1 April 2018
ABSTRAK
Berdasarkan catatan Komnas Perlindungan Anak Indonesia di tahun 2013, KPAI menerima
3.339 kasus pelanggaran terhadap anak. Jumlah ini meningkat menjadi 4.965 kasus di tahun
2014, dimana pelaku bullying meningkat menjadi 26%. Plan International dan International
Center Reasearch on Women (2015) menunjukan bahwa terdapat 84% anak yang mengalami
kekerasan di sekolah. Hal tersebut diperkuat dengan hasil studi ahli intervensi bullying,
sebanyak 10-60% siswa di Indonesia melaporkan telah mendapatkan perilaku bullying
sekurang-kurangnya sekali dalam seminggu. Seseorang yang mendapatkan perilaku negatif dan
menjadi terpuruk, ada sebagian dari diri seseorang yang mampu bangkit dan pulih kembali dari
keadaan terpuruknya yang dikenal dengan istilah resiliensi. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui gambaran resiliensi remaja dalam menghadapi perilaku bullying di SMP 1 PGRI
Jatinangor. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan jumlah sampel 123
orang kelas VII dan VIII yang diambil dengan menggunakan teknik probability sampling.
Penelitian menggunakan instrumen 25-Item Resilience Scale yang disusun oleh Wagnild dan
Young dengan nilai validitas .369 sampai .778 dengan nilai reliabilitas 0.943. Hasil penelitian
menunjukan bahwa sebagian besar dari responden yaitu 90 orang (73%) memiliki nilai resiliensi
yang rendah dalam menghadapi perilaku bullying. Sebagian kecil dari responden (26%) yaitu 32
orang yang memiliki nilai resiliensi sedang dan sangat sedikit dari responden 1 siswa (1%) yang
memiliki nilai resiliensi tinggi. Simpulan dari penenlitian ini ialah resiliensi rendah perlu
diperhatikan dalam perkembangan remaja. Dalam meningkatkan resiliensi perlunya dukungan
dari faktor protektif dalam meningkatkan resiliensi. Karena dorongan positif dari faktor
protektif merupakan salah satu faktor eksternal maupun internal dalam meningkatkan resiliensi.
Kata kunci: Bullying, korban bullying, Resiliensi remaja
Abstract
Background.Based on record in KPAI in 2013, be found 3.339 case about infraction on child.
This amount increase to be 4.965 case in 2014, when bullying person increase to be 26%. Plan
Internasional and Internasional Center Research on Women in 2015 showing that be found
84% child who got violence experience in school. It was cultivation with study intervention
bullying expert result, as much as 10-60% students in Indonesia reported was got bullying
minimum once a week. Someone who got negatif behaviour and be depresed, there’s a half part
of someone who capabel to recovery from depresion that we called resilience. This study
purpose to know description of adolescent resilience to encounter bullying behaviour in SMP 1
PGRI Jatinangor. Methods. This study using quantitative desctiption methode with 123
respondens class VII and VIII who was selected with probability sampling technique. This study
using 25- Item Resilience Scale instrument with contrivance Wagnild and Young with validity
value 0.369 until 0.778 with realibility value 0.943. Results. The result of this study showing
that mayority from respondens is 90 people (73%) who get lowly resilience scale in the course
of bullying behaviour. Minority from responden (26%) is 32 people who got middling resilience
scale and the very minority or only one responden (1%) got the highest resilience sacle.
Conclussions and recommendation. The conclusion is who got lowly resilience need attention
in adolescent development. To increasing resilience need supported from protective factors.
Because positive support from protective factors its the one from eksternal factors as well as
internal to increasing resilience.
Key Word: Bullying, Resilience of Adolescent, Victim of bullying
60% siswa di Indonesia melaporkan telah atau beberapa orang. Seseorang yang
mendapatkan ejekan, cemoohan, pengucilan, mendapatkan perlakuan negatif ini
pemukulan, tendangan, atau dorongan, mengalami kesulitan dalam membela dirinya
sekurang-kurangnya sekali dalam seminggu. (Smith, P.K., Cowie, H., Olafsson, R.F. &
Menurut Winkler (2005), bullying akan Liefooghe, A.R.D, 2002) Sehingga, para
meningkat pada masa Sekolah Dasar, korban bullying di dapati mengalami situasi
mencapai puncaknya pada Sekolah negatif di setiap individunya.
