Anda di halaman 1dari 38

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka
1. Hakikat Wacana
a. Pengertian Wacana

Djajasudarma (1994:1) menyatakan bahwa wacana memuat rentetan


kalimat yang berhubungan, menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi
yang lainnya, membentuk satu kesatuan informasi. Proposisi adalah konfigurasi
makna yang menjelaskan isi komunikasi (dari pembicaraan) atau proposisi adalah
isi konsep yang masih kasar yang akan melahirkan statement (pernyataan
kalimat).
Selain itu, Sumarlam (2003:15) menjelaskan pengertian wacana adalah
satuan bahasa terlengkap yang dinyatakan secara lisan, seperti pidato, ceramah,
khotbah dan dialog, atau secara tertulis, seperti cerpen, novel, buku, surat, dan
dokumen yang tertulis, yang dilihat dari struktur lahirnya (dari segi bentuk)
bersifat kohesif, saling terkait dan dari struktur batinnya (dari segi makna) bersifat
koheren, terpadu.
Pengertian di atas senada dengan pendapat Kushartanti, dkk (2007:92)
yang menyatakan bahwa wacana adalah kesatuan makna (semantis) antarbagian di
dalam suatu bangun bahasa. Dengan kesatuan makna, wacana dilihat sebagai
bangun bahasa yang utuh karena setiap bagian di dalam wacana itu berhubungan
secara padu. Adanya kesatuan makna antarbagian, yaitu antarkalimat,
antarparagraf, antara judul dan isi, pembaca tentu dapat memahami maksud
wacana tersebut dengan mudah.
Sejalan dengan pendapat di atas, Chaer (1994:267) menyatakan bahwa
wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal
merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Sebagai satuan bahasa yang
lengkap maka dalam wacana itu berarti terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide

commit to user
6
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

yang utuh yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar
(dalam wacana lisan).
Rani, dkk (2006:3-5) menjelaskan bahwa istilah wacana mempunyai
acuan yang lebih luas sekadar bacaan sehingga para ahli telah menyepakati bahwa
wacana merupakan satuan bahasa yang paling besar yang digunakan dalam
komunikasi. Pengertian wacana menurut mereka dibagi menjadi 3, yaitu wacana
sebagai satuan bahasa, wacana sebagai hasil dan proses, dan wacana sebagai
penggunaan bahasa. (1) Wacana sebagai satuan bahasa seperti yang diungkapkan
di atas, wacana merupakan satuan bahasa yang paling besar yang digunakan
dalam komunikasi. Satuan bahasa di bawahnya secara berturut-turut adalah
kalimat, frase, kata, dan bunyi. Secara berurutan, rangkaian bunyi membentuk
kata. Rangkaian kata membentuk frase dan rangkaian frase membentuk kalimat.
Akhirnya rangkaian kalimat membentuk wacana. (2) Wacana sebagai hasil dan
proses. Dalam situasi komunikasi, apa pun bentuk wacananya, diasumsikan
adanya penyapa dan pesapa. Dalam wacana lisan penyapa adalah pembicara,
sedangkan pesapa adalah pendengar. Dalam wacana tulis penyapa adalah penulis,
sedangkan pesapa adalah pembaca. Dalam komunikasi tulis khususnya, proses
komunikasi penyapa dan pesapa tidak berhadapan langsung. Penyapa
menuangkan ide/gagasannya dalam kode-kode kebahasaan yang biasanya berupa
rangkaian kalimat. Rangkaian kalimat tersebut yang nantinya ditafsirkan
maknanya oleh pembaca. Di sini pembaca mencari makna berdasarkan untaian
kata yang tercetak dalam teks. (3) Wacana sebagai penggunaan bahasa. Menurut
Cook dalam Abdul Rani menyatakan bahwa wacana merupakan suatu
penggunaan bahasa dalam komunikasi, baik secara lisan maupun tulisan.
Penggunaan bahasa dapat berupa iklan, drama, percakapan, diskusi, debat, tanya
jawab, surat, makalah, tesis, dan sebagainya.

b. Jenis Wacana
Sebagai satuan bahasa dalam komunikasi, wacana dapat diklasifikasikan
berdasarkan beberapa segi. Menurut Rani, dkk (2006:25-46) wacana
diklasifikasikan menjadi beberapa bergantung pada sudut pandang yang
commit to user
7
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

digunakan. Dilihat dari bentuk saluran yang digunakan, dikenal wacana tulis dan
lisan. Dilihat dari jumlah peserta yang terlibat dalam komunikasi dikenal ada
wacana monolog, dialog dan polilog, sedangkan dilihat dari tujuan
berkomunikasi, ada wacana deskripsi, eksposisi, argumentasi, persuasi dan narasi.
Berdasarkan saluran yang digunakan dalam berkomunikasi, wacana
dapat dibedakan menjadi 2, yaitu (1) wacana tulis adalah teks yang berupa
rangkaian kalimat yang menggunakan ragam bahasa tulis, (2) wacana lisan adalah
merupakan rangkaian kalimat yang ditranskrip dari rekaman bahasa lisan. Wacana
tulis dapat kita temukan dalam bentuk buku, berita koran, artikel, makalah dan
sebagainya, sedangkan wacana lisan misalnya khotbah, percakapan, dan siaran
langsung di radio atau tv.
Berdasarkan jumlah peserta yang terlibat pembicaraan dalam
komunikasi. Ada 3 jenis wacana, yaitu (1) monolog, peserta dalam komunikasi
hanya ada satu orang. Pada saat itu, pembicara mempunyai kebebasan untuk
menggunakan waktunya tanpa diselingi oleh mitra tuturnya, (2) dialog, apabila
peserta dalam komunikasi itu ada dua orang dan terjadi pergantian peran (dari
pembicara menjadi pendengar atau sebaliknya), (3) polilog, jika peserta dalam
komunikasi lebih dari dua orang dan terjadi pergantian peran.
Berdasarkan tujuan berkomunikasi, wacana dapat dibedakan menjadi 5,
yaitu (1) wacana deskripsi merupakan jenis wacana yang ditujukan kepada
penerima pesan agar dapat membentuk suatu citra (imajinasi) tentang sesuatu hal,
(2) wacana eksposisi bertujuan untuk menerangkan sesuatu hal kepada penerima
(pembaca) agar yang bersangkutan memahaminya, (3) wacana argumentasi
merupakan sebuah wacana yang bertolak dari adanya isu yang sifatnya
kontroversi antara penutur dan mitra tutur, (4) wacana persuasi merupakan
wacana yang bertujuan memengaruhi mitra tutur untuk melakukan tindakan sesuai
yang diharapkan penuturnya, dan (5) wacana narasi merupakan suatu jenis wacana
yang berisi cerita.
Di samping pengklasifikasian yang dikemukakan oleh Rani,dkk.,
Sumarlam (2003:15) mengklasifikasikan wacana menjadi beberapa jenis menurut
dasar pengklasifikasiannya. Misalnya, berdasarkan bahasanya, media yang
commit to user
8
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dipakai untuk mengungkapkan, jenis pemakaian, bentuk serta cara dan tujuan
pemaparannya. .
Berdasarkan bahasa yang dipakai sebagai sarana untuk
mengungkapkannya, wacana dapat diklasifikasikan menjadi (a) wacana bahasa
nasional (Indonesia), (b) wacana bahasa lokal atau daerah (bahasa Jawa, Bali,
Sunda, Madura, dan sebagainya), (c) wacana bahasa internasional (Inggris), dan
(d) wacana bahasa lainnya, seperti bahasa Belanda, Jerman, Perancis, dan
sebagainya.
Wacana bahasa Indonesia ialah wacana yang diungkapkan dengan
menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarananya; wacana bahasa Jawa adalah
wacana yang diungkapkan dengan menggunakan sarana bahasa Jawa; wacana
bahasa Inggris merupakan wacana yang dinyatakan dengan menggunakan bahasa
Inggris, dan seterusnya. Apabila dilihat dari ragam bahasa yang digunakannya
maka wacana tersebut dapat berupa wacana bahasa Indonesia ragam baku dan
wacana bahasa Indonesia ragam takbaku; wacana bahasa Jawa dapat terdiri atas
wacana bahasa Jawa ragam ngoko (ragam bahasa Jawa yang kurang halus, ragam
rendah), krama (ragam bahasa Jawa halus, ragam tinggi), dan campuran antara
kedua ragam tersebut.
Berdasarkan media yang digunakan maka wacana dapat dibedakan atas
(1) wacana tulis, dan (2) wacana lisan. Wacana tulis artinya wacana yang
disampaikan dengan bahasa tulis atau melalui media tulis, untuk dapat menerima
atau memahami wacana tulis maka sang penerima atau pesapa harus
membacanya. Di dalam wacana tulis terjadi komunikasi secara tidak langsung
antara penulis dengan pembaca. Wacana tulis ini dalam referensi bahasa Inggris
disebut oleh sebagian ahli dengan written discourse dan sebagian lagi dengan
istilah written text. Sementara itu, wacana lisan berarti wacana yang disampaikan
dengan bahasa lisan atau media lisan. Untuk dapat menerima dan memahami
wacana lisan maka sang penerima dan pesapa harus menyimak atau

