Pemeriksaan dan Pengobatan Kecacingan pada Balita serta Sosialisasi Cuci Tangan
Pakai Sabun pada Ibu Balita di Wilayah Muntigunung Kauh, Kubu, Karangasem
Ketua Pengabdi:
dr. Ni Wayan Septarini, MPH (198009292008012015)
Anggota Pengabdi:
1. dr. Desak Putu Yuli Kurniati, M.KM (198307232008012007)
2. Dr. drh. I Made Subrata, M.Erg (19681120 200801 1 013)
3. dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid (19810404 200604 1
005)
4. Ni Luh Putu Suariyani, SKM, MHlth & IntDev
(198001132005012005)
5. Made Pasek Kardiwinata, SKM, M.Kes (19770101 200501 1 001)
6. dr. I Made Sutarga, M.Kes (19530821 198012 1 001)
1
b. Halaman Pengesahan Pengabdian
1. Judul : Pemeriksaan dan Pengobatan Kecacingan pada
Balita serta Sosialisasi Cuci Tangan Pakai Sabun
pada Ibu Balita di Wilayah Muntigunung Kauh,
Kubu, Karangasem.
2. Ketua Pelaksana
2.1. Nama : dr. Ni Wayan Septarini, MPH
2.2. NIP : 19800929 200801 2 015
2.3. Pangkat/Golongan : Penata Muda Tk. I, III/b
2.4. Jabatan : Asisten Ahli
2.5. Fakultas/Program Studi : Kedokteran/ Ilmu Kesehatan Masyarakat
2.6. Alamat
1. Kantor : Jalan P.B. Sudirman Denpasar
2. Rumah : Jalan Akasia no. 17 Denpasar
2.7. Telpon dan Email : 081353342409; email: septa_rn@yahoo.com,
wayan_septarini@unud.ac.id
3. Personalia
3.1. Jumlah Anggota Pelaksana : 6 orang
3.2. Jumlah Personalia : 7 orang
4. Jangka waktu kegiatan : 6 bulan
5. Bentuk kegiatan : Promosi kesehatan dan pemeriksaan kesehatan
6. Tempat kegiatan : Banjar Muntigunung, Desa Tianyar Barat, Kubu,
Karangasem
7. Biaya yang diperlukan : Rp. 9.000.000,- (sembilan juta rupiah)
Mengetahui:
Ketua Pengabdian Pada Masyarakat
Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana
(I MADE SUDARMAJA)
NIP: 19660824 199601 1 001
2
I. PENDAHULUAN
B. ANALISA SITUASI
Balita adalah aset bangsa. Kualitas kesehatan seorang anak merupakan hal yang harus
mendapatkan prioritas. Salah satu faktor yang tidak bisa diabaikan dalam
pertumbuhan dan perkembangan anak yang erat hubungannya dengan pembangunan
kualitas hidup adalah gizi (Rasmaliah, 2004). Menurut data Riset Kesehatan Dasar tahun
2010 status gizi balita di Indonesia dengan indikator BB/U menunjukkan prevalensi gizi
buruk, yaitu 4,9 %, gizi kurang 13,0% dan gizi lebih 5,8% (Depkes RI, 2010). Kabupaten
Karangasem merupakan salah satu Kabupaten di Bali dengan prevalensi gizi buruk yang
masih tinggi. Status gizi anak berumur 6-14 tahun di Kabupaten Karangasem merupakan
prevalensi anak kurus tertinggi di provinsi Bali, yaitu 12,6% pada anak laki-laki
dan 11,1% pada anak perempuan menurut Riskesdas Bali (2007).
Status gizi anak dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya genetik, asupan
makanan, pola makan, aktifitas fisik, serta adanya penyakit infeksi. Salah satu penyakit
infeksi yang mempengaruhi status gizi adalah kecacingan. Kecacingan secara kronik
akan menyebabkan kekurangan karbohidrat, protein serta kehilangan darah yang secara
tidak langsung akan meurunkan produktivitas. Kecacingan pada anak juga akan
menurunkan daya tahan tubuh mereka sehingga mudah terserang penyakit lain.
