Anda di halaman 1dari 10

Jurnal Keperawatan BSI, Vol. VI No.

1 April 2018

Resiliensi Remaja Dalam Menghadapi Perilaku


Bullying
Silvia Yuliani1, Efri Widianti2, Sheizi Prista Sari3
1
Universitas Padjadjaran, silviayulianiqaz@gmail.com
2
Universitas Padjadjaran, efri.widianti@unpad..ac.id
3
Universitas Padjadjaran, sheizi@unpad.ac.id

ABSTRAK
Berdasarkan catatan Komnas Perlindungan Anak Indonesia di tahun 2013, KPAI menerima
3.339 kasus pelanggaran terhadap anak. Jumlah ini meningkat menjadi 4.965 kasus di tahun
2014, dimana pelaku bullying meningkat menjadi 26%. Plan International dan International
Center Reasearch on Women (2015) menunjukan bahwa terdapat 84% anak yang mengalami
kekerasan di sekolah. Hal tersebut diperkuat dengan hasil studi ahli intervensi bullying,
sebanyak 10-60% siswa di Indonesia melaporkan telah mendapatkan perilaku bullying
sekurang-kurangnya sekali dalam seminggu. Seseorang yang mendapatkan perilaku negatif dan
menjadi terpuruk, ada sebagian dari diri seseorang yang mampu bangkit dan pulih kembali dari
keadaan terpuruknya yang dikenal dengan istilah resiliensi. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui gambaran resiliensi remaja dalam menghadapi perilaku bullying di SMP 1 PGRI
Jatinangor. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan jumlah sampel 123
orang kelas VII dan VIII yang diambil dengan menggunakan teknik probability sampling.
Penelitian menggunakan instrumen 25-Item Resilience Scale yang disusun oleh Wagnild dan
Young dengan nilai validitas .369 sampai .778 dengan nilai reliabilitas 0.943. Hasil penelitian
menunjukan bahwa sebagian besar dari responden yaitu 90 orang (73%) memiliki nilai resiliensi
yang rendah dalam menghadapi perilaku bullying. Sebagian kecil dari responden (26%) yaitu 32
orang yang memiliki nilai resiliensi sedang dan sangat sedikit dari responden 1 siswa (1%) yang
memiliki nilai resiliensi tinggi. Simpulan dari penenlitian ini ialah resiliensi rendah perlu
diperhatikan dalam perkembangan remaja. Dalam meningkatkan resiliensi perlunya dukungan
dari faktor protektif dalam meningkatkan resiliensi. Karena dorongan positif dari faktor
protektif merupakan salah satu faktor eksternal maupun internal dalam meningkatkan resiliensi.
Kata kunci: Bullying, korban bullying, Resiliensi remaja

Abstract
Background.Based on record in KPAI in 2013, be found 3.339 case about infraction on child.
This amount increase to be 4.965 case in 2014, when bullying person increase to be 26%. Plan
Internasional and Internasional Center Research on Women in 2015 showing that be found
84% child who got violence experience in school. It was cultivation with study intervention
bullying expert result, as much as 10-60% students in Indonesia reported was got bullying
minimum once a week. Someone who got negatif behaviour and be depresed, there’s a half part
of someone who capabel to recovery from depresion that we called resilience. This study
purpose to know description of adolescent resilience to encounter bullying behaviour in SMP 1
PGRI Jatinangor. Methods. This study using quantitative desctiption methode with 123
respondens class VII and VIII who was selected with probability sampling technique. This study
using 25- Item Resilience Scale instrument with contrivance Wagnild and Young with validity
value 0.369 until 0.778 with realibility value 0.943. Results. The result of this study showing
that mayority from respondens is 90 people (73%) who get lowly resilience scale in the course
of bullying behaviour. Minority from responden (26%) is 32 people who got middling resilience
scale and the very minority or only one responden (1%) got the highest resilience sacle.
Conclussions and recommendation. The conclusion is who got lowly resilience need attention
in adolescent development. To increasing resilience need supported from protective factors.

ISSN: 2338-7246, e-ISSN: 2528-2239 77


http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jk
Jurnal Keperawatan BSI, Vol. VI No. 1 April 2018

Because positive support from protective factors its the one from eksternal factors as well as
internal to increasing resilience.
Key Word: Bullying, Resilience of Adolescent, Victim of bullying

