Anda di halaman 1dari 44

KRITIK TERHADAP TAREKAT

Kajian Terhadap Pemikiran Sayyid Usman bin Yahya

HALAMAN JUDUL

TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
Magister Agama dalam Bidang Pemikiran Islam

Di Susun Oleh:

Siti Suniah
(Nim. 12.2.00.1.02.01.0001)

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
2015
ii
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah atas segala nikmat dan karunia yang


Allah swt limpahkan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini
dalam rangka memperoleh gelar magister dalam ilmu pengkajian Islam
konsentrasi Pemikiran Islam pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan salam semoga dicurahkan untuk
baginda Nabi Muhammad SAW, juga untuk keluarga, sahabat, dan
umat yang setia menjalankan sunnah Rasul-Nya.
Selama perjalanan menulis tesis ini, penulis telah didukung
oleh berbagai pihak terutama yang telah membantu penulis baik dari
segi materi maupun nonmateri. Oleh karena itu, penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA, selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, beserta pembantu rektor dan staffnya yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti
perkuliahan program S1 dan S2 di kampus UIN Syarif
Hidayatullah.
2. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., selaku Direktur Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Suwito,
MA., selaku ketua Program Doktor, dan Dr. Yusuf Rahman, MA.,
selaku ketua Program Magister, yang telah memberikan arahan,
saran, dan motivasi kepada penulis, segala bentuk kritik dan
perbaikan tentunya beliau hanya berharap agar tesis ini berguna
dan bermanfaat untuk umat.
3. Prof. Dr. Yunasril Ali, MA., sebagai pembimbing yang begitu
sabar memberikan arahan, koreksi dalam penulisan, meluruskan
dan menyempurnakan pemikiran penulis hingga akhir tesis ini.
Semoga segala amal kebaikan serta keikhlasannya dalam mendidik,
Allah berikan nikmat kepada beliau yang tak terhingga.
4. Segenap Dosen Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, staf akademik, administrasi, perpustakaan yang telah
memberikan fasilitas, pemikiran, serta senyum yang setiap hari
menghiasi hari-hari kami di lingkungan Sekolah Pascasarjana UIN
Jakarta.

iii
5. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), Perpustakaan
Perancis, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), dan
perpustakaan ANRI yang bersedia mencopy seluruh data
manuskrip yang berkaitan dengan riwayat hidup Sayyid Usman bin
Yahya.
6. Muhammad Noupal, MA., yang telah memberikan penulis bigorafi
Sayyid Usman bin Yahya, Sulu>h Zaman dan Qamar al-Zaman.
Kala itu, penulis belum menemukan kedua kitab yang begitu
penting bagi penulisan ini, hingga beliau memberikannya dengan
cuma-cuma. Jazakallah.
7. Ayahanda, H. Dasuki dan Ibunda Hj. Sadiah yang telah mendidik
serta membesarkan penulis dengan tulus ikhlas, mengarahkan,
medo’akan, dan mendengarkan keluh kesah selepas kuliah. Semoga
Allah selalu menyayangi, melindungi, dan mempermudah segala
urusannya.
8. Ibu/Bapak Mertua, H. Musidi dan Ibu Zumaroh yang selalu
antusias memberikan semangat untuk penulis menyelesaikan studi
magister ini dan melanjutkan studi hingga jenjang berikutnya.
9. Suamiku tercinta, Fair Rohmatu Sholeh S.Pi., yang selalu setia
membantu, mendorong, dan memotivasi penulis dalam
menyelesaikan studi ini. Suka dan duka, tangis dan tawa, mewarnai
perjalanan hidup ini dengan penuh kebersamaan.
10. Kakanda Khoirunnisa S.Psi, Ibnu Ramdani Permana S.Psi, dan
adinda Umi Inayah serta keponakanku yang menjadi penyejuk hati
setelah melewati segala ujian di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta,
Sofia Alta Salvina dan Aisyah Azra Malika.
11. Kawan-kawan tercinta seluruh Mahasiswa Sekolah Pascasarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terutama Sri Asmita, MA. Hk,
Wasilatu Rohmaniyah, Ummul Fadhilah Sari, Susanti Hasibuan,
Desi, Taqin yang selalu tertawa riang walaupun terkadang
perjalanan ini terasa berat. Semoga ilmu yang telah kita terima,
menjadi manfaat yang besar bagi banyak orang.

Akhirnya, penulis hanya bisa bermunajat kepada Allah SWT,


agar seluruh pihak-pihak yang telah membantu seluruh proses studi ini
diberikan pahala yang berlipat ganda serta nikmat yang tak terhitung
jumlahnya. Penulis memohon maaf atas segala tutur kata yang kurang
berkenan, baik dari segi isi maupun pemikiran. Masih banyak
kekurangan dan perbaikan, semoga para pembaca bersedia memberikan

iv
saran dan kritik agar menghasilkan karya yang lebih baik lagi bagi
penulis.

Jakarta, 17 Nopember 2014


Penulis,

Siti Suniah

v
vi
PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Siti Suniah


Tempat/Tanggal Lahir : Tangerang, 17 Nopember 1989
Nim : 12.2.00.1.20.01.0001
Jenjang Pendidikan : S2 Pengkajian Islam
Konsentrasi : Pemikiran Islam

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis berjudul ‚KRITIK


TERHADAP TAREKAT: KAJIAN TERHADAP PEMIKIRAN
SAYYID USMAN BIN YAHYA‛, adalah hasil karya saya kecuali
kutipan-kutipan yang disebutkan sumbernya. Apabila di dalamnya
terdapat kesalahan dan kekeliruan, maka sepenuhnya menjadi
tanggung jawab saya. Selain itu apabila di dalamnya terdapat plagiasi
saya siap menerima sanksi berupa pencabutan gelar akademik yang
diberlakukan oleh Sekolah Pascasarjana Universitas Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Jakarta, 10 Desember 2014


Yang membuat pernyataan,

Siti Suniah

vii
viii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis dengan judul ‚Kritik terhadap Tarekat: Kajian terhadap


Pemikiran Sayyid Usman bin Yahya‛ yang ditulis oleh Siti Suniah NIM
12.2.00.1.20.01.0001 telah melalui proses bimbingan dan bisa diajukan
untuk Ujian Pendahuluan.

Jakarta, 12 Desember 2014

Pembimbing

Prof. Dr. Yunasril Ali, MA

ix
x
KRITIK TERHADAP TAREKAT:
Kajian Terhadap Pemikiran Sayyid Usman bin Yahya

ABSTRAK

Tesis ini membuktikan bahwa kritik ulama Nusantara terhadap


tarekat pada abad ke-XIX muncul sebagai respon internal atas kondisi sosial
keagamaan dan politik di Masyarakat. Kritik ini tidak ada kaitannya dengan
pembaruan di Makkah yang juga terjadi pada abad XIX.
Perbedaan dengan komunitas akademik lainnya, Martin van
Bruinessen dalam Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia berkesimpulan
pembaruan yang terjadi di Makkah pada abad ke-XIX berdampak pula di
Nusantara dengan munculnya kaum pembaru yang lebih radikal dengan
mengkritik secara tajam kaum sufi. Sama halnya dengan Michael Fancis
Laffan dalam Islamic Nationhood and Colonial berdasarkan penelitian K.F.
Holle dan Karel Steenbrink dalam Beberapa Aspek tentang Islam di
Indonesia abad ke-19, yang mengaitkan bahwa penentangan-penentangan
tehadap kaum tarekat yang berkembang pada abad ke-19 adalah sebagai
bentuk oposisi para ulama yang anti-tarekat.
Tesis ini mendukung penelitian dari Muhammad Noupal dalam
Pemikiran Keagamaan Sayyid Usman bin Yahya bahwa kritik para ulama
terhadap tarekat yang terjadi di abad ke-19, merupakan kritik yang tidak
ditujukan untuk salah satu tarekat, melainkan kepada penganut tarekat itu
sendiri. Sikap kritis Sayyid Usman bin Yahya, melalui karyanya al-Nas{i>h{ah
al-‘Ani>qah dan al-Wathi>qah al-Wafiyyah, membuktikan kritik terhadap
tarekat yang lebih individualistik. Penekanannya terhadap kaum sufi
Nusantara bukanlah sebagai tokoh anti-tarekat yang terinspirasi kelompok
Wahhabi yang disebut beberapa kalangan, namun berupaya meluruskan
kaum sufi agar tidak menyimpang dari syari’at. Begitupula Muhammad
Syamsu dalam Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan sekitarnya yang
menyatakan bahwa kritik yang dilontarkan para ulama abad ke-19,
disebabkan penyimpangan yang dilakukan oleh guru dan murid tarekat yang
tidak sesuai menjalankan tata aturan dalam mengamalkan ajaran-ajaran
tarekat secara benar.
Jenis penelitian ini adalah sejarah sosial intelektual, sifat penelitian
temasuk dalam penelitian kepustakaan (library research). Penelitian ini
menggunakan sumber-sumber atau data-data kepustakaan yang memiliki
kaitan langsung dengan masalah yang sedang diteliti seperti buku-buku
Sayyid Usman baik yang sudah diterbitkan maupun yang masih berbentuk

xi
manuskrip. Sedangkan data sekunder atau penunjang didapat melalui buku-
buku Snouck Hurgronje dan beberapa penelitian yang berkaitan dengan
Sayyid Usman. Kemudian, data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif
analitis.

