ikatan perkawinan karena sebab-sebab
tertentu yaitu karena rusaknya akad nikah, seperti diketahui bahwa
istri adalah mahrom suami, salah seorang suami atau istri keluar dari
ajaran Islam, semula suami/istri musyrik kemudian salah satunya
masuk Islam; karena rusaknya tujuan pernikahan, seperti terdapat
unsur penipuan semisal mengaku laki-laki baik ternyata penjahat,
suami/istri mengidap penyakit yang dapat mengganggu hubungan
rumah tangga, suami dinyatakan hilang, atau suami dihukum penjara
5 tahun/lebih.

8.8. Hadhonah.
Hadhonah artinya mengasuh dan mendidik anak yang masih kecil. Jika
suami atau istri bercerai maka yang berhak mengasuh anaknya adalah
ibunya bila si anak masih kecil dan biaya tanggungan ayahnya. Namun,
jika si ibu telah menikah lagi maka hak mengasuh anak adalah ayahnya.

8.9. Idah
Secara bahasa idah berarti ketentuan. Menurut istilah idah ialah masa
menunggu bagi seorang wanita yang sudah dicerai suaminya sebelum ia
menikah dengan laki-laki lain. Masa idah dimaksudkan untuk memberi
kesempatan kepada bekas suaminya apakah dia akan rujuk atau tidak.

~ 181 ~
Bab VIII: Pernikahan

8.9.1. Lamanya Masa Idah.


1) Wanita yang sedang hamil masa idahnya sampai melahirkan
anaknya.
‫ا‬ ْ َ ُ َ ََ َ َ ُ َْ ‫َ ا‬
‫تيم َ ِم ْتً ِو َس َ ِتاكك ْم ِئ ِن ْازت ْب ُتت ْم ف ِر اتد ُث ُ اً ُلُتة ْئ ُتبس َوالل ِئتا‬
ِ ‫تً ِم َتً ا َِح‬ َ ‫اللئا َِئ ْس‬
ِ ِ ‫و‬
ُ‫الل َه َِ ْج َر ْتك َلته‬
‫َُُ ا ْ َ َ ْ َ َ َُْ ا ََ ْ َا ا‬ َ ْ ْ ُ َ َُ َ ْ َ ْ َ
‫لم ِ َ ِحوً ۚ وْوَلخ ح ِال َْلبً ْن ِورً ح لبً ۚ ومً ِت ِق‬
‫ِم ًْ ْ ْم ِس ِه ُي ْس ًسا ا‬
―Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya),
maka masa idah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-
perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil,
waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.
Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan
baginya kemudahan dalam urusannya,‖ (QS. At-Talak: 4).
2) Wanita yang tidak hamil, sedang ia ditinggal mati suaminya maka
masa idahnya 4 bulan 10 hari. Allah berfrman,
ْ ْ َ َ َ َ ْ ‫َ ا َ ُ َ َ ا ْ َ ْ ُ ْ َ َ َ ُ َ َ ْ َ ً َ َ َا‬
‫فت َتً ِبأ َْه ُاف ِست ِتب اً ْ ْزَع َرتتة ْئت ُتبس َو َكشت ًتسا س‬ ‫والتترًِ ِتىفتتىن متتىكم و تترزون ْشواَتتا ِبأب‬
َ‫الل ُه ب ا‬‫َ ا‬ ُ ْ َْ ‫ْ ُ ا‬ َ َْ َ َ ْ ُ ْ ََ َ َ ُ ََ ِ‫َ َِ ََ ْ َ َ َ َ ُ ا‬
ِ ‫َف ِ ْا َذ ُا بلََل ًَ َْلبً فل َىاْ كليكم ِفي ا فرلً ِجِ ْهف ِس ِبً ِبا رسو ِ ۗ و‬
‫ور لىن ْ ِم ٍا‬
‫يأ ا‬
―Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat
bulan sepuluh hari. Kemudian, apabila telah habis idahnya, maka tiada
dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat,‖
(QS. al-Baqarah [2]: 234).

3) Wanita yang dicerai suaminya sedang ia dalam keadaan haid maka


masa idahnya 3 kali quru‗ (tiga kali suci).
‫ََ ا‬ ْ َ َ َ ُ َ َ ََ َ ْ ‫َ ُْ َا َ ُ ََ َا‬
‫ف ًَ ِابأ ْه ُف ِس ِب اً ُلُة ق ُسوء ۚ َوَل َِ ِح كك َ ل ُب اً َْ ْن َِك ُت ْ ًَ َما ْ ُل َق الل ُه‬ ‫وا َطلقاخ ِبأب‬
َ ْ ْ ‫ا‬ ُ
‫ِجِ ْ ْز َح ِام ِب اً ِئ ْن ك اً ُِ ْإ ِم اً ِبالل ِه َوال َي ْى ِ ْلا ِْ ِس ۚ َو ُع ُرىل ُت ُ اً ْ َح كق ِب َس ِ َّّ ِِ اً ِجِ ذ ِل َم ِائ ْن‬
~ 182 ~
Bab VIII: Pernikahan

‫ٍ ا‬ َ َْ َ ‫ْ ا‬ َ َ َ
‫ْ َز ُاَّوا ِئ ْ ل ًحا ۚ َول ُب اً ِم اث ُك ال ِري َكل ْي ِ اً ِبا ْر ُسو ِ ۚ َو ِل ّ ِلس ََ ِال َكل ْي ِ اً ََّ َز ََة ۗ َوالل ُه‬
‫َك ِص ٍص َح ِك ٍا‬
‫يم ا‬
―Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru‗. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah
dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan
suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka
(para suami) menghendaki ishlah. Para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma‗ruf. Akan tetapi
para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Allah
Mahaperkasa lagi Mahabijaksana,‖ (QS. al-Baqarah [2]: 228).
4) Wanita yang tidak haid atau belum haid masa idahnya selama tiga
bulan.
Allah berfirman, ―Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi
(monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-
ragu (tentang masa idahnya), maka masa idah mereka adalah tiga
bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.
Perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya. Barang siapa yang
bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya
kemudahan dalam urusannya,‖ (QS. at-Thalaq: 4).
5) Wanita yang dicerai sebelum dicampuri suaminya maka baginya
tidak ada masa idah.
Allah berfirman, ―Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu
ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali
tidak wajib atas mereka idah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya. Berilah mereka mut‗ah, dan lepaskanlah
mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya,‖ (QS. al-Ahzab: 49).
~ 183 ~
Bab VIII: Pernikahan

8.9.2. Hak Perempuan dalam Masa Idah.


Perempuan yang taat dalam idah raj‗iyyah (dapat rujuk) berhak
mendapat dari suami yang menthalaknya beberapa hal, yaitu tempat
tinggal, pakaian,dan uang belanja. Sedangkan wanita yang durhaka
tidak berhak menerima apa-apa.
Wanita dalam idah bain (iddah talak 3 atau khuluk) hanya berhak
atas tempat tinggal saja. Allah berfirman,
―Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat
tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan
mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Jika mereka (istri-istri yang
sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka
nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; jika
kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan
(anak itu) untuknya,‖ (QS. ath-Thalaq: 6)
Wanita dalam idah wafat tidak mempunyai hak apa pun, tetapi
mereka dan anaknya berhak mendapat harta warisan suaminya.

8.10. Rujuk
Rujuk artinya kembali. Maksudnya ialah kembalinya suami istri pada
ikatan perkawinan setelah terjadi talak raj‗i dan masih dalam masa idah.
Dasar hukum rujuk adalah Al-Quran surat al-Baqarah ayat 229, yaitu:
―Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika
mereka (para suami) menghendaki rujuk.‖

8.10.1. Hukum Rujuk.


Mubah adalah asal hukum rujuk. Ia bisa haram apabila si istri dirugikan
serta lebih menderita dibanding sebelum rujuk. Makruh bila diketahui
~ 184 ~
Bab VIII: Pernikahan

meneruskan perceraian lebih bermanfaat. Sunah bila diketahui rujuk


lebih bermanfaat dibanding meneruskan perceraian. Wajib khusus bagi
laki-laki yang beristri lebih dari satu.
8.10.2. Rukun Rujuk.
Adapun rukun rujuk yaitu:
1) Istri, syaratnya pernah digauli, talaknya talak raj‗i, dan masih dalam
masa idah.
2) Suami, syaratnya Islam, berakal sehat, dan tidak terpaksa.
3) Sighat (lafal rujuk).
4) Saksi, yaitu 2 orang laki-laki yang adil.
8.11. Poligami
Poligami atau dalam istilah agama disebut ta‗adud. Kata ini mungkin
akan membuat para ummahat atau ibu rumah tangga agak-agak panas.
Ya, poligami memang selalu menjadi ‘momok‗ rumah tangga. Islam
sudah dengan jelas memberikan peluang bagi seorang lelaki memiliki
istri lebih dari satu—namun tidak boleh lebih dari empat. Itu jelas
dimaktubkan dalam Al-Quran. Tapi sesungguhnya tidak sesimpel itu.
Sebagian ulama, setelah meninjau ayat-ayat tentang poligami,
telah menetapkan bahwa menurut asalnya, Islam sebenamya ialah
monogami. Terdapat ayat yang mengandungi peringatan agar poligami
ini tidak disalahgunakan. Tetapi, poligami diperbolehkan dengan syarat
ia dilakukan pada masa-masa terdesak untuk mengatasi perkara yang
tidak dapat diatasi dengan jalan lain. Atau dengan kata lain bahwa
poligami itu diperbolehkan oleh Islam dan tidak dilarang kecuali jikalau
dikhawatirkan kebaikannya akan dikalahkan oleh keburukannya.
Jadi, sebagaimana talak, begitu jugalah halnya dengan poligami
yang diperbolehkan kerana hendak mencari jalan keluar dari kesulitan.
Islam memperbolehkan umatnya berpoligami berdasarkan nas-nas
~ 185 ~
Bab VIII: Pernikahan

syariat serta realita keadaan masyarakat. Ini bererti ia tidak boleh


dilakukan dengan sewenang-wenangnya demi untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat Islam, demi untuk menjaga ketinggian budi
pekerti dan nilai kaum Muslimin.
Oleh karena itu, apabila seorang lelaki akan berpoligami,
hendaklah dia memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Membatasi jumlah istri yang akan dinikaninya. Syarat ini telah
disebutkan oleh Allah Swt. dengan firman-Nya, ―Dan jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya,‖ (QS. an-Nisa [4]: 3).
2) Diharamkan bagi suami mengumpulkan wanita-wanita yang masih
ada tali persaudaraan menjadi istrinya. Misalnya, nikah dengan kakak
dan adik, ibu dan anaknya, anak saudara dengan emak saudara baik
sebelah ayah maupun ibu. Tujuan pengharaman ini ialah untuk
menjaga silaturrahim antara anggota-anggota keluarga. Rasulullah
saw. bersabda, ―Sesungguhnya kalau kamu berbuat yang demikian
itu, akibatnya kamu akan memutuskan silaturrahim di antara sesama
kamu,‖ (HR. Bukhari dan Muslim).
3) Disyaratkan pula berlaku adil. Allah berfirman, ―Kemudian jika kamu
bimbang tidak dapat berlaku adil (di antara istri-istri kamu), maka
(kawinlah dengan) seorang saja, atau (pakailah) hamba-hamba
perempuan yang kaumiliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat
(untuk mencegah) supaya kamu tidak melakukan kezaliman,‖ (QS.
an-Nisa [4]: 3).

~ 186 ~
Bab VIII: Pernikahan

Dengan tegas diterangkan serta dituntut agar para suami bersikap


adil jika akan berpoligami. Andaikan takut tidak dapat berlaku adil
kalau sampai empat orang istri, cukuplah tiga orang saja. Tetapi kalau
itupun masih juga tidak dapat adil, cukuplah dua saja. Dan kalau dua
itu pun masih khawatir tidak boleh berlaku adil, maka hendaklah
menikah dengan seorang saja.
Pernikahan dalam agama Islam tidak bisa sembarangan, ada aturan-
aturan tersendiri jika ingin melangsungkan pernikahan. Jika agama
tidak mengatur masalah yang halal dan yang haram untuk dinikahi
menurut agama, maka pernikahan antara anak kandung ibunya pun
bisa terjadi. Hal ini tentunya sangat tidak relevan dan terkesan
sebagai peristiwa yang kontroversial. Untuk itulah agama mengatur
masalah pernikahan. Yang mana boleh dan tidak boleh dinikahi
menurut agama Islam.

8.12. Hikmah Pernikahan


Anjuran telah banyak disinggung oleh Allah dalam Al-Quran dan Nabi
lewat perkataan dan perbuatannya. Hikmah yang terserak di balik
anjuran tersebut bertebaran mewarnai perjalanan hidup manusia.
Secara sederhana, setidaknya ada 5 (lima) hikmah di balik
perintah menikah dalam Islam.
1) Sebagai wadah birahi manusia
Allah ciptakan manusia dengan menyisipkan hawa nafsu dalam
dirinya. Ada kalanya nafsu bereaksi positif dan ada kalanya negatif.
Manusia yang tidak bisa mengendalikan nafsu birahi dan
menempatakannya sesuai wadah yang telah ditentukan, akan sangat
mudah terjebak pada ajang baku syahwat terlarang. Pintu pernikahan
adalah sarana yang tepat nan jitu dalam mewadahi ‘aspirasi‗ naluri
normal seorang anak keturunan Adam.
~ 187 ~
Bab VIII: Pernikahan

2) Meneguhkan akhlak terpuji


Dengan menikah, dua anak manusia yang berlawanan jenis tengah
berusaha dan selalu berupaya membentengi serta menjaga harkat
dan martabatnya sebagai hamba Allah yang baik. Akhlak dalam Islam
sangatlah penting. Lenyapnya akhlak dari diri seseorang merupakan
lonceng kebinasaan, bukan saja bagi dirinya bahkan bagi suatu
bangsa. Kenyataan yang ada selama ini menujukkkan gejala tidak
baik, ditandai merosotnya moral sebagian kawula muda dalam
pergaulan. Jauh sebelumnya, Nabi telah memberikan suntikan
motivasi kepada para pemuda untuk menikah, ―Wahai para pemuda,
barangsiapa sudah memiliki kemampuan untuk menafkahi, maka
hendaknya ia menikah, karena menikah dapat meredam keliaran
pandangan, pemelihara kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu,
hendaknya ia berpuasa, sebab puasa adalah sebaik-baik benteng
diri.‖ (HR. Bukhari dan Muslim).
3) Membangun rumah tangga islami. Slogan ―sakinah, mawaddah, wa
rahmah‖ tidak akan menjadi kenyataan jika tanpa dilalui proses
menikah. Tidak ada kisah menawan dari insan-insan terdahulu
maupun sekarang hingga mereka sukses mendidik putra-putri dan
keturunan bila tanpa menikah yang diteruskan dengan membangun
biduk rumah tangga islami.
Layaknya perahu, perjalanan rumah tangga kadang terombang-
ambing ombak di lautan. Ada aral melintang. Ada kesulitan datang
menghadang. Semuanya adalah tantangan dan riak-riak yang
berbanding lurus dengan keteguhan sikap dan komitmen
membangun rumah tangga ala Rasul dan sahabatnya. Sabar dan
syukur adalah kunci meraih hikmah ketiga ini.
Diriwayatkan tentang sayidina umar yang memperoleh cobaan
dalam membangun rumah tangga. Suatu hari, seorang laki-laki
berjalan tergesa-gesa menuju kediaman khalifah Umar bin Khatab. Ia
~ 188 ~
Bab VIII: Pernikahan

ingin mengadu pada khalifah, tak tahan dengan kecerewetan istrinya.