Diterima:18 Januari 2018, Direvisi: 08 Februari 2018, Diterbitkan: 15 April 2018

PENDAHULUAN menyalahgunakan zat kimia, memperkosa


Masa remaja merupakan suatu periode dan memiliki senjata (Chan, Heide, & Myers,
transisi dalam rentang kehidupan manusia 2013).
yang menjembatani masa kanak-kanak Perilaku kekerasan dapat dikenal dengan
dengan masa dewasa (Hurlock, 2012). istilah bullying. Fenomena ini semakin sering
Perkembangan masa remaja berlangsung ditemukan melalui media cetak maupun
antara umur 12-21 tahun, dengan pembagian media elektronik. Bullying bukan hanya
usia 12-15 tahun adalah masa remaja awal, masalah di dalam negeri saja, bahkan sudah
15-18 tahun adalah masa remaja pertengahan, menjadi masalah internasional yang terjadi
18-21 tahun adalah masa remaja akhir hampir di semua sekolah bahkan di tempat
(Monks, 2009) pekerjaan. Akhir dekade ini, bullying nampak
Menurut teori tahapan psikososial oleh semakin memburuk, yang menyebabkan
Erikson dalam (Santrock, 1998), masa remaja masalah bagi individu yang diganggu,
termasuk kedalam tahapan keempat dari keluarganya serta lingkungan pendidikan
keseluruhan tahapan perkembangan manusia. mereka (Giovazolias, Kourkoutas,
Dalam tahap peralihan dari anak-anak ke Mitsopoulou & Georgiadi, 2010). Menurut
dewasa ini, energi yang dimiliki seseorang Malik (2014) kejadian bullying di sekolah
dialihkan untuk mendapatkan pengetahuan seperti fenomena gunung es karena sedikit
dan kemampuan intelektual. Tahapan ini yang melaporkan. Berdasarkan catatan
merupakan tahap perkembangan ego identity Komnas Perlindungan Anak Indonesia di
vs identity confusion, dimana individu tahun 2013, KPAI menerima 3.339 kasus
dihadapkan dengan kebutuhan untuk pelanggaran terhadap anak dan 16% pelaku
menemukan jati diri dan apa yang akan ia dalah anak usia kurang dari 14 tahun. Jumlah
lakukan dalam hidup. Penting dalam tahap ini ini meningkat menjadi 4.965 kasus di tahun
adalah melakukan eksplorasi terhadap solusi 2014, dimana pelaku bullying meningkat
alternatif terhadap peran individu dalam menjadi 26%. Hal ini menggambarkan bahwa
hidup (Santrock, 1998). lingkungan sekolah sudah tidak aman dari
Tahap indentitas merupakan tahap remaja perilaku kekerasan.
mulai mencari jati diri. Apabila seorang Menurut Sejiwa (2008), bullying adalah
remaja dalam mencari jati dirinya bergaul sebuah situasi di mana terjadinya
dengan lingkungan yang baik maka akan penyalahgunaan kekuatan atau kekuasaan
tercipta identitas yang baik pula, begitu juga yang dilakukan oleh seseorang atau
sebaliknya. Dengan demikian, sering juga sekelompok orang. Anak laki-laki dan
terjadi penyimpangan identitas, misalnya, perempuan yang rentan untuk ditindas secara
melakukan percobaan tindak kejahatan atau verbal seperti nama panggilan, memukul,
kekerasan seperti bullying, pemberontakan dan secara sosial seperti menyebarkan desas-
dan tindakan tercela lainnya (Depkes, 2010). desus atau gosip, pemerasan, dan isolasi.
Menurut Santrock (2013), predikat kenakalan Di Indonesia, berdasarkan hasil penelitian
remaja dapat diberikan kepada remaja yang yang dilakukan oleh Plan International dan
melanggra hukum. Perilaku melanggar International Center Reasearch on Women
hukum dari perilaku negatif yang ringan, (2015) dalam Puspitasari, (2015) menunjukan
seperti melanggar peraturan sekolah, bahwa terdapat 84% anak yang mengalami
merokok, melakukan perilaku kekerasan kekerasan di sekolah. Hal tersebut diperkuat
bahkan sampai perilaku negatif yang berat dengan hasil studi ahli intervensi bullying,
seperti mencuri, merampok, Huneck (2007) yang mengatakan bahwa 10-

ISSN: 2338-7246, e-ISSN: 2528-2239 78


http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jk
Jurnal Keperawatan BSI, Vol. VI No. 1 April 2018

