Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

TINJAUAN LITERATUR: PENYAKIT


ALZHEIMER

Disusun Oleh
Nama : Rizki Pratama
Kelas : XII IPS 5
Mapel : Biologi

SMA NEGERI 1 LUBUK PAKAM TAHUN


PEMBELAJARAN 2021/2022
Alzheimer merupakan gangguan penurunan fungsi otak yang berpengaruh pada

emosi, daya ingat dan pengambilan keputusan. Masyarakat mengenal penyakit ini dengan

sebutan pikun. Alzheimer sering terjadi pada usia lebih dari

(>) 65 tahun, namun dapat mengenai pula seseorang dengan usia berkisar 40 tahun.

Diperkirakan jumlah penderita Alzheimer di Indonesia mencapai satu juta orang di tahun

2013. Jumlah tersebut cenderung meningkat setiap tahunnya dan dalam 20 tahun

peningkatannya mencapai kurang lebih dua kali lipat. Persentase peningkatan Alzheimer

per tahun pada usia 69 tahun, 70-74 tahun, 75-79 tahun,

80-84 tahun dan > 85 tahun secara berurutan: 0,5%, 1%, 2%, 3%, dan 8% (Menkes RI,

2016).

Masalah yang sering terjadi pada demensia Alzheimer ini adalah sulitnya deteksi

dini karena pikun sudah umum terjadi di kalangan lansia walaupun sebenarnya telah terjadi

sejak usia muda dan penatalaksanaan yang kurang memadai sehingga kualitas hidup

optimal tidak tercapai (Perdossi, 2015). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh

Alzheimer’s Association, Alzheimer berdampak terhadap kesehatan masyarakat (tingginya

insiden, prevalen, angka mortalitas), biaya kesehatan, sosial dan karir. Dementia dan

pencegahan penyakit Alzheimer telah menjadi prioritas utama dalam masalah kesehatan

masyarakat (Gavurova et al., 2018). Karena itu, penulis ingin menulis lebih banyak

tentang demensia Alzheimer agar jenis ini dapat dikenali lebih awal dan bisa mendapatkan

penanganan yang tepat.


2.1. Anatomi Hippocampus.

Hippocampus sangat berperan dalam proses belajar dan daya ingat.

Memori terutama dimediasi oleh Hippocampus termasuk struktur-struktur di

sekitarnya, yaitu: subiculum, gyrus dentatus (DG), parasubiculum, presubiculum

dan cortex entorhinal (EC) (Kocahan and Dogan, 2017). Hippocampus

merupakan perluasan bagian temporal cortex cerebri, terletak di subkortikal dan

berbentuk huruf S pada ujung lobus temporalis. Bagian frontal Hippocampus

adalah amygdala sementara itu juga merupakan bagian posterior dari lobus

limbik. Hippocampus berperan penting dalam proses belajar, memori dan navigasi

spasial (Anand and Dhikav, 2012). Hippocampus dapat dilihat pada gambar 2.1

dan 2.2.

Gambar 2.1 Hippocampus potongan coronal (Blanken et al., 2017).


Gambar 2.2 Anatomi Hippocampus (Anand and Dhikav, 2012).

Hippocampus dibagi menjadi head, body dan tail. Terdapat 4 daerah yang termasuk

Hippocampus proper (cornu ammonis/ CA), yaitu CA1, CA2, CA3 dan CA4. Subiculum

terletak berlawanan dengan CA1 dan menghubungkan

Hippocampus dengan entorhinal cortex (Anand and Dhikav, 2012).


2

Gambar 2.3 Mikrostruktur Anatomi Hippocampus. DG: Gyrus Dentatus; SUB:


Subiculum; CA: Cornu Ammonis (Anand and Dhikav, 2012).

Jalur Perforant menjelaskan tentang hubungan Hippocampus dari dan ke berbagai daerah

otak. Jalur tersebut dimulai dengan ditransmisikannya input dari EC ke DG (lapisan II).