commit to user
9
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

mendengarkannya. Di dalam wacana lisan terjadi komunikasi secara langsung


antara pembicara dengan pendengar.
Apabila jenis wacana berdasarkan media ini dihubungkan dengan jenis
wacana berdasarkan bahasa yang digunakan untuk mengungkapkannya maka akan
didapatkan jenis wacana bahasa Indonesia tulis ragam baku (misalnya, wacana
surat-menyurat resmi), wacana bahasa Indonesia tulis ragam takbaku (misalnya,
surat-surat pribadi), wacana bahasa Indonesia lisan ragam baku (seperti pidato
kenegaraan), dan wacana bahasa Indonesia lisan ragam takbaku (seperti obrolan
santai, wacana ketoprak humor, dan sebagainya). Demikian juga dapat ditemukan
wacana bahasa Jawa tulis ragam ngoko (seperti wacana surat yang ditulis oleh
orang tua kepada anaknya), wacana bahasa Jawa tulis ragam krama (seperti
wacana undangan pernikahan), dan wacana bahasa Jawa tulis ragam campuran
(seperti wacana pada naskah drama, cerpen, dsb). Selanjutnya, untuk yang lisan
ditemukan adanya wacana bahasa lisan ragam ngoko (misalya, ular-ular atau
sabdatama -baik yang disampaikan orang tua kepada kedua
krama
(misalnya wacana pawartos basa Jawi
dan wacana bahasa Jawa lisan ragam campuran (misalnya, wacana pementasan
drama, pergelaran wayang kulit atau wayang orang, dan sebagainya).
Berdasarkan sifat atau jenis pemakaiannya, wacana dapat dibedakan
antara wacana monolog dan wacana dialog. (1) Wacana monolog (monologue
discourse) artinya wacana yang disampaikan oleh seorang diri tanpa melibatkan
orang lain untuk ikut berpartisipasi secara langsung. Wacana monolog ini sifatnya
searah dan termasuk komunikasi tidak interaktif (non interactive communication).
Contoh jenis wacana ini ialah orasi ilmiah, penyampaian visi dan misi, khotbah,
dan sebagainya. (2) Wacana dialog (dialogue discourse), yaitu wacana atau
percakapan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara langsung. Wacana
dialog ini bersifat dua arah dan masing-masing partisipan secara aktif ikut
berperan di dalam komunikasi tersebut sehingga disebut komunikasi interaktif
(interactive communication). Pemakaian bahasa dalam peristiwa diskusi, seminar,
musyawarah, dan kampanye dialogis merupakan contoh jenis wacana ini.
commit to user
10
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Berdasarkan bentuknya, wacana dapat diklasifikasikan menjadi tiga


bentuk, yaitu wacana prosa, puisi dan drama. (1) Wacana prosa, yaitu wacana
yang disampaikan dalam bentuk prosa (Jawa: gancaran). Wacana berbentuk prosa
ini dapat berupa wacana tulis atau lisan. Contoh wacana prosa tulis, misalnya
cerita pendek (cerpen), cerita bersambung (cerbung), novel, artikel, dan undang-
undang, sedangkan contoh wacana prosa lisan misalnya pidato, khotbah, dan
kuliah. (2) Wacana puisi, yaitu wacana yang disampaikan dalam bentuk puisi
(Jawa: geguritan). Seperti halnya wacana prosa, wacana puisi juga dapat berupa
wacana tulis maupun lisan. Puisi dan syair adalah contoh jenis wacana puisi tulis,
sedangkan puitisasi atau puisi yang dideklamasikan dan lagu-lagu merupakan
contoh jenis wacana puisi lisan. (3) Sementara itu, yang dimaksud wacana drama,
yaitu wacana yang disampaikan dalam bentuk drama, dalam bentuk dialog, baik
berupa wacana tulis maupun wacana lisan. Bentuk wacana drama tulis terdapat
pada naskah drama atau naskah sandiwara, sedangkan bentuk wacana drama lisan
terdapat pada pemakaian bahasa dalam peristiwa pementasan drama, yakni
percakapan antarpelaku dalam drama tersebut.
Berdasarkan cara dan tujuan pemaparannya, pada umumnya wacana
diklasifikasikan menjadi lima macam, yaitu wacana narasi, deskripsi, eksposisi,
argumentasi, dan persuasi. (1) Wacana narasi atau wacana penceritaan, disebut
juga wacana penuturan, yaitu wacana yang mementingkan urutan waktu,
dituturkan oleh persona pertama atau ketiga dalam waktu tertentu. Wacana narasi
ini berorientasi pada pelaku dan seluruh bagiannya diikat secara kronologis. Jenis
wacana narasi pada umumnya terdapat pada berbagai fiksi. (2) Wacana deskripsi,
yaitu wacana yang bertujuan melukiskan, menggambarkan atau memerikan
sesuatu menurut apa adanya. (3) Wacana eksposisi atau wacana pembeberan,
yaitu wacana yang tidak mementingkan waktu dan pelaku. Wacana ini
berorientasi pada pokok pembicaraan dan bagian-bagiannya diikat secara logis.
(4) Wacana argumentasi, yaitu wacana yang berisi ide atau gagasan yang
dilengkapi dengan data-data sebagai bukti dan bertujuan meyakinkan pembaca
akan kebenaran ide atau gagasannya. Argumentasi ada yang pendek dan ada pula
yang panjang.
commit to user
11
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(5) Wacana persuasi, yaitu wacana yang isinya bersifat ajakan atau nasihat,
biasanya ringkas dan menarik, serta bertujuan untuk memengaruhi secara kuat
pada pembaca atau pendengar agar melakukan nasihat atau ajakan tersebut.
Di samping jenis wacana seperti telah dijelaskan di atas, ada pula ahli
yang mengklasifikasikan wacana menurut cara penyusunan, isi, dan sifatnya.
Misalnya, Llamzon dalam bukunya Discourse Analysis (dalam Sumarlam,
2003:20) menyebutkan wacana ada yang bersifat naratif, prosedural, hortatorik,
ekspositorik, dan deskriptif. (1) Wacana naratif, yaitu rangkaian tuturan yang
menceritakan atau menyajikan suatu hal atau kejadian melalui penonjolan tokoh
atau pelaku (orang pertama atau ketiga) dengan maksud memperluas pengetahuan
pendengar atau pembaca. Kekuatan wacana ini terletak pada urutan cerita
berdasarkan waktu dan cara-cara bercerita yang diatur melalui alur (plot). (2)
Wacana prosedural, yaitu rangkaian tuturan yang melukiskan sesuatu secara
berurutan yang tidak boleh dibolak-balik unsur-unsurnya karena urgensi unsur
terdahulu menjadi landasan unsur yang berikutnya. Wacana ini biasanya disusun
untuk menjawab pertanyaan bagaimana sesuatu bekerja atau terjadi, atau
bagaimana cara mengerjakan sesuatu, misalnya bagaimana membongkar dan
memasang mesin mobil atau bagian-bagian tertentu yang memerlukan prosedur
seperti itu. (3) Wacana hortatorik, yaitu tuturan yang isinya bersifat ajakan atau
nasihat, kadang-kadang tuturan itu bersifat memperkuat keputusan agar lebih
meyakinkan. Tokoh penting di dalamnya adalah orang. Wacana ini tidak disusun
berdasarkan urutan waktu, tetapi merupakan hasil atau produksi suatu waktu.
Wacana hortatorik ini hampir sama dengan wacana persuasi yang telah dijelaskan.
(4) Wacana ekspositorik, yaitu rangkaian tuturan yang bersifat memaparkan suatu
pokok pikiran. Pokok pikiran itu lebih dijelaskan lagi dengan cara menyampaikan
uraian bagian-bagian atau detilnya. Tujuan pokok dari wacana ini adalah
tercapainya tingkat pemahaman terhadap sesuatu secara lebih jelas, mendalam,
dan luas daripada sekadar sebuah pertanyaan yang bersifat umum atau global.
Kadang-kadang wacana ini dapat berbentuk ilustrasi dengan contoh,
perbandingan, dan penentuan identifikasi dengan orientasi pokok pada masalah,
bukan kepada tokohnya. (5) Wacana deskriptif pada dasarnya berupa rangkaian
commit to user
12
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

tuturan yang memaparkan atau melukiskan sesuatu, baik berdasarkan pengalaman


maupun pengetahuan penuturnya. Tujuan yang ingin dicapai oleh wacana ini
adalah tercapainya pengamatan yang agak imajinatif terhadap sesuatu, sehingga
pendengar atau pembaca merasakan seolah-olah ia sendiri mengalami atau
mengetahuinya secara langsung. Wacana ini terletak di antara keempat jenis
terdahulu. Uraian pada wacana deskriptif ini ada yang hanya memaparkan sesuatu
secara objektif dan ada pula yang memaparkan secara imajinatif. Pemaparan yang
pertama bersifat menginformasikan seperti apa adanya, sedangkan yang kedua
dengan menambahkan daya khayal. Oleh karena itu, yang kedua itu banyak
dijumpai dalam karya sastra, seperti pada novel atau cerpen.
Selain pengklasifikasian jenis wacana di atas, Kushartanti, dkk (2007:93)
menambahkan klasifikasi wacana berdasarkan fungsi bahasa yang mengutip dari
pendapat Leech. Jenis wacana tersebut antara lain: (1) wacana ekspresif, apabila
wacana itu bersumber pada gagasan penutur atau penulis sebagai sarana ekspresi,
seperti wacana pidato; (2) wacana fatis, apabila wacana itu bersumber pada
saluran untuk memperlancar komunikasi, seperti wacana perkenalan dalam pesta;
(3) wacana informasional, apabila wacana itu bersumber pada pesan atau
informasi, seperti wacana berita dalam media massa; (4) wacana estetik, apabila
wacana itu bersumber pada pesan dengan tekanan keindahan pesan, seperti
wacana puisi dan lagu; (5) wacana direktif, apabila wacana itu diarahkan pada
tindakan atau reaksi dari mitra tutur atau pembaca, seperti wacana khotbah.
Berbeda dengan pendapatnya Brown dan Yule (dalam Oka dan Suparno,
1994:272) yang sama-sama mengklasifikasikan jenis wacana berdasarkan
fungsinya. Berdasarkan fungsinya, membedakan wacana menjadi dua kategori,
yaitu wacana transaksional dan wacana interaksional. Wacana transaksional
adalah wacana yang digunakan untuk mengekspresikan isi atau informasi yang
ditujukan kepada pendengar. Berbeda dengan wacana transaksional, wacana
interaksional digunakan untuk menciptakan hubungan sosial dan hubungan
personal, seperti wacana yang terdapat dalam dialog dan polilog. Jadi, sesuai
namanya, wacana interaksional lebih menekankan fungsi bahasa sebagai alat
interaksi.
commit to user
13
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Mulyana (2005:56) menambahkan jenis wacana berdasarkan isinya,


dapat dipilah menjadi: wacana politik, wacana sosial, wacana ekonomi, wacana
budaya, wacana militer, wacana hukum dan kriminalitas, wacana olahraga dan
kesehatan. (1) wacana politik adalah wacana yang berkaitan dengan dunia politik.
(2) wacana sosial berkaitan dengan kehidupan sosial dan kehidupan sehari-hari
masyarakat. (3) wacana ekonomi berkaitan dengan persoalan ekonomi. (4) wacana
budaya berkaitan dengan aktivitas kebudayaan. (5) wacana militer, jenis wacana
yang hanya dipakai di dunia militer. (6) wacana hukum dan kriminalitas,
persoalan hukum dan kriminalitas sekalipun dapat dipisahkan, namun keduanya
bagaikan dua sisi dari mata uang: berbeda tetapi menjadi kesatuan. Kriminalitas
menyangkut hukum, dan hukum mengelilingi kriminalitas. (7) wacana olahraga
dan kesehatan.
Berdasarakan pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan pengertian wacana
adalah satuan bahasa yang pada tataran gramatikal merupakan tataran yang paling
tinggi.