60% siswa di Indonesia melaporkan telah atau beberapa orang. Seseorang yang
mendapatkan ejekan, cemoohan, pengucilan, mendapatkan perlakuan negatif ini
pemukulan, tendangan, atau dorongan, mengalami kesulitan dalam membela dirinya
sekurang-kurangnya sekali dalam seminggu. (Smith, P.K., Cowie, H., Olafsson, R.F. &
Menurut Winkler (2005), bullying akan Liefooghe, A.R.D, 2002) Sehingga, para
meningkat pada masa Sekolah Dasar, korban bullying di dapati mengalami situasi
mencapai puncaknya pada Sekolah negatif di setiap individunya.
Menengah Pertama, dan akan menurun pada Ketika individu sedang mengalami situasi
masa Sekolah Menengah Atas. Perilaku negatifnya atau terpuruknya, ada sebagian
bullying paling sering muncul pada kelas VII yang mampu keluar dari situasi negatif
hingga kelas VIII (termasuk dalam Sekolah tersebut, sehingga ia dapat bangkit dan pulih
Menengah Pertama) dimana agresifitas fisik kembali. Hal ini dapat menunjukan adanya
pada masa ini meningkat (Wiyani, 2012). kemampuan tertentu yang dikenal dengan
Menurut Hover, dkk dalam (Simbolon, 2012) istilah resiliensi (Chandra, 2007).
ada dua faktor penyebab terjadinya bullying Resiliensi dipahami sebagai kemampuan
yaitu internal dan eksternal. Faktor internal untuk bangkit kembali setelah mengalami
berupa karakterisitik kepribadian, kekerasan kesulitan, untuk melanjutkan kehidupan
yang dialami sebagai pengalaman masa lalu, dengan harapan akan menjadi lebih baik
dan sikap keluarga yang memanjakan anak (Rutter, 2006). Hal ini menekankan pada
sehingga tidak membentuk kepribadian yang kemampuan seseorang untuk mampu
matang. Faktor eksternal yang menyebabkan menghadapi stress dan tekanan yang
kekerasan yaitu lingkungan dan budaya. dialaminya secara efektif, mengatasi masalah
Menurut Astuti (2008) faktor yang sehari-hari, bangkit kembali dari
mempengaruhi terjadinya bullying yaitu kekecewaan, kesulitan dan trauma,
perbedaan kelas, ekonomi, agama, gender, mengembangkan tujuan yang jelas dan
etnisitas/rasisme, senioritas, tradisi senioritas, realistik, berinteraksi dengan nyaman dengan
keluarga yang tidak rukun, situasi sekolah orang-orang disekitarnya dan mampu
yang tidak humoris, karakter individu atau menghargai diri sendiri dan orang lain
kelompok, dan persepsi nilai yang salah atas (Brooks, R and Goldstein, S, 2001).
perilaku korban. Tingkat kelas secara tidak Resiliensi remaja menurut Wagnild dan
langsung berpotensi memunculkan perasaan Young (1993) adalah kemampuan untuk
senior lebih berkuasa dari juniornya dan berhasil mengatasi masalah yang dapat
memanfaatkannya untuk bertindak bullying. merubah hidupnya serta kesengsaraan yang
Menurut Judarwanto (2011) dalam dialaminya. Resiliensi juga dapat diartikan
penelitiannya menunjukan bullying terjadi sebagai ciri kepribadian yang dapat
17% pada siswa kelas delapan dan 4,7% pada membantu seseorang untuk dapat bangkit
siswa kelas sembilan. dari stres. Resiliensi yang di definisikan
Studi menunjukan bahwa siswa korban sebagai kemampuan profesional masing-
bullying dapat menghadapi depresi, stres, masing remaja dalam menghadapi
sosial dan harga diri rendah serta cemas kesengsaraan atau stres. Seorang remaja yang
(Craig, 1998). Menurut Woods, S., dkk gigih akan masuk ke alam dewasa dengan
(2009) bullying juga dapat menyebabkan sebuah kesempatan yang baik untuk
korban mengalami gangguan psikosomatik, mengatasi jika telah mengalami kondisi yang
masalah emosional dan keinginan bunuh diri. sulit dalam hidup (Murphey, Barry, &
Studi juga menunjukan bahwa korban Vaughn, 2013). Remaja yang memiliki
bullying memiliki nilai akademik yang lebih resiliensi yang baik, mereka akan dapat
rendah, kesulitan akademik yang lebih tinggi, memenuhi tanggung jawab ketika dewasa.
dan tingkat kesepian di sekolah lebih tinggi Stres pada remaja dapat timbul dari keadaan
pula dibandingkan dengan teman-teman sekolah yang beruhubngan dengan teman-
sekolah yang tidak di bully (Holt, 2007) teman disekolah hingga hubungan yang tidak
Seseorang dikatakan menjadi korban bullying baik dengan orang tua.
jika secara berulang kali ia mendapatkan Penelitian mengidentifikasikan beberapa ciri-
perlakuan negatif yang dilakukan oleh satu ciri remaja yang dikaitkan dengan resiliensi

ISSN: 2338-7246, e-ISSN: 2528-2239 79


http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jk
Jurnal Keperawatan BSI, Vol. VI No. 1 April 2018

