Anda di halaman 1dari 6

Penyakit Alzheimer (Alzheimer’s Disease,

AD) adalah gangguan neurodegeneratif progresif


yang terkait dengan gangguan fungsi saraf dan
kerusakan secara bertahap dalam kognisi, fungsi,
dan perilaku [1]. Penyakit Alzheimer merupakan
salah satu jenis yang paling umum dari
demensia, yaitu istilah yang menggambarkan
berbagai penyakit dan kondisi yang berkembang
ketika sel-sel saraf di otak (neuron) mati atau
tidak berfungsi lagi secara normal. Kematian
atau kerusakan neuron menyebabkan
perubahan dalam memori, perilaku dan
kemampuan untuk berpikir jernih [2]. Faktor
resiko penyebab AD dibedakan menjadi dua,
yaitu secara genetik dan non genetik. Faktor
genetik pemicu AD mencakup mutasi pada gen
untuk protein prekursor amyloid yang terletak
pada kromosom-2, mutasi presenilin-1 dan
presenilin-2, masing-masing merupakan gen
pada kromosom-14 dan kromosom-1.
Sedangkan faktor non genetik mencakup usia
tua (sekitar 8% bagi orang yang berusia di atas
65 tahun dan 30% bagi yang berusia lebih dari
85 tahun), tingkat pendidikan dan IQ rendah,
riwayat cedera di kepala dan penderita penyakit
cardiovascular [3].
A. ALZHEIMER
Demensia adalah suatu sindrom akibat penyakit otak, biasanya bersifat
kronik atau progresif serta terdapat gangguan fungsi luhur. Jenis demensia
yang paling sering dijumpai yaitu demensia tipe Alzheimer. Penyakit
Alzheimer (Alzheimer’s Disease, AD) adalah gangguan neurodegeneratif
progresif yang terkait dengan gangguan fungsi saraf dan kerusakan secara
bertahap dalam kognisi, fungsi, dan perilaku. Faktor risiko demensia
alzheimer yang terpenting adalah usia, riwayat keluarga, dan genetik.
Kebanyakan orang usia 65 tahun atau lebih tua memiliki risiko yang lebih
tinggi. Seseorang dengan riwayat orangtua, saudara laki-laki maupun
perempuan dengan penyakit alzheimer memiliki risiko lebih tinggi untuk
menderita penyakit alzheimer. Selain usia dan riwayat keluarga, genetik
(herediter) berperan penting dalam peningkatan faktor risiko demensia
alzheimer dimana terdapat dua jenis gen yang berperan dalam
perkembangan alzheimer. Kedua jenis gen tersebut adalah gen risiko dan
gen determinan.

a. Gen Resiko
Gen risiko meningkatkan kemungkinan perkembangan penyakit namun
tidak menjamin terjadinya penyakit, yaitu apolipoprotein
b. Gen Determinan
Gen determinan secara langsung menyebabkan demensia alzheimer, terdiri
dari tiga protein yaitu amyloid precursor protein (APP), presenilin-1
(PSEN-1), dan presenilin-2 (PSEN2).

Penelitian neuroanatomi otak klasik pada pasien dengan penyakit


Alzheimer menunjukkan adanya atrofi dengan pendataran sulkus kortikalis
dan pelebaran ventrikel serebri. Gambaran mikroskopis klasik dan
patognomonik dari demensia tipe Alzheimer adalah plak senilis, kekusutan
serabut neuron, neuronal loss (biasanya ditemukan pada korteks dan
hipokampus), dan degenerasi granulovaskuler pada sel saraf. Kekusutan
serabut neuron (neurofibrillary tangles) terdiri dari elemen sitoskletal dan
protein primer terfosforilasi, meskipun jenis protein sitoskletal lainnya
dapat juga terjadi. Gen untuk protein prekusor amiloid terletak pada
lengan panjang kromosom 21. Bagaimana proses yang terjadi pada protein
prekusor amiloid dalam perannya sebagai penyebab utamapenyakit
Alzheimer masih belum diketahui, akan tetapi banyak kelompok studi
yang meneliti baik proses metabolisme yang normal dari protein prekusor
amiloid maupun proses metabolisme yang terjadi pada pasien dengan
demensia tipe Alzheimer.