2. Hakikat Analisis Wacana


Analisis wacana pada dasarnya ingin menganalisis atau
menginterpretasikan pesan yang dimaksud pembicara/penulis dengan cara
merekonstruksi teks sebagai produk ujaran/tulisan kepada proses ujaran/tulisan
sehingga diketahui segala konteks yang mendukung wacana pada saat diujarkan
atau dituliskan (Pranowo, 1996:73). Dengan merekonstruksi teks akan bisa
mengetahui siapa pembicara, kapan, dan di mana berbicara serta dalam situasi
semacam apa. Segala alat pembangun wacana yang pada saat wacana itu dalam
proses dihasilkan melingkupi pembicara atau penulis akan dihadirkan kembali
(direkonstruksi) dan dijadikan alat untuk menginterpretasikan. Hasil interpretasi
dapat membantu pembaca atau penyimak untuk memahami pesan yang dimaksud
oleh pembicara atau penulis. Sebuah analisis wacana dapat dianalisis dari segi
internal teks, baik itu struktur teksnya yang meliputi: kohesi maupun koherensi

commit to user
14
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ataupun dari struktur semantik dengan pengacuan atau referensi yang sama.
Seperti pengertian analisis dalam jurnal berikut.

determined: a discourse is a span of utterances that obey structured


parameters, such as coherence/cohesion, or has an autonomous semantic
structur with homogeneous domain of reference. (Louise de Sausure,
2007:188)

Parera (1990:112) menyatakan sebuah teori tentang analisis wacana atau


wacana adalah satu penjelasan tentang bagaimana kalimat-kalimat dihubung-
hubungkan dan memberikan satu kerangka acuan yang terpahami tentang
pelbagai jenis wacana, memberikan penjelasan tentang runtun kelogisan,
pengelolaan wacana, dan karakteristik stilistik sebuah wacana.
Eriyanto (2001:3) menyatakan bahwa analisis wacana adalah istilah
umum yang dipakai dalam banyak disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian.
Meskipun ada gradasi yang besar dari berbagai definisi, titik singgungnya adalah
analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai bahasa/pemakaian bahasa.
Jorgensen, Marianne W. dan Phillips, Louise J. (2007:2) menyatakan
bahwa analisis wacana bukanlah sekadar satu pendekatan tunggal, melainkan
serangkaian pendekatan multidisipliner yang bisa digunakan untuk
mengeksplorasi banyak domain sosial yang berbeda yang berada dalam jenis-jenis
kajian yang berbeda.
Seperti yang sudah disinggung di atas, disiplin ilmu yang berusaha
mengkaji penggunaan bahasa yang nyata dalam tindak komunikasi adalah analisis
wacana (Rani,dkk., 2006:9). Pendapat ini diperkuat dengan pendapatnya Cook
(dalam Rani, dkk., 2006: 9) yang menyatakan bahwa analisis wacana merupakan
kajian yang membahas tentang wacana, sedangkan wacana adalah bahasa yang
digunakan untuk berkomunikasi. Data dalam analisis wacana selalu berupa teks,
baik lisan maupun tulisan. Teks di sini mengacu pada bentuk transkripsi rangkaian
kalimat dan ujaran.
Analisis wacana pada umumnya bertujuan untuk mencari keterangan,
bukan kaidah. Oleh karena itu, untuk memahami sebuah wacana perlu
diperhatikan semua unsur yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut.
commit to user
15
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Berdasarkan beberapa pendapat dari para ahli di atas, dapat disimpulkan


pengertian analisis wacana adalah sebuah kegiatan yang mengkaji penggunaan
bahasa dengan konteks penggunaannya.

3. Hakikat Kohesi
Suwandi (2008:119) menyatakan bahwa kohesi merupakan salah satu
aspek penting dalam analisis wacana. Sebuah kalimat di dalam teks pun pasti
berkaitan dengan kalimat lain yang datang sebelum atau sesudahnya. Hal ini
senada dengan pendapat Sumadi (2010:38) yang menyatakan konstituen-
konstituen wacana saling berhubungan satu dengan yang lain dengan sarana
satuan gramatikal dan sarana leksikal tertentu. Demikian pula, di sisi lain, tanpa
bahasa, tidak akan ada wacana. Ada sesuatu yang menciptakan suatu wacana (the
property of being a text), yaitu keadaan unsur-unsur bahasa yang saling merujuk
dan berkaitan secara semantis (Halliday dan Hassan dalam Kushartanti,dkk, 2007:
96). Keadaan unsur-unsur bahasa yang saling merujuk dan berkaitan secara
semantis disebut kohesi. Dengan kohesi, sebuah wacana menjadi padu: setiap
bagian pembentuk wacana mengikat bagian lain secara mesra dan wajar. Ini
sejalan dengan pendapat Sarwiji yang menyatakan kohesi membuat karangan
menjadi padu dan konsisten sehingga mudah dipahami oleh pembaca (Suwandi,
2008:121).
Banyak linguis seperti, Widdowson dan koleganya (1978) (dalam
Santoso, 2003:64), membedakan antara kohesi dan koherensi. Kohesi oleh mereka
digunakan untuk merujuk pada pertautan bentuk, sedangkan koherensi digunakan
untuk merujuk pertautan makna. Akan tetapi, Halliday dan koleganya kohesi
digunakan untuk merujuk keduanya: pertautan bentuk dan makna sekaligus. Hal
ini disebabkan bahwa bentuk merupakan simbol yang merealisasikan maknanya
(Halliday dalam Santoso, 2003: 64). Dengan demikian, yang disebut kohesi
adalah pertautan bentuk dan makna.
Kushartanti, dkk (2007:96) kohesi tidak datang dengan sendirinya, tetapi
diciptakan secara formal oleh alat bahasa, yang disebut pemarkah kohesi

commit to user
16
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(cohesive marker). Pemarkah kohesi yang digunakan secara tepat menghasilkan


kohesi dengan jenis sebagai berikut.
a. Kohesi Gramatikal
Kohesi gramatikal adalah hubungan semantis antarunsur yang dimarkahi
alat gramatikal-alat bahasa yang digunakan kaitannya dengan tata bahasa.
Kohesi gramatikal dapat berwujud referensi atau pengacuan, substitusi atau
penyulihan, elipsis atau pelesapan, dan konjungsi atau penghubungan.
1. Referensi
Referensi adalah hubungan antara kata dengan objeknya. Dari sudut
analisis wacana, objek yang diacu oleh sebuah kata dapat di luar bahasa dan
di dalam bahasa. Referensi dengan objek acuan di luar teks disebut referensi
eksoforis, sedangkan referensi dengan objek acuan di dalam teks disebut
referensi endoforis (Kushartanti, dkk., 2007: 96).
M. Ramlan (dalam Mulyana, 2003:27) referensi (penunjukkan)
merupakan bagian kohesi gramatikal yang berkaitan dengan penggunaan
kata atau kelompok kata untuk menunjuk kata atau kelompok kata atau
satuan gramatikal lainnya.
J.D Parera menambahkan referensi atau rujukan terjadi bila unsur-
unsur selain mendapatkan interpretasi secara semantik menurut hakikatnya
juga memberikan rujukan kepada sesuatu yang lain untuk interpretasi
(Parera, 2004:225).
Lain halnya dengan pendapat Sumarlam (2003:23) yang menyatakan
pengacuan atau referensi adalah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa
satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain (atau suatu
acuan) yang mendahului atau mengikutinya. Berdasarkan tempatnya,
pengacuan dibedakan menjadi dua jenis, yaitu (1) pengacuan endofora
apabila acuannya (satuan lingual yang diacu) berada atau terdapat di dalam
teks wacana itu, dan (2) pengacuan eksofora apabila acuannya berada atau
terdapat di luar teks wacana. Jenis kohesi yang pertama, pengacuan
endofora berdasarkan arah pengacuannya dibedakan menjadi dua jenis lagi,
yaitu pengacuan anaforis (anaphoric reference) dan pengacuan kataforis
commit to user
17
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(cataphoric reference). Pengacuan anaforis adalah salah satu kohesi


gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan
lingual lain yang mendahuluinya, atau mengacu anteseden di sebelah kiri,
atau mengacu pada unsur yang telah disebut terdahulu. Sementara itu,
pengacuan kataforis merupakan salah satu kohesi gramatikal yang berupa
satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain yang
mengikutinya, atau mengacu anteseden di sebelah kanan, atau mengacu
pada unsur yang baru disebutkan kemudian. Satuan lingual tertentu yang
mengacu pada satuan lingual lain itu dapat berupa persona (kata ganti
orang), demonstratif ( kata ganti penunjuk), dan komparatif (satuan lingual
yang berfungsi membandingkan antara unsur yang satu dengan unsur yang
lainnya).
1) Pengacuan persona
Pengacuan persona direalisasikan melalui pronomina persona (kata
ganti orang) yang meliputi persona pertama (person I), kedua (persona
II), dan ketiga (persona III), baik tunggal maupun jamak. Pronomina
persona I tunggal, II tunggal, dan III tunggal ada yang berupa bentuk
bebas (morfem bebas) dan ada pula yang terikat (morfem terikat).
Selanjutnya, bentuk terikat ada yang melekat di sebelah kiri (lekat kiri)
dan ada pula yang melekat di sebelah kanan (lekat kanan). Dengan
demikian, satuan lingual aku, kamu, dan dia, misalnya, masing-masing
merupakan pronomina persona I, II, dan III tunggal bentuk bebas.
Adapun bentuk terikatnya adalah ku- (misalnya pada kutulis), kau-
(pada kautulis), dan di- (pada ditulis) masing-masing adalah bentuk
terikat lekat kiri; atau ku (misalnya pada istriku), -mu (pada istrimu),
dan nya (pada istrinya) yang masing-masing merupakan bentuk terikat
lekat kanan.
Lain halnya dengan pendapat Mappau (2010:47) menyatakan
bahwa kata ganti tidak hanya berfungsi menggantikan orang dalam
sebuah wacana, tetapi kata ganti dipakai seorang penulis untuk
menempatkan posisi seseorang dalam wacana. Penghadiran diri dalam
commit to user
18
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

wacana berimplikasi terhadap jarak sosial yang tercipta antara penulis


dan pembaca. Ada beberapa strategi yang digunakan dan dipilih oleh
penulis untuk menghadirkan diri penulis, pembaca dan kelompok
dalam teks, yaitu (1) penggunaan kata ganti kita, (2) penggunaan kata
ganti jamak mereka, (3) penggunaan kata ganti dengan nomina tertentu.

Berikut gambar bagan klasifikasi pronomina persona.


I Tunggal Aku, saya, hamba, gua/gue, ana/ane
terikat lekat kiri: ku-
lekat kanan: -ku

Jamak Kami
kami semua
kita
II
Tunggal Kamu, anda, anta/ente
PERSONA terikat lekat kiri: kau-
lekat kanan: -mu

Jamak Kamu
kalian
kalian semua
III
Tunggal Ia, dia, beliau
terikat lekat kiri: di-
lekat kanan: -nya

Jamak Mereka
mereka semua

Gambar 1. Bagan klasifikasi pengacuan pronomina persona

2) Pengacuan Demonstratif
Pengacuan demostratif (kata ganti penunjuk) dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu pronomina demonstratif waktu (temporal) dan pronomina
demonstratif tempat (lokasional). Pronomina demonstratif waktu ada
yang mengacu pada waktu kini (seperti kini dan sekarang), lampau
(seperti kemarin dan dulu), akan datang (seperti besuk dan yang akan
datang), dan waktu netral (seperti pagi dan siang). Sementara itu,
commit to user
19
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pronomina demonstratif tempat ada yang mengacu pada tempat atau


lokasi yang dekat dengan pembicara (sini, ini), agak jauh dengan
pembicara (situ, itu), jauh dengan pembicara (sana), dan menunjuk
tempat secara eksplisit (Surakarta, Yogyakarta). Berikut bagan
klasifikasi pronomina demonstratif.

Waktu kini: kini, sekarang, saat ini


lampau: kemarin, dulu, ......, yang lalu
y.a.d: besok,...depan,...yang akan datang.
netral : pagi, siang, sore, pukul 12
DEMONSTRATIF

Tempat dekat dengan penutur: sini, ini


agak dekat dengan penutur: situ, itu
jauh dengan penutur: sana
menunjuk secara eksplisit: Sala, Yogya

Gambar 2. Bagan klasifikasi pengacuan pronomina demonstratif

3) Pengacuan Komparatif
Pengacuan komparatif (perbandingan) ialah salah satu jenis kohesi
gramatikal yang bersifat membandingkan dua hal atau lebih yang
memunyai kemiripan atau kesamaan dari segi bentuk atau wujud, sikap,
sifat, watak, perilaku, dan sebagainya. Kata-kata yang biasa digunakan
untuk membandingkan misalnya, seperti, bagai, bagaikan, laksana,
sama dengan, tidak berbeda dengan, persis seperti, dan persis sama
dengan.
2. Substitusi
Kushartanti, dkk., (2007:97) menyatakan bahwa substitusi adalah
hubungan antara kata (-kata) dan kata (-kata) lain yang digantikannya.
Contoh alat gramatikal yang digunakan untuk menciptakan substitusi
adalah demonstrativa itu, begini, di bawah ini, dan berikut ini untuk
menggantikan kata yang akan disebut; demonstrativa itu, begitu, demikian,
commit to user
20
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

tersebut dan di atas untuk menggantikan kata yang sudah disebut; dan
pronomina persona untuk menggantikan nomina persona yang sudah
disebut. Adapun hubungan substitusi dapat terjadi secara nominal
(substitusi nominal), verbal (substitusi verbal), dan klausal (substitusi
klausal).
Mulyana (2005:28) menyatakan bahwa substitusi (penggantian)
adalah proses dan hasil penggantian unsur bahasa oleh unsur lain dalam
satuan yang lebih besar. Penggantian dilakukan untuk memeroleh unsur
pembeda atau menjelaskan struktur tertentu.
Halliday dan Hasan (dalam Parera, 2004:226) berpendapat bahwa
substitusi adalah satu unsur gramatikal yang menyatakan hubungan
antarkata dan bukan hubungan dalam makna.
Sumarlam (2003:28) menjelaskan penyulihan atau substitusi adalah
salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penggantian satuan lingual
tertentu (yang telah disebut) dengan satuan lain dalam wacana untuk
memperoleh unsur pembeda. Dilihat dari segi satuan lingualnya, substitusi
dapat dibedakan menjadi substitusi nominal, verbal, frasal, dan klausal.
1) Substitusi Nominal
Substitusi nominal adalah penggantian satuan lingual yang berkategori
nomina (kata benda) dengan satuan lingual lain yang juga berkategori
nomina. Misalnya, kata derajat, tingkat diganti dengan pangkat, kata
gelar diganti dengan titel.
2) Substitusi Verbal
Substitusi verbal adalah penggantian satuan lingual yang berkategori
verba (kata kerja) dengan satuan lingual lainnya yang juga berkategori
verba.
3) Substitusi Frasal
Substitusi frasal adalah penggantian satuan lingual tertentu yang
berupa kata atau frasa dengan satuan lingual lainnya yang berupa
frasa.

commit to user
21
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

4) Substitusi Klausal
Substitusi klausal adalah penggantian satuan lingual tertentu yang
berupa klausa atau kalimat dengan satuan lingual lainnya yang berupa
kata atau frasa.
Penggantian satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain
dalam wacana itu berfungsi untuk (1) menghadirkan variasi bentuk,
(2) menciptakan dinamisasi narasi, (3) menghilangkan kemonotonan,
dan (4) memperoleh unsur pembeda.
3. Elipsis
Kata yang disebutkan atau dituliskan secara berulang mungkin dapat
mengganggu pemahaman. Dalam hal itu, elipsis atau pelesapan dapat
dilakukan untuk menciptakan kepaduan wacana. Elipsis adalah
penghilangan kata (-kata) yang dapat dimunculkan kembali dalam
pemahamannya (Kushartanti, dkk., 2007: 98).
Mulyana (2003:28) elipsis juga merupakan penggantian unsur kosong
(zero), yaitu unsur yang sebenarnya ada tetapi sengaja dihilangkan atau
disembunyikan. Sementara itu, menurut Harimurti Kridalaksana (dalam
Mulyana, 2003:28), elipsis (penghilangan atau pelesapan) adalah proses
penghilangan kata atau satuan-satuan kebahasaan lain. Tujuan pemakaian
elipsis ini, salah satunya yang terpenting adalah untuk mendapatkan
kepraktisan bahasa, yaitu agar bahasa yang digunakan menjadi lebih
singkat, padat dan mudah dimengerti dengan cepat. Dengan kata lain,
elipsis digunakan untuk efektivitas dan efisiensi bahasa.
Sumarlam (2003:30) menyatakan bahwa pelesapan (elipsis) adalah
salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penghilangan atau
pelesapan satuan lingual tertentu yang telah disebutkan sebelumnya. Unsur
atau satuan lingual yang dilesapkan itu dapat berupa kata, frasa, klausa,
atau kalimat. Adapun fungsi pelesapan dalam wacana antara lain ialah
untuk (1) menghasilkan kalimat yang efektif (untuk efektivitas kalimat),
(2) efisiensi, yaitu untuk mencapai nilai ekonomis dalam pemakaian
bahasa, (3) mencapai aspek kepaduan wacana, (4) bagi
commit to user
22
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pembaca/pendengar berfungsi untuk mengaktifkan pikirannya terhadap


hal-hal yang tidak diungkapkan dalam satuan bahasa, dan (5) untuk
kepraktisan berbahasa terutama dalam berkomunikasi secara lisan.