yang baik. Diantaranya, memiliki sifat: Perilaku kekerasan dapat dikenal dengan
adanya dukungan dari orang dewasa seperi istilah bullying. Menurut Sejiwa (2008),
orang tua; berprilaku easygoing dengan bullying adalah sebuah situasi di mana
seluruh golongan atau ras dalam pertemanan; terjadinya penyalahgunaan kekuatan atau
dapat berpikir dengan baik atau berprilaku kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang
cerdas saat beketerampilan sosial; memiliki atau sekelompok orang. Anak laki-laki dan
sebuah talenta; percaya dengan diri sendiri perempuan yang rentan untuk ditindas secara
dan mampu untuk membuat keputusan; yang verbal seperti nama panggilan, memukul,
terakhir adalah berpegang teguh pda dan secara sosial seperti menyebarkan desas-
keyakinan agama yang dimilikinya desus atau gosip, pemerasan, dan isolasi.
(Murphey, Barry, & Vaughn, 2013). Menurut Astuti (2008) faktor yang
mempengaruhi terjadinya bullying yaitu
KAJIAN LITERATUR perbedaan kelas, ekonomi, agama, gender,
Perubahan psikososial pada remaja etnisitas/rasisme, senioritas, tradisi senioritas,
merupakan masa transisi emosional yang keluarga yang tidak rukun, situasi sekolah
ditandai dengan perubahan dalam cara yang tidak humoris, karakter individu atau
melihat dirinya sendiri. Transisi yang dialami kelompok, dan persepsi nilai yang salah atas
oleh remaja ditunjukan dengan adanya perilaku korban.
perubahan hubungan sosial. Salah satu hal Menurut priyatna (2010), dampak bullying
yang penting dalam perubahan sosial pada terhadap perilaku adalah sering terlibat
remaja adalah meningkatkan waktu untuk perkelahian, resiko mengalami cedera akibat
berhubungan dengan rekan-rekan mereka, perkelahian, melakukan tindakan pencurian,
serta lebih intens dan akrab dengan lawan minum alkohol, menjadi biang kerok di
jenisnya (Depkes, 2010). sekolah, minggat dari sekolah, gemar
Dalam buku Childhood and Society (1963) membawa senjata tajam, yang terparah
Erikson membuat delapan tahapan adalah menjadi pelaku tindak kriminal.
perkembangan psikososial. Dari delapan Sekitar 60% dari anak yang bisa melakukan
tahap, remaja melalui lima tahapan tindakan bullying menjadi tindakan kriminal
diantaranya yaitu kepercayaan (Trust) versus sebelum mereka menginjak usia 24 tahun.
ketidak percayaan (Mistrust), Otonomi Studi menunjukan bahwa siswa korban
(Autonomy) versus rasa malu dan ragu bullying dapat menghadapi depresi, stres,
(Shame and Doubt), Inisiatif (Initiative) sosial dan harga diri rendah serta cemas
versus rasa bersalah (Guilt), Rajin (Industry) (Craig, 1998).
versus rendah diri (Inferiority), yang terakhir Menurut Woods, S., dkk (2009) bullying juga
adalah identitas (Identity) versus dapat menyebabkan korban mengalami
kebingungan indentitas (Indentity Confusion). gangguan psikosomatik, masalah emosional
Menurut Jensen dalam Sarwono (2010) dan keinginan bunuh diri. Studi juga
mengatakan bahwa ada empat aspek menunjukan bahwa korban bullying memiliki
kenakalan remaja yaitu: (1) Perilaku yang nilai akademik yang lebih rendah, kesulitan
melanggra hukum. Seperti mencuri, akademik yang lebih tinggi, dan tingkat
melanggar rambu-rambu lalu lintas, kesepian di sekolah lebih tinggi pula
merampok, memperkosa dan perilaku dibandingkan dengan teman-teman sekolah
melanggra hukum lainnya; (2) Perilaku yang yang tidak di bully (Holt, 2007).
dapat membahayakan orang lain dan diri Newman (2005), menyatakan bahwa
sendiri. Seperti kebut-kebutan dijalan, resiliensi merupakan kemampuan seseorang
merokok, narkoba dan lain sebagainya; (3) untuk beradaptasi saat menghadapi tragedi,
Perilaku yang menimbulkan korban materi. trauma, kesulitan, serta stressor dalam hidup
Seperti mencuri, memalak, merusak fasilitas yang bersifat signifikan.Hal ini menekankan
sekolah maupun fasilitas umum; (4) perilaku pada kemampuan seseorang untuk mampu
yang menimbulkan korban fisik. Seperti menghadapi stress dan tekanan yang
tawuran antar sekolah, bullying antar teman dialaminya secara efektif, mengatasi masalah
atau sekolah dan lain sebagainya. sehari-hari, bangkit kembali dari
kekecewaan, kesulitan dan trauma,

ISSN: 2338-7246, e-ISSN: 2528-2239 80


http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jk
Jurnal Keperawatan BSI, Vol. VI No. 1 April 2018

mengembangkan tujuan yang jelas dan tahun yaitu 51 orang (41%), sebagian besar
realistik, berinteraksi dengan nyaman dengan dari responden berjenis kelamin laki-laki
orang-orang disekitarnya dan mampu yaitu 69 orang (56%). Hampir seluruh dari
menghargai diri sendiri dan orang lain responden tinggal dengan kedua orang tuanya
(Brooks, R and Goldstein, S, 2001). yaitu 110 orang (89%) serta sebagian besar
Dalam penelitian ini, akan dilihat bagaimana dari responden pernah menjadi korban
resiliensi para remaja dalam bullying sebanyak 70 orang (57%). Sebagian
menghadapibullying pada siswa SMP PGRI 1 kecil dari responden sebanyak 39 orang
Jatinangor kelas VII dan VIII baik secara (32%) tidak pernah melakukan jenis tindakan
fisik, verbal ataupun psikologis yang hasilnya bullying dan sebagian besar dari responden
akan dinyatakan dalam pengelompokan tidak pernah menjadi korban dan pelaku
berapa yang menjadi korban perilaku sebanyak 71 orang (58%). Hal ini dapat
bullying fisik, berapa yang verbal, dan berapa dilihat pada tabel 1.
yang psikologis.
Tabel 1
METODE PENELITIAN Distribusi Frekuensi Karakteristik
Penelitian ini menggunakan metode Remaja (n=123)
deskriptif kuantitatif. Populasi dalam Karakterisitik Frekuensi Presentase
penelitian ini adalah sebanyak 178 siswa Kelas
remaja dalam menghadapi perilaku bullying
pada kelas VII dan VIII di SMP 1 PGRI Kelas VII 63 51%
Jatinangor. Sampel pada penelitian ini Kelas
menggunakan Probability sampling yang VIII 60 49%
digunakan adalah simple random sampling. Usia
Cara pengambilan sampel melalui undian 12 tahun 13 11%
atau menurut absen secara random yang
sesuai dengan proporsinya. Setiap kelas di 13 tahun 51 41%
kocok nomor absennya, lalu pisahkan 14 tahun 40 33%
responden untuk keluar kelas yang tidak 15 tahun 17 14%
terpilih nomor absennya. Penelitian ini 16 tahun 1 1%
menggunakan kuesioner untuk melakukan
pengambilan data, kuesioner dipilih karena
Jenis Kelamin
selain tergolong efektif dan efisien, kuesioner
juga dapat menjaga kerahasiaan identitas Laki-laki 69 56%
setiap partisipan. Kuesioner yang digunakan Perempua 54 44%
dalam penelitian ini adalah 25-Item Scale ntempat tinggal
Resilience yang dikembangkan oleh Wagnild Tinggal
dan Young (1987). Kuesioner dilakukan Dengan
Tinggal dengan
Back Translate dikarenakan kuesioner ini Orang Tua 110 89%
belum pernah digunakan di Indonesia. Lalu
Tingga dengan
kami melakukan uji face validity yang
Ayah 6 5%
dilakukan 2 kali dan didapatkan hasil korelasi
dari 0.369 sampai 0.778 dengan alpha 0.01 Tinggal dengan
dan telah di uji reliabilitasnya dengan nilai Ibu 5 4%
alpha 0.943. dengan nilai tersebut maka Tinggal dengan
dapat dikatakan bahwa instrumen ini Nenek dan
memiliki nilai lebih dari standar reliabilitas. Kakek 1 1%
Tinggal dengan
PEMBAHASAN Bibi 1 1%
Diketahui bahwa dari sebanyak 123 siswa Korban
SMP 1 PGRI Jatinangor sebagian besar dari bullying
responden kelas VII yaitu 63 orang (61%). Ya 70 57%
Hampir setengah dari responden berusia 13