Kata Kunci : Kritik, Tasawuf, Tarekat, Syari’at, Sayyid Usman

xii
‫رغطيس اٌجحش‬

‫إٌزبئظ اٌّ‪ّٙ‬خ ف‪٘ ٝ‬صا اٌجحش أْ أزمبز اٌؼٍّبء ػٍ‪ ٝ‬اٌططق اٌص‪ٛ‬فيخ ف‪ٝ‬‬
‫اٌمطْ اٌزبسغ ػشط ظ‪ٙ‬طد ػٍ‪ ٝ‬اسزغبثؼخ اٌساذٍيخ في اٌظط‪ٚ‬ف االعزّبػيخ‬
‫اٌسيٕيخ ‪ٚ‬اٌسيبسخ في اٌّغزّغ‪٘ٚ .‬صٖ االٔزمبز اليزؼٍّك ِغ اٌزغسيس اٌ‪ٛ‬الغ ثّىخ ف‪ٝ‬‬
‫اٌمطْ اٌزبسغ ػشط‪.‬‬
‫أِب االذزالف ثيٓ اٌّغزّغ األوبزيّ‪ ٝ‬اآلذطيٓ‪ ،‬فبسزٕجػ "ِبضرٓ فبْ‬
‫ثط‪ٔٚ‬يسٓ" ف‪ ٝ‬وزبة "اٌططيمخ إٌمشجٕسيخ ثإٔس‪ٔٚ‬يسيب" أْ اٌزغسيس اٌ‪ٛ‬الغ ثّىخ ف‪ٝ‬‬
‫اٌمطْ اٌزبسغ ػشط ٌٗ رؤصيط أيعب ثإٔس‪ٔٚ‬يسيب ثظ‪ٛٙ‬ض اٌّغسزيٓ اٌّزططفيٓ‪ُ٘ .‬‬
‫يٕمس‪ ْٚ‬اٌص‪ٛ‬فييٓ‪ِٚ .‬ضً ٘صا األِط أيعب " ِبيىً فطأسيس ٌفبْ" ف‪ ٝ‬وزبثٗ "‬
‫األِخ إلسالِيخ ‪ٚ‬االسزؼّبض" ػٍ‪ِ ٝ‬جسأ اٌجحش ٌـ "٘‪ ٌٝٛ‬سزيٓ ثطيٕه ف‪ ٝ‬وزبثٗ "‬
‫ع‪ٛ‬أت اإلسالَ ف‪ ٝ‬إٔس‪ٔٚ‬يسيب ف‪ ٝ‬اٌمطْ اٌزبسغ ػشط"‪ ،‬اٌص‪ ٜ‬يطثطٗ أْ‬
‫اٌّؼبضظبد ػٍ‪ ٝ‬اٌص‪ٛ‬فييٓ إٌّشئيٓ ف‪ ٝ‬اٌمطْ اٌزبسغ ػشط ٘‪ ٛ‬شىً ِؼبضظخ‬
‫اٌؼٍّبء اٌّزعبزيٓ ٌٍططيمخ‪.‬‬
‫‪ٚ‬زػّذ ٘صٖ اٌطسبٌخ اٌجحش ِٓ ِحّس ٔ‪ٛ‬فً ف‪" ٝ‬اٌفىط اٌسيٕ‪ٌٍ ٝ‬سيس‬
‫ػضّبْ ثٓ يح‪ "ٝ‬أْ أزمبز اٌؼٍّبء ػٍ‪ ٝ‬اٌططق اٌص‪ٛ‬فيخ ف‪ ٝ‬اٌمطْ اٌزبسغ ػشط‪،‬‬
‫ٌيس االٔزمبز ألحس اٌططق‪ٚ ،‬إّٔب أزمبز ٌزبثؼ‪ ٝ‬رٍه اٌططيمخ‪ِٛٚ .‬لف أزمبز اٌسيس‬
‫ػضّبْ ثٓ يحي ػٍ‪٘ ٝ‬صٖ اٌططيمخ ػٓ غطيك وزبثٗ " إٌصيحخ اٌؼٕيمخ ‪ ٚ‬اٌ‪ٛ‬صيمخ‬
‫اٌ‪ٛ‬فيَخ"‪ٚ .‬إٌمطخ اٌ‪ٙ‬بِخ ػٍ‪ ٝ‬اٌص‪ٛ‬فيخ ثإٔس‪ٔٚ‬يسيب ٌيسذ وبٌشرصيخ اٌّؼبضظخ‬
‫ٌٍططيمخ اٌص‪ٛ‬فيخ اٌز‪ ٝ‬أٌ‪ ّٗٙ‬اٌفطلخ اٌ‪٘ٛ‬جيخ اٌز‪ ٝ‬يسّي‪ٙ‬ب ثؼط اٌؼٍّبء‪ٌٚ ،‬ىٕٗ‬
‫يحب‪ٚ‬ي أْ يم ّ‪ َٛ‬اٌص‪ٛ‬فييٓ ٌئال يٕحطف ِٓ اٌشطيؼخ‪.‬‬
‫‪ٚ‬ثيّٓ ِحّس شّس ف‪ ٝ‬وزبة " ٔبشط اٌسيٕ‪ ٝ‬اإلسالِ‪ ٝ‬ثإٔس‪ٔٚ‬يسيب ‪ٚ‬إٌّبغك‬
‫اٌّحيطخ ث‪ٙ‬ب" أْ االٔزمبزاد اٌز‪ ٝ‬غطح‪ٙ‬ب اٌؼٍّبء ف‪ ٝ‬اٌمطْ اٌزبسغ ػشط‪ٌٛ ،‬ع‪ٛ‬ز‬
‫أحطاف ػٍّٗ اٌّطشس ‪ٚ‬اٌّطيس ٌٍططيمخ‪ٚ .‬شٌه ٌّربٌفخ إٌظبَ ف‪ ٝ‬رطجيك رؼبٌيُ‬
‫اٌططيمخ اٌصحيحخ‪.‬‬
‫‪ٛٔٚ‬ع ٘صا اٌجحش ٘‪ ٛ‬اٌزبضيد االعزّبػ‪ٌٍّ ٝ‬ضمف‪ٚ ،‬صفخ ٘صا اٌجحش ِٓ‬
‫اٌجح‪ٛ‬س األزثيخ‪ٚ .‬اسزرسَ ٘صا ٌجحش اٌّصبزض ‪ٚ‬اٌجيبٔبد األزثيخ اٌّزؼٍمخ ثبٌّسبئً‬
‫اٌّجح‪ٛ‬صخ ف‪ ٝ‬وزت اٌسيس ػضّبْ ثٓ يحي‪ ،‬اٌز‪ٔ ٝ‬شطد أَ ػٍ‪ ٝ‬أشىبي ِرط‪ٛ‬غبد‪.‬‬
‫‪ٚ‬أِب اٌجيبٔبد اإلظبفيخ يزُ حص‪ٌٙٛ‬ب ػٓ غطيك وزت " سٕ‪ٛ‬ن ٘‪ٛ‬ضعط‪ٔٚ‬ي‪ٚ "ٛ‬‬
‫ثؼط اٌجح‪ٛ‬س اٌّزؼٍمخ ثبٌسيس ػضّبْ ثٓ يح‪ .ٝ‬صُ ٘صٖ اٌجيبٔبد اٌز‪ ٝ‬رُ حص‪ٌٙٛ‬ب‬
‫حٍٍذ رحٍيٍيب ‪ٚ‬صفيب‪.‬‬
‫اٌىٍّبد اٌطئيسيّخ‪ٔ :‬مس‪ ،‬رص ّ‪ٛ‬ف‪ ،‬غطيمخ‪ ،‬شطيؼخ‪ ،‬سيّس ػضّبْ‬

‫‪xiii‬‬
xiv
ABSTRACT

This thesis proves that the criticism of scholars of the archipelago


to the congregation in the 19 century emerged as internal response on
th

social religious and political conditions in the community. This criticism


has nothing to do with an update in Mecca that also occurred in the 19 th

century.
The differences with other academic communities, Martin van
Bruinessen in Tarekat Naqsyabandiyah in Indonesia concludes renewal
that occurs in Makkah in the 19th century is impacted to the archipelago
with the appeareance of a more radical reformer with sharply criticized to
the Sufis. Similarly, Michael Fancis Laffan in Islamic Nationhood and
Colonial based on the research of K.F. Holle and Karel Steenbrink in
Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19, that links the
opposition to the congregation adherents that is developing in the 19th
century as a form of opposition to anti-congregation scholars.
This thesis supports the research of Muhammad Noupal in
Pemikiran Keagamaan Sayyid Usman bin Yahya that the criticism of the
scholars to the congregation that is occurred in the 19th century, is the
criticism that is not intended for one of the congregation, but the
adherents of themselves. Critical attitude Sayyid Usman bin Yahya,
through his article al-Nas{i>h{ah al-'Ani>qah and al-Wathi>qah al-Wafiyyah,
proving criticism of the congregation, more individualistic. The emphasis
of the Sufis archipelago is not as prominent anti-congregation inspired
Wahhabi group called some circles, but the attempt to straighten the Sufi
order not to deviate from the shari'ah. Muhammad Syamsu in Ulama
Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya says that criticism of the
scholars of the 19th century, is due to irregularities committed by the
teachers and students of the congregation does not conform to apply the
rules in practice of the teaching of congregation correctly.
This research type is a social history of intellectuals, including the
library research. This study uses the resources or library datas that has a
direct bearing on the problem that is being researched as the books of
Sayyid Usman either already published or are still in the form of
manuscripts. While the secondary or supporting data is founded from
Snouck Hurgronje books and several studies that related to Shaykh
Usman. Then, the data is analyzed by descriptive analysis.

Keywords: Criticism, Sufism, Congregation, Shariah, Sayyid Usman bin


Yahya

xv
xvi
PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam


penelitian ini adalah ALA–LC ROMANIZATION tables yaitu
sebagai berikut:

A. Konsonan
Initia Romanization Initia Romanization
l l
‫ا‬ Omit ‫ض‬ d{
‫ة‬ B ‫غ‬ t{
‫د‬ T ‫ظ‬ z{
‫س‬ Th ‫ع‬ ‘
‫ط‬ J ‫ؽ‬ Gh
‫ػ‬ h} ‫ف‬ F
‫خ‬ Kh ‫ق‬ Q
‫ز‬ D ‫ن‬ K
‫ش‬ Dh ‫ي‬ L
‫ض‬ R َ M
‫ظ‬ Z ْ N
‫س‬ S ٖ, ‫ح‬ H
‫ش‬ Sh ٚ W
‫ص‬ s} ٜ Y

B. Vokal
1. Vokal Tunggal
Tanda Nama Huruf Latin Nama
َ Fath}ah A A
ِ Kasrah I I
ُ D{ammah U U

2. Vokal Rangkap
Tanda Nama Gabungan Huruf Nama
ٜ... َ Fath}ah dan ya Ai A dan I
ٚ… َ Fath}ah dan wau Au A dan W
Contoh :
ٓ‫حسي‬: H{usain ‫ي‬ٛ‫ َح‬: H{aul

xvii
C. Vokal Panjang
Gabungan
Tanda Nama Nama
Huruf
‫ىآ‬ Fath}ah dan alif a> a dan garis di atas
ِٝ‫ى‬ Kasrah dan ya i> i dan garis di atas
ُٛ‫ى‬ D{ammah dan wau u> u dan garis diatas

D. Ta>’ marbu>t}ah (‫)ح‬


Transliterasi ta’ marbut}ah (‫ )ح‬di akhir kata bila dimatikan ditulis h.
Contoh :
‫ ِطأح‬: mar’ah ‫ ِسضسخ‬: madrasah
(Ketentuan ini tidak digunakan terhadap kata-kata Arab yang
sudah terserap ke dalam bahasa Indonesia seperti shalat, zakat dan
sebagainya kecuali dikehendaki lafadz aslinya)

E. Shaddah
Shaddah/tasydi>d di transliterasi ini dilambangkan dengan huruf,
yaitu huruf yang sama dengan huruf bershaddah itu.
Contoh:
‫ضثّٕب‬: rabbana ‫اي‬ّٛ ‫ش‬: shawwa>l

F. Kata Sandang Alif + La>m


 Apabila diikuti dengan huruf qamariyah ditulis al.
Contoh :
ٍُ‫ اٌم‬: al-Qalam
 Apabila diikuti oleh huruf shamsiyah ditulis dengan menggandeng
huruf shamsiyah yang mengikutinya serta menghilangkan huruf l-
nya
Contoh:
‫ اٌشّس‬: Ash-Shams ‫ إٌبس‬: An-Na>s

G. Pengecualian Transliterasi
Adalah kata-kata bahasa Arab yang telah lazim digunakan di
dalam bahasa Indonesia, seperti ‫هللا‬, asma>’ al-husna> dan ibn, kecuali
menghadirkannya dalam konteks aslinya dan dengan pertimbangan
konsistensi dalam penulisan.

