KELAS: BPI-B
DISUSUN OLEH:
IMAM SAHRONI (0102191017)
RIZKA INDAH FADHILA HARAHAP (0102202054)
SUMATERA UTARA
MEDAN
KATA PENGANTAR
Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pengetahuan dan pemahaman tentang,
makalah ini juga untuk memenuhi tugas mata kuliah Bimbingan Konseling Islam. Penulis
menyadari, bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata sempurna baik segi
penyusunan, bahasa, maupun penulisannya dengan segala keterbatasan yang ada. Oleh karena
itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pembaca
guna menjadi acuan agar penulis bisa menjadi lebih baik lagi di masa mendatang. Semoga
laporan makalah ini bisa menambah wawasan para pembaca dan bisa bermanfaat untuk
perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.
Pemakalah:
Kelompok 1
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk sosial merupakan suatu individu yang pada dasar
nya membutuhkan antara satu dengan yang lain, hal ini tentu merupakan bahan kajian
yang sangat penting untuk di bahas dan dikaji secara mendalam, pada dasarnya
manusia sebagai mahluk sosial tidak mampu hidup sendiri sekalipun segala kebutuhan
nya dapat dipenuhi seperti makan dan minum, tetapi manusia juga harus
membutuhkan orang lain agar mampu bertahan hidup sesuai tatanan kehidupan,
kadang banyak nya permasalahan-permasalahan yang di hadapi oleh seorang individu
terkadang memicu ketidak setabilan dalam bersosial, menghindari adanya klasifikasi
sosial yang akan merusak keharmonisan dalam bersosial dan bermasyarakat. Islam
adalah agama yang sempurna. Islam hadir sebagai agama yang syamil dan
mutakammil atau dalam artian sempurna dan integral. Islam berbicara semua aspek
kehidupan yang ada di dunia ini. Tidak ada satu aspek kehidupan manusia di dunia ini
kecuali islam mengaturnya.
B. Rumusan Masalah:
1. Kapankah Mulai Berkembangnya Sosiologi Islam Dan Barat?
2. Apa Perbedaan Sosiologi Islam Dan Barat?
3. Mengapa Ada Dua Pengertian Berbeda Antara Sosiologi Islam Dan Barat?
4. Pendekatan Apa Saja Yang Terdapat Didalam Sosiologi Islam Dan Barat?
5. Siapa Tokoh-Tokoh Dan Juga Pokok Pemikiran Dalam Sosiologi Islam Dan Barat
C. Tujuan:
1. Untuk Mengetahui Perkembangan Sosiologi Islam Dan Barat
2. Untuk Mengenang History Perkembangan Kedua Sosiologi Tersebut
3. Sebagai Pertimbangan Dan Bahan Kajian Untuk Memahami Kedua Pengertian
Sosiologi Islam Dan Barat Serta Mengenal Tokoh, Pokok Pemikirannya
BAB II
PEMBAHASAN
َلُوْ نَ َع َّما َكانُوْ ا يَ ْع َملُوْ نiََٔت َولَ ُك ْم َّما َك َس ْبتُ ْم ۚ َواَل تُسْٔـ ْ َِت ْلكَ اُ َّمةٌ قَ ْد خَ ل
ْ َت ۚ لَهَا َما َك َسب
Artinya: “Itulah umat yang telah lalu. Baginya apa yang telah mereka usahakan
dan bagimu apa yang telah kamu usahakan. Dan kamu tidak akan diminta
(pertanggung jawaban) tentang apa yang dahulu mereka kerjakan”.
ْق اِ ْذ قَ َّربَا قُرْ بَانًا فَتُقُبِّ َل ِم ْن اَ َح ِد ِه َما َولَ ْم يُتَقَبَّل ِّ ۘ َوا ْت ُل َعلَ ْي ِه ْم نَبَا َ ا ْبنَ ْي ٰا َد َم بِ ْال َح
ال اِنَّ َما يَتَقَبَّ ُل هّٰللا ُ ِم َن ْال ُمتَّقِي َْن
َ َك ۗ ق َ َۗر قiِِۗ ِم َن ااْل ٰ َخ
َ َّال اَل َ ْقتُلَن
Artinya:” Dan ceritakanlah (Muhammad) yang sebenarnya kepada mereka
tentang kisah keduanya mempersilahkan qurban, maka (kuban) salah seorang dari mereka
berdua (Habil) diterima dan dari yang lain (Qabil) tidak diterima.
