Anda di halaman 1dari 213

TUGAS AKHIR – RM184831

ANALISIS PERUBAHAN KERAPATAN MANGROVE


MENGGUNAKAN ALGORITMA NORMALIZED
DIFFERENCE VEGETATION INDEX PADA CITRA
SATELIT MULTITEMPORAL BERBASIS WEBGIS
(Studi Kasus: Kabupaten Gresik)

DEBYANA NUR SAVITRI


03311640000050

Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bangun Muljo Sukojo, DEA, DESS

DEPARTEMEN TEKNIK GEOMATIKA


Fakultas Teknik Sipil, Perencanaan dan Kebumian
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya 2020
TUGAS AKHIR – RM184831

ANALISIS PERUBAHAN KERAPATAN MANGROVE


MENGGUNAKAN ALGORITMA NORMALIZED
DIFFERENCE VEGETATION INDEX PADA CITRA
SATELIT MULTITEMPORAL BERBASIS WEBGIS
(Studi Kasus: Kabupaten Gresik)

DEBYANA NUR SAVITRI


03311640000050

Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bangun Muljo Sukojo, DEA, DESS

DEPARTEMEN TEKNIK GEOMATIKA


Fakultas Teknik Sipil, Perencanaan dan Kebumian
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya 2020
i
“Halaman Ini Sengaja Dikosongkan”

ii
FINAL ASSIGNMENT – RM184831

ANALYSIS OF MANGROVE DENSITY CHANGES


USING NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION
INDEX ALGORITHM ON MULTITEMPORAL
SATELLITE IMAGERY BASED ON WEBGIS
(Case Study: Gresik Regency)

DEBYANA NUR SAVITRI


03311640000050

Supervisor
Prof. Dr. Ir. Bangun Muljo Sukojo, DEA, DESS

DEPARTMENT OF GEOMATICS ENGINEERING


Faculty of Civil, Planning and Geo Engineering
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya 2020
iii
“Halaman Ini Sengaja Dikosongkan”

iv
ANALISIS PERUBAHAN KERAPATAN MANGROVE
MENGGUNAKAN ALGORITMA NORMALIZED
DIFFERENCE VEGETATION INDEX PADA CITRA
SATELIT MULTITEMPORAL BERBASIS WEBGIS
(Studi Kasus: Kabupaten Gresik)
Nama Mahasiswa : Debyana Nur Savitri
NRP : 03311640000050
Departemen : Teknik Geomatika FTSPK-ITS
Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Bangun Muljo Sukojo,
DEA, DESS

ABSTRAK

Hutan mangrove memiliki peran penting dan bernilai, baik


secara ekologi maupun ekonomi. Namun, seiring bertambahnya
waktu hutan mangrove di Indonesia mengalami penurunan luasan
akibat laju deforestasi yang tinggi. Salah satu penurunan luasan
lahan mangrove terjadi di kawasan Pantai Utara Jawa Timur yang
terletak di Kabupaten Gresik. Sehingga, perlu adanya pemantauan
terkait kesehatan mangrove melalui kerapatannya khususnya di
Kabupaten Gresik dengan memanfaatkan teknologi penginderaan
jauh. Tingkat kerapatan mangrove dapat dihitung menggunakan
algoritma Normalized Difference Vegetation Index (NDVI).
Perhitungan NDVI dilakukan pada citra satelit multitemporal,
yaitu Sentinel 2A Level 1C pada tahun 2016-2019 untuk
mengetahui perubahan kerapatannya.
Berdasarkan hasil klasifikasi NDVI pada citra satelit Sentinel
2A Level 1C, didapatkan tingkat kerapatan mangrove yang
dominan di Kabupaten Gresik pada tahun 2016-2019 adalah
mangrove dengan kerapatan baik. Kemudian, luas lahan
mangrove di Kabupaten Gresik pada tahun 2016-2019 mengalami
kenaikan pada tahun 2017 seluas 466,521 hektar atau 22,090%,
kemudian mengalami penurunan pada tahun 2018 seluas 44,939

v
hektar atau 1,743% dan tetap menurun pada tahun 2019 seluas
209,962 hektar atau 8,288%.
Hasil validasi antara NDVI citra satelit Sentinel 2A level 1C
dengan NDVI foto udara inframerah menyimpulkan bahwa
penggunaaan NDVI pada citra satelit Sentinel 2A level 1C cukup
optimal untuk digunakan dalam analisis kerapatan mangrove,
karena NDVI citra satelit Sentinel 2A level 1C dan NDVI foto
udara inframerah memiliki hubungan yang sangat kuat dan
signifikan, yaitu dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,956.
Kemudian, parameter yang paling berpengaruh terhadap
kerapatan mangrove adalah pH air dengan nilai koefisien korelasi
sebesar -0,733 yang menunjukkan hubungan yang kuat dan
signifikan. Hasil akhir dari penelitian ini berupa WebGIS
Mangrove Kabupaten Gresik dengan nama domain
http://mangrovekabupatengresik.com/.
Kata kunci : Mangrove, NDVI, Penginderaan Jauh, Sentinel 2A
Level 1C, WebGIS

vi
ANALYSIS OF MANGROVE DENSITY CHANGES
USING NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION
INDEX ALGORITHM ON MULTITEMPORAL
SATELLITE IMAGERY BASED ON WEBGIS
(Case Study: Gresik Regency)
Name : Debyana Nur Savitri
ID : 03311640000050
Departement : Geomatics Engineering
Supervisor : Prof. Dr. Ir. Bangun Muljo Sukojo, DEA,
DESS

ABSTRACT

Mangrove forest have an important role and worth a value from


the ecological and economical point of view. However, with the
increasing time mangrove forests in Indonesia had an area
decreasing due to high deforestation rates. One of the area
decreasing is happened in the North Coast of East Java which is
located in Gresik Regency. So that, monitoring of mangrove health
through its density is needed, especially in Gresik Regency by
utilizing remote sensing technology. The level of mangrove density
can be calculated using the Normalized Difference Vegetation
Index (NDVI) algorithm. NDVI calculations are performed on
multitemporal satellite imagery, i.e. Sentinel 2A Level 1C in 2016-
2019 to determine changes in its density.
From the result of NDVI clasification on Sentinel 2A Level 1C
satellite imagery, is obtained the density level of mangrove which
is dominant in Gresik Regency in 2016-2019 is mangrove with the
good density. Then, the area of mangrove in Gresik Regency in
2016-2019 increased in 2017 of 466,521 hectares or 22,090%,
then decreased in 2018 of 44,939 hectares or 1,743% and remain
decreased in 2019 of 209,962 hectares or 8.288%.

vii
The validation result between NDVI satellite imagery Sentinel
2A Level 1C with NDVI infrared aerial photography concluded
that the use of NDVI on satellite imagery Sentinel 2A Level 1C is
optimum to be used in mangrove density analysis, because the
NDVI satellite imagery Sentinel 2A Level 1C and NDVI infrared
aerial photography have the strong and significant correlation,
which with the correlation coefficient value of 0,956. Afterward,
the parameter which is most take effectto the mangrove density is
water pH with the correlation coefficient value is -0,733 which
shown the strong and significant correlation. The final result of this
research is a WebGIS with the domain name
http://mangrovekabupatengresik.com/.
Keywords : Mangrove, NDVI, Remote Sensing, Sentinel 2A Level
1C, WebGIS

viii
“Halaman Ini Sengaja Dikosongkan”

x
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan


karunia-Nya sehingga laporan Tugas Akhir yang berjudul
“Analisis Perubahan Kerapatan Mangrove Menggunakan
Algoritma Normalized Difference Vegetation Index pada Citra
Satelit Multitemporal Berbasis WebGIS (Studi Kasus: Kabupaten
Gresik)” ini dapat diselesaikan dengan baik dan lancar.
Dalam penyelesaian laporan ini, penulis banyak mendapatkan
bantuan, bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua serta keluarga penulis yang selalu
memberikan doa, bantuan dan dukungan selama
pelaksanaan penelitian.
2. Bapak Danar Guruh Pratomo, ST, MT, Ph.D selaku
Kepala Departemen Teknik Geomatika FTSPK-ITS.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Bangun Muljo Sukojo, DEA, DESS
selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan
bimbingan, masukkan dan arahan selama pelaksanaan
penelitian.
4. Bapak dan Ibu Dosen Teknik Geomatika ITS yang telah
memberikan bimbingan dan ilmu serta membantu
kelancaran proses akademis penulis.
5. Sahabat-sahabat penulis, Danu dan Gedebox serta teman-
teman seperjuangan G18 yang selalu memberikan
semangat, dukungan dan bantuan selama pelaksanaan
penelitian.
6. Mbak Stella, Mbak Nisa dan Mbak Wafa yang senantiasa
memberikan bantuan selama pelaksanaan penelitian.
7. Serta seluruh pihak yang telah membantu dan tidak dapat
disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam laporan ini masih terdapat
banyak kekurangan. Sehingga, penulis sangat terbuka dengan

xi
segala kritik dan saran demi perbaikan ke depannya. Semoga
penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Surabaya, 26 Juli 2020

Penulis

xii
DAFTAR ISI

ABSTRAK .................................................................................... v
ABSTRACT ..................................................................................vii
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................... ix
KATA PENGANTAR .................................................................. xi
DAFTAR ISI ..............................................................................xiii
DAFTAR GAMBAR ................................................................xvii
DAFTAR TABEL ...................................................................... xix
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................. xxi
BAB I ............................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang .................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................... 3
1.3 Batasan Masalah ................................................................. 3
1.4 Tujuan ................................................................................. 4
1.5 Manfaat ............................................................................... 4
BAB II ........................................................................................... 5
2.1 Wilayah Pesisir ................................................................... 5
2.2 Hutan Mangrove ................................................................. 6
2.3 Normalized Different Vegetation Index (NDVI) ............... 11
2.4 Penginderaan Jauh............................................................. 13
2.5 Resolusi Temporal ............................................................ 15
2.6 Citra Satelit Sentinel 2A ................................................... 15
2.7 Koreksi Atmosfer .............................................................. 19
2.8 Klasifikasi Citra ................................................................ 21
2.9 Uji Akurasi Hasil Klasifikasi ............................................ 22

xiii
2.10 Metode Analisis Data ...................................................... 24
2.10.1 Uji Normalitas.......................................................... 24
2.10.2 Analisis Korelasi Sederhana .................................... 24
2.10.3 Analisis Regresi Linier ............................................ 26
2.10.4 Uji t .......................................................................... 27
2.10.5 Uji Asumsi Klasik Regresi ...................................... 28
2.11 Sistem Informasi Geografis............................................. 30
2.12 WebGIS ........................................................................... 33
2.13 Framework Laravel ......................................................... 36
2.14 Uji Kelayakan Sistem ...................................................... 37
2.15 Fotogrametri .................................................................... 39
2.16 Unmanned Aerial Vehicle (UAV) ................................... 44
2.17 Penelitian Terdahulu ....................................................... 45
BAB III ........................................................................................ 49
3.1 Lokasi Penelitian ............................................................... 49
3.2 Data dan Peralatan............................................................. 51
3.2.1 Data ............................................................................ 51
3.2.2 Peralatan..................................................................... 51
3.3 Metodologi Penelitian ....................................................... 52
3.3.1 Tahapan Penelitian ..................................................... 52
3.3.2 Tahapan Pengolahan Data.......................................... 55
BAB IV........................................................................................ 67
4.1 Klasifikasi Mangrove Berdasarkan Kerapatannya ............ 67
4.1.1 Data Citra ................................................................... 67
4.1.2 Koreksi Atmosfer ....................................................... 69

xiv
4.1.3 Perhitungan Algoritma NDVI Citra........................... 70
4.1.4 Klasifikasi Citra ......................................................... 71
4.2 Hubungan NDVI Citra dengan NDVI Foto Udara ........... 84
4.2.1 Data Foto Udara di Lapangan .................................... 84
4.2.2 Korelasi NDVI Citra dengan NDVI Foto Udara di
Lapangan ............................................................................ 92
4.3 Hubungan Sampel Parameter di Lapangan dengan NDVI
Citra......................................................................................... 97
4.3.1 Data Sampel Parameter Air dan Tanah di Lapangan . 97
4.3.2 Korelasi NDVI Citra dengan Data Sampel Parameter
Air dan Tanah di Lapangan .............................................. 102
4.4 WebGIS ........................................................................... 117
4.4.1 Pembuatan WebGIS ................................................. 117
4.4.2 WebGIS Mangrove Kabupaten Gresik..................... 118
4.4.3 Uji Kelayakan Sistem .............................................. 125
BAB V ....................................................................................... 137
5.1 Kesimpulan ..................................................................... 137
5.2 Saran ............................................................................... 138
DAFTAR PUSTAKA................................................................ 141
LAMPIRAN .............................................................................. 151
BIODATA PENULIS................................................................ 189

xv
“Halaman Ini Sengaja Dikosongkan”

xvi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Mangrove di Kecamatan Ujung Pangkah, Kabupaten


Gresik ........................................................................ 7
Gambar 2.2 Mangrove di Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik 8
Gambar 2.3 Mangrove di Kecamatan Ujung Pangkah, Kabupaten
Gresik ........................................................................ 8
Gambar 2.4 Komponen Penginderaan Jauh ................................ 14
Gambar 2.5 Pengaruh Atmosfer Terhadap Data Citra ................ 20
Gambar 2.6 Diagram Subsistem SIG .......................................... 31
Gambar 2.7 Desain WebGIS pada Halaman Beranda ................. 34
Gambar 2.8 Desain WebGIS pada Halaman Peta ........................ 34
Gambar 2.9 Desain WebGIS pada Halaman Grafik .................... 35
Gambar 2.10 Jenis Pemotretan Foto Udara ................................. 41
Gambar 2.11 Foto Udara Pankromatik........................................ 42
Gambar 2.12 Foto Udara Inframerah .......................................... 42
Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian Skala 1:250.000 .................. 50
Gambar 3.2 Diagram Alir Tahapan Penelitian ............................ 52
Gambar 3.3 Diagram Alir Tahapan Pengolahan Data ................. 58
Gambar 4.1 Informasi Akuisisi Data Citra Tahun 2016.............. 67
Gambar 4.2 Informasi Akuisisi Data Citra Tahun 2017.............. 68
Gambar 4.3 Informasi Akuisisi Data Citra Tahun 2018.............. 68
Gambar 4.4 Informasi Akuisisi Data Citra Tahun 2019.............. 68
Gambar 4.5 Nilai Reflektan TOA Citra Tahun 2019 .................. 69
Gambar 4.6 Nilai Reflektan BOA Citra Tahun 2019 .................. 70
Gambar 4.7 Peta Persebaran Titik Ground Check di Lapangan
Skala 1:120.000 ...................................................... 73
Gambar 4.8 Luas Mangrove Berdasarkan Tingkat Kerapatan .... 77
Gambar 4.9 Luas Total Mangrove Tahun 2016-2019 ................. 77
Gambar 4.10 Orthomosaic Foto Udara Inframerah di Titik Lokasi
1 Skala 1:500 .......................................................... 86
Gambar 4.11 Orthomosaic Foto Udara Inframerah di Titik Lokasi
2 Skala 1:500 .......................................................... 87
Gambar 4.12 Orthomosaic Foto Udara Inframerah di Titik Lokasi
3 Skala 1:500 .......................................................... 88

xvii
Gambar 4.13 Orthomosaic Foto Udara Inframerah di Titik Lokasi
4 dan 7 Skala 1:500 ................................................. 89
Gambar 4.14 Orthomosaic Foto Udara Inframerah di Titik Lokasi
5 Skala 1:500........................................................... 90
Gambar 4.15 Orthomosaic Foto Udara Inframerah di Titik Lokasi
6 Skala 1:500........................................................... 91
Gambar 4.16 Korelasi Nilai NDVI Citra dan NDVI Foto Udara 94
Gambar 4.17 Peta Kerja ............................................................ 100
Gambar 4.18 Korelasi Nilai NDVI Citra dan pH Air ................ 104
Gambar 4.19 Korelasi Nilai NDVI Citra dan Salinitas Air ....... 105
Gambar 4.20 Korelasi Nilai NDVI Citra dan Kadar Air Tanah 106
Gambar 4.21 Korelasi Nilai NDVI Citra dan Nitrogen Tanah .. 107
Gambar 4.22 Korelasi antara Nilai NDVI Citra dan Jenis Tanah
Pasir....................................................................... 108
Gambar 4.23 Korelasi antara Nilai NDVI Citra dan Jenis Tanah
Lanau..................................................................... 109
Gambar 4.24 Korelasi antara Nilai NDVI Citra dan Jenis Tanah
Lempung ............................................................... 110
Gambar 4.25 Halaman Beranda pada WebGIS .......................... 120
Gambar 4.26 Halaman Peta pada WebGIS ................................ 121
Gambar 4.27 Pop Up Window dari Tabel Luas Kerapatan
Mangrove .............................................................. 122
Gambar 4.28 Pop Up Window dari Tabel Kriteria Kondisi
Mangrove .............................................................. 122
Gambar 4.29 Pop Up Window dari Grafik Luas Kerapatan
Mangrove Berdasarkan Tingkat Kerapatan .......... 123
Gambar 4.30 Tabel dan Grafik Korelasi antara Sampel Parameter
Air dan Tanah dengan NDVI Citra ....................... 124
Gambar 4.31 Persentase Skor dari Pertanyaan yang Diajukan
Kepada Responden................................................ 133

xviii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi Perairan Berdasarkan Derajat Keasamaan