xviii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................... i


KATA PENGANTAR ....................................................................... iii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI ............................................... vii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................... ix
ABSTRAK ........................................................................................ xi
PEDOMAN TRANSLITERASI ..................................................... xvii
DAFTAR ISI ....................................................................................xix

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Permasalahan ............................................................................. 13
1. Identifikasi Masalah .....................................................................13
2. Pembatasan Masalah ....................................................................14
3. Perumusan Masalah......................................................................14
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan ........................................... 14
D. Tujuan Penelitian ....................................................................... 17
E. Manfaat Penelitian ..................................................................... 17
F. Metodologi Penelitian ............................................................... 17
1. Jenis Penelitian .............................................................................17
2. Sifat Penelitian .............................................................................19
3. Langkah-Langkah Penelitian ......................................................20
4. Pendekatan Penelitian..................................................................20
G. Sistematika Penulisan ................................................................ 21

BAB II
DINAMIKA TASAWUF NUSANTARA DAN POLEMIK
TAREKAT PADA ABAD KE-19
A. Perkembangan Tasawuf menjadi Organisasi Tarekat ............... 23
B. Gambaran Perkembangan Tarekat di Haramayn dan Nusantara
…………………………………………………..……..………26
C. Transmisi Ajaran Tarekat dari Haramayn ke Nusantara........... 29
D. Pergulatan tarekat dan syari’at di Nusantara ............................ 37
E. Problematika Tarekat di tengah Masyarakat………………….41

xix
BAB III
LATAR SOSIO-HISTORIS DAN KARIR INTELEKTUAL SAYYID
USMAN BIN YAHYA
A. Latar Sosial Islam di Batavia abad ke-19 .................................. 47
1. Masuknya Kelompok Hadrami ke Batavia ...............................51
2. Sistem Pendidikan Keagamaan di Batavia ...............................55
B. Biografi Sayyid Usman bin Yahya: Riwayat Hidup dan Karir
Intelektual .................................................................................. 60
C. Sayyid Usman bin Yahya sebagai Mufti Betawi dan Penasihat
Kehormatan Kolonial Belanda .................................................. 65
D. Karya-karya Sayyid Usman bin Yahya ..................................... 69

BAB IV
KONDISI GERAKAN TAREKAT MASA PEMERINTAHAN KOLONIAL
DAN PEMIKIRAN SAYYID USMAN BIN YAHYA TERHADAP
TASAWUF
A. Dinamika Gerakan Tarekat Masa Kolonial ............................... 99
1. Peranan Tarekat Naqsyabandiyah abad ke-19 .......................103
2. Tarekat Sebagai Basis Antikolonialisme ................................108
B. Pandangan Sayyid Usman bin Yahya terhadap Tarekat ......... 111
1. Syarat-syarat Memasuki Tarekat .............................................115
2. Kritik terhadap Mursyid ............................................................121
3. Tarekat yang Muktabarah menurut Sayyid Usman ..............123
C. Analisis Pemikiran Sayyid Usman bin Yahya ......................... 124

BAB V
RESPON KRITIK SAYYID USMAN DAN PENGARUH KRIIKNYA
TERHADAP KAJIAN KEISLAMAN DI BATAVIA
A. Keharmonisan Hubungan Sayyid Usman dengan Kolonial
Belanda..................................................................................... 129
B. Kritik terhadap Tarekat oleh Ulama di Minangkabau ............ 136
C. Polemik Kritik Sayyid Usman dan Respon Tokoh Tarekat
setelahnya................................................................................. 141
D. Dampak Kritik Sayyid Usman terhadap Kajian Keislaman di
Batavia ..................................................................................... 147

xx
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................. 155
B. Saran ........................................................................................ 156

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 157


GLOSARIUM ................................................................................. 167
INDEKS .......................................................................................... 169
LAMPIRAN .................................................................................... 173
BIODATA PENULIS ...................................................................... 175

xxi
xxii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Secara historis, tasawuf berkembang sejak awal kelahiran Islam


(sekitar abad pertama dan kedua Hijriyah atau abad VIII Masehi). Pada
masa ini, beberapa orang mengutamakan kehidupan beribadah untuk
mendapatkan kehidupan yang lebih abadi di akhirat. Periode
selanjutnya, sekitar abad IX sampai awal X M, tasawuf mulai
memfokuskan diri pada tiga hal yaitu jiwa, akhlak, dan metafisika.1
Pada abad ini pula, gerakan-gerakan tarekat mulai berkembang.
Annemarie Schimmel menyebutkan bahwa tarekat adalah jalan yang
ditempuh para sufi dan digambarkan sebagai jalan yang berpangkal
pada syari’at, sebab jalan utama disebut shar’i, sedangkan jalan kedua
disebut t}a>riq. Menurutnya, terdapat tiga ‚jalan‛ yang terbagi menjadi
via purgariva, via contemplative, dan via illuminative, dalam batas-
batas tertentu mirip dengan syari’at, tarekat, dan hakikat.2 Hamka
mengungkapkan bahwa tarekat laksana pesantren kita sekarang ini. Di
satu tempat tertentu duduklah murid menghadapi gurunya. Guru itu
diberi gelar Shaykh. Selain dari mempelajari syari’at-syari’at agama,
yang dipentingkan di dalamnya ialah melalui perantaraan guru
mempelajari wirid tertentu di dalam menuju jalan Tuhan (Suluk).3 Di
antara tarekat-tarekat yang bermunculan di Nusantara ialah
Qadiriyyah, Sammaniyah, Syattariyah, Naqsyabandiyah, dan lainnya.4
Ciri khas yang mencolok dalam perkembangan Islam di Melayu-
Indonesia adalah nuansa mistik yang begitu kuat. Maka, tasawuf
menjadi corak pemikiran yang dominan pada proses islamisasi di
Indonesia. Pemikiran sufi terkemuka seperti Imam al-Ghazza>li>> dan

1
Nur Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia
(Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2007), 243-244.
2
Annemarie Schimel, Mystical Dimension of Islam diterjemahkan Supardi
Djoko Damono, Dimensi Mistik dalam Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), 101.
3
Hamka, Tasawwuf: Pemurnian dan Perkembangannya (Jakarta: Pustaka
Panjimas), 150.
4
Lihat Aboe Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat: Uraian Tentang Mistik
(Jakarta: FA. H.m. Tawi dan Son Bag. Penerbitan, 1966), 291-370.

1
Ibnu ‘Arabi sangat berpengaruh terhadap pengarang-pengarang muslim
generasi pertama di Indonesia.5
Di ranah Sumatera, ajaran Martabat Tujuh menjadi sebuah tren
tasawuf pada abad XVII. Ajaran tersebut menekankan kepada aspek
pengalaman rohani sebagai proses menuju wus{u>l kepada al-Haq.
Hamah Fansuri menyebut bahwa zat Allah bersama Kunhi Zat al-Haqq
atau asal muasal zat yang Maha Besar. Ahl al-Sulu>k menamai Kunhi
zat al-Haqq dengan nama la> ta’ayyun. Penamaan ini disebabkan oleh
ilmu ma’rifat para manusia, para wali ataupun para Nabi tidak akan
pernah menembusnya atau sampai kepadanya. Walaupun kedudukan
Zat Allah pada la> ta’ayuun (tidak nyata) atau Kunhi Zat tidak dapat
ditembus oleh ilmu dan ma’rifat manusia, Dia cinta untuk dikenal.
Karena itu, Dia menciptakan alam semesta dan seisinya dengan
maksud agar diri-Nya dapat dikenal6 Pemahaman tasawuf ini
kemudian menimbulkan polemik keagamaan di masa itu, karena dinilai
sebagai bentuk penyelewengan faham yang bermuara pada ‚bersatunya
hamba dengan Tuhan‛.7 Kecaman terhadap faham ini muncul dari
mufti kerajaan Aceh masa itu, yaitu Shaykh Nur al-Di>n al-Raniri.8
Semenjak abad XV, literatur sufistik pun juga sudah beredar di
Jawa. Literatur tersebut digemari karena berisi ajaran-ajaran sufistik
yang banyak memiliki kemiripan atau afinitas dengan kepercayaan dan
praktik yang berlaku pada zaman pra-Islam.9 Literatur ini lebih
dominan terhadap sufistik-sinkretik. Catatan sejarah terekam dalam
berbagai jenis kepustakaan Jawa yang mempertemukan tradisi Jawa
dengan hal-hal ke-Islaman.10 Simuh menyatakan dalam kepustakaan
Jawa yang isinya mempertemukan ajaran Islam dengan tradisi Jawa,

5
Nur Huda, Islam Nusantara, 280.
6
Pernyataan ini sesuai dengan Hadis Qudsi yang sangat dikenal dikalangan
para sufi, yaitu Kuntu Kanzan Makhfiyan…..dst. Lihat Sangidu, Wakhdatul Wujud:
Polemik Pemikiran Sufistik antara Hamah Fansuri dan Shamsuddin al-Sumatrani
dengan Nur al-Di>n ar-Raniri (Yogyakarta: Gama Media, t. th), 62.
7
Penulis tidak merujuk kepada istilah Wahdat al- Wuju>d, karena istilah ini
tidak dimaksudkan sebagai pernyataan terhadap ‚bersatunya Tuhan dengan
makhluk‛, Lihat ‘Abd al-Ghani al-Nabalu>si, ‘Id{ah al-Maqs}u>d min Wahdat al-Wuju>d
(Damaskus: Maktabat al-‘ilm, 1969).
8
Lihat Muhammad Sa’id, Aceh Sepanjang Abad (Medan: Waspada, 1981),
331-376.
9
Nur Huda, Islam Nusantara, 255
10
Lihat Poerbatjaraka dan tardjan Hardidjaja, Kepustakaan Jawa (Jakarta:
Jambatan, 1952), 123.