2. Agama
Syariati jelas seorang mukmin, menerima seluruh ajaran Islam yang diwahyukan
kepada Nabi. Tapi Syariati juga adalah seorang intelektual, yang dalam bahasanya disebut
dengan raushankfikr, yang menerima agamanya setelah melakukan pergulatan intelektual
yang di dalam dirinya. Sebagai raushanfikr, Syariati merasa bertanggungjawab secara
intelektual untuk memberikan landasan rasional-filosofis atas penerimaannya terhadap
agama Islam. Dalam perspektif ini, Syariati telah melakukan dua pendekatan yang
rasional dalam mempertanggung jawabkan penerimaannya atas Islam sebagai bagian
yang paling mendasar dalam tata kehidupan invidual, sosial dan bangsa Iran. Yang
pertama, Syariati menerima Islam, setelah melakukan kajian dan perbandingan dengan
berbagai ideologi lainnya, apakah itu dengan Marxisme, Eksistensialisme, Liberalisme,
dan nasionalisme Iran sendiri. (A Syariati, 1995) Sehingga kemudian Syariati mengatakan
bahwa dalam seluruh pencariannya itu, dia menemukan Islam, bukan Islam sebagai
budaya yang memacu kemunculan ahli-ahli teologi, melainkan Islam sebagai ideologi
yang memacu kemunculan kaum mujahid (Ali Syariati, 1989).
Yang kedua, Syariati melakukan kajian dan perbandingan Islam dengan agama-agama
lainnya, baik dengan Laotse, Konghucu, Hindu, Budha, Jainisme, Yahudi dan Kristen.
Mempergunakan teori Pendulum, Syariati melihat bahwa agama dalam sejarah peradaban
manusia tidak ubahnya sebuah pendulum yang selalu bergerak dari satu titik ekstrem kiri
menuju ke titik ekstrem kanan. Pada posisi ekstrem kirinya, Syariati menyebutnya dengan
Materialisme Ekstrem, sedangkan pada posisi ekstrem kanan, disebut dengan
Spiritualisme Ekstrem. Sepanjang sejarahnya, agama selalu berayun dari salah satu titik
ekstrem itu. Suatu waktu, dalam upaya menyeimbangkan masyarakat, ayunan itu
mengarah pada Materialisme Ekstrem (diwakili oleh agama Musa, Konfusius, dan
Zoroaster) dari titik Spiritualisme Ekstrem (yang diwakili oleh agama Laotse, Buddhisme,
Vedik dan Kristen), dan sebaliknya.
Jika contoh sejarah agama-agama di atas (Taoisme menuju Konghucu dan Yahudi
menuju Kristen), merupakan pola-pola pergerakan agama dunia, yang jika dilihat dalam
kerangka analisa teori Dialektika Historis, maka pergerakan pendulum selalu bergerak
dari sebuah tesa menuju anti-tesa tanpa sekalipun berhasil menemukan sintesa yang baik
dan sempurna di antara keduanya. Maka baru pada agama Islamlah, menurut Ali Syariati,
yang menjadi mata rantai terakhir dari sejarah agama-agama, kombinasi ideal itu tercapai.
Islam mengajak umat manusia “dari kerendahan bumi ke ketinggian surga, dari
perbudakan satu sama lain ke arah pengabdian kepada Tuhannya alam semesta, dan dari
penindasan agama ke arah keadilan Islam.” (A Syariati, 1983) Dalam perjalanan
sejarahnya, Islam tidak dapat melepaskan diri dari gerakan pendulum yang sudah menjadi
hukum sejarah itu.
3. Masyarakat
Menurut Syariati, istilah Ummah dalam al-Quran memiliki 3 (tiga) makna yang
saling berkaitan, yaitu; gerakan, tujuan dan ketetapan hati yang sadar (A Syariati, 1995).