Menengah Pertama, dan akan menurun pada Ketika individu sedang mengalami situasi
masa Sekolah Menengah Atas. Perilaku negatifnya atau terpuruknya, ada sebagian
bullying paling sering muncul pada kelas VII yang mampu keluar dari situasi negatif
hingga kelas VIII (termasuk dalam Sekolah tersebut, sehingga ia dapat bangkit dan pulih
Menengah Pertama) dimana agresifitas fisik kembali. Hal ini dapat menunjukan adanya
pada masa ini meningkat (Wiyani, 2012). kemampuan tertentu yang dikenal dengan
Menurut Hover, dkk dalam (Simbolon, 2012) istilah resiliensi (Chandra, 2007).
ada dua faktor penyebab terjadinya bullying Resiliensi dipahami sebagai kemampuan
yaitu internal dan eksternal. Faktor internal untuk bangkit kembali setelah mengalami
berupa karakterisitik kepribadian, kekerasan kesulitan, untuk melanjutkan kehidupan
yang dialami sebagai pengalaman masa lalu, dengan harapan akan menjadi lebih baik
dan sikap keluarga yang memanjakan anak (Rutter, 2006). Hal ini menekankan pada
sehingga tidak membentuk kepribadian yang kemampuan seseorang untuk mampu
matang. Faktor eksternal yang menyebabkan menghadapi stress dan tekanan yang
kekerasan yaitu lingkungan dan budaya. dialaminya secara efektif, mengatasi masalah
Menurut Astuti (2008) faktor yang sehari-hari, bangkit kembali dari
mempengaruhi terjadinya bullying yaitu kekecewaan, kesulitan dan trauma,
perbedaan kelas, ekonomi, agama, gender, mengembangkan tujuan yang jelas dan
etnisitas/rasisme, senioritas, tradisi senioritas, realistik, berinteraksi dengan nyaman dengan
keluarga yang tidak rukun, situasi sekolah orang-orang disekitarnya dan mampu
yang tidak humoris, karakter individu atau menghargai diri sendiri dan orang lain
kelompok, dan persepsi nilai yang salah atas (Brooks, R and Goldstein, S, 2001).
perilaku korban. Tingkat kelas secara tidak Resiliensi remaja menurut Wagnild dan
langsung berpotensi memunculkan perasaan Young (1993) adalah kemampuan untuk
senior lebih berkuasa dari juniornya dan berhasil mengatasi masalah yang dapat
memanfaatkannya untuk bertindak bullying. merubah hidupnya serta kesengsaraan yang
Menurut Judarwanto (2011) dalam dialaminya. Resiliensi juga dapat diartikan
penelitiannya menunjukan bullying terjadi sebagai ciri kepribadian yang dapat
17% pada siswa kelas delapan dan 4,7% pada membantu seseorang untuk dapat bangkit
siswa kelas sembilan. dari stres. Resiliensi yang di definisikan
Studi menunjukan bahwa siswa korban sebagai kemampuan profesional masing-
bullying dapat menghadapi depresi, stres, masing remaja dalam menghadapi
sosial dan harga diri rendah serta cemas kesengsaraan atau stres. Seorang remaja yang
(Craig, 1998). Menurut Woods, S., dkk gigih akan masuk ke alam dewasa dengan
(2009) bullying juga dapat menyebabkan sebuah kesempatan yang baik untuk
korban mengalami gangguan psikosomatik, mengatasi jika telah mengalami kondisi yang
masalah emosional dan keinginan bunuh diri. sulit dalam hidup (Murphey, Barry, &
Studi juga menunjukan bahwa korban Vaughn, 2013). Remaja yang memiliki
bullying memiliki nilai akademik yang lebih resiliensi yang baik, mereka akan dapat
rendah, kesulitan akademik yang lebih tinggi, memenuhi tanggung jawab ketika dewasa.
dan tingkat kesepian di sekolah lebih tinggi Stres pada remaja dapat timbul dari keadaan
pula dibandingkan dengan teman-teman sekolah yang beruhubngan dengan teman-
sekolah yang tidak di bully (Holt, 2007) teman disekolah hingga hubungan yang tidak
Seseorang dikatakan menjadi korban bullying baik dengan orang tua.
jika secara berulang kali ia mendapatkan Penelitian mengidentifikasikan beberapa ciri-
perlakuan negatif yang dilakukan oleh satu ciri remaja yang dikaitkan dengan resiliensi
yang baik. Diantaranya, memiliki sifat: Perilaku kekerasan dapat dikenal dengan
adanya dukungan dari orang dewasa seperi istilah bullying. Menurut Sejiwa (2008),
orang tua; berprilaku easygoing dengan bullying adalah sebuah situasi di mana
seluruh golongan atau ras dalam pertemanan; terjadinya penyalahgunaan kekuatan atau
dapat berpikir dengan baik atau berprilaku kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang
cerdas saat beketerampilan sosial; memiliki atau sekelompok orang. Anak laki-laki dan
sebuah talenta; percaya dengan diri sendiri perempuan yang rentan untuk ditindas secara
dan mampu untuk membuat keputusan; yang verbal seperti nama panggilan, memukul,
terakhir adalah berpegang teguh pda dan secara sosial seperti menyebarkan desas-
keyakinan agama yang dimilikinya desus atau gosip, pemerasan, dan isolasi.