2
disebut primbon, serat, suluk, dan wirid.11 Sebut saja beberapa
kepustakaan Jawa yang masih bersifat kontroversial, seperti Serat
Suluk Gatolotjo,12 Serat Suluk Darmogandul, Serat wirid Hidayat
Jati,13 dan serat Centhini yang masyhur pada zamannya. Wirid tersebut
mengajarkan sebuah paham teologi manunggaling kawula gusti, salah
satunya termaktub dalam Serat Wirid Hidayat Jati dengan konsep
ajaran martabat tujuh sebagai kelanjutan dari ajaran panteisme dan
monisme pra-Islam serta mata rantai utama dalam tradisi teologi
kejawen. Namun, karya-karya ini ditentang keras oleh kelompok karya
lain yang menekankan aspek syari’at. Oposisi paling kuat terhadap
ajaran sufistik-filosofis di Jawa diwakili oleh Wali Songo.
Usaha-usaha yang diciptakan oleh Wali Songo di tanah Jawa
sukses pada abad ke-XVI, menghasilkan penerimaan Islam yang tidak
bertentangan dengan tradisi setempat. Penerimaan tersebut disebabkan
oleh beberapa gagasan mistik yang dibawa oleh para wali mempunyai

11
Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita ( Jakarta: UI
Press, 1988), 9.
12
Serat Suluk Gatolotjo aslinya berjudul Balsafah Gatolotjo. Namun, hingga
saat ini serat suluk gatolotjo maupun darmogandul masih menjadi polemik tentang
siapa yang mengarangnya. Menurut HM. Rasjidi , dia mengutip seorang ahli sastra
Jawa, Brotokeswa, bahwa yang mengarang Darmogandul dan Gatolotjo adalah
seorang Pangeran, putra Sultan Hamengku Buwono VI (1855-1877), bernama
Suryonegoro. Lihat HM. Rasjidi, Di sekitar Kebatinan (Jakarta: Bulan Bintang,
1972), 36.
Namun berbeda halnya dengan Sumarno Nugroho yang mengacu kepada
penelitian Dr. Ph. Van Akheren, serat tersebut dikarang oleh seorang tokoh bernama
Ngabdullah Tunggul Wulung. Dia pernah memeluk Islam, namun hatinya masih
dihinggapi rasa bimbang karena agama leluhur (Budha Jawa atau Hindu) masih
melekat didalam dirinya. Kebimbangan tersebut memunculkan konflik dalam
pikirannya yang kemudian melanjutkan kegiatan bertapa di Gunung Kelud. Ketika
Gunung Kelud meletus, dia turun dan menuangkan hasil perenungannya dalam
tulisan serat, yakni Darmogandul dan Gatolotjo. Lihat Djoko Su’ud Sukahar, Tafsir
Gatolotjo dan Sakralitas Yoni (Yogyakarta: Narasi, 2013), 199.
13
Serat Wirid Hidayat Jati dikarang oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita.
Hidayat Jati berarti: petunjuk yang sebenarnya. Didalam serat tersebut berisi
konsepsi tentang Tuhan (Dzat, Sifat, Asma, dan Af’a>l Tuhan), konsep Manunggaling
Kawula Gusti, konsepsi tentang Manusia (penciptaan manusia dan tujuh unsur
manusia), tuntunan Budi Luhur dan Manekung. Dalam wirid Hidayat Jati, jelas
terlihat adanya gubahan-gubahan dari ajaran martabat tujuh yang disusun oleh
Muhammad Ibn Fadllillah dalam kitab al-Tuhfah al-Mursalah ila< Ru<hin-Nabi. Ajaran
martabat tujuh tersebut dipadukan dengan berbagai ajaran dalam tradisi kejawen.
Lihat Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Suatu Studi
terhadap Serat Wirid Hidayat Jati ( Jakarta: UI Press, 1988), 320.

3
sandaran budaya yang sudah kental dalam masyarakat. Penekanan
terhadap Islam murni terus dilakukan sebagai proses penting dari
islamisasi tersebut.14 Pada dasarnya, Wali Songo juga menjadi anggota
tarekat sufi, selain mengajarkan Islam ortodoks. Mereka lebih
menekankan tasawuf sunni atau syar’i yang berbeda dengan tasawuf
falsafi. Menurut Zarkasyi, ajaran sufisme yang paling mengesankan
para Wali Songo adalah kitab Ih}ya> ‘Ulu>m al-Din karya Imam al-
Ghazza>li>>.15
Di tanah Batavia sendiri, kepercayaan kepada hal-hal mistik juga
mendapatkan tempat yang strategis dalam keberagaman tradisi
masyarakat, seperti makam keramat Pangeran Jayakarta yang secara
rutin didatangi oleh penduduk setempat. Mereka juga melakukan
upacara adat seperti nyelayat atau nyelawat, mapas, puput puser,
nyukur, nginjek tanah, upacara sunatan, kematian, nujuh bulan, cuci
tangan, termasuk di dalamnya menentukan hari perkawinan.16 Dari
segi agama, kepercayaan terhadap mistik diperlihatkan oleh orang
Betawi sebagai kedudukan yang penting, misalnya kepercayaan
adanya kuburan Shaykh ‘Abd Qa>dir Jaila>ni di daerah Tanjung Priok.17
Pada sebagian masyarakat Betawi, ide-ide mistik, takhayul dan
kepercayaan kepada makhluk halus masih diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Bila sedang membangun rumah, ada yang menabur garam
di setiap sudut rumah yang akan dibangun guna mengusir para
makhluk halus yang mendiami tempat tersebut. Selain garam, uang
receh dianggap sebagai kemakmuran rezeki dan bubur merah putih
berbungkus daun, keduanya diletakkan untuk sesajen makhluk halus
agar tidak mengganggu calon penghuni rumah. Bila ingin membuat
sumur, mereka membuat ritual ‚Menggelinding tampah‛.18
Ritual–ritual yang diadakan masyarakat Betawi, merupakan
percampuran antara ajaran Islam dengan kebudayaan lokal. Tidak

14
Muhammad Noupal, ‚Pemikiran Keagamaan Sayyid Usman bin Yahya:
Respon dan Kritik terhadap Kondisi Sosial Keagamaan di Indonesia‛, (Disertasi UIN
Syarif Hidayatullah, 2008), 25-26.
15
Zulkifli, Sufism in Java: The Role of the Pesantren in the Maintenance of
Sufism in Java (Jakarta: INIS,2002), 7.
16
Lihat, Anwarudin Harapan, Sejarah, Sastra dan Budaya Betawi (Jakarta:
APPM, 2006), 74-75.
17
Lihat, Anwarudin Harapan, Sejarah, Sastra dan Budaya Betawi, 74.
18
Muhammad Zafar, ‚Islam di Jakarta: Studi Sejarah Islam dan Budaya
Betawi‛, (Disertasi UIN Syarif Hidayatullah, 2001), 392.

4
hanya dalam kehidupan sehari-hari, dalam upacara kehamilan dan
kelahiran terdapat upacara kekeba. Kekeba adalah selamatan tujuh
bulan kehamilan, yang dilakukan dalam tiga tahap. Tahapan pertama,
mengaji Surat Yusuf, namun di dalam ruangan disajikan rujak nujuh
bulan. Tahapan kedua, mandi tujuh bulan dicampur dengan tahapan
ketiga, yaitu meletakkan tujuh jenis bunga yang berbeda. Sisi
percampuran ajaran dengan kebudayaan lokal terletak pada bacaan
mantra yang dianggap sebagai kesaktian untuk cabang bayi agar tidak
diganggu oleh makhlus halus dan melancarkan persalinan.19
Percampuran Islam-sinkretik masih mewarnai perjalanan Islam pada
abad ke XIX dan XX.
Selaras dengan munculnya sinkretisme sufi Hindu-Jawa yang
melahirkan pertemuan antara teologi Islam-Jawa pedalaman yang
bersifat mistik dan ajaran sufi yang mendominasi di kalangan
masyarakat membuat sebagian mereka yang awam turut serta tanpa
mengetahui tasawuf dan organisasi tarekat secara mendalam. Sebagian
besar alasannya karena terdapat beberapa kesamaan ajaran budaya
yang sudah ada dalam tradisi masyarakat dengan ajaran tasawuf, maka
perkumpulan tasawuflah yang banyak diminati oleh masyarakat.
Bila kecenderungan penduduk Islam Indonesia berhubungan
dengan aspek budaya yang mementingkan usur-unsur mistik di
dalamnya, maka tidak heran berbagai macam kritik terhadap tarekat
lebih banyak mengarah kepada percampuran mistik dengan tarekat.20
Alasan lain perkumpulan sufi atau biasa disebut dengan tarekat
berkembang pesat di Pulau Jawa karena pada saat itu rakyat tengah
menghadapi kolonialisasi Belanda, yang menyebabkan mereka
berlindung di bawah organisasi non-pemerintah, salah satunya
perkumpulan tarekat. Menurut mereka, tarekat mampu meredam
tekanan yang diberikan oleh kolonial Belanda dalam bidang sosial,
ekonomi, politik dan agama.21 Bila menjadi anggota tarekat, mereka
dapat menemukan figur yang bisa memberikan pengayoman-baik
secara spiritual maupun politis-untuk menyalurkan aspirasi mereka.

19
Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi (Jakarta: Logos, 2002), 80-81.
20
Muhammad Noupal, ‚Pemikiran Keagamaan Sayyid Usman bin
Yahya‛,254.
21
Ajid Thohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat: Telaah Historis Gerakan
Politik Antikolonialisme Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah di Pulau Jawa
(Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), 127.

5
Hal inilah yang menjadi kritik tajam seorang ulama Hadrami,
Sayyid Usman bin Abdullah bin ‘Aqi<l Betawi terhadap tarekat pada
zamannya. Ia mengkritik para pemimpin tarekat yang mengajak rakyat
untuk ikut serta di dalamnya untuk kepentingan pribadi. Mereka juga
melakukan perbuatan bid’ah atau kebingungan agama dan juga
menimbulkan kekacauan politik.22 Hal ini dikarenakan kondisi sosial
keagamaan masyarakat yang masih awam mengenai tarekat namun
memaksa ikut serta tanpa mengetahui syarat-syaratnya. Di dukung
dengan kitab al-Wathi>qah al-Wafiyyah, ia mengkritisi mursyid yang
banyak melakukan kesalahan. Diantaranya adalah, pertama, shaykh
sufi mengaku bisa mentransfer zikir kepada pengikutnya secara gaib.
Kedua, shaykh sufi menegaskan bahwa mereka dapat mengenal Tuhan
sehingga mengetahui segala rahasia-Nya karena shaykh sufi tersebut
mengaku bahwa dirinya telah mencapai tingkat auliya>.23 Menurut
Sayyid Usman, shaykh sufi ini termasuk ke dalam ahl bid’ah yang
sebenarnya fasik (berdosa). Boleh jadi ia memang memiliki
kemampuan istidra>j yang ia dapatkan dengan mengikuti setan dan
mempraktikkan sihir (magis gaib).24
Sayyid Usman merupakan seorang Mufti Betawi dengan gelar
adviseur honorair (penasehat kehormatan) menggantikan mufti
sebelumnya, yaitu Shaykh Abdul Gani yang telah lanjut usia pada
tanggal 20 Juni 1889. Sumbangsihnya yang sangat besar bagi
pemerintah kolonial, sekaligus posisinya sebagai karib dari orientalis
terkemuka Snouck Hurgronje.25
Sayyid Usman merupakan tokoh ulama Hadrami terkemuka di
abad XIX dan awal abad XX. Sayyid Usman lahir di Pekojan, tepatnya
di Jakarta Barat, pada tanggal 17 Rabiul Awal 1238 H/1822 M.
Ayahnya, Sayyid Abdullah bin Aqil bin Umar bin Yahya ialah seorang
‘a>lim, kelahiran Makkah. Ketika Sayyid Usman berusia 3 tahun,

22
Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (Bandung:
Mizan, 2002), 158.
23
Sayyid Usman, al-Wathi>qah al-wafiyyah (Batavia: Percetakan Sayyid
Usman, 1303), 7-10.
24
Sayyid Usman, Minha>j al-Istiqa>mah fi> al-Di>n bi al-Sala>mah (Batavia:
Percetakan Sayyid Usman, 1890), 5-11.
25
Azyumardi Azra, ‚Hadra@mi Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora: A
Preliminary Study of Sayyid Uthman.‛ Studia Islamika 2 (1995), 14-15; Lihat juga
Michael Francis Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The ‘Umma
Below the Winds, (London: Routledge Curzon Studies on the Middle East, 2003),
88.