ISSN: 2338-7246, e-ISSN: 2528-2239 81


http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jk
Jurnal Keperawatan BSI, Vol. VI No. 1 April 2018

Karakterisitik Frekuensi Presentase perubahan peran. Ada beberapa faktor yang


Tidak 53 43% dapat membuat seseorang menjadi seorang
pembuli yaitu seseorang yang memiliki
Prilaku tempramen, pengaruh keluarga dan teman
bullying serta lingkungan. (Verlinden, 2000). Tetapi
Tindakan Fisik 15 12% hal itu hanya berlaku untuk 52 orang (42%)
dari 123 responden. Dimana hanya 52 orang
Tindakan yang menjadi korban bullying dan merubah
Verbal 36 29% peran menjadi pelaku bullying ataupun
Tindakan sebaliknya. 71 orang (58%) lainnya tidak
Psikologis 8 7% melakukan tindakan balas dendam. Hal ini
dapat diakarenakan adanya peran orang tua
Tindakan Fisik
yang mendisiplinkan anaknya dengan didikan
dan Verbal 13 11%
yang disiplin dan sempurna. Serta didukung
Tindakan Fisik 3 2% dengan adanya kasih sayang dari orang tua
dan Psikologis
Tindakan 4 3% serta dukungan dari orang tua. Hal ini
Verbal Fisik,
Tindakan dan 5 4% sebanding dengan responden yang tinggal
Psikologis
Verbal
Korban dan
dan dengan orangtuanya sebanyak 110 orang
Psikologis
Pelaku (89%). Namun tinggal dengan orang tua
Iya 52 42%
belum tentu dapat mengembangkan
Tidak 71 58% kemampuan pertahanan diri dalam
menghadapi situasi bullying (Martiastuti,
Diketahui terdapat sangat sedikit dari 2012)
responden 1 siswa (1%) yang memiliki nilai Berdasarkan jenis kelamin, hasil penelitian
resiliensi tinggi, sebagian kecil dari menunjukan bahwa laki-laki lebih banyak
responden (26%) yaitu 32 orang yang memiliki nilai resiliensi rendah dibanding
memiliki nilai resiliensi sedang dan sebagian dengan perempuan. Hal ini dikarenakan
besar dari responden (73%) yaitu 90 orang bahwa perempuan memiliki aspek empati
yang memiliki nilai resiliensi rendah. Hal ini (faktor internal) dan faktor teman sebaya
dapat dilihat di tabel 2. yang lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini di
dukung oleh penelitiannya Martiastuti (2012)
Tabel 2 yang menyatakan bahwa, laki-laki memiliki
Gambaran Resiliensi Remaja Terhadap aspek partisipasi masyarakat dan faktor
Perilaku Bullying (n=123) resiko lebih tinggi dibanding dengan
Resiliensi Frekuensi Presentase perempuan. Dalam hal ini, perempuan lebih
Rendah 90 73% memahami perasaan dan pikiran orang lain
Sedang 32 26% dan lebih merasakan bahwa teman
merupakan bagian penting dalam hidupnya.
Tinggi 1 1%
Sebaliknya, laki-laki lebih berpartisipasi aktif
salam kegiatan masyarakat yang lebih banyak
Dari 123 responden yang menjadi korban
mengenalkan segala bentuk pergaulan dan
bullying sebanyak 70 orang (57%). Hal ini
perilaku yang baik ataupun yang buruk.
dkarenakan tindakan bullying tidak hanya
Sehingga laki-laki juga memiliki faktor
dilakukan oleh orang yang lemah tetapi
resiko yang lebih tinggi daripada perempuan.
perilaku bullying juga merupakan salah satu
Di SMP 1 PGRI Jatinangor, sebanyak 123
tindakan balas dendam yang dilakukan
siswa yang memiliki resiliensi atau
korban bullying dan menjadi pelaku bullying.
kemampuan pertahanan diri. Resiliensi
Biasanya anak-anak yang menjadi sasaran
dipahami sebagai kemampuan untuk bangkit
korban bullying adalah anak-anak yang
kembali setelah mengalami kesulitan, untuk
menunjukan dirinya pasif, pendiam dan
melanjutkan kehidupan dengan harapan akan
lemah di lingkungan sekolah ataupun diluar
menjadi lebih baik (Rutter, 2006). Dalam hal
sekolah. Tindakan balas dendam dari korban
ini, siswa yang memiliki kemampuan
bullying menjadi pelaku bullying merupakan
pertahanan diri merupakan siswa yang dapat