(pH) ........................................................................... 10
Tabel 2.2 Tingkat Kerapatan Mangrove Berdasarkan Rentang Nilai
NDVI ......................................................................... 13
Tabel 2.3 Spesifikasi Citra Sentinel 2A ...................................... 16
Tabel 2.4 Interpretasi Koefisien Kappa ....................................... 24
Tabel 2.5 Interpretasi Koefisien Korelasi .................................... 26
Tabel 2.6 Konversi Kualitatif dari Persentase Kelayakan ........... 39
Tabel 4.1 Perhitungan Nilai Indeks Vegetasi NDVI pada Citra.. 71
Tabel 4.2 Confusion Matrix Hasil Klasifikasi Tutupan Lahan .... 74
Tabel 4.3 Luas Mangrove Berdasarkan Tingkat Kerapatannya .. 76
Tabel 4.4 Luas Mangrove per Kecamatan Tahun 2016 .............. 78
Tabel 4.5 Luas Mangrove per Kecamatan Tahun 2017 .............. 79
Tabel 4.6 Luas Mangrove per Kecamatan Tahun 2018 .............. 79
Tabel 4.7 Luas Mangrove per Kecamatan Tahun 2019 .............. 80
Tabel 4.8 Kriteria Baku Kerusakan Mangrove............................ 81
Tabel 4.9 Kriteria Kondisi Mangrove Tahun 2016-2019 ............ 81
Tabel 4.10 Lokasi Akuisisi Data Foto Udara di Lapangan ......... 85
Tabel 4.11 Nilai NDVI pada Citra dan Foto Udara Inframerah .. 92
Tabel 4.12 Uji Normalitas Antara NDVI Citra dan NDVI Foto
Udara ......................................................................... 93
Tabel 4.13 Data Hasil Analisis pH Air dan Salinitas Air ............ 98
Tabel 4.14 Data Hasil Analisis Kadar Air Tanah dan Nitrogen (N)
Tanah ......................................................................... 98
Tabel 4.15 Data Hasil Analisis Jenis Tanah ................................ 99
Tabel 4.16 Deskripsi Kondisi Titik Sampel di Lapangan ......... 101
Tabel 4.17 Uji Normalitas antara Sampel Parameter Air dan Tanah
dengan NDVI citra .................................................. 103
Tabel 4.18 Uji t antara Sampel Parameter Air dan Tanah dengan
NDVI Citra .............................................................. 115
Tabel 4.19 Uji Karakteristik Functionality WebGIS Mangrove
Kabupaten Gresik .................................................... 125
Tabel 4.20 Skala Likert ............................................................. 127

xix
Tabel 4.21 Pertanyaan Terkait Uji Karakteristik Usability WebGIS
Mangrove Kabupaten Gresik ................................... 127
Tabel 4.22 Hasil Penilaian Oleh Responden ............................. 129
Tabel 4.23 Hasil Persentase Pengujian Usability ...................... 134

xx
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Dokumen Validasi Citra Hasil Klasifikasi Supervised


.............................................................................. 151
Lampiran 2. Data Hasil Analisis Kadar Air Tanah dan Nitrogen (N)
Tanah .................................................................... 157
Lampiran 3. Data Hasil Analisis pH Air dan Salinitas Air ....... 159
Lampiran 4. Dokumentasi Mangrove di Titik Sampel Lapangan
.............................................................................. 161
Lampiran 5. Peta Kerapatan Mangrove Tahun 2016-2019 Skala ..
1:150.000 .............................................................. 165
Lampiran 6. Peta Kerapatan Mangrove Tahun 2016 Skala 1:10.000
.............................................................................. 169
Lampiran 7. Peta Kerapatan Mangrove Tahun 2017 Skala 1:10.000
.............................................................................. 174
Lampiran 8. Peta Kerapatan Mangrove Tahun 2018 Skala 1:10.000
.............................................................................. 179
Lampiran 9. Peta Kerapatan Mangrove Tahun 2019 Skala 1:10.000
.............................................................................. 184

xxi
“Halaman Ini Sengaja Dikosongkan”

xxii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hutan mangrove merupakan salah satu sumber daya alam
wilayah pesisir yang bernilai dan memiliki peran penting baik
secara ekologi maupun ekonomi. Fungsi dan manfaat hutan
mangrove adalah mencegah erosi dan abrasi pantai, mencegah
intrusi air laut, sebagai tempat hidup dan sumber makanan bagi
beberapa jenis satwa serta menstabilkan daerah pesisir (WWF
2015). Menurut Kusmana (1995), ekosistem hutan mangrove
bersifat kompleks dan dinamis, namun labil. Bersifat labil karena
mudah sekali rusak dan sulit pulih seperti sediakala.
Seiring bertambahnya waktu, hutan mangrove di Indonesia
mengalami penurunan luasan akibat laju deforestasi yang tinggi.
Penurunan luasan mangrove tersebut disebabkan oleh penggunaan
lahan yang tidak terkendali, konversi lahan mangrove menjadi
lahan tambak, penebangan liar dan pencemaran lingkungan di
sekitarnya (Hidayah 2018). Provinsi Jawa Timur seharusnya
membutuhkan hutan mangrove seluas 45.000 hektar sebagai
pelindung garis pantai di sebagian pesisir Utara dan Timur.
(Bappeda Provinsi Jawa Timur 1998). Sedangkan, berdasarkan
data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur
(2009), penurunan luasan lahan mangrove di kawasan Pantai Utara
Jawa Timur sebesar 60% terjadi pada Kabupaten Tuban,
Lamongan, Gresik serta pesisir Pulau Madura (Rudianto 2014).
Penurunan lahan mangrove di Kabupaten Gresik mencapai 40%
atau sekitar 271 hektar dari 678,879 hektar jumlah luas lahan
mangrove yang semestinya ada di Kabupaten Gresik (Kominfo
Jatim 2009).
Berdasarkan fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa perlu
adanya pemantauan mengenai kesehatan mangrove khususnya di
Kabupaten Gresik agar kawasan mangrove dapat dikelola dengan
baik dan tetap dapat dimanfaatkan secara lestari. Untuk

1
2

mengetahui kesehatan mangrove dapat dilihat dari tingkat


kerapatannya. Tingkat kerapatan mangrove dapat dihitung
menggunakan algoritma NDVI yang menggunakan kombinasi
matematis antara rasio kanal NIR dan kanal merah. Algoritma ini
memanfaatkan fenomena fisik pantulan cahaya yang berasal dari
dedaunan (Sudiana 2008). Penelitian terdahulu yang dilakukan
oleh Faizal dan Amran (2005), menyimpulkan bahwa algoritma
NDVI dinilai memberikan transformasi paling efektif yang dapat
digunakan untuk monitoring kerapatan mangrove. Perhitungan
algoritma NDVI dilakukan pada citra satelit multitemporal, yaitu
Sentinel 2A Level 1C pada tahun 2016-2019 untuk mengetahui
perubahan kerapatan mangrove. Citra satelit multitemporal
merupakan citra yang memiliki resolusi temporal (Nurry dan
Anjasmara 2014). Kemudian, resolusi temporal merupakan
kemampuan sistem satelit untuk merekam ulang daerah yang sama
(Danoedoro 1996). Penggunaan citra satelit Sentinel 2A Level 1C
dikarenakan citra satelit Sentinel 2A Level 1C mampu memberikan
data dengan resolusi spasial yang cukup baik, yaitu dengan resolusi
spasial 10 meter pada band 2, 3, 4 dan 8; resolusi spasial 20 meter
pada band 5, 6, 7, 8A, 11 dan 12; serta resolusi spasial 60 meter
pada band 1, 9 dan 10 (Coluzzi dkk. 2018). Kemudian untuk
mengetahui hubungan antara kerapatan mangrove dengan
lingkungannya, dilakukan uji korelasi antara indeks vegetasi
dengan sampel parameter air dan tanah berupa pH air, salinitas air,
kadar air tanah, nitrogen (N) tanah, jenis tanah pasir, jenis tanah
lanau dan jenis tanah lempung. Menurut Chapman (1977) terdapat
beberapa faktor yang memengaruhi komunitas mangrove, yaitu
salinitas dan jenis tanah. Selain itu, faktor lain yang memengaruhi
adalah unsur hara dan air (Noor dkk. 1999).
Kemudian, hasil akhir dari penelitian ini akan dipublikasikan
dalam sebuah WebGIS. WebGIS memberikan kemudahan dalam
mengakses, menyimpan, melakukan editing dan updating data
(Utomo, Nugraha, dan Suprayogi 2020). Perkembangan zaman
yang semakin maju berpengaruh pada perubahan teknologi.
Perkembangan teknologi tersebut juga berpengaruh pada dunia
3

Information Technology (IT), salah satunya adalah dengan


munculnya teknologi Geographic Information System (GIS).
Teknologi GIS telah berkembang pesat. Pengembangan aplikasi
GIS kedepannya mengarah pada aplikasi berbasis web yang
dikenal dengan WebGIS (Edy dan Tampubolon 2007). Pada
penelitian ini WebGIS didesain agar dapat diakses secara online,
sehingga masyarakat umum dapat mengakses informasi mengenai
perubahan mangrove di Kabupaten Gresik berdasarkan
kerapatannya dengan lebih mudah dan praktis. Sehingga, informasi
mengenai perubahan kerapatan mangrove di Kabupaten Gresik
dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya
pencegahan dan penanggulangan kerusakan ekosistem hutan
mangrove di wilayah Kabupaten Gresik.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana mengklasifikasikan mangrove berdasarkan
kerapatannya menggunakan citra satelit Sentinel 2A Level
1C di Kabupaten Gresik?
2. Bagaimana menganalisis hubungan antara NDVI citra
satelit Sentinel 2A Level 1C dengan NDVI foto udara
inframerah?
3. Bagaimana menganalisis hubungan antara sampel
parameter air dan tanah dengan NDVI citra satelit Sentinel
2A Level 1C di lapangan?
4. Bagaimana memvisualisasikan hasil akhir informasi
mangrove di Kabupaten Gresik berdasarkan kerapatannya
berbasis WebGIS?
1.3 Batasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Lokasi penelitian terletak di Kecamatan Ujung Pangkah,
Sidayu, Bungah, Manyar, Gresik dan Kebomas.
2. Data citra yang digunakan adalah citra satelit Sentinel 2A
Level 1C tahun 2016, 2017, 2018 dan 2019.
4

3. Penentuan kerapatan mangrove menggunakan algoritma


NDVI.
4. Sampel parameter yang diambil adalah parameter air dan
tanah, yaitu pH air, salinitas air, kadar air tanah, nitrogen
(N) tanah, jenis tanah pasir, jenis tanah lanau dan jenis
tanah lempung.
5. WebGIS didesain tanpa database dan dapat diakses secara
online oleh umum.
1.4 Tujuan
Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah :
1. Mengklasifikasikan mangrove berdasarkan kerapatannya
menggunakan citra satelit Sentinel 2A Level 1C di
Kabupaten Gresik.
2. Menganalisis hubungan antara NDVI citra satelit Sentinel
2A Level 1C dengan NDVI foto udara inframerah.
3. Menganalisis hubungan antara sampel parameter air dan
tanah di lapangan dengan NDVI citra satelit Sentinel 2A
Level 1C.
4. Memvisualisasikan hasil akhir informasi mangrove di
Kabupaten Gresik berdasarkan kerapatannya berbasis
WebGIS.
1.5 Manfaat
Manfaat yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah
memberikan informasi kepada masyarakat umum dan pemerintah
yang termuat dalam bentuk peta dan WebGIS mengenai perubahan
kerapatan mangrove pada tahun 2016, 2017, 2018 dan 2019 di
Kabupaten Gresik. Sehingga, diharapkan dapat dijadikan sebagai
bahan pertimbangan dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan kerusakan ekosistem hutan mangrove di wilayah
Kabupaten Gresik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Wilayah Pesisir


Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara darat dan
laut, yang meliputi daratan pesisir dan perairan pesisir. Batas ke
arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam
air yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut seperti angin
laut, pasang surut dan perembesan (intrusi) air laut. Ke arah laut
mencakup bagian perairan pantai sampai batas terluar dari daerah
paparan benua (continental shelf), dimana ciri-ciri perairan
tersebut masih dipengaruhi oleh proses-proses alamiah yang terjadi
di darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar serta proses yang
disebabkan oleh kegiatan manusia di darat maupun di laut. Wilayah
pesisir dicirikan oleh tingkat produktivitas hayati yang tinggi.
Berdasarkan batasan tersebut, maka terdapat beberapa ekosistem
khas yang mencirikan wilayah pesisir, yaitu estuari, delta,
goba/laguna, terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun dan
bukit berpasir. Ekosistem-ekosistem ini mempunyai arti penting
bagi kehidupan di laut. Selain berfungsi sebagai penyangga dalam
fungsi ekosistem pesisir dan terhadap gelombang pasang yang
kuat, juga berfungsi sebagai pendukung sebagian besar sumber
daya hayati laut (Hartoko 2001).
Menurut Bengen (2001), wilayah pesisir merupakan ekosistem
transisi yang dipengaruhi daratan dan lautan, yang mencakup
beberapa ekosistem, salah satunya ialah ekosistem hutan
mangrove. Ekosistem mangrove dapat tumbuh didaerah pantai-
pantai yang terlindung dari aktivitas gelombang besar dan arus
pasang surut air laut dan tumbuh optimal di wilayah pantai yang
memiliki muara sungai besar serta estuari dan delta yang aliran
airnya banyak mengandung lumpur (Dahuri dkk. 2008). Menurut
Bengen (2004), ekosistem pesisir memiliki empat fungsi pokok
bagi kehidupan manusia antara lain sebagai penyedia sumber daya
alam, penerima limbah, penyedia jasa pendukung kehidupan dan

5
6

penyedia jasa kenyamanan. Akan tetapi, berbagai macam aktivitas


manusia, baik di daratan maupun lautan mendorong terjadinya
perubahan lingkungan wilayah pesisir. Adanya perubahan bentang
alam daratan akan berdampak negatif pada wilayah pesisir.
Dampak tersebut dapat berupa pencemaran, erosi dan perubahan
aliran air tawar yang terjadi di ekosistem daratan pada akhirnya
akan berdampak terhadap ekosistem pesisir.
2.2 Hutan Mangrove
Hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk
menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang
didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak-
semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh di perairan
asin (Nybakken 1992).
Menurut Bengen (2001), karakteristik habitat mangrove adalah
sebagai berikut:
1. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat.
2. Pada umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis
tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir.
3. Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap
hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang
purnama.
4. Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut
yang kuat.
5. Air di sekitar habitat mangrove bersalinitas payau (2-22
permil) hingga asin mencapai 38 permil.
6. Banyak ditemukan di pantai-pantai yang dangkal, estuaria,
delta dan daerah pantai yang terlindung.
Fungsi dan manfaat hutan mangrove menurut Bengen (2004),
adalah sebagai berikut:
1. Sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung
dari abrasi, penahan lumpur dan penangkap sedimen.
7

2. Sebagai penghasil sejumlah besar dentritus dari daun dan


dahan pohon mangrove.
3. Sebagai daerah asuhan (nursery grounds) daerah mencari
makanan (feeding grounds) dan daerah pemijahan
(spawning grounds) berbagai jenis ikan, udang dan biota
laut lainnya.
4. Sebagai penghasil kayu untuk bahan konstruksi, kayu
bakar, bahan baku arang dan bahan baku kertas (pulp).
5. Sebagai pemasok larva ikan, udang dan biota lainnya.
6. Sebagai tempat pariwisata.
Kemudian, di bawah ini merupakan gambar mangrove di
Kabupaten Gresik, Jawa Timur:

Gambar 2.1 Mangrove di Kecamatan Ujung Pangkah, Kabupaten


Gresik (Sumber: Dokumen Pribadi)
8

Gambar 2.2 Mangrove di Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik


(Sumber: Dokumen Pribadi)