6
ayahnya kembali ke Makkah. Kemudian ia diasuh dan dididik oleh
kakek dari pihak ibu, Shaykh ‘Abd al-Rahman al-Mis{ri. Pada usia 18
tahun, Sayyid Usman berangkat ke Makkah untuk menemui ayahnya.
Di tanah Suci, ia meneruskan pendidikan agamanya di bawah asuhan
ayah dan mufti Syafi’i terkemuka Sayyid Ahmad Zaini Dahlan.26
Sayyid Usman bermukim untuk belajar agama di Makkah selama
7 tahun. Makkah memang sebagai poros para penuntut ilmu, tak pelak
juga bagi orang Hadrami seperti Sayyid Usman, karena Makkah
mempunyai peranan penting bagi dinamika Islam dan kehidupan kaum
Muslimin.27 Kemudian, ia melanjutkan pengembaraan intelektual ke
kampung halamannya, Hadramaut. Disana, Sayyid Usman belajar
kepada beberapa ulama, diantaranya Shaykh ‘Abdullah bin H{usein bin
T{ahir, Habib Abdullah bin Umar bin Yahya, Habib Alwi bin Saggaf al-
Jufri dan Habib H{asan bin S{aleh al-Bahar28dan sempat menikah
dengan seorang shari>fah. Beberapa saat di Hadramaut, Sayyid Usman
kemudian kembali ke Makkah, lalu menuju Madinah. Dari Madinah,
Sayyid Usman melanjutkan pelajarannya ke Mesir, Tunis, Maroko, dan
al-Jazair. Di masing-masing daerah Sayyid Usman bermukim selama 5
atau 7 bulan.29 Dari Tunis, ia berlayar ke Istanbul, kemudian pergi ke
Palestina, Suriah dan kembali ke Hadramaut. Pada tahun 1862, ia
kembali ke Batavia (Jakarta) via Singapura, dan memapankan karir
keulamaannya disana.30
Di Batavia, Sayyid Usman memusatkan aktivitasnya di Mesjid
Pekojan. Ia mengajar, berdakwah dan menulis berbagai karya dalam

26
Azyumardi Azra, ‚Hadra@mi Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora,‛
10-11. Biografi yang dikemukakan oleh Azra berdasarkan catatan anak Sayyid
Usman sendiri terbit tahun 1933, berjudul Qamar al-Zama<n. Lihat juga Ahmad Fadli,
Ulama Betawi: Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya terhadap
Perkembangan Islam abad ke-19 dan 20 (Jakarta: Manhalun Nasyi-in, 2011), 79;
Mastuki HS dan M. Ishom El-Saha, Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan
Cakrawala Pemikiran di Era Perkembangan Pesantren (Jakarta: Diva Pustaka,2006)
vol.II.
27
Azyumardi Azra, Dari Harvard hingga Makkah, 38.
28
Muhammad Syamsu, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya
(Jakarta: Lentera, 1999), 253.
29
Azyumardi Azra, ‚ Hadra>mi Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora‛,
11. Ahmad Fadli, Ulama Betawi, 80. Ahmad Fadli menuliskan bahwa didaerah-
daerah ini Sayyid Usman belajar berbagai macam keilmuan, seperti fiqh, tasawuf,
tarikh, falak, dan lain-lainnya.
30
Azyumardi Azra, ‚Hadra>mi Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora‛,
11. Mastuki HS dan M. Ishom El-Saha, Intelektualisme Pesantren, 40.

7
beberapa bidang keilmuan agama. Cara berdakwah yang diterapkan
pada abad ke-19 saat itu melalui pengajian-pengajian, ceramah pada
saat shalat subuh dan magrib di masjid.31 Ilmu yang diajarkan adalah:
fiqh, tauhid, dan akhlak. Dalam pengajaran agama, ia dibantu oleh
seorang ulama lain, Shaykh ‘Abd al-Ghani Bima, seorang alumnus
Makkah.32 Sayyid Usman menulis lebih dari 50 karangan, sepertiganya
dalam bahasa Arab, dan lainnya dalam bahasa Melayu. Sebagian besar
karangannya tidak lebih dari 20 halaman.33
Sebagai adviseur honorair (penasehat kehormatan urusan Bangsa
Arab), Sayyid Usman harus berdiri diantara dua kepentingan, yakni
kepentingan pemerintah kolonial dan kepentingan masyarakat Arab
sendiri.34 Pengangkatan Sayyid Usman merupakan usulan dari Snouck
Hurgronje kepada pemerintah untuk memberikan penghargaan
kepadanya atas karangan yang dirasa sangat bermanfaat bagi
pemerintah.35 Kedekatannya dengan Snouck Hurgronje dan beberapa
penentangan-penentangan terhadap praktek keagaman lokal
menjadikan sebagian ulama dinilai kontroversial. Namun di mata
Snouck Hurgronje, Sayid Usman adalah ulama pembaru. Bahkan,
ketika ia dihantam oleh para ulama karena kedekatannya dengan
kolonial Belanda, Snouck tetap membelanya.
Sikap Sayyid Usman yang menuai kontroversi dikalangan ulama
lain dapat dipaparkan secara singkat di dalam latar belakang ini, guna
mengetahui beberapa masalah-masalah agama yang dinilai berbeda
sudut pandangnya terhadap ulama lain, terutama kepada masalah
perkembangan tasawuf dan tarekat di Nusantara. Ia banyak menulis
karya mengenai kerancuan sufi-sufi semu (pseudo). Menurut Sayyid
Usman, para sufi kini hanyalah menciptakan bid’ah yang menimbulkan
keraguan melalui tarekat-tarekat. Kritikan Sayyid Usman menurut

31
Muhammad Zafar, ‚Islam di Jakarta: Studi Sejarah Islam dan Budaya
Betawi‛, (Disertasi UIN Syarif Hidayatullah, 2001), 164.
32
Ahmad Fadli memberikan informasi berbeda. Sayyid Usman diangkat
menjadi Mufti menggantikan Shaykh ‘Abd al-Ghani Bima. Tidak seperti yang
diungkap Azra bahwa Shaykh tersebut sebagai pembantu Sayyid Usman. Ahmad
Fadli, Ulama Betawi, 80.
33
Muhammad Zafar, Islam di Jakarta, 278.
34
Husnul Aqib Suminto, ‚Islam di Indonesia; Sinkretisme, Pemurnian dan
Pembaharuan‛, Studia Islamika, Jakarta, Mo.21, tahun XI, 1985, 161.
35
Muhammad Noupal, ‚Pemikiran keagamaan Sayyid Usman bin Yahya‛, 81.

8
Steenbrink merupakan wujud idealisasi masa lampau,36 yang
menyatakan bahwa generasi sufi terdahulu lebih baik dari masa kini.
Sedangkan menurut Azra, hal inilah yang menjadi bukti bahwa Sayyid
Usman menentang praktek-praktik sufi, terutama tarekat.37 Begitu
juga Laffan mengaitkan hal ini sebagai bentuk oposisi Sayyid Usman
terhadap tarekat-tarekat yang berkembang saat itu.38 Hal ini semakin
dibuktikan dengan kritiknya terhadap ulama tarekat Naqsyabandiyah,
salah satu kritik ditujukan kepada Shaykh Isma’il bin Abdullah al-
Minangkabawi39 dalam karyanya yang berjudul Jam’u al-tahqi>qa>t fi
Aqsa<m Khawa <riq al-‘Adah.40 Menurut Sayyid Usman, tarekat ini
membawa kehancuran bagi umat Islam. Ia juga menimbang bahwa
sangat sedikit guru-guru sufi yang dapat dipercaya (pseudosufi).
Banyak orang yang mempraktekkan tarekat, tetapi tidak memenuhi
syarat seperti yang telah dirumuskan para pendiri tarekat.
Sayyid Usman menulis beberapa karya terkait dengan masalah
tarekat yang kala itu sering dibicarakan. Di antaranya yang cukup
populer, al-Nas{i>h{ah al-‘ani>qah li al-Mutalabbisi<n bi al-T{ari>qah
(Nasehat yang Elok kepada Orang-Orang yang Masuk Tarekat),41 al-
Wathi<qah al-Wafiyyah fi ‘Uluwwi Sha’n T>{ari>qat al-S}ufiyyah

36
Lihat Steenbrink, Beberapa Aspek Islam di Indonesia Abad 19 (Bandung:
Bulan Bintang, 1984), 185. Lihat pula Muhammad Noupal, ‚Pemikiran keagamaan
Sayyid Usman bin Yahya‛, 281.
37
Azyumardi Azra, ‚Hadra@mi Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora‛,
23.
38
Michael Francis Laffan, Islamic Nationhood and Colonial, 86. Laffan,
berdasarkan laporan K.F. Holle, menyebutkan bahwa Sayyid Usman juga menentang
perlawanan terhadap kolonial di Banten yang disokong oleh pengikut-pengikut
tarekat.
39
Mengenai ketokohan dan karya-karya ulama ini, Lihat Wan Shaghir
Abdullah, Penyebaran Islam dan Silsilah Ulama Sejagat Dunia Melayu , vol. 11, 43-
56. Menarik untuk dikemukakan bahwa, kritik Sayyid Usman terhadap Shaykh
Isma’il Minangkabau mendapat tantangan dari ulama lokal, seperti halnya Tuanku
nan Garang. Tokoh yang belum bisa di identifikasi ini, menulis karya bernada berang
dan kasar dalam bentuk sya’ir Melayu untuk memojokkan sang Mufti Betawi. Baca
Tuanku nan Garang, [ Kepada Usman mengaturkan surat, dengan bahasa Melayu
segala ibarat, luas padaku tidak darurat, semoga manfaat dunia akhirat ]. Naskah
koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, kode Naskah 104aKFH_30.
40
Sayyid Usman bin Abdullah bin Aqil Betawi, Jam’u al-Tahqiqa<t fi Aqsa<m
Khawa >riq al-‘Adah (Batavia: Percetakan Sayyid Usman, t.t), 4.
41
Lihat Sayyid Usman bin Abdullah bin Aqil Betawi, al-Nas{i>h{ah al-‘ani<qah li
al-Mutalabbisi<n bi al-T{ari<qah manuskrip yang ditulis dalam aksara Latin, koleksi
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta, nomor microfilm ML.275.

