Anda di halaman 1dari 196

PENCITRAAN PEREMPUAN DALAM HIKÂYAH ZAHRAH

(Kritik Sastra Feminis)

TESIS

Diajukan sebagai Syarat untuk Memperoleh


Gelar Magister Agama dalam Bidang Bahasa dan Sastra Arab

Oleh:
RIZQI HANDAYANI
NIM. 06.2.00.1.06.01.0037

Pembimbing:
Dr. Thoyib, IM. MA.

KONSENTRASI BAHASA DAN SASTRA ARAB


SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009

i
SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Rizqi Handayani
NIM : 06.2.00.1.06.01.0037
Program : S2 (Magister) Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
Konsentrasi : Bahasa dan Sastra Arab
Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis yang berjudul “Pencitraan Perempuan
Dalam Hikayah Zahrah; Kritik Sastra Feminis”, adalah benar karya asli sendiri dan
bukan merupakan jiplakan, kecuali kutipan yang disebutkan sumbernya. Apabila
dikemudian hari tidak benar adanya, maka saya bersedia menerima saksi berupa
pencabutan gelar.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.

Jakarta, 29 April 2009


Yang menyatakan,

Rizqi Handayani

ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis dengan judul “Pencitraan Perempuan Dalam Hikâyah Zahrah; Kritik


Sastra Feminis” yang ditulis oleh Rizqi Handayani, dengan Nomor Induk Mahasiswa
06.2.00.1.06.01.0037, pada Konsentrasi Bahasa dan Sastra Arab, Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, ini telah diperiksa, dan
disetujui untuk dibawa ke sidang ujian.

Jakarta, 29 April 2009


Pembimbing,

Dr. Thoyib, IM. MA.

iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI

Tesis dengan judul “ Pencitraan Perempuan Dalam Hikâyah Zahrah; Kritik


Sastra Feminis ” yang ditulis oleh Rizqi Handayani, dengan Nomor Induk Mahasiswa
06.2.00.1.06.01.0037, pada Konsentrasi Bahasa dan Sastra Arab, Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, ini telah diujikan dalam sidang
munaqasyah tanggal 29 Mei 2009 dan telah diperbaiki sesuai dengan masukan dari dewan
penguji tesis dimaksud.

Mengetahui
Pembimbing/Penguji

Dr. Thoyib, IM, MA


Tanggal: ... Juni 2009

Penguji I Penguji II

Dr. Muhaimin, AG. Dr. Sukron Kamil, MA


Tanggal: ... Juni 2009 Tanggal: ... Juni 2009

iv
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan keimanan, kebahagiaan dan
kekuatan di setiap hembusan nafas hamba, sehingga rasa syukur ini tak dapat terungkap
sekedar lewat kata. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah untuk Nabi Muhammad
saw yang telah membawa perubahan besar sehingga perempuan berangsur-angsur
mendapatkan hak dan kewajibannya sebagai mahluk Allah SWT untuk mengembangkan
potensi diri dalam kehidupan duniawi.
Saat-saat ini adalah moment yang sangat berarti bagi penulis, di mana perjuangan
penulis untuk merampungkan tesis ini pada akhirnya selesai pada batas akhir yang telah
dijanjikan. Penulis merasa sangat rapuh tanpa kehadiran beberapa pihak yang terus
mensupport penulis baik dalam semangat maupun kemandegan pikiran. Obrolan dan
diskusi ringan yang selalu diberikan sepanjang penulisan tesis ini sangat membantu dan
menginspirasi penulis untuk menuangkan ide-ide dan menggaungkannya dalam tulisan.
Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih pada Prof. Dr. Komaruddin Hidayat,
MA selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA selaku
direktur Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan seluruh Jajaran Rektorat dan
Deputi Direktur, staf dan karyawan yang telah membantu memberikan kelancaran pada
penulis dalam menyelesaikan studi ini. Terima kasih ini juga penulis haturkan pada seluruh
civitas akademik Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta tempat penulis mengabdikan
diri sekaligus mengaplikasikan seluruh kemampuan akademik yang telah penulis dapatkan
selama ini, Dr. Abd Chair, MA selaku Dekan, Dra Tati Hartimah, MA, Dr. Abdullah,
M.Ag, Drs. Nawawi, M.Ag, Drs. Adang Asdhari, M.Ag, Dr. Zubair, M.Ag, Dr. Sukron
Kamil, M.Ag, Dr. Cahya Buana, MA, Danti Pujianti, M.Si dan para dosen di Fakultas Adab
dan Humaniora UIN Jakarta.
Secara khusus penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargan
yang setinggi-tingginya kepada guruku Dr. Thoyib, IM, MA. yang telah meluangkan waktu
di tengah kesibukan dan rutinitasnya sehari-hari untuk membimbing dan berdiskusi hingga

v
rampungnya tesis ini. Selain itu terima kasih juga penulis haturkan kepada guru-guruku Dr.
Fuad Jabali, MA., Prof. Dr. Suwito, MA., Dr. Yusuf Rahman, MA., Dr. Udjang Tholib,
MA, dan Dr. Muhaimin, AG., atas kritik dan saran yang diberikan demi kesempurnaan tesis
ini.
Tesis ini penulis persembahkan kepada Ayahanda Dra. H. Norman Syam, M.Pd.
dan Ibunda Dra. Muhaimi Yatim; dengan kesabaran, kasis sayang, perhatian dan motivasi
beliau sehingga memberikan kekuatan dan semangat kepada penulis untuk terus menulis
dan menyelesaikan tesis ini. Berkat doa keluarga pula, penulis mampu menghadapi
berbagai rintangan dan hambatan sepanjang penulisan tesis. Untuk itu, tesis ini juga penulis
persembahkan kepada kakanda Rizqi Wahyudi, S.TP, adinda Rifqi Helmi dan Rifqi
Ramdhani dan semua keluarga besar penulis, semoga menjadi inspirasi bagi keluarga untuk
terus menuntut ilmu dan berkreasi walaupun harus mengorbankan kebersamaan di tengah
tawa-canda keluarga di rumah.
Terima kasih pula penulis ucapkan pada Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Jakarta
yang telah memberikan ruang kepada penulis untuk berkreasi dan beraktivitas, semua
pengalaman yang penulis dapatkan merupakan harga mahal bagi perjuangan yang selama
ini penulis tempuh. Teman-teman yang setia mendukung dan mendampingi penulis dalam
tawa-canda dan tangis: Fitrus, Desi, Uthe, Avenk, Lea, Q2, Q-Lun, Dian, Upeh, Pak
Mukmin, Pak Yudi, Ida, Sahmi, Nani dan seluruh mahasiswa Pascasarjana angkatan
2006/2007; tanpa kalian semua sulit rasanya membayangkan semua ini dapat dijalani
dengan indah.
Terakhir, penulis sadar bahwa tesis ini tak terlepas dari kekurangan dan kesalahan
yang tak disengaja walaupun penulis sudah sekuat mungkin untuk meminimalisir hal
tersebut. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis hargai demi
penyempurnaan di masa yang akan datang. Semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak
dan menjadi sumber inspirasi bagi para akademisi yang minat terhadap bahasa dan sastra
Arab. Amin

vi
ABSTRAK
Rizqi Handayani, Pencitraan Perempuan Dalam Hikâyah Zahrah; Kritik Sastra
Feminis,Jakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah,
2009.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui citra perempuan yang digambarkan
dalam Hikâyah Zahrah, yang meliputi citra diri dan citra sosialnya. Citra diri perempuan
meliputi aspek fisis dan psikisnya, sedangkan citra sosial perempuan meliputi citra
perempuan dalam keluarga dalam citra perempuan dalam masyarakat. Analisis dilanjutkan
dengan membongkar ideologi pengarang yang membentuk representasi-representasi
mengenai pencitraan terhadap perempuan dalam teks-teks novel Hikâyah Zahra, sehingga
diketahui ideologi-ideologi patriarki yang berkembang di dalamnya.
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh semakin maraknya pencitraan negatif dan
diskriminatif terhadap perempuan terkait dengan tubuh dan seksualitasnya dalam berbagai
karya sastra. Padahal pencitraan dan image tersebut muncul berdasarkan karakteristik
budaya dan bahasa masyarakat di mana karya sastra diciptakan. Gagasan mengenai tubuh
dan seksualitas perempuan dalam karya sastra selalu berhadapan pada kenyataan dan
kepentingan sosial, politik dan budaya sehingga kerap melupakan pengalaman perempuan
sebagai pencipta dan penikmat karya sastra. Terlebih, iklim bahasa Arab yang cenderung
diskriminatif memproduksi mitos, simbol dan image negatif terhadap perempuan.
Penelitian ini menemukan bahwa citra diri perempuan yang digambarkan di dalam
teks-teks Hikâyah Zahrah masih berada dalam ketegangan,terlihat keinginan untuk maju
akan tetapi terhambat oleh kungkungan budaya yang membelenggu. Sedangkan dari aspek
psikis, perempuan digambarkan dengan kedinamisan psikis, di mana perempuan pada saat-
saat tertentu sudah mampu menentukan nasib dan pilihannya sendiri, di saat lainnya
perempuan masih tergantung pada konstruk sosial yang patriarkhis. Sedangkan citra
perempuan dalam keluarga digambarkan sebagai ibu rumah tangga, anak dan istri yang
tidak bahagia karena pernikahan yang mereka jalani tidak dilandasi pada keinginan dan
kehendak diri sendiri. Pencitraan perempuan dalam masyarakat dapat dilihat dari
hubungan-hubungan antarindividu dengan individu, maupun antar individu dengan
masyarakat. Dari hubungan tersebut, perempuan digambarkan sebagai perempuan yang
bebas sekaligus penurut karena ketidakberdayaannya. Sebagai seorang istri dan anak, ia
keluar dari norma-norma budaya dan agama dengan mengikuti keegoisannya. Hubungan
perempuan sebagai individu dengan masyarakat dapat dilihat dari tanggapan-tanggapannya
terhadap konstruk sosial yang berkembang di tengah masyarakat, seperti mitos menstruasi,
virginitas, perawan tua dan perkawinan. Dari hasil penelitian tersebut, ditemukan beberapa
potensi perempuan yang menginginkan dialog, perempuan yang ingin mengembangkan
dirinya melalui pendidikan dan pekerjaan.
Penelitian ini merupakan penelitian yang berperspektif feminis menggunakan teori
kritik sastra feminis dengan konsep reading as women, yang mengarah pada studi tentang
simbol, mitos dan proses pencitraan. Sumber utama data penelitian adalah teks-teks pada

vii
novel Hikayah Zahrah karya Hanan al Shaykh. Data penelitian lainnya adalah biografi
pengarang dan kondisi sosial, politik dan budaya, serta didukung oleh beberapa buku
primer maupun sekunder, kamus, majalah, jurnal, koran dan internet yang berkaitan dengan
tema penelitian dan teori-teori yang digunakan yaitu kritik sastra feminis.

viii
ABSTRACT

Rizqi Handayani, The Imagery of Arabian Women in Hikayah Zahra; Feminist Literary
Criticism, Postgraduate Study Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, 2009.
The background of this research is there are many people who use negative and
discriminative character toward the women relating with their bodies and sexuality in
literary works. In fact, the character and image which arise based on the language and
culture which the works have been produced. The idea of sexuality and the body in literary
works always meet to the reality, social, politic, and cultural affair so that in often forget
the women’s experience as the author and the readers. Moreover, the rule of Arabic
language tends to be discriminative, producing the myth, symbol, and negative image
toward the women. Based on Arabic language contains bias gender creating binary
opposition, namely feminine and masculine, therefore also in literary language tend to be
discriminative.
The research finds that sacralization of men and masculinity in Arabic culture
transforms the ideology and idea of patriarchal which are andocentric in literary works. The
use of Arabic language which is metaphorical gender in the style of literary writing has an
effect in the emergence of stereotype, interpretation, and the translation which is
dichotomy, so that the readers are trapped in the nuance of patriarchy and andocentric.
Based on the finding above, this thesis proves the correctness of Benjamin Lee
Whorf’s hypothesis in his book Language, Thought and Reality (1956), and David Graddol
and Joan Swann (1989) in the book Gender Voices stating that language as the reality
symbol which has arbitrary character, mainly is formed and forms the concept of the people
who use it, for acting and comprehending the reality, by the grammatical character and
semantic classification in it. Therefore, the language of patriarchal society is biased by the
willingness of men. That idea constructs a language structure which enables to be a neutral
communication media which is because language and the way of the use reproduce the
social stereotype.
This research is a semiotic research covering two models of reading, heuristic and
hermeneutic (retroactive) which has descriptive character, and use the theory of feminine
literary critics with the concept of reading as women, which leads to the study about
symbol, myth and character process. Semiotic analysis which is implemented is by treating
the novel as a literary text which has the meaningful of symbol structure. The primaries of
data source for this research are the texts in the novel Hikayah Zahra by Hanân asy-Syaikh.
Another data is the biography of the author and the condition of social, politics, and culture,
and supported by several of primary and secondary books, magazine, journal, newspaper,
and internet relating with the theme of research and the theories that are used, namely
structural semiotic and feminine literary critics.

ix
‫ﻣﻠﺨﺺ ﺍﻟﺒﺤﺚ‬
‫ﺭﺯﻗﻲ ﻫﻨﺪﻳﺎﱐ‪ ،‬ﺗﺼﻮﻳﺮ ﺍﳌﺮﺃﺓ ﰲ ﺣﻜﺎﻳﺔ ﺍﻟﺰﻫﺮﺓ‪ :‬ﻧﻘﺪ ﺃﺩﰊ ﻧﺴﻮﻱ ‪ ،‬ﺟﺎﻛﺮﺗﺎ‪ :‬ﻛﻠﻴﺔ ﺍﻟﺪﺭﺍﺳﺎﺕ ﺍﻟﻌﻠﻴﺎ ﺟﺎﻣﻌﺔ‬
‫ﺷﺮﻳﻒ ﻫﺪﺍﻳﺔ ﺍﷲ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺍﳊﻜﻮﻣﻴﺔ‪.٢٠٠٩،‬‬
‫ﻳﻬﺪﻑ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺒﺤﺚ ﺇﱃ ﻣﻌﺮﻓﺔ ﺻﻮﺭﺓ ﺍﳌﺮﺃﺓ ﺍﻟﱵ ﻭﺻﻔﻬﺎ ﻛﺘﺎﺏ ﺣﻜﺎﻳﺔ ﺍﻟﺰﻫﺮﺓ‪ ،‬ﻭﻣﺎ ﻳﺸﻤﻞ ﺻﻮﺭ‪‬ﺎ ﺍﻟﺬﺍﺗﻴﺔ‬
‫ﻭﺍﻻﺟﺘﻤﺎﻋﻴﺔ‪ .‬ﻓﺎﻟﺼﻮﺭﺓ ﺍﻟﺬﺍﺗﻴﺔ ﲤﺸﻞ ﺍﳉﺎﻧﺒﲔ ﺍﳉﺴﻤﻲ ﻭﺍﻟﻨﻔﺴﻲ‪ ،‬ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﺼﻮﺭﺓ ﺍﻻﺟﺘﻤﺎﻋﻴﺔ ﻓﺘﺸﻤﻞ ﺻﻮﺭﺓ ﺍﳌﺮﺃﺓ‬
‫ﰲ ﺍﻷﺳﺮﺓ ﻭﺻﻮﺭ‪‬ﺎ ﰲ ﺍ‪‬ﺘﻤﻊ‪ .‬ﻭﻳﺮﻛﺰ ﺍﻟﺘﺤﻠﻴﻞ ﺑﺎﻟﺘﺎﱄ ﻋﻠﻰ ﺗﻔﻜﻴﻚ ﺃﻳﺪﻳﻮﻟﻮﺟﻴﺔ ﺍﳌﺮﻟﻒ ﺍﻟﱵ ﺗﻜﻮ‪‬ﻥ ﲤﺜﻴﻼﺕ‬
‫ﺑﺸﺄﻥ ﺗﺼﻮﻳﺮ ﺍﳌﺮﺃﺓ ﰲ ﻧﺼﻮﺹ ﺣﻜﺎﻳﺔ ﺍﻟﺰﻫﺮﺓ ﺍﻟﺮﻭﺍﺋﻴﺔ‪ ،‬ﳑﺎ ﳝﻜﻦ ﺍﻟﻜﺸﻒ ﻋﻦ ﺃﻳﺪﻳﻮﻟﻮﺟﻴﺔ ﺃﺑﻮﻳﺔ ﻣﺘﻄﻮﺭﺓ ﺗﻌﻴﺸﻬﺎ‬
‫ﺍﳌﺮﺃﺓ‪.‬‬
‫ﻳﻨﻄﻠﻖ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺒﺤﺚ ﻣﻦ ﺗﺰﺍﻳﺪ ﺗﺼﻮﻳﺮ ﺳﻠﱯ ﻭﲤﻴﻴﺰﻱ ﻟﻠﻤﺮﺃﺓ‪ ،‬ﻳﺮﺗﺒﻂ ﲜﺴﻤﺎﻧﻴﺘﻬﺎ ﻭﺟﻨﺴﻬﺎ ﰲ ﻋﺪﺓ‬
‫ﻣﺆﻟﻔﺎﺕ ﺃﺩﺑﻴﺔ‪ .‬ﻭﺍﳊﻖ ﺃﻥ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺘﺼﻮﻳﺮ ﻧﺎﺗﺞ ﻋﻦ ﺧﺼﺎﺋﺺ ﻟﻐﻮﻳﺔ ﻭﺛﻘﺎﻓﻴﺔ ‪‬ﺘﻤﻊ ﳜﺘﺮﻉ ﻓﻴﻪ ﺍﻷﺩﺏ‪ .‬ﻭﺍﻟﻔﻜﺮﺓ ﰲ‬
‫ﺍﻟﻌﻨﺎﺻﺮ ﺍﳉﺴﻤﺎﻧﻴﺔ ﻭﺍﳉﻨﺴﻴﺔ ﺿﻤﻦ ﺍﳌﺆﻟﻔﺎﺕ ﺍﻷﺩﺑﻴﺔ ﰲ ﻏﺎﻟﺐ ﺍﻷﺣﻴﺎﻥ ﺗﺼﻄﺪﻡ ﺑﺎﻟﻮﻗﺎﺋﻊ ﻭﺍﳌﺼﺎﱀ ﺍﻻﺟﺘﻤﺎﻋﻴﺔ‬
‫ﻭﺍﻟﺴﻴﺎﺳﻴﺔ ﻭﺍﻟﺜﻘﺎﻓﻴﺔ‪ ،‬ﳑﺎ ﻳﺆﺩﻱ ﺇﱃ ﺇﳘﺎﻝ ﲡﺎﺭﺏ ﺍﳌﺮﺃﺓ ﺑﻮﺻﻔﻬﺎ ﻣﺆﻟﻔﺔ ﻭﻣﺴﺘﻤﺘﻌﺔ ﺑﺎﳌﺆﻟﻔﺎﺕ ﺍﻷﺩﺑﻴﺔ‪ .‬ﻭﻓﻀﻼ ﻋﻦ‬
‫ﺃﻥ ﺟﻮ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﳝﻴﻞ ﺇﱃ ﲤﻴﻴﺰ ﰲ ﺇﻧﺘﺎﺝ ﺍﻷﺳﺎﻃﲑ ﻭﺍﻟﺼﻮﺭ ﺍﻟﺴﻠﺒﻴﺔ ﻟﻠﻤﺮﺃﺓ‪.‬‬
‫ﻳﻜﺘﺸﻒ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺒﺤﺚ ﺃﻥ ﺻﻮﺭﺓ ﺫﺍﺗﻴﺔ ﺍﳌﺮﺃﺓ ﺍﳌﻮﺻﻮﻓﺔ ﰲ ﻧﺼﻮﺹ ﺣﻜﺎﻳﺔ ﺍﻟﺰﻫﺮﺓ ﻻ ﺗﺰﺍﻝ ﺣﺎﻓﻠﺔ‬
‫ﺑﺎﻟﺘﻮﺗﺮﺍﺕ‪ ،‬ﻭﻳﺒﺪﻭ ﺃﻥ ﰲ ﺍﻟﻨﺼﻮﺹ ﺭﻏﺒﺔ ﰲ ﺍﻟﺘﻘﺪﻡ ﻭﻟﻜﻨﻬﺎ ﻣﻌﻮﻗﺔ ﺑﺄﻏﻼﻝ ﺍﻟﺜﻘﺎﻓﺔ ﺍﳌﻘﻴﺪﺓ‪ .‬ﻭﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺣﻴﺔ ﺍﻟﻨﻔﺴﻴﺔ‪،‬‬
‫ﺗﻮﺻﻒ ﺍﳌﺮﺃﺓ ﺑﺪﻳﻨﺎﻣﻴﻜﻴﺔ ﻧﻔﺴﻴﺔ ﲝﻴﺚ ﺃﻧـﻬﺎ ﻗﺎﺩﺭﺓ ﰲ ﺑﻌﺾ ﺍﻷﺣﻴﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﺗﻘﺮﻳﺮ ﻣﺼﲑﻫﺎ ﻭﺍﺧﺘﻴﺎﺭﻫﺎ‪ ،‬ﻭﰲ ﺑﻌﺾ‬
‫ﺍﻷﺣﻴﺎﻥ ﺍﻷﺧﺮﻯ ﺃ‪‬ﺎ ﻻ ﺗﺰﺍﻝ ﻣﻌﻠﻘﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺒﻨﻴﺔ ﺍﻻﺟﺘﻤﺎﻋﻴﺔ ﺍﻷﺑﻮﻳﺔ‪ .‬ﻭﺃﻣﺎ ﺻﻮﺭﺓ ﺍﳌﺮﺃﺓ ﰲ ﺍﻷﺳﺮﺓ ﻓﺘﻮﺻﻒ‬
‫ﺑﺎﻋﺘﺒﺎﺭﻫﺎ ﺭﺑﺔ ﺍﳌﻨـﺰﻝ‪ ،‬ﻭﺑﺎﻋﺘﺒﺎﺭﻫﺎ ﺍﺑﻨﺔ ﻭﺯﻭﺟﺔ ﻏﲑ ﺳﻌﻴﺪﺓ‪ ،‬ﻷﻥ ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ ﺍﻟﺬﻱ ﲤﺎﺭﺳﻪ ﻻ ﻳﻨﻄﻠﻖ ﻣﻦ ﺭﻏﺒﺘﻬﺎ‬
‫ﺑﺎﻟﺬﺍﺕ‪ .‬ﻭﳝﻜﻦ ﺗﻮﺿﻴﺢ ﺗﺼﻮﻳﺮ ﺍﳌﺮﺃﺓ ﺑﺎ‪‬ﺘﻤﻊ ﰲ ﺍﻟﻌﻼﻗﺎﺕ ﺑﲔ ﺍﻷﻓﺮﺍﺩ ﺑﻐﲑﻫﻢ‪ ،‬ﻭﺑﲔ ﺍﻷﻓﺮﺍﺩ ﺑﺎ‪‬ﺘﻤﻊ‪ .‬ﻭﻳﺘﺠﻠﻰ‬
‫ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻌﻼﻗﺎﺕ ﺃﻥ ﺍﳌﺮﺃﺓ ﺗﻮﺻﻒ ﻛﻤﺮﺃﺓ ﺣﺮﺓ ﻣﻄﻴﻌﺔ ﰲ ﺁﻥ ﻭﺍﺣﺪ ﻟﻌﺠﺰﻫﺎ ﻭﻋﺪﻡ ﻗﺪﺭﺗـﻬﺎ‪ .‬ﻭﺍﳌﺮﺃﺓ ﺑﺎﻋﺘﺒﺎﺭﻫﺎ‬
‫ﺯﻭﺟﺔ ﻭﺍﺑﻨﺔ ﲣﺮﺝ ﻋﻦ ﺍﳌﻌﺎﻳﲑ ﻭﺍﻟﺜﻮﺍﺑﺖ ﺍﻟﺜﻘﺎﻓﻴﺔ ﻭﺍﻟﺪﻳﻨﻴﺔ‪ ،‬ﻭﺫﻟﻚ ﺑﺎﺗﺒﺎﻉ ﺃﻧﺎﻧﻴﺘﻬﺎ‪ .‬ﻭﻋﻼﻗﺔ ﺍﳌﺮﺃﺓ ﺑﺎﻋﺘﺒﺎﺭﻫﺎ ﻓﺮﺩﺍ ﻣﻦ‬
‫ﺍﻷﻓﺮﺍﺩ ﲟﺠﺘﻤﻌﻬﺎ ﳝﻜﻦ ﺗﻮﺿﻴﺤﻬﺎ ﰲ ﺍﺳﺘﺠﺎﺑﺘﻬﺎ ﻟﻠﺒﻨﻴﺔ ﺍﻻﺟﺘﻤﺎﻋﻴﺔ ﺍﳌﺘﻄﻮﺭﺓ ﰲ ﺍ‪‬ﺘﻤﻊ ﻣﻦ ﺃﻣﺜﺎﻝ ﺃﺳﻄﻮﺭﺓ ﺍﳊﻴﺾ‪،‬‬
‫ﻭﺃﺻﺎﻟﺘﻬﺎ‪ ،‬ﻭﺍﻟﺒﺎﻛﺮﺓ ﺍﻟﻜﺒﲑﺓ ﺍﻟﺴﻦ‪ ،‬ﻭﺍﻟﺰﻭﺍﺝ‪ .‬ﻭﻫﺬﺍ ﺍﻟﺒﺤﺚ ﻳﻜﺸﻒ ﻟﻨﺎ ﺃﻥ ﺍﳌﺮﺃﺓ ﺑﺈﻣﻜﺎﻧﻴﺎﺗـﻬﺎ ﺗﺘﻄﻠﺐ ﺍﳊﻮﺍﺭ‪،‬‬
‫ﻭﺗﻨﻤﻴﺔ ﻧﻔﺴﻬﺎ ﻣﻦ ﺧﻼﻝ ﺍﻟﺘﺮﺑﻴﺔ ﻭﺍﻻﺷﺘﻐﺎﻝ‪ .‬ﻭﺍﷲ ﺃﻋﻠﻢ ﺑﺎﻟﺼﻮﺍﺏ‪.‬‬

‫‪x‬‬
PEDOMAN TRANSLITERASI
ARAB-LATIN

A. Konsonan:
‫= ﺃ‬A ‫ = ﺥ‬Kh ‫ = ﺵ‬Sy ‫ = ﻍ‬Gh ‫= ﻥ‬N
‫= ﺏ‬B ‫= ﺩ‬D ‫ = ﺹ‬Sh ‫= ﻑ‬F ‫= ﻭ‬W
‫= ﺕ‬T ‫ = ﺫ‬Dz ‫ = ﺽ‬Dl ‫= ﻕ‬Q ‫ = ﻫـ‬H
‫ = ﺙ‬Ts ‫= ﺭ‬R ‫ = ﻁ‬Th ‫= ﻙ‬K ‫=ﺀ‬ ‘

‫= ﺝ‬J ‫= ﺯ‬Z ‫ = ﻅ‬Zh ‫= ﻝ‬L ‫= ﻱ‬Y


‫= ﺡ‬H ‫= ﺱ‬S ‫´= ﻉ‬ ‫= ﻡ‬M ‫= ﺓ‬T
B. Vokalisasi:
Vokal Pendek
---- A/a
-ِ-- I/i
-ُ-- U/u
Vokal Panjang
‫ ا‬---
َ Â/â
‫ ي‬-ِ-- Î/î
‫ و‬-ُ-- Û/û
Diftong
‫و‬---
َ Au
‫ي‬---
َ Ai
Pembauran
‫ال‬ al-
‫اﻟﺶ‬ al-sy
‫وال‬ wa al-

Catatan: Metode transliterasi berdasarkan pada Pedoman Akademik Program

xi
Magister dan Doktor Kajian Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
2007/2008.

xii
DAFTAR ISI

Halaman
SURAT PERNYATAAN
PERSETUJUAN PEMBIMBING
PENGESAHAN TIM PENGUJI
KATA PENGANTAR
ABSTRAK
PEDOMAN TRANSLITERASI
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN ................................................................. 1
A. Latar Belakang .................................................................. 1
B. Permasalahan .................................................................... 14
1) Identifikasi Masalah ................................................. .... 14
2) Pembatasan Masalah .............................................. .... 15
3) Perumusan Masalah ............................................... .... 16
C. Tujuan Penelitian .......................................................... .... 16
D. Signifikansi Penelitian .................................................. .... 17
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ............................... .... 18
F. Landasan Teoritis ............................................................... 20
G. Metode Penelitian ...................................................... .... 21
H. Sistematika Penulisan Tesis .......................................... .... 22
BAB II : PEREMPUAN DALAM TINJAUAN KRITIK SASTRA
FEMINIS; LANDASAN TEORITIS
A. Konsep Gender dan Feminis ....................................... .... 24
B. Kritik Sastra Feminis .................................................... .... 37
C. Simbol dan Citra Perempuan dalam Sastra .................. .... 46

xiii
BAB III : HIKAYAH ZAHRA DALAM PROSES PENCIPTAAN;
SEBUAH POTRET SOSIAL, POLITIK DAN BUDAYA .... 59
A. Biografi Pengarang ..................................................... ..... 59
1) Perjalanan Hidup dan Karir ...................................... ..... 60
2) Karya-Karya ........................................................... ..... 63
B. Kondisi Sosial Politik ................................................ ..... 68
C. Kondisi Sosial Budaya ................................................. ..... 77
D. Hikayah Zahrah; Sebuah Sinopsis ............................... ..... 82
BAB IV : CITRA PEREMPUAN DALAM HIKÂYAH ZAHRA....... 85
A. Citra Perempuan dalam Aspek Fisis ........................... ..... 85
1) Childhood Perspective: Sebuah Identifikasi Fisik .... ..... 87
2) Young Women: Membangun Kesadaran Diri ........... ..... 96
3) Adult: Transisi Kebebasan pada Keterkungkungan …… 100
B. Citra Perempuan dalam Aspek Psikis ............................... 114
1) Feminitas (Feminity) ....................................................... 116
2) Kesadaran Diri (Self Consciousness) ............................. 126
C. Perempuan Dalam Aspek Sosial ....................................... 131
1) Peran Perempuan dalam Keluarga ……….……………... 131
a. Seksualitas yang Dikebiri .......................................... 132
b. Perkawinan: Potret Ketundukan ................................. 144
2) Peran Perempuan dalam Masyarakat …………..…….…. 151
a. Stereotipe dalam Konvensi Bahasa dan Budaya ........ 152
b. Diskriminasi dan Marjinalisasi ................................ 161
BAB V : PENUTUP ................................................................................ 167
A. Kesimpulan .......................................................................... 167
B. Rekomendasi ........................................................................ 168
Daftar Pustaka .................................................................................................. 170

xiv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa dalam pengertiannya sebagai sistem lambang bunyi yang arbitrer
berfungsi sebagai sarana komunikasi, interaksi dan mengidentifikasikan diri1
dipandang sangat rentan terhadap isu diskriminasi terhadap perempuan. Wacana
tersebut melahirkan polemik panjang dan hampir tak berujung, terlebih dalam lingkup
budaya dan sastra. Hal tersebut menurut Abdullah Muhammad Al-Ghadzami terlihat
dalam beberapa kultur-budaya di dunia, seperti pada novel dan gaya bahasa yang
digunakan untuk mengungkapkan dan menggambarkan perempuan.2
Setiap individu memiliki pandangannya sendiri mengenai perempuan.
Gambaran yang diberikannya tersebut tidak terlepas dari iklim sosial, ekonomi,
politik, dan budaya yang melatarinya, karena itu pandangan tersebut tidak bisa
dipandang sebagai sebuah patokan dalam menilai dan mengukur kebaikan atau
keburukan perempuan. Seperti Plato (427-347 SM) dalam bukunya The Republic, in
The Dialogues of Plato menggambarkan perempuan sebagai makhluk yang dapat
dimanfaatkan, seperti halnya binatang peliharaan.3 Selain itu, Schopenhauer (1788-
1860 M) seorang filsuf pada abad ke-19 dalam esainya yang berjudul The Weakness
Of Women menggambarkan kualitas perempuan sebagai mahluk inferior sehingga

1 Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, terj. Wade Baskin, (New York: Mc.
Graw-Hill Book Company, 1966), h. 16
2 Diskriminasi yang terjadi pada perempuan tersebut disinyalir berawal dari beberapa pemahaman
para budayawan dan filusuf terdahulu (seperti: Sokrates, Plato, Darwin, Ma’arî dan 'Aqqâd) mengenai
perbedaan laki-laki dan perempuan secara fisik. Perbedaan tersebut menimbulkan persepsi yang tidak
utuh mengenai keberadaan perempuan, sehingga perempuan dianggap sebagai manusia yang tidak
sempurna karena tidak memiliki karakteristik yang serupa dengan laki-laki. Abdullah Muhammad Al-
Ghadzami, Al-Mar’ah wa al-Lughah, (Beirut: al-Markaz ats-Tsaqâfî al-‘Arabî, 1997), h. 8;
3 "Untuk laki-laki yang berpendidikan seperti masyarakat kita, menurut pendapat saya, satu-
satunya cara untuk sampai pada kesimpulan tentang kepemilikan dan pemanfaatan perempuan serta
anak-anak adalah berangkat dari jalan yang sudah kita tempuh, yaitu bahwa laki-laki adalah sebagai
pelindung dan penjaga hewan peliharaannya.” lihat: Plato, The Republic, diterjemahkan oleh Desmond
Lee, (England: Penguin Books, 1955), h. 181 dan Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Perempuan,
(Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), h. 27
perempuan sepanjang hidupnya akan tetap menjadi kekanak-kanakan, tidak memiliki
kemampuan intelektual dan rasa keadilan dan tidak mampu memutuskan secara
rasional persoalan-persoalan keadilan.4
Dalam bukunya al-Mar'ah fî al-Qur'an, 'Abbas Mahmûd al-'Aqqâd
merefleksikan secara berlebihan sifat-sifat perempuan dalam aspek kehidupan. Ia
menggambarkan perempuan dalam kepasifan dan kemunduran seksual, karena Adam
telah menjadikan mereka sebagai hadiah yang ditawan oleh kaum laki-laki yang lebih
kuat dan lebih unggul. Seorang perempuan pertama-tama akan menunggu sampai
hampir semua kekayaan lelaki itu berhasil direnggutnya, lalu ia akan memberi tanda-
tanda responnya, respon yang begitu bersemangat serta terdiri dari dua kekuatan yang
sama tapi bertolak belakang. Di satu sisi, kebebasannya untuk memilih dan sisi lain
memikirkan situasi yang disodorkan kepadanya dan ini tidak diutarakannya. 'Aqqâd
mengilustrasikan keadaaan tersebut dengan prilaku ayam betina yang dengan sabar
menunggu hasil pertarungan antara ayam-ayam jantan, atau menyerah kepada
kemauan laki-laki tanpa menampakkan seolah-olah mereka hendak melawan.5
Ahmad Muhammad Sâlim melalui bukunya al-Mar’ah fî al-Fikri al-'Arabi al-
Hadist menggambarkan keadaan perempuan Arab yang sangat rendah, terlebih pada
pada masa dinasti Usman. Bahkan ia menggambarkan kondisi perempuan pada saat
itu tidak lebih layaknya hewan peliharaan yang terkurung di dalam kandangnya, hal
ini juga terjadi pada perempuan-perempuan istana. Perempuan-perempuan tersebut
hanya dijadikan objek kesenangan untuk memenuhi hasrat biologis kaum laki-laki.

4 “Perempuan secara langsung dicocokkan sebagai perawat dan guru dalam kehidupan awal
manusia karena mereka sendiri faktanya kekanak-kanakan, sembrono dan picik; mereka sebenarnya
adalah anak-anak. Sepanjang hidup mereka kadang semacam ada dalam tahap antara seorang anak dan
seorang dewasa (dewasa dalam pengertian laki-laki). Lihat saja bagaimana seorang perempuan akan
bermain-main dengan anak-anak selama berhari-hari, menyanyi, dan menari dengan mereka, lalu
pikirkan saja laki-laki yang terbaik dalam dunia ini melakukan hal yang sama.”. Lihat: Arthur
Schopenhauer, The Weakness of Women, lihat dalam Rosemary Agonito, History of Ideas on Woman,
(New York and Berkeley: Perigee Books, 1977), h. 193, dan Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif
Perempuan, h. 52-53.
5 'Abbas Mahmûd al-'Aqqâd, al-Mar’ah fî al-Qur’an, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 1969), h.
35.

2
Keadaan ini mulai berubah ketika para perempuan-perempuan di dunia Arab sudah
berani menyuarakan ketertindasan dan keinginan mereka untuk meraih kebebasan di
berbagai aspek kehidupan, sebut saja Qasim Amin (1865-1908), Salamah Musa
(1877-1957), Huda Sya'rawî (1879-1947), Zainab Fawâz (1860-1914), May Ziyâdah
(1886-1941), dan lain-lain.6
Dari beberapa pandangan dan image negatif tersebut, ada juga yang
memberikan pandangan positif dan apresiatif terhadap perempuan sebagai sosok yang
memiliki kontribusi dan peranan penting sepanjang perjalanan sejarah bangsa dan
budaya. Seperti Nawâl as-Sa'dâwî dalam bukunya The Hidden Face of Eve
menyatakan kekagumannya terhadap perempuan. Ia melihat sejak dulu perempuan
telah terlibat langsung dalam perkembangan budaya masyarakat Arab, seperti
kesusasteraan, kebudayaan, seni, cinta dan seks, maupun perkembangan sosial-
ekonomi. Hal ini berlangsung sejak masa pra Islam, perempuan selalu terlibat dalam
perjuangan politik, peperangan dan beberapa pertempuran yang terjadi pada masa itu
hingga saat ini. 7
Dalam khazanah kesusastraan Arab, novel 1001 malam (Alfu Layla wa Layla)
menggambarkan perempuan -(Syahrazad/Scherezade menurut lafal Barat)- sebagai
pahlawan yang mampu menyelamatkan kaumnya dari kekuasaan (aturan yang
mengerikan) raja yang dzalim, sehingga di akhir cerita ia dicitrakan sebagai seorang
perempuan dan permaisuri yang dicintai rakyatnya terutama para gadis yang merasa
selamat dari aturan raja yang mengerikan, bahkan hingga melahirkan 3 putra selama
masa itu. Di tengah kemelut yang mengelilingi kaumnya, Syahrazad mampu
membangun dan mempertahankan eksistensi dan keberadaan perempuan. Walaupun
di lain pihak, citra perempuan yang digambarkan dalam novel ini adalah sebagai ibu
dan istri yang memiliki kekuatan dalam hubungan seksual, mahluk yang lemah, dan

6 Ahmad Muhammad Sâlim, al-Mar’ah fî al-Fikri al-'Arabi al-Hadist, (Kairo: al-Hay’ah al-
Misriyyah al-'Ammah lil-Kitâb, 2003), h. 22.
7 Nawâl as-Sa'dawî, The Hidden Face of Eve, (terj.), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h.251.

3
tidak memiliki kekuasaan.8 Citra yang digambarkan pada perempuan tidak terlepas
dari konteks sosial budaya, serta hubungan komunikasi yang terjalin antara laki-laki
dan perempuan dalam komunitas sastra tersebut. Berdasarkan hubungan tersebut,
perempuan tampil sebagai simbol dalam karya sastra, baik sebagai simbol kekuatan
maupun perlawanan.
Berbeda dengan image perempuan di masa klasik, Ihsan Abdul Qudus
menyajikan konsep kemandirian perempuan Mesir di era modern dalam novelnya
“Aku Lupa bahwa Aku Perempuan”. Dalam novelnya tersebut, ia menggambarkan
sosok perempuan yang sempurna dalam karir, ambisi dan cinta. Perbedaan antara
laki-laki dan perempuan diinterpretasikannya sebagai sebuah motivasi untuk
menunjukkan kemandirian dan eksistensi perempuan dalam bidang politik dan
ekonomi. Ihsan Abdul Quddus ingin menunjukkan bahwa kecantikan dan kecerdasan
yang dimiliki perempuan bukanlah menjadi batasan yang diperuntukkan pada sisi-sisi
tertentu dan terlarang untuk sisi lainnya. Kesuksesan dan kemandirian bagi
perempuan merupakan suatu pilihan hidup. Untuk mencapai kebahagiaan dalam
keluarga dan karir, perempuan tidak harus mengorbankan salah satu di antara
keduanya, karena keluarga dan karir dapat diraih secara bersamaan.9
Dengan tema yang hampir serupa, Nawâl as-Sa'dâwî dalam novelnya
“Imra’ah 'inda Nuqtah as-Sifr” merepresentasikan dirinya dalam tokoh sentral yang
bernama Firdaus. Tokoh firdaus dalam novel tersebut tampil sebagai symbol
perjuangan kaum perempuan Mesir dalam menolak segala bentuk pemerintahan
formal, dan menentang ide adanya teks final (kitab suci).10

8 Untuk penjelasan lebih lanjut, baca: Abdullah Muhammad Al-Ghadzami, Al-Mar’ah wa al-
Lughah, h. 57-83.
9 Novel ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, hingga saat ini penulis belum
menemukan teks asli berbahasa Arab; Ihsan Abdul Qudus, Aku Lupa bahwa Aku Perempuan, terj.
Syahid Widi Nugroho, (Jakarta: Alifia Books, 2006), Cetakan Kedua.
10 Novel ini seyogyanya banyak menarik perhatian para kritikus, selain karena kaya akan ide-ide
dan gagasan feminis, novel ini juga dihiasi oleh gaya bahasa Nawal yang lugas, to the point, dan berani
menabrak tabu dengan gayanya yang blak-blakan dalam membicarakan seksualitas perempuan. Di
Indonesia, novel tersebut telah diterjemahkan dengan judul Perempuan di Titik Nol, melalui novel

4
Di sekitar tahun 1950-an kesusastraan Lebanon menampilkan beberapa
penulis perempuan yang bertalenta. Pada masa pra-perang saudara Lebanon, hadir
penulis perempuan hebat semisal Layla Baalbaki, Rima Alamuddin dan Emily
Nasrallah. Terinspirasi dari konsep gynocritics yang diusung oleh Showalter, mereka
menyuarakan keinginan dan pengalaman perempuan melalui tulisan-tulisan mereka.
Pada tahun 1958, Baalbaki menghadirkan sebuah novel yang berjudul Ana Ahya (I
Survive), lalu disusul dengan Safinat Hanan ila al-Qamar (Spaceship of Tenderness
to the Moon) pada tahun 1964. Pada masa yang sama, Rima Alamuddin menampilkan
novel dengan tema yang serupa “Spring to Summer” (1960) dan “The Sun is Silent”
(1964), sedangkan Emily Nasrallah menghadirkan novel Tuyur Aylul (1962).11
Perang saudara di tahun 1975 membentuk sebuah dekade baru bagi
perkembangan kesusasteraan Lebanon, dari dekade ini lahir Etel Adnan, Hanân asy-
Syaikh, Hoda Barakat, dan Nazik Saba Yared. Novel Hikayah Zahrah karya Hanân
asy-Syaikh menimbulkan kontradiksi di antara para sastrawan dan ulama-ulama besar
Arab. Menurut mereka novel tersebut terlalu vulgar dalam menggambarkan
seksualitas perempuan. Zahra merupakan symbol perempuan Lebanon yang hidup
dalam keterkungkungan system patriarki pada budaya Lebanon. Akibatnya, novel
tersebut ditolak oleh hampir seluruh Negara Arab, sehingga novel tersebut tidak bisa
diterbitkan di negeri sendiri.12
Dalam perkembangan sastra Indonesia, Ayu Utami dengan novelnya “Saman
dan Larung” dan Djenar Maesa Ayu dengan kumpulan cerpennya “Mereka bilang

tersebut diketahui bahwa tokoh Firdaus merupakan nama seorang perempuan terpidana mati di penjara
Qanatir Mesir yang ditemui Nawal pada tahun 1973. Ia dieksekusi di penghujung tahun 1974 pada era
pemerintahan Anwar Sadat yang patrimonial. Lihat: Endriana Dwi Siswanti, “Perempuan di Titik Nol”
Perlawanan Perempuan Melawan Tatanan Konservatif dalam Jurnal Perempuan; Perempuan dalam
Seni Sastra, Edisi 30, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003, h. 21-32; juga Lisetyo Ariyanti,
Gender Politics for Women Rights Struggle in Perempuan di Titik Nol (Women at Zero Point) by
Nawal El Saadawi dalam Gender and Politics (Ed. Siti Hariti Sastriyani), (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2009), h. 493-502.
11 http://readkutub.wordpress.com/2008/09/11%E2%80%9Chikayat-%E2%80%93-short-stories-
by –lebanese-women%E2%80%9D/, didownload pada tanggal 11 Juni 2009, pukul 16.13 wib.
12 http://readkutub.wordpress.com/2007/06/04/the-story-of-zahra-by-hanan-al-shaykh/, didown-

5
Saya Monyet dan Jangan Main-Main dengan Kelaminmu” menghadirkan sebuah
ideologi dan gagasan yang sedikit ekstrim dalam mengungkapkan seksualitas
perempuan. Novel tersebut diuraikan secara detail oleh Mariana Amiruddin melalui
bukunya “Perempuan Menolak Tabu; Hermeneutika, Feminisme, Sastra, dan Seks”
(2005). Dalam analisisnya, perempuan ditampilkan dengan kemandirian, hal tersebut
dapat dilihat dari interaksinya sebagai seorang individu di keluarga dan masyarakat.
Kemandirian yang disajikan oleh Ayu Utami tersebut merupakan sebuah akibat dari
resistensi perempuan terhadap nilai-nilai patriarkhi yang membelenggunya. Dominasi
nilai-nilai patriarkhi yang mempengaruhi pola pemikiran dan tingkah laku perempuan
menciptakan resistensi diri terhadap norma-norma sosial, agama dan budaya.
Resistensi tersebut muncul sebagai upaya untuk melepaskan diri dari kontrol budaya
dan masyarakat yang membentuknya menjadi sosok yang pasif dan tidak kreatif
dalam mewujudkan kehendak dan keinginannya.13
Selain itu, ada juga Sugihastuti yang menganalisis dan membahas aspek-aspek
kehidupan perempuan berdasarkan sudut pandang perempuan terhadap syair-syair
Toeti Heraty. Dalam penelitian yang telah dibukukannya “Wanita di Mata Wanita;
Perspektif Sajak-Sajak Toeti Heraty” membahas dan memaparkan secara detail
mengenai citra perempuan yang ditinjau dari aspek fisis, psikis dan sosial.14
Berdasarkan penelitiannya, pada aspek fisis, citra perempuan dewasa digambarkan
sebagai sosok individu yang memiliki kelebihan dibandingkan laki-laki, karena hanya
perempuan yang dapat mengandung, melahirkan, menyusui dan memelihara anak
secara penuh. Pada aspek psikis, perempuan dicitrakan sebagai mahluk yang lemah,
tidak berdaya, dan menempati peran yang tidak membahagiakan. Begitu pun dalam
aspek sosial, perempuan dalam keluarga tercitrakan sebagai seorang ibu, istri dan
anggota keluarga yang mewarisi peran yang membahagiakan dan tidak

load pada tanggal 11 Juni 2009, pukul 16.13 wib.


13 Mariana Amiruddin, Perempuan Menolak Tabu; Hermeneutika, Feminisme, Sastra, Seks,
(Jakarta: Melibas, 2005), h. 25.
14 Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita; Perspektif Sajak-Sajak Toeti Heraty, (Bandung: Nuansa,

6
membahagiakan. Aspek ini membawa pada munculnya citra sosial yang meletakkan
perempuan dalam masyarakat patriarkal yang memiliki ideologi gender, sehingga
perempuan merasakan adanya superioritas dan kekuasaan laki-laki atasnya.15
Dalam kesempatan yang berbeda, Tineke Hellwig dalam penelitiannya
terhadap karya-karya prosa Indonesia yang terbit antara tahun 1937 sampai tahun
1987 menyatakan bahwa norma-norma patriarkal mendominasi sastra Indonesia,
sehingga posisi perempuan dibatasi dan takluk. Hal tersebut berakibat pada
penggambaran perempuan sebagai sosok yang inferior secara sosial. Analisa tekstual
yang dilakukannya ini meliputi hubungan polarisasi sistem jender/jenis kelamin
antara laki-laki dan perempuan. Dalam karya sastra, perbedaan ini mempengaruhi
makna internal atau makna konotasi, karena makna tersebut muncul dari aspek
budaya, sosial dan ekonomi.16 Hellwig mampu mendekontruksi dan menumbangkan
gagasan tentang sentralitas dan maskulinitas laki-laki dalam karya sastra, dengan
mengalihkan sentralisasi tokoh/karakter pada superioritas perempuan.
Berdasarkan hal tersebut, ada dua perbedaan pendapat yang saling
bertentangan ketika menggambarkan peran perempuan dalam ranah domestik dan
publik terkait dengan perannya sebagai mahluk individual dan sosial. Pendapat
pertama menyimpulkan bahwa perempuan tidak memiliki peranan penting dalam
perkembangan peradaban budaya dan masyarakat, hal tersebut dikarenakan konstruk
ideologi dan sosial yang melatarinya. Pendapat kedua memberikan gambaran dan
image positif terhadap perempuan sebagai sosok yang produktif, kreatif dan mandiri.
Adapun hubungan yang terjalin antara tubuh dan peran kodratinya tidak dapat
menghentikannya dari keterlibatan dalam produktifitas dan kemandiriannya sebagai
mahluk sosial. Perbedaan pendapat tersebut sangatlah wajar dalam
mengintrepretasikan sebuah karya, karena karya sastra dianggap sebagai manifestasi

2000), h. XIII.
15 Lihat: Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita; Perspektif Sajak-Sajak Toeti Heraty, h. 150-153.
16 Tineke Hellwig, In The Shadow of Change; Images of Women in Indonesian Literature, Terj.
Rika Iffati Farikha, (Depok: Desantara Utama, 2003), h. 8-9.

7
ideologi dan budaya dalam suatu masyarakat.17
Selanjutnya, penulis melihat fenomena tersebut sebagai sebuah hasil dari
konstruksi sosial yang tercermin melalui prilaku linguistik, sebagaimana yang
diungkapkan oleh David Graddol dan Joan Swann dalam bukunya “Gender Voices”
(1989). Hal tersebut dapat dilihat dari aksen, dialek, tuturan, pola interaksi antara
laki-laki dan perempuan yang mengikuti pola interaksi komunitasnya.18 Lebih dari
itu, kehadiran bahasa merupakan manifestasi ideologi legitimasi dalam pamrih sosial
dan politis. Bahasa memberi pembebasan dan pengekangan makna untuk politik
perbedaan. Dalam arti bahasa dengan sistem dan strukturnya sangat susah untuk lepas
dari intervensi, hegemoni, dominasi dan manipulasi pemaknaan.19
Secara kultural, perempuan dan laki-laki hidup berdampingan dalam
masyarakat. Dari aspek leksikal, tidak ada perbedaan yang mendasar, walaupun
terkadang ada pemaknaan-pemaknaan konotatif dalam sebagian bahasa. Dalam
bahasa Arab, dikenal istilah al-dzakar dan al-untsa, al-rajul dan an-nisa, makna yang
pertama mengacu pada perbedaan laki-laki dan perempuan berdasarkan jenis
kelamin, sedangkan kata yang kedua berkonotasi pada perbedaan laki-laki dan
perempuan secara sosiologis.20 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), laki-
laki diartikan sebagai 1). Pria (untuk manusia), 2). Pemberani: keberanian,21

17 Penjelasan lebih lengkap antara sastra, masyarakat dan budaya lihat Nabîl Râghib, al-Tafsîr al-
'Ilmî li al-Adab; Nahw Nadzariyyah 'Arabiyyah Jadîdah, (Kairo: asy-Syirkah al-'Âlamiyyah li al-
Nasyr, 1997), h. 214-226; lihat juga Musthafâ Nâsif, Dirâsat al-Adab al-‘Arabî, (Kairo: al-Dâr al-
Qaumiyyah, tth), h. 95-124.
18 David Graddol dan Joan Swann, Gender Voices; Telaah Kritis Relasi Bahasa-Jender, terj.
Muhith, (Pasuruan: Pedati, 2003), h. 13.
19 Bandung Mawardi, Genderang Gender; Bahasa, Perempuan, dan Resistensi,
http://www.suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritac
etak=33604.
20 Lihat pengertian yang diberikan Ibnu Mandzur, Lisân al-‘Arab, Kairo: Dâr al-Ma’arif, Juz 3, h.
1596, 4165-4166 dan Ibrahim Madkur, Mu’jam al-Wasîth, Kairo: Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah,
1985, Juz. 4, h. 894; jilid 1, h. 325 dan 30 jilid 2, h. 345.
21 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1988), h. 701.

8
sedangkan perempuan diartikan sebagai 1). wanita dan 2) bini.22 Secara biologis laki-
laki dan perempuan dibedakan dengan perbedaan jenis kelamin dan fungsi
reproduksinya. Laki-laki adalah mahluk yang memiliki penis, testis dan
menghasilkan sperma yang berfungsi untuk membuahi, sedangkan perempuan
memiliki vagina, sel telur, hamil, melahirkan dan menyusui. Dalam Ensiklopedia
Ilmu-Ilmu Sosial, kelompok feminis menyatakan bahwa wanita23 senantiasa
didefinisikan dalam hubungannya dengan pria yang dianggap sebagai panutan.
Wanita adalah orang lain (the other), mereka didefinisikan berdasarkan tidak adanya
ciri-ciri pria, sisi lain dari pria.24
Persamaan identitas pada tataran leksikal seakan dicemari oleh pemaknaan
tekstual dan praktis. Pemaknaan atas laki-laki dan perempuan selalu saja dilihat dari
aspek-aspek sosial dan budaya, sehingga timbullah polarisasi seksual dalam literatur.
Polarisasi ini berdampak pada adanya methaporical gender. Perbedaan jenis kelamin
antara laki-laki dan perempuan yang menimbulkan stereotype terhadap pemahaman-
pemahaman dalam linguistik, khususnya karya sastra, oleh Deborah Cameron
dianggap sebagai salah satu bentuk fenomena sosial. Sehingga dalam setiap
kesempatan perempuan selalu dibandingkan/opposition dengan laki-laki (maskulin
versus feminin).25 Menurut Jack Rosenthal, orang selalu merepresentasikan konsep
feminin dan maskulin sebagai lawan atau kebalikan dari yang lainnya. Pada akhirnya
muncullah pengklasifikasian kata bagi masing-masing kategori, yang disebut
metaphorical gender.26

22 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 670.


23 Pada paragraf ini, penulis sengaja menyebutkan wanita untuk menunjukkan orisinalitas
kutipan, akan tetapi pada pembahasan secara keseluruhan penulis lebih menyukai menyebutkan
perempuan daripada wanita karena perempuan memiliki makna yang lebih dekat dengan kemandirian
dibandingkan wanita.
24 Adam Kuper & Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, terj. Haris Munandar, et.al.,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 1150.
25 Deborah Cameron, Feminist and Linguistic Theory, (London: The Macmillan Press LTD,
1994), ed. 2, h. 82.
26 Deborah Cameron, Feminist and Linguistic Theory, h. 82-83.

9
Seksisme bahasa yang menimbulkan metaphorical gender ini berpengaruh
pada prilaku linguistik bahasa, seperti pada fi’il (verb), na’at (adjectiva), dan dhamir
(pronomina persona).27 Pada penggunaan dhamir, -misalnya- bagi perempuan dan
laki-laki dibedakan menjadi hiya dan huwa. Selanjutnya perbedaan dhamir ini
berimplikasi pada superioritas laki-laki terhadap perempuan dalam proses
pemaknaan. Pronamina persona ketiga jamak bagi perempuan, secara otomatis akan
tergantikan dengan pronomina persona ketiga jamak laki-laki, hal tersebut terjadi
karena streotype yang melekat pada laki-laki sebagai mahluk yang superior dan kuat.
Sedangkan kualitas perempuan dinilai tidak sebanding dengan laki-laki baik dari segi
hukum, ekonomi maupun sosial-budaya.
Terkait dengan seksisme bahasa ini, Nancy Jabbra (1980) pernah melakukan
sebuah penelitian terhadap dialek bahasa Lebanon. Ia menyimpulkan bahwa dalam
komunitas masyarakat Lebanon perkawinan membawa perbedaan yang jauh lebih
besar dalam kehidupan perempuan. Perkawinan bagi perempuan merupakan karir dan
dapat meningkatkan prestige tersendiri baginya,28 sedangkan pada status perkawinan
seorang laki-laki diistilahkan secara terpisah yaitu zauj untuk suami dan kata yang
berbeda untuk putra yaitu ibn. Perempuan tidak demikian, tidak ada perbedaan secara
spesifik bagi perempuan yang memperlihatkan progresi usia karena bagi masyarakat
Lebanon faktor pembeda yang paling penting adalah status perkawinan.29
Dalam beberapa komunitas yang menganut konsep patriarkhal, termasuk
masyarakat Lebanon, pembagian jender ini dinilai lumrah karena laki-laki memiliki
peran yang sangat penting dalam sebuah perkawinan. Sehingga istri harus rela untuk

27 Muhammad ‘Ali Al-Khuli, A Dictionary of Theoretical Linguistics; English-Arabic with an


Arabic-English Glossary, (Beirut: Librairie du Liban, 1982), h. 103.
28 Jabbra melihat bahwa ada suatu progresi usia secara langsung pada kata-kata yang merujuk
pada laki-laki, seperti: Xutiyaar; laki-laki tua, Zalamii/rijjaal; orang laki-laki, Sabb; anak muda, Sabii;
anak laki-laki. David Graddol dan Joan Swann, Gender Voices; Telaah Kritis Relasi Bahasa dan
Jender, h. 194.
29 Beberapa istilah yang merujuk pada perempuan adalah: Xutiyaara; perempuan tua sebagai
padanan dari Xutiyaar, Sabiyyii; anak perempuan sebagai padanan dari sabb, Bint; putri; anak
perempuan; gadis yang belum kawin; gadis, Mar’ah; perempuan yang sudah menikah.

10
pindah dan bergabung dengan suami, termasuk dalam bahasa dan garis keturunan.
Seorang perempuan yang sudah menikah akan kehilangan nama belakangnya dan
mengambil nama suaminya, begitu pun ketika disapa maka ia akan disapa dengan
nama suaminya atau bahkan dengan nama anak laki-lakinya. Hal serupa pun terjadi
dalam bahasa Inggris.30
Seksime bahasa ini, menurut Lakoff, yang mendasari munculnya
methaporical gender dan menimbulkan sex stereotype, sehingga muncul atribut-
atribut yang dilekatkan pada proses pencitraan tokoh dalam karya sastra. Atribut dan
pencitraan tersebut mengakibatkan sexual division of labour.31 Pencitraan kemudian
memperkuat eksistensi laki-laki dalam karya sastra. Proses komunikasi sastra, baik
puisi maupun prosa selalu dihiasi oleh metafora yang bias. Misalnya perempuan
adalah ibu rumah tangga, mengasuh anak, memasak di rumah (domestic sphare),
sedangkan laki-laki adalah kepala rumah tangga, bekerja keras mencari nafkah
(public sphare). Ketika misalnya ada kenyataan lain, wanita yang bekerja keras
mencari nafkah dari pagi hingga petang, dia masih saja disebut ibu rumah tangga dan
tidak akan pernah menjadi bapak rumah tangga.32 Jadi, kata secara leksikal
mempengaruhi sebuah pencitraan pada tataran budaya, teks dan kontekstual.
Berdasarkan penjelasan di atas maka karakteristik suatu bahasa dan karya
sastra memperlihatkan penggambaran yang dikotomis terhadap perempuan.
Pembacaan seorang perempuan dalam hal ini dapat membantu pemaknaan sebuah
teks sastra yang mengandung arti, tanda dan simbol. Selain itu, pembacaan seorang
perempuan mampu menampilkan hubungan sintagmatik yang berbeda dengan
pemaknaan yang dilakukan oleh laki-laki. Karena hubungan kata -dengan dunia luar-
yang ada pada karya sastra berada pada tataran parole, dengan ini makna dan tata

30 David Graddol dan Joan Swann, Gender Voices; Telaah Kritis Relasi Bahasa dan Jender, h.
152.
31 Rochayah Machali, Pedoman bagi Penerjemah, (Jakarta: Grasindo, 2000), h. 124.
32 Rochayah Machali, Pedoman bagi Penerjemah, h. 125.

11
letak kalimat ditentukan oleh budaya dan tradisi.33 Aspek sosial dan pengalaman
perempuan sebagai individu dan anggota masyarakat tentunya berbeda dengan aspek
sosial dan pengalaman laki-laki sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat. Barthes mengistilahkan konsep readers and reading ini dengan
waktunya kematian penulis teks, dalam arti pembaca mempunyai otoritas penuh
dalam memaknai karya sastra yang dibacanya.
Untuk itu, penciptaan dan pembacaan karya sastra oleh perempuan merupakan
salah satu upaya untuk merekonstruksi gagasan mengenai perempuan dalam karya
sastra. Ketika persoalan perempuan dalam karya sastra dihadirkan kepada pembaca,
maka hal tersebut akan menimbulkan berbagai macam persepsi dan pandangan.
Karena sastra memainkan peranan penting dalam kaitannya menciptakan ideologi
gender. Menurut Budianta, sastra sebagai bagian dari “praktik-praktik diskursif”
dalam masyarakat seperti yang dilakukan media massa ikut menyusun dan mengubah
ideologi gender.34 Novel sebagai salah satu arena dan lembaga kultural simbolis
terbukti mempunyai pengaruh besar dalam membentuk, melembagakan,
melestarikan, mengarahkan, memasyarakatkan, dan atau mengoperasikan ideologi
gender.35 Untuk itulah, kritik sastra feminis menghadirkan suatu pola pembacaan dan
pemahaman yang berbeda untuk menjembatani persoalan tersebut. Berdasarkan
fenomena di atas, pembacaan kembali teks-teks sastra melalui pendekatan kritik
sastra feminis selayaknya dilakukan.36 Kritik sastra feminis bukan berarti pengritik
perempuan, atau kritik tentang perempuan, atau kritik tentang pengarang perempuan.
Akan tetapi, kritik sastra feminis adalah upaya memandang sastra dengan kesadaran
khusus bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra dan

33 Ferdinand de Sausure, Pengantar Linguistik Umum, h. 221-222.


34 M. Budianta, Sastra dan Ideologi Gender dalam Horison, Tahun XXXII, No. 4, h. 6-13.
35 Yulianeta, Representasi Ideologi Gender dalam Novel Saman dalam Gender and Politics (Ed.
Siti Hariti Sastriyani), Yogyakarta: PSW UGM Yogyakarta, SPs UGM Yogyakarta dan Tiara Wacana,
2009, h. 469.
36 Jonathan Culler, On Deconstruction; Theory and Criticism after Structuralism, h. 31-32.

12
kehidupan kita.37
Novel Hikâyah Zahrah merupakan representasi dari sebuah sistem patriarkhi, di
mana dominasi patriarki sangat mempengaruhi pencitraan perempuan yang
dihadirkan, di dalamnya perempuan dihadirkan sebagai simbol feminin melalui tokoh
sentralnya yaitu Zahra.38 Identitas penamaan tokoh perempuan tersebut berlandaskan
pada karakteristik yang melekat pada tubuhnya sebagai perempuan yang feminin.
Ada hal yang menarik dari hal tersebut di mana simbol-simbol mampu menghadirkan
sebuah konsep dan ideologi pencipta karya sastra tersebut.
Novel ini terbit dengan biaya sendiri karena saat itu tidak ada satupun penerbit
di Lebanon yang mau menerbitkannya. Setelah publikasi dilakukannya maka
timbullah reaksi yang kontroversial dan penolakan dari kalangan sastrawan dan
agamawan di Timur Tengah, sehingga Hikâyat Zahrah (The Story of Zahra) dilarang
beredar di sebagian besar Negara Arab. Sebagian besar pembaca di Arab pun
menolak buku tersebut karena novel tersebut dianggap telah memberikan kesan dan
pengaruh yang buruk tentang budaya Arab. Akan tetapi, ia mendapatkan penghargaan
international (sebagai international best seller) atas Hikâyah Zahra. "Boston Sunday
Globe” memberikan pujian terhadap novel tersebut sebagai sebuah karya orisinil
yang menyentuh dan ditulis dengan penuh kekuatan, menggambarkan secara
gamblang tragedi pribadi manusia akan perang dan ketidakwarasan.39
Menurut Stefan G. Meyer, novel tersebut merupakan karya yang sangat berani
untuk menghadirkan tokoh perempuan dengan kompleksitas persoalan seksualitas
dan relasi laki-laki dan perempuan yang selama ini dianggap tabu oleh masyarakat,
seperti kekerasan dalam pernikahan, aborsi dan dan perceraian. Penggambaran
seksualitas yang vulgar tersebut berbuah penolakan dan kontradiksi di kalangan

37 Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis; Teori dan Aplikasinya, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), h. 5.
38 http://readkutub.wordpress.com/2007/06/04/the-story-of-zahra-by-hanan-al-shaykh/, didown-
load pada tanggal 11 Juni 2009, pukul 16.13 wib.
39 O. Classe, Encyclopedia of Literary Translation Into English, h. 1270, http://www.
answers.com/topic/hanan-al-shaykh.