(Murphey, Barry, & Vaughn, 2013). Menurut Astuti (2008) faktor yang
mempengaruhi terjadinya bullying yaitu
KAJIAN LITERATUR perbedaan kelas, ekonomi, agama, gender,
Perubahan psikososial pada remaja etnisitas/rasisme, senioritas, tradisi senioritas,
merupakan masa transisi emosional yang keluarga yang tidak rukun, situasi sekolah
ditandai dengan perubahan dalam cara yang tidak humoris, karakter individu atau
melihat dirinya sendiri. Transisi yang dialami kelompok, dan persepsi nilai yang salah atas
oleh remaja ditunjukan dengan adanya perilaku korban.
perubahan hubungan sosial. Salah satu hal Menurut priyatna (2010), dampak bullying
yang penting dalam perubahan sosial pada terhadap perilaku adalah sering terlibat
remaja adalah meningkatkan waktu untuk perkelahian, resiko mengalami cedera akibat
berhubungan dengan rekan-rekan mereka, perkelahian, melakukan tindakan pencurian,
serta lebih intens dan akrab dengan lawan minum alkohol, menjadi biang kerok di
jenisnya (Depkes, 2010). sekolah, minggat dari sekolah, gemar
Dalam buku Childhood and Society (1963) membawa senjata tajam, yang terparah
Erikson membuat delapan tahapan adalah menjadi pelaku tindak kriminal.
perkembangan psikososial. Dari delapan Sekitar 60% dari anak yang bisa melakukan
tahap, remaja melalui lima tahapan tindakan bullying menjadi tindakan kriminal
diantaranya yaitu kepercayaan (Trust) versus sebelum mereka menginjak usia 24 tahun.
ketidak percayaan (Mistrust), Otonomi Studi menunjukan bahwa siswa korban
(Autonomy) versus rasa malu dan ragu bullying dapat menghadapi depresi, stres,
(Shame and Doubt), Inisiatif (Initiative) sosial dan harga diri rendah serta cemas
versus rasa bersalah (Guilt), Rajin (Industry) (Craig, 1998).
versus rendah diri (Inferiority), yang terakhir Menurut Woods, S., dkk (2009) bullying juga
adalah identitas (Identity) versus dapat menyebabkan korban mengalami
kebingungan indentitas (Indentity Confusion). gangguan psikosomatik, masalah emosional
Menurut Jensen dalam Sarwono (2010) dan keinginan bunuh diri. Studi juga
mengatakan bahwa ada empat aspek menunjukan bahwa korban bullying memiliki
kenakalan remaja yaitu: (1) Perilaku yang nilai akademik yang lebih rendah, kesulitan
melanggra hukum. Seperti mencuri, akademik yang lebih tinggi, dan tingkat
melanggar rambu-rambu lalu lintas, kesepian di sekolah lebih tinggi pula
merampok, memperkosa dan perilaku dibandingkan dengan teman-teman sekolah
melanggra hukum lainnya; (2) Perilaku yang yang tidak di bully (Holt, 2007).