Untuk memperjelas makna konsep Ummah ini, Syariati kemudian melakukan
perbandingan dengan konsep-konsep lainnya yang memiliki pengertian yang hampir
sama seperti; nation, qabilah, qaum, sya’b, thabaqah, mujtama’, tha’ifah, ras, massa dan
people. Berbeda dengan istilah nation, qabilah, qaum dan sya’b, istilah Ummah memiliki
muatan nilai-nilai kemanusiaan yang dinamis. Dan seluruh istilah-istilah itu menurut
Syariati mengandung makna adanya komunitas manusia yang menonjolkan bentuk,
karakteristik dan kondisi-kondisi lokalnya dan statis. (A Syariati, 1995) Dalam pandangan
Syariati, dan ini tampaknya paralel dengan Karl Marx, kerangka dasar umat adalah
ekonomi. Sistem sosialnya didasarkan atas kesamaan dan keadilan, serta hak milik yang
ditempatkan di tangan rakyat. Dengan konsep begini, Syariati ingin membangkitkan
kembali “sistem Habil”, yakni masyarakat yang ditandai dengan kesamaan dan
persaudaraan, sebuah masyarakat tanpa kelas. (Ali Syariati, 1982).
4. Ideologi
Ali Syariati, sebagaimana diakuinya sendiri adalah seorang sosiolog. Tetapi bagi
Syariati, menjadi sosiolog saja tidaklah cukup. Sosiologi hanya menjelaskan realitas
kehidupan masyarakat dan sejarahnya. Ibarat cermin, katanya, sosiologi hanya
memantulkan objek yang ada di hadapan cermin itu tanpa mempengaruhi atau mengubah
objek itu sendiri. Hubungannya bersifat pasif dan negatif. (Ali Syariati, 1982) Dalam
pemikiran Syariati, memahami dan menjelaskan realitas tidaklah bermakna apa- apa bagi
masyarakat. Makna itu baru tampak jika ada perubahan, dan itu tidak dapat dilakukan
hanya oleh sosiologi. Dari sinilah kemudian Syariati menegaskan betapa pentingnya
ideologi, sebuah konsep yang selalu muncul dalam setiap penggalan pemikirannya
tentang aspek apa pun juga.
5. Perubahan Sosial
Islam-lah yang pertama kali menjadikan rakyat sebagai faktor penting dalam setiap
perubahan sosial. Berbeda dengan Nietzsche, yang menganggap manusia terpilih sebagai
faktor dasar perubahan sosial; berbeda dengan Plato yang menganggap kalangan
aristokrat dan ningrat sebagai faktor perubahan sosial; berbeda dengan Carlyle dan
Emerson yang menganggap tokoh-tokoh besarlah yang menjadi faktor fundamental dalam
perubahan sosial; dan berbeda pula dengan Alexis Carel yang menganggap manusia yang
berdarah murni saja yang dapat menjadi faktor perubahan sosial, maka Islam menganggap
bahwa faktor fundamental dalam perubahan sosial itu adalah rakyat sendiri, an-nas
sendiri. Rakyatlah yang menjadi poros dan faktor dasar setiap perubahan, meskipun
ketiga faktor yang telah disebut di atas, menurut Syariati, juga mempengaruhi nasib
masyarakat. (Ali Syariati, 1982).