13
ulama dan sastrawan Arab.40
Dengan kemahirannya, asy-Syaikh mempermainkan perasaan dan emosi
pembaca sehingga pembaca ikut merasakan pengalaman batin seorang perempuan
yang sedang dilanda gundah gulana dalam menghadapi persoalan hidup yang sangat
pelik, mulai dari persoalan norma agama dan budaya, perselingkuhan orang tua (ibu),
virginitas, aborsi, perkawinan dan cinta.41 Kompleksitas permasalahan yang ada
dalam novel ini membuat penulis tertarik untuk melihat dan mengkaji lebih jauh
pencitraan perempuan pada tokoh-tokoh perempuan dalam novel tersebut.
Budaya telah menempatkan perbedaan jenis kelamin dalam masyarakat
menjadi sebuah ketegangan, baik dalam ranah domestik maupun publik. Ketegangan
tersebut melahirkan diskriminasi terhadap peran-peran perempuan dalam kehidupan
berkeluarga dan bermasyarakat. Selanjutnya, pencitraan yang ‘miring’ kepada tokoh
perempuan dalam novel Hikâyah Zahra dicurigai mempunyai tendensi yang kuat
terhadap kultur sosial-budaya masyarakat setempat. Untuk mengetahui peran
perempuan dalam novel Hikâyah Zahra, dan membongkar ideologi yang membentuk
representasi-representasi tersebut, maka penulis menggunakan kritik sastra feminis
dan memposisikan diri sebagai reading as women yaitu berusaha membaca dengan
pengalaman sebagai seorang perempuan. Melalui pendekatan ini diharapkan mampu
melacak ideologi yang membentuknya sehingga mampu membuka cakrawala baru
terhadap pencitraan-pencitraan perempuan dalam novel-novel selanjutnya.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Maraknya perdebatan mengenai pencitraan dan penggambaran perempuan
dalam karya sastra merupakan langkah yang baik untuk mewujudkan keselarasan
dalam memaknai karya sastra dari berbagai perspektif. Berdasarkan hal tersebut ada

40 Stefan G. Meyer, The Experimental Arabic Novel: Postcolonial Literary Modernism in the
Levant, New York: SUNY Press, 2001, h. 152; http://readkutub.wordpress.com/2007/06/04/the-story-
of-zahra-by-hanan-al-shaykh/, didownload pada tanggal 11 Juni 2009, pukul 16.13 wib.
41 Hanan asy-Syaikh, Hikâyat Zahrah, (Beirut: Dâr al-Adab, 1984), cet. ke-2; The Story of Zahra,

14
beberapa persoalan yang perlu diidentifikasi, yaitu:
a. Dalam dualisme pencitraan, selalu saja muncul dua persepsi yang berbeda
dalam memaknai perempuan, yang meliputi baik dan buruk, positif dan
negatif. Fenomena tersebut sebagai akibat dari hubungan sintagmatif dan
asosiatif yang dipengaruhi oleh latar belakang novel, sehingga mengakibatkan
pemaknaan yang semena-mena terhadap proses pencitraan terhadap
perempuan.
b. Pencitraan perempuan yang buruk dan negatif dalam karya sastra
dilatarbelakangi oleh sistem ideologi dan budaya yang melatari lahirnya karya
sastra.
c. Pencitraan perempuan merupakan hasil dari upaya untuk mewujudkan
gambaran mengenai perempuan. Akan tetapi, proses itu terkadang melupakan
pengalaman dan keinginan perempuan untuk memiliki dirinya secara utuh,
tidak dibayang-bayangi oleh keinginan laki-laki, serta tidak diukur oleh
konvensi-konvensi budaya yang diciptakan laki-laki. Dalam beberapa kasus,
seringkali dalam pencitraannya, perempuan teriming-iming oleh obsesi laki-
laki sebagai kaum superior. Sehingga dalam pencitraannya perempuan selalu
ingin tampil cantik, menarik, seksi, dan disukai banyak laki-laki.
2. Pembatasan Masalah
Kajian mengenai pencitraan perempuan tentu saja terkait dengan berbagai
aspek, di antaranya adalah studi sastra, sosial-budaya dan perempuan (dalam hal
ini sangat terkait dengan ideologi dan sistem di dalamnya). Agar penelitian ini
tidak meluas dan menjadi jelas dan fokus, maka dalam penelitian ini diberikan
batasan-batasan yaitu sebagai berikut:
a. Teks-teks sastra yang dijadikan objek penelitian adalah teks-teks dalam novel
Hikâyah Zahrah karya Hanan asy-Syaikh.
b. Penelitian difokuskan pada pencitraan perempuan sebagaimana yang

(New York, London: Quartet Books, 1989).

15
dimaksud dan dikemukakan oleh Sugihastuti,42 yang meliputi aspek fisis,
psikis dan sosial. Hal ini agar memperjelas peran dan kedudukan perempuan
dalam keluarga dan masyarakat.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah di atas, maka penelitian
ini secara umum ingin melihat pencitraan, peran dan kedudukan perempuan yang
direpresentasikan dalam teks-teks novel Hikâyah Zahra karya Hanan asy-Syaikh.
Untuk itu, rumusan masalah dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Melalui analisis kritik sastra feminis, bagaimana citra perempuan
digambarkan dalam Hikâyah Zahra dilihat dari aspek fisis, psikis dan sosial?
2. Apa relasi antara norma agama, sosial dan orang tua dalam membentuk
pencitraan perempuan dalam novel?
C. Tujuan Penelitian
Secara umum, tujuan penelitian ini meliputi empat unsur, sebagaimana yang
dinyatakan Kuiper yaitu: a) untuk mengkritik kanon karya sastra dan untuk menyoroti
hal-hal yang bersifat standar yang didasarkan pada patriarkal, b) untuk menampilkan
teks-teks yang diremehkan yang dibuat perempuan, c) untuk mengokohkan
gynocritic, yaitu studi teks-teks yang dipusatkan pada perempuan, dan untuk
mengokohkan kanon perempuan, dan d) untuk mengeksplorasi konstruksi kultural
dari gender dan identitas.43
Akan tetapi, secara khusus penelitian ini ingin menjawab beberapa rumusan
masalah di atas, yaitu untuk mendeskripsikan gambaran dan pencitraan tentang peran
dan kedudukan perempuan dilihat dari aspek fisis, psikis dan social dalam ranah
domestik dan publik. Selain itu, penelitian ini juga akan mendeskripsikan ideologi

42 Menurut Sugihastuti pencitraan adalah semua wujud gambaran mental spiritual dan tingkah
laku keseharian yang terekspresikan oleh perempuan, untuk menggambarkan perempuan yang
ditimbulkan oleh pikiran, pendengaran, penglihatan, perabaan dan pencecapan tentang perempuan.
Dalam pencitraannya, perempuan dicitrakan sebagai mahluk individu yang beraspek fisis dan psikis,
selain itu juga sebagai mahluk sosial yang beraspek keluarga dan masyarakat. Untuk penjelasan
mendalam mengenai pencitraan yang dimaksud, lihat pada bab II.

16
patriarki yang membentuk representasi-representasi mengenai pencitraan negatif
perempuan dalam teks-teks novel Hikâyah Zahra, sehingga diketahui ideologi-
ideologi patriarki yang berkembang di dalamnya.
D. Signifikansi Penelitian
Tesis ini bukanlah satu-satunya pembahasan mengenai kritik sastra feminis
terhadap novel Arab. Beberapa akademisi terdahulu juga pernah membahas
permasalahan yang serupa yaitu analisis karya sastra yang meliputi prosa maupun
puisi terhadap karya-karya sastra Arab baik klasik, maupun modern. Baru-baru ini
Cahya Buana dalam disertasinya yang berjudul “Citra Perempuan dalam Puisi-Puisi
Arab Jahili; Kritik Sastra Feminis” menyimpulkan bahwa citra perempuan dalam
lingkungan istana tidak lebih dari sekedar objek erotic dan media seksual kaum laki-
laki atau aristokrat. Dalam hal ini perempuan layaknya barang yang bisa dibeli kapan
saja. Tidak jauh berbeda dengan perempuan dalam masyarakat badawi, di mana
budaya perbudakan masih sangat kental pada zaman itu, sehingga membuat posisi
perempuan sangat tertindas dan tercela. Di samping itu, perempuan jahili juga
termasuk perempuan-perempuan yang bebas beraktifitas, baik untuk kepentingan
politik, ekonomi maupun social. Seperti halnya di jaman perang, banyak perempuan
yang terlibat dalam aktifitas perang baik menjadi pejuang, mata-mata, diplomat,
pengatur siasat, maupun perawat bagi korban-korban perang. Gambaran tersebut
membuktikan bahwa kiprah perempuan dalam relasi social tidak bisa dipandang
sebelah mata karena perempuan sangat berjasa dalam pembangunan ekonomi, politik,
social dan budaya.
Senada dengan persoalan di atas, novel merupakan salah satu arena dan
lembaga kultural simbolis yang terbukti mempunyai pengaruh besar dalam
membentuk, melembagakan, melestarikan, mengarahkan, memasyarakatkan, dan
mengoperasikan ideologi gender. Untuk itu, penulis melihat adanya berbagai ideologi
gender yang berkembang dalam pencitraan perempuan yang dihadirkan dalam

43 Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis; Teori dan Aplikasinya, h. 68.

17
Hikâyah Zahrah.
Melalui penelitian ini, penulis mencoba menangkap dan mengungkapkan
kenyataan-kenyataan sosial budaya yang berkembang pada masyarakat, dengan tidak
keluar dari sistem dan norma agama, budaya dan orang tua. Diharapkan penelitian ini
mampu mendeskripsikan peran, kedudukan dan ideologi gender yang berada,
dilembagakan dan dioperasikan dalam Hikâyah Zahrah.
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Dalam khazanah kesusastraan Arab, Abdullah Muhammad al-Ghadzami
menggambarkan perempuan -(Syahrazad/Scherezade menurut lafal Barat) yang ada
dalam kisah 1001 malam (Alfu Layla wa Layla)- sebagai pahlawan yang mampu
menyelamatkan perempuan dari kekuasaan patriarkhi yang dilekatkan pada
kekuaasan (aturan-aturan) raja zalim. Dalam hal ini, perempuan dicitrakan sebagai
sosok yang mampu membangun dan mempertahankan eksistensi diri mereka. Di sisi
lain, perempuan juga digambarkan sebagai ibu dan istri yang memiliki kekuatan
dalam hubungan seksual, mahluk yang lemah, dan tidak memiliki kekuasaan.44
Lisetyo Ariyanti dalam salah satu artikelnya yang dibukukan dalam Gender
and Politics meneliti bagaimana perempuan dalam Novel Imra’ah fî Nuqtah al-Safar
(woman at point zero) -karya Nawâl al-Sâdawi- digambarkan melalui hubungannya
dengan sastra dan politik. Novel ini menyatakan sebuah kondisi masyarakat yang
didominasi oleh sistem patriarki yang sangat kental dalam masyarakat Mesir,
sehingga tidak menyisakan ruang bagi kaum perempuan. Berdasarkan penelitiannya
tersebut, ia menyatakan bahwa hak-hak asasi manusia belum sepenuhnya diterapkan
pada Negara Mesir. Novel tersebut menegaskan bahwa Undang-Undang dan
Peraturan yang seyogyanya mengakomodir kepentingan masyarakat belum dibuat
untuk melindungi mereka, akan tetapi masih berlandaskan pada kepentingan dan

44 Untuk penjelasan lebih lanjut, baca: Abdullah Muhammad Al-Ghadzami, Al-Mar’ah wa al-
Lughah, h. 57-83.

18
keinginan kaum laki-laki.45
Melihat perdebatan panjang mengenai peran dan kedudukan perempuan
dalam masyarakat Arab, maka Ahmad Muhammad Sâlim menulis sebuah buku al-
Mar’ah fî al-fikri al-‘Arabî al-Hadist (2003) yang mengulas semua permasalah-
permasalahan pokok yang menjadi akar permasalahan dari ketegangan dan
perdebatan yang berlangsung antara laki-laki dan perempuan. Menurutnya
permasalahan mendasar yang melandasi perbedaan tersebut berasal dari peninggalan
dan tradisi patriarki yang telah mengakar kuat di tengah budaya dan masyarakat Arab.
Islam sebagai agama tidak pernah mengungkung dan membeda-bedakan hak dan
kewajiban yang diterima oleh laki-laki dan perempuan, akan tetapi penafsiran
terhadap al-Qur'an-lah yang pada akhirnya menimbulkan dikotomis dalam berbagai
aspek kehidupan.46 Dengan persi yang berbeda, Zhabiah Khamîs dalam bukunya al-
Dzât al-Untsawiyyah (1997) dan Shunmu al-Mar’ah asy-Syi'riy (1997) memaparkan
berbagai permasalahan dan akar penyebab dari ketertindasan perempuan Arab. Dalam
analisanya, ia mencoba untuk merekonstruksi gagasan dan ide untuk meraih
kebebasan dan citra perempuan Arab dalam syair-syair Arab kontemporer.47
Pada kesusastraan Indonesia, terbit buku yang berjudul ‘Perempuan menolak
tabu; Hermeneutika, Feminisme, Sastra, Seks’ yang ditulis oleh Mariana Amiruddin
(2005). Buku ini merupakan penafsiran terhadap Novel ‘Saman’ yang ditulis oleh
Ayu Utami.48 Berdasarkan hasil penelitiannya, wacana seksualitas perempuan
dilatarbelakangi oleh oposisi antara cinta dan larangan orang tua dalam sebuah
tatanan sosial yang patriarkhis. Melalui 4 tokoh perempuan dalam novel ‘Saman’ ini,

45 Lisetyo Ariyanti, Gender Politics for Women Right Struggle in Perempuan di Titik Nol
(Women at Zero Point) by Nawal El Saadawi dalam Gender and Politics, h. 493-502.
46 Ahmad Muhammad Sâlim, al-Mar’ah fî al-fikri al-‘Arabî al-Hadist, Kairo: al-Hay’ah al-
Misriyyah al-'Ammah li al-Kitâb, 2003, h. 9-12.
47 Lihat dalam pendahuluan: Zhabiah Khamîs, al-Dzât al-Untsawiyyah, Beirut: Dâr li ats-
Tsaqâfati wa al-Nasyri, 1997 dan Shunmu al-Mar’ah asy-Syi'riy, Beirut: Dâr li ats-Tsaqâfati wa al-
Nasyri, 1997, h. 5-8.
48 Baca dalam kata pengantar: Mariana Amiruddin, Perempuan Menolak Tabu; Hermeneutik,
Feminisme, Sastra, Seks, h. 8-9.

19
Ayu menghadirkan sosok perempuan yang tidak hanya berontak di ruang publik
melainkan juga resistensi terhadap ruang privat yang mengungkung mereka di mana
anak perempuan lebih banyak mendapatkan larangan daripada laki-laki. Hubungan
cinta yang terjadi pada keempat tokoh perempuan tersebut sebetulnya bagian dari
resistensi terhadap orang tua dan tatanan sosial itu sendiri.49
Sugihastuti dalam bukunya “Wanita di Mata Wanita; Perspektif Sajak-Sajak
Toeti Heraty” melihat bahwa persoalan perempuan hanya dapat dipahami dan
diungkapkan oleh perempuan itu sendiri, karena perempuanlah yang mempunyai
pengalaman mengenai tubuhnya sendiri. Konsep ini membawa Sugihastuti
menganalisis dan membahas aspek-aspek kehidupan perempuan berdasarkan sudut
pandang perempuan terhadap syair-syair Toeti Heraty (reading as women).50
Selain itu, Tineke Hellwig melakukan penelitian terhadap karya-karya prosa
(terutama novel) Indonesia yang terbit antara tahun 1937 dan tahun 1987. Ia melihat
karya sastra Indonesia didominasi oleh norma-norma patriarkal. Hal tersebut
menyebabkan perempuan berada dalam posisi yang dibatasi dan ditaklukkan.
Fenomena ini membawa Hellwig pada sebuah pendekatan dalam memahami teks
yaitu pendekatan feminis yang normatif, pendekatan ini berpusat pada perempuan
(women-centered). Analisa tekstual yang dilakukannya ini melihat hubungan
polarisasi sistem jender dan perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan.
Karena dalam sistem jender, perbedaan biologis antar jenis kelamin memiliki makna
tertentu. Melalui pendekatan ini, Hellwig mampu mendekontruksi dan
menumbangkan gagasan tentang sentralitas dan maskulinitas laki-laki.
F. Landasan Teoritis
Landasan teori yang digunakan untuk menjawab persoalan pencitraan, peran
dan ideologi gender dalam novel Hikâyah Zahra adalah kritik sastra feminis yaitu
membaca sebagai perempuan sebagaimana yang dimaksud oleh Jonathan Culler

49 Mariana Amiruddin, Perempuan Menolak Tabu; Hermeneutik, Feminisme, Sastra, Seks, h, 9-


10

20
dengan reading as a woman. Sedangkan teori pencitraan perempuan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teori pencitraan sebagaimana yang dimaksudkan dan
diuraikan oleh Sugihastuti. Untuk lebih jelasnya penulis memberikan pembahasan
khusus dan mendalam pada bab selanjutnya.51
G. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan teori kritik sastra feminis dengan konsep reading
as women, serta mengarah pada studi tentang simbol dan proses pencitraan sehingga
terjadilah suatu gambaran dan pencitraan terhadap tokoh perempuan dalam novel
Hikâyah Zahrah karya Hanan asy-Syaikh. Obyek kajian adalah teks-teks pada novel
Hikâyah Zahrah karya Hanan asy-Syaikh yang akan dianalisis dari aspek bahasa tulis
sebagai simbol dan tanda yang bermakna. Penelitian ini seyogyanya menlibatkan
seluruh aspek intrinsik yang meliputi tema, alur, setting, penokohan, point of view
dan gaya bahasa (seperti pemajasan, permainan struktur, dan sebagainya).52 Tetapi,
mengingat luasnya aspek intrinsik tersebut maka penelitian ini akan difokuskan pada
beberapa hal yang dianggap perlu saja. Adapun penjelasan mengenai unsur-unsur
intrinsik lainnya tidak akan dilakukan secara ketat dan mendalam melainkan lebih
bersifat elastis berdasarkan kebutuhan dan kecukupannya di dalam menggambarkan
obyek yang tengah dikaji.
Sesuai dengan jenisnya, penelitian ini menggunakan rancangan kualitatif. Di
mana data akan dikumpulkan dan digambarkan sesuai dengan hakikatnya, kemudian
data yang disusun dalam tulisan ilmiah akan dipilah dan diklasifikasikan secara
intuitif kebahasaan/kesusastraan sebagai hasil studi pustaka pada awal penelitian.
Data awal tersebut diolah dan hasil penelitian akan disampaikan dalam bentuk uraian
verbal yang diperikan secara sistematis sebagai hasil pembacaan dan analisis terhadap

50 Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita; Perspektif Sajak-Sajak Toeti Heraty, h. XIII.


51 Untuk penjelasan mendalam, lihat Bab II.
52 Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, h. 140-
141.

21
obyek kajian.53
Sumber utama data penelitian adalah teks-teks pada novel hikâyah zahrah
karya Hanân asy-Syaikh. Data penelitian adalah biografi pengarang yaitu Hanân asy-
Syaikh, kondisi sosio-kultural tempat pengarang dilahirkan dan dibesarkan yaitu di
Beirut pada tahun 1945-1986. Beberapa buku primer maupun sekunder yang terkait
dengan tema penelitian yaitu kritik sastra feminis.
G. Sistematika Penulisan Tesis
Tesis ini secara keseluruhan terdiri dari lima bab. Bab I adalah pendahuluan
yang berdasarkan pada latar belakang dan identifikasi permasalahan, tujuan dan
signifikasi penelitian. Berdasarkan latar belakang permasalahan, maka penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui pencitraan terhadap tokoh dan karakteristik perempuan
dalam novel Hikâyah Zahra yang diungkapkan melalui simbol dan image yang
melekat pada tubuhnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan semiotik dan kritik
sastra feminis, hal ini dilakukan untuk mendekontruksi pemahaman-pemahaman
patriarchal yang mendominasi karya sastra Arab. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
polarisasi seksual antara laki-laki dan perempuan dalam konteks sosial-budaya
masyarakat Arab merupakan konvensi yang semena-mena dan terbentuk oleh
persepsi masyarakat yang mengelilinginya.
Untuk menjawab semua permasalahan pada bab I, maka pada bab II dibahas
persoalan perempuan dalam tinjauan kritik sastra feminis sebagai landasan teoritis.
Pada bab ini juga dibahas konsep gender, feminisme dan kritik sastra feminis, agar
permasalahan menjadi jelas maka bab ini juga dilengkapi dengan penjelasan
mengenai perempuan dalam budaya dan implikasinya terhadap proses pencitraan
dalam karya sastra.
Bab III menguraikan gambaran proses penciptaan Hikâyah Zahra yang
memotretnya dari sudut pandang pengarang dan aspek sosial, politik dan budaya.
Oleh karena itu, bab ini merupakan tinjauan terhadap pengarang dan kondisi sosial,

53 Fatimah Djadjasudarma, Metode Linguistik; Ancangan Metode Penelitian dan Kajian,

22
politik dan budaya pada saat proses penciptaan novel hikâyah zahra. Agar
pembahasan menjadi jelas dan terarah maka penulis membagi bab ini ke dalam
empat sub bab judul yang meliputi: biografi pengarang; termasuk perjalanan hidup,
karir dan karya-karyanya, kondisi sosial budaya dan politik yang melatari terciptanya
hikâyah zahra. Bab ini juga menyajikan sinopsis novel, hal ini untuk memberikan
gambaran umum mengenai alur atau jalan cerita novel yang akan dibahas pada tesis
ini.
Bab IV merupakan pembahasan mengenai citra (image) perempuan dalam
hikâyah zahra, yang terbagi dalam tiga sub-judul, yaitu “Perempuan dalam Aspek
Fisis, Psikis dan Sosial”. Citra fisis perempuan dimulai dari fase kanak-kanak, remaja
dan dewasa, selanjutnya citra psikis perempuan dapat dilihat dari aspek feminitas
(feminity)dan kesadaran diri (self consciousness). Untuk melengkapi pembahasan
mengenai citra perempuan secara utuh, perempuan hendaklah dilihat dari aspek sosial
budaya, yang terikat pada aspek kultural di mana ia terlibat dalam pola interaksi
sosial, yaitu keluarga maupun masyarakat.
Terakhir adalah bab V yang berupa penutup, selain menyampaikan sejumlah
kesimpulan berdasarkan hasil temuan penelitian, penulis juga menyampaikan
beberapa rekomendasi kepada para pembaca dan pemerhati bahasa dan sastra Arab.
Rekomendasi yang diajukan penulis merupakan sebuah refleksi dan harapan untuk
perkembangan studi sastra Arab dalam lingkungan akademisi dan pencinta karya
sastra.

(Bandung: Eresco, 1993), h. 15.

23
BAB II
PEREMPUAN DALAM TINJAUAN KRITIK SASTRA FEMINIS;
LANDASAN TEORITIS DAN KERANGKA TEORI

Bab ini merupakan tinjauan terhadap perempuan dalam konvensi sastra dan
budaya secara teoritis, dan kritik sastra feminis merupakan landasan atau pisau
analisis terhadap studi penelitian ini. Untuk lebih jelas, maka bab ini terbagi ke dalam
empat sub bab, yaitu: konsep gender dan feminisme, kritik sastra feminis, pencitraan
perempuan dalam sastra dan budaya/kultural.
A. Konsep Gender dan Feminisme
Untuk memahami konsep feminisme, perlu kiranya kita memahami dan
membedakan antara jenis kelamin (sex) dan gender. Kata yang pertama mengacu
kepada fungsi biologis (jenis kelamin) seseorang, apakah secara anatomi ia memiliki
jenis kelamin sebagai perempuan atau laki-laki,1 secara permanen tidak berubah atau
sering dikatakan sebagai kodrat atau ketentuan Tuhan.2 Sedangkan kata yang kedua
merujuk pada segala atribut dan perilaku yang dibentuk secara kultural yang ada pada
laki-laki dan perempuan.3 Kamla Bhasin memandang gender sebagai fungsi dan
peran seseorang yang bersifat sosial dan budaya. Berbeda dengan seks yang
merupakan produk alamiah, biologis atau takdir yang tidak bisa dirubah. Gender
merupakan buatan manusia yang bersifat tidak tetap (berubah) dan sosial-budaya, ia
merujuk kepada tanggung jawab, peran, pola perilaku, kualitas-kualitas, dan lain-lain
yang bersifat maskulin dan feminin.

1
Seks/jenis kelamin bersifat tetap dan merujuk kepada perbedaan yang nyata dari alat kelamin dan
perbedaan terkait dengan fungsi kelahiran, sedangkan gender bersifat berubah/tidak tetap dari dari
waktu ke waktu, dari satu kebudayaan ke kebudayaan lainnya, bahkan dari satu keluarga ke keluarga
yang lainnya. Kamla Bhasin, Understanding Gender, terj. Moh. Zaki Hussein, (Jakarta: TePLOK
Press, 2001), h.4.
2
Asriati Jamil dan Amany Lubis, Seks dan Gender dalam Pengantar Kajian Gender, (Jakarta:
PSW Press, 2003), h. 56.
3
Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, terj. Mundi Rahayu, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru,
2002), h. 177.

24
Dalam Women’s Studies Encyclopedia sebagaimana dikutip oleh Asriati Jamil
dan Amany Lubis dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang
berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan
karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam
masyarakat.4 Perbedaan yang bukan kodrat tersebut diciptakan melalui proses yang
sangat panjang. Seperti ungkapan dan gambaran perempuan sebagai lemah lembut,
emosional dan keibuan yang disebut sebagai sifat-sifat feminin, sementara laki-laki
dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa yang disebut sebagai sifat-sifat maskulin.
Pada hakikatnya ciri dan sifat tersebut merupakan sifat-sifat yang dapat
dipertukarkan, sehingga ada kemungkinan laki-laki yang bersifat lemah lembut dan
emosional; dan sebaliknya perempuan juga ada yang bersifat rasional dan perkasa.
Oleh karena itu, gender dapat berubah dari individu ke individu lainnya, dari waktu
ke waktu, dari tempat ke tempat, bahkan dari kelas sosial satu ke kelas sosial lainnya.
Sementara jenis kelamin biologis akan tetap dan tidak berubah.5
Gender digunakan secara sosiologis sebagai sebuah kategori konseptual yang
merujuk kepada definisi sosial budaya dari laki-laki dan perempuan, serta
memberikan peran sosial kepada mereka.6 Ann Oakley menggunakan konsep gender
sebagai masalah budaya, ia merujuk kepada klasifikasi sosial dari laki-laki dan
perempuan menjadi ‘maskulin dan feminin’. Berbeda halnya dengan jenis kelamin
(atau yang dalam bahasa Inggris disebut sex), yaitu kondisi biologis seseorang,7
perbedaan perempuan dan laki-laki yang dinilai dan merujuk kepada bukti-bukti dan
fungsi biologisnya.8

4
Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Hillary M. Lips dan Nasaruddin Umar bahwa
gender adalah harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan “cultural expecfations for
women and men”. Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif al-Qur’an, (Jakarta:
Paramadina, 1999); Asriati Jamil dan Amany Lubis, Seks dan Gender dalam Pengantar Kajian
Gender, h. 54.
5
Asriati Jamil dan Amany Lubis, Seks dan Gender dalam Pengantar Kajian Gender, h. 56.
6
Kamla Bhasin, Understanding Gender, (terj.), h.1.
7
Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (terj.), h. 421.
8
Kamla Bhasin, Understanding Gender, (terj.), h. 2.

25
Setiap kebudayaan memiliki cara masing-masing dalam menilai dan
memberikan peran, tanggung jawab dan sifat pada perempuan dan laki-laki. Proses
pengemasan yang dilakukan masyarakat secara sosial dan budaya terhadap
perempuan dan laki-laki semenjak lahir disebut penggenderan (gendering). Dalam
arti, masyarakatlah yang secara perlahan-lahan membentuk konsep oposisi biner bagi
masing-masing pihak, sehingga terciptalah istilah jantan dan betina yang menjadi
maskulin dan feminin. Penggenderan tersebut dibentuk berdasarkan kualitas,
perilaku, peran, tanggung jawab, hak dan pengharapan yang berbeda. Identitas yang
melekat kepada perempuan dan laki-laki ditentukan secara psikologis, historis dan
sosial-budaya.9
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa hubungan antara gender dan
feminisme merupakan suatu hubungan kausalitas, di mana gender sebagai sebab dari
timbulnya sebuah gerakan yang disebut sebagai feminisme. Sehingga feminisme
diartikan sebagai akibat dari upaya untuk mencapai hak asasi perempuan. Beberapa
istilah yang akan familiar dalam pembahasan feminisme ini adalah: female, feminin,
feminis, dan feminisme. Semua istilah tersebut berasal dari sebuah konsep dan
ideologi gender.Menurut Humm, female merujuk pada aspek perbedaan seksual yang
semata-mata biologis (jenis kelamin; laki-laki disebut male), sementara feminine
merupakan istilah untuk konstruksi sosial bagi perempuan (sedangkan bagi laki-laki
istilah tersebut biasa disebut maskulin). Teoritisi Perancis menyatakan bahwa istilah
ini adalah kategori arbitrer yang diberikan oleh patriarkhi terhadap penampilan dan
perilaku perempuan.10
Dari kedua konsep tersebut maka lahirlah istilah feminis yang mengacu
kepada individu. Sehingga seorang feminis adalah sosok yang telah mengalami
kesadaran dan penyadaran; pengetahuan mengenai penindasan perempuan dan
9
Kamla Bhasin, Understanding Gender, (terj.), h. 2.
10
Konsep feminine ini bertujuan untuk meghindari kesalahan akut yang terdapat pada konstruk
patriarkhis yang menmpatkan betina (female) sebagai pasangan dari jantan (male) pada budaya
patriarkhi. Nancy Chodorow mendeskripsikan kepribadian perempuan sebagai sebuah proses yang cair
dan tidak menyatu sebagaimana identitas laki-laki. Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (terj.) h.
153 dan 155.

26
pengakuan mengenai perbedaan dan komunalitas perempuan.11 Dari kesadaran dan
pengetahuan tersebut maka lahirlah sebuah gerakan terorganisir untuk mencapai hak
asasi perempuan yang dinamakan feminisme. Secara leksikal, feminisme ini
merupakan sebuah gerakan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum
laki-laki dan perempuan.12 Sedangkan menurut Goefe, istilah tersebut merupakan
teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi
dan sosial atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta
kepentingan perempuan.13 Definisi tersebut senada dengan pernyataan Yunahar Ilyas
mengenai feminisme, yaitu kesadaran akan ketidakadilan gender yang menimpa
kaum perempuan, baik dalam keluarga maupun masyarakat serta tindakan sadar oleh
perempuan maupun laki-laki untuk mengubah kandisi tersebut.14 Berdasarkan definisi
tersebut dapat disimpulkan bahwa feminisme merupakan suatu aliran yang
mendasarkan pemikirannya pada upaya untuk menumbuhkan kesadaran akan adanya
penindasan dan ketidakadilan terhadap perempuan dalam masyarakat serta adanya
tindakan secara sadar yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, baik
perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut.15
Gerakan perempuan di Eropa dan Amerika Utara dibagi menjadi dua
gelombang, yang pertama pada abad ke-18 dan kedua ke-19 yang dimulai pada tahun
1960-an. Isu-isu pokok yang berkembang pada saat itu umumnya didasarkan atas ide
bahwa semua manusia sederajat, bebas dan bersaudara serta penerapan sistem

11
Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (terj.), h. 160-161.
12
Anton M. Moeliono (penyunting), Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1988), h. 241.
13
Phillip Bab Cock Geofe (ed.), Websters Thirds Inetrnational Dictionary the English Language,
(Sprinfield Massachusset: Merriam W Inc, 1989), h. 837; Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita;
Perspektif Sajak-Sajak Toeti Heraty, (Bandung: Nuansa, 2000), cetakan pertama, h. 37.
14
Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir al-Qur’an Klasik dan Kontemporer,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 42.
15
Euis Amalia, Feminisme: Konsep, Sejarah dan Perkembangannya dalam Pengantar Kajian
Gender, h. 88.

27
komunal sebagai ganti milik pribadi dan hidup secara komunal sebagaiganti
perkawinan monogami.16
Paham feminisme berawal dari upaya perempuan mencapai kesetaraan dan
persamaan hak bagi perempuan, pada perkembangannya paham feminis tersebut
menjadi sebuah ideologi transformasi sosial yang bertujuan untuk menciptakan dunia
bagi perempuan melampaui persamaan sosial yang sederhana. Ideologi tersebut
berkembang seiring berkembangnya sebuah pandangan pembebasan bagi perempuan,
karena ideologi tersebut berlandaskan pada keyakinan bahwa perempuan mengalami
berbagai ketidakadilan yang dikarenakan jenis kelaminnya.17 Weedon memaknai
paham feminis sebagai politik, yaitu sebuah politik langsung yang mengubah
hubungan kekuatan kehidupan antara perempuan dan dan laki-laki dalam masyarakat.
Kekuatan tersebut meliputi semua struktur kehidupan, segi-segi kehidupan, keluarga,
pendidikan, kebudayaan dan kekuasaan.18 Berdasarkan hal tersebut, secara umum
feminisme merupakan ideologi pembebasan perempuan. Kesadaran dan penyadaran
merupakan inti dari metode feminisme.
Feminisme sebagai istilah baru muncul pada tahun 1880 M, namun sebagai
sebuah bangunan teoritis, sebenarnya sudah ada sejak abad Pertengahan. Menurut
Euis Amalia, pada saat itu telah terjadi perdebatan publik yang cukup seru meski
dilakukan oleh kaum laki-laki. Akan tetapi, pada abad 15 M suara perempuan sudah
mulai terdengar. Ide tentang feminisme tersebut berlanjut sampai abad ke-17 M, yang
ditandai dengan gerakan protes sekuler yang dilancarkan oleh kalangan feminis
19
melalui tulisan-tulisan dengan nama samaran. Pada abad ke-a8, wacana gerakan
perempuan masih didominasi oelh semangat revolusi Amerika dan revolusi Prancis

16
Euis Amalia, Feminisme: Konsep, Sejarah dan Perkembangannya dalam Pengantar Kajian
Gender, h. 88-90.
17
Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (terj.), h. 158.
18
Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis; Teori dan Aplikasinya, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), h. 6.
19
Perempuan pertama yang menulis tentang hak-hak dan kewajiban seksualnya adalah Cristine de
Pisan (1364-1430). lihat penjelasan selengkapnya dalam Euis Amalia, Feminisme: Konsep, Sejarah
dan Perkembangannya dalam Pengantar Kajian Gender, h. 88-94.

28
yang menekankan kebebasan dan rasionalitas manusia. Di antara tokoh feminis yang
paling berpengaruh pada abad ini adalah Mary Wollstonecraft dengan bukunya yang
sangat monumental Vindication of Right of Woman.20
Pada abad ke-19 M, ide feminisme sudah mulai meluas, tidak hanya
disuarakan oleh perempuan tetapi juga laki-laki, di antaranya Jhon Stuart Mill yang
menulis sebuah buku yang berjudul The Subjection of Women, terbit pada tahun
1869.21 Selain itu, di antara tokoh feminis yang populer pada abad ini adalah Sarah
Grimke (1792-1873). Ia menampilkan sebuah pandangan dan gagasan yang sangat
radikal yaitu pernikahan menyebabkan perempuan terpenjara dalam sebuah tirani di
bawah kekuasaan seorang suami. Pada awal abad 20, gerakan feminisme masih
menekankan tuntutan yag sama dengan masa sebelumnya. Kalangan feminisme
berusaha untuk memasukkan ide bahwa perempuan juga merupakan mahluk yang
sama dengan laki-laki, dan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki.22
Di dunia Arab, seperti di negara-negara Turki, Mesir, Lebanon dan Syiria,
kondisi perempuan tidak jauh berbeda dengan abad sebelumnya (berkisar antara abad
15 hingga awal abad 18 M). Aliran feminisme mulai berkembang pada awal abad ke-
18. Dari perkembangan tersebut terlihat beberapa kemajuan terutama di bidang
pendidikan, misalnya di akhir abad 18 M, kaum perempuan sudah bisa menerima

20
Dalam bukunya tersebut, ia menolak ide Rousseau yang menekankan bahwa pendidikan
perempuan harus mengindahkan perbedaan-perbedaan alamiah keduanya, karena laki-laki dan
perempuan mempunyai watak dan kemampuan yang berbeda dan ini secara biologis menentukan
peranan yang berbeda di masyarakat. Menurutnya, perempuan dan laki-laki memiliki nalar yang sama,
karena itu harus dididik dengan cara yang sama pula. Selain itu, ia juga menuntut agar perempuan
mendapatkan hak untuk memperoleh pekerjaan, tanah (kekayaan) dan perlindungan hukum. Walaupun
demikian, ia berpendapat bahwa perempuan harus tetap mempertahankan peran tradisionalnya. Ryan
Barbara, Feminism and the Women’s Movement Dinamics of Change in Social Movement, Ideology
and Activism, (New York: Routledge, 1992), h. 10; Euis Amalia, Feminisme: Konsep, Sejarah dan
Perkembangannya dalam Pengantar Kajian Gender, h. 91.
21
Ia mengkritik pekerjaan perempuan di sector domestic sebagai pekerjaan irrasional, emosional
dan tirani. Ia menyarankan pada perempuan untuk menekan dan menghilangkan segala aspek yang
berkaitan dengan pekerjaan domestic agar kebahagiaan tertinggi dapat dicapai. Ryan Barbara,
Feminism and the Women’s Movement Dinamics of Change in Social Movement, Ideology and
Activism, h. 11; Euis Amalia, Feminisme: Konsep, Sejarah dan Perkembangannya dalam Pengantar
Kajian Gender, h. 91.
22
Euis Amalia, Feminisme: Konsep, Sejarah dan Perkembangannya dalam Pengantar Kajian
Gender, h. 93-94.

29
pelajaran membaca di beberapa sekolah dan melanjutkannya di perguruan tinggi
terkenal serta mendapatkan status “ulama”. Hal tersebut terbukti dengan diakuinya
Umi Hani (1866 M), seorang intelektual Mesir di bidang Hadist dan Fiqih.
Kemampuannya tersebut juga diakui oleh para sarjana laki-laki pada zamannya.23
Selain itu ada dua peristiwa penting lainnya yang dipandang Laila Ahmad sebagai
tonggak-tonggak kemajuan kaum perempuan pada awal abad ke-20, yaitu peristiwa
keberhasilan Nona Nabawwiyah Musa sebagai gadis pertama yang memperoleh
ijazah sekolah menengah, tepatnya pada tahun 1908. Peristiwa kedua adalah
munculnya Malak Hifni Nassef (dengan nama samaran Bahitsat al-Badiyyah) yaitu
perempuan pertama di Mesir yang tulisan dan beberapa artikelnya dimuat di surat
kabar dan al-Jaridah.24
Ahmad Muhammad Sâlim dalam bukunya al-Mar’ah fî al-Fikri al-'Arabi al-
Hadist melihat bahwa penyebab utama timbulnya gerakan perempuan di dunia Arab
adalah sikap dan perlakuan laki-laki yang menganggap perempuan bagaikan hewan
peliharaan dan komoditi pribadi. Terlebih pada masa dinasti Usman, perempuan-
perempuan istana dianggap sebagai hewan peliharaan yang dikurung di dalam
kandang emasnya. Mereka dibutuhkan hanya untuk memenuhi hasrat biologis kaum
laki-laki. Selain itu penyebab lainnya adalah faktor politik, ekonomi, sosial dan
budaya.25
Keadaan ini mulai berubah ketika para perempuan-perempuan di dunia Arab
mulai berani menyuarakan ketertindasan dan keinginan mereka untuk meraih
kebebasan di berbagai aspek kehidupan, sebut saja Muhammad Abduh (1849-1947),
Qasim Amin (1865-1908), Salamah Musa (1877-1957), Huda Sya'rawî (1879-1947),
Zainab Fawâz (1860-1914), May Ziyâdah (1886-1941), Malak Hifni Nassef (1886-
1918) dan lain sebagainya. Di akhir abad ke-19 dan awal abad 20-an, Qasim Amin
23
Euis Amalia, Feminisme: Konsep, Sejarah dan Perkembangannya dalam Pengantar Kajian
Gender, h. 121-122.
24
Laila Ahmad, Wanita dan Gender dalam Islam, terj. M.S. Nasrulloh, (Jakarta: Lentera, 2000),
h. 231-232.
25
Ahmad Muhammad Sâlim, al-Mar’ah fî al-Fikri al-'Arabi al-Hadist, (Kairo: al-Hai’ah al-
Misriyyah al-'Ammah l- al-Kitâb, 2003), h. 22.

30
menerbitkan Tahrîr al-Mar’ah dan al-Mar'ah al-Jadîdah (1899), sebuah buku kecil
mengenai emansipasi perempuan di berbagai aspek kehidupan. Menurutnya
kemerosotan Islam bukan disebabkan oleh lingkungan alam, melainkan oleh
lenyapnya kebajikan sosial dan “kekuatan moral”.26 Penyebab dari hal tersebut adalah
kebodohan, kebodohan tentang ilmu-ilmu yang sejati, yang dari ilmu itu sendiri dapat
diturunkan hukum-hukum kebahagiaan manusia. Menurutnya, kebodohan tersebut
berawal dari keluarga. Hubungan antara laki-laki dan perempuan, ibu dan anak,
adalah dasar dari masyarakat; dalam arti kebaikan-kebaikan yang ada dalam keluarga
akan menjadi kebaikan di tengah bangsa. Kegiatan kaum perempuan di masyarakat
adalah untuk membentuk moral bangsa. Yang terjadi di negara-negara muslim, baik
kaum perempuan maupun laki-laki tidak mendapatkan pendidikan yang tepat untuk
membentuk kehidupan keluarga yang sejati, dan perempuan tidak memiliki
kebebasan dan kedudukan yang penting agar ia bisa memainkan peranannya.27
Intinya, menurutnya semua pokok permasalahan yang dihadapi oleh bangsa-bangsa
muslim adalah pendidikan bagi perempuan dan hal tersebut hanya bisa diperbaiki
dengan cara memberikan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Selain itu, masih menurutnya, bagi perempuan tidak ada larangan yang tegas
untuk membuka wajah mereka karena persoalan cadar (hijab) merupakan masalah
kenyamanan dan kebiasaan. Cadar dipahaminya sebagai sebuah pingitan, sehingga
pingitan (cadar) tersebut menghalangi perempuan untuk menjadi “mahluk sempurna”,
karena seorang perempuan hanya sempurna jika ia mengatur dirinya sendiri dan
menikmati kebebasan yang dijamin oleh syariah dan juga alam, dan “jika perempuan
itu mampu mengembangkan potensi-potensi dirinya sampai pada tingkat tertinggi”.28
Dengan demikian, menurut Albert Hourani, pingitan tidak hanya berbahaya secara

26
Qâsim Amîn, Tahrîr al-Mar’ah, (Kairo: al-Markaz al-'Arabiy li al-Bahtsi wa al-Nasyri, 1984),
cetakan kedua, h. 116-131.
27
Qâsim Amîn, Al-Mar’ah al-Jadîdah, (Kairo: al-Markaz al-'Arabiy li al-Bahtsi wa al-Nasyri,
1901), h. 124.
28
Qâsim Amîn, Tahrîr al-Mar’ah, h. 75-85.

31
sosial, tetapi juga karena pada dasarnya buruk.29 Selanjutnya, hal ini diyakini sebagai
dasar munculnya berbagai ketimpangan dan ketidaksetaraan gender. Zhabiah Khamîs
dalam bukunya Shunmu al-Mar’ah asy-Syi'rî, secara terang-terangan mengokohkan
Qasim Amin sebagai pelopor pembebasan perempuan di negara-negara Arab.
Menurutnya, ide dan gagasan pembebasan yang diusung Amin merupakan gerbang
menuju kebebasan perempuan dalam dunia pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya.
Realita yang paling menonjol dari kemajuan yang ada adalah dari aspek pendidikan,
dan kemandirian ekonomi.30
Setelah polemik mengenai hijab dikemukakan Amin, maka pada tahun 1910
gaya berbusana dan penanggalan hijab meningkat cukup tajam di Mesir.31 Pada saat
itu juga pro dan kontra mengenai hijab ini menjadi sorotan masyarakat dan kalangan
terkemuka di Timur Tengah, menanggapi hal ini Nassif mengetengahkan argumen
bijaksananya dengan pandangan-pandangan feminisme dan kebudayaan. Ia melihat
bahwa hijab perlu dilihat dari aspek agama dan kebiasaan. Selama ini pemakaian
hijab bagi perempuan adalah berdasarkan pada angan-angan kaum laki-laki dan hal
inilah yang hendak ia luruskan. Baginya, perempuan hendaklah tidak mengadopsi
kebiasaan-kebiasaan Barat tanpa merujuk pada kesesuaiannya dengan lingkungan,
karena hal tersebut tidaklah bijaksana. Menurutnya, hijab bukanlah alasan bagi
keterbelakangan pendidikan perempuan di Timur Tengah. Dengan demikian
pemerintah hendaklah memberikan kesempatan bagi perempuan untuk meraih

29
Menurut Hourani, setelah buku pertamanya Tahrîr al-Mar’ah, Amin menerbitkan buku kedua
yang berjudul Al-Mar’ah al-Jadîdah. Buku ini hadir dengan pernyataan-pernyataan baru dari ide-ide
yang dikemukakan pada buku pertama, tetapi dengan cara yang berbeda karena keseluruhan dasar
argumennya telah berubah. Dasar argumennya tidak lagi al-Qur'an dan syariah yang ditafsirkan dengan
benar, melainkan ilmu-ilmu pengetahuan dan pemikiran sosial dari pemikiran Barat modern. Standar
penilaiannya menggunakan konsep-konsep dasar, seperti kebebasan, kemajuan, dan peradaban. Dalam
memaknai kebebasan, Amîn menyatakan bahwa kebebasan adalah kemerdekaan manusia dalam
berpikir, berkehendak, dan bertindak, sepanjang ia masih dalam batasan-batasan hukum dan
menghormati moralitas, dan ia tidak tunduk di luar batas-batas itu pada kehendak orang lain. Qâsim
Amîn, Al-Mar’ah al-Jadîdah, h. 38; Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, (terj. Suparno,
dkk.), (Bandung: Mizan, 2004), h. 271-287.
30
Zhabiah Khamîs, Shunmu al-Mar’ah al-Syi'riy, (Beirut: Dâr li ats-Tsaqâfati wa al-Nasyri,
1997), h. 93-95.
31
Laila Ahmad, Wanita dan Gender dalam Islam, (terj.), h. 232.

32
pendidikan dan menyerahkan sepenuhnya berbagai pilihan dalam hidup perempuan
untuk melakukan yang terbaik baginya.32
Dalam dekade-dekade pertama abad kedua puluh, perkembangan kaum
feminis telah mulai mengalami kemajuan. Pada tahun 1914, Huda Sya’rawi
mendirikan “Asosiasi Wanita Mesir”, lalu disusul oleh didirikannya organisasi-
organisasi lainnya oleh Mai Ziyadah, seperti “Himpunan Kebangkitan-Kembali
Perempuan Mesir, Himpunan Ibu-Ibu Masa Depan” (didirikan pada tahun 1919).
Selain itu pada tahun 1908, Sya’rawi juga mengadakan kuliah-kuliah umum untuk
para perempuan yang diadakan di Universitas Mesir pada setiap hari jumat.33
Sebagaimana perkembangan feminisme di dunia Arab, di dunia Barat pun
feminisme pada gelombang kedua ini tidak menjadi sebuah gerakan yang homogen,
akan tetapi mulai terbagi ke dalam beberapa kelompok dan masing-masing kelompok
memiliki pandangan dan perspektif yang berbeda dalam melakukan kajiannya. Di
antara beberapa aliran feminis tersebut adalah feminis marxis, sosialis, kulit hitam,
liberal, lesbian dan lain-lain. Berikut akan dijelaskan karakteristik dari masing-
masing aliran, yaitu:
a. Marxis Feminism: kelompok ini mengidentifikasi pembagian kerja secara
seksual sebagai penyebab penindasan. Feminis masrxis mendeskripsikan
basis material ketundukan perempuan, dan hubungan antara model-model
produksi dan status perempuan, serta menerapkan kelas pada peran
perempuan. Sheila Rowbotham sebagai salah satu pelopor aliran ini dalam
bukunya Woman’s Consciousness, Man’s World (1973) menunjukkan
bagaimana pemisahan kerja (produksi) dari waktu luang (konsumsi)
merupakan pemisahan yang hanya ada pada laki-laki. 34

32
Laila Ahmad, Wanita dan Gender dalam Islam, (terj.), h. 243-244.
33
Untuk penjelasan mendalam mengenai sejarah pertumbuhan feminism di Timur Tengah bisa
lihat: Laila Ahmad, Wanita dan Gender dalam Islam, (terj.), h. 233.
34
Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (terj.) h. 270, untuk lebih jelasnya baca: Sheila
Rowbotham, Woman’s Consciousness, Man’s World, (Penguin: Harmonswort, 1973).

33
Marxis Feminisme didasarkan pada praktis yang mengaitkan antara kesadaran
dan kausalitas sosial, hanya aliran ini yang mempunyai teori yang
membedakan relasi antara konstruksi pengalaman diri perempuan dan
pengalaman sosialnya. Walaupun teori feminisme sangat berbeda dengan teori
marxis, di mana yang pertama memfokuskan pada gender dan seksualitas dan
yang kedua lebih menitikberatkan ideologinya pada kondisi material, namun
menurut para feminis perkawinan antara dua teori ini dapat membebaskan
perempuan.35
b. Socialist Feminism: gerakan ini merupakan sintesis dari feminisme Marxis
dan feminis liberal. Aliran ini berangkat dari asumsi bahwa perempuan adalah
penduduk kelas dua dalam masyarakat kapitalis patriarkhis yang
menggantungkan keberlangsungan hidupnya kepada eksploitasi khusus dari
perempuan. Reed melihat bahwa akar penindasan perempuan terletak pada
sistem ekonomi kapitalisme secara total, untuk itu kita harus
mentransformasikan bukan hanya kepemilikan alat-alat produksi, namun juga
pengalaman sosial. Dalam hal ini, feminis sosialis menyatakan bahwa laki-
laki mempunyai kepentingan material dalam mendominasi perempuan, dan
bahwa laki-laki mengkonstruksikan berbagai tatanan institusional untuk
melanggengkan dominasi ini.36
Menurut Humm, salah satu problem dalam aspek feminisme sosialis ini
adalah bahwa mereka menjadikan konsep pembagian kerja berdasarkan jenis
kelamin sebagai dasar untuk mengeksplorasi relasi-relasi antara subordinasi
perempuan, sistem ekonomi tertentu, dan cara mengorganisasikan
seksualitas.37

35
Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (terj.) h. 270-271.
36
Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (terj.), h. 447-450; Euis Amalia, Feminisme: Konsep,
Sejarah dan Perkembangannya dalam Pengantar Kajian Gender, h. 102-104.
37
Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (terj.), h. 447-450; untuk penjelasan lebih lanjut
mengenai feminism sosialis, lihat: E. Reed, Problem of Women’s Liberation, (New York: Path-finder,
1970); Sheila Rowbotham, Woman’s Consciousness, Man’s World, (Penguin: Harmonswort, 1973); J.

34
c. Lesbian Feminism: feminisme lesbian merupakan feminis radikal. Mereka
mengkritik institusi dan ideologi heteroseksual sebagai pusat dari patriakhi.
Kelompok ini meyakini bahwa perempuan mempunyai komitmen bersama
dalam persoalan politik, seksual dan ekonomi. Relasi yang terjalin antara laki-
laki dan perempuan dilihat oleh kelompok ini sebagai hal yang menindas.
Menurut beberapa feminis semisal Teoretisi Charlotte Bunch, Ti-Grace
Atkinson, Adrienne Rich, the Furies dan lainnya, bahwa feminisme lesbian
melibatkan pilihan seksual dan pilihan politik karena ia menolak definisi
kehidupan perempuan. Sebuah jargon yang sangat terkenal dari kelompok ini
adalah “feminisme adalah teori dan lesbianisme adalah praktik”. the Furies
dan feminis lainnya menjadikan feminisme lesbian sebagai kekuatan utama
dalam budaya perempuan radikal.38
Menurut Humm, pandangan kaum feminis lesbian tersebut merupakan usaha
untuk membangun perspektif yang berpusat pada perempuan dan untuk
menciptakan definisi baru mengenai identitas perempuan.39
d. Liberal Feminism: yaitu teori mengenai kebebasan individual bagi
perempuan. Asumsi dasar pemikiran aliran ini adalah semua manusia, baik
laki-laki dan perempuan diciptakan seimbang, serasi, dan mestinya tidak
terjadi penindasan antara satu dengan lainnya.40 Pelopor pertama aliran ini
adalah Mary Wollstonecraft, ia mendeskripsikan perempuan sebagai agen
rasional yang ‘inferioritasnya’ disebabkan oleh pendidikan yang rendah.
Pendapat tersebut diamini oleh feminis lainnya, bahwa akar dari penindasan

Mitchell, Women: The Longest Revolution, London: Virago, 1984; Z.R. Eisenstein (ed.), Capitalist
Patriarchy and the Case for Socialist Feminism, (New York: Montly Review Press, 1979).
38
Kelompok ini menyepakati bahwa perempuan tidak harus tergantung pada laki-laki secara
seksual, sebelum perempuan dapat membuat komitmen ‘primal’ satu sama lain yang mencakup cinta
seksual, maka perempuan akan selalu terjebak pada status kelas dua. Untuk lebih jelas lihat:
Radicalesbians, The Women-Identified Women in Radical Feminism, A. Koedt (ed.), (New York:
Quadrangle, 1973); Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (terj.), h. 247-249.
39
Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (terj.), h. 249
40
Euis Amalia, Feminisme: Konsep, Sejarah dan Perkembangannya dalam Pengantar Kajian
Gender, h. 95-102.

35
perempuan terletak pada tidak adanya hak sipil dan peluang pendidikan yang
sama.
Menurut Humm, inti dari keyakinan liberal mengenai seksualitas adalah
pandangan bahwa kehidupan pribadi seseorang tidak semestinya menjadi
objek peraturan masyarakat. Dengan demikian, kelompok ini menerima
dikotomi publik-privat, mereka juga mendukung pemenuhan individu yang
terbebas dari keterbatasan peran seks yang didefinisikan.41
e. Black Feminism: Pelopor kelompok ini antara lain Barbara Smith, Audre
Lorde, Gloria I. Joseph, Gloria Hull dan Alice Walker, mereka menciptakan
teori-teori yang memenuhi kebutuhan perempuan kulit hitam untuk
memobilasi persoalan-persoalan yang mereka anggap mempunyai dampak
langsung terhadap keseluruhan kualitas hidup. Teori yang diketengahkannya
adalah melihat batasan-batasan keperempuanan dengan feminis kulit putih
untuk sepenuhnya melakukan kesepakatan dengan kontradiksi yang melekat
dalam gender, ras dan kelas di dalam konteks masyarakat yang rasis.42
f. Cultural Feminism: teori yang dipersembahkan aliran ini adalah untuk
menciptakan kultur perempuan yang radikal dan terpisah. Feminis kultural
mendeskripsikan bagaimana kultur perempuan yang kuat dalam musik, sastra,
seni, puisi, ilmu pengetahuan, dan obat-obatan akan menjadi anti-otoriter dan
anti struktur. Menurut Mary Daly, strategi yang mereka ketegahkan adalah
untuk melakukan perubahan sosial sehingga perempuan dapat menciptakan
kultur baru dengan ritual, simbol, dan bahasa feminis yang baru.43
g. Radical Feminism: teori ini berkembang pesat di Amerika Serikat pada kurun
waktu 1960-1970-an. Kelompok ini berpendapat bahwa ketidakadilan gender
itu terletak pada perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Dominasi
41
Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (terj.), h. 249-250; Mary Wollstonecraft, A
Vindication of the Rights of Women, (New York: W.W. Norton, 1967).
42
Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (terj.), h. 40-41; untuk mendapatkan penjelasan
mendalam baca V. Amos and P. Parmar, ‘Challenging Imperial Feminism’, Feminist Review, h.18.
43
M. Daly, Gyn/Ecology: The Metaethics of Radical Feminism, (Boston, Mass: Beacon Press,
1978); Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (terj.), h. 87.

36
laki-laki atau subordinasi perempuan menurut mereka merupakan suatu model
konseptual yang bisa menjelaskan berbagai bentuk penindasan lainnya.
Sebagian dari kaum feminis radikal ada yang berpandangan sangat ekstrim,
yaitu tidak hanya menuntut persamaan hak dengan laki-laki tetapi juga
persamaan seks.44
Setidaknya, gambaran di atas merupakan sebagian dari beberapa kelompok
feminisme yang berkembang di dunia. Pemikiran feminisme Barat memberikan
inspirasi bagi pergerakan perempuan di beberapa negara Islam.45 Secara konseptual
ide kesetaraan laki-laki dan perempuan telah muncul pada masa awal Islam, karena
pada masa ini perempuan dapat melakukan aktivitasnya dengan leluasa tanpa dibeda-
bedakan dengan laki-laki. Masa ini dikatakan sebagai masa yang paling ideal bagi
perempuan. Pada dasarnya semua gerakan feminisme yang ada tersebut merupakan
upaya dan gerakan menuju kebebasan perempuan, yaitu kebebasan bagi perempuan
untuk memilih tanpa paksaan atau pengaruh doktrin yang opresif.
B. Kritik Sastra Feminis
Paham feminis yang mulai merebak di tahun 1960-an menginspirasi
pemerhati sastra untuk mengintegrasikan teori tersebut dalam karya sastra. ide
tersebut berawal dari pemahaman yang melihat sastra sebagai produk kebudayaan
sehingga novel mampu mengilustrasikan potret kehidupan sosial. Novel juga dapat
dipahami sebagai struktur dan proses budaya, yang dari proses tersebut dapat
mencatat peristiwa-peristiwa yang terjadi selama masa dan periode tertentu. Râghib
mengumpamakannya sebagai kebersatuan ruh dan jasad. Urgensitas jasad akan
terlihat semata-mata karena terdapat ruh di dalamnya yang mengendalikan dan
mengorganisir semua gerakan dalam jasad.46 Beberapa penulis yang menaruh
perhatian terhadap perkembangan kritik ini dalam lingkup sastra adalah: Simone de
44
Lebih jelasnya lihat penjelasan Euis Amalia, Feminisme: Konsep, Sejarah dan
Perkembangannya dalam Pengantar Kajian Gender, h. 104-106.
45
Zhabiah Khamîs, al-Dzât al-Untsawiyyah, (Beirut: Dâr li ats-Tsaqâfati wa al-Nasyri, 1997), h.
6.
46
Nabîl Râghib, at-Tafsîr al-'Ilmî li al-Adab; Nahw Nazariyyah 'Arabiyyah Jadîdah, (Kairo: al-
Syirkah al-'Âlamiyyah li al-Nasyr, 1997), h. 214-215.

37
Beauvoir,47 Kate Millet, Betty Friedan48 dan Germain Greer.49 Gagasan dan asumsi
utama yang melandasi tumbuh kembangnya teori ini adalah anggapan bahwa peran
dan status perempuan itu ditentukan oleh jenis kelaminnya.
Dalam setiap teks (sastra) terlihat gambaran budaya penindasan dan
peremehan perempuan dalam masyarakat yang patriarkat.50 Citra yang tergambarkan
dalam karya sastra terhadap perempuan adalah peran-peran dan kedudukan
perempuan sebagai mahluk kelas dua dan pelengkap bagi laki-laki, tertindas, inferior,

47
Simone de Beauvoir adalah seorang pelopor paham feminis sesudah perang. Ia menerbitkan
buku the Second Sex (Le Deuxiéme Sexe) pada tahun 1949, buku tersebut lahir sebagai studi dan
perhatiannya terhadap penindasan perempuan dan konstruksi feminitas oleh mata laki-laki.
Kontribusinya yang utama terhadap teori feminis adalah argumentasinya mengenai budaya patriarki,
maskulin ditetapkan sebagai posisi atau norma dan perempuan atau feminine ditetapkan sebagai
negatif atau apa yang disebutnya sebagai the other. Pandangannya mengenai persoalan ini bermula
dari fakta dan gambaran mitos psikologi, sejarah dan biologi. Mitos-mitos buatan manusia
menempatkan perempuan sebagai objek pasif, dikarenakan perempuan diciptakan berbeda dengan laki-
laki. Baginya, perbedaan fisik antara laki-laki dan perempuan hanyalah dari persetujuan masyarakat,
sehingga karakteristik biologi dapat dijelaskan. Pandangannya yang perlu digarisbawahi adalah secara
implicit ia menganggap kaumperempuan tidak pernah dapat dengan tepat digambarkan oleh para
penulis laki-laki, karena gambaran perempuan ditentukan sebagaimana mitos yang mereka ciptakan.
Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis; Teori dan Aplikasinya, h. 12-13; Maggie Humm,
Ensiklopedia Feminisme, (terj.), h. 35-36; untuk lebih jelas baca Simone de Beauvoir, The Second Sex,
(Harmondsworth: Penguin, 1953).
48
Betty Frieden dalam bukunya The Feminine Mystique mengangkat versi pragmatis dari bentuk
kepasifan perempuan. Menurutnya kepasifan perempuan tersebut merupakan bentukan budaya yang
lahir dari budaya patriarkhat. Untuk itu dalam kesempatan ia selalu mengetengahkan tema mengenai
kedudukan dan posisi perempuan dalam budaya patriarkhat. Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra
Feminis; Teori dan Aplikasinya, h. 13.
49
Germaine Greer, buku pertamanya berjudul the Female Eunuch terbit pada tahun 1970, buku ini
dianggap penting uuntuk mendorong kesadaran media terhadap penindasan perempuan. Ia membuat
analisis ideologis megenai aspek-aspek misogini dalam budaya. Maggie Humm, Ensiklopedia
Feminisme, (terj.), h. 189-190.
50
Lihat kisah 1001 malam (alfu laylah wa laylah), perempuan dijadikan objek pemuas seksual
bagi laki-laki, hal tersebut dikarenakan perempuan dianggap sebagai komoditi sehingga seorang
penguasa akan bangga dengan praktek poligami yang mereka lakukan (dengan memelihara banyak
selir dalam kerajaan). Lihat juga ‘Imraah fi Nuqtah as-Sifr karya Nawâl as-Sa'dâwî, melalui tokoh
Firdaus, perempuan dicitrakan sebagai pemuas nafsu laki-laki. Perempuan tidak memiliki kekuasaan
dan kekuatan untuk melakukan pembelaan terhadap dirinya sendiri di hadapan hukum. Dalam
kesusateraan Indonesia, novel klasik ‘Siti Nurbaya’ menghadirkan citra perempuan yang hidup dengan
persoalan dan kemelut kebiasaan dan adat istiadat Minangkabau yang represif. Di mana kebebasan
menuntut ilmu bagi perempuan dibatasi, serta polemik kawin paksa yang masih membumi; untuk
penjelasan lebih lanjut baca: Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis; Teori dan Aplikasinya, h.
287-338.

38
takluk dan marjinal.51 Pada awalnya, teori ini merupakan campuran antara budaya
dan sastra, karena analisis dipusatkan pada perempuan-perempuan seperti yang
terlukis dalam budaya laki-laki (patriarki). Di mana teks dibaca sebagai hasil budaya
dari sistem patriarkhat.52
Dalam perkembangannya, ilmu sastra menjadikan ideologi feminis53 sebagai
sebuah landasan kuat bagi perkembangan ideologi gender yang terorganisir dan
mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan perempuan. Paham ini menjadi
menarik ketika perempuan menyadari bahwa ketidakadilan dan ketimpangan gender
tersebut tidak hanya ditemui pada tataran realitas, akan tetapi juga pada dunia
imajiner. Dalam kesastraan, feminisme ini berhubungan dengan studi sastra yang
mengarahkan fokus analisis kepada perempuan. Studi tersebut memberikan sebuah
pilihan yang menarik bagi studi sastra yaitu dengan menawarkan pandangan bahwa
pembaca perempuan dan kritikus perempuan membawa persepsi, pengertian, dan
dugaan yang berbeda pada pengalaman membaca karya sastra apabila dibandingkan
dengan laki-laki.54 Pola pandangan tersebut melahirkan sebuah kajian baru pada
karya sastra yang disebut kritik sastra feminis (feminis literary criticism).
Ibrâhîm Mahmûd Khalîl mengklasifikasikan sastra feminis (al-adab al-nisâ’î)
ke dalam dua kategori, yaitu: pertama, sastra (prosa atau puisi) yang dibuat oleh
penulis perempuan yang mengilutrasikan penilaiannya tentang dirinya sendiri,
pandangannya terhadap laki-laki, serta keterkaitannya dengan laki-laki, atau yang
menceritakan tentang pengalaman dan perjalanan hidup seorang perempuan, baik
fisik maupun mental, dan atau problem pribadi sebagai seorang perempuan. Kedua,

51
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi,
(Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003), h. 143.
52
Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis; Teori dan Aplikasinya, h. 11-12.
53
Ideologi merupakan cara kita hidup di dunia ini, sedangkan ideologi feminis merupakan
rangkaian gagasan yang mendeskripsikan seksisme dari setiap masyarakat tertentu dan memberikan
gambaran tentang masyarakat masa depan yang tidak lagi memiliki kontradiksi seksis. Lihat definisi
yang diberikan Humm pada Ensiklopedia Feminisme, Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (terj.),
h. 215-216.
54
Elaine Showalter, The New Feminist Criticism, (New York: Basil Blackwell, 1985), h. 3;
Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis; Teori dan Aplikasinya, h.6.