Beberapa peneliti mengkaji cara diagnosa awal Alzheimer diantaranya


melalui biomarker yang muncul. Biomarker memiliki nilai diagnostik dan
prognostik dalam deteksi dini Alzheimer. Ada beberapa tipe biomarker
yang digunakan dalam penelitian, namun hanya neuroimaging marker
yang memiliki potensi untuk memprediksi transisi dari MCI (Mild
Cognitive Impairment, kondisi predemensia) ke kondisi Alzheimer. Secara
umum, teknik neuroimaging dibedakan menjadi dua yaitu pencitraan
struktural dan pencitraan fungsional.
a. Pencitraan Struktural

1. Computed Tomography (CT)


CT dapat mendeteksi perubahan morfologis, terutama adanya cerebral
atrophy pada penderita . Analisis citra CT dapat mengungkapkan diffuse
cerebral atrophy dengan pembesaran cortical sulci dan peningkatan
ukuran ventrikel. Beberapa data hasil penelitian menunjukkan bahwa
atrophy medial lobus temporal termasuk hippocampus terkait dengan
kerusakan memori yang merupakan karakteristik demensia jenis
Alzheimer.

2. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI adalah salah satu teknik pencitraan noninvasif untuk analisis
struktural otak pada penderita alzheimer. MRI menyediakan pengukuran
volumetrik dimana kerusakan jaringan otak pada area tertentu diukur
selama jangka waktu longitudinal. Karena pada pasien Alzheimer terjadi
kerusakan dan kematian sel yang menyebabkan berkurangnya volume
otak, maka MRI dapat dengan mudah mengidentifikasi perubahan
tersebut.
b. Pencitraan Fungsional

1. functional MRI (fMRI)


fMRI merupakan sebuah metode pencitraan non-invasif yang unggul
untuk mengkarakterisasi abnormalitas fungsional pada penderita
demensia. fMRI mengukur konsentrasi oksigen pada area otak tertentu
yang terkait dengan stimulus atau task kognitif tertentu. Teknik ini
memiliki resolusi spasial dan temporal yang tinggi. Secara singkat prinsip
fMRI terdiri dari akuisisi citra otak selama aktivitas otak tertentu dan
dalam keadaan basal.

2. Positron Emission Tomography (PET)


PET merupakan salah satu teknik neuroimaging yang powerful, digunakan
untuk menyelidiki perubahan fungsional otak dari subjek sehat dan subjek
sakit. PET scan merupakan teknik pencitraan molekuler yang dapat
menghasilkan citra 3 dimensi dari otak pasien dalam skala molekuler dan
seluler.

