“Ya Rabbi, berilah aku ilham agar tetap mensyukuri nikmat-Mu yang
telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku,
serta agar aku tetap beramal saleh yang Engkau ridhai. Dan dengan
rahmat-Mu, masukkanlah aku ke dalam golongan para hamba-Mu yang
saleh.” (QS. An-Naml [27]: 19)
~1~
Penerbit Saluni akan menghiasi kalbu
Anda dengan ilmu yang bermutu
~2~
Syaikh KH. Sa„adih Al-Batawi
Dr. Ir. Nandang Najmul Munir, MS.
PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM II
~3~
KARAKTER KEISLAMAN;
Kajian Fiqih Islam
Hak Cipta©2017 pada Penulis
Cetakan 1, Jumadil Ula 1438 H/Februari 2017
Penulis
Dr. Yayat Suharyat, Drs. M. Sabeni, M.A.,
H. Ahmad Kurtubi, Lc., Wisnawati Loeis, M.A.,
Drs. H. Agus Khalik, M.Pd.I.
Penyunting
Abu Isni
Pewajah Isi
Heni Pratiwi
Perancang Sampul
M. Hikam Isni
Diterbitkan oleh
Saluni
Jakarta – Indonesia
Jl. Tanah Ara II RT. 004/ RW. 012 No. 21 Pondok Pinang
Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12310
Saluni.media@yahoo.co.id
~4~
KATA PENGANTAR
~6~
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ~ 5
DAFTAR ISI ~ 7
~ 13 ~
~ 14 ~
Bab I: Hakikat Ibadah
BAB I
HAKIKAT IBADAH
1.1. Pendahuluan
Ibadah merupakan kata lain dari sembahan, penghambaan atau
pengabdian. Hal ini karena orang yang beribadah merupakan orang
yang siap menghambakan atau mengabdikan dirinya kepada Allah
Tuhannya. Dengan demikian, berarti ibadah merupakan manifestasi
hidup yang sesungguhnya bagi makhluk kepada al-Khalik (Pencipta).
Menghamba atau mengabdi memiliki pemahaman yang berbeda sekali
dengan menghormati atau menghargai. Menghormati dan menghargai
merupakan bentuk interaksi makhluk dengan makhluk lainnya yang
bersifat muamalah dan terjadi dalam kehidupan dunia. Sedangkan
penghambaan atau pengabdian merupakan komunikasi piritual yang
bersifat transenden dari makhluk kepada pemilik Rabbul Izzati yang
dilakukan di dunia untuk menyiapkan kepentingan hidup di akhirat.
Di dalam surat al-Fatihah disampaikan bahwa Allah adalah
Sembahan manusia, dan Allah tempat memohon segala pertolongan.
Jadi, yang patut disembah, dihambakan dan diabdikan hanya Allah Swt.
َ َ َّ َ ُ ُ ْ َ َ َّ
اك و ْس َت ِعين ِإياك وعبد وِإي
“Hanya kepada Engkaulah Kami menyembah, dan hanya kepada
Engkaulah Kami meminta pertolongan.”
Na„budu diambil dari kata ‘ibaadat: kepatuhan dan ketundukkan
yang ditimbulkan oleh perasaan terhadap kebesaran Allah, sebagai
Tuhan yang disembah, karena berkeyakinan bahwa Allah mempunyai
~ 15 ~
Bab I: Hakikat Ibadah
~ 17 ~
Bab I: Hakikat Ibadah
~ 18 ~
Bab I: Hakikat Ibadah
~ 19 ~
Bab I: Hakikat Ibadah
fiqh disebut dengan “ghairu ma„qulatil ma„na” yang memiliki arti “tidak
terang hikmahnya”.
Sebagaimana dijelaskan di atas, ibadah yang dilakukan semata
karena ketundukan, ketakwaan dan penghambaan kepada Allah
meskipun tidak mengetahui sebab, alasan dan hikmahnya disebut
dengan “umur ta„abbudiyah”. Kebalikan dari ibadah ta„abbudi adalah
ibadah ta„aqquli di mana ibadah jenis sudah diketahui sebab, alasan,
serta hikmahnya. Ibadah ta„aqquli yang akan dijelaskan ke dalam ibadah
jenis kedua di bawah ini.
Kedua, ibadah yang sudah jelas illat dan hikmahnya. Ibadah ini
dinamakan “ma„qulatul ma„na” yang berarti “artinya sudah bisa
dipahami” atau “umur adiyah” yang berarti “urusan keduniaan”. Oleh
karena itu, ulama ushul fiqh memberikan pengertian bahwa ibadah
ma„qulatul ma„na adalah ibadah yang melengkapi segala ibadah yang
tidak diketahui sebab dan hikmahnya.
Ibadah ma„qulatul ma„na ini bisa dikategorikan sebagai ibadah
muamalah di mana syariat muamalah biasanya dalil, landasan hukum,
illat dan hikmahnya bisa diketahui secara jelas dan gamblang.
1.2. 4. Pengertian Ibadah Menurut Ulama Fiqih (Fuqaha)
Fuqaha adalah ulama yang ahli di bidang fiqih (al-Fiqh). Sedangkan fiqih
sendiri meliputi hasil ijtihad para alim ulama terdahulu, terutama imam
empat madzab yang populer dikenal dengan fiqih mazhab Imam Hanafi,
Imam Syafi„i, Imam Maliki, dan Imam Hambali. Berbeda dengan syariat
yang didefinisikan sebagai wahyu yang diturunkan Allah kepada
manusia berupa Al-Quran, termasuk hadis. Adapun pengertian ibadah
menurut fuqaha adalah segala perbuatan yang dilakukan untuk
mendapatkan ridha Allah dan berharap kepada pahala yang diberikan
Allah di akhirat.
~ 20 ~
Bab I: Hakikat Ibadah
~ 21 ~
Bab I: Hakikat Ibadah
~ 22 ~
Bab I: Hakikat Ibadah
~ 23 ~
Bab I: Hakikat Ibadah
sikap mental yang timbul dari kesadaran bahwa Allah akan terus
mengawasi perbuatan hamba-hambaNya.
Ikhlas adalah sikap memelihara niat suci, batin yang bersih, lurus
hati dalam bertindak, tidak berlaku pamer, berpura-pura dan
mengharapkan pamrih. Ikhlas itu dalam kerangka hanya untuk
mengharapkan ridha Allah. Ikhlas bisa membuat seorang muslim tidak
mudah tergoda oleh apa pun. Sebaliknya, ikhlas memperkukuh
pertahanan dan ketahanan uji seseorang.
Tawakal identik dengan sikap berserah diri setelah melakukan
upaya yang optimal. Tawakal mendorong seorang muslim untuk terus
berupaya dan mempercayakan hasil akhir upayanya semata-mata hanya
kepada Allah Swt. Sabar menunjukan sikap mental yang tidak suka
mengeluh ketika ditimpa bencana dan kesulitan. Dengan
mengembangkan sikap sabar, seorang muslim sanggup menghadapi
ujian apa pun dalam melaksanakan bakti dan perjuangan. Mahabbah
adalah cinta kepada Allah (makrifatullah), dari kecintaan kepada Allah
akan paham metodologi cara mencintai Allah Swt. Metodologi itu
tentunya tidak ada yang lain kecuali menjadikan Rasulullah saw sebagai
wasilah.
Ya ayyuhalladziina aamanut-Taqullaah wab-taghuu ilaihil wasilah
(Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan
carilah wasilah [perantara] yang mendekatkan diri kepada-Nya)
Rasulullah harus menjadi wasilah dalam semua hal dalam
kehidupan kita, termasuk dalam hal memaknai cinta ( mahabbah). Oleh
karenanya, mencintai rasul, para sahabatnya dikarenakan uswah mulia
yang mereka tunjukkan, maka kita akan mendapatkan tempat yang
mulia dan kebaikan yang sesungguhnya. Orang yang paling bahagia di
akhirat adalah mereka yang paling kuat cintanya kepada Allah Swt.
Akhirat laksana tangga menuju Allah dan titian untuk bertemu dengan-
~ 24 ~
Bab I: Hakikat Ibadah
~ 25 ~
Bab I: Hakikat Ibadah
~ 26 ~
Bab I: Hakikat Ibadah
perbuatan dan tindakan apa yang membuat Allah suka kepada Anda dan
perbuatan serta tindakan mana yang membuat-Nya tidak senang
terhadap Anda.
Demikianlah, segala sesuatu yang kita lakukan sebenarnya
merupakan ibadah jika kita melaksanakannya karena dilandasi harapan
mendapatkan ridha Allah Swt. sehingga manusia selama hidupnya
bernilai ibadah seperti dalam tujuan diciptakannya!
dari karya, kerja dan prestasinya hanya untuk kehidupan yang baik
dalam masyarakat (kemaslahatan umat).
Itu semua dilakukan karena seorang abdun yakin bahwa Allah
yang mengatur kehidupan alam semesta raya. Dia Allah yang
menyiapkan seluruhnya.
Dalam Islam, hakikat ibadah merupakan rasa tunduk, baik jiwa
dan raga kepada Tuhan di mana ketundukan tersebut didasari oleh rasa
cinta yang tulus kepada Tuhan, bukan karena hal lainnya. Ketundukan
segenap jiwa karena cinta kepada Tuhan yang Ma„bud dan mengakui
kebesarannya sebab alam semesta ini tercipta karena ada yang
menguasai dan menciptakannya. Sementara itu, akal, rasio dan sains
hanya sebatas bisa merabanya melalui logika dan eksperimen ilmiah
sehingga ia tidak bisa menembus hakikat Allah.
Untuk mengetahui hakikat Allah, maka diperlukan keimanan yang
kuat dan tulus dengan merasakan tanda-tanda kebesaran-Nya. Hakikat
ibadah dalam Islam juga berarti menghambakan dan menundukkan
segenap jiwa dan raga kepada Allah yang tidak bisa dilogika dengan ilmu
pengetahuan (sains) dan tidak bisa dirasionalisasikan bentuk hakikat
atau wujud-Nya.
Menurut Imam Ibnu Katsir melalui tafsirnya, hakikat ibadah
adalah suatu definisi yang merupakan kesempurnaan cinta, tunduk,
serta takut. Yang dimaksud cinta, tunduk dan rasa takut menurut Ibnu
Katsir di sini adalah bentuk perasaan manusia dari kesatuan “cinta, takut,
dan tunduk” kepada Allah yang menciptakan segenap alam, baik di
langit dan di bumi.
Menurut sejumlah ulama, hakikat dan pokok ibadah menurut
Islam adalah apabila seseorang tidak menolak syariat Islam (hukum
Allah), tidak berdoa dan meminta sesuatu selain kepada Allah, dan
~ 30 ~
Bab I: Hakikat Ibadah
~ 31 ~
Bab I: Hakikat Ibadah
~ 32 ~
Bab II: Thaharah (Bersuci)
BAB II
THAHARAH (BERSUCI)
~ 33 ~
Bab II: Thaharah (Bersuci)
2.3.1. Air
Dalam kajian fiqih air dibagi lagi menjadi lima, yaitu (1) air mutlak, (2)
air musta„mal, (3) air perahan, (4) air campur, dan (5) air najis.
a. Air Mutlak
Air mutlak adalah air suci yang dapat mensucikan (untuk
membersihkan najis dan hadas). Adapun macam-macam air tersebut
yaitu air hujan, salju, air, embun, sumur, sungai, dan es yang sudah
hancur kembali. Allah berfirman,
َّ اح ُب ْش ًسا َب ْي َن ًَ َد ْي َز ْح َمته ۚ َو َأ ْه َزْل َنا م َن
ًالس َم ِاء َم ًاء َط ُهىزا ّ َو ُه َى َّال ِري َأ ْز َس َل
َ السَي
ِ ِِ ِ
Dan Kami turunkan dari langit air (hujan) yang mensucikan (QS. Al-
Furqan [25]: 48).
Air Laut, berdasarkan hadis Abu Hurairah. Ia berkata: Seorang laki-
laki bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, kami biasa berlayar
di laut dan hanya membawa sedikit air. Jika kami pakai air itu untuk
berwudlu, kami akan kehausan, bolehkan kami berwudlu dengan air
laut?” Lalu Rasulullah bersabda,
“Laut itu airnya suci lagi mensucikan, dan bangkainya halal
dimakan,” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Turmidzi dan Nasa„i).
Air telaga, diriwayatkan oleh Ali ra. bahwa Rasulullah saw. pernah
meminta satu ember air zam-zam lalu diminumnya sedikit dan
sisanya dipakai untuk berwudhu (HR. Ahmad)
b. Air Musta„mal (yang terpakai)
Air musata„mal adalah air curahan bekas bersuci (mandi dan wudlu).
Air yang demikian hukumnya suci dan mensucikan seperti air
mutlak, hal ini dikarenakan asalnya yang suci, sehingga tidak ada
satu alasan pun yang dapat mengeluarkan air dari kesuciannya.
Adapun dasarnya adalah hadis berikut. Jabir ibn Abdullah
meriwayatkan pada suatu hari Rasulullah menjengukku tatkala sakit
~ 35 ~
Bab II: Thaharah (Bersuci)
d. Air Perahan
Air perahan adalah air suci yang berasal dari perahan tumbuhan atau
buah-buahan. Misalnya air jus, air lira, dan air kelapa. Hukum air ini
suci namun tidak dapat digunakan untuk bersuci. Maksudnya, dapat
digunakan membersihkan najis namun tidak dapat digunakan untuk
membersihkan hadas, sebab tidak memiliki ciri-ciri air mutlak.
~ 36 ~
Bab II: Thaharah (Bersuci)
e. Air Najis
Air najis adalah yang tercampur benda najis sehingga merubah rasa,
warna, dan baunya. Air najis hukumnya tidak dapat mensucikan,
baik untuk mensucikan najis maupun hadas.
2.3.2. Tanah
Bahan kedua untuk membersihkan najis adalah tanah. Jadi tanah
hukumnya suci dan mensucikan. Dalam hadis digambarkan bahwa
sandal yang terkena kotoran maka cara membersihkannya adalah
dengan menggosoknya di tanah.
Rasulullah saw. bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian
menginjak kotoran dengan sendalnya, maka sesungguhnya debu
(tanah) menjadi penyuci baginya,” (HR. Ibnu Hibban).