39
sastra yang ditulis laki-laki namun di dalamnya membicarakan perempuan serta
bagaimana ia memperlakukan perempuan dalam karyanya tersebut.55 Sedangkan
Zhabiah Khamîs mengklasifikasikan kritik sastra feminis ke dalam dua kategori,
yaitu: pertama, memposisikan perempuan sebagai pembanding yang menitikberatkan
perhatiannya pada penggambaran dan stereotype yang melekat pada perempuan, serta
pemahaman dan citra diciptakan oleh berbagai pihak terhadap perempuan dalam
karya sastra. Kedua, memposisikan perempuan sebagai penulis yang memproduksi
makna dalam tek-teka sastra. Pada kategori yang kedua inilah, diharapkan pemaknaan
dan pencitraan terhadap perempuan menghasilkan sebuah gagasan yang dinamik
mengenai perempuan dalam karya sastra.56
Kajian terhadap perempuan dalam teks sastra, pada awalnya dipelopori oleh
kaum feminis postmoderen,57 konsep ini berangkat dari istilah the other yang
dikemukakan oleh Simone de Beouvoir (1908-1986) untuk menggambarkan posisi
perempuan dalam sebuah masyarakat patriarkhi melalui teori eksistensialisme-nya.
Teori ini menyatakan bahwa terdapat tiga modus “Ada” pada manusia, yakni Ada-
pada-dirinya (etre en soi), Ada-bagi-dirinya (etre pour soi), dan Ada-untuk-orang lain
(etre pour les autres). Modus yang terakhir inilah yang menyebabkan terjadinya
permasalahan,58 karena berbicara mengenai relasi-relasi antar manusia. Menurut
Sartre, setiap relasi antar manusia pada dasarnya bersumber pada konflik, karena
konflik adalah inti dari relasi intersubyektif. Di mana masing-masing pihak
mempertahankan kesubjekannya dengan mempertahankan dunianya dan berusaha

55
Ibrâhîm Mahmûd Khalîl, al-Naqd al-‘Adab al-'Arabî al-Hadits; min al-Muhâkah ila at-Tafkîk,
(Oman: Dâr al-Masîrah, 1424 H/2003 M), cetakan pertama, h. 134-135.
56
Zhabiah Khamîs, al-Dzât al-‘Untsawiyyah, h. 22.
57
Feminis postmoderen menitikberatkan kajiannya pada persoalan alienasi perempuan secara
seksual, psikologis dan sastra dengan bertumpu pada bahasa sebagai sebuah sistem. Gadis Arivia,
Filsafat Berperspektif Feminis, h. 128.
58
Permasalahan yang ditimbulkan adalah timbulnya pola pandang yang tidak seimbang terhadap
persoalan gender. Di antaranya adalah segregasi jender feminine dan maskulin, ekspoitasi, viktimasi,
marjinalisasi serta domestikasi terhadap gender feminine dalam bahasa dan karya sastra. Menghadapi
permasalahan tersebut beberapa tokoh feminis berusaha untuk memberikan pemahaman mengenai
kedudukan dan peran perempuan dalam karya sastra. Baca: Sugihastuti Suharto, Kritik Sastra Feminis;
Teori dan Aplikasinya, h. 15.

40
memasukkan kesadaran lain dalam dunianya. Hal ini menyebabkan adanya usaha dari
salah satu pihak untuk mengobjekkan orang lain. Dalam dunia patriarkhi, relasi antara
laki- laki dan perempuan dimaknai dengan pola kekuasaan di mana laki-laki
mengobjekkan perempuan dan membuatnya sebagai ”yang lain” (the other).59
Pada tahun 1970, Millet mengetengahkan “Sexual Politics” sebagai pegangan
dalam pemahaman analisis seksual. Ia melihat bahwa teks-teks dilahirkan dari pola
interaksi antara penulis dan seksualitasnya. Selain itu, ia memahami bahwa kritik
sastra feminis tersebut menyangkut soal “politik” dalam sistem komunikasi sastra,
yang berarti adanya sebuah politik yang langsung mengubah hubungan kekuatan
kehidupan antara perempuan dan laki-laki dalam sistem komunikasi sastra.60 Senada
dengan pendapat sebelumnya, Sugihastuti melihat kritik sastra feminis bertolak dari
sebuah permasalahan pokok, yaitu anggapan perbedaan seksual dalam interpretasi
dan perebutan makna karya sastra. Berdasarkan hal tersebut, yang menjadi dasar
pemikiran dalam penelitian sastra berperspektif feminis adalah upaya pemahaman
kedudukan dan peran perempuan seperti tercermin dalam karya sastra.61
Sederhananya, kritik sastra feminis merupakan sebuah kritik yang memandang sastra
dengan kesadaran khusus akan adanya jenis kelamin yang banyak berhubungan

59
Teori Eksistensialisme yang dijadikan landasan Simone dalam wacana ini berasal dari Jean Paul
Sartre. Teori ini menyatakan bahwa terdapat tiga modus “Ada” pada manusia, yakni Ada-pada-dirinya
(etre en soi), Ada-bagi-dirinya (etre pour soi), dan Ada-untuk-orang lain (etre pour les autres). Pada
konsep pertama, cara berada etre en soi adalah Ada yang penuh, sempurna dan digunakan untuk
membahas objek-objek yang non-manusia karena ia tidak berkesadaran. Sedangkan bagi etre pour soi
adalah kebalikan dari konsep pertama yang mempunyai relasi karena ia berkesadaran. Dalam konsep
kedua ini, diperkenalkan ciri khas manusia yang mempunyai aktivitas menindak di mana
diperkenalkan dengan konsep ketiadaan, dan hal ini hanya bisa dilakukan oleh manusia. Karena
menurut Sartre, konsep ketiadaan adalah kebebasan. Karena itu, manusia harus bertanggung jawab atas
dirinya. Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, terj. Hazel E. Barnes, (New York: WSP Publication,
1956), h. 28; Lihat juga: Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis, h. 122-131.
60
Millet memperluas konsep politik ke arah kekuasaan yang menstrukturkan secara umum dan
menunjukkan bahwa konsep ini menjadi definisi dari esensi tatanan laki-laki atau perempuan.
Menurutnya, politik seksual didasarkan pada misogini, yang berakibat pada penindasan perempuan
baik pada level institusional maupun pada level personal. Kate Millet, Sexual Politics, (Bringhton-
Sussex: The Harvester Press Limited, 1970); Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme,(terj.), h. 436-
437.
61
Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis; Teori dan Aplikasinya, h.15.

41
dengan budaya, sastra, dan kehidupan manusia.62 Dalam hal ini diperlukan wawasan
yang luas mengenai berbagai ragam persoalan perempuan yang meliputi aspek
sejarah, antropologi, linguistik, psikoanalisis, sosiologis dan bidang ilmu lainnya
yang relevan.63
Dalam sebuah penelitian sastra feminis, terkadang masih berpretensi
berkelamin tunggal, sehingga hasil penelitian pun menjadi bias gender. Untuk
menghindari ketimpangan tersebut, maka kritik sastra feminis menjadi landasan yang
kuat dan kokoh untuk menyamakan persepsi. Setidaknya, sastra feminis menjadi
landasan untuk menyatukan pendirian bahwa seorang perempuan dapat membaca
sebagai perempuan (Jonathan Culler memperkenalkan konsep ini sebagai reading as
a woman), pengarang atau penulis juga mampu mengarang sebagai perempuan (yang
disebut Elaine Showalter sebagai gyno-criticism), dan menafsirkan karya sastra
sebagai perempuan.64 Analisa dalam kajian feminisme ini dilakukan dalam upaya
untuk mengungkapkan aspek-aspek ketertindasan perempuan atas laki-laki. Karena
pada prinsipnya, teks sastra dan karya sastra yang dilahirkan dari tangan pengarang
laki-laki dan perempuan memang sering berbeda. Hal tersebut disebabkan karena
perbedaan pengalaman masing-masing individu dalam menilai dan mengungkapkan
gagasan dan ide dalam tulisan dan karya sastra.
Konsep reading as a women yang diusung oleh Culler memberikan nuansa
baru bagi iklim perkembangan sastra saat ini. Konsep tersebut merupakan usaha
untuk membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang androsentris dan
patriarkal, yang sampai sekarang diasumsikan menguasai penulisan dan pembacaan
sastra.65 Kritik sastra jenis ini bukanlah berarti pengkritik perempuan, atau kritik
tentang perempuan, atau juga bukanlah kritik tentang pengarang perempuan, akan

62
Menurut Sugihastuti, jenis kelamin membuat banyak perbedaan di antara semuanya, perbedaan
di antara diri pencipta, pembaca dan faktor luar yang mempengaruhi situasi karang-mengarang.
Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita; Perspektif Sajak-Sajak Toeti Heraty,h. 39.
63
Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis; Teori dan Aplikasinya, h.8.
64
Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis; Teori dan Aplikasinya, h.6.
65
Jonathan Culler, On Deconstruction, Theory and Criticism after Structuralism, (London and
Henley: Routledge and Kegan Paul, 1983), h. 43-63.

42
tetapi lebih mengarahkan pengkritik untuk memandang sastra dengan kesadaran
khusus, bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra
dan kehidupan.66
Membaca sebagai perempuan sangat terkait erat dengan faktor sosial budaya
pembacanya, sehingga sikap baca menjadi faktor penting. Dengan sendirinya peran
pembaca tidak dapat dilepaskan dari sikap bacanya. Dalam proses pembacaan,
dikenal istilah pembaca implisit yaitu sebuah jaringan struktur pembacaan yang
intensif, yang mendorong pembaca dapat memahami teks. Menurut Iser, konsep ini
menganggapkan struktur teks yang proses perubahannya bermula dari aktivitas
ideasional ke pengalaman individu.67 Menurut Teeuw, pembacaan sastra setidaknya
dilandaskan pada aspek sosial dan aspek waktu. Berdasarkan aspek sosial, pembaca
akan dipengaruhi oleh perbedaan latar belakang sosio-budaya dan masa di mana
mereka hidup. Penilaian yang dihadirkan melalui sebuah pembacaan sastra yang
berbeda latar belakang sosial dan masa tersebut mengakibatkan sebuah pemaknaan
yang bersifat utuh. Jadi, penilaian pembaca tergantung pada kedudukan seseorang
dalam struktur sosial dan kebudayaan.68
Selain itu menurut Foulkes, dalam memaknai karya sastra hendaknya
memandang penting situasi pembaca, yaitu sebagai subjek dan objek. Sebagai subjek,
pembaca adalah yang membaca, menafsirkan, dan menilai karya sastra. Sedangkan
dalam proses interpretasi, pembaca berada pada posisi sebagai objek, yaitu berada
dalam tegangan antara textual structure sebagai sesuatu yang diberikan secara
objektif di luar dirinya, dengan persediaannya yang subjektif untuk memasuki
hubungan estetik dengan teks, yang sebagian ditentukan oleh konvensi-konvensi

66
Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis; Teori dan Aplikasinya, h.19.
67
Pengalaman individu yang dimaksud di sini adalah pengalaman individu sebagaimana yang
didefinisikan oleh Yunus, yaitu: pengalaman emosi, sosio-budaya dan pengalaman psikologi
komunikasi. Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita; Perspektif Sajak-Sajak Toeti Heraty,h. 40; lebih
jelas lihat Wolfgang Iser, The Act of Reading, A Theory of Aesthetic Response, (Baltimore: Johns
Hopkins University Press, tth) h. 34-38; Umar Junus, Resepsi Sastra, Sebuah Pengantar, (Jakarta:
Gramedia, 1985), h. 75.
68
A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra; Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984),
cetakan pertama, h. 370-371.

43
sastra dan sebagian lainnya oleh faktor di luar sastra, seperti pengaruh dan kekuatan
sosial, politik dan budaya.69
Iser melihat kebermaknaan teks adalah setelah teks tersebut dibaca,70 Teeuw
pun menyatakan bahwa upaya mengkonkretkan perempuan dalam karya sastra
dilakukan dengan melihatnya bukan saja dari kedudukannya sebagai unsur struktur
karya, akan tetapi juga perlu mempertimbangkannya dari faktor pembaca. Hal
tersebut dianggap penting karena pembaca perempuan yang membaca karya sastra
sebagai perempuan mempengaruhi konkretisasi karya karena makna teks ditentukan
oleh berbagai faktor, di antaranya adalah peran pembaca.71
Konsep reading as women mengandung kesadaran subjektivitas pembaca,
dalam arti, pengalaman pribadi dan tokoh perempuan sebagai individu yang diteliti
digayutkan. Diasumsikan adanya hubungan psikologis dan empatis antara pembaca
dan tokoh dalam karya, di mana mereka dapat berbagi cerita, masalah, pengalaman
sehingga terjadi interaksi di antara keduanya.
Berbeda halnya dengan Culler yang memfokuskan penelitiannya pada
pembaca, Showalter hadir dengan mengembangkan teori estetika feminis yang
disebut gynocritics, yaitu membedakan antara perempuan sebagai pembaca dan
perempuan sebagai penulis. Studi ini menitikberatkan mengenai penulis perempuan,
sejarah, cerita, tema-tema, genre dan struktur tulisan oleh penulis perempuan.
Gynocritics mencakup psikodinamika kreativitas perempuan; alur karir perempuan
secara kolektif maupun individual dan evolusi serta aturan tradisi sastra perempuan.
Pendekatan gynocritics ini berkonsentrasi pada teks-teks yang ditulis oleh
perempuan, pendekatannya dinamakan gynosentric.72

69
A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra; Pengantar Teori Sastra, h. 206-207.
70
Wolfgang Iser, The Act of Reading, A Theory of Aesthetic Response, h. 20.
71
Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis; Teori dan Aplikasinya, h.19.
72
Gynosentric adalah keyakinan bersama terhadap perspektif yang berpusat pada perempuan dan
organisasi social yang “perempuan-sentris”. Aktivitas gynosentric meliputi serangkaian kekuatan
perempuan yang bisa dieksplorasi dan digali, seperti kekuatan erotisme perempuan. Pembahasan yang
mendalam mengenai gynocritics dan gynosentric bisa ditemukan dalam buku Elaine Showalter, The
New Feminist Criticism: Essays on Women, Literature and Theory, (New York: Pantheon, 1986) dan

44
Menurut Maqdisy, ada perbedaan mencolok di antara penulisan karya sastra
yang ditulis oleh laki-laki dan perempuan. Dalam karya sastra yang ditulis oleh
perempuan ada unsur-unsur imaginasi dan gagasan yang tidak bisa kita temukan
dalam karya sastra yang ditulis oleh laki-laki.73 Menurutnya, perempuan memiliki
pandangan yang lebih luas dalam menciptakan tema dan mamandangi kehidupan,
tidak kalah menarik dengan cara laki-laki menciptakan karya sastra. Hal tersebut
dapat dilihat dari ramainya penulis-penulis perempuan yang bermunculan di awal
abad kesembilan belas, yang kehadirannya diakui oleh dunia nasional dan
internasional, seperti 'Âisyah al-Taymûriyah, Rifâ'ah al-Thahthâwî, Wardah al-Yâzijî,
Zainab Fawâz, Malik Hafnî Nâsif, dan lain-lain. Bahkan, penulis perempuan semisal
'Âisyah al-Taymûriyah dapat merambah ke berbagai tema dalam penulisan syair,
tidak hanya berpatokan pada tema-tema mengenai perempuan saja. Hal tersebut
dipandang oleh ‘Anis Maqdisy sebagai sebuah kelebihan dari gynosentric sebagai
salah satu pendekatan dalam menciptakan karya sastra. Menurut Zhabiah Khamîs,
melalui gynosentric perempuan dapat mengeksplorasi berbagai permasalahan
kehidupan yang ia alami, seperti pengalaman kehidupannya sehari-hari, relasi antara
ia dan anak-anaknya khususnya anak perempuannya, serta relasi antaranya dan para
lelaki di sekelilingnya, baik dengan ayah, suami maupun anak-laki-lakinya.74
Pergumulan emosi yang terjadi selama hubungan tersebut menyeruakkan sebuah
emosi yang hanya bisa diungkapkan oleh penulis perempuan, begitu pun sebaliknya.

Toward a Feminist Poetics in Women Writing and Writing about Women, M. Jocabus (ed.), (London:
Croom Helm, 1979). Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (terj.), h. 193.
73
Zhabiah Khamîs, Shunmu al-Mar’ah asy-Syi'riy, h. 80.
74
Zhabiah Khamîs, al-Dzât al-Untsawiyyah, h. 15-20.

45
C. Citra dan Simbol Perempuan Dalam Sastra
Aktivitas sastra yang meliputi prosa75 dan puisi76 mengandung keunikan dan
keindahan yang sama, karena kedua genre ini sama-sama menggunakan bahasa
sebagai sarana menyampaikan ide dan gagasan. Hanya saja di antara keduanya
terdapat perbedaan aktivitas kejiwaan. Puisi adalah ekspresi kreatif (yang mencipta)
yang bersifat ekspresif dan liris, sedang prosa merupakan ekspresi konstruktif yang
bersifat menjelaskan.77 Akan tetapi, masing-masing genre tersebut memerlukan
proses pencitraan untuk memberikan gambaran yang jelas, memberikan suasana yang
khusus dan membuat (lebih) hidup gambaran/image dalam pikiran dan
penginderaan.78
Menurut Muhammad Mandûr, dalam puisi maupun prosa dikenal adanya citra
(shurah/image) dan pencitraan (shuwar/imagery) yang menyaran pada adanya
reproduksi mental.79 Citra merupakan sebuah gambaran pengalaman indera yang

75
Prosa dalam pengertian kesastraan juga disebut fiksi (fiction), teks naratif (narrative text) atau
wacana naratif (narrative discourse). Fiksi adalah cerita rekaan (cerkan) atau cerita khayalan, cerita
naratif yang isinya tidak menyarankan pada kebenaran sejarah, menceritakan sesuatu yang bersifat
rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi sungguh-sungguh sehingga ia tidak perlu dicari
kebenarannya pada dunia nyata. Baca: Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1995), h. 1-2; 'Izuddin Ismâ'îl, al-‘Adab wa Funûnuh; Dirâsah wa
Naqd, (Kairo: Dâr al-Fikr al-'Arabî, 1968), cetakan keempat, h.179-185.
76
Puisi adalah ungkapan (kalâm) yang disusun dengan berdasarkan wazan dan qâfiyah, untuk
menggambarkan imajinasi dengan cara yang indah dan menarik, Ahmad Hasan az-Zayyât, Târîkh al-
Adab al-‘Arabî, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 2001), cet. 7, h. 25. Definisi yang senada juga diungkapkan
oleh M. Zaghlûl Sallâm, yaitu ungkapan yang bagus, mudah dipahami, menggunakan diksi yang tepat,
meletakkan lafadz sesuai dengan maknanya, dan meletakkan makna sesuai dengan konteksnya, serta
menggunakan metafora (isti’ârah) dan perumpamaan (tamtsîl) secara tepat, Muhammad Zaghlûl
Sallâm, Târîkh al-Naqd al-Adabî wa al-Balâghah, (Iskandariyah: Mansya’ah al-Ma’ârif, 1996), h.34;
baca juga: Ahmad al-Hâsyimi, Jawâhir al-Adab fi Adabiyât wa Insyâ wa Lughât al-‘Arab, (Beirut: Dâr
al-Kutub al-Ilmiyah, 1978), h. 250; Ahmad al-Iskandari dan Musthafa ‘Inâni, al-Wâsith fi al-Adab al-
‘Arabî wa Târikhihi, (Mesir: Dâr al-Mâ’arif, tth), h. 42; 'Izzuddin Ismâ'îl, al-‘Adab wa Funûnuh;
Dirâsah wa Naqd, h. 130-135.
77
Yang dimaksud puisi sebagai ekspresi kreatif adalah dalam puisi kata-kata tidaklah keluar dari
simpanan ingatan, kata-kata dalam puisi itu lahir dan dilahirkan kembali (dibentuk) pada waktu
pengucapannya sendiri. Sedangkan “konstruktif” adalah dalam prosa berarti telah tersedia bahan-
bahannya, telah tersedia bagi pemakai dan tinggal disusun saja, baca: Rachmat Djoko Pradopo,
Pengkajian Puisi, ( Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1987), h. 11-12.
78
Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi, h. 79.
79
Muhammad Mandûr, al-‘Adab wa Madzâhibuhu, (Mesir: Maktabah Nahdhah Misr wa
Mathba'atuha, tth), cetakan ketiga, h. 111-112.

46
diungkapkan lewat kata-kata, gambaran berbagai pengalaman sensoris yang
dibangkitkan oleh kata-kata. Sedangkan pencitraan adalah kumpulan citra, the
collection of images, yang digunakan untuk melukiskan objek dan kualitas tanggapan
indera yang dipergunakan dalam karya sastra, baik dengan deskripsi harfiah maupun
secara kias.80 Menurut Ridlâ 'Abd al-Wâhid Amîn Yûsuf, shurah pada dasarnya
bersifat lebih umum karena mencakup semua gambaran tentang banyak hal, baik
yang bersifat fisik maupun mental. Sedangkan al-shurah adz-dzihniyah (citra atau
image) adalah gambaran khusus tentang nilai-nilai (qiyam) dan cara pandang (afkâr)
seseorang.81
Berdasarkan hal tersebut, citra dan pencitraan merupakan salah satu unsur
penting dalam prosa yang menunjang unsur-unsur intrinsik lainnya dalam
membangun makna menjadi sebuah totalitas, kemenyeluruhan dan bersifat artistik. Di
antara unsur-unsur intrinsik tersebut adalah tema, plot/alur, tokoh dan penokohan,
peristiwa, cerita, setting atau latar, point of view dan gaya bahasa. 82
Sastra sebagai sistem komunikasi antara pengarang dan pembaca, hendaknya
mampu memberikan gambaran pikiran83 kepada pembaca agar ide atau gagasan yang
ingin disampaikan pada pembaca dapat ditangkap dan dikongkretisasikan.84 Dalam
proses pencitraan, pembaca diharap mengerti makna kata-kata, yang dalam hubungan
ini juga harus dapat mengingat sebuah pengalaman inderaan objek-objek yang
disebutkan atau diterangkan, atau secara imajinatif membangun semacam

80
M.H Abrams, A Glossary o Literary Terms, (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1981), h.
78; William Kenny, How to Analyze Fiction, (New York: Monarch Press, 1966), h. 64.
81
Ja'far Abd al-Salâm (ed.), Shûrat al-Mar’ah fi al-I'lâm, (Kairo: Râbithat al-Jâmi’at al-
Islâmiyah, 1427 H/2006 M), h. 91.
82
Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai unsur-unsur dalam novel, baca: ‘Izzuddin Ismail, al-
Adab wa Funûnihi; Dirasah wa Naqd, (Kairo: Dâr al- Fikr al-‘Arabî, 1968), Edisi Keempat, h. 185-
198; Herman J. Waluyo, Pengkajian Sastra Rekaan, h. 141-220, lihat juga Burhan Nurgiyantoro, Teori
Pengkajian Fiksi, h. 23.
83
Gambaran pikiran adalah sebuah efek dalam pikiran yang sangat menyerupai (gambaran) yang
dihasilkan oleh pengungkapan kita terhadap objek-objek yang dapat dilihat dengan mata, dapat
dikongkritkan berdasarkan pengalaman inderaan. Karena jika gambaran yang disajikan pengarang
terlepas dari aspek pengalaman maka pembaca akan mengalami kesulitan untuk mengimajinasikannya.
84
H. Coombes, Literature and Criticism, (Harmondsworth, Middlesex: Penguin Books, 19980), h.
42

47
pengalaman di luar hal-hal yang berhubungan, sehingga kata-kata akan secara
sungguh-sungguh berarti kepada kita.85 Terlebih, citra perempuan bersifat arbitrer dan
meliputi semua aspek penginderaan yang mampu memberikan gambaran angan
terhadap proses kongkretisasi.
Selain itu, budaya sastra, sejarah, lagu-lagu dan legenda yang dinyanyikan
untuk para anak perempuan sebelum tidur merupakan suatu kebiasaan yang acapkali
dilakukan para ibu, tanpa disadari semua kebiasaan tersebut merupakan wujud
kekaguman terhadap laki-laki. Buku-buku cerita anak, mitologi, dongeng dan mitos
yang berkembang di masyarakat merefleksikan kebanggaan dan keinginan laki-laki.
Laki-laki menciptakan dunia sendiri terhadap perempuan untuk membiasakan para
perempuan tersebut menjadikan laki-laki superior dan perempuan inferior, melalui
pahlawan-pahlawan (the heroes seperti; Hercules, Batman, Superman, Spiderman)
yang diimpi-impikan semua anak.86 Sebut saja Novel at-Tawâbi’ wa az-Zawâbi’ (Jin-
Jin Perempuan dan Malapetaka) sebuah prosais karya Ibn Syahid yang berbicara
mengenai tokoh sastrawan dan kritikus dari kalangan jin, Kalîlah wa Dimnah karya
Ibn Muqaffa; sebuah novel fantasi yang mengungkapkan tokoh simbolik binatang
pada awal masa Abbasiyah, tokoh-tokoh simbolis tersebut menggambarkan
kekuasaan dan kebijaksanaan para lelaki sebagai seorang penguasa. Bahkan di salah
satu kisahnya ”al-Qird wa al-Ghailam”, sosok perempuan yang disimbolkan lewat
kura-kura betina dicitrakan sebagai sosok pencemburu yang berhati jahat sehingga
dengan kelicikannya mampu membuat sebuah rencana jahat.87
Sebaliknya, pahlawan perempuan tampak sangat membosankan dan selalu
dibayang-bayangi oleh pahlawan laki-laki. Hawa tidak diciptakan untuk
kepentingannya sendiri, tetapi untuk menemani Adam dan ia diciptakan dari tulang
rusuk laki-laki. Dalam Islam, dikenal Khadijah istri Nabi, akan tetapi kejayaannya
selalu saja dibayang-bayangi oleh kesuksesan Nabi Muhammad dalam
85
Lynn Altenbernd dan Lislie L. Lewis, A Handbook for the Study of Poetry, (London: Collier-
MacMillan Ltd., 1970), h. 12.
86
Simone de Beauvoir, Second Sex; Kehidupan Perempuan, h. 32-33.
87
'Abdullah Ibn al-Muqaffa', Kalîlah wa Dimnah, (Beirut: Dâr al-Fikr, tth), h. 276-285.

48
mendampinginya. Begitupun beberapa pahlawan perempuan yang ikut maju ke
medan perang, hingga sejarah dan dongeng mengenai para pahlawan perempuan
tenggelam seiring makin berkuasanya laki-laki atas perempuan.
Pada masyarakat patriakhi, gambaran tersebut menjadi landasan utama untuk
menomorduakan perempuan, menjadikannya sebagai mahluk yang inferior. Bukan
hanya dalam dunia nyata, akan tetapi masuk pada tataran bahasa dan tekstual. Hal ini
dapat dilihat dari gaya penulisan laki-laki yang mengakar pada libidonya (phallus)
yang merupakan tulisan phallogocentrict writing.88 Di mana perempuan selalu
digambarkan dengan oposisi biner (binary opposition) terhadap laki-laki, sehingga
melahirkan pencitraan yang diskriminatif dan stereotype terhadap perempuan.
Begitu pula dengan karya sastra lainnya, sebagai refleksi pemikiran, perasaaan
dan keinginan pengarang yang diutarakannya melalui media bahasa mengandung
konsep phallosentris ini. 89 Terlebih bahasa memuat tanda-tanda yang mengandung
artikulasi ganda (penanda/petanda). Sifat ganda ini berdasarkan pada hubungan yang
semena (arbitrer) antara penanda/petanda tersebut dengan acuannya.90 Sehingga

88
Konsep ini diperkenalkan oleh Helene Cisoux (1937), ia menyerang budaya patriakal,
khususnya bahasa patriakal yang dikenal dengan istilah “phallosentris” yaitu struktur bahasa yang
berpusat pada phallus. Konsep ini berbicara mengenai oposisi biner (biner opposition) yang
mengidentikkan laki-laki dengan kualitasnya yang baik, aktif, kuat, rasional, dll. Sedangkan
perempuan diidentikkan dengan kualitasnya yang buruk, pasif, lemah, irasional, dan sebagainya. Suma
Riella Rusdiarti, Helene Cisoux; Penggagas “Ecriture Feminine” dalam Apsanti Djokosujatno (ed.),
Wanita dalam Kesusatraan Prancis, (Magelang: Indonesiatera, 2003), h. 168.
89
Suwardi Endraswara, Metedologi Penelitian Sastra; Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi,
h. 63.
90
Dalam artikel yang ditulisnya “Pour une Sémiologie des Paragrammes, ia mengemukakan tiga
tema utama dalam mengembangkan gagasannya mengenai intertektualitas yaitu: 1) Bahasa sastra
adalah satu-satunya kode yang tidak terbatas, yang berarti bahwa bahasa sastra tampil sebagai suatu
potensi yang tak terbatas. Keseluruhan bahasa sastra dianggap mungkin dan dapat direalisasikan secara
terpisah-pisah, akan tetapi tidak mungkin direalisasikan seluruhnya bersama-sama. 2) Teks adalah
suatu realitas berwajah ganda: penulisan-pembacaan. Di mana teks sastra tidak dapat tampil tanpa
adanya teks-teks lain sebelumnya. Hal ini dikarenakan teks sastra merupakan bagian dari keseluruhan,
dan merupakan jawaban terhadap teks lainnya. 3) Model paragramme ‘paragram’ yang tidak linear.
Untuk dapat memahami dan menangkap makna teks maka harus menguasai jaringan paragram, tidak
dapat hanya dengan pembacaan baris perbaris. Konsep yang diajukan oleh Kristeva ini menegaskan
bahwa sebuah karya sastra memiliki makna yang ambigu. Makna tersebut dipengaruhi oleh system
bahasa yang semena. Oleh karena itu, teks sastra bukanlah sebuah produk yang dapat dengan mudah
dikonsumsi oleh sembarangan orang, akan tetapi tetap berpotensi menjadi sebuah produk, produk yang

49
dapat diketahui bahwa peran masyarakat, dan sosial budaya sangat berpengaruh kuat
dalam proses pemaknaan karya sastra.
Dalam proses penciptaan karya sastra, laki-laki dan perempuan tidak
memasuki dunia tersebut dengan pengalaman yang sama. Konsep phallus yang telah
terbentuk dalam mainset laki-laki cenderung menjadikan perempuan sebagai objek
dalam karya sastra. Sebaliknya pengalaman yang dimiliki perempuan dalam
menciptakan karya sastra mampu memberikan nuansa dan warna yang berbeda
melalui eksplorasi seksualitas, erotisme dan feminitas yang dilandaskan pada
pengalaman seksualitas perempuan sendiri. Karena hanya perempuan sendirilah yang
memahami tubuhnya, dan mengetahui titik-titik kenikmatan yang ingin dicapainya.
Hal tersebut senada dengan pernyataan Zhabiah Khamîs, bahwa gynosentric
membantu perempuan untuk mengeksplorasi berbagai permasalahan kehidupan
dalam tulisan, seperti pengalaman kehidupan dan relasi yang terjalin antaranya
dengan ayah, saudara laki-lakinya, suami maupun anakanaknya. Pergumulan emosi
yang terjadi selama hubungan tersebut menyeruakkan sebuah emosi yang tak bisa
ditemukan dan diungkapkan dalam tulisan laki-laki yang bersifat phallogocentrict
writing.91
Gambaran mengenai subjektifitas perempuan diungkapkan oleh Wardah al-
92
Yazifi (1849-1924) dalam syair-syairnya. Ia mengangkat tema-tema yang nyaris
tidak pernah disinggung oleh perempuan, seperti: subjek cinta afeksional, erotisme
dan seksualitas. Pandangannya mengenai subjektifitas perempuan dalam karya sastra
ditunjukkannya dengan menggubah puisi-puisi cinta yang ditujukan kepada kekasih
yang secara gramatikal feminin. Karena itu, dengan mengasumsikan ini sebagai
piranti kesusastraan, para kritikus menilai bahwa puisi-puisinya yang jelas-jelas
erotis tidaklah meyakinkan karena tidak realistis. Menggunakan kata ganti feminin

dapat melahirkan makna setiap saat. Okke K.S. Zaimar, Julia Kristeva (1941); Penggagas Sémanalyse
dan Intertekstualitas, Apsanti djokosujatno (ed.), Wanita dalam Kesusatraan Prancis, h. 183-204.
91
Zhabiah Khamîs, Adz-Dzât al-Untsawiyyah, h. 15-20.
92
Wardah al-Yazifi adalah seorang anggota dari keluarga sastrawan Lebanon Kristen terkenal
yang pindah ke Mesir.

50
mungkin merupakan piranti kesusastraan, tetapi barangkali ia juga berkaitan dengan
realitas pengalaman.93
Penggambaran perempuan dalam karya sastra terkadang digeneralisasikan
berdasarkan konsep gender yang berlaku pada realita. Hal ini merupakan sebuah
konsep mimesis yang menganggap karya sastra sebagai refleksi dari kehidupan nyata.
Seperti Abdullah al-Ghadzami menggambarkan perempuan (Syahrazad/Scherezade
menurut lafal Barat) yang ada dalam kisah 1001 malam sebagai pahlawan, karena
Syahrazad mampu membangun dan mempertahankan eksistensi dan keberadaan
perempuan. Di lain pihak, citra perempuan dalam aspek sosial adalah sebagai ibu dan
istri yang memiliki kekuatan dalam hubungan seksual, mahluk yang lemah, dan tidak
memiliki kekuasaan.94 Citra yang digambarkan pada perempuan tidak terlepas dari
konteks sosial budaya, serta hubungan komunikasi yang terjalin antara laki-laki dan
perempuan dalam komunitas sastra tersebut. Berdasarkan hubungan tersebut,
perempuan tampil sebagai simbol dalam karya sastra, baik sebagai simbol kekuatan
dan perlawanan, maupun sebagai bunga, kelembutan , dll.
Novel95 memiliki kekhasan tersendiri dalam menghadirkan gagasan dan ide
sebagai struktur yang membangunnya. Terkadang, seorang penulis menemukan
kesulitan untuk merefleksikan gagasan tersebut dalam tulisan, untuk itu simbol
diharapkan mampu mewakili dan memberikan gambaran yang jelas dalam pikiran

93
Lihat Mahmoud ar-Rabie, Women Writers and Critics in Moderns Egypt, 1888-1963, Ph.D.
diss., University of London, 1965; Laila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, h. 151-152.
94
Untuk penjelasan lebih lanjut, baca: ‘Abdullah Muhammad Al-Ghadzami, al-Mar’ah wa al-
Lughah, h. 57-83
95
Novel berasal dari bahasa Latin novellus yang kemudian diturunkan menjadi novies yang berarti
baru. Hal ini muncul dikarenakan kenyataan novel (sebagai salah satu jenis fiksi) yang baru muncul
belakangan dibandingkan cerita pendek atau roman. Novel pada awal perkembangannya merupakan
catatan harian yang kemudian berkembang menjadi cerita fiksi. Novel timbul karena pengaruh filasafat
John Lock yang menekankan pada pentingnya fakta dan pengalaman dan memandang berfikir yang
terlalu fantastis adalah sesuatu yang berbahaya. Novel hadir dengan menghadirkan sesuatu yang
realistis dan masuk akal. Baca: Herman J. Waluyo, Pengkajian Sastra Rekaan, (Salatiga: Widya Sari
Press, 2001), h. 36-39.

51
dan penginderaan pembaca.96 Dalam konvensi yang membentuk novel, perempuan
dihadirkan melalui simbol yang terikat oleh aspek diri dan sosial budaya. Karena
dengan budaya, pembaca mampu mengenali, menginterpretasikan dan memproduksi
citra perempuan dengan cara yang sama. Dalam menginterpretasikan dan
mengkonkritkan simbol dalam suatu karya sastra, perlu adanya unsur-unsur
kontekstual, yang pada dasarnya merupakan pra-interpretasi terhadap simbol
tersebut.97
Konsep tersebut berangkat dari pengertian simbol sebagai salah satu jenis
tanda berdasarkan hubungan antara tanda dengan yang ditandakan merupakan tanda
yang memiliki hubungan makna dengan yang ditandakan, bersifat arbitrer, sesuai
dengan konvensi suatu lingkungan sosial tertentu.98 Di samping itu, Goethe (1749-
1832) -seorang sastrawan dari German- memaknai “symbolism” sebagai transformasi
pengalaman ke dalam dunia ide dan mengubahnya menjadi imajinasi (transforms the
experience into an idea and an idea into an image).99 Ide tersebut mengungkapkan
seluruh imaginasi dengan aktif dan tanpa batas sekalipun diungkapkan dengan
berbagai macam bahasa. Bagaimanapun juga susahnya untuk menginterpretasi sebuah
simbol pada karya sastra, karya sastra tetaplah sebuah teks yang menggunakan bahasa
dan bahasa akan selalu terbuka untuk dimaknai secara bebas.
‘Izzuddin dalam Fushûlun Fi al-Adab al-Hadits wa al-Naqd mengemukakan
bahwa simbol adalah petunjuk tidak langsung, gerakan isyarat, tanda. Dalam Lisan
al-'Arab, simbol ini bisa menggunakan anggota tubuh, seperti gerakan kedua bibir,

96
Kajian mendalam mengenai hal ini dapat dilihat dalam aliran ramziyah (semiotika), lihat:
Zhabiah Khamîs, Adz-Dzât al-Untsawiyyah, h. 15-20. 'Izzuddin Ismâ'îl, al-‘Adab wa Funûnihi;
Dirâsah wa Naqd, h. 54.
97
Aart van Zoest, Semiotika; Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan
Dengannya, h. 51.
98
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra: Epistimologi Model, Teori dan Aplikasi, h.
65; baca juga: ‘Abdul Rahman A. al-Bâsyâ, Nahw Madzhab Islamî; Fî al-Adab wa Naqd, (Riyadh:
1985), h. 66-74; Najib Kaylanî, Âfâk al-Adab al-Islamî, (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1985), h. 73-
80; N. ‘Abdul Rahman, Fî an-Naqd al-Hadits, (‘Aman: Maktabah al-Aqshâ, 1979), h. 149-153.
99
Simon Brittan, Poetry, Symbol and Allegory; Interpreting Metaphorical Language from Plato to
the Present, (London: University of Virginia Press, 2003), h. 170.

52
gerakan tangan, gerakan mata dan alis, dan bahasa.100 Lebih dari itu, simbol dalam
karya sastra berfungsi untuk membantu pengarang dalam mengungkapkan ide dan
gagasan yang akan dituangkannya dalam karya sastra, sebagaimana 'Abdullah Ibn
Muqaffa’ dalam Kalîlah wa Dimnah menggunakan binatang sebagai simbol untuk
mengekspresikan ide-idenya.
Membaca karya sastra merupakan upaya untuk menangkap makna,
memahami maksud, isi dan pesan yang disampaikan pengarang kepada pembaca
melalui bahasa.101 Dalam hal ini, makna menjadi unsur terpenting dalam sistem
tanda. Selain makna, terdapat dua unsur dasar lainnya yang secara langsung memiliki
hubungan dengan makna, yaitu signifiant dan signifikantor. Signifiant merupakan
unsur abstrak yang akhirnya terwujud dalam sign atau simbol/lambang. Dengan
adanya makna dan simbol/lambang, signifikantor mampu mengadakan penjulukan,
melakukan proses berpikir, dan mengadakan konseptualisasi.102
Sederhananya, hubungan antara ketiga unsur dasar tersebut digambarkan oleh
Odgen & Richards dalam The Meaning of Meaning melalui segi tiga dasar di bawah
ini:103
Thought of Reference
(pikiran/gagasan/referensi)

Symbol Referent
(sign/lambang) (acuan)

100
Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, Kairo: Dâr al-Ma'arif.
101
Muhammad Mandûr, al-‘Adab wa Madzâhibuhu, h. 109-110.
102
Aminuddin, Semantik; Pengantar Studi Tentang Makna, h. 80.
103
Pengertian simbol dalam konsep Odgen &Richards ialah elemen kebahasaan baik berupa kata,
kalimat, dan sebagainya, yang secara sewenang-wenang mewakili objek dunia luar maupun dunia
pengalaman masyarakat pemakainya. Sementara gagasan ataupun referensi ialah hasil konseptualisasi
hubungan antara simbol dengan referen yang diacu. Baca: C.K. Odgen dan I.A. Richard, The Meaning
of Meaning, (London: Routledge & Kegan Paul LTD, 1960), ed. 10, h. 9-11.

53
Dalam hal ini pikiran (Thought of Reference) merupakan unsur yang mampu
mengadakan signifikansi sehingga menghadirkan makna tertentu. Pikiran atau
gagasan mempunyai hubungan langsung dengan acuan (referent) dan simbol (sign).
Akan tetapi antara simbol dan referent tidak memiliki hubungan langsung karena
hubungan yang hadir di antara keduanya bersifat arbitrer.104

Pesan

Pengarang (tersirat) Pembaca (tersirat)

Pemaknaan yang dihasilkan dari asumsi segi tiga Odgen & Richards
merupakan hasil dari konseptualisasi pemakai, sehingga klasifikasi maupun
pemberian julukan terhadap objek acuan tidak sepenuhnya bersifat natural dan
universal, tetapi lebih banyak bersifat konseptual.105 Hal ini membuktikan bahwa
ikatan asosiatif gambaran dunia luar yang diabstraksikan oleh kata pada dasarnya
tidak bersifat kolektif semata, tetapi juga bersifat individual.106
Dengan adanya sifat subjektif dalam konseptualisasi maka membuka peluang
kepada pengarang untuk mengolah dan membuka nuansa baru terhadap simbol
maupun gaya bahasa yang digunakannya secara keseluruhan. Akan tetapi, karena
simbol bukan semata-mata memiliki garis hubungan dengan thought of reference

104
Sifat arbitrer ini memberikan keluasan dalam proses pemaknaan, karena dari satu acuan yang
sama bisa saja diberi symbol yang berbeda-beda. Misalnya air, dalam bahasa Arab disimbolkan mâ’,
dalam bahasa Inggris disimbolkan water, dalam bahasa Jawa banyu, dll. Baca: C.K. Odgen dan I.A.
Richard, The Meaning of Meaning, h. 9-11; Aminuddin, Semantik; Pengantar Studi Tentang Makna, h.
80.
105
F. R. Palmer, Semantics, (London: Cambridge University Press, 1981), h. 25
106
Aminuddin, Semantik; Pengantar Studi Tentang Makna, h. 81.

54
melainkan juga dengan referent, maka simbol pada hakikatnya telah memiliki
potensialitas makna tanpa melalui konseptualisasi.107
Perempuan pada posisinya sebagai simbol dalam novel memiliki ambiguitas
makna, yaitu makna potensial dan konseptual. Untuk melihat citra perempuan dalam
novel, kita hendaknya melihat simbol perempuan melalui kedua makna tersebut.
Proses pencitraan terhadap perempuan sebagai simbol dalam karya sastra melalui
proses konseptualisasi dan pembayangan yang melibatkan unsur luar yaitu aspek
sosial, budaya, masyarakat dan ideologi yang berkembang di dalamnya. Menurut
Aminuddin, pembayangan ini muncul karena terjadinya pemahaman terhadap makna
tambahan yang tersirat.108 Pembayangan ini terjadi bukan hanya karena perbedaan
kondisi sosial-budaya masyarakat yang membentuk dan menyertai pemaknaan, tetapi
juga akibat image atau pembayangan109 yang timbul di luar teks.
Fungsi citra yang dimaknai sebagai gambaran-gambaran angan atau pikiran,
adalah upaya untuk memberi gambaran yang jelas sehingga menimbulkan suasana
khusus bagi pembaca.110 Sugihastuti memaknai citra sebagai rupa, gambaran;
gambaran ini dapat berupa gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi,
atau kesan mental (bayangan) visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase, atau
kalimat, dan merupakan unsur dasar dalam karya puisi dan prosa.111 Gambaran atau

107
Konsep yang ditawarkan Odgen & Ricards ini tak terlepas dari kritik. Salah satunya beberapa
linguis yang dilatari paham mekanis, berpendapat bahwa unsur thought atau referensi sebaiknya
ditiadakan, karena dengan memasukkan unsure itu maka akan melibatkan makna dengan dunia
abstraksi yang absurd. Bloomfield menyatakan bahwa symbol seharusnya cukup dihubungkan dengan
referen, dengan dunia konkret yang langsung dapat diamati dan ditentukan bentuk gejalanya secara
operasional. Berbeda dengan Bloomfield, menurut Ullman, dari ketiga unsur segi tiga dasar yang
ditawarkan Odgen & Ricards tersebut, yang menjadi pokok kajian utama linguistik adalah garis antara
simbol dengan thought. Bagi Ullman, referen tidak perlu dibicarakan karena unsur tersebut adalah
unsur luar bahasa yang pengkajian maknanya sehubungan dengan upaya konseptualisasi (dan lebih
tepat dilakukan dalam kajian filsafat), baca: Stephen Ullman, Semantics: An Introduction to the
Science of Meaning, (Oxford: Basil Black-well, 1977), h. 56; lihat juga keterangan lebih lanjut pada:
Aminuddin, Semantik; Pengantar Studi Tentang Makna, h. 82
108
Aminuddin, Semantik; Pengantar Studi Tentang Makna, (Bandung: Sinar Baru, 1988), h. 44-
45.
109
Aminuddin, Semantik; Pengantar Studi Tentang Makna, h. 46.
110
Muhammad Mandûr, al-‘Adab wa Madzâhibuhu, h. 109-110; Rachmat Djoko Pradopo,
Pengkajian Puisi, h. 79.
111
Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita, h. 45.

55
citra tersebut hendaklah berdasarkan pada pengalaman pembaca agar ide atau
gagasan yang ingin disampaikan pengarang dapat tervisualisasi dalam pikiran
pembaca.
Berdasarkan pengertian tersebut, citra perempuan dalam pembahasan
selanjutnya dimaksudkan sebagai semua wujud gambaran mental spiritual dan
tingkah laku keseharian yang terekspresikan oleh perempuan.112 Konsep ini diambil
dari definisi yang digunakan Sugihastuti untuk menggambarkan perempuan yang
ditimbulkan oleh pikiran, pendengaran, penglihatan, perabaan dan pencecapan
tentang perempuan. Dalam pencitraannya, perempuan dicitrakan sebagai mahluk
individu yang beraspek fisis dan psikis, selain itu juga sebagai mahluk sosial yang
beraspek keluarga dan masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut, baik puisi maupun prosa terbuka untuk dimaknai
dan ditafsirkan. Di satu sisi pembaca menyadari akan keberadaan pengarang, akan
tetapi pembaca mengetahui bahwa ia tidak terikat sepenuhnya pada pengarang dan
gagasannya. Hubungan fleksibel yang terjalin di antara pengarang, teks dan pembaca
merupakan hubungan kreatif yang memandang novel sebagai sebuah tanda yang
bermakna. Citra perempuan sebagai salah satu konvensi penokohan yang dihidupkan
lewat prosa pun membawa misi, konsep dan makna tersendiri bagi timbulnya
pemaknaan yang diinterpretasikan oleh berbagai pihak.
Beberapa karya sastra seperti prosa dan puisi menyimbolkan perempuan
sebagai mahluk yang senantiasa dipuji karena kecantikan dan keindahan yang
dimilikinya. Pada sisi lain, perempuan hadir sebagai simbol kehancuran yang
membawa malapetaka dan kejahatan. Yusuf Khalîf dalam bukunya Dirâsat fi asy-
Syi’r al-Jâhili memberikan simbol perempuan ideal bagi istrinya Umaimah, simbol
perempuan ideal tersebut digambarkan melalui sikap sang istri yang peduli terhadap
segala urusan rumah tangga, baik yang bersifat fisik maupun mental.
‫أﻣﻴﻤﺔ ﻻ ﻳﺨﺰى ﻧﺜﺎهﺎ ﺣﻠﻴﻠﻬﺎ‬

112
Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita, h. 45.

56
‫إذا ذآﺮ اﻟﻨﺴﻮان ﻋﻘﺖ وﺟﻠﺘﺖ‬
Selain itu, ia menampilkan perempuan sebagai simbol setia, pemaaf, dan
113
peduli. Begitu pun dalam prosa, Nawâl memberikan simbol kekuatan, ketegaran
dan perlawanan bagi perempuan melalui sosok Firdaus dalam novelnya “’Imra’ah
'inda Nuqthah al-Shifr”. Selain itu, dalam kumpulan cerpen yang dipublikasikannya
Kânat Hiya al-Adh’âf Nawal telah mampu memposisikan perempuan dalam posisi
sentral sebagai tokoh dalam cerpen-cerpennya. Begitupun dalam sebuah memoar
yang ditulisnya selama ia berada di dalam penjara “Mudzakkirâti fî Sijn an-Nisâ’ ”
(1983), lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris “Memoirs from the Women's
Prison”, memoir tersebut dipublikasikan di London oleh Women's Press. Dalam
memoir tersebut, Nawal menggambarkan perjalanan hidup seorang aktivis perempuan
yang ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara karena tulisan-tulisannya dianggap
membahayakan Negara dan pemerintahan pada saat itu.
Novel juga mampu memberikan pengaruh (baik positif maupun negatif) terhadap
masyarakat melalui citra yang dilekatkan pada tokoh-tokohnya, sebagaimana Layla Baalbaki
mencapai kemasyhuran dengan cepat karena gaya bicaranya yang blak-blakan, terutama
mengenai persoalan-persoalan segregasi seksual pada masyarakat Arab. Terbukti, pada tahun
1964 kumpulan cerpennya yang berjudul Safinat Hanan ila al Qamar (Spaceship of
Tenderness to the Moon) laku dipasaran dan membawanya pada kesuksesan sebagai salah
satu penulis perempuan Lebanon yang terkenal pada masanya. Cerpen tersebut mengangkat
persoalan moral dan seksualitas masyarakat Arab. Sesuatu yang patut digarisbawah dari
novel tersebut adalah ungkapan-ungkapan yang vulgar senantiasa mewarnai setiap lembar
novel, akan tetapi hal tersebut merupakan kritik terhadap pola interaksi dan moralitas
masyarakat Arab. Keberhasilannya dalam novel tersebut disusul oleh novel-novel selanjutnya
yaitu Al-Alihah al-Mamsukha (The monstrous gods), novel tersebut mengusung tema
virginitas yang dianggapnya sebagai gambaran dari kemunafikan masyarakat Arab
karena telah menjadikannya sebagai tolak ukur kehormatan perempuan Arab.

113
“Umaimah, kebaikannya tidak menjadikan suami hina, jika disebutkan padanya sejumlah
perempuan, ia selalu memaafkan dan berbesar hati”; Lihat pada Muqaddimah syair Syanfara dalam
Yusuf Khalîf, Dirâsat fi al-Syi’r al-Jâhili, (Kairo: Maktabah Gharib, tth), h. 152.

57
Hal tersebut berarti bahwa citra perempuan dalam novel terbuka untuk
dipahami dengan pemahaman khusus, termasuk memahami sebagai perempuan.
Pembacaan kembali terhadap teks sebagai suatu tanda dan simbol menghasilkan
sebuah pemahaman dan pemaknaan baru.114 Terlebih, hubungan antara teks dan
pembaca mempunyai hubungan ambiguitas sebagai sebuah ciri khas, di mana makna
dan arti sebuah karya tidak mutlak ditentukan oleh niat penulis, akan tetapi tidak pula
sama sekali di luar kedirian penulis.115

114
Jonathan Culler,On Deconstruction; Theory and Criticism after Structuralism, (Ithaca, New
York: Cornell University Press, 1982), h. 32.
115
A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra; Pengantar Teori Sastra, h. 181.

58
BAB III
HIKAYAH ZAHRA DALAM PROSES PENCIPTAAN;
SEBUAH POTRET SOSIAL, POLITIK DAN BUDAYA

Untuk memahami suatu karya sastra, maka iklim sosial, politik dan budaya yang
melatari proses penciptaan karya sastra perlu dijelaskan. Oleh karena itu, bab ini
merupakan tinjauan terhadap pengarang dan kondisi sosial, politik dan budaya pada saat
proses penciptaan novel hikâyah zahra. Agar pembahasan menjadi jelas dan terarah maka
penulis membagi bab ini ke dalam empat sub bab judul yang meliputi: biografi pengarang;
termasuk perjalanan hidup, karir dan karya-karyanya, kondisi sosial budaya dan politik
yang melatari terciptanya hikâyah zahra, dan dilengkapi dengan sinopsis novel yang akan
dibahas, hal ini untuk memberikan gambaran umum mengenai alur atau jalan cerita novel
yang akan dibahas pada tesis ini.
A. Biografi Pengarang
Novel dalam proses penciptaannya (creating process), terkait erat dengan kondisi
sosial-masyarakat, hal ini untuk menciptakan kesatuan makna.1 Hubungan yang terjalin
antara bentuk dan isi merupakan hubungan harmonis guna terciptanya pemaknaan dan
intensionalitas, yaitu energi semantis yang menghubungkan semua unsur sastra yang
heterogen menjadi kesatuan makna, di mana pembaca ikut menentukan makna atas dasar
pengalaman, perasaan, dan emosi yang dimilikinya. Selain itu, teks dalam posisinya yang
bebas hendaklah dikaji dengan keluwesan dan kelenturan pemaknaan, tidak memonopoli
makna. Untuk itu perlu kiranya untuk memaknainya pada posisi yang objektif.2 Di mana
pengkaji tidak harus masuk ke dalam teks, akan tetapi membuka diri terhadap teks tersebut

1
Karya sastra merupakan refleksi pemikiran, perasaan dan keinginan pengarang yang dideskripsikan
melalui bahasa. Bahasa sastra bersifat khas yaitu bahasa yang memuat tanda-tanda sehingga membentuk
sistem ketandaan yang bermakna. Baca: Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra; Epistimologi,
Model, Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003), h. 63 dan 71; lihat juga: ‘Izzuddin
Ismail, al-Âdab wa Funûnuhu, (Kairo: Dâr al-Fikri al-‘Arabi, 1968), h. 43.
2
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra; Epistimologi, Model, Teori dan Aplikasi, h. 46.

59
dengan selalu berada di tengah untuk menjembatani jurang historis di antara pencipta karya
sastra dan pengkaji sastra.3 Untuk merealisasikan tujuan tersebut maka pada bab ini akan
memperkenalkan Hanân asy-Syaikh sebagai pengarang novel hikâyah zahra dengan
mengkaji perjalanan hidup, karir dan karya-karyanya.
1) Perjalanan Hidup dan Karir
Hanân asy-Syaikh dikenal sebagai seorang jurnalis, novelis dan cerpenis handal di
Beirut-Lebanon yang fokus pada isu-isu otonomi tubuh dan seksualitas perempuan.4
Debutnya sebagai penulis sekaligus sastrawati tak diragukan lagi, karena sudah banyak
karya-karyanya berupa essay, novel, cerpen, puisi dan naskah drama yang lahir dari
tangannya bahkan diterjemahkan ke beberapa bahasa seperti bahasa Inggris, Perancis,
German, Denmark, Italia, Korea, Spanyol dan Polandia, dll.5
asy-Syaikh lahir di al-Nabatiyyah, Selatan Lebanon, pada tanggal 12 November 19456
dan dibesarkan di Ras al-Naba’, salah satu kota terpencil di Beirut yang jauh dari
kehidupan glamour dan modern. Kedua orang tuanya adalah penganut paham syi’ah7 yang
sangat fanatik, sehingga kedua orang tuanya berusaha untuk mendidik al-Shaykh dengan

3
Dalam hal ini, karya sastra merupakan cermin sosial yang berarti kelahiran karya sastra tidak berada
dalam kekosongan sosial, budaya dan norma. Sehingga untuk merebut makna sastra maka hendaklah kita
memperhatikan berbagai aspek yang terkait dengan proses penciptaan karya sastra sehingga karya sastra
mampu merefleksikan zamannya.
4
Julie Scott Meisami, Paul Starkey, Encyclopedia of Arabic Literature, (London, New York: Routledge,
1998), Vol. 2, h. 710.
5
Jane Eldridge Miller, Who’s Who in Contemporary Women’s Writing, (London, New York: Routledge,
2001), h. 295; Lisa Suhair Majaj, Paula W. Sunderman, Therese Saliba, Intersections: Gender, Nation, and
Community in Arab Women's Novels, (London: Syracuse University Press, 2002), h. 231.
6
Joseph T. Zeidan, Arab Women Novelists; the Formative Years and Beyond, (Albany: State University
of New York (SUNY) Press, 1995), h. 205; O. Classe, Encyclopedia of Literary Translation Into English,
(Taylor & Francis, 2000), h. 1270.
7
Baca: Jane Eldridge Miller, Who’s Who in Contemporary Women’s Writing, h. 295. Syi’ah adalah salah
satu aliran (politis) dalam Islam setelah Sunni. golongan ini mempercayai bahwa Nabi Muhammad beserta
ahl al-bayt (keluarga Nabi, termasuk keturunan dan anak cucunya) sebagai “Imam” yang mempunyai daya
spiritual dan peran politik istimewa dibanding umat Islam lainnya. Lihat Harun Nasution, Teologi Islam;
Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 2007), h. 24.

60
paham yang sama. Sejak kecil, ia tidak memiliki kebebasan dalam pergaulan karena orang
tuanya sangat berpengaruh dalam mengontrol kehidupan sosialnya.8
Ia mengenyam pendidikan di sekolah Islam (madrasah). Orang tuanya memilih untuk
memasukkan al-Shaykh ke sebuah Madrasah khusus perempuan ‘Alamillah’. Di madrasah
inilah ia banyak menerima pendidikan tradisional. Setelah menyelesaikan pendidikan di
madrasah ’Alamillah’, lalu ia melanjutkan sekolahnya ke madrasah ‘Ahliyyah’. Pada tahun
1963, Ia berangkat ke Kairo-Mesir untuk melanjutkan jenjang pendidikannya ke
Universitas America di Kairo-Mesir, sebuah perguruan tinggi yang memisahkan mahasiswa
dan mahasiswi dalam perkuliahan. Pada tahun 1966, Ia berhasil menyelesaikan
pendidikannya dengan hasil yang sangat memuaskan.
Selama bertahun-tahun, asy-Syaikh menyimpan kekecewaan terhadap orang tuanya
yang sangat ketat mengontrol dan mengatur kehidupannya. Kekecewaan tersebut
mengantarkannya pada kebiasaan baru yaitu menulis. Baginya menulis bagai melepaskan
kemarahan dan kekecewaannya terhadap orang tuanya yang telah membatasi
kebebasannya. Menulis membantu dirinya melepaskan kejenuhan dari rutinitas sehari-hari
yang dihadapinya.
Asy-Syaikh dikenal sebagai penulis prosa yang mengekspos isu-isu budaya patriarki
yang represif (menekan) di tengah masyarakat Lebanon. Tanpa malu ia mengangkat realita
yang dihadapinya, baik dari pengalaman pribadi, keluarga, dan masyarakat di sekitarnya
melalui tokoh utama perempuan yang protogonis di dalam setiap karya-karyanya.9
Walaupun karya-karyanya banyak mendapat pencekalan dan tanggapan-tanggapan negatif
dari berbagai pihak, ia tetap menulis bahkan ketika perang saudara berlangsung pada tahun
1975-1990.
Selama masa studinya di Mesir (4 tahun), asy-Syaikh telah merampungkan beberapa
karya sastra yang belum sempat dirilisnya di sana. Hingga pada akhirnya, setelah

8
http://en.wikipedia.org/wiki/Hanan_al-Shaykh, Hanan al-Shaykh From Wikipedia, the free
encyclopedia.
9
http://www.answers.com/topic/hanan-al-shaykh

61
menyelesaikan studinya di Universitas America, Kairo-Mesir (1966), Hanan kembali ke
Beirut dan menjalani karir sebagai jurnalis yang sukses di koran harian al-Nahar di Arabian
Peninsula dan London serta Majalah perempuan ‘al-Hasna’ dari tahun 1968 sampai dengan
1975.10 Dengan menjadi jurnalis, ia membuktikan pada dunia bahwa debutnya di dunia
sastra tidak dapat diragukan lagi. Karya-karya sastra yang lahir dari tangannya mengangkat
isu-isu kontemporer, seperti peran perempuan di masyarakat, relasi antara laki-laki dan
perempuan dalam lembaga perkawinan, perselingkuhan, pergaulan bebas dan aborsi. Secara
ekplisit, terkadang Ia menyatakan pandangannya terhadap sistem patriarki dan secara
gamblang menentang aturan sosial masyarakat Arab yang konservatif, seperti
digambarkannya dalam Persian Gulf dan The Story of Zahra. Kedua novel tersebut
berbicara mengenai aborsi, perceraian, kesehatan jiwa/mental, pelanggaran hukum dan
perzinahan. Begitu pula dengan novel Women of Sand and Myrrh yang berisi adegan-
adegan lesbian antara dua orang tokoh protagonist.
Debutnya sebagai salah satu penulis yang konsen terhadap persoalan seksualitas
perempuan, terutama mengenai aktivitas seksual di luar perkawinan dan seksualitas
perempuan yang selama ini dianggap tabu dan aib bagi masyarakat Arab. Ia
mengungkapkan semua ini tanpa beban seperti layaknya menulis dongeng-dongeng Arab,
mitos dan hal-hal gaib lainnya. Karya-karyanya yang terkesan berani dan vulgar ini dinilai
kritikus Arab sebagai karya abadi yang mengangkatkan mitos-mitos dan stereotype tentang
perempuan di dunia Arab.11
Pada tahun 1976, asy-Syaikh meninggalkan Lebanon karena perang saudara yang
sedang berkecambuk. Ia memutuskan untuk tinggal di Saudi Arabia hingga tahun 1982, lalu
pindah ke London dan menetap di sana hingga sekarang. Beberapa karyanya yang berupa
novel, cerpen, dan naskah drama diterbitkan di London, dan tetap ditulis dalam bahasa
Arab.

10
O. Classe, Encyclopedia of Literary Translation Into English, h. 1270; lihat juga: Hanân asy-Syaikh,
The Story of Zahra, terj. Oleh: Kunti Saptowirini, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006), h. 325.
11
http://www.lebwa.org/life/shaykh.php, By Lina Beydoun, The Sweet Briar Seminars

62
2) Karya-Karyanya
Kecintaannya terhadap dunia sastra telah dimulai di usianya yang masih sangat belia.
Terbukti pada usia 16 tahun, salah satu essaynya dirilis di Koran al-Nahar. Sejak memulai
debutnya sebagai penulis, asy-Syaikh tetap konsisten untuk menulis berbagai hal yang
bertemakan perempuan dan hubungannya dengan agama, budaya, gender, ras dan
kebangsaannya.12 Layaknya pejuang di medan perang, ia tetap maju dan menulis walaupun
pemerintah dan beberapa negara di timur tengah mencekal karya-karyanya. Kegilaan
baginya adalah berhenti menulis.13
Beberapa karya yang lahir dari tangannya terinspirasi dari karya seorang penulis
perempuan Mesir kontemporer, Nawâl as-Sa'dâwî. Baginya Sa'dâwî adalah sosok
revolusioner yang secara eksplisit telah merubah sistem dan pola interaksi antara laki-laki
dan perempuan dalam struktur sosial masyarakat Arab (dan negara Timur Tengah lainnya)
yang konservatif. Sebagian besar dari karyanya dipengaruhi oleh paham syi’ah dan sistem
patriarki yang telah ditanamkan bukan saja oleh ayah dan saudara laki-lakinya melainkan
juga oleh tradisi masyarakat sekitarnya dimana ia tumbuh.14 Sehingga beberapa karya yang
lahir dari tangannya merupakan manifestasi atau wujud dari gambaran sosial mengenai
status dan kedudukan perempuan di Arab dan dunia Islam.
Di usianya ke-19, asy-Syaikh menulis novel pertamanya yang berjudul “Intihar rajul
mayyit atau Suicide of a Dead Man yang dirilisnya di Beirut pada tahun 1970. Novelnya
tersebut mendapat sambutan hangat dari para pembaca. Seperti kebanyakan novel yang ia

12
http://www.answers.com/topic/hanan-al-shaykh
13
Gilbert dan Gubar menyatakan –sebagaimana yang dikutip Maggie Humm dalam Ensiklopedia
Feminisme- bahwa kegilaan bagi perempuan adalah cerminan dari gambaran penulis perempuan, yang secara
jelas memproyeksikan perasaan pemberontakan pengarang dan bisa mengancam patriarkhi dalam bentuk
fiksi. Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, terj. Muhdi Rahayu, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002),
h. 259-260. Lebih jelas lihat S. Gilbert dan S. Gubar, The Madwomen in the Attic: the Women Writer and the
Nineteenth Century Literary Imagination, (New Haven, CT: Yale University Press, 1979).
14
http://www.answers.com/topic/hanan-al-shaykh

63
rilis, novel ini pun berbicara mengenai relasi antara laki-laki dan perempuan serta semangat
perjuangan melawan sistem patriarki.15
Novel “Faras al-Shaitân” terbit pada tahun 1971, asy-Syaikh menulis novel tersebut
ketika ia tinggal di Arabian Peninsula. Novel tersebut layaknya autobiografi dari seorang
tokoh utama perempuan bernama Sarah yang memaparkan hubungan antara tokoh utama
dan ayahnya yang agamis dan kisah perkawinannya. Tema yang diusung dalam novel ini
adalah polarisasi kultur-budaya masyarakat Lebanon Selatan. Isu-isu yang dimunculkan
adalah seputar persoalan agama, budaya dan perkawinan. Melalui sosok Sarah yang
ditampilkannya, asy-Syaikh mencoba untuk mengkritik budaya Lebanon yang tidak
memberikan kebebasan kepada anak perempuan untuk menentukan pilihan mereka, karena
mayoritas keluarga di Arab memaksa para gadisnya untuk menikah di usia yang masih
belia tanpa pertimbangan umur.16 Secara gamblang, ia mendeskripsikan nasib mayoritas
perempuan Arab dalam menjalankan kehidupannya selama menunggu datangnya seorang
laki-laki yang akan meminang, padahal tidak sedikit dari para perempuan tersebut yang
produktif dan potensial.17
Ketika semua orang disibukkan oleh perang saudara yang berkepanjangan, asy-
Syaikh yang tidak pernah kehabisan gagasan menciptakan sebuah novel yang ber-setting
Perang Saudara di Lebanon, yaitu Hikâyat Zahrah (the Story of Zahra) yang dirilisnya pada
tahun 1980.18 Novel ini terbit dengan biayanya sendiri karena saat itu tidak ada satupun
penerbit di Lebanon yang mau menerbitkan novel tersebut. Novel tersebut menarik
perhatian dunia dan menimbulkan reaksi yang kontroversial di Timur Tengah. Hikâyat
Zahrah (The Story of Zahra) dilarang beredar di sebagian besar Negara Arab. Sebagian
besar pembaca di Arab pun menolak buku tersebut karena novel tersebut dianggap telah

15
Berdasarkan sumber lain, novel ini dirilis pada tahun 1967, lihat: O. Classe, Encyclopedia of Arabic
Literature, h. 710; baca juga: Hanan al-Shaykh, Intihar Rajul Mayyit, (Beirut: Dâr al-Nahar li al-Nashr,
1970); Hanân asy-Syaikh, Suicide of a Dead Man, 1970.
16
http://www.lebwa.org/life/shaykh.php, By Lina Beydoun The Sweet Briar Seminars
17
Hanân asy-Syaikh, Faras al-Syaitân, (Beirut: Dâr al-Nahar li al-Nashr, 1976).
18
O. Classe, Encyclopedia of Literary Translation Into English, h. 1270.