Gambar 2.3 Mangrove di Kecamatan Ujung Pangkah, Kabupaten


Gresik (Sumber: Dokumen Pribadi)
9

Mangrove merupakan vegetasi hutan yang tumbuh di antara


garis pasang dan surut, tetapi dapat juga tumbuh pada pantai
karang, dataran koral mati yang di atasnya ditimbuni selapis tipis
pasir atau ditimbuni lumpur. Hutan mangrove tumbuh di tempat
yang berlumpur dan memiliki akumulasi bahan organik, baik di
teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun sekitar muara
sungai dimana air melambat dan mengendapkan lumpur yang
dibawa dari hulu sungai (Noor dkk. 1999).
Kerapatan tanaman dipengaruhi oleh kemampuan kompetisi
dan adaptasi suatu tanaman terhadap lingkungannya. Kerapatan
tanaman sangat erat hubungannya dengan persaingan antar
individu tanaman dalam mendapatkan sinar matahari, unsur hara
dan air untuk keperluan pertumbuhan tanaman. Berikut adalah
beberapa parameter dari faktor lingkungan yang dapat
mempengaruhi kesehatan dan kerapatan ekosistem mangrove
antara lain:
a. Salinitas
Menurut Aksornkoae (1993), salinitas merupakan
faktor lingkungan yang sangat menentukan perkembangan
hutan mangrove, terutama bagi laju pertumbuhan, daya
tahan dan zonasi spesies mangrove. Salinitas air tanah
dipengaruhi oleh sejumlah faktor, seperti pasang surut,
topografi, curah hujan, masukan air tawar dari sungai, run-
off daratan dan evaporasi. Mangrove mendiami daerah
pantai dengan kisaran salinitas yang besar. Mangrove
memiliki akar yang mampu mendukung hidup mangrove
untuk beradaptasi di daerah berlumpur dan lingkungan air
dengan salinitas payau sebesar 2-22/mil hingga asin
mencapai 38/mil (Susiana 2011). Menurut Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004 tentang
Baku Mutu Air Laut, nilai salinitas pada mangrove
berkisar hingga 34‰.
10

b. Derajat Keasaman (pH)


Nilai pH suatu perairan mencerminkan keseimbangan
antara asam dan basa dalam air. Nilai pH perairan
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain aktivitas
fotosintesis, aktivitas biologi, temperatur, kandungan
oksigen dan adanya kation serta anion dalam perairan
(Aksornkoae 1993). Menurut Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu
Air Laut, nilai pH pada ekosistem mangrove berkisar
antara 7,0-8,5. Sedangkan, menurut Banareja (1967)
dalam Hasbi (2004) menyatakan bahwa klasifikasi
perairan berdasarkan pH airnya adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1 Klasifikasi Perairan Berdasarkan Derajat
Keasamaan (pH) (Sumber: Banareja 1967 dalam Hasbi
2004)

Derajat
Keadaan Perairan
Keasamaan (pH)
5,5 – 6,5 Kurang produktif
6,5 – 7,5 Produktif
7,5 – 8,5 Sangat produktif
> 8,5 Tidak produktif

c. Nitrogen (N)
Menurut Sutanto (2005), kandungan nitrogen dalam
tanah berkisar antara 0,03-0,3% dari keseluruhan senyawa
pada tanah di daratan. Sedangkan, pada endapan lumpur
dapat mencapai 50-60%. Pada sedimen lumpur sebagian
besar merupakan hasil dari endapan bahan organik
terutama di bagian muara sungai (Yuwono 2004). Unsur
nitrogen di tanah berasal dari bahan organik dan N2 di
atmosfer. Nitrogen merupakan unsur hara makro utama
yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah banyak (Feller
dkk. 2002). Unsur nitrogen dibutuhkan untuk proses
metabolisme dimana unsur nitrogen sebagai protein
11

fungsional sekaligus merangsang pertumbuhan (Ma'shum,


Soedarsono, dan Susilowati 2003). Nitrogen dibutuhkan
dalam pertumbuhan sebagai komponen pembentuk
molekul klorofil, asam amino, enzim, koenzim, vitamin
dan hormon (Feller dkk. 2002).

d. Jenis Tanah
Tanah yang berada di hutan mangrove memiliki ciri-
ciri yang selalu basah, mengandung garam, oksigen
sedikit, berbentuk butir-butir dan kaya bahan organik
(Soeroyo 1993). Tanah tempat tumbuh mangrove
terbentuk dari akumulasi sedimen yang berasal dari
sungai, pantai atau erosi yang terbawa dari dataran tinggi
sepanjang sungai atau kanal (Aksornkoae 1993). Jenis
tanah yang ada di hutan mangrove antara lain tanah
berlumpur maupun berpasir.

e. Kadar Air Tanah


Air dibutuhkan oleh tanaman untuk berbagai macam
fungsi, yaitu sebagai pelarut dan medium untuk reaksi
kimia, medium untuk transport serta medium yang
memberikan turgor pada sel tanaman (Gardner, Perace,
dan Mitchell 1991). Rendahnya jumlah air menyebabkan
terbatasnya perkembangan akar, sehingga mengganggu
penyerapan unsur hara oleh akar tanaman. Terbatasnya
perkembangan akar juga menyebabkan menurunnya bobot
kering akar (Anggraini 2009). Kondisi stres air yang berat
menyebabkan terhambatnya fotosintesis tanaman (Charloq
dan Setiado 2005).
2.3 Normalized Different Vegetation Index (NDVI)
NDVI merupakan indeks vegetasi yang paling sering
digunakan. NDVI dapat digunakan untuk mengukur kesehatan dan
kerapatan vegetasi. Pada implementasinya, nilai-nilai NDVI dapat
mencerminkan kondisi tingkat kerapatan tajuk vegetasi mangrove
yang terdeteksi. Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa yang
12

dimaksud dengan tingkat kerapatan adalah tingkat kerapatan tajuk


mangrove, bukan tingkat kerapatan pohon mangrove. Artinya,
seberapa rapat daun-daun vegetasi mangrove menutupi permukaan
bumi dan memantulkan spektrum hijau semaksimal mungkin.
Untuk kondisi tersebut memerlukan kondisi mangrove yang
tumbuh subur dan sehat (Purwanto dan Harsanugraha 2015).
Formula dari algoritma NDVI (Landgrebe 2003) adalah sebagai
berikut ini:
𝜌 𝑁𝐼𝑅 − 𝜌 𝑅𝐸𝐷
𝑁𝐷𝑉𝐼 = (2.1)
𝜌 𝑁𝐼𝑅 + 𝜌 𝑅𝐸𝐷
Dimana, 𝜌 𝑁𝐼𝑅 merupakan nilai reflektan BOA dari kanal
Near-Infrared (NIR), sedangkan 𝜌 𝑅𝐸𝐷 merupakan nilai reflektan
BOA dari kanal merah yang dimiliki citra. Penggunaan kedua band
ini banyak dipilih sebagai parameter indeks vegetasi karena hasil
ukuran dari band ini dipengaruhi oleh penyerapan klorofil, peka
terhadap biomassa vegetasi serta memudahkan dalam pembedaan
antara lahan bervegetasi, lahan terbuka dan air. Pada daratan non-
vegetasi, tidak akan menunjukkan perbandingan nilai rasio yang
tinggi. Sebaliknya, pada wilayah bervegetasi sangat rapat dan
dalam kondisi sehat, perbandingan nilai kedua kanal tersebut akan
sangat tinggi (Sudiana dan Elfa 2008). Variasi nilai indeks vegetasi
berkisar antara -1 dan +1. Variasi nilai indeks vegetasi ini
mencerminkan kondisi, jenis dan karakteristik vegetasi
(Danoedoro 1996). Nilai indeks vegetasi bernilai positif apabila
permukaan vegetasi lebih banyak memantulkan radiasi pada
gelombang inframerah dekat dibandingkan dengan gelombang
cahaya tampak. Indeks vegetasi yang bernilai nol apabila
pemantulan energi yang direkam oleh gelombang inframerah dekat
sama dengan gelombang cahaya tampak, hal ini sering terjadi di
daerah pemukiman, tanah berair, daratan non vegetasi dan awan.
Sedangkan, indeks vegetasi bernilai negatif apabila permukaan
awan dan air lebih banyak memantulkan energi gelombang cahaya
tampak dibandingkan gelombang inframerah dekat (Kushardono
13

1999). Untuk mengetahui tingkat kerapatan mangrove, dapat


mengacu pada Tabel 2.2 di bawah ini:
Tabel 2.2 Tingkat Kerapatan Mangrove Berdasarkan Rentang
Nilai NDVI (Sumber: ENDELEO 2019)

Kesehatan Tanaman dan


Nilai NDVI
Kerapatan Tanaman
0,72 - 0,92 Sangat Baik
0,42 - 0,72 Baik
0,22 - 0,42 Normal
0,12 - 0,22 Buruk
-0,1 - 0,12 Sangat Buruk

2.4 Penginderaan Jauh


Menurut Lillesand dkk. (1979), definisi dari penginderaan jauh
merupakan suatu ilmu dan seni untuk memperoleh informasi
tentang obyek, daerah atau fenomena dengan cara menganalisa
data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak
langsung terhadap obyek, daerah atau gejala yang dikaji. Selain itu,
penginderaan jauh merupakan suatu teknologi yang mampu
mengatasi permasalahan pengukuran data untuk informasi yang
cepat. Sedangkan, menurut Curran (1985), penginderaan jauh
merupakan suatu pengukuran atau perolehan data pada obyek di
permukaan bumi dari satelit atau instrumen lain di atas atau jauh
dari obyek yang diamati.
Sistem penginderaan jauh terdiri dari beberapa komponen yang
saling terhubung dalam satu kesatuan (Kusumowidagdo 2007).
Adapun komponen tersebut terdiri dari sumber tenaga, atmosfer,
obyek, sensor dengan wahana, pengolahan data, intepretasi atau
analisis dan pengguna, seperti pada Gambar 2.4 berikut.
14

Gambar 2.4 Komponen Penginderaan Jauh (Sumber:


Kusumowidagdo 2007)

Adapun sumber tenaga penginderaan jauh berupa tenaga


elektromagnetik. Tenaga elektromagnetik ini terdiri dari berkas
spektrum (sinar) dengan ukuran gelombang yang bervariasi.
Menurut Kusumowidagdo dkk. (2007) sinar tampak mata adalah
sinar yang dapat dilihat oleh mata normal manusia. Data
penginderaan jauh digital (citra digital) direkam dengan
menggunakan sensor non-kamera. Sinar yang tampak mata
memiliki panjang gelombang 0,4-0,7 μm. Dari sumber energinya,
satelit penginderaan jauh dibagi menjadi satelit pasif dan aktif.
Satelit penginderaan jauh aktif menggunakan sumber energi
buatan, yakni dengan panjang gelombang elektromagnetik serta
kamera sensor elektromagnetik. Sedangkan, satelit penginderaan
juah pasif menggunakan sumber energi alam (matahari), yakni
menggunakan panjang gelombang elektromagnetik dan sensor
fotografik. Penginderaan jauh juga dapat dimanfaatkan dalam hal
pemantauan vegetasi mangrove, karena didasarkan pada dua sifat
penting yaitu bahwa mangrove mempunyai zat hijau daun
(klorofil) dan mangrove tumbuh di wilayah pesisir. Sifat optik
klorofil sangat khas karena klorofil mampu menyerap spektrum
sinar merah dan memantulkan kuat spektrum hijau. Penginderaan
15

jauh merupakan teknologi yang cepat dan efisisen untuk


pengelolaan ekosistem mangrove yang banyak terdapat di wilayah
pesisir, dimana pengukuran lapangan di wilayah tersebut sulit
dijangkau dan membutuhkan biaya yang mahal (Vaiphasa 2006).
2.5 Resolusi Temporal
Citra satelit terdiri dari beberapa resolusi, yaitu resolusi spasial,
resolusi radiometrik dan resolusi temporal. Resolusi temporal
merupakan lamanya waktu bagi sensor satelit untuk merekam
daerah yang sama dalam satuan hari. Semakin banyak jumlah hari
yang diperlukan untuk merekam daerah yang sama, maka resolusi
temporalnya akan semakin rendah. Dan sebaliknya, semakin
sedikit jumlah hari yang diperlukan untuk merekam daerah yang
sama, maka resolusi temporalnya akan semakin tinggi (Syah
2010).
Selain itu, resolusi temporal juga diartikan sebagai frekuensi
perekaman ulang Kembali ke daerah yang sama pada rentang
waktu tertentu. Satuan rentang waktu pengulangan perekaman ke
daerah yang sama dinyatakan dalam jam atau hari (Suwargana
2013).
2.6 Citra Satelit Sentinel 2A
Sentinel 2A merupakan satelit observasi bumi milik European
Space Agency (ESA) yang diluncurkan pada tanggal 23 Juni 2015
di Guiana Space Centre, Kourou, French Guyana, menggunakan
kendaraan peluncur Vega. Satelit ini merupakan salah satu dari dua
satelit pada Program Copernicus yang telah diluncurkan dari total
perencanaan sebanyak 6 satelit. Sebelumnya, telah diluncurkan
satelit Sentinel 1A yang merupakan satelit radar pada tanggal 3
April 2014. Setelah peluncuran satelit Sentinel 2A, dilanjutkan
dengan peluncuran satelit Sentinel 2B pada tahun 2017 (ESA
2015).
Satelit Sentinel 2A dilengkapi instrumen multispektral dengan
13 saluran spektral dari saluran cahaya tampak, inframerah dekat,
16

serta gelombang pendek inframerah. Satelit yang direncanakan


dapat bertahan selama 7 tahun ini, mempunyai resolusi spasial 10
meter (untuk band-band cahaya tampak dan inframerah dekat), 20
meter dan 60 meter (untuk band-band gelombang inframerah dekat
dan gelombang pendek inframerah). Berikut merupakan tabel
spesifikasi kanal pada citra Sentinel 2A:
Tabel 2.3 Spesifikasi Citra Sentinel 2A (Sumber: ESA 2012)

Panjang Resolusi
No.
Gelombang Kategori Spasial Kegunaan
Band
(nm) (m)
1 443 Costal 60 Studi pesisir
Aerosol dan aerosol
2 490 Blue 10 Melihat fitur
permukaan air /
kolom air
dangkal,
batimetri
3 560 Green 10 Studi vegetasi
di laut & di
darat, serta
sedimen
4 665 Red 10 Membedakan
mineral dan
tanah (studi
geologi)/lereng
vegetasi
5 705 Vegetation 20 Vegetasi
Red Edge spektral untuk
menilai status
vegetasi
6 740 Vegetation 20 Vegetasi
Red Edge spektral untuk
menilai status
vegetasi
17

Panjang Resolusi
No.
Gelombang Kategori Spasial Kegunaan
Band
(nm) (m)
7 783 Vegetation 20 Vegetasi
Red Edge spektral untuk
menilai status
vegetasi
8 842 NIR 10 Studi konten
biomassa dan
garis pantai
8a 865 Vegetation 20 Vegetasi
Red Edge spektral untuk
menilai status
vegetasi
9 945 Water 60 Studi deteksi
Vapour uap air (water
vapour)
10 1380 SWIR- 60 Peningkatan
Cirrus deteksi
kontaminasi
awan cirrus
11 1610 SWIR 20 Studi deteksi
kandungan air
tanah dan
vegetasi
12 2190 SWIR 20 Studi deteksi
kandungan air
tanah dan
vegetasi

Citra satelit Sentinel 2A tersedia dalam beberapa tipe produk,


yaitu level-0, level-1A, level-1B, level-1C dan level-2A. Berikut
merupakan penjelasan dari masing-masing level tersebut:
18

a. Level-0
Produk level-0 tidak dirilis ke pengguna. Produk level-
0 merupakan data citra mentah yang dikompresi dalam
format Instrument Source Packet (ISP). Produk level-0
merupakan produk yang akan membentuk dasar dari
produk level-1 berikutnya. Produk level-0 terdiri dari
struktur metadata yang menggambarkan produk level-0,
seperangkat ISP beranotasi yang konsisten sesuai dengan
data citra yang dikompresi dan paket sumber tambahan
beranotasi yang relevan. Paket sumber tambahan berisi
data tambahan yang diperlukan untuk pemrosesan
selanjutnya ke tingkat produk yang lebih tinggi,
khususnya, informasi yang diperlukan untuk menghitung
model geometri yang terkait. Data tambahan ini akan
mencakup data korelasi waktu (sampel pada 1 Hz), data
ephemeris dan attitude serta data termal (ESA 2015).

b. Level-1A
Produk level-1A tidak dirilis ke pengguna. Produk
level-A diperoleh dengan mendekompresi data citra
mentah level-0. Pada produk level-1A, model geometrik
dikembangkan, memungkinkan piksel apapun pada citra
ditempatkan. Koordinat piksel level-1A merujuk ke pusat
setiap piksel.

c. Level-1B
Produk level-1B adalah level produk terendah yang
tersedia bagi pengguna. Produk level-1B memberikan citra
yang dikoreksi secara radiometrik dalam nilai radian Top
Of Atmosphere (TOA) dan dalam geometri sensor. Selain
itu, produk ini mencakup geometri halus yang digunakan
untuk menghasilkan produk Level-1C. Koordinat piksel
Level-1B merujuk ke pusat setiap piksel (ESA 2015).
19

d. Level-1C
Produk level-1C merupakan produk yang sudah ter-
orthorektifikasi dalam proyeksi UTM/WGS84. Produk
level-1C dihasilkan dari penggunaan Digital Elevation
Model (DEM) untuk memproyeksikan citra dalam
koordinat kartografi. Pengukuran radiometrik per piksel
disediakan dalam reflektan Top Of Atmosphere (TOA)
dengan semua parameter untuk mengubahnya menjadi
radian.
Produk-produk level-1C dilakukan resampled dengan
Ground Sampling Distance (GSD) konstan 10, 20 dan 60
m tergantung pada resolusi asli dari spektral band yang
berbeda. Dalam produk level-1C, koordinat piksel
merujuk ke sudut kiri atas piksel. Produk-produk level-1C
juga akan mencakup data daratan/perairan, cloud masks
dan ECMWF (kolom total ozon, kolom total uap air dan
tekanan mean sea level) (ESA 2015).
Citra satelit Sentinel 2A Level 1C dapat digunakan
untuk kajian-kajian monitoring tutupan lahan, termasuk
vegetasi dan area pantai (Emma 2017)

e. Level-2A
Produk level-2A menyediakan citra reflektan Bottom
Of Atmosphere (BOA) yang berasal dari produk level-1C
yang terkait. Oleh karena itu, setiap produk level-2A juga
terdiri dari 100 km2 petak dalam geometri kartografi
(proyeksi UTM/WGS84).
Produk level-2A tidak dihasilkan secara sistematis di
ground segment. Generasi level-2A dapat dilakukan oleh
pengguna melalui Sentinel-2 Toolbox menggunakan input
produk Level-1C yang terkait (ESA 2015).
2.7 Koreksi Atmosfer
Menurut Ekadinata dkk. (2008) dalam Kristianingsih, Wijaya,
dan Sukmono (2016), koreksi atmosfer merupakan salah satu
algoritma koreksi radiometrik yang relatif baru. Koreksi atmosfer
20

dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai parameter


atmosfer dalam proses koreksi, termasuk faktor musim dan iklim
di lokasi perekaman citra, seperti tropis, sub-tropis dan lainnya.
Kelebihan pada koreksi atmosfer adalah mampu memperbaiki
gangguan atmosfer, seperti kabut tipis, asap dan lain-lain.