Begitu sampai di depan rumah khalifah, laki-laki itu tertegun. Dari
dalam rumah terdengar istri Umar sedang ngomel, marah-marah.
Cerewetnya melebihi istri yang akan diadukannya pada Umar. Tapi,
tak sepatah katapun terdengar keluhan dari mulut Khalifah. Umar
diam saja, mendengarkan istrinya yang sedang gundah. Akhirnya
lelaki itu mengurungkan niatnya, batal melaporkan istrinya pada
Umar.
Apa yang membuat seorang Umar bin Khatab yang disegani kawan
maupun lawan, berdiam diri saat istrinya ngomel? Beliau berkata,
―Wahai saudaraku, istriku adalah yang memasak masakan untukku,
mencuci pakaian-pakaianku, menunaikan hajat-hajatku, menyusui
anak-anakku. Jika beberapa kali ia berbuat tidak baik kepada kita,
janganlah kita hanya mengingat keburukannya dan melupakan
kebaikannya.‖ Pasangan yang ingin membangun rumah tangga
islami mesti menyertakan prinsip kesabaran dan rasa syukur dalam
mempertahankan ‘perahu daratannya‗.
4) Memotivasi semangat ibadah.
Risalah Islam tegas memberikan keterangan pada umat manusia,
bahwa tidaklah mereka diciptakan oleh Allah kecuali untuk
bersembah sujud, beribadah kepada-Nya.
Dengan menikah, diharapkan pasangan suami-istri saling
mengingatkan kesalahan dan kealpaan. Dengan menikah satu sama
lain memberi nasihat untuk menunaikan hak Allah dan Rasul-Nya.
Lebih dari itu, hubungan biologis antara laki dan perempuan dalam
ikatan suci pernikahan terhitung sebagai sedekah. Seperti diungkap
oleh rasul dalam haditsnya, ―Dan persetubuhan salah seorang di
antara kamu (dengan istrinya) adalah sedekah.‖ ― Wahai Rasulullah,
apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia
mendapat pahala?‖ Rasulullah menjawab, ―Tahukah engkau jika
~ 189 ~
Bab VIII: Pernikahan

seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa,


demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia
mendapat pahala,‖ (HR. Muslim).
5) Melahirkan keturunan yang baik.
Hikmah menikah adalah melahirkan anak-anak yang saleh,
berkualitas iman dan takwanya, cerdas secara spiritual, emosional,
maupun intelektual.
Dengan menikah, orangtua bertanggung jawab dalam mendidik
anak-anaknya sebagai generasi yang bertakwa dan beriman kepada
Allah. Tanpa pendidikan yang baik tentulah tak akan mampu
melahikan generasi yang baik pula .

Lima hikmah menikah di atas adalah satu aspek dari sekian


banyak aspek di balik titah menikah yang digaungkan Islam kepada
umat. Saatnya, muda-mudi berpikir keras, mencari jodoh yang baik,
bermusyawarah dengan Allah dan keluarga, cari dan temukan pasangan
yang beriman, berperangai mulia, berkualitas secara agama, lalu
menikahlah dan nikmati hikmah-hikmahnya.[]

~ 190 ~
Bab IX: Pemulasyaraan Jenazah

BAB IX
PEMULASYARAAN JENAZAH

Kewajiban muslimin terhadap saudara-saudaranya yang meninggal


dunia ada 4 perkara, yaitu: (1) memandikan, (2) mengkafani, (3)
menshalatkan, dan (4) menguburkan.
9.1. Memandikan Mayit
Syarat-syarat mayit yang dimandikan
1) Mayit itu seorang Islam.
2) Ada tubuhnya walau sedikit.
3) Meninggal bukan karena mati syahid.
9.1.1. Cara-cara Memandikan Mayit
Cara memandikan mayit yang perlu diperhatikan sebagai berikut.
Pertama-tama, dibersihkan terlebih dahulu segala najis yang ada pada
badannya. Kemudian meratakan air ke seluruh tubuhnya dan sebaik-
baiknya 3 kali atau lebih jika dianggap perlu. Siraman yang pertama
dibersihkan dengan sabun, yang kedua dengan air bersih, dan yang
ketiga dengan air yang bercampur dengan kapur barus.
Beberapa riwayat yang shahih, Nabi saw. bersabda, “Mulailah
oleh kamu dengan bagian badan sebelah kanan dan anggota
wudhunya.”
Dari Ibnu Abas ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda perihal orang
yang meninggal dunia jatuh dari atas ontanya, “Mandikanlah dia dengan
air dan dengan sidir (bidara),” (HR. Bukhari dan Muslim).
~ 191 ~
Bab IX: Pemulasyaraan Jenazah

9.1.2. Mayat yang Haram Dimandikan


Ada beberapa golongan mayat yang haram untuk dimandikan,
yaitu:
1) Orang mati syahid yaitu orang yang mati di medan perang untuk
menegakkan atau membela agama Allah dan mayat ini haram pula
untuk dishalatkan.
2) Orang kafir dan munafik.
Kafir ialah orang yang terang-terangan mengingkari ajaran Islam,
sedang munafik adalah orang yang lahirnya beragama Islam tetapi
batinnya memusuhi Islam. Allah Swt. berfirman, “Dan janganlah
sekali-kali engkau melakukan shalat atas seorang di antara mereka
(kafir dan munafiq) yang mati,” (QS. at-Taubah [9]: 84)
3) Mati bunuh diri
4) Pendapat para ulama, orang yang meninggal karena bunuh diri tidak
perlu dishalatkan, melainkan cukuplah dikuburkan saja mayatnya.
Jabir bin Samurah ra. meriwayatkan, suatu kali Rasulullah saw.
dihadapkan kepada seorang laki-laki yang mati karena membunuh
diri dengan anak panahnya. Ketika itu Rasulullah tidak
menshalatkannya, (HR. Muslim dan Abu Daud).

9.1.3. Aturan Memandikan Mayat.


Berikut ini beberapa aturan terkait tata cara memandikan mayat.
1) Mayat laki-laki dimandikan oleh laki-laki, dan sebaliknya mayat
wanita dimandikan pula oleh wanita, kecuali mahramnya laki-laki
diperbolehkan.
2) Sebaiknya orang yang memandikan adalah keluarga yang terdekat.
3) Suami boleh memandikan istrinya dan sebaliknya.
~ 192 ~
Bab IX: Pemulasyaraan Jenazah

4) Yang memandikan tidak boleh menceritakan tentang cacat tubuh


mayat itu seandainya bercacat.

9.2. Mengkafani Mayat


Setelah mayat dimandikan dengan cukup sempurna, maka fardhu
kifayah bagi tiap-tiap orang yang hidup mengkafaninya. Mengkafani
mayat sedikitnya dengan selapis kain yang dapat menutup seluruh
tubuhnya.
Disunahkan bagi mayat laki-laki dikafani sampai 3 lapis kain.Tiap-
tiap lapis dari kafan itu hendaknya dapat menutupi seluruh tubuhnya.
Mayat laki-laki menggunakan lima lapis kain, maka sesudah 3 lapis
ditambah dengan baju kurung dan sorban.
Mayat wanita disunahkan lima lapis yang masing-masingnya
berupa sarung, baju, kerudung, dan dua lapis yang menutup seluruh
tubuhnya.
Kain yang disunahkan untuk kain kafan ialah kain yang halal
dipakainya sewaktu hidupnya dan disunahkan dengan kain yang
berwarna putih dan baru pula, serta diberi wangi-wangian.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya Rasulullah saw.
bersabda, “Pakaian di antara kainmu yang putih adalah sebaik-baik kain,
dan kafanilah mayatmu dengan kain yang putih.”
Kalau kain putih tidak ada maka boleh mengkafani mayat dengan
kain apa saja yang dapat digunakan untuk mengkafaninya, kemudian
dishalatkannya.

~ 193 ~
Bab IX: Pemulasyaraan Jenazah

9.3. Menshalatkan Mayat (Jenazah)


9.3.1. Syarat-syarat Shalat Jenazah
1) Shalat jenazah seperti halnya dengan shalat yang lain, yaitu harus
menutup aurat, suci dari hadas besar dan kecil, bersih badan, pakaian
dan tempatnya serta menghadap kiblat.
2) Mayit sudah dimandikan dan dikafani.
3) Letak jenazah di sebelah kiblat orang yang menshalatkan, kecuali
kalau shalat yang dilakukan di atas kubur atau shalat gaib.

9.3.2. Rukun Shalat Jenazah


1) Niat.
2) Berdiri bagi yang mampu.
3) Takbir empat kali.
4) Membaca surat Al-Fatihah.
5) Membaca shalawat atas Nabi saw.
6) Mendoakan jenazah.
7) Memberi salam
9.3.3. Cara Mengerjakan Shalat Jenazah
Shalat jenazah dapat dilakukan di atas seorang mayat atau beberapa
orang mayat sekalipun.
Seorang mayat (jenazah) boleh pula dilakukan berulang kali
shalat. Misalnya, si jenazah sudah dishalatkan oleh sebagian orang,
kemudian datanglah beberapa orang lagi untuk menshalatkannya dan
seterusnya.
Jika shalat dilakukan berjamaah, maka imam berdiri menghadap
kiblat, sedang makmum berbaris di belakangnya. Jenazah diletakkan
dengan melintang di hadapan imam dan kepalanya di sebelah kanan
imam. Jika jenazah laki-laki hendaknya imam berdiri menghadap dekat
kepalanya, dan jika jenazah wanita, imam menghadap dekat perutnya.
~ 194 ~
Bab IX: Pemulasyaraan Jenazah

Shalat jenazah tidak dengan rukuk dan sujud serta tidak dengan
adzan dan iqamah.

9.4. Menguburkan Jenazah


Dalam mengubur jenazah ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1) pembuatan liang kubur sekurang-kurangnya jangan sampai bau
busuk jenazah keluar, dan jangan sampai dibongkar oleh binatang.
2) Wajib membaringkan jenazah di atas lambung kanan.
3) Menghadapkan muka ke kiblat, muka dan ujung kaki jenazah itu
harus mengenai tanah dan perlu dilepaskan kain kafan yang
membalut muka dan telapak kakinya, serta melepaskan semua ikatan
tali-tali pada tubuh jenazah itu.
4) Menguburkan jenazah itu tidak diperbolehkan pada waktu malam,
kecuali dalam keadaan darurat.

Penjelasan tentang liang lahat.


1) Liang lahat ialah liang yang digali serong ke kiblat, yang mana liang
tersebut kira-kira dapat memuat jenazah atau mayat kemudian
ditutup dengan papan atau bambu.
2) Jika tanah yang digunakan untuk mengubur jenazah itu mudah
runtuh karena bercampur pasir, maka lebih baik dibuat lubang
tengah : yaitu lubang kecil di tengah-tengah kubur, kira-kira dapat
membuat mayat itu saja kemudian ditutup dengan papan atau
sebagainya.
3) Kubur itu perlu ditinggikan sedikit tanahnya dengan bentuk
mendatar. Tidak usah didirikan di atasnya sesuatu bangunan dan tak
usah dikapur, karena kedua hal itu makruh.
4) Tidak boleh dua jenazah atau lebih dikubur dalam satu lubang kubur,
kecuali karena dalam keadaan darurat.

~ 195 ~
Bab IX: Pemulasyaraan Jenazah

5) Di waktu jenazah diturunkan ke liang kubur, disunahkan membaca


“Dengan nama Allah dan atas tuntutan agama Rasulullah”.
6) Jika jenazah telah selesai dikuburkan, maka disunahkan menyirami
kubur itu dengan air. []

~ 196 ~
Bab X: Jual Beli

BAB X
JUAL BELI

10.1. Pengertian Jual Beli


Jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang
mempunyai nilai secara ridha di antara kedua belah pihak, yang satu
menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan
perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara„ dan disepakati.
10.2. Rukun Jual Beli dan Syarat-syaratnya
1) Akad (Ijab Qabul/Sighat)
a. Berhadap-hadapan.
Pembeli dan penjual harus menunjukkan shighat akadnya kepada
orang yang sedang bertransaksi dengannya, yakni harus sesuai
dengan orang yang dituju. Dengan demikian, tidak sah berkata, “Saya
menjual kepadamu!” Tidak boleh berkata, “Saya menjual kepada
Ahmad”, padahal nama pembeli bukan Ahmad.
Ditujukan pada seluruh badan yang akad. Tidak sah berkata, “Saya
menjual barang ini kepada kepala atau tangan kamu.”
Qabul diucapkan oleh orang yang dituju dalam ijab. Orang yang
mengucapkan qabul haruslah orang yang diajak bertransaksi oleh
orang yang mengucapkan ijab, kecuali jika diwakilkan.
b. Harus menyebutkan barang dan harga
Ketika mengucapkan shighat harus disertai niat (maksud).
Pengucapan ijab dan qabul harus sempurna. Jika seseorang yang
~ 197 ~
Bab X: Jual Beli

sedang bertransaksi itu gila sebelum mengucapkan, jual beli yang


dilakukannya batal.
c. Ijab qabul tidak terpisah
Antara ijab dan qabul tidak boleh diselingi oleh waktu yang terlalu
lama yang menggambarkan adanya penolakan dari salah satu pihak.
d. Antara ijab dan qabul tidak terpisah dengan pernyataan lain
Tidak berubah lafal-lafal ijab tidak boleh berubah seperti perkataan,
“Saya jual dengan 5 dirham”, kemudian berkata lagi, “Saya
menjualnya dengan 10 dirham”, padahal barang yang dijual masih
sama dengan barang yang pertama dan belum ada qabul.
e. Bersesuaian antara ijab dan qabul secara sempurna
f. Tidak dikaitkan dengan sesuatu.
Akad tidak boleh dikaitkan dengan sesuatu yang tidak ada hubungan
dengan akad.
g. Tidak dikaitkan dengan waktu