ISSN: 2338-7246, e-ISSN: 2528-2239 82


http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jk
Jurnal Keperawatan BSI, Vol. VI No. 1 April 2018

menghadapi segala kesulitan hidup dan dapat Dias dalam Alimi, 2005. Dimana faktor
melanjutkan aktivitas seperti biasanya lagi. resiko dapat meningkatkan kemungkinan
Dari siswa yang memiliki kemampuan berkembangnya perilaku dan gaya hidup
pertahanan diri tersebut, kemudian dilihat yang maladaptif. Hal yang dapat
resiliensinya rendah, sedang, ataupun tinggi. menyebabkan resiliensi rendah menurut
Untuk resiliensi tinggi, pada tabel 2 faktor resiko adalah latar belakang kondisi
menunjukan bahwa sangat sedikit dari sosial ekonomi keluarga yang kurang
responden (1%) yaitu 1 orang yang memiliki mendukung ataupun hidup dilingkungan
nilai resiliensi tinggi. Resiliensi tinggi negatif atau lingkungan yang rawan terjadi
dimiliki oleh siswa laki-laki berusia 13 tahun, tindakan kekerasan. Namun dapat di
tinggal dengan kedua orang tuanya. Siswa pertahankan resiliensinya dengan faktor
tersebut merupakan korban bullying serta protektif dimana faktor tersebut merupakan
menjadi pelaku bullying . Resiliensi tinggi faktor mendorong terbentuknya resiliensi.
merupakan sebuah kapasitas, proses atau Hal-hal yang terdapat pada faktor protektif
hasil adaptasi positif meskipun berada dalam ialah karakterisitik individu, seperti jenis
masa-masa sulit atau trauma dalam hidup kelamin, tingkat intelegensi serta
individu, yang merupakan interaksi antara ketersediaan sistem dukungan sosial di luar
individu dan lingkungannya dan individu dan lingkungan keluarga, seperti
dilakukannya dengan cara yang sangat sahabat. Hal ini didukung dengan penelitian
optimal (Oktaviani, 2012). Hal ini Klarreich (1998) yang terdapat pada
ditunjukan oleh siswa tersebut dengan LaFromboise et al. (2006) menemukan
bangkit setelah mendapatkan perilaku bahwa adanya dukungan dan interaksi
bullying dan membalas perbuatan yang telah keluarga yang baik akan mempertahankan
ia terima dengan melakukan tindakan fisik resiliensi dan meminimalisir kerentanan.
dan verbal. Remaja akan mulai Untuk resiliensi rendah, pada tabel 2
mengembangkan autonomy, dimana remaja menunjukan sebagian besar dari responden
menjelang dewasa diperbolehkan mengambil (73%) yaitu 90 orang yang memiliki nilai
keputusan yang akan menyebabkan hasil atau resiliensi yang rendah. Resiliensi menurut
konsekuensi yang serius, dan seiring dengan wagnild dan Young (1993) adalah self-
kebebasan tersebut, remaja akan bertingkah reliance, dimana pengenalan terhadap
laku dengan lebih bertanggung jawab. kemampuan dan kapasitas diri merupakan hal
Resiliensi yang tinggi juga dapat dipengaruhi yang penting dalam mencapai self-resilience.
oleh faktor protektif yang dikatakan oleh Perubahan biologis, kognitif, serta perubahan
benard dalam Alini, (2015) dimana faktor identitas sosial dari anak-anak menuju ke
protektif dibagi menjadi 2 yaitu internal dan dewasa yang dialami oleh remaja dapat
eksternal. Dimana internal dihubungkan dari menimbulkan kebingungan terhadap identitas
faktor yang ada di dalam diri individu itu diri remaja. Hal ini sesuai dengan
sendiri sedangkan eksternal adalah perkembangan ego remaja yaitu identity vs
dipengaruhi oleh lingkungan. Faktor protektif identity confusion, dimana pada tahap ini
lingkungan yang sangat berpengaruh positif remaja berusaha untuk mencari identitasnya,
yang sangat signifikan terhadap resiliensi masih bingung atas perubahan identitas dan
remaja hal ini di dukung oleh hasil penelitian definisi dalam hidup, sebagai konsekuensi
dari Kenty Martiastuti (2012). Penelitian juga masa peralihan antara anak-anak dan dewasa.
menemukan bahwa dukungan dan Kurangnya pemahaman remaja atas identitas
keterlibatan orang tua dalam kegiatan remaja diri menyebabkan resiliensi remaja menjadi
di sekolah berhubungan secara signifikan terhambat. Jika remaja memiliki resiliensi
dengan prestasi remaja di sekolah (GL, 2007) rendah, maka remaja akan dengan mudah
Untuk resiliensi sedang, pada tabel 2 menerima dampak dari perilaku bullying
menunjukan bahwa sebagian kecil dari tersebut seperti sering merasa cemas, merasa
responden (26%) yaitu 32 orang memiliki teraniaya dan depresi. Jika seorang remaja
nilai resiliensi yang sedang. Seorang remaja merasa depresi dan tidak dapat mengatasinya
dikatakan resiliensi sedang mungkin maka remaja tersebut tidak dapat mengatasi
dikarenakan oleh 2 faktor menurut Neill dan masalah sehari-hari lainnya, sulit bangkit dari