Proses ini penting dalam pattern recognition dan encoding memori. Axon EC dari lapisan

II dan IV diproyeksikan ke sel-sel granula dan pyramidal dari CA1 serta subiculum. Gyrus

dentatus akan meneruskan informasi yang diterima oleh EC menuju CA3 (lapisan III) dan

neuron CA1. Axon CA1 kemudian menuju subiculum dan lapisan dalam EC. Dapat pula

terjadi Shaffer’s collateral dari CA3 menuju CA1. Bagian ini sangat berperan dalam

pembentukan ingatan dan emosi dari sirkuit Papez. Konduksi sirkuit bersifat stimulasi dan

terlibat dalam plastisitas neuron. Stimulasi tersebut kembali menuju CA3 dan disebut juga

sebagai recurrent collateral (RC) yang sangat diperlukan dalam memegang ingatan,

sementara DG penting untuk memproses informasi dari EC ke CA3. Skema jalur

Perforant dalam dilihat pada gambar 2.4 (Anand and Dhikav, 2012).
Gambar 2.4 Jalur Perforant. DG: gyrus dentatus; SUB: subiculum; CA: cornu
ammonis; EC: entorhinal cortex (Anand and Dhikav, 2012).

Terganggunya jalur Perforant penting dalam degenerasi berat pada

Penyakit Alzheimer (PA) (Anand and Dhikav, 2012)

2.2. Demensia.

Demensia merupakan suatu sindrom penurunan fungsi intelektual yang

mengakibatkan terganggunya aktivitas sehari-hari dan disertai pula dengan gangguan

perilaku tanpa delirium ataupun gangguan psikiatri mayor (Perdossi, 2015).

Gangguan yang terjadi dapat dibedakan menjadi gangguan kognisi maupun non

kognisi. Gangguan kognisi berupa turunnya kemampuan mengingat dalam mempelajari

hal-hal baru. Ini sering menjadi keluhan utama penderita.

Ingatan lama juga terganggu pada tahap lanjut. Terjadi pula disorientasi dan penurunan

kemampuan membuat keputusan (Perdossi, 2015).

Gangguan non kognisi terdiri dari adanya perubahan perilaku yang disebut

kelompok behavioral neuropsychological symptoms of dementia (BPSD). Perubahan ini

meliputi agitasi, tindakan agresif dan non agresif (wandering, disinhibisi, sundowning

syndrome dan sebagainya). Keadaan yang sering terjadi adalah depresi, gangguan tidur,
4

delusi dan halusinasi. Dapat pula terjadi kelainan motorik berupa sulit berjalan dan

berbicara (Perdossi, 2015).

Diagnosis penyakit ini ditegakkan berdasarkan riwayat neurobehavior,

pemeriksaan fisik neurologis dan pola gangguan kognisi. Pemeriksaan laboratorium

didapatkan dari likuor serebrospinalis namun hal ini masih diteliti dan belum digunakan

secara umum di klinik (Perdossi, 2015). Salah satu jenis dan penyebab demensia yang

sering mengenai lansia adalah demensia Alzheimer

(PA), yaitu sebesar 60-80% (Perdossi, 2015; Gavurova et al., 2018).

2.3. Penyakit Alzheimer (PA).

Penurunan fungsi otak, terutama emosi, daya ingat dan pengambilan keputusan

disebut dengan PA (Menkes RI, 2016). Penyakit Alzheimer umumnya mengenai lansia

berusia > 65 tahun (Perdossi, 2015).

2.3.1. Faktor risiko penyakit Alzheimer (PA).

Beberapa faktor risiko yang telah diketahui, antara lain: usia, jenis kelamin, riwayat

penyakit dalam keluarga, disabilitas intelektual, genetik, psikososial dan vascular

(Perdossi, 2015; Kocahan and Dogan, 2017). Usia, jenis kelamin, genetik, riwayat

penyakit keluarga, disabilitas intelektual dan Sindrom Down termasuk dalam faktor risiko

penyakit Alzheimer yang tidak dapat dimodifikasi. Usia merupakan faktor risiko

terpenting PA (Perdossi, 2015).