6. Kepemimpinan
Konseptualisasi Imamah yang secara historis diwujudkan dalam diri seorang Imam
bisa jadi melahirkan gambaran tentang sosok yang serba suci, hero, deskripsi yang penuh
mitologis, karismatik dan supra-manusia. Sadar akan kerancuan yang mungkin timbul
dari pemahaman akan konsep Imamah ini, Syariati menegaskan bahwa seorang Imam
tetaplah “seorang manusia yang wajar sebagaimana manusia lain”. (A Syariati, 1995)
Keyakinan ideotik akan kesucian intrinsik para Imam, ditambah lagi dengan kekebalan
Imam dari berbuat dosa, bagi Syariati merupakan sesuatu yang jauh dari nilai-nilai
kemanusiaan. (A Syariati, 1995) Oleh karena itu, ia bukan makhluk supra-manusia, sebab
yang di atas manusia hanyalah Allah. Menolak pandangan ini berarti Syirik. Dengan
demikian, Imam itu bukan Tuhan, juga bukan perwujudan metafisik, dan bukan pula
malaikat, melainkan manusia, yakni manusia teladan, syahid dan perwujudan real dari
manusia konsepsional. (A Syariati, 1995) Seorang Imam, tetaplah manusia biasa seperti
manusia lainnya. Dari dalam diri Imam terdapat perwujudan-perwujudan dan teladan dari
semua karakter manusia yang sempurna, karakter yang menghimpun sepenuhnya sifat
manusia sejenisnya pada tingkat yang paling puncak. (A Syariati, 1995).2
2
Ta’dibuna, Vol.7 No. 2, Oktober 2018
B. Sejarah Perkembangan Sosiologi Barat Tokoh Pemikiran Serta Pendekatannya
Sosiologi dan ilmu sosial lainnya muncul dari tradisi umum refleksi terhadap
fenomena sosial, perilaku sosial manusia, dan masyarakat. Namun, pada masa lalu orang
memandang situasi sosial dan budaya mereka miliki sebagai sebagai sebuah entitas yang
tetap karena pemberian Tuhan. Pandangan ini secara bertahap digantikan oleh penjelasan
yang lebih rasional mulai dari abad ke-17 khususnya di Eropa Barat (Doda, 2005). Masalah-
masalah sosiologis, pertanyaan dan masalah telah diangkat dan didiskusikan oleh para
pelopor yang dimulai dari zaman para filsuf Yunani dan Romawi kuno. Sosiologi sebagai
sains akademis lahir pada abad ke-19 (tahun pembentukan resminya adalah 1837) di Inggris
dan Eropa Barat, khususnya di Perancis dan Jerman, dan perkembangannya sangat maju pada
abad ke-19 dan ke-20.
Perkembangan sosiologi dan konteksnya saat ini harus dipahami dalam konteks
perubahan besar yang telah menciptakan dunia modern (Giddens, 1986). Sosiologi sebagai
ilmu pengetahuan lahir belakangan dibandingkan dengan ilmu pengetahuan alam. Sosiologi
merupakan bagian dari human sciences atau ilmu-ilmu manusia, seperti psikologi, sejarah,
antropologi, politik, dan ekonomi. Kekhususan sosiologi adalah mempelajari perilaku
masyarakat manusia yang berkaitan dengan struktur kemasyarakatan dan kebudayaan yang
dimilikinya dan ditunjang bersama. Kondisi utama yang mendorong berkembangnya kajian
ilmu sosiologi dipicu oleh adanya perubahan masyarakat, pergolakan, dan gangguan sosial
yang mendorong ilmuwan untuk memahaminya sehingga melalui beberapa tahapan
perkembangan memunculkan sosiologi sebagai ilmu akademis. Misalnya, adanya Revolusi
Industri yang dimulai di Britania Raya, Revolusi Politik Perancis pada era tahun 1789, Masa
Pencerahan dan Kemajuan dalam ilmu alam dan teknologi. Revolusi ini telah membawa
perubahan dan gangguan sosial yang sangat signifikan dalam cara masyarakat hidup di
negara-negara tersebut. Karena sosiologi lahir di tengah-tengah era perubahan sosio-politik,
ekonomi, dan teknologi yang besar dari dunia barat, dikatakan sosiologi sebagai ilmu yang
mempelajari masyarakat modern.
Para sosiolog perintis sangat prihatin tentang perubahan besar yang terjadi, dan mereka
merasa bahwa ilmu-ilmu yang sudah ada tidak dapat membantu untuk memahami,
menjelaskan, menganalisis, dan menafsirkan hukum dasar yang mengatur fenomena sosial.