dapat membahayakan orang lain dan diri Newman (2005), menyatakan bahwa
sendiri. Seperti kebut-kebutan dijalan, resiliensi merupakan kemampuan seseorang
merokok, narkoba dan lain sebagainya; (3) untuk beradaptasi saat menghadapi tragedi,
Perilaku yang menimbulkan korban materi. trauma, kesulitan, serta stressor dalam hidup
Seperti mencuri, memalak, merusak fasilitas yang bersifat signifikan.Hal ini menekankan
sekolah maupun fasilitas umum; (4) perilaku pada kemampuan seseorang untuk mampu
yang menimbulkan korban fisik. Seperti menghadapi stress dan tekanan yang
tawuran antar sekolah, bullying antar teman dialaminya secara efektif, mengatasi masalah
atau sekolah dan lain sebagainya. sehari-hari, bangkit kembali dari
kekecewaan, kesulitan dan trauma,
mengembangkan tujuan yang jelas dan tahun yaitu 51 orang (41%), sebagian besar
realistik, berinteraksi dengan nyaman dengan dari responden berjenis kelamin laki-laki
orang-orang disekitarnya dan mampu yaitu 69 orang (56%). Hampir seluruh dari
menghargai diri sendiri dan orang lain responden tinggal dengan kedua orang tuanya
(Brooks, R and Goldstein, S, 2001). yaitu 110 orang (89%) serta sebagian besar
Dalam penelitian ini, akan dilihat bagaimana dari responden pernah menjadi korban
resiliensi para remaja dalam bullying sebanyak 70 orang (57%). Sebagian
menghadapibullying pada siswa SMP PGRI 1 kecil dari responden sebanyak 39 orang
Jatinangor kelas VII dan VIII baik secara (32%) tidak pernah melakukan jenis tindakan
fisik, verbal ataupun psikologis yang hasilnya bullying dan sebagian besar dari responden
akan dinyatakan dalam pengelompokan tidak pernah menjadi korban dan pelaku
berapa yang menjadi korban perilaku sebanyak 71 orang (58%). Hal ini dapat
bullying fisik, berapa yang verbal, dan berapa dilihat pada tabel 1.
yang psikologis.
Tabel 1
METODE PENELITIAN Distribusi Frekuensi Karakteristik
Penelitian ini menggunakan metode Remaja (n=123)
deskriptif kuantitatif. Populasi dalam Karakterisitik Frekuensi Presentase
penelitian ini adalah sebanyak 178 siswa Kelas
remaja dalam menghadapi perilaku bullying
pada kelas VII dan VIII di SMP 1 PGRI Kelas VII 63 51%
Jatinangor. Sampel pada penelitian ini Kelas
menggunakan Probability sampling yang VIII 60 49%
digunakan adalah simple random sampling. Usia
Cara pengambilan sampel melalui undian 12 tahun 13 11%
atau menurut absen secara random yang
sesuai dengan proporsinya. Setiap kelas di 13 tahun 51 41%
kocok nomor absennya, lalu pisahkan 14 tahun 40 33%
responden untuk keluar kelas yang tidak 15 tahun 17 14%
terpilih nomor absennya. Penelitian ini 16 tahun 1 1%
menggunakan kuesioner untuk melakukan
pengambilan data, kuesioner dipilih karena
Jenis Kelamin
selain tergolong efektif dan efisien, kuesioner
juga dapat menjaga kerahasiaan identitas Laki-laki 69 56%
setiap partisipan. Kuesioner yang digunakan Perempua 54 44%
dalam penelitian ini adalah 25-Item Scale ntempat tinggal
Resilience yang dikembangkan oleh Wagnild Tinggal
dan Young (1987). Kuesioner dilakukan Dengan
Tinggal dengan
Back Translate dikarenakan kuesioner ini Orang Tua 110 89%
belum pernah digunakan di Indonesia. Lalu
Tingga dengan
kami melakukan uji face validity yang
Ayah 6 5%
dilakukan 2 kali dan didapatkan hasil korelasi
dari 0.369 sampai 0.778 dengan alpha 0.01 Tinggal dengan
dan telah di uji reliabilitasnya dengan nilai Ibu 5 4%
alpha 0.943. dengan nilai tersebut maka Tinggal dengan
dapat dikatakan bahwa instrumen ini Nenek dan
memiliki nilai lebih dari standar reliabilitas. Kakek 1 1%
Tinggal dengan
PEMBAHASAN Bibi 1 1%
Diketahui bahwa dari sebanyak 123 siswa Korban
SMP 1 PGRI Jatinangor sebagian besar dari bullying
responden kelas VII yaitu 63 orang (61%). Ya 70 57%
Hampir setengah dari responden berusia 13
menghadapi segala kesulitan hidup dan dapat Dias dalam Alimi, 2005. Dimana faktor
melanjutkan aktivitas seperti biasanya lagi. resiko dapat meningkatkan kemungkinan
Dari siswa yang memiliki kemampuan berkembangnya perilaku dan gaya hidup
pertahanan diri tersebut, kemudian dilihat yang maladaptif. Hal yang dapat
resiliensinya rendah, sedang, ataupun tinggi. menyebabkan resiliensi rendah menurut
Untuk resiliensi tinggi, pada tabel 2 faktor resiko adalah latar belakang kondisi
menunjukan bahwa sangat sedikit dari sosial ekonomi keluarga yang kurang
responden (1%) yaitu 1 orang yang memiliki mendukung ataupun hidup dilingkungan
nilai resiliensi tinggi. Resiliensi tinggi negatif atau lingkungan yang rawan terjadi
dimiliki oleh siswa laki-laki berusia 13 tahun, tindakan kekerasan. Namun dapat di
tinggal dengan kedua orang tuanya. Siswa pertahankan resiliensinya dengan faktor
tersebut merupakan korban bullying serta protektif dimana faktor tersebut merupakan
menjadi pelaku bullying . Resiliensi tinggi faktor mendorong terbentuknya resiliensi.