Peningkatan risiko PA seiring dengan peningkatan usia, yaitu sebanyak dua kali

lipat tiap 5 tahun pada usia diatas 65 tahun bahkan 50% individu diatas 85 tahun

mengalami demensia (Perdossi, 2015). Berdasarkan onsetnya, PA dapat diklasifikasikan

menjadi 2, yaitu: awal atau disebut pula Penyakit Alzheimer Awitan Dini (Early onset
Alzheimer Disease/ EOAD) yang terjadi pada individu berusia kurang dari 60 tahun dan

lambat (Perdossi, 2015; Kocahan and Dogan, 2017).

Prevalensi PA awitan dini adalah sebesar 6-7% dan 13% dari kelompok ini

diakibatkan karena adanya mutasi gen autosomal, seperti amyloid ß protein precursor

(AßPP) pada kromosom 21 (10-15%), presenilin 1 (PS1) pada kromosom 14 (30-70)%

kasus dan presenilin 2 (PS) pada kromosom 1 (kurang dari 5%) (Perdossi, 2015; Kocahan

and Dogan, 2017).

Penyakit Alzheimer onset lambat lebih banyak berhubungan dengan faktor genetik,

yaitu sebanyak 58-79% (Kocahan and Dogan, 2017). Diduga faktor genetik berhubungan

dengan lingkungan. Dikatakan bahwa gen Apolipoprotein E (APOE e4) meningkatkan

risiko PA terutama pada wanita berusia 55-65 tahun namun risiko menurun pada usia yang

lebih tua. Penyakit ini lebih banyak diderita oleh wanita dibandingkan pria namun wanita

memiliki angka harapan hidup yang lebih tinggi daripada pria (Perdossi, 2015).

Berikut merupakan faktor risiko PA yang dapat dimodifikasi, yaitu

vaskular (hipertensi, hiperkolesterolemia, obesitas, merokok, diabetes mellitus dan stroke),

metabolik, kekurangan asam folat dan vitamin B dan gaya hidup yang tidak sehat

(makanan tidak bervariasi dan sehat, kurang beraktivitas, kurang sayur dan buah, dan

sebagainya) (Perdossi, 2015; Kocahan and Dogan, 2017; Gevurova et al., 2018). Faktor

psikososial, seperti rendahnya pendidikan, aktivitas sosial, jejaring sosial juga

meningkatkan risiko PA (Kocahan and Dogan, 2017).

2.3.2. Hippocampus pada Penyakit Alzheimer.

Hippocampus merupakan struktur yang paling awal dipengaruhi dan memiliki gejala

terberat pada PA walaupun sel-sel dalam locus ceruleus, nuclei batang otak, formatio

reticularis, amygdala, substantia nigra, striatum, hypothalamus, thalamus, claustrum dan


6

beberapa daerah pada cortex cerebri juga t jierkena (Anand and Dhikav, 2012; Kocahan

and Dogan, 2017). Tipe-tipe sel neuron yang terkena bervariasi, tergantung dari ekspresi

neurotransmitter, neuromodulators dan neuropeptida. Penyakit ini juga mempengaruhi

sel-sel lain, seperti: oligodendroglia, astrocytes, pembuluh darah, microglia dan plexus

choroideus. Sel-sel ini nantinya akan mengalami degenerasi (Kocahan and Dogan, 2017).

Atrofi sel-sel Hippocampus, terutama terjadi di bagian frontal-temporal horn sehingga

timbul gejala-gejala neurokognitif, seperti penurunan memori dan pembelajaran spatial.

Oligomers Aβ menurunkan densitas Hippocampus dan neuron yang telah dipisahkan pada

kultur (Kocahan and Dogan, 2017). Atrofi

Hippocampus dapat dilihat pada gambar 2.5

Gambar 2.5 Atrofi Hippocampus kanan dan kiri pada penderita PA berusia 85 tahun
(Anand and Dhikav, 2012).