Jadi sosiologi lahir dari latar belakang konteks revolusioner ini. Perkembangan sosiologi
berlangsung selama berabad-abad yang dibagi menjadi lima periode yaitu: perkembangan
awal, abad pencerahan, abad revolusi, kelahiran sosiologi dan munculnya sosiologi modern
(Sudarsono dan Wijayanti, 2016) sebagai berikut:
A. Perkembangan Awal
Para pemikir Yunani kuno, terutama Socrates, Plato, dan Aristoteles beranggapan
bahwa masyarakat terbentuk begitu saja tanpa ada yang bisa merubahnya. Masyarakat
mengalami perkembangan dan kemunduran, kemakmuran maupun krisis dan semua itu
merupakan masalah yang tidak dapat terelakkan. Anggapan tersebut bertahan semasa abad
pertengahan (abad ke-5 M sampai akhir abad ke-14 M). Ada banyak sekali pemikir-pemikir
yang berasal dari barat, sperti Agustinus Avicenna, dan Thomas Aquinas. Yang menegaskan
bahwa nasib masyarakat harusditerima Sebagian dari kehendak ilahi, sebgai mahluk yang
fana manusia tidak dapat mengetahui pertanggung jawaban mengenai perubahan masyarakat
pada saat itu (Sudarsono dan Wijayanti).
Pada abad ke-19 M Ilmuan mulai menyadari perlu memahami kondisi dan perubahan
social secara khusus, mereka membangun teori social berdasarkan ciri-ciri hakiki masyarakat
pada tiap peradaban manusia, untuk membangun teori tersebut, mereka membandingkan
masyarakat dan perubahan manusia dari masa ke masa. Auguste Comte seorang kebangsaan
francis dalam bukunya, Course de philosopie positive memperkenalkan sosiologi sebagai
pendekatan khusus untuk mempelajari masyarakat.
Meskipun sosiologi lahir di eropa perkembangan nya justru kebih pesat di amerika. Ini
berhubungan dengan gejolak social yang terjadi disana. Perubahan masyarakat yang begitu
mencolok mengugah para ilmuan social untuk berpikir keras. Karena mereka menyadari
bahwa pendekatan sosiologi lama ala eropa sudan tidak relevan lagi, mereka berupaya
menemukan pendekatan baruyang sesuai dengan kondisi masyarakat saat itu, maka lahirlah
sosiologi modern. Berikut ini beberapa pemikiran baru tentang sosiologi terkemuka :
Untuk menghindari terlalu luasnya cakupan makna sosiologi, maka sejak semula penulis perlu
memperjelas bahwa cakupan yang ingin dibahas dalam tulisan ini hanyalah konsep manusia dan
masyarakatnya. Ali Syari’ati merupakan seorang sosiolog, di samping agamawan dan negarawan,
yang mempunyai pemikiran cemerlang terkait pembahasan hakikat manusia. Pemikirannya
justru merupakan renungan sosiologis yang diperkuat dengan kesadaran teologis yang berisi
koreksi terhadap konsep sosiologi Barat; yakni liberalisme, Kapitalisme dan Marxisme.
Aliran-aliran ini berangkat dari rumusan hakikat manusia yang sesuai dengan ambisi masing-
masing. Akan tetapi, hasil-hasil refleksi sosiologis mereka menyimpan banyak cacat.
a. Liberalisme Barat
b. Munculnya Kapitalisme
Slogan pembebasan manusia selanjutnya menuntut bebasnya manusia dari
belenggu kehendak langit yang sewenang-wenang, membebaskan akal dari kungkungan
doktrin agama yang dogmatis dan melepaskan ilmu pengetahuan dari belitan aksioma-
aksioma teologis. Artinya, kesadaran ini merupakan gelombang filsafat untuk melepaskan
diri dari belenggu langit menuju bumi guna menciptakan surga di dunia. Kemudian
permasalahannya adalah bagaimana mencari tangan dan sarana untuk memakmurkan bangsa-
bangsa, membuat manusia menjadi produktif dan memberikan kekuasaan kepada tekhnologi.
Alat dan tangan pengendalinya tersebut, menurut kapitalisme, adalah sains dan kapital.