4. Konjungsi
Konjungsi atau penghubungan dengan bantuan kata sambung atau
konjungsi besar pula peranannya dalam mewujudkan kohesi gramatikal-
perhatikan bahwa di sini kata konjungsi digunakan sebagai salah satu jenis
kohesi gramatikal sekaligus alat gramatikalnya. Penghubungan dapat
dilakukan antargagasan di dalam sebuah kalimat ataupun antarkalimat.
Konjungsi, sebagai alat gramatikal yang digunakan untuk menghubungkan
satu gagasan dengan gagasan di dalam sebuah kalimat disebut konjungsi
intrakalimat, sedangkan konjungsi yang dipakai untuk menghubungkan
satu gagasan dengan gagasan lain di dalam kalimat yang berbeda disebut
konjungsi antarkalimat (Kushartanti, dkk., 2007: 98).
Harimurti Kridalaksana (dalam Mulyana, 2003:29) konjungsi adalah
bentuk atau satuan kebahasaan yang berfungsi sebagai penyambung,
perangkai atau penghubung antara kata dengan kata, frasa dengan frasa,
klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat dan seterusnya.
Sumarlam (2003:32) konjungsi adalah salah satu jenis kohesi
gramatikal yang dilakukan dengan cara menghubungkan unsur yang satu
dengan unsur yang lain dalam wacana. Unsur yang dirangkaikan dapat
berupa satuan lingual kata, frasa, klausa, kalimat, dan dapat juga berupa
unsur yang lebih besar dari itu, misalnya alinea dengan pemarkah lanjutan,
dan topik pembicaraan dengan pemarkah alih topik atau pemarkah
disjungtif.
Dilihat dari segi maknanya, perangkaian unsur dalam wacana
mempunyai bermacam-macam makna. Makna perangkaian beserta
konjungsi yang dapat dikemukakan di sini antara lain sebagai berikut.

commit to user
23
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(1)Sebab-akibat: sebab, karena, maka, makanya; (2) pertentangan: tetapi,


namun; (3) kelebihan (eksesif): malah; (4) perkecualian (ekseptif):
kecuali; (5) konsesif: walaupun, meskipun; (6) tujuan: agar, supaya; (7)
penambahan (aditif): dan, juga, serta; (8) pilihan (alternatif): atau, apa;
(9) harapan (optatif): moga-moga, semoga; (10) urutan (sekuensial): lalu,
terus, kemudian; (11) perlawanan: sebaliknya; (12) waktu: setelah,
sesudah, usai, selesai; (13) syarat: apabila, jika (demikian); (14) cara:
dengan (cara) begitu; (15) makna lainnya: yang ditemukan dalam tuturan.
Moeliono (1988:235) menyatakan konjungsi atau kata sambung
adalah kata tugas yang menghubungkan dua klausa atau lebih. Dilihat dari
perilaku sintaktiknya, konjungsi dibagi menjadi lima kelompok: (1)
konjungsi koordinatif, yaitu konjungsi yang menghubungkan dua unsur
atau lebih dan kedua unsur itu memiliki status yang sintaktis yang sama.
Anggota kelompok itu adalah dan, atau, tetapi. (2) konjungsi subordinatif,
yaitu konjungsi yang menghubungkan dua klausa atau lebih dan klausa itu
tidak memiliki status sintaktis yang sama. Salah satu dari klausa
merupakan anak kalimat dari kalimat induknya. Dilihat dari perilaku
sintaktis dan semantisnya, konjungsi subordinatif dibagi menjadi sepuluh
kelompok kecil. Kelompok-kelompok konjungsi subordinatif itu, antara
lain: (a) konjungsi subordinatif waktu: sesudah, setelah, sebelum, sehabis,
sejak, selesai, ketika, tatkala, sewaktu, sementara, sambil, seraya, selagi,
selama, sehingga, sampai; (b) konjungsi subordinatif syarat: jika, kalau,
jikalau, asal(kan), bila, manakala; (c) konjungsi subordinatif pengandaian:
andaikan, seandainya, umpamanya, sekiranya; (d) konjungsi subordinatif
tujuan: agar, supaya, agar supaya, biar; (e) konjungsi subordinatif
konsesif: biarpun, meski(pun), sekalipun, walau(pun), sungguhpun,
kendati(pun). (f) konjungsi subordinatif pemiripan: seakan-akan, seolah-
olah, sebagaimana, seperti, sebagai, laksana; (g) konjungsi subordinatif
penyebaban: sebab, karena, oleh karena; (h) konjungsi subordinatif
pengakibatan: (se)hingga, sampai(-sampai), maka(nya); (i) konjungsi
subordinatif penjelasan: bahwa; (j) konjungsi subordinatif cara: dengan.
commit to user
24
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(3) konjungsi korelatif, yaitu konjungsi yang menghubungkan dua kata,


frasa atau klausa; dan kedua unsur itu memiliki status sintaktis yang sama.
(4) konjungsi antarkalimat, yaitu konjungsi yang menghubungkan satu
kalimat dengan kalimat lain. Oleh karena itu, konjungsi semacam itu selalu
memulai suatu kalimat yang baru dan tentu saja huruf pertamanya ditulis
dengan huruf kapital (5) konjungsi antarparagraf, yaitu konjungsi yang
memulai suatu paragraf.

b. Kohesi Leksikal
Kohesi leksikal adalah hubungan semantis antarunsur pembentuk wacana
dengan memanfaatkan unsur leksikal atau kata. Kohesi leksikal dapat
diwujudkan reiterasi dan kolokasi.
Reiterasi adalah pengulangan kata-kata pada kalimat berikutnya untuk
memberikan penekanan bahwa kata-kata tersebut merupakan fokus
pembicaraan. Reiterasi dapat berupa repetisi, sinonimi, hiponimi, metonimi,
dan antonimi. Hal ini sejalan dengan pendapatnya Candrawati (2008:16) yang
berpendapat bahwa hubungan antara kalimat pembentuk wacana dapat
dinyatakan dengan pertalian antara unsur-unsur leksikal yang terdapat di dalam
kalimat-kalimat itu. Pertalian antarleksikal itu ada lima jenis, yaitu (1) repetisi,
(2) sinonimi, (3) antonimi, (4) hiponimi, dan (5) kolokasi.
1) Repetisi
Repetisi adalah pengulangan kata yang sama (Kushartanti,dk., 2007:99).
Sejalan dengan pengertian di atas, Rani, dkk., (2006:130) menyatakan
bahwa repetisi atau ulangan merupakan salah satu cara untuk
mempertahankan hubungan kohesif antarkalimat. Hubungan itu dibentuk
dengan mengulang sebagian kalimat. Pengulangan itu berarti
mempertahankan ide atau topik yang sedang dibicarakan. Dengan
mengulang, berarti terkait antara topik kalimat yang satu dengan kalimat
sebelumnya yang diulang.
Sumarlam (2003:35) menyatakan bahwa repetisi adalah pengulangan
satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat) yang dianggap
commit to user
25
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai.


Berdasarkan tempat satuan lingual yang diulang dalam baris, klausa atau
kalimat, repetisi dapat dibedakan menjadi delapan macam, yaitu repetisi
epizeuksis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis,
dan anadiplosis.
(1) Repetisi Epizeuksis
Repetisi epizeuksis ialah pengulangan satuan lingual (kata) yang
dipentingkan beberapa kali secara berturut-turut.
(2) Repetisi Tautotes
Repetisi tautotes ialah pengulangan satuan lingual (sebuah kata)
beberapa kali dalam sebuah konstruksi.
(3) Repetisi Anafora
Repetisi anafora ialah pengulangan satuan lingual berupa kata atau
frasa pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya. Pengulangan
pada tiap baris biasanya terjadi dalam puisi, sedangkan pengulangan
pada tiap kalimat terdapat dalam prosa.
(4) Repetisi Epistrofa
Repetisi epistrofa ialah pengulangan satuan lingual kata/frasa pada
akhir baris (dalam puisi) atau akhir kalimat (dalam prosa) secara
berturut-turut.
(5) Repetisi Simploke
Repetisi simploke ialah pengulangan satuan lingual pada awal dan
akhir beberapa baris/kalimat berturut-turut.
(6) Repetisi Mesodiplosis
Repetisi mesodiplosis ialah pengulangan satuan lingual di tengah-
tengah baris atau kalimat secara berturut-turut.
(7) Repetisi Epanalepsis
Repetisi epanalepsis ialah pengulangan satuan lingual yang kata/frasa
terakhir dari baris/kalimat itu merupakan pengulangan kata/frasa
pertama.

commit to user
26
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(8) Repetisi Anadiplosis


Repetisi anadiplosis ialah pengulangan kata/frasa terakhir dari
baris/kalimat itu menjadi kata/frasa pertama pada baris/kalimat
berikutnya.
2) Sinonimi
Chaer (1994:297) berpendapat bahwa sinonim atau sinonimi adalah
hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu
satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya.
Kushartanti, dkk., (2007:99) menyatakan bahwa sinonimi adalah
hubungan antarkata yang memiliki makna sama. Menurut Darmojuwono,
ada beberapa hal yang menyebabkan munculnya kata-kata yang
bersinonimi, seperti kata-kata yang berasal dari bahasa daerah, bahasa
nasional, dan bahasa asing (dalam Kushartanti, dkk., 2007:119).
Sumarlam (2003:39) menyatakan bahwa sinonimi adalah salah satu
aspek leksikal untuk mendukung kepaduan wacana. Sinonimi berfungsi
menjalin hubungan makna yang sepadan antara satuan lingual tertentu
dengan satuan lingual lain dalam wacana.
Berdasarkan wujud satuan lingualnya, sinonimi dapat dibedakan
menjadi lima macam, yaitu (1) sinonimi antara morfem (bebas) dengan
morfem (terikat), (2) kata dengan kata, (3) kata dengan frasa atau
sebaliknya, (4) frasa dengan frasa, (5) klausa/kalimat dengan
klausa/kalimat.
3) Antonimi (Lawan Kata)
Istilah antonimi (Inggris: antonymy berasal dari bahasa Yunani Kuno
onoma = nama, dan anti = melawan). Makna harfiahnya, nama lain untuk
benda yang lain. Verhaar (dalam Pateda,
adalah ungkapan (biasanya kata, tetapi dapat juga frasa atau kalimat) yang