64
memberikan kesan dan pengaruh yang buruk tentang budaya Arab. Akan tetapi, ia
mendapatkan penghargaan international (sebagai international best seller) atas Hikâyah
Zahra. "Boston Sunday Globe” memberikan pujian terhadap novel tersebut sebagai sebuah
karya orisinil yang menyentuh dan ditulis dengan penuh kekuatan, menggambarkan secara
gamblang tragedi pribadi manusia akan perang dan ketidakwarasan.19
Dengan kemahirannya, asy-Syaikh mempermainkan perasaan dan emosi pembaca
sehingga pembaca ikut merasakan pengalaman batin seorang perempuan yang sedang
dilanda gundah gulana dalam menghadapi persoalan hidup yang sangat pelik, mulai dari
persoalan norma agama dan budaya, perselingkuhan orang tua (ibu), virginitas, aborsi,
perkawinan dan cinta.20 Kompleksitas permasalahan yang ada dalam novel ini membuat
penulis tertarik untuk melihat dan mengkaji lebih jauh pencitraan perempuan pada tokoh-
tokoh perempuan dalam novel tersebut.
Tak lama setelah kepindahannya ke London, Ia merilis “The Persian Carpet” sebuah
cerita pendek yang diterbitkan pada tahun 1983, cerpen tersebut mengangkat tema
mengenai pengaruh perceraian orang tua bagi anak-anak. Menyusul novel “Misk al-
Ghazal” (1988), novel ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris yang berjudul “Women of
Sand and Myrrh (1989).21 Novel tersebut mengantarkannya pada sebuah penghargaan yang
diberikan oleh sebuah Majalah Publishers Weekly sebagai salah seorang penulis 50 buku
terbaik sepanjang tahun 1992.22 Novel ini mengangkat persoalan agama, seks, perkawinan,
dan rumah tangga. Melalui 4 tokoh utama perempuan yang diciptakannya, asy-Syaikh
berupaya untuk mengobarkan semangat perempuan untuk melepaskan diri dari kungkungan
sistem patriarkhi dan meraih kebebasan dalam menentukan pilihannya.23 Tanggapan

19
O. Classe, Encyclopedia of Literary Translation Into English, h. 1270, http://www.
answers.com/topic/hanan-al-shaykh.
20
Hanan asy-Syaikh, Hikâyat Zahrah, (Beirut: Dâr al-Adab, 1984), cet. ke-2; The Story of Zahra, (New
York, London: Quartet Books, 1989).
21
Julie Scott Meisami, Paul Starkey, Encyclopedia of Arabic Literature, h. 710
22
http://www.answers.com/topic/hanan-al-shaykh
23
Hanan asy-Syaikh, Misk al-Ghazal, (Beirut: Dâr al-‘Adab, 1988); Hanan asy-Syaikh, Women of Sand
and Myrrh, (London: Quartet Books, 1989).

65
masyarakat terhadap novel tersebut sangat beragam, beberapa komunitas menganggap
“Misk al-Ghazal” sebagai novel yang kontroversial sehingga ditolak dan dilarang beredar
di sebagian besar negara di Timur Tengah.
Novel ini berlatar sebuah daerah pengasingan yang tak dikenal di Timur Tengah.
Setting sosial yang dibangunnya menggambarkan budaya Arab yang tidak
memperbolehkan perempuan untuk menyetir mobil sendiri, tidak boleh berjalan ke luar
rumah tanpa jilbab, dan jika bekerja maka pekerjaan tersebut harus dilakukan di area
terpencil. Semua ini karena apa yang dilakukan oleh perempuan dibatasi oleh berbagai
macam aturan. Ia menampilkan 4 tokoh utama yang kesemuanya adalah perempuan dengan
masing-masing karakteristik. Dua tokoh utama yang bernama Nur dan Tamr adalah
perempuan berkebangsaan Arab, Suzanne berkebangsaan Amerika dan Suha, seorang
perempuan yang berkebangsaan Lebanon. Setiap tokoh dalam novel tersebut telah memilih
jalan mereka masing-masing untuk melawan aturan-aturan patriarkat.
Masih pada tahun yang sama asy-Syaikh merilis novel “Barid min Bayrut” (1992)
atau Beirut Blues (diterjemahkan pada tahun 1995).24 Novel ini berupa kumpulan surat
selama perang saudara Lebanon yang terdiri dari 10 surat yang ditulis oleh seorang
muslimah bernama Asmahan. Surat tersebut berbicara mengenai kehidupan dan kematian,
Ia menggambarkan kenangan manisnya bersama Beirut dan pada akhirnya perang
menghancurkan itu semua. Novel ini mendapat pujian yang luar biasa dari Amerika Serikat,
sebagaimana yang direview oleh beberapa Koran dan majalah di Amerika Serikat di
antaranya oleh majalah Ms. Magazine dan The Washington Post bahwa novel ini bagaikan
lagu sedih yang memilukan. Novel ini semakin membuktikan debut asy-Syaikh dalam
perkembangan sastra Arab kontemporer.25
Koleksi cerpen asy-Syaikh, Aknus ash-Shams 'an as-Sutuh dirilis pada tahun 1994,
lalu diterbitkan dengan edisi terjemahan bahasa Inggris pada tahun 1998 dengan judul I

24
Hanân asy-Syaikh, Barid Bayrut, (Kairo: Dâr al Hilal, 1992).
25
http://www.lebwa.org/life/shaykh.php, By Lina Beydoun The Sweet Briar Seminars

66
Sweep the Sun Off Rooftops (diterjemahkan oleh Catherine Cobham). Buku ini terdiri dari
17 cerita pendek yang sedikit provokatif dalam mengkritisi budaya Arab modern. Aknus al-
Shams 'an al-Sutuh memaparkan kompleksitas kehidupan Arab modern. Isu-isu yang
diangkat adalah mengenai kebebasan, prilaku seks bebas, obat-obatan terlarang,
homoseksual dan AIDS. Cerita-cerita tersebut menggambarkan pola interaksi antara budaya
barat dan timur serta pengaruhnya terhadap masyarakat Lebanon. Di mana budaya tersebut
bertolak belakang dengan budaya masyarakat Lebanon, baik yang tinggal di Afrika maupun
yang tinggal di sepanjang pegunungan Yaman atau di padang pasir, Saudi Arabia.26
Bersama itu pula, asy-Syaikh mengkritisi budaya bangsa Arab yang mengatur tingkah laku
perempuan. Selain kritik, ia juga memperlihatkan kekagumannya terhadap kebudayaan
Arab yang memberikan kekuatan kepada perempuan Arab untuk terus bertahan hidup
walau dengan kondisi yang sangat pahit, karena pemerintah masih memperhatikan nasib
kaum miskin melalui program penyerapan kemiskinan.27
Salah satu cerpen yang terdapat dalam I Sweep the Sun Off Rooftops adalah 'A Season
of Madness', sebuah kisah rumah tangga yang tragis, menggambarkan keadaan istri yang
tidak bahagia hidup bersama suaminya sehingga istri tersebut terpaksa berbohong untuk
berpura-pura menjadi gila agar jauh dari suaminya.28 Inna London yâ 'Azizi dirilis pada
tahun 2000, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 2001 ’Only in London’.
Novel ini menguraikan kehidupan 4 tokoh utama (Lamis, Nicholas, Amira, Samir) yang
mencoba menemukan ketenangan hidup dalam menghadapi pengaruh budaya Barat selama
mereka tinggal di Inggris.29
Selain essay, novel dan kumpulan cerpen di atas, asy-Syaikh juga pernah merilis
puisi yang dirangkumnya dalam kumpulan puisi ’the Awful Rowing Toward God’. Serta
menulis beberapa naskah drama yang berjudul 45 Mercy Street (1976), Dark Afternoon Tea

26
http://www.lebwa.org/life/shaykh.php, By Lina Beydoun The Sweet Briar Seminars
27
http://www.lebwa.org/life/shaykh.php, By Lina Beydoun The Sweet Briar Seminars
28
Hanân asy-Syaikh, I Sweep the Sun Off Rooftops, (London, 1998); http://www.kirjasto.sci.fi/
shaykh.htm.
29
Hanân asy-Syaikh, Only in London, 2000.

67
(1995) dan Paper Husband (1997). Kedua naskah drama ini telah dipentaskan di London.
Drama “Dark Afternoon Tea” telah ditampilkan di Hampstead Theatre (London) pada
tanggal 9-11 Maret 1995, sedangkan “Paper Husband” dipentaskan pada 23 Januari sampai
22 Februari 1997.
B. Kondisi Sosial-Politik Lebanon
Hanân asy-Syaikh lahir di Lebanon, tepatnya 3 tahun setelah kemerdekaan Lebanon
pada tahun 1942.30 Lebanon merupakan negara yang berbentuk republik, keluasannya
meliputi 10.425 km² (4.015 mil² ) terletak di Barat Daya Asia, tepatnya di tepi pantai Laut
Tengah yang membentang sepanjang 200 km ke Timurlaut Pantai Laut Tengah, Barat Daya
Asia. Republik Lebanon terbagi dalam empat wilayah besar, yaitu dataran pantai (coastal
plain), Lembah Bekaa (Biqa), Pegunungan Lebanon, dan Pegunungan Anti-Lebanon.
Dataran pantai merupakan sebuah wilayah yang tidak begitu luas, namun cukup penting
karena di sana terdapat kota-kota terbesar di Lebanon seperti Beirut, Tripoli dan Sidon.
Negeri ini berbatasan dengan Syiria dan Israel. Pada Juli 2007, diperkirakan jumlah
populasi di Lebanon adalah 3,925,502 jiwa, 86,6% penduduk yang tinggal di pusat kota,
32,5% atau 1,3 juta penduduk yang tinggal di Beirut sedangkan sisanya bertempat tinggal
di pinggiran-pinggiran kota.31 Jumlah tersebut sangat sedikit jika dibandingkan dengan
keseluruhan warga negara Lebanon yang menyebar di seluruh dunia, yang berkisar sekitar
18 juta orang.32

30
Mengenai tepatnya tahun kemerdekaan Negara Republik Lebanon terdapat dua pendapat. Pendapat
pertama menyatakan bahwa Lebanon merdeka pada tahun 1942, lihat: Mona Fawaz dan Isabelle Peillen, The
Case of Beirut, Lebanon, (Lebanon: Messachusetts Institute of Technology, tt), h. 2 Akan tetapi di beberapa
referensi mengatakan bahwa Lebanon merdeka pada tahun 1943, lihat : Melvin Ember dan Carol R. Ember,
Countries and their Cultures, (New York, Macmillan Reference USA, 2001), h. 1266; Richard C. Martin,
Encyclopedia of Islam and the Muslim World, (New York, Macmillan Reference USA, 2004), h. 412; Herbert
M. Kritzer, Legal System of the World: a Political, Social, and Cultural, (California: ABC-CLIO, Inc, 2002).
31
Berdasarkan data yang didapatkan dari M. Riza Sihbudi, keluasan Lebanon sekitar 10.400 km², lihat:
M. Riza Sihbudi, Islam, Dunia Arab, Iran; Bara Timur Tengah, (Bandung: Mizan, 1991), h. 16-17; Mona
Fawaz dan Isabelle Peillen, The Case of Beirut, Lebanon, h. 2
32
http://en.wikipedia.org/wiki/Lebanon.

68
Lebanon dihuni oleh kurang lebih 18 sekte agama yaitu: Syi’ah, Sunni, Druze,
Isma’iliyyat, Alawite/Nusayri, Maronit Katolik, Yunani Ortodox, Melkite Katholik,
Armenia Ortodox, Syria Katolik, Armenia Katolik, Syiria Ortodox, Roma Katolik,
Chaldean, Coptik, Protestan, dan Assyirian. Diperkirakan populasi terbanyak adalah
muslim yang mencapai 59,7%, sedangkan Kristen 39% dan 1,3%-nya adalah agama-agama
lainnya.33 Tiga kelompok yang saat ini memainkan peranan politik yang paling penting
adalah Syi’ah, Druze dan Maronit. Sejak akhir abad ke-11 ketiga golongan tersebut
menguasai pegunungan Lebanon. Golongan Maronit menempati bagian utara, yaitu Jubayl,
Batrun, dan Baharri. Bagian selatan dikuasai golongan Druze, sedangkan golongan Syi’ah
menempati daerah yang berbatasan dengan Palestina (sekarang Israel). Kelompok-
kelompok lain, yaitu Kristen Ortodoks tinggal di daerah Kura, sedangkan golongan Islam
Sunni tinggal di Beirut, Tripoli dan Sidon.34
Secara geografis, posisi Lebanon sangat strategis, terlebih Beirut sebagai ibukota
Negara merupakan pusat dari segala transaksi ekonomi, industri, wisata, budaya dan
gaya/fashion.35 Beirut juga merupakan jembatan bagi negara-negara Islam dan Barat bagi
pertukaran budaya dan ilmu pengetahuan. Sehingga akulturasi sangat memungkinkan
terjadi di Negara ini, terlebih sebelum kemerdekaan Lebanon, pengaruh kebudayaan
Perancis sangat kental terhadap perkembangan peradaban di Lebanon.
Perang Dunia I (1914-1918) mengakhiri empat abad kekuasaan ottoman di Lebanon.
Sejak saat itu Lebanon berada di bawah kekuasaan pasukan sekutu, terutama Inggris,
Perancis dan Rusia, tetapi kemudian dimandatkan kepada Perancis untuk memerintah
Lebanon dan Syiria, sistem pemerintahan mengikuti pola pemerintahan Perancis, baik
birokrasi maupun sistem yudikal. Pada tahun 1920, Perancis membentuk Lebanon Raya
33
Pada tahun 1998, persentase perbandingan populasi masyarakat yang menganut agama Islam dan
Kristen adalah 7:3 dengan rincian 70% Muslim dan Kristiani 30%, akan tetapi jumlah tersebut menurun
drastis (CIA World Factbook-Lebanon, 2007), lihat: Melvin Ember dan Carol R. Ember, Countries and their
Cultures, h. 1266.
34
M. Graeme Bannerman, Republic of Lebanon dalam The Government and Politics of the Middle East
and North Africa, David E. Long dan Bernard Reich (ed.), (Colorado: Westview Press, 1980), h. 25.
35
Melvin Ember dan Carol R. Ember, Countries and their Cultures, h. 1266

69
(Greater Lebanon) yang mencakup pegunungan Lebanon, Beirut, Sidon, Tyre, Lebanon
Selatan, Lembah Biqa, dan Dataran Akkar di sebelah Utara.36
Pada tanggal 23 Mei 1926, disahkan sebuah konstitusi, yang antara lain menyatakan
bahwa hak legislatif berada di tangan parlemen sedang hak eksekutif berada di tangan
presiden yang dipilih parlemen untuk masa jabatan enam tahun. Sistem negara Lebanon
diubah menjadi republik dengan pembagian jabatan administratif negara yang meliputi:
jabatan presiden diberikan pada pihak Maronit, perdana menteri bagi Sunni, dan ketua
parlemen dipegang oleh Syi’ah. Pembagian ini memberikan jabatan tertinggi Negara
kepada umat Kristen Maronit walaupun populasi terbanyak di Lebanon adalah Muslim.
Pada 27 Desember 1943, Perancis memberikan kemerdekaan penuh kepada Lebanon
dengan nama resmi Republik Lebanon. Pakta Nasional 194337 dijadikan sebagai landasan
struktur politik Republik Lebanon. Pakta tersebut sebenarnya merupakan revisi dari
Konstitusi 1926, yang disusun berdasarkan sensus tahun 1932, ketika golongan Maronit
merupakan kelompok terbesar (30 % dari jumlah penduduk Lebanon).38 Pada tahun 1989,

36
M. Graeme Bannerman, Republic of Lebanon dalam The Government and Politics of the Middle East
and North Africa, David E. Long dan Bernard Reich (ed.), h. 211-212.
37
Pakta merupakan sebuah perjanjian tak tertulis (konvensi) yang disponsori oleh Perancis, dan disetujui
juga oleh pemimpin golongan Maronit, BisyaraAl-Khuri, dan pemimpin golongan Sunni, Riyad As-Sulth.
Pakta Nasional (al-Mitsaq al-Wathani) 1943 antara lain mengatur bahwa presiden harus berasal dari golongan
Maronit, perdana menteri dari golongan Sunni, dan ketua parlemen dari golongan Syi’ah. Parlemen yang
berjumlah 99 orang terdiri atas 30 Maronit, 20 Sunni, 19 Syi’ah, 11 Ortodoks, 6 Druze, 6 Katolik Yunani, 5
Armenia, dan 2 untuk golongan Kristen lainnya. Baca: M. Graeme Bannerman, Republic of Lebanon dalam
The Government and Politics of the Middle East and North Africa, David E. Long dan Bernard Reich (ed.), h.
219; M. Riza Sihbudi, Islam, Dunia Arab, Iran; Bara Timur Tengah, h. 29; Nadim Shehadi dan Dana Haffar
Mills, Lebanon: a History of Conflict and Consensus, (London: The Centre for Lebanese Studies & I.B.
Tauris & Co Ltd, 1988), h. 11.
38
Sebelum terbentuknya Lebanon Raya pada tahun 1920 (masih berbentuk sanjaq yang disebut
Lebanon), hanya mencakup daerah pegunungan yang disebut yang didominasi orang-orang Maronit dan
Druze. Namun ketika Lebanon Raya terbentuk, Perancis memasukkan juga daerah-daerah lain yang
didominasi oleh golongan-golongan di luar Maronit dan Druze, seperti Lembah Biqa yang didominasi oleh
orang-orang Syi’ah dan Katolik Yunani, daerah-daerah pantai yang didominasi oleh orang-orang Sunni dan
Ortodoks Yunani, daerah selatan yang dihuni orang-orang Syi’ah, serta daerah utara di mana orang-orang
Sunni merupakan mayoritas. Akibatnya, di Lebanon tidak ada kelompok mayoritas dalam arti yang
sebenarnya. Tetapi Perancis telah memaksakan tampilnya golongan Maronit sebagai kekuatan sosial-politik
yang paling dominan, yaitu melalui Pakta Nasional 1943. Baca: M. Riza Sihbudi, Islam, Dunia Arab, Iran;
Bara Timur Tengah, h.28-29.

70
Sistem perundang-undangan yang diwarisi oleh Perancis direvisi. Perubahan yang
signifikan menyangkut peralihan kekuasaan dari sistem presidentil ke parlementer, sistem
ini menambah kekuatan umat muslim dan melemahkan kekuasaan umat Maronit.39
Setelah merdeka di tahun 1943, Lebanon mengalami kemajuan di bidang sosial-
ekonomi. Hal pertama yang dilakukan adalah perubahan skala administrasi yang luas.
Sehingga terciptanya kestabilan suhu politik, cepatnya pertumbuhan dan pembangunan
negara, serta terciptanya kemakmuran ekonomi40 sebagai imbas dari tingginya
penghasilan/devisa negara dari sektor perminyakan dan pembangunan infrastruktur (jalan,
perumahan, perairan, dll). Karena letak geografis Lebanon yang strategis yaitu di tepi Laut
Tengah, Lebanon menjadi transit arus lalu lintas perdagangan dari tiga benua, yaitu Asia,
Afrika, dan Eropa. Dua pertiga GNP Lebanon berasal dari sektor jasa, terutama perbankan.
Lebanon merupakan pusat perbankan dan perdagangan yang paling penting di Timur
Tengah, dan salah satu terpenting di dunia. Investor asing banyak yang mulai melirik dan
menanamkan sahamnya pada sektor ini karena adanya jaminan keamanan dari system Bank
yang ditawarkan. Pemerintah yang bekerjasama dengan developer menyediakan perumahan
bagi rakyat, hal ini untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sipil. Sektor-sektor lain
yang memberikan sumbangan penting pada ekonomi Lebanon adalah industri, pertanian
dan pariwisata.41
Akan tetapi, ketenangan ini tak berlangsung lama. Perselisihan internal yang bermotif
agama, politik, dan ketimpangan ekonomi yang sudah dimulai sejak bertahun-tahun
lamanya (1860-1958) akhirnya memuncak menjadi perang saudara yang berlangsung pada
tahun 1958 dan perang saudara kedua sejak April 1975 hingga Oktober 1990.42 Setidaknya
ada tiga persoalan krusial yang menyebabkan terjadinya konflik ini yaitu 1) tuntutan

39
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997), h. 143.
40
Richard C. Martin, Encyclopedia of Islam and the Muslim World, h. 412.
41
Mona Fawaz dan Isabelle Peillen, The Case of Beirut, Lebanon, h. 3; M. Riza Sihbudi, Islam, Dunia
Arab, Iran; Bara Timur Tengah, h. 30.
42
Mona Fawaz dan Isabelle Peillen, The Case of Beirut, Lebanon, h. 2; M. Riza Sihbudi, Islam, Dunia
Arab, Iran; Bara Timur Tengah, h. 23.

71
golongan Islam untuk merevisi Pakta Nasional 1943, dengan mengadakan sensus ulang
masyarakat Lebanon. Akan tetapi, usulan golongan Islam ini ditolak oleh golongan Kristen,
teruatama Maronit, karena dianggap menguntungkan umat muslim (selama orang-orang
Palestina masih menetap di Lebanon). Golongan Islam menghendaki perubahan mendasar
dalam sistem politik yang tidak lagi dikaitkan dengan komunitas keagamaan. 2) Tuntutan
untuk perbaikan di bidang sosial-ekonomi, hal ini dikarenakan ketimpangan sosial-ekonomi
yang semakin tajam, karena golongan kaya pada umumnya terdiri atas orang-orang Kristen,
khususnya Maronit, sementara orang-orang Islam, khususnya orang-orang Syi’ah dan
Druze, pada umumnya hidup dalam kemiskinan. 3) Dan kehadiran orang-orang Palestina
yang mengungsi ke Lebanon.43
Puncak ketegangan terjadi pada pertengahan tahun 1950-an, selama 6 bulan
masyarakat Lebanon menyaksikan dan merasakan gencatan bersenjata (1958). Ketegangan
tersebut dipicu oleh munculnya polarisasi antara pihak yang ingin mempertahankan status
quo (Kristen) dan pihak yang menghendaki perubahan (Islam). Konflik ini menelan korban
yang cukup besar dari kedua belah pihak. Perang baru dapat diakhiri setelah adanya
intervensi pasukan marinir Amerika Serikat yang mendarat di Beirut pada tanggal 15 Juli
1958. Intervensi AS tersebut didasarkan pada permintaan Presiden Chamoun. Konflik

43
Peristiwa ini berawal dari diproklamasikannya negara Israel pada tahun 1948, yang didirikan di atas
wilayah yang juga dihuni oleh bangsa Palestina dan berbatasan dengan Wilayan Lebanon Selatan. Sejak itu,
orang-orang Palestina yang tidak mau hidup di bawah pemerintahan Israel. Terlebih perang Arab-Israel yang
terjadi pada tahun 1956, 1967, dan 1973 mengakibatkan semakin banyaknya orang Palestina yang mengungsi
ke Lebanon. Pada tahun 1975, jumlah penduduk Lebanon diperkirakan sekitar 3,140,000 orang. Ini berarti
jumlah orang Palestina yang ada di Lebanon mendekati 10 % dari jumlah penduduk Lebanon. Di Lebanon,
orang-orang Palestina tersebut berada di bawah lindungan komisi pertolongan PBB atau UNRWA (United
Nations Relief and Works Agency). Setidaknya ada dua masalah yang timbul di Lebanon akibat kehadiran
orang-orang Palestina. Pertama, sebagian besar orang Palestinaberagama Islam (Sunni), sehingga kehadiran
mereka tidak begitu disenangi oleh golongan Kristen, terutama Maronit. Hal ini dikarenakan kehadiran
mereka dapat mengganggu perimbangan kekuatan antara Kristen dan Islam di Lebanon. Kedua, sejak perang
Arab-Israel 1967 dan peristiwa “September Hitam” di Yordania tahun 1970, orang-orang Palestina menjadi
satu kekuatan politik yang cukup tanggguh. Sejak saat itu, orang-orang yang hadir di Lebanon bukan saja
berasal dari kalangan sipil, akan tetapi juga para gerilyawan yang bersenjata. Mereka sering melancarkan
serangan ke wilayah Israel, begitu pula sebaliknya. Keadaan ini menimbulkan masalah keamanan bagi
masyarakat Lebanon lainnya. Baca: M. Riza Sihbudi, Islam, Dunia Arab, Iran; Bara Timur Tengah, h. 30-31;
Nadim Shehad dan Dana Haffar Mills, Lebanon: a History of Conflict and Consensus, h. 184-188.

72
selanjutnya terjadi pada tahun 1975, perang saudara yang kedua ini bermula dari terjadinya
usaha pembunuhan terhadap pemimpin Partai Phalangais (Maronit) ”Pierre Gemayel” pada
tanggal 13 April 1975 yang dilakukan oleh gerilyawan Palestina. Atas kejadian tersebut,
pihak Phalangis melakukan balas dendam dengan melakukan pembantaian terhadap
sekelompok orang Palestina yang sedang berada di sebuah bis. Peristiwa ini dengan cepat
berubah menjadi suatu perang besar. Perang saudara ini pada awalnya terjadi antara
golongan Muslim yang didukung golongan Druze44 dan gerilyawan Palestina melawan
golongan Kristen. Namun, pada perkembangannya terjadi juga konflik antara sesama
golongan Muslim dan antarsesama golongan Kristen. Bahkan terjadi konflik antara sesama
Muslim lawan Druze dan Muslim lawan Palestina.45
Perang saudara antara Arab dan Israel ini mengakibatkan penderitaan dan kerugian
yang luar biasa, terlebih ketika masa-masa awal perang dan dua tahun sebelum perang ini
berakhir.46 Diperkirakan 150,000 jiwa meninggal, 200,000 jiwa lainnya menderita luka
berat dan ringan, serta 22% (700,000 s/d 900,000 jiwa) warga Lebanon yang selamat
terlantar karena kehilangan tempat tinggal. Bukan hanya itu, kerugian juga meliputi
infrastruktur negara, diperkirakan 300,000 rumah rusak, padamnya saluran listrik, perairan,
jaringan telepon dan jalan. Pada tahun 1982, sebagian besar wilayah Lebanon diduduki
oleh tentara Israel, termasuk Beirut-ibukota Negara.47
Perang ini membuat pemerintah dan sebagian institusinya tidak berdaya dan tidak
efektif. Janji-janji politik menjadi tidak bermakna, pemilihan kepala negara, perdana
menteri, dan parlementer menjadi tertunda, dan untuk sementara kekuasaan berada di
tangan milisi-milisi bersenjata, tentara dan pemerintahan asing.

44
Golongan Druze sering disamakan dengan golongan Muslim, karena mereka banyak berasal dari salah
satu sekte dalam Islam, yaitu Syi’ah Fathimiah. Namun karena banyak ajaran Druze yang secara fundamental
bertentangan dengan ajaran Islam, golongan Druze dianggap berada di luar Islam. Bannerman, Republic of
Lebanon, h. 223.
45
M. Riza Sihbudi, Islam, Dunia Arab, Iran; Bara Timur Tengah, h. 23.
46
Richard C. Martin, Encyclopedia of Islam and the Muslim World, h. 412.
47
Mona Fawaz dan Isabelle Peillen, The Case of Beirut, Lebanon, h. 3.

73
Akan tetapi, kehidupan masyarakat sipil terus berjalan seiring dengan berlangsungnya
perang. Perang ini seakan terpisah dari rutinitas masyarakat sipil, mereka tetap bersekolah,
bekerja, berjualan di pertokoan di sepanjang jalan Lebanon. Di masa peperangan ini, peran
perempuan dalam menghidupi keluarganya justru semakin meningkat. Para ibu dan istri
selalu menjadi penyedia makanan dan kenyamanan di rumah. Sedangkan mayoritas laki-
laki banyak yang kehilangan pekerjaannya dan terus berdiam di rumah tanpa memberikan
nafkah bagi anak dan istrinya.48
Akan tetapi di beberapa perkampungan pengungsian Palestina Sabra dan Chatila tidak
demikian. Kondisi mereka lebih memprihatinkan, dimana ancaman penculikan,
pemerkosaan dan kematian selalu menghantui setiap masyarakat di sana. Menurut Maksidi,
andil Islam ikut membantu meringankan kesusahan perempuan, karena Islam memberikan
perhatian khusus bagi keselamatan anak-anak dan perempuan di masa-masa peperangan.
Keadaan peperangan tersebut mempengaruhi sektor perekonomian dan perindustrian
negara, inflasi besar-besaran terjadi selama perang saudara ini. Sehingga menyebabkan
meningkatnya angka kemiskinan dan memicu keadaan yang lebih buruk.49 Melihat
keadaan Beirut yang semakin memburuk maka pada tahun 1976, al-Shaykh meninggalkan
Lebanon dan memutuskan untuk tinggal di Saudi Arabia hingga tahun 1982, lalu pindah ke
London dan menetap di sana hingga sekarang. Tak banyak yang dapat disaksikan asy-
Syaikh selama perang saudara, namun setahun di Beirut saat perang saudara merupakan
pengalaman terburuknya dan berdasarkan pengalaman tersebutlah al shaykh mengenangnya
lewat dua buah karyanya Hikâyat Zahra (1980)/The Story of Zahra (1994) dan Barid min
Beirut/Beirut Blues (1992).

48
Di peperangan ini, kita dapat menyaksikan suatu pemandangan yang ganjil, di mana perempuan dan
anak-anak lebih dilindungi di barikade-barikade pertempuran. Pantangan-pantangan sekitar ’ard dan
penghormatan tradisional terhadap ibu menyediakan sejenis perlindungan magis bagi perempuan. Baca: Jean
Said Makdisi, Mitologi Kemodernan Perempuan dan Demokrasi di Lebanon dalam Mai Yamani, Feminisme
dan Islam: Politik Interpretasi, (Bandung: Nuansa Cendikia, 2000), h. 372-378.
49
Mona Fawaz dan Isabelle Peillen, The Case of Beirut, Lebanon, h. 3.

74
Perang saudara itu kini berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian Ta’if pada
tanggal 22 Oktober 1989, yang ditandatangi oleh perwakilan setiap unsur agama, yaitu
Maronite, Sunni, dan Syiah. Perjanjian ini membuat Umat Kristen Maronite kehilangan
kekuatan politiknya,50 dan pemerintahan teknokrat menguasai perpolitikan dengan
menyusun kembali agenda-agendanya untuk Lebanon, salah satu prioritas utama dari
pemerintahan Lebanon adalah melawan korupsi di bumi Lebanon.51
Hikâyat Zahra lahir dalam konteks peperangan yang bermotif agama dan politik ini.
Akan tetapi setelah perjanjian Ta’if ditandatangani oleh masing-masing perwakilan agama,
keadaan Lebanon telah mulai membaik. Kelelahan masyarakat dalam menghadapi
peperangan yang panjang mengobarkan semangat toleransi yang tinggi di antara setiap
pemeluk agama.
Kini Lebanon tampil dengan wajah demokrasi, tidak ada yang berubah selain
perbaikan ekonomi, politik, infrastruktur dan kebebasan perempuan secara individual. Pada
praktek organisatoris, perempuan tetap berada pada posisi inferior di kancah perpolitikan,
pemerintahan dan administrasi publik. Sejarah mencatat belum ada perempuan yang pernah
menduduki posisi-posisi penting di Lebanon kecuali setelah berakhirnya perang saudara
pada tahun 1992. Pernah suatu saat, pada dekade 1960-an, seorang perempuan terpilih
untuk menjadi anggota parlemen menggantikan anggota perlemen (orang tuanya) yang
meninggal pada insiden pesawat, dan anaknya tersebut menggantikan posisi tersebut.
Ketika pemilihan parlemen tahun 1992, dari 182 anggota parlemen hanya ada tiga
orang perempuan lolos menjadi anggota parlemen, yaitu 1) Nayla Mu’awad, janda
mendiang presiden yang terbunuh pada tahun 1989, 2) Bahiya al-Hariri, saudara perdana
menteri pada periode tersebut, posisi tersebut didapatnya atas dasar kekayaan dan pengaruh
yang dimilikinya, dan 3) Maha al-Khaoury yang terpilih dengan meraih 40 suara.52

50
Melvin Ember, Carol R. Ember, Countries and their Cultures, h. 1269.
51
Melvin Ember, Carol R. Ember, Countries and their Cultures, h. 1267.
52
Jean Said Makdisi, Mitologi Kemodernan Perempuan dan Demokrasi di Lebanon dalam Mai Yamani,
Feminisme dan Islam: Politik Interpretasi, h. 348.

75
Keadaan ini tidak saja terjadi pada ranah politik, di beberapa sektor publik lainnya
seperti lingkungan rumah sakit, bank, sekolah, universitas dan lain sebagainya, kehadiran
perempuan masih dianggap sebagai pelengkap. Berdasarkan beberapa kasus tersebut, Jean
Said Makdasi meyakini bahwa:
1. Perempuan di Lebanon berada dalam kedudukan yang jauh lebih buruk secara
sosial, budaya dan politik.
2. Terdapat kesenjangan yang sangat mencolok antara situasi perempuan secara
individual, dan gerakan politik yang menuntut persamaan hak bagi perempuan.
3. Selama masa perang status perempuan sebagai individu meningkat, akan tetapi
mengalami kemunduran yang tajam sejak berakhirnya perang.
4. Keadaan yang menimpa perempuan di Lebanon ini bertalian erat dengan
kemerosotan umum dalam kehidupan demokrasi dan prosedurnya, dan dengan
mitologi yang bercokol dan merusak yang berasal dari kesalah-pahaman budaya dan
sejarah.53
Melihat suhu perpolitikan di Lebanon setelah peperangan berakhir, terdapat dikotomi
yang mempertentangkan antara perempuan ’modern’ dan perempuan ’tradisional’.
Perempuan modern didefinisikan sebagai perempuan yang terdidik, yang bekerja, mandiri
dalam ekonomi, dan yang berpenampilan baik. Sedangkan perempuan tradisional yaitu
perempuan yang sering (tetapi tidak mesti) mengenakan pakaian nasional; jika muslimah
mengenakan hijab, mengurus rumah dan mengasuh anak-anak, dan penghidupannya
bergantung pada penghasilan suami.54 Perempuan modern tersebut seringkali diidentifikasi
sebagai perempuan Eropa dan Amerika seperti halnya westernisasi dan modernisasi.
Bertolak dari itu perempuan tradisional yang berpadanan pada syariah Islam dianggap oleh

53
Jean Said Makdisi, Mitologi Kemodernan Perempuan dan Demokrasi di Lebanon dalam Mai Yamani,
Feminisme dan Islam: Politik Interpretasi , h. 352-253.
54
Jean Said Makdisi, Mitologi Kemodernan Perempuan dan Demokrasi di Lebanon dalam Mai Yamani,
Feminisme dan Islam: Politik Interpretasi, h. 359.

76
perempuan non Islamis (dalam hal ini termasuk juga muslimah dan kristen) sebagai sebuah
ancaman bagi modernitas dan kebebasan di Lebanon.
C. Kondisi Sosial-Kultural Lebanon
Mengutip perkataan Glickberg tentang sosiologi sastra “all literature, however
fantastic or mystical in content, is animated by a profound social concern, and this is true
of even the most flagrant nihilistic work”. Ia mengemukakan bahwa fenomena sosial sangat
berpengaruh dalam penciptaan sebuah karya sastra, walaupun pencipta sastra tersebut akan
mendistorsi fakta-fakta sosial sesuai dengan idealisme dan sudut pandangnya sendiri.55
Konsep mengenai sastra sebagai mimesis (tiruan) masyarakat, memandang bahwa karya
sastra layaknya cermin (mirror) dari realita kehidupan yang telah ditafsirkan dan
direfleksikan secara halus dan estetis. Sehingga kontak antara pencipta karya sastra dengan
lingkungannya menjadi sangat penting guna terciptanya peleburan dan penghayatan.
Berkaca dari Lebanon sebagai setting utama yang dipilih al Shaykh dalam novelnya
Hikayat Zahra, Lebanon merupakan sebuah negara dengan masyarakatnya yang plural,
terdiri dari berbagai macam suku dan etnik budaya. Bahasa yang digunakan oleh
masyarakat setempat pun beragam, di antaranya Bahasa Arab (sebagai bahasa Nasional),
Perancis, Inggris dan Armenia, akan tetapi sejak abad ke 18 bahasa Arab menjadi bahasa
nasional yang digunakan oleh mayoritas masyarakat Lebanon, selain bahasa Perancis dan
Inggris.56 Sebelum terjadinya perang saudara, sektor pariwisata merupakan salah satu
devisa Negara terbesar di Lebanon. Setiap turis akan terpesona dengan kecantikan Beirut
sebagai ibukota Lebanon, Beirut bagaikan kota Paris di Timur Asia.
Kependudukan Perancis yang membawa nilai-nilai barat membuat dominasi
modernisasi dan demokrasi terhadap kultur budaya ketimuran.57 Secara umum, budaya
masyarakat Lebanon merupakan perpaduan antara gaya Eropa dan Timur Tengah, baik dari

55
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi, h. 77.
56
Melvin Ember, Carol R. Ember, Countries and their Cultures, h. 1266.
57
Elie Adib Salem, Modernization without Revolution Lebanon’s Experience, (Bloomington & London:
Indiana University Press, 1973), h. 2.

77
gaya berbusana, makanan, arsitektur, corak design (art, interior, ukir), dll. Hal ini
disebabkan karena lamanya bangsa Eropa menjajah Lebanon.58 Dengan keberagaman yang
dimiliki oleh bangsa Lebanon, masyarakat hidup berdampingan, tidak ada perbedaan kelas
dan kasta sosial karena kekayaan dan harta bendalah yang menentukan status sosial
seseorang di antara yang lainnya.59 Akulturasi yang terjadi di Lebanon meliputi hampir
seluruh aspek kehidupan. Dari keseluruhan negara Timur Tengah dan negara Muslim
lainnya, hanya di Lebanon kita dapat menyaksikan perempuan tampil bebas dengan busana
yang minim dan mencolok.60
Beberapa sekolah barat didirikan di sana, hal ini secara tidak langsung memberikan
pengaruh dalam pemikiran dan kultur budaya masyarakat. Pada awal pertengahan abad ke-
19, tepatnya pada tahun 1866, orang-orang Kristen Presbyterian dari Amerika Serikat
mendirikan “American University of Beirut” (AUB). Misionaris Amerika juga mendirikan
sekolah yang dikhususkan untuk perempuan (1926).61 Tahun 1985 kaum misionaris
Perancis mendirikan “Universitas Saint Joseph” di Beirut. Sekolah dan universitas tersebut
hampir mendominasi sektor pendidikan di Lebanon.62 Selain universitas dan sekolah yang
didirikan oleh Amerika dan Perancis, pemerintah Lebanon juga mendirikan sekolah
nasional The Lebanese University pada tahun 1953, Arab University yang didirikan pada
tahun 1960, sekolah ini berdiri berkat kedermawanan dan kebaikan masyarakat muslim di

58
Melvin Ember, Carol R. Ember, Countries and their Cultures, h. 1272.
59
Melvin Ember, Carol R. Ember, Countries and their Cultures, h. 1269.
60
Ketika seseorang datang mengunjungi negara ini, maka ia akan dimanjakan dengan pemandangan yang
menakjubkan, karena Lebanon mempunyai karakter yang khas, perempuan di sana tampil dengan
kepercayaan diri yang tinggi. Maka tidak mengherankan perempuan Lebanon banyak yang terjun ke dunia
advertising sebagai artis, pengarang, akademisi, penyiar, wartawati maupun jurnalis. Baca: Jean Said
Makdisi, Mitologi Kemodernan Perempuan dan Demokrasi di Lebanon dalam Mai Yamani, Feminisme dan
Islam: Perspektif Hukum dan Sastra, h. 347.
61
Dulunya bernama “the Syrian Protestant Collage”, sekolah inilah yang memperkenalkan pola
pendidikan liberal dan nilai-nilai barat yang berbasiskan pada research/penelitian kepada masyarakat Timur
Arab. Baca: Elie Adib Salem, Modernization without Revolution Lebanon’s Experience, h. 9 dan 34.
62
Elie Adib Salem, Modernization Without Revolution Lebanon’s Experience, h. 9; Jean Said Makdisi,
Mitologi Kemodernan Perempuan dan Demokrasi di Lebanon dalam Mai Yamani, Feminisme dan Islam:
Perspektif Hukum dan Sastra, h. 367-369; M. Riza Sihbudi, Islam, Dunia Arab, Iran: Bara Timur Tengah, h.
27.

78
Lebanon bekerja sama dengan The University of Alexandria di Mesir, dan Hagazian
Collage (1955) yang disponsori oleh komunitas Armania dan Amerika Serikat yang tinggal
di Beirut. Negara memberikan kebebasan kepada kaum perempuan untuk bersekolah dan
melanjutkan pendidikannya pada tingkat yang paling tinggi. Sebagian dari mereka yang
bersekolah di sekolah dan perguruan tinggi asing tersebut kehilangan identitas agamanya
dan menjadi sekuler. Karena sekolah-sekolah tersebut membawa gagasan, gaya pakaian,
bahasa dan kurikulum serta metode baru yang disebut sebagai nilai-nilai modernisasi.
Perlakuan negara dan masyarakat terhadap perempuan di Beirut sangat terbuka,
akan tetapi perempuan tidak pernah mendapatkan posisi dan kedudukan yang penting di
kancah perpolitikan, pemerintahan dan adminstrasi publik.63 Laki-laki masih tetap memiliki
status lebih tinggi dibanding perempuan, hal ini disebabkan karena ajaran-ajaran agama
yang cenderung patriarkal. Masyarakat cenderung memandang pembebasan perempuan
sebagai suatu permasalahan spiritual dan bukan sebagai masalah material.64 Seperti halnya
dalam agama Islam, perubahan-perubahan yang berhubungan dengan kondisi perempuan
saat ini selalu dikaitkan dengan permasalahan-permasalahan keagamaan. Penafsiran ayat-
ayat al-Qur’an telah dihegemoni sedemikian rupa sehingga menjadi suatu hukum yang tak
bisa ditawar. Padahal, al-Qur’an dengan jelas menegaskan persamaan kedudukan antara
laki-laki dan perempuan, kadar perbedaan antara keduanya hanya diukur dari
ketakwaannya kepada sang Khalik.65
Dalam hal pembebasan perempuan, Lebanon mempunyai banyak kesamaan dengan
negara-negara Muslim lainnya seperti Mesir, Iran, Maroko dan Negara Islam lainnya di
Timur Tengah. Negara memberikan kesempatan kepada perempuan memilih untuk bekerja,

63
Jean Said Makdisi, Mitologi Kemodernan Perempuan dan Demokrasi di Lebanon dalam Mai Yamani,
Feminisme dan Islam: Perspektif Hukum dan Sastra, h. 347-348.
64
Fatimah Mernissi, Beyond the Evil; Male-Female Dynamics in Muslim Society, (London: Al-Saqi
Books, 1983), h. 165.
65
Q.S Al-Hujurat: 13, yang berbunyi “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling
mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling takwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

79
bersekolah, dan berpartisipasi di ruang publik. Dengan sebelumnya membangun konsepsi
feminin di mainset masyarakat mengenai kebebasan memilih tetapi tetap disesuaikan
dengan peranan-peranan tradisionalnya (konstruk sosial). Sehingga mayoritas perempuan
memilih untuk memasuki jurusan-jurusan yang “feminine” seperti sekretaris dan guru.66 Di
mana kedua jurusan ini dianggap merupakan keahlian yang cocok dipegang oleh
perempuan, karena perempuan memiliki sifat gemulai, lembut, ramah, penyabar, pasif,
teliti, dll.
Permasalan ini hampir sama dengan permasalahan yang dihadapi oleh mayoritas
perempuan di negara-negara muslim lainnya (lihat: Mesir, Arab Saudi, Iran, Maroko, dll),
Mernissi dalam bukunya Beyond the Evil menyimpulkan bahwa Negara tidak siap terhadap
pembebasan perempuan. Di beberapa negara sosialis memperlihatkan bahwa akar
permasalahan ini merupakan permasalahan ekonomi dan sangat mahal harganya.67
Mayoritas negara belum siap untuk memberikan kebebasan itu, dalam arti negara belum
mampu untuk memberikan lapangan pekerjaan yang lebih luas bagi perempuan. Di
samping itu, masyarakat juga belum siap secara material untuk melepaskan perempuan dari
rumah-rumah mereka, karena tanggung jawab yang akan dilepaskan beresiko pada
pengeluaran rumah tangga yang cukup membengkak. Di mana masyarakat harus
menyisihkan sebagian uang mereka guna membayar pekerja untuk memelihara rumah dan
anak-anak mereka. Selama ini, perempuan dibelenggu di dalam rumah untuk mengurus
keperluan rumah tangga sehingga perempuan memikul beban ganda. Perempuan tak
diberikan keleluasaan untuk berkarir, sehingga timbul ketergantungan ekonomi pada suami
dan berimbas pada kemiskinan dan ketakberdayaan.
Nawâl as-Sa'dâwî dalam bukunya The Hidden Face of Eve mengemukakan bahwa
persoalan pembebasan perempuan sangatlah sulit diwujudkan karena budaya tersebut telah
diwarisi oleh penjajah dunia Timur yang berupa sistem patriarki dan masyarakat-

66
Melvin Ember, Carol R. Ember, Countries and their Cultures, h. 1269-1270.
67
Fatimah Mernissi, Beyond the Evil; Male-Female Dynamics in Muslim Society, h. 156-157.

80
masyarakat yang berkelas (classes and castes), yang pada masa itu dibangun atas dua
bagian besar yaitu: pemilik tanah dan para budak.68 Keberadaan perempuan pada posisi
inferior ini merupakan akibat dari nilai-nilai perbudakan. Perempuan dalam batasan-batasan
terlarangnya tidak diperbolehkan untuk berinteraksi secara langsung dengan dunia luar.
Sekalipun perempuan bebas bersekolah, batas harem tersebut selalu mengikuti dengan
adanya pemisahan tempat dalam ruang publik,69 dan hal ini dianggap sebagai bagian dari
ajaran agama sebagaimana yang tertulis pada surat al-Ahzab: 32-33.70
Ayat tersebut menimbulkan penafsiran bahwa tempat termulia bagi perempuan
adalah diam di rumah. Agama bagaikan senjata yang sering dimanfaatkan dalam
masyarakat-masyarakat tradisional untuk memenggal bahkan menghancurkan usaha-usaha
pembebasan, karena agama tidak bisa dilepaskan dari permasalahan politik.71 Penafsiran-
penafsiran mysogini yang dilakukan oleh para mufassir terdahulu merupakan sebuah
tameng bagi perempuan untuk masuk dalam dunia modernisasi dan pembebasan. Melalui
kependudukan Perancis atas Lebanon maka kultur modern (baca: budaya barat) mulai
mengikis kultur budaya timur tengah-muslim yang memenjarakan perempuan di rumah-
rumah mereka. Akses pendidikan sudah mulai terbuka bagi kaum perempuan di Lebanon,
orang tua tidak lagi takut untuk melepaskan anak-anak perempuan mereka untuk
bersekolah dan memasuki dunia kerja dan politik.

68
Nawâl as-Sa'dâwî, Perempuan dalam Budaya Patriarkhi, terj. Zulhilmiyasri, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001), h. 229.
69
Seperti yang diceritakan oleh al Shaykh bahwa sejak madrasah hingga Perguruan Tinggi Ia selalu
bersekolah di sekolah khusus perempuan. Di mana sekolah dengan sengaja memisahkan ruang kelas antara
laki-laki dan perempuan karena hal ini dianggap bagian dari ajaran agama (sebagai batas haremnya).
‫ﻮِﺗ ﹸﻜﻦ‬ ‫ﻴ‬‫ﺑ‬ ‫ﺮ ﹶﻥ ﻓِﻰ‬ ‫ﻭﹶﻗ‬ , ‫ﻭﻓﹰﺎ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻻ‬‫ﺎ ﹶﻗﻮ‬‫ﻭﻗﹸ ﹾﻠﻨ‬ ‫ﺽ‬
 ‫ﺮ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻊ ﺍﱠﻟﺬِﻯ ﻓِﻰ ﹶﻗ ﹾﻠِﺒ ِﻪ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻴ ﹾﻄ‬‫ﻮ ِﻝ ﹶﻓ‬ ‫ﻦ ﺑِﺎﻟ ﹶﻘ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﻀ‬
‫ﺨ‬  ‫ﺗ‬ ‫ ﻓﹶﻼ‬‫ﺘﻦ‬‫ﻴ‬‫ ﹶﻘ‬‫ﺎ ِﺀ ِﺇ ِﻥ ﺍﺗ‬‫ﻨﺴ‬‫ﻦ ﺍﻟ‬ ‫ﺣ ٍﺪ ِﻣ‬ ‫ ﹶﻛﹶﺄ‬‫ﺘﻦ‬‫ﺴ‬
 ‫ﻲ ﹶﻟ‬ ‫ﻨِﺒ‬‫ﻳﻨِﺴﺎ َﺀ ﺍﻟ‬ 70
‫ﻢ‬ ‫ﺮ ﹸﻛ‬ ‫ﻬ‬ ‫ ﹶﻄ‬‫ﻭﻳ‬ ‫ﺖ‬
ِ ‫ﻴ‬‫ﺒ‬‫ﻫ ﹶﻞ ﺍﻟ‬ ‫ﺲ ﹶﺃ‬
 ‫ﺟ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻢ ﺍﻟ‬ ‫ﻨ ﹸﻜ‬‫ﻋ‬ ‫ﺐ‬  ‫ ﹾﺬ ِﻫ‬‫ﷲ ِﻟﻴ‬
ُ ‫ ﺍ‬‫ﻳﺪ‬‫ ِﺮ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﻧﻤ‬‫ ِﺇ‬‫ﻮﹶﻟﻪ‬ ‫ﺭﺳ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﷲ‬
َ ‫ﻦ ﺍ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﻭﹶﺃ ِﻃ‬ ‫ﺰﻛﹶﻮ ﹶﺓ‬ ‫ﻦ ﺍﻟ‬ ‫ﻴ‬‫ﻭﺀَﺍِﺗ‬ ‫ﻼ ﹶﺓ‬‫ﻦ ﺍﻟﺼ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻭﹶﺃِﻗ‬ ‫ﻭﻟﹶﻰ‬ ‫ﻴ ِﺔ ﺍ ُﻷ‬‫ﺝ ﺍﳉﹶﺎ ِﻫِﻠ‬  ‫ﺮ‬ ‫ﺒ‬‫ﺗ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺒ‬‫ﺗ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ‬
. ‫ﺍ‬‫ﻴﺮ‬‫ﺗ ﹾﻄ ِﻬ‬
71
Menurut Sa'dâwî “agama adalah alasan yang paling sering digunakan sebagai alat di tangan kekuatan-
kekuatan ekonomi dan politik, sebagai sebuah “lembaga” yang dimanfaatkan oleh orang-orang yang berkuasa
untuk menundukkan orang-orang yang dikuasainya. Dalam hal ini agama melayani tujuan yang sama seperti
halnya sistem hukum, pendidikan, dll. yang sering mengabadikan masyarakat patriarkat, dan secara historis
melahirkan, menegakkan, serta mempertahankannya dengan menindas kaum perempuan, anak-anak dan para
budak; Nawal el Saadawi, Perempuan dalam Budaya Patriarkhi, h. 7

81
Bagi beberapa negara muslim, termasuk Lebanon gerakan feminis baik yang terjadi
di barat maupun di Timur merupakan tindakan menuju pembebasan perempuan yaitu
persamaan yang menyeluruh dengan kaum laki-laki dalam semua kancah kehidupan.72
Qasim Amin (1863-1908) dan Salamah Musa (1887-1958) memandang pembebasan
perempuan sebagai syarat mutlak bagi pembebasan masyarakat Arab Muslim dari
kekuasaan Barat. Hal ini dikarenakan karakter masyarakat Arab muslim yang terobsesi
terhadap kultur Barat dan kekuatan militernya dalam menguasai bangsa lainnya. Menurut
kalangan feminis kekuatan bangsa Barat terletak pada produktivitasnya, sehingga untuk
menyaingi Bangsa Eropa dan Amerika Serikat maka Bangsa Arab dan muslim harus
mendidik dan mempersiapkan sumber daya yang dimiliki perempuan untuk ambil bagian
dalam produktivitas.73 Dengan kata lain, negara Timur Tengah dan muslim di dunia harus
percaya terhadap kemampuan dan kecerdasan yang dimiliki kaum perempuan.
Permasalahan yang timbul kemudian adalah konsekuensi yang harus dihadapi
ketika perempuan berada di satu tempat bersama laki-laki di lingkungan pendidikan dan
produksi (kerja maupun politik).74 Hal ini begitu menarik perhatian para fundamentalis
muslim, karena pada abad 19 mereka masih meyakini bahwa tindakan tersebut
bertentangan dengan tradisi dan hukum Islam.
D. Hikayah Zahra; Sebuah Sinopsis
Novel ini menceritakan perjalanan hidup seorang perempuan Lebanon yang hidup
di tengah keluarga dan masyarakat patriarkis. Beberapa isu seputar ketubuhan dan
seksualitas perempuan diungkapkan dengan pengalaman perempuan sebagai sosok yang
frustasi terhadap dirinya sendiri. Penulis sengaja menggunakan alur maju mundur untuk
memberikan gambaran yang jelas dan rinci pada setiap periode kehidupan yang dilalui oleh

72
Fatimah Mernissi, Beyond the Evil; Male-Female Dynamics in Muslim Society, h. 13.
73
Fatimah Mernissi, Beyond the Evil; Male-Female Dynamics in Muslim Society, h. 14.
74
Fatimah Mernissi, Beyond the Evil; Male-Female Dynamics In Muslim Society, h. 14, lihat juga;
Melvin Ember, Carol R. Ember, Countries and their Cultures, h. 1270.

82
setiap tokoh. Secara umum, penceritaan dibagi atas dua babak yaitu pra-perang dan masa
perang.
Penceritaan dimulai pada masa kanak-kanak Zahra. Ia terlahir di tengah keluarga
yang patriarkal dengan seorang ayah yang berpendirian sangat keras.75 Ayahnya berprofesi
sebagai pegawai di salah satu perusahaan jasa, tepatnya angkutan kota “trem”, sedangkan
ibunya merupakan ibu rumah tangga. Zahra merupakan bungsu dari dua bersaudara,
kakaknya “Ahmad” adalah seorang laki-laki yang menjadi harapan keluarga, terutama oleh
ayahnya. Dalam setiap kesempatan, ayahnya akan selalu mengumpulkan uang agar dapat
merealisasikan mimpinya untuk menyekolahkan Ahmad ke Amerika untuk belajar teknik
listrik.76
Hubungan pernikahan yang mengikat ayah dan ibunya bukanlah hubungan yang
bahagia dan harmonis karena tidak dilandaskan cinta, dan pada akhirnya diketahui bahwa
pernikahan tersebut terjadi karena sebuah paksaan. Sejak kecil, Zahra telah menyaksikan
perselingkuhan ibunya dengan seorang laki-laki yang tidak dikenalnya. Sampai pada hari di
mana ayahnya mengetahui perselingkuhan tersebut dan memukuli ibunya. Zahra yang
masih kecil tidak pernah mengerti apa yang telah terjadi, yang ia tahu adalah membela
ibunya atas prilaku kasar ayahnya yang dianggap sebagai Tuhan dan monster.
Pengalaman di masa kecilnya membentuknya menjadi seorang yang tersesat dalam
kebingungan di sebuah dunia tanpa arah. Menginjak usia dewasa, ia bekerja di salah satu
pabrik tembakau “Al-Regie” -yang terletak di pinggiran kota- sebagai juru ketik. Pekerjaan
ini diraihnya melalui salah seorang teman kakaknya “Malik”. Atas rekomendasinyalah
akhirnya Zahra dapat bekerja di sana. Pertemuan yang rutin membuat hubungan Zahra dan
Malik semakin dekat, tapi bukanlah hubungan yang dilandaskan oleh cinta. Hingga suatu
hari, hubungan tersebut menjadi sebuah hubungan terlarang. Kepada Maliklah, Zahra
menyerahkan keperawanannya untuk pertama kali. Hubungan di luar nikah ini berlangsung

75
Dalam hal ini, penulis berusaha menyimpulkannya dari sikap dan prilaku yang ditunjukkan tokoh-
tokoh dalam Hikâyah Zahra.
76
Hanân as-Syaikh, Hikâyah Zahra, h. 28

83
cukup lama hingga pada akhirnya Zahra mengalami kehamilan. Kehamilan ini
mengantarnya pada prilaku aborsi dan aborsi selanjutnya. Aborsi tidak menyurutkan
keinginan Malik untuk menghentikan hubungan tersebut. Zahra tidak kuasa untuk menolak
keinginan Malik, padahal ia sangat membenci perbuatan tersebut. Pada akhirnya
kegilaanlah yang menghentikan semua itu.
Dengan rasa tertekan dan bersalah, Zahra memulai dan menata hidupnya kembali.
Pasca kegilaannya, Zahra memutuskan untuk menenangkan diri ke Afrika. Di sana, ia
berusaha untuk menghilangkan pengalaman buruk dalam hidupnya, menghilang dari jejak-
jejak kelam bersama Malik, dan menghilang dari ketakutan-ketakutan akan ayah dan
ibunya. Di Afrika, Zahra tinggal bersama pamannya “Hasyim”. Hasyim merupakan adik
dari ibunya, yang tidak pernah ditemuinya. Ia hanya mengetahui Hasyim dari cerita dan
photo-photo yang masih terpampang di dinding rumah kakeknya di desa.
Sayangnya, Hasyim dan Afrika tidak memberikan ketenangan kepadanya, bahkan
menambah luka hatinya. Bersama kesedihannya, Zahra menerima pinangan temah
pamannya “Majid” walau tanpa rasa cinta. Ternyata, pilihannya untuk menikah dengan
Majid menambah pelik kemelut dalam dirinya. Ia terperangkap dalam kehidupan yang
membuatnya semakin bingung dan gila.
Setelah perceraiannya, ia kembali ke Lebanon saat perang Saudara sedang
berkecamuk. Di tengah peperangan itulah, ia justru menemukan dirinya sendiri. Ia jatuh
cinta untuk pertama kalinya pada penembak jitu. Cinta membuatnya menjadi waras dan
merasakan indahnya kehidupan. Cinta pulalah yang membawanya pada kematian yang
mengenaskan. Ia mati di tangan kekasihnya sendiri yang berprofesi sebagai penembak
gelap. Kematian menjemputnya melalui tangan orang yang ia cintai setelah ia mengetahui
perihal kehamilan yang menimpa Zahra.

84
BAB IV
CITRA PEREMPUAN DALAM HIKÂYAH ZAHRA

Bab empat membahas citra (image) perempuan1 sebagai mahluk yang


memiliki jiwa dan tubuh. Sebagai mahluk yang memiliki jiwa maka perempuan
beraspek fisis (karakteristik kodrati) yang berbeda dengan laki-laki. Perbedaan fisis
yang dimiliki perempuan tersebut berimbas pada perkembangan psikis perempuan
sehingga melahirkan stigma dan stereotype yang cenderung negatif pada tubuh
perempuan. Selain Itu, Untuk melihat gambaran perempuan secara utuh, maka
hendaknya juga memotret peran perempuan sebagai mahluk sosial yang terikat pada
aspek kultural di mana ia terlibat dalam pola interaksi sosial, yaitu keluarga maupun
masyarakat. Sebagai mahluk individual, perempuan bertanggung jawab dan berhak
atas tubuhnya sendiri, akan tetapi secara kultural dan sosial perempuan adalah milik
suami dan keluarganya.

A. Pencitraan Perempuan dalam Aspek Fisis


Menurut Pradopo, pencitraan -dalam penulisan sastra- berfungsi untuk
mengkongkretkan gagasan yang abstrak melalui kata-kata dan ungkapan yang
merangsang tanggapan imajinasi. Sehingga penikmat karya sastra akan mudah
membayangkan, merasakan dan menangkap pesan yang ingin disampaikan
pengarang. Pencitraan membawa sebuah kondisi yang hidup, seolah-olah dapat
melihat, mendengar, merasa dan meraba apa yang digambarkan dalam karya tersebut,

1
Sejak awal, penulis menggunakan kata “perempuan” bukan “wanita”, pilihan kata “perempuan”
yang dimaksudkan penulis sepanjang tesis mengandung pengertian khusus dan spesial dalam bahasa
Indonesia. Sebagaimana In Bene Ratih menjelaskan dalam Teori-Teori Kebudayaan, bahwa
“perempuan” dalam bahasa Indonesia berasal dari kata “empu” yang merujuk pada gelar kehormatan
“yang dituankan sebagai berkemampuan” atau orang yang ahli. Kata “perempuan” lebih menunjuk
seseorang dalam konteks eksistensi dirinya daripada penyebutan “wanita”. Perempuan diterjemahkan
sebagai orang yang memiliki otoritas atas diri dan tubuhnya. Pengertian ini senada dengan harapan dan
keinginan penulis untuk memposisikan perempuan agar memiliki otoritas atas diri dan tubuhnya,
sehingga perempuan tidak lagi menjadi konsumsi publik yang terobjekkan. Lihat: Mudji Sutrisno &
Hendar Putranto (Ed.), Teori-Teori Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), h.319-320;
Muhammad Mandûr, al-‘Adab wa Madzâhibuhu, (Mesir: Maktabah Nahdhah Misr wa Mathba'atuha,
tth), cetakan ketiga, h. 111-112.

85
dan semua itu dilakukan bukan dalam tataran realita tetapi pada dunia imajinasi.
Suasana untuk melihat, mendengar, meraba dan merasa tersebut dinamakan proses
pencitraan. Pencitraan ini dibutuhkan untuk memberikan gambaran yang jelas,
memberikan suasana yang khusus, dan membuat (lebih) hidup gambaran/image
dalam pikiran dan penginderaan.2
Membaca sebagai perempuan (reading as women)3 dibutuhkan untuk
memberikan warna yang berbeda, citra perempuan tidak lagi berada dalam deretan
kenyataan yang ditiru, tetapi masuk pada sistem komunikasi sastra sebagai tanda
yang dapat dikongkretkan berdasarkan konvensi sastra dan budaya.
Citra perempuan yang akan diuraikan pada bab ini merupakan gambaran-
gambaran citraan yang ditimbulkan oleh pikiran, pendengaran, penglihatan, perabaan,
dan pencecapan tentang perempuan. Dari sekian banyak citraan dalam diri
perempuan, Hikâyah Zahra banyak menampilkan citra pemikiran perempuan yang
erat kaitannya dengan citra diri perempuan. Di mana perempuan mempunyai andil
besar terhadap perwujudan sikap dan tingkah lakunya. Citra diri perempuan muncul
sebagai gambaran dari efek pikiran tentang perempuan, baik sebagai mahluk
individual maupun sosial. Untuk itu, kesejajaran gender antara penulis dan pembaca
merupakan manifestasi dasar untuk membantu mengkongkretkan pengalaman yang
dialami oleh penulis terhadap pembaca.
Untuk melihat lebih lanjut citra fisis perempuan yang digambarkan oleh
penulis -berupa bentuk tubuh, ciri-ciri, kemampuan dan prilaku keseharian
perempuan-, maka secara tersirat analisa ini dibagi ke dalam tiga fase kehidupan
perempuan, yang meliputi: fase kanak-kanak (chilhood), remaja (young women) dan

2
Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi, (Yogyakarta: Gadjah Mada Press, 1987), h. 79.
3
Penulis menggunakan konsep reading as a women yaitu memandang sastra dengan kesadaran
khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra dan
kehidupan kita. Hal ini dilakukan untuk memperjelas proses kongkretisasi yang akan dilakukan pada
bab ini.

86
dewasa (adult).4 Tiga fase ini sangat penting untuk menunjukkan gambaran
perempuan secara utuh. Secara fisik, ketika anak (perempuan) memasuki usia remaja,
ia akan menemukan beberapa perubahan fisik, mulai dari menstruasi, payudara yang
membesar, tumbuhnya bulu di daerah-daerah tertentu, dan pada beberapa perempuan
mengalami perkembangan hormonal yang ditandai dengan tumbuhnya jerawat di
beberapa anggota badan seperti muka dan punggung, serta akan mengalami
perubahan suara. Pada fase dewasa, perempuan akan bermetamorfosa menjadi istri
dan ibu rumah tangga. Dan yang paling menarik, ketiga fase kehidupan tersebut
dilalui perempuan dengan berbagai macam pengalaman ketubuhan.
1) Childhood Perspective; Sebuah Identifikasi Fisik
Aspek fisis perempuan dapat dipahami melalui citra-citra yang ada dalam
dirinya, meliputi kelima indera manusia yaitu: citra penglihatan (visual), pendengaran
(auditoris), gerakan (kinestetik), rabaan (taktil termal) dan penciuman (olfaktori).
Image yang hadir di tengah pembaca melalui citra penglihatan5 dapat ditemukan pada
awal penceritaan untuk mengungkapkan peristiwa perselingkuhan (adultery) Fatme.
• Tragedi Perselingkuhan
Zahra sebagai tokoh utama berfungsi sebagai informan yang menceritakan
kilas balik kehidupannya di masa kanak-kanak. Terutama, ketika ia menyaksikan
ibunya bersembunyi di sebuah ruangan dengan sangat ketakutan. Saat itu, seorang
yang berkepala gendut dan berwajah putih melongok di ambang pintu dan mengintip
ke dalam ruangan yang gelap di mana Fatme dan Zahra berada, namun laki-laki itu
yang ternyata adalah ayahnya ‘Ibrahim’ tak menyadari dan tak melihat mereka
berdua.6

4
Uraian pada bab ini hanya membagi fase kehidupan perempuan dalam tiga fase, karena
penceritaan berhenti pada tokoh perempuan di usia dewasa, sehingga bagi perempuan berusia lanjut
tidak menarik untuk diceritakan.
5
Citra penglihatan adalah semua gambaran angan yang dihasilkan oleh indera penglihatan.
6
Hanân asy-Syaikh, Hikâyah Zahra, (Beirut: Dâr al-Adab, 1984), cet. ke-2, h. 7- 9, 13, 15, dan
37.