Negara-negara Barat pasca renaissance, sebagai konsekuensinya, berlomba-lomba
memajukan temuan sains mereka di samping dengan berlomba-lomba memperbanyak kapital.
Mereka yang menguasai sains dan kapital maka merekalah yang menentukan nasib dunia.
c. Marxisme
Konsep tentang manusia dan masyarakatnya yang dipakai Marxisme hampir
mirip mempunyai akar sejarah yang sama dengan liberalisme Barat. Akan tetapi,
konsep kemanusiaan dan masyarakat yang tercipta dalam sistem Marxisme
akhirnya berbeda. Marxisme mempunyai muara pada “materialism-humanisme”
baik dalam bidang kehidupan maupun akidah.
C. Aplikasi Pendekatan Sosiologi Dalam Pelitian Al-Qur’an. (Metode Penelitian)
Pendekatan sosiologi memiliki perran penting dalam usaha untuk memahami dan
menggali makna-makna yang sesungguhnyA yang dikehendaki oleh al-ur’an selain
disebabkan oleh islam juga sebagai agama yang lebih mengutamakan hal-hal yang
mengarah kepada sosialdaeri pada individual, yang terbukti dengan adanya ayat-ayat
dan hadis-hadis yang mengarah kepada konteks social, urusan muamalah hal ini juga
disebabkan dengan banyaknya kisah dalam al-qur’an yang kurang bisa
dipahamidengan tepat kecuali dengan pendekatan sosiologi, sebagai contoh dahulu
kisah yusuf, yang dahulunya budak lalu akhirnya menjadi penguasa dimesir. Dan
kisah musa yang dalam tugasnya di bantu oleh harun, kedua kisahnya baru dapat
dimengerti dengan tepat dan dapat di ditemukan hikmahnya dengan bantuan ilmu
social.
Selain itu dalam al-qur’an dinyatakan bahwa allah mengharapkan adanya suatu
umat yang menjadi saksi atas manusia, (syuhada ‘ala al-nash) fungsi ini antara lain
mampu mewujudkan penelitian empiris tema- tema tentang keadilan, taqwa,
musyawarah, tolong-menolong amal saleh, dan lain sebagainya daapat diteliti sejau
mana tema-tema tersebut sudah di praktekan dalam masyarakat. Salah satu rumusan
penelitian al-quran yang diidentifikasi dengan istilah leving al-aquran adalah salah
satu paradigma dalam menetapkan al-qur’an sesuai dengan masyarakat pembacanya.
Al-Ghazali secara substansial telah merumuskan kajian sosiologi ini dalam kajian
hukum Islam. Menurutnya penelitian hukum Islam secara garis besar ada dua, yakni,
penelitian hukum deskriptif (washfi) dan penelitian hukum normatif/perspektif
(mi’yari). Penelitian deskriptif menekankan pada penjelasan hubungan antara variabel
hukum dengan non hukum, baik sebagai variabel independen ataupun variable
dependen. Ilmu pengetahuan sosial dengan caranya masing-masing atau metode,
teknik dan peralatannya dapat mengamati dengan cermat perilaku manusia itu, hingga
menemukan segala unsur yang menjadi komponen terjadinya perilaku itu. Ilmu
sejarah mengamati proses terjadinya perilaku itu, sosiologi menyorotinya dari sudut
posisi manusia yang membawanya kepada perilaku itu, dan antropologi
memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku itu dalam tatanan nilai yang dianut
dalam kehidupan manusia (Taufik Abdullah, 1989: 1).
Pendekatan sosiologis dibedakan dari pendekatan studi agama lainnya karena
fokus perhatiannya pada interaksi antara agama dan masyarakat. Praanggapan dasar
perspektif sosiologis adalah concern-nya pada struktur sosial, konstruksi pengalaman
manusia dan kebudayaan termasuk agama. Dalam pembahasan makalah ini, kami
mencoba menelaah tentang konsep penelitian agama ini melalui pendekatan ilmu
sosiologi, sehingga yang diharapkan nanti mampu memberikan kontribusi dalam
menjawab fenomena-fenomena keberagamaan dalam masyarakat dalam konteks
perilaku sosial masyarakat.