Dari Ummu Walad Ibrahim bin Abdirrahman bin Auf
bahwasanya dia pernah bertanya kepada Ummu Salamah, istri Nabi
saw., “Sesungguhnya saya seorang wanita yang suka memanjangkan
ujung (bagian bawah) pakaian dan berjalan di tempat yang kotor, maka
Ummu Salamah menyatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, ‘Ia
(bagian bawah pakaian yang kotor) tersucikan oleh tempat setelahnya
(yang dilewati),„” (HR. Abu Dawud).
2.3.3. Batu dan Benda Padat yang dapat Menyerap Kotoran
Benda alternatif lainnya yang dapat digunakan untuk bersuci adalah
batu. Dikisahkan pada saat tidak ada air, Nabi saw. bersuci dengan
menggunakan tiga batu, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis.
Diriwayatkan dari Khuzaimah bin Tsabit bahwa Rasulullah saw.
bersabda berkenaan dengan istinja‘, “Hendaklah menggunakan tiga
batu dan tanpa menggunakan kotoran,” (HR. Ibnu Majah).
~ 37 ~
Bab II: Thaharah (Bersuci)
~ 39 ~
Bab II: Thaharah (Bersuci)
c. Tinja
Semua tinja hewan, baik yang dagingnya dimakan ataupun tidak.
Abdullah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. buang air besar mandi
dan meminta, “Bawakan kepadaku tiga batu.” Lalu aku mencari namun
aku dapatkan dua buah batu. Aku tidak mendapat yang ketiga. Lalu aku
bawakan dua buah batu dan kotoran unta. Beliau mengambil dua buah
batu dan membuang kotoran unta. Beliau bersabda, “Ini adalah kotoran
(najis),” (HR. Abu Dawud).
Seandainya kotoran onta yang kering tidak najis, tentu Nabi saw. tidak
menolak menggunakannya untuk bersuci.
d. Air seni
Pada suatu ketika ada seorang Arab badui kencing di dalam masjid,
maka sebagian sahabat mendatanginya. Ketika itu Rasulullah saw.
bersabda, “Biarkan dia.” Ketika selesai kencing, Rasulullah menyuruh
salah seorang sahabat untuk menyiramnya dengan air satu ember.
e. Bangkai
Para ulama bersepakat bahwa bangkai termasuk najis. Hal ini
disandarkan pada hadis berikut ini.
Salamah Ibnul Muhabbaq meriwayatkan, ketika Perang Tabuk
Rasulullah saw. mendatangi sebuah rumah, lalu beliau menemukan
sebuah wadah dari kulit yang digantung. Beliau kemudian minta
diambilkan air dengan wadah tersebut, maka para sahabat pun berkata,
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya wadah itu dari kulit bangkai!” Beliau
bersabda, “Penyamakannya telah menjadikan ia suci,” (HR. Abu
Dawud).
~ 41 ~
Bab II: Thaharah (Bersuci)
Dari hadis di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kulit bangkai jika
disamak menjadi suci. Namun tidak semua bangkai najis. Dalam Islam
ada dua jenis bangkai yang dianggap suci, yakni bangkai ikan dan
bangkai belalang atau hewan yang tidak memiliki darah.
f. Babi
Semua ulama sepakat bahwa babi adalah najis. Allah berfirman,
“Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku,
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, darah yang mengalir, atau daging
babi—karena sesungguhnya semua itu kotor—atau binatang yang
disembelih atas nama selain Allah,” (QS. Al-An„am [6]: 145).
g. Muntah
Ada sebagian ulama yang memasukkan muntah sebagai barang najis.
Rasulullah saw. bersabda, “Wahai Ammar, sesungguhnya pakaian itu
dicuci oleh sebab salah satu dari 5 hal: kotoran, air kencing, muntah,
darah, dan mani.”
Namun dalam hadis ini terdapat dua orang perawi, Ibrahim Ibn
Zakariya dan Thâbit Ibn Humâdi yang dinilai kalangan hadis sangat
dhaif. Dari keterangan ini berarti muntah tidak dapat dikatakan najis,
meskipun termasuk kotoran.
2.6. Wudhu
Adapun tatacara berwudhu adalah sebagai berikut:
a. Membaca “Bismillahirrahmanirrahim”
Anas meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Berwudlulah
kalian dengan membaca basmalah.”
Perintah membaca basmalah diperkuat lagi dengan hadis yang
maknanya umum seperti berikut. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa
Rasulullah saw. bersabda, “Setiap perbuatan baik yang tidak dimulai
dengan membaca basmalah maka terputus.”
~ 43 ~
Bab II: Thaharah (Bersuci)
d. Menggosok gigi
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Kalau aku tidak khawatir akan menyusahkan umatku, niscaya aku
perintahkan kepada mereka bersiwak (menggosok gigi) ketika setiap
berwudlu.”
Menghisap air dari telapak tangan sebelah, berkumur-kumur dan
menyemburkannya tiga kali. Dan menyempurnakan dalam menghisap
dan berkumur selama tidak dalam keadaan berpuasa.
Diriwayatkan dari Abdu Khoir, telah datang menemui kami Ali r.a. Dia
(bermaksud) mengerjakan shalat, lalu ia meminta kami (sesuatu) untuk
bersuci, lalu kami berkata, ”Apa yang dapat digunakan untuk bersuci?”
Lalu ia diberi bejana yang berisi air dan tempat membasuh tangan,
kemudian ia menuangkan air dari bejana atas kedua tangannya tiga kali
kemudian berkumur dan menyemburkannya tiga kali, lalu ia shalat. Ia
melakukan hal itu tidak lain untuk mengajarkan kepada kami, (HR. Abu
Dawud dan An Nasa„i).
Diriwayatkan dari Abdullah bin Zaid bahwasanya Nabi saw.
menuangkan air dari bejana atas dua tangannya lalu membasuh
keduanya, kemudian setelah membasuh, lalu berkumur dan mengisap
air dari telapak tangan sebelah: beliau mengerjakan itu tiga kali, (HR.
Bukhari dan Muslim).
Dari Abdullah bin Zaid bin ‘Aashim al Anshari bahwasanya Nabi saw.
menuangkan air dari bejana atas dua tangannya lalu membasuh
keduanya. Kemudian setelah membasuh, lalu berkumur dan mengisap
air dari telapak tangan sebelah. Beliau mengerjakan itu tiga kali.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasannya Rasulullah saw.
memerintahkan berkumur dan menghisap air, (HR. Daruqutni).
Dari ‘Ashim bin laqith bin Shabirah yang bertanya pada Rasulullah saw.,
“Ajarkanlah kepadaku cara berwudhu!” Lalu Rasul bersabda,
~ 44 ~
Bab II: Thaharah (Bersuci)
g. Menyela-nyela jenggot
Diriwayatkan dari Utsman bin Affan bahwasanya Nabi saw. mensela-
selai janggutnya, membasuh kedua tangan sampai kedua sikut tiga kali
~ 45 ~
Bab II: Thaharah (Bersuci)
~ 46 ~
Bab II: Thaharah (Bersuci)
kedua telinga, bagian dalam dengan telunjuk dan telinga bagian dalam
(daun telinga) dengan ibu jari.
Allah Swt. berfirman, “Dan sapulah kepalamu,” (QS. Al-Maidah [5]: 6).
Diriwayatkan dari Mughirah bin Syu„bah, bahwa Nabi saw. berwudhu
lalu mengusap ubun-ubunnya, dan atas surbannya, (HR. Muslim,
Tirmidzi dan Abu Dawud)
Diriwayatkan dari Abdullah bin Zaid yang menyampaikan tentang
mengusap kepalanya, Rasulullah memulai dengan permulaan
kepalanya sehingga menjalankan kedua tangannya sampai pada
tengkuknya, kemudian mengembalikannya pada tempat memulainya,
(HR. Muslim).
Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr yang berkata berkata, lalu
Rasulullah mengusap kepalanya dan memasukkan kedua telunjuknya
pada kedua telinganya, dan mengusapkan kedua ibu jari pada kedua
telinga yang luar, serta kedua telunjuk mengusapkan pada kedua telinga
yang sebelah dalam (HR. Abu Dawud).
i. Menggosok-gosok.
Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin Zaid,
bahwa Rasulullah saw. berwudhu dan beliau mengerjakan demikian,
yakni menggosok (HR. Ahmad).
j. Mensela-sela jari-jari kaki.
Hal ini berdasarkan hadis riwayat Ahlus Sunan dari Laqit bin Shaburah,
“Sela-selailah di antara jari-jari.”
k. Melebihkan dalam membasuh.
Hal ini berdasarkan hadis riwayat Muslim dari Abu Hurairah,
Rasulullah saw. bersabda, “Maka siapa yang mampu di antaramu
supaya melebihkan sinar muka tangan dan kakinya.”
l. Mendahulukan yang kanan.
‘Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. suka mendahulukan
(yang) kanannya selama ia mampu dalam segala hal; dalam memakai
sandalnya, berjalannya, dan bersucinya, (HR. Bukhari dan Muslim).
Umar bin Khattab ra. Meriwayatkan, sungguh telah datang seseorang
kepada Nabi saw. Ia telah berwudlu tetapi telah meninggalkan sebagian
kecil telapak kakinya selebar kuku. Rasulullah saw. lantas bersabda,
“Kembali dan perbaikilah wudhumu.” Kemudian, orang itu lalu kembali
berwudhu dan sembahyang (HR. Muslim dan Ahmad).
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Neraka Wail itu bagi orang yang tidak sempurna mencuci tumitnya,”
(HR. Bukhari, Muslim, Nasa„i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad).
~ 48 ~
Bab II: Thaharah (Bersuci)
2.7. Tayammum
Menggunakan tanah yang bersih dan berdebu. Jika kita sakit dan
dinasihatkan oleh Doktor kita tidak boleh terkena air atau kita berada di
suatu tempat yang tiada air, maka kita bolehlah bertayamum untuk
menggantikan wudhu.
2.7.1. Fardhu Tayamum
1. Niat.
Membaca niat sebelum bertayamum. Tekan kedua tapak tangan di atas
tanah yang bersih dan berdebu
َ َّ dengan menyatakan dalam hati,
َ َّ َه َى ْي ُت
الت ّي ُّم َم َِل ْس ِت َباح ِت الصَل ِة
“Nawaitut tayamumma liistibahatis solaah”
“Sahjaku tayamum kerana menguruskan sembahyang.”
2. Muka
Menyapu muka dengan tanah yang bersih dan berdebu dengan sekali
tepukan.
3. Tangan
Menyapu tangan kanan hingga sampai ke siku dengan tanah yang
bersih dan berdebu dari tepukan yang kedua kalinya, kemudian tangan
kiri.
~ 49 ~
Bab II: Thaharah (Bersuci)
4. Tertib
Artinya, mengikut urutan atau turutan (dahulukan niat, muka kemudian
tangan).
“Nawaitut tayamumma liistibahatis solaah”
“Sahaja aku tayamum kerana menguruskan sembahyang “.
~ 52 ~
Bab III: Shalat
BAB III
SHALAT
~ 53 ~
Bab III: Shalat
terakhir, ―Shalat, shalat, dan apa yang menjadi tanggung jawab kalian
semua….‖
Shalat adalah hal terakhir yang akan hilang dari agama. Jika shalat
tiada, maka agama pun sirna. Rasulullah saw. bersabda, ―Tali (jati diri)
Islam akan sirna sedikit demi sedikit. Setiap kali satu tali hilang, maka
manusia akan bergantung kepada tali selanjutnya. Tali pertama yang
akan hilang adalah hukum, dan tali yang terakhir adalah shalat.‖
Ketika kita menelaah ayat-ayat Al-Qur‗an kita akan mendapatkan
bahwa shalat sering kali disandingkan dengan dzikir.
―Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar
dan (ketahuilah) mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaanya
dari ibadah yang lain),‖ (QS. Al-‘Ankabut [29] : 45)
―Sungguh beruntung orang yang mensucikan diri (dengan beriman), dan
mengingat nama Tuhannya, lalu dia shalat,‖ (QS. Al-‘Ala [87] : 14-15).
―Dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku,‖ (QS. Thaha [20] : 14).
Terkadang, shalat juga disandingkan dengan zakat.
―Dan laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat,‖ (QS. Al-Baqarah [2] :
110).
Terkadang juga dengan ibadah haji.
―Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai
ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah),‖ (QS. Al-Kautsar [108] : 2)
―Katakanlah (Muhammad), sesungguhnya shalatku, ibadahku, sekutu
bagi-Nya; dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada
sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku
adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim),‖ (QS. Al-
Mu‗minun [23] : 1-11)
Terkadang juga, pembahasan shalat didahului dengan
(pembahasan) amal baik dan diakhiri dengan amal baik pula. Seperti
yang disebutkan di dalam surah al-Ma‗arij dan di awal surah al-
Mu‗minun.
~ 54 ~
Bab III: Shalat
~ 56 ~
Bab III: Shalat
buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat,‖ (QS. Hud [11]:
114).
―Laksanakanlah shalat sejak matahari tergelincir sampai gelapnya malam
dan (laksanakanlah pula shalat) Subuh. Sungguh, shalat Subuh itu
disaksikan oleh malaikat,‖ (QS. al-Isra‗ [17]: 78).
―Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum matahari terbit, dan
sebelum terbenam; dan bertasbihlah pula pada waktu tengah malam dan
di ujung siang hari, agar engkau merasa tenang,‖ (QS. Thaha [20]: 130).
~ 57 ~
Bab III: Shalat
~ 58 ~
Bab III: Shalat
~ 59 ~
Bab III: Shalat
4) Menutup Aurat
Hal ini berdasarkan firman Allah Swt., ―Wahai anak cucu Adam! Pakailah
pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid,‖ (QS. al-A‗raf [7]:
31).
~ 60 ~
Bab III: Shalat
2) Takbiratul Ihram
Ali r.a. meriwayatkan bahwa Rasullulah saw. bersabda, ―Bersuci
merupakan kunci dalam shalat. Takbiratul ihram merupakan
pengharaman dalam shalat. Salam merupakan penghalalan dalam
shalat.‖
~ 61 ~
Bab III: Shalat
3) Berdiri
Berdiri merupakan satu kewajiban bagi orang yang mampu berdiri. Hal
ini berdasarkan Al-Qur‗an, Sunnah, dan ijma‗. Allah Swt. berfirman,
―Peliharalah semua shalat dan shalat wustha. Dan laksanakanlah
(shalat) karena Allah dengan khusyu,‖ (QS. al-Baqarah [2]: 238).
