Anda di halaman 1dari 2

Kaledonia Baru, atau dalam penggunaan resmi digunakan nama New Caledonia[4], (bahasa Perancis: Nouvelle-

Calédonie), adalah sebuah wilayah yang berstatus jajahan sui generis Perancis. Wilayah ini terletak di sub-
benua Melanesia di Samudra Pasifik sebelah barat daya. Juga dinamai Kanaki yang dari nama penduduk asli
kepulauan itu. Negara kepulauan ini telah dikuasai Perancis selain Polinesia Perancis. Status ini dikenakan
sampai 1998. Namanya berasal dari bahasa Latin Skotlandia. Ibu kotanya ialah Noumea.

Kaledonia Baru merupakan kepulauan seluas 18,575 kilometer persegi di Samudera Pasifik yang ditemukan
oleh penjelajah James Cook pada 4 September 1774 ketika melakukan perjalanan keduanya di kawasan Pasifik.
Ia menamakan wilayah ini Kaledonia Baru karena teringat tanah kelahirannya, Skotlandia.

Di bawah pemerintahan Napoleon III, Prancis mengambil alih Kaledonia Baru secara resmi pada 24 September
1853 dan membangun Port de France (Noumea) yang sekarang menjadi ibu kota pada 25 Juni 1854.

Tempat itu pada 1864-1897 dijadikan sebagai lokasi pembuangan tidak kurang dari 22.000 narapidana namun
setelah Gubernur Prancis di NC, Paul Feillet memberi penghapusan hukuman dan kembali ke kampung
halaman mereka, maka imigran dari Asia datang bekerja di pertambangan dan perkebunan di Kaledonia Baru.

Bermula dari aturan "Koeli Ordonantie" pada 1880 yang mengatur hubungan kerja antara buruh dan majikan
untuk menjamin ketersediaan tenaga kerja di perkebunan Belanda di Sumatra, Prancis kemudian meminta
buruh untuk pertambangan nikel dan perkebunan di Kaledonia Baru, maka dikirimlah 170 pekerja dari Pulau
Jawa dan tiba di NC pada 16 Februari 1896.[5]

Daerah ini dihuni oleh sebagian suku Jawa. Dahulu orang Jawa di Kaledonia Baru menjadi kuli kontrak atau
mencari kehidupan lebih baik di negeri asing. Perpindahan orang Jawa di Kaledonia Baru juga sama dengan
orang Jawa Suriname, namun kepindahan orang Jawa di Pasifik telah terhenti sejak 1949.

Kategori Masyarakat Indonesia di Kaledonia Baru

Setidaknya terdapat tiga kategori masyarakat Indonesia dan keturunannya yang tinggal di Kaledonia Baru yaitu
golongan niaouli, wong baleh dan wong jukuan.

Golongan Niaouli itu adalah keturunan pertama masyarakat Indonesia yang lahir di Kaledonia Baru dengan
orang tuanya berasal langsung dari Indonesia. Asal kata niaouli yaitu dulu waktu pekerja belum ada cuti,
termasuk cuti melahirkan jadi begitu si ibu melahirkan anak, tiga hari kemudian, ia harus melaksanakan tugas
sebagai orang kontrak, jadi anak tersebut dibalut dengan kain batik dan ditaruh di bawah pohon niaouli saat
orang tuanya bekerja.

Golongan wong baleh artinya adalah orang-orang yang kembali (balik). Setelah kemerdekaan Indonesia, sekitar
tahun 1950-an, orang-orang kontrak menuntut pulang ke Indonesia tapi ternyata di sana mereka sulit untuk
hidup sehingga kembali lagi ke New Caledonia. Tercatat pada 1952 dan 1954-1955 terjadi kepulangan massal
orang-orang Jawa dan hanya tinggal 2.000 orang yang menetap di NC, padahal pada akhir 1939-1940 terdapat
20.000 orang keturunan Jawa.

Golongan wong jukuan artinya adalah bawaan keluarga atau mereka yang lahir di Indonesia namun dibawa ke
Kaledonia Baru oleh orang Indonesia yang tinggal di Kaledonia Baru.[3]

Sejarah

Bermula dari aturan "Koeli Ordonantie" pada 1880 yang mengatur hubungan kerja antara buruh dan majikan
untuk menjamin ketersediaan tenaga kerja di perkebunan Belanda di Sumatra, Prancis kemudian meminta
buruh untuk pertambangan nikel dan perkebunan di Kaledonia Baru, maka dikirimlah 170 pekerja dari Pulau
Jawa dan tiba di Kaledonia Baru pada 16 Februari 1896.

Gelombang Kedatangan Pekerja Jawa

Ada tiga gelombang kedatangan masyarakat Jawa Indonesia ke New Caledonia.

Pertama adalah kedatangan 170 para pekerja dari pulau Jawa pada 1896 yang bekerja di tambang nikel. Saat
kontrak mereka habis, ada yang kembali ke Jawa namun ada juga yang tetap tinggal di NC.
Gelombang kedua terjadi sebelum Perang Dunia II, saat New Caledonia sedang mengalami kekurangan tenaga
kerja padahal tambang nikel dan produksi kopi sedang meningkat. Pada periode 1933-1939, lebih dari 7.800
datang dengan kontrak selama lima tahun dan dipekerjakan di kawasan perkebunan, pertambangan dan juga
rumah tangga.

Kloter terakhir adalah dirinya pada tahun 1970 yang merupakan tahun terakhir kalinya kedatangan orang
Indonesia dengan sistem kontrak. Pada akhir 1969 hingga awal 1970 lebih dari seribu orang Indonesia datang,
khususnya untuk membangun jembatan Nera di Cote Ouest, jembatan di Cote Est dan menara St. Quentin di
Magenta.[1]

Orang Indonesia bekerja di sana bersama dengan orang Vietnam dan Jepang yang postur tubuhnya dianggap
ideal untuk masuk ke terowongan bawah tanah tambang krom

Anda mungkin juga menyukai