Kecacingan pada balita akan menghambat tumbuh kembang mereka bahkan
menjadi salah satu faktor risiko terjadinya failure to thrive (gagal tumbuh).
Apabila kondisi ini terjadi pada 1000 hari pertama kehidupan atau kurang
lebih sampai usia 2 tahun, maka mereka akan sulit mengejar pertumbuhannya
terutama dalam mengejar tinggi badan. Anak-anak yang mengalami gagal tumbuh lebih
cenderung menjadi pendek, yang mempermudah mereka untuk menjadi obesitas.
Beberapa kecacingan juga dapat menyebabkan terjadinya anemia pada penderitanya.
Penyakit kecacingan merupakan penyakit yang disebabkan oleh terjadinya infestasi
cacing, namun penyakit kecacingan sendiri kurang mendapat perhatian (neglected
3
disease) karena masih dianggap dianggap sebagai penyakit yang tidak menimbulkan
wabah maupun kematian.
Seperti halnya kekurangan gizi yang masih berlangsung terutama di daerah
pedesaan, kejadian kecacingan terutama soil transmitted helminth (cacing gelang, cacing
cambuk dan cacik tambang) juga masih merupakan masalah kesehatan yang dimiliki
oleh anak-anak utamanya yang bermukim di daerah sulit air dan masih rendahnya
kepemilikan jamban keluarga. Infestasi cacing ini tidak lepas kaitannya dengan kejadian
kekurangan gizi pada anak. Dalam teori disebutkan bahwa seorang anak yang menderita
kecacingan akan mempunyai status gizi yang kurang baik/ jelek dibandingkan dengan
anak yang tidak menderita kecacingan. Hal ini dikarenakan karena cacing akan
mengganggu fungsi penyerapan makanan sehingga gizi yang bisa diserap akan lebih
sedikit.
Berbagai upaya juga telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan status gizi
anak di Indonesia, namun masih ada kesenjangan terutama di wilayah- wilayah
geografisnya tergolong sulit dan terpencil, seperti halnya sebuah daerah di wilayah
Timur Pulau Bali, yaitu Muntigunung. Muntigunung adalah suatu desa yang termasuk
dalam wilayah Kabupaten Karangasem, dan merupakan salah satu daerah kantong
kemiskinan di Provinsi Bali dengan jumlah penduduk miskin diperkirakan sekitar 64%
(BPS Prov. Bali, 2006). Kondisi geografis yang ada disekitar lereng gunung membuat
akses menuju pelayanan kesehatan menjadi sebuah hambatan untuk mendapatkan
informasi dan pelayanan kesehatan dasar seperti posyandu. Status gizi balita di wilayah
ini, pada penelitan yang dilakukan Muliawan dkk (2009), didapatkan sebesar 47,5%
balita dengan status gizi kurang berdasar BB/U dan 37,1% berdasarkan TB/U.
Tingkat anemia pada balita di daerah ini juga sangat besar yaitu 83,1% (Muliawan.
2009). Tingginya status gizi kurang dan anemia balita tersebut kemungkinan disebabkan
oleh beberapa faktor seperti asupan yang kurang, asupan yang kurang namun tidak
seimbang atau adanya penyakit kecacingan yang menghambat penyerapan nutrisi serta
menyebabkan anemia. Penyebaran penyakit kecacingan dapat dengan mudah menular
melalui pola hidup bersih dan sehat (PHBS) yang rendah, termasuk BAB sembarangan
serta tidak memiliki kebiasaan mencuci tangan pakai sabun. Pada balita hal ini sebagian
besar ditentukan oleh perilaku PHBS ibunya. Mengingat masalah open defekasi (BAB)
di sembarang tempat masih merupakan hal yang lumrah di daerah ini akibat kepemilikan
4
dan penggunaan jamban yang masih rendah di daerah Muntigunung atas termasuk
Muntigunung Kauh hanya sekitar 6% pada tahun 2009 (Muliawan, 2009).