Chaer (1994:299) menyatakan bahwa antonim atau antonimi adalah


hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang maknanya

commit to user
27
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

menyatakan kebalikan, pertentangan atau kontras antara yang satu dengan


yang lainnya.
Antonimi adalah hubungan antarkata yang beroposisi makna
(Kushartanti, dkk., 2007:99).
Sumarlam (2003:40) menyatakan bahwa antonimi dapat diartikan
sebagai nama lain untuk benda atau hal yang lain atau satuan lingual yang
maknanya berlawanan/beroposisi dengan satuan lingual yang lain.
Antonimi disebut juga oposisi makna. Pengertian oposisi makna mencakup
konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang hanya kontras
makna saja.
Berdasarkan sifatnya, oposisi makna dapat dibedakan menjadi lima
macam, yaitu (1) oposisi mutlak, (2) oposisi kutub, (3) oposisi hubungan,
(4) oposisi hirarkial, dan (5) oposisi majemuk. Oposisi makna atau
antonimi juga merupakan salah satu aspek leksikal yang mampu
mendukung kepaduan makna wacana secara semantis.
(1) Oposisi mutlak
Oposisi mutlak adalah pertentangan makna secara mutlak, misalnya
oposisi antara kata hidup dengan kata mati, dan oposisi antara bergerak
dengan diam.
(2) Oposisi kutub
Oposisi kutub adalah oposisi makna yang tidak bersifat mutlak,
tetapi bersifat gradasi. Artinya, terdapat tingkatan makna pada kata-kata
tersebut.
(3) Oposisi hubungan
Oposisi hubungan adalah oposisi makna yang bersifat saling
melengkapi. Karena oposisi ini bersifat saling melengkapi maka kata
yang satu dimungkinkan ada kehadirannya karena kehadiran kata yang
lain yang menjadi oposisinya atau kehadiran kata yang satu disebabkan
oleh adanya kata yang lain.

commit to user
28
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(4) Oposisi hirarkial


Oposisi hirarkial adalah oposisi makna yang menyatakan dengan
jenjang atau tingkatan. Satuan lingual yang beroposisi hirarkial pada
umumnya kata-kata yang menunjuk pada nama-nama satuan ukuran
(panjang, berat, isi), nama satuan hitungan, penanggalan dan sejenisnya.
(5) Oposisi majemuk
Oposisi majemuk adalah oposisi makna yang terjadi pada beberapa
kata (lebih dari dua). Perbedaan antara oposisi majemuk dengan oposisi
kutub terletak pada ada tidaknya gradasi yang dibuktikan dengan
dimungkinkannya bersanding dengan kata agak, lebih, dan sangat pada
oposisi kutub, dan tidak pada oposisi majemuk. Adapun perbedaannya
dengan oposisi hirarkial, pada oposisi hirarkial terdapat makna yang
menyatakan jenjang atau tingkatan yang secara realitas tingkatan yang
lebih tinggi atau lebih besar selalu mengasumsikan adanya tingkatan
yang lebih rendah atau lebih kecil.
4) Hiponimi
Istilah hiponimi (Inggris: hyponymy berasal dari bahasa Yunani Kuno
onoma = nama, dan hypo = di bawah). Secara harfiah istilah hiponimi
bermakna nama yang termasuk di bawah nama lain. Menurut Verhaar

biasanya atau kiranya dapat juga frasa atau kalimat) yang maknanya

Chaer (1994:305) hiponimi adalah hubungan semantik antara sebuah


bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam makna ujaran yang lain.
Pendapat lain, hiponimi adalah hubungan antara kata yang bermakna
spesifik dan kata yang bermakna generik (Kushartanti, dkk., 2007: 99).
Sumarlam (2003:45) menyatakan bahwa hiponimi dapat diartikan
sebagai satuan bahasa (kata, frasa, kalimat) yang maknanya dianggap
merupakan bagian dari makna satuan lingual yang lain. Unsur atau satuan

commit to user
29
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

lingual yang mencakupi beberapa unsur atau satuan lingual yang

Hubungan antarunsur bawahan atau antarkata yang menjadi anggota

hubungan antarunsur atau antarsatuan lingual dalam wacana secara


semantis, terutama untuk menjalin hubungan makna atasan dan bawahan,
atau antara unsur yang mencakupi dan unsur yang dicakupi.
5) Metonimi
Metonimi adalah hubungan antara nama untuk benda yang lain yang
berasosiasi atau yang menjadi atributnya (Kushartanti, dkk., 2007: 99).
6) Kolokasi
Kolokasi adalah hubungan antarkata yang berada pada lingkungan
atau bidang yang sama.
Sumarlam (2003:44) menyatakan bahwa kolokasi atau sanding kata
adalah asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata yang cenderung
digunakan secara berdampingan. Kata-kata yang berkolokasi adalah kata-
kata yang cenderung dipakai dalam suatu domain atau jaringan tertentu.
Misalnya, dalam jaringan pendidikan akan digunakan kata-kata yang
berkaitan dengan masalah pendidikan dan orang-orang yang terlibat di
dalamnya; dalam jaringan usaha (pasar) akan digunakan kata-kata yang
berkaitan dengan permasalahan pasar dan partisipan yang berperan di
dalam kegiatan tersebut. Kata-kata seperti guru, murid, buku, sekolah,
pelajaran, dan alat tulis merupakan contoh kata-kata yang cenderung
dipakai secara berdampingan dalam domain sekolah atau jaringan
pendidikan; kata-kata penjual, pembeli, jual, beli, dagangan, warung, kios,
toko, rugi, dan laba dipakai dalam jaringan pasar, sedangkan kata-kata
lahan, sawah, petani, benih, padi, dan panen, dipakai dalam jaringan
pertanian.

commit to user
30
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

7) Ekuivalensi (kesepadanan)
Sumarlam (2003:46) menyatakan bahwa ekuivalensi adalah hubungan
kesepadanan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain
dalam sebuah paradigma. Dalam hal ini, sejumlah kata hasil proses
afiksasi dari morfem asal yang sama menunjukkan adanya hubungan
kesepadanan. Misalnya, hubungan makna antara kata membeli, dibeli,
membelikan, dibelikan, dan pembeli, semuanya dibentuk dari bentuk asal
yang sama yaitu beli. Demikian pula belajar, mengajar, pelajar, pengajar,
dan pelajaran yang dibentuk dari bentuk asal ajar juga merupakan
hubungan ekuivalensi.

4. Hakikat Koherensi
Koherensi adalah keberterimaan suatu tuturan atau teks karena kepaduan
semantisnya (Kushartanti, dkk., 2007:101). Secara lebih spesifik, koherensi
diartikan sebagai hubungan antara teks dan faktor di luar teks berdasarkan
pengetahuan seseorang. Pengetahuan seseorang yang berada di luar teks itu sering
disebut konteks bersama (shared-context) atau pengetahuan bersama (shared-
knowledge).
Widdowson menyatakan bahwa dengan menggunakan peranti kohesi
diharapkan sebuah wacana dapat menjadi koherensi. Hal ini senada dengan
pendapat (2012:92) yang menyatakan bahwa Cohesive
devices, along with the interpretation of readers, are used to make a text
more coherent. General cohesion devices in a legal text are: reference,
conjunctions, substitution,ellipsis and lexical cohesion. Jadi, penggunaan peranti
kohesi dan interpretasi pembaca dapat digunakan untuk membuat teks menjadi
koheren, peranti kohesi yang dapat digunakan antara lain: referensi, konjungsi,
substitusi, elipsis dan konjungsi leksikal. Istilah koherensi mengacu pada aspek
tuturan, bagaimana proposisi yang terselubung disimpulkan untuk
menginterpretasikan tindakan ilokusinya dalam membentuk sebuah wacana
(dalam Rani,dkk., 2006:134). Proposisi-proposisi di dalam suatu wacana dapat
commit to user
31
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

membentuk suatu wacana yang runtut (koheren) meskipun tidak terdapat


pemarkah penghubung kalimat yang digunakan. Dengan kata lain, koherensi
sebuah wacana tidak hanya terletak pada adanya peranti kohesi.
Labov (dalam Kaswanti Purwo, 1993:41) menyatakan bahwa suatu
ujaran dikenal sebagai koheren atau tidak dengan ujaran lain di dalam percakapan
bukan karena hubungannya antara yang satu dengan yang lain, tetapi dengan
adanya reaksi tindak ujaran yang terdapat dalam ujaran kedua terhadap ujaran
sebelumya.
Brown dan Yule (dalam Mulyana, 2003:30) menegaskan bahwa
koherensi berarti kepaduan dan keterpahaman antarsatuan dalam suatu teks atau
tuturan. Dalam struktur wacana, aspek koherensi sangat diperlukan
keberadaannya untuk menata pertalian batin antara proposisi yang satu dengan
yang lainnya untuk mendapatkan keutuhan. Keutuhan yang koheren tersebut
dijabarkan oleh adanya hubungan-hubungan makna yang terjadi antarunsur
(bagian) secara semantis. Hubungan tersebut kadang terjadi melalui alat bantu
kohesi, namun kadang-kadang dapat terjadi tanpa bantuan alat kohesi.
Keberadaan unsur koherensi sebenarnya tidak pada satuan teks semata
(secara formal), melainkan juga pada kemampuan pembaca/pendengar dalam
menghubungkan makna dan menginterpretasikan suatu bentuk wacana yang
diterimanya. Jadi, kebermaknaan unsur koherensi sesungguhnya bergantung
kepada kelengkapan yang serasi antara teks (wacana) dengan pemahaman
petutur/pembaca.
Koherensi adalah cara bagaimana komponen-komponen wacana, yang
berupa kofigurasi konsep dan hubungan menjadi relevan dan saling mengait. Ada
beberapa cara untuk menjalin hubungan itu, yaitu 1) hubungan logis, 2) hubungan
sebab akibat, 3) hubungan kewaktuan (Samsuri dalam Pranowo, 1996:27).
Mulyana (2003:31) menyatakan bahwa pada dasarnya hubungan
koherensi adalah suatu rangkaian fakta dan gagasan yang teratur dan tersusun
secara logis. Koherensi dapat terjadi secara implisit (terselubung) karena berkaitan
dengan bidang makna yang memerlukan interpretasi.