~ 62 ~
Bab III: Shalat
5) Rukuk
Para ulama sepakat bahwa hukum rukuk itu fardhu berdasarkan firman
Allah Swt., ―Wahai orang-orang yang beriman! Rukuklah, sujudlah,‖ (QS.
al-Hajj [22]: 77)
~ 63 ~
Bab III: Shalat
7) Sujud
Di atas telah disebutkan dalil Al-Qur‗an yang menjelaskan bahwa sujud
itu hukumnya wajib. Rasulullah saw. juga telah menjelaskannya dalam
sabdanya terhadap orang yang mengerjakan shalat dengan cara yang
tidak benar, ―Kemudian sujudlah dengan tuma‗ninah. Kemudian
bangkitlah dari sujud lalu duduklah dengan tuma‗ninah. Kemudian
sujudlah kembali dengan tuma‗ninah.‖ Jadi, sujud yang pertama dengan
tuma‗ninah, bangkit dari sujud (dan duduk) dengan tuma‗ninah lalu
sujud yang kedua dengan tuma‗ninah hukumnya fardu dalam setiap
rakaat, baik dalam shalat fardu maupun dalam shalat sunnah.
~ 64 ~
Bab III: Shalat
Batasan Thuma‗ninah
Thuma‗ninah adalah berdiam sejenak setelah seluruh anggota tubuh
menetap (tidak bergerak). Para ulama menetapkan batasan minimal
thuma‗ninah yaitu selama satu kali ucapan tasbih.
~ 65 ~
Bab III: Shalat
shalat dengan cara yang tidak benar, ―Apabila engkau telah bangkit dari
sujud terakhir dan telah duduk seraya membaca tasyahhud, shalatmu
telah sempurna.‖
Ibnu Qudamah berkata, ―Ibnu Abbas meriwayatkan, sebelum
tasyahhud diwajibkan atas kami, (ketika duduk terakhir) kami
mengucapkan, ‘Assalamu ‘alallah. Assalamu ‗ala Jibril. Assalamu ‗ala
Mikail (keselamatan bagi Allah, Jibril, dan Mikail).‗ Nabi saw. lalu
bersabda, ‘Janganlah kalian mengucapkan assalamu ‗alallah, tapi
katakanlah at-tahiyyatu lillah (segala penghormatan bagi Allah).‗‖
Hadits ini menjelaskan bahwa pada mulanya tasyahud tidak
diwajibkan kemudian diwajibkan.
9) Mengucapkan Salam
Kewajiban mengucapkan salam (di akhir shalat) telah di tetapkan oleh
Rasullulah saw. melalui sabda dan perbuatannya. Ali r.a. meriwayatkan
bahwa Rasullulah saw. bersabda, ―Kunci shalat adalah bersuci,
pengharamnya adalah takbir, dan penghalalnya adalah salam.‖ Hadits
ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, asy-Syafi‗i, Abu Dawud,
Ibnu Majah, dan Tirmidzi. Tirmidzi berkata, ―ini adalah hadits yang
paling shahih dan paling baik terkait dengan kewajiban mengucapkan
salam.‖
Amir bin Sa‗ad meriwayatkan bahwa ayahnya berkata, ―Aku
melihat Nabi saw. mengucapkan salam (sambil menoleh) ke arah kanan
dan kiri sehingga pipi beliau yang putih terlihat (oleh kami).‖
Wail bin Hajar berkata, ―Aku mengerjakan shalat bersama
Rasullulah saw. Beliau mengucapkan salam (sambil menoleh) ke arah
kanan, ‘Assalamu‗alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.‗ Setelah itu,
beliau menoleh ke arah kiri sambil mengucapkan, ‘Assalamu‗alaikum wa
rahmatullahi wa barakatuh.‖‖ Dalam Bulughal Maram, al-Hafizh Ibnu
~ 66 ~
Bab III: Shalat
Hajar berkata, ―Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad
sahih.‖
~ 67 ~
Bab III: Shalat
~ 70 ~
Bab III: Shalat
4) Membaca Isti‗adzah
Seorang mushalli disunahkan membaca isti‗adzah setelah membaca doa
iftitah, sebelum membaca (surat al-Fatihah), karena Allah berfirman,
―Maka apabila engkau (Muhammad) hendak membaca ayat Al-Quran,
mohonlah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk,‖ (an-
Nahl [16] : 98).
Di dalam hadits yang di riwayatkan oleh Nafi‗ yang telah disebutkan di
atas dijelaskan bahwa Rasulullah saw. membaca,
―Allahumma inni a‗udzu bika minasy-syaitanir rajim, min hamazihi wa
nafatsihi wa nafkhihi (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari
kejahatan setan yang terkutuk)… sampai akhir hadits.‖ Ibnu Mundzir
berkata, ―Telah diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa sebelum membaca
(surah al-Fatihah), beliau membaca, ‘Aku berlindung kepada Allah dari
(kejahatan) setan yang terkutuk.‗‖
~ 72 ~
Bab III: Shalat
5) Mengucapkan Amin
Seorang mushalli disunahkan, baik ia sebagai imam, makmum maupun
mengerjakan shalat sendirian, mengucapkan amin setelah membaca
surat al-Fatihah dengan suara lantang di dalam shalat jahriyyah dan
dengan suara pelan di dalam shalat sirriyyah (shalat yang bacaannya
dipelankan yaitu shalat Zuhur dan Asar). Nu‗aim al-Mujammir berkata,
―Aku mengerjakan shalat (sebagai makmum)di belakang Abu Hurairah.
Ketika membaca Bismillahirahmannirrahim lalu membaca ummul
Qur‗an, ketika ia sampai pada bacaan wa ladh-dhallin, ia mengucapkan
Amin. Kaum muslimin juga mengucapkan amin. Setelah mengucapkan
~ 73 ~
Bab III: Shalat
~ 75 ~
Bab III: Shalat
~ 76 ~
Bab III: Shalat
~ 77 ~
Bab III: Shalat
rakaat itu, sehingga aku ragu apakah beliau membaca surah al-Fatihah
atau tidak.‖
Aisyah ra. berkata, ―Lama berdiri Rasulullah saw. dalam dua rakaat shalat
sunnah sebelum shalat fajar adalah sama dengan lamanya bacaan surah
al-Fatihah beliau.‖
―Barang siapa yang pada pagi hari jum‗at, sebelum shalat Subuh
mengucapkan, ‘Aku memohon ampun kepada Allah yang tiada tuhan
selain Dia, Yang Hidup dan Yang terus-menerus mengurus makhluk-
Nya. Aku bertobat kepada-Nya‗ sebanyak tiga kali, maka Allah
mengampuni segala dosanya walaupun sebanyak buih di lautan.‖
~ 78 ~
Bab III: Shalat
adanya uzur; baik hanya shalat sunnah fajar saja yang tertinggal maupun
shalat sunah fajar dan shalat Subuh tertinggal.
semalam sebanyak dua belas kali, maka Allah akan membangun sebuah
rumah baginya di dalam surga, yaitu empat rakaat sebelum Zuhur, dua
rakaat setelahnya, dua rakaat setelah Maghrib, dua rakaat setelah Isya
dan dua rakaat sebelum shalat Fajar (Subuh).‖
―Shalat (sunnah) malam dan siang dikerjakan dua rakaat, dua rakaat.‖
Kedua, hukum mengqadha shalat sunah Zuhur
Aisyah meriwayatkan bahwa pada suatu saat Nabi saw. belum
mengerjakan shalat sunah empat rakaat sebelum Zuhur. Ibnu Majah
meriwayatkan bahwa Aisyah berkata, ―Apabila Rasulullah saw. belum
mengerjakan shalat sunah empat rakaat sebelum shalat Zuhur, beliau
mengerjakannya setelah mengerjakan dua rakaat shalat sunnah setelah
Zuhur.‖
Penjelasan di atas adalah terkait dengan hal yang mengqadha shalat
sunah ratibah qabliyyah (sebelum shalat fardhu). Berkenaan dengan
mengqadha shalat sunnah ratibah ba‗diyah (setelah shalat fardhu),
Ahmad meriwayatkan bahwa Ummu Salamah berkata, ―Pada suatu hari
Rasulullah saw. mengerjakan shalat Zuhur. Pada hari itu beliau
mendapatkan harta. Setelah mengerjakan shalat Zuhur, beliau duduk
membagikan harta itu sampai muazin datang mengumandangkan azan
Ashar. Beliau lalu mengerjakan shalat Ashar, kemudian kembali ke
rumahku. Hari itu adalah hari giliran beliau menginap di rumahku.
Beliau lantas mengerjakan shalat dua rakaat. Kami bertanya, ‘Dua rakaat
shalat apa ini, wahai Rasulullah? Apakah engkau diperintahkan untuk
melaksanakannya?‗
Beliau menjawab, ―Tidak. Itu adalah dua rakaat yang semestinya aku
kerjakan setelah shalat Zuhur, tetapi aku disibukkan dengan pembagian
harta sampai muazin datang dan mengumandangkan azan Ashar. Aku
tidak ingin meninggalkan kedua rakaat itu.‖
~ 80 ~
Bab III: Shalat
shalat sebanyak dua rakaat sebelum matahari terbenam. Pada saat itu,
Rasulullah saw. melihat kami. Beliau tidak memerintahkan juga tidak
melarang kami.‖
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam Fath al-Bari, ―Beberapa dalil telah
menjelaskan bahwa shalat sunah sebelum Maghrib sunah dikerjakan
oleh mushalli dengan bacaan yang tidak panjang seperti pada saat ia
mengerjakan dua rakaat shalat sunah Fajar.‖
~ 84 ~
Bab III: Shalat
beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui,‖ (QS. Al-
Jumu‗ah [62]: 9).
Arinya, pergi (ke tempat shalat) jum‗at itu wajib atas tiap-tiap orang yang
telah dewasa.
Ada empat golongan yang tidak dikenakan kewajiban melakukan shalat
Jum‗at, yaitu: hamba sahaya, perempuan, anak-anak, dan orang sakit.
Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah saw. dalam hadisnya, ―Shalat Jum‗at
itu wajib atas setiap muslim, kecuali 4 golongan yaitu hamba sahaya,
perempuan, anak-anak, dan orang sakit,‖ (HR. Abu Daud).
Selain itu hal-hal yang merupakan uzur jama‗ah, juga dipandang sebagai
uzur dalam melaksanakan shalat Jum‗at.
Orang tua bangka dan orang lumpuh, tetap wajib melakukan shalat
Jum‗at jika mereka mendapatkan pengangkutan, walaupun dengan
menyewa ataupun meminjam. Begitu juga dengan orang buta juga tetap
wajib melakukan shalat Jum‗at bila ia dapat berjalan sendiri tanpa
kesulitan atau ada orang yang menuntunnya, sekalipun dengan upah.
Dan bagi orang yang mampu mengerjakannya kemudian ia tinggalkan
maka akan dicap sebagai orang yang munafik. Nabi bersabda, ―Barang
siapa meninggalkan shalat Jum‗at tiga kali karena menganggapnya
enteng, niscaya Allah akan menutup mata hatinya,‖ (HR. Abu Daud dan
Tirmidzy)
~ 86 ~
Bab III: Shalat
~ 88 ~
Bab III: Shalat
~ 89 ~
Bab III: Shalat
~ 90 ~
Bab III: Shalat
sepertiga ketiga, yaitu kira-kira dari jam 01.00 sampai dengan masuknya
waktu subuh, inilah saat yang paling utama.
Jumlah rakaat shalat tahajud adalah tidak terbatas, paling sedikit 2
rakaat dan dikerjakan dalam dua rakaat satu salam.
―Ya, Allah! Bagi-Mu segala puji, Engkau cahaya langit dan bumi serta
seisinya. Bagi-Mu segala puji, Engkau yang mengurusi langit dan bumi
serta seisinya. Bagi-Mu segala puji, Engkau Tuhan yang menguasai langit
dan bumi serta seisinya. Bagi-Mu segala puji dan bagi-Mu kerajaan langit
dan bumi serta seisinya. Bagi-Mu segala puji, Engkau benar, janji-Mu
benar, firman-Mu benar, bertemu dengan-Mu benar, surga adalah benar
(ada), neraka adalah benar (ada), (terutusnya) para nabi adalah benar,
(terutusnya) Muhammad adalah benar (dari- Mu), peristiwa hari Kiamat
adalah benar. Ya Allah, kepada-Mu aku pasrah. Kepada-Mu aku
bertawakal. Kepada-Mu aku beriman. Kepada-Mu aku kembali (bertobat),
dengan pertolongan-Mu aku berdebat (kepada orang-orang kafir), kepada-
Mu (dan dengan ajaran-Mu) aku menjatuhkan hukum. Oleh karena itu,
ampunilah dosaku yang telah lalu dan yang akan datang. Engkaulah yang
mendahulukan dan mengakhirkan. Tiada Tuhan yang berhak disembah
kecuali Engkau. Engkau adalah Tuhanku. Tidak ada Tuhan yang berhak
disembah kecuali Engkau.‖
dua rakaat. Lalu Allah mendatangkan awan yang disertai guruh dan
petir. Turunlah hujan dengan izin Allah. Beliau tidak kembali menuju
masjid sampai air bah mengalir di sekitarnya. Ketika beliau melihat
orang-orang berdesak-desakan mencari tempat berteduh, beliau tertawa
hingga terlihat gigi gerahamnya, lalu bersabda, ‘Aku bersaksi bahwa
Allah adalah Mahakuasa atas segala sesuatu dan aku adalah hamba serta
Rasul-Nya,‗‖ (HR. Abu Daud no.1173, dishahihkan al-Albani dalam
Shahih Abi Daud).
Ibnu Qudamah berkata, ―Shalat Istisqa hukumnya sunah
muakkadah, ditetapkan oleh sunnah Rasulullah shallallahu‗alaihi
wasallam dan Khulafa Ar Rasyidin.‖
Ibnu ‘Abdil Barr berkata, ―Para ulama telah ber`ijma bahwa keluar
beramai-ramai untuk shalat Istisqa di luar daerah dengan doa dan
memohon kepada Allah untuk menurunkan hujan ketika musim
kemarau dan kekeringan melanda hukumnya adalah sunnah, yang telah
disunnahkan oleh Rasulullah shallallahu‗alaihi Wasallam tanpa ada
perbedaan pendapat di antara para ulama dalam hal ini.‖4
~ 95 ~
Bab III: Shalat
~ 96 ~
Bab III: Shalat
hukum shalat Istisqa adalah sunah, sedangkan shalat ‘Id adalah fardhu
kifayah. Sebagian ulama muhaqqiqin juga menguatkan hukum shalat ‘Id
adalah fardhu ‘ain.‖
Pendapat kedua, tata cara shalat Istisqa adalah sebagaimana
shalat sunnah biasa, yaitu sebanyak dua rakaat tanpa ada tambahan
takbir. Hal ini didasari hadis dari Abdullah bin Zaid, ―Nabi
shallallahu‗alaihi Wasallam keluar menuju lapangan. Beliau meminta
hujan kepada Allah dengan menghadap kiblat, kemudian membalikan
posisi selendangnya, lalu shalat 2 rakaat,‖ (HR. Bukhari no.1024, Muslim
no.894).