87
Beberapa adegan perselingkuhan (adultery) antara Fatme dan kekasih
gelapnya ditampilkan dengan sangat kompleks, hal ini dimaksudkan untuk
membangun image awal mengenai citra buruk perempuan.7 Dalam perselingkuhan
tersebut, Zahra dapat menyaksikan laki-laki yang berkulit hitam itu menggenggam
tangan dan meletakkan kepalanya di pangkuan Fatme sembari bernyanyi dengan
matanya yang tertutup di bawah pohon kenari, dan bercumbu rayu di dalam bilik
jerami. Bahkan, ketika sedang beristirahat di sebuah hotel, Zahra menyaksikan Fatme
dan laki-laki itu berada di tempat tidur yang sama, sedang ingin berdiri dari seprai
dan laki-laki itu memalingkan wajah dan tubuhnya sambil memakai celananya. Image
ini memberikan nuansa yang negatif tanpa terkesan vulgar karena dibungkus dengan
imajinasi-imajinasi liar pembaca. Setting yang dibangun pun memiliki warna yang
berbeda, lebih tepatnya terkesan sedikit ”romantis”, sehingga membawa imajinasi
pembaca melayang pada estetika sastra yang bernilai tinggi. Penulis memilih nuansa
yang tenang seperti pantai dan rumah tua di pinggirannya, pepohonan, bilik jerami,
dan hotel di Damaskus.
Akan tetapi, semua gambaran indah tersebut menghadirkan konsep yang
berbeda dengan kenyataan. Pantai yang seyogyanya menjadi simbol keindahan dan
kenyamanan, serta menghadirkan suatu pemandangan yang indah, ternyata tidak
menyajikan ketenangan dan kenyamanan bagi Zahra. Rasa marah dan kecewa
terhadap ibunya berhasil disimpan rapat dalam hati dan pikirannya, karena rasa takut
terhadap ayahnya lebih besar menguasai dirinya.
• Simbolisiasi Tuhan Dalam Diri “Ayah”
Bagi Zahra, ayah merupakan simbol kekuatan dan kekuasaan di dalam keluarga.
Dalam pandangannya sebagai anak kecil, ayah disimbolkan sebagai tuhan8 yang

7
Sugihastuti Suharto, Kritik Sastra Feminis; Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002), h. 47.
8
Menurut Asma Barlas –sebagaimana dikutipnya dari Ricoeur-, ada cara lain untuk
merepresentasikan Tuhan sebagai ayah: sebagai gejala “kembalinya orang yang tertindas dalam
tingkatan naluri”. Penggambaran Tuhan bukan saja sebagai ayah tetapi juga sebagai suami, akan
memutuskan keterkaitan keayahan dengan tindakan/konsep menjadi ayah. Menurut Ricoeur, dengan
adanya percampuran aneh antara dua figur dalam kerangka keluarga ini, maka kerangka harfiah dari

88
mampu berbuat apa saja terhadap anggota keluarganya. Ayah berhak untuk dilayani,
dihormati, dan ditakuti, sehingga bagi Zahra perasaan yang selama ini dirasakan
terhadap ayahnya adalah perasaan takut yang tak dapat dibayangkannya. Baik ketika
ayahnya tidur, makan dan terlebih ketika ayahnya mengenakan setelan khaki yang
selama ini dikenakannya.9

‫ ﺍﳋﻮﻑ ﻣﻦ ﺻﺎﺣﺐ ﺍﻟﺒﺬﻟﺔ ﺍﻟﻜﺎﻛﻴﺔ ﻭﻣﻦ ﺗﺮﺍﻣﻪ‬... ‫ﺏ ﺍﻟﺘﺮﺍﻡ ﺑﺒﺬﻟﺘﻪ ﺍﻟﻜﺎﻛﻴﺔ ﻳﻨﻬﺎﻝ ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻪ‬
 ‫ﻭﺻﻮﺕ ﺭ‬
.‫ﻭﻣﻦ ﺟﺴﻤﻪ ﺍﳌﻤﺘﻠﺊ ﺃﺧﺎﻓﲎ‬
Prahara wacana ketuhanan yang melekat pada diri laki-laki merupakan sisa-
sisa peninggalan budaya patriarki tradisional. Dalam bukunya “Cara Quran
Membebaskan Perempuan”, Asma Barlas menunjukkan bahwa mitos-mitos patriarki
yang berkembang dalam wacana al-Qur’an bukanlah berasal dari agama Islam,
karena al-Quran secara simbolis tidak mengistimewakan laki-laki, kelaki-lakian, ayah
dan atau hak/kekuasaan ayah. Simbolisasi ayah dan suami (laki-laki) sebagai Tuhan
semata-mata merupakan buah pemikiran dan penafsiran manusian yang terbentuk
dari budaya patriarkis (dalam keluarga, sosial dan politik). Pada akhirnya, gagasan
ketuhanan ini menjadi persoalan sentral bagi kehidupan beragama dan berbudaya
karena pengetahuan agama tidak saja memiliki kekuatan untuk membentuk
pandangan mengenai Tuhan, tetapi juga tentang nilai dan hubungan moral, sosial, dan
seksual. Ketika pengetahuan agama digunakan untuk mendefinisikan atau
menjeniskelaminkan (membentuk sosok dan persenofikasi) Tuhan sebagai laki-laki,
maka pengetahuan itu juga mendukung pengistimewaan laki-laki, karena laki-laki

gambaran keduanya menjadi rusak dan simbolnya menjadi terbebaskan. Seorang ayah yang menjadi
suami tidak lagi merupakan leluhur, dia juga tidak lagi menjadi musuh bagi anak laki-lakinya; cinta,
perhatian, dan kasih sayang membawanya melampaui dominasi dan kekerasan. Paul Ricoeur,
Hermeneutics and the Human Sciences; Essays on Language, Action and Interpretation, (Cambridge:
Cambridge University Press, 1981), h. 487-490; Baca juga: Asma Barlas, Cara Quran Membebaskan
Perempuan, terj. R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), Cet. I, h. 182-183.
9
Hanân asy-Syaikh, Hikâyah Zahra, h. 17.

89
memperoleh kekuasaan dari “kenyataan bahwa sumber nilai tertinggi sering kali
dilukiskan dalam gambaran antropomorfis Tuhan sebagai ayah atau raja.10
Penggambaran maskulin tentang Tuhan muncul akibat kecenderungan untuk
meruntuhkan penanda (kata “Tuhan”) dengan petanda (Tuhan); yaitu
mencampuradukkan bahasa yang bernuansa jender dengan realitas Tuhan. Di
samping itu, kecenderungan untuk menggambarkan laki-laki sebagai pihak yang
berdaulat atau berkuasa atas perempuan lahir bukan saja karena penggambaran
bernuansa maskulin tentang Tuhan, tapi juga karena kekeliruan membaca pandangan
al-Quran tentang subjektivitas (kekhalifahan) manusia yang ditafsirkan sebagai
penegasan tentang superioritas laki-laki atas perempuan. Masih menurut Barlas,
pengalaman bangsa Arab yang bernuansa jender disinyalir memengaruhi cara
berpikir dan berpendapat, sehingga bangsa Arab terjebak dalam praktik anamnestik,
yakni upaya menggambarkan sesuatu yang tak bisa digambarkan yang
memungkinkan untuk berpikir dan berbicara secara berbeda daripada jika tidak
melakukannya.11
Pengagungannya terhadap Tuhan (ayahnya) berbuah pengorbanan yang harus
dibayarnya dengan tangisan dan kekecewaan yang mendalam terhadap ibunya,
khususnya ketika ia menyaksikan ibunya (Fatme) dan laki-laki berbibir penuh dan
berambul ikal tebal memainkan adegan cumbu rayu di depan matanya. Sedangkan
bagi Fatme, kehadiran Zahra pada setiap kali pertemuan-pertemuannya dengan laki-
laki tersebut merupakan sebuah perlindungan yang dapat membentengi dan

10
Sepanjang penelitiannya mengenai sakralisasi Tuhan pada diri laki-laki, Barlas melihat bahwa
wacana tersebut muncul sebagai keragaman teoretisi konsep nonjender tentang Tuhan. Sehingga
sebagian golongan menghidupkan kembali “sosok feminis” Tuhan dengan pemujaan terhadap tuhan-
tuhan perempuan zaman klasik sebagai tandingan bagi konstruksi maskulin tentang Tuhan. Asma
Barlas, Cara Quran Membebaskan Perempuan, h. 181-183.
11
Gagasan dan definisi yang disampaikan Barlas ini dikutipnya dari Dawne McCance dalam
bukunya Posts: Re-Adressing the Ethnical. Begitu juga menurut Gail Ramshaw, wacana ini muncul
akibat manusia pada abad ini terobsesi dengan seksisme, sedangkan manusia sendiri kesulitan untuk
untuk membayangkan wujud yang berada di luar seksisme. Asma Barlas, Cara Quran Membebaskan
Perempuan, h. 198 dan 201; lebih lengkap baca Dawne McCance, Posts: Re-Adressing the Ethnical,
(Albany, N.Y.: Suny Press, 1996) dan Gail Ramshaw, God Beyond Gender: Feminist Christian God-
Language, (Minneapolis, Minn: Fortress Press, 1995), h. 20.

90
menyembunyikan kesalahan-kesalahannya dari otorisasi sang Tuhan (baca: ayah dan
suaminya (Ibrahim)).
Gambaran perempuan yang mengalami kebingungan, rasa tertekan dan
ketakutan yang luar biasa juga tergambar pada citra peraba dan citra pendengaran.12
Citra tersebut terlihat dari sikap yang ditunjukkan Zahra dan ibunya saat bersembunyi
di belakang pintu. Dengan berdiri gemetar, Zahra bahkan seakan mampu merasakan
dan mendengar suara detakan jantung bercampur dengan denyutan tangan ibunya
yang kuat menekan mulutnya, saat suara langkah kaki dan suara berisik keras
terdengar semakin mendekat. Zahra merasa kedinginan dan ketakutan, rasa itu
menghilang setelah sosok dengan kepala besar gendut itu menghilang.13 Potret di atas
menggambarkan pola pemusatan dan dominasi laki-laki dalam budaya patriarkhi,
keluarga merupakan akar tumbuh dan berkembangnya budaya ini.
• Identifikasi Sosial: Maskulin dan Feminin
Selanjutnya, masyarakat dan budaya secara spontan mengklasifikasikan perempuan
dan laki-laki menjadi feminin dan maskulin. Kebaikan feminin didesakkan kepada
perempuan, ia diberi baju yang menyulitkannya untuk bergerak, seperti ketika Fatme
memaksa anak perempuannya (Zahra) untuk mengenakan celana wol berwarna biru
laut dengan atasan rajut berwarna hijau. Secara fisik, seorang anak akan mengikuti
prilaku orang dewasa yang dianggapnya sebagai perempuan yang sempurna, dan
perempuan yang paling dekat dengan dirinya adalah ibu. Ketika ia didandani dengan
pakaian yang serupa dengan ibunya, maka anak-anak perempuan tidak pernah merasa
keberatan. Sebaliknya ia akan menganggap dirinya sebagai perempuan dewasa yang

nantinya akan menjadi layaknya ibunya.14 ” ‫ ﻭﺷﻌﺮﻫﺎ‬,‫ﻑ‬‫ﺎ ﺍﻷﺯﺭﻕ ﺍﳌﻌﺮ‬‫ﻭ ﺗﻄﻞ ﺃﻣﻲ ﺑﻔﺴﺘﺎ‬

12
Citra peraba adalah gambaran angan yang dihasilkan oleh indera peraba, seperti kulit. Begitu
juga citra pendengaran merupakan gambaran angan yang dihasilkan oleh indera pendengaran (telinga)
13
Hanân asy-Syaikh, Hikâyah Zahra, h. 8.
14
Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, Terj. Oleh Muhdi Rahayu, (Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru, 2002), h. 95; untuk penjelasan lebih detail baca: Nancy Chodorow, The Reproduction of
Mothering: Psychoanalysis and the Sociology of Gender, (Berkeley CA: University of California,

91
.‫ﺍﳌﺮﻓﻮﻉ ﻋﻦ ﻋﻨﻘﻬﺎ ﲟﺸﻂ‬.15 Ketika Zahra diberikan baju yang sama dengan yang

digunakan ibunya, maka ia akan berimajinasi untuk menjadi perempuan dewasa,


perempuan yang memiliki kekuasaan dalam dunia matriarkhat. Menurut Chodorov,
konstruksi identitas gender perempuan saling terkait dengan pengalaman psikis dan
kultural ketika menjadi anak perempuan.16
Sebagai perempuan, Zahra diperlakukan layaknya boneka, rambutnya diikat
dan dihiasi dengan berbagai pernak-pernik sehingga ia harus berhati-hati untuk
menggunakannya dan menjaganya agar tetap pada posisi semula. Hal itu dilakukan
ibunya dengan menyelupkan sisir ke dalam gelas agar rambut yang dijalin menjadi
rapi. 17 Perempuan dituntut untuk menjadi menarik dan terlihat sempurna di hadapan
orang lain. Untuk itu, sedari kecil seorang anak perempuan diajarkan untuk
mempercantik diri, menjaga prilaku agar tidak terlihat binal dan nakal.
Klasifikasi sosial berlanjut ketika anak-anak telah beranjak besar. Perempuan
akan terbiasa bermain dengan boneka. Zahra sering diberi boneka karet berwarna
merah jambu oleh teman laki-laki ibunya, terlebih ketika ibu dan laki-lakinya itu
sedang bersama. Laki-laki itu akan membuat Zahra sibuk dengan bonekanya
sehingga ia tidak memperhatikan dan menarik perhatian ibunya. Sebagaimana yang
diungkapkan Beauvoir, anak-anak bergerak pada tingkatan bermain dan bermimpi.
Bermain seolah menjadi seseorang dan mengerjakan atau melakukan sesuatu,
menjadi sesuatu merupakan upaya pencapaian imajiner. Bagi seorang anak, ibu
tampak baginya mempunyai kekuasaan dibanding ayahnya, yang dibayangkan
seorang anak adalah hidup di dunia matriarkhat. Untuk itu, anak perempuan akan
sering meniru dan mengidentifikasikan dirinya dengan ibunya. Dengan boneka yang
diberikan padanya saat bermain, seorang anak perempuan akan berimajinasi menjadi

1978) dan M. Daly, Gyn/Ecology; The Metaethics of Radikal Feminism, (Boston, Mass: Beacon
Press, 1978).
15
Hanân asy-Syaikh, Hikâyah Zahra, h. 11.
16
Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, h. 95.
17
Hanân asy-Syaikh, Hikâyah Zahra, h.7.

92
ibu yang memiliki kekuasaan untuk mengatur segala sesuatu, memarahi, dan
menghukum. Perlakuan tersebut ia terapkan pada boneka yang bukan saja
dianggapnya sebagai teman bermain tetapi juga anak baginya.18
Pendidikan kepribadian yang diterima anak perempuan lebih ketat dibanding
anak laki-laki. Selain perhatian terhadap kepribadiannya, perempuan juga diajarkan
untuk tidak melakukan kegiatan yang kasar, tidak boleh berkelahi dan harus terus
menjadi anggun. Fisik perempuan dibentuk untuk menjadi sosok idola dan pelayan
sehingga karakter perempuan terbentuk menjadi sosok yang lemah.19 Ajaran-ajaran
tersebut tidak saja diajarkan oleh kedua orang tua, akan tetapi mitos-mitos yang
berkembang sejauh ini memberikan jejak-jejak pengungkungan bagi kebebasan
perempuan untuk bertingkah laku.
• Mitos-Mitos Ketubuhan
Dalam kehidupan perempuan, agama dan budaya menampilkan berbagai mitos dan
stigma terhadap tubuh dan seksualitas perempuan. Mitos mengenai pohon ara/arbei
membawa kenangan lama mengenai mitos pohon khuldi dan kisah Adam-Hawa di
surga (asal-muasal dosa pada tradisi Arab).20 Di mana, perempuan disimbolkan
sebagai mahluk penggoda dan pusat seksualitas.21 Mitos ini ditampilkan penulis
untuk membangkitkan ingatan pembaca terhadap berbagai stereotipe dan stigma

18
Simone de Beauvoir, Second Sex, Terj. Toni B, dkk, (Ttp: Pustaka Promethea, 2003), h. 24.
19
Simone de Beauvoir, Second Sex, Terj. Toni B, dkk, h. 23.
20
Barbara Freyer Stowasser, Reinterpretasi Gender: Wanita dalam Al-Qur’an, Hadis, dan Tafsir,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h. 63-94.
21
Walter B Denny memaknai mitos Adam dan Hawa sebagai contoh perempuan yang
bertanggung jawab atas pengusiran Adam dan Hawa dari surga. Mitos ini mengandung pencitraan
yang negatif terhadap perempuan untuk menggambarkan moral perempuan. Mitos ini juga telah
diterapkan dalam berbagai macam seni, seperti seni pahat dan ukir dalam berbagai budaya, seperti di
Turki (Istanbul), lihat Yvonne Yazbeck Haddad dan Ellison Banks Findly, Women, Religion, and
Social Change, (New York: State University of New York Press, 1985), h160-162; Baca juga: Amina
Wadud, Qur’an Menurut Perempuan; Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan, terj.
Abdullah Ali, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), h.49-53, menurut Wadud, pohon terlarang itu
merupakan sebuah perlambangan ujian bagi manusia, karena surga tidak dimaksudkan untuk tempat
tinggal spesies manusia. Sehingga peristiwa di surga tersebut merupakan bagian dari skenario Tuhan
yang menginginkan manusia menjadi khalifah di muka bumi. Hal senada juga disampaikan Husein
Syaikh Usman, lihat: Husein Syaikh Usman, Syaqâiq al-Rijâl, (Mekah: Râbithah al-‘Âlam al-Islâm,
1417 H), h. 51.

93
negatif yang kadung melekat pada tubuh perempuan. “ ‫ﻛﺎﻥ ﻳﺴﺄﻟﲏ ﻋﻦ ﺍﻟﺬﻯ ﻗﺎﻝ ﱃ ﺇﻥ‬

‫ﺮ ﺍﻟﻌﻴﻮﻥ‬ ‫”ﺍﻟﺘﲔ ﳛﻤ‬.22 Selain itu, ditampilkan mitos mengenai seekor kelelawar yang

setiap malam menyerang pohon arbei dan membercaki dinding diseberangnya dengan
bercak berwarna merah tua dan biru tua. Mitos ini berkembang di beberapa agama,
seperti Islam23 dan Kristen yang mengisahkan cerita tersebut sebagai sebuah simbol
terlampiaskannya potensi seksual Adam dan Hawa.24 Senada dengan hal tersebut, al-
Akkad mengungkapkan bahwa kisah pohon terlarang itu menunjukkan cara-cara laki-
laki dan perempuan dalam mengadakan hubungan seksual. Kisah pohon tersebut
menguak karakteristik dan watak manusia yang mempunyai dua sisi kepribadian,
yaitu menghendaki dan menuntut, memperhatikan dan merangsang, kemauan dan
dorongan. Perbedaan watak dan sifat tersebutlah yang pada akhirnya membuat laki-
laki dan perempuan berbeda.25
Pendapat yang berbeda diuangkapkan Nawal dalam memahami mitos
tersebut. Menurutnya, mitos buah khuldi merupakan salah satu kisah yang termaktub
dalam ayat-ayat perjanjian lama. Tuhan memuliakan pikiran manusia dalam kitab-
kitab sucinya dan membuatkan baginya simbol pemikiran dan kecerdasan, sementara
perempuan adalah personifikasi tubuh, tubuh tanpa kepala, tubuh yang kepalanya
adalah laki-laki. Mitos tersebut menunjukkan adanya pengingkaran Hawa sebagai
mahluk yang memiliki kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan Adam. Dalam
kisah pohon terlarang, Hawa menunjukkan kecerdasan yang tinggi, Hawa mampu
memahami apa yang gagal diraih Adam dan menyadari bahwa pohon terlarang
memberikan buah-buahan yang lebih enak dan menggembirakan; yang berisikan

22
Hanân asy-Syaikh, Hikâyah Zahra, h.11.
23
Setidaknya, kisah mengenai pohon terlarang tersebut disebutkan sebanyak tiga kali dalam al-
Qur’an yaitu pada surat al-Baqarah: 35-36, Al-A’raf: 19, 20, 22, 23, dan Thaha: 120-121. Kisah ini
mempunyai kemiripan cerita dengan mitos Isis dan Osiris.
24
Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (Ed.), Teori-Teori Kebudayaan, h. 345.
25
′Abbâs Mahmûd Al-Aqqâd, Al-Mar’ah fî al-Qur’an, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 1969),
h.27-34.

94
pengetahuan. Dengan pengetahuan terdapat kemampuan untuk membedakan antara
yang baik dan yang buruk. Hawa cukup sensitif dan kuat untuk memahami bahwa
peringatan Tuhan agar tidak mendekati buah terlarang menyimpan sebuah tujuan
yang tersembunyi, sebuah usaha untuk menyembunyikan kebenaran dan ketakutan
sehingga begitu tangan mereka terjulur menuju ranting dan gigi mereka mengunyah
daging buah yang wangi, pikiran mereka akan sanggup membedakan kebaikan dan
kejahatan. Sejak itu, mereka akan naik ke tingkat pencipta mereka.26
Selanjutnya mengenai ”kelelawar dan merah” melambangkan pada
menstruation taboo27 yang terjadi pada Hawa. Menurut Nasaruddin Umar, mitos
tersebut menganggap bahwa menstruasi dan semua yang dialami oleh perempuan
merupakan kutukan,28 sesuatu yang berbahaya dan memalukan sehingga perlu
dihindari oleh anak-anak perempuan. Padahal mitos ini diduga muncul dan

26
Nawal el Saadawi, Perempuan Dalam Budaya Patriarkhi, terj. Zulhilmiyasri, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001), h. 206.
27
Menurut Douglas, masyarakat patriarkhis mendeskripsikan darah menstruasi sebagai sumber
polusi dan sebagai janji konsepsi, sakral sekaligus terkutuk. Tabu mengenai pengasingan dan kontak,
terutama hubungan seksual, memfokuskan pada kekhawatiran akan potensi terkontaminasi dari
perempuan. Mitos ini merupakan basis dari tabu menstruasi sekarang ini, terutama mereka yang
menganut Yahudi ortodoks. Lihat Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, Terj. Muhdi Rahayu,
(Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), h. 281.
28
Menurut Nasaruddin, akibat pelanggaran Hawa/Eva di surga maka kaum perempuan secara
keseluruhan akan menanggung 10 beban penderitaan yakni: 1) Perempuan akan mengalami siklus
menstruasi, yang sebelumnya tidak pernah dialami Hawa. 2) Perempuan akan mengalami rasa sakit
pada saat melakukan coitus yang pertama. 3) Perempuan akan mengalami penderitaan dalam
mengasuh dan memelihara anak-anaknya. Anak-anak membutuhkan perawatan, pakaian, kebersihan,
dan pengasuhan sampai dewasa. Ibu merasa risih manakala pertumbuhan anak-anaknya tidak seperti
yang diharapkan. 4) Perempuan akan merasa malu terhadap tubuhnya sendiri. 5) Perempuan akan
merasa tidak leluasa bergerak ketika kandunganya berumur tua. 6) Perempuan akan merasa sakit pada
waktu melahirkan. 7) Perempuan tidak boleh mengawini lebih dari satu laki-laki. 8) Perempuan masih
akan merasakan keinginan hubungan seks lebih lama sementara suaminya sudah tidak kuat lagi. 9)
Perempuan sangat berhasrat melakukan keinginan berhubungan seks terhadap suaminya, tetapi amat
berat menyampaikannya dan 10) Perempuan lebih suka tinggal di rumah. Nasaruddin Umar, Argumen
Kesetaraan Jender, (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 254 dan Teologi Jender: Antara Mitos dan Teks
Kitab Suci, (Jakarta Timur: Pustaka Cicero, 2003), h. 161-162; dan lihat juga analisa yang dilakukan
Semia Harbawi, Narrativising Betrayal in Hanan al-Shaykh’s The Story of Zahra, http://www. arabes
quespress.org/journal/ books_reviews/0138807.html.

95
dikembangkan dari cerita-cerita israiliyyat.29 Mitos-mitos yang berkembang di
masyarakat patriarkhi cenderung menimbulkan pola pemahaman dan identifikasi diri
pada perempuan, sehingga perempuan terkungkung pada pemahaman yang represif.
Ketakberdayaan perempuan dalam memaknai konvensi kultural memojokkan pada
posisi yang sulit untuk membebaskan diri dari perlakuan diskriminatif baik dari
keluarga, masyarakat dan budaya.
2) Young Women; Membangun Kesadaran Diri
Memasuki fase remaja, Zahra dikejutkan dengan metamorfosis (perubahan
fisik yang terjadi) pada tubuhnya, terlebih perubahan-perubahan hormonal yang tanpa
disadari menarik perhatiannya. Metamorfosis ini tidak selalu dipahami oleh anak-
anak, bahwa sesuatu tengah berubah perlahan-lahan dalam hubungannya dengan
tubuhnya sendiri. Ketika tubuh anak tumbuh menjadi tubuh perempuan, seorang
gadis akan menghadapinya dengan kecemasan dan dengan perasaan tidak nyaman.
Seiring dengan tumbuhnya buah dada dan bulu di beberapa bagian tubuh, sebuah
sentimen lahir, kadang kala menjadi kebanggaan walau itu sesungguhnya
menimbulkan rasa malu. Gadis tidak akan membiarkan dirinya telanjang bahkan di
depan saudara perempuan maupun ibunya sendiri, ia memeriksa tubuhnya sendiri
dengan perasaan campur aduk antara senang dan takut. Seorang gadis akan terusik
karena merasa dirinya mempunyai sebuah titik yang mudah diserang. 30
Pada masa ini, anak perempuan seusia Zahra mengalami masa pubertas yang
mengubah tubuhnya, organ-organ feminin mulai terasa mengganggu aktivitasnya.
Ketidakseimbangan hormon-hormon menyebabkan ketidakstabilan saraf dan
vasomotor. Menstruasi terasa sangat menyakitkannya, di mana ia mengalami pusing,
kelelahan yang teramat sangat, rasa nyeri di perut, membuat segala aktivitas tak
mungkin dilakukan. Lalu, tumbuh jerawat-jerawat yang mengganggu penampilannya.
Jerawat telah menimbulkan kebiasaan baru bagi Zahra, dengan agresif ia mengopel
29
Cerita israiliyyat yaitu cerita-cerita yang berkembang dalam tradisi Yahudi dan Nasrani, yang
kemudian diintrodusir ke dalam kitab-kitab tafsir dan hadis, lihat Muhammad Husain al-Zahabi, al-
Israiliyyat fi al-Tafsîr wa al-Hadîst, (Damsyiq: Laknah an-Nasyr fi Dâr al-Iman, 1985), h. 19.
30
Simone de Beauvoir, Second Sex; Kehidupan Perempuan, h. 60.

96
dan memencet jerawatnya sebelum tidur dan pada pagi harinya ia akan terbiasa untuk
pergi ke cermin dan melihat akibat dari serangan-serangan tangannya terhadap
mukanya yang dipenuhi jerawat. Prilaku ini sangat dibenci oleh ayahnya karena itu
akan semakin merusak wajah Zahra dan membuat para lelaki menjauhinya. Nilai dan
kontrol untuk menjaga penampilan untuk menarik perhatian kaum laki-laki ini
ditanamkan orang tuanya sedari kecil.31
Prilaku yang ditunjukkan Zahra tersebut merupakan upaya untuk menjadi diri sendiri
(self being), sehingga ia tidak memperdulikan kecaman-kecaman yang datang dari
berbagai arah. Bahkan ketika ayahnya memukulinya saat dipergoki sedang

memenceti jerawat-jerawat. ” ‫ﻛﻠﻤﺎ‬ ‫ﻦ ﺟﻨﻮﻧﻪ‬ ‫ ﻭﻛﺎﻥ ﺃﰉ ﳚ‬.‫ﻻﺯﻣﺘﲏ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻌﺎﺩﺓ ﺍﻟﺴﻴﺌﺔ ﺯﻣﻨﺎ ﻃﻮﻳﻼ‬

‫ ﻓﺈﻣﺎ ﺃﻥ ﻳﺼﻔﻌﲏ ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻬﻲ ﺃﻭ ﻳﺼﻴﺢ ﺑﺄﻣﻲ ﰲ ﻫﺰﺀ‬,‫ﺿﺒﻄﲏ ﻭﺍﻗﻔﺔ ﺃﻣﺎﻡ ﺍﳌﺮﺁﺓ ﺃﻓﺘﺢ ﺍﻟﺒﺜﻮﺭ ﺍﻟﻨﺎﺋﻤﺔ‬

‫”ﺷﺪﻳﺪ‬.32 Berbagai usaha akan dilakukan Zahra untuk menjaga penampilan dan

menjadi menarik, salah satunya dengan memusnahkan jerawat-jerawat yang tersebar


di seluruh wajahnya, bahkan ia akan disibukkan menghubungi majalah-majalah
perempuan untuk berkonsultasi dengan pakar kesehatan guna meminta solusi untuk
mengobatinya. Pemujaan terhadap kecantikan ini merupakan cermin budaya
patriarkhi yang menawarkan pola penaklukan maskulin terhadap feminin, feminin
dinilai dari kesempurnaan dan keindahan penampilan fisik. Menurut Bartky, ketika

31
Masyarakat Arab menganggap tubuh perempuan sebagai onggokan daging yang ditutupi oleh
lapisan kulit yang membutuhkan perawatan tetap dengan berbagai macam krim seperti halnya bubur
yang harus diwarnai dengan warna yang cocok. Tubuh perempuan adalah milik masyarakat, karena
masyarakat dapat melakukan dan menilai tubuh perempuan menurut ukuran yang berlaku pada saat itu.
Hal inilah yang membuat kaum kapitalis mengobjekkan perempuan dalam komoditi pasar. Perempuan
Modern di Bagdad, Kairo atau Tunis tidaklah memakai pakaian yang ia inginkan, melainkan memakai
apa yang dianggap cocok baginya oleh raja busana kapitalis di Paris atau New York. Dalam seni dan
Sastra Arab, perempuan telah dan terus memainkan peran penting dalam menegaskan sikap dan
konsep-konsep seperti yang berkenaan dengan kecantikan perempuan. Alunan lagu-lagu yang tidak
ada habisnya, puisi-puisi dan novel-novel yang mendendangkan puji-pujian kepada gadis-gadis
berambut panjang, bulu mata lentik, bibir dan payudara yang merangsang. Hal ini karena kecantikan
digambarkan dalam pengertian yang parsial dan menyimpang. Nawal el Saadawi, Perempuan dalam
Budaya Patriarkhi, h.144 & 152.
32
Hanân asy-Syaikh, Hikâyah Zahra, h. 27.

97
para perempuan terobsesi dan mengikuti pola pemujaan terhadap kecantikan tersebut
maka ia ikut menciptakan objek-diri semu, yang menyerahkan diri pada objektivikasi
dan pengabdian terhadap laki-laki.33
Perbedaan jenis kelamin menyebabkan terjadinya perbedaan perlakuan antara
laki-laki dan perempuan yang telah dialami sejak lahir. Biasanya, perlakuan tersebut
diperkuat kebudayaan dan adat istiadat yang ada. Pada dunia pendidikan dan
pekerjaan, remaja perempuan tidak diberi kebebasan untuk mengembangkan potensi
diri, sedangkan laki-laki dituntut untuk berpendidikan tinggi agar dapat bekerja pada
posisi-posisi yang strategis. Perbedaan peran tersebut menyebabkan dunia perempuan
hanya terbatas pada dunia keluarga dan rumah tangga (domestic sphare), sehingga
perempuan dianggap tidak mampu mengembangkan diri sepanjang hidupnya.
Sementara laki-laki dapat mengembangkan diri secara optimal, karena laki-laki
berkecimpung dalam ranah publik (public sphare) yang menuntut pengembangan diri
dan interaksi sosial yang lebih luas.34
Perbedaan fisik antara laki-laki dan perempuan sering dijadikan landasan
untuk menentukan yang pantas bagi masing-masing pihak. Laki-laki diidentikkan
dengan jurusan teknik yang lebih rasional, jantan, maskulin dan intelektual.
Sedangkan perempuan dengan kelemahan fisiknya dinilai tidak mampu dan cukup
dengan menekuni bidang-bidang yang feminin dan bersifat administratif, seperti
perawat, sekretaris, guru, accountant dan juru ketik. Menurut Douvan & Adelson
yang dikutip oleh Zahrotun bahwa aktifnya laki-laki dalam upaya mencapai
kemandirian tersebut, karena masyarakat cenderung lebih menuntut adanya tingkah
laku mandiri pada laki-laki daripada perempuan. Masyarakat cenderung tidak dapat
menerima apabila seorang laki-laki menunjukkan tingkah laku yang tergantung
karena dianggap tidak pantas, sedang pada perempuan dapat diterima dan

33
Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, h. 35; lebih lengkap lihat S. Bartky, ‘Narcissism
Femininity and Alienation’, Social Theory and Practice, Vol. 8, N0. 2, h. 137.
34
A. McRobbie dan M. Nava, Gender dan Generation, (London: Mcmillan, 1984); Maggie
Humm, Ensiklopedia Feminisme, h.523.

98
dimaklumi.35
Ibrahim, sebagai kepala keluarga mempunyai mimpi untuk dapat
menyekolahkan anak laki-laki satu-satunya (Ahmad) ke Amerika untuk belajar teknik
listrik, sehingga dengan usaha keras ia mengumpulkan uang untuk mewujudkan
mimpinya itu. Sebaliknya, Ia tak pernah berharap banyak kepada anak perempuannya
Zahra untuk menuntut ilmu lebih tinggi dari sekolah menengah. Sikap yang
ditunjukkan Ibrahim ini merupakan marginalitas terhadap perempuan, memojokkan
perempuan pada fungsi domestiknya. Anak laki-laki dituntut untuk berprestasi dan
diberi kesempatan untuk menunjukkan potensi dan kemampuan diri. Sedangkan,
perempuan tumbuh sebagai sosok yang rendah diri karena merasa tidak memiliki
kemampuan yang didukung oleh orang tua. Korelasi seimbang yang terjalin antara
penulis, pembaca dan tokoh perempuan dalam novel ini melahirkan rasa empati
terhadap perlakuan yang diterima oleh Zahra sebagai perempuan yang tertindas.
Zahra merupakan pelajar yang rajin, dengan potensi diri yang dimilikinya bahkan ia
mampu untuk mendapatkan perlakuan yang sama dan seimbang dengan kakak laki-
lakinya ‘Ahmad’ yang bahkan hampir tidak bisa membaca dan menulis. Stereotipe
yang melekat pada tubuh perempuan bukanlah alasan untuk memarjinalkan
perempuan dalam ranah domestik. Marjinalisasi dan diskriminasi yang diterima
perempuan dapat mengikis kemampuan dan membunuh karakternya sebagai mahluk
yang potensial. Menurut Middelbrook yang dikutip Zahrotun Nihayah, faktor-faktor
yang mempengaruhi kepercayaan diri seseorang adalah pola asuh, perbedaan
perlakuan jenis kelamin, pendidikan dan penampilan fisik.36 Bentuk
ketidakberdayaan Zahra hanya terungkap dalam komunikasi internal antara pikiran

35
Pandangan yang melihat laki-laki lebih tinggi dalam berbagai kemampuan dibandingkan
perempuan berakibat pada pembentukan konsep diri dan kemandirian. Perempuan dipandang lebih
memiliki konsep diri yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Laki-laki juga dipandang lebih
mandiri atau mampu dibandingkan perempuan, sedangkan perempuan lebih tergantung pada
lingkungan. Zahrotun Nihayah, Psikologi dan Perempuan dalam Potret Perempuan dalam Teori dan
Realitas: Meretas Paradigma Kesetaraan, (Jakarta: Pusat Studi Wanita, 2007), h. 53.
36
Zahrotun Nihayah, Psikologi dan Perempuan dalam Potret Perempuan dalam Teori dan
Realitas: Meretas Paradigma Kesetaraan, h. 53.

99
‫”‪dan dirinya saja‬‬ ‫ﳌﺎﺫﺍ ﻣﻬﻨﺪﺱ ﻛﻬﺮﺑﺎﺉ؟ ﻻ ﺃﻋﺮﻑ‪ ,‬ﻭﺃﲪﺪ ﻳﻜﺎﺩ ﻻ ﻳﻘﺮﺃ ﻭﻻ ﻳﻜﺘﺐ ﺑﻞ ﻛﺎﻥ ﻳﻄﺮﺩ‬

‫‪ .”37‬ﻣﻦ ﺍﳌﺪﺍﺭﺱ‬

‫‪37‬‬
‫‪Hanân asy-Syaikh, Hikâyah Zahra, h. 28.‬‬

‫‪100‬‬
3) Adult; Transisi Kebebasan pada Keterkungkungan
Perempuan dewasa38 dicitrakan sebagai istri dan ibu rumah tangga dari suami
dan anak-anaknya. Layaknya Zahra, pada usianya yang telah menginjak dewasa maka
ia dianggap telah memasuki usia yang matang dan dituntut untuk menikah , karena
pernikahan memiliki prestise yang tinggi di mata masyarakat Lebanon. Menurut de
Beauvoir pernikahan merupakan takdir tradisional yang diberikan kepada perempuan
oleh masyarakat.39 Secara tidak langsung, hal ini mengesahkan konsep female bodies,
di mana perempuan yang cantik dan menariklah yang akan mendapatkan pendamping
hidup, jika penampilan perempuan tersebut tidak menarik maka ia akan kehilangan
daya tawarnya sebagai seorang perempuan dewasa.
Bagi Masyarakat Lebanon, seperti keluarga Majid, kesempurnaan diukur dari
kesempurnaan fisik, di antaranya adalah wajah yang mulus dan kulit yang putih
bersih bagaikan porselen cina. Maka masyarakat Lebanon sangat menjauhi
perempuan Afrika karena berkulit hitam dengan gigi yang putih. Orang tua Majid
selalu memperingatkannya agar jangan mendekati perempuan-perempuan Afrika,
karena mereka akan membawa wabah dan bencana. Wabah dipahami sebagai
pembawa garis keturunan yang berbibir tebal, berambut barbar dan berkulit hitam.
Mempunyai anak yang berkulit hitam akan menurunkan prestise, karena anak yang
berkulit hitam akan menjadi bulan-bulanan teman-teman sebayanya, seperti yang
terjadi pada tetangganya di Beirut yaitu Maha, anak perempuan Derwish. Maha
adalah anak dari perempuan Afrika, anak-anak seusianya akan mengolok-olok dan
menertawainya “si hitam…si hitam dengan gigi putih”, ia dianggap tak memiliki
masa depan karena tak ada satu laki-laki pun yang mau menikahinya.
Kecantikan identik dengan wajah putih dan mulus. Bagi Zahra, jerawat

38
Dewasa adalah individu-individu yang telah memiliki kekuatan tubuh secara maksimal dan siap
bereproduksi dan telah dapat diharapkan memiliki kesiapan kognitif, afektif, dan psikomotor, serta
dapat diharapkan memainkan peranannya bersama dengan individu-individu lain dalam masyarakat.
Ciri-ciri yang menonjol dalam masa dewasa adalah melonjaknya persoalan hidup yang dihadapi serta
terdapatnya ketegangan emosi, pada masa ini juga seseorang akan memantapkan letak kedudukan.
Baca: Andi Mappiare, Psikologi Orang Dewasa, (Surabaya: Usaha Nasional, 1983), h. 16-20
39
Simone de Beauvoir, Second Sex: Kehidupan Perempuan, h. 225.

101
merupakan simbol kecacatan dan ketidaksempurnaan bagi perempuan. Untuk
menghindari mitos tersebut, orang tuanya selalu menyarankan agar menghindari
berbagai makanan dan minuman yang mengancam kecantikan dan kesehatan tubuh,
seperti permen, acar dan cabai.40 Dengan kecacatan yang dimilikinya, Zahra tidak
memiliki pilihan dan keberanian untuk menjalin hubungan dengan laki-laki manapun.
Sehingga ajakan Malik untuk menjalin hubungan dengannya pun diterima, walaupun
ia mengetahui bahwa Malik telah memiliki istri dan anak. Selain itu, Malik tidak
pernah mempermasalahkan jerawat-jerawat yang ada di tubuhnya, bahkan kecacatan
itu membuatnya bergairah untuk berbaring di atas tubuh Zahra dan menghujam
keperawanannya.
Hubungan terlarang (adultery) yang selama ini dijalankan Zahra bersama
Malik bukanlah hubungan cinta, sekilas seperti jalinan tak bertuan, yang memuja
kecantikan tubuh dibandingkan dengan kecantikan jiwa (inner beauty) . Sehingga
yang tersisa adalah pemenuhan hasrat birahi41 atas ketakberdayaan dan kelemahan
perempuan. De Beauvoir mengungkapkan bahwa kepasifan perempuan tidak akan
mempengaruhi peranan alamiahnya, dalam arti laki-laki tidak akan ambil pusing
apakah perempuan yang ditidurinya benar-benar menginginkan persetubuhan tersebut
atau sekedar menyerahkan dirinya untuk disetubuhi. Bahkan (kasarnya),
persetubuhan (bagi laki-laki) bisa dilakukan pada mayat perempuan. Pembuahan bisa
terjadi tanpa adanya hasrat dan kemauan laki-laki dan kepuasan laki-laki merupakan

40
Di era abad 19, pemujaan terhadap kecantikan sangat membabi buta, berbagai organ reproduksi
dianggap sebagai penyakit dan hal ini mengancam kecantikan perempuan. Menstruasi diperlakukan
dengan perawatan yang keras, diberi obat-obatan yang pengaruhnya kuat, dimandikan dengan bersih
dari sisa-sisa darah. Pengaturan terhadap menstruasi diperlakukan sangat ketat seperti halnya
perempuan memperlakukan lemak pada tubuh-tubuh mereka saat ini. Hal ini karena tahapan
menstruasi pada perempuan merupakan masa penambahan berat badan bagi remaja. Begitu juga pada
kehamilan, mempertahankan fungsi reproduksi sama halnya mempertahankan kecantikan, untuk itu,
perempuan memilih untuk melakukan berbagai operasi demi mempertahankan bentuk tubuh mereka.
Dokter-dokter kecantikan laku di berbagai pasaran, berikut dengan produk-produknya seperti krim
pemutih, penghalus, anti aging, pil langsing, dll. Naomi Wolf, Mitos Kecantikan; Kala Kecantikan
Menindas Perempuan, Terj. Alia Swastika, (Yogyakarta: Niagara, 2004), h. 436-445.
41
Dalam istilah feminis, hasrat birahi (desire) adalah sebuah kebutuhan mendasar yang konstruksi
sosialnya disebut seksualitas yang erat kaitannya dengan nafsu erotis (erotic passion). Maggie Humm,
Ensiklopedia Feminisme, h. 101 dan 135.

102
tujuan akhir yang alami.42
Seksualitas perempuan hanya dipandang sebagai objek pemuas nafsu laki-laki yang
dibungkus dengan cinta yang semu.43 Kondisi ini perlu dipandang secara objektif,
mengingat perempuan yang “cacat secara kultural” hidup dalam komunitas pemuja
kecantikan akan merasa tersanjung dan terbuai oleh tipu daya dan rayuan yang
menjanjikan suatu kebahagiaan. Dalam hati kecilnya, Zahra menyadari akan
kondisinya yang tidak menarik, dengan jerawat yang memenuhi wajahnya dan
dengan segala kekurangan yang dimilikinya. Untuk merasionalisasikan perbuatannya

itu, ia menganggapnya sebagai sebuah kewajaran ” ‫ﻣﻦ ﻋﻨﺪﻩ ﻭﺟﻪ ﻛﻮﺟﻬﻲ ﻭﻗﺎﻣﺔ ﻛﻘﺎﻣﱵ‬

‫ﺮﺭ ﻟﻨﻔﺴﻲ‬‫ ﻫﻜﺬﺍ ﻛﻨﺖ ﺃﺑ‬.‫”ﺗﻜﻮﻥ ﺳﻬﻠﺔ ﺍﻟﺘﺼﺪﻳﻖ‬.44


Hubungan cinta yang terjadi seperti ini tak lebih dari sekedar untuk
kesenangan, tidak berbeda dengan apa yang dilukiskan dalam symposium.45 Yaitu
cinta yang berlandaskan pada hasrat erotis (erotic passion) untuk bersenang-senang,
di mana Malik membunuh karakter dan kepribadian Zahra dengan cara
menyanjungnya untuk kemudian merampas saripati darinya dan kemudian

42
Perhatikan juga maraknya korban-korban perkosaan yang disampaikan pada berita-berita
kriminal di media massa, hal ini menunjukkan bahwa hipotesis Beauvoir mendekati kebenaran. Saya
sendiri belum pernah mendengar informasi mengenai pemerkosaan yang dilakukan perempuan
terhadap laki-laki, karena perempuan tidak melakukan hubungan seksual kecuali dengan orang yang
diinginkannya. Simone de Beauvoir, Second Sex, h. 149.
43
Dalam kisah ”Seribu Satu Malam”, perempuan dicitrakan dalam dua hal, yang pertama,
perempuan dianggap sebagai malaikat yang suci, yaitu seorang gadis yang mengorbankan dirinya
untuk melahirkan anak laki-laki, kedua, sebagai setan yang melakukan hubungan seksual tanpa
melahirkan anak laki-laki. Dalam hal ini, perempuan dicitrakan sebagai pemuas hasrat seksual laki-
laki, perempuan dan laki-laki Arab dianggap sebagai mahluk yang memiliki daya seksual yang tinggi.
Sehingga perempuan merupakan objek pelampiasan birahi kaum laki-laki. Nawal El Sa’dawi dan
Hibah Rauf Izzat, Perempuan, Agama dan Moralitas, Terj. Ibnu Rusydi, (Jakarta: Erlangga, 2002), h.
17.
44
Hanân asy-Syaikh, Hikâyah Zahra, h. 33.
45
Symposium adalah kumpulan lukisan yang terdapat dalam museum yang dijadikan sebagai
peninggalan sejarah. Symposium ini menjelakan bahwa persoalan cinta paling dekat dimulai dari
tingkat hasrat erotis dan bersenang-senang lalu menuju tingkat kesadaran pengetahuan, definisi cinta
tersebut dirumuskan oleh Diotima, seorang pendeta perempuan dan dilegitimasi oleh Sokrates.
Georges Duby and Michelle Perrot, A History of Women: From Encient Goddesses to Crystian Saint,
(London: The Belknap Press Cambridge, 2000), cet. 6, h. 216.

103
meludahkannya setelah menikmati segalanya.
Dalam hubungan adultery-nya, Zahra menjadi perempuan yang frigid -yang
tidak pernah merasa kenikmatan dan kebahagiaan saat berhubungan seksual-,
melainkan ketertekanan dan ketakutan yang luar biasa karena ia merupakan anak dari

seorang ayah yang berpendirian keras “ ‫ ﻭﺃﺗﺄﻛﺪ‬,‫ﻟﻜﻦ ﻣﺎ ﺃﻥ ﺗﺪﻧﻮ ﺻﻮﺭﺓ ﻭﺍﻟﺪﻱ ﺣﱵ ﺃﺗﻜﻬﺮﺏ‬

.‫ﻣﻦ ﺃﻧﻪ ﺳﻴﺬﲝﲏ ﻟﻮ ﻋﻠﻢ ﺑﺄﻣﺮﻱ‬.46 Sikap dan perasaan tersebut muncul pada setiap gadis
yang tumbuh dalam budaya patriarchi, seperti Lebanon. Konsep keperawanan
dianggap sebagai nilai yang sangat berharga sehingga bila hilang sebelum
perkawinan resmi menjadi suatu bencana. Selain itu, sikap prilaku seks di luar nikah
(adultery) masih dianggap tabu bagi laki-laki dan perempuan yang belum menikah,
sehingga ketika seseorang melanggar aturan tersebut maka sepanjang hidupnya akan
dihantui oleh perasaan bersalah dan berdosa baik pada orang tua maupun agama dan
masyarakat.47
Berbeda halnya dengan prilaku seks bebas yang dijalankan laki-laki, tidak
membekas dan tidak meninggalkan sisa-sisa pengancaman yang menciptakan image
yang buruk baginya, karena hal tersebut dianggap lumrah terjadi. Bagi Majid,
mendatangi seorang pelacur untuk menuntaskan hasrat seksualnya di salah satu
rumah bordil adalah biasa. Di Beirut, ia akan rutin mendatangi perempuan yang
berusia lebih dari empat puluh tahun, untuk menuntaskan semua sensasi yang terpusat
di bagian bawah perutnya.
Bahkan jika sedang sendiri di kamarnya, Majid terbiasa menutup pintu dan
menyandarkan sebuah kursi di belakangnya sambil membuka buku Jane Eyre dalam
edisi bahasa Arab. Buku itu menampilkan gambar seorang perempuan dan Mr.
Rochester sedang berciuman. Gambar tersebut mempersembahkan sensasi tersendiri

46
Hanân asy-Syaikh, Hikâyah Zahra, h. 33.
47
Simone de Beauvoir, Second Sex, h. 157.

104
baginya sehingga ia mulai terangsang dan melakukan masturbasi.48 Bagi Majid,
masturbasi merupakan konsep “kenikmatan diri” yang terjadi antara diri dan
tubuhnya.
Majid menyadari bahwa masturbasi telah menjadi ritunitas baginya. Seperti
laki-laki dewasa pada umumnya, Majid melakukan prilaku masturbasi ini sejak masa
remaja. Pemenuhan hasrat seperti yang dilakukan Majid tersebut tidak memberikan
dampak yang negatif bagi orangtua, keluarga dan masyarakat pada umumnya, bahkan
hal tersebut disimbolkan pada keaktifan dan kejantanan. Hanya saja beberapa mitos
dimunculkan bagi praktek masturbasi yaitu layaknya kenikmatan terlarang yang
menyebabkan timbulnya sebuah penyakit. Mitos ini diketahuinya dari sebuah artikel
majalah “Your Doctor”, artikel tersebut meyarahkan pada generasi muda untuk
menghindari perbuatan rahasia yang buruk itu karena akan dapat mempengaruhi
pikiran.
Selain majalah itu, Majid pun pernah mendapatkan nasihat dari ibunya bahwa
masturbasi akan membawa kesengsaraan, merusak kesehatan dan mengurangi berat
badan. Masturbasi dianggap sebagai sebuah kesalahan dan dosa besar yang dikaitkan
dengan perbuatan setan.49 Akan tetapi, masturbasi yang melambangkan keaktifan
seksual bagi laki-laki tidak dipandang sebagai sebuah perbuatan yang binal. Berbeda
halnya ketika praktek onani yang dilakukan anak-anak perempuan, maka konotasi
dan stigamatisasi yang ditimbulkan masyarakat adalah stereotipe kejahatan, nakal,
dan binal.
Untuk melegitimasi prilaku seksual, maka perbuatan itu dilindungi oleh
sebuah perkawinan. Majid yang telah merasa lelah dan frustasi secara seksual merasa
harus mengakhiri kelajangannya dengan menikahi Zahra yang berstatus perawan tua.
Perawan tua dari keturunan terpandang di Lebanon akan lebih baik baginya daripada
menikahi perempuan Afrika hitam yang berkulit hitam dan berbibir tebal. Perkawinan
bagi Majid menunjukkan bahwa secara fisik perempuan akan menyerahkan

48
Hanân asy-Syaikh, Hikâyah Zahra, h. 96.
49
Hanân asy-Syaikh, Hikâyah Zahra, h. 97.

105
keperawanannya dengan suami pada malam pertama dan bagi Zahra adalah membuka
masa lalu yang kelam di mana ia kehilangan keperawanan (virginitas)50 “harinya
pasti akan tiba saat aku menikah dan suamiku mendapatiku aku tidak perawan lagi,
dan aku telah menjalani dua kali aborsi”. Virginitas yang selama ini menjadi
“barometer” kesucian dan kehormatan seorang gadis muncul dari definisi dan kontrak
sosial yang dibentuk oleh budaya patriarki. Karena peradaban patrilineal
menempatkan perempuan sebagai pihak yang suci tak ternoda. Selama ini kaum laki-
laki menjadi penguasa yang mempunyai kekuatan sehingga dapat menentukan dan
membuat batasan-batasan hukum, norma dan dogma, bahkan sampai pada seksualitas
dan tubuh perempuan.
Jejak fisik perempuan yang sudah mengalami pernikahan adalah dengan
sobeknya selaput dara (deflorasi) yang ditandai dengan keluarnya darah pada malam
pertama.51 Akan tetapi, Zahra telah mengalami hal tersebut ketika ia belum memasuki
jenjang perkawinan. Zahra menyerahkan keperawanannya kepada Malik, laki-laki
yang tidak pernah mempermasalahkan jerawat yang ada pada wajah dan tubuhnya,
laki-laki yang tidak pernah kesal akan kepasifan yang ditunjukkannya ketika sedang
berhubungan intim, bahkan Malik adalah laki-laki yang sangat berhasrat untuk
mencium dan bercinta dengan Zahra yang tak melakukan “perlawan” terhadap setiap
cumbuan yang diberikan kepadanya.
Pada malam pertamanya dengan Majid, Zahra bersikap frigid. Hal ini

50
Kata virgin masuk ke dalam bahasa Inggris tahun 1200, terutama untuk menyebut Marry si
Perawan pada masa awal Kristen waktu itu. Kisah ini menceritakan mengenai seorang gadis bersih
atau suci yang sabar dan alim dalam agama yang dianutnya di sebuah tempat khusus dalam gereja
Kristen. Sejak saat itulah virginitas atau keperawanan perempuan disimbolkan dengan kehormatan dan
kesucian perempuan. Kate Millet membantah konsep keperawanan sebagai tolak ukur kesucian
perempuan karena virginitas memiliki dua sifat yang saling bertentangan dalam masyarakat
patriarkhal. Di satu sisi virginitas sesuatu yang baik karena dianggap suci dan misterius, sedangkan
pada sisi lainnya, virginitas merupakan dan menghadirkan suatu kejahatan dan malapetaka karena
dihubungkan dengan ada atau tidak adanya pendarahan yang mengerikan. Mariana Amiruddin, Kata
dan Makna, dalam Jurnal Perempuan; Seksualitas, h. 111.
51
Deflorasi merupakan kondisi di mana organ kelamin laki-laki menembus organ kelamin
perempuan.

106
disebabkan karena ia tertekan dengan mitos di malam pertama.52 Keperawanan yang
merupakan bagian dari tubuh perempuan merupakan kode kultural dalam suatu
masyarakat patriarkhis, konvensi tersebut menuliskan segala tindakan seksual harus
dilalui melalui ritual penyucian yang disebut perkawinan.53 Jika kode tersebut
dilanggar maka perempuan tersebut telah melakukan tindakan yang salah, kegagalan,
kekalahan, kelemahan, karena seharusnya perempuan mempertahankan kehormatan
dan kesuciannya. Bila perempuan berhasil mempertahankan kehormatan dan
kesuciannya maka ia akan dihormati, tapi bila jatuh ia akan dicemooh, sementara
tudingan kesalahan kepada pihak yang telah menaklukkannya (laki-laki) bercampur
dengan rasa kekaguman.54
Bagi Zahra, tubuh yang seyogyanya dimiliki oleh dirinya sendiri, dalam
konvensi budaya dipertaruhkan dengan kehormatan keluarga dan golongan.
Hubungan di luar nikah meninggalkan bekas tak bertuan bagi Zahra, sehingga
menyisakan image negatif baginya. Kondisi ini mempertegas keberadaan perempuan
sebagai mahluk yang lemah terhadap tubuhnya sendiri, yang tidak mampu
mengatakan ’tidak’ atas ketidaknyamanan yang ia terima, bahkan tidak mampu
mempertahankan keperawanannya untuk laki-laki yang akan menjadi suaminya di

52
Di masyarakat Arab, selaput dara ini merupakan bagian yang paling penting dan berharga
dibanding dengan organ tubuh lainnya. Menjadi perempuan Arab berarti ikut serta dalam praktik-
praktik keseharian, yang salah satunya adalah menjadi perempuan yang perawan. Bila seorang gadis
tidak memiliki keperawanan sebelum pernikahannya maka ia akan dikenai hukuman sosial yang
berupa hukuman mati secara fisik, secara moral, ataupun diceraikan jika hal tersebut diketahui pada
saat pernikahan. Hanya karena perempuan tidak mampu membuktikan kebenaran jika ia masih
perawan. Hukuman tersebut pantas diterima perempuan karena dianggap tidak lulus dari ujian sosial.
Masyarakat seakan menutup mata dengan berbagai hal yang telah menimpa perempuan. Walaupun
perempuan tersebut mempunyai selaput dara yang sangat tipis sehingga bisa koyak dan hilang karena
mengendarai sepeda, menunggang kuda, menari, jatuh dari pohon ataupun karena hal-hal kecil yang
pernah terjadi pada masa kanak-kanak.
53
Berdasarkan itu pula, Mernissi menyimpulkan bahwa tujuan dari keperawanan bagi perempuan
adalah mencegah para perempuan untuk tidak melahirkan anak-anak sesuai dengan irama biologi,
irama kesenangan, dan irama nafsu. Baca: Fatima Mernissi, Pemberontakan Wanita: Peran Intelektual
Kaum Wanita dalam Sejarah Muslim, h. 80.
54
Simone de Beauvoir, Second Sex, h. 149.

107
suatu hari nanti.55
Selaput dara dalam konteks ini memiliki fungsi ganda yaitu sebagai tanda
keperawanan dan sebagai upaya menggambarkan batas-batas tubuh yang disebut
perempuan. Terlepas dari fungsi keperawanan secara ”kultural”, Lama Abu Odeh
mengungkapkan bahwa laki-laki memang tidak memiliki simbol keperawanan
”kultural” akan tetapi kehormatan ”kejantanan” laki-laki berasal dari perjuangan
mendapatkan secara utuh kesucian perempuan dalam keluarga, dan hal inilah yang
membuat reputasi laki-laki tergantung pada perbuatan seksual perempuan.
Berdasarkan hal tersebut, kehormatan bukan hanya apa yang harus perempuan jaga
sepenuhnya, tetapi juga apa yang harus pria pertahankan dengan segala daya agar
martabatnya tidak jatuh menjadi seorang perempuan.56
Konsep tersebut terlihat pada sikap yang ditunjukkan Majid ketika ia
mengetahui bahwa Zahra tidak mampu mempersembahkan setetes darah pun pada

seprei di malam pertamanya “ ‫ ﺍﻟﺸﺮﺍﺷﻒ ﻻ ﺗﺰﺍﻝ‬.‫ ﻻ ﺃﺭﻯ ﺷﻴﺌﺎ‬.‫ﻭﻻ ﺃﺷﻌﺮ ﺃﱐ ﺃﺧﺘﺮﻕ ﺳﺪﻭﺩﺍ‬

55
Dalam agama Nasrani, keperawanan Bunda Maria yang suci diagung-agungkan. Keperawanan
dianggap kesucian yang wajib dijaga oleh perempuan yang mempunyai akhlak yang mulia apabila ia
ingin menjadi ibu. Sebaliknya laki-laki tidak memiliki keperawanan dan dengan bebas melakukan
hubungan seksual sebelum menikah dan atau tanpa adanya ikatan resmi dengan perempuan. Dualisme
moral ini menurut Nawal adalah bagian utama dari nilai-nilai kelas patriarkhal yang dibangun atas
dasar keturunan dari pihak laki-laki. Nawal El Sa’dawi dan Hibah Rauf Izzat, Perempuan, Agama dan
Moralitas, Terj. Ibnu Rusydi, (Jakarta: Erlangga, 2002), h. 19.
56
Konsep kehormatan yang menyimpang dalam masyarakat patriarkhi adalah di mana kehormatan
keluarga dan laki-laki terpelihara sepanjang anggota keluarganya yang perempuan menjaga keutuhan
selaput daranya. Seakan masyarakat menyepakati bahwa pemahaman seksual dalam kehidupan laki-
laki adalah sumber kebanggaan dan simbol kejantanan, sementara pengalaman seksual dalam
kehidupan perempuan adalah sumber aib dan simbol keburukan dan kebobrokan. Baca: Nawal el
Saadawi, Perempuan dalam Budaya Patriarkhi, h. 60; lihat juga: Lama Abu Odeh, Berbagai
Kejahatan Demi Kehormatan dan Pemahaman tentang Jender dalam Masyarakat Arab dalam Mai
Yamani, Feminisme dan Islam: Perspektif Hukum dan Sastra, h. 220 & 226; Hal senada juga
diungkapkan oleh Mernissi, bahwa konsep kehormatan dan keperawanan menempatkan gengsi
seorang laki-laki (di wilayah Laut Tengah) di antara kedua paha seorang perempuan, bukan dengan
jalan menaklukkan alam atau merambah gunung-gunung dan sungai-sungai yang membuat laki-laki
dapat mempertahankan kedudukannya, melainkan dengan mengontrol gerakan-gerakan kaum
perempuan yang berhubungan dengannya melalui ikatan darah atau perkawinan, dan dengan melarang
mereka berhubungan dengan pria-pria asing, lihat: Fatima Mernissi, Pemberontakan Wanita: Peran
Intelektual Kaum Wanita dalam Sejarah Muslim, terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan, 1999), h. 79-
80.

108
.‫ ﻻ ﺃﺭﻯ ﻧﻘﻄﺔ ﺩﻡ ﻭﺍﺣﺪﺓ‬.‫ﺑﻴﻀﺎﺀ‬.57 Ia merasa telah ditipu karena telah salah memilih

perempuan, harga dirinya seperti diinjak-injak sehingga ia menatap kepada Zahra


dengan tatapan yang menjijikkan dan mencelanya dengan kata-kata kasar yang tak

layak diucapkan “.‫ﺍﳌﻠﻌﻮﻧﺔ‬ ‫ ﻳﺎ ﺑﻨﺖ‬,‫ﻳﺎ ﺑﻨﺖ ﺍﳌﻠﻌﻮﻧﺔ‬.


Citra fisik lainnya yang tergambar pada sosok Fatme sebagai perempuan
dewasa adalah kodrat perempuan sebagai mahluk yang memiliki rahim,
kemampuannya untuk hamil, melahirkan dan menyusui anak58 karena perempuan
dewasa telah mengalami kematangan organ biologis. Dalam aspek fisis, perempuan
mengalami pengalaman-pengalaman khas, yang tidak dialami oleh pria. Realitas ini
menimbulkan mitos tentang perempuan sebagai mother nuture. Perempuan
diasumsikan sebagai sumber hidup dan kehidupan, sebagai mahluk yang dapat
menciptakan mahluk baru (baca: dapat melahirkan anak).59 Anak merupakan tolak
ukur kebahagiaan bagi suami dan istri yang telah menempuh jenjang pernikahan.
Akan tetapi, pada waktu-waktu tertentu perempuan memiliki hak untuk menentukan
apakah ia akan hamil ataukah tidak, apakah ia akan melahirkan anaknya ataukah akan

menggugurkan janin yang berada dalam perutnya “ ‫ ﻭ‬,‫ﻛﺎﻧﺖ ﻻ ﺗﺮﻳﺪ ﺃﻭﻻﺩﺍ ﻣﻦ ﻭﺍﻟﺪﻱ‬

.‫ﻛﻨﺖ ﺃﲰﻊ ﻛﻠﻤﺔ ﺍﻟﻄﻼﻕ ﻋﻠﻰ ﻓﻤﻬﺎ ﻛﻞ ﻣﺮﺓ ﻧﺰﻭﺭ ﺟﺪﻱ ﰲ ﺧﻴﻤﺔ ﺷﻚ ﺍﻟﺘﺒﻎ‬.60
Perempuan menyikapi pengalaman dan kehendak tubuhnya dengan
mengekspresikannya melalui perbuatan dan keputusan yang diambilnya sepanjang
perjalanan hidup. Karena perempuan memiliki berbagai pilihan bebas atas tubuh dan

57
Hanân asy-Syaikh, Hikâyah Zahra, h. 100.
58
Menurut Al-‘Akkad, sebagian dari perbedaan jasmaniyah yang berhubungan dengan perbedaan
kedua jenis laki-laki dan perempuan ialah bahwa tubuh perempuan itu mengalami perubahan setiap
bulannya, kemudian sibuk dengan suasana hamil selama sembilan bulan, lalu sibuk lagi melimpahkan
air susu untuk bayinya selama dua tahun. Kadang-kadang kesibukan itu bersambung pula dengan
kesibukan menghamilkan adik bayinya, ‘Abbâs Mahmûd Al-‘Aqqâd, Al-Mar’ah fî al-Qur’an, h. 18-
19.
59
Sugihastuti Suharto, Wanita di Mata Wanita: Perspektif Sajak-Sajak Toeti Heraty, h. 87
60
Hanân asy-Syaikh, Hikâyah Zahra, h. 28.