2.3.3. Patogenesis dan Mekanisme Penyakit Alzheimer.

Penyakit Alzheimer diduga terjadi akibat pengaruh dari Aβ-amyloid, oligomer Aβ,

presenilin, disregulasi Ca2+, tau protein dan lisosom (Kocahan and Dogan, 2017).

Teori Aβ amyloid merupakan hal yang paling mungkin mendasari terjadinya PA

namun deposisi Aβ memiliki hubungan lemah dengan atrofi neuron dan gangguan fungsi

kognitif (Kocahan and Dogan, 2017). Mutasi gen-gen autosomal (AβPP, PS1 dan PS2)
mengakibatkan peningkatan produksi dan agregasi β-amyloid (Pattni, tt) sehingga terjadi

penumpukan β-amyloid di otak (Hudson et al., 2011; Pattni, tt.). Pemecahan cell-surface

protein amyloid precursor protein (APP) tipe I oleh enzim proteolitik menyebabkan

bentuk Aβ bervariasi. Penumpukan Aβ peptida dalam otak berhubungan dengan timbulnya

amyloid plaques, neurofibrillary tangles (NFTs), hilangnya sinapsis, kematian sel-sel

neuron dan demensia (Hudson et al., 2011; Pattni, tt; Armstrong, 2011; Kocahan and

Dogan, 2017).

Gambar 2.6 Faktor-Faktor yang Diduga Terlibat dalam Terjadinya PA (Kocahan


and Dogan, 2017).

Plak amyloid yang timbul di sekitar perubahan struktural mampu mengubah fungsi otak

sementara hilangnya sinapis di tahap awal PA

mengakibatkan disfungsi sinaptik, penurunan jumlah dendritic spines dan densitas sinaps

dalam Hippocampus serta cortex. Kehilangan dendritic spines meningkat seiring dengan

peningkatan usia. Kondisi tersebut, bila berlangsung terus-menerus akan memperburuk

status mental dan fungsi kognitif penderita karena itu atrofi progresif dendritic spines

merupakan indikator perkembangan PA yang akurat (Kocahan and Dogan, 2017).

Fungsi sinapsis juga ditekan dengan adanya peningkatan atau disregulasi Ca2+ yang
berlangsung lama sehingga terjadi sinaptotoxicity dan atrofi. Keadaan ini berpengaruh
terhadap fungsi belajar dan mengingat pada PA (Kocahan and Dogan, 2017).
8

Glutamat, yang merupakan salah satu neurotransmitter eksitasi pada susunan saraf pusat,

berperan sebagai perantara dalam plastisitas dan transmisi neuron, proses belajar dan

mengingat. Penyakit Alzheimer berhubungan erat dengan perubahan signal glutamat.

Jaringan saraf dipengaruhi oleh tingginya kepadatan neuron glutamanergik. Awalnya,

degenerasi timbul pada neuron pyramidal dari neocortex pada lapisan V dan III, serta

glutamate-innervated cortical dan neuron Hippocampus. Penghambatan reseptor glutamat,

yaitu Nmethyl-D-aspartate (NMDA), akan menghambat progresivitas Penyakit

Alzheimer. Memantine (antagonis NMDA reseptor) dan fibroblast growth factor

(mengganti ekspresi reseptor NMDA pada neuron cortical dan hippocampal) mencegah

terjadinya keracunan glutamat (Kocahan and Dogan, 2017). Reseptor

NMDA memediasi plastisitas sinapsis, fungsi belajar dan ingatan jangka panjang.

Plastisitas sinaptik penting dalam proses belajar dan memori. Terbukanya reseptor

NMDA dan tingginya aktivitas sinaptik mengakibatkan transmisi sinaptik Long Term

Potentiation (LTP) dan perubahan ekspresi reseptor post sinaptik AMPA (αamino-3-

hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid) secara permanen. Aktivasi reseptor NMDA

berpengaruh terhadap plak Aβ. Reseptor tersebut berikatan dengan Aβ baik secara

langsung maupun tidak langsung, memediasi aktivitas Aβ yang berhubungan dengan

plastisitas dan transmisi sinaptik. Reseptor ini juga merupakan target Aβ sehingga Aβ

memediasi fungsi reseptor NMDA (Kocahan and Dogan, 2017).