Zhahir hadis ini menunjukkan shalat Istisqa sebagaimana shalat
sunah biasa, tidak adanya takbir tambahan. Ini adalah pendapat Imam
Malik, al-Auza‗i, Abu Tsaur, dan Ishaq bin Rahawaih.
Ibnu Qudamah al-Maqdisi setelah menjelaskan dua tata cara ini
beliau mengatakan, ―Mengerjakan yang mana saja dari dua cara ini
adalah boleh dan baik.‖12
Khutbah Istisqa
Khutbah Istisqa hukumnya sunah, sebagaimana disebutkan dalam hadis
‘Aisyah dan hadits Ibnu ‘Abbas. Namun, para ulama berbeda pendapat
apakah lebih dahulu shalat kemudian khutbah ataukah sebaliknya.
Pendapat pertama, shalat dahulu kemudian khutbah lalu berdoa.
Di antara dalilnya adalah hadis Abu Hurairah radhiallahu‗anahu, ―Pada
suatu hari, Rasulullah shallallahu‗alaihi wasallam keluar untuk
melakukan Istisqa‗. Beliau shalat 2 rakaat mengimami kami tanpa azan
dan iqamah. Lalu beliau berkhutbah di hadapan kami dan berdoa
kepada Allah. Beliau mengarahkan wajahnya ke arah kiblat seraya
mengangkat kedua tangannya. Setelah itu, beliau membalik
selendangnya, menjadikan bagian kanan pada bagian kiri dan bagian kiri
~ 98 ~
Bab III: Shalat
pada bagian kanan,‖ (HR. Ahmad. Hadits ini dinilai dhaif oleh al-Albani
dalam Silsilah Adh Dha‗ifah).
Dalil lain yang menunjukkan hal ini adalah riwayat lain dari hadis
Abdullah bin Zaid al-Mazini radhiallahu‗anahu, ―Rasulullah saw. keluar
bersama orang-orang untuk Istisqa‗. Beliau lalu shalat mengimami
mereka sebanyak 2 rakaat dengan bacaan yang dikeraskan pada kedua
rakaat. Kemudian beliau membalik posisi selendangnya, lalu
mengangkat kedua tangannya dan berdoa meminta hujan sambil
menghadap kiblat,‖ (HR. Abu Daud, dishahihkan oleh al-Albani dalam
Shahih Abi Daud).
Pendapat kedua, khutbah dahulu, lalu berdoa, kemudian shalat.
Di antara dalilnya adalah hadis ‘Aisyah dan hadis Ibnu ‘Abbas yang telah
disebutkan.
Namun perbedaan ini adalah jenis khilaf tanawwu‗ atau
perbedaan dalam variasi, artinya dibolehkan mendahulukan shalat dulu
ataupun khutbah dulu. Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, ―Apa yang
diperselisihkan ini dapat digabungkan dari segi riwayat. Yaitu, sebagian
riwayat menyebutkan bahwa Rasulullah saw. memulai dengan doa
kemudian shalat 2 rakaat kemudian khutbah. Lalu sebagian rawi
mencukupkan diri pada riwayat tersebut. Sebagian riwayat lagi
menyebutkan dimulai dengan khutbah yang di dalamnya ada doa,
sehingga terjadilah perbedaan pendapat.‖
Membalik Rida’
Memakai rida‗ (semacam selendang) dan membalik posisi rida‗
disunahkan dalam Istisqa, yaitu dengan menaruh kain yang di sebelah
kiri ke sebelah kanan, dan kain yang ada di sebelah kanan ke sebelah kiri.
Hadis-hadis yang menyatakan dianjurkannya hal ini sangatlah banyak,
~ 99 ~
Bab III: Shalat
di antaranya hadis Abu Hurairah, hadis Abdullah bin Zaid, hadis ‘Aisyah
yang sudah disebutkan.
Membalikkan rida‗ ini dapat dilakukan setelah berdoa,
sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah, atau ketika hendak berdoa,
sebagaimana hadits Abdullah bin Zaid ra., ―Rasulullah shallallahu ‗alaihi
wa sallam keluar menuju lapangan untuk Istisqa‗. Beliau membalik rida‗-
nya ketika mulai menghadap kiblat,‖ (HR. Muslim).
Namun, para ulama berbeda pendapat apakah hanya imam yang
melakukan hal tersebut ataukah makmum juga? Perbedaan pendapat ini
terkait beberapa riwayat yang diperselisihkan keshahihannya, di
antaranya hadis berikut.
―Aku melihat Rasulullah saw. ketika Istisqa. Beliau
memperpanjang doanya, memperbanyak permintaannya, lalu membalik
badan ke arah kiblat dan membalik posisi rida‗-nya, kain yang atas di
perut dipindah ke punggung. Lalu orang-orang pun ikut membalik rida‗
mereka,‖ (HR. Ahmad).
Kebanyakan ahli hadis menilai hadis ini atau semisalnya sebagai
hadis yang syadz. Wallahu‗alam, yang lebih rajih, perbuatan ini hanya
dianjurkan kepada imam.
Rida‗ dalam hal ini bisa digantikan dengan yang semisalnya.
Syaikh Shalih Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata, ―Disunahkan
membalikkan rida‗ ketika mengakhiri doa. Ujung kanan diletakkan di
sebelah kiri, yang kiri diletakkan di sebelah kanan. Demikian juga kain
yang sejenis rida‗, seperti abaya atau yang lain.‖ 14
Adab-Adab Istisqa
Pertama, karena tidak ada waktu khusus untuk melakukan shalat istisqa,
maka hendaknya imam membuat kesepakatan dengan masyarakat
mengenai hari pelaksanaan shalat. ‘Aisyah meriwayatkan, ―Lalu beliau
~ 100 ~
Bab III: Shalat
Abdullah bin Yazid ra., juga yang dilakukan oleh Umar bin ‘Abdil ‘Aziz
dalam suratnya kepada Maimun bin Mihran. Beliau berkata,
―Aku menulis surat ini kepada para penduduk kota, supaya
mereka keluar pada suatu hari yang mereka tentukan, untuk ber-istisqa‗.
Barangsiapa yang sanggup berpuasa dan bersedekah, hendaknya
lakukanlah. Karena Allah ta‗ala berfirman (yang artinya): ‘Sungguh
beruntung orang yang mensucikan diri, menyebut nama Rabb-nya dan
mengerjakan shalat‘. Dan berdoalah sebagaimana doa bapak kalian
(Adam): ‘Keduanya berkata, Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri
kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi
rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang
merugi.‗ Dan berdoalah sebagaimana doa Nabi Nuh, ‘Sekiranya Engkau
tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan
kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi.‗ Dan
berdoalah sebagaimana doa Nabi Musa, ‘Ya Rabb-ku, sesungguhnya aku
telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku. Maka Allah
mengampuninya, sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.‗ Dan berdoalah sebagaimana doa Nabi Yunus,
‘Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Mahasuci
Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.‗‖
Keenam, bersungguh-sungguh dalam menengadahkan tangan ke
langit ketika berdoa, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
Sahabat Anas bin Malik ra. berkata, ―Biasanya Nabi shallallahu‗alaihi wa
sallam tidak mengangkat kedua tangannya ketika berdoa, kecuali ketika
Istisqa. Beliau mengangkat kedua tangannya hingga terlihat ketiaknya
yang putih,‖ (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat Muslim disebutkan, ―Nabi shallallahu‗alaihi wa
sallam ber-istisqa dan mengarahkan punggung kedua tangannya ke
langit.‖
~ 102 ~
Bab III: Shalat
~ 103 ~
Bab III: Shalat
~ 105 ~
Bab III: Shalat
~ 106 ~
Bab III: Shalat
~ 107 ~
Bab III: Shalat
~ 109 ~
Bab III: Shalat
~ 110 ~
Bab III: Shalat
~ 111 ~
Bab III: Shalat
Gerakan Rukuk
Menurut petunjuk ilmiah dengan sikap rukuk otot–otot punggung yang
meliputi otot kerudung, otot punggung lebar, otot belah ketupat dapat
berkontraksi sama rata dan serentak sehingga penyakit kekerutan atau
membengkoknya tulang punggung yang sering timbul pada anak-anak
yang disebabkan sikap duduk yang salah pada waktu menulis atau
membaca dapat dihindarkan atau disembuhkan. Kelainan dari tulang
punggung di mana satu atau beberapa ruas tulang belakang
membokong ke belakang dapat diperbaiki dan dikembalikan pada posisi
yang normal. Kelainan di mana tulang punggung terlalu melentur ke
muka yaitu pinggang lentik dapat diperbaiki. Kelainan dari tulang
punggung ini dapat menimbulkan penyakit albumuria lordotica yaitu
keluarnya zat telur di dalam air kemih pada orang muda yang
disebabkan oleh karena waktu berdiri ruas tulang punggungnya
melentik ke muka dan menekan buah pinggang.
Gerakan sujud
Secara ilmiah sujud menghasilkan otot-otot menjadi lebih besar dan
kuat terutama otot-otot dada sebagai otot sela iga dalam atau otot antara
iga dalam. Sewaktu menarik napas tampak iga-iga atau tulang-tulang
rusuk ditarik ke atas oleh pekerjaan otot-otot di antara iga-iga itu.
Dengan demikian tulang dada terangkat ke atas dan maju ke depan
sehingga rongga dada bertambah besar dan paru-paru akan berkembang
dengan baik dan dapat mengisap udara yang bersih ke dalamnya. Dada
yang picik dan tidak kuat adalah salah satu sumber dari timbulnya
penyakit TBC. Dalam keadaan sujud terjadi sirkulasi atau aliran darah di
dalam otak. Dengan sikap sujud dinding dari urat-urat nadi otak dapat
dilatih dan dibiasakan dengan menerima darah yang relatif lebih banyak
dari biasanya sehingga kematian yang sekonyong-konyong yang
disebabkan oleh pecahnya urat nadi otak dapat dihindarkan terutama
~ 112 ~
Bab III: Shalat
~ 113 ~
Bab III: Shalat
~ 114 ~
Bab IV: Doa dan Zikir
BAB IV
DOA DAN ZIKIR
ُُْ ْ َ ْ ََ ْ ْ ُ ْ ُ ُ ُّ َ ْ َ َ ْ ُ َ َ ْ َّ ّ
َ ُ ط ََم َِئ ُّ َن َال َق َل َْى
َب َ هللا َث ِ ال ِرًن آمىىا وثطم ِئن قلىب ُهم ِب ِرك ِس
َِ هللا ؤَل َِب ِ َر َك َِس
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi
tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan
mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram,” (QS. Ar-Ra„d [13]: 8).
~ 117 ~
Bab IV: Doa dan Zikir
lain adalah: (1) memohon hidup selalu dalam bimbingan Allah Swt., (2)
untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Allah Swt. dan (3) meminta
perlindungan Allah Swt. dari setan yang terkutuk.
~ 120 ~
Bab IV: Doa dan Zikir
َ َ َ َ َ َّ َ َ َ ْ َ َ َ ْ ُ َ ْ َ ْ َ َ ّ
ت َوَل ًَ ْىف ُـع ذا
َ ض ْياد ِلا ق
َ وَل ز، وَل مع ِطـي ِلا مىـعت،ماوع ِلا ؤعطـيت
ِ الل ُه َّـم َل
َ الج ّـد م ْى َـك
.الجـد َ
ِ ِ
Allaahumma laa maani„a limaa a„thaita wa laa mu„thiya limaa mana‘ta
wa laa raadda limaa qadhaita wa laa yanfa„u dzal jaddi minkal jaddu.
”Ya Allah, tidak ada yang menghalangi segala apa yang Engkau berikan,
dan tidak ada yang dapat memberikan segala yang Engkau larang. Tidak
ada yang menolak segala apa yang Engkau putuskan, dan tidak
bermanfaat kepada orang yang kaya di sisi Engkau segala kekayaannya.”
َ ّ ِ له َْى ًََ ََاز
ب َ ِ َِا
Ilaahi yaa rabbii
“Wahai Tuhan kami.”
33x هللا ََ ح
َِ ان ََ ش َْب
َُ
Subhaanallaahi
“Mahasuci Allah,” 33x
َْ
33x لهَ ِ َا َل ََح َْم ُ َد َِل
Al-Hamdu lillaahi
“Segala puji bagi Allah.” 33x
َْ َ
33x اهللُ اك َب ُر
Allaahu akbar 33x
“Allah Mahabesar,” 33x
َّ َ َ ْ َ َّ َ ْ ُ َ ْ َ َْ َ
َح َ َد ُه َُ َله ِلِا
َْ هللا ََو َ َص َي َل ََل ِا
َ ِ هللا َب َك َسةَ َوَا
َِ انََ ح َ ِ ال ََح َْم ُ َد َِل
َ ُ له َك َِث َْي َرا ََو
ََ ش َْب َ َاهللُ َا َك ََب َُر َك َِب َْي َرا ََو
َ َ ُ َ ْ َ ُ ُْ ْ ُ َ ُ َ َ ْ َ َ
َك َول ُه ال َح ْم ُد ًُ ْح ِي َو ٍُ ِم ْي ُت َو ُُ َى َعلى ك ِ ّل ش ْيئ ق ِد ًْس َ ال َل
َ ك َل َه ل َه َ ٍَش َِس َ ََل
Allaahu akbar kabiiraw-Wal hamdu lillaahi katsiira, wa subhaanallaahi
bukrataw-Wa ashilaa. Laa ilaaha illallaahu wahdahuu laa syariika lah,
lahul mulku wa lahul hamdu yuhyi wa yumiitu wa huwa ‘alaa kulli
syai„in qadir.