2) Orang yang berakad (aqid)


a. Dewasa atau sadar
Aqid harus baligh dan berakal, menyadari dan mampu memelihara
din dan hartanya. Dengan demikian, akad anak mumayyiz dianggap
tidak sah.
b. Tidak dipaksa atau tanpa hak
c. Islam
Dianggap tidak sah orang kafir yang membeli kitab Al-Quran atau
kitab-kitab yang berkaitan dengan dinul Islam seperti hadis, kitab-
kitab fikih atau membeli budak yang muslim. Allah Swt. berfirman,
“Dan Allah sekali-kali tidak memberi jalan bagi orang kafir untuk
menghina orang mukmin,” (QS. An-Nisa„ [4]: 141).
~ 198 ~
Bab X: Jual Beli

d. Pembeli bukan musuh


Umat Islam dilarang menjual barang, khususnya senjata kepada
musuh yang akan digunakan untuk memerangi dan menghancurkan
kaum muslimin.
3) Ma’kud ‘alaih (Barang/objek yang diperjualbelikan)
a. Suci,(halal dan thayyib).
Tidak sah penjualan benda-benda haram atau bahkan syubhat.
b. Bermanfaat menurut syara„.
c. Tidak ditaklikan, yaitu dikaitkan dengan hal lain, seperti “jika ayahku
pergi, kujual motor ini kepadamu”.
d. Tidak dibatasi waktunya, seperti perkataan, “Kujual motor ini
kepadamu selama 1 tahun”, maka penjualan tersebut tidak sah
karena jual beli merupakan salah satu sebab pemilikan secara penuh
yang tidak dibatasi apa pun kecuali ketentuan syara„.
e. Dapat diserahkan cepat atau lambat, contoh tidaklah sah menjual
binatang yang sudah lari dan tidak dapat ditangkap lagi atau barang-
barang yang sudah hilang.
f. Barang-barang yang sulit diperoleh kembali karena samar, seperti
seekor ikan yang jatuh ke kolam sehingga tidak diketahui dengan
pasti ikan tersebut.
g. Milik sendiri. Tidaklah sah menjual barang orang lain dengan tidak
seizin pemiliknya atau barang-barang yang baru akan menjadi
pemiliknya.
h. Diketahui (dilihat). Barang yang diperjualbelikan harus dapat
diketahui banyaknya, beratnya, takarannya atau ukuran-ukuran
lainnya. Maka, tidak sah jual beli yang menimbulkan keraguan salah
satu pihak.

~ 199 ~
Bab X: Jual Beli

i. Ada nilai tukar pengganti barang


Nilai tukar pengganti barang yaitu dengan sesuatu yang memenuhi 3
syarat, yakni bisa menyimpan nilai (store of value), bisa menilai atau
menghargakan suatu barang (unit of account), dan bisa dijadikan alat
tukar (medium of exchange).

10.3. Jenis-Jenis Jual Beli


Ada beberapa jenis jual beli ditinjau dari pertukarannya (Wahbah Az-
Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu, IV/595-596):
1) Jual beli salam (pesanan)
Jual beli salam adalah jual beli melalui pesanan yakni jual beli dengan
cara menyerahkan uang muka terlebih dahulu kemudian barang
diantar belakangan.
2) Jual beli muqayyadah (barter)
Jual beli muqayyadah adalah jual beli dengan cara menukar barang
dengan barang seperti menukar baju dengan sepatu.
3) Jual beli muthlaq
Jual beli muthlaq adalah jual beli barang dengan sesuatu yang telah
disepakati sebagai alat tukar.
4) Jual beli alat tukar dengan alat tukar
Jual beli alat tukar dengan alat tukar adalah jual beli barang yang
biasa dipakai sebagai alat tukar dengan alat tukar lainnya seperti
dinar dengan dirham.

Jual beli ditinjau dari dari hukum ada beberapa macam, yaitu:
1) Jual beli Sah (halal)

~ 200 ~
Bab X: Jual Beli

Jual beli sah atau shahih adalah jual beli yang memenuhi ketentuan
syariat. Hukumnya, sesuatu yang diperjualbelikan menjadi milik yang
melakukan akad.
2) Jual beli fasid (rusak)
Jual beli fasid adalah jual beli yang sesuai dengan ketentuan syariat
pada asalnya tetapi tidak sesuai dengan syariat pada sifatnya, seperti
jual beli yang dilakukan oleh orang yang mumayyiz tetapi bodoh
sehingga menimbulkan pertentangan.
Menurut jumhur ulama, fasid (rusak) dan batal (haram) memiliki arti
yang sama. Adapun ulama Hanafiyah membagi hukum dan sifat jual
beli menjadi sah, batal, dan fasid (rusak) (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh
al-Islami wa adillatuhu, 4/425)
Perbedaan pendapat antara jumhur ulama dan ulama hanafiyah
berpangkal pada jual beli atau akad yang tidak memenuhi ketentuan
syara„ bedasarkan hadis Rasul. Rasulullah saw. bersabda,
“Barangsiapa yang berbuat suatu amal yang tidak kami perintahkan
maka tertolak. Begitu pula barangsiapa yang memasukkan suatu
perbuatan kepada agama kita, maka tertolak, (HR. Muslim).
Berdasarkan hadis di atas, jumhur ulama berpendapat bahwa akad
atau jual beli yang keluar dari ketentuan syara„ harus ditolak atau
tidak dianggap, baik dalam hal muamalat maupun ibadah.
Adapun menurut ulama Hanafiyah, dalam masalah muamalah
terkadang ada suatu kemaslahatan yang tidak ada ketentuannya dari
syara„ sehingga tidak sesuai atau ada kekurangan dengan ketentuan
syariat. Akad seperti ini adalah rusak tetapi tidak batal. Dengan kata
lain, ada akad yang batal saja dan ada pula yang rusak saja.
~ 201 ~
Bab X: Jual Beli

3) Jual beli batal (haram)


Jual beli yang dilarang dan batal hukumnya adalah sebagai berikut:
a) Jual beli yang menjerumuskan ke dalam riba
b) Jual beli dengan cara ‘inah dan tawarruq
Rafi„ berkata, “Jual beli secara ‘inah berarti seseorang menjual
barang kepada orang lain dengan pembayaran bertempo, lalu
barang itu diserahkan kepada pembeli, kemudian penjual itu
membeli kembali barangnya sebelum uangnya lunas dengan
harga lebih rendah dari harga pertama.”
Sementara itu, jika barang yang diperjualbelikan mengandung
cacat ketika berada di tangan pembeli, kemudian pembeli tersebut
menjual lagi dengan harga yang lebih rendah, hal ini boleh karena
berkurangnya harga sesuai dengan berkurangnya nilai barang
tersebut. Transaksi ini tidak menyerupai riba.
Tawarruq artinya daun. Dalam hal ini adalah memperbanyak
harta. Jadi, tawarruq diartikan sebagai kegiatan memperbanyak
uang. Contohnya adalah apabila orang yang membeli barang
kemudian menjualnya kembali dengan maksud memperbanyak
harta bukan karena ingin mendapatkan manfaat dari produknya.
Barang yang diperdagangkannya hanyalah sebagai perantara
bukan menjadi tujuan.
c) Jual beli sistem salam (ijon)
Bedanya dengan kredit, kalau salam yaitu barangnya yang
diakhirkan, uangnya di depan.
d) Jual beli dengan menggabungkan dua penjualan (akad) dalam dan
satu transaksi. Contohnya, penjual berkata, “Aku menjual barang
ini kepadamu seharga 10 dinar dengan tunai atau 20 dinar secara
kredit.” Contoh lain, penjual berkata, “Aku menjual rumahku
~ 202 ~
Bab X: Jual Beli

kepadamu dengan syarat aku memakai kendaraanmu selama 1


bulan.”
e) Jual beli secara paksa.
Jual beli dengan paksaan dapat terjadi dengan 2 bentuk. Pertama,
ketika akad, yaitu adanya paksaan untuk melakukan akad. Jual
beli ini adalah rusak dan dianggap tidak sah. Kedua, karena dililit
utang atau beban yang berat sehingga menjual apa saja yang
dimiliki dengan harga rendah.
f) Jual beli sesuatu yang tidak dimiliki dan menjual sesuatu yang
sudah dibeli dan belum diterima.
Syarat sahnya jual beli adalah adanya penerimaan, maksudnya
pembeli harus benar-benar menerima barang yang akan dibeli.
Sebelum dia menerima barang tersebut maka tidak boleh dijual
lagi.

2. Jual beli yang dilarang dalam Islam (sama dg bawah)


a) Jual beli yang dapat menjauhkan dari ibadah.
Maksudnya adalah ketika waktunya ibadah, pedagang malah
menyibukkan diri dengan jual belinya sehingga mengakhirkan shalat
berjamaah di masjid. Dia kehilangan waktu shalat atau sengaja
mengakhirkannya, maka jual beli yang dilakukannya haram
(dilarang). Sebagian besar orang menyangka bahwa shalat dapat
menyibukkan mereka dari mencari rezeki dan jual beli, padahal justru
dengan shalat dan amal salehlah yang bisa mendatangkan barakah
dan rahmat Allah Swt.
b) Menjual barang-barang yang diharamkan
Barang yang diharamkan Allah Swt. maka diharamkan pula jual beli
barang tersebut.
~ 203 ~
Bab X: Jual Beli

c) Menjual sesuatu yang tidak dimiliki


Misalnya, ada seorang pembeli mendatangi seorang pedagang untuk
membeli barang dagangan tertentu darinya sementara barang
tersebut tidak ada pada pedagang tersebut. Kemudian keduanya
melakukan akad dan memperkirakan harganya, baik dengan
pembayaran tunai ataupun tempo, dan barang tersebut masih belum
ada pada pedagang itu. Selanjutnya pedagang itu membeli barang
yang diinginkan pembeli di tempat lain lalu menyerahkannya kepada
pembeli itu setelah keduanya ada kesepakatan harga dan cara
pembayarannya baik secara tunai atau tempo.
d) Jual beli ‘inah
Adalah apabila seseorang menjual suatu barang dagangan kepada
orang lain dengan pembayaran tempo (kredit), kemudian orang itu
(si penjual) membeli kembali barang itu secara tunai dengan harga
lebih rendah. Yang seharusnya kita lakukan ketika kita menjual
barang secara tempo kepada seseorang adalah hendaknya kita
membiarkan orang tersebut memiliki atau menjual barang itu kepada
selain kita ketika dia membutuhkan uang dari hasil penjualan itu.
e) Jual beli najasy
Adalah menawar suatu barang dagangan dengan menambah harga
secara terbuka, ketika datang seorang pembeli dia menawar lebih
tinggi barang itu padahal dia tidak akan membelinya.
f) Melakukan penjualan atas penjualan orang lain
Misalnya, ada seseorang mendatangi seorang pedagang untuk
membeli suatu barang dengan khiyar (untuk memilih, membatalkan
atau meneruskan akad) selama 2 hari, 3 hari, atau lebih. Maka, tidak
dibolehkan kepada pedagang lain untuk mendatangi atau
menawarkan kepada pembeli dengan berkata, “Tinggalkanlah barang
~ 204 ~
Bab X: Jual Beli

yang sedang engkau beli dan saya akan memberikan kepadamu


barang yang sama yang lebih bagus dengan harga lebih murah”.
g) Jual beli secara gharar (penipuan)
Adalah apabila seorang penjual menipu saudara semuslim dengan
cara menjual kepadanya barang dagangan yang di dalamnya terdapat
cacat. Penjual itu mengetahui adanya cacat tetapi tidak
memberitahukannya kepada pembeli.

Ditinjau dari benda (objek), jual beli dibagi menjadi 3 macam (Imam
Taqiyuddin, Kifayatul Akhyar, hal. 329):
a) Bendanya kelihatan
Ialah pada waktu melakukan akad jual beli, barang yang
diperjualbelikan ada di depan penjual dan pembeli. Contoh: membeli
beras di toko atau pasar.
b) Sifat-sifat bendanya disebutkan dalam janji
Ialah jual beli salam (pesanan). Salam adalah jual beli yang tidak
tunai. Salam mempunyai arti meminjamkan barang atau sesuatu
yang seimbang dengan harga tertentu. Maksudnya ialah perjanjian
yang penyerahan barang-barangnya ditangguhkan hingga masa
tertentu, sebagai imbalan harga yang telah ditetapkan ketika akad.
Dalam salam berlaku syarat jual beli dan tambahan:
 Ketika melakukan akad salam, disebutkan sifat-sifatnya yang
mungkin dijangkau oleh pembeli, baik berupa barang yang dapat
ditakar, ditimbang, ataupun diukur.
 Dalam akad harus disebutkan segala sesuatu yang bisa
mempertinggi dan memperendah harga barang itu. Contoh, kalau
kain, sebutkan jenis kainnya, kualitas nomor 1, 2 atau tiga dan
seterusnya.
~ 205 ~
Bab X: Jual Beli

Pada intinya sebutkan semua identitasnya yang dikenal oleh orang-


orang yang ahli di bidang ini yang menyangkut kualitas barang
tersebut. Barang yang akan diserahkan hendaknya barang-barang
yang biasa didapatkan di pasar. Harga hendaknya ditentukan di
tempat akad berlangsung (Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, 1985, hal.
178-179).

c) Bendanya tidak ada


Jual beli benda yang tidak ada serta tidak dapat dilihat ialah jual beli
yang dilarang dalam Islam karena bisa menimbulkan kerugian salah
satu pihak. Contoh, penjualan bawang merah dan wortel serta yang
lainnya yang berada di dalam tanah adalah batal sebab hal tersebut
merupakan perbuatan gharar. Sesungguhnya Nabi saw. melarang
penjualan anggur sebelum hitam dan dilarang penjualan biji-bijian
sebelum mengeras.