ISSN: 2338-7246, e-ISSN: 2528-2239 83


http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jk
Jurnal Keperawatan BSI, Vol. VI No. 1 April 2018

kekecewaan, sulit mnegembangkan tujuan dalam keluarganya. Penelitian LaFromboise,


yang jelas dan realistik serta sulit berinteraksi Hoyt, Oliver dan Whitebeck pada tahun 2006
dengan orang lain. tentang pengaruh keluarga, masyarakat dan
Resiliensi rendah juga dapat dipengaruh oleh sekolah terhadap resiliensi remaja Indian
tidak terpenuhinya 5 komponen resiliensi. Amerika juga menunjukan bahwa kehangatan
Salah satu komponen yang tidak terpenuhi ibu dalam keluarga berkorelasi dengan
ialah Existential Aloness dimana komponen resiliensi. Penelitian lain yang mendukung
mencakup tentang mengahrgai keberadaan hasil penelitian ini adalah bahwa interaksi
dirinya sendiri. Individu yang reisilien yang baik dalam keluarga akan mengurangi
mampu berteman dengan dirinya sendiri kemungkinan perbuatan negatif (Hawkins,
dalam artian merasa nyaman, puas, dan Catalano dan Miller 1992).
menghargai keunikan yang dimiliki dirinya
atau dapat dikatakan mampu merasa nyaman PENUTUP
atas kondisi dirinya sendiri. Sebanyak 42 Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat
orang (34%) menyatakan tidak pernah untuk disimpulkan bahwa sebagian besar dari
“berteman dengan diri sendiri” pernyataan responden (73%) yaitu 90 orang yang
tersebut sesuai dnegan komponen Existential memiliki nilai resiliensi rendah dalam
Aloness. Dapat dikatan jika komponen mengahadapi perilaku bullying fisik, verbal
Existential Aloness rendah maka individu maupun psikologis, resiliensi sedang 32
tidak merasa nyaman dengan diri sendiri orang (26%) dan yang memiliki resiliensi
sehingga tidak dapat berkonformitas dengan tinggi 1 orang (1%).
lingkungan, hal ini di dukung oleh penelitian Dalam menentukan nilai resiliensi dapat
(Oktaviani, 2012). Karena pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor internal dan
seorang remaja lebih sering mencari eksternal. Faktor eksternal sangat
perhatian dunia atau lingkungan luar seperti berpengaruh dalam meningkatkan resiliensi
di sekolah atau sebuah komunitas untuk dengan salah satunya yaitu dorongan dari
menentukan jati dirinya. perhatian keluarga terutama orang tua.
Hampir seluruh dari responden tinggal Hal ini perlu diperhatikannya sikap orang tua
dengan kedua orang tuanya yaitu 110 orang siswa dalam mendidik dan memberikan
(89%) serta sebagian besar dari responden perhatian penuh dengan anaknya, karena hal
pernah menjadi korban bullying sebanyak 70 tersebut dapat meningkatkan kemampuan
orang (57%) dan sebagian besar dari pertahan diri remaja dalam menghadapi sutau
responden tidak pernah menjadi korban dan masalah yang sedang dihadapi atau yang
pelaku sebanyak 71 orang (58%). Hal ini akan datang. Dengan dukungan dari faktor
dapat diakaitkan dengan pengaruh keluarga eksternal maka faktor internal pun akan
atau orang tua yang membentuk pribadi berkembang dan faktor eksternal dapat
seorang anak untuk menjadi pelaku bullying. menjadi faktor pelindung dari efek negatif
Dari 110 orang sebagian pernah menjadi faktor resiko yang dimiliki oleh individu.
korban bullying kurang lebih sebanyak 70
orang dan dari 110 orang tidak melakukan REFERENSI
pergantian peran korban menjadi pelaku atau Alini, R. M. (2005). Resiliensi remaja "high-
sebaliknya atau dapat dikatakan tindakan risk" ditinjau dari faktor protektif
balas dendam kurang lebih 71 orang. Karena (studi di kelurahan tanah Tinggi
pengaruh orang tua dengan dukungan kecamatan Johar Baru jakarta
psikososial dapat membuat anak tidak Pusat). fakultas Psikologi Universitas
melakukan tindakan balas dendam. Dalam Indonesia. Tesis.
hubungannya dengan resiliensi, peran Astuti, P. R. (2008). Meredam Bullying: 3
keluarga menjadi begitu penting. Remaja cara efektif menanggulangi
akan belajar untuk memiliki kemampuan kekerasan pada anak. Jakarta: PT
bersikap mandiri, berpendirian, berani Grasindo.
mengambil keputusan dan gigih dalam Brooks, R and Goldstein, S. (2001). raising
menghadapi rintangan dari internalisasi nilai- resilient children. McGraw Hill
nilai, sikap dan pengalaman yang ada di Companies.

ISSN: 2338-7246, e-ISSN: 2528-2239 84


http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jk
Jurnal Keperawatan BSI, Vol. VI No. 1 April 2018