~ 123 ~
Bab IV: Doa dan Zikir
~ 125 ~
Bab IV: Doa dan Zikir
~ 126 ~
Bab V: Puasa
BAB V
PUASA
Maksud kata “puasa” pada ayat di atas yaitu menahan diri dari
berbicara. Menurut Istilah, puasa yaitu menahan diri dari semua yang
membatalkannya, semenjak terbit fajar sampai terbenam matahari,
dengan disertai niat.
teriak yang tidak ada manfaatnya. Apabila ada orang yang mencaci maki
atau mengajak bertengkar, hendaklah ia berkata, ‘Aku sedang berpuasa,„
sebanyak dua kali. Demi Allah yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya,
aroma mulut orang yang berpuasa itu lebih harum daripada aroma
minyak misik (kasturi). Bagi orang yang berpuasa disediakan dua
kegembiraan, yaitu ketika berbuka ia merasa gembira dengan bukanya,
dan ketika bertemu Tuhannya ia bergembira dengan puasanya.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Dalam hadis qudsi riwayat Imam Bukhari disebutkan, “Orang
yang berpuasa ia meninggalkan makan dan minumnya serta kesenangan
nafsunya demi Aku. Puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan
membalasnya. Satu kebajikan itu dilipatgandakan sepuluh kali.”
Yang dimaksud berkata keji dalam hadis di atas adalah berkata
yang jorok, terutama yang berkaitan dengan lawan jenis.
Yang dimaksud perisai ialah sesuatu yang dapat melindungi Anda
dari hal-hal yang menakutkan. Jadi, pada hakikatnya puasa itu dapat
melindungi dan menjaga orang yang melakukannya dari perbuatan-
perbuatan maksiat.
Bersumber dari Sahal bin Sa„ad dari Nabi saw. bersabda,
“Sesungguhnya di dalam surga terdapat sebuah pintu yang bernama Ar-
Rayyan. Dari pintu itulah orang-orang yang berpuasa masuk ke dalam
surga pada hari Kiamat nanti, dan tidak ada yang akan bisa
memasukinya selain mereka. Ketika mereka sudah masuk, pintu itu
ditutup sehingga tidak ada seorang pun yang memasukinya,” (HR.
Bukhari, Muslim, an-Nasa„i, dan lainnya).
Bersumber dari Abdullah bin Umar sesungguhnya Rasulullah saw.
bersabda, “Pada hari Kiamat kelak, puasa dan Al-Quran akan memberi
syafaat kepada seorang hamba. Si Puasa berkata, ‘Hai Tuhanku, aku
telah melarangnya dari makan dan bersenang-senang. Oleh karena itu,
~ 128 ~
Bab V: Puasa
~ 130 ~
Bab V: Puasa
~ 131 ~
Bab V: Puasa
Contoh yang lain yaitu orang yang tidak mampu berpuasa karena tua
renta, atau karena sakit yang sulit diharapkan akan kesembuhannya.
Allah berfirman,
َ ٌ َ َ َو َع َلى َّالر
ًن ًُ ِط ُيقىه ُه ِف ْد ًَت ط َع ُام ِم ْظ ِك ٍين ِ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka
tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang
miskin,” (QS. Al-Baqarah [2]: 184).
~ 132 ~
Bab V: Puasa
~ 133 ~
Bab V: Puasa
maka meneguk beberapa teguk air. Sesungguhnya air itu suci, (HR.
Ahmad dan juga Turmudzi yang menyatakan hadis ini hasan lagi
shahih).
3) Makan Sahur
Kata as-Sahur (dengan huruf Sin berbaris fathah), artinya sesuatu
yang dimakan dini hari, sementara as-Suhur (dengan
mendhamahkan Sin) berarti makan di waktu itu.
Anas r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Makan
Sahurlah kamu, karena makan sahur itu berkah,” (HR. Bukhari dan
Muslim)
4) Mengakhirkan Sahur
Yakni, agar makan dan minum berakhir beberapa saat menjelang
fajar. Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersahur
bersama Zaid bin Tsabit. Setelah sahur Rasulullah saw. bangkit lalu
shalat. Kami tanyakan kepada Anas, “Berapa jarak antara selesai
sahur mereka dengan mulainya shalat?” Anas menjawab, “Kira-kira
selama seseorang membaca 50 ayat,” (HR. Bukhari).
5) Meninggalkan perkataan kotor.
Seperti mengancam, berdusta, mengumpat, dan mengadu domba.
Juga memelihara diri dari syahwat, seperti memandang lawan jenis
yang bukan mahram, dan mendengarkan nyanyian.
Abu Hurairah ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. besabda,
“Barang siapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta,
maka Allah tidak memerlukan dia meninggalkan makanan dan
minumannya,” (HR. Bukhari).
Ketahuilah bahwa mengecam, berdusta, mengumpat, mengadu
domba, dan lain sebagainya adalah hal-hal yang pada asalnya
diharamkan.
~ 134 ~
Bab V: Puasa
~ 135 ~
Bab V: Puasa
~ 136 ~
Bab V: Puasa
~ 137 ~
Bab V: Puasa
~ 139 ~
Bab V: Puasa
~ 140 ~
Bab V: Puasa
~ 142 ~
Bab VI: Zakat, Infaq, dan Sedekah
BAB VI
ZAKAT, INFAQ, DAN SEDEKAH
6.1. Zakat
Setiap muslim diwajibkan memberikan sedekah dari rezeki yang
dikaruniakan Allah. Kewajiban ini tertulis di dalam Al-Quran. Pada
awalnya, Al-Quran hanya memerintahkan untuk memberikan sedekah
(pemberian yang sifatnya bebas, tidak wajib). Namun, pada kemudian
hari, umat Islam diperintahkan untuk membayar zakat.
Zakat menjadi wajib hukumnya sejak tahun 662 M. Nabi
Muhammad melembagakan perintah zakat ini dengan menetapkan
pajak bertingkat bagi mereka yang kaya untuk meringankan beban
kehidupan mereka yang miskin. Sejak itu, zakat diterapkan dalam
negara-negara Islam. Hal ini menunjukkan bahwa pada kemudian hari
ada pengaturan pemberian zakat, khususnya mengenai jumlah zakat
tersebut.
Pada zaman khalifah, zakat dikumpulkan oleh pegawai sipil dan
didistribusikan kepada kelompok tertentu dari masyarakat. Kelompok
itu adalah orang miskin, janda, budak yang ingin membeli kebebasan
mereka, orang yang terlilit utang dan tidak mampu membayar. Syariah
mengatur dengan lebih detail mengenai zakat dan bagaimana zakat itu
harus dibayarkan.
~ 143 ~
Bab VI: Zakat, Infaq, dan Sedekah
~ 144 ~
Bab VI: Zakat, Infaq, dan Sedekah
‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka
rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu,„” (QS. At-
Taubah [9]: 34-35).
َّ َ َ ُ َ َ َ َ َّ َ َ َّ َ
الصكاة ۚ َو َْا ُج ِّد ُْوا ِِل ْف َُل ِظِ ْ ِْ ْن ا ْلُ ج ِج ُد ُوه ِ ْ َد الل ِم الصَلة َو ُتجوا َوأ ِخ ُمموا
َ ُ َ َّ
ٌ ٌُِإ َّن الل َم ِب َما ح ْع َملون َب ِصل
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kebaikan apa saja yang
kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada
sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu
kerjakan,” (QS.Al-Baqarah [2]: 110).
َ َ َّ َ الن َلا ُام الا ّاد َّ ُ ُ ْ َ َّ ُ ُ َ َ
َ اللا َام ُْ ْخلصا
الصااَلة َو ُُ ْ ُجااوا ين ُو َ ََلا َااَ َو ُُ ِ ُممااوا ِ ِ ِ وْااا أ ِْااس َوا ِإَل ِلمعبا ْادوا
َ ّ َ ُ َ َ َ َ َّ
ٌ ين ال ِمم ِ ٌت الصكاة ۚ وذ ِلك ِد
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang
lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan
yang demikian Itulah agama yang lurus,” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5)
َ َّ َ َ َّ
ٌ الصك ِاة َْا ُد ْْ ُت َو ًّما َ َو َٰ َع َلني ُْ َب َاز مكا َأ ْي َن َْا ُك ْ ُت َو َأ ْو
ص ِاني ِبالصَل ِة و ِ
“Dan Dia menjadikanku sebagai seorang yang diberkati di mana saja aku
berada, serta Dia memerintahku untuk (mendirikan) shalat dan
(menunaikan) zakat selama aku hidup,” (QS. Maryam [19]: 31)).
Dan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw.
bersabda, “Tidaklah pemilik emas atau perak yang tidak menunaikan
zakatnya, kecuali di hari Kiamat akan dibentangkan baginya lempengan
logam dari api, lalu dibakar denganya dahi, lambung dan punggungnya,
setiap kali lempengan itu dingin dipanaskan lagi pada hari yang
hitunganya lima puluh ribu tahun, hingga Dia memutuskan perkara
hamba-hamba-Nya, maka ia melihat jalannya, apakah ke surga atau ke
neraka.”
~ 146 ~
Bab VI: Zakat, Infaq, dan Sedekah
~ 147 ~
Bab VI: Zakat, Infaq, dan Sedekah
6.2. Infaq
6.2.1. Pengertian Infaq
Asal kata infaq yaitu anfaqa-yunfiqu-infaaqan yang bermakna
mengeluarkan atau membelanjakan harta. Infaq itu mengeluarkan harta
atau membelanjakannya, baik untuk kebaikan, donasi, atau sesuatu
yang bersifat untuk diri sendiri, atau bahkan keinginan dan kebutuhan
yang bersifat konsumtif. Semua masuk dalam istilah infaq.
b. Memberi Nafkah
Kata infaq ini juga berlaku ketika seorang suami membiayai belanja
keluarga atau rumah tangganya. Dan istilah baku dalam bahasa
Indonesia sering disebut dengan nafkah. Kata nafkah tidak lain adalah
~ 148 ~
Bab VI: Zakat, Infaq, dan Sedekah
bentukan dari kata infak. Dan hal ini juga disebutkan di dalam Al-Quran
surat an-Nisa‘ ayat 34.
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena
mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka,” (QS. An-Nisa` [4]:
34).
Rasulullah saw. bersabda, “Uang Dinar yang engkau nafkahkan di
jalan Allah, uang Dinar yang engkau nafkahkan (untuk menebus) budak,
uang Dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan uang
Dinar yang engkau nafkahkan kepada keluargamu, maka yang paling
besar pahalanya (di antara semua itu) adalah yang engkau nafkahkan
kepada keluargamu,” (HR. Muslim).
Allah berfirman,
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak
berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di
tengah-tengah antara yang demikian,” (QS. Al-Furqan [25]: 67).
c. Mengeluarkan Zakat
Dan kata infak di dalam Al-Quran kadang juga dipakai untuk
mengeluarkan harta (zakat) atas hasil kerja dan hasil bumi (panen). Allah
berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, keluarkanlah zakat sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari
bumi untuk kamu,” (QS. Al-Baqarah [2]: 267).
~ 149 ~
Bab VI: Zakat, Infaq, dan Sedekah
6.3. Sedekah
Pengertian Sedekah
Kata sedekah merupakan kata serapan dari bahasa Arab, yaitu صدخت.
Sedekah memiliki makna yang hampir mirip dengan istilah infak di atas,
~ 150 ~
Bab VI: Zakat, Infaq, dan Sedekah
~ 151 ~
Bab VI: Zakat, Infaq, dan Sedekah
~ 152 ~
Bab VII: Haji dan Umrah
BAB VII
HAJI DAN UMRAH
7.1. Pendahuluan
Agama Islam bertugas mendidik zahir manusia, mensucikan jiwa
manusia, dan membebaskan diri manusia dari hawa nafsu. Dengan
ibadah yang tulus ikhlas dan akidah yang murni sesuai kehendak Allah,
insya Allah kita akan menjadi orang yang beruntung. Ibadah dalam
agama Islam banyak macamnya. Haji adalah salah satunya, yang
merupakan Rukun Iman yang kelima. Ibadah haji adalah ibadah yang
baik karena tidak hanya menahan hawa nafsu dan menggunakan tenaga
dalam mengerjakannya, namun juga semangat dan harta.
Dalam mengerjakan haji, kita menempuh jarak yang demikian
jauh untuk mencapai Baitullah, dengan segala kesukaran dan kesulitan
dalam perjalanan, berpisah dengan sanak keluarga dengan satu tujuan
untuk mencapai kepuasan batin dan kenikmatan rohani.
Untuk memperdalam pengetahuan kita, penulis mencoba
memberi penjelasan secara singkat mengenai pengertian haji dan
umrah, tujuan yang ingin kita capai dalam haji dan umrah, dasar hukum
perintah haji dan umrah, syarat, rukun dan wajib haji dan umrah serta
hal-hal yang dapat membatalkan haji dan umrah.
~ 154 ~
Bab VII: Haji dan Umrah
tempat tinggalnya yang layak buat dirinya, dan (juga) melebihi dari
(biaya pengadaan) seorang budak yang layak buat dirinya (baik rumah,
dan budak disini, apabila benar-benar dibuktikan oleh orang tersebut)
(Fathhul Qarib, 1991 : 30)
Macam-macam Thawaf
Thawaf Qudum, yakni thawaf yang dilaksanakan saat baru tiba di
Masjidil Haram dari negerinya.
Thawaf Tamattu„, yakni thawaf yang dikerjakan untuk mencari
keutamaan (thawaf sunnah)
Thawaf Wada„, yakni thawaf yang dilaksanakan ketika akan
meninggalkan Mekah menuju tempat tinggalnya.
Thawaf Ifadhah (thawaf rukun), yakni thawaf yang dikerjakan setelah
kembali dari wukuf di Arafah. Thawaf Ifadhah merupakan salah satu
rukun dalam ibadah haji.
4) Sa„i
Sa„i adalah lari-lari kecil sebayak tujuh kali dimulai dari bukit Shafa
dan berakhir di bukit Marwah yang jaraknya sekitar 400 meter. Sa„i
dilakukan untuk melestarikan pengalaman Hajar, ibunda nabi Ismail
yang mondar-mandir saat ia mencari air untuk dirinya dan putranya,
karena usaha dan tawakalnya kepada Allah, akhirnya Allah
memberinya nikmat berupa mengalirnya mata air zam-zam.