Jual beli ditinjau dari subjek (pelaku) terbagi menjadi beberapa macam,
yaitu:
a) Dengan lisan.
b) Dengan perantara
Penyampaian akad jual beli melalui wakalah (utusan), perantara,
tulisan atau surat menyurat sama halnya dengan ucapan. Penjual dan
pembeli tidak berhadapan dalam satu majlis akad.
Dengan perbuatan (saling memberikan) atau dikenal dengan istilah
mu„athah yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab qabul
secara lisan. Contohnya, seseorang yang mengambil barang yang
sudah dituliskan label harganya oleh penjual, kemudian pembeli
melakukan pembayaran kepada penjual. Jual beli yang demikian
dilakukan tanpa sighat ijab qabul antara penjual dan pembeli.
~ 206 ~
Bab X: Jual Beli

Sebagian Syafi„iyah melarangnya, karena ijab qabul adalah bagian


dari rukun jual beli, tetapi sebagian Syafi„iyah lainnya, seperti Imam
Nawawi membolehkan jual beli barang kebutuhan sehari-hari
dengan cara demikian.

Jual beli ditinjau dari harga tediri dari beberapa macam, yaitu:
a) Jual beli yang menguntungkan (al-Murabahah).
b) Jual beli yang tidak menguntungkan, yaitu menjual dengan harga
aslinya (at-Tauliyah).
c) Jual beli rugi (al-Khasarah).
d) Jual beli al-Musawah, yaitu penjual menyembunyikan harga aslinya
tetapi kedua orang yang akad saling meridhai.

Jual beli ditinjau dari pembayaran terbagi menjadi tiga, yaitu:


a) Al-Murabahah (jual beli dengan pembayaran di muka).
b) Bai„ as-Salam (jual beli dengan pembayaran tangguh).
c) Bai„ al-Istishna (jual beli berdasarkan pesanan).

10.4. Jual Beli yang Dibolehkan dan yang Dilarang


Islam adalah agama yang syamil, yang mencangkup segala
permasalahan manusia, tak terkecuali dengan jual beli. Jual beli telah
disyariatkan dalam Islam dan hukumnya mubah atau boleh, berdasarkan
Al-Quran, As-Sunnah, ijma„ dan dalil aqli. Allah Swt. membolehkan jual
beli agar manusia dapat memenuhi kebutuhannya selama hidup di
dunia ini.
Namun, dalam melakukan jual-beli, tentunya ada ketentuan-
ketentuan ataupun syarat-syarat yang harus dipatuhi dan tidak boleh
dilanggar. Contohnya, jual beli yang dilarang yang akan kita bahas ini

~ 207 ~
Bab X: Jual Beli

karena telah menyelahi aturan dan ketentuan dalam jual beli, dan
tentunya merugikan salah satu pihak, maka jual beli tersebut dilarang.
Berkenaan dengan jual beli yang dilarang dalam Islam, Wahbah
al-Zuhaily meringkasnya sbb :

1) Terlarang Sebab Ahliah (Ahli Akad)


Ulama telah sepakat bahwa jual beli dikategorikan shahih apabila
dilakukan oleh orang yang baligh, berakal, dapat memilih dan mampu
ber-tasharruf secara bebas dan baik. Mereka yang dipandang tidak sah
jual belinya adalah sbb :
a. Jual beli orang gila
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli orang yang gila tidak sah. Begitu
pula sejenisnya, seperti orang mabuk dll.
b. Jual beli anak kecil
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli anak kecil (belum mumayyiz)
dipandang tidak sah kecuali dalam perkara-perkara ringan dan
sepele. Menurut ulama Syafi„iyah, jual beli anak mumayyiz yang
belum baligh tidak sah sebab tidak ada ahliah.
Adapun menurut ulama Malikiyah, Hanafiyah dan hanabilah, jual
beli anak kecil dipandang sah jika diizinkan walinya. Mereka antara
lain beralasan salah satu cara untuk melatih kedewasaan adalah
dengan memberikan keleluasaan untuk jual beli, juga pengamalan
atas firman Allah Swt.
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.
kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai
memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.
dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas
kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya)
sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu)
~ 208 ~
Bab X: Jual Beli

mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak


yatim itu). Dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan
harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan
harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi
(tentang penyerahan itu) bagi mereka, dan Cukuplah Allah sebagai
Pengawas (atas persaksian itu),” (QS. An-Nisaa„ [4]: 6)
c. Jual beli orang buta
Jual beli orang buta dikategorikan shahih menurut jumhur jika
barang yang dibelinya diberi sifat (diterangkan sifat-sifatnya).
Adapun menurut ulama Syafi„iyah, jual beli orang buta itu tidak sah
sebab ia tidak dapat membedakan barang yang jelek dan yang baik.
d. Jual beli terpaksa
Menurut ulama Hanafiyah, hukum jual beli orang terpaksa seperti
jual beli fudhul (jual beli tanpa seizin pemiliknya) yakni
ditangguhkan (mauquf).
Oleh karena itu keabsahannya ditangguhkan sampai rela (hilang rasa
terpaksa). Menurut ulama Malikiyah, tidak lazim baginya ada khiyar.
Adapun menurut ulama Syafi„iyah dan Hanabilah, jual beli tersebut
tidak sah sebab tidak ada keridaan ketika akad.
e. Jual beli fudhul
Jual beli fudhul adalah jual beli milik orang tanpa seizin pemiliknya.
Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, jual beli ditangguhkan
sampai ada izin pemiliknya.
Adapun menurut ulama Hanabilah dan Syafi„iyah, jual beli fudhul
tidak sah.
f. Jual beli orang yang terhalang
Maksud terhalang di sini adalah terhalang karena kebodohan,
bangkrut ataupun sakit. Jual beli orang yang bodoh yang suka
~ 209 ~
Bab X: Jual Beli

menghamburkan hartanya, menurut pendapat ulama Malikiyah,


Hanafiyah dan pendapat paling shahih di kalangan Hanabilah, harus
ditangguhkan.
Adapun menurut ulama Syafi„iyah, jual beli tersebut tidak sah sebab
tidak ada ahli dan ucapannya dipandang tidak dapat dipegang.
Begitu pula ditangguhkan jual beli orang yang sedang bangkrut
berdasarkan ketetapan hukum, menurut ulama Malikiyah dan
Hanafiyah. Sedangkan menurut ulama Syafi„iyah dan Hanabilah, jual
beli tersebut tidak sah.
Menurut jumhur selain Malikiyah, jual beli orang sakit parah yang
sudah mendekati mati hanya dibolehkan sepertiga dari hartanya
(tirkah), dan bila ingin lebih dari sepertiga, jual beli tersebut
ditangguhkan kepada izin ahli warisnya.
Menurut Ulama Malikiyah, sepertiga dari hartanya hanya dibolehkan
pada harta yang tidak bergerak seperti rumah, tanah dll.
g. Jual beli malja„
Jual beli malja„ adalah jual beli orang yang sedang dalam bahaya,
yakni untuk menghindar dari perbuatan zalim. Jual beli tersebut fasid,
menurut ulama Hanafiyah dan batal menurut ulama Hanabilah.

2. Terlarang Sebab Shighat


Ulama fiqih telah sepakat atas sahnya jual beli yang didasarkan pada
keridaan di antara pihak yang melakukan akad, ada kesesuaian di antara
ijab beli yang telah disepakati oleh pihak akad, berkenaan dengan
barang maupun harganya tetapi tidak memakai ijab qabul. Jumhur
ulama mengatakan shahih apabila ada ijab dari salah satunya.
Begitu pula dibolehkan ijab qabul dengan isyarat, perbuatan atau
cara-cara lain yang menunjukkan keridaan. Memberikan barang dan
~ 210 ~
Bab X: Jual Beli

menerima uang dipandang sebagai shighat dengan perbuatan atau


isyarat.
Adapun ulama Syafi„iyah (Muhammad asy-Syarbini, Mughni al-
Muhtaj, juz 2, hal.3) berpendapat bahwa jual beli harus disertai ijab
qabul yakni dengan shighat lafazh, tidak cukup dengan isyarat sebab
keridhaan sifat itu tersembunyi dan tidak dapat diketahui kecuali dengan
ucapan. Mereka hanya membolehkan jual beli dengan isyarat bagi orang
yang uzur.
Jual beli mu„athah dipandang tidak sah menurut ulama Hanafiyah
tetapi sebagian ulama Syafi„iyah membolehkannya seperti Imam
Nawawi. (As-Suyuti, Al-Asbah, hal. 89)
Menurutnya, hal itu dikembalikan kepada kebiasaan manusia.
Begitu pula Ibn Suraij dan dan qabul, berada di satu tempat dan tidak
terpisah oleh suatu pemisah.
Jual beli yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dipandang
tidak sah. Beberapa jual beli yang dipandang tidak sah atau masih
diperdebatkan oleh para ulama adalah sbb :
a. Jual beli mu„athah
Adalah jual beli dengan mengambil dan memberikan barang tanpa
ijab qabul secara lisan. Ar-Ruyani membolehkannya dalam hal-hal
kecil.
b. Jual beli melalui surat atau melalui utusan
Disepakati ulama fiqih bahwa jual beli melalui surat atau utusan
adalah sah. Tempat berakad adalah sampainya surat atau utusan dari
aqid pertama kepada aqid kedua. Jika qabul melebihi tempat, akad
tersebut dipandang tidak sah seperti surat tidak sampai ke tangan
yang dimaksud.
~ 211 ~
Bab X: Jual Beli

c. Jual beli dengan isyarat atau tulisan


Disepakati keshahihan akad dengan isyarat atau tulisan khususnya
bagi yang uzur sebab sama dengan ucapan. Selain itu, isyarat juga
menunjukkan apa yang ada dalam hati aqid. Apabila isyarat tidak
dapat dipahami dan tulisannya jelek (tidak dapat dibaca), akad tidak
sah.
d. Jual beli barang yang tidak ada di tempat akad
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli atas barang yang tidak ada di
tempat adalah tidak sah sebab tidak memenuhi syarat terjadinya
aqad.
e. Jual beli tidak bersesuaian antara ijab dan qabul
Hal ini dipandang tidak sah menurut kesepakatan ulama. Akan tetapi,
jika lebih baik, seperti meninggalkan harga, menurut ulama
Hanafiyah membolehkannya, sedangkan ulama Syafi„iyah
menganggapnya tidak sah.
f. Jual beli munjiz
Adalah yang dikaitkan dengan suatu syarat atau ditangguhkan pada
waktu yang akan datang. Jual beli ini, dipandang fasid menurut ulama
Hanafiyah, dan batal menurut jumhur ulama.

3. Terlarang Sebab Ma’qud Alaih (Barang Jualan)


Secara umum, ma„qud alaih adalah harta yang dijadikan alat pertukaran
oleh orang yang akad, yang biasa disebut mabi„ (barang jualan) dan
harga.
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli dianggap sah apabila ma„qud
alaih adalah barang yang tetap atau bermanfaat, berbentuk, dapat
diserahkan, dapat dilihat oleh orang-orang yang akad, tidak
bersangkutan dengan milik orang lain dan tidak ada larangan dari syara„.
~ 212 ~
Bab X: Jual Beli

Selain itu, ada beberapa masalah yang disepakati oleh


sebagian ulama tetapi diperselisihkan oleh ulama lainnya, di
antaranya adalah sebagai berikut:
a. Jual beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada
Jumhur ulama sepakat bahwa jual beli barang yang tidak ada atau
dikhawatirkan tidak ada adalah tidak sah.
b. Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan
Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan, seperti burung yang ada
di udara atau ikan yang ada di air tidak berdasarkan ketetapan syara„.
c. Jual beli gharar
Jual beli gharar adalah jual beli barang yang mengandung kesamaran.
Hal itu dilarang dalam Islam sebab Rasulullah Saw bersabda,
“janganlah kamu membeli ikan dalam air karena jual beli seperti itu
termasuk gharar (menipu)”. (HR Ahmad)
Menurut Ibn Jazi al-Maliki, gharar yang dilarang ada 10 macam :
 Tidak dapat diserahkan, seperti menjual anak hewan yang masih
dalam kandungan induknya
 Tidak diketahui harga dan barang
 Tidak diketahui sifat barang atau harga
 Tidak diketahui ukuran barang dan harga
 Tidak diketahui masa yang akan datang seperti, “Saya jual
kepadamu jika fulan datang”.
 Menghargakan dua kali pada satu barang
 Menjual barang yang diharapkan selamat
 Jual beli husha„ misalnya pembeli memegang tongkat, jika
tongkat jatuh maka wajib membeli

~ 213 ~
Bab X: Jual Beli

 Jual beli munabadzah yaitu jual beli dengan cara lempar


melempari seperti seseorang melempar bajunya, kemudian yang
lain pun melembar bajunya maka jadilah jual beli
 Jual beli mulasamah apabila mengusap baju atau kain maka
wajib membelinya
d. Jual beli barang yang najis dan yang terkena najis
Ulama sepakat tentang larangan jual beli barang yang najis seperti
khamr. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang barang yang
terkena najis (al-mutanajis) yang tidak mungkin dihilangkan seperti
minyak yang terkena bangkai tikus.
Ulama Hanafiyah membolehkannya untuk barang yang tidak untuk
dimakan, sedangkan ulama Malikiyah membolehkannya setelah
dibersihkan.
e. Jual beli air
Disepakati bahwa jual beli air yang dimiliki seperti air sumur atau
yang disimpan di tempat pemiliknya dibolehkan oleh jumhur ulama
empat madzhab. Sebaliknya ulama zhahiriyah melarang secara
mutlak.
Juga disepakati larangan atas jual beli air yang mubah yakni semua
manusia boleh memanfaatkannya.
f. Jual beli barang yang tidak jelas (majhul)
Menurut ulama Hanafiyah, jual beli seperti ini adalah fasad,
sedangkan menurut jumhur batal sebab akan mendatangkan
pertentangan di antara manusia.
g. Jual beli barang yang tidak ada di tempat akad (ghaib), tidak dapat
dilihat

~ 214 ~
Bab X: Jual Beli

Menurut ulama Hanafiyah, jual beli seperti ini dibolehkan tanpa


harus menyebutkan sifat-sifatnya tetapi pembeli berhak khiyar ketika
melihatnya.
Ulama Syafi„iyah dan Hanabilah menyatakan tidak sah, sedangkan
ulama Malikiyah membolehkannya bila disebutkan sifat-sifatnya dan
mensyaratkan 5 macam :
 Harus jauh sekali tempatnya
 Tidak boleh dekat sekali tempatnya
 Bukan pemiliknya harus ikut memberikan gambaran
 Harus meringkas sifat-sifat barang secara menyeluruh
 Penjual tidak boleh memberikan syarat

h. Jual beli sesuatu sebelum dipegang


Ulama Hanafiyah melarang jual beli barang yang dapat dipindahkan
sebelum dipegang tetapi untuk barang yang tetap dibolehkan.
Sebaliknya, ulama Syafi„iyah melarangnya secara mutlak. Ulama
Malikiyah melarang atas makanan, sedangkan ulama Hanabilah
melarang atas makanan yang diukur.
i. Jual beli buah-buahan atau tumbuhan
Apabila belum terdapat buah, disepakati tidak ada akad. Setelah ada
buah tetapi belum matang, akadnya fasid menurut ulama Hanafiyah
dan batal menurut jumhur ulama. Adapun jika buah-buahan atau
tumbuhan itu telah matang, akadnya dibolehkan.

