Anda di halaman 1dari 3

Resensi Buku : A Cup Of Tea

Penulis : Gita Savitri Devi

Penerbit : Gagas Media

Terbit : 2020

Jumlah hal : viii + 164 hlm (softcover)

Blurb :

“Mulut lo nggak sesuai sama jilbab lo”

“Sekolah di Jerman tapi akhlaknya nol”

“Bad influencer! Di mana manner lho?!”

“Halah banyak bacot lo. Dasar attention seeker!”

“Lo nggak dididik dengan benar sama orang tua lo.”

Kita nggak butuh pisau untuk membunuh seseorang. Kata-kata yang ditujukan ke gue itu
tentu bikin gue down. Semuanya ingin gue hilangkan dari ingatan, tapi nggak pernah berhasil.
Nggak mengacuhkan omongan orang lain ternyata nggak mudah. Gue udah coba segala cara; self-
healing, curhat ke teman, curhat ke psikolog, semuanya. Namun, sampai sekarang kejadian itu
masih terasa fresh di otak, seakan-akan baru kemarin menimpa gue.

Cyber bullying ini salah satu yang gue ceritakan di A Cup of Tea. Selain itu, gue menuliskan
tentang perpisahan yang gue lewati, perjalanan yang mengubah diri, kehidupan setelah pernikahan,
hingga kebahagiaan yang gue cari. Lewat buku ini gue berharap kita mendapat kekuatan untuk terus
jalan, dan mencari untuk menemukan. "We are a fighter. Don't let other people say otherwise."

Ulasan :

A Cup Of Tea merupakan kumpulan kisah hidup dari penulisnya sendiri, Gita Savitri Devi
(atau biasa dipanggil Gitasav). Bahasa yang digunakan ringan sehingga buku ini bisa diselesaikan
dalam sekali duduk ataupun bisa dijadikan bahan bacaan selama perjalanan atau saat menunggu
sesuatu. Bahasannya sendiri variatif, tetapi tetap

Membahas topik yang berbeda-beda pada setiap ceritanya :

- Misi Pribadi = asal mula kenapa gita mau traveling


- Keseimbangan = struggle gita selama jadi mahasiswa jerman, “move out” dari zona nyaman
- Pertanyaan = pertanyaan2 gita mengenai hidup (not philosophycal one)
- Perpisahan = bagaimana gita bersikap ketika mengalami perpisahan
- Perbedaan = her thoughts on perbedaan manusia dan bagaimana dia menyikapinya dg bijak
- Menikah = her thought on marriege
- Mendengarkan = mendengar untuk memahami itu skill sosial yang krusial
- Words Cut Deeper Than Knives = isu buruknya cyber bullying
- Pursuit of Happiness = her thoughts and opinion on how to be happy
- Hijau = cerita tentang travelingnya gita dan misuh-misuh soal paspor indo
- Let There Be Spaces = membangun benteng karena rasa kekecewaan “detaching myself”
- To Discover Oneself = mengenal diri untuk mengekspresikan diri lebih baik
- Refleksi Akhir Dekade = yah, refleksi diiri

Tapi, gue diingatkan kembali pada satu ayat,

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” Qs 2:286

Sampai sekarang gue masih percaya bahwa cobaan adalah bentuk kasih sayang Tuhan kepada
hamba-Nya. Semata-mata agar kita tumbuh jadi manusia yang lebih kuat dan lebih bjaksana dari
sebelumnya. Yang menjadi tantangan adalah bagaimana caranya kita bisa selalu berbaik sangka
kepada-Nya, seberapa pun besarnya cobaan itu menerpa kita. Hal 42

Independent dan curious adalah dua kata yang gue pilih.

Di dalam hidup ini memang dua hal tersebut yang selalu gue kejar, kemandirian dan rasa ingin tahu
yang besar. Terdengar sepele, tapi gue percaya dua hal inilah yang membuat gue jadi bisa
menemukan tujuan hidup dan selanjutnya membantu untuk berjalan lebih jauh. hal 47

Traveling makes me feel whole. It makes me feel alive. Hal. 48

Gue orang yang kurang nyaman dengan konsep komitmen dengan orang lain dalam arti komitmen
“memiliki keterikatan lebih dalam secara emosional”. Energi gue gampang terkuras setelah
bersosialisasi apalagi dengan intens pakai emosi. Gue suka tiba-tiba butuh isolasi diri karena gue
butuh keheningan dan kedamaian tanpa satu pun benda hidup kecuali kucing. Gue ga suka dituntut
mengekspresikan kasih sayang sebagaimana kebanyakan cewek di masyarakat kita
mengekspresikan kasih sayang .. mungkin itu simply bukan love language gue kali ya?

Dan sejujurnya gue, regardless dia cewek atau cowok, gue suka dan nyaman banget sama orang
yang kalem. Gue nyaman-nyaman aja hidup sendiri dan nggak merasa hidupnya baru komplit kalau
udah nemu teman sehidup-semati.
Gue benci sih jadi damsel in distress.

Mungkin yang gue takutkan bukan komitmen terikat secara emosionalnya, tapi harus bergantung
secara emosional lebih jauh sama orang tersebut, di mana gue berubah jadi damsel in distress yang
harus di puk puk biar tenang dan berhenti nangis. (nggak ada yang salah sih sama itu, cuman
bertentangan sama ego gue) nyatanya malah gue cuman bisa hidup berdampingan sama orang yang
gue bisa merasa connected emotionally-intelectually-and-spiritually.

Sama kayak gita, gue juga sering banget ngebayangin skenario absurd yang belum tentu terjadi,
yang gue anggap bakal terjadi, dan akhirnya bikin gue skeptis sama realita yang ada.

Alih2 ngebully dan ngata2in, mending ngebuat bahasan atau counter-narasi mengenai kotra-
childfree dan intinya sih misal lo ga setuju soal childfree, ya bangun dong argumen lo dengan baik
untuk menyeimbangin argumen2 pro-childfree tapi tanpa nge gas dan ad hominem.

Empati manusia cenderung tertuju pada manusia lain yang serupa dengannya. Sementara pada
manusia yang oposisi dengannya, empati menjadi rendah dan mudah meng-humanisasi. Empati
seseorang itu pilih-pilih.

Di pagi hari yang cerah tapi dingin itu.

Anda mungkin juga menyukai