109
dirinya.61 Ketika perempuan memutuskan untuk menikah, maka perempuan berhak
juga untuk memutuskan apakah ia akan hamil lalu melahirkan anaknya atau sama
sekali tidak hamil dan tidak memiliki anak. Abortus adalah salah satu pilihan bagi
pasangan suami dan istri yang belum siap secara fisik, psikis, dan finansial untuk
memiliki anak dan melahirkannya, walaupun beberapa negara mempunyai kekuatan
hukum yang kuat untuk melindungi anak yang berada dalam kandungan dan
menghukum para pelaku abortus. Dalam hal ini, Fatme melakukan aborsi untuk
melenyapkan puing-puing kebahagiaan dengan suaminya, ia tidak ingin memiliki
anak dari orang yang tidak lagi dicintainya karena akan menyisakan kepedihan
sepanjang hidupnya.
Alasan yang berbeda dikemukakan Zahra dalam menyikapi kodrat
perempuan. Baginya, tubuh bukan lagi miliknya secara utuh, sehingga setiap
keputusan yang menyangkut tubuhnya akan diputuskan berdasarkan pertimbangan
dan kebaikan Malik. Ketika Zahra mengalami kehamilan di luar pernikahan, maka
kehamilan tersebut akan membawa bencana besar bagi Malik dan keluarganya,
karena menghamili perempuan tanpa ikatan perkawinan adalah aib yang sangat
memalukan dan mencoreng nama baiknya. Untuk menjaga reputasi mengenai
tubuhnya, Malik memaksa Zahra untuk menjalani aborsi pada salah seorang dokter
tua. Sepanjang hubungan terlarangnya dengan Malik, Zahra melakukan dua kali
aborsi. Aborsi itu menyisakan kegilaaan, frustasi, rasa bersalah, rasa sakit yang
menusuk pada perut bagian bawah dan kemuakan pada sosok Malik “aku sadar ia
telah mencengkeramku, memaksaku masuk ke dalam mobil dan kemudian ke dalam
klinik sang dokter. Kurasakan rasa sakit yang menusuk di perut bagian bawah”.62
Setelah peristiwa aborsi itu, Zahra berhasil menjaga rahasia mengenai
keperawanannya. Dengan merapatkan kedua belah paha di hadapan orang tuanya,
Zahra berharap rahasia itu tidak akan diketahui oleh ayahnya. “merapatkan kedua
belah paha” menyiratkan makna yang sangat dekat dengan menjaga rahasia. Dalam

61
Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (Ed.), Teori-Teori Kebudayaan, h. 333-334.
62
Hanân asy-Syaikh, Hikâyah Zahra.

110
budaya patriarkhi, perempuan diharuskan menjaga tingkah laku di hadapan orang
banyak. Secara moral, perempuan diajarkan untuk berlaku sopan yaitu dengan
merapatkan kedua belah paha dan kakinya pada saat duduk. Karena perempuan
dewasa harus menjaga virginitas yang berada di antara kedua kakinya. Ketika Zahra
menempelkan kedua kakinya, ia berusaha meyakinkan orang tuanya bahwa ia mampu
menjaga virginitas yang dianggap sebagai mahkota perempuan dewasa.
Fatme sebagai ibu rumah tangga, menurut Akkad, mempunyai naluri lahiriyah yang
berbentuk tanggung jawab moral terhadap anaknya untuk mendidik, memelihara, dan
mengasuh.63 Ketika perempuan telah melahirkan anak-anaknya, biasanya secara fisik
perempuan akan mengalami perubahan. Walaupun pada beberapa perempuan yang

sangat menjaga fisiknya masih terlihat seksi dan menarik. ‫ﻛﺎﻧﺖ ﻳﺪﻫﺎ ﺑﻴﻀﺎﺀ ﲰﻴﻨﺔ‬

.‫;ﻭﺩﺍﻓﺌﺔ‬64 ” ,‫ ﺷﻌﺮﻫﺎ ﺍﻷﺷﻘﺮ‬,‫ ﻋﻴﻨﻴﻬﺎ ﺍﻟﺰﺭﻗﺎﻭﻳﻦ‬,‫ ﻃﺒﻌﺔ ﺫﻗﻨﻬﺎ‬,‫ﻭﻋﺪﺕ ﺃﺭﻯ ﻭﺟﻪ ﺃﻣﻲ ﺍﻷﺑﻴﺾ ﺍﳌﺪﻭﺭ‬

.‫ﺎ ﺍﳊﺮﻳﺮﻱ ﺍﻷﺯﺭﻕ‬‫ ﻓﺴﺘﺎ‬,‫ﺍﻣﺘﻼﺀ ﺯﻧﺪﻳﻬﺎ‬ ”.65 Tangan perempuan yang hangat disimbolkan

pada suatu perlindungan yang menciptakan ketenteraman kepada si anak. Anak akan
merasa aman dan nyaman ketika ibu berada di sampingnya. Zahra selalu
menginginkan dirinya selalu dekat dengan Fatme (ibunya), sehingga dapat

menyentuh wajah ibunya dan menarik perhatiannya “ ‫ﺩ ﺃﻥ‬ ‫ﻛﻨﺖ ﺃﻓﻜﺮ ﻭﺃﻧﺎ ﺃﻧﻈﺮ ﺇﻟﻴﻬﺎ ﻛﻢ ﺃﻭ‬

.‫ﺏ ﻋﻴﻨﻴﻬﺎ ﻣﻦ ﻭﺟﻬﻲ‬‫ ﻭﺃﻗﺮ‬,‫ ﺃﻥ ﺃﻣﺴﻚ ﺑﻮﺟﻬﻬﺎ‬,‫ﺪ ﻧﻔﺴﻲ ﺇﻟﻴﻬﺎ‬ ‫ ﺃﻥ ﺃﺷ‬,‫ﱄ‬


‫”ﺃﺷﺪﻫﺎ ﺇ ﹼ‬. Representasi

ini tergambar pada “jeruk dan pusarnya”; ”.‫ﺎ‬‫ﻭﺻﺮ‬ ‫”ﻛﻮﻧﻨﺎ ﻛﺎﻟﱪﺗﻘﺎﻟﺔ‬66 merupakan

63
Naluri ibu terhadap anaknya adalah merawat anaknya selama masa kehamilan, melahirkan,
menyusui serta memeliharanya. ‘Abdul Mut’âli Muhammad Jabra, al-Mar’ah fi al-Tashawwuri al-
Islâmî, (Kairo: Maktabah Wahabiyah, 1994 M/1414 H ), h. 108; ‘Abbâs Mahmûd Al-‘Akkâd, Al-
Mar’ah fî al-Qur’an, h. 18.
64
Hanân asy-Syaikh, Hikâyah Zahra, h. 7.
65
Hanân asy-Syaikh, Hikâyah Zahra, h. 38.
66
Hanân asy-Syaikh, Hikâyah Zahra, h. 11.

111
kedekatan emosional yang terjalin antara anak dan ibu dalam masa perkembangan
dan pertumbuhan fisik dan psikis.
Fatme merupakan simbol ibu rumah tangga yang tercitrakan melalui peran domestik

yang dilakukannya “‫ﻭﺑﺼﻼ‬ ‫”ﻛﺎﻧﺖ ﺭﺍﺋﺤﺔ ﻳﺪﻫﺎ ﺻﺎﺑﻮﻧﺎ‬. Hal ini menegaskan mitos yang
mengatakan perempuan dekat dengan kasur, sumur dan dapur. Hubungan indeksikal
yang terjalin antara Fatme dan peran-peran domestiknya menunjukkan tanggung
jawab the traditional maternal yang dibebankan kepadanya. Sabun diidentikkan
dengan pekerjaan menyuci baju, menyuci piring dan menyetrika yang dilakukan di
sumur. Sedangkan bawang simbol dari masakan, dan masakan merupakan pekerjaan
yang hanya bisa dilakukan di dapur.67
Saat memikirkan perempuan dewasa, Zahra mengimajinasikannya dengan

karakteristik fisik dan beban sosial yang melekat padanya “ ,‫ ﻧﺴﺎﺀ ﻭﺻﺪﻭﺭ‬:‫ﻓﻜﺮﺕ‬

.‫ ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻷﻳﺪﻱ ﰒ ﻗﻨﺎﱐ ﺣﻠﻴﺐ ﻭﻣﺼﺎﺻﺖ ﰲ ﺣﻘﺎﺋﺐ ﺍﻟﻴﺪ‬,‫”ﻭﺃﺳﺎﻭﺭ ﺫﻫﺒﻴﺔ ﻭﺃﻭﻻﺩ ﰱ ﺍﻟﺒﻄﻮﻥ‬.68
Benda-benda tersebut merupakan representasi ibu rumah tangga yang menunjukkan
pada peran domestik perempuan sebagai mahluk yang suka mengatur, mengayomi
dan menyayangi.
Selain kematangan biologis, Zahra juga mengalami kematangan emosional.
Proses pertumbuhan dari bayi menjadi anak-anak, remaja dan dewasa menyisakan
memori yang melekat di benak dan pikiran Zahra. Pengalaman yang dialami Zahra
mengenai ibunya selama masa kanak-kanak secara utuh terekam dalam ingatannya,
sehingga ia baru menyadari sepenuhnya mengapa mereka bergetar di belakang pintu,
apa makna dari prilaku ayahnya yang mengintip ke dalam, melongok namun tak
melihat mereka bersembunyi, dinding berbercak di mana kelelawar hinggap di pohon

67
Narrativising Betrayal in Hanan al-Shaykh’s The Story of Zahra, by Semia Harbawi,
http://www.arabesquespress.org/journal/books_reviews/0138807.html; Hanan Al-Shaykh, Hikayah
Zahra, h. 7.
68
Hanân asy-Syaikh, Hikâyah Zahra, h. 22.

112
arbei punya Muhammad, Damaskus, rasa mual dan tempat tidur tunggal. Image
“buruk” Fatme sebagai ibu yang berselingkuh dan melakukan aborsi (karena tidak
menginginkan anak yang berasal dari suaminya) digambarkan secara buruk dan
negatif. Gambaran ini menegaskan pada pembaca bahwa ibu bukanlah malaikat yang
secara utuh sempurna secara fisik, moral dan psikis. Mereka terkadang melakukan
kesalahan-kesalahan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja.
Pengkhianatan yang dilakukan Fatme terhadap suaminya ‘Ibrahim’ bukanlah
sifat yang melekat pada perempuan, karena pengkhianatan dapat terjadi pada laki-laki
dan perempuan. Seperti halnya Malik yang juga mengkhianati istri dan anaknya
karena telah melakukan perselingkuhan dengan Zahra. Setiap kencan yang
dilakukannya bersama Zahra, ia selalu mengajak Zahra ke sebuah kafe yang
diyakininya tidak akan ada satu orang pun mengenali mereka berdua.
Idealnya, Fatme sebagai ibu menjadi suri tauladan bagi anak-anaknya, bukan
sebaliknya memberikan contoh yang negatif. Pengalaman tersebut meninggalkan
kesan yang buruk dan membingungkan bagi Zahra, hal ini disampaikan penulis

melalui ungkapan metaforis ” ‫ﻛﺎﻥ ﺍﳋﻮﻑ ﳚﻌﻠﲏ ﺃﺭﻯ ﻛﻞ ﺷﻴﺊ ﻛﺄﻧﻪ ﻣﻦ ﺧﻠﻒ ﺯﺟﺎﺝ‬

.‫ﺒﺸﺖ ﺃﺛﻨﺎﺀ ﺩﻭﺵ ﺳﺎﺧﻦ‬‫ ﻭﻋﱪ ﻣﺮﺁﺓ ﺗﻐ‬,‫ﺎﺕ ﻣﻄﺮ‬‫ﻤﺮﺕ ﻋﻠﻴﻪ ﺯﺧ‬‫”ﺍ‬.69 Citra anak perempuan

digambarkan dalam kondisi yang sangat bingung dan tertekan, takkala menyaksikan
ibu bersama dengan laki-laki yang tak dikenalnya berada dalam satu tempat tidur

“ ‫ﺎ ﺃﺩﺧﻠﺘﲏ ﻣﻐﻄﺲ‬‫ﻛﻠﻤﺎ ﻛﱪﺕ ﻳﻮﻣﺎ ﻭﻧﻈﺮﺕ ﺇﱄ ﺍﳋﻠﻒ ﻗﻲ ﺧﻴﺒﺔ ﻭﺃﺳﻒ ﺣﻘﺪﺕ ﻋﻠﻰ ﺃﻣﻲ ﺃﻛﺜﺮ ﻷ‬

.‫”ﺍﳊﲑﺓ ﻭﺍﻟﺘﺴﺎﺅﻻﺕ ﻭﺍﻟﺴﺤﺮ ﻭﺃﻧﺎ ﻣﺎﺯﻟﺖ ﺻﻐﲑﺓ‬70.


Realitas sosial penulis yang juga sebagai perempuan dewasa memperlihatkan
kerangka afirmatif terhadap citra fisis perempuan. Bagi pembaca, realitas citra fisis

69
Narrativising Betrayal in Hanan al-Shaykh’s The Story of Zahra, by Semia Harbawi,
http://www.arabesquespress.org/journal/books_reviews/0138807.html; Hanan Al-Shaykh, Hikayah
Zahra, h. 12.
70
Hanân asy-Syaikh, Hikâyah Zahra, h. 13.

113
perempuan dengan realitas fisis penulis memperkuat citra perempuan dalam kerangka
mimesisnya. Citra fisik perempuan seperti tercitrakan dalam Hikayah Zahra
merupakan sebuah informasi yang membantu proses kongkretisasi sastra. Sehingga
pembaca yang membaca sebagai perempuan dapat dengan mudah untuk memahami
dan mengkongkretkannya, terlebih kongkritisasi citra perempuan tersebut merupakan
afirmasi dari pengalaman dan realitas yang dialami para perempuan. Pada tahap ini
informasi tersebut merupakan simbol bagi pembaca. Citra fisik perempuan berfungsi
sebagai simbol yang dapat ditafsirkan berdasarkan pengalaman sebagai perempuan.
Secara fisis, perempuan mengalami fase kematangan biologis dan emosional
yang berbeda dengan karakteristik dan kromosom laki-laki. Menurut Teeuw, dalam
komunikasi sastra, citra fisis perempuan dikongkretkan sebagai tanda dalam tataran
semiotik tingkat kedua (hermeneutik) yang dapat ditafsirkan berdasarkan konvensi
budaya,71 baik sebagai simbol maupun mitos. Perempuan ditandai dengan
kepemilikan payudara, sirkulasi menstruasi, virginitas dan deflorasi, rahim yang
menyebabkan dapat hamil dan melahirkan, serta kemampuan untuk menyusui.
Kodrat perempuan tersebut menyisakan konstruk sosial yang tidak seimbang dan
terkesan diskriminatif. Sehingga perempuan dipahamkan sebagai mahluk
bertanggung jawab terhadap pekerjaan-pekerjaan rumah tangga dan kepengurusan
anak. Hal tersebut tergambar dari tangan perempuan yang berbau sabun dan bawang.
Citra fisis yang dimiliki laki-laki membawa pencitraan laki-laki sebagai
mahluk yang kuat, superior dan mempunyai kekuasaan. Aspek fisis laki-laki
disimbolkan sebagai tuhan dan monster. Tuhan sebagai citra fisis laki-laki
mengandung aspek-aspek positif, ia adalah maha di atas maha seantero jagad raya. Ia
bagaikan Tuhan yang memiliki kekuatan dan kekuasaan. Akan tetapi, ia juga bisa
berubah menjadi monster yang mempunyai konotatif negatif sebagai mahluk
mengerikan, yang menghancurkan, membawa keburukan bagi mahluk di sekitarnya.
71
Konvensi budaya merupakan sebuah pemahaman terhadap karya sastra yang timbul dari
pengetahuan awal, mengenai kebudayaan yang melatarbelakangi karya sastra tersebut dan tidak
langsung terungkap dalam system tanda bahasanya. Baca: A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra;
Pengantar Teori Sastra, (Bandung: Pustaka Jaya, 1984), h. 100.

114
Penggambaran yang ambiguitas terhadap laki-laki ini menempatkan laki-laki pada
ranah publik. Terlepas dari itu semua, perbedaan jenis kelamin berakibat pada
perkembangan psikis dan emosinal pada masing-masing jenis.
Berdasarkan hal tersebut, penulis melihat bahwa perempuan secara fisik
dibebankan pada tanggung jawab kultural. Pada dasarnya perempuan memiliki
kebebasan untuk memutuskan dan memperlakukan apa yang berhak terjadi pada
tubuhnya, karena tubuh adalah miliknya sendiri. Akan tetapi dominasi patriarkhi
menuntut perempuan untuk menjadi sosok yang diharapkan kultur-sosial. Fatme
mewakili sosok perempuan yang berkhianat terhadap suaminya, di samping itu ia
menjadi seorang ibu yang sangat menyayangi suami dan anak-anaknya. Lalu Zahra,
sosok gadis pendiam, rajin, dan patuh terhadap orang tua. Ia terkungkung dalam
pengalaman buruk dan suram pada masa kanak-kanak sehingga kenangan itu
membawanya pada situasi yang membingungkan.
Dominasi laki-laki atas perempuan sangat kuat, di mana perempuan
cenderung mengagung-agungkan kecantikan, virginitas dan perkawinan. Bahkan,
perempuan menciptakan kecantikan sebagai barometer untuk menentukan nasibnya di
masa depan. Kecantikan merupakan senjata untuk menarik perhatian laki-laki,
padahal mereka sendiri menyadari bahwa mitos kecantikan tersebut sebagai salah
satu eksploitasi budaya patriarkhi terhadap tubuh perempuan.
Begitu pula dengan konsep virginitas yang masih diakui sebagai barometer
kebaikan dan keburukan para perempuan. Masyarakat Lebanon masih meyakini
bahwa kehormatan laki-laki dan keluarga terletak pada bagaimana istri dan anak-anak
perempuan mereka mampu mempersembahkan setetes darah pada malam
perkawinannya. Budaya patriarkhi merupakan aturan dan dogma yang sangat kuat
mengikat masyarakat di dalamnya tanpa adanya peraturan tertulis. Perempuan dengan
sendirinya mengamini sistem patriarkhi tersebut tanpa usaha untuk
merekonstruksinya.
B. Citra Perempuan dalam Aspek Psikis

115
Citra diri perempuan terbentuk oleh aspek fisis (tubuh) dan psikis (jiwa)72
yang mempunyai pikiran, perasaan, dan emosional yang berbeda dengan laki-laki.
Perbedaan secara psikologis pada laki-laki dan perempuan tersebut diikuti oleh
perbedaan peran dalam masyarakat.73 Sejak dilahirkan laki-laki dan perempuan
mendapatkan perlakuan yang berbeda, baik dari segi perlakuan dan pendidikan,
sehingga menimbulkan terjadinya perkembangan kepribadian yang berbeda. Aspek
psikis perempuan sering juga disebut sebagai feminitas. Prinsip feminitas ini
merupakan kecenderungan yang ada dalam diri perempuan, baik yang menyangkut
kepribadian, sifat, tingkah laku, orientasi, cara berhubungan dengan orang lain, dll.
Untuk dapat memahami citra diri perempuan berdasarkan aspek psikisnya, maka
pembaca hendaknya memposisikan diri sebagai perempuan dalam proses
kongkretisasi makna. Aspek psikis gayut terhadap pengalaman pembaca sebagai
seorang perempuan. Pengalaman tersebut merupakan ekspresi diri perempuan yang
diungkapkan lewat prilaku, sifat, kepribadiannya dan interaksi sosial yang
dilakukannya. Pengalaman penulis sebagai perempuan ditransmisikan sebagai tanda
kepada pembaca. Pada pembacaan semiotik tingkat kedua, aspek psikis perempuan
dapat dilihat melalui simbol, lambang dan kode-kode tertentu dalam konveksi sosial
yang membentuknya.
Hikayah Zahra mengungkapkan image perempuan sebagai simbol keberanian
seorang perempuan dalam melawan aturan patriarkhi dan menuntut hak-haknya
sebagai perempuan, baik dari aspek ketubuhan, seksualitas, karir dan kebebasan.74

72
Andi Mappiare, Psikologi Orang Dewasa, h. 16
73
Menurut para ilmuwan, perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak hanya terletak pada
aspek psikologi saja, akan tetapi juga terdapat dalam susunan sel, antibody, kromosom dan alat
kelamin. Adapun jaringan sel dan organ-organ penting, otot dan tulang yang dimiliki perempuan
sangatlah berbeda dengan dengan organ dan pribadi yang dimiliki laki-laki. Begitu pula dengan ukuran
otot, tulang, daya tahan dan otak laki-laki berbeda dengan perempuan. Fatima Umar Nasif,
Menggugat Sejarah Perempuan; Mewujudkan Idealisme Gender Sesuai Tuntutan Islam, Terj. Burhan
Wirasubrata, dkk., (Jakarta: Cendikia Sentra Muslim, 2001), h. 78.
74
Tokoh utama dalam novel ini “Zahra” juga memiliki aspek feminine yang sangat kental. Zahra
dalam bahasa Arab berarti bunga mawar. Bunga adalah salah satu simbol untuk mengungkapkan
kecantikan perempuan, baik dalam puisi maupun prosa. Hal ini tidak hanya terjadi dalam kesusastraan
Arab, akan tetapi juga pada kesusasteraan dunia lainnya. Stefan G. Meyer, The Experimental Arabic

116
Walaupun terkadang perempuan selalu dibayang-bayangi oleh image yang lemah,
penakut, tidak rasional, emosional, sehingga dipahamkan dan disimbolkan seperti
bunga, bulan, permata, dll.75 Berbagai karya seni, baik seni lukis, pahat, dan sastra
sejak dulu telah menjadi culture regime dan memiliki daya pikat yang kuat terhadap
persoalan-persoalan gender. Perempuan seringkali dilibatkan dalam proses imajinasi
dan ide, walaupun terkadang hegemoni laki-laki atas perempuan sebagai the authority
mengasumsikan perempuan sebagai sosok impian dan imajinasi.76
1) Feminitas
• Ketidakmandirian Perempuan
Pada Hikayah Zahra, simbolisasi terhadap perempuan berhadapan dengan
citra feminitas perempuan, yaitu aspek psikis yang dimiliki perempuan dan
menyebabkan perempuan disebut sebagai feminin. Dalam Hikayah Zahra, sosok
Zahra digambarkan sebagai perempuan yang tidak mandiri. Di alam bawah sadarnya,

Novel: Postcolonial LiteraryModernism in the Levant, (New York: SUNY Press, 2001), h. 152.
Diakses dari: http://books.google.co.id/books?id=1c0UkC82RbgC&pg=PA152&dq=Hikayah
+Zahra#PPA152, M1 (diakses pada tanggal 16 April 2009, 11:22 wib).
75
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi,
(Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003), h.143; Bahkan dalam puisi-puisi Arab jahili, seperti yang
disampaikan ’Antarah, kecantikan perempuan disimbolkan kepada kijang, matahari, dan bulan
purnama. ”pada hari raya ia berjalan di antara gadis-gadis, bagai mentari-mentari, kerlingan mata
mereka bagaikan kijang. Kijang bagi masyarakat jahili yang memiliki tradisi berburu adalah binatang
yang sangat familiar dan mudah dijumpai. Istilah kijang yang digunakan untuk perempuan ini seakan-
akan sudah melekat dalam tradisi Arab jâhilî, bahkan dalam kamus, kata zhabi atau ghazalah (kijang)
diartikan sebagai gadis (Lihat kamus al-Munjid, h. 478.). Kijang dan gadis dalam tradisi Arab jahili
mempunyai hubungan yang erat dengan kebiasaan berburu dan juga imajinasi kaum laki-laki ketika
mereka berjauhan dengan perempuan. Sehingga ketika mereka berburu dan melihat seekor kijang yang
sangat cantik dan mereka teringat dengan kecantikan perempuan yang mereka tinggalkan di rumah,
seperti kerlingan mata, kehalusan bulu dan kelincahannya. ‘Abdul Mun’im ‘Abdul Rauf Syulma dan
Ibrahim al-Abyâri, Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd, (Beirut: Dâr al Kutub al-Ilmiyah, 1980), h. 5-
6.
76
Dalam sejarah klasik, kisah Ratu Bilqis sebagai pemimpin di kerajaan Saba’ disimbolkan
sebagai pahlawan, kekuatan dan kekuasaan bagi negerinya. Reputasi Bilqis dalam sejarah Islam tidak
diragukan lagi, sehingga Al-Qur’an mengenang kisahnya dalam QS. 27; 23-43. Hal ini
menggambarkan kemampuan perempuan sebagai mahluk yang memiliki kredibilitas yang tinggi, tidak
hanya di ranah domestik, akan tetapi juga pada wilayah publik dan pemegang keputusan-keputusan
negara. Sikap yang ditunjukkan Ratu Bilqis menunjukkan kemampuannya yang mandiri memerintah
secara bijak dalam masalah spiritual. Bahkan, kisah ini dikenang melalui lukisan yang terdapat di salah
satu Museum di Iran. Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi, Model, Teori
dan Aplikasi, h. 143; baca juga Yvonne Haddad dan Ellison Banks Findly, Women, Religion and
Social Change, h. 170-171; ‘Amina Wadud, Qur’an Menurut Perempuan, h. 75-76.

117
ia menginginkan untuk dapat terus berdekatan dengan ibunya, karena dengan
berdekatan ia merasakan ketenangan dan keamanan. Bahkan, kedekatan yang
diinginkannya bukan hanya seperti yang terjadi selama ini tapi menyatu menjadi satu
melebihi kedekatan jeruk dan pusarnya ataupun keliman baju dan baju itu sendiri.
Sehingga tidak ada satu orang pun yang mampu memisahkan, tidak juga laki-laki
berbibir tebal dan berambut ikal lebat itu. Dengan kedekatan yang ia harapkan,
mereka bisa saling menolong dan melindungi dari kejahatan-kejahatan monster yang
datang.77
Menurut Symond, sejak kecil anak perempuan tidak diajarkan untuk mandiri
dan asertif, mereka lebih sering mendapatkan perlindungan dan lebih tergantung pada
orang lain.78 Sehingga anak perempuan akan takut untuk berjauhan dengan orang
tuanya, apalagi ketika berhadapan dengan orang yang tidak dikenalnya.79 Bagi
mereka, ibu merupakan perlindungan dan kenyamanan karena ibu memiliki perasaan
yang halus,80 sehingga hubungan yang erat antara anak dan ibu disimbolkan sebagai
“jeruk dan pusarnya”.
Masa kecil memberikan pengalaman tersendiri bagi Zahra. Pada masa ini,
Zahra membutuhkan objek untuk menyalurkan perasaan-perasaannya yang hanya

77
Monster yang dimaksudkan di sini adalah laki-laki, baik itu ayahnya, kakak laki-lakinya
Ahmad, sepupunya Kasim, pamannya Hasyim, dan suaminya Majid. Bagi Zahra, laki-laki yang
ditemuinya adalah ancaman, dan setiap ancaman adalah kegelapan.
78
Zahrotun Nihayah, Psikologi dan Perempuan dalam Potret Perempuan dalam Teori dan
Realitas, h. 55.
79
Keadaan ini terkadang juga terjadi pada anak laki-laki, akan tetapi ekspresi yang diungkapkan
anak laki-laki tidak dengan menangis. Mereka lebih rasional dalam menanggapi permasalahan ini. Hal
ini dikarenakan dalam perkembangannya, anak laki-laki akan mengikuti prilaku ayahnya yang
dianggapnya mempunyai kesamaan fisik dengannya. Sehingga anak laki-laki akan memiliki hubungan
emosional yang lebih erat dengan ayahnya. Dalam didikan ayahnya, anak laki-laki dilarang untuk
mengekspresikan perasaan dengan cara menangis, bagi anak laki-laki air mata adalah symbol
feminitas, sehingga jika ada anak laki-laki yang menangis maka mereka akan diolok-olok.
80
Menurut ‘Akkad, suatu kewajaran jika perempuan memiliki sifat dan perasaan yang halus,
karena perempuan berada di samping bayi yang baru lahir, itu tidak hanya memberikan air susu
kepadanya dan menyusukannya saja. Mesti ada perhatian yang terus menerus, dan panggilan perasaan
batin yang membutuhkan banyak persesuaian antara tabiat perempuan dan tabiat bayinya, antara
pengertian perempuan dan pengertian anaknya, antara watak perempuan dan watak anaknya, dan
antara peningkatan indera dan perasaannya dengan peningkatan anaknya. ′Abbâs Mahmûd Al-′Aqqâd,
Al-Mar’ah fî al-Qur’an, h. 19.

118
pantas diarahkan pada ibunya Fatme. Karena Fatme memiliki kelembutan, kehalusan
kelenturan sentuhan perempuan. Akkad melihat bahwa anak laki-laki dan perempuan
memiliki kecenderungan yang sama dalam hal ini, seperti mencium, memegang, dan
membelai ibunya dengan agresif. Mereka akan merasakan kecemburuan yang sama
jika ada orang lain yang mencoba menarik perhatian ibunya dari mereka.81
Ketidakmandirian Zahra terlihat pada sikapnya yang tidak bersahabat
terhadap orang asing. Terlebih jika orang asing tersebut mencoba menarik perhatian
ibunya. Orang asing tersebut dianggapnya sebagai sebuah ancaman.82 Ketika Ibu
(Fatme) tidak memperdulikannya maka Zahra -sebagai anak kecil- tidak dapat
mengendalikan kontrol untuk melawan dan menunjukkan ketidaksukaannya. Zahra
terkadang melakukan trik-trik yang aneh untuk mendapatkan cinta ibunya kembali.
Seperti saat mereka (Zahra, Ibunya dan teman laki-laki ibunya) berada dalam
perjalanan ke Damaskus, Zahra merasakan mual yang tertahankan di dalam mobil
sehingga beberapa kali mobil harus berhenti. Ia tidak mengerti akan perasaan dan
keinginannya untuk muntah, apakah disebabkan karena mabuk darat ataukan
ketidaknyamanannya bersama laki-laki yang telah menarik perhatian ibu darinya.
Hingga pada akhirnya, Zahra tidak mampu menahan kontrol dan memuntahi bagian
depan tubuhnya, yang kemudian mengenai ibunya. Pada saat yang sama, ibunya
menarik tangan kirinya dari paha laki-laki berbibir tebal itu.
Hal menarik yang terjadi dalam percakapan internal dalam diri Zahra adalah
menyebutkan sosok laki-laki yang tidak disukainya dengan sebutan ‘sopir’.
Ungkapan ini menunjukkan sikap kebenciannya terhadap pria tersebut yang telah
merebut perhatian ibunya. Sopir menunjukkan suatu hubungan antara majikan dan
bawahannya, hubungan yang tidak layak terjalin karena merupakan hubungan
vertikal. Sedangkan hubungan yang dipahaminya selama ini adalah hubungan
horizontal yang terjalin antara ayah dan ibunya di rumah.
81
Simone de Beauvoir, Second Sex: Kehidupan Perempuan, h. 3-4.
82
Bahkan ayah dan saudaranya sekalipun, ketika perhatian ibunya terbagi kepada orang lain maka
ia akan menganggap orang tersebut sebagai sebuah ancaman. Jika sikap ini terus dijaga oleh ibunya
maka feminitas tersebut akan berkembang menjadi kemanjaan.

119
• Perempuan sangat Pemalu
Zahra digambarkan sebagai sosok yang pemalu, sifat pemalu yang dimilikinya

bukanlah sesuatu yang mutlak, karena hal tersebut bukanlah watak dan tabiat. ” ‫ﻓﺄﻧﺎ ﻻ‬

.‫ﻢ ﺑﻔﺘﺢ ﺍﻟﻜﻴﺲ‬‫ ﻭﻗﻄﻊ ﺷﺮﻭﺩﻱ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺍﻟﺬﻱ ﻫ‬,‫ﺃﻇﻬﺮ ﳍﺎ ﺳﻮﻯ ﺳﻜﻮﰐ‬ ”.83 Dalam aspek

semiotis, kata ”malu” memiliki konotasi ketidaknyaman, kebencian dan


ketidaksukaan. Hal ini tergambar pada saat Zahra menerima ajakan pamannya

(Hasyim) untuk pergi nonton ke bioskop “ ‫ ﻭﻧﺪﻣﺖ ﻓﺠﺄﺓ ﻷﱐ‬,‫ﰱ ﺍﻟﺴﻴﺎﺭﺓ ﺃﺣﺴﺴﺖ ﺑﺎﻟﻀﻴﻖ‬

.‫"ﻗﺒﻠﺖ ﺩﻋﻮﺗﻪ‬.84
”Malu” yang dialami oleh Zahra mempunyai hubungan indeksikal dengan
maknanya leksikal (semiotik tingkat pertama), secara semiotis makna tersebut
muncul melalui pengalaman penulis di masa kanak-kanaknya. Menurut Hude, malu
merupakan salah satu bentuk ekspresi pelepasan diri (withdrawal) yang terjadi pada
seseorang yang ingin lari dan menghindar dari objek yang menimbulkan emosi.
Biasanya hal ini terjadi pada emosi yang tak menyenangkan (emosi negatif).85
Perempuan juga memiliki perasaan malu yang sangat besar terhadap orang-orang di
sekitarnya. Sehingga perempuan akan menjadi sosok yang pasif, hanya menunggu
dan tidak mau mendahului karena perempuan mempunyai tingkat kesopanan yang
lebih tinggi dibanding laki-laki.86
Untuk memperjelas dan mempertegas citra yang dimaksudkan oleh penulis,

83
Hanân asy-Syaikh, Hikâyah Zahra, h. 15.
84
Hanân asy-Syaikh, Hikâyah Zahra, h. 22.
85
M. Darwis Hude, Emosi: Penjelajahan Religio-Psikologis tentang Emosi Manusia di dalam Al-
Qur’an, h. 52-53.
86
Sebaliknya, ′Aqqad menyatakan bahwa perasaan malu adalah sebuah kewajaran pada seseorang,
karena malu adalah mengutamakan mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang pantas dan
yang tidak pantas, mana yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah. Menurut ‘Akkad, keadaan
perempuan yang pemalu tersebut hanya terjadi jika ia berada bukan pada komunitasnya, sebaliknya
jika para perempuan berkumpul di dalam komunitasnya maka ia akan melupakan sifat pemalunya itu.
′Abbâs Mahmûd Al-′Aqqâd, Al-Mar’ah fî al-Qur’an, h. 43 dan 49.

120
terkadang digunakan kata-kata oposisi yang bermakna berlawanan. Pada awal cerita
Zahra dicitrakan sebagai perempuan pemalu dan pasif (withdrawal), akan tetapi di
bab berikutnya, citra tersebut tampil dengan warna yang berbeda. Ia cenderung
menunjukkuan sikap ketertarikan (interest) terhadap setiap hal yang ditemukannya.
Seperti ketika pamannya “Hasyim” memperkenalkan Zahra pada teman-temannya
yang berlanjut pada makan malam bersama. Zahra menunjukkan sikap pelibatan diri
yang disebut (attachment), yaitu tingkah laku dengan upaya bergerak maju
menghadapi kenyataan dan menyelesaikan masalah yang dianggap mengganggu
‘stabilitas’ organisme. Hal ini biasanya dilakukan seseorang sebagai upaya atau
mekanisme pertahanan diri (self-defense-mechanism).87 “Ketika pamannya
mengundang teman-teman terdekatnya untuk makan malam di luar, ia merasakan
keamanan dan kenyamanan yang sama seperti saat-saat berada dalam kamar mandi
di rumahnya Beirut, dan seperti berada dalam cangkang dan kepompong.”
Bagi Zahra, berkumpul bersama teman-teman pamannya memberikan
kenyamanan tersendiri dalam dirinya. Di mana ia tidak berdua-duaan dengan
pamannya di rumah dan tempat-tempat kegelapan, karena hal tersebut akan
memulihkan ingatan-ingatannya di masa kecil, adegan di mana ia menyaksikan ibu
dan laki-laki berbibir tebal itu tidur bersama pada tempat tidur yang sama dan
bercumbu rayu di sebuah kamar hotel di Damaskus. Relasi pertentangan yang
terefleksi dari citra yang dibangun penulis dimaksudkan untuk memperkuat dualisme
kontak psikis yang ada pada perempuan. Selain itu, dualisme tersebut membantu
proses kongkretisasi pembaca untuk menimbulkan citraan yang memperkuat aspek
feminitas yang melekat pada diri perempuan
• Ketidakstabilan Emosi
Perselingkuhan ibunya menimbulkan perasaan yang kotradiktif dalam
batinnya, Zahra selalu bertanya pada dirinya sendiri apakah sikap untuk melindungi
perbuatan ibunya itu merupakan suatu perasaan takut, cemburu ataukah rasa kasihan

87
M. Darwis Hude, Emosi: Penjelajahan Religio-Psikologis tentang Emosi Manusia di dalam Al-
Qur’an, h. 52.

121
pada ayahnya. Perasaan yang tanpa nama itu meliputi rasa takut, malu dan cemburu.
Perasaan itu muncul tiap kali ia menemani ibunya menemui laki-laki itu, baik di
Damaskus, pantai atau pun di bawah pohon kenari.
Menurut Hude, kondisi ketidakstabilan emosi88 pada Zahra terlihat pada
keraguan yang biasa terjadi pada masa kanak-kanak. Salah satu alasan mengenai
keraguan tersebut terjadi karena ketidakmatangan anak-anak secara emosional,
terlebih menyangkut perselingkuhan ibunya. Sehingga Zahra yang masih kanak-
kanak belum mampu membedakan perbuatan yang baik dan buruk, wajar dan tidak
wajar maupun pantas dan tidak pantas. Perasaan yang tidak dimengerti ini
menunjukkan bahwa kebingungan dan kekhawatiran yang tersirat dari bentuk

pernyataan yang diungkapkan si-aku “ ‫ ﻭﺍﻟﺸﻌﻮﺭ ﺍﻟﺬﻱ ﻻ ﺃﺳﺘﻄﻴﻊ ﺇﻋﻄﺎﺀﻩ‬,‫ﻛﻨﺖ ﺃﺳﺄﻝ ﻧﻔﺴﻲ‬

.‫”ﺻﻔﺔ ﻳﻼﺯﻣﲏ‬.89 Ungkapan tersebut ditandai dengan bentuk ”pertanyaan dan

kemisteriusan” yang digunakannya. Image perempuan sebagai tanda yang ditafsirkan


pembaca dapat menimbulkan efek psikis karena adanya reference yang kontekstual
dan arbitrer.
Pada perkembangannya menuju dewasa, di mana pengalaman mengenai
semestaannya telah bertambah, Zahra mulai mengerti dan memahami prilaku
perselingkuhan (adultery) yang dilakukan ibunya.90 Pada fase ini, perempuan telah

88
Emosi menurut Darwis Hude adalah gejala psiko-fisiologis yang menimbulkan efek pada
persepsi, sikap dan tingkah laku, serta mengejewantah dalam bentuk ekspresi tertentu. Emosi
dirasakan secara psiko-fisik karena terkait langsung dengan jiwa dan fisik. Untuk mempertegas
cakupan mengenai ‘emosi’, maka para ahli memberikan batasan yang mengacu kepada emosi, yaitu 1)
emosi adalah sesuatu yang kita rasakan pada saat terjadinya, 2) bersifat fisiologis dan berbasis pada
perasaan emosional, 3) timbulnya efek pada persepsi, pemikiran dan perilaku, 4) menimbulkan
dorongan atau motivasi, 5) mengacu pada cara pengekspresian yang diejewantahkan dalam bentuk
bahasa, ekspresi wajah, isyarat, dll. Untuk seterusnya, penulis menggunakan definisi “emosi” Hude
dalam menganalisa citra perempuan dalam bab ini. M. Darwis Hude, Emosi; Penjelajahan Religio-
Psikologis tentang Emosi Manusia Di Dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 17-19.
89
Hanân asy-Syaikh, Hikâyah Zahra, h. 12.
90
Berbicara mengenai perselingkuhan, maka penulis teringat kisah Alfu Layla wa Layla dan kisah
Yusuf dan Zulaikha. Kedua karya besar ini mencitrakan perempuan sebagai mahluk penggoda,
pemfitnah dan tidak dapat menjaga amanah. Dalam hal ini perselingkuhan merupakan bentuk dari
luapan hasrat seksual yang tak tersalurkan bersama pasangannya. Perselingkuhan dalam kisah Yusuf

122
memiliki kemampuan untuk menilai dan memahami keadaan yang misterius tersebut

“.‫ﻋﻴﻮﻥ‬ ‫ﺪ ﺃﻗﺪﺍﻣﻨﺎ ﻧﺰﻭﻻ ﻭﺍﻷﺷﺠﺎﺭ ﻛﺄﺷﺨﺎﺹ ﳍﺎ‬ ‫ﺮ ﻣﺸﻴﻨﺎ ﲢﺖ ﺍﳌﻄﺮ ﻭﺍﻟﻮﺣﻞ ﻳﺸ‬ ‫” ﺃﻋﺮﻑ ﺍﻵﻥ ﺳ‬.91
Di sini sudah mulai terlihat bahwa citra perempuan menunjukkan kejiwaan
perempuan dewasa yang memahami arti/makna norma-norma susila dan nilai-nilai
etis yang berkembang di masyarakat. Perasaan yang dirasakan oleh si-aku ketika
mengetahui tragedi perselingkuhan ibunya digambarkannya seperti menaiki roller

coaster (‫)ﺍﻟﺪﻭﳜﺔ‬.92 Bermain roller coaster bagi Zahra merupakan pengalaman buruk

dalam hidupnya, sampai-sampai ia mengimajinasikan permainan tersebut dengan


perjalanan menuju neraka karena penuh dengan kehampaan, menggantung antara
bumi dan langit seperti sambaran kilat, dan saat menapak bumi seakan kakinya
terlepas dan menggelinding dari bawah tubuh. Roller Coaster membuat tubuh
menjadi kaku, jantung berdetak cepat, gigi bergemeratak karena jalannya yang begitu
cepat dan tinggi.
Dalam perjalanan menuju neraka, imaginasi yang dibangun adalah pertemuan

dengan tuhan, bagi si-aku, tuhan tersebut terefleksi dalam tubuh ayahnya “ ‫ﺍﳋﻮﻑ ﻣﻦ‬

‫”ﺻﺎﺣﺐ ﺍﻟﺒﺬﻟﺔ ﺍﻟﻜﺎﻛﻴﺔ ﻭﻣﻦ ﺗﺮﺍﻣﻪ ﻭﻣﻦ ﺟﺴﻤﻪ ﺍﳌﻤﺘﻠﺊ ﺃﺧﺎﻓﲎ‬.93 Suami merupakan seseorang

dan Zulaikha perlu disikapi dengan bijak. Baik perempuan dan laki-laki memiliki hasrat seksual yang
sama, dalam menghadapi situasi di mana seorang istri yang masih muda belia berhadapan dengan
suami yang telah renta dan disibukkan dengan urusan kenegaraan sehingga hampir tidak memiliki
kesempatan untuk mencumbu Zulaikha. Hasrat seksual yang tidak tersalurkan meluap sehingga
melebihi batas kemampuannya untuk bertahan sehingga Zulaikha menepiskannya dengan menarik
perhatian Yusuf. Pada saat yang sama, Yusuf sedang berada dalam kematangan usia. Seperti
diungkapkan dalam Surat Yusuf; 24 “Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan
perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikan
dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya
kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih. Jadi
suatu kewajaran bagi manusia biasa jika hasrat tersebut menghampiri, karena tuntutan hasrat seksual
tidak hanya datang pada perempuan, tetapi juga pada laki-laki. Baca: Ali Muthohhar, Perempuan
dalam Catatan Tuhan; Anda Termasuk Yang Mana, (Surabaya; Pustaka Progressif, 2000), h.27-29.
91
Hanan al-Shaykh, Hikayah Zahra, h. 13.
92
Hanan al-Shaykh, Hikayah Zahra, h. 17.
93
Hanan al-Shaykh, Hikayah Zahra, h. 17-18.

123
yang memiliki otoritas penuh dalam keluarga, ia yang mengendalikan, memutuskan
dan menghukum. Akan tetapi, tuhan juga memiliki kasih sayang dan pengampunan
bagi hamba yang bertaubat dan menyadari akan kesalahannya.
Selain itu, ayah juga disimbolkannya sebagai monster yang digambarkan sebagai
laki-laki berwajah cemberut dengan kumis Hitler di atas bibir tebalnya. Monster
merupakan simbol dari kejahatan, ia merupakan mahluk yang mengerikan dan
menyeramkan.94 Hal ini terlihat dari pendiriannya yang keras, yang memandang
segala persoalan secara hitam dan putih, sikapnya kasar, anarkis, dan ringan tangan.
Zahra dan Fatme merupakan korban dari karakternya yang keras, Zahra bahkah
pernah dipukulnya ketika ia melihat Zahra berdiri di depan cermin untuk memenceti
jerawat-jerawat yang baru tumbuh. Sedangkan ibunya, pernah dipukul dan bahkan
hampir dibakar oleh ayahnya ketika ia mengetahui ibu (istrinya) berselingkuh
dengan laki-laki lain. Sedangkan ibunya, sebagai mahluk yang lemah, tidak

mempunyai kekuatan untuk menahan dan melawan amarah dari ayahnya. “ ‫ﻭﱂ ﺃﻋﺮﻑ‬

.‫ﺍ‬‫ﻴﺮ‬‫ ﻛﺎﻥ ﺍﳌﻮﻗﻒ ﳏ‬.‫ ﻭﺃﻳﻦ ﻣﻮﻗﻌﻲ ﻭﺃﻳﻦ ﻋﺎﻃﻔﱵ ﻭﳌﻦ ﻋﺎﻃﻔﱵ‬,‫”ﺃﻳﻦ ﺃﻗﻒ‬ Zahra sebagai anak

perempuan, hanya bisa menyaksikan kekejaman yang dilakukan ayahnya, karena


perasaan yang bergejolak dalam hatinya adalah perasaan takut yang amat sangat
sehingga tak mampu berbuat apapun selain ingin menarik dan memeluk ibu dan
menyelamatkannya.95
• Perempuan suka melakukan tipu daya
Menurut Akkad, perempuan selalu memiliki pembawaan yang menyerupai
anak-anak, baik dalam kesenangan ataupun dalam kemarahan, dalam kemanjaan dan
ketegangannya, kesenangan menguasai dan menurut perintah, dan dalam
pergaulannya dengan orang-orang di sekitarnya. Perempuan itu menyerupai anak-
anak, baik yang sebaya dengan umurnya atau pun yang sebaya dengan umur anaknya.

94
Semia Harbawi, Narrativising Betrayal in Hanan al-Shaykh’s The Story of Zahra, http://www.
arabes quespress .org/journal/ books_reviews/0138807.html.
95
′Abbâs Mahmûd Al-′Aqqâd, Al-Mar’ah fî al-Qur’an, h. 19.

124
Kelakuan tersebut bukanlah merupakan sesuatu pembawaan yang dibuat-buat oleh
perempuan itu, tidak pula dapat ditinggalkannya menurut kemauannya sendiri. 96
Bagi Fatme, tipu daya yang dilakukannya bertujuan untuk menjaga
keharmonisan rumah tangga dan kehormatan anak laki-laki di hadapan suaminya.
Demi anak laki-laki yang dibanggakannya, Fatme berusaha menyembunyikan
kebusukan sifat dan prilaku anaknya “Ahmad” yang berusaha mencuri gelang emas
di tangannya ketika ia sedang tidur. Tak jarang pula, Fatme berbohong pada
suaminya ketika ia menanyakan mengenai keberadaan Ahmad, padahal ia belum
pulang. Dengan kelihaiannya, Fatme mengatur skenario dengan meletakkan bantal di
bawah selimut untuk meyakinkan suaminya bahwa Ahmad telah tidur di kamarnya.97
Karena hal itu, perempuan dikenal dengan kecerdikan dan kelihaiannya
96
Mitos mengenai perempuan sebagai mahluk yang suka melakukan tipu daya muncul melalui
kisah Yusuf dan Zulaikha yang dapat ditemukan pada QS. Yusuf: 25-28 dan kisah Yusuf dan saudara-
saudaranya QS. Yusuf: 76. Rangkaian ayat ini menjelaskan alibi yang dilakukan Zulaikha di hadapan
suaminya. Zulaikha bergaya seolah-olah tanpa kesalahan, ia bertanya pada suaminya: “hukuman apa
yang sepantasnya dijatuhkan kepada orang yang bermaksud jahat pada isterimu selain dipenjarakan
atau dengan siksaan yang berat?.” Di sini Zulaikha mengingkari kesalahannya, memutarbalikkan fakta,
dan mengalihkan kesalahan pada Yusuf As. yang sedikitpun tidak bersalah apa-apa. Yusuf membela
diri dengan menceritakan kejadian yang sebenarnya, “Dia menggodaku untuk menundukkan diriku
(kepadanya)”. Kehadiran seorang saksi membuat persoalannya menjadi jelas. Sobekan gamis Yusuf di
belakang merupakan bukti bahwa Yusuf berada di pihak yang benar, sekaligus membongkar kepalsuan
keterangan Zulaikha. Menanggapi hal tersebut, Pothipar (al-Aziz) murka dan berkata “Sesungguhnya
(kejadian) itu adalah di antara tipu daya kamu, sesungguhnya tipu daya kalian (perempuan) sangat
besar.
Potongan ayat lain juga menyatakan hal yang sama (QS. An-Nisa: 76) “dan sesungguhnya tipu
daya setan sangat lemah”. Zamakhsyari juga mengutip ungkapan seorang ulama yang berbunyi “saya
lebih takut pada rayuan perempuan daripada rayuan setan”. Ungkapan-ungkapan tersebut terkesan
melegitimasi perempuan sebagai mahluk yang suka melakukan tipu daya. Padahal di ayat yang lain
(QS. Yusuf: 5) Tuhan menampilkan sekumpulan laki-laki (saudara-saudara Yusuf As.) sebagai pelaku
tipu daya juga. Hal tersebut menpertegas kepada kita bahwa potensi untuk melakukan tipu daya tidak
hanya terletak pada perempuan, akan tetapi juga laki-laki. Pada QS. Al-Anbiya’: 70 dan Ash-Shaffat:
98, pelaku tipu daya tidak diidentikkan dengan menyebutkan jenis kelamin tertentu. Ayat ini justru
menampilkan lafadz jamak (kelompok), yang dalam karakter bahasa Arab meliputi laki-laki dan
perempuan. Alimin Mesra, Menyoal Citra Buruk Perempuan dalam Tafsir, dalam Potret Perempuan
dalam Teori dan Realitas, (Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW) Press, 2007), h. 180-187; lihat juga
‘Abbas Mahmud Al-Akkad, Wanita dalam Al-Qur’an, h. 24-25; Barbara Freyer Stowasser,
Reinterpretasi Gender; Wanita dalam Alquran, Hadis dan Tafsir, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994),
h. 123-138.
97
Demi menjaga nama baik anak laki-laki satu-satunya, Fatme memilih untuk berbohong pada
suaminya. Saat itu Ahmad terlambat pulang ke rumah, maka ia mengusutkan tempat tidurnya dan
meletakkan bantal di bawah selimut, sehingga ketika suaminya bertanya ia akan mengatakan bahwa
Ahmad sedang tidur di kamarnya. Hanân asy-Syaikh, Hikâyah Zahra, h.29.

125
memutarbalikkan fakta. Tipu daya tidak hanya dikonotasikan dengan hal-hal negatif,
akan tetapi berpotensi juga pada tindakan positif. Tipu daya terkait dengan kelihaian
mengatur, mengolah dan berusaha.98
Demi menjaga kelanggengan rumah tangganya, Fatme berusaha
menyembunyikan perselingkuhannya dari suami dan ayahnya. Perselingkuhan
tersebut dilakukannya dengan sembunyi-sembunyi, ia pun selalu membawa Zahra –
anak perempuan satu-satunya- untuk menemaninya menemui laki-laki tersebut.
Berbagai macam cara telah dilakukannya untuk dapat menemui laki-laki itu, Fatme
pernah meminta izin kepada suaminya untuk pergi menjenguk orang tuanya ke
Damaskus padahal ia pergi ke sebuah hotel bersama laki-laki yang tak pernah Zahra
sukai itu.
Sedangkan bagi Zahra, menyembunyikan hubungan terlarang bersama Malik dari
pandangan ayah dan ibunya merupakan rahasia terbesar dalam hidupnya. Jika ia
merasa terancam maka dengan secepat kilat ia akan berlindung ke dalam kamar
mandi yang dianggapnya sebagai sebuah cangkang. Penulis mempunyai maksud

tertentu dengan menggunakan ”kamar mandi” sebagai ide kenyamanan “ ‫ﻛﻨﺖ ﺃﺭﺗﺎﺡ‬

.‫”ﻭﺃﺧﻄﻂ ﳌﺎ ﺳﻮﻑ ﺃﻓﻌﻠﻪ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﰒ ﺑﺪﺃﺕ ﺃﺣﺘﺎﺟﻪ ﻟﻴﺤﻤﻴﲏ‬.99 Tempat ini merupakan tempat
terpilih bagi Zahra, karena kamar mandi dianggapnya sebagai ruang privasi yang
mampu menghilangkan jejak-jejak kotoran tubuh dan mampu menjaga rahasia
pribadinya. Ketika rasa takut akan pandangan menusuk ayahnya dan disusul oleh
kebahagiaan dan kemenangan atas kecerdikan dan tipu muslihat yang digunakannya
untuk memperdaya ayahnya ‘Ibrahim’. Perbuatan yang samapun dilakukannya ketika
pamannya ‘Hasyim’ memberikan belaian dan kasih sayang yang berlebihan sebagai
tanda kasih sayang seorang paman kepada keponakannya, akan tetapi bagi Zahra hal
tersebut membuatnya merasa tidak nyaman sepanjang siang dan malam.

98
′Abbâs Mahmûd Al-′Aqqâd, Al-Mar’ah fî al-Qur’an, h. 22.
99
Hanân asy-Syaikh, Hikâyah Zahra, h. 23.

126
Selain kamar mandi, Zahra juga bersahabat dengan cermin, karena cermin
merupakan sahabat yang paling jujur. Setidaknya, Zahra akan melihat wajah dan
tubuhnya ketika akan tidur dan bangun tidur. Cermin akan menyatakan keadaan
terburuk mengenai jerawat yang menyebar di seluruh wajahnya dengan darah kering
di atasnya membentuk keropeng hitam dan coklat.100
Kebermaknaan cermin bagi para perempuan adalah substansial, menurut
Lacan (1901-1981), seorang psikoanalis Perancis, cermin merupakan sebuah fase
penting yang akan dilalui bagi para perempuan, fase cermin merupakan momen pada
anak perempuan dengan melihat dirinya sendiri di depan cermin dan dengan hal
tersebut memungkin untuk membuat citra tubuh yang menyatu. Layar antara subjek
dan kenyataan riil adalah bagian dari struktur specular yang menjadi subjek.
Selanjutnya Kristeva menyatakan bahwa fase cermin ini membuat anak perempuan
sebagai individu menarik diri dari representasi feminitas.101
2) Kesadaran Diri (Self Consciousness)102
• Sebuah Pemberontakan
Dalam proses menuju dewasa, Zahra bersifat lebih hati-hati, baik terhadap
lingkungan maupun orang-orang di sekitarnya. Baginya, setiap laki-laki, baik ayah,
paman, kakek, kakak, adik, keponakan dan sepupu pun dianggap sebagai ancaman
yang harus dihindarinya. Bobot feminin yang melekat ditubuhnya memberikan
tanggung jawab ganda bagi diri dan keluarganya. Karena ia dituntut untuk menjaga
kesucian dan kehormatan, pada akhirnya Zahra yang sangat hati-hati dan selektif
dalam memilih teman dekat dan menjalin hubungan dengan laki-laki.

100
Hanân asy-Syaikh, Hikâyah Zahra, h. 27.
101
Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, h. 289. Lebih lengkap baca: Julia Kristeva, Desire in
Language: a Semiotic Approach to Literature and Art, (Basil, Blackwell: Oxford, 1980).
102
Dalam Ensiklopedia Feminisme yang ditulis Maggie Humm, MacKinnon memberikan
pengertian yang spesifik mengenai Self Consciousness yaitu bentuk pengetahuan yang melibatkan
pemahaman politik atas diri dalai masyarakat. Istilah ini biasanya digunakan para feminis untuk
mendeskripsikan metode kritis feminisme. Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, h. 418. Lebih
lengkap lihat: Catharine MacKinnon, ‘Feminism, Marxism, Method and the State: an Agenda for
Theory’, Feminist Theory, N.O. Keohane, et.al., (Ed.), (Brighton: Harvester Press, 1982)

127
Zahra adalah sosok perempuan yang lemah, tepatnya lemah untuk mengatakan
sesuatu yang tidak disukainya. Keadaan ini berkembang seiring perkembangan psikis
Zahra sebagai perempuan dewasa yang tidak berani menggungkapkan keinginan dan
atau menolaknya. Untuk menutupi kekurangannya sebagai mahluk yang lemah, Zahra
memerlukan perlindungan yang diimajinasikan seperti sebuah ”cangkang dan

kepompong “.‫ﺿﻴﺎﻉ‬ ‫ ﻓﺄﻧﺎ ﺃﺻﺒﺤﺖ ﰲ ﺣﺎﻟﺔ‬,‫ﱄ ﻣﻮﺟﺔ ﺟﺪﻳﺪﺓ ﻣﻦ ﺍﳊﺰﻥ‬


‫”ﻭﺍﻧﺘﻘﻠﺖ ﺇ ﹼ‬.103
Cangkang dan kepompong104 merupakan simbol perlindungan, keamanan dan
kenyamanan, sebagaimana yang terjadi pada beberapa binatang seperti siput, kerang,
kura-kura, kupu-kupu dan yang lain, cangkang dan kepompong merupakan rumah
bagi mereka. Secara semantis, cangkang/kepompong mempunyai korelasi yang erat
dengan tempat yang nyaman, di mana tempat itu memberikan sebuah kenyamanan,
perlidungan dan keamanan dari ancaman dan serangan-serangan luar yang
mengganggunya. Cangkang dan kepompong merupakan tempat di mana ia dapat
bersembunyi dari sesuatu yang mengancam dan mengganggunya. Di Beirut,
cangkang reference kepada kamar mandi di rumahnya, karena di sana adalah tempat
yang paling nyaman dan aman untuk menenangkan diri dan menyembunyikan rahasia
dirinya dari pandangan menyelidik dan tatapan tajam ayahnya.
Bagi Zahra, ayah merupakan ancaman105 yang menjelma sebagai tuhan
bersetelan khaki, dengan seluruh kekuatan yang dimilikinya, ayah mampu memukul,
dan menampar, termasuk istri dan anaknya sendiri. Selain itu, kegelapan juga
merupakan ancaman. Malam yang identik dengan kegelapan membawa ingatannya
kembali pada suatu peristiwa yang menyedihkan dan menakutkan (keadaan ini biasa

103
Hanân asy-Syaikh, Hikâyah Zahra, h 26.
104
Hanân asy-Syaikh, Hikâyah Zahra, h. 38-39.
105
Ancaman-ancaman tersebut hadir karena adanya stimulus (pengalaman) yang diterima dari luar
sehingga memicu terjadinya perubahan fisiologis dalam tubuh. Hal ini sejalan dengan Teori emosi
yang disampaikan oleh Stanley Schachter dan Jerome Singer. Menurut mereka, emosi merupakan
fungsi interaksi antara faktor kognitif dan keadaan keterbangkitan fisiologis. M. Darwis Hude, Emosi:
Penjelajahan Religio-Psikologis tentang Emosi Manusia di Dalam Al-Qur’an, h. 59-62.

128
disebut fobia), 106 di mana sepupunya “Kasem” mencoba mencuri sesuatu dari balik
celana dalamnya, dengan penuh kesadaran Zahra tersentak dan terbangun dari tidur
dan kegelapan malam. Sekilas kilatan kaca mata Kasem tertangkap basah olehnya.
Setelah kejadian itu, Zahra tak dapat lagi memejamkan matanya dan terus terjaga
hingga pagi dengan perasaan sedih dan ketakutan. Kegelapan memberikan stimulus
negatif dan kesan yang buruk terhadapnya sehingga ia berusaha untuk menghindari
dan membenci kegelapan.
Ancaman tersebut terulang kembali ketika ia berada di Afrika bersama
pamannya. Semua gerak-gerik dan perlakuan pamannya Hasyim yang diterimanya
membuat ia menjadi orang lain dan merasa tak nyaman. Sejak dari pertama kali Zahra
bertemu dengan Hasyim ‘pamannya’, di mana Hasyim mencium dan memeluk Zahra
dengan erat, perbuatan ini coba dirasionalisasikannya sebagai kebiasaan orang-orang
Afrika jika bertemu dengan seseorang yang baru ditemuinya. Selebihnya, perbuatan-
perbuatan selanjutnya tidak dapat dirasioanalisasikannya sebagai perbuatan yang
wajar, yaitu ketika setiap pagi Hasyim membangunkannya dengan menyentuh
wajahnya, lalu di bioskop Hasyim melingkarkan lengannya di sekeliling bahu dan
memeluknya, sementara tangannya meremas bahu Zahra, jari-jarinya mencari dan
menggenggam tangan Zahra.107 Ketidaknyamanan ini membuat perasaan dan
pikirannya terkuras. Ia berusaha untuk mengimbangi prilaku pamannya demi rasa
hormat dan segan yang meliputi hatinya. Akan tetapi, lama kelamaan perlakuan
tersebut menjadi berlebihan, perlakuan tersebut layaknya yang biasa dilakukan oleh
laki-laki terhadap perempuan, bukan prilaku paman terhadap keponakannya.
Kejadian demi kejadian yang dihadapinya, menyisakan pergejolakan batin
yang mendalam, sehingga ia membenci dirinya sendiri yang tak sanggup

106
Menurut James D. Page, fobia adalah rasa takut tertentu yang disadari sendiri oleh pengidapnya
bahwa rasa takut itu tak masuk akal, tapi ia tak dapat menjelaskan atau mengatasinya. Dalam kasus
Zahra, ia termasuk mengidap nyctophobia yaitu takut akan kegelapan. James D. Page, Abnormal
Psychology: Clinical Approach to Psychological Deviants, (New Delhi: Tata McGraw-Hill Publishing
Company Ltd, 1978), h. 130-131.
107
Hanân asy-Syaikh, Hikâyah Zahra, h. 22, 23, dan 24.

129
memberontak dan mengadakan perlawanan terhadap ketidaknyamanan bersama
pamannya. Terlebih, pada saat pamannya menjilati jari-jarinya sambil mengenang
dan merindukan keluarganya di Beirut, ketidaknyamanannya ketika ia merasakan
kemaluan pamannya berdenyut di pahanya dan ketika tangan pamannya menyentuh
lehernya, saat ia merasakan denyutan nadi di lehernya.108 Satu-satunya perasaan yang
bisa dirasakannya hanyalah bergidik dan berusaha untuk berbicara, menangis,
mengancam dan memprotes atas perlakuan tersebut. Persis perasaan yang sama
dialaminya ketika melihat ibunya dan pria itu bergulat dalam kubangan keringat di
sebuah bilik kecil. Dan perasaan muak yang sama terhadap Malik yang terus
mengoceh mengenai kebohongan dan tipuan-tipuannya setelah aborsi kedua yang ia
lakukan.
Tekanan dan ancaman yang datang terus menerus pada akhirnya membuat Zahra
memilih kegilaan sebagai bentuk perlindungan terakhirnya. Kegilaan adalah
mengosongkan jiwa dari semua persoalan hidup, membawanya jauh terbang
meninggalkan jasad yang sedang dihakimi. Kegilaan merupakan cangkang terakhir
yang ia pilih untuk menyelamatkan diri dan mengumpulkan seluruh kekuatan dan
keberanian untuk meneriakkan ketidaknyamanan dan kegelisahan yang selama ini
menyelimutinya dan membuatnya muak. Dengan penuh keberanian Zahra
meneriakkan kemarahannya dan membuang jauh ketidaknyamanan yang diterimanya

selama ini “ ‫ ﳝﻜﻦ ﺃﻧﺖ‬,‫ ))ﻧﻌﻢ ﻣﻨﻚ‬:‫ﻗﻠﺖ ﺑﺼﻮﺕ ﺍﻟﻨﻌﺎﻣﺔ ﺃﻳﻀﺎ ﻭﻻ ﺃﻋﺮﻑ ﻛﻴﻒ ﺃﻓﻠﺘﺖ ﺍﻟﻜﻠﻤﺎﺕ‬

.((‫ ﻟﻜﻦ ﻣﺎ ﺃﺣﺒﺒﺖ ﺗﺼﺮﻓﺎﺗﻚ ﻣﻌﻲ‬,‫”ﻣﺎ ﻛﻨﺖ ﺗﻘﺼﺪ‬.109


Zahra keluar dari cangkangnya dan memutuskan untuk menikah dengan Majid, salah
satu teman pamannya. Dengan mengakhiri kelajangannya, Zahra menunjukkan

108
Bagi Zahra, setiap denyutan merupakan ancaman baginya. Denyutan nadi di tanganpun,
dianggapnya (identik) dengan denyutan penis yang dirasakannya pada saat pamannya mendekatkan
tubuhnya kepada Zahra, sehingga segala hal yang berhubungan dengan pamannya seperti memiliki
denyutan. Hal ini membuatnya bergidik dan menangis karena ia tak mampu untuk menjauhan diri dari
tubuh pamannya. Hanân asy-Syaikh, Hikâyah Zahra, h 37.
109
Hanân asy-Syaikh, Hikâyah Zahra, h. 43.