9
(Kepercayaan yang Menyampaikan Segala yang Hak di dalam
Ketinggian Tarekat Su>fiyah),42 Ini Boekoe Ketjil buat Mengetahui
Arti Tarekat dengan Pendek Bicaranya,43 judul lainnya tentang
tarekat, khusus pembahasan tentang Ratib Samma>n yaitu Tanbih al-
Ghusman di dalam Perkara Ratib Samma>n. Didalam kitab al-Nas{i>h{ah
al-‘ani<qah li al-Mutalabbisi<n bi al-T{ari<qah memuat bahwa seorang
yang hendak bertarekat hendaknya menguasai tiga cabang ilmu Islam
yakni ilmu tauhid, fiqh, dan ilmu sifat hati (tasawuf) secara holistik.
Karya tulis ini merupakan permintaan beberapa orang yang datang
kepada Sayyid Usman agar ia menjawab seputar masalah-masalah
tarekat Naqsyabandiyah dan tarekat yang lainnya yang berkembang
pesat kala itu.44 Diantaranya, apakah menurut hukum syari’at, belajar
dan mengamalkan tarekat itu hukumnya adalah wajib, dan haruskah
mendahulukan pelajaran tentang ilmu-ilmu yang pokok (usu>l) dan ilmu
tentang syarat dan rukun shalat?; Kedua, apakah guru tarekat atau
shaykh tarekat boleh memberikan ijazah kepada semua orang, atau ia
memilih murid yang telah cukup melaksanakan kewajiban utamanya
(fard{u a’in)?.45
Sayyid Usman merasa perlu menjawab hal tersebut yang
merupakan kewajibannya sebagai mufti. Sekali lagi, ia tetap
mengkritisi orang yang ingin memasuki dunia tarekat dan orang-orang
yang menganut ajaran martabat tujuh. Kritik tersebut didasari karena
praktek-pratek pada saat itu masuk dalam kategori bid’ah. Dan
menurut analisa Azra dan Laffan, karya-karya ini mencerminkan sikap
antipatinya terhadap tarekat.46
Berbeda dengan Muhammad Syamsu AS, ia menyebutkan bahwa
pernyataan tentang Sayyid Usman sebagai penentang tarekat
merupakan asumsi. Ia mengemukakan bahwa Sayyid Usman belajar
tasawuf dan tarekat di Makkah dikarenakan gurunya yakni Sayyid

42
Sayyid Usman bin Abdullah bin Aqil Betawi, al-Wathi<qah al-Wafiyyah fi
‘Uluwwi Sha’n T>a{ ri<qat al-S}ufiyyah ( Batavia: t.p., 1303 H).
43
Sayyid Usman bin Abdullah bin Aqil Betawi, Ini Boekoe Ketjil (1904).
Koleksi literatur langka Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta, nomor
XXXII-956.
44
Azyumardi Azra, ‚Hadra>mi Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora‛,24.
45
Sayyid Usman bin Abdullah bin ‘Aqil Betawi, al-Nas{i>h{ah al-‘ani<qah li al-
Mutalabbisi<n bi al-T{ari<qah, 1. Hal ini dijelaskan dalam Disertasi Muhammad
Noupal, ‚Pemikiran Keagamaan Sayyid Usman bin Yahya‛, 259.
46
Azyumardi Azra, ‚Hadra>mi Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora‛,86.

10
Ahmad Zaini Dahlan pembawa tarekat Alawiyah.47 Hal ini juga
dikuatkan dengan beberapa karyanya yang membahas tentang kajian
sufistik. Karya tersebut terbagi menjadi beberapa tema yang dapat
dikaitkan dengan tasawuf. Contohnya seperti Naja<t al-Akhya<r min al-
Injira<r ila al-Ightira>r,48 Jam’u al-Tahqi>qa>t fi Aqsa>m Khawari>q al-
‘Ada>h, Fas`lu al-Khit`a>b fi Baya>n al-S`awa<b, dan S{aun al-Din min
Nazagha>t al-Mud`illi>n. Kitab-kitab ini membahas tentang persoalan-
persoalan aqidah, syari’at, dan menyinggung masalah tarekat. Sayyid
Usman menyebutkan pula dibeberapa bagian kitab ini masalah
mengenai syarat-syarat orang yang melaksanakan tarekat secara
mendalam agar tidak mengalami kekeliruan. Begitu pula dalam
karyanya Tanbih al-Gusma<n yang menerangkan beberapa kesalahan
gramatikal dalam kalimat la> ila>ha illa-Allah yang dibaca dalam Ratib
Samma>n. Ia menerangkan adab dan tata cara berzikir yang ketika
sedang membaca Ratib Samma>n.
Dalam karya-karyanya yang lain, Sayyid Usman juga terlihat
sebagai penulis sufi, seperti Risalah Dua Ilmu, Ada>b al-Insa<n, Ba>b al-
Minan, Maslak al-Akhyar. Dari beberapa karyanya tersebut diketahui
perhatian besar Sayyid Usman terhadap tasawuf, dengan menekankan
perbaikan akhlak. Terutama dilihat dalam kitab Risalah Dua Ilmu,
Sayyid Usman membagi pengertian ulama menjadi dua macam, yaitu
Ulama Dunia dan Ulama Akhirat. Ulama dunia itu tidak ikhlas,
materialistis, berambisi dengan kedudukan, sombong dan angkuh,
sedangkan ulama akhirat adalah orang yang ikhlas, tawadhu’ yang
berjuang mengamalkan ilmunya tanpa pretense apa-apa, lillahi ta’ala,
hanya mencari Ridho Allah semata. Ini mungkin menjadi salah satu
bagian dari pandangan tasawuf Sayyid Usman yang pada dasarnya
masih ada keberpihakan terhadap perbaikan moral dan akhlak. Masih
banyak pandangan-pandangan Sayyid Usman yang belum terungkap
oleh peneliti lain terutama di bidang tasawuf.
Selain kritik terhadap tarekat, Sayyid Usman juga mengkritisi
masalah pemurnian darah sayyid,49 didalam bukunya yang berjudul al-
Qawa<nin al-shar’iyyah li-ahl al-maja<lis al-hukmiyyah wa al-ifta’iyyah
diterangkan pada bab ke-19 tentang persyaratan hukum tentang

47
Ahmad Fadli, Ulama Betawi, 83.
48
Sayyid Usman bin Abdullah bin ‘Aqil Betawi, Naja>t al-Akhya>r min al-
Injira>r ila al-Ightira>r (Batavia: Percetakan Sayyid Usman, 1901).
49
Dibahas dalam Azyumardi Azra, ‚Hadra>mi Scholars in the Malay-
Indonesian Diaspora‛, 12.

11
hubungan para suami terhadap kelahiran dan derajat. Didalam buku
tersebut, Sayyid Usman menetapkan bahwa seharusnya derajat suami
paling sedikitnya sama atau lebih tinggi daripada orang bukan Arab.50
Inilah yang menjadi acuan dan kritikan Sayyid Usman terhadap para
sayyid yang banyak menikah bukan dari golongan shari<fah. Persoalan
kafa<’ah ini didefinisikan sebagai perkawinan yang sepadan (kufu<’;
sederajat) juga tertuang didalam karangannya yang berjudul Qaul al-
H>a> qq bi al-Bas{i>rah fi Ibn al-Mujtari Khabits al-Sari>rah.51
Masih banyak pemikiran Sayyid Usman yang menjadikan ia ulama
yang penuh dengan kontoversi. Begitu pula pemikirannya mengenai
jihad, didalam karangannya berjudul Manha>j al-Istiqa>mah fi al-Din al-
Sala>mah, Sayyid Usman mengkritik secara tajam jihad yang dilakukan
oleh masyarakat Banten pada tahun 1888. Jihad tersebut menurutnya
hanya sebagai gangguan keamanan, yang akan membawa sengsara bagi
umat Islam. Ia juga pernah berpolemik dengan Shaykh Ahmad Khatib
al-Minangkabawi tentang ta’addud Jum’at. Perselisihan timbul antara
masjid lama (Masjid Agung atau Masjid Sultan) dengan masjid baru
(masjid Lawang Kidul). Masjid baru yang dibangun oleh Masagus Haji
Abdul Hamid ini juga akan dipakai untuk menunaikan shalat jum’at.
Sayyid Usman membela beberapa ulama Palembang yang menolak
adanya shalat jum’at di dua masjid dalam satu daerah yang disebut
dalam ta’addud Jum’at. Awalnya, keputusan ini merupakan hasil dari
musyawarah agama yang dilakukan oleh para ulama Palembang pada
waktu itu. Namun, beberapa ulama memperbolehkan untuk melakukan
shalat Jum’at di Masjid baru Lawang Kidul dengan mengambil fatwa
dari Shaykh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Timbullah perselisihan
diantara keduanya bermula dengan kritik terhadap buku Mu>zil al-
Awha>n (1894) karya sayyid Usman dan dikritik oleh Shaykh Ahmad
Khatib melalui tulisannya S~ulh` al-Jama>’ataini bi Jaw@zi Ta’addud al-
Jum’ataini (1894).
Kehidupan Sayyid Usman sebagai Mufti Betawi yang kala itu
selalu menjadi kontroversi, menjadi kajian menarik dalam penelitian
ini terutama kritiknya terhadap tarekat. Kedekatannya dengan kolonial
Belanda juga menjadi pembahasan peneliti dikarenakan banyak yang

50
Soedarso Soekarno, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje (Jakarta: INIS,
1993), 49.
51
Sayyid Usman, Qawl al-H{aqq bi al-Basirah fi Ibn al-Mujtari Khabitsi al-
Sari<rah (Manuskrip), 2.

12
menganggap kritik tersebut merupakan pengaruh dari kekuasaan
kolonial.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dipaparkan
sebelumnya, penulis hendak meneliti kritik Sayyid Usman bin ‘Aqil
bin Abdullah Betawi terhadap tarekat pada abad ke-19 dan 20.
Kemudian. Untuk meneliti masalah tersebut akan disebutkan
identifikasi masalah.
Pertama, sebelum membahas problematika tasawuf Sayyid Usman
maupun biografinya, penulis memaparkan dinamika perdebatan
tasawuf nusantara sejak abad ke-XVII hingga abad ke-19 dan 20. Hal
ini dimaksudkan agar terlihat jelas polemik dan perkembangan tasawuf
di nusantara. Kemudian, mengaitkannya dengan masa ketika Sayyid
Usman hidup ditengah-tengah masyarakat menjadi seorang Mufti
Betawi.
Kedua, Sayyid Usman merupakan salah satu ulama Hadrami yang
terkemuka pada abad ke-19 dan 20. Pengangkatannya sebagai adviseur
honorair voor Arbische Zaken (Penasihat kehormatan untuk urusan
Arab) pada masa pemerintahan Kolonial Belanda menjadi posisi yang
presticius kala itu. Sebagai penasihat pemerintah, ulama, dan penulis
urusan agama, maka timbullah persoalan bagaimana riwayat hidup
Sayyid Usman, karir intelektual, karir politik, karya-karyanya dan
perlu dipaparkan terutama hubungannya terhadap tiga hal tersebut.
Ketiga, polemik dan pergulatan masalah agama dalam kehidupan
Sayyid Usman menjadi topik hangat di dalam penulisan ini. Beberapa
peneliti sebelumnya menganggap bahwa Sayyid Usman adalah seorang
ulama yang antipati terhadap ajaran sufistik. Dengan beberapa karya
seperti al-Nas{i>h{ah al-‘ani<qah li al-Mutalabbisi<n bi al-T{ari<qah (Nasehat
yang Elok kepada Orang-Orang yang Masuk Tarekat), al-Wathi<qah al-
Wafiyyah fi ‘Uluwwi Sha’n T>{ari<qat al-S}ufiyyah (Kepercayaan yang
Menyampaikan Segala yang Hak di dalam Ketinggian Tarekat
Su<fiyah), Ini Boekoe Ketjil buat Mengetahui Arti Tarekat dengan
Pendek Bicaranya, membuktikan bahwa Sayyid Usman banyak
mengkritik ajaran-ajaran tarekat yang berkembang pada masanya.