commit to user
32
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Beberapa bentuk atau jenis hubungan koherensi dalam wacana yang telah

bahwa yang termasuk unsur-unsur koherensi wacana di antaranya mencakup:


unsur penambahan, repetisi, pronomina, sinonim, totalitas-bagian, komparasi,
penekanan, kontras, simpulan, contoh, paralelisme, lokasi anggota, dan waktu.
M. Ramlan (dalam Mulyana, 2003:32) merinci hubungan antarbagian
dalam wacana yang bersifat koheren, yaitu sebagai berikut. (1) Hubungan
penjumlahan. (2) Hubungan perturutan. (3) Hubungan perlawanan. (4) Hubungan
lebih. (5) Hubungan sebab-akibat. (6) Hubungan waktu. (7) Hubungan syarat. (8)
Hubungan cara. (9) Hubungan kegunaan. (10) Hubungan penjelasan.
Sementara itu, menurut Harimurti Kridalaksana (dalam Mulyana,
2003:32) mengemukakan bahwa hubungan koherensi wacana sebenarnya adalah

struktural, hubungan itu direpresentasikan oleh pertautan secara semantis antara


kalimat (bagian) yang satu dengan kalimat lainnya. Hubungan maknawi ini
kadang-kadang ditandai oleh alat-alat leksikal, namun kadang-kadang tanpa
penanda. Hubungan semantis yang dimaksud antara lain adalah sebagai berikut.
1) Hubungan sebab-akibat
ngapa sampai terjadi

akibat.
2) Hubungan sarana-hasil

3) Hubungan alasan-sebab

4) Hubungan sarana-tujuan

-hasil, dalam
hubungan sarana tujuan, belum tentu tujuan tersebut tercapai.
5) Hubungan latar-kesimpulan
commit to user
33
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

6) Hubungan kelonggaran-hasil
Salah satu bagian kalimat menyatakan kegagalan suatu usaha.

7) Hubungan syarat-hasil

memperoleh
8) Hubungan perbandingan
Salah satu bagian kalimat menyatakan perbandingan dengan bagian kalimat
yang lain.
9) Hubungan parafrastis
Salah satu bagian kalimat mengungkapkan isi dari bagian kalimat dengan cara
lain.
10) Hubungan amplikatif
Salah satu bagian kalimat memperkuat atau memperjelas bagian kalimat
lainnya.
11) Hubungan aditif waktu (simultan dan beruntun)
12) Hubungan aditif non waktu
13) Hubungan identifikasi
Salah satu bagian kalimat menjadi penjelas identifikasi dari sesuatu istilah
yang ada di bagian kalimat lainnya.
14) Hubungan generik-spesifik
15) Hubungan ibarat
Salah satu bagian kalimat memberikan gambaran perumpamaan (ibarat).
Dalam tataran analisis wacana, kajian tentang koherensi merupakan hal
mendasar dan relatif paling penting. Berkaitan dengan hal itu, Labov (Mulyana,
the fundamental problem of discourse analysis is to
show how one utterance follows another in a rational, rule-governed in other
Yaitu bahwa pokok
permasalahan dalam analisis wacana adalah bagaimana mengungkapkan
commit to user
34
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

hubungan-hubungan rasional dan kaidah-kaidah perihal cara terbentuknya tuturan-


tuturan yang koheren.
Dengan demikian, secara ringkas dapat dikatakan bahwa kohesi sebagai
jalinan hubungan bentuk bahasa, sedangkan koherensi merupakan jalinan isi yang
terkandung di dalam bentuk bahasa. Kohesi dan koherensi tidak dapat terpisahkan
satu dengan yang lainnya. Dua istilah ini merupakan satu kesatuan yang selalu
melekat. Sebuah teks terutama teks tulis memerlukan unsur pembentuk teks.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan


pengertian koherensi adalah hubungan yang serasi antara makna yang satu dengan
makna yang lainnya.

5. Hakikat Tajuk Rencana


a. Pengertian Tajuk Rencana
Tajuk rencana merupakan opini media massa terhadap suatu fenomena
yang sedang berkembang di masyarakat. Tajuk rencana, ada juga yang

Sebutan ini, sama halnya dengan pendapat Mappau (2010:47) menyatakan bahwa
sebutan lain untuk Tajuk Rencana ialah Editorial Media Indonesia (EDMI) yang
termasuk ke dalam jenis atau kolom opini. Sebelum ada istilah tajuk rencana,
koran- g
HoofdArtike
Leaders News
Indonesia, karangan WJS Purwodarminto, tajuk rencana diartikan sebagai induk
karangan pada surat kabar/majalah (dalam Djuroto, 2000:77).
Djuroto (2000:77) menyatakan bahwa tajuk rencana merupakan sikap,
pandangan penerbit terhadap masalah-masalah yang sedang hangat dibicarakan
masyarakat. Menulis tajuk memerlukan situasi dan kondisi tertentu yang sangat
dipengaruhi oleh peristiwa atau kejadian dalam penerbitan sehari-hari. Tajuk tidak
bisa mengupas suatu kejadian yang sudah lama berlangsung. Tajuk juga
menggambarkan falsafah dan pandangan hidup dari penerbitnya.
commit to user
35
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Editorial Writing yang dikutip oleh

merupakan pernyataan mengenai fakta dan opini secara singkat, logis, menarik
ditinjau dari segi penulisan dan bertujuan untuk memengaruhi pendapat atau
memberikan interpretasi terhadap suatu berita yang menonjol sebegitu rupa
sehingga bagi kebanyakan pembaca surat kabar akan menyimak pentingnya arti
berita yang ditajukkan tadi (dalam Djuroto, 2000:78).
Sumadiria (2006:7) menyatakan bahwa tajuk rencana atau editorial
adalah opini berisi pendapat dan sikap resmi suatu media sebagai institusi
penerbitan terhadap persoalan aktual, fenomenal, dan atau kontroversial yang
berkembang dalam masyarakat. Tajuk rencana bukan merupakan karya pribadi
atau perseorangan, melainkan karya lembaga penerbitan. Opini yang ditulis pihak
redaksi diasumsikan mewakili sekaligus mencerminkan pendapat dan sikap resmi
media pers bersangkutan secara keseluruhan sebagai suatu lembaga penerbitan
media berkala. Suara tajuk rencana bukanlah suara perorangan atau pribadi-
pribadi yang terdapat di jajaran redaksi atau di bagian produksi dan sirkulasi,
melainkan suara kolektif seluruh wartawan dan karyawan dari suatu lembaga
penerbitan pers.
Assegaf (dalam Jauhari, 2009: 215) berpendapat agar sebuah tulisan
termasuk tajuk rencana harus ada lima unsur, yaitu tajuk harus menyatakan suatu
pendapat; pendapat itu harus logis dan sistematis; pemaparannya harus singkat;
menarik untuk dibaca; dan dapat memengaruhi para pembuat kebijakan dalam
pemerintah atau lembaga lainnya dan masyarakat.

b. Jenis Tajuk Rencana


Djuroto (2000:78) tajuk rencana biasanya ditulis secara panjang untuk
memberikan kesempatan kepada penulisnya memasukkan analisis dan
menguraikan permasalahan yang ingin diungkapkannya. Tajuk rencana memunyai
kebebasan dalam menguraikan masalah maka ada beberapa fungsi mengapa tajuk
rencana itu sepertinya mutlak harus dimiliki oleh penerbitan pers, khususnya surat
kabar dan majalah. Jenis tajuk rencana antara lain:
commit to user
36
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

a. meramalkan (forcasting). Penulis tajuk rencana jenis ini, bisa memasukkan


imajinasinya untuk memprediksi atau meramal kejadian-kejadian yang akan
datang berdasarkan informasi yang melatarbelakangi ditulisnya tajuk rencana
ini.
b. memaparkan (interpretating). Penulisan tajuk rencana bisa digunakan untuk
memaparkan kembali berita atau peristiwa yang kurang jelas dalam pemuatan
penerbitannya. Di sini, penulis tajuk bisa berfungsi sebagai guide dalam
memperjelas informasi pemberitaannya.
c. mengungkapkan (eksplorating). Selain bersandar pada informasi pemberitaan
penerbitannya, penulis tajuk rencana bisa mengangkat permasalahan yang
dihadapi oleh masyarakat sebagai sumber informasinya. Penulis tajuk seperti
ini harus mempunyai kepekaan dalam menjaring aspirasi masyarakat.

c. Fungsi Tajuk Rencana


Jauhari (2009:215) adapun fungsi tajuk rencana, yaitu (1) menjelaskan
berita-berita yang dianggap penting, (2) menjelaskan latar belakang terjadinya
suatu masalah atau peristiwa, (3) meramalkan masa depan berdasarkan masalah
atau peristiwa yang sedang terjadi, dan (4) menyampaikan pertimbangan moral
berdasarkan kebenaran yang bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat.
Tajuk rencana yang baik adalah yang memunyai wawasan luas dan dapat
memprediksi masa depan. Ia harus bisa memberikan beberapa pilihan pemikiran
untuk membahas suatu masalah. Tajuk rencana bisa mengkritik, mempertanyakan,
mendukung atau bahkan mencela keputusan yang diambil oleh penguasa atau
pemikiran yang timbul di tengah masayarakat. Oleh karena itu, tidak jarang jika
tajuk rencana dipakai oleh para pengambil keputusan untuk menentukan langkah
dalam menghadapi permasalahan yang ada (Djuroto, 2000:78).