Gambar 2.5 Pengaruh Atmosfer Terhadap Data Citra (Sumber:


Jaelani 2016)

Pada Gambar 2.5 di atas, memperlihatkan bahwa atmosfer


memengaruhi gelombang elektromagnetik dari matahari ke obyek
dan dari obyek ke sensor satelit. Sehingga, menyebabkan
terjadinya kesalahan pada data citra, dimana data yang diperoleh
tidak sama dengan data yang diinginkan. Kesalahan tersebut dapat
diminimalisasi dengan melakukan koreksi atmosfer.
Gangguan pada atmosfer (noise) secara umum dibagi menjadi dua,
yaitu:
1. Gangguan yang disebabkan oleh molekul, yang disebut
sebagai Rayleigh scattering.
2. Gangguan yang disebabkan oleh partikel, yang disebut
sebagai mie scattering atau aerosol scattering.
21

Produk citra Sentinel 2A Level 1C merupakan produk yang


tersedia dalam reflektan Top of Atmosphere (TOA), yaitu reflektan
yang tertangkap oleh sensor satelit yang diperoleh melalui proses
kalibrasi radiometrik. Sehingga, dapat langsung dilanjutkan
dengan tahapan koreksi atmosfer. Koreksi atmosfer dilakukan pada
software pengolah citra Sentinel menggunakan plugins Sen2Cor.
Sen2Cor merupakan prosesor untuk generasi dan pemformatan
produk Sentinel 2A Level 2A yang melakukan koreksi atmosfer,
koreksi medan dan cirrus dari data input Top of Atmosphere Level
1C. Sen2Cor menciptakan citra yang terkoreksi reflektan dari
terrain dan cirrus. Proses akan dilakukan otomatis oleh software
(Luthfina, Sudarsono, dan Suprayogi 2019).
2.8 Klasifikasi Citra
Klasifikasi citra merupakan suatu proses yang dilakukan untuk
mengelompokkan suatu objek pada citra dengan cara
mengidentifikasi kenampakan objek pada citra (Lillesand dan
Kiefer 1990). Metode klasifikasi yang biasa digunakan, yaitu :
I. Klasifikasi Tidak Terbimbing (Unsupervised
Classification)
Klasifikasi tak terbimbing merupakan proses
pengkelasan yang didasarkan pada informasi gugus-gugus
spektral yang tidak bertumpang susun pada ambang jarak
(threshold distance) tertentu pada saluran-saluran yang
digunakan. Hasil dari klasifikasi belum diketahui
identitasnya karena didasarkan hanya pengelompokan
secara natural. Untuk menentukan identitas yang tepat,
hasil klasifikasi dibandingkan dengan data referensi
berupa data penggunaan lahan. Pemberian nama kelas
memerlukan pengetahuan mengenai jenis penutupan lahan
yang terdapat pada daerah tersebut. Apabila tidak,
diperlukan data referensi ataupun data survei (Howard
1996).
22

II. Klasifikasi Terbimbing (Supervised Classification)


Klasifikasi terbimbing membutuhkan suatu luasan areal
yang merupakan perwakilan kelas-kelas yang ditentukan.
Secara umum, penggambaran areal tersebut dikenal
dengan training area. Umumnya penentuan training area
dilakukan berdasarkan hasil pengamatan lapangan atau
berdasarkan penyesuaian dengan peta rupa bumi. Training
area yang telah didapatkan tersebut, kemudian dapat
dijadikan sebagai masukan dalam proses klasifikasi untuk
keseluruhan citra. Salah satu algoritma yang sering
digunakan dalam klasifikasi terbimbing adalah Maximum
Likelihood Classification. Dalam algoritma ini,
diasumsikan bahwa obyek yang homogen atau sama akan
selalu menampilkan histogram nilai kecerahan yang
terdistribusi normal. Pada citra yang dihasilkan, masing-
masing kelas penutupan akan menghasilkan penampakan
yang khas dan berbeda dari penampakan kelas lainnya
(Lillesand dan Kiefer 1990).
2.9 Uji Akurasi Hasil Klasifikasi
Kualitas hasil klasifikasi tutupan lahan dari data penginderaan
jauh diukur menggunakan referensi test data yang merupakan
sebagian informasi citra di dalam area citra target klasifikasi. Test
data dibuat melalui digitasi citra berdasarkan referensi dari
informasi survei lapangan (ground check) dan/atau dari interpretasi
menggunakan data penginderaan jauh yang memiliki resolusi
spasial lebih tinggi. Pembuatan test data sama seperti pembuatan
training data, namun area test data lebih luas dibandingkan
training data. Area yang digunakan test data tidak boleh sama
dengan area training data (Kushardono 2017).
Akurasi hasil klasifikasi diukur dengan menggunakan
perhitungan confusion matrix. Confusion matrix merupakan tabel
perbandingan kelas-kelas aktual dari test data dengan kelas-kelas
23

hasil klasifikasi. Melalui metode confusion matrix, dapat diperoleh


indikator-indikator akurasi dan kesalahan pada hasil klasifikasi.
Penentuan akurasi hasil klasifikasi untuk setiap kelas dibagi ke
dalam dua kelompok, yaitu Producer’s Accuracy dan User’s
Accuracy. Producer’s Accuracy mengindikasikan bagaimana
training area dari suatu kelas diklasifikasikan, atau rasio kelas
yang terklasifikasikan terhadap kelas (data) yang sebenarnya di
lapangan. Sedangkan, User’s Accuracy mengindikasikan
kebenaran kuantitatif setiap kelas pada hasil klasifikasi dengan
kelas (data) sebenarnya di lapangan (ground check) (Muhsoni
2015).
Kemudian, Ommission Error (kebalikan dari Producer’s
Accuracy) menyatakan kuantitas atau persentase suatu kelas yang
ada di lapangan tetapi tidak terklasifikasikan sebagai kelas itu.
Commision Error (kebalikan dari User’s Accuracy) menyatakan
persentase suatu atau beberapa kelas lain yang ikut terpetakan
sebagai kelas tertentu yang sebenarnya bukan merupakan kelas itu
di lapangan (Lillesand dkk. 2004).
Ukuran akurasi hasil klasifikasi yang sering dijadikan sebagai
indikator adalah akurasi keseluruhan (overall accuracy). Indikator
lain yang digunakan untuk megukur akurasi hasil klasifikasi adalah
koefisien kappa, yaitu perbandingan nilai akurasi keseluruhan
dengan akurasi yang diharapkan (expected accuracy). Nilai
koefisien kappa berkisar antara 0,1 hingga 1. Apabila nilainya
semakin mendekati 1, maka kelas hasil klasifikasi dengan kelas test
data semakin identik atau akurat.
Nilai dari koefisien kappa dapat diinterpretasikan dengan
keeratan kesepakatan (strength of agreement) sebagai berikut:
24

Tabel 2.4 Interpretasi Koefisien Kappa (Sumber: Altman 1991)

Keeratan Kesepakatan
Nilai Koefisien Kappa
(strength of agreement)
0,00 – 0,20 Rendah (poor)
0,21 – 0,40 Lumayan (fair)
0,41 – 0,60 Cukup (moderate)
0,61 – 0,80 Kuat (good)
0,81 – 1,00 Sangat kuat (very good)

2.10 Metode Analisis Data


2.10.1 Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk menguji apakah data
berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas perlu dilakukan
sebelum melakukan analisis parametrik, seperti analisis
korelasi Pearson, uji beda dua rata-rata, analisis varian satu
arah, dan sebagainya. Normalitas data merupakan syarat utama
yang harus dipenuhi dalam analisis parametrik. Normalitas data
merupakan hal yang penting. Hal ini dikarenakan dengan data
yang berdistribusi normal, maka data tersebut dianggap dapat
mewakili populasi. Pada penelitian ini akan dilakukan uji
normalitas dengan menggunakan metode uji Lilliefors
(Purnomo 2016).
2.10.2 Analisis Korelasi Sederhana
Analisis korelasi sederhana digunakan untuk mengukur
hubungan antara dua variabel. Dalam perhitungan korelasi akan
didapatkan koefisien korelasi yang menunjukkan tingkat
hubungan beserta arahnya (Anjasmara 2019). Nilai koefisien
korelasi berkisar antara -1 sampai +1. Semakin mendekati 1
maka tingkat korelasi antara dua variabel semakin kuat.
Sedangkan, semakin mendekati nol maka tingkat korelasi
25

antara dua variabel semakin rendah. Tanda koefisien korelasi


menunjukkan arah hubungan. Tanda (+) menunjukkan
hubungan yang searah, sehingga apabila salah satu variabel
mengalami peningkatan, maka variabel lain juga mengalami
peningkatan. Sehingga, dapat dikatakan bahwa kedua variabel
tersebut mempunyai korelasi yang positif. Sebaliknya, tanda
negatif (-) menunjukkan hubungan yang berkebalikan, yaitu
apabila salah satu variabel mengalami peningkatan, maka
variabel yang lain mengalami penurunan. Sehingga, dapat
dikatakan bahwa kedua variabel tersebut mempunyai korelasi
yang negatif. Pada penelitian ini akan dilakukan analisis
korelasi Pearson atau dikenal juga dengan korelasi product
moment.
Analisis korelasi Pearson merupakan analisis untuk
mengukur keeratan hubungan secara linier antara dua variabel
yang mempunyai distribusi normal (Purnomo 2016). Adapun
rumus untuk menghitung koefisien korelasi (𝑟) menurut
(Ratnasari dan Sukojo 2017) adalah sebagai berikut:

𝑛(∑ 𝑥𝑦) − (∑ 𝑥)(∑ 𝑦)


𝑟= (2.2)
√[𝑛(∑ 𝑥 2 ) − (∑ 𝑥)2 ][𝑛(∑ 𝑦2 ) − (∑ 𝑦)2 ]

Keterangan:
𝑟 = nilai koefisien korelasi
𝑥 = variabel bebas (variabel independen)
𝑦 = variabel terikat (variabel dependen)
𝑛 = jumlah data
26

Kemudian, untuk menentukan keeratan hubungan antara


variabel dependen dan variabel independen dapat mengacu
pada tabel di bawah ini:
Tabel 2.5 Interpretasi Koefisien Korelasi (Sumber: Sugiyono
2008)

Interval Koefisien Tingkat Hubungan


Korelasi (𝒓) antar Variabel
0,000 - 0,199 Sangat Rendah
0,200 - 0,399 Rendah
0,400 - 0,599 Sedang
0,600 - 0,799 Kuat
0,800 - 1,000 Sangat Kuat

2.10.3 Analisis Regresi Linier


Analisis regresi linier dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui pengaruh atau hubungan antara variabel
independen terhadap variabel dependen secara linear. Selain itu,
analisis regresi linier juga digunakan untuk memprediksi suatu
nilai variabel dependen berdasarkan variabel independen. Pada
penelitian ini dilakukan analisis regresi linier sederhana, yaitu
analisis hubungan linear antara satu variabel independen
dengan satu variabel dependen (Purnomo 2016). Berikut
merupakan persamaan regresi linier (Anjasmara 2019):
ŷ = 𝑏0 + 𝑏1 𝑥 (2.3)
Keterangan:
ŷ = Nilai prediksi dari variabel dependen
𝑏0 = Perpotongan garis regresi dengan sumbu y
𝑏1 = Gradien (kemiringan) dari garis regresi
27

Tujuan dari analisis regresi adalah untuk mencari nilai


koefisien 𝑏0 dan 𝑏1 . Hal tersebut dilakukan dengan menentukan
beberapa kriteria untuk mendefinisikan “best-fit” dan kemudian
mengaplikasikan kriteria tersebut secara matematis. Kriteria
yang digunakan biasanya meminimalkan beberapa nilai untuk
membuat garis regresi menjadi sedekat mungkin ke semua titik.
Kriteria meminimalkan jumlah kuadrat dari jarak pada arah
sumbu y ke garis regresi dikenal dengan kriteria kuadrat terkecil
(least square). Kuadrat terkecil meminimalkan selisih antara
nilai pengamatan (y) dengan nilai prediksi (ŷ). Sehingga untuk
menghitung nilai dari parameter 𝑏0 dan 𝑏1 yang memenuhi
kriteria kuadrat terkecil adalah sebagai berikut:
𝑆𝑥𝑦
𝑏1 = ; 𝑏0 = 𝑦̅ − 𝑏1 𝑥̅ (2.4)
𝑆𝑥2
Keterangan:
𝑆𝑥𝑦 = Nilai kovariansi sampel antara variabel x dan y

𝑆𝑥2 = Variansi sampel untuk pengamatan x


𝑦̅ = Rata-rata sampel untuk pengamatan y
𝑥̅ = Rata-rata sampel untuk pengamatan x
2.10.4 Uji t
Uji t digunakan untuk membuktikan hipotesis bahwa
terdapat pengaruh antara variabel independen terhadap variabel
dependen secara parsial. Pengambilan keputusan pada uji t
adalah dengan membandingkan nilai statistik t dengan titik
kritis menurut tabel. Apabila nilai statistik t hasil perhitungan
lebih tinggi dibandingkan nilai t tabel, maka hipotesis alternatif
diterima. Sehingga, dapat dinyatakan bahwa variabel
independen memengaruhi variabel dependen. Apabila uji t
28

diukur secara otomatis menggunakan program pengolah data


statistik, pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan
melihat signifikansi nilai t dalam tabel output. Nilai signifikansi
yang tidak lebih besar dari nilai taraf signifikansi menunjukkan
adanya pengaruh yang signifikan antara kedua variabel
(Ghozali 2011).
2.10.5 Uji Asumsi Klasik Regresi
Uji asumsi klasik digunakan untuk mengetahui apakah
pada model regresi terdapat normalitas residual, autokorelasi
dan heteroskedastisitas. Model regresi linier dapat disebut
sebagai model yang baik apabila model tersebut memenuhi
beberapa asumsi klasik, yaitu data residual terdistribusi normal,
tidak adanya autokorelasi dan heteroskedastisitas. Asumsi
klasik harus terpenuhi agar diperoleh model regresi dengan
estimasi yang tidak bias dan pengujian dapat dipercaya. Apabila
terdapat satu syarat yang tidak terpenuhi, maka hasil analisis
regresi tidak dapat dikatakan bersifat BLUE (Best Linear
Unbiased Estimator) (Purnomo 2016). Oleh karena itu,
sebelum melakukan analisis regresi linier dilakukan uji asumsi
klasik regresi terlebih dahulu seperti berikut:
a. Uji Normalitas Residual
Uji normalitas residual digunakan untuk menguji
apakah nilai residual yang dihasilkan dari regresi
terdistribusi secara normal atau tidak. Model regresi
yang baik adalah yang memiliki nilai residual yang
terdistribusi secara normal. Metode yang digunakan
adalah metode grafik. Sebagai dasar pengambilan
keputusannya, apabila titik-titik menyebar di sekitar
garis dan mengikuti garis diagonal, maka nilai residual
tersebut berdistribusi normal.
29

b. Uji Autokorelasi
Autokorelasi merupakan korelasi antara anggota
observasi yang disusun menurut waktu atau tempat.
Model regresi yang baik apabila tidak terjadi
autokorelasi. Metode yang digunakan adalah
menggunakan uji Durbin Watson (DW test).
Pengambilan keputusan pada uji Durbin Watson adalah
sebagai berikut:
▪ DU < DW < 4-DU maka H0 diterima, artinya
tidak terjadi autokorelasi.
▪ DW < DL atau DW > 4-DL maka H0 ditolak,
artinya terjadi autokorelasi.
▪ DL < DW < DU atau 4-DU < DW < 4-DL,
artinya tidak ada kepastian atau kesimpulan
yang pasti.
Nilai DL dan DU dapat diperoleh dari tabel
statistik Durbin Watson.
c. Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas merupakan varian residual
yang tidak sama pada semua pengamatan di dalam
model regresi. Regresi yang baik apabila tidak terjadi
heteroskedastisitas. Metode yang digunakan adalah
metode grafik, yaitu dengan melihat pola titik-titik pada
grafik regresi. Berikut merupakan kriteria dalam
pengambilan keputusan:
▪ Apabila terdapat pola tertentu, yaitu titik-titik
membentuk suatu pola tertentu yang teratur
(bergelombang, melebar kemudian
menyempit), maka terjadi heteroskedastisitas.
▪ Apabila tidak terdapat pola yang jelas, yaitu
titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka
30