B. Autistic Spectrum Disorder (ASD)


Autisme adalah kumpulan kondisi kelainan perkembangan yang ditandai
dengan kesulitan berinteraksi sosial, masalah komunikasi verbal dan
nonverbal, disertai dengan pengulangan tingkah laku dan ketertarikan
yang dangkal dan obsesif. DSM-IV-TR (APA,  2000 mengatakan autis
masuk dalam payung  gangguan perkembangan pervasif bersama dengan
gangguan Asperger,  Childhood  Disintegrative  Disorder, Rett’s 
Disorder, dan  Pervasive Developmental Disorder Not Otherwise
Specified (PDD-NOS). Pada DSM-5 (APA, 2013), autis dipandang
sebagai entitas tunggal dan diubah menjadi sebuah spektrum yang meliputi
seluruh gangguan perkembangan pervasif kecuali gangguan  Rett.
Gangguan  spektrum autis ini terjadi pada semua ras, etnis, dan kelompok 
ekonomi sosial  serta empat  kali lebih  mungkin  terjadi  pada anak  laki-
laki dibandingkan anak perempuan (CDC, 2012). Perkiraan prevalensi
berkisar 1% dalam  populasi  umum  (Baird,  Simonof,  & Pickless, 2006).
Istilah  spektrum  menunjukkan bahwa gejala  gangguan  ini bervariasi 
antara anak yang  satu  dengan  anak  lainnya. Ada  anak yang gejalanya
ringan sehingga sedikit membutuhkan bantuan dari lingkungan, misal anak
masih mampu memahami instruksi meskipun harus berulang kali
disampaikan,  anak mengalami  penurunan dalam sensori sehingga dikira
tuli, anak masih mampu berkomunikasi dengan orang lain namun kontak
matanya rendah. Terdapat  juga  anak  yang  gejalanya  sangat berat dan
membutuhkan dukungan yang intens  dari  lingkungan,  misalnya perilaku
menyakiti dirinya sendiri, tantrum, tidak mampu  sama sekali
mengungkapkan  apa yang  ia  pikirkan  atau rasakan. 

Gejala Klinis yang sering dijumpai pada anak autis ( Sunartini, 2000):
1. Gangguan Fisik
a. Kegagalan lateralisasi karena kegagalan atau kelainan maturasi otak
sehingga terjadi dominasi serebral
b. Adanya kejadian dermatoglyphics yang abnormal
c. Insiden yang tinggi terhadap infeksi saluran nafas bagian atas, infeksi
telinga, sendawa yang berlebihan, kejang demam dan konstipasi

2. Gangguan Perilaku
a. Gangguan dalam interaksi sosial: Anak tidak mampu berhubungan
secara normal baik dengan orang tua maupun orang lain
b. Gangguan komunikasi dan bahasa: Kemampuan komunikasi dan bahasa
sangat lambat dan bahkan tidak ada sama sekali.
c. Gangguan perilaku motoris: Terdapat gerakan yang stereotipik seperti
bertepuk tangan, duduk sambil mengayun-ayunkan badan kedepan-
kebelakang.
d. Gangguan emosi, perasaan dan afek: Rasa takut yang tiba-tiba muncul
terhadap objek yang tidak menakutkan.
e. Gangguan persepsi sensoris: seperti suka mencium atau menjilat benda,
tidak merasa sakit bila terluka atau terbentur dan sebagainya.

A. Patofisiologi

Menurut Sari (2009) autis merupakan penyakit yang bersifat multifaktor.


Teori mengenai penyebab dari autis diantaranya adalah sebagai berikut :

1) Faktor genetika Penelitian faktor genetik pada anak autistik masih terus
dilakukan. Sampai saat ini ditemukan sekitar 20 gen yang berkaitan
dengan autisme. Namun kejadian autisme baru bisa muncul jika terjadi
kombinasi banyak gen. Bisa saja gejala autisme tidak muncul meskipun
anak tersebut membawa gen autisme (Budhiman, M; Shattock, P; Ariani,
E, 2002). Jumlah anak berjenis kelamin laki-laki yang menderita autis
lebih banyak dibandingkan perempuan, hal ini diduga karena adanya gen
atau beberapa gen atau beberapa gen pada kromosom X yang terlibat
dengan autis.

b. Kelainan anatomis otak, menurut Winarno (2013) otak anak autis


mengalami pertumbuhan dengan laju kecepatan yang tidak normal,
khususnya pada usia 2 tahun, dan memiliki puzzling sign of inflammation
(peradangan yang membingungkan). Bagian corpus callosum, biasanya
pada anak autis berukuran lebih kecil. Corpus callosum merupakan pita
tenunan pengikat yang menghubungkan hemisphere otak kanan dan otak
kiri