~ 215 ~
Bab X: Jual Beli

4. Terlarang Sebab Syara’


Ulama sepakat membolehkan jual beli yang memenuhi persyaratan dan
rukunnya. Namun demikian, ada beberapa masalah yang diperselisihkan
di antara para ulama, di antaranya berikut ini :
a. Jual beli riba
Riba nasiah dan riba fadhl adalah fasid menurut ulama Hanafiyah
tetapi batal menurut jumhur ulama.
b. Jual beli dengan uang dari barang yang diharamkan
Menurut ulama Hanafiyah termasuk fasid (rusak) dan terjadi akad
atas nilainya, sedangkan menurut jumhur ulama adalah batal sebab
ada nash yang jelas dari hadits Bukhari dan Muslim bahwa
Rasulullah Saw mengharamkan jual beli khamr, bangkai, anjing dan
patung.
c. Jual beli barang dari hasil pencegatan barang
Yakni mencegat pedagang dalam perjalanannya menuju tempat yang
dituju (pasar) sehingga orang yang mencegatnya akan mendapat
keuntungan. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hal itu makruh
tahrim.
Ulama Syafi„iyah dan Hanabilah berpendapat, pembeli boleh khiyar.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jual beli seperti itu termasuk
fasid.
d. Jual beli waktu adzan Jum„at
Yakni bagi laki-laki yang berkewajiban melaksanakan salat Jum„at.
Menurut ulama Hanafiyah pada waktu adzan pertama. Sedangkan
menurut ulama lainnya, adzan ketika khatib sudah berada di mimbar
(adzan kedua).

~ 216 ~
Bab X: Jual Beli

Ulama Hanafiyah menghukumi makruh tahrim, sedangkan ulama


Syafi„iyah menghukumi shahih haram. Tidak jadi pendapat yang
masyhur di kalangan ulama Malikiyah dan tidak sah menurut ulama
Hanabilah.
e. Jual beli anggur untuk dijadikan khamr
Menurut ulama Hanafiyah dan Syafi„iyah zhahirnya shahih tetapi
makruh. Sedangkan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah adalah
batal.
f. Jual beli induk tanpa anaknya yang masih kecil
Hal itu dilarang sampai anaknya besar dan dapat mandiri.
g. Jual beli barang yang sedang dibeli oleh orang lain
Seseorang telah sepakat akan membeli suatu barang, namun masih
dalam khiyar, kemudian datang orang lain yang menyuruh untuk
membatalkannya sebab ia akan membelinya dengan harga yang
tinggi.
h. Jual beli memakai syarat
Menurut ulama Hanafiyah, sah jika syarat tersebut baik, seperti,
“Saya akan membeli baju ini dengan syarat bagian yang rusak dijahit
dulu”.
Begitu pula menurut ulama Malikiyah membolehkannya jika
bermanfaat. Menurut ulama Syafi„iyah dibolehkan jika syarat
maslahat bagi salah satu pihak yang melangsungkan akad, sedangkan
menurut ulama Hanabilah, tidak dibolehkan jika hanya bermanfaat
bagi salah satu yang akad.[]

~ 217 ~
Bab X: Jual Beli

~ 218 ~
BAB XI
WAKAF

11.1. Pengertian Wakaf


Menurut bahasa wakaf berasal dari kata waqf, yang berarti radiah
(terkembalikan), al-Tahbis (tertahan), al-Tasbil (tertawan) dan al-Man„u
(mencegah). Ia disebut pula dengan al-Habs (jamaknya al-Ahbas). Secara
bahasa, al-Habs berarti al-Sijn (penjara), diam, cegah, rintangan,
halangan, tahanan, dan pengamanan. Gabungan kata ahbasa (al-Habs)
dengan al-Mal (harta) berarti wakaf (ahbasa al-Mal).
Penggunaa kata al-Habs dengan arti wakaf terdapat dalam
beberapa riwayat, yaitu:
Pertama, dalam hadis riwayat Imam Bukhari dari Ibn ‘Umar yang
menjelaskan bahwa Umar bin Khatab datang kepada Nabi saw.
meminta petunjuk pemanfaatan tanah miliknya di Khaibar. Nabi saw.
lalu bersabda, “Bila engkau menghendaki, tahanlah pokoknya dan
sedekahkanlah hasinya (manfaatnya)!”
Kedua, dalam hadis riwayat Ibn Abbas (yang dijadikan alasan
hukum oleh Imam Abu Hanifah) dijelaskan bahwa Nabi Muhammad
saw. bersabda, “Harta yang sudah berkedudukan sebagai tirkah (harta
pusaka) tidak lagi termasuk benda wakaf.”
Dalam hadis dikatakan bahwa wakaf disebut dengan sedekah
jariah (shadaqah jariyah) dan al-Habs (harta yang pokoknya dikelola
dan hasilnya didermakan). Oleh karena itu, nomenklatur wakaf dalam

~ 219 ~
kitab-kitab hadis dan fikih tidak seragam. Al-Syarkhasi dalam kitab al-
Mabsuth, memberikan nomenklatur wakaf dengan Kitab al-Waqf. Imam
Malik menuliskannya dengan nomenklatur Kitab Habs wa al-Shadaqat.
Imam Syafi„i dalam al-Umm memberikan nomenklatur wakaf dengan al-
Ahbas. Dan bahkan, Imam Bukhari menyertakan hadis-hadis tentang
wakaf dengan nomenklatur Kitab al-Washaya. Oleh karena itu, secara
nomenklatur wakaf disebut dengan al-Ahbas, shadaqat jariyat, dan al-
Waqf.
Keragaman nomenklatur wakaf terjadi karena tidak ada kata
wakaf yang eksplisit dalam Al-Quran dan hadis. Hal ini menunjukan
bahwa wilayah ijtihad dalam bidang wakaf lebih besar daripada wilayah
tawqifi.
Sementara itu, menurut Wahbah Zuhaily, wakaf pada hakikatnya
adalah menahan harta (benda) milik orang yang berwakaf, kemudian
menyedakahkan manfaatnya kepada jalan kebaikan.
Adapun menurut empat imam mazhab, wakaf memiliki beberapa
pengertian, yaitu:
Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi
benda (al-‘Ain) milik wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan
manfaatnya kepada siapa pun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan
(Ibnu al-Humam, 6/203). Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahwa
kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan
wakif itu sendiri. Dengan artian, wakif masih menjadi pemilik harta yang
diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat
harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya.
Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan
manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara
sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad
(shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan wakif

~ 220 ~
(al-Dasuqi: 2/187). Definisi wakaf tersebut hanya menentukan
pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.
Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang
bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya ( al-‘Ain) dengan cara
memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh wakif untuk diserahkan
kepada nazhir yang dibolehkan oleh syariah (al-Syarbini: 2/376).
Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang
kekal materi bendanya (al-‘Ain), dengan artian harta yang tidak mudah
rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan
(al-Syairazi: 1/575).
Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang
sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan
manfaat yang dihasilkan (Ibnu Qudamah: 6/185). Itu menurut para
ulama ahli fikih. Bagaimana menurut undang-undang di Indonesia?
Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan
perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau
untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna
keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Kata “wakaf” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: (1)
tanah Negara tidak dapat diserahkan kepada siapa pun dan digunakan
untuk tujuan amal; (2) benda bergerak atau tidak bergerak yang
disediakan untuk kepentingan umum (Islam) sebagai pemberian yang
ikhlas. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 215 wakaf
adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakan untuk

~ 221 ~
selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum
lainnya sesuai dengan ajaran Islam.

11.2. Dasar Hukum Wakaf


Allah telah mensyariatkan wakaf dengan menganjurkannya dan
menjadikannya sebagai salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada-
Nya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Barang siapa mewakafkan seekor kuda di jalan Allah dengan penuh
keimanan dan keikhlasan, maka makannya, tahinya dan kencingnya itu
menjadi amal kebaikan pada timbangan di hari kiamat nanti.”
Dalam riwaat lain dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw.
bersabda, “Bila manusia mati maka terputuslah amalnya kecuali tiga
perkara, yaitu: (1) sedekah jariyah, (2) ilmu yang bermanfaat, atau (3)
anak saleh yang mendoakannya.”
Allah Swt. berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sampai kebajikan
(yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang
kamu cintai,” (QS. Ali ‘Imran [3]: 92).
11.3. Persyaratan wakaf
Abdul Wahhab Khallaf menetapkan rukun wakaf pada empat kategori
yang signifikan, yaitu:
1) Wakif, yakni pemilik harta benda yang melakukan tindakan hukum.
2) Mauquf bih sebagai obyek perbuatan hukum.
3) Mauquf ‘alaih, (tujuan) atau yang berhak menerima wakaf
4) Shighat atau ikrar wakaf dari waqif.
Rukun wakaf sebagaimana telah di kemukakan, masing-masing
harus memenuhi syarat-syarat yang disepakati jumhur ulama. Untuk itu,
setiap bagian dari rukun wakaf tersebut memerlukan penjelasan dan

~ 222 ~
pengkajian deskriftif berdasarkan pandangan ulama mujtahid. Hal ini
sangat penting, di samping untuk mengungkap khasana keragaman
persepsi dan pandangan, juga sebagai alternatif landasan teoritik dalam
pengkajian perwakafan.
Ada dua istilah yang perlu dipahami berkaitan kecakapan
bertindak yang disebut dalam kitab-kitab fikih Islam, yakni baligh dan
“rasyid”. Baligh dikonsentrasikan pada umur yang menurut jumhur
ulama telah berusia minimal 15 tahun. Adapun yang dimaksud “rasyid”
adalah cerdas atau kematangan dalam bertindak. Menurut jumhur
ulama, tidak sah wakaf yang dilakukan oleh orang bodoh dan orang
yang pailit. Sedangkan golongan Hanafiyah berpendapat bahwa tidak
dapat dilaksanakan wakaf dari orang yang berutang dan pailit kecuali
seizin orang yang memberi utang.
Syarat-syarat wakaf menurut Badan Zakat Indonesia, yaitu:
1) Orang yang berwakaf (al-Waqif)
Syarat-syarat al-waqif ada empat. Pertama, orang yang berwakaf ini
mestilah memiliki secara penuh harta itu. Artinya, ia merdeka untuk
mewakafkan harta itu kepada orang yang ia kehendaki. Kedua, ia
mestilah orang yang berakal. Tak sah wakaf orang bodoh, orang gila,
atau orang yang sedang mabuk. Ketiga, ia mestilah baligh. Dan
keempat, ia mestilah orang yang mampu bertindak secara hukum
(rasyid). Implikasinya orang bodoh, orang yang sedang muflis dan
orang lemah ingatan tidak sah mewakafkan hartanya.
2) Harta yang diwakafkan (al-Mauquf).
Syarat harta yang diwakafkan itu tidak sah dipindahmilikkan, kecuali
apabila ia memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan Pertama,
barang yang diwakafkan itu mestilah barang yang berharga. Kedua,
harta yang diwakafkan itu mestilah diketahui kadarnya. Jadi apabila
harta itu tidak diketahui jumlahnya (majhul), maka pengalihan milik
ketika itu tidak sah. Ketiga, harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki
~ 223 ~
oleh orang yang berwakaf (wakif). Keempat, harta itu mestilah berdiri
sendiri, tidak melekat kepada harta lain ( mufarrazan) atau disebut
juga dengan istilah (ghaira shai„).
3) Orang yang menerima manfaat wakaf (al-Mauquf alaih)
Dari segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua
macam. Pertama, tertentu (mu„ayyan) dan tidak tertentu (ghaira
mu„ayyan). Yang dimasudkan dengan tertentu ialah jelas orang yang
menerima wakaf itu, apakah seorang, dua orang, atau satu kumpulan
yang semuanya tertentu dan tidak boleh dirubah. Sedangkan yang
tidak tertentu (ghaira mu„ayyan) maksudnya tempat berwakaf itu
tidak ditentukan secara terperinci. Misalnya, seseorang sesorang
untuk orang fakir, miskin, tempat ibadah, dll. Persyaratan bagi orang
yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf mu„ayyan) bahwa ia
mestilah orang yang boleh untuk memiliki harta (ahlan li al-tamlik).
Karenanya, orang muslim, merdeka, dan kafir zimmi yang memenuhi
syarat ini boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang bodoh, hamba
sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf.
Ada syarat-syarat yang berkaitan dengan ghaira mu„ayyan. Pertama,
orang yang akan menerima wakaf itu mestilah dapat menjadikan
wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya dapat mendekatkan diri
kepada Allah. Kedua, wakaf ini hanya ditujukan untuk kepentingan
Islam saja.
4) Shigat atau ikrar
Berkaitan dengan isi ucapan (sighat) perlu ada beberapa syarat.
Pertama, ucapan itu mestilah mengandung kata-kata yang
menunjukkan kekalnya (ta„bid). Tidak sah wakaf kalau ucapan
dengan batas waktu tertentu. Kedua, ucapan itu dapat direalisasikan
segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada syarat
tertentu. Ketiga, ucapan itu bersifat pasti. Keempat, ucapan itu tidak
diikuti oleh syarat yang membatalkan. Apabila semua persyaratan di
atas dapat terpenuhi maka penguasaan atas tanah wakaf bagi
~ 224 ~
penerima wakaf adalah sah. Pewakaf tidak dapat lagi menarik balik
pemilikan harta itu telah berpindah kepada Allah dan penguasaan
harta tersebut adalah orang yang menerima wakaf secara umum ia
dianggap pemiliknya tapi bersifat ghaira tammah.