Dalam sa„i harus diperhatikan ketentuan-ketentuan berikut :
a. Sa„i mesti dilakukan setelah melakukan thawaf, sebagaimnana
yang dicontohkan Nabi.
b. Tartib, dimulai dari Shafa. Jabir meriwayatkan bahwa Nabi
bersabda, “Kita mulai dari tempat yang Allah memulai dengan-
Nya, dan beliau memulai dari shafa hingga selesai dari sa„inya di
Marwah.”
c. Sa„i mesti dilakukan tujuh kali dengan ketentuan bahwa
perjalanan dari Shafa ke Marwah dihitung satu kali, dan
berikutnya dari Marwah ke shafa pun demikian ( Materi
Pendidikan Agama Islam, 2001 : 105).
~ 158 ~
Bab VII: Haji dan Umrah
5) Bercukur (tahallul)
Tahallul adalah menghalalkan pada dirinya apa yang sebelumnya
diharamkan bagi dirinya karena sedang ihram. Tahallul ditandai
dengan memotong rambut kepala beberapa helai atau mencukurnya
sampai habis (lebih afdhal).
6) Tertib Berurutan
Sedangkan Rukun dalam umrah sama dengan haji yang
membedakan adalah dalam umrah tidak terdapat wukuf.
7.5. Wajib Haji dan Umrah
Wajib haji dan umrah adalah ketentuan-ketentuan yang wajib
dikerjakan dalam ibadah haji dan umrah tetapi jika tidak dikerjakan haji
dan umrah tetap sah namun harus mambayar dam atau denda.
Adapun Wajib-wajib haji adalah:
7.5.1. Ihram dari miqat
Dalam melaksanakan ihram ada ketentuan kapan pakaian ihram
itu dikenakan dan dari tempat manakah ihram itu harus dimulai.
Persoalan yang membicarakan tentang kapan dan dimana ihram
tersebut dikenakan disebut miqat atau batas yaitu batas-batas
peribadatan bagi ibadah haji dan atau umrah.
~ 159 ~
Bab VII: Haji dan Umrah
~ 160 ~
Bab VII: Haji dan Umrah
4) Yalamlam (nama suatu bukit dari beberapa bukit tuhamah). Bukit ini,
miqat orang yang datang dari sebelah Yaman, India, Indonesia, dan
negeri-negeri yang sejalan dengan negeri-negeri tersebut.
5) Qarnu (nama sebuah bukit, jauh dari Mekah kira-kira 80,640 km).
Bukit ini, miqat orang yang datang dari sebelah Najdil-Yaman dan
Najdil-hijaz dan orang-orang yang datang dari negeri-negeri yang
sejalan dengan itu.
6) Zatu„irqain (nama kampung yang jauhnya dari Mekah kira-kira
80,640 km). Kampung ini, miqat orang yang datang dari Iraq dan
negeri-negeri yang sejalan dengan itu.
7) Adapun bagi penduduk negeri-negeri yang di antara Mekah dan
miqat-miqat tersebut maka mikat mereka negeri masing-masing.
(Fiqih Islam, 1954 : 204-205)
~ 161 ~
Bab VII: Haji dan Umrah
~ 162 ~
Bab VII: Haji dan Umrah
hanya kaos tangan dan pakaina yang telah di celup dengan celupan
yang berbau harum.
4) Perempuan dilarang menutup muka dan kedua telapak tangan.
5) Dilarang menghilangkan rambut dan bulu badan, memotong kuku
selama haji, kecuali sakit tetapi wajib membayar dam.
6) Dilarang berburu atau membunuh binatang liar yang halal di makan.
7.7. Dam
7.7.1. Jenis-jenis Dam yaitu :
1) Dam (denda) karena memilih tamattu„ atau qiran. Dendanya ialah
menyembelih seekor kambing (qurban), dan bila tidak dapat
menyembelih kurban, maka wajib puasa tiga hari pada masa haji dan
tujuh hari setelah pulang ke negerinya masing-masing.
2) Dam (denda) meninggalkan ihram dari miqatnya, tidak melempar
jumrah, tidak bermalam di Muzdalifah dan mina, meninggalkan
tawaf wada„, terlambat wukuf di arafah, dendanya ialah memotong
seekor kambing kurban.
3) Dam (denda) karena bersetubuh sebelum tahallul pertama, yang
membatalkan haji dan umrah. Dendanya menurut sebagian ulama
ialah menyembelih seekor unta, kalau tidak sanggup maka seekor
sapi, kalau tidak sanggup juga, maka dengan makanan seharga unta
yang di sedekahkan kepada fakir miskin di tanah haram, atau puasa
sehari untuk tiap-tiap seperempat gantang makanan dari harga unta
tersebut.
4) Dam (denda) karena mengerjakan hal-hal yang di larang selagi ihram,
yaitu bercukur, memotong kuku, berminyak, berpakaian yang di jahit,
bersetubuh setelah tahallul pertama. Dendanya boleh memilih
diantara tiga, yaitu menyembelih seekor kambing, kerbau, puasa tiga
hari atau sedekah makanan untuk 6 orang miskin sebanyak 3 sha„
(kurang lenih 9,5 liter).
~ 163 ~
Bab VII: Haji dan Umrah
~ 165 ~
Bab VII: Haji dan Umrah
~ 166 ~
Bab VIII: Pernikahan
BAB VIII
PERNIKAHAN
~ 167 ~
Bab VIII: Pernikahan
8.4. Mahram
Menurut pengertian bahasa mahram berarti yang diharamkan. Menurut
Istilah dalam ilmu fikih mahram adalah wanita yang haram dinikahi.
Penyebab wanita haram dinikahi ada 4 macam:
1) Wanita yang haram dinikahi karena keturunan
a. Ibu kandung dan seterusnya ke atas (nenek dari ibu dan nenek
dari ayah).
b. Anak perempuan kandung dan seterusnya ke bawah (cucu dan
seterusnya).
c. Saudara perempuan sekandung (sekandung, sebapak atau seibu).
d. Saudara perempuan dari bapak.
e. Saudara perempuan dari ibu.
~ 168 ~
Bab VIII: Pernikahan
Wali nikah dibagi menjadi 2 macam, yaitu wali nasab dan wali
hakim. Wali nasab yaitu wali yang mempunyai pertalian darah dengan
mempelai wanita yang akan dinikahkan. Adapun Susunan urutan wali
nasab adalah sebagai berikut:
1) Ayah kandung, ayah tiri tidak sah jadi wali;
2) kakek (ayah dari ayah mempelai perempuan) dan seterusnya ke atas;
3) saudara laki-laki sekandung;
4) saudara laki-laki seayah;
5) anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung;
6) anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah;
7) saudara laki-laki ayah yang seayah dengan ayah;
8) anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah yang sekandung dengan
ayah;
9) anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah yang seayah dengan ayah
~ 170 ~
Bab VIII: Pernikahan
~ 174 ~
Bab VIII: Pernikahan
oleh tiga sahabat mulia, yaitu Abu Jahm, Mu‗awiyah, dan Usamah
radhiyallahu ‘anhum, hal ini dibawa kepada pemahaman bahwa para
sahabat tersebut tidak saling mengetahui lamaran saudaranya.
Wali boleh menawarkan putrinya kepada pria yang saleh untuk
dinikahkan dengannya, sebagaimana yang dilakukan oleh ‘Umar bin al-
Khaththab radhiyallahu ‘anhu terhadap putrinya, Hafshah radhiyallahu
‘anha. ‘Umar menawarkan Hafshah kepada ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu,
tetapi ‘Utsman belum berhasrat untuk menikah lagi. Kemudian, ‘Umar
menawarkannya kepada Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu, tetapi Abu Bakr
tidak memberikan keputusan—karena menjaga rahasia Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wassalam. Kemudian, datanglah Rasulullah shalallahu
‘alaihi wassalam meminang Hafshah dan menikahinya.
Meminang itu akan mengungkap keadaan, sikap wanita itu dan
keluarganya. Dimana kecocokan dua unsur ini dituntut sebelum akad
nikah, dan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang menikahi
seorang wanita kecuali dengan izin wanita tersebut, sebagaimana
diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu berkata, telah bersabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam,
―Tidak dinikahi seorang janda kecuali sampai dia minta dan tidak
dinikahi seorang gadis sampai dia mengizinkan (sesuai kemauannya).‖
Mereka bertanya, ―Ya Rasulullah, bagaimana izinnya?‖ Beliau menjawab
―Jika dia diam.‖
Maka, bila janda dikuatkan dengan musyawarahnya dan wali
butuh pada kesepakatan yang terang-terangan untuk menikah. Adapun
gadis, wali harus minta izinnya, artinya dia dimintai izin/pertimbangan
untuk menikah dan tidak dibebani dengan jawaban yang terang-
terangan untuk menunjukkan keridhaannya, tetapi cukup dengan
diamnya, sungguh dia malu untuk menjawab dengan terang-terangan.
Dan makna ini juga terdapat dalam hadis ‘Aisyah radhiallahu ‘anha
~ 176 ~
Bab VIII: Pernikahan
8.7. Talak
8.7.1. Pengertian dan Hukum Talak.
Menurut bahasa talak berarti melepaskan ikatan. Menurut istilah talak
ialah lepasnya ikatan pernikahan dengan lafal talak. Asal hukum talak
adalah makruh, sebab merupakan perbuatan halal tetapi sangat dibenci
oleh Allah Swt. Nabi Muhammad saw. bersabda, ―Perbuatan halal tetapi
paling dibenci oleh Allah adalah talak,‖ (HR. Abu Daud).
Pada talak 3, suami tidak boleh rujuk dan tidak boleh nikah lagi
sebelum istrinya itu nikah dengan laki-laki lain dan sudah digauli serta
telah ditalak oleh suami keduanya itu.
(karena permintaan istri). Suami istri boleh rujuk dengan cara akad
nikah lagi baik masih dalam masa idah maupun sudah habis masa
idahnya.
Adapun talak bain kubra yaitu talak yang dijatuhkan suami sebanyak
tiga kali (talak tiga) dalam waktu yang berbeda. Dalam talak ini,
suami tidak boleh rujuk atau menikah dengan bekas istri kecuali
dengan syarat: (a) bekas istri telah menikah lagi dengan laki-laki lain,
(b) telah dicampuri dengan suami yang baru, (c) telah dicerai dengan
suami yang baru, dan (d) telah selesai masa idahnya setelah dicerai
suami yang baru.
~ 180 ~
Bab VIII: Pernikahan
4) Khulu‗ (talak tebus) yaitu talak yang diucapkan oleh suami dengan
cara istri membayar kepada suami. Talak tebus biasanya atas
kemauan istri. Penyebab talak antara lain istri sangat benci kepada
suami, suami tidak dapat memberi nafkah, atau suami tidak dapat
membahagiakan istri
5) Fasakh ialah rusaknya ikatan perkawinan karena sebab-sebab
tertentu yaitu karena rusaknya akad nikah, seperti diketahui bahwa
istri adalah mahrom suami, salah seorang suami atau istri keluar dari
ajaran Islam, semula suami/istri musyrik kemudian salah satunya
masuk Islam; karena rusaknya tujuan pernikahan, seperti terdapat
unsur penipuan semisal mengaku laki-laki baik ternyata penjahat,
suami/istri mengidap penyakit yang dapat mengganggu hubungan
rumah tangga, suami dinyatakan hilang, atau suami dihukum penjara
5 tahun/lebih.
8.8. Hadhonah.
Hadhonah artinya mengasuh dan mendidik anak yang masih kecil. Jika
suami atau istri bercerai maka yang berhak mengasuh anaknya adalah
ibunya bila si anak masih kecil dan biaya tanggungan ayahnya. Namun,
jika si ibu telah menikah lagi maka hak mengasuh anak adalah ayahnya.
8.9. Idah
Secara bahasa idah berarti ketentuan. Menurut istilah idah ialah masa
menunggu bagi seorang wanita yang sudah dicerai suaminya sebelum ia
menikah dengan laki-laki lain. Masa idah dimaksudkan untuk memberi
kesempatan kepada bekas suaminya apakah dia akan rujuk atau tidak.
~ 181 ~
Bab VIII: Pernikahan
ٍ ا َ َْ َ ْ ا َ َ َ
ْ َز ُاَّوا ِئ ْ ل ًحا ۚ َول ُب اً ِم اث ُك ال ِري َكل ْي ِ اً ِبا ْر ُسو ِ ۚ َو ِل ّ ِلس ََ ِال َكل ْي ِ اً ََّ َز ََة ۗ َوالل ُه
َك ِص ٍص َح ِك ٍا
يم ا
―Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru‗. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah
dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan
suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka
(para suami) menghendaki ishlah. Para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma‗ruf. Akan tetapi
para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Allah
Mahaperkasa lagi Mahabijaksana,‖ (QS. al-Baqarah [2]: 228).
4) Wanita yang tidak haid atau belum haid masa idahnya selama tiga
bulan.
Allah berfirman, ―Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi
(monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-
ragu (tentang masa idahnya), maka masa idah mereka adalah tiga
bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.
Perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya. Barang siapa yang
bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya
kemudahan dalam urusannya,‖ (QS. at-Thalaq: 4).
5) Wanita yang dicerai sebelum dicampuri suaminya maka baginya
tidak ada masa idah.
Allah berfirman, ―Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu
ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali
tidak wajib atas mereka idah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya. Berilah mereka mut‗ah, dan lepaskanlah
mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya,‖ (QS. al-Ahzab: 49).
~ 183 ~
Bab VIII: Pernikahan
8.10. Rujuk
Rujuk artinya kembali. Maksudnya ialah kembalinya suami istri pada
ikatan perkawinan setelah terjadi talak raj‗i dan masih dalam masa idah.
Dasar hukum rujuk adalah Al-Quran surat al-Baqarah ayat 229, yaitu:
―Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika
mereka (para suami) menghendaki rujuk.‖
~ 186 ~
Bab VIII: Pernikahan
~ 190 ~
Bab IX: Pemulasyaraan Jenazah
BAB IX
PEMULASYARAAN JENAZAH
~ 193 ~
Bab IX: Pemulasyaraan Jenazah
Shalat jenazah tidak dengan rukuk dan sujud serta tidak dengan
adzan dan iqamah.
~ 195 ~
Bab IX: Pemulasyaraan Jenazah
~ 196 ~
Bab X: Jual Beli
BAB X
JUAL BELI
~ 199 ~
Bab X: Jual Beli
Jual beli ditinjau dari dari hukum ada beberapa macam, yaitu:
1) Jual beli Sah (halal)
~ 200 ~
Bab X: Jual Beli
Jual beli sah atau shahih adalah jual beli yang memenuhi ketentuan
syariat. Hukumnya, sesuatu yang diperjualbelikan menjadi milik yang
melakukan akad.