Meskipun Bali telah memenuhi kriteria PHBS baik, yaitu sebesar 51,7%
(Riskesdas, 2007), namun masih ada beberapa daerahnya dengan kondisi sanitasi yang
kurang. Salah satu daerah tersebut adalah Dusun Muntigunung, Desa Tianyar, Kabupaten
Karangasem, Bali. Kondisi daerah tersebut ada dilereng gunung, dengan sanitasi
lingkungan rumah warganya masih kurang. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa
kondiri ekstrem saat musim kemarau, membuat daerah ini kekurangan air. Mandi dan
cuci sangat jarang mereka lakukan, ditambah pula tidak adanya jamban membuat
mereka buang air besar disembarang tempat. Hasil survey kesehatan dasar yang
dilakukan oleh Partha dkk (2009) dari Universitas Udayana, menemukan bahwa hanya
10 % wanita yang mencuci tangannya setelah membersihkan kotoran anaknya, serta
belum semua masyarakatnya memiliki jamban. Hal ini tentunya akan berpengaruh pada
derajat kesehatan masyarakat di daerah ini, seperti misalnya angka kecacingan yang
berakibat kurang gizi dan anemia karena infeksi cacing pada masyarakat,
khususnya anak-anak. Data dari survei kesehatan dasar di Muntigunung tahun 2009
juga menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada anak mencapai 80% (Partha dkk,
2009). Berdasarkan hasil observasi lapangan, tampak pula bahwa kebersihan diri dari
anak-anak di Dusun Muntigunung Kauh masih sangat kurang.
Menurut Depkes RI (2007), masyarakat harus mengetahui bagaimana mencuci
tangan dengan air dan sabun dengan benar. Air yang tidak bersih banyak mengandung
kuman dan bakteri penyebab penyakit, dan apabila digunakan maka kuman akan
berpindah ke tangan. Pada saat makan, kuman dengan cepat masuk ke dalam tubuh, yang
bisa menimbulkan penyakit. Sabun dapat membersihkan kotoran dan membunuh
kuman, karena tanpa sabun kotoran dan kuman masih tertinggal di tangan. Manfaat
mencuci tangan sendiri dalam Notoatmodjo (2003) adalah untuk membersihkan tangan
dari kuman penyakit; serta mencegah penularan penyakit seperti diare, kolera,disentri,
typhus, kecacingan, penyakit kulit, Infeksi Saluran Pemapasan Akut (ISPA), flu
burung atau Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS); dan 3) Tangan menjadi bersih
dan bebas dari kuman.
Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan upaya edukasi kesehatan terkait PHBS,
sebagai upaya untuk perubahan perilaku sehingga nantinya dapat meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat di Muntigunung. Upaya ini mempertimbangkan pula bahwa
5
ssarana prasarana seperti ketersediaan air telah terpenuhi untuk saat ini karena masing-
masing kelompok telah memiliki tempat penampungan air hujan (cubang) untuk
pemenuhan air minum dan mandi cuci kakus (MCK). Cubang-cubang tersebut
dibangun atas kerjasama dari lembaga swadaya masyarakat dengan warga di
Muntigunung. Ketersediaan air tentunya akan memudahkan mereka untuk terus
melakukan perilaku hidup bersih dan sehat yang nantinya kita ajarkan, sehingga perilaku
mereka dapat berkelanjutan baik di rumah ataupun dilingkungan sekitarnya
C. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan analisis situasi diatas dapat dirumuskan masalah perlunya diadakan
pemeriksaan dan pengobatan kecacingan pada balita serta sosialisasi CTPS bagi ibu balita
di wilayah Muntigunung Kauh.
