Anda di halaman 1dari 3

Kesadaran (Moral) Pajak

Novianto, MA.Hum

Pajak (dharibah) memiliki kedudukan penting. Ini mengingat, pajak berkontribusi besar
bagi keberlangsungan hidup sebuah negara, termasuk di Indonesia. Bagi Indonesia, pajak
merupakan sumber penerimaan dan pendapatan negara terbesar. 1 Dari penerimaan pajak
inilah Indonesia bisa membangun. Mulai dari pendidikan, kesehatan, keamanan,
infrastruktur dan berbagai sektor lainnya yang bertujuan untuk kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat Indonesia.

Meski demikian, tak bisa dipungkiri, di kalangan ulama masih terdapat perbedaan
pandangan tentang status hukum pajak. Ada yang masih menentang dan tidak sedikit
yang mendukung. Masing-masing pendapat dari para ulama yang berbeda pendapat itu
memiliki alasan yang sama kuatnya.

Lantas, bagaimana sikap kita? Dalam konteks ini, disinilah kemandirian moral kita
dituntut, untuk memiliki sikap dan pandangan sendiri sebagai wujud tanggungjawab kita
pada kehidupan yang menyangkut kepetingan orang banyak. Pertama-tama yang perlu
kita pahami, sebuah kenyataan objektif bahwa pajak telah menjadi kebijakan negara.
Ketika kebijakan kewajiban membayar pajak telah ditetapkan maka kewajiban ini bersifat
mengikat. Ini artinya tak seorangpun warga bisa menghindar dari keharusan membayar
pajak.

Kalau kita membayar pajak atas dasar keterpaksaan karena tuntutan hukum, maka uang
yang kita keluarkan menjadi tidak bernilai dihadapan Tuhan. Oleh karenanya, yang bisa
kita lakukan adalah dengan mengubah motif (niat) kita saat membayar pajak, yang
diorientasikan dari sekedar taat hukum menjadi wujud pengabdian kepada Allah. 2 Selain
itu, tak ada ruginya kita membayar pajak. Sebab, pajak sebagai salah satu penerimaan
negara memiliki tujuan kemaslahatan, dimana uangnya akan digunakan untuk
kepentingan orang banyak.

Bagi seorang Muslim kewajiban membayar pajak mestinya bukanlah sebuah masalah.
Bukankah mengeluarkan sebagian harta sebagai karunia pemberian Allah sangat
dianjukan dalam Alquran. Q.S. al-Baqarah [2]: 267 menyatakan, “Hai orang-orang yang
beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan
sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.”

Selama ini manifestasi mengeluarkan sebagian harta ada yang berbentuk zakat, infaq dan
sedekah. Pada zakat bisa sebagai sarana pembersihan diri dan harta 3, sementara infaq
dan sedekah bisa sebagai sarana pemutihan dosa. Sebuah hadis menyatakan, “Dan
segeralah berbuat kebaikan setelah berbuat kejahatan, maka perbuatan baik itu akan
menghapuskannya.” Bahkan kalau merujuk kepada Alquran seperti tertuang dalam ayat
267 surat al-Baqarah, sedekah yang baik ialah harus yang baik yang merupakan hasil
usaha sendiri. Yang baik yang dimaksudkan bukan sesuatu yang kita sendiri sebenarnya
sudah ogah menggunakannya atau mengambilnya. Dan yang terpenting, seperti
digariskan ayat tadi, sedekah yang kita lakukan sesungguhnya bukan untuk kepentingan
Tuhan, melainkan untuk kepentingan manusia itu sendiri.

Kalau kita pahami, zakat, infaq dan shodaqoh sesungguhnya tak berbeda jauh dengan
pajak. Bedanya, kalau zakat merupakan kewajiban yang diberikan agama, sementara
pajak kewajiban yang diberikan oleh negara. Namun demikian, dari segi maksud dan
tujuan keduanya memiliki maksud dan tujuan yang sama. Yaitu sama-sama memiliki
fungsi sosial.

Oleh karenanya, terkait dengan pajak, yang pasti mengeluarkan sebagian penghasilan
dalam bentuk pajak sesungguhnya nyaris tak ada bedanya dengan membayar zakat,
infaq dan sedekah. Tentu saja dalam pelaksanaan membayar pajak ini yang harus dilihat
bukan nilai rupiahnya, melainkan sebagai sebuah dorongan (kesadaran) moral yang
terdapat di dalamnya yang bisa berdampak pada kemaslahatan bagi orang banyak.

Kenyataan membuktikan, tak ada seorang Muslim yang jatuh miskin apalagi mati
kelaparan lantaran bersedekah, berzakat (pajak). Malah Allah menjamin, “Kebaikanlah
bagi mereka yang berbuat baik di dunia ini, dan bumi Allah itu adalah luas adanya.”4 Ini
artinya, dari perbuatan baik yang dilakukan seorang Muslim bisa berdampak pada
membawa kebahagiaan, bukan saja di dunia tapi juga di akhirat. Memang, sepintas ketika
membayar pajak seakan perbuatan itu untuk kepentingan orang lain. Tetapi kalau
direnungi lebih mendalam, sesungguhnya lebih beruntung dan bahagia orang yang
membayar pajak karena si pembayar pajak mampu berkontribusi untuk kepentingan
orang banyak. Ketika mampu berkontribusi untuk kepentingan orang banyak inilah yang
memberi efek dunia ini terasa lapang dan luas disebabkan oleh lapang dan luasnya jiwa
kita, seperti dilukiskan dalam kalimat Alquran, “dan bumi Allah itu adalah luas adanya.”

Oleh karenanya, tak ada alasan untuk tak membayar pajak apalagi memanipulasi nilai
pajak. Karena kesadaran membayar pajak sesungguhnya bisa dikatakan sebagai bagian
dari pelaksanaan amal sholeh, bernilai ibadah. Atau kalau mau digunakan dalam kalimat
kekininan, membayar pajak bisa dilihat sebagai sebuah gerakan berbagi antar sesama,
yang akan membawa kebaikan bagi orang banyak dan menghantarkan kita kepada
keridhaan Ilahi di dunia dan akhirat.

Wa Allah a’lam bi al-shawab


1
Pada 2016 penerimaan pajak mencapai 74,6% dari total pendapatan negara. Dan pada APBN 2018, pajak menjadi
penyumbang pendapatan negara sebesar 85%.
2
Q.S. al-Jumu’ah[62]: 10. Ayat ini menjelaskan tentang bahwa manusia diperintahkan selain untuk mencari rejeki
bukan hanya untuk memenuhi kebutuhannya, tetapi Alquran juga memerintahkan untuk mencari fadhl Allah. Yaitu
dengan mengulurkan tangan bantuan kepada pihak lain yang membutuhkan.
3
Q.S. at-Taubah [9]: 103
4
Q.S. al-Zumar [39]: 10

Anda mungkin juga menyukai