Chandra,S.(2007). Resiliensi. Martiastuti, K. (2012). Resiliensi Remaja


http://rumahbelajarpsikologi.com/ind Berdasarkan Jenis Kelamin, Jenis
ex.php/konsep-umum-mainmenu- Sekolah dan Tipologi Wilayah.
31/resiliensi-mainmenu-92. Sekolah Pasca Sarjana Institut
Chan, H. C. O., Heide, K. M., & Myers, W. Pertanian Bogor.
C. (2013). Juvenile and adult Monks. (2009). Tahap Perkembangan Masa
offenders arrested for sexual Remaja. Jakarta: Penerbit Grafindo.
homicide: An analysis of victim– Murphey, D., Barry, M., & Vaughn, B.
offender relationship and weapon (2013). Positive mental health:
used by race. Journal of forensic Resilience. Adolescent Health
sciences, 58(1), 85-89. Highlight, 3, 1-6.
Craig, W. (1998). The relationship among Newman, R. (2005). Profesional Psychology:
bullying, victimization, depresiion, Research and Practice . APA's
anxiety, and aggression in Resilience Initiative, 227-229.
elementary school children. Oktaviani, D. (2012). Resiliensi remaja Aceh
Personality an dIndividual yang mengalami bencana Tsunami.
Differences, 123-130. Skripsi.
Depkes, P. (2010). Kesehatan Remaja, Priyatna, A. (2010). Lets End Bullying:
Problem dan Solusinya. Jakrata: memahami, mencegah, mengatasi,
Salemba Medika. bullying. Jakarta: PT Elex Media
Giovazolias, T., Kourkoutas, E., Komputindo.
Mitsopoulou, E., & Georgiadi, M. Puspitasari, I. F. (2015). Hubungan Antara
(2010). The relationship between Regulasi Emosi Dengan
perceived school climate and the Kecenderungan Perilaku Bullying
prevalence of bullying behavior in Pada Remaja(Doctoral dissertation,
Greek schools: Implications for Universitas Muhammadiyah
preventive inclusive Surakarta).
strategies. Procedia-Social and Rutter, M. (2006). Implications of resilience
Behavioral Sciences, 5, 2208-2215. concepts for scientific understanding.
GL, W. M. (2007). In the context: Supportive Anna is New York Academy of
adults and the school engagement of Science, 1094, 1-12.
middle school students. Family Santrock, J. W. (1998). Adolescence. ed:7.
Relations, 56, 92-104. USA: McGraw-Hill Companies Inc.
Holt, M. F. (2007). Multiple Victimization Sarwono, S.W. (2010). Psikologi Remaja.
experiences of urban elementary Jakarta: Rajawali Pers.
school students: associations with Sejiwa. (2008). Bullying: mengatasi
psychosocial functioning and kekerasan di sekolah dna lingkungan
academic performance. Child Abuse sekitar anak. Jakarta: Gramedia
and Neglect, Vol. 31 No. 1, 503-515. Widasarana Indonesia (Grasindo).
Huneck, A. (2007). Bullying: A cross- Simbolon, M. (2012). Perilaku Bullying pada
cultural comparison of one* Mahasiswa Berasrama. Jurnal
American and one Indonesian Psikologi Vol. 39, NO. 2, 233-243.
elementary school. Union Institute Smith, P.K., Cowie, H., Olafsson, R.F. &
and University. Liefooghe, A.R.D. (2002). Definition
Hurlock, E. (2012). Psikologi Perkembangan. of Bullying: A comparison of terms
Jakarta: Erlangga. used, and age and gender differences,
Judarwanto, W. (2011). Bullying, Perilaku in a fourteen- country international
yang Berdampak Buruk pada comparison. Child Development. Vol.
Anak. Diakses pada 05 November 73, 119-1133.
2014. Diakses dari Verlinden, S. H. (2000). Risk factors in
http://klinikanakonline. htm. school shootings. Clinical
Malik, A. (2014). Forum Indonesia: Stop psychology Review, 3-56.
Bullying. Indonesia. Metro TV.

ISSN: 2338-7246, e-ISSN: 2528-2239 85


http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jk
Jurnal Keperawatan BSI, Vol. VI No. 1 April 2018

Wagnild, G. &. Young (1993). development


and psychometric evaluation of the
Resilience Scale. Journal of Nursing
Measurement 1(2), 165-178.
Winkler, K. (2005). Bullying: How to Deal
with Taunting, Teasing, and to
Menting. NJ: Enslow.
Wiyani, N. (2012). Save Our Children form
School Bullying. Jogjakarta: Ar-ruzz
Media.
Woods, S. D. (2009). Peer victimization and
internalizing difficulties: the
moderating role of friendship quality.
journal of adolescence, Vol. 32 No.
6, 293-308.

BIODATA PENULIS
Silvia Yuliani, merupakan mahasiswa
program regular fakultas keperawatan
Universitas Padjadjaran angkatan 2012. Saat
ini Silvia sedang menempuh program profesi
ners fakultas keperawatan Unpad

Efri Widianti, merupakan dosen Fakultas


keperawatan Universitas Padjadjaran yang
berasal dari Departemen Keperawatn Jiwa
sejak tahun 2006 sampai dengan sekarang.
Efri Widianti merupakan lulusan program
studi ilmu keperawatan angkatan 2005 dan
menyelesaikan program profesi ners tahun
2006. Efri telah menyelesaikan program
magister dan spesialis keperawatan jiwa pada
tahun 2014 dari Fakultas Keperawatan
Universitas Indonesia

Sheizi Prista Sari, merupakan dosen


Fakultas keperawatan Universitas
Padjadjaran yang berasal dari Departemen
Keperawatn Komunitas sejak tahun 2006
sampai dengan sekarang. Sheizi merupakan
lulusan program studi ilmu keperawatan
angkatan 2005 dan menyelesaikan program
profesi ners tahun 2006. Sheizi telah
menyelesaikan program magister
keperawatan pada tahun 2014 di Fakultas
Keperawatan Universitas Padjadjaran. Saat
ini Sheizi sedang menempuh pendidikan s3 di
Belanda

ISSN: 2338-7246, e-ISSN: 2528-2239 86


http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jk

Anda mungkin juga menyukai