6
II. TUJUAN DAN MANFAAT KEGIATAN
A. TUJUAN UMUM
Untuk melakukan pemeriksaan dan pengobatan kecacingan pada anak balita serta
mensosialisasikan dan meningkatkan pemahaman dan mengajak para ibu untuk
melakukan cuci tangan pakai sabun agar menjadi kebiasaan sehari-hari.
B. TUJUAN KHUSUS
Adapun tujuan khusus dari kegiatan pengabdian ini diantaranya:
1. Mengetahui jumlah prevalensi kecacingan pada anak balita di wilayah
Muntigunung Kauh.
2. Mengobati kecacingan pada balita yang terbukti positif kecacingan di wilayah
Muntigunung Kauh.
3. Para ibu balita dapat memahami pentingnya CTPS serta memahami cara
melakukan CTPS yang benar serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari
C. MANFAAT KEGIATAN
Kegiatan ini bermanfaat untuk memeriksa dan mengobati balita yang menderita
kecacingan sehingga terjadi perbaikan status gizi balita di daerah ini secara tidak
langsung. Kegiatan ini juga diharapkan dapat meningkatkan pemahaman ibu balita
tentang PHBS termasuk CTPS yang benar dan dapat dilakukan sebagai kebiasaan sehari
hari, agar lingkaran penularan kecacingan juga dapat dikurangi serta pada akhirnya akan
meningkatkan derajat kesehatan balita pada khususnya dan keluarga pada umumnya
7
III. HASIL KEGIATAN
C. METODE KEGIATAN
Persiapan
Persiapan kegiatan ini dimulai dengan melakukan koordinasi kepala desa dan ketua-ketua
kelompok di wilayah Muntigunung Kauh. Serta meminta ijin kepada aparat yang
berwenang di daerah ini. Selain itu, dilakukan juga koordinasi dengan puskesmas dan
bidan desa setempat. Pengurusan ijin dan koordinasi dilaksanakan pada tanggal 14 Juli
2015.
Setelah mendapatkan ijin, kemudian pelaksana kegiatan mempersiapkan diri dan
mempersiapkan sarana dan prasarana untuk pengumpulan specimen/feses. Termasuk
9
menghubungi Bagian Parasitologi FK, Unud untuk bekerjasama dalam pemeriksaan telur
dan cacing dewasa dalam feses balita. Juga mempersiapkan materi sosialisasi CTPS
dilakukan agar kegiatan berjalan lancar dan menyenangkan dengan menggunakan
edutainment.
Pelaksanaan
Dengan bantuan bidan desa setempat, berhasil dikumpulkan 47 buah specimen feses dari
bayi dan balita di desa ini dengan memberi penjelasan kepada ibu bayi dan balita tentang
bagaimana cara mengumpulkan spesimen pada wadah yang telah disediakan. Diperlukan
beberapa kali pengambilan sehingga diperlukan pula proses pengawetan feses sebelum
akhirnya diperiksa di Laboratorium Parasitologi, FK Unud. Pengumpulan feses dilakukan
pada tanggal 8 September 2016 pada saat pelaksanaan sosialisasi tentang CTPS dan
PHBS. Sosialisasi tentang CTPS ini dilaksanakan saat diadakan posyandu. Awalnya ibu-
ibu balita ditanyakan mengenai apa yang mereka ketahui tentang PHBS dan CTPS
(pretest) secara lisan, mengingat sebagian besar ibu bayi dan balita tidak bisa membaca
dan menulis. Kemudian dilanjutkan dengan pemberian materi dan iakhiri dengan diskusi
serta tanya jawab. Kegiatan ini melibatkan dan bekerja sama dengan bidan desa setempat
dan puskesmas.
Selain post-test yang dilakukan secara lisan juga, evaluasi kegiatan ini juga dilakukan
dengan menghitung jumlah ibu balita yang hadir, jumlah balita yang diperiksa feses dan
dinyatakan positif kecacingan serta jumlah yang mendapat pengobatan.