c. Disfungsi metabolic, Disfungsi metabolik terutama berhubungan


dengan kemampuan memecah komponen asam amino phenolik. Amino
phenolik banyak ditemukan di berbagai makanan dan dilaporkan
komponen utamanya dapat menyebabkan terjadinya gangguan tingkah
laku pada pasien autis.
d. Infeksi kandidiasis, Infeksi Candida Albicans berat bisa dijumpai pada
anak yang banyak mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung
yeast dan karbohidrat, karena dengan adanya makanan tersebut Candida
dapat tumbuh dengan subur. Makanan ini dilaporkan dapat menyebabkan
anak menjadi autis. Penelitian sebelumnya menemukan adanya hubungan
antara beratnya infeksi Candida Albicans dengan gejala-gejala menyerupai
autis seperti gangguan 16 berbahasa, gangguan tingkah laku dan
penurunan kontak mata (Mujiyanti, 2011)

Neuroinflamasi juga dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya


gangguan autis karena aktifnya sel mast di otak sehingga mengeluarkan
mediator proinflamasi dan berinteraksi dengan sel mikroglia. Mediator
tersebut berupa glikoprotein yaitu IL-6 dan TNF-α. Tingginya mediator
tersebut didalam otak menyebabkan gangguan atau penurunan adhesi dan
migrasi sel saraf yang mengakibatkan terganggunya kerja dari Blood Brain
Barrier (BBB) atau sawar darah otak yang berfungsi menjaga normalitas
homeostasis sistem saraf pusat. Keseimbangan sistem saraf pusat yang
terganggu mengakibatkan kerja seluruh sistem terutama diotak menjadi
terganggu, sehingga neuroinflamasi yang kronis didalam otak menjadi
salah satu patologi terjadinya gangguan autis.

DAFTAR PUSTAKA

Daulay, N.-. (2017). Struktur Otak dan Keberfungsiannya pada Anak dengan
Gangguan Spektrum Autis: Kajian Neuropsikologi. Buletin Psikologi, 25(1),
11–25. https://doi.org/10.22146/buletinpsikologi.25163
Handayani, N., Arif, I., Khotimah, S. N., Haryanto, F., & Taruno, W. P. (2015).
Review : PerkembanganTeknologi Neuroimaging Sebagai Modalitas Deteksi
Dini Penyakit Alzheimer. (June). Retrieved from
https://www.researchgate.net/profile/Nita_Handayani2/publication/31667924
8_Review_PerkembanganTeknologi_Neuroimaging_Sebagai_Modalitas_Det
eksi_Dini_Penyakit_Alzheimer/links/590be56caca272db9ca563c6/Review-
PerkembanganTeknologi-Neuroimaging-Sebagai-Modalit
Hidayatul, N., & Sinuraya, R. K. (2013). BIOMARKER miRNA-146a SEBAGAI
DETEKSI DINI YANG EFEKTIF UNTUK ALZHEIMER. Farmaka, 4, 1–
15.
Ii, B. A. B., Pustaka, A. T., Autism, A., & Asd, S. D.-. (2013). BAB II TINJAUAN
PUSTAKA A. Telaah Pustaka 1. Autisme (. 2, 8–37.
Ii, B. A. B., & Umum, T. (2009). Gambar 2. 1 Perbandingan otak normal dan
Alzheimer Sumber: https://www.alz.org/braintour/healthy_vs_alzheimers.asp
14. 14–32.
Nisa, K. M., & Lisiswanti, R. (2016). Faktor Risiko Demensia Alzheimer.
Majority, 5(4), 86. Retrieved from
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/view/890
Nugraheni, S. A. (2016). Menguak Belantara Autisme. Buletin Psikologi, 20(1-2),
9–17. https://doi.org/10.22146/bpsi.11944
Putri Purnama Sari, A., Amin, M., & Lukiati, B. (2017). Review: Penyebab
Gangguan Autis Melalui Jalur Neuroinflamasi. Bioeksperimen: Jurnal
Penelitian Biologi, 3(2), 1.
https://doi.org/10.23917/bioeksperimen.v3i2.5177

Anda mungkin juga menyukai