commit to user
37
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

6. Hakikat Pembelajaran Bahasa Indonesia


a. Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran adalah proses interaksi antara peserta didik dengan
lingkungannya sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik
(Kunandar, 2009:287). Dalam pembelajaran, tugas guru yang paling utama adalah
mengondisikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan perilaku bagi
peserta didik. Pembelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan adalah
pembelajaran di mana hasil belajar atau kompetensi yang diharapkan dicapai oleh
siswa, sistem penyampaian, dan indikator pencapaian hasil belajar dirumuskan
secara tertulis sejak perencanaan dimulai. Secara khusus pembelajaran Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan ditujukan untuk: (1) memperkenalkan kehidupan
kepada peserta didik sesuai dengan konsep yang dicanangkan UNESCO, yakni
learning to know (belajar mengetahui), learning to do (belajar melakukan),
learning to be (belajar menjadi diri sendiri), learning to live together (belajar
hidup dalam kebersamaan); (2) menumbuhkan kesadaran peserta didik tentang
pentingnya belajar dalam kehidupan yang harus direncanakan dan dikelola dengan
sistematis; (3) memberikan kemudahan belajar (facilitate of learning) kepada
peserta didik agar mereka dapat belajar dengan tenang dan menyenangkan; (4)
menumbuhkan proses pembelajaran yang kondusif bagi tumbuh kembangnya
potensi peserta didik melalui penanaman berbagai kompetensi dasar.

b. Hakikat Pembelajaran bahasa Indonesia di SMP


Mujiono (2012:27) menyatakan bahwa dalam pembelajaran bahasa,
orang mengenal keterampilan reseptif dan keterampilan produktif. Keterampilan
reseptif meliputi: keterampilan listening dan keterampilan reading, sedangkan
keterampilan produktif meliputi keterampilan speaking dan keterampilan writing.
Agar dapat menguasai keterampilan tersebut di atas dengan baik maka siswa perlu
dibekali dengan unsur-unsur bahasa. Penguasaan kosakata hanya merupakan salah
satu unsur yang diperlukan dalam penguasaan keterampilan berbahasa. Tata
bahasa merupakan unsur pendukung yang dapat membantu siswa dalam
penguasaan keterampilan berbahasa.
commit to user
38
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Pembelajaran bahasa Indonesia memunyai ruang lingkup dan tujuan


yang menumbuhkan kemampuan mengungkapkan pikiran dan perasaan dengan
menggunakan bahasa yang baik dan benar. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia
tidak hanya mengajarkan tentang materi kesastraan saja, tetapi juga mengajarkan
tentang materi kebahasaan. Keduanya telah disusun dengan porsi yang seimbang,
sehingga tidak ada salah satu bidang yang diunggulkan. Pembelajaran bahasa
Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk
berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan
maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan
manusia Indonesia.
Standar kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia merupakan
kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan
pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra
Indonesia. Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi peserta didik untuk
memahami dan merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global.
Dengan standar kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia ini
diharapkan (1) peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan
kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan
terhadap hasil karya kesastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri; (2) guru dapat
memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa peserta didik
dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa dan sumber belajar; (3) guru
lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan dan
kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta
didiknya; (4) orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam
pelaksanaan program kebahasaan daan kesastraan di sekolah; (5) sekolah dapat
menyusun program pendidikan tentang kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan
keadaan peserta didik dan sumber belajar yang tersedia; (6) daerah dapat
menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan
kondisi dan kekhasan daerah dengan tetap memerhatikan kepentingan nasional.
Mata pelajaran bahasa Indonesia bertujuan agar peserta didik memiliki
kemampuan sebagai berikut. (1) Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai
commit to user
39
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis. (2) Menghargai dan
bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa
negara. (3) Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan
kreatif untuk berbagai tujuan. (4) Menggunakan bahasa Indonesia untuk
meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial.
(5) Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan,
memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
berbahasa. (6) Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah
budaya dan intelektual manusia Indonesia.

B. PENELITIAN YANG RELEVAN


Hasil penelitian sebelumnya yang relevan dan dapat dijadikan acuan serta
masukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Herdiana Siswanto dalam judul

Kajiannya mendeskripsikan jenis kohesi dan koherensi dalam sebuah Novel.


Berdasarkan penelitiannya ditemukan ada dua, yaitu kohesi gramatikal dan
kohesi leksikal. Penanda kohesi gramatikal meliputi referensi (penunjukan),
substitusi (penyulihan), konjungsi (perangkaian). Penanda kohesi leksikal
meliputi repetisi (pengulangan), sinonimi (padan kata), antonimi (lawan
kata), hiponimi (hubungan atas-bawah), kolokasi (sanding kata) dan
ekuivalensi (kesepadanan). Sedangkan jenis koherensi yang ditemukan dalam
wacana novel IKD Karya S.H. Puruso yaitu koherensi berupa koherensi yang
bermakna sebab-akibat, bermakna penekanan, bermakna lokasi, penambahan,
penyimpulan, dan pertentangan.
Persamaan yang ada dengan penelitian ini, yaitu sama-sama meneliti
kohesi dan koherensi. Perbedaan yang ada dalam penelitian ini, yaitu objek
kajiannya. Penelitian yang dilakukan oleh Herdiana Siswanto objek kajiannya
berupa novel, sedangkan objek penelitian saya berupa surat kabar.

commit to user
40
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2.

kepaduan bentuk atau kohesi yang dapat digunakan dalam analisis wacana
Dadaisme yaitu gramatikal dan leksikal. Penanda aspek gramatikal dapat
ditentukan antara lain: referensi yang meliputi referensi persona, referensi
demonstratif, dan referensi komparatif; substitusi; elipsis. Adapun penanda
aspek leksikal antara lain : repetisi, sinonim dan ekuivalensi. Alat yang
digunakan untuk mendukung koherensi antara lain : hubungan sebab-akibat,
hubungan alasan-akibat, hubungan sarana-tujuan, hubungan latar-kesimpulan.
Persamaan yang ada dengan penelitian ini, yaitu sama-sama meneliti
kohesi dan koherensi. Perbedaan yang ada dalam penelitian ini, yaitu objek
kajiannya. Penelitian yang dilakukan oleh Dewi Sulistyawati objek kajiannya
berupa novel, sedangkan objek penelitian saya berupa surat kabar.
3.
Glanggang Remaja Rubrik Tekno dalam Majalah Panjebar Semangat (Kajian

ditemukan kohesi gramatikal pada wacana Glanggang Remaja Rubrik Tekno


dalam Majalah Panjebar Semagat berupa: 1) pengacuan, 2) Substitusi
(penyuluhan); substitusi frasal dan substitusi klausal; 3) Elipsis (pelesapan);
4) conjuntion (perangkaian). Sedangkan, kohesi leksikal pada wacana
Glanggang Remaja Rubrik Tekno dalam Majalah Panjebar Semangat berupa:
1) Repetisi (pengulangan) di antaranya repetisi epizeuksis dan repitisi
tautotes; 2) Sinonimi (padan kata), 3) Kolokasi (sanding kata), 4) Hiponimi
(hubungan atas-bawah, 5) Antonimi (lawan kata), 6) Ekuivalensi
(kesepadanan). Penanda koherensi yang ditemukan pada wacana Glanggang
Remaja Rubrik Tekno dalam Majalah Panjebar Semangat, yaitu penanda
koherensi yang berupa 1) penekanan, 2) simpulan, 3) contoh.
Berdasarkan penelitian telah dilakukan oleh Siti Marfuah Nur Khasanah
Ariyani terdapat persamaan dan perbedaan dalam penelitian kali ini.
Persamaannya terletak pada sama-sama mengkaji tentang kohesi dan
koherensi yang terdapat dalam media cetak, penelitian yang dilakukan oleh
commit to user
41
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Marfuah objeknya Majalah Penyebar Semangat, sedangkan objek dalam


penelitian ini adalah rubrik Tajuk Rencana dalam Surat Kabar Solopos.

C. KERANGKA BERPIKIR
Hal pertama yang akan diteliti untuk mengetahui keutuhan wacana tulis
(yakni Tajuk Rencana surat kabar Solopos) adalah aspek kohesi. Analisis terhadap
kohesi ada dua macam, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Ada tiga
unsur dalam kohesi gramatikal, yaitu referensi atau pengacuan, elipsis atau
pelesapan, dan konjungsi atau penghubung. Sementara itu, unsur yang ada dalam
kohesi leksikal dibedakan menjadi 4, yaitu repetisi atau pengulangan, sinonimi
atau padan kata, antonimi atau lawan kata, dan ekuivalensi atau kesepadanan.
Selain menganalisis dari aspek kohesi untuk mengetahui keutuhan wacana
tulis, juga dilakukan analisis terhadap aspek koherensi. Aspek koherensi
ditunjukkan dengan pemakaian peranti kohesi, baik kohesi gramatikal maupun
kohesi leksikal yang memiliki peran dalam pembentukan teks dalam wacana,
sehingga wacana tersebut dapat tersusun secara koheren.
Setelah menganalisis aspek kohesi dan koherensi maka akan diketahui
bagaimana keutuhan wacana tulis pada Tajuk Rencana. Langkah selanjutnya
adalah mencari jawaban mengenai hubungan wacana pada Tajuk Rencana dalam
surat Kabar Solopos dengan pembelajaran, yaitu dapat digunakan sebagai
alternatik bahan ajar.
Alur berpikir penelitian ini dapat diperjelas dengan melihat bagan alur
kerangka berpikir. Berikut bagan alur kerangka berpikir dalam penelitian ini.

commit to user
42
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Wacana Tulis (Tajuk Rencana)

Kohesi Koherensi

Gramatikal Leksikal

referensi repetisi
elipsis sinonimi
konjungsi antonimi
ekuivalensi

Keutuhan wacana pada rubrik wacana

Simpulan

Gambar 3. Bagan Alur Kerangka Berpikir

commit to user
43

Anda mungkin juga menyukai