13
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi di atas, maka pembatasan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Pembahasan mengenai Pemikiran dan kritik Sayyid Usman bin
Yahya dalam karya-karyanya. Pemikiran ini difokuskan kepada
jawaban-jawaban Sayyid Usman ketika umat menanyakan
masalah agama yang berkenaan dengan tasawuf dan tarekat,
sedangkan kritik ditujukan kepada Pseudosufi dan guru tarekat
yang tidak melakukan ajaran tarekat secara benar.
b. Fokus permasalahan dari penelitian ini adalah pengaruh kritik
Sayyid Usman terhadap dinamika perkembangan tarekat di
Nusantara serta respon tokoh tarekat yang dianggap oleh
Sayyid Usman menyimpang dari syari’at Islam.

3. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah di atas, masalah
utama dalam penelitian ini ialah kritik terhadap tarekat: kajian
terhadap pemikiran Sayyid Usman bin Yahya. Namun, untuk lebih
fokusnya penelitian ini, maka rumusan masalah yang diajukan sebagai
berikut:
a. Bagaimana kritik Sayyid Usman terhadap tarekat yang
berkembang pada abad ke-19 dan 20?
b. Bagaimanakah polemik yang terjadi antara Sayyid Usman
dengan ulama-ulama yang sezaman mengenai tasawuf dan
tarekat?
c. Apakah kritik Sayyid Usman memiliki keterkaitan dengan
pengaruh pembaruan yang terjadi di Makkah?

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Dalam beberapa tahun terakhir, telah banyak kajian dan penelitian


terkait pemikiran ulama-ulama Hadrami, khususnya mengenai Sayyid
Usman. Namun, hingga saat ini belum ada kajian khusus terhadap
pemikiran tasawufnya dengan berdasarkan karya-karya tulis yang
dihasilkannya. Ada beberapa kepustakaan yang relevan dengan
pembahasan pada penelitian ini, yang mempunyai kaitan dengan
pembahasan Sayyid Usman bin Yahya, diantaranya:

14
Pertama, Azyumardi Azra, ‚Hadra@mi Scholars in the Malay-
Indonesian Diaspora: A Preliminary Study of Sayyid Uthman‛, 1995.
Artikel yang dimuat dalam jurnal Studia Islamika ini berbicara
mengenai biografi Sayyid Usman, berikut sikap-sikapnya yang
dianggap kontroversial, seperti masalah Jihad dan penentangannya
terhadap sufi. Dalam jurnal ini, Azra menampilkan pemikiran
keagamaan Sayyid Usman secara global menyangkut kritiknya
terhadap bid’ah dan tarekat. Ia juga menguraikan kecaman-kecaman
Sayyid Usman terhadap kondisi sosial keagamaan masyarakat
Indonesia pada masanya. Namun, Azra hanya menampilkan mengenai
kritik terhadap tarekat cukup singkat. Deskripsi tentang pemikiran
keagamaan Sayyid Usman terutama di bidang tarekat perlu adanya
kajian lebih lanjut, disebabkan dalam beberapa karya Sayyid Usman
terdapat ajaran-ajaran yang mengandung tasawuf.
Kedua, Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di
Indonesia Abad ke-XIX. Buku yang terbit tahun 1984 melalui terbitan
Bulan Bintang, membahas tentang posisi politis Sayid Usman sebagai
penasihat kehormatan kolonial Belanda serta hubungannya dengan
orientalis Indonesianis Snouck Hurgronje. Bahasan mengenai hal ini
ditulis dalam satu sub bab. Dalam satu sub bab tersebut, Steenbrink
juga berkesimpulan bahwa Sayyid Usman mempunyai sikap yang anti-
tarekat dan anti-jihad. Dan disebutkan pula, Sayyid Usman merupakan
seorang reformator dalam bidang ibadah. Steenbrink menilai dari
karya-karya Sayyid Usman yang memfokuskan pada interpretasi Fiqh
dan beberapa persoalan aqidah. Sayangnya, Karel belum melengkapi
alasannya mengenai sikap Sayyid Usman yang menurutnya anti-
tarekat. Perlu adanya kajian mendalam mengenai dibalik sikap Sayyid
Usman yang dinilai menimbulkan banyak kontroversi.
Tiga, Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan
Lokal, 2002. Dalam karya ini, Azra mengulang apa yang telah
ditulisnya dalam Hadra@mi Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora:
A Preliminary Study of Sayyid Uthman (jurnal Studia Islamika, 1995).
Buku ini memudahkan peneliti dalam mengulas kembali jurnal yang
telah diterbitkan sebelumnya. Namun, sama halnya yang telah
dipaparkan dalam jurnal, penjelasan mengenai pandangan Sayyid
Usman terhadap tarekat masih cukup singkat. Maka, penelitian ini
bermaksud memaparkan secara terperinci kritik Sayyid Usman
terhadap masalah-masalah khususnya mengenai tarekat.

15
Empat, Ahmad fadli, Ulama Betawi: Studi tentang Jaringan
Ulama Betawi dan Kontribusinya terhadap Perkembangan Islam abad
ke-19 dan 20 (Jakarta: Manhalun Nasyi-in, 2011). Ahmad Fadli dalam
edisi terbit tesisnya ini berbicara sepintas mengenai Sayyid Usman
berikut sikap anti sufinya. Ahmad Fadli menyimpulkan bahwa Sayyid
Usman adalah ulama yang berorientasi pada syari’ah dan mengkritik
praktek bid’ah. Tesis ini menyebutkan karya-karya terpopuler yang
diproduksi oleh Sayyid Usman. Namun, karena biografi Sayyid Usman
ditulis secara ringkas, tesis ini belum menggambarkan bagaimana
posisi Sayyid Usman dalam merespon tarekat maupun membahas
masalah tasawuf yang termaktub dalam karyanya.
Lima, Mastuki HS. Dan M. Ishom El-Saha (eds), Intelektualisme
Pesantren, 2006. Mastuki HS. dan M. Ishom El-Saha mengelompokkan
beberapa ulama yang terlibat dalam perkembangan pesantren serta
menuliskan beberapa biografinya termasuk Sayyid Usman. Buku ini
menjelaskan riwayat hidup ulama yang berhasil menyebarkan
keilmuannya di Nusantara. Karena berisikan sejumlah biografi ulama-
ulama didalamnya, pembahasan mengenai Sayyid Usman juga sangat
sedikit. Ranah mengenai tarekat hanya dibahas beberapa paragraf saja.
Hal tersebut juga sudah dibahas oleh beberapa peneliti lainnya dalam
buku-buku yang telah terbit sebelumnya.
Enam, Muhammad Zafar Iqbal, Islam di Jakarta: Studi Sejarah
Islam dan Budaya Betawi, 2001. Disertasi ini menelaah tentang
perkembangan historis kota Jakarta, pengaruh Islam dalam adat-
istiadat Betawi. Tokoh-tokoh yang berperan penting di Batavia juga
disebutkan dalam disertasi ini, termasuk Sayyid Usman bin Yahya.
Begitupula dengan pembahasan dalam buku sebelumnya, penjelasan
mengenai Sayyid Usman hanya menyentuh sejarah intelektual dan
karir intelektualnya saja.
Tujuh, Muhammad Noupal, Pemikiran Keagamaan Sayyid Usman
bin Yahya: Respon dan Kritik terhadap Kondisi Sosial Keagamaan di
Indonesia, 2008. Disertasi ini menampilkan pemikiran keagamaan
Sayyid Usman, khususnya melihat pandangan Sayyid Usman terhadap
kondisi sosial keagamaan di Indonesia. Pemikiran keagamaan itu di
jelaskan dalam 3 bidang keilmuan, yakni bidang akidah, syari’ah, dan
tasawuf. Pembahasan mengenai tasawuf dijelaskan pada bab terakhir
dan menyinggung sebab-sebab sikap Sayyid Usman yang antipati
terhadap tarekat. Namun, disertasi ini menurut peneliti belum
menguak pengaruh sikap Sayyid Usman yang sangat concern terhadap

16
tarekat. Perlu adanya kajian yang lebih spesifik dalam satu penelitian
utuh pandangan Sayyid Usman terhadap tasawuf dikarenakan ada
beberapa karyanya yang belum dikaji serta mengaitkannya dengan
dampak kritik Sayyid Usman terhadap tarekat yang berkembang
setelahnya.

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah utama di atas, maka, penelitian ini bertujuan


merekonstruksi kritik Sayyid Usman terhadap tarekat berdasarkan
kepada karya-karyanya. Namun demikian, penelitian ini secara rinci
mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Mengeksplorasi beberapa kritik Sayyid Usman terhadap tarekat
yang berkembang pada abad ke-19 dan 20.
2. Menguraikan perbedaan pemahaman antara Sayyid Usman dan
ulama-ulama lain di zamannya mengenai tasawuf dan tarekat.
3. Mengetahui dampak kritik Sayyid Usman terhadap dinamika
perkembangan tarekat setelahnya.

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:


1. Menambah khazanah studi mengenai tokoh ulama Nusantara,
terutama mengenai pemikirannya di bidang tasawuf yang selama
ini belum mendaat perhatian secara serius dikalangan akademik.
2. Menjadi salah satu bahan rujukan bagi semua pihak yang
mempunyai kepentingan dengan kajian terhadap dinamika
pemikiran tasawuf di Nusantara, terutama terkait dengan tokohnya
Sayyid Usman.