130
bahwa dirinya bukanlah orang frustasi dan pemberontak karena tak mengacuhkan
aturan untuk menikah di usianya yang matang,110 sebagaimana dipahaminya bahwa
pernikahan merupakan institusi yang secara tradisional menyediakan identitas sosial
bagi perempuan.111 Hal ini sejalan dengan harapan yang ingin dicapainya. Zahra
berharap pernikahan akan memberikan perlindungan dan kenyamanan bagi diri dan
tubuhnya; ia berharap tubuhnya tidak lagi dijadikan objek pelampiasan birahi laki-
laki. Gambaran tersebut sarat akan makna yang paradoks, di satu sisi pernikahan
menyelamatkan perempuan pada identitas sosial. Di sisi lain, perempuan akan
mempertaruhkan kehormatan dirinya pada laki-laki dan masyarakat pada umumnya.
Pernikahan bagai pisau yang siap mengupas segala rahasia yang menempel pada

tubuhnya “.‫ﻣﺮﺗﲔ‬ ‫ﺃﻓﻜﺮ ﰲ ﺍﳊﻴﻠﺔ ﺍﻟﱵ ﺳﺄﺣﺎﻭﳍﺎ ﻣﻌﻪ ﺣﱴ ﻻ ﻳﻜﺘﺸﻒ ﺃﱐ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﳎﻬﻀﺔ‬.”112
Ketakutan dan kecemasan yang dirasakannya ini berbeda dengan yang
sebelumnya, bahkan ia tidak tahu apakah perasaan tersebut berada pada tingkat
mental atau fisik. Yang ditakutinya adalah menyangkut kredibilitasnya sebagai
seorang perempuan yang baik dan berasal dari keluarga baik-baik. Ia telah
membayangkan konsekuensi yang akan diterimanya bahwa citra yang telah diukirnya
sekian lama akan menjadi terbalik. Tidak ada lagi Zahra, gadis matang yang sedikit
bicara, sang puteri yang selalu tinggal di rumah, sang pelajar yang rajin dan gadis

110
Ungkapan ini disadur dari konsep lajang yang dinyatakan de Beauvoir, kesendirian
menempatkan perempuan sebagai parasit dan pemberontak, dan perkawinan merupakan satu-satunya
sarana untuk mendapat dukungan dan pembuktian diri akan keberadaannya. Perkawinan adalah takdir
tradisional yang diberikan kepada perempuan dalam masyarakat, yang berlandaskan pada dua hal yaitu
1) perempuan harus memberi keturunan bagi masyarakat dan 2) perempuan berfungsi untuk
memuaskan seks pasangannya, sekaligus mengurusi tetek bengek kebutuhan suaminya. Dalam konteks
ekonomi, peran perempuan seperti itu dianggap sebagai pelayan khusus dan sebagai gantinya laki-laki
harus memberi mereka hadiah atau kepuasan dalam pernikahan (yang berupa kebutuhan finansial),
lihat: Simone de Beauvoir, Second Sex, h. 225-228.
111
Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, h. 266-268.
112
Pernikahan membawa perempuan (khususnya perempuan di Timur Tengah) pada resiko
terburuk di malam pertama sebagai taruhan dan harga mati sebuah kehormatan. Nelly van Doorn
Harder, Perempuan di Mesir: Perspektif Budaya dan Agama, Menakar Harga Perempuan, Syafiq
Hasyim (Ed.), (Bandung: Mizan, 1999, h. 33-34; Hanân asy-Syaikh, Hikâyah Zahra, h. 42.

131
pemalu yang hanya tersipu jika melihat segala sesuatu.113
Gambaran tersebut menunjukkan bahwa nilai patriarkhi sangat berpengaruh
pada kondisi kejiwaan Zahra dan keluarganya. Perempuan dinilai melalui kacamata
dan konvensi kultural yang diciptakan kaum laki-laki. Ketika perempuan berusaha
keluar dari aturan tersebut, alam bawah sadarnya akan tetap menuntunnya pada
kesadaran yang sama bahwa kebaikan dan keburukan perempuan berada dalam
penilaian budaya tersebut.
Adapun citra buruk perempuan yang menghiasi berbagai karya sastra,
merupakan representasi dari budaya dan adat istiadat yang berkembang di tengah
masyarakat tersebut. Berbagai image baik dan buruk yang melekat pada tubuh dan
jiwa perempuan tidaklah bersifat mutlak. Benar, bahwa perempuan secara kodrati
memiliki kelebihan fisik dibanding dengan laki-laki dengan memiliki payudara dan
rahim sehingga perempuan dapat hamil dan menyusui anak-anak mereka. Akan
tetapi, banyak juga dari perempuan yang bisa hamil dan mempunyai anak, bahkan
sengaja untuk tidak memiliki anak dengan melakukan aborsi. Semua ini merupakan
budaya yang dikonstruk masyarakat terhadap tubuh perempuan. Masyarakat dalam
hal ini, merupakan institusi yang paling bertanggung jawab terhadap diskriminasi dan
marjinalisasi yang menimpa kaum perempuan.
C. Perempuan dalam Aspek Sosial
1. Peran Perempuan dalam Keluarga

113
Semia Harbawi, Narrativising Betrayal in Hanan al-Shaykh’s The Story of Zahra, http://www.
arabes quespress .org/journal/ books_reviews/0138807.html; Hanan al-Shaykh, Hikayah Zahra, h. 42.

132
Secara sosial, perempuan memainkan peranan114 yang sangat penting dalam
perkembangan sosial dan budaya. Peran tersebut mencakup peranannya secara
individual dan kelompok, yang meliputi peran perempuan dalam keluarga dan
masyarakat. Akan tetapi, peranan tersebut selalu dikaitkan dengan fungsi gender
sehingga menimbulkan pembagian peran yang tidak proposional dan mempengaruhi
kedudukan perempuan dalam masyarakat.115 Pembagian peran yang tidak berkeadilan
gender ini menimbulkan pencitraan perempuan sebagai mahluk yang lemah lembut,
tidak mandiri, pemalu, emosional, penuh intrik, tidak cakap secara intelektual, dan
kurang memadai secara spiritual.116 Sehingga –menurut Wadud- perempuan tidak
dipercayai untuk melaksanakan atau menjalankan tugas dan fungsi tertentu dalam
masyarakat.117 Perempuan dibatasi pada fungsi yang berhubungan dengan aspek
biologisnya, sedangkan laki-laki dinilai lebih unggul dan lebih penting daripada
perempuan, karena laki-laki berpembawaan pemimpin dan pengayom, memiliki
kemampuan besar untuk menjalankan tugas-tugas yang tidak bisa dikerjakan oleh

114
Menurut Wolfman, peran adalah bagian yang dimainkan seseorang pada setiap keadaan, dan
cara bertingkah laku untuk menyelaraskan diri dengan keadaan. Hal ini sejalan dengan pengertian yang
disampaikan oleh Sugihastuti bahwa peran berarti seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh
seseorang yang berkedudukan dalam masyarakat. Terkait dengan peran utama perempuan dalam
tataran keluarga dan masyarakat, perempuan memiliki 7 peranan penting yaitu : 1) sebagai orang tua,
2) sebagai istri, 3) dalam rumah tangga, 4) dalam kekerabatan, 5) pribadi, 6) dalam komunitas dan 7)
dalam pekerjaan. Lihat: Brunetta Wolfman, Peran Kaum Wanita, terj. Anton Soetomo, (Yogyakarta:
Kanisius, 1989), h. 10; baca juga: C. Oppong dan K. Church, A Field to Research on Roles of Women:
Focused Biographies, (Geneva: ILO, 1981), h. 1 dan Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita: Perspektif
Sajak-Sajak Toeti Heraty, (Bandung: Nuansa Cendikia, 2000), h. 121.
115
Pendapat ini didukung oleh Al-‘Akkad, perbedaan ini dianggapnya wajar, karena dalam al-
Qur’an secara jelas telah dipaparkan bahwa laki-laki mempunyai kelebihan dari perempuan (QS. Al-
Baqarah: 228). Kelebihan tersebut berlandaskan pada tanggung jawab yang diberikan pada kaum laki-
laki untuk menafkahkan perempuan (QS. An-Nisâ: 34). Selain itu, perbedaan fisik yang sangat
mendasar menimbulkan jurang pemisah tersebut semakin dalam, baik dari segi kemampuan dan
kesanggupan laki-laki dalam mengerjakan urusan-urusan tertentu. ′Abbâs Mahmûd Al-′Aqqâd, Al-
Mar’ah fî al-Qur’an, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 1969), h. 9-10.
116
Bahkan Al-′Aqqâd menilai perempuan sebagai mahluk yang mempunyai sebahagian dari budi
pekerti. Hal ini terlihat dari tipu daya yang sering diperankan perempuan. Seperti dalam kisah Yusuf
dan Zulaikha di surat Yusuf: 28, 33 dan 50. Sifat dominan yang dimiliki perempuan adalah “ria” atau
menampakkan sikap yang berbeda dengan apa yang ada di dalam batinnya, dan berusaha untuk
menyembunyikannya dan menutupi keadaan yang sebenarnya. ′Abbâs Mahmûd Al-′Aqqâd, Al-Mar’ah
fî al-Qur’an, h. 21-22.
117
Amina Wadud, Qur’an Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat
Keadilan, (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 25-26.

133
perempuan.118 Penggambaran perempuan tersebut menular pada kebanyakan karya-
karya sastra, terutama pada penulis laki-laki (phallocentric),119 walaupun tidak
dipungkiri terkadang budaya tersebut masih berlaku pada sebagian penulis
perempuan.120
a) Seksualitas yang Dikebiri

118
Padahal, sejarah menulis beberapa kisah pejuang perempuan di masa Rasulullah, di antaranya
Nasiba binti Ka’ab yang ikut berperang dalam perang Uhud sampai ia terluka pada 13 tempat, Ummu
Sulaim binti Malhan, Hindun binti Rabiah, dan masih banyak lagi nama-nama perempuan tersohor
yang nama-namanya hampir musnah, karena sejarah hanya menulis jejak kepahlawanan laki-laki.
Amina Wadud, Qur’an Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat
Keadilan, h. 26.
119
Phallocentric merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan anggapan masyarakat
bahwa phallus atau penis merupakan simbol kekuatan, dan meyakini bahwa atribut maskulinitas
merupakan definisi norma kultural. Dalam karya sastra, laki-laki berusaha membangun kreativitas
artistik berdasarkan kualitas maskulin yang mengenyampingkan pengalaman perempuan. Maggie
Humm, Ensiklopedi Feminisme, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), h. 340.
120
Pada kesusastraan Arab, kisah “Alfu Layla wa Layla” dijadikan gerbang analisis oleh sebagian
sarjana dan peneliti Barat (Orientalis) untuk melihat citra dan karakter perempuan Arab, serta
menggunakan novel-novel sejenis sebagai alat yang berharga untuk menembus kedalaman atau
kedangkalan pikiran dan hati orang Arab. Akibatnya, image yang mereka simpulkan mengenai laki-
laki dan perempuan Arab adalah masyarakat yang memiliki pola kehidupan yang berpoya-poya,
menghambur-hamburkan harta benda, kuat secara seksual, dan suka bersenang-senang dengan
perempuan mereka. Nawal El Saadawi, Perempuan dalam Budaya Patriarkhi, Terj. Zulhilmiyasri,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 226-227; ‘Abdullah Muhammad al-Ghadzdzâmî, al-Mar’ah
wa al-Lughah, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqâfî al-‘Arabî, 1997), h. 57.

134
Hikâyah Zahra menyajikan tema seksualitas121 yang ambigu, di mana
seksualitas dipandang sebagai sesuatu yang ”terberi” atau “terdeterminasi”, akan
tetapi di sisi lain seksualitas diciptakan dan diterjemahkan berdasarkan konstruk
sosial suatu masyarakat. Dalam hubungan sosial, seks menjelaskan gender (gender
translates sex) yang diartikan sebagai koneksi homologic (kesamaan logika) yang
dibangun antara laki-laki dan perempuan. Sehingga status feminin dijatuhkan pada
perempuan dan maskulin pada laki-laki.122 Penulis mengangkat sosok Zahra dengan
konflik ketubuhan dan seksualitasnya, konflik tersebut dibangun berdasarkan
pengalamannya sebagai sosok perempuan yang menganggap bahwa seksualitas
perempuan adalah hak prerogatif perempuan (pribadi/private/milik sendiri), sehingga
ia berhak memutuskan untuk menikmati ataupun tidak menikmati seksualitasnya.
Adapun konsep mengenai seksualitas yang terkandung dalam Hikâyah Zahra
senada dengan teori sastra modern yang moderat sebagaimana diungkapkan oleh
Goenawan Muhammad dan Faruk. Menurut mereka, ada tiga pola sikap terhadap seks

121
Seksualitas merupakan persoalan penting dalam melihat pola relasi antara laki-laki dan
perempuan, baik dari aspek individual maupun sosial. Wacana seksualitas ini begitu banyak menarik
perhatian sejumlah agama. Islam sendiri dalam memandang seksualitas selalu menguraikannya dengan
rinci melalui teori-teori etika dan normatifnya dalam beberapa kitab fikih. Seperti Imam al-Ghazali
dalam bukunya Ihya ‘Ulumuddin, bab munakahah (perkawinan). Dalam sejarah, peristiwa Habil dan
Qabil yang memperebutkan perempuan yang mereka cintai untuk dijadikan istri merupakan simbol
yang menunjukkan bahwa seksualitas menempati kedudukan yang penting dalam sejarah
kemanusiaan.
Urgensi seksualitas ini digambarkan oleh Freud (6 Mei 1856 - 23 September 1939) sebagai pusat
teori psikologi-nya. Perlu dibedakan bahwa seks merupakan jenis kelamin yang membedakan kondisi
biologis seseorang, apakah dia secara anatomi laki-laki atau perempuan. Maggie Humm, Ensiklopedia
Feminis, terj. Muhdi Rahayu, h. 421.
Seksualitas adalah proses sosial yang menciptakan, mengorganisir, dan mengekspresikan serta
mengarahkan hasrat atau birahi (desire). Senada dengan hal tersebut, Deborah Cameron dan Don
Kulick memahami arti seksualitas sebagai ekspresi hasrat erotik yang dibentuk secara sosial (the
socially constructed expression of erotic desire). Menurut Made Oka Negara, seksualitas ini secara
denotatif memiliki makna yang lebih luas karena meliputi semua aspek yang berhubungan dengan seks
yang meliputi nilai, sikap, orientasi dan perilaku. Made Oka Negara, Mengurai Persoalan Kehidupan
Seksual dan Reproduksi Perempuan dalam Jurnal Perempuan; Seksualitas, (Jakarta: Yayasan Jurnal
Perempuan, 2005), h. 8.
122
Konsep tersebut dipahami oleh Barat sebagai ekspresi heteroseksualitas dan dianggap sesuatu
yang lumrah, normal (semestinya) dan alami. Kebalikan konsep tersebut adalah homoseksualitas yang
dihakimi atau dipahami sebagai hubungan yang anomali atau ‘perbuatan yang tidak wajar’. Mariana
Amiruddin, Kata dan Makna dalam Jurnal Perempuan, h. 110.

135
dalam sastra modern: pertama, karya yang berusaha mempersoalkan cinta tetapi tidak
berani menggambarkan seks. Karya sastra model ini memperlakukan persoalan seks
sebagai ”mawar berduri”, setidaknya istilah itulah yang digunakan oleh Harry
Aveling untuk menggambarkan jenis karya tersebut. Sastra jenis ini menggambarkan
tokoh yang sempurna secara fisik yang berhati malaikat, tetapi kehilangan fungsi
kelaminnya. Dalam hal ini, tokoh yang digambarkan adalah representasi pengarang
yang melihat dirinya hanya sebagai ”utusan Tuhan” yang menjadi penunjuk jalan
bagi bangsanya. Kedua, mempersoalkan seks dan menggambarkannya dengan cara
meneriakkan dengan keras. Karya-karya sastra jenis ini adalah karya sastra
pornografis yang menggambarkan peristiwa erotis secara berlebihan. Di Barat, pola
karya sastra ini merupakan simbol revolusi, reaksi dan simbol dari ketidakadilan,
kebobrokan, demoralitas, dan malaise. Ketiga, karya sastra yang mempersoalkan seks
sebagai bagian dari kehidupan manusia yang wajar dan menggambarkannya secara
wajar pula.123
Hikâyah Zahra dalam hal ini termasuk dalam karya sastra jenis ketiga yang
memandang seks sebagai bagian dari perbuatan manusia dalam kehidupan, seperti
halnya manusia tidur, makan, minum dan bekerja. Penggambaran seksualitas dan
ketubuhan perempuan masih dilakukan pada tataran yang wajar dan etis dan tidak
mengganggu moralitas pembaca, bahkan penulis lebih suka menggunakan mitos,
pemajasan dan persenofikasi dalam menuturkannya. Pemilihan gaya bahasa dalam
karya-karya sastra yang ditulis perempuan sebenarnya bertujuan untuk menguraikan
pengalaman-pengalaman perempuan. Hal ini dipertegas oleh Joanna Russ yang
menyatakan bahwa penciptaan mitos dalam novel dan karya ilmiah

123
Goenawan Muhammad, Seks, Sastra, Kita, (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), h. 1-14; lihat juga
Faruk, “Seks dan Politik dalam Sastra Indonesia”, dalam Media Indonesia, Minggu, 26 Oktober 2003,
h. 13; lihat juga Sukron Kamil, Najîb Mahfûz, Sastra, Islam dan Politik: Studi Semiotik Terhadap
Novel Aûlad Haratîna, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), h.61-62.

136
merepresentasikan suatu wilayah yang tak tercatat dalam potensi psikologi dan fisik
perempuan.124
• Kepasifan Seksual: Sebuah Harapan Patriarkhi
Perempuan diharapkan untuk bersikap pasif dalam segala sesuatu yang
menyangkut seksualitasnya. Dalam hal ini, Zahra menyadari bahwa mitos mengenai
pohon ara, kelelawar dan mata yang merah adalah akar permasalahan seksualitas bagi
perempuan, dan hal tersebut dipercayainya hingga dewasa. Kepercayaannya
mengenai mitos tersebut membuatnya takut untuk memasuki dunia perkawinan,
karena perkawinan akan membuka kedok dan rahasianya sebagai perempuan yang
tidak virgin. Ia menyesal atas keputusan untuk melakukan hubungan seksual,
menyerahkan keperawanan ”kehormatan seorang ”gadis” pada laki-laki pilihannya
(Malik).
Keputusan ini dirasionalisasikannya sebagai sebuah kesalahan bagi gadis yang
telah kehilangan kepercayaan diri. Rayuan dan kata-kata manis mengenai
pertemanan, cinta, kasih sayang dan Kahlil Gibran seakan mampu menyihir Zahra -
seorang gadis lugu dan pendiam- untuk menerima ajakan-ajakan Malik berkencan.
Beberapa pertemuan dilakukan di tempat-tempat yang wajar, seperti sebuah kafe –
walaupun kafe yang dikunjungi itu merupakan kafe yang sering dikunjungi oleh
mereka yang takut untuk terlihat bersama-. Pada pertemuan berikutnya, Malik telah
memilih sebuah kamar yang tersembunyi di belakang gedung kerjanya, satu-satunya
perabotan di dalamnya adalah tempat tidur bambu dengan selimut berwarna kuning,
sebagai tempat pertemuan mereka selanjutnya. Meskipun pada awalnya Zahra
menolak gagasan gila yang dikemukakan Malik, namun Malik berusaha
meyakinkannya bahwa kamar di dalam garasi merupakan alasan untuk menjaga

124
Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, h. 303-304, lebih lengkap lihat:Joanna Russ, ‘What
Can a Heroin do? Or Why Women Can’t Write, dalam Images of Women in Fiction: Feminist
Perspective, S. K. Cornillon (Ed.), (Bowling Green, Ohio: Bowling Green University Popular Press,
1973).

137
reputasinya dengan aman, agar tak ada satu orang pun yang melihatnya bersama
seorang pria yang telah menikah.125
Rasa hutang budi Zahra pada Malik yang telah memberikannya sebuah
pekerjaan sebagai juru ketik di pabrik Al-Regie membuatnya tidak mampu menolak
apa yang Malik minta. Sebagai seorang anak, Zahra menyadari bahwa ia telah
menghancurkan harapan keluarganya dan mencoreng nama baiknya di depan
keluarga besarnya. Malik tidak pernah terpengaruh sedikitpun atas penolakan dan
kepasifannya, bahkan ia sangat menikmati kepasrahan tersebut, saat ia menciumi dan
bercinta dengannya. Penolakan dan kepasifan itu merupakan respon atas sikap
bersalahnya, ia terus dibayang-bayangi oleh aturan dan dogma yang selama ini
mengukungnya. Perasaan muak, takut, bersalah, dan bayang-bayang ayahnya selalu
mengikutinya setiap kali ia melakukan hubungan seksual dengan Malik. Sehingga ia
tidak pernah dapat merasakan apapun ketika hubungan tersebut berlangsung (frigid)
”Saat aku bergerak mendekatinya, gelombang rasa dingin menyelimutiku. Aku
menggigil meskipun kepala dan telingaku tertutup. Punggungku menjadi kaku dan
bibirku mengering.
Dari aspek psikologis, teori yang paling menonjol untuk menggambarkan
seksualitas seseorang adalah teori Freud (1856- 1939) yang mengatakan ‘stigmatisasi
seks’ karena perasaan bersalah dapat mendorong seseorang menuju neurosis. Ia juga
membuktikan bahwa penyimpangan-penyimpangan pada tingkah laku seksual
bukanlah anomali yang jarang terjadi akan tetapi merupakan bagian dari
perkembangan seksual yang normal dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Dan
penyimpangan seksual yang terjadi pada orang dewasa merupakan sisa-sisa dari pola
seksual awal dan harus dipahami sebagai gejala neurotik, bukan sebuah kejahatan
(moral).126 Masih menurut Freud, ia mengasumsikan bahwa sumber energi tingkah
laku manusia adalah seks, dan perkembangan normal libido dapat dipengaruhi oleh

125
Hanân asy-Syaikh, Hikâyah Zahra, (Beirut: Dâr al-Adab, 2004), Ed. 4, h. 32, 34 dan 36.
126
Erich Fromm, Love, Sexuality, and Matriarchy about Gender, terj. oleh Pipit Maizier,
(Yogyakarta: Jalasutra, 2002), h. 197-198.

138
lingkungannya sehingga karakteristik kehidupan seksual dari seorang manusia
dianggap representasi yang sempurna dari kepribadian secara keseluruhan.127
Bagi Freud (1856- 1939), kepasifan seksualitas perempuan dikarenakan penis
envy, karena perempuan cemburu pada penis yang hanya dimiliki oleh laki-laki. Dan
pemusatan kenikmatan bagi perempuan adalah penetrasi laki-laki terhadap
perempuan. Perempuan hanya memiliki little penis yang tidak mampu memberikan
kenikmatan seksualitas perempuan. Lalu, ia mengkontruksi pandangan dunia bahwa
untuk menjadi “normal” maka perempuan harus memindahkan objek cintanya
(kenikmatan) dari klitoris pada vagina. Little penis ini dianggap Frued sebagai
kekurangan perempuan sehingga ia memusatkan diri pada tubuhnya untuk menarik
perhatian laki-laki, akan tetapi ketika perempuan memusatkan diri pada tubuhnya ia
pun merasa malu pada tubuhnya, karena itulah perempuan ditutup bukan hanya
karena memalukan tetapi juga menjijikkan. Konsep inilah yang pada akhirnya
membawa pada kepasifan seksualitas perempuan, ketika perempuan aktif dalam
seksualitasnya maka perempuan tersebut disebut sebagai “jalang, monster, liar, dan

terkutuk (‫ﺍﳌﻠﻌﻮﻧﺔ‬ ‫”)ﺑﻨﺖ‬.128


Keperawanan menunjukkan perempuan tidak memiliki ”wilayah intim”
mereka sendiri, karena hal itu adalah milik laki-laki dalam hubungan seks pertama
kali. Kondisi ini digambarkan Mariana (1976) sebagai hukuman bagi insting
perempuan. Wilayah intim perempuan tidak dapat merasakan kenikmatan seksual

127
Erich Fromm, Love, Sexuality, and Matriarchy about Gender, h. 198-199.
128
Stereotype yang melekat pada perempuan selama ini menyatakan bahwa nafsu perempuan
lebih besar dibanding laki-laki. Akal perempuan itu 1% sedangkan yang 99% nya adalah nafsu. Ketika
Freud memberikan karakter seksualitas perempuan sebagai pasif, masokhitis dan narcissistic, teori
feminisme dari tahun 1960-an mulai melakukan kritik yang menyeluruh terhadap gagasan-gagasan
seksualitas yang ada yang mengabaikan realitas pengalaman perempuan. Misalnya Anne Koedt dalam
The Myth of the Vaginal Orgasm menyatakan bahwa seksualitas perempuan tidak tergantung pada
penetrasi vaginal namun sangat berbeda-beda dan menyebar. Maggie Humm, Ensiklopedia Feminis,
terj. Muhdi Rahayu, h. 432; baca juga Aquarini Priyatna Prabasmoro, Abjek dan Montrous Feminine:
Kisah Rahim, Liur dan Pembalut dalam Jurnal Perempuan, Seksualitas, h. 39-42.

139
karena trauma dan rasa inferior seks yang tinggi.129 Selain itu, sikap frigid dan
kepasifan seksual yang ditunjukkan Zahra merupakan pengaruh yang didapatkan dari
ayahnya dan masyarakat bahkan agama yang dianutnya. Seperti dinyatakan Haideh
Moghissi, dalam “Feminisme dan Fundamentalisme Islam” bahwa masyarakat Islam
memandang tubuh perempuan identik dengan daya tarik dan kesenangan, karena itu
seksualitas perempuan masuk pada wilayah yang tabu, pengekangan dan tekanan bagi
perempuan. Dengan alasan tersebut maka perlu bagi negara maupun kelompok-
kelompok tertentu untuk memberikan batasan-batasan khusus guna mengontrol
seksualitas dan moral perempuan karena perempuan dianggap sebagai mahluk yang
lemah dalam pertimbangan moral, memiliki kemampuan kognitif yang rendah, kuat
secara seksual dan mudah terangsang.130
Sejak kecil, Zahra diajari untuk menjaga moral, prilaku, penampilan dan
kecantikan agar dapat menarik perhatian laki-laki. Semua ajaran yang diberikan
ayahnya tersebut merupakan suatu kungkungan dan pemasungan bagi Zahra.
Sehingga bentuk resistensi Zahra terhadap aturan-aturan tersebut adalah memutuskan
untuk berhubungan dengan laki-laki bahkan sampai melakukan hubungan seksual
yang selama ini dilarang oleh ayahnya.
Pada fenomena di atas, ditemukan bahwa wacana seksualitas yang
dikemukakan di atas dilatarbelakangi oleh adanya oposisi antara cinta dan larangan
orang tua dalam sebuah tatanan sosial yang patriarkhis dan juga resisitensi terhadap
ruang privat yang mengungkapkan fenomena sosial di mana anak perempuan lebih
banyak mendapatkan larangan daripada anak laki-laki. Walaupun dalam beberapa
kasus sosial, seksualitas laki-laki juga mendapat perhatian karena berkenaan dengan
fungsi seksual dan kesehatan reproduksinya.

129
Mariana Amiruddin, Perempuan Menolak Tabu; Hermeneutika, Feminisme, Sastra, Seks,
(Jakarta Timur: Melibas, 2005), h. 188.
130
Dalam perspektif ini perempuan dinilai cenderung untuk melakukan pelanggaran dan melewati
batasan-batasan tersebut sehingga seksualitas perempuan layak menjadi urusan resmi komunitas
beragama, bahkan negara. Haideh Moghissi, Feminisme dan Fundamentalisme Islam, (Yogyakarta:
LKiS Pelangi Aksara, 2005), h. 29.

140
Pada dasarnya, seksualitas menekankan sebuah ide yang berurusan dengan
persoalan fenomena budaya dan bukan dengan hal yang sifatnya alamiah. Seperti
yang diungkapkan Foucault bahwa seksualitas adalah nama yang terbentuk secara
historis, bukan realitas alamiah yang susah dipahami melainkan sebuah jaringan besar
yang di dalamnya terdapat stimulasi tubuh, intensifikasi kenikmatan, perubahan pada
wacana atau diskursus, formasi pengetahuan tertentu, penguatan kontrol dan
resistensi, yang saling berkaitan satu sama lain.131
Sebagaimana diungkapkan Fatimah Mernissi bahwa daya tarik seksual yang
memancar dari perempuan memberikan implikasi terhadap kekhawatiran laki-laki
yang berimbas pada pengasingan dan pengekangan terhadap perempuan dalam
budaya-budaya Islam.132 Seksualitas dipandang sebagai sesuatu yang aktif, sedangkan
tindakan perempuan untuk mencapai hasrat seksualitasnya mendapat pengekangan
yang kuat. Karena itu, jika laki-laki tidak mampu mengontrol nafsu-nafsu
seksualnya133 maka ia dianggap sebagai korban daya tarik perempuan yang
menggairahkan.134
Zahra merupakan sosok yang merindukan kebebasan diri dari kungkungan
keluarga dan masyarakat di sekitarnya.135 Ia mengidentifikasikan dirinya sebagai
seorang yang gila sehingga pikiran dan tubuhnya dikosongkan dari semua beban dan

131
Moh. Yasir Alimi, Tidak Hanya Gender, Seks juga Kontruksi Sosial (Kritik Terhadap
Heteroseksual), dalam Jurnal Perempuan; Seksualitas, h. 57-58 dan Erich Fromm, Love, Sexuality, and
Matriarchy about Gender, h. 198-199.
132
Fatimah Mernissi, Beyond the Veil: Male-Female Dynamics in Modern Muslim Society, h. 30-
31.
133
Dengan alasan tersebut maka pengibirian seksual perempuan sedari kecil dipasung, mulai dari
praktek khitan terhadap perempuan yang diperparah lagi dengan batasan-batasan kultural. Di beberapa
negara seperti Sudan, Mesir, Yaman dan beberapa Negara Teluk praktek khitan ini masih bersifat
tradisional dan melakukannya (Mesir) dengan sadistis, di mana klitoris perempuan dipotong sampai
pangkal sehingga perempuan kehilangan hasrat seksualnya (frigid).
134
Haideh Moghissi, Feminisme dan Fundamentalisme Islam, h. 33.
135
Adalah suatu kesalahan bagi para perempuan yang memutuskan menikah untuk menyelamatkan
statusnya dari stereotype “perawan tua”, yaitu sebuah tradisi yang melazimkan para perempuan dan
dianggap pantas untuk menjalankan pernikahan pada usia-usia tertentu. Perkawinan akan memaksa
perempuan untuk mengikuti laki-laki yang mengikatnya, karena dalam perkawinan akan diatur bahwa
laki-laki adalah kepala keluarga sementara perempuan sebagai ibu rumah tangga. Mudji Sutrisno dan
Hendar Putranto (Ed.), Teori-Teori Kebudayaan, h. 333-334.

141
kekangan yang melekat di tubuhnya. Beberapa kali, Zahra mengosongkan dirinya
dari kesalahan-kesalahan yang telah dibuatnya, baik ketika aborsi keduanya maupun
ketika suaminya mengetahui bahwa dirinya bukan perawan. Setelah kejadian
tersebut, dapat dirasakannya norma dan dogma yang selama ini mengukungnya
secara kaku, secara perlahan mencair mengikuti kemauan dan keinginannya.
• Perempuan dalam Perang
Saat perang saudara di Lebanon berlangsung, Zahra telah menggugat cerai suaminya
Majid. Saat itu, ia telah memberikan kebebasan pada tubuh dan pikirannya. Perang
memberikan kebebasan dan keleluasaan baginya untuk menjadi diri sendiri, terlebih
ia berada dalam kesendirian di Beirut. Tiada orang tua yang selama ini menghantui

dan merasuki pikirannya “ ‫ ﺑﻼ ﺷﻌﺮ ﻓﻮﻕ‬,‫ ﻟﻜﻦ ﻧﺒﺖ ﻫﺬﻩ ﺍﳌﺮﺓ ﻫﺰﻳﻼ‬,‫ﺑﻞ ﻧﺒﺖ ﺃﻣﺎﻣﻲ ﻭﺍﻟﺪﻱ‬

.‫ ﻭﺑﻼ ﺳﺎﻋﺔ ﰲ ﺑﻨﻄﻠﻮﻧﻪ‬,‫ ﻭﺑﻼ ﺷﺎﺭﰊ ﻫﺘﻠﺮ‬,‫”ﺻﺪﺭﻩ‬.136 Semua orang disibukkan dengan

mengurus keselamatan masing-masing tanpa mempedulikan orang lain. Perang telah


merubah Lebonon menjadi 180˚, di mana orang akan melupakan senyuman. Perang
juga merupakan simbol keangkuhan laki-laki, seperti juga keangkuhannya dalam
menciptakan kebudayaan patriarkhi yang mengenyampingkan peran dan posisi
perempuan dalam masyarakat. Hal senada disampaikan Woolf bahwa perang muncul
dari anggapan laki-laki mengenai persamaan antara pertarungan dengan
maskulinitas.137
Peperangan membuatnya terbangun dari tidur panjang, dengan serpihan-
serpihan harapan dan kekuatan ia mulai membangun kewarasannya terhadap dunia
dan realita. Kondisi itu menyadarkannya akan hukuman yang tak layak diberikan
pada tubuhnya. Kepedihan perang tidaklah sebanding dengan penderitaan yang
selama ini ia rasakan, karena peperangan merupakan penderitaan yang terus mengalir

136
Hanân asy-Syaikh, Hikâyah Zahra, h. 178.
137
Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, h. 491 dan Virginia Woolf, Three Guineas, (London:
Hogart Press, 1938).

142
tanpa henti, penderitaan yang nyata dengan bukti yang konkret, di mana ia dapat
menyaksikan mayat, mutilasi, kebakaran dan kehancuran.
Zahra kembali menjadi sosok perempuan yang penyayang, perhatian dan
penolong. Ia melebur di antara korban-korban peperangan dengan menjadi tenaga
sukarela di salah satu rumah sakit, bergumul dengan darah dan kematian.138 Dalam
kewarasannya, ia merindukan keluarga kecilnya yang hilang, dengan ayah yang keras
dan ibu yang sangat menyayangi anak-anaknya, serta kakaknya ‘Ahmad’. Dalam
kesunyian dan kerinduan akan masa lalunya, Zahra menemukan kehangatan cintanya
bersama seorang penembak jitu.139 Dentuman peluru dan bom yang sewaktu-waktu
datang menghampirinya tidak dipedulikannya lagi, karena ia telah siap dengan segala
resiko kematian. Walaupun Zahra menyadari bahwa hubungan yang terjalin
antaranya dan penembak jitu itu merupakan penyiksaan yang berat baginya.140
Baginya, cinta adalah harapan, bahkan hidup adalah cinta, sehingga perempuan
bersedia berkorban demi cintanya. Baginya, pengorbanan demi cinta bukanlah
kematian, tetapi kehidupan, karena tanpa cinta perempuan tak dapat hidup. Kematian
baginya adalah hidup tanpa cinta.

138
Masa-masa perang bukan saja milik para kaum laki-laki untuk menunjukkan eksistensinya
sebagai sosok yang jantan. Perang adalah sebuah aktivitas yang di dalamnya para perempuan
berpartisipasi secara penuh. Mereka hadir di medan perang untuk merawat orang-orang yang terluka,
seperti yang dilakukan Zahra. Pada masa pra-Islam dan awal Islam, selain sebagai perawat, perempuan
juga berfungsi untuk membakar semangat kaum laki-laki melalui lagu dan syair. Leila Ahmad, Wanita
dan Gender dalam Islam,; Akar-Akar Historis Perdebatan Modern, terj. M.S. Nasrulloh, (Jakarta:
Lentera Basritama, 2000), h. 84-87.
139
Cinta yang dirasakan dan dimiliki kaum perempuan terkadang berbeda dengan laki-laki. Bryon
mengatakan cinta dan kehidupan laki-laki adalah sesuatu yang berbeda, sedangkan bagi perempuan
cinta dan kehidupan adalah keseluruhan eksistensi. Secara jelas Nietzsche mengungkapkan perbedaan
cinta yang dipahami oleh laki-laki dan perempuan. Cinta (sebagaimana yang dikutip de Beauvoir)
yang dipahami perempuan bukanlah hanya sekedar kesetiaan, cinta adalah penyerahan total akan tubuh
dan jiwa, tanpa pamrih, tanpa harapan mendapatkan imbalan apapun. Sementara bagi laki-laki, jika ia
mencintai seorang perempuan, apa yang ia “inginkan” hanyalah cinta dari perempuan; sebagai
konsekuensinya ia jauh dari mengendalikan perasaan yang sama baginya sepertinya pada perempuan.
Simone de Beauvoir, Second Sex, h. 524; baca juga M. Quraisy Shihab, Perempuan: Dari Cinta
sampai Seks, Dari Nikah Mut’ah sampai Nikah Sunnah, Dari Bias Lama sampai Bias Baru, (Jakarta:
Lentera Hati, 2005), h. 95-
140
Hanân asy-Syaikh, Hikâyah Zahra, h. 164.

143
Seksualitas merupakan dilema dalam tubuh dan pikiran Zahra, Di satu sisi
seks tabu baginya karena rentan dengan stigmatisasi masyarakat, di sisi lain
perempuan juga membutuhkan seks untuk mengungkapkan dan melampiaskan
kebutuhan biologis “hasrat birahi”. Dilema ini ternyatakan pada sikapnya yang
mencari dan menemui laki-laki yang disinyalir sebagai “penembak jitu” di salah satu
gedung seberang apartemennya. Seperti hari itu, tak ada batasan antara diri dan
tubuhnya, seks menjadi sebuah tuntutan bagi diri dan tubuhnya. Tak ada perasaan
bersalah, muak dan jijik saat penembak jitu menyentuh payudaranya lalu mulai
menarik tubuhnya dan dengan tidak sabar menutupi tubuh (Zahra) dengan tubuhnya.
Perasaan yang sama ketika pertama kali Malik memasuki tubuh (Zahra) dan bergerak
di dalamnya, yang berbeda hanyalah saat ini, Zahra menginginkan tubuh itu terus
berada di dalam dan tak melepaskannya. Untuk selanjutnya, perasaan itu meningkat
menjadi perasaan yang aman, nyaman dan tenang. Seberkas kebahagiaan
menjalarinya, karena ketiadaan orang tua membuatnya menjadi lebih mudah untuk
menjadi diri sendiri.
Hari-hari perang terasa sangat panjang tapi tidak bagi Zahra. Ia terus bepikir
akan datangnya sore, di mana penembak jitu menantinya di tempat biasa dan
menyerahkan tubuh pada kenikmatan. Gambaran, imaji dan ilusi keadaan yang
dibangun oleh penulis memberikan gambaran yang kontradiktif bagi pembaca. Pada
beberapa narasi yang disampaikan narator, terlihat gambaran seksualitas perempuan
yang ambigu. Dengan tubuh, perasaan, jiwa dan tingkah laku yang dimiliki
perempuan, ia mampu mendalami dan mengabulkan keinginan dan hasratnya sebagai
perempuan. Di pihak lain, perempuan dengan kesadarannya berusaha untuk
melengkapi dan mengabulkan hasrat dan keinginan laki-laki untuk meraup
kenikmatan dari tubuhnya. Ketika tubuhnya mampu memberikan suatu kenikmatan
kepada laki-laki,141 maka perempuan akan mengalami kepuasan batin yang lain dan

141
Menurut de Beauvoir, bagi perempuan, mencintai berarti menyerahkan segalanya demi
kebahagiaan sang tuan. Sedangkan bagi laki-laki tidak mungkin untuk memasrahkan diri karena yang

144
berbeda dengan kenikmatan yang ia terima dari laki-laki itu “ ‫ﺑﺎﻟﻠﺬﺓ‬ ‫ﻋﺪﺍ ﻫﺬﺍ ﱂ ﺃﻛﻦ ﺃﺷﻌﺮ‬

.‫ﺬﻩ ﺍﳊﺮﻛﺔ‬ ‫”ﺑﻞ ﻛﻨﺖ ﺃﺷﻴﺢ ﺑﻨﻈﺮﻱ ﻋﻨﻪ ﻭﺃﻛﺘﻔﻲ‬.142


Kebebasan bagi Zahra adalah keluar dari cangkangnya, dengan lantang ia
berteriak untuk mengeluarkan kepedihan dan penyakit dari masa lalu. Baik saat ia
meringkuk di dalam cangkangnya, di dalam kamar mandi untuk memeluk dirinya
sendiri dan menahan nafas seakan selalu berusaha kembali masuk ke dalam rahim
untuk menjadi janin. Menarik diri adalah sesuatu yang sangat melelahkan dan
menguras energi yang ada dalam tubuh karena mengisap seluruh kontrol diri atas
tubuhnya.
Bersama penembak jitu, Zahra tidak perlu menjadi orang lain bagi dirinya, ia
telah terbebas dari rasa tertekan dan kepura-puraan untuk menyenangkan hati orang
lain. Tubuhnya sekarang adalah milikinya, bahkan ayahnya tidak berhak atas
kenikmatan yang sedang ia rasakan. Sikap resisten dan perlawanan tersebut
ditekankan penulis pada sebuah ungkapan metaforis yang sangat kritis yaitu “Aku
menyatu dengan debu di dalam gedung kematian ini. Pertemuannya dengan
penembak jitu seakan berlangsung cepat dan sangat akrab, ia mengumpamakan
hubungan yang terjalin itu dengan debu dan gedung, yaitu hubungan yang sangat
dekat tapi absurd. Debu melambangkan beban yang sangat ringan, menunjukkan
beban pikiran Zahra yang tidak lagi terbebani dengan sikap dan aturan ayahnya,
bahkan ia ingin menunjukkan kepada ayahnya bahwa ia sedang menikmati tubuh dan
seksualitasnya. Ia menjadi apatis terhadap norma dan dogma karena yang
diinginkannya adalah suatu kebebasan.143
Penyatuan tubuh yang penuh sensasi itu menyisakan kegalauan pada diri
Zahra, sehingga ia enggan memisahkan tubuhnya dari sang penembak. Berat dan

laki-laki inginkan adalah memiliki peremuan dan menjadi subjek-subjek utama. Simone de Beauvoir,
Second Sex; Kehidupan Perempuan, h. 525.
142
Hanân asy-Syaikh, Hikâyah Zahra, h. 176.
143
Kebebasan bagi perempuan adalah mengeluarkan diri dan tubuhnya dari pandangan dan sistem
patriarkhi yang diciptakan oleh kaum laki-laki; Hanân asy-Syaikh, Hikâyah Zahra, h. 190.

145
bobot tubuhnya terasa ringan dan tak bertubuh karena ia menempel bagaikan
kelelawar dari udara. Pada laki-laki tersebut Zahra menggantungkan harapannya
untuk bertahan hidup dan membangun pembaringan yang nyaman dan aman, tidak
seperti saat perang ini. Zahra membutuhkan pernikahan agar hubungan yang terjalin
antaranya dan sang penembak menjadi lumrah. Akan tetapi, jika hal itu tidak
memungkinkan Zahra bahkan rela untuk tidak menikah dan tetap akan menjalankan
hubungan itu. Ia bahkan tidak rela melepaskan kebahagiaan karena laki-laki itu tidak
pernah membuatnya merasa menjadi “murahan”. Bagaikan debu, hubungan itu
terjalin tanpa beban tetapi meninggalkan bekas yang sangat tebal dalam hatinya.
Dalam kerapuhan hatinya, ia tetap tak bisa mengingkari bahwa ia membutuhkan
sebuah kepastian ‘perkawinan’.
Berdasarkan hal tersebut, feminitas dalam novel ini merupakan gambaran
seksualitas yang ambigu. Perempuan dapat menjadi pelaku terhadap seksualitasnya
sendiri, akan tetapi ia juga dapat menjadi objek pelampiasan hasrat birahi kaum laki-
laki. Menjadi aktif secara seksual bukanlah sesuatu yang salah bagi diri perempuan,
karena seksualitas yang selama ini dipahami adalah sebuah hasil atau produk sejarah
dan masyarakat. Tetapi, perlu ditekankan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki
daya seksual yang sama, masyarakat hanya mengatur dan membatasi batasan-batasan
yang jelas antara pantas dan ketidakpantasan melalui norma dan dogma agama.
b) Perkawinan: Potret Ketundukan
Pengebirian seksualitas diatur oleh norma agama melalui sebuah lembaga
perkawinan144 yang meliputi kesenangan dan hasrat seksual.145 Di mana perempuan

144
Dalam Islam -menurut Asma Barlas- perkawinan didasarkan pada hubungan kontraktual dan
monogamis yang berada di persimpangan antara ruang publik dan moral-keagamaan. Perkawinan
Islam berada di ruang sosial karena sifat kontraktual, dan berada di ruang keagamaan karena hak-hak
pasangan (dan orang tua) diperoleh melalui praktik keimanan dan ketaatan terhadap batasan-batasan
yang digariskan Tuhan. Asma Barlas, Cara Qur’an Membebaskan Perempuan, (Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta, 2005), h. 297.
145
Dalam hubungan tersebut, penyaluran seksual dibenarkan karena perkawinan merupakan
sebuah kontrak personal yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, yang di dalamnya sarat akan
nilai dan kepentingan kultural. Dalam kultur patriarkhi, selain sebagai regenerasi yang transedental,
perkawinan juga berfungsi untuk menegaskan posisi masing-masing pihak, di mana seorang suami

146
dan laki-laki dapat menikmati kesenangan dan menyalurkan hasrat seksualnya karena
merupakan sebuah hak dan kewajiban dari masing-masing pihak, bukan hanya
dibebankan pada kewajiban seorang istri. Tugas perempuan dalam wadah pernikahan
bukan hanya sekedar untuk melayani laki-laki secara seksual dan emosional.146 Akan
tetapi, lebih dari itu pernikahan bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang maha esa.147
Di samping itu, perkawinan juga merupakan sebuah institusi yang secara
tradisional menyediakan identitas sosial bagi perempuan.148 Identitas perempuan
sebagai istri dan ibu rumah tangga disimbolkan pada urusan-urusan rumah tangga
(domestic sphare) yang salah satunya adalah menjaga kecantikan yang
dipersembahkan kepada suaminya, sedangkan laki-laki dihubungkan dengan
perannya sebagai pencari nafkah (public sphare). Setidaknya bayangan inilah yang
digambarkan Zahra ketika membayangkan sebuah perkawinan.
Bagi Majid –suaminya- selain sekedar untuk pengesahan hubungan seksual,
perkawinan juga terikat erat dengan distribusi kekayaan dan pelestarian hierarki
sosial.149 Dalam masyarakat yang paling primitif, perkawinan memiliki fungsi
ekonomi yang esensial dan bukan sebuah perjanjian ”alamiah”.150 Cristine Delphy
dalam The Main Enemy menyatakan perkawinan sebagai kontrak kerja di mana
kecurangan suami dengan mendapatkan pekerjaan tanpa upah dari istrinya, model ini
disebut sebagai model produksi domestik dan model eksploitasi patriarkhis.151 Model
ini membagi dan memisahkan peran perempuan dalam peran domestik (domestic

memerankan dirinya sebagai patriach (kepala keluarga). Siti Ruhaini Dzuhayatin, Marital Rape, Suatu
Keniscayaan?, dalam Islam dan Konstruksi Seksualitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 123;
Kamla Basin, Menggugat Patriarkhi, (terj.), (Yogyakarta, Bentang, 1996).
146
Haideh Moghissi, Feminisme dan Fundamentalisme Islam, h. 33.
147
Hal ini dinyatakan dalam Undang-Undang Perkawinan No. 22 tahun 1954 Pasal 1. Sedangkan
menurut Siddik, pernikahan merupakan pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan yang hidup bersama (bersetubuh) dan yang tujuannya membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan (prokreasi), serta mencegah perzinahan dan menjaga ketentraman jiwa,
Abdullah Siddik, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta, Tinta Mas Indonesia, 1983), h. 25.
148
Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, terj. Muhdi Rahayu, h. 266.
149
Mai Yamani, Feminisme dan Islam: Perspektif Hukum dan Sastra, h. 7.
150
Erich Fromm, Love, Sexuality, and Matriarchy about Gender, terj. Oleh Pipit Maizier, h. 125.
151
Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, terj. Muhdi Rahayu, h. 266.

147
sphare) dan laki-laki ke dalam peran publik (public sphare). Suami sebagai patriach-
lah yang bertanggung jawab sebagai pencari nafkah dan istri dibebankan dengan
segala macam urusan rumah, dari meladeni suami, mengasuh anak dan
menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah, seperti memasak, mencuci, merapikan
rumah, dan lain sebagainya. Konsep seperti inilah yang diinginkan Majid untuk
menikahi Zahra, ia berharap agar Zahra dapat membantunya mengumpulkan uang
dari pekerjaannya, dan dapat menghasilkan anak-anak serta merawatnya, sehingga ia
tidak perlu membayar orang lain demi hal tersebut.
Hal pertama yang terjadi setelah perkawinan adalah pembuktian kejantanan
laki-laki dengan persetubuhan, hal tersebut dilakukan untuk membuktikan kesucian
dan keperawanan istri yang dinikahinya.152 Dalam budaya Lebanon, proses ini sangat
dinantikan oleh kedua belah pihak keluarga karena akan menentukan kehormatan
sebuah keluarga. Prosesi tersebut dilakukan oleh ibu mempelai perempuan dan laki-
laki serta kerabatnya dengan menunjukkan sehelai handuk putih atau seprai yang
sudah dicemari darah dan melambaikannya dengan rasa bangga di atas kepalanya di
hadapan para famili dan kerabat yang berkumpul di depan pintu untuk menyaksikan
fakta bahwa kehormatan anak gadis dan keluarganya masih utuh.153
Pada dasarnya, prosesi-prosesi yang serupa pada budaya-budaya patriarki
merupakan sesuatu hal yang masih bisa dinegosiasikan, seperti yang terjadi pada
keluarga Majid. Prosesi tersebut terjadi pada pagi hari setelah kakak perempuannya
menikah dengan sepupu dari pihak ibunya -saat itu usianya beranjak sepuluh tahun-,
ibunya duduk dan minum kopi bersama saudara perempuannya. Sambil duduk, ia

152
Menurut Mariana Amiruddin, keperawanan perempuan yang ditandai dengan selaput dara
menjadi satu-satunya perangkat seks dalam budaya patriarkhi. Dalam budaya ini, perempuan yang baik
dan istimewa adalah yang rela dibatasi seksualitasnya. Perempuan kemudian menjadi manusia yang
tidak tertarik pada seks dan akhirnya menjadi individu yang psikopat, yaitu berusaha melakukan
operasi selaput dara ataupun memperbesar payudara. Seperti yang dikutipnya dari Catharine
mackinnon dalai Feminist Literary Theory, A Reader bahwa semua yang dilakukan perempuan
(psikopat) itu dilakukan untuk membuat laki-laki berereksi (memuaskan hasrat erotisme laki-laki).
Mariana Amiruddin, Perempuan Menolak Tabu: Hermeneutika, Feminisme, Sastra dan Seks, h. 176.
153
Menurut de Beauvoir, prosesi yang serupa juga terjadi di beberapa daerah tertentu di Prancis.
Simone de Beauvoir, Second Sex; Kehidupan Perempuan, h. 245; Nawal el Saadawi, Perempuan
dalam Budaya Patriarkhi, h. 56; Hanan al-Shaykh, Hikayah Zahra, h. 102.

148
bertanya dengan keras mengapa bibi tidak meminta untuk melihat barang yang satu
itu “seprai bernoda darah”. Lalu, bibinya menjawab dengan berkata, “oh, Um Majid,
itu bukanlah hal penting, bukankah kita bersaudara?. Hal tersebut menjelaskan bahwa
prosesi adat seperti itu tidak mutlak terjadi, jika kedua belah pihak keluarga saling
memahami dan mempercayai maka perempuan tidak perlu menanggung beban
perkawinan yang memalukan tersebut.
Menurut Nawal terdapat sebuah konsep kehormatan yang menyimpang dalam
masyarakat yang seperti ini. Di mana kehormatan keluarga dan laki-laki terpelihara
sepanjang anggota keluarganya yang perempuan menjaga keutuhan selaput daranya.
Seakan masyarakat menyepakati bahwa pemahaman seksual dalam kehidupan laki-
laki adalah sumber kebanggaan dan simbol kejantanan, sementara pengalaman
seksual dalam kehidupan perempuan adalah sumber aib dan simbol keburukan dan
kebobrokan.154
Pada perkawinan Zahra dengan Majid, hal pertama yang diperhatikan Majid
adalah bagaimana ia dapat memberikan dan meninggalkan setetes darah di seprai
sehingga bercak itu dapat ditunjukkan kepada ibu dan kerabat-kerabatnya. Akan
tetapi, bercak darah itu tidak dilihatnya pada Zahra dan keadaan itu membuatnya
sangat marah dan kecewa. Beruntung Afrika tidak mengenal upacara adat setelah
malam pertama. Keadaan ini menyelamatkannya dari stereotipe dan pandangan sinis
keluarga, jika mereka mengetahui bahwa istrinya tidak meninggalkan noda merah
pada seprai di malam pertama itu. Dalam menanggapi permasalahan ini, Majid
merasa lega karena tidak ada ibu, kerabat dan tetangga yang memaksa untuk melihat
sisa-sisa noda merah pada seprainya. Opini tersebut dibangunnya untuk memberikan
ketenangan batin dan pikirannya, dengan cara ini pula Majid berusaha untuk
memaafkan dan melupakan mitos keperawanan yang selama ini sangat
dijunjungnya.155

154
Nawal el Saadawi, Perempuan dalam Budaya Patriarkhi, h. 60.
155
Dalam kelompok matriarkal, keperawanan tidak dituntut dari seorang gadis dalam perkawinan,
dan menurut kebiasaan, demi alasan mistis, keperawanan bagi perempuan malah harus dihilangkan

149
Bagi Zahra, perkawinan bukanlah hal yang membahagiakan, sebaliknya ia
seperti terperangkap dalam sebuah dunia baru dan asing, tepatnya seperti mimpi
buruk sehingga begitu membuka mata ia berharap dapat memejamkannya lagi. Ia
berharap gambaran perkawinan itu hanya ditemukannya dalam mimpi, tidak untuk
dalam kehidupan nyata. Untuk mengungkapkan kondisi ini, penulis banyak
mendeskripsikannya dengan gambaran mimpi dan angan yang didalamnya sarat akan
pemajasan, agar pembaca dapat menyelami perasaan perempuan bahkan
menimbulkan rasa simpati dan empati.
Perkawinan merupakan penyatuan dua kepribadian yang berbeda menuju satu
tujuan yang sama. Dalam proses ini, Zahra tidak merujuk pada tujuan dan esensi
perkawinan karena perkawinan baginya adalah meyelamatkan status sosialnya
sebagai perawan tua. Keadaan ini membuatnya semakin terusik, tertekan dan bergelut
dengan kepura-puraan sepanjang hidupnya. Ia terus diliputi oleh perasaan
ketidaknyamanan dan tidak menyenangkan setiap kali melakukan hak dan
kewajibannya sebagai istri. Ia menganalogikan keadaan tersebut dengan imajinasi
yang sangat menjijikkan, ”bagaikan angin dingin yang mengepung dengan ribuan
siput merayap melewati lumpur, semakin mendekat, sementara angin bertiup kencang
dan membawa aroma busuk siput-siput itu yang meresap ke dalam pori-pori”.156 Bagi
sebagian perempuan, hubungan badan untuk pertama kalinya adalah bentuk alami
sebuah perkosaan. Setidaknya keadaan inilah yang tergambar dari kondisi psikis para
perempuan ketika menghadapi malam pertamanya. Menurut de Beauvoir, keadaan
tersebut dapat menyebabkan perempuan pada frigiditas permanen.
Baginya, perkawinan membuat segala sesuatu terenggut dari dirinya, seperti
kebebasan, tubuh dan pikirannya ”aku ingin tubuhku hanya menjadi milikku sendiri.
Aku ingin tempat di mana aku berdiri dan udara yang mengelilingiku menjadi
milikku dan bukan orang lain”. Sejauh ini, Zahra masih menganggap Majid sebagai

sebelum perkawinan. Keyakinan dan praktek tersebut masih terjadi di beberapa distrik tertentu di
prancis. Simone de Beauvoir, Second Sex; Kehidupan Perempuan, h. 245-246.
156
Simone de Beauvoir, Second Sex; Kehidupan Perempuan, h. 248.

150
orang lain yang tidak berhak menerima kebaikan sedikit pun darinya, bahkan ia tidak
sudi untuk berbagi kebahagiaan yang disimbolkan pada ”udara”.
Perkawinan membentuk sebuah kepribadian yang lain, di mana karakter itu
harus menyesuaikan harapan dan keinginan suami, baik dari segi pergaulan,
berpakaian, cara bertutur, bertingkah laku dan bahkan tertawa.157 Seperti pada hari di
mana Majid dan Zahra diundang untuk menghadiri pesta, dan Majid mengajak
istrinya untuk membeli gaun yang akan dikenakan pada saat pesta itu dilaksanakan.
Setelah memasuki beberapa toko, tak satupun gaun dipilihnya, termasuk gaun yang
dipilih dan dianjurkan Majid. Sikap Zahra ini menunjukkan perlawanan dan
penolakan secara halus kepada Majid atas penguasaan terhadap diri dan tubuhnya.
Zahra ingin keluar dari singgasana perkawinan yang banyak menuntutnya menjadi
orang lain bahkan hampir melupakan dirinya sendiri.158
Dalam keterkungkungan dan ketidaknyamanan yang dirasakannya selama
perkawinan, Zahra kembali disibukkan untuk mencari perlindungan, seperti yang
dilakukannya saat di Beirut dan di rumah pamannya Hasyim. Ia memilih kembali
masuk ke dalam cangkangnya dan ke alam mimpinya. Kamar mandi merupakan
tempat yang paling nyaman baginya untuk menjadi alam semesta agar ia dapat
kembali menemukan dirinya sendiri, tidak menjadi orang lain yang bahkan ia sendiri

asing terhadap tubuhnya ” ‫ ﺃﻧﺖ‬.‫ ﻭﲰﻌﺘﲏ ﺃﻓﻜﺮﺃﻳﻬﺎ ﺍﳊﻤﺎﻡ‬.‫ﺍﻧﺴﻠﻠﺖ ﻣﻊ ﻣﻔﻜﺮﰐ ﺇﱃ ﺍﳊﻤﺎﻡ‬

.‫ﺍﻟﻮﺣﻴﺪ ﺍﻟﺬﻱ ﺃﺣﺒﺒﺘﻪ ﰲ ﺃﻓﺮﻳﻘﻴﺎ‬.159 Kamar mandi merupakan ruangan yang

157
Kondisi ini tepat seperti yang diungkapkan Beavoir bahwa dalam perkawinan, perempuan
mendapat sejumlah kekayaan yang diberikan suami kepadanya, jaminan-jaminan sah melindunginya
dari tindakan yang merugikan laki-laki, tapi perempuan menjadi budak laki-laki. Ia menyandang
namanya, masuk ke dalam agama yang dianutnya, bergabung di kelasnya, lingkungannya, ia menyatu
dalam keluarganya, dan menjadi bagian dari dirinya. Setidaknya perempuan akan memutuskan masa
lalunya secara mutlak dan bergabung dengan dunia suaminya, memberi suami dirinya,
keperawanannya dan kesetiaan yang kuat. Ia akan kehilangan hak-hak legal yang disandang
perempuan yang tidak menikah. Simone de Beauvoir, Second Sex: Kehidupan Perempuan, h. 230.
158
Hânan asy-Shaykh, Hikâyah Zahra, h. 114.
159
Hânan asy-Shaykh, Hikâyah Zahra, h. 29.

151
memungkinkannya untuk menghilang dalam ruang dan waktu, memutuskannya dari
semua hubungan dengan manusia, dan melupakan ingatannya akan peristiwa-
peristiwa masa lalu yang membuatnya menjadi gila dan mengantarkannya hingga ke
Afrika, ke dunia perkawinan yang sangat ia benci.160
Bentuk perlindungan lain yang dipilihnya adalah dengan tidur dan makan
yang berlebihan, walaupun ia sadar bahwa hal itu merupakan sesuatu yang salah,
bahkan disebutnya sebagai sebuah ”penyakit”. Tidur merupakan saat-saat pemisahan
antara ruh dan tubuh, dengan tidur ia dapat melupakan kenyataan hidup yang berada
di depan matanya. Akan tetapi tidur adalah peristiwa yang singkat, ketika bangun ia
kembali menemukan dirinya berada dalam sebuah dunia yang ia benci, yaitu
perkawinan.
Islam sangat menekankan kesepadanan antara suami dan istri, karena jika hal
tersebut tidak diperhatikan maka akan menjadi bumerang dan batu sandungan,
terlebih pondasi yang dibangun tidak kuat, seperti yang terjadi pada Zahra dan Majid.
Kekecewaan-kekecewaan terhadap pasangan akan menjadi persoalan besar, terlebih
hal itu diketahui setelah masa perkawinan seperti keperawanan bagi suami, latar
belakang sosial keluarga yang tidak sepadan, dan lain sebagainya.161
Dari kekurangan-kekurangan Majid ini, Zahra menyadari mengapa Majid
memilihnya untuk menjadi istri meski dengan segala kekurangan yang dimilikinya;
jerawat, kecanggungan, suasana hati yang labil dan gangguan saraf yang akan datang
kapan saja. Ia menyadari bahwa perkawinan yang dilakukannya tidak wajar, bahwa
secara tersirat ada kepentingan yang bermain di belakangnya, seolah-olah perempuan

160
Hânan asy-Shaykh, Hikâyah Zahra, h. 115.
161
Islam memberikan kebebasan kepada para perempuan untuk memilih pasangan hidup
berdasarkan pilihannya. Islam tidak rela perempuan hidup di tangan laki-laki yang tidak disenanginya
karena Islam menginginkan berhasilnya sebuah perkawinan yang tegak di atas pondasi yang kokoh
berupa ”kafa’ah” (kesepadanan) antara perempuan dan laki-laki/istri dan suami baik dalam
penampilan, ilmu, pandangan hidup, kecenderungan maupun cita-cita hidup. Untuk mencapai kafa’ah
tersebut maka seorang perempuan hendaknya tidak hanya melihat pada ketampanan, kegantengan,
penampilan dan harta kekayaannya saja, akan tetapi juga memperhatikan agama dan akhlaknya.
Muhammad Ali Hasyim, Kepribadian Wanita Muslimah: Menurut Al-Qur’an dan As-Sunah, h. 126-
128.

152
tidak berharga sedikitpun. Perkawinannya dengan Majid bagaikan sebuah kontrak
sosial karena tidak pernah dilandaskan pada tujuan yang sama dan seimbang.
Untuk menenangkan diri, Zahra memutuskan untuk mengunjungi rumah
orang tuanya di Beirut. Lalu, ia mendapatkan sebuah pelajaran yang berharga bahwa
perkawinan seorang anak perempuan telah memisahkan hubungan antara ia, orang
tua dan keluarganya. Sehingga keluarga akan terasa asing baginya, dan rumah
suaminya adalah satu-satunya tujuan untuk menjadi dirinya sendiri. Dengan keadaan
ini, ia menyadari bahwa tak ada tempat yang aman baginya untuk menjadi dirinya
sendiri. Dirinya sudah melekat pada identitas diri suaminya, sehingga kemanapun ia
pergi maka bayang-bayang suaminya akan terus mengikutinya. Ia merasa bagaikan
terperangkap dalam jaring yang kuat. Zahra berada dipersimpangan antara kenyataan
pahit dan mimpi buruk, Beirut dan Afrika telah mengkhianatinya secara utuh dan
keseluruhan.
Perceraian terkadang menjadi solusi terbaik bagi laki-laki dan perempuan
untuk melanjutkan hidup masing-masing, walaupun perceraian bukanlah
penyelesaian yang diharapkan setiap pasangan. Ia memutuskan untuk meninggalkan
Afrika dan suaminya untuk mendapatkan setengah kehidupan dan kebebasannya.
Penulis menganggap keadaan ini sebagai sebuah penyakit, yang berarti bahwa
pernikahan yang gagal dapat menjadi bumerang dalam kehidupan manusia. Di mana
perempuan akan mengalami guncangan kejiwaan yang fatal dan bahkan menarik diri
(apatis) dari kehidupan dan realitanya, memutuskan diri dari semua hubungan dengan
manusia. Sikap ini ditunjukkannya dengan “diam”. Diam membawanya dalam
kerahasiaan yang dibuat dan dibangunnya sebagai pertahanan diri, diam adalah ruang
pengasingan diri seperti halnya menjadi “gila”.162
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa perkawinan
bukanlah sebuah pelarian yang aman bagi perawan-perawan tua untuk
menyelamatkan status sosial mereka. Menikah dan melajang adalah pilihan hidup

162
Hânan asy-Shaykh, Hikâyah Zahra, h. 116.

153
yang bertujuan untuk kehidupan yang bahagia. Laki-laki dan perempuan tidak
selamanya harus menjadi pasangan di bawah sebuah perkawinan, karena terkadang
perempuan membutuhkan laki-laki hanya sebatas teman atau pun partner. Hal yang
lebih penting dari menjadi pasangan adalah suatu hubungan yang dilandaskan pada
kebahagiaan, kenyamanan dan kemitraan yang sejajar.
2. Peran Perempuan dalam Masyarakat
Di beberapa belahan dunia ini, tubuh perempuan merupakan instrumen
budaya, sehingga budayalah mendefinisikan sejumlah ritual yang dilakukan dalam
kaitannya dengan pemeliharaan tubuh. Ini berarti, tubuh menjadi simbol kekuatan
yang menjadi batu tulis yang di atasnya tertulis semua peraturan pusat, hierarki dan
bahkan kecenderungan metafisik tentang suatu kebudayaan. Selain itu, tubuh juga
merupakan fokus kontrol sosial yang praktis.163 Dalam hierarki sosial, keluarga
adalah institusi sosial terkecil dalam masyarakat yang di dalamnya terdapat berbagai
aturan-aturan yang mengikat setiap anggota di dalamnya. Sebagaimana Kate Millet
mendeskripsikan keluarga sebagai unit patriarkis sebagai bagian dari patriarkhis
secara keseluruhan –yang memperantarai struktur sosial dan individu-.164 Dengan
demikian, keluarga adalah akar utama penindasan perempuan.165 Untuk itu, mari

163
Tim Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Jakarta, Perempuan dari Mitos ke Realitas, (Jakarta: PSW
UIN Jakarta, 2002), h. 44.
164
Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, h. 143; Sedangkan Syaikh M. Al-Ghazâli
menegaskan bahwa keluarga adalah kelangsungan hidup sekaligus nilai luhur, bukan sekedar sebuah
tempat pertemuan untuk meningkatkan produksi hewani. Sekali lagi, beliau menegaskan bahwa tujuan
berkeluarga bukanlah untuk mewujudkan generasi-generasi yang pandai mencari makan, minum, dan
mengumpulkan kekayaan, melainkan mencetak generasi yang dapat merealisasikan risalah eksistensi
(kemanusiaan). Dalam instansi ini, suami dan istri bekerja sama dalam mendidik anak yang sehat
pikiran dan hatinya, mulia dalam tingkah laku dan tujuan. Syaikh Muhammad Al-Ghazâli, Mulai Dari
Rumah;Wanita Muslim dalam Pergumulan Tradisi dan Moderenisasi, terj. Zuhairi Misrawi,
(Bandung: Mizan, 2001), h.136.
165
Anggapan ini muncul dari pemahaman yang merendahkan perempuan dalam lembaga
perkawinan. Dengan dinikahinya perempuan oleh laki-laki, seolah-olah perempuan itu sudah “dibeli”
oleh pasangannya dengan mahar yang telah diberikan. Dengan diberikannya maskawin, laki-laki boleh
melakukan apa saja terhadap perempuan yakni persetubuhan dengannya, bahkan dibolehkan untuk
memukul, jika istri menentang suami. Berdasarkan hal tersebut, lembaga pernikahan terlihat sebagai
lembaga eksploitasi seksual dan alat reproduksi legal laki-laki terhadap perempuan. Baca: Yayan
Sopyan, Poligami antara Teks dan Konteks dalam Isu-Isu Gender dalam Islam, (Jakarta: PSW UIN
Jakarta, 2002), h.37-38.