0 pada sumbu y, maka tidak terjadi


heteroskedastisitas.
2.11 Sistem Informasi Geografis
Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sebuah sistem
komputer yang memiliki kemampuan untuk mengambil,
menyimpan, menganalisa dan menampilkan informasi dengan
referensi geografis. Menurut ESRI (1990), sistem informasi
geografis adalah kumpulan terorganisasi dari perangkat keras
komputer, perangkat lunak, data geografi dan personil yang
dirancang secara efisien untuk memperoleh, menyimpan, me-
update, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan semua
bentuk informasi yang bereferensi geografis (Prahasta 2006).
Dengan demikian, aplikasi SIG dapat menjawab beberapa
pertanyaan berkenaan dengan:
a. Lokasi kejadian di lokasi tertentu, contoh: di lereng
gunung, rawan banjir, ada deposit emas, curah hujannya
tinggi, dan sebagainya.
b. Kondisi lokasi jalan mana yang paling macet, besar potensi
tambang yang ada di Kabupaten X dan sebagainya.
c. Kecenderungan/trend tingkat degradasi kawasan hutan
lindung di DAS dan sebagainya.
d. Pola hubungan antara jenis tanah dan produksi tanaman,
pola penyebaran penyakit di sekitar kawasan industri kayu,
dan sebagainya.
e. Simulasi/modeling besar penurunan erosi apabila terjadi
peningkatan luas hutan di hulu sungai.
Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat diuraikan menjadi
beberapa subsistem, yaitu (Prahasta 2006):
31

Gambar 2.6 Diagram Subsistem SIG (Sumber: Prahasta 2009)

a. Data Input (masukan)


Data input merupakan data yang berisi tentang
bagaimana mengumpulkan dan mempersiapkan sebuah
data spasial dan data atribut, sekaligus mengubahnya
menjadi suatu bentuk format data yang dipakai dalam
pengolahan SIG.

b. Data Output (keluaran)


Data output merupakan data yang dapat ditampilkan
secara keseluruhan atau sebagian dari data keluaran yang
dapat berupa bentuk softcopy maupun dalam bentuk
hardcopy.

c. Data Managemen
Data managemen merupakan data hasil dari
pengorganisasian data spasial maupun atribut ke dalam
sebuah basis data sedemikian rupa sehingga mudah di-
update, di-edit dan dipanggil.

d. Data Manipulasi dan Analisis


Data manipulasi dan analisis berisi tentang data-data
yang berupa informasi-informasi yang dapat dihasilkan
oleh SIG, dan didalamnya dilakukan manipulasi dan
pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang
diharapkan.
32

Dalam suatu Sistem Informasi Geografis (SIG) diperlukan


empat komponen untuk melakukan suatu pekerjaan agar saling
bekerjasama. Keempat komponen tersebut adalah sebagai berikut:

a. Perangkat Keras (hardware)


Perangkat keras yang dimaksud adalah semua peralatan
yang diperlukan untuk menunjang pembangunan SIG
seperti seperangkat komputer, yang terdiri atas Central
Processing Unit (CPU), disk drive, plotter/printer, tape
drive dan Visual Display Unit (VDU).

b. Perangkat Lunak (software)


Perangkat lunak berfungsi untuk memasukkan,
menganalisis dan menampilkan informasi SIG. Perangkat
lunak memiliki beberapa kemampuan utama, diantaranya
adalah :
a. Memanipulasi atau menyajikan data geografis
atau peta berupa layer
b. Menganalisis, me-query dan memvisualisasi
geografis
c. Menyimpan data dan mengatur database
d. Graphical User Interface (GUI).

c. Data
Data merupakan bagian yang terpenting dari SIG
karena tanpa adanya data, maka SIG tidak dapat
dimanfaatkan secara optimal. Data yang diperlukan dalam
SIG meliputi peta dan data atribut.

d. Sumber Daya Manusia


Suatu proyek SIG akan berhasil jika di-manage dengan
baik dan dikerjakan oleh orang-orang yang memiliki
keahlian yang tepat pada semua tingkatan.
33

2.12 WebGIS
WebGIS adalah sistem informasi spasial berdasarkan teknologi
Sistem Informasi Geografis (SIG) yang telah berkembang pesat
sejak tahun 1960. WebGIS menggunakan jaringan internet/intranet
sebagai medianya dan akuisisi informasi geografis, penyimpanan,
pengolahan dan analisis sebagai konten utamanya. WebGIS adalah
hasil sampingan dari integrasi teknologi aplikasi SIG dan teknologi
jaringan. WebGIS bersifat ekonomis, real time, visual dan mudah
dioperasikan (Cao 2013).
WebGIS adalah sebuah pola ataupun pendekatan arsitektural
untuk mengimplementasikan SIG modern. WebGIS menggunakan
teknologi web service-standard untuk mengirimkan data dan
menghubungkan komponen-komponen. WebGIS dapat
diimplementasikan pada cloud dan menggunakan server khusus
atau lebih khususnya memanfaatkan dan mengkombinasikan dua
tempat. WebGIS bukan merupakan hal baru, faktanya WebGIS
telah berkembang untuk waktu yang lama. Namun, generasi saat
ini telah meraih bahkan melewati titik dimana inovasi SIG dan
teknologi terkait tidak hanya dapat tercipta tetapi juga menjadi hal
yang penting.
Pada penelitian ini WebGIS dibuat agar dapat diakses secara
online. Sehingga, diharapkan masyarakat dapat mengetahui
informasi mengenai perubahan mangrove di Kabupaten Gresik
berdasarkan kerapatannya dengan lebih mudah dan praktis.
Dengan demikian, diharapkan kesehatan mangrove di Kabupaten
Gresik dapat di-monitoring. Sehingga, kerusakan terhadap
ekosistem mangrove di Kabupaten Gresik dapat dicegah. Tampilan
pada WebGIS didesain agar masyarakat yang awam dapat
mengkonsumsi informasi dengan lebih mudah. Berikut di bawah
ini merupakan desain WebGIS serta fitur-fitur yang akan
ditampilkan pada WebGIS:
34

Gambar 2.7 Desain WebGIS pada Halaman Beranda (Sumber:


Dokumen Pribadi)

Gambar 2.8 Desain WebGIS pada Halaman Peta (Sumber:


Dokumen Pribadi)
35

Gambar 2.9 Desain WebGIS pada Halaman Grafik (Sumber:


Dokumen Pribadi)

Dalam hal pembuatan WebGIS diperlukan unsur-unsur


pendukung. Unsur-unsur pendukung tersebut berupa domain
name, web hosting dan bahasa pemrograman. Domain name atau
yang biasa disebut dengan URL (Uniform Resource Locator)
merupakan sebuah alamat unik di internet yang biasa digunakan
untuk mengidentifikasi sebuah website. Domain name biasanya
diperjualbelikan dengan sistem sewa tahunan. Apabila penyewa
tidak membayar pada tahun berikutnya, maka akan secara otomatis
domain name tidak dapat diakses oleh pengguna (Kuswayatno
2004).
Domain name juga memiliki ekstensi atau akhiran yang
disesuaikan dengan kegunaan serta lokasi keberadaan dari web
tersebut. Contoh domain name berekstensi internasional adalah
.com, .net, .org, .info, .biz, dan masih banyak lagi. Sedangkan,
domain name yang berekstensi di Indonesia adalah .co.id, .ac.id,
.go.id, .mil.id, .or.id, .sch.id, .web.id.
36

Sedangkan, web hosting merupakan tempat dimana data-data


yang berupa file, gambar, video, data email dan database disimpan
yang nantinya akan ditampilkan ke dalam sebuah web. Web hosting
ini juga dapat diperoleh dengan cara menyewa. Semakin besar
ukuran dari web hosting yang disewa, maka semakin besar pula
data yang dapat disimpan dan ditampilkan ke dalam web
(Kuswayatno 2004).
Bahasa pemrograman merupakan bahasa yang digunakan untuk
menerjemahkan setiap perintah pada web saat dijalankan. Jenis
bahasa pemrograman akan menentukan sifat dari web tersebut
(statis, dinamis atau interaktif). Bahasa pemrograman yang biasa
digunakan adalah HTML, ASP, PHP, JSP, Java Scripts, Java
applets, XML, Ajax dan sebagainya. Bahasa dasar yang digunakan
pada web adalah HTML. Sedangkan PHP, ASP, JSP dan lainnya
merupakan bahasa pendukung yang berfungsi sebagai pengatur
dinamis dan interaktifnya sebuah web (Kuswayatno 2004).
2.13 Framework Laravel
WebGIS pada penelitian ini dibuat dengan menggunakan
Framework PHP Laravel. Laravel dirilis di bawah lisensi MIT
dengan kode sumber yang telah disediakan oleh Github. Laravel
dibangun dengan konsep MVC (Model Controller View). Laravel
juga dilengkapi dengan command line tool, yaitu “Artisan” yang
dapat digunakan untuk packaging bundle dan installation bundle
melalui command prompt. Framework Laravel menekankan
fleksibilitas dan kesederhanaan pada desainnya (Aminudin 2015).
Framework Laravel memiliki beberapa kelebihan, antara lain:
1. Accessible
Framework Laravel dibuat dengan dokumentasi
selengkap mungkin setiap kali merilis versi terbaru.
37

2. Sederhana
Framework Laravel memiliki Eloquent ORM, sehingga
apabila ingin megambil semua data yang terdapat pada
tabel users, maka hanya perlu membuat sebuah class
model bernama user. Dengan begitu, semua data dari tabel
users dapat diakses dengan mudah. Selain itu, Framework
Laravel memiliki kesederhanaan dalam hal routing.

3. Ekspresif
Framework Laravel merupakan framework PHP yang
ekspresif, yang berarti Ketika melihat suatu sintaks
Laravel, programmer akan mengetahui fungsi dan
kegunaan dari sintaks tersebut, meskipun sebelumnya
belum pernah menggunakan ataupun mempelajari.
2.14 Uji Kelayakan Sistem
Penggunaan WebGIS yang telah dibuat harus dilakukan
pengujian terhadap kelayakan sistemnya agar dapat digunakan
secara layak oleh pengguna. Terdapat beberapa metode pengujian
software atau Software Quality Assurance dalam menetapkan
kelayakan suatu software seperti dengan ISO 9126, McCall,
FURPS, Boehm Models, Dromey atau Bayesian (Fahmy 2012).
Setelah sistem ini dinilai layak oleh salah satu metode di atas, maka
sistem ini diharapkan dapat digunakan dengan baik oleh pengguna
(Hidayati 2014).
Pada penelitian ini sistem diuji menggunakan metode pengujian
perangkat lunak dari ISO 9126 dengan menguji dua karakteristik,
yaitu karakteristik functionality dan usability. Setelah sistem diuji,
maka hasilnya akan dianalisis dengan parameter tertentu sehingga
didapatlah hasil apakah sistem ini dapat disebut layak atau tidak
layak untuk digunakan oleh pengguna.
Berikut merupakan penjelasan dari masing-masing karakteristik
pengujian kelayakan sistem ISO 9126:
38

a. Pengujian Functionality
Untuk pengujian karakter functionality dilakukan
dengan pengujian secara black box. Pengujian yang
dilakukan antara lain, apakah fungsi-fungsi yang ada
sesuai dengan yang diharapkan, apakah efek yang
dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan dan apakah
sistem dapat diakses pada PC (Personal Computer)
maupun handphone.

b. Pengujian Usability
Untuk pengujian karakter usability, pengujian yang
dilakukan antara lain, apakah sistem dapat dipahami oleh
pengguna, apakah sistem dapat dipelajari dengan mudah
oleh pengguna dan apakah sistem dapat dijalankan oleh
pengguna. Pengujian untuk karakteristik usability
dilakukan dengan menggunakan kuesioner IBM Computer
Usability Satisfication Quessionaire dari James R. Lewis
(1991) yang terdiri dari 19 pertanyaan dengan 5 skala
untuk mengukur kepuasan pengguna. Untuk perhitungan
hasil kuesioner mengunakan analisis deskriptif.

Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini


adalah :
1. Observasi
Teknik observasi digunakan untuk mengumpulkan data
yang terkait dengan aspek functionality.

2. Kuesioner
Teknik kuesioner digunakan untuk mengumpulkan data
yang terkait dengan aspek usability.

Untuk teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan


teknik analisis deskriptif, yang digunakan pada pengujian
functionality dan pengujian usability. Teknik analisis deksriptif
merupakan statistik yang digunakan untuk menjelaskan suatu data
39

dengan mendeskripsikannya sehingga didapatkan kesimpulan dari


sekelompok data tersebut. Dalam analisis kelayakan software,
digunakan formula menurut Hidayati (2014) sebagai berikut :

𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑜𝑏𝑠𝑒𝑟𝑣𝑎𝑠𝑖


𝑝𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑦𝑎𝑘𝑎𝑛 = 𝑥100%
𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖ℎ𝑎𝑟𝑎𝑝𝑘𝑎𝑛
(2.5)

Selanjutnya, apabila persentase kelayakan sudah didapat maka


dapat ditarik kesimpulan menjadi data kualitatif dengan
menggunakan tabel konversi dari Arikunto (2009) seperti pada
tabel berikut:
Tabel 2.6 Konversi Kualitatif dari Persentase Kelayakan
(Sumber: Arikunto 2009)

Persentase Kelayakan Kriteria

81% - 100% Sangat Baik

61% - 80% Baik

41% - 60% Cukup

21% - 40% Kurang

< 20% Sangat Kurang

2.15 Fotogrametri
Fotogrametri merupakan seni, ilmu dan teknologi untuk
memperoleh informasi mengenai obyek fisik dan lingkungan
melalui proses perekaman, pengukuran dan penafsiran foto udara
(Gularso, Subiyanto, dan Sabri 2013). Istilah fotogrametri berasal
dari kata photos yang berarti sinar, gramma yang berarti sesuatu
yang tergambar dan metron yang berarti mengukur. Sehingga, dari
40

istilah tersebut fotogrametri dapat diartikan sebagai pengukuran


secara grafis dengan menggunakan sinar. Menurut Wolf (1993),
fotogrametri meliputi:
a. Perekaman obyek (pemotretan)
b. Pengukuran gambar obyek pada foto udara
c. Pemotretan hasil ukuran untuk dijadikan bentuk yang
bermanfaat (peta)
Hasil dari fotogrametri adalah foto udara. Pemetaan
fotogrametri menggunakan foto udara sebagai sumber data
utamanya. Kualitas peta atau informasi yang dihasilkan sangat
tergantung dari kualitas metrik maupun kualitas gambar (pictorial
quality) sumber data tersebut. Foto udara didapatkan dengan cara
memotret dengan menggunakan sebuah wahana yang biasanya
berupa balon udara, pesawat, helikopter, gantole, pesawat tanpa
awak dan sebaginya. Pemotretan ini dilakukan dengan menentukan
tujuan pemotretan, menentukan jalur terbang dan menentukan arah
penerbangan.
Terdapat beberapa jenis pemotretan foto udara, yaitu
pemotretan udara secara tegak (vertikal), pemotretan udara secara
condong (oblique) dan pemotretan udara sangat condong (high
oblique). Pemotretan udara secara tegak dilakukan dengan posisi
pesawat udara yang membawa kamera melakukan pemotretan
secara tegak lurus dengan permukaan bumi. Pemotretan udara
secara condong atau oblique dilakukan dengan sudut pengambilan
gambar agak miring. Hasil pemotretan akan terlihat agak miring
namun tidak menampakkan batas cakrawala. Sedangkan, untuk
pemotretan sangat condong atau high oblique dilakukan dengan
sudut pengambilan gambar yang sangat condong, sehingga
menampakkan garis cakrawala (Wicaksono 2009). Perbedaan jenis
pemotretan foto udara diilustrasikan pada gambar berikut:
41

Gambar 2.10 Jenis Pemotretan Foto Udara (Sumber: Wicaksono


2009)