Gambar 2.7 Peranan NMDA Reseptor pada PA. LTD: Long-Term Depression; LTP:
Long Term Potentiation (Kocahan and Dogan, 2017).

Berbeda halnya dengan NMDA, hiperfosforilasi beberapa asam amino

mengakibatkan protein dipecah dari mikrotubulus, mengganggu transport struktur,

kelaparan neuron dan kematian sel. Hiperfosforilasi tau protein berperan penting dalam

perubahan neurofibrillary intrasel, patogenesis PA dan taupathies (Kocahan and Dogan,

2017).

Tau memediasi transfer Fyn, yaitu suatu Sre kinase menuju dendritic compartment. Fyn

akan memfosforilasi NMDA sehingga memfasilitasi interaksi dengan post-synaptic

density protein 95 (PSD95). Berdasarkan penelitian yang melibatkan APP transgenic

(APP), kompleks PSD95 menimbulkan efek toksik dengan Aβ sehingga terjadi penurunan

daya ingat, peningkatan excitoxicity dan kematian (Kocahan and Dogan, 2017).

Brain derived neurotrophic factor (BDNF) termasuk neurotrofin yang mempengaruhi

fungsi kognitif, perilaku, belajar dan memori (daya ingat). Faktor ini merupakan mediator

penting bagi kehidupan neuron, plastisitas sinaptik dan diferensiasi seluler. Ekspresi

BDNF mRNA (messenger Ribonucleic Acid) di nucleus basalis Meynert, neocortex dan

Hippocampus pada PA terlihat rendah.


10

Penurunan fungsi kognitif timbul akibat inhibisi asetilkolin. Penghambatan terjadi karena

atrofi neuron kolinergik di forebrain pada PA. Keadaan tersebut disebabkan adanya

peningkatan diferensiasi, ketahanan hidup neuron kolinergik di basal forebrain dan

terutama induksi sekresi asetilkolin oleh BDNF (Kocahan and Dogan, 2017).

Fungsi kuantitatif seperti cadangan otak berpengaruh terhadap patogenesis PA, misalnya

lingkungan akan merangsang regulasi BDNF dan neurogenesis sehingga mendorong

terjadinya plastisitas neuron. Aktivitas santai, intelektual

(bermain, membaca, mengerjakan tugas) dan sosial juga menurunkan risiko PA

(Kocahan and Dogan, 2017).

2.3.4. Gejala dan Tanda Penyakit Alzheimer.

Karakteristik PA ditandai dengan adanya perubahan ekspresi neurotransmitter,

penurunan jumlah neutrofil, synaptotoxicity, penumpukan deposit protein Aβ (Amyloid β

atau plak amyloid atau senilis) yang mengakibatkan hilangnya dendritic spine, atrofi dan

kematian sel-sel neuron dalam jumlah besar pada fase akhir penyakit (Kocahan and

Dogan, 2017). Penurunan memori dan fungsi kognitif lain pada tahap awal, berhubungan

dengan perubahan dalam cortex Hippocampus dan entorhinal. Sekitar 80% neuron mati

dalam perjalanan PA yang bermanifestasi pada perubahan fungsi kognitif dan tanda-tanda

lain (Kocahan and Dogan, 2017).

Penyakit Alzheimer ditandai dengan penurunan memori episodik secara progresif dan

fungsi kortikal lain. Tahap selanjutnya, mulai terjadi ketergantungan dalam melakukan

aktivitas sehari-hari dan gangguan perilaku. Kelainan motorik dapat terjadi di tahap akhir

(Perdossi, 2015).

Gambaran khas PA berupa adanya plak Aβ di ekstraseluler dan


neurofibrillary tangles dalam intraseluler, kematian sel-sel neuron dan hilangnya sinapsis.