2) Jual beli fasid (rusak)
Jual beli fasid adalah jual beli yang sesuai dengan ketentuan syariat
pada asalnya tetapi tidak sesuai dengan syariat pada sifatnya, seperti
jual beli yang dilakukan oleh orang yang mumayyiz tetapi bodoh
sehingga menimbulkan pertentangan.
Menurut jumhur ulama, fasid (rusak) dan batal (haram) memiliki arti
yang sama. Adapun ulama Hanafiyah membagi hukum dan sifat jual
beli menjadi sah, batal, dan fasid (rusak) (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh
al-Islami wa adillatuhu, 4/425)
Perbedaan pendapat antara jumhur ulama dan ulama hanafiyah
berpangkal pada jual beli atau akad yang tidak memenuhi ketentuan
syara„ bedasarkan hadis Rasul. Rasulullah saw. bersabda,
“Barangsiapa yang berbuat suatu amal yang tidak kami perintahkan
maka tertolak. Begitu pula barangsiapa yang memasukkan suatu
perbuatan kepada agama kita, maka tertolak, (HR. Muslim).
Berdasarkan hadis di atas, jumhur ulama berpendapat bahwa akad
atau jual beli yang keluar dari ketentuan syara„ harus ditolak atau
tidak dianggap, baik dalam hal muamalat maupun ibadah.
Adapun menurut ulama Hanafiyah, dalam masalah muamalah
terkadang ada suatu kemaslahatan yang tidak ada ketentuannya dari
syara„ sehingga tidak sesuai atau ada kekurangan dengan ketentuan
syariat. Akad seperti ini adalah rusak tetapi tidak batal. Dengan kata
lain, ada akad yang batal saja dan ada pula yang rusak saja.
~ 201 ~
Bab X: Jual Beli
Ditinjau dari benda (objek), jual beli dibagi menjadi 3 macam (Imam
Taqiyuddin, Kifayatul Akhyar, hal. 329):
a) Bendanya kelihatan
Ialah pada waktu melakukan akad jual beli, barang yang
diperjualbelikan ada di depan penjual dan pembeli. Contoh: membeli
beras di toko atau pasar.
b) Sifat-sifat bendanya disebutkan dalam janji
Ialah jual beli salam (pesanan). Salam adalah jual beli yang tidak
tunai. Salam mempunyai arti meminjamkan barang atau sesuatu
yang seimbang dengan harga tertentu. Maksudnya ialah perjanjian
yang penyerahan barang-barangnya ditangguhkan hingga masa
tertentu, sebagai imbalan harga yang telah ditetapkan ketika akad.
Dalam salam berlaku syarat jual beli dan tambahan:
Ketika melakukan akad salam, disebutkan sifat-sifatnya yang
mungkin dijangkau oleh pembeli, baik berupa barang yang dapat
ditakar, ditimbang, ataupun diukur.
Dalam akad harus disebutkan segala sesuatu yang bisa
mempertinggi dan memperendah harga barang itu. Contoh, kalau
kain, sebutkan jenis kainnya, kualitas nomor 1, 2 atau tiga dan
seterusnya.
~ 205 ~
Bab X: Jual Beli
Jual beli ditinjau dari subjek (pelaku) terbagi menjadi beberapa macam,
yaitu:
a) Dengan lisan.
b) Dengan perantara
Penyampaian akad jual beli melalui wakalah (utusan), perantara,
tulisan atau surat menyurat sama halnya dengan ucapan. Penjual dan
pembeli tidak berhadapan dalam satu majlis akad.
Dengan perbuatan (saling memberikan) atau dikenal dengan istilah
mu„athah yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab qabul
secara lisan. Contohnya, seseorang yang mengambil barang yang
sudah dituliskan label harganya oleh penjual, kemudian pembeli
melakukan pembayaran kepada penjual. Jual beli yang demikian
dilakukan tanpa sighat ijab qabul antara penjual dan pembeli.
~ 206 ~
Bab X: Jual Beli
Jual beli ditinjau dari harga tediri dari beberapa macam, yaitu:
a) Jual beli yang menguntungkan (al-Murabahah).
b) Jual beli yang tidak menguntungkan, yaitu menjual dengan harga
aslinya (at-Tauliyah).
c) Jual beli rugi (al-Khasarah).
d) Jual beli al-Musawah, yaitu penjual menyembunyikan harga aslinya
tetapi kedua orang yang akad saling meridhai.
~ 207 ~
Bab X: Jual Beli
karena telah menyelahi aturan dan ketentuan dalam jual beli, dan
tentunya merugikan salah satu pihak, maka jual beli tersebut dilarang.
Berkenaan dengan jual beli yang dilarang dalam Islam, Wahbah
al-Zuhaily meringkasnya sbb :
~ 213 ~
Bab X: Jual Beli
~ 214 ~
Bab X: Jual Beli
~ 215 ~
Bab X: Jual Beli
~ 216 ~
Bab X: Jual Beli
~ 217 ~
Bab X: Jual Beli
~ 218 ~
BAB XI
WAKAF
~ 219 ~
kitab-kitab hadis dan fikih tidak seragam. Al-Syarkhasi dalam kitab al-
Mabsuth, memberikan nomenklatur wakaf dengan Kitab al-Waqf. Imam
Malik menuliskannya dengan nomenklatur Kitab Habs wa al-Shadaqat.
Imam Syafi„i dalam al-Umm memberikan nomenklatur wakaf dengan al-
Ahbas. Dan bahkan, Imam Bukhari menyertakan hadis-hadis tentang
wakaf dengan nomenklatur Kitab al-Washaya. Oleh karena itu, secara
nomenklatur wakaf disebut dengan al-Ahbas, shadaqat jariyat, dan al-
Waqf.
Keragaman nomenklatur wakaf terjadi karena tidak ada kata
wakaf yang eksplisit dalam Al-Quran dan hadis. Hal ini menunjukan
bahwa wilayah ijtihad dalam bidang wakaf lebih besar daripada wilayah
tawqifi.
Sementara itu, menurut Wahbah Zuhaily, wakaf pada hakikatnya
adalah menahan harta (benda) milik orang yang berwakaf, kemudian
menyedakahkan manfaatnya kepada jalan kebaikan.
Adapun menurut empat imam mazhab, wakaf memiliki beberapa
pengertian, yaitu:
Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi
benda (al-‘Ain) milik wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan
manfaatnya kepada siapa pun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan
(Ibnu al-Humam, 6/203). Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahwa
kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan
wakif itu sendiri. Dengan artian, wakif masih menjadi pemilik harta yang
diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat
harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya.
Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan
manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara
sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad
(shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan wakif
~ 220 ~
(al-Dasuqi: 2/187). Definisi wakaf tersebut hanya menentukan
pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.
Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang
bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya ( al-‘Ain) dengan cara
memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh wakif untuk diserahkan
kepada nazhir yang dibolehkan oleh syariah (al-Syarbini: 2/376).
Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang
kekal materi bendanya (al-‘Ain), dengan artian harta yang tidak mudah
rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan
(al-Syairazi: 1/575).
Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang
sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan
manfaat yang dihasilkan (Ibnu Qudamah: 6/185). Itu menurut para
ulama ahli fikih. Bagaimana menurut undang-undang di Indonesia?
Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan
perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau
untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna
keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Kata “wakaf” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: (1)
tanah Negara tidak dapat diserahkan kepada siapa pun dan digunakan
untuk tujuan amal; (2) benda bergerak atau tidak bergerak yang
disediakan untuk kepentingan umum (Islam) sebagai pemberian yang
ikhlas. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 215 wakaf
adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakan untuk
~ 221 ~
selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum
lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
~ 222 ~
pengkajian deskriftif berdasarkan pandangan ulama mujtahid. Hal ini
sangat penting, di samping untuk mengungkap khasana keragaman
persepsi dan pandangan, juga sebagai alternatif landasan teoritik dalam
pengkajian perwakafan.
Ada dua istilah yang perlu dipahami berkaitan kecakapan
bertindak yang disebut dalam kitab-kitab fikih Islam, yakni baligh dan
“rasyid”. Baligh dikonsentrasikan pada umur yang menurut jumhur
ulama telah berusia minimal 15 tahun. Adapun yang dimaksud “rasyid”
adalah cerdas atau kematangan dalam bertindak. Menurut jumhur
ulama, tidak sah wakaf yang dilakukan oleh orang bodoh dan orang
yang pailit. Sedangkan golongan Hanafiyah berpendapat bahwa tidak
dapat dilaksanakan wakaf dari orang yang berutang dan pailit kecuali
seizin orang yang memberi utang.
Syarat-syarat wakaf menurut Badan Zakat Indonesia, yaitu:
1) Orang yang berwakaf (al-Waqif)
Syarat-syarat al-waqif ada empat. Pertama, orang yang berwakaf ini
mestilah memiliki secara penuh harta itu. Artinya, ia merdeka untuk
mewakafkan harta itu kepada orang yang ia kehendaki. Kedua, ia
mestilah orang yang berakal. Tak sah wakaf orang bodoh, orang gila,
atau orang yang sedang mabuk. Ketiga, ia mestilah baligh. Dan
keempat, ia mestilah orang yang mampu bertindak secara hukum
(rasyid). Implikasinya orang bodoh, orang yang sedang muflis dan
orang lemah ingatan tidak sah mewakafkan hartanya.
2) Harta yang diwakafkan (al-Mauquf).
Syarat harta yang diwakafkan itu tidak sah dipindahmilikkan, kecuali
apabila ia memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan Pertama,
barang yang diwakafkan itu mestilah barang yang berharga. Kedua,
harta yang diwakafkan itu mestilah diketahui kadarnya. Jadi apabila
harta itu tidak diketahui jumlahnya (majhul), maka pengalihan milik
ketika itu tidak sah. Ketiga, harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki
~ 223 ~
oleh orang yang berwakaf (wakif). Keempat, harta itu mestilah berdiri
sendiri, tidak melekat kepada harta lain ( mufarrazan) atau disebut
juga dengan istilah (ghaira shai„).
3) Orang yang menerima manfaat wakaf (al-Mauquf alaih)
Dari segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua
macam. Pertama, tertentu (mu„ayyan) dan tidak tertentu (ghaira
mu„ayyan). Yang dimasudkan dengan tertentu ialah jelas orang yang
menerima wakaf itu, apakah seorang, dua orang, atau satu kumpulan
yang semuanya tertentu dan tidak boleh dirubah. Sedangkan yang
tidak tertentu (ghaira mu„ayyan) maksudnya tempat berwakaf itu
tidak ditentukan secara terperinci. Misalnya, seseorang sesorang
untuk orang fakir, miskin, tempat ibadah, dll. Persyaratan bagi orang
yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf mu„ayyan) bahwa ia
mestilah orang yang boleh untuk memiliki harta (ahlan li al-tamlik).
Karenanya, orang muslim, merdeka, dan kafir zimmi yang memenuhi
syarat ini boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang bodoh, hamba
sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf.
Ada syarat-syarat yang berkaitan dengan ghaira mu„ayyan. Pertama,
orang yang akan menerima wakaf itu mestilah dapat menjadikan
wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya dapat mendekatkan diri
kepada Allah. Kedua, wakaf ini hanya ditujukan untuk kepentingan
Islam saja.
4) Shigat atau ikrar
Berkaitan dengan isi ucapan (sighat) perlu ada beberapa syarat.
Pertama, ucapan itu mestilah mengandung kata-kata yang
menunjukkan kekalnya (ta„bid). Tidak sah wakaf kalau ucapan
dengan batas waktu tertentu. Kedua, ucapan itu dapat direalisasikan
segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada syarat
tertentu. Ketiga, ucapan itu bersifat pasti. Keempat, ucapan itu tidak
diikuti oleh syarat yang membatalkan. Apabila semua persyaratan di
atas dapat terpenuhi maka penguasaan atas tanah wakaf bagi
~ 224 ~
penerima wakaf adalah sah. Pewakaf tidak dapat lagi menarik balik
pemilikan harta itu telah berpindah kepada Allah dan penguasaan
harta tersebut adalah orang yang menerima wakaf secara umum ia
dianggap pemiliknya tapi bersifat ghaira tammah.
2) Wakaf Khairi
Wakaf khairi atau wakaf umum ini perlu digalakkan dan
dianjurkan, agar kaum muslimin melakukannya, karena dapat dijadikan
modal untuk menegakkan agama Allah, membina sarana keagamaan,
membangun sekolah, menolong fakir miskin, anak yatim, orang terlantar
dan kepentingan umum lainnya. Wakaf khairi adalah wakaf yang
pahalanya terus menerus mengalir dan diperoleh wakif sekalipun ia
telah meninggal dunia. Wakaf khairi atau wakaf umum sungguh lebih
besar manfaatnya daripada wakaf ahli dalam kehidupan umat Islam,
karena pemanfaatannya tidak terbatas pada satu orang atau kelompok
tertentu saja, melainkan untuk umat Islam secara umum. Wakaf khairi
paling sesuai dengan tujuan wakaf. Dalam wakaf ini si wakif boleh
melaksanakan shalat dan ikut memelihara masjid itu, atau seseorang
yang mewakafkan sumur dapat mengambil air dari sumur itu. Demikian
pula bila wakaf sekolah maka si wakif dapat menyekolahkan anak-
anaknya atau keluarganya di sekolah itu.
~ 226 ~
3) Wakaf Uang
Sebagai lembaga atau institusi yang dapat mensejahterahkan
masyarakat, wakaf semakin maju, tidak hanya berupa tanah, uang pun
dapat diwakafkan. Langkah ini menjadi gerakan alternatif dalam
pemberdayaan umat dan meningkatkan kesejahteraan ekonominya.
Saat ini, telah tercetus Gerakan Nasional Wakaf Indonesia (GNWU) yang
digagas oleh Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI).