Materi yang akan diberikan adalah tentang hal-hal yang terkait dengan perilaku
hidup bersih di rumah, termasuk CTPS. Bagaimana melakukan CTPS yang benar serta
kapan saja dilakukan. Dengan hal ini diharapkan ibu balita dapat menjadi pelopor
penggerak pelaksanaan CTPS di keluarga dan masyarakat atas dasar kesadaran sebagai
hasil pembelajaran, sehingga secara mandiri mampu mencegah penyakit termasuk
kecacingan, meningkatkan kesehatannya, serta berperan aktif dalam mewujudkan
10
lingkungan sehat termasuk mencegah infeksi dan reinfeksi kecacingan. Ada beberapa
indikator yang ditekankan sebagai ukuran untuk menilai PHBS di rumah yaitu : 1.
Mencuci tangan dengan air yang mengalir dan menggunakan sabun; 2. Menggunakan
jamban yang bersih dan sehat; 3. Membuang sampah pada tempatnya (Media
Pendidikan Indonesia, 2014).
Simulasi yang akan diberikan dan diikuti oleh peserta adalah cara mencuci tangan pakai
sabun dengan benar mengikuti langkah-langkah yang sudah diterapkan World Health
Organization (WHO), yaitu ada 7 langkah mencuci tangan (Depkes RI, 2014).
11
Cara mencuci tangan langsung dicontohkan dan dipraktekkan oleh peserta dengan diiringi lagu
sederhana. Lagu ini berfungsi untuk memudahkan para ibu balita mengingat setiap
langkahnya dengan mendendangkan lagu, sehingga saat mengajarkan ke keluarganya mereka
tidak mengalami kesulitan karena faktor lupa. Praktek juga dilaksanakan oleh anak-anak yang
hadir disana, dan para ibu memperhatikan dengan seksama. Proses belajar yang
mengkombinasi antara pemberian edukasi dan hiburan ini diharapkan dapat meningkatkan
pengetahuan kelompok sasaran dan memperlama daya ingat mereka tentang topik kesehatan
yang telah diberikan.
Indikator keberhasilan dari kegiatan ini peningkatan pengetahuan dan perilaku ibu
balita di Dusun Muntigunung Kauh tentang PHBS dan CTPS. Penilaian pengetahuan dan
perilaku sebelum dan setelah intervensi dilakukan secara lisan pre-tes dan post tes
mengingat sebagian besar ibu balita itu tidak menamatkan sekolah dasar.
D. EVALUASI KEGIATAN
Evaluasi pada kegiatan terdiri atas 3 bagian:
a. Evaluasi formatif (awal) : evaluasi terhadap persiapan pelaksanaan kegiatan, meliputi
pengurusan ijin dan kerjasama dengan puskesmas, serta persiapan materi promosi
kesehatan (penyuluhan) dan alat serta bahan yang diperlukan. Hasil evaluasi ini cukup
baik, pengurusan ijin dan koordinasi berjalan dengan lancar. Materi juga dapat disiapkan
tepat waktu tanpa adanya hambatan yang berarti.
b. Evaluasi proses: evaluasi dilaksanakan pada saat kegiatan berlangsung/diselenggarakan,
indikatornya berupa:
1. Jumlah peserta yang hadir selama kegiatan berlangsung; saat pelaksanaan kegiatan,
jumlah peserta sebanyak 50 orang ibu bayi dan balita dari des ini.