11.4. Macam-Macam Wakaf


Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa wakaf terbagi kepada dua macam,
yaitu:
1) Wakaf Ahli
Wakaf Ahli di sebut juga wakaf keluarga atau khusus, yaitu wakaf
yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau terbilang,
baik keluarga wakif maupun orang lain. Misalnya, seseorang
mewakafkan buku-buku yang ada di perpustakaan pribadinya untuk
turunannya yang mampu menggunakannya. Wakaf semacam ini
dipandang sah dan yang berhak menikmati harta wakaf itu ialah orang-
orang yang di tunjuk dalam pernyataan wakaf. Dalam satu segi wakaf
ahli ini sangat baik, karena si wakif mendapat dua kebaikan, yaitu
kebaikan dari amal ibadah wakafnya dan kebaikan silaturrahminya.
Akan tetapi pada sisi lain, wakaf ahli sering menimbulkan masalah,
karena adalah apabila keturunan (keluarga) atau orang-orang yang
ditunjuk tidak ada lagi yang mampu mempergunakan benda-benda
wakaf atau yang ditunjuk untuk memanfaatkan benda-benda wakaf
telah “punah”, maka nasib harta wakaf itu menjadi tidak jelas. Bila hal itu
terjadi, maka dikembalikan kepada tujuan wakaf pada umumnya, yaitu
dimanfaatkan untuk menegakkan agama Allah atau untuk kepentingan
sosial.
Sekalipun agama Islam membolehkan wakaf keluarga, tetapi
beberapa negara Islam, seperti Mesir, Syiria, dan negara-negara lain yang
pernah melaksanakannya, mengalami kesulitan dalam meyelesaikan
perkara atau persoalan yang ditimbulkannya. Mesir telah
~ 225 ~
menghapuskan lembaga wakaf keluarga dengan undang-undang No.
180 tahun 1952. Penghapusan aturan itu juga telah dilakukan Syiria.
Sedangkan Indonesia PP No. 28 tahun 1977 secara tegas meyatakan
bahwa wakaf keluarga tidak termasuk dalam ruang lingkupnya. Oleh
karena itu, perlu dipikirkan kemungkinan terjadinya wakaf keluarga di
Indonesia pada masa-masa yang akan datang.
Maksud semula dari wakaf keluarga adalah sama dengan wakaf
umum, yaitu untuk berbuat baik pada orang lain dalang rangka
pelaksanaan amal kebajikan menurut ajaran Islam. Namun, terjadi
penyalagunaan, misalnya mewakafkan sebidang kebun yang hasilnya
untuk dimanfaatkan dalam membina suatu pengajian dan sebagainya,
tetapi sebagian atau seluruhnya justru digunakan untuk kepentingan
nazir.

2) Wakaf Khairi
Wakaf khairi atau wakaf umum ini perlu digalakkan dan
dianjurkan, agar kaum muslimin melakukannya, karena dapat dijadikan
modal untuk menegakkan agama Allah, membina sarana keagamaan,
membangun sekolah, menolong fakir miskin, anak yatim, orang terlantar
dan kepentingan umum lainnya. Wakaf khairi adalah wakaf yang
pahalanya terus menerus mengalir dan diperoleh wakif sekalipun ia
telah meninggal dunia. Wakaf khairi atau wakaf umum sungguh lebih
besar manfaatnya daripada wakaf ahli dalam kehidupan umat Islam,
karena pemanfaatannya tidak terbatas pada satu orang atau kelompok
tertentu saja, melainkan untuk umat Islam secara umum. Wakaf khairi
paling sesuai dengan tujuan wakaf. Dalam wakaf ini si wakif boleh
melaksanakan shalat dan ikut memelihara masjid itu, atau seseorang
yang mewakafkan sumur dapat mengambil air dari sumur itu. Demikian
pula bila wakaf sekolah maka si wakif dapat menyekolahkan anak-
anaknya atau keluarganya di sekolah itu.

~ 226 ~
3) Wakaf Uang
Sebagai lembaga atau institusi yang dapat mensejahterahkan
masyarakat, wakaf semakin maju, tidak hanya berupa tanah, uang pun
dapat diwakafkan. Langkah ini menjadi gerakan alternatif dalam
pemberdayaan umat dan meningkatkan kesejahteraan ekonominya.
Saat ini, telah tercetus Gerakan Nasional Wakaf Indonesia (GNWU) yang
digagas oleh Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI).
Wakaf uang dalam Islam bukan sesuatu yang baru. Muhammad
Abdullah al-Anshari, murid dari Zufar (sahabat Abu Hanifah) telah
membolehkan wakaf dalam bentuk uang. Dalam Mazhab Hanafi,
sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Abidin, sah tidaknya wakaf uang
tergantung kebiasaan di suatu tempat. Namun demikian, ada juga ulama
yang tidak membolehkan wakaf uang. Ibn Qudamah dalam
meriwayatkan pendapat dari sebagian besar ulama yang tidak
membolehkan wakaf uang dirham, dengan alasan dinar dan dirham
akan lenyap ketika dilakukan pembayaran, sehingga tidak ada lagi
wujudnya. Ibnu Qudamah juga menjelaskan salah satu pendapat dari
kalangan yang tidak membolehkan mempersewakan uang. Hal ini telah
diuraikan oleh Latif Muhammad Amir bahwa segala sesuatu yang tidak
dapat dimanfaatkan, todak boleh diwakafkan, apalagi telah hilang
zatnya, misalnya emas, uang kertas, makanan dan minuman.

11.5. Hikmah Berwakaf


Karena besarnya manfaat wakaf ini, maka wakaf tidak cukup hanya
dipahami sebatas aturan atau hukumnya saja, tetapi juga filosofi dan
hikmahnya, sehingga pengumpulan harta wakaf dan pendayagunaan-
nya bisa dilakukan seoptimal mungkin.
1) Wakaf sebagai ibadah sosial
Ibadah sosial adalah jenis ibadah yang lebih berorientasi pada habl min
al-Nas, hubungan manusia dengan lingkungannya, atau biasa juga
~ 227 ~
disebut kesalehan sosial. Ini adalah satu paket dalam kesempurnaan
ibadah seorang hamba di samping kesalehan dalam ibadah vertikal, habl
min Allah. Keduanya ibarat dua keping mata uang yang tak terpisahkan.
Wakaf, dalam konteks ini, masuk dalam kategori ibadah sosial. Dalam
pandangan agama, wakaf adalah bentuk amal jariah yang pahala akan
terus mengalir hingga hari Akhir, meski orangnya telah tutup usia.
Rasulallah saw. bersabda, “Apabila anak Adam meninggal maka
terputuslah semua amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu
yang bermanfaat, dan anak soleh yang mendoakannya,” (HR. Muslim).
Imam Nawawi dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim
menjelaskan, yang dimaksud dengan sedekah jariyah adalah wakaf.
Sedangkan yang dimaksud wakaf adalah menahan harta dan
membagikan (memanfaatkan) hasilnya. Wakaf mempunyai derajat
khusus, karena ia mempunyai manfaat yang besar bagi kemajuan umat.
Karenanya, suatu hal wajar apabila wakaf disamakan statusnya dengan
ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakan orang tuanya.
Itulah keistimewaan wakaf, yang tidak dimiliki amal ibadah lain.
Wakaf disyariatkan pada tahun ke-2 Hijriyah. Para ulama
berpendapat bahwa pelaksanaan wakaf pertama dilakukan oleh Umar
ibn Khaththab terhadap tanahnya yang terletak di Khaibar ( Tafsir Ibnu
Katsir Juz I 381; Fiqh al-Sunnah, jilid III: 381; Subul al-Salam: 87).
Menurut keterangan Ibnu Umar, sahabat Umar ibn Khaththab
menyedekahkan hasil wakafnya itu kepada fakir miskin, sahabat, hamba
sahaya, sabilillah, ibnu sabil, dan kepada para tamu. Pendapat lain
mengatakan, wakaf pertama kali dilakukan oleh Rasulullah saw.
terhadap tanahnya yang digunakan untuk masjid Quba di Madinah,
sebagaimana riwayat yang disebutkan oleh Umar ibn Sya„bah dari Amr
ibn Sa„ad ibn Muadz yang berkata, “Kami bertanya tentang mula-mula
wakaf dalam Islam. Orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar,

~ 228 ~
sedangkan orang-orang Anshor mengatakan wakaf Rasulullah saw.”
(Asy-Syaukani 1374 H: 129).
Dalam sejarah peradaban Islam, wakaf banyak digunakan untuk
amal sosial atau kepentingan umum, sebagaimana dilakukan oleh
sahabat ‘Umar ibn Khaththab. Beliau memberikan hasil kebunnya
kepada fakir miskin, ibnu sabil, sabilillah, para tamu, dan hamba sahaya
(budak) yang sedang berusaha menebus dirinya. Wakaf ini ditujukan
kepada umum, dengan tidak membatasi penggunaannya, yang
mencakup semua aspek untuk kepentingan dan kesejahteraan umat
manusia pada umumnya.
Kepentingan umum itu kini bisa berupa jaminan sosial,
pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Hal tersebut merupakan salah satu
segi dari bentuk-bentuk penggunaan wakaf membelanjakan atau
memanfaatkan harta di jalan Allah Swt. melalui pintu wakaf. Dengan
demikian, dilihat dari segi manfaat pengelolaannya, wakaf sangat berjasa
besar dalam membangun berbagai sarana untuk kepentingan umum
demi kesejahteraan umat.

2) Wakaf mengalirkan pahala tiada akhir


Dalil yang menjadi dasar keutamaan ibadah wakaf dapat kita lihat dari
beberapa ayat Al-Quran dan Hadit, antara lain:
 Surat Ali Imran ayat 92. Allah berfirman, “Kamu sekali-kali tidak
sampai kepada kebaktian (yang sempurna) sebelum kamu
menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang
kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahui.”
 Surat al-Baqarah ayat 261. Allah berfirman, “Perumpamaan (nafkah
yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di
jalan Allah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh
butir, pada tiap-tiap butir tumbuh seratus biji. Allah melipatgandakan

~ 229 ~
(ganjaran) bagi siapa saja yang Dia kehendaki, Dan Allah Maha
Kuasa (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
 Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi Muhammad saw
bersabda, “Apabila anak Adam meninggal dunia maka putuslah
amalnya, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat,
dan anak saleh yang mendoakan orang tuanya.” Hadis ini
dikemukakan dalam Bab Wakaf, karena sedekah jariyah oleh para
ulama ditafsirkan sebagai wakaf. Di antara para ulama yang
menafsirkan dan mengelompokkan sedekah jariyah sebagai wakaf
adalah Asy-Syaukani, Sayyid Sabiq, Imam Taqiyuddin, dan Abu Bakr.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, para ulama sepakat bahwa
yang dimaksud sedekah jariyah dalam hadis tersebut adalah wakaf.
Itulah antara lain beberapa dalil yang menjadi dasar hukum
disyariatkannya wakaf dalam Islam.
Kemudian dari segi keutamaannya, Syaikh Abdullah Ali Bassam
berkata, “Wakaf adalah sedekah yang paling mulia. Allah Swt.
menganjurkannya dan menjanjikan pahala yang sangat besar bagi yang
berwakaf, karena sedekah berupa wakaf tetap terus mengalirkan
kebaikan dan mashlahatnya.”
Adapun keutamaan wakaf ini bisa dilihat dari dua sisi yang
berbeda. Bagi penerima hasil ( mauquf alaih), wakaf akan menebarkan
kebaikan kepada pihak yang memperoleh hasil wakaf dan orang yang
membutuhkan bantuan, seperti fakir miskin, anak yatim, korban
bencana, orang yang tidak punya usaha dan pekerjaan, orang yang
berjihad di jalan Allah Swt. Wakaf juga memberi manfaat besar untuk
kemajuan ilmu pengetahuan, seperti bantuan bagi para pengajar dan
penuntut ilmu, serta berbagai pelayanan kemaslahatan umat yang lain.
Sementara itu, bagi pewakaf (wakif), wakaf merupakan amal
kebaikan yang tak akan ada habisnya bagi orang yang berwakaf. Oleh
karenanya, barang yang diwakafkan itu tetap utuh sampai kapan pun. Di
~ 230 ~
samping utuh, barang tersebut juga dikelola dan dimanfaatkan untuk
kepentingan umum. Dengan begitu, pahala yang dihasilkan terus
mengalir kepada wakif, meskipun ia sudah meninggal dunia. Hal inilah
yang membedakan keutamaan wakaf dibanding dengan ibadah lainnya
yang sejenis, seperti zakat.
Beberapa penjelasan tersebut menunjukkan, bahwa
melaksanakan wakaf bagi seorang muslim merupakan realisasi ibadah
kepada Allah melalui harta benda yang dimilikinya, yaitu dengan
melepas benda yang dimilikinya (private benefit) untuk kepentingan
umum (social benefit). Jadi, wakaf adalah jenis ibadah yang istimewa
dan utama bagi orang yang beriman dan beramal saleh. Hanya dengan
memberikan harta untuk wakaf, manfaat dan hasilnya dapat terus
berlipat tanpa henti.
Jika disederhanakan, filosofi orientasi dan hikmah dalam wakaf
itu terdapat tiga poin. Pertama, wakaf untuk sarana prasarana dan
aktivitas sosial. Kedua, wakaf untuk peningkatan peradaban umat. Dan
ketiga, wakaf untuk meningkatkan kesejahteraan umat.

Wakaf untuk sarana dan prasarana ibadah dan aktivitas sosial


Sebenarnya wakaf sudah dikenal dalam masyarakat Arab kuno di Mekah
sebelum kedatangan Nabi Muhammad saw. Di tempat itu, terdapat
bangunan Ka„bah yang dijadikan sarana peribadatan bagi masyarakat
setempat. Al-Quran menyebutnya sebagai tempat ibadah pertama bagi
manusia, yakni QS. Ali Imran ayat 96: “Sesungguhnya rumah yang mula-
mula dibangun untuk (tempat ibadah) manusia adalah Baitullah
(Ka„bah) yang di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk
bagi semua masnusia.” Oleh karena itu, bisa dikatakan, Ka„bah
merupakan wakaf pertama yang dikenal manusia dan dimanfaatkan
untuk kepentingan agama.

~ 231 ~
Sementara itu, dalam Islam, tradisi ini dirintis oleh Rasulullah
Muhammad saw, yang membangun masjid Quba„ di awal
kedatangannya di Madinah. Peristiwa ini dijadikan sebagai penanda
wakaf pertama dalam Islam untuk kepentingan peribadatan dalam
agama. Ini terjadi tak lama setelah Nabi hijrah ke Madinah. Selain itu,
Nabi juga membangun masjid Nabawi yang didirikan di atas tanah anak
Yatim dari bani Najjar. Tanah itu telah dibeli Nabi dengan harga delapan
ratus dirham. Langkah ini menunjukkan, bahwa Nabi telah mewakafkan
tanahnya untuk pembangunan masjid sebagai sarana peribadatan umat
Islam.
Hal tersebut kemudian ditetapkan sebagai ibadah yang diteladani
umat Islam di segala penjuru. Karenanya, tak heran kalau kini banyak
ditemukan masjid hasil wakaf. Di antara masjid-masjid masyhur di dunia
yang dikelola dengan wakaf, antara lain, Masjid al-Azhar dan Masjid al-
Husain di Mesir, Masjid Umawi di Syria, dan Masjid al-Qairawan di
Tunisia. Masjid-masjid itu tak hanya digunakan sebagai sarana ibadah,
tapi juga sebagai tempat dakwah dan pendidikan Islam serta pelayanan
umat dalam bidang-bidang lainnya.