Wakaf uang dalam Islam bukan sesuatu yang baru. Muhammad
Abdullah al-Anshari, murid dari Zufar (sahabat Abu Hanifah) telah
membolehkan wakaf dalam bentuk uang. Dalam Mazhab Hanafi,
sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Abidin, sah tidaknya wakaf uang
tergantung kebiasaan di suatu tempat. Namun demikian, ada juga ulama
yang tidak membolehkan wakaf uang. Ibn Qudamah dalam
meriwayatkan pendapat dari sebagian besar ulama yang tidak
membolehkan wakaf uang dirham, dengan alasan dinar dan dirham
akan lenyap ketika dilakukan pembayaran, sehingga tidak ada lagi
wujudnya. Ibnu Qudamah juga menjelaskan salah satu pendapat dari
kalangan yang tidak membolehkan mempersewakan uang. Hal ini telah
diuraikan oleh Latif Muhammad Amir bahwa segala sesuatu yang tidak
dapat dimanfaatkan, todak boleh diwakafkan, apalagi telah hilang
zatnya, misalnya emas, uang kertas, makanan dan minuman.
~ 228 ~
sedangkan orang-orang Anshor mengatakan wakaf Rasulullah saw.”
(Asy-Syaukani 1374 H: 129).
Dalam sejarah peradaban Islam, wakaf banyak digunakan untuk
amal sosial atau kepentingan umum, sebagaimana dilakukan oleh
sahabat ‘Umar ibn Khaththab. Beliau memberikan hasil kebunnya
kepada fakir miskin, ibnu sabil, sabilillah, para tamu, dan hamba sahaya
(budak) yang sedang berusaha menebus dirinya. Wakaf ini ditujukan
kepada umum, dengan tidak membatasi penggunaannya, yang
mencakup semua aspek untuk kepentingan dan kesejahteraan umat
manusia pada umumnya.
Kepentingan umum itu kini bisa berupa jaminan sosial,
pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Hal tersebut merupakan salah satu
segi dari bentuk-bentuk penggunaan wakaf membelanjakan atau
memanfaatkan harta di jalan Allah Swt. melalui pintu wakaf. Dengan
demikian, dilihat dari segi manfaat pengelolaannya, wakaf sangat berjasa
besar dalam membangun berbagai sarana untuk kepentingan umum
demi kesejahteraan umat.
~ 229 ~
(ganjaran) bagi siapa saja yang Dia kehendaki, Dan Allah Maha
Kuasa (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi Muhammad saw
bersabda, “Apabila anak Adam meninggal dunia maka putuslah
amalnya, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat,
dan anak saleh yang mendoakan orang tuanya.” Hadis ini
dikemukakan dalam Bab Wakaf, karena sedekah jariyah oleh para
ulama ditafsirkan sebagai wakaf. Di antara para ulama yang
menafsirkan dan mengelompokkan sedekah jariyah sebagai wakaf
adalah Asy-Syaukani, Sayyid Sabiq, Imam Taqiyuddin, dan Abu Bakr.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, para ulama sepakat bahwa
yang dimaksud sedekah jariyah dalam hadis tersebut adalah wakaf.
Itulah antara lain beberapa dalil yang menjadi dasar hukum
disyariatkannya wakaf dalam Islam.
Kemudian dari segi keutamaannya, Syaikh Abdullah Ali Bassam
berkata, “Wakaf adalah sedekah yang paling mulia. Allah Swt.
menganjurkannya dan menjanjikan pahala yang sangat besar bagi yang
berwakaf, karena sedekah berupa wakaf tetap terus mengalirkan
kebaikan dan mashlahatnya.”
Adapun keutamaan wakaf ini bisa dilihat dari dua sisi yang
berbeda. Bagi penerima hasil ( mauquf alaih), wakaf akan menebarkan
kebaikan kepada pihak yang memperoleh hasil wakaf dan orang yang
membutuhkan bantuan, seperti fakir miskin, anak yatim, korban
bencana, orang yang tidak punya usaha dan pekerjaan, orang yang
berjihad di jalan Allah Swt. Wakaf juga memberi manfaat besar untuk
kemajuan ilmu pengetahuan, seperti bantuan bagi para pengajar dan
penuntut ilmu, serta berbagai pelayanan kemaslahatan umat yang lain.
Sementara itu, bagi pewakaf (wakif), wakaf merupakan amal
kebaikan yang tak akan ada habisnya bagi orang yang berwakaf. Oleh
karenanya, barang yang diwakafkan itu tetap utuh sampai kapan pun. Di
~ 230 ~
samping utuh, barang tersebut juga dikelola dan dimanfaatkan untuk
kepentingan umum. Dengan begitu, pahala yang dihasilkan terus
mengalir kepada wakif, meskipun ia sudah meninggal dunia. Hal inilah
yang membedakan keutamaan wakaf dibanding dengan ibadah lainnya
yang sejenis, seperti zakat.
Beberapa penjelasan tersebut menunjukkan, bahwa
melaksanakan wakaf bagi seorang muslim merupakan realisasi ibadah
kepada Allah melalui harta benda yang dimilikinya, yaitu dengan
melepas benda yang dimilikinya (private benefit) untuk kepentingan
umum (social benefit). Jadi, wakaf adalah jenis ibadah yang istimewa
dan utama bagi orang yang beriman dan beramal saleh. Hanya dengan
memberikan harta untuk wakaf, manfaat dan hasilnya dapat terus
berlipat tanpa henti.
Jika disederhanakan, filosofi orientasi dan hikmah dalam wakaf
itu terdapat tiga poin. Pertama, wakaf untuk sarana prasarana dan
aktivitas sosial. Kedua, wakaf untuk peningkatan peradaban umat. Dan
ketiga, wakaf untuk meningkatkan kesejahteraan umat.
~ 231 ~
Sementara itu, dalam Islam, tradisi ini dirintis oleh Rasulullah
Muhammad saw, yang membangun masjid Quba„ di awal
kedatangannya di Madinah. Peristiwa ini dijadikan sebagai penanda
wakaf pertama dalam Islam untuk kepentingan peribadatan dalam
agama. Ini terjadi tak lama setelah Nabi hijrah ke Madinah. Selain itu,
Nabi juga membangun masjid Nabawi yang didirikan di atas tanah anak
Yatim dari bani Najjar. Tanah itu telah dibeli Nabi dengan harga delapan
ratus dirham. Langkah ini menunjukkan, bahwa Nabi telah mewakafkan
tanahnya untuk pembangunan masjid sebagai sarana peribadatan umat
Islam.
Hal tersebut kemudian ditetapkan sebagai ibadah yang diteladani
umat Islam di segala penjuru. Karenanya, tak heran kalau kini banyak
ditemukan masjid hasil wakaf. Di antara masjid-masjid masyhur di dunia
yang dikelola dengan wakaf, antara lain, Masjid al-Azhar dan Masjid al-
Husain di Mesir, Masjid Umawi di Syria, dan Masjid al-Qairawan di
Tunisia. Masjid-masjid itu tak hanya digunakan sebagai sarana ibadah,
tapi juga sebagai tempat dakwah dan pendidikan Islam serta pelayanan
umat dalam bidang-bidang lainnya.
~ 234 ~
karena Allah.” Kemudian, Nabi menasehatinya agar kebun tersebut
didermakan untuk kepentingan orang-orang fakir miskin.
Kemudian Umar ibnu Khatab pun melakukan hal yang sama.
Sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim dari Ibnu Umar, ia berkata:
“Umar mempunyai tanah di Khaibar, kemudian ia datang kepada
Rasulullah saw. meminta untuk mengolahnya sambil berkata, ‘Ya
Rasulullah, aku memiliki sebidang tanah di Khaibar, tetapi aku belum
mengambil manfaatnya, bagaimana aku harus berbuat?„ Rasulullah
bersabda, ‘Jika engkau menginginkannya, tahanlah tanah itu dan
sedekahkan hasilnya. Tanah tersebut tidak boleh dijual atau
diperjualbelikan, dihibahkan atau diwariskan.„ Ia pun
menyedekahkannya kepada fakir miskin, karib kerabat, budak belian,
dan ibnu sabil. Tidak berdosa bagi orang yang mengurus harta tersebut
untuk menggunakan sekedar keperluannya tanpa maksud memiliki
harta itu.”
Wakaf untuk kesejahteraan umum ini, kemudian berkembang menjadi
berbagai bentuk.
1) Wakaf untuk fasilitas umum, seperti wakaf sumur dan sumber mata
air. Ini bisa dijumpai di tepi-tepi jalan yang bisa menjadi lalu lintas
jamaah haji yang datang dari Iraq, Syam, Mesir, dan Yaman, serta
kafilah yang bepergian menuju India dan Afrika. Di antara sumur-
sumur itu, terdapat wakaf sumur Zubaidah, istri Harun al-Rasyid,
khalifah pemerintahan Abbasiyah.Yang termasuk bentuk ini adalah
wakaf jalan dan jembatan.
2) Wakaf khusus untuk bantuan orang-orang fakir miskin. Wakaf ini
seperti yang digambarkan dalam hadis di atas. Hasil pengelolaannya
digunakan untuk pemberdayaan masyarakar yang masuk kategori
fakir dan miskin. Wujud dari wakaf ini kini bisa beraneka ragam, ada
yang diwujudkan dalam bantuan beasiswa, pengobatan gratis, balai
~ 235 ~
pendidikan dan pelatihan cuma-cuma, bantuan permodalan dan
sebagainya.
3) Wakaf untuk pelestarian lingkungan hidup. Wakaf ini menunjukkan
bahwa kesejahteraan manusia juga harus didukung keseimbangan
ekosistem dan lingkungan hidup di sekitar. Perbaikan masyarkat
tanpa dibarengi pelestarian lingkungan, tentu perbaikan tersebut
berjalan dengan paradoks. Karena itu, harus seimbang. Misalnya,
wakaf tanah terbuka hijau di tengah perkotaan, wakaf sungai dan
salauran air, serta wakaf untuk burung-burung merpati seperti di
Masjidil Haram, Mekah.
Beberapa kutipan hadits dan uraian di atas mempertegas, bahwa
wakaf mempunyai dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat.
Perkebunan yang dijadikan contoh di atas dikelola dengan baik, dan
hasilnya diberikan kepada orang-orang membutuhkan, terutama orang-
orang miskin untuk memenuhi kebutuh dasar mereka, sehingga mereka
tidak sampai kelaparan. Wakaf bermanfaat bagi kesejahteraan
masyarakat, dan pahalanya terus mekar sebagai bekal investasi kelak di
akhirat.[]
~ 236 ~
Bab XII: Makanan dan Minuman
BAB XII
MAKANAN DAN MINUMAN
~ 237 ~
Bab XII: Makanan dan Minuman
ُ َ َ ُْ ْ َ ُ ْ ْ َ ُ َ َْ ُ ََ ْ َّ ُ
لَْ ت ْتا ْم ُيلَة ْاا ت َللَْ ت ْتل ُخ َللِ ْر ت َ ُتيلَِ َِِّ ِلغ ت ِتر َلل َم تتهل َِ ت ْتْ ِلْق ْة ت ِلَْْ ت ِ ل ِ ت ِ َللَة ْ ِ ت ل حرم تتع
ْ ُ ْ ْ َ َ ْ ُ ُ ْ َ َ َ َ ُ َ ْ َ ُ َ ّ َ َ ُ َ ُ َ ُ ْ َِ ْ َ
ُ لَةو ُقوذةللَةت ِدغ للَْ ِطاح للمهل كْلَْسبع ِلإَّللمهلذكاا ُي
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging
hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang
dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas,
kecuali yang sempat kamu menyembelihnya,” (QS. Al-Ma‘idah [5]: 3).
Dalam ayat lain Allah berfirman, “Dan janganlah kamu memakan
binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika
menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu
adalah suatu kefasikan,” (QS. Al-An„am [6]: 121)
Berdasarkan ayat di atas, ada beberapa jenis bangkai, yaitu:
Al-Munhaniqoh, yaitu hewan yang mati karena tercekik.
Al-Mauqudzah, yaitu hewan yang mati karena terkena
pukulan keras.
Al-Mutaroddiyah, yaitu hewan yang mati karena jatuh dari
tempat yang tinggi.
An-Nathihah, yaitu hewan yang mati karena ditanduk oleh
hewan lainnya.
Hewan yang mati karena dimangsa oleh binatang buas.
Semua hewan yang mati tanpa penyembelihan, misalnya
disetrum.
Semua hewan yang disembelih dengan sengaja tidak
membaca basmalah.
Semua hewan yang disembelih untuk selain Allah walaupun
dengan membaca basmalah.
Semua bagian tubuh hewan yang terpotong/terpisah dari
tubuhnya. Hal ini berdasarkan hadis Abu Waqid secara marfu„,
“Apa-apa yang terpotong dari hewan dalam keadaan ia
~ 238 ~
Bab XII: Makanan dan Minuman
~ 239 ~
Bab XII: Makanan dan Minuman
j. Anjing.
Para ulama sepakat akan haramnya memakan anjing, di antara dalil
yang menunjukkan hal ini adalah bahwa anjing termasuk dari hewan
buas yang bertaring yang telah berlalu pengharamannya. Rasulullah
saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah jika mengharamkan sesuatu
maka Dia akan mengharamkan harganya.” Telah sabit dalam hadis
Abu Mas„ud al-Anshory riwayat Imam Bukhari dan Muslim serta
hadis dari Jabir riwayat Imam Muslim akan haramnya
memperjualbelikan anjing (lihat: Al-Luqathat, point ke-12)
l. Monyet.
Ini merupakan pendapat mazhab Syafi„iyah dan merupakan
pendapat dari ‘Atha`, ‘Ikrimah, Mujahid, Makhul, dan Al-Hasan. Imam
Ibnu Hazm menyatakan, “Monyet adalah haram, karena Allah Swt.
merubah sekelompok manusia yang bermaksiat (Yahudi) menjadi
babi dan monyet sebagai hukuman atas mereka. Dan setiap orang
yang masih mempunyai panca indera yang bersih tentunya bisa
memastikan bahwa Allah tidaklah merubah bentuk (suatu kaum)
sebagai hukuman (kepada mereka) menjadi bentuk yang baik dari
hewan, maka jelaslah bahwa monyet tidak termasuk ke dalam
hewan-hewan yang baik sehingga secara otomatis ia tergolong
hewan yang khabits (jelek),” (Lihat: Al-Luqathat point ke-13).
~ 243 ~
Bab XII: Makanan dan Minuman
m. Gajah.
Mazhab jumhur ulama menyatakan bahwa gajah termasuk ke dalam
kategori hewan buas yang bertaring. Dan inilah yang dikuatkan oleh
Imam Ibnu ‘Abdil Barr, Al-Qurthubi, Ibnu Qudamah, dan Imam
Nawawi (lihat: Luqathat point ke-14)
~ 245 ~
Bab XII: Makanan dan Minuman
~ 246 ~
DAFTAR PUSTAKA
~ 247 ~