2. Keaktifan para peserta saat tanya jawab (pre dan post test); beberapa pertanyaan dari
peserta muncul saat dilaksanakan kegiatan berlangsung diantaranya tentang
bagaiman cara menjaga agar anak-anak mereka terhindar dari kecacingan serta apa
yang dilakukan jika di rumah mereka tidak terdapat sarana untuk mencuci tangan
yang memadai seperti keran.
c. Evaluasi output, diukur dengan indikator:
1. Dengan membandingkan hasil sebelum (pre test) dan setelah (post test) pelaksanaan
pengabdian. Karena sebagian besar para peserta tidak bisa membaca dan menulis
(buta huruf), maka pre test dan post test dilaksanakan secar lisan dengan
melihat/menghitung tanggapan yang diberikan sebelum dan sesudah pelaksanaan
kegiatan.
Pertanyaan yang dianjukan serta presentase pre dan post test dapat dilihat dalam
tabel berikut:
Tabel 1. Hasil pre dan post test kegiatan pengabdian
13
3. Jumlah balita yang mendapat pengobatan kecacingan
Walaupun dalam pemeriksaan hanya ditemukan satu anak yang menderita
kecacingan, tidak menutup kemungkinan akan terjadi penularan pada anak lainnya.
Maka dari itu selain pengobatan kepada anak yang ditemukan positif kecacingan,
juga diberikan kepada anak yang lain, terutama yang rumahnya berdekatan dengan
anak tersebut semi menghindari penularan kepada anak-anak lain.
Disamping pengobatan, juga dihimbau kepada para ibu pada saat posyandu tentang
pencegahan kecacingan dan reinfeksi dengan penekanan lebih pada cacing tambang.
Dimana cacing tambang ini merupakan salah satu penyebab anemia pada anak yang
dapat menggangu pertumbuhan dan perkembangan serta gizi anak untuk tumbuh
normal.
14
IV. SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
Dari kegiatan pengabdian yang telah dilaksanakan di Desa Muntigunung,
Kecamatan Kubu Karangasem dapat disimpulkan bahwa:
1. Terkumpul 47 spesimen feses dari bayi dan balita untuk diperiksa, ditemukan 1
anak (2,1%) yang positif terinfeksi cacing tambang.
2. Terkumpul Peserta sangat antusias mengikuti kegiatan sosialisasi
3. Hasil pretes menunjukkan, sebagian besar peserta tidak mengetahui tentang hal-
hal terkait kecacingan dan CTPS
4. Setelah penyuluhan, didapatkan, para peserta lebih mengerti tentang hal-hal
terkait kecacingan dan CTPS
5. Pengobatan diberikan pada anak yang positif kecacingan dan anak lain yang
rumahnya berdekatan dengan anak yang positif tersebut untuk menghindari
penularan/reinfeksi
B. SARAN
Pengabdian yang dilaksanakan di pedesaan dimana sebagian besar peserta tidak bias
membaca/menulis, memang seyogyanya dilaksanakan secara interaktif dengan
memberikan contoh dan praktek langsung kepada peserta.
Hal ini akan lebih efektif juga jika dibarengi dengan penyuluhan (dengan bahasa
setempat) yang lebih menggunakan gambar-gambar daripada tulisan.
15
DAFTAR PUSTAKA
Muliawan P, Sawitri AAS, Swandewi PAS, Septarini NW. (2010). Survei Kesehatan Dasar
Dusun Muntigunung tahun 2009. Yayasan Masa Depan Anak (YMDA).2010. Denpasar
Puskesmas.Kubu II. (2013). Laporan tahunan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Karangasem:
Puskesmas Kubu II.
RISKESDAS. (2010). Laporan Riset Kesehatan Dasar Republik Indonesia tahun 2010. Jakarta
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar
Indonesia (Riskesdas). Depkes RI. Jakarta.
16
LAMPIRAN
A. KEGIATAN DAN JADWAL
Kegiatan I II III IV V VI
Observasi Lapangan
Persiapan alat dan bahan
Pelaksanaan kegiatan pemeriksaan
cacing dan sosialisasi PHBS dan
CTPS
Penyusunan laporan
Penyerahan laporan
17
FOTO-FOTO PELAKSANAAN KEGIATAN PENGABDIAN
18
19