Wakaf untuk peningkatan peradaban umat


Masjid sebagai harta wakaf di masa awal Islam mempunyai peran yang
signifikan. Selain sebagai sarana ibadah, ia juga digunakan untuk
pendidikan dan pengajaran, yang biasa disebut dengan halaqah,
lingkaran studi. Kegiatan ini tak lain merupakan bagian dari upaya
mencerdaskan dan membangun peradaban umat. Di tempat itu,
diajarkan cara membaca al-Quran dan menulis. Di samping itu, didirikan
pula katatib, sejenis sekolah dasar yang mengajarkan membaca, menulis,
bahasa Arab, dan ilmu matematika.
Kemudian dari masjid-masjid itu, lahirlah beribu-ribu sekolah
(madrasah) yang melahirkan ilmuwan-ilmuwan besar. Itu adalah bagian
~ 232 ~
dari keberhasilan umat Islam dalam mengelola harta hasil berderma.
Satu misal, Kerajaan Bani Abasiyah mempunyai tiga puluh diwan
(kementerian) dalam pemerintahannya. Namun, dari 30 diwan itu tidak
ada satu pun yang mengurus tentang pendidikan, karena pendidikan
dikelola dengan baik dan didanai secara cukup oleh wakaf. Bahkan, hal
sekecil apa pun yang terkait dengan pendidikan juga disediakan, apalagi
fasilitas pokok lainnya.
Abdul Qadir Anna„imy (wafat 927 H) menjelaskan dalam
kitabnya, Addaaris Fittaarikh Al Madaris, bahwa wakaf pada saat itu
banyak yang dikhususkan untuk membeli alat-alat gambar untuk para
pelajar dari pemuda-pemuda Mekah dan Madinah. Bahkan, Ibnu Ruzaik
telah mewakafkan harta untuk menyediakan pulpen, kertas, dan tinta.
Harta hasil wakaf umat Islam, kala itu, juga banyak digunakan untuk
kegiatan ilmiah. Misalnya, Ibnu Ala Almaary setelah tamat belajar pada
sekolah yang didanai wakaf di kota Halab, dia pergi ke Baghdad untuk
menambah wawasan dan melakukan penelitian, serta bergabung dalam
diskusi-diskusi umum dan filsafat. Walaupun ia mensosialisasikan
pemikiran filsafatnya yang di antaranya bertentangan dengan opini
keagamaan yang berlaku pada saat itu, ia tetap mendapatkan subsidi
dari wakaf dan tidak dihentikan.
Selain Ibnu Ala Almaary, seorang ahli ilmu matematik, ilmuwan
lain yang mendapatkan biaya dari harta wakaf adalah Yusuf murid Imam
Abu Hanifah yang menjabat sebagai qâdhi qudhât (hakim agung
Kerajaan Bani Abasiah), Muhammad Al-Khawarizmy seorang ahli ilmu
aljabar, Ibnu Sina seorang ahli kedokteran, Ibnu Hisyam seorang ahli
optik, dan lainnya.
Satu hal yang yang perlu dicatat dari perilaku ilmuwan-ilmuwan
yang hidup dan besar dari wakaf adalah semangat mereka untuk
mencari kebenaran. Lembaga wakaf yang telah mendanainya tidak
mengikat dan mengharuskan mereka untuk membawa misi tertentu.
~ 233 ~
Namun, para ilmuwan itu siap mensosialisasikan hasil penelitiannya
kepada masyarakat umum dengan motivasi semata-mata karena Allah.
Dalam sejarah, wakaf model ini termasuk di antara manfaat wakaf yang
paling mendapat perhatian besar dari umat Islam. Hampir di setiap kota
besar di negara-negara Islam, bisa dipastikan, terdapat sekolah,
universitas, perpustakaan, dan islamic centre dari hasil wakaf, seperti di
Damaskus, Baghdad, Kairo, Asfahan, dan berbagai tempat lain.
Wakaf untuk kegiatan ilmiah tersebut kini tetap dilaksanakan,
terutama dalam bentuk beasiswa, gaji pengajar, biaya penelitian (riset),
penyediaan sarana dan prasarana pendidikan, seperti perpustakan dan
alat-alat laboratorium, dan sebagainya. Salah satu contoh wakaf untuk
kepentingan ilmiah adalah Universitas al-Azhar di Mesir yang berdiri
lebih dari 1000 tahun lalu. Hingga kini pembiayaan universitas
kebanggaan umat Islam itu dikelola dari harta wakaf. Hal semacam ini
juga terjadi di seluruh dunia Islam pada masa kini, termasuk di
Indonesia, walau pemanfaatnya belum optimal.

Wakaf untuk peningkatan kesejahteraan umat


Kalau ditarik benang merah dari beberapa pembahasan di atas, maka
akan tampak jelas, bahwa hikmah lain disyariatkannya wakaf adalah
untuk mensejahterakan kehidupan manusia secara umum. Ini sejalan
dengan pandangan ulama al-Azhar Mesir, Ali Ahmad al-Jurjawi, penulis
Hikmah al-Tasyri„ wa Falsafatuhu. Menurutnya, wakaf seharusnya
mampu mengurangi kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin,
serta dapat meningkatkan taraf hidup manusia. Allah berfirman dalam
Al-Quran, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaikan (yang
sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu
cintai,” (QS. Ali Imran [3]: 92). Ketika ayat itu turun, sahabat Nabi Abu
Thalhah berkata, “Wahai Rasul Allah, saya ingin mendermakan kebunku

~ 234 ~
karena Allah.” Kemudian, Nabi menasehatinya agar kebun tersebut
didermakan untuk kepentingan orang-orang fakir miskin.
Kemudian Umar ibnu Khatab pun melakukan hal yang sama.
Sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim dari Ibnu Umar, ia berkata:
“Umar mempunyai tanah di Khaibar, kemudian ia datang kepada
Rasulullah saw. meminta untuk mengolahnya sambil berkata, ‘Ya
Rasulullah, aku memiliki sebidang tanah di Khaibar, tetapi aku belum
mengambil manfaatnya, bagaimana aku harus berbuat?„ Rasulullah
bersabda, ‘Jika engkau menginginkannya, tahanlah tanah itu dan
sedekahkan hasilnya. Tanah tersebut tidak boleh dijual atau
diperjualbelikan, dihibahkan atau diwariskan.„ Ia pun
menyedekahkannya kepada fakir miskin, karib kerabat, budak belian,
dan ibnu sabil. Tidak berdosa bagi orang yang mengurus harta tersebut
untuk menggunakan sekedar keperluannya tanpa maksud memiliki
harta itu.”
Wakaf untuk kesejahteraan umum ini, kemudian berkembang menjadi
berbagai bentuk.
1) Wakaf untuk fasilitas umum, seperti wakaf sumur dan sumber mata
air. Ini bisa dijumpai di tepi-tepi jalan yang bisa menjadi lalu lintas
jamaah haji yang datang dari Iraq, Syam, Mesir, dan Yaman, serta
kafilah yang bepergian menuju India dan Afrika. Di antara sumur-
sumur itu, terdapat wakaf sumur Zubaidah, istri Harun al-Rasyid,
khalifah pemerintahan Abbasiyah.Yang termasuk bentuk ini adalah
wakaf jalan dan jembatan.
2) Wakaf khusus untuk bantuan orang-orang fakir miskin. Wakaf ini
seperti yang digambarkan dalam hadis di atas. Hasil pengelolaannya
digunakan untuk pemberdayaan masyarakar yang masuk kategori
fakir dan miskin. Wujud dari wakaf ini kini bisa beraneka ragam, ada
yang diwujudkan dalam bantuan beasiswa, pengobatan gratis, balai

~ 235 ~
pendidikan dan pelatihan cuma-cuma, bantuan permodalan dan
sebagainya.
3) Wakaf untuk pelestarian lingkungan hidup. Wakaf ini menunjukkan
bahwa kesejahteraan manusia juga harus didukung keseimbangan
ekosistem dan lingkungan hidup di sekitar. Perbaikan masyarkat
tanpa dibarengi pelestarian lingkungan, tentu perbaikan tersebut
berjalan dengan paradoks. Karena itu, harus seimbang. Misalnya,
wakaf tanah terbuka hijau di tengah perkotaan, wakaf sungai dan
salauran air, serta wakaf untuk burung-burung merpati seperti di
Masjidil Haram, Mekah.
Beberapa kutipan hadits dan uraian di atas mempertegas, bahwa
wakaf mempunyai dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat.
Perkebunan yang dijadikan contoh di atas dikelola dengan baik, dan
hasilnya diberikan kepada orang-orang membutuhkan, terutama orang-
orang miskin untuk memenuhi kebutuh dasar mereka, sehingga mereka
tidak sampai kelaparan. Wakaf bermanfaat bagi kesejahteraan
masyarakat, dan pahalanya terus mekar sebagai bekal investasi kelak di
akhirat.[]

~ 236 ~
Bab XII: Makanan dan Minuman

BAB XII
MAKANAN DAN MINUMAN

12.1. Dasar-dasar Perintah Makan dan Minum


12.1.1. Makanan yang haram dalam Islam
Makanan yang diharamkan dalam Islam ada tiga jenis, yaitu:
1) Ada yang diharamkan karena dzatnya. Maksudnya, asal dari
makanan tersebut memang sudah haram, seperti: bangkai, darah,
babi, anjing, khamar, dan selainnya.
2) Ada yang diharamkan karena suatu sebab yang tidak berhubungan
dengan dzatnya. Maksudnya, asal makanannya adalah halal, akan
tetapi ia menjadi haram karena adanya sebab yang tidak berkaitan
dengan makanan tersebut. Contohnya, makanan dari hasil mencuri,
upah perzinahan, sesajen perdukunan, atau makanan yang
disuguhkan dalam acara-acara yang bid„ah.
3) Ada yang diharamkan mengkonsumsi semua makanan dan minuman
yang bisa memudharatkan diri—apalagi kalau sampai membunuh
diri—baik dengan segera maupun dengan cara perlahan. Misalnya,
racun, narkoba dengan semua jenis dan macamnya.
Beberapa makanan yang diharamkan dalam Islam
a) Bangkai
Bangkai adalah semua hewan yang mati tanpa penyembelihan secara
syar„i dan juga bukan hasil perburuan. Allah Swt. berfirman,

~ 237 ~
Bab XII: Makanan dan Minuman

ُ َ َ ُْ ْ َ ُ ْ ْ َ ُ َ َْ ُ ََ ْ َّ ُ
‫لَْ ت ْتا ْم ُيلَة ْاا ت َللَْ ت ْتل ُخ َللِ ْر ت َ ُتيلَِ َِِّ ِلغ ت ِتر َلل َم تتهل َِ ت ْتْ ِلْق ْة ت ِلَْْ ت ِ ل ِ ت ِ َللَة ْ ِ ت ل‬ ‫حرم تتع‬
ْ ُ ْ ْ َ َ ْ ُ ُ ْ َ َ َ َ ُ َ ْ َ ُ َ ّ َ َ ُ َ ُ َ ُ ْ َِ ْ َ
ُ ‫لَةو ُقوذةللَةت ِدغ للَْ ِطاح للمهل كْلَْسبع ِلإَّللمهلذكاا ُي‬
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging
hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang
dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas,
kecuali yang sempat kamu menyembelihnya,” (QS. Al-Ma‘idah [5]: 3).
Dalam ayat lain Allah berfirman, “Dan janganlah kamu memakan
binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika
menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu
adalah suatu kefasikan,” (QS. Al-An„am [6]: 121)
Berdasarkan ayat di atas, ada beberapa jenis bangkai, yaitu:
 Al-Munhaniqoh, yaitu hewan yang mati karena tercekik.
 Al-Mauqudzah, yaitu hewan yang mati karena terkena
pukulan keras.
 Al-Mutaroddiyah, yaitu hewan yang mati karena jatuh dari
tempat yang tinggi.
 An-Nathihah, yaitu hewan yang mati karena ditanduk oleh
hewan lainnya.
 Hewan yang mati karena dimangsa oleh binatang buas.
 Semua hewan yang mati tanpa penyembelihan, misalnya
disetrum.
 Semua hewan yang disembelih dengan sengaja tidak
membaca basmalah.
 Semua hewan yang disembelih untuk selain Allah walaupun
dengan membaca basmalah.
 Semua bagian tubuh hewan yang terpotong/terpisah dari
tubuhnya. Hal ini berdasarkan hadis Abu Waqid secara marfu„,
“Apa-apa yang terpotong dari hewan dalam keadaan ia

~ 238 ~
Bab XII: Makanan dan Minuman

(hewan itu) masih hidup, maka potongan itu adalah bangkai,”


(HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzy dan dishahihkan olehnya)
Namun, diperkecualikan darinya 3 bangkai. Ketiga bangkai ini
halal dimakan, yaitu:
 Ikan, karena ia termasuk hewan air dan telah berlalu
penjelasan bahwa semua hewan air adalah halal
bangkainya kecuali kodok.
 Belalang, berdasarkan hadis Ibnu ‘Umar secara marfu„,
“Dihalalkan untuk kita dua bangkai dan dua darah. Adapun
kedua bangkai itu adalah ikan dan belalang. Dan adapun
kedua darah itu adalah hati dan limfa,” (HR. Ahmad dan
Ibnu Majah).
 Janin yang berada dalam perut hewan yang disembelih. Hal
ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
dan Ashhabus Sunan kecuali an-Nasa‘i, bahwa Nabi saw.
bersabda, “Penyembelihan untuk janin adalah
penyembelihan induknya.” Maksudnya, jika hewan yang
disembelih sedang hamil, maka janin yang ada dalam
perutnya halal untuk dimakan tanpa harus disembelih
ulang (Al-Luqathat fima Yubahu wa Yuhramu minal
Ath„imah wal Masyrubat).
b. Darah
Yakni, darah yang mengalir dan terpancar. Hal ini dijelaskan dalam
surah Al-An„am ayat 145, “Katakanlah, ‘Tiadalah aku peroleh wahyu
yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang
yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, darah
yang mengalir, atau daging babi.” Dikecualikan darinya hati dan limfa
sebagaimana ditunjukkan dalam hadis Ibnu ‘Umar di atas. Juga