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian
Kajian ini menganalisis tasawuf Sayyid Usman bin Yahya melalui
karya-karya baik yang diterbitkan maupun dalam bentuk manuskrip.
Selain itu, dipaparkan pula setting dan latar sosial keagamaan islam

17
Nusantara dan Batavia. Kajian ini termasuk dalam kategori penelitian
sejarah sosial dan intelektual.
Menurut Kuntowijoyo, sejarah merupakan rekonstruksi masa lalu,
yaitu rekonstruksi apa yang telah dipikirkan, dikerjakan, dikatakan,
dirasakan, dan dialami oleh orang. Namun, perlu ditegaskan bahwa
membangun kembali masa lalu bukan untuk kepentingan masa lalu itu
sendiri.52 Sejarah mempunyai arti penting untuk masa kini dan masa
yang akan datang.
Sejarah sosial yang terdapat dalam penelitian ini meneliti aspek
kehidupan yang menekankan kepada kajian atau analisis terhadap
faktor-faktor bahkan ranah sosial yang mempengaruhi terjadinya
sebuah peristiwa sejarah. Sejarah sosial disebut juga sejarah mengenai
gerakan-gerakan sosial (social movement) yang berkembang dalam
sejarah, dan terkadang diartikan sebagai sejumlah aktivitas manusia
seperti kebiasaan (manners), adat istiadat (customs) dan kehidupan
sehari-hari (everyday life).53
Kemudian, sejarah sosial mengalami perkembangan yang sangat
luas. Menurut Azra, sejarah sosial berkembang meliputi beberapa
bidang antara lain demografi dan kinship, kajian masyarakat perkotaan
(urban), kelompok-kelompok dan kelas sosial, sejarah mentalitas atau
kesadaran kolektif, transformasi masyarakat, misalnya akibat
industrialisasi dan modernisasi, gerakan sosial atau fenomena protes
sosial, sejarah pendidikan, tradisi keilmuan, ilmu dan kekuatan
(knowledge and power) serta diskursus (wacana) intelektual.54 Jadi,
sejarah sosial menjadi induk dari sejarah intelektual.
Sejarah intelektual disebut sebagai sejarah pemikiran (history of
thought) atau sejarah ide (history of ideas). Menurut Crane Brinton,
sejarah intelektual mencoba mencari kembali dan memahami terhadap
penyebaran karya pemimpin kebudayaan. Sejarah intelektual juga
mencoba memahami hubungan antara ide tertentu pada satu pihak dan
dipihak lain ‚kecenderungan‛ (drives) dan ‚kepentingan‛ (interest),
serta faktor-faktor non-intelektual pada umumnya, dalam sosiologi

52
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya, 1995), 17.
53
Azyumardi Azra, ‚Historiografi Islam Indonesia Antara Sejarah Sosial,
Sejarah Total dan Sejarah Pinggiran‛, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus
AF, Menjadi Indonesia (Bandung: Mizan, 2006), 5-6.
54
Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer (Jakarta: Gramedia
Pustaka, 2002), 82

18
perorangan dan masyarakat.55 Jadi, penelitian ini terfokus kepada
kritik Sayyid Usman dibidang ilmu tasawuf yang didalamnya
mengandung polemik, penolakan dan solusi tasawuf yang ingin
disebarluaskan oleh Sayyid Usman.

2. Sifat Penelitian
Penelitian yang penulis ajukan termasuk penelitian kepustakaan
(library research), maka dalam penelitian ini digunakan sumber-sumber
atau data-data kepustakaan yang memiliki kaitan langsung dengan
masalah yang sedang diteliti. Adapun langkah kerja yang dilakukan
adalah: Pertama, Mengumpulkan buku-buku asli karangan Sayyid
Usman dan kumpulan biografinya, baik yang masih dalam bentuk
manuskrip maupun yang telah dicetak, seperti al-Nas{i>h{ah al-‘ani<qah li
al-Mutalabbisi<n bi al-T{ari<qah (Nasehat yang Elok kepada Orang-
Orang yang Masuk Tarekat), al-Wathi<qah al-Wafiyyah fi ‘Uluwwi
Sha’n T>{ari<qat al-S}ufiyyah (Kepercayaan yang Menyampaikan Segala
yang Hak di dalam Ketinggian Tarekat S}uf< iyah), Ini Boekoe Ketjil
buat Mengetahui Arti Tarekat dengan Pendek Bicaranya, Risalah Dua
Ilmu, Ada<b al-Insa<n, Ba<b al-Minan, Maslak al-Akhyar, Naja<t al-
Akhya<r min al-Injira<r ila al-Ightira<r,56 Jam’u al-Tahqi<qa<t fi Aqsa<m
Khawar<iq al-‘Ada<t, Fas`lu al-Khit`a<b fi Baya<n al-S`awa<b, dan Saun al-
Din min Nazagha<t al-Mud`illi<n. Kedua, Menganalisa buku-buku
karangan Sayyid Usman serta merumuskan bentuk-bentuk tasawufnya.

a. Sumber Primer
Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah
karya-karya asli Sayyid Usman khususnya yang menyangkut
pemikiran keagamaan dan kritik terhadap tasawuf yang berkembang
pada masa hidupnya. Sumber data primer didapatkan melalui karya
yang sudah diterbitkan dan tersebar luas di masyarakat, manuskrip di
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) dan Arsip Nasional

55
Lihat Crane Brinton, Sejarah Intelektual, dalam Taufik Abdullah dan
Abdurrahman Surjomiharjo, Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif
(Jakarta: Yayasan ilmu-ilmu Sosial, LEKNAS LIPI dan Gramedia, 1985), 201.
56
Sayyid Usman bin Abdullah bin ‘Aqil Betawi, Naja>t al-Akhya>r min al-
Injira>r ila al-Ightira>r (Batavia: Percetakan Sayyid Usman), 1901.

19
Republik Indonesia (ANRI), dan beberapa yang masih tersimpan
dengan baik dalam koleksi keturunan Sayyid Usman.

b. Sumber Data Sekunder


Selain dari karya-karya tersebut, penulis juga memasukkan tulisan
dari Snouck Hurgronje dan beberapa peneliti lain mengenai Sayyid
Usman, atau sumber lain yang relevan dengan penelitian ini.

3. Langkah-Langkah Penelitian
a. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data dipergunakan teknik dokumenter atau
collecting document. Teknik dokumenter digunakan untuk menelusuri
tulisan Sayyid Usman yang telah terpublikasi atau tidak, seperti
catatan pribadi/harian, catatan pengajian, dan sebagainya.

b. Analisis Data
Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan cara deskriptif
analitis. Cara yang digunakan melalui langkah-langkah, yaitu
mendeskripsikan masalah-masalah penting yang berkaitan dengan
pemikiran, ajaran, dan praktek tasawuf Sayyid Usman. Contohnya:
dasar pemikiran, pengertian tasawuf, fungsi praktis tasawuf, unsur
utama dalam tasawuf, motivasi melakukan ibadah, ajaran tentang
wirid dan zikir, dan lainnya. Langkah berikutnya, dilakukan analisis
terhadap pemikiran dan ajaran penting tersebut. Dalam analisis ini,
juga digunakan analisis kritis dan komparatif. Analisis kritis
digunakan untuk menilai dan mengkritisi pemikiran dan ajaran tasawuf
Sayyid Usman dari segi kelebihan dan kekurangannya. Selanjutnya,
analisis komparatif dipakai untuk membandingkan pemikiran Sayyid
Usman dengan tokoh-tokoh sufi lainnya, sehingga dari analisis
tersebut dapat ditemukan jawaban dari masalah yang ditemukan
jawaban dari masalah yang diteliti, yaitu kritik Sayyid Usman
terhadap sufisme yang spekulatif atau pseudosufi.

4. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan historis sosiologis. Pendekatan sejarah membahas berbagai
peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar

20
belakang dan pelaku peristiwa.57 Pendekatan ini digunakan mengingat
material penelitian berkaitan dengan pemikiran seorang tokoh melalui
karya-karyanya di masa lalu, dengan melihat situasi dan kondisi
historis sosiologis yang melatarbelakangi kehidupannya. Pendekatan
sosiologis terhadap agama tidak hanya memberikan pendekatan
perhatian, terdapat depensi keyakinan dan komunitas keagamaan
terhadap kekuatan dan proses sosial, tetapi juga kekuatan penggerak
organisasi dan doktrin keagamaan dalam dunia sosial, termasuk pada
bentuk dan karakteristik yang khas dari dunia kehidupan yang
dimunculkan oleh komunitas-komunitas religious, baik dalam
masyarakat primitif maupun modern.58 Pendekatan ini dipakai, dalam
rangka untuk menggali data yang terkait langsung dengan
perkembangan sosio-politik, yakni perkembangan kekuasaan,
pemikiran dan aliran yang berkembang di nusantara pada umumnya.
Dari perkembangan sosio-politik itulah, diharapkan dapat
mempertajam penelitian ini, sehingga ditemukan kritik Sayyid Usman
terhadap tarekat abad ke-19 dan 20.

G. Sistematika Penulisan
Tesis ini tediri dari enam bab yang tesusun dalam sistematika
penulisan, rinciannya adalah sebagai berikut:
o Pada bab ini dijelaskan latar belakang diangkatnya Sayyid
Usman sebagai objek penelitian. Selain itu, pada bab ini
dijelaskan rumusan masalah, penelitian terdahulu yang relevan,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
o Bab kedua berisi penjelasan tentang dinamika tasawuf yang
berkembang di Nusantara. Pada bab ini arah kajian terpusat
pada dinamika perkembangan tasawuf abad XIX dan XX di
Haramayn dan Nusantara. Pokok pembahasan inti adalah
pertama mendiskripsikan permulaan tasawuf yang berkembang
di Haramayn dan membentuk jaringan ulama dengan para
murid dari Nusantara. Kedua, menjelaskan transmisi ajaran

57
Imam Prayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), 66.
58
Michael Northcott, ‚Sociological Aproaches‛, dalam Peter Connoly
(editor), Approaches to Study of Religion, (London: Cassel, 1999), 194.

21
tarekat dari Haramayn ke Nusantara, sehingga terlihat titik
temu antara tarekat di Haramayn dan Nusantara. Ketiga,
membahas polemik antara pendukung tarekat dengan pihak
oposisi yang mengutamakan syari’at terlebih dahulu sebelum
memasuki tingkatan-tingkatan dalam tasawuf. Keseluruhan
bab ini, berguna untuk melihat latar belakang peristiwa dan
perdebatan akademik yang berkenaan dengan tasawuf abad
XVII hingga tasawuf yang berkembang di masa hidupnya
Sayyid Usman.
o Bab ketiga berisi ketokohan dan karya-karya Sayyid Usman,
mencakup biografi Sayyid Usman dan latar sosial abad XIX.
Latar sosial difokuskan di Batavia, guna melihat secara dekat
kehidupan keagamaan selama Sayyid Usman menetap didaerah
tersebut. Dalam bab ini disebutkan pula ketokohan Sayyid
Usman sebagai Mufti Betawi dan Penasihat Kehormatan
Belanda, serta membahas mengenai karya-karya Sayyid Usman
yang terkenal baik berupa jawaban hukum Islam yang diajukan
oleh masyarakat, maupun kritik-kritik tajam terhadap tarekat
yang berkembang pada masa hidupnya.
o Bab keempat berisi tentang kondisi gerakan tarekat pada masa
kolonial dan menganalisa pemikiran Sayyid Usman bin Yahya.
Untuk melihat kondisi tarekat, akan dibahas tentang dinamika
gerakan tarekat masa kolonial, peranan tarekat
Naqsyabandiyah abad ke-19. Begitupula disampaikan
mengenai kritik Sayyid Usman terhadap tarekat salah satunya
kritik terhadap mursyid, kritik ini dipaparkan dalam sub bab
tentang polemik Sayyid Usman dengan Shaykh Ismail
Minangkabau. Pada bab ini, penulis menambahkan analisis
pemikiran Sayyid Usman terhadap tarekat.
o Bab kelima berisi analisis terhadap pengaruh kritik Sayyid
Usman terhadap dinamika perkembangan tarekat di Nusantara.
Menjelaskan hubungan sayyid Usman dengan pemerintah
kolonial Belanda. Kemudian, membahas polemik Sayyid
Usman dan respon tokoh tarekat setelahnya. Untuk
mengelaborasi pengaruh kritik Sayyid Usman, dibahas pula
dampak kritiknya di lingkungan hidup Sayyid Usman yakni di
lingkungan masyarakat Betawi.
o Bab keenam berisi penutup, mencakup kesimpulan penelitian
dan saran-saran.

22

Anda mungkin juga menyukai