merupakan sebuah kapasitas, proses atau Hal-hal yang terdapat pada faktor protektif
hasil adaptasi positif meskipun berada dalam ialah karakterisitik individu, seperti jenis
masa-masa sulit atau trauma dalam hidup kelamin, tingkat intelegensi serta
individu, yang merupakan interaksi antara ketersediaan sistem dukungan sosial di luar
individu dan lingkungannya dan individu dan lingkungan keluarga, seperti
dilakukannya dengan cara yang sangat sahabat. Hal ini didukung dengan penelitian
optimal (Oktaviani, 2012). Hal ini Klarreich (1998) yang terdapat pada
ditunjukan oleh siswa tersebut dengan LaFromboise et al. (2006) menemukan
bangkit setelah mendapatkan perilaku bahwa adanya dukungan dan interaksi
bullying dan membalas perbuatan yang telah keluarga yang baik akan mempertahankan
ia terima dengan melakukan tindakan fisik resiliensi dan meminimalisir kerentanan.
dan verbal. Remaja akan mulai Untuk resiliensi rendah, pada tabel 2
mengembangkan autonomy, dimana remaja menunjukan sebagian besar dari responden
menjelang dewasa diperbolehkan mengambil (73%) yaitu 90 orang yang memiliki nilai
keputusan yang akan menyebabkan hasil atau resiliensi yang rendah. Resiliensi menurut
konsekuensi yang serius, dan seiring dengan wagnild dan Young (1993) adalah self-
kebebasan tersebut, remaja akan bertingkah reliance, dimana pengenalan terhadap
laku dengan lebih bertanggung jawab. kemampuan dan kapasitas diri merupakan hal
Resiliensi yang tinggi juga dapat dipengaruhi yang penting dalam mencapai self-resilience.
oleh faktor protektif yang dikatakan oleh Perubahan biologis, kognitif, serta perubahan
benard dalam Alini, (2015) dimana faktor identitas sosial dari anak-anak menuju ke
protektif dibagi menjadi 2 yaitu internal dan dewasa yang dialami oleh remaja dapat
eksternal. Dimana internal dihubungkan dari menimbulkan kebingungan terhadap identitas
faktor yang ada di dalam diri individu itu diri remaja. Hal ini sesuai dengan
sendiri sedangkan eksternal adalah perkembangan ego remaja yaitu identity vs
dipengaruhi oleh lingkungan. Faktor protektif identity confusion, dimana pada tahap ini
lingkungan yang sangat berpengaruh positif remaja berusaha untuk mencari identitasnya,
yang sangat signifikan terhadap resiliensi masih bingung atas perubahan identitas dan
remaja hal ini di dukung oleh hasil penelitian definisi dalam hidup, sebagai konsekuensi
dari Kenty Martiastuti (2012). Penelitian juga masa peralihan antara anak-anak dan dewasa.
menemukan bahwa dukungan dan Kurangnya pemahaman remaja atas identitas
keterlibatan orang tua dalam kegiatan remaja diri menyebabkan resiliensi remaja menjadi
di sekolah berhubungan secara signifikan terhambat. Jika remaja memiliki resiliensi
dengan prestasi remaja di sekolah (GL, 2007) rendah, maka remaja akan dengan mudah
Untuk resiliensi sedang, pada tabel 2 menerima dampak dari perilaku bullying
menunjukan bahwa sebagian kecil dari tersebut seperti sering merasa cemas, merasa
responden (26%) yaitu 32 orang memiliki teraniaya dan depresi. Jika seorang remaja
nilai resiliensi yang sedang. Seorang remaja merasa depresi dan tidak dapat mengatasinya
dikatakan resiliensi sedang mungkin maka remaja tersebut tidak dapat mengatasi
dikarenakan oleh 2 faktor menurut Neill dan masalah sehari-hari lainnya, sulit bangkit dari
BIODATA PENULIS
Silvia Yuliani, merupakan mahasiswa
program regular fakultas keperawatan
Universitas Padjadjaran angkatan 2012. Saat
ini Silvia sedang menempuh program profesi
ners fakultas keperawatan Unpad