~ 239 ~
Bab XII: Makanan dan Minuman

dikecualikan darinya darah yang berada dalam urat-urat setelah


penyembelihan.
c. Daging babi.
Telah berlalu dalilnya dalam surah Al-Ma‘idah ayat tiga di atas. Yang
diinginkan dengan daging babi adalah mencakup seluruh bagian-
bagian tubuhnya termasuk lemaknya.
d. Khamar.
Allah Swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
(meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan
syaitan. Karena itu, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan,” (QS. Al-Ma‘idah [5]: 90).
Dan dalam hadits riwayat Imam Muslim dari Ibnu ‘Umar bahwa
Rasulullah saw. bersabda, “Semua yang memabukkan adalah haram,
dan semua khamar adalah haram.”
Dikiaskan dengannya semua makanan dan minuman yang bisa
menyebabkan hilangnya akal (mabuk), misalnya narkoba dengan
seluruh jenis dan macamnya.
e. Semua hewan buas yang bertaring.
Sahabat Abu Tsa„labah Al-Khusyany ra. meriwayatkan, sesungguhnya
Rasulullah saw. melarang dari (mengonsumsi) semua hewan buas
yang bertaring, (HR. Bukhari dan Muslim).Dan dalam riwayat Muslim
darinya dengan lafazh, “Semua hewan buas yang bertaring maka
memakannya adalah haram.”
Yang diinginkan di sini adalah semua hewan buas yang bertaring dan
menggunakan taringnya untuk menghadapi dan memangsa manusia
dan hewan lainnya. (Lihat: Al-Ifshoh, 1, hlm. 457 dan I„lamul
Muwaqqi„in, 2, hlm. 117). Jumhur ulama berpendapat haramnya
~ 240 ~
Bab XII: Makanan dan Minuman

berlandaskan hadis di atas dan hadis-hadis lain yang semakna


dengannya (Asy-Syarhul Kabir, 11/66, Mughnil Muhtaj, 4/300, dan
Syarh Tanwiril Abshar ma„a Hasyiyati Ibnu ‘Abidin, 5/193).
f. Semua burung yang memiliki cakar.
Maksudnya, semua burung yang memiliki cakar tajam dan kuat yang
ia memangsa dengannya, seperti elang dan rajawali. Jumhur ulama
dari kalangan Empat Imam Mazhab—kecuali Imam Malik—dan
selainnya menyatakan pengharamannya berdasarkan hadis Ibnu
‘Abbas ra., Nabi saw. melarang untuk memakan semua hewan buas
yang bertaring dan semua burung yang memiliki cakar,” (HR. Muslim.
Lihat: Al-Majmu„, 9/22, Al-Muqni„, 3/526-527, dan Takmilah Fathil
Qodir, 9/499).
g. Jallalah.
Ia adalah hewan pemakan feses (kotoran) manusia atau hewan lain,
baik berupa onta, sapi, dan kambing, maupun yang berupa burung,
seperti garuda, angsa (yang memakan feses), ayam (pemakan feses),
dan sebagian gagak (lihat: Nailul Author, 8/128). Hukumnya adalah
haram. Ini merupakan pendapat Imam Ahmad—dalam satu
riwayat—dan salah satu dari dua pendapat dalam mazhab
Syafi„iyah. Mereka berdalilkan dengan hadis riwyat Ibnu ‘Umar ra.
“Rasulullah saw. melarang dari memakan al-Jallalah dan dari
meminum susunya,” (HR. Imam Lima kecuali An-Nasa‘i, 3787).
Beberapa masalah yang berkaitan dengan jallalah, yaitu:
 Tidak semua hewan yang memakan feses masuk dalam kategori
jallalah yang diharamkan, akan tetapi yang diharamkan hanyalah
hewan yang kebanyakan makanannya adalah feses dan jarang
memakan selainnya. Dikecualikan juga semua hewan air
pemakan feses, karena telah berlalu bahwa semua hewan air
adalah halal dimakan (lihat: Hasyiyatul Al-Muqni„, 3/529).
~ 241 ~
Bab XII: Makanan dan Minuman

 Jika jallalah ini dibiarkan sementara waktu hingga isi perutnya


bersih dari feses maka tidak apa-apa memakannya ketika itu.
Hanya saja, mereka berselisih pendapat mengenai berapa
lamanya dia dibiarkan, dan yang benarnya dikembalikan kepada
ukuran adat kebiasaan atau kepada sangkaan besar (lihat: Al-
Majmu„, 9/28, Al-Muqni„, 3/527-529, Mughnil Muhtaj, 4/304,
dan Takmilah Fathil Qodir. 9/499-500).
h. Keledai jinak (bukan yang liar).
Ini merupakan mazhab Imam Empat kecuali Imam Malik dalam
sebagian riwayat darinya. Anas bin Malik meriwayatkan bahwa
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya
melarang kalian untuk memakan daging-daging keledai yang jinak,
karena ia adalah najis,” (HR. Bukhari dan Muslim). Diperkecualikan
darinya keledai liar, karena Jabir radhiallahu ‘anhu berkata, “Saat
(Perang) Khaibar, kami memakan kuda dan keledai liar, dan Nabi
saw. melarang kami dari keledai jinak,” (HR. Muslim).
Inilah pendapat yang paling kuat, sampai-sampai Imam Ibnu ‘Abdil
Barr menyatakan, “Tidak ada perselisihan di kalangan ulama zaman
ini tentang pengharamannya,” (lihat: al-Mughny dan asy-Syarhul
Kabir, 11/65, al-Bada‘i„, 5/37, Mughnil Muhtaj, 4/299, al-Muqni„,
3/525, dan al-Bidayah, 1/344).
i. Baghal.
Baghal adalah hewan hasil peranakan antara kuda dan keledai. Jabir
meriwayatkan bahwa Rasulullah mengharamkan—yakni saat
Perang Khaibar—daging keledai jinak dan daging baghal, (HR.
Ahmad dan Tirmidzi). Keharaman ini berlaku juga untuk semua
hewan hasil peranakan antara hewan yang halal dimakan dengan
yang haram dimakan (lihat: Al-Majmu„, 9/27, asy-Syarhul Kabir,
11/75, dan Majmu„ Al-Fatawa, 35/208).
~ 242 ~
Bab XII: Makanan dan Minuman

j. Anjing.
Para ulama sepakat akan haramnya memakan anjing, di antara dalil
yang menunjukkan hal ini adalah bahwa anjing termasuk dari hewan
buas yang bertaring yang telah berlalu pengharamannya. Rasulullah
saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah jika mengharamkan sesuatu
maka Dia akan mengharamkan harganya.” Telah sabit dalam hadis
Abu Mas„ud al-Anshory riwayat Imam Bukhari dan Muslim serta
hadis dari Jabir riwayat Imam Muslim akan haramnya
memperjualbelikan anjing (lihat: Al-Luqathat, point ke-12)

k. Kucing baik yang jinak maupun yang liar.


Jumhur ulama menyatakan haramnya memakan kucing karena ia
termasuk hewan yang bertaring dan memangsa dengan taringnya.
Pendapat ini yang dikuatkan oleh Syaikh al-Fauzan dan juga telah
warid dalam hadis Jabir riwayat Imam Muslim akan larangan
meperjualbelikan kucing, sehingga hal ini menunjukkan haramnya
(lihat: Al-Majmu„, 9/8 dan Hasyiyah Ibni ‘Abidin, 5/194).

l. Monyet.
Ini merupakan pendapat mazhab Syafi„iyah dan merupakan
pendapat dari ‘Atha`, ‘Ikrimah, Mujahid, Makhul, dan Al-Hasan. Imam
Ibnu Hazm menyatakan, “Monyet adalah haram, karena Allah Swt.
merubah sekelompok manusia yang bermaksiat (Yahudi) menjadi
babi dan monyet sebagai hukuman atas mereka. Dan setiap orang
yang masih mempunyai panca indera yang bersih tentunya bisa
memastikan bahwa Allah tidaklah merubah bentuk (suatu kaum)
sebagai hukuman (kepada mereka) menjadi bentuk yang baik dari
hewan, maka jelaslah bahwa monyet tidak termasuk ke dalam
hewan-hewan yang baik sehingga secara otomatis ia tergolong
hewan yang khabits (jelek),” (Lihat: Al-Luqathat point ke-13).
~ 243 ~
Bab XII: Makanan dan Minuman

m. Gajah.
Mazhab jumhur ulama menyatakan bahwa gajah termasuk ke dalam
kategori hewan buas yang bertaring. Dan inilah yang dikuatkan oleh
Imam Ibnu ‘Abdil Barr, Al-Qurthubi, Ibnu Qudamah, dan Imam
Nawawi (lihat: Luqathat point ke-14)

n. Ash-shurad, kodok, semut, burung hud-hud, dan lebah.


Kelima hewan ini haram dimakan, berdasarkan hadis Abu Hurairah
ra., Rasulullah saw. melarang membunuh shurad, kodok, semut, dan
hud-hud (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang shahih). Adapun
larangan membunuh lebah telah warid dalam hadis Ibnu ‘Abbas yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud. Dan, semua hewan
yang haram dibunuh maka memakannyapun haram. Karena tidak
mungkin seeokor binatang bisa dimakan kecuali setelah dibunuh,
(Al-Luqathat, point ke-19 s/d 23).

o. Kalajengking, ular, gagak, tikus, tokek, dan cicak.


Semua binatang di atas haram dimakan, karena semua hewan yang
diperintahkan untuk dibunuh tanpa melalui proses penyembelihan
adalah haram dimakan. Seandainya hewan-hewan tersebut halal
untuk dimakan maka tentunya Nabi tidak akan mengizinkan untuk
membunuhnya kecuali lewat proses penyembelihan yang syar„i.
Rasulullah saw. bersabda, “Ada lima (binatang) fasik (jelek) yang
boleh dibunuh baik ia berada di daerah halal (selain Mekah) maupun
yang haram (Mekah), yaitu: ular, gagak yang belang, tikus, anjing, dan
rajawali,” (HR. Muslim).
Adapun tokek dan—wallahu a„lam—diikutkan juga kepadanya
cicak, maka telah warid dari hadis Abu Hurairah riwayat Imam
Muslim tentang anjuran membunuh wazag (tokek) (Bidayatul
Mujtahid, 1/344 dan Tafsir as-Syinqithy, 1/273).
~ 244 ~
Bab XII: Makanan dan Minuman

p. Siput darat (Arab: halazun), serangga kecil, dan kelelawar.


Imam Ibnu Hazm menyatakan, “Tidak halal memakan siput darat,
juga tidak halal memakan apa pun dari jenis serangga, seperti tokek
(masuk juga cicak), kumbang, semut, lebah, lalat, cacing, kutu,
nyamuk dan yang sejenis dengan mereka, berdasarkan firman Allah
Swt., “Diharamkan untuk kalian bangkai”, dan firman Allah Swt.,
“Kecuali yang kalian sembelih”. Telah jelas dalil yang menunjukkan
bahwa penyembelihan pada hewan yang bisa dikuasai/dijinakkan,
tidaklah teranggap secara syar„i kecuali jika dilakukan pada
tenggorokan atau dadanya. Karenanya, semua hewan yang tidak ada
cara untuk bisa menyembelihnya, maka tidak ada cara atau jalan
untuk memakannya, sehingga hukumnya adalah haram karena tidak
bisa dimakan, kecuali bangkai yang tidak disembelih” (Al-Luqathat
point ke-31 s/d 34).

12.1.2. Makanan Yang Dihalalkan


Makanan yang enak dan lezat belum tentu baik untuk tubuh. Bahkan
boleh jadi, makanan tersebut berbahaya bagi kesehatan. Makanan yang
tidak halal bisa mengganggu kesehatan rohani. Daging yang tumbuh
dari makanan haram akan dibakar di hari Kiamat dengan api neraka.
Makanan halal dari segi jenis ada tiga, yaitu:
1) Berupa hewan yang ada di darat maupun di laut, seperti kelinci,
ayam, kambing, sapi, burung, dan ikan.
2) Berupa nabati (tumbuhan), seperti padi, buah-buahan, dan sayur-
sayuran.
3) Berupa hasil bumi yang lain seperti garam semua.

~ 245 ~
Bab XII: Makanan dan Minuman

Makanan yang halal dari usaha yang diperolehnya, yaitu :


1) Halal makanan dari hasil bekerja yang diperoleh dari usaha yang
lain, seperti bekerja sebagai buruh, petani, pegawai, tukang, dan
supir.
2) Halal makanan dari mengemis yang diberikan secara ikhlas.
Pekerjaan itu halal tetapi dibenci Allah, seperti pengamen.
3) Halal makanan dari hasil sedekah, zakat, infak, hadiah, tasyakuran,
walimah, warisan, wasiat, dll.
4) Halal makanan dari rampasan perang, yaitu makanan yang didapat
dalam peperangan (ghanimah).
Binatang yang berkehidupan di darat ada yang halal dan ada pula yang
haram. Binatang yang halal di antaranya unta, sapi, kerbau, kambing,
kuda, ayam, dan ikan.[]

~ 246 ~
DAFTAR PUSTAKA

Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah


Al-Samarqandy. Tuhfat al-Fuqoha
Ibnu Rusyd. Bidayat al-Mujtahid wa nihayat al-Nyqtashid
Al-Bakry al-Dimyathy, Ianat al-Thalibin
Zakariya al-Anshary. Fath al-Wahhab
Al-Ghazaly, Al-Wasith fi al-Mazhab
Ibn Qayyim al-Jaziyah. Asrar al-Sholah wa al-farqu wa al-muwazanah
bain al-Dzauq al-sholah wa al-sima’
Abu Amr Yusuf Ibn Abdillah Ibn Abd. Al-Bar al-Qurthuby. Al-Kaafy fi fiqh
ahli al-Madinah
Abu Ishaq Ibrahim al-Syirazy. Al-Tanbih fi fiqh al-Syafi’i
Wahbah al-Zuhayly. Al-Fiqh al-Islamy waadillatuhu
Majmu’ah al-Muallifin. Al-Fiqh al-Muyassar fi dhaui al-Kitab wa al-
Sunnah.
Abu Bakr Ibn Ahmad al-Husayn al-Syasy. Hilyatu al-Ulama fi ma’rifat al-
Fuqoha.
Durriyat al-Athiyyah. Fiqh al-Ibadaat ‘Ala al-Mazhab al-Syafi’i

~ 247 ~

Anda mungkin juga menyukai