Semua ini mengakibatkan penurunan fungsi kognitif yang berkembang progresif (Kocahan

and Dogan, 2017).

Terlihat degenerasi neuron dan neurofibrillary tangles dalam lapisan II sampai IV pada

pemeriksaan histologi. Plak neural sering terlihat pada lapisan III, sementara lapisan V dan

VI memiliki neurofibrillary tangles yang relatif lebih sedikit dibandingkan lapisan II dan

IV. Hilangnya neuron-neuron pada lapisan II akan merusak jalur proyeksi EC menuju

Hippocampus. Tractus efferent dari Hippocampus menuju cortex dihambat oleh

degenerasi neuron dalam lapisan IV secara progresif. Kerusakan neuron pada lapisan IV

dan II dalam EC mengakibatkan perubahan patologi pada daerah yang berhubungan erat

dengan formasi Hippocampus (Kocahan and Dogan, 2017).

2.3.5. Diagnosis Dini Penyakit Alzheimer.

Terdapat fase transisi antara proses penuaan normal dengan awal dimulainya PA,

sebelum tanda-tanda klinis terlihat. Fase ini terjadi selama beberapa tahun dan dikenal

sebagai mild cognitive impairment (MCI) yang ditandai dengan adanya keluhan memori

subjektif dari keluarga serta gangguan fungsi kognisi. Kondisi ini hanya sedikit

mempengaruhi fungsi intelektual penderita sehingga aktivitas sehari-hari masih dapat

dilakukan dengan baik dan belum terlihat tanda-tanda demensia (Perdossi, 2015).

Kelainan fungsi kognisi dapat mengenai berbagai fungsi (eksekutif dan bahasa)

ataupun hanya satu fungsi. Kurang lebih 10% pasien dengan MCI berkembang menjadi

demensia per tahunnya (Perdossi, 2015).

Diagnosis berdasarkan gejala klinis akurat pada 90% kasus namun tetap

dibutuhkan biopsi otak. Ditemukannya plak neuritik (deposit β-amiloid40 dan βamiloid42)

serta neurofibrilary tangle (hypertphosphorylated protein tau) pada biopsi otak merupakan
12

diagnosis pasti penyakit Alzheimer. Pemeriksaan biomarka neuroimaging dengan

Magnetic Resonance Imaging (MRI struktural dan fungsional) dan likuor serebrospinalis

(β-amiloid dan protein tau) juga dapat dilakukan untuk diagnosis dini fase pre-demensia

(MCI) dan preklinik PA (Perdossi, 2015).

Adanya amiloidosis serebral cidera neuronal (peningkatan kadar protein tau dalam

likuor serebrospinalis atau hipometabolisme) dan atau terdapat penurunan amiloid-ß42

pada Positron Emission Tomography (PET) sken atau atrofi pada MRI kepala cenderung

berkembang menjadi PA (Perdossi, 2015).

Reisa Sperling menggolongkan pre-klinik PA menjadi tiga tahap. Tahap 1

(asymptomatic cerebral amyloidosis/ ACA) ditandai dengan adanya amiloidosis serebral

(positif PET amiloid dan atau penurunan kadar amiloid ß42 likuor serebrospinalis) tanpa

cidera neuronal. Disebut tahap 2 bila terdapat ACA ditambah cidera neuronal (CN).

Tingkat 3 ditandai dengan adanya ACA dan CN disertai tanda-tanda penurunan fungsi

kognisi. Diagnosis dini dengan terapi aktif akan memperlambat penurunan fungsi kognisi,

risiko salah diagnosis serta penanganan yang tidak tepat (Perdossi, 2015).
2.3.6. Diagnosis Banding Penyakit Alzheimer.

Gangguan perilaku yang terjadi pada PA harus dibedakan dari delirium dan depresi

walaupun ketiganya dapat terjadi bersamaan. Tabel 2.1 berikut ini menunjukan perbedaan

antara PA, delirium dan depresi (Perdossi, 2015).


14

Anda mungkin juga menyukai