154
melihat lebih jelas potret ketertindasan perempuan dalam masyarakat yang
dikukuhkan oleh keluarga dan anggota-anggota di dalamnya.
a. Stereotipe dalam Konvensi Bahasa dan Budaya
Dalam pengertian feminis, stereotipe merupakan anggapan mengenai
individu, kelompok, atau objek.166 Stereotipe ini dapat ditemukan di berbagai aspek,
baik dari bahan bacaan, pekerjaan maupun gaya bahasa. Dalam bahasa Arab,
perempuan dianggap sebagai mahluk kelas dua, hal tersebut terlihat dari konsep
bahasa Arab yang menempatkan perempuan (feminin/muannats) sebagai sebuah
167
kategori kata yang ditandai, dengan sufiks {-ah/-at} atau yang biasa disebut tâ′
marbûthah (‫)ة‬, sufiks {-â´} yang disebut alif mamdudah, digambarkan dengan fonem
/alif/ dan /hamzah/ yang sebelumnya didahului bunyi fathah, dan sufiks {-â}, dalam

bA disebut alif maqsurah168 yang digambarkan dengan fonem /ya/ (‫ )ﻯ‬tanpa titik dua

di bawahnya yang sebelumnya didahului oleh bunyi fathah. Seperti ungkapan yang
ditujukan Ibrahim kepada Fatme untuk menggambarkan ketidakwajaran, keburukan,
dan secara tersirat mewakili watak seorang perempuan sebagai seorang yang gila,

tidak tahu malu, dan kehilangan akal “Majnunah (‫”)ﳎﻨﻮﻧﺔ‬.

Majnunah (‫ )ﳎﻨﻮﻧﺔ‬menunjukkan watak seseorang (adjective). Kata ini meliputi

semua prilaku istri yang tidak setia dan berkhianat kepada suaminya. Karena
idealnya, seorang istri adalah yang mampu menjaga tubuh, akal dan dirinya dari laki-
laki lain. Ketika penulis memilih kata ini, secara tersirat penulis bermaksud ingin
mengungkapkan perbedaan mencolok yang terjadi antara laki-laki dan perempuan

166
Menurut Maggie Humm, penjelasan yang paling jelas mengenai hal ini disampaikan oleh Inge
Broverman, menurutnya peran jenis kelamin yang berkaitan dengan ciri pribadi sangat luas
cakupannya, sifat-sifat yang baik cenderung dilekatkan pada laki-laki sehingga laki-laki mampu
membentuk kelompok yang unggul, sementara ciri perempuan membentuk kelompok yang hangat-
ekspresif. Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, h. 458.
167
Abdullah Muhammad al-Ghadzâmî, Al-Mar’ah wa al-Lughah, h. 18-26.
168
Dalam hal ini, Syauqi Dhaif menggunakan istilah alif ta’nîst maqsûrah, lihat: Syauqi Dhaif,
Tajdîd an-Nahw, h. 91.

155
dalam keluarga dan masyarakat. Bahwa perempuan tidak boleh memiliki pasangan
lebih dari satu laki-laki (poliandry), berbeda dengan laki-laki yang dibolehkan
memiliki istri lebih dari satu (poligamy).169 Sehingga ketika perempuan memiliki
laki-laki lain (yang bukan suaminya) maka perbuatan tersebut menjadi sebuah
pelanggaran dan di luar rasionalitas manusia yang disebut peselingkuhan (adultery).
Terkadang, penulis menggunakan pemajasan (figure of speech) untuk
mengungkapkan bahasa (termasuk untuk menggambarkan citraan pada tokoh dalam
novel) yang maknanya tak menunjuk pada makna harfiah kata-kata yang
mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan, yang tersirat. Selain itu,
masih ada hubungan antara makna harfiah dengan makna kiasnya, namun bersifat
tak-langsung, atau paling tidak membutuhkan penafsiran. Di antara bentuk-bentuk
pemajasan yang kerap digunakan adalah perbandingan dan persamaan, yaitu yang
membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain melalui ciri-ciri kesamaan di
antara keduanya, misalnya berupa ciri fisik, sifat, sikap, keadaan, suasana, tingkah
laku dan seterusnya. Dilihat dari sifat kelangsungan perbandingan persamaannya,
pemajasan dapat dibedakan ke dalam bentuk simile, metafora dan personifikasi.170
Analogi kritis yang diciptakan penulis dalam menggambarkan sikap Zahra
ketika Hasyim mengganggu kenyamanannya dengan membaca buku harian dalam

kamarnya adalah dengan menyamakannya dengan “harimau betina muda”/‫ﺍﻟﻨﻤﺮﺓ‬

‫ﺍﻟﺼﻐﲑﺓ‬. Ketika penulis menyamakan perempuan sebagai seekor harimau betina muda

169
Islam mengatur prilaku seksual manusia dalam suatu lembaga sakral yaitu perkawinan.
Perkawinan merupakan jalan aman penyaluran libido seksual manusia serta memelihara keturunan
dengan baik dan menjaga kaum perempuan agar tidak seperti rumput yang bisa dimakan oleh ternak
dengan seenaknya. Pada dasarnya, azaz perkawinan adalah monogami, walaupun kemudian timbul
wacana poligami yang membolehkan laki-laki melakukannya terhadap istri-istri mereka dengan
persyaratan yang sangat berat. Sebaliknya, Islam melarang keras kaum perempuan untuk melakukan
yang sebaliknya, yakni poliandri.
170
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, h. 299

156
yang termasuk dalam kategori simile,171 penulis ingin menggambarkan image
perempuan dengan mendalami konvensi budaya setempat. Perempuan (masih sebagai

hal yang ditandai, baca: ‫ )ﺍﻟﻨﻤﺮﺓ‬dalam kondisi yang terancam akan menunjukkan sikap

pertahanan diri sebagaimana yang dilakukan harimau betina, akan tetapi pada
kenyataannya betina akan berada pada posisi yang kalah dan tidak berdaya ketika
berhadapan dengan laki-laki (baca: pejantan). Terlebih, ketika perempuan merasa
terancam secara mental, baik dengan dorongan rasa malu dan bersalah. Hal ini
menunjukkan pola relasi yang tidak seimbang antara pejantan dan betina. Di mana
betina dianggap sebagai mahluk yang lemah dan hanya mampu mempertahankan diri
dengan cara menghindar bukan melawan apalagi mengalahkan.172
Berbeda halnya, analogi yang dipilih penulis untuk menggambarkan
karakteristik laki-laki sebagai “elang dan tikus”. Konsep persamaan yang dilekatkan

pada pejantan (baca: laki-laki) yaitu elang dan tikus (‫ ﻧﺴﺮ‬dan ‫ )ﻓﺄﺭ‬-tidak mengandung

oposisi biner dalam bahasa Arab-. Kedua binatang tersebut memiliki persamaan sifat
dan karakter dengan laki-laki (maskulinitas). Elang disimbolkan dengan kegagahan
dan kekuasaan, karena elang memiliki kekuatan untuk menaklukkan mangsanya,
tidak pernah ada mangsa yang dapat lepas dari cengkraman tangannya. Begitu pula
tikus, penulis menggambarkan karakter laki-laki dengan tikus yang kelaparan yang
mewakili “keaktifan” laki-laki. Tikus kelaparan akan melakukan apapun untuk
mendapatkan makanan atau keinginannya, begitu pula halnya dengan laki-laki.
Kondisi ini menjelaskan sikap Hasyim ketika mengobrak-abrik kamar Zahra untuk
mendapatkan buku hariannya. Apapun akan dilakukan untuk mencapai keinginan dan
tujuannya. Saat perempuan secara sosial dianggap sebagai mahluk yang indah dan

171
Simile menyaran pada perbandingan yang langsung dan eksplisit, dengan mempergunakan
kata-kata tugas tertentu sebagai penanda keekplisitan, misalnya seperti, bagai, bagaikan, ibarat,
sebagai, mirip, dan sebagainya. Dalam bentuk ini, sesuatu yang disebut pertama dinyatakan
mempunyai persamaan sifat dengan sesuatu yang disebut belakangan.
172
Hanan al-Shaykh, Hikayah Zahra, h. 28.

157
menarik maka penulis menyimbolkan Zahra sebagai seekor kupu-kupu (‫)ﻓﺮﺍﺷﺔ‬, seekor

hewan yang indah tapi kuat dan tegar. Konvensi bahasa Arab menunjukkan bahwa
sesuatu yang memiliki sifat-sifat feminin, seperti kupu-kupu (farâsyah) maka ditandai
pula dengan petanda-petanda feminin yaitu salah satunya dengan sufiks {-ah/-at} atau
yang biasa disebut tâ′ marbûthah (‫)ة‬. Sedangkan laki-laki disimbolkan sebagai

burung pipit (‫ )ﻋﺼﻔﻮﺭ‬dan kuda (‫ )ﺣﺼﺎﻥ‬yang lebih bersifat maskulin, karena bentuk

dan warnanya yang cenderung jantan.173

Perempuan juga disimbolkan sebagai sphinx (‫ﺍﳍﻮﻝ‬ ‫)ﺃﺑﻮ‬. Sphinx merupakan

simbol kemegahan, keanggunan dan keagungan masyarakat Mesir. Sekalipun


kemegahan dan keagungan tersebut nyata pada diri perempuan, akan tetapi image
sosial yang kadung terbentuk adalah keanggunan yang pasif dan apatis, tidak peduli
terhadap lingkungan sekitar. Tidak ada yang dapat dilakukan dengan kemegahan dan
keagungan yang dimiliki sphinx kecuali rasa kekaguman yang hanya mampu
diungkapkan melalui kata-kata dan membiarkan orang menikmati keanggunan yang
dimilikinya. Jiwa perempuan tetap pasif seperti halnya plastik dingin dan kayu yang
tak memiliki manfaat kecuali setelah seseorang mengukirnya menjadi sesuatu yang
indah dan bermanfaat.
Selain pemajasan (figure of speech), stereotipe yang melekat pada tubuh
perempuan terlihat dari perbendaharaan kata di beberapa kamus bahasa Arab.
Terutama yang berkenaan dengan konstruk sosial untuk menggambarkan konvensi

bahasa dan budaya. Seperti kosa kata perawan tua (‫ )ﻋﺰﺑﺎﺀ‬dengan sufiks {-â´} yang

disebut alif mamdudah, karakter ini menunjukan kekhasan bagi kosa kata feminin
dalam bA. Walaupun pada awalnya kata ”perawan” memiliki prestise tersendiri bagi
kaum perempuan, akan tetapi jika kata tersebut diiringi dengan kata lainnya yaitu

173
Hanan al-Shaykh, Hikayah Zahra, h. 83.

158
”perawan tua” maka makna yang timbul adalah perempuan yang tidak kawin, dalam
arti ”tidak laku”.
Perawan tua merupakan sebuah aib bahkan dianggap sebagai sampah174 bagi
suatu keluarga yang di dalamnya terdapat anak perempuan yang belum menikah di
usianya yang telah berumur. Sebagaimana de Beauvoir menyatakan bahwa tubuh
perawan menyimpan kesegaran rahasia musim semi, cahaya pagi dalam kelopak
bunga yang belum terbuka, kemilau mutiara yang belum tersentuh sinar matahari.
Keperawanan merupakan daya tarik erotis yang hanya dihubungkan dengan
kemudaan, jika kemudaannya hilang maka misteri dibalik keperawanannya itu
menjadi sesuatu yang tidak menarik.175 Kondisi ini dialami Zahra, sehingga ia tidak
mempunyai pilihan lain selain menerima pinangan dari Majid, laki-laki yang datang
untuk meminangnya, bahkan Majid menganggap dirinya sebagai dewa penyelamat
yang telah mengangkat Zahra setingkat lebih mulia dari label ”perawan tua”.
Akan tetapi di paragraf berikutnya, penulis menjelaskan perasaan dan emosi
yang sama ketika perempuan dan laki-laki menghadapi persoalan ini. Laki-laki juga
belum dianggap sempurna jika belum menjalankan pernikahan,176 sehingga stereotipe
negatif bagi laki-laki dan perempuan yang belum dan atau tidak menikah bukanlah
persoalan. Karena pernikahan merupakan suatu pilihan hidup, sehingga menjalani
hidup dengan atau tanpa pasangan adalah suatu kewajaran.177 Menurut In Bene Ratih,
adalah hak setiap perempuan untuk memilih menikah ataupun tidak menikah, karena
itu bukanlah sesuatu yang kodrati. Pilihan menikah atau tidak adalah pilihan rasional

174
Bagi perempuan, pernikahan merupakan satu-satunya syarat untuk mengintegrasikan diri ke
dalam komunitasnya, dan jika perempuan sampai pada tahap perawan tua maka secara sosial mereka
dipandang sebagai sampah. Karena itulah para ibu berusaha keras mengatur pernikahan bagi anak-
anak perempuannya. Baca: Simone de Beauvoir, Second Sex; Kehidupan Perempuan, h. 228.
175
Simone de Beauvoir, Second Sex, Fakta dan Mitos,(terj.), (Surabaya: Pustaka Promothea,
2003), h. 230-231.
176
Berdasarkan Hikayah Zahra, diketahui bahwa selain pernikahan, kehormatan seseorang akan
terangkat jika ia memiliki harta yang melimpah. Untuk itu, sebelum menikah laki-laki akan
mempersiapkan dirinya dengan harta. Harta bagi masyarakat Lebanon adalah kekuatan untuk
mendapatkan perhatian dari orang lain, memberikan kemudahan dalam memilih hubungan
pertemanan, dan mencapai kesetaraan. Hanan al- Shaykh, Hikayah Zahra, h. 92.
177
Simone de Beauvoir, Second Sex; Kehidupan Perempuan, h. 230.

159
individu. Konsep tersebut muncul karena tidak lagi menganggap perkawinan sebagai
impian yang mutlak dan harus dicapai, karena kehidupan tidak menikah pun bagi
sebagian orang dirasa jauh lebih indah dan nyaman untuk dijalani. Ketika perempuan
memilih untuk tidak menikah maka secara tidak langsung ia telah siap dengan
konsekuensi dan resiko untuk menjadi sosok yang mandiri baik secara intelektual
maupun finansial.178

Selain itu, konsep keperawanan (‫ﻋﺬﺭﺓ‬/‫)ﻋﺬﺭﻳﺔ‬179 yang hanya dimiliki oleh

perempuan mengandung beban sosial bagi perempuan -mengenai konsep


keperawanan telah diuraikan secara rinci pada subjudul sebelumnya-. Keperawan
merupakan konsep kesucian yang diciptakan oleh budaya dan adat istiadat, yang dari
konsep tersebut muncullah berbagai macam ritual kesucian, seperti yang terlihat di
beberapa negara-negara Timur Tengah, termasuk Lebanon.180
Di sini dapat dilihat bahwa keperawanan bersifat pasif dan berkedudukan
sebagai objek. Karena keperawanan bagaikan sebuah lubang yang dapat dirusak oleh
suatu benda, dalam konteks ini benda yang dimaksud adalah penis (simbol
kejantanan). Terlebih penulis menggambarkan citra sosial dalam budaya patriarkhi

yang menunjukkan kepasifan perempuan dengan ungkapan ‫ﳜﺮﻕ ﻋﺬﺭﻳﱵ‬ dan ‫ﺿﺎﺟﻊ‬

178
Menurut In Bene Ratih, kecerdasan intelektual dan tercukupinya kebutuhan hidup membuat
perempuan tidak perlu lagi mengandalkan tunjangan ekonomi dari laki-laki. In Bene Ratih, Perempuan
dan Teater, Mudji Sutrisno & Hendar Putranto (Ed.), Teori-Teori Budaya, (Yogyakarta: Kanisius,
2005), h. 339.
179
Hânan asy-Shaykh, Hikâyah Zahra, h. 32.
180
Akan tetapi, bagi sebagian masyarakat yang modern, ritual ini tidak lagi dianggap penting.
Keperawanan tidak lagi menjadi tolak ukur kehormatan dan kesucian laki-laki. Seperti ketika Hasyim
(pamannya Zahra) mengomentari keberatan Majid untuk menerima kesalahan terbesar Zahra yaitu
melakukan hubungan seksual sebelum pernikahannya dengan Majid.
“pertanyaan mengenai apakah Zahra masih perawan atau tidak bukanlah merupakan
masalah dan tidak penting diungkapkan. Orang terpelajar memahami itu dengan cukup baik
dan tak akan pernah mengemukakan persoalan itu. Ini bukanlah sesuatu yang harus diributkan
di abad kedua puluh ini. Generasi kita seharusnya berusaha mempengaruhi orang tua kita dan
mereka-mereka yang pikiran dan sikapnya masih sempit”. Hânan asy-Shaykh, Hikâyah Zahra,
h. 131-132.

160
(mengumpuli atau menyetubuhi).181 Jelas terlihat, secara sosial idealnya perempuan
dicitrakan sebagai perempuan pasif yang menyerahkan keperawanannya kepada
kejantanan laki-laki, hubungan seksual bukanlah relasi seimbang, akan tetapi
penyerahan diri dan tubuh perempuan kepada laki-laki (kejantanan).182
Mengenai seksualitas perempuan, aktif atau pasifkah?, Mernissi melihat
bahwa masyarakat muslim ditandai dengan suatu kontradiksi antara apa yang disebut
teori eksplisit dan teori implisit yang merupakan suatu teori ganda tentang dinamika
seksual. Teori eksplisit merupakan keyakinan kontemporer yang menyatakan bahwa
kaum laki-laki bersifat agresif (aktif) dalam daya tarik mereka terhadap perempuan,
sementara perempuan bersifat pasif. Sedangkan teori implisit, memandang peradaban
sebagai perjuangan untuk menahan kekuatan destruktif perempuan yang mampu
menyerap segala sesuatu. Perempuan harus dikontrol untuk mencegah kaum laki-laki
melalaikan tugas-tugas sosial dan keagamaannya. Teori eksplisit seperti yang
diungkapkan Mernissi tersebut, senada dengan ungkapan ′Aqqad dalam bukunya Al-
Mar’ah fî al-Qur’an. Ia menyatakan bahwa ciri utama laki-laki adalah keinginan
untuk menaklukkan dan berkuasa, dan ciri utama perempuan adalah suatu keinginan
negatif terhadap kekuasaan. Sehingga seluruh tenaga perempuan diserahkan untuk
disukai dan ditundukkan, oleh karena itu perempuan hanya bisa memperlihatkan
dirinya dan menunggu, sementara laki-laki menginginkan dan mencari. Teori ini
dipertegas dan dipertajam oleh Freud dalam beberapa argumen ilmiahnya yang
menyatakan bahwa seksualitas perempuan adalah pasif. Konsep tersebut sangat
bertolak belakang dengan Ghazali yang mengakui bahwa seksualitas perempuan
adalah aktif.183 Masih berkenaan dengan aktif-pasif menurut Mernissi, (pendapat ini
dikutipnya dari Imam Ghazali) bagi Imam Ghazali, dalam hubungan seksual, tidak

181
Hânan asy-Shaykh, Hikâyah Zahra, h. 98.
182
Untuk keterangan lebih rinci mengenai konsep seksualitas perempuan (pasifkah atau aktifkah?)
lihat pada Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Bab Perkawinan dan Timbangan Amal, Vol. II, h, (Kairo,
1964) dan Sigmund Freud, Sexuality and the Psychology of Love, (New York, 1963), h. 196-197,
Sigmund Freud, Three Contributions to the Theory of Sex, (New York, 1909), ed. 2, h. 14, 77-78.
183
Baca: Fatimah Mernissi, Beyond the Veil; Seks dan Kekuasaan, h. 89-90; juga ′Abbâs Mahmûd
Al-′Aqqâd, Al-Mar’ah fî al-Qur’an, h. 22, 84.

161
ada agresor ataupun korban, tetapi keduanya merupakan satu pasangan yang bekerja
sama untuk saling memberikan kenikmatan.
Perdebatan wacana mengenai seksualitas perempuan selalu diramaikan
dengan isu-isu virginitas yang menyimbolkan pada kepasifan seksualitas perempuan.
Keperawanan merupakan harga mahal bagi para perempuan yang harus
dibayarkannya pada malam pertama pernikahannya, jika yang dimaksudkan tersebut

tidak dimiliki perempuan pada malam pertama (‫ﺩﺧﻴﻠﻴﺔ‬ ‫)ﻟﻴﻠﺔ‬, maka sebagai resikonya ia

akan dicap sebagai perempuan terkutuk (‫ )ﺑﻨﺖ ﺍﳌﻠﻌﻮﻧﺔ‬seperti yang diucapkan Majid
kepada istrinya. Dengan demikian perempuan akan menjadi sangat terhina jika tidak
dapat mempersembahkan keperawanannya di malam pertama kepada suaminya.
Stereotipe ini bukan hanya dilekatkan pada perempuan itu saja, akan tetapi juga pada
kaumnya.184
Bahkan, saat norma-norma tersebut bergeser menjadi lebih longgar. Di mana
pemahaman mengenai keperawanan tidaklah lagi sempit dan represif, perempuan
sendiri terkadang membenarkan dengan menyatakan setuju bahwa keperawanan
haruslah dijunjung tinggi oleh kaumnya. Menafikan konsep tersebut adalah suatu
kesalahan dan pelencengan budaya.
Selain seksualitas perempuan yang pasif, perempuan juga diasumsikan
sebagai “benalu, wabah dan lintah” yang akan menghancurkan kepribadian dan
kehormatan keluarga di mata masyarakat patriarki. Setidaknya, analogi ini muncul
untuk menggambarkan perempuan Afrika. Perempuan dianggap membawa
kesengsaraan, pembawa bencana dan merugikan. Kodrat perempuan dan
ketidakmandiriannya menjadi alasan kuat yang menyebabkan perempuan tergantung
pada laki-laki, baik dari secara finansial maupun seksual, seperti yang dilambangkan
pada lintah.

184
Hânan asy-Shaykh, Hikâyah Zahra, h. 100.

162
“Lintah” sebagai parasit, hidup dengan menggantungkan nasibnya pada
mahluk lainnya. Ia menghisap apapun dari mahluk lain demi memuaskan keinginan
dan kebutuhannya sendiri tanpa memikirkan akibat dari perbuatannya tersebut.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan “wabah” adalah karakteristik fisik orang-orang
Afrika yang berkulit hitam, berbibir tebal dan berambut barbar (ikal). Secara umum,
bangsa Lebanon mempunyai karakter fisik sebaliknya -berkulit putih langsat dan
berhidung mancung-, adalah sangat memalukan bagi bangsanya jika mempunyai
keturunan dari orang-orang Afrika. Sementara kultur-budaya Lebanon melihat
kecantikan perempuan dari kulit yang putih langsat dan tubuh yang ramping
semampai. Konsep dan mitos mengenai hal ini juga dipercayai oleh Majid, selain itu
ia juga meyakini bahwa dengan menikahi perempuan yang berasal dari negaranya
sendiri maka prestisenya sebagai warga yang berkebangsaan Lebanon akan terjaga,
terlebih Zahra tersebut berasal dari keluarga yang terpandang, keponakan seorang
kamrad terkenal di Lebanon.
Image perempuan sebagai “pembawa musibah” juga terlihat pada kasus Zahra
yang dalam pernikahannya menjadi “gila”. Dengan status gila-nya ini, maka fungsi
Zahra sebagai istri dan ibu rumah tangga akan hilang secara otomatis. Keadaan
tersebut membuatnya tidak memiliki nilai apapun di mata suaminya, ia dianggap
tidak bisa memenuhi kebutuhan suaminya baik secara seksual maupun sosial (sebagai
istri maupun ibu yang baik buat anak-anak yang akan dilahirkannya).185 Di sini
konsep pernikahan yang ditawarkan adalah sebagai pemuas nafsu birahi dan sarana

185
Seperti pernikahan yang ideal pada umumnya, pernikahan dilakukankan atas dasar ibadah, dan
menempatkan pemenuhan hajat di bawah naungannya merupakan pendekatan diri kepada Allah. Istri
dan suami hendaknya saling sayang menyayangi, saling mengerti, tolong menolong dan saling
mengingatkan, lalu sepasang suami istri tersebut hendaknya membangun keluarga muslim tempat lahir
dan tumbuhnya anak , tempat mekarnya kelopak akal pikiran sedang jiwa terpoles oleh akhlak karimah
yang dibawa oleh Islam. Selain itu, istri hendaknya taat dan berbakti pada suami (dengan tidak
menyeleweng atau menentang), menjaga rahasia keluarga dan suami, berbakti kepada mertua dan
menghormati keluarganya dan selalu mendampingi suami dan membantunya (baik dalama urusan
rumah tangga maupun ucapan, pendapat dan pekerjaan). Muhammad Ali Hasyim, Kepribadian Wanita
Muslimah; Menurut al-Qur’an dan As-Sunnah, Terj. Nabhani Idris, (Jakarta: Akademika Pressindo,
1997), h. 125-164; juga Syaikh Muhammad al-Ghazali, Mulai dari Rumah: Wanita Muslim dalam
Pergumulan Tradisi dan Modernisasi, h. 135-137.

163
untuk melanjutkan keturunan. Tidak ada relasi kemitraan yang sejajar dalam
gambaran pernikahan seperti ini,186 sebaliknya harapan yang diperuntukkan pada
perempuan memiliki peran ganda, yaitu tanggung jawab domestik dan finansial
sekaligus.

Dari aspek leksikal pun, baik wabah (‫)ﺣﻴﻠﺔ‬187 maupun (‫ )ﻋﻠﻘﺔ‬ditandai dengan

petanda-petanda feminin yaitu sufiks {-ah/-at} atau yang biasa disebut tâ′ marbûthah

(‫)ﺓ‬. Petanda ini secara tersirat menyatakan kekhasan perempuan sebagai sosok yang

berasal dari maskulinitas (mudzakar) dan harus selalu ditandai. Dengan ini, terlihat
bahwa hubungan yang tergambar dari konvensi bahasa, sastra dan budaya sangat
menentukan kongkretisasi makna yang terkandung dalam teks-teks sastra.
b. Diskriminasi dan Marjinalisasi
Perempuan lahir dan tumbuh berdasarkan stereotipe yang melekat padanya.
Stereotipe tersebut mengakibatkan munculnya diskriminasi terhadap perempuan, hal
tersebut dapat dilihat dari bentuk perlakuan dan pola pikir tokoh-tokoh cerita dalam
mendeskripsikan setiap alur dan penceritaan. Perlakuan yang tidak seimbang antara
tokoh laki-laki dan perempuan menggambarkan adanya diskriminasi terhadap
perempuan dan laki-laki dikarenakan jenis kelamin mereka, dibuat dengan alasan-

186
Zaitunah Subhan pun menolak pendapat yang menyatakan peran perempuan sebagai istri hanya
sebagai alat pemuas nafsu birahi “konco wingking”, ungkapan inilah yang pada akhirnya menganggap
perempuan sebagai sarana untuk melanjutkan keturunan dan diciptakan untuk menyenangkan dan
menghibur laki-laki. Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta: el-
Kahfi, 2008), h. 299.
187
Mitos mengenai “wabah penyakit” mengingatkan penulis pada sejarah masyarakat Hindu
sebelum abad 17. Dalam ajaran Manu, perempuan dianggap lebih buruk dari wabah penyakit,
kematian, racun, ular dan api. Sehingga istri harus mengabdi kepada suaminya bagaikan mengabdi
kepada Tuhan, ia harus berjalan di belakangnya, tidak boleh berbicara, dan tidak juga makan
bersamanya, tetapi makan sisanya. Bahkan, istri harus dibakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya
dibakar, atau kalau ingin tetap hidup maka sang istri mencukur rambutnya dan memperburuk wajahnya
agar terjamin bahwa ia tidak lagi akan diminati. M. Quraisy Shihab, Perempuan: Dari Cinta sampai
Seks, Dari Nikah Mut’ah sampai Nikah Sunnah, Dari Bias Lama sampai Bias Baru, h. 103.

164
alasan yang tidak relevan dan didasarkan pada keyakinan patriarkhis bahwa
perempuan memiliki atribut yang tidak dikehendaki.188
Zahra (sebagai tokoh central) hidup bersama keluarga yang terdiri dari ayah
”Ibrahim”, ibunya “Fatme” dan seorang kakak laki-lakinya yang bernama Ahmad.
Peran Ibrahim sebagai kepala rumah tangga sangat dominan karena ia adalah pencari
nafkah bagi anggota keluarganya, sedangkan Fatme, ibunya sebagai ibu rumah tangga
hanya dianggap orang yang mengatur kebutuhan suami dan anak saja. Berdasarkan
pembagian peran seperti ini maka perempuan menduduki posisi inferior dan laki-laki
sebagai mahluk superior dan istimewa dalam keluarga. Sehingga laki-laki berhak
mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan perempuan, baik dari aspek
kesejahteraan, pendidikan, dan kebebasan/keleluasaan menentukan pilihan hidup.189
Menurut Asma Barlas, prilaku istimewa yang diperoleh ayah sebagai mahluk yang
mempunyai kekuasaan dalam keluarga, tidak sepenuhnya didukung oleh agama
(khususnya Islam), karena al-Quran tidak mendefinisikan ayah dengan cara yang
dapat melahirkan kesan bahwa dirinya penguasa anak-anaknya.
Domestikasi istri dan ibu dalam rumah tangga (Fatme) terlihat dari tugas dan
peran privat sebagai sosok yang menyediakan makanan dan melayani suami dan
anak-anaknya. Ketika datang waktunya makan, ibu akan mengisi piring-piring
dengan berbagai macam lauk pauk (yang berupa daging dan telur) untuk suami dan
anak laki-lakinya, tetapi untuknya dan anak perempuannya hanya cukup dengan
sayur-sayuran. Mereka (suami dan anak laki-lakinya) lebih berhak makan daging dan
telur dibandingkannya karena suami adalah pencari nafkah keluarga. Begitu pula
ketika perang saudara terjadi, di mana perekonomian keluarga dan masyarakat sedang

188
Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, h. 112.
189
Perintah untuk menghormati orang tua berasal dari Tuhan, bukan dari orang tua sendiri. Islam
menampilkan gagasan tentang hubungan timbal balik yaitu anak perlu berbuat baik kepada orang
tuanya karena ia telah dididik dan dibesarkan hingga dewasa. Asma Barlas, Cara Qur’an
Membebaskan Perempuan, h. 181-182.

165
sulit, Fatme akan berusaha untuk dapat menyajikan makanan terbaik yang berupa
daging dan memberi jatah terbanyak kepada Ahmad, anak laki-lakinya.190
Dalam hal kesejahteraan, ayah dan saudara laki-laki akan mendapatkan
prioritas utama dibandingkan ibu dan anak perempuan. Ibu dan anak perempuan tidak
pernah dapat makan daging, telur, dll, sebagaimana yang didapati oleh laki-laki, dan
tidak akan pernah bisa makan mendahului ayah dan anak laki-laki, hal ini merupakan
bentuk penghormatan terhadap ayah sebagai pencari nafkah. Dalam hal ini, pola
tersebut bertentangan dengan apa yang telah diajarkan Islam, seperti termaktub dalam
surat al-Baqarah (2): 228.191 Ayat tersebut menegaskan bahwa setiap laki-laki dan
perempuan mempunyai derajat dan kedudukan yang sama, baik dalam ranah
domestik maupun publik. Dalam ranah domestik, baik suami maupun istri
mempunyai tugas dan tanggung jawab masing-masing dalam mengurus rumah
tangga, sehingga tidak ada yang lebih dominan antara satu sama lain. Laki-laki
menjadi pemimpin atas keluarganya dengan kapasitas dan kelebihan yang telah Allah
berikan, sedangkan perempuan menjalankan roda rumah tangga berdasarkan
kelebihan dan kapasitas yang tentu saja berbeda dengan yang dimiliki oleh laki-laki.
Begitu pula dalam hal pendidikan, Ibrahim lebih memprioritaskan anak laki-
lakinya untuk bersekolah lebih tinggi, walaupun di tempat yang sangat jauh. Hal ini
terlihat dari prilaku ayahnya yang telah lama mengumpulkan uang karena
menginginkan agar kakaknya Ahmad meneruskan sekolah di sebuah perguruan tinggi
di Amerika untuk belajar teknik listrik. Walaupun pada kenyataannya, dengan kondisi
Ahmad yang minus, ia tidak memungkinkan untuk melanjutkan sekolah bahkan ke
jenjang yang lebih tinggi. Dalam kemampuan akademisi, Zahra lebih pantas
mendapatkan kesempatan itu, karena ia merupakan anak yang pintar, sedangkan

190
Hânan asy-Shaykh, Hikâyah Zahra, h. 14 dan 164.
191
.‫ﻭﳍﻦ ﻣﺜﻞ ﺍﻟﺬﻱ ﻋﻠﻴﻬﻦ ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻭﻟﻠﺮﺟﺎﻝ ﻋﻠﻴﻬﻦ ﺩﻭﺟﺔ ﻭﺍﷲ ﻋﺰﻳﺰ ﺣﻜﻴﻢ‬. Baca: Husni Syaikh
Usman, Syaqâiq al-Rijâl: Wa Halla Masalah al-Mar’ah fi al-Manhaj al-Islamî, (Mekah: Dakwah al-
Haqq, 1417 H), h. 89-100.

166
Ahmad, kemampuannya jauh di bawah rata-rata, bahkan untuk membaca dan menulis
saja Ahmad mengalami kesulitan.
Untuk menegaskan hal ini, laki-laki selalu melekatkan stereotip kepada
perempuan sebagai mahluk yang bodoh, dan perempuan sudah ditakdirkan untuk
menjadi bodoh selamanya dan tidak mampu menandingi kepintaran laki-laki.192 Opini
tersebut jelas-jelas keliru, Imam Khomeini dalam salah satu pidatonya menegaskan
bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk mendapatkan
pendidikan yang layak, terlebih perempuan adalah pendidik masyarakat, yang dari
pengasuhan perempuanlah laki-laki mendapatkan cinta kasih sehingga perempuan
mampu mencetak pemimpin dan penguasa bangsa. Menurutnya, perempuan adalah
refleksi dari terwujudnya harapan manusia sehingga manusia mampu mencapai
ketinggian spiritual.193
Budaya patriarki menegaskan dominasi ayah terhadap istri dan anak
perempuannya dalam keluarga. Laki-laki adalah sosok yang harus dihormati dan
dijaga nama baiknya, berbeda dengan perempuan yang sejak kecil diajarkan untuk
menghormati dan menghargai laki-laki melalui sosok ayah dan kakak laki-laki. Bagi
orang tua, mempunyai anak laki-laki merupakan suatu kebanggaan tersendiri,
sehingga ibu akan berusaha untuk menutupi kesalahan yang telah diperbuat oleh anak
laki-lakinya. Seperti ketika Ahmad terlambat pulang ke rumah, Fatme, ibunya akan
mengusutkan tempat tidur dan meletakkan bantal di bawah selimut, agar terlihat
bahwa Ahmad sudah tidur ketika Ibrahim (ayah) bertanya. Bahkan saat Ahmad
berusaha mencuri gelang emas milik ibunya saat tidur. Ketika disadari bahwa gelang
telah terjuntai dari lengannya sementara Ahmad sedang melarikan diri. Ibunya tidak
pernah bereaksi untuk memarahi dan menghukum Ahmad atas semua kenakalannya.
Ia menganggap perbuatan tersebut wajar dilakukan oleh anak laki-laki.194

192
Hânan asy-Shaykh, Hikâyah Zahra, h. 149.
193
Imam Khomeini, Kedudukan Wanita dalam Pandangan Imam Khomeini, terj. M. Abdul Kadir
Alkaff, (Jakarta: Lentera Basritama, 2004), h.80-81.
194
Hânan asy-Shaykh, Hikâyah Zahra, h. 28.

167
Demikianlah, dalam beberapa kesempatan, perempuan selalu menjadi mahluk
inferior. Budaya patriarkhi tidak pernah memberikan tempat bagi perempuan untuk
memasuki arena publik yang di dalamnya laki-laki bebas melakukan apa saja tanpa
bisa disentuh oleh perempuan. Bagi Zahra, kebebasannya telah direnggut secara
paksa oleh budaya dan masyarakat. Aturan-aturan serta dogma tersebut hanya mampu
menyentuh perempuan tanpa pernah menyentuh dunia laki-laki, patriarki. Karena
baginya, dunia ini hanya milik laki-laki dan laki-laki jugalah yang menciptakan
dunia. Bahkan, kebaikan perempuan diukur oleh standarisasi yang dibuat dan
diinginkan oleh laki-laki. Dalam semua diskriminasi dan marjinalisasi perempuan,
keluarga dan masyarakat merupakan institusi yang paling bertanggung jawab.
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan di atas, dapat dilihat bahwa tubuh
dan seksualitas perempuan dikaitkan dengan berbagai kepentingan patriarki, yang di
dalamnya terdapat aturan-aturan mengikat dan represif. Dalam aspek keluarga dan
sosial, wujud citra perempuan terbangun oleh citra diri perempuan sebagai istri yang
tidak bahagia dan tidak membahagiakan bagi suaminya. Hal ini terlihat dari aspek
fisis, psikis dan respon lingkungan di sekitarnya. Untuk mewujudkan
kebahagiaannya, perempuan sendirilah yang harus menciptakan kesadaran pada
dirinya, walaupun kebahagiaan tersebut diraihnya dengan harga yang sangat mahal.
Hal ini dikarenakan perempuan berada di bawah pengaruh budaya patriarkhi yang
memiliki ideologi gender, yang tergambar melalui image laki-laki sebagai pemegang
kekuasaan. Image tersebut dikultuskan secara simbolik sebagai ”tuhan dan raksasa”,
sehingga membuat gambaran perempuan semakin melemah seiring dengan
perkembangan ruang dan waktu.
Secara hierarki sosial, semakin modern dan cerdas suatu masyarakat
patriarkhi maka ia akan kehilangan identitas ke-patriarki-annya, karena budaya ini
tumbuh subur hanya pada tataran tradisional. Agama dan keluarga dalam hal ini
merupakan salah satu institusi yang paling bertanggung jawab untuk menjawab

168
persoalan tersebut, sekaligus menjadi benteng pertahanan bagi siapapun yang akan
keluar dari norma dan dogma patriarkhi.

169
BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah disampaikan pada bab-bab terdahulu, maka penelitian ini
menemukan bahwa citra diri perempuan yang digambarkan di dalam teks-teks Hikâyah
Zahrah masih berada dalam ketegangan,hal tersebut terlihat dari keinginan perempuan
untuk maju akan tetapi terhambat oleh kungkungan budaya yang membelenggu. Sedangkan
dari aspek psikis, perempuan digambarkan dengan kedinamisan psikis, di mana perempuan
pada saat-saat tertentu sudah mampu menentukan nasib dan pilihannya sendiri, akan tetapi
di saat-saat lainnya perempuan masih tergantung pada konstruk sosial yang patriarkhis.
Gambaran mengenai citra perempuan dalam keluarga digambarkan sebagai ibu
rumah tangga, anak dan istri yang tidak bahagia karena pernikahan yang mereka jalani
tidak dilandasi pada keinginan dan kehendak diri sendiri, akan tetapi lebih pada tuntutan
konstruk masyarakat setempat. Di mana perempuan pada umur-umur tertentu
dikonstrukkan untuk menikah, karena pernikahan membawa presitige tersendiri bagi
anggota keluarga. Pencitraan perempuan dalam masyarakat dapat dilihat dari hubungan-
hubungan antarindividu dengan individu, maupun antar individu dengan masyarakat. Dari
hubungan tersebut, perempuan digambarkan sebagai perempuan yang bebas dalam
kerangkeng tirani patriarki. Sebagai seorang istri dan anak, perempuan mencoba keluar dari
norma-norma budaya dan agama dengan mengikuti keegoisannya. Hubungan perempuan
sebagai individu dengan masyarakat dapat dilihat dari tanggapan-tanggapannya terhadap
konstruk sosial yang berkembang di tengah masyarakat, seperti mitos menstruasi,
virginitas, perawan tua dan perkawinan. Dari hasil penelitian tersebut, ditemukan beberapa
potensi perempuan yang menginginkan dialog dan keterbukaan, perempuan yang ingin
mengembangkan dirinya melalui pendidikan dan pekerjaan.
Bersamaan dengan hal tersebut, tesis ini menunjukkan bahwa sakralisasi terhadap

167
laki-laki dan maskulinitas dalam budaya Arab mentransformasi ideologi dan gagasan
patriarki yang androsentris dalam karya sastra. Penggunaan bahasa Arab yang bernuansa
jender (methaporical gender) dalam gaya penulisan karya sastra berdampak pada
munculnya stereotipe, penafsiran dan pemaknaan yang dikotomis, sehingga pembaca
terjebak dalam nuansa patriarkis dan androsentris. Pengalaman penulis yang bernuansa
jender pun memengaruhi cara berpikir dalam mengungkapkan gagasan dan pandangan
mengenai tubuh dan seksualitas perempuan.
Gagasan tubuh dan seksualitas dalam karya sastra selalu terbentur pada kenyataan
dan kepentingan sosial, politik dan budaya sehingga kerap melupakan pengalaman
perempuan sebagai pencipta dan penikmat karya sastra tersebut. Terlebih, iklim bahasa
Arab yang cenderung diskriminatif memproduksi mitos, simbol dan image negatif terhadap
perempuan. Berdasarkan itu, bahasa Arab yang mengandung bias gender di dalamnya
menciptakan oposisi biner (binary opposition) yang meliputi feminin dan maskulin,
sehingga dalam bahasa sastra pun cenderung diskriminatif.
B. Rekomendasi
Pada dasarnya penelitian ini hanya berbicara seputar isu-isu tubuh dan seksualitas
perempuan sebagai tema sentral. Adapun aspek-aspek internal dan eksternal yang
membangun karya sastra seperti tokoh dan penokohan, gaya bahasa, latar sejarah, sosial
dan politik yang berkembang di belakangnya belum sepenuhnya penulis angkat dalam tesis
ini dikarenakan lingkup yang sangat terbatas. Padahal permasalahan tersebut sangatlah
menarik jika diperbincangkan, mengingat proses penciptaan karya sastra sangat
dipengaruhi oleh latar sosial, politik, ekonomi dan budaya di mana karya tersebut
diciptakan. Dengan berbagai keterbatasan dan kekurangan penelitian ini, penulis merasa
perlu untuk menyampaikan sejumlah rekomendasi untuk penelitian mendatang, agar
penelitian terhadap karya-karya sastra semakin variatif dan menarik baik bagi pemerhati
karya sastra maupun akademisi pada umumnya. Diantara rekomendasi yang
memungkinkan diterapkan untuk penelitian selanjutnya adalah sebagai berikut:

168
1. Karya sastra kerap mengusung nilai-nilai sosial yang mampu merasuki ideologi dan
gagasan pembaca, untuk itu perlu kiranya memasuki ide dan gagasan pencipta karya
sastra dengan kesadaran khusus. Untuk itu reading as women merupakan salah satu
cara untuk dapat menyelami dunia sastra, karena membaca sebagai perempuan adalah
mendalami makna karya sastra dengan pengalaman kesadaran khusus sebagai
perempuan dengan stigma-stigma negatif yang melekat pada tubuhnya.
2. Gagasan dan ide-ide mengenai tubuh dan seksualitas perempuan hendaknya dipahami
sebagai salah satu bentuk persoalan yang dihadapi perempuan dalam kehidupannya.
Persoalan tersebut bukanlah sebuah aib sehingga tabu untuk dibicarakan, akan tetapi
hendaknya dipandang sebagai sebuah pilihan dalam menjalani kehidupan, seperti
halnya juga budaya patriarki
3. Pada akhirnya, penulis hendak menyampaikan sebuah harapan kepada pihak-pihak
yang kompeten dalam bidang pengembangan bahasa dan sastra Arab untuk
merevitalisasi kerja semiotik sebagai pendekatan kajian kebahasaan dan kesastraan,
hal ini untuk menepis kesan kemandulannya di tengah derasnya perkembangan
berbagai teori kesusastraan yang nyaris sepenuhnya berasal dari Barat. Salah satunya
adalah dengan melakukan studi perbandingan antara teori-teori kebahasaaan dan
kesastraan yang telah berkembang di dunia Islam dan teori-teori yang lahir di
lingkungan akademis Barat. Dengan demikian, pada akhirnya, akan diketahui letak
kekuatan dan kelemahan masing-masing sehingga dapat ditemukan jalan guna
melakukan sintesis dan pengembangan-pengembangan teoretis lebih lanjut di masa
depan. Wa Allah a‘lam bi al-Shawâb.

169
DAFTAR PUSTAKA

a) Buku dan Jurnal


Abrams, M.H, A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart and Winston,
1981.

Ahmad, Laila, Wanita dan Gender dalam Islam, terj. M.S. Nasrulloh, Jakarta:
Lentera, 2000.

al-‘Aqqâd, ‘Abbâs Mahmûd, Al-Mar’ah fî al-Qur’an. Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî,


1969.

Altenbernd, Lynn and Lislie L. Lewis, A Handbook for the Study of Poetry. London:
Collier-MacMillan Ltd., 1970.

Amîn, Qâsim, Tahrîr al-Mar’ah, Kairo: al-Markaz al-‘Arabi lil Bahtsi wa an-Nasyri,
1984.

________, Al-Mar’ah al-Jadîdah, Kairo: al-Markaz al-‘Arabi lil Bahtsi wa an-Nasyri,


1901.

Aminuddin, Semantik; Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: Sinar Baru, 1988.

Amiruddin, Mariana, Perempuan Menolak Tabu; Hermeneutik, Feminisme, Sastra,


Seks. Jakarta: Melibas, 2005.

Arivia, Gadis, Filsafat Berperspektif Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal


Perempuan, 2003.

Barbara, Ryan, Feminism and the Women’s Movement Dynamics of Change in Social
Movement, Ideology and Activism, New York: Routledge, 1992.

Barthes, Roland, Mytologies. Paris: Seuil, 1957.

Bhasin, Kamla, Menggugat Patriarkhi. Yogyakarta: Bentang, 1996.

________, Memahami Gender. terj. M. Zaki Hussein, Jakarta: Teplok Press, 2001.

Beauvoir, Simone de, The Second Sex;Kehidupan Perempuan. terj. Toni B, dkk, Ttp:
Pustaka Promethea, 2003.

Bonvillain, Nancy, Women and Men; Cultural Constructs of Gender. New Jersey:
Pearson-Prentice Hall, 2008.

170
Brittan, Simon, Poetry, Symbol and Allegory; Interpreting Metaphorical Language
from Plato to the Present. London: University of Virginia Press, 2003.

Budiman, Kris, Kosa Semiotika. Yogyakarta: LKiS, 1999.

Cameron, Deborah, Feminist and Linguistic Theory. London: The Macmillan Press
LTD, 1994, Edisi Kedua.
________ and Don Kulick, Language and Sexuality. Cambridge: Cambridge
University Press, 2003.

Chaer, Abdul, Leksikologi dan Leksikografi Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2007.

Classe, O., Encyclopedia of Literary Translation into English. Taylor & Francis,
2000.

Coombes, H., Literature and Criticism. Harmondsworth, Middlesex: Penguins


Books, 1980.

Culler, Jonathan, On Deconstruction; Theory and Criticism after Structuralism.


Ithaca, New York: Cornell University Press, 1982.

________, The Pursuit of Signs: Semiotics, Literature, Deconstruction. London and


Henley: Routledge and Kegan Paul, 1981.

Damono, Sapardi Djoko, “Berita dan Cerita” dalam kompas Minggu, 2 Mei 1999.

Dhaif, Syauqi, Tajdîd al-Nahw. Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1982.

Dick, S.C. and J.G. Kooij, Ilmu Bahasa Umum. terj. T.W. Kamil, Jakarta: RUL,
1994.

Djadjasudarma, Fatimah, Metode Linguistik; Ancangan Metode Penelitian dan


Kajian. Bandung: Eresco, 1993.

Djokosujatno, Apsanti (ed.), Wanita dalam Kesusatraan Prancis. Magelang:


Indonesiatera, 2003.

Duby, Georges and Michelle Perrot, A History of Women: From Encient Goddesses
to Crystian Saint. London: The Belknap Press Cambridge, 2000.

Dzuhayatin, Siti Ruhaini, Marital Rape, Suatu Keniscayaan?, dalam Islam dan
Konstruksi Seksualitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Ember, Melvin and Carol R. Ember, Countries and their Cultures. New York:

171
Macmillan Reference USA, 2001.

Endraswara, Suwardi, Metodologi Penelitian Sastra: Epistimologi Model, Teori dan


Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003.

Fakih, Mansoer, Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 1997.

Fromm, Erich, Love, Sexuality, and Matriarchy about Gender. terj. Pipit Maizier,
Yogyakarta: Jalasutra, 2002.

Gayatri, BJD. dalam Citra Seksualitas Perempuan Jawa; Representasi dari Candi,
Mitologi dan Wayang, Jurnal Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal
Perempuan, 2005.

al-Ghadzdzâmî, ‘Abdullah Muhammad, al-Mar’ah wa al-Lughah. Beirut: al-Markaz


al-Tsaqâfî al-‘Arabî, 1997.

al-Ghazâli, Syaikh Muhammad, Mulai Dari Rumah; Wanita Muslim dalam


Pergumulan Tradisi dan Moderenisasi. terj. Zuhairi Misrawi, Bandung:
Mizan, 2001.

Graddol, David and Joan Swann, Gender Voices. terj. Muhith, Pasuruan: Pedati,
2003, Cetakan Pertama.

Haddad, Yvonne Yazbeck and Ellison Banks Findly, Women, Religion, and Social
Change. New York: State University of New York Press, 1985.

Haridy, Ahmad ‘Abdul Majid, al-Mudzakar wa al-Muannats li Ibn al-Tastury al-


Katib. Kairo: Maktabah al-Khanaji, 1983.

al-Hâsyimi, Ahmad, Jawâhir al- Adab fi Adabiyât wa Insyâ wa lughât al-‘Arab.


Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1978.

Hâsyimî , Sayyid Ahmad, al-Qawâ’id al-Asâsiyyah Lilughah al-Arabiyah. Kairo: al-


Mukhtâr, 2005.

Hatch, Gary Layne, Arguing in Communities. London: Mayfield Publishing, 1999,


Edisi Kedua.

Hawkes, Terence, Structuralism and Semiotics. London: Methuen & Co. Ltd., 1978.

Hellwig, Tineke, In The Shadow of Change; Images of Women in Indonesian


Literature. terj. Rika Iffati Farikha, Depok: Desantara Utama, 2003.

172
Hourani, Albert, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, terj. Suparno, dkk., Bandung:
Mizan, 2004.

Hude, M. Darwis, Emosi; Penjelajahan Religio-Psikologis tentang Emosi Manusia di


Dalam al-Qur’an. Jakarta: Erlangga, 2006.

Hudson, William Henry, An Introduction to the Study of Literature. (ed. George E.


Harrap), London, Edisi Kedua.

Holes, Clive, Modern Arabic; Structures, Functions an Varieties. London & New
York: Longman Linguistic Library, 1995.

Humm, Maggie, Dictionary of Feminist Theory. terj. Muhdi Rahayu, Ensiklopedia


Feminisme, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002.

Ilyas, Yunahar, Feminisme dalam Kajian Tafsir al-Quran Klasik dan Kontemporer,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Iser, Wolfgang, The Act of Reading, A Theory of Aesthetic Response, Baltimore:


Johns Hopkins University Press, tth.

al-Iskandari, Ahmad wa Musthafa ‘Inani, al-Wâsith fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi.


Mesir: Dâr al-Ma’arif, tth.

Isma’il, ‘Izzuddin, al-Adab wa Fununihi; Dirasah wa Naqd. Kairo: Dâr al- Fikr al-
‘Arabî, 1968, Edisi Keempat.

Jabra, Abdul Mut’âli Muhammad, al-Mar’ah fi al-Tashawwuri al-Islâmî. Kairo:


Maktabah Wahabiyah, 1994 M/1414 H.

Jabbra, N.W., Sex Roles and Language in Lebanon, Ethnology, 1980.

Jabrohim, Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya, 2003,


Cetakan Ketiga.

Kamil, Sukron, Najîb Mahfûz, Sastra, Islam dan Politik: Studi Semiotik Terhadap
Novel Aûlad Haratîna. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007

Kenny, William, How to Analyze Fiction. New York: Monarch Press, 1966.

Khafâji, Muhammad Abdul Mun’im, Madâris al-Naqd al-Adab al-Hadîst. Kairo: al-
Dâr al-Masriah al-Lubnaniah, 1995.

Khalîf, Yusuf, Dirâsat fi al-Syi’r al-Jâhili. Kairo: Maktabah Gharib, tth.

173
Khalil, Ibrâhîm Mahmûd, al-Naqd al-‘Arabi al-Hadits: min al-Muhâkah ila at-Tafkîk,
Oman: Dâr al-Masîrah, 1424 H/2003 M, cetakan pertama.

Khamis, Zhabiah, al-Dzat al-Untsawiyyah, Beirut: Dâr li ats-Tsaqâfati wa al-Nasyri,


1997.

________, Shunmu al-Mar’ah asy-Syi’riy, Beirut: Dâr li ats-Tsaqâfati wa al-Nasyri,


1997.

Khomeini, Imam, Kedudukan Wanita dalam Pandangan Imam Khomeini. terj. M.


Abdul Kadir Alkaff, Jakarta: Lentera Basritama, 2004.

al-Khuli, Muhammad ’Ali, A Dictionary of Theoretical linguistics; English-Arabic


with an Arabic-English Glossary. Beirut: Librairie du Liban, 1982.

Kritzer, Herbert M., Legal System of the World: a Political, Social, and Cultural.
California: ABC-CLIO, Inc, 2002.

Long, David E. and Bernard Reich (ed.), The Government and Politics of the Middle
East and North Africa. Colorado: Westview Press, 1980.

Machali, Rochayah, Pedoman bagi Penerjemah. Jakarta: Grasindo, 2000.

Madkur, Ibrahim, Mu’jam al-Wasith. Kairo: Majma’ al-Lughah al-Arabiyah, 1985,


Juz. 4.

Majaj, Lisa Suhair and Paula W. Sunderman, Therese Saliba, Intersections: Gender,
Nation, and Community in Arab Women's Novels. London: Syracuse
University Press, 2002.

Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab. Kairo: Daar al-Ma’arif, Juz 3.

Mappiare, Andi, Psikologi Orang Dewasa. Surabaya: Usaha Nasional, 1983.

Martin, Richard C., Encyclopedia of Islam and the Muslim World. New York:
Macmillan Reference USA, 2004.

Meisami, Julie Scott and Paul Starkey, Encyclopedia of Arabic Literature. London,
New York: Routledge, 1998, Vol. 2

Mernissi, Fatima, Pemberontakan Wanita: Peran Intelektual Kaum Wanita dalam


Sejarah Muslim. terj. Rahmani Astuti, Bandung: Mizan, 1999.

174
________, Beyond the Evil; Male-Female Dynamics In Muslim Society. London: Al-
Saqi Books, 1983.

Miller, Jane Eldridge, Who’s Who in Contemporary Women’s Writing, London. New
York: Routledge, 2001.

Moghissi, Haideh, Feminisme dan Fundamentalisme Islam. Yogyakarta: LKiS


Pelangi Aksara, 2005.

Mufrodi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta: Logos, 1997.

Muhammad, Goenawan, Seks, Sastra, Kita. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Ibn Al-Muqaffa’, ’Abdullah, Kalîlah wa Dimnah, Beirut: Dâr al-Fikr, tth.

al-Muthahari, Al-Syahîd Ậyatullah Murtadha, Nidzâm Huqûq al-Mar’ah fi al-Islâm.


Iran, Râbithah al-Tsaqâfi wa al-‘alâqât al-Islâmiyah, 1997.

Nasif, Fatima Umar, Menggugat Sejarah Perempuan; Mewujudkan Idealisme


Gender Sesuai Tuntutan Islam. terj. Burhan Wirasubrata, dkk., Jakarta:
Cendikia Sentra Muslim, 2001.

Nasution, Harun, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.


Jakarta: UI Press, 2007.
Nurgiyantoro, Burhan, Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada Press,
1995.

Odgen, C.K., and I.A. Richards, The Meaning of Meaning. London: Routledge &
Kegan Paul LTD, 1960, ed. 10.

Oppong, C. and K. Church, A Field to Research on Roles of Women: Focused


Biographies. Geneva: ILO, 1981.

Page, James D., Abnormal Psychology: Clinical Approach to Psychological


Deviants. New Delhi: Tata McGraw-Hill Publishing Company Ltd, 1978

Palmer, F. R., Semantics. London: Cambridge University Press, 1981.

Plato, The Republic. terj. Desmond Lee, England: Penguin Books, 1955,

Pradopo, Rachmat Djoko, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, Edisi Kedua.

________, Pengkajian Puisi, Yogyakarta: Gadjah Mada Press, 1987.

175
Preminger, Alex, et.al., Princetown Encyclopedia of Poetry and Poetics. Princetown:
Princetown University Press, 1974.

Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Jakarta, Jurnal Harkat. Vol. 8 No. 2 April 2008.

al-Rajihimi, ‘Abduh, Durûs fi Kutûb al-Nahwi. Beirut: Dâr al-Nahdah al-‘Arabiyah,


1975.

Riffaterre, Michael, Semiotics of Poetry. Bloomington & London: Indiana University


Press, 1978.

al-Sa’dâwi, Nawâl, Perempuan Dalam Budaya Patriarkhi. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 2001.

________ dan Hibah Rauf Izzat, Perempuan, Agama dan Moralitas. terj. Ibnu
Rusydi, Jakarta: Erlangga, 2002.

Sallâm, Muhammad Zaglul, Târikh al-Naqd al-Adab wa al-Balâghah. Iskandariyah:


Mansya’ah al-Ma’arif, 1996.

Salem, Elie Adib, Modernization without Revolution Lebanon’s Experience.


Bloomington & London: Indiana University Press, 1973.

Sâlim, Ahmad Muhammad, al-Mar’ah fî al-Fikri al-‘Arabi al-Hadist, Kairo: al-


Hai’ah al-Misriyyah al-‘Ammah lil Kitâb, 2003.

Sartre, Jean-Paul, Being and Nothingness. terj. Hazel E. Barnes, New York: WSP
Publication, 1956.

Saussure, Ferdinand de, Course in General Linguistics, terj. Wade Baskin, New
York: Mc. Graw-Hill Book Company, 1966.

Szondi, Peter, Introduction to Literary Hermeneutics. New York: Cambridge


University Press, 1995.

Schopenhauer, Arthur, History of Ideas on Woman. New York and Berkeley: Perigee
Books, 1977.

Segers, T. Rien, The Evaluation of Literary Texts. Lisse: The Peter de Ridder Press,
1978.

Shehadi, Nadim and Dana Haffar Mills, Lebanon: a History of Conflict and
Consensus. London: The Centre for Lebanese Studies & I.B. Tauris & Co Ltd,
1988.

176
Showalter, Elaine, The New Feminist Criticism, New York: Basil Blackwell, 1985.

________, The New Feminist Criticism: Essays on Women, Literature and Theory,
New York: Pantheon, 1986.

________, Toward a Feminist Poetics in Women Writing and Writing about Women,
M. Jacobus (ed.), London: Croom Helm, 1979.

Siddik, Abdullah, Hukum Perkawinan Islam. Jakarta, Tinta Mas Indonesia, 1983.

Sihbudi, M. Riza, Islam, Dunia Arab, Iran; Bara Timur Tengah. Bandung: Mizan,
1991.

Stowasser, Barbara Freyer, Reinterpretasi Gender: Wanita dalam al-Qur’an, Hadis,


dan Tafsir. Bandung: Pustaka Hidayah, 1994.

Subhan, Zaitunah, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan. Jakarta: el-Kahfi,


2008.

Suharto, Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita: Perspektif Puisi-Puisi Toeti Heraty.


Bandung: Nuansa Cendikia, 2000.

________, Kritik Sastra Feminis; Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 2002.

Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto (Ed.), Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta:


Kanisius, 2005.

al-Syaikh, Hanân, Hikâyat Zahrah. Beirut: Dâr al-Adab, 1984, cet. ke-2.

________, The Story of Zahra. New York, London: Quartet Books, 1989.

Syulma, Abdul Mun’im Abdul Rauf wa Ibrahim al-Abyâri, Syarh Dîwan ‘Antarah
ibn Syaddâd. Beirut: Dâr al Kutub al-Ilmiyah, 1980.

Teeuw, A., Struktur Cerita Pendek Jawa. Jakarta: Gramedia, 1983.

________, Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia, 1983.

________, Sastra dan Ilmu Sastra; Pengantar Teori Sastra. Bandung: Pustaka Jaya,
1984.

Tim Penulis PSW UIN Jakarta, Potret Perempuan dalam Teori dan Realitas: Meretas
Paradigma Kesetaraan. Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW) Press, 2007.

177
________, Isu-Isu Gender dalam Islam, Jakarta: PSW UIN Jakarta, 2002.

________, Pengantar Kajian Gender, Jakarta: PSW Press, 2003.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, penyunting:


Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,
1988.

Umar, Ahmad Mukhtar, ‘Ilmu Dilâlah. Kuwait: Maktabah Daar al-Arabiyah li Nasyri
wa Tauzi’, 1982.

Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender. Jakarta: Paramadina, 2000.

________, Teologi Jender: Antara Mitos dan Teks Kitab Suci. Jakarta Timur: Pustaka
Cicero, 2003.

Ullman, Stephen, Semantics: An Introduction to the Science of Meaning. Oxford:


Basil Black-well, 1977.

Usman, Husein Syaikh, Syaqâiq al-Rijâl. Mekah: Râbithah al-‘Âlam al-Islâm, 1417
H.

Wadud, Amina, Qur’an Menurut Perempuan; Membaca Kembali Kitab Suci dengan
Semangat Keadilan. terj. Abdullah Ali, Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2006.

Waluyo, Herman J., Pengkajian Sastra Rekaan. Salatiga: Widya Sari Press, 2001.

Wolf, Naomi, Mitos Kecantikan; Kala Kecantikan Menindas Perempuan. terj. Alia
Swastika, Yogyakarta: Niagara, 2004.

Wolfman, Brunetta, Peran Kaum Wanita. terj. Anton Soetomo, Yogyakarta:


Kanisius, 1989.

Yamani, Mai, Feminisme dan Islam Politik Interpretasi; Perspektif Hukum dan
Sastra. Bandung: Nuansa Cendikia, 2000.

al-Zahabi, Muhammad Husain, al-Israiliyyat fi al-Tafsîr wa al-Hadîts. Damsyiq:


Laknah an-Nasyr fi Dâr al-Iman, 1985.

al-Zayyat, Ahmad Hasan, Târikh al-Adab al-‘Arabi. Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 2001.

Zeidan, Joseph T., Arab Women Novelists; the Formative Years and Beyond. Albany:
State University of New York (SUNY) Press, 1995.

178
Zoest, Aart van, Semiotika; Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita
Lakukan Dengannya. terj. Ani Soekowati, Jakarta: Sumber Agung, 1995.

________, Fiksi dan Nonfiksi Dalam Kajian Semiotik. Jakarta: Intermasa, 1991.

b) Koran dan Majalah

Sapardi Djoko Damono, “Berita dan Cerita” dalam Kompas, Minggu, 2 Mei 1999.

Faruk, “Seks dan Politik dalam Sastra Indonesia” dalam Media Indonesia, Minggu,
26 Oktober 2003.

c) Internet

Bandung Mawardi, Genderang Gender; Bahasa, Perempuan, dan Resistensi,


http://www.suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.det
ailberitacetak&id_beritacetak=33604

http://www.answers.com/topic/hanan-al-shaykh

http://en.wikipedia.org/wiki/Hanan_al-Shaykh, Hanan al-Shaykh From Wikipedia,


the free encyclopedia

http://www.lebwa.org/life/shaykh.php, By Lina Beydoun, The Sweet Briar Seminars

http://www.kirjasto.sci.fi/ shaykh.htm.

179

Anda mungkin juga menyukai