Anda di halaman 1dari 2

Hukum Pribadi adalah hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang ada

dalam suatu individu atau pribadi. Istilah individu atau pribadi tersebut dalam hukum dinamain
“subjek hukum”. Subjek hukum dalam hukum perdata artinya penyandang hak dan kewajiban.

Subjek hukum terdiri dari


a. Orang atau manusia (naturlikl person)
b. Badan hukum (rechts person)
Sebagai subjek hukum, orang atau manusia merupakan pribadi kodrati yang berarti
mempunyai hak dan kewajiban sejak ia lahir sampai ia meninggal dunia.
Terdapat pengecualian dalam hukum pribadi barat, bahwa seorang anak yang masih dalam
kandungan sudah menjadi subjek hukum asalkan ia lahir dalam keadaan hidup. Hal ini termuat
dalam pasal 2 BW yang dinamakan fiksi hukum (rechtsfictie).
Apabila seorang anak lahir dalam keadaan meninggal, ia dianggap tidak pernah ada
dan tidak dianggap sebagai subjek hukum yang termuat dalam pasal 2 ayat 2 BW.
Syarat orang yang dapat melakukan perbuatan hukum:
a. Orang yang sudah dewasa yang berumur 21 tahun atau sudah menikah sebelum umur
tersebut. Hal tersebut diatur dalam Pasal 330 KUH Perdata, “belum dewasa adalah mereka
yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah
kawin.”
b. Orang yang sudah dewasa yang berumur 18 tahun. Hal ini diatur dalam Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Yurisprudensi MA
c. Menurut hukum adat, patokan orang dewasa adalah “…pada saat pria dan wanita menikah
dan memisahkan diri dari rumah tangga orang tuanya atau mertuanya.”
Orang yang sudah dewasa dianggap oleh hukum sudah cakap untuk melakukan perbuatan
hukum/bertindak sendiri.
Orang yang belum dewasa atau orang yang sudah dewasa tetapi belum cakap dalam segala
hal untuk bertindak dalam hukum dikenal dengan sebutan curatele atau pengampuan.

Hukum Curatele/Pengampuan (curatele) adalah kondisi di mana seseorang yang sudah


dewasa (meerderjarig), karena kondisi mental atau fisiknya, ditaruh di bawah pengawasan
seseorang lain yang cakap hukum, sehingga berkedudukan sama dengan seseorang yang belum
dewasa (minderjarig)
Menurut ketentuan Pasal 433 KUHPer, ada 3 alasan untuk pengampuan, yaitu :
a. Keborosan (Verkwisting);
b. Lemah akal budinya (zwakheid van vermogen), misalnya imbisil atau debisil;
c. Kekurangan daya berpikir : sakit ingatan (krankzinnigheid), dungu (onnozelheid), dan
dungu disertai sering mengamuk (razernij).
Sedangkan menurut Pasal 434 KUHPer, orang-orang yang berhak untuk mengajukan
pengampuan adalah sebagai berikut :

a. Untuk keborosan oleh setiap anggota keluarga sedarah dan sanak keluarga dalam garis
ke samping sampai derajat ke-4 dan istri atau suaminya.
b. Untuk lemah akal budinya oleh pihak yang bersangkutan sendiri apabila ia merasa tidak
mampu untuk mengurus kepentingannya sendiri.
c. Untuk kekurangan daya berpikir oleh :
d. Setiap anggota keluarga sedarah dan istri atau suami;
e. Jaksa dalam hal ia tidak mempunyai istri atau suami maupun keluarga sedarah di
wilayah Indonesia.
Ketidakmampuan berbuat hukum itu dikarenakan oleh beberapa yaitu:
a. Belum dewasa Pasal 1330 BW jo Pasal 330 BW jo Pasal 47 Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.
b. Orang yang berada di bawah pengampuan (orang yang telah dewasa, namun dianggap tidak
cakap karena keadaan tertentu seperti dungu, gila, pemboros) Pasal 1330 BW jo Pasal 433
BW.
c. Orang-orang yang dilarang undang-undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum
tertentu, misalnya orang yang dinyatakan pailit (UU Kepailitan).

Anda mungkin juga menyukai