Ketinggian pesawat udara terhadap permukaan bumi pada saat


pemotretan juga memengaruhi skala foto udara yang dihasilkan.
Semakin tinggi pesawat udara, maka akan menghasilkan skala foto
udara yang relatif kecil namun cakupan wilayahnya cukup luas,
akan tetapi obyek yang tampak menjadi tidak begitu detil. Apabila
pemotretan dilakukan menggunakan ketinggian rata-rata, maka
hasil foto udara memiliki cakupan wilayah yang cukup luas dan
obyek tampak lebih detil (Wicaksono 2009).
Terdapat dua jenis foto udara, yaitu foto udara pankromatik dan
foto udara inframerah. Gambar berikut menunjukkan contoh hasil
foto udara pankromatik dan inframerah:
42

Gambar 2.11 Foto Udara Pankromatik Sebagian Kota Samarinda


(Sumber: Sholichin 2012)

Gambar 2.12 Foto Udara Inframerah Area Tambak di Kecamatan


Ujung Pangkah (Sumber: Dokumen Pribadi)
43

Selain dua jenis foto udara di atas, menurut Sutanto (1986),


berdasarkan kepekaan filmnya maka foto udara dibedakan atas:
a. Foto ultraviolet adalah film yang mempunyai kepekaan
terhadap panjang gelombang antara 0,3 𝜇𝑚 - 0,4 𝜇𝑚.
Saluran ultraviolet medium (0,3 𝜇𝑚 - 0,2 𝜇𝑚) dan saluran
ultraviolet jauh (0,2 𝜇𝑚 - 0,02 𝜇𝑚) hingga saat ini belum
dapat digunakan untuk penginderaan jauh.
b. Foto ortokromatik dibuat dengan film ortokromatik yang
peka terhadap panjang gelombang 0,4 𝜇𝑚 - 0,56 𝜇𝑚.
c. Foto pankromatik hitam putih adalah film yang
mempunyai kepekaan panjang gelombang antara 0,36 𝜇𝑚
- 0,72 𝜇𝑚. Kepekaannya hampir sama dengan kepekaan
mata manusia.
d. Foto pankromatik berwarna adalah film yang terdiri dari
tiga emulsi, yaitu lapis atas yang peka biru, lapis tengah
yang peka hijau dan biru, dan lapis bawah yang peka
merah dan biru, umumnya diproses menjadi film negatif
dan positif.
e. Foto inframerah hitam putih adalah film yang terdiri dari
satu emulsi yang diikatkan pada alas dan penguatnya. Film
inframerah hitam putih peka terhadap saluran ultraviolet
dekat, spektrum tampak dan saluran inframerah dekat
hingga panjang gelombang 0,9 𝜇𝑚 - 1,2 𝜇𝑚.
f. Foto inframerah berwarna adalah film yang dirancang
untuk merekam saluran hijau, saluran merah dan saluran
inframerah hingga panjang gelombang 0,9 𝜇𝑚.
Foto multispektral adalah penginderaan objek dengan
menggunakan lebih dari satu spektrum elektromagnetik yang
penginderaannya dilakukan pada saat yang sama dan dari tempat
serta ketinggian yang sama dan merupakan keluaran penginderaan
jauh multispektral dengan cara fotografik.
44

2.16 Unmanned Aerial Vehicle (UAV)


Unmanned Aerial Vehicle (UAV) merupakan sistem tanpa
awak (Unmanned System), yaitu sistem berbasis elektromekanik
yang dapat melakukan misi-misi terprogram, dengan karakteristik,
yaitu tanpa awak pesawat dan beroperasi pada mode mandiri
(autopilot) baik secara penuh atau sebagian. Sistem ini dirancang
untuk dapat dipergunakan secara berulang (Wikantika 2009).
Sistem pemotretan udara terdiri dari dua bagian, yaitu sistem pada
pesawat RC dan sistem pada ground station. Sistem pada pesawat
RC antara lain berupa perangkat bantu navigasi dan perangkat
pemotretan udara.
Kelebihan utama dari UAV dibandingkan dengan pesawat
berawak adalah bahwa UAV dapat digunakan pada situasi dengan
resiko tinggi tanpa perlu membahayakan nyawa manusia, pada area
yang tidak dapat diakses dan terbang pada ketinggian rendah
dibawah awan sehingga foto yang dihasilkan terbebas dari awan.
Selain itu, salah satu faktor kelebihan UAV adalah biaya. Harga
perangkat UAV dan biaya operasionalnya jauh lebih murah jika
dibandingkan dengan pesawat berawak. Dengan
diimplementasikannya perangkat GPS/INS unit navigasi maupun
stabilisasi memungkinkan kegiatan penerbangan yang presisi
(sesuai dengan rencana terbang) sekaligus menjamin terpenuhinya
cakupan area dan overlap foto yang diinginkan (Subakti 2017).
Keterbatasan dari UAV dibatasi oleh dimensi dari UAV itu
sendiri. Karena dimensi UAV yang kecil membatasi kemampuan
beban muatan yang dapat dibawa. Sehingga, biasanya digunakan
sensor atau perangkat kamera yang beratnya ringan berupa kamera
format kecil. Karena format kecil ini tentunya bukan perangkat
kamera dengan sensor yang dirancang untuk melakukan
pemotretan udara secara akurat, sehingga menghasilkan kualitas
gambar yang lebih rendah baik dari sisi resolusi, stabilitas dan
tingkat akurasi. Selain itu, daya jelajah dan tinggi terbang UAV
juga terbatas karena kemampuan mesinnya yang memang tidak
dirancang untuk terbang jarak jauh dan tinggi (Subakti 2017).
45

2.17 Penelitian Terdahulu


Berdasarkan penelitian dari Emiyati dan Budhiman (2015)
dengan judul "Analisis Indeks Vegetasi Mangrove Teluk Gerupuk
dan Teluk Ratai Menggunakan Landsat 8" yang dilatarbelakangi
oleh efek perekaman vegetasi mangrove yang sangat erat kaitannya
dengan karakteristik spektral vegetasi mangrove karena
mempunyai ciri spektral khas sehingga untuk mengidentifikasi
vegetasi mangrove dapat dilakukan dengan menggunakan
transformasi indeks vegetasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Emiyati dan Budhiman (2015)
menggunakan beberapa metode untuk analisis indeks vegetasi,
seperti NDVI (Normalized Difference Vegetation Index), GI
(Greeness Index), WI (Wetness Index) dan EVI (Enhanced
Vegetation Index). Indeks vegetasi dicari menggunakan data citra
satelit Landsat 8. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini
menyebutkan bahwa indeks GI dan WI kurang dapat membedakan
kerapatan mangrove di Teluk Gerpuk dan Teluk Ratai
dibandingkan dengan NDVI. Sehingga, hasil yang didapatkan dari
penelitian ini dapat dijadikan dasaran untuk melakukan analisis
terhadap perubahan kerapatan mangrove di Kabupaten Gresik,
yaitu dengan menggunakan indeks vegetasi NDVI yang
perbedaannya terletak pada data yang digunakan, yaitu citra satelit
Sentinel 2A Level 1C. Hal ini dikarenakan citra satelit Sentinel 2A
Level 1C mampu memberikan data dengan resolusi yang lebih baik
dibandingkan citra satelit Landsat 8, yaitu dengan resolusi spasial
10 meter pada band 2, 3, 4 dan 8; resolusi spasial 20 meter pada
band 5, 6, 7, 8A, 11 dan 12; serta resolusi spasial 60 meter pada
band 1, 9 dan 10 (Coluzzi dkk. 2018).
Selain itu, penelitian oleh Faizal dan Amran (2005) yang
berjudul "Model Transformasi Indeks Vegetasi yang Efektif untuk
Prediksi Kerapatan Mangrove Rhizophora Mucronata",
melakukan pengkajian tentang identifikasi jenis dan kerapatan
ekosistem mangrove dengan menggunakan transformasi indeks
vegetasi serta menguji beberapa indeks vegetasi yang untuk
46

memprediksi kerapatan mangrove Rhizophora Mucronata. Indeks


vegetasi yang digunakan adalah NDVI (Normalized Difference
Vegetation Index), GI (Greeness Index) dan WI (Wetness Index).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Faizal dan Amran (2005),
disimpulkan bahwa transfromasi NDVI merupakan transformasi
yang paling efektif digunakan untuk monitoring kondisi dan
kerapatan mangrove Rhizophora Mucronata. Berdasarkan
kesimpulan dari penelitian ini juga dapat dijadikan dasaran untuk
menggunakan indeks vegetasi NDVI untuk menganalisis
perubahan kerapatan mangrove di Kabupaten Gresik.
Kemudian, Hendrawan, Gaol, dan Susilo (2018) melakukan
penelitian dengan menganalisa korelasi antara nilai NDVI
(Normalized Different Vegetation Index) dan persentase tutupan
kanopi mangrove dan mengukur perubahan sebaran mangrove dari
tahun 2005 hingga 2016. Citra satelit yang digunakan adalah
Landsat 5 TM, Landsat 8 OLI dan SPOT 6. Klasifikasi tutupan
lahan dalam penelitian ini menggunakan klasifikasi terbimbing
dengan algoritma maximum likelihood. Dari penelitian yang
dilakukan oleh Hendrawan, Gaol dan Susilo (2018), disimpulkan
bahwa hubungan tutupan kanopi dan NDVI memiliki hubungan
yang positif dan berkorelasi kuat. Metode pengukuran perubahan
sebaran mangrove dari tahun 2005 hingga 2016 menjadi dasaran
penelitian Tugas Akhir yang dibedakan dengan data citra satelit
yang digunakan, yaitu citra satelit Sentinel 2A Level 1C tahun
2016 hingga 2019. Selain itu, metode klasifikasi tutupan lahan
menggunakan klasifikasi terbimbing dengan algoritma maximum
likelihood juga dijadikan dasaran dalam penelitian Tugas Akhir ini.
Hal ini dikarenakan metode klasifikasi maximum likelihood
merupakan metode yang paling populer dalam klasifikasi data citra
penginderaan jauh (Jia dkk. 2011).
Selanjutnya, penelitian terdahulu yang menganalis kesehatan
vegetasi mangrove berdasarkan nilai NDVI (Normalized Different
Vegetation Index) menggunakan teknik penginderaan jauh dengan
menggunakan citra satelit Sentinel 2, dilakukan oleh Kawamuna,
47

Suprayogi, dan Wijaya (2017). Pada penelitian ini menyebutkan


bahwa penginderaan jauh merupakan teknologi yang cepat dan
efisisen untuk pengelolaan ekosistem mangrove yang banyak
terdapat di pesisir, kebanyakan daerah sulit dijangkau, pengukuran
lapangan sulit dilakukan dan biaya yang mahal. Hal ini didukung
oleh banyaknya aplikasi penginderaan jauh untuk studi mangrove
yang berhasil dilakukan khususnya untuk inventarisasi
sumberdaya dan deteksi perubahan mangrove (Vaiphasa 2006).
Selain itu, pada penelitian ini juga menyebutkan bahwa citra satelit
Sentinel 2 memiliki resolusi spasial yang tinggi serta memiliki
cakupan spektrum yang luas. Hal ini menjadikan citra satelit
Sentinel 2 merupakan langkah maju yang besar dibandingkan
dengan multispektral lainnya. Sehingga, penggunaan citra satelit
Sentinel 2 dapat dijadikan dasaran dalam penelitian Tugas Akhir.
Pada Tugas Akhir ini, citra satelit yang digunakan adalah citra
satelit Sentinel 2A Level 1C.
Perkembangan zaman yang semakin maju berpengaruh pada
perubahan teknologi. Perkembangan teknologi tersebut juga
berpengaruh pada dunia Information Technology (IT), salah
satunya adalah dengan munculnya teknologi Geographic
Information System (GIS). Teknologi Geographic Information
System (GIS) telah berkembang pesat. Pada penelitian terdahulu
yang dilakukan oleh Abdullah, Rizal, dan Erliana (2015)
menyebutkan bahwa pengembangan aplikasi GIS kedepannya
mengarah kepada aplikasi berbasis web yang dikenal dengan
WebGIS (Edy dan Tampubolon 2007). WebGIS memberikan
kemudahan dalam mengakses, menyimpan, melakukan editing dan
updating data. Oleh karena itu, berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan oleh Abdullah, Rizal, dan Erliana (2015) akan dibuat
penelitian Tugas Akhir berbasis WebGIS. WebGIS harus melewati
tahap pengujian sehingga sistem ini layak untuk dipakai oleh
pengguna.
48

“Halaman Ini Sengaja Dikosongkan”


BAB III
METODOLOGI

3.1 Lokasi Penelitian


Lokasi penelitian terletak di Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
Secara geografis wilayah Kabupaten Gresik terletak antara
112°0’0’’ sampai 113°0’0” Bujur Timur dan 7°0’0” sampai 8°0’0”
Lintang Selatan dan merupakan dataran rendah dengan ketinggian
2 sampai 12 meter diatas permukaan air laut, kecuali Kecamatan
Panceng yang mempunyai ketinggian 25 meter diatas permukaan
air laut. Wilayah Kabupaten Gresik sebelah Utara berbatasan
dengan Laut Jawa, Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Madura
dan Kota Surabaya, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten
Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto, dan sebelah Barat berbatasan
dengan Kabupaten Lamongan (BPS Kabupaten Gresik 2020).
Penelitian ini dikhususkan pada Kecamatan Ujung Pangkah,
Kecamatan Sidayu, Kecamatan Bungah, Kecamatan Manyar,
Kecamatan Gresik dan Kecamatan Kebomas. Peta lokasi penelitian
skala 1:250.000 dapat dilihat pada Gambar 3.1 di bawah ini,
dimana lokasi penelitian ditunjukkan dengan area berwarna hijau:

49
50

Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian Skala 1:250.000


51

3.2 Data dan Peralatan


3.2.1 Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Citra satelit Sentinel 2A Level 1C Tahun 2016, 2017,
2018 dan 2019 dengan akuisisi data pada masing-
masing citra adalah tanggal 02 Agustus 2016 pukul
02:35:52, tanggal 07 Agustus 2017 pukul 02:35:51,
tanggal 12 Agustus 2018 pukul 02:35:51 dan tanggal 06
September 2019 pukul 02:35:51.

b. Data sampel parameter air dan tanah (pH air, salinitas


air, kadar air tanah, nitrogen (N) tanah, jenis tanah
pasir, jenis tanah lanau dan jenis tanah lempung)
dengan pengambilan sampel tanggal 22 Desember 2019
di titik lokasi 1, 2, 3, 4 dan 5 dan 27 Januari 2020 di
titik lokasi 6 dan 7.

c. Data foto udara inframerah dengan akuisisi data pada


tanggal 02 Desember 2019 dan 03 Desember 2019.

d. Data vektor batas administrasi Kabupaten Gresik yang


diperoleh dari Badan Informasi Geospasial Tahun
2015.
3.2.2 Peralatan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Laptop
b. Kamera IR
c. Unmanned Aerial Vehicle (UAV)
d. GPS Handheld
e. Perangkat lunak pengolah citra
f. Perangkat lunak pengolah data spasial
g. Perangkat lunak pengolah data vektor
h. Perangkat lunak pengolah data statistik
52

i. Perangkat lunak pengolah foto udara


j. Perangkat lunak pengolah kata
k. Perangkat lunak pengolah angka
l. Editor teks
3.3 Metodologi Penelitian
3.3.1 Tahapan Penelitian
Berikut adalah tahapan penelitian tugas akhir yang tertera pada
Gambar 3.2 sebagai berikut:

Gambar 3.2 Diagram Alir Tahapan Penelitian


53

Berikut merupakan penjelasan dari diagram alir tahapan


penelitian :
a. Identifikasi Masalah
Tahap awal dari penelitian ini adalah identifikasi
masalah. Permasalahan dari penelitian ini adalah
meningkatnya persentase kerusakan mangrove
seiring bertambahnya waktu. Salah satunya adalah
ekosistem mangrove di Kabupaten Gresik. Luas
mangrove di Kabupaten Gresik terus mengalami
penurunan. Sehingga, perlu adanya pemantauan
perubahan kerapatan mangrove agar kawasan
mangrove dapat dikelola dengan baik dan tetap dapat
dimanfaatkan secara lestari. Oleh karena itu, perlu
dilakukan analisis kerapatan ekosistem mangrove.
Untuk menghitung kerapatan mangrove dapat
menggunakan algoritma indeks vegetasi NDVI
(Normalized Difference Vegetation Index).

b. Studi Literatur
Studi literatur merupakan tahap pengumpulan
informasi melalui sumber bacaan atau referensi yang
menunjang penelitian, yakni mengumpulkan referensi
terkait citra satelit Sentinel 2A Level 1C, kerapatan
mangrove, algoritma indeks vegetasi NDVI, foto
udara, metode analisis data, WebGIS, dan sebagainya.

c. Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini antara
lain data citra satelit Sentinel 2A Level 1C tahun
2016, 2017, 2018 dan 2019 yang diperoleh secara
gratis pada web USGS. Kemudian, data sampel
parameter air dan tanah berupa pH air, salinitas air,
kadar air tanah, nitrogen (N) tanah, jenis tanah pasir,
jenis tanah lanau dan jenis tanah lempung yang
diambil secara langsung di lokasi penelitian.
54

Kemudian, data foto udara inframerah yang juga


diambil secara langsung di lokasi penelitian dengan
menggunakan kamera IR yang dipasang pada
Unmanned Aerial Vehicle (UAV). Kemudian, data
vektor batas administrasi yang diperoleh dari Badan
Informasi Geospasial (BIG).

d. Pengolahan Data
Pada tahap ini dilakukan pengolahan data untuk
selanjutnya dilakukan analisa. Pengolahan data yang
dilakukan dalam penelitian ini antara lain melakukan
koreksi atmosfer pada citra satelit Sentinel 2A Level
1C tahun 2016, 2017, 2018 dan 2019. Kemudian,
melakukan pemotongan citra berdasarkan batas
administrasi Kabupaten Gresik. Selanjutnya,
melakukan perhitungan algoritma indeks vegetasi
NDVI. Setelah itu, melakukan klasifikasi supervised
menggunakan metode maximum likelihood
classification dan dilanjutkan dengan melakukan
klasifikasi citra berdasarkan rentang nilai NDVI.
Kemudian, melakukan uji korelasi antara NDVI citra
dengan data sampel parameter air dan tanah serta
NDVI foto udara di lapangan.

e. Analisa Korelasi
Dari hasil pengolahan data, kemudian dilakukan
analisa korelasi. Analisa korelasi adalah tahapan
untuk mengetahui hubungan antara NDVI citra
dengan data data sampel parameter air dan tanah di
lapangan serta untuk mengetahui hubungan antara
NDVI citra dengan NDVI foto udara di lapangan.

f. Pembuatan WebGIS
Agar hasil dari penelitian ini dapat diakses oleh
masyarakat umum dengan lebih mudah dan praktis,
55

maka disajikan dalam bentuk WebGIS yang dapat


diakses secara online. WebGIS didesain agar dapat
menampilkan peta kerapatan mangrove sesuai tahun
yang diinginkan (tahun 2016, 2017, 2018 atau 2019).
Pengguna juga dapat menggunakan fitur-fitur seperti
yang terdapat pada Google Maps, yaitu zoom in, zoom
out dan memilih mode tampilan peta, yakni mode
roadmap atau mode satellite. Hal ini dikarenakan
basemap yang digunakan merupakan Google Maps.
Agar memudahkan pengguna yang awam dalam
membaca informasi, peta yang ditampilkan pada
WebGIS disertai dengan legenda.

g. Pembuatan Laporan
Pembuatan laporan dilakukan untuk mengemas
hasil pelaksanaan Tugas Akhir dalam bentuk buku.
3.3.2 Tahapan Pengolahan Data
Berikut adalah tahapan pengolahan data pada penelitian tugas
akhir yang tertera pada Gambar 3.3 sebagai berikut:
56

(a)
57

(b)
58

(c)
Gambar 3.3 Diagram Alir Tahapan Pengolahan Data
59

Berikut merupakan penjelasan dari diagram alir tahapan


pengolahan data :
a. Koreksi Atmosfer
Koreksi atmosfer dilakukan untuk menghilangkan
pengaruh bercampurnya saluran spektral dengan
molekul dan partikel yang ada di atmosfer agar nilai
radian atau reflektan yang diperoleh mendekati nilai
yang diinginkan. Molekul dan partikel di atmosfer
meningkatkan nilai spektral. Hal ini dikarenakan
molekul dan partikel di atmosfer memiliki pantulan
lebih tinggi, sehingga keberadaan molekul dan
partikel ini dapat menimbulkan bias.
Citra satelit Sentinel 2A Level 1C merupakan
produk yang sudah tersedia dalam reflektan Top Of
Atmosphere (TOA). Sehingga, dapat langsung
dilakukan koreksi atmosfer. Namun, masih perlu
dilakukan rekalibrasi. Proses rekalibrasi dilakukan
dengan membagi nilai reflektan dengan
quantification value. Koreksi atmosfer dilakukan
pada software pengolah citra Sentinel menggunakan
plugins Sen2Cor.

b. Pemotongan Citra
Citra satelit Sentinel 2A Level 1C dipotong
berdasarkan data vektor batas administrasi Kabupaten
Gresik agar wilayah penelitian yang diolah lebih
terfokus dan ukuran citra menjadi lebih ringan,
sehingga proses pengolahan menjadi lebih cepat.
Selain itu, pemotongan citra juga dilakukan pada
citra sebaran NDVI yang dihasilkan dari proses
perhitungan algoritma NDVI citra satelit Sentinel 2A
Level 1C. Citra sebaran NDVI dipotong berdasarkan
citra sebaran mangrove yang dihasilkan dari proses
klasifikasi Supervised.
60

c. Perhitungan Algoritma NDVI


Perhitungan algoritma NDVI dilakukan pada citra
satelit Sentinel 2A Level 1C dan data foto udara
inframerah di lapangan. Proses perhitungan algoritma
NDVI membutuhkan dua kanal pada citra maupun
foto, yaitu kanal Near-Infrared (NIR) dan Red.
Dimana pada citra satelit Sentinel 2A Level 1C kanal
Near-Infrared (NIR) merupakan band 8 dan kanal
Red merupakan band 4. Sedangkan, pada foto udara
inframerah kanal Near-Infrared (NIR) merupakan
band 3 dan kanal Red merupakan band 1.

d. Hitung Nilai NDVI


Setelah dilakukan perhitungan algoritma NDVI
pada citra satelit Sentinel 2A Level 1C dan data foto
udara inframerah di lapangan, maka tahapan
selanjutnya adalah menghitung nilai NDVI.
Perhitungan nilai NDVI akan menghasilkan nilai
dengan kisaran -1 hingga +1. Apabila nilai yang
dihasilkan tidak dalam kisaran tersebut, maka
dilakukan perhitungan algoritma NDVI ulang. Nilai
NDVI yang bernilai negatif menunjukkan obyek yang
vegetasinya rendah yang mengidentifikasikan
wilayah badan air, bebatuan dan berpasir.

e. Komposit Band Citra


Citra satelit Sentinel 2A Level 1C tahun 2016,
2017, 2018 dan 2019 yang telah dipotong berdasarkan
batas administrasi, selanjutnya dilakukan komposit
band berdasarkan band 5, 8 dan 12. Pada citra satelit
satelit Sentinel 2A Level 1C, band 5 merupakan kanal
Vegetation Red Edge, band 8 merupakan kanal Near-
Infrared (NIR) dan band 12 merupakan kanal SWIR.
Komposit band pada citra dilakukan untuk
61

memudahkan dalam interpretasi vegetasi mangrove


pada saat melakukan klasifikasi supervised.

f. Klasifikasi Supervised
Citra yang sudah dilakukan komposit band,
kemudian dilakukan klasifikasi menggunakan metode
klasifikasi supervised. Klasifikasi supervised
membutuhkan suatu luasan areal yang merupakan
perwakilan kelas-kelas yang ditentukan. Secara
umum, penggambaran areal tersebut dikenal dengan
training area. Penentuan training area dilakukan
berdasarkan hasil pengecekan lapangan. Metode yang
digunakan pada klasifikasi supervised adalah
Maximum Likelihood Classification. Pada metode ini,
diasumsikan bahwa obyek yang sama akan selalu
menampilkan histogram nilai kecerahan yang
terdistribusi normal.

g. Uji Akurasi
Uji akurasi perlu dilakukan pada hasil klasifikasi
tutupan lahan yang dihasilkan dari proses klasifikasi
supervised. Hal ini bertujuan agar data yang
dihasilkan dapat diterima dengan tingkat akurasi
tertentu. Untuk mengetahui tingkat akurasi data yang
dihasilkan, dapat menggunakan confusion matrix
(matriks kesalahan). Data yang dihasilkan dianggap
akurat apabila nilai uji akurasi Overall Accuracy ≥
70%. Hal ini berdasarkan Perka BIG No. 3 Tahun
2014 tentang Pedoman Teknis Pengumpulan dan
Pengolahan Data Geospasial Mangrove. Apabila
tidak, maka harus dilakukan klasifikasi ulang.

h. Konversi Data Raster ke Data Vektor


Selanjutkan data klasifikasi tutupan lahan yang
masih berupa data raster dikonversi menjadi data
62

vektor. Hal ini dilakukan agar memudahkan dalam


pengambilan kelas tutupan lahan berupa vegetasi
mangrove saja. Data vektor tutupan lahan berupa
vegetasi mangrove dibutuhkan untuk memotong citra
sebaran NDVI yang dihasilkan dari proses
perhitungan algoritma NDVI citra satelit Sentinel 2A
Level 1C.

i. Klasifikasi Citra Berdasarkan Nilai NDVI


Citra diklasifikasikan berdasarkan rentang nilai
NDVI untuk dapat mengetahui tingkat kerapatan
mangrove. Sehingga nilai NDVI yang berada pada
rentang nilai yang sama akan dikelompokkan.
Klasifikasi citra dilakukan pada citra yang telah
memiliki nilai NDVI dan telah dipotong berdasarkan
citra sebaran mangrove yang dihasilkan dari proses
klasifikasi supervised. Rentang nilai NDVI
dikelaskan menjadi lima kelas dengan interval yang
sama untuk mengetahui kerapatan mangrove
tergolong sangat baik, baik, normal, buruk atau sangat
buruk.

j. Identifikasi Nilai Indeks Vegetasi dan Sampel


Lapangan
Citra yang telah diklasifikasikan berdasarkan nilai
NDVI-nya, kemudian dilakukan identifikasi nilai
pada titik sampel di lapangan. Proses ini bertujuan
untuk mengetahui nilai NDVI pada citra dan nilai
sampel parameter air dan tanah, berupa pH air,
salinitas air, kadar air tanah, nitrogen (N) tanah, jenis
tanah pasir, jenis tanah lanau dan jenis tanah lempung
serta nilai NDVI pada foto udara inframerah di
lapangan. Identifikasi nilai dilakukan pada titik
sampel di lapangan.
63

k. Uji Korelasi Indeks Vegetasi dengan Data Lapangan


Uji korelasi dilakukan untuk mengetahui
hubungan antara kerapatan mangrove dengan data di
lapangan. Data tersebut meliputi data sampel
parameter air dan tanah (pH air, salinitas air, kadar air
tanah, nitrogen (N) tanah, jenis tanah pasir, jenis
tanah lanau dan jenis tanah lempung) serta data foto
udara yang dipotret menggunakan kamera IR yang
dipasang pada Unmanned Aerial Vehicle (UAV).
Dari hasil uji korelasi dapat diketahui tiga
alternatif, yaitu apabila nilai r = +1 atau mendekati +1,
maka data di lapangan memiliki pengaruh yang kuat
dan positif terhadap kerapatan mangrove; apabila
nilai r = -1 atau mendekati -1, maka data di lapangan
memiliki pengaruh yang kuat dan negatif terhadap
kerapatan mangrove; dan apabila nilai r = 0 atau
mendekati 0, maka data di lapangan kurang
berpengaruh terhadap kerapatan mangrove, hal ini
berarti bahwa bertambahnya atau berkurangnya
kerapatan mangrove tidak dipengaruhi oleh data di
lapangan.

l. Analisis Korelasi Indeks Vegetasi dengan Data


Lapangan
Pada tahap ini, dilakukan proses analisis dari
hubungan antara uji korelasi NDVI citra dengan data
sampel parameter air dan tanah (pH air, salinitas air,
kadar air tanah, nitrogen (N) tanah, jenis tanah pasir,
jenis tanah lanau dan jenis tanah lempung) serta data
foto udara inframerah di lapangan. Pada tahap ini
dilakukan uji t menggunakan metode regresi untuk
mengetahui apakah antara NDVI citra dengan
64

parameter air dan tanah serta NDVI foto udara


memiliki pengaruh yang signifikan atau tidak.

m. Analisis Kerapatan Mangrove


Pada tahap ini, dilakukan analisis mengenai
penyebab perubahan kerapatan mangrove di lapangan
dari tahun 2016 hingga 2019. Selanjutnya, citra satelit
Sentinel 2A Level 1C yang sudah diklasifikasikan
berdasarkan NDVI di-layout dan disajikan dalam peta
dengan judul “Peta Kerapatan Mangrove” pada tahun
2016-2019”.

n. Konversi Shapefile menjadi GeoJSON


Shapefile peta kerapatan mangrove Kabupaten
Gresik beserta atributnya yang telah dibuat
menggunakan software pengolah data spasial,
dikonversi menjadi GeoJSON menggunakan software
pengolah data vektor. Konversi ke format GeoJSON
dilakukan agar peta kerapatan mangrove dapat
ditampilkan pada WebGIS dengan bantuan kode
Javascript. Keluaran dari software pengolah data
vektor adalah sebuah file dengan tipe .geojson. Agar
dapat digunakan pada web secara online, maka tipe
file diubah menjadi .js. Tahap ini akan menghasilkan
file GeoJSON bertipe .js.

o. Pembuatan User Interface Web


User interface atau antarmuka dari WebGIS
(front-end) dibuat dengan skrip HTML 5, CSS dan
Javascript menggunakan editor teks. Material desain
dari user interface menggunakan Bootstrap 4 jQuery
yang dikenal dengan kemudahan dan keindahan
desainnya. Tahap ini akan menghasilkan halaman
statis (file bertipe HTML) dari web.
65

p. Pembuatan WebGIS
Pembuatan WebGIS (back-end) dibuat dengan
bahasa pemrograman PHP dan ditulis menggunakan
editor teks. Framework PHP yang digunakan adalah
Laravel 5.8. Laravel memiliki konsep arsitektur MVC
(Model View Controller), namun karena WebGIS ini
tidak membutuhkan database, maka WebGIS ini
hanya membutuhkan View dan Controller. View
merupakan halaman PHP yang berisi skrip HTML
dari user interface web, sehingga tahap awal
pembuatan WebGIS adalah membuat View. Tahap
pembuatan View akan menghasilkan halaman dinamis
(file bertipe PHP) web. Setelah selesai membuat View,
tahap selanjutnya adalah membuat Controller.
Controller berperan untuk mengatur logika program,
sehingga View dapat dikendalikan dari Controller.
Tahap selanjutnya adalah mengintegrasikan peta
digital berformat GeoJSON dengan Google Maps.
Google Maps digunakan sebagai basemap dari peta.
Proses integrasi dengan Google Maps dapat
dilakukan dengan Javascript. Tahap terakhir adalah
pembuatan routing agar tiap halaman web dapat
berinteraksi dan memiliki identitas berupa URL.
WebGIS ini terdiri dari 3 halaman utama, yaitu
halaman beranda, halaman peta dan halaman grafik.
Halaman beranda dibuat sebagai halaman awal yang
memuat judul dan deskripsi WebGIS. Kemudian,
halaman peta dibuat untuk memvisualkan peta
dengan Google Maps sebagai basemap-nya. Halaman
grafik dibuat untuk menampilkan tabel dan grafik
korelasi sampel parameter air dan tanah dengan
NDVI citra.
66

q. Uji Functionality
Pengujian functionality dilakukan dengan
pengujian secara black box untuk menguji fungsi
utama yang telah ditetapkan dalam analisis kebutuhan
serta kesesuaian efek yang ditimbulkan. Kemudian,
dilakukan perhitungan persentase kelayakan. Apabila
nilai persentase kelayakan lebih besar atau sama
dengan 80%, maka WebGIS memiliki fitur-fitur yang
berfungsi sangat baik. Apabila tidak, maka harus
dilakukan pembutaan WebGIS ulang.

r. Uji Usability
Pengujian untuk karakteristik usability dilakukan
dengan menggunakan kuesioner IBM Computer
Usability Satisfication Quessionaire dari James R
Lewis (1991) yang terdiri dari 19 pertanyaan dengan
skala 5 untuk mengukur kepuasan pengguna. Untuk
analisis kelayakan sistem, digunakan perhitungan
persentase kelayakan. Apabila nilai persentase
kelayakan lebih besar atau sama dengan 80%, maka
WebGIS memiliki kriteria yang sangat baik untuk
dapat diakses oleh masyarakat umum. Apabila tidak,
maka harus dilakukan pembutaan WebGIS ulang.

s. WebGIS Mangrove Kabupaten Gresik Berdasarkan


Kerapatan Tahun 2016-2019
Tahap akhir setelah dilakukan pengolahan data
dan pembuatan web adalah penyajian data yang
dikemas dalam WebGIS. Penyajian informasi pada
WebGIS dimaksudkan agar informasi tersebut dapat
diakses oleh masyarakat umum dengan lebih mudah
dan praktis. Setelah itu, dilanjutkan dengan
pengemasan laporan Tugas Akhir dalam bentuk buku.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Klasifikasi Mangrove Berdasarkan Kerapatannya


4.1.1 Data Citra
Data citra yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra
satelit Sentinel 2A Level 1C tahun 2016, 2017, 2018 dan 2019.
Citra satelit Sentinel 2A Level 1C tersedia dengan resolusi
spasial yang cukup baik, yaitu dengan resolusi spasial 10 meter
(untuk band-band cahaya tampak dan inframerah dekat), 20
meter dan 60 meter (untuk band-band gelombang inframerah
dekat dan gelombang pendek inframerah. Berdasarkan
Sentinel-2 User Handbook Tahun 2015, citra satelit Sentinel 2A
Level 1C merupakan produk yang sudah ter-ortorektifikasi
dalam proyeksi UTM/WGS84. Produk ini dihasilkan dari
penggunaan Digital Elevation Model (DEM) untuk
memproyeksikan citra dalam koordinat kartografi, sehingga
produk ini sudah terkoreksi geometrik.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada metadata citra
sebagai berikut:

Gambar 4.1 Informasi Akuisisi Data Citra Tahun 2016


(Sumber: Metadata Citra 2016)

67
68

Gambar 4.2 Informasi Akuisisi Data Citra Tahun 2017


(Sumber: Metadata Citra 2017)

Gambar 4.3 Informasi Akuisisi Data Citra Tahun 2018


(Sumber: Metadata Citra 2018)

Gambar 4.4 Informasi Akuisisi Data Citra Tahun 2019


(Sumber: Metadata Citra 2019)
69

4.1.2 Koreksi Atmosfer


Koreksi atmosfer dilakukan pada perangkat lunak pengolah
citra Sentinel menggunakan plugins Sen2Cor. Proses dilakukan
otomatis oleh software. Proses koreksi atmosfer mengubah nilai
reflektan Top of Atmosphere (TOA) menjadi reflektan Bottom
of atmosphere (BOA), sehingga pengaruh dari molekul dan
partikel di atmosfer dapat diminimalisasi dan data yang
diperoleh mendekati data yang diinginkan. Keluaran dari proses
koreksi atmosfer adalah data citra dengan nilai reflektan
berkisar antara 0 hingga 1. Berikut merupakan nilai reflektan
Top of Atmosphere (TOA) dan reflektan Bottom of atmosphere
(BOA) citra:

Gambar 4.5 Nilai Reflektan TOA Citra Tahun 2019 (Sumber:


Hasil Olahan 2020)
70

Gambar 4.6 Nilai Reflektan BOA Citra Tahun 2019 (Sumber:


Hasil Olahan 2020)

4.1.3 Perhitungan Algoritma NDVI Citra


Perhitungan algoritma NDVI pada citra dilakukan pada
perangkat lunak pengolah citra. Perhitungan ini dilakukan
untuk mengetahui nilai NDVI pada citra. Nilai NDVI pada citra
digunakan untuk mengetahui tingkat kerapatan mangrove.
Berikut merupakan hasil perhitungan algoritma indeks vegetasi
NDVI pada citra:
71

Tabel 4.1 Perhitungan Nilai Indeks Vegetasi NDVI pada Citra


(Sumber: Hasil Olahan 2020)

Nilai NDVI pada Citra Sentinel 2A Level 1C


Tahun
Minimum Maximum Mean Standard Deviasi

2016 -0,454 0,950 0,259 0,263

2017 -0,493 0,980 0,298 0,288

2018 -0,290 0,930 0,224 0,241

2019 -0,438 0,978 0,214 0,228

Pada Tabel 4.1 di atas, dapat dilihat bahwa variasi nilai


indeks vegetasi NDVI citra berkisar antara -1 dan +1. Hal ini
menunjukkan bahwa perhitungan nilai indeks vegetasi NDVI
sudah tepat. Kemudian, untuk menghitung variasi atau
simpangan data, dapat dilakukan dengan menghitung nilai
standard deviasi. Semakin kecil nilai standard deviasi yang
didapatkan, maka semakin kecil nilai simpangannya. Hal ini
berarti tingkat presisinya semakin tinggi. Pada Tabel 4.1 dapat
dilihat bahwa nilai standard deviasi pada masing-masing citra
mendekati nol. Hal ini menunjukkan bahwa perhitungan nilai
indeks vegetasi NDVI Citra memiliki simpangan nilai yang
kecil dan tingkat presisi yang tinggi.
4.1.4 Klasifikasi Citra
Klasifikasi citra digunakan untuk menghasilkan data
klasifikasi tutupan lahan. Tutupan lahan terdiri dari empat
kelas, yaitu daerah bervegetasi, daerah non vegetasi, mangrove
dan perairan. Data klasifikasi tutupan lahan digunakan untuk
menghasilkan data vektor sebaran mangrove. Selanjutnya, data
72

vektor sebaran mangrove digunakan untuk memotong data


sebaran NDVI citra, sehingga dihasilkan data NDVI citra
dengan tutupan lahan berupa vegetasi mangrove. Kemudian,
dilakukan klasifikasi citra berdasarkan rentang nilai NDVI pada
data NDVI citra dengan tutupan lahan berupa vegetasi
mangrove untuk menghasilkan data NDVI citra yang
terklasifikasi. Metode yang digunakan untuk melakukan
klasifikasi citra adalah Maximum Likelihood Classification.
Untuk memudahkan dalam interpretasi citra pada saat
melakukan klasifikasi citra, maka citra perlu dilakukan
komposit band terlebih dahulu. Komposit band menghasilkan
citra False Color Composit (FCC) yang dapat memperjelas
obyek pada citra. Pada penelitian ini menggunakan komposit
band 5, 8 dan 12. Dengan menggunakan komposit band ini,
vegetasi mangrove dapat diidentifikasi secara visual dengan
lebih jelas.
Kemudian, untuk menghitung tingkat kebenaran proses
klasifikasi tutupan lahan, maka dilakukan uji akurasi hasil
klasifikasi dengan terlebih dahulu melakukan ground check di
lapangan. Proses ground check di lapangan dilakukan dengan
menyebar titik sampel sebanyak 200 titik yang terdiri dari
daerah bervegetasi, daerah non vegetasi, mangrove dan
perairan. Berikut merupakan peta persebaran titik sampel di
lapangan skala 1:120.000:
73

Gambar 4.7 Peta Persebaran Titik Ground Check di Lapangan


Skala 1:120.000 (Sumber: Hasil Olahan 2020)
74

Selanjutnya, dilakukan perhitungan akurasi hasil klasifikasi


tutupan lahan. Hasil klasifikasi tutupan lahan dapat dikatakan
akurat apabila nilai Overall Accuracy (OA) lebih dari atau sama
dengan 70%. Untuk mengukur tingkat keeratan kesepakatan
(strength of agreement), dapat mengacu pada Tabel 2.4, yaitu
tabel interpretasi koefisien kappa. Nilai Overall Accuracy (OA)
dan koefisien kappa, dapat dihitung dengan menggunakan tabel
confusion matrix. Berikut merupakan tabel confusion matrix
yang digunakan untuk melakukan uji akurasi pada hasil
klasifikasi tutupan lahan:
Tabel 4.2 Confusion Matrix Hasil Klasifikasi Tutupan Lahan
(Sumber: Hasil Olahan 2020)

Hasil Data Lapangan


Total UA (%)
Klasifikasi DB DNV M P
DB 45 0 5 0 50 90,000
DNV 0 44 0 6 50 88,000
M 0 0 50 0 50 100,000
P 1 0 5 44 50 88,000
Total 46 44 60 50 200
OA (%)
PA (%) 97,826 100,000 83,333 88,000
= 91,500
Overall Accuracy (OA) = 91,500%
Koefisien Kappa = 0,887
Keterangan:
DB = Daerah Bervegetasi
DNV = Daerah Non Vegetasi
M = Mangrove
P = Perairan
UA = User’s Accuracy
PA = Producer’s Accuracy
OA = Overall Accuracy
75

Berdasarkan hasil perhitungan uji akurasi pada Tabel 4.2 di


atas, didapatkan nilai Overall Accuracy (OA) sebesar 91,500%.
Berdasarkan Perka BIG No. 3 Tahun 2014 tentang Pedoman
Teknis Pengumpulan dan Pengolahan Data Geospasial
Mangrove, hasil klasifikasi citra dapat dikatakan akurat apabila
nilai Overall Accuracy (OA) lebih dari 70%.
Kemudian, nilai koefisien kappa sebesar 0,887. Mengacu
pada Tabel 2.4, yaitu tabel interpretasi koefisien kappa,
menunjukkan bahwa koefisien kappa dapat diinterpretasikan
dalam kategori sangat kuat (very good), karena nilai koefisien
kappa terletak di antara 0,81 dan 1,00.
Dari total 200 titik sampel di lapangan, 46 titik di antaranya
merupakan daerah bervegetasi, 44 titik berupa daerah non
vegetasi, 60 titik berupa mangrove dan 50 titik berupa perairan.
Pada tutupan lahan mangrove, nilai User’s Accuracy (UA)
sebesar 100,000% dan nilai Producer’s Accuracy (PA) sebesar
83,333%. Hal ini menunjukkan bahwa pada hasil klasifikasi
kelas tutupan lahan mangrove, terdapat obyek mangrove yang
terklasifikasikan sebagai kelas tutupan lahan lain, seperti daerah
bervegetasi dan perairan. Hal ini dikarenakan obyek mangrove
dan daerah bervegetasi memiliki kemiripan dalam segi warna.
Sementara itu, obyek mangrove yang terklasifikasikan sebagai
obyek perairan merupakan obyek mangrove dengan ukuran
kecil yang berada di pinggir tambak (perairan). Namun, secara
keseluruhan nilai User’s Accuracy (UA) dan Producer’s
Accuracy (PA) memiliki nilai yang baik, karena memiliki nilai
yang melebihi 80%. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa hasil
klasifikasi citra dapat digunakan untuk proses selanjutnya.
Proses selanjutnya adalah melakukan perhitungan luasan
mangrove berdasarkan tingkat kerapatannya. Mengacu pada
Tabel 2.2, tingkat kerapatan mangrove dibedakan berdasarkan
76

rentang nilai NDVI-nya menjadi lima, yaitu mangrove sangat


baik, mangrove baik, mangrove normal, mangrove buruk dan
mangrove sangat buruk. Berikut merupakan hasil perhitungan
luasan mangrove berdasarkan tingkat kerapatannya
menggunakan data NDVI citra terklasifikasi:
Tabel 4.3 Luas Mangrove Berdasarkan Tingkat Kerapatannya
(Sumber: Hasil Olahan 2020)

Luas Mangrove Berdasarkan Tingkat


Kerapatan Luas
Tahun Sangat Sangat Total
Buruk Normal Baik (ha)
Buruk Baik
(ha) (ha) (ha)
(ha) (ha)

2016 1,121 15,471 181,682 1238,857 674,763 2111,894

2017 0,101 3,669 227,537 1371,974 975,134 2578,415

2018 0,997 17,631 294,039 1145,729 1075,080 2533,476

2019 0,211 8,210 200,282 1087,667 1027,145 2323,514


77

Luas Mangrove Berdasarkan Tingkat Kerapatan


1600
Luas Kerapatan Mangrove (ha)

1400
1200
1000
800
600
400
200
0
2016 2017 2018 2019
Tahun

Sangat Buruk Buruk Normal Baik Sangat Baik

Gambar 4.8 Luas Mangrove Berdasarkan Tingkat Kerapatan


(Sumber: Hasil Olahan 2020)

Luas Mangrove Total


3000
Luas Mangrove (ha)

2500
2000
1500
1000 Luas Mangrove (ha)
500
0
2016 2017 2018 2019
Tahun

Gambar 4.9 Luas Total Mangrove Tahun 2016-2019 (Sumber:


Hasil Olahan 2020)
78

Pada Tabel 4.3, Gambar 4.8 dan Gambar 4.9 di atas, dapat
dilihat bahwa luasan mangrove pada tahun 2016 hingga 2019
mengalami kenaikan pada tahun 2017 sebesar 22,090%,
kemudian mengalami penurunan pada tahun 2018 sebesar
1,743% dan tetap menurun pada tahun 2019 sebesar 8,288%.
Kemudian, total luasan mangrove dalam kondisi baik dan
sangat baik lebih dominan daripada total luasan mangrove
dalam kondisi normal, buruk dan sangat buruk. Kemudian
untuk mengetahui luas mangrove pada masing-masing
kecamatan, dapat dilihat pada Tabel 4.4 hingga 4.7 di bawah
ini:
Tabel 4.4 Luas Mangrove per Kecamatan Tahun 2016
(Sumber: Hasil Olahan 2020)

Luas Mangrove Berdasarkan Tingkat Luas


Kerapatan Mangrove
Kecamatan Sangat Sangat per
Baik Normal Buruk Kecamatan
Baik Buruk
(ha) (ha) (ha) (ha)
(ha) (ha)
Ujung
665,685 691,349 10,796 0,030 0,000 1367,859
Pangkah

Sidayu 1,725 63,713 5,991 0,050 0,000 71,479

Bungah 4,091 323,759 126,359 4,856 0,371 459,436

Manyar 3,263 158,389 35,470 10,319 0,710 208,150

Kebomas 0,000 1,630 3,010 0,105 0,016 4,761

Gresik 0,000 0,017 0,056 0,112 0,024 0,209


79

Tabel 4.5 Luas Mangrove per Kecamatan Tahun 2017


(Sumber: Hasil Olahan 2020)

Luas Mangrove Berdasarkan Tingkat Luas


Kerapatan Mangrove
Kecamatan Sangat Sangat per
Baik Normal Buruk
Baik Buruk Kecamatan
(ha) (ha) (ha)
(ha) (ha) (ha)
Ujung
732,893 815,356 145,407 1,615 0,071 1695,342
Pangkah
Sidayu 17,024 37,039 10,631 0,136 0,000 64,831
Bungah 158,383 317,248 49,361 1,805 0,030 526,827
Manyar 62,296 190,270 20,356 0,103 0,000 273,025
Kebomas 4,406 11,267 1,305 0,000 0,000 16,978
Gresik 0,132 0,793 0,477 0,010 0,000 1,413

Tabel 4.6 Luas Mangrove per Kecamatan Tahun 2018


(Sumber: Hasil Olahan 2020)
Luas Mangrove Berdasarkan Tingkat Luas
Kerapatan Mangrove
Kecamatan Sangat Sangat per
Baik Normal Buruk
Baik Buruk Kecamatan
(ha) (ha) (ha)
(ha) (ha) (ha)
Ujung
881,009 601,595 141,552 6,825 0,187 1631,168
Pangkah
Sidayu 20,601 37,429 14,670 0,982 0,056 73,739
Bungah 158,176 305,836 83,563 7,143 0,482 555,200
Manyar 15,244 196,334 52,377 2,468 0,157 266,580
Kebomas 0,051 3,728 1,591 0,123 0,000 5,494
Gresik 0,000 0,806 0,285 0,089 0,115 1,295
80

Tabel 4.7 Luas Mangrove per Kecamatan Tahun 2019


(Sumber: Hasil Olahan 2020)

Luas Mangrove Berdasarkan Tingkat Luas


Kerapatan Mangrove
Kecamatan Sangat Sangat per
Baik Normal Buruk
Baik Buruk Kecamatan
(ha) (ha) (ha)
(ha) (ha) (ha)
Ujung
785,362 683,744 123,194 5,291 0,087 1597,678
Pangkah
Sidayu 18,448 26,873 7,703 0,154 0,007 53,185
Bungah 190,392 236,708 36,787 1,428 0,036 465,351
Manyar 32,679 131,864 29,115 1,241 0,080 194,978
Kebomas 0,263 7,649 3,037 0,066 0,000 11,015
Gresik 0,000 0,830 0,446 0,029 0,000 1,306

Pada Tabel 4.4 hingga 4.7, menunjukkan luasan mangrove


per wilayah kecamatan pada tahun 2016- 2019. Dapat dilihat
bahwa wilayah kecamatan yang memiliki hutan mangrove
terluas adalah Kecamatan Ujung Pangkah. Sedangkan, wilayah
kecamatan dengan hutan mangrove paling sedikit adalah
Kecamatan Gresik. Hal ini dikarenakan penggunaan lahan di
wilayah Kecamatan Ujung Pangkah didominasi oleh tanah
tambak seluas 3964,460 hektar dari total luas lahan seluas 9482
hektar. Dengan total luas lahan seluas 9482 hektar, wilayah
Kecamatan Ujung Pangkah memiliki kepadatan penduduk
sebanyak 540,350 jiwa per hektar. Sedangkan, Kecamatan
Gresik yang dikenal sebagai kecamatan terkecil dan terpadat di
Kabupaten Gresik, didominasi oleh penggunaan lahan
terbangun berupa bangunan dan pekarangan seluas 438,360
hektar dari total luas lahan seluas 554 hektar. Dengan total luas
lahan seluas 554 hektar, wilayah Kecamatan gresik memiliki
81

kepadatan penduduk sebanyak 15598,740 jiwa per hektar (BPS


Kabupaten Gresik 2020).
Untuk mengetahui kondisi mangrove berdasarkan kriteria
kesehatannya, dapat mengacu pada Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 tentang Kriteria
Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove sebagai
berikut:
Tabel 4.8 Kriteria Baku Kerusakan Mangrove (Sumber:
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201
Tahun 2004)

Kriteria Penutupan (%) Kerapatan (pohon/ha)


Padat ≥ 75 ≥ 1500
Baik
Sedang ≥ 50 - < 75 ≥ 1000 - < 1500
Rusak Jarang < 50 < 1000

Berikut merupakan kondisi mangrove