Anda di halaman 1dari 17

“SEJARAH PERKEMBANGAN SOSIOLOGI ISLAM DAN BARAT

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah: “Sosiologi”

Dosen Pengampu: Dr. Sahrul, M. Ag

KELAS: BPI-B

DISUSUN OLEH:
IMAM SAHRONI (0102191017)
RIZKA INDAH FADHILA HARAHAP (0102202054)

JURUSAN BIMBINGAN PENYULUHAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SUMATERA UTARA

MEDAN
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,


Puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada dosen yang telah membimbing sehingga penulis
bisa menyelesaikan makalah ini. Sholawat serta salam senantiasa kita hadiahkan kepada
panutan kita yakni nabi Muhammad SAW yang mana syafaat dan pertolongan beliau lah
yang kita nantikan di yaumil akhir.

Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pengetahuan dan pemahaman tentang,
makalah ini juga untuk memenuhi tugas mata kuliah Bimbingan Konseling Islam. Penulis
menyadari, bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata sempurna baik segi
penyusunan, bahasa, maupun penulisannya dengan segala keterbatasan yang ada. Oleh karena
itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pembaca
guna menjadi acuan agar penulis bisa menjadi lebih baik lagi di masa mendatang. Semoga
laporan makalah ini bisa menambah wawasan para pembaca dan bisa bermanfaat untuk
perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Medan,17 September 2021

Pemakalah:

Kelompok 1
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk sosial merupakan suatu individu yang pada dasar
nya membutuhkan antara satu dengan yang lain, hal ini tentu merupakan bahan kajian
yang sangat penting untuk di bahas dan dikaji secara mendalam, pada dasarnya
manusia sebagai mahluk sosial tidak mampu hidup sendiri sekalipun segala kebutuhan
nya dapat dipenuhi seperti makan dan minum, tetapi manusia juga harus
membutuhkan orang lain agar mampu bertahan hidup sesuai tatanan kehidupan,
kadang banyak nya permasalahan-permasalahan yang di hadapi oleh seorang individu
terkadang memicu ketidak setabilan dalam bersosial, menghindari adanya klasifikasi
sosial yang akan merusak keharmonisan dalam bersosial dan bermasyarakat. Islam
adalah agama yang sempurna. Islam hadir sebagai agama yang syamil dan
mutakammil atau dalam artian sempurna dan integral. Islam berbicara semua aspek
kehidupan yang ada di dunia ini. Tidak ada satu aspek kehidupan manusia di dunia ini
kecuali islam mengaturnya.
B. Rumusan Masalah:
1. Kapankah Mulai Berkembangnya Sosiologi Islam Dan Barat?
2. Apa Perbedaan Sosiologi Islam Dan Barat?
3. Mengapa Ada Dua Pengertian Berbeda Antara Sosiologi Islam Dan Barat?
4. Pendekatan Apa Saja Yang Terdapat Didalam Sosiologi Islam Dan Barat?
5. Siapa Tokoh-Tokoh Dan Juga Pokok Pemikiran Dalam Sosiologi Islam Dan Barat
C. Tujuan:
1. Untuk Mengetahui Perkembangan Sosiologi Islam Dan Barat
2. Untuk Mengenang History Perkembangan Kedua Sosiologi Tersebut
3. Sebagai Pertimbangan Dan Bahan Kajian Untuk Memahami Kedua Pengertian
Sosiologi Islam Dan Barat Serta Mengenal Tokoh, Pokok Pemikirannya
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Sosiologi Islam Dan Tokoh Pemikirannya


Sosiologi, menurut Syahrifuddin Jurdi merupakan ilmu sosial yang “sekuler”
dan sudah lama sekali dikenal dan mengaku sebagai sebuah disiplin ilmu yang
bersifat “value free”. (Jurdi, 2014), Pernyataan ini tidak mengejutkan, karena secara
historis, sosiologi lahir dan muncul dari Rahim abad ke-18 M. Pada saat Eropa sedang
dilanda arus kuat pemikiran ateisme. Addin Armas menyebutkan dengan arus
westernisasi ilmu pengetahuan, saat ilmu mencampakkan wahyu sebagai sumber ilmu
(Armas, 2005). Karen Armstrong menulis bahwa, August Comte yang dikenal sebagai
Bapak Sosiologi, adalah salah satu di antara pemikir yang ingin mencampakkan
Tuhan. August Comte pulalah yang dalam pemikirannya tentang perkembangan
peradaban manusia menyusun tiga tahapan metafisik dan akhirnya terbentuknya
hukum-hukum ilmiah yang positif. Bagi Comte, sosiologi adalah ilmu pengetahuan
yang paling akhir melewati tahapan-tahapan ini, karena menurutnya sosiologi lebih
kompleks disbanding fisika dan biologi (Johnsohn,1988).
Dalam perkembangan selanjutnya, paham positivisme sosiologi ini menjelma
dengan sangat kuat sekali dalam satu di antara tiga paradigma sosiologi, yakni
paradigma fakta sosial. Emile Durkeim, tokoh sosiologi klasik, mengusung paradigma
fakta sosial ini dengan pandangan bahwa yang real itu adalah masyarakat, bukan
individu, maka sosiologi nilai (value free) (Ritzer,2014). Hal ini penting karena
menurut Durkheim, fakta sosial itu memiliki eksistensi yang independent pada tingkat
sosial yang dapat dipelajari dengan metode-metode empris (Johnsohn, 1988).
Melihat perkembangan disiplin ilmu sosiologi seperti ini yang sekuler,
beberapa sosiologi dan cendekiawan muslim mencoba membangun kritik dan melihat
peluang alternatif konstruksi keilmuan sosiologi yang lebih terintegrasi dengan nilai-
nilai Islami dan mengalami proses indigenisasi dengan konteks lokal masing-masing
masyarakat muslim. Ilyas Ba-Yunus dan Farid Ahmad dalam bukunya mereka
“sosilogi Islam dan Masyarakat Kontemporer”, misalnya mendorong para sosiologi
muslim untuk melakukan pendekatan Islami terhadap sosiologi (Ba-Yunus& Ahmad,
1996) dan jangan sampai menggunakan pendekatan-pendekatan sekuler yang jelas-
jelas berlawanan dengan Islam. Ismail al-Faruqi, dengan nada yang sama juga
mengingatkan bahwa umat Islam memerlukan teori-teori sosiologis yang berangkat
dari nilai-nilai agama dan tradisi Islam sendiri. Satu di antara syarat yang harus
dipenuhi untuk membangun teori-teori sosiologi Islam itu adalah peneliti sosialnya
haruslah seorang muslim yang “terikat dengan nilai-nilai dan ajaran-ajarannya” (Al-
faruqi,1991).
Dalam konteks respons sosiologi dan cendikiawan muslim terhadap sekularisme yang
terkandung dalam bidang studi sosiologi ini, Ilyas ba-Yunus dan Farid Ahmad menunjuk li
Syariati satu diantara dua sosiologi muslim (satunya lagi Basyarat Ali dari Pakistan) yang
memiliki kepedulian dan berjuang untuk bersikap kritis dan membrontak terhadap klaim-
klaim intelektual Barat. Syariati, tidak hanya seorang aktivis yang turut berjuang
menumbangkan Shah, tetapi juga seorang sosiologi muslim yang telah menunjukkan
penguasannya yang sangat baik terhadap sosiologi dan mengrahkan pikiran-pikiran
sosiologinya dengan pendekatan Islami. (Al-Faruqi, 1991). Pemikiran sosiologi Islam Ali
Syariati ini menarik, bukan hanya karena kritik tajamnya terhadap sosiologi Barat, namun
juga pada kemampuannya untuk menjadikan doktrin dan sejarah Islam sebagai sumber ilmu
pengetahuan, khususnya untuk sosiologi serta kaitannya dengan pengelolahan Pendidikan
Islam yang memiliki tanggung jawab besar untuk menyelesaikan dikotomi ilmu pengetahuan
yang telah menjadi persoalan serius bagi umat Islam di era modern ini. Penelitian ini
memfokuskan diri relevansi pemikiran sosiologi Islam Ali Syariati terhadap berbagai
problematika Pendidikan Islam di Indonesia.
1. Landasan Pemikiran Sosiologi Islam Ali Syariati
a. Tauhid
Sebagaimana para pemikir Islam, baik klasik dari kalangan filosof maupun
teolog kontemporer seperti Ismail Al-Faruqi dan Hasan Turabi, Syariati
meletakkan Tauhid sebagai lamdasan metafisik seluruh kontruksi pemikirannya.
Bagi Syariati, “Tauhid adalah pandangan hidup” (Ali Syariati, 1982). Dalam
pengertian, seluruh alam adalah suatu kesatuan, tidak terpisah-pisah. Jika
pemahaman manusia tentang alam biasanya dibedakan antara dunia dan akhirat
yang lainnya alamiah dan yang supra-alamiah, substansi dan arti jiwa dan raga,
maka bagi Syariati itu bukan dualism. Perbedaan itu hanya sekedar “klsifikasi
nisbi menurut keadaan manusia dan daya kognitifnya” (Ali Syariati,1982).
Dalam pandangan hidup Tauhid, alam atau dunia nyata ini, terdiri dari
serangkaian tanda (ayat) dan norma (sunan). Ini khas islam karena hanya Al-
qur’an saja menurut Syariati yang menyebutkan bahwa ala mini merupakan “ayat-
ayat”. Bagi Al-qur’an tanda-tanda itu tersebut merupakan indikasi ke arah
kebenaranyang sesungguhnya. Tanda-tanda tersebut merupakan indikasi kea rah
kebenaran dan oleh karena itu manusia hanya bisa sampai kepada kebenaran
dengan cara merenungkan tanda-tanda tersebut secara serius dan ilmiah (Ali
Syariati, 1982). Atas dasar tauhid inilah tampaknya Ali Syariati berusaha untuk
membangun relasi yang kuat antara islam dengan sosiologi, karena dalam
perspektif Tauhid yang digagas Syariati antara keduanya tidak dipisahkan. Tidak
ada kontradiksi antara Sosiologi dengan Islam. Oleh karena itu, upaya untuk
mencari titik temu antara keduanya adalah sebuah ikhtiar untuk membuktikan
kebenaran ayat Allah, baik yang qauliyah maupun yang kauniyah.1
1
Ta’dibuna, Vol7, No. 2, Oktober 2018
Fondasi Syariati, Pandangan hidup berdasarkan tauhid ini mampu memuliahkan
makna spiritual bagi alam, membantu manusia meraih kesadaran agamanya dan
membangunkan manusia untuk melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai
khalifah Tuhan di muka bumi, yang menentukan nasibnya sendiri dan nasib
seluruh umat manusia. Tauhid juga menunjukkan sikap kontrasnya dengan
berbagai pertentangan dalam masyarakat, dalam umat manusia, dalam dunia
eksistensi, antara dunia fisis dan metafisik. Dalam keyakinan tentang keesaan
Allah ini, manusia dan alam itu eksis dan memiliki makna, tujuan, dan kesadaran
diri (A Syariati).
b. Al-Qur’an dan Sunnah Nabi
Bagi Syariati, al-Quran merupakan sumber serba ide, (Ali Syariati, 1982)
dan dengan demikian juga menjadi sumber dari gagasan dan teori-teori sosiologi.
Bagaimana mungkin memisahkan atau bahkan membuat kontradiksi antara Islam
dengan sosiologi, sementara al-Quran dan sunnah Nabi sendiri mengandung hal-
hal yang bersifat sosiologis. (Ali Syariati, 1982). Al-Qur’an dan Sunnah
mengandung pesan-pesan ilmu pengetahuan. Dalam banyak hal, Syariati
menunjukkan ketakjuban terhadap ayat-ayat suci al-Quran yang justru bersesuaian
dengan hasil-hasil riset ilmu pengetahuan modern. Bukan hanya sekedar tidak
bertentangan, ayat-ayat suci al-Quran juga mengandung pesan-pesan keilmuan
yang sangat kuat sekali, sehingga jika kemudian dijadikan objek kajian yang
serius dan mendalam, dari ayat-ayat suci al-Quran sangat memungkinkan sekali
diturunkan teori- teori ilmu pengetahuan.
Berbeda dengan perspektif ilmu-ilmu sosial yang berkembang di Barat,
Syariati menemukan cara pandang yang berbeda dari ayat-ayat suci al-Quran
ketika membahas tentang teori determinisme sejarah dan masyarakat. Dalam
perspektif Barat, di satu sisi, ada teori yang menekankan tanggung jawab dan
kebebasan manusia dalam mengubah dan mengembangkan masyarakatnya. Tetapi
di sisi lainnya, juga terdapat teori yang menekankan bahwa hukum-hukum yang
berlaku tetap dan terlepas dari campur tangan manusia. Dalam Islam, sebagaimana
yang ditemukan dalam al-Quran surat Al-Baqarah ayat 134, Allah berfirman;

َ‫لُوْ نَ َع َّما َكانُوْ ا يَ ْع َملُوْ ن‬iََٔ‫ت َولَ ُك ْم َّما َك َس ْبتُ ْم ۚ َواَل تُسْٔـ‬ ْ َ‫ِت ْلكَ اُ َّمةٌ قَ ْد خَ ل‬
ْ َ‫ت ۚ لَهَا َما َك َسب‬
Artinya: “Itulah umat yang telah lalu. Baginya apa yang telah mereka usahakan
dan bagimu apa yang telah kamu usahakan. Dan kamu tidak akan diminta
(pertanggung jawaban) tentang apa yang dahulu mereka kerjakan”.

c. Realitas Ilmu Sosiologi Dalam Dunia Islam


Di samping dua hal yang bersifat doktrinal di atas, dasar pemikiran kenapa
Ali Syariati berusaha untuk membangun relasi antara Islam dan sosiologi,
tampaknya juga dilatarbelakangi oleh pengalaman empiris yang dialami saat
mencoba mencari dan menemukan referensi tentang agama, tokoh-tokoh agama,
ataupun tentang sejarah Islam yang dikupas dengan pendekatan sosiologis.
Syariati sangat kecewa sekali saat mendapatkan kupasan yang menarik tentang Ali
bin Abi Thalib justru ditulis oleh Kristen Georges Jourdog. Saat ingin
mendapatkan tulisan tentang Salman al-Farisi, Syariati justru mendapatkannya
dari tulisan Louis Masignon, orang Perancis. (Ali Syariati, 1982). Ali Syariati
menyebut kondisi ini dengan sebuah kelemahan metodologi berpikir dalam tubuh
umat Islam. Islam, menurut Syariati, perlu dijelaskan dipahami melalui sumber-
sumber dan metodologi ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan seperti sejarah, teologi,
hukum, ekonomi, sosiologi, orientologi, dan sejarah peradaban. (Ali Syariati,
1989) Jangan sampai, eksplanasi tentang Islam yang ilmiah dan akademik hanya
diperoleh dari tangan ilmuwan Barat, karena mereka, menurut Syariati tetap
memiliki “prasangka-prasangka politis dan kolonial, atau karena mereka
menyimpan kebencian atau fanatisme agama, rasial, etis, ataupun sejarah.” (Ali
Syariati, 1989) Maka harus muncul para pemikir dari kalangan umat Islam sendiri
yang mampu menjelaskan kebudayaan, peradaban dan mazhab-mazhab pemikiran
Islam dengan menggunakan metodologi riset ilmiah. (Ali Syariati, 1989). Oleh
karena itu, dibutuhkan pendekatan komprehensif tetapi bisa
dipertanggungjawabkan terhadap Islam (Buchori, 2005).
2. Pemikiran Sosial Islam Ali Syariati

1. Habil dan Qabil


Konsep Ali Syariati tentang manusia sangat menarik dan autentik. Di samping
menjelaskan sejarah awal penciptaan manusia dengan tafsir yang sangat progresif, Syariati
juga mengeksplorasi gagasan tentang manusia ideal dan tanggung jawabnya. Namun dari
perspektif sosiologi, terdapat paling tidak eksplanasi terkait dengan konsep manusia yang
dijelaskan melalui pendekatan sosiologi. Pertama tentang kisah Habil dan Qabil, dan kedua
terkait dengan kedudukan wanita dalam Islam. Melalui perspektif sosiologi, Syariati memberi
pemahaman baru terhadap peristiwa yang dilukiskan oleh Al-Quran dalam surah Al-Maidah
ayat 27 yang berbunyi:

ْ‫ق اِ ْذ قَ َّربَا قُرْ بَانًا فَتُقُبِّ َل ِم ْن اَ َح ِد ِه َما َولَ ْم يُتَقَبَّل‬ ِّ ۘ ‫َوا ْت ُل َعلَ ْي ِه ْم نَبَا َ ا ْبنَ ْي ٰا َد َم بِ ْال َح‬
‫ال اِنَّ َما يَتَقَبَّ ُل هّٰللا ُ ِم َن ْال ُمتَّقِي َْن‬
َ َ‫ك ۗ ق‬ َ َ‫ۗر ق‬iِِۗ ‫ِم َن ااْل ٰ َخ‬
َ َّ‫ال اَل َ ْقتُلَن‬
Artinya:” Dan ceritakanlah (Muhammad) yang sebenarnya kepada mereka
tentang kisah keduanya mempersilahkan qurban, maka (kuban) salah seorang dari mereka
berdua (Habil) diterima dan dari yang lain (Qabil) tidak diterima.
2. Agama
Syariati jelas seorang mukmin, menerima seluruh ajaran Islam yang diwahyukan
kepada Nabi. Tapi Syariati juga adalah seorang intelektual, yang dalam bahasanya disebut
dengan raushankfikr, yang menerima agamanya setelah melakukan pergulatan intelektual
yang di dalam dirinya. Sebagai raushanfikr, Syariati merasa bertanggungjawab secara
intelektual untuk memberikan landasan rasional-filosofis atas penerimaannya terhadap
agama Islam. Dalam perspektif ini, Syariati telah melakukan dua pendekatan yang
rasional dalam mempertanggung jawabkan penerimaannya atas Islam sebagai bagian
yang paling mendasar dalam tata kehidupan invidual, sosial dan bangsa Iran. Yang
pertama, Syariati menerima Islam, setelah melakukan kajian dan perbandingan dengan
berbagai ideologi lainnya, apakah itu dengan Marxisme, Eksistensialisme, Liberalisme,
dan nasionalisme Iran sendiri. (A Syariati, 1995) Sehingga kemudian Syariati mengatakan
bahwa dalam seluruh pencariannya itu, dia menemukan Islam, bukan Islam sebagai
budaya yang memacu kemunculan ahli-ahli teologi, melainkan Islam sebagai ideologi
yang memacu kemunculan kaum mujahid (Ali Syariati, 1989).
Yang kedua, Syariati melakukan kajian dan perbandingan Islam dengan agama-agama
lainnya, baik dengan Laotse, Konghucu, Hindu, Budha, Jainisme, Yahudi dan Kristen.
Mempergunakan teori Pendulum, Syariati melihat bahwa agama dalam sejarah peradaban
manusia tidak ubahnya sebuah pendulum yang selalu bergerak dari satu titik ekstrem kiri
menuju ke titik ekstrem kanan. Pada posisi ekstrem kirinya, Syariati menyebutnya dengan
Materialisme Ekstrem, sedangkan pada posisi ekstrem kanan, disebut dengan
Spiritualisme Ekstrem. Sepanjang sejarahnya, agama selalu berayun dari salah satu titik
ekstrem itu. Suatu waktu, dalam upaya menyeimbangkan masyarakat, ayunan itu
mengarah pada Materialisme Ekstrem (diwakili oleh agama Musa, Konfusius, dan
Zoroaster) dari titik Spiritualisme Ekstrem (yang diwakili oleh agama Laotse, Buddhisme,
Vedik dan Kristen), dan sebaliknya.
Jika contoh sejarah agama-agama di atas (Taoisme menuju Konghucu dan Yahudi
menuju Kristen), merupakan pola-pola pergerakan agama dunia, yang jika dilihat dalam
kerangka analisa teori Dialektika Historis, maka pergerakan pendulum selalu bergerak
dari sebuah tesa menuju anti-tesa tanpa sekalipun berhasil menemukan sintesa yang baik
dan sempurna di antara keduanya. Maka baru pada agama Islamlah, menurut Ali Syariati,
yang menjadi mata rantai terakhir dari sejarah agama-agama, kombinasi ideal itu tercapai.
Islam mengajak umat manusia “dari kerendahan bumi ke ketinggian surga, dari
perbudakan satu sama lain ke arah pengabdian kepada Tuhannya alam semesta, dan dari
penindasan agama ke arah keadilan Islam.” (A Syariati, 1983) Dalam perjalanan
sejarahnya, Islam tidak dapat melepaskan diri dari gerakan pendulum yang sudah menjadi
hukum sejarah itu.
3. Masyarakat
Menurut Syariati, istilah Ummah dalam al-Quran memiliki 3 (tiga) makna yang
saling berkaitan, yaitu; gerakan, tujuan dan ketetapan hati yang sadar (A Syariati, 1995).
Untuk memperjelas makna konsep Ummah ini, Syariati kemudian melakukan
perbandingan dengan konsep-konsep lainnya yang memiliki pengertian yang hampir
sama seperti; nation, qabilah, qaum, sya’b, thabaqah, mujtama’, tha’ifah, ras, massa dan
people. Berbeda dengan istilah nation, qabilah, qaum dan sya’b, istilah Ummah memiliki
muatan nilai-nilai kemanusiaan yang dinamis. Dan seluruh istilah-istilah itu menurut
Syariati mengandung makna adanya komunitas manusia yang menonjolkan bentuk,
karakteristik dan kondisi-kondisi lokalnya dan statis. (A Syariati, 1995) Dalam pandangan
Syariati, dan ini tampaknya paralel dengan Karl Marx, kerangka dasar umat adalah
ekonomi. Sistem sosialnya didasarkan atas kesamaan dan keadilan, serta hak milik yang
ditempatkan di tangan rakyat. Dengan konsep begini, Syariati ingin membangkitkan
kembali “sistem Habil”, yakni masyarakat yang ditandai dengan kesamaan dan
persaudaraan, sebuah masyarakat tanpa kelas. (Ali Syariati, 1982).
4. Ideologi
Ali Syariati, sebagaimana diakuinya sendiri adalah seorang sosiolog. Tetapi bagi
Syariati, menjadi sosiolog saja tidaklah cukup. Sosiologi hanya menjelaskan realitas
kehidupan masyarakat dan sejarahnya. Ibarat cermin, katanya, sosiologi hanya
memantulkan objek yang ada di hadapan cermin itu tanpa mempengaruhi atau mengubah
objek itu sendiri. Hubungannya bersifat pasif dan negatif. (Ali Syariati, 1982) Dalam
pemikiran Syariati, memahami dan menjelaskan realitas tidaklah bermakna apa- apa bagi
masyarakat. Makna itu baru tampak jika ada perubahan, dan itu tidak dapat dilakukan
hanya oleh sosiologi. Dari sinilah kemudian Syariati menegaskan betapa pentingnya
ideologi, sebuah konsep yang selalu muncul dalam setiap penggalan pemikirannya
tentang aspek apa pun juga.
5. Perubahan Sosial
Islam-lah yang pertama kali menjadikan rakyat sebagai faktor penting dalam setiap
perubahan sosial. Berbeda dengan Nietzsche, yang menganggap manusia terpilih sebagai
faktor dasar perubahan sosial; berbeda dengan Plato yang menganggap kalangan
aristokrat dan ningrat sebagai faktor perubahan sosial; berbeda dengan Carlyle dan
Emerson yang menganggap tokoh-tokoh besarlah yang menjadi faktor fundamental dalam
perubahan sosial; dan berbeda pula dengan Alexis Carel yang menganggap manusia yang
berdarah murni saja yang dapat menjadi faktor perubahan sosial, maka Islam menganggap
bahwa faktor fundamental dalam perubahan sosial itu adalah rakyat sendiri, an-nas
sendiri. Rakyatlah yang menjadi poros dan faktor dasar setiap perubahan, meskipun
ketiga faktor yang telah disebut di atas, menurut Syariati, juga mempengaruhi nasib
masyarakat. (Ali Syariati, 1982).
6. Kepemimpinan
Konseptualisasi Imamah yang secara historis diwujudkan dalam diri seorang Imam
bisa jadi melahirkan gambaran tentang sosok yang serba suci, hero, deskripsi yang penuh
mitologis, karismatik dan supra-manusia. Sadar akan kerancuan yang mungkin timbul
dari pemahaman akan konsep Imamah ini, Syariati menegaskan bahwa seorang Imam
tetaplah “seorang manusia yang wajar sebagaimana manusia lain”. (A Syariati, 1995)
Keyakinan ideotik akan kesucian intrinsik para Imam, ditambah lagi dengan kekebalan
Imam dari berbuat dosa, bagi Syariati merupakan sesuatu yang jauh dari nilai-nilai
kemanusiaan. (A Syariati, 1995) Oleh karena itu, ia bukan makhluk supra-manusia, sebab
yang di atas manusia hanyalah Allah. Menolak pandangan ini berarti Syirik. Dengan
demikian, Imam itu bukan Tuhan, juga bukan perwujudan metafisik, dan bukan pula
malaikat, melainkan manusia, yakni manusia teladan, syahid dan perwujudan real dari
manusia konsepsional. (A Syariati, 1995) Seorang Imam, tetaplah manusia biasa seperti
manusia lainnya. Dari dalam diri Imam terdapat perwujudan-perwujudan dan teladan dari
semua karakter manusia yang sempurna, karakter yang menghimpun sepenuhnya sifat
manusia sejenisnya pada tingkat yang paling puncak. (A Syariati, 1995).2

2
Ta’dibuna, Vol.7 No. 2, Oktober 2018
B. Sejarah Perkembangan Sosiologi Barat Tokoh Pemikiran Serta Pendekatannya
Sosiologi dan ilmu sosial lainnya muncul dari tradisi umum refleksi terhadap
fenomena sosial, perilaku sosial manusia, dan masyarakat. Namun, pada masa lalu orang
memandang situasi sosial dan budaya mereka miliki sebagai sebagai sebuah entitas yang
tetap karena pemberian Tuhan. Pandangan ini secara bertahap digantikan oleh penjelasan
yang lebih rasional mulai dari abad ke-17 khususnya di Eropa Barat (Doda, 2005). Masalah-
masalah sosiologis, pertanyaan dan masalah telah diangkat dan didiskusikan oleh para
pelopor yang dimulai dari zaman para filsuf Yunani dan Romawi kuno. Sosiologi sebagai
sains akademis lahir pada abad ke-19 (tahun pembentukan resminya adalah 1837) di Inggris
dan Eropa Barat, khususnya di Perancis dan Jerman, dan perkembangannya sangat maju pada
abad ke-19 dan ke-20.

Perkembangan sosiologi dan konteksnya saat ini harus dipahami dalam konteks
perubahan besar yang telah menciptakan dunia modern (Giddens, 1986). Sosiologi sebagai
ilmu pengetahuan lahir belakangan dibandingkan dengan ilmu pengetahuan alam. Sosiologi
merupakan bagian dari human sciences atau ilmu-ilmu manusia, seperti psikologi, sejarah,
antropologi, politik, dan ekonomi. Kekhususan sosiologi adalah mempelajari perilaku
masyarakat manusia yang berkaitan dengan struktur kemasyarakatan dan kebudayaan yang
dimilikinya dan ditunjang bersama. Kondisi utama yang mendorong berkembangnya kajian
ilmu sosiologi dipicu oleh adanya perubahan masyarakat, pergolakan, dan gangguan sosial
yang mendorong ilmuwan untuk memahaminya sehingga melalui beberapa tahapan
perkembangan memunculkan sosiologi sebagai ilmu akademis. Misalnya, adanya Revolusi
Industri yang dimulai di Britania Raya, Revolusi Politik Perancis pada era tahun 1789, Masa
Pencerahan dan Kemajuan dalam ilmu alam dan teknologi. Revolusi ini telah membawa
perubahan dan gangguan sosial yang sangat signifikan dalam cara masyarakat hidup di
negara-negara tersebut. Karena sosiologi lahir di tengah-tengah era perubahan sosio-politik,
ekonomi, dan teknologi yang besar dari dunia barat, dikatakan sosiologi sebagai ilmu yang
mempelajari masyarakat modern.

Para sosiolog perintis sangat prihatin tentang perubahan besar yang terjadi, dan mereka
merasa bahwa ilmu-ilmu yang sudah ada tidak dapat membantu untuk memahami,
menjelaskan, menganalisis, dan menafsirkan hukum dasar yang mengatur fenomena sosial.
Jadi sosiologi lahir dari latar belakang konteks revolusioner ini. Perkembangan sosiologi
berlangsung selama berabad-abad yang dibagi menjadi lima periode yaitu: perkembangan
awal, abad pencerahan, abad revolusi, kelahiran sosiologi dan munculnya sosiologi modern
(Sudarsono dan Wijayanti, 2016) sebagai berikut:

A. Perkembangan Awal

Para pemikir Yunani kuno, terutama Socrates, Plato, dan Aristoteles beranggapan
bahwa masyarakat terbentuk begitu saja tanpa ada yang bisa merubahnya. Masyarakat
mengalami perkembangan dan kemunduran, kemakmuran maupun krisis dan semua itu
merupakan masalah yang tidak dapat terelakkan. Anggapan tersebut bertahan semasa abad
pertengahan (abad ke-5 M sampai akhir abad ke-14 M). Ada banyak sekali pemikir-pemikir
yang berasal dari barat, sperti Agustinus Avicenna, dan Thomas Aquinas. Yang menegaskan
bahwa nasib masyarakat harusditerima Sebagian dari kehendak ilahi, sebgai mahluk yang
fana manusia tidak dapat mengetahui pertanggung jawaban mengenai perubahan masyarakat
pada saat itu (Sudarsono dan Wijayanti).

B. Abad Pencerahan Awal Rintisan Kelahiran Sosiologi

Abad pencerahan pada abad ke-17 M. merupupakan abad berkembangnya ilmu


pengetahuan yang ditandai dengan adanya berbagai macam penemuan di bidang ilmu
pengetahuan, perkembangan ilmu pengetahuan erpengaruh terhadap pandanagn mengenai
perubahan masyareakat yang sebelum nya di anggap sebagai nasib yang tidak bisa di
pertanggung jawabkan secara ilmiah. Muncul pemikiran jika perubahan yang terjadi dalam
masyarakat harus dapat dijelaskan secara rasional, (masuk akal) dan berpedoman pada akal
budi manusia. Maka muncullah metode ilmiah. Beberapa pemikir yang menekankan
pentingnya metode ilmiah untuk mengamati masyarakat. Diantaranya ada Franci Bacon dari
Inggris, Rene Descartes dari prancis, dan Wilhem Leibintz dari Jerman.

C. Abad Revolusi Sebagai Pemicu Lahirnya Sosiologi

Adanya perubahan pada abad pencerahan mengakibatkan perubahab revulusioner di


sepanjang abad ke-18 M. Perubahan ini dapat dikatakan revolusioner karena perubahan
begitu cepat, mengakibatkan struktur masyarakat lama berganti dengan struktur yang baru,
revolusi social paling jelas terlihat dalam tiga revolusi besar sepanjang abad ke-18 M. Yang
mengakiatkan perunahan besar diseluruh dunia. Revolusi tersebut adalah revolusi America,
revolusi industtri, dan revolusi Francis, revolusi America ditandai dengandidirikannya negara
revublik di amerika utara, dengan system pemerintahan demokratis.
D. Kelahiran Sosiologi

Pada abad ke-19 M Ilmuan mulai menyadari perlu memahami kondisi dan perubahan
social secara khusus, mereka membangun teori social berdasarkan ciri-ciri hakiki masyarakat
pada tiap peradaban manusia, untuk membangun teori tersebut, mereka membandingkan
masyarakat dan perubahan manusia dari masa ke masa. Auguste Comte seorang kebangsaan
francis dalam bukunya, Course de philosopie positive memperkenalkan sosiologi sebagai
pendekatan khusus untuk mempelajari masyarakat.

E. Kelahiran Sosiologi Modern

Meskipun sosiologi lahir di eropa perkembangan nya justru kebih pesat di amerika. Ini
berhubungan dengan gejolak social yang terjadi disana. Perubahan masyarakat yang begitu
mencolok mengugah para ilmuan social untuk berpikir keras. Karena mereka menyadari
bahwa pendekatan sosiologi lama ala eropa sudan tidak relevan lagi, mereka berupaya
menemukan pendekatan baruyang sesuai dengan kondisi masyarakat saat itu, maka lahirlah
sosiologi modern. Berikut ini beberapa pemikiran baru tentang sosiologi terkemuka :

1. Difusionisme menekankan pada pengaruh pada masyarakat individu saling


bergantung saling meyakini.
2. Fungsionalisme memandang masyarakat sebagai suatu jaringan seperti perkawinwn
dan agama
3. Strukturalisme menentukan struktur social sebagai suatu yang berpengaruh kepada
masyarakat.
Adapun ciri-ciri sosiologi modern sebagai berikut:
1. Terjadi specialisasi terus menerus pada bidang ilmu social.
2. Para ahli sosiologi berpindah dari mempelajari kondisi-kondisi social dan beralih
kepada tipe-tipe masyarakat.
3. Para ahli sosiolog mengunkan basis computer untuk penelitian unutk menigkatkan
akurasi hasil survei.
F. Pemikiran Dan Kritik Syari’ati terhadap Konsep Sosiologi Barat

Untuk menghindari terlalu luasnya cakupan makna sosiologi, maka sejak semula penulis perlu
memperjelas bahwa cakupan yang ingin dibahas dalam tulisan ini hanyalah konsep manusia dan
masyarakatnya. Ali Syari’ati merupakan seorang sosiolog, di samping agamawan dan negarawan,
yang mempunyai pemikiran cemerlang terkait pembahasan hakikat manusia. Pemikirannya
justru merupakan renungan sosiologis yang diperkuat dengan kesadaran teologis yang berisi
koreksi terhadap konsep sosiologi Barat; yakni liberalisme, Kapitalisme dan Marxisme.
Aliran-aliran ini berangkat dari rumusan hakikat manusia yang sesuai dengan ambisi masing-
masing. Akan tetapi, hasil-hasil refleksi sosiologis mereka menyimpan banyak cacat.

a. Liberalisme Barat

Liberalisme Barat menuturkan bahwa konsep manusia dan masyarakatnya yang


diikutinya berasal dari Yunani Kuno dan mencapai puncak kematangannya pada Eropa
Modern. Kurang lebih teorinya memandang bahwa antara langit dan bumi, alam dewa dan
alam manusia, terdapat pertentangan dan pertarungan, sampai-sampai muncul kebencian dan
kedengkian antara keduanya. Dewa berposisi mempunyai kekuatan untuk mengatur alam ini.
Menurut mitos Yunani Kuno, Para dewa mempunyai kekuatan untuk membelenggu manusia.
Tujuan Dewa melakukan sikap demikian adalah agar manusia tidak bisa merdeka, bebas dan
memimpin atas alam. Diceritakan dalam mitos, pernah suatu ketika Bramateus (salah satu
dewa) telah mencuri api Ketuhanan pada saat dewa-dewa yang lain tidur terlelap. Kemudian
dia memberikannya kepada manusia. Oleh sebab itu, manusia saat terjadi sebuah banjir maka
mengira dewa sungai sedang marah dan perlu dilawan. Keinginan untuk menghindari
terjadinya banjir inilah yang bisa dijadikan simbol perlawanan terhadap maksud jahat dewa.
Untuk orang modern sekarang seharusnya tidak perlu menyalahkan dewa lagi namun justru
mereka memanfaatkan tekhnologinya untuk mengatur sungai tersebut.

b. Munculnya Kapitalisme
Slogan pembebasan manusia selanjutnya menuntut bebasnya manusia dari
belenggu kehendak langit yang sewenang-wenang, membebaskan akal dari kungkungan
doktrin agama yang dogmatis dan melepaskan ilmu pengetahuan dari belitan aksioma-
aksioma teologis. Artinya, kesadaran ini merupakan gelombang filsafat untuk melepaskan
diri dari belenggu langit menuju bumi guna menciptakan surga di dunia. Kemudian
permasalahannya adalah bagaimana mencari tangan dan sarana untuk memakmurkan bangsa-
bangsa, membuat manusia menjadi produktif dan memberikan kekuasaan kepada tekhnologi.
Alat dan tangan pengendalinya tersebut, menurut kapitalisme, adalah sains dan kapital.
Negara-negara Barat pasca renaissance, sebagai konsekuensinya, berlomba-lomba
memajukan temuan sains mereka di samping dengan berlomba-lomba memperbanyak kapital.
Mereka yang menguasai sains dan kapital maka merekalah yang menentukan nasib dunia.

c. Marxisme
Konsep tentang manusia dan masyarakatnya yang dipakai Marxisme hampir
mirip mempunyai akar sejarah yang sama dengan liberalisme Barat. Akan tetapi,
konsep kemanusiaan dan masyarakat yang tercipta dalam sistem Marxisme
akhirnya berbeda. Marxisme mempunyai muara pada “materialism-humanisme”
baik dalam bidang kehidupan maupun akidah.
C. Aplikasi Pendekatan Sosiologi Dalam Pelitian Al-Qur’an. (Metode Penelitian)
Pendekatan sosiologi memiliki perran penting dalam usaha untuk memahami dan
menggali makna-makna yang sesungguhnyA yang dikehendaki oleh al-ur’an selain
disebabkan oleh islam juga sebagai agama yang lebih mengutamakan hal-hal yang
mengarah kepada sosialdaeri pada individual, yang terbukti dengan adanya ayat-ayat
dan hadis-hadis yang mengarah kepada konteks social, urusan muamalah hal ini juga
disebabkan dengan banyaknya kisah dalam al-qur’an yang kurang bisa
dipahamidengan tepat kecuali dengan pendekatan sosiologi, sebagai contoh dahulu
kisah yusuf, yang dahulunya budak lalu akhirnya menjadi penguasa dimesir. Dan
kisah musa yang dalam tugasnya di bantu oleh harun, kedua kisahnya baru dapat
dimengerti dengan tepat dan dapat di ditemukan hikmahnya dengan bantuan ilmu
social.
Selain itu dalam al-qur’an dinyatakan bahwa allah mengharapkan adanya suatu
umat yang menjadi saksi atas manusia, (syuhada ‘ala al-nash) fungsi ini antara lain
mampu mewujudkan penelitian empiris tema- tema tentang keadilan, taqwa,
musyawarah, tolong-menolong amal saleh, dan lain sebagainya daapat diteliti sejau
mana tema-tema tersebut sudah di praktekan dalam masyarakat. Salah satu rumusan
penelitian al-quran yang diidentifikasi dengan istilah leving al-aquran adalah salah
satu paradigma dalam menetapkan al-qur’an sesuai dengan masyarakat pembacanya.
Al-Ghazali secara substansial telah merumuskan kajian sosiologi ini dalam kajian
hukum Islam. Menurutnya penelitian hukum Islam secara garis besar ada dua, yakni,
penelitian hukum deskriptif (washfi) dan penelitian hukum normatif/perspektif
(mi’yari). Penelitian deskriptif menekankan pada penjelasan hubungan antara variabel
hukum dengan non hukum, baik sebagai variabel independen ataupun variable
dependen. Ilmu pengetahuan sosial dengan caranya masing-masing atau metode,
teknik dan peralatannya dapat mengamati dengan cermat perilaku manusia itu, hingga
menemukan segala unsur yang menjadi komponen terjadinya perilaku itu. Ilmu
sejarah mengamati proses terjadinya perilaku itu, sosiologi menyorotinya dari sudut
posisi manusia yang membawanya kepada perilaku itu, dan antropologi
memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku itu dalam tatanan nilai yang dianut
dalam kehidupan manusia (Taufik Abdullah, 1989: 1).
Pendekatan sosiologis dibedakan dari pendekatan studi agama lainnya karena
fokus perhatiannya pada interaksi antara agama dan masyarakat. Praanggapan dasar
perspektif sosiologis adalah concern-nya pada struktur sosial, konstruksi pengalaman
manusia dan kebudayaan termasuk agama. Dalam pembahasan makalah ini, kami
mencoba menelaah tentang konsep penelitian agama ini melalui pendekatan ilmu
sosiologi, sehingga yang diharapkan nanti mampu memberikan kontribusi dalam
menjawab fenomena-fenomena keberagamaan dalam masyarakat dalam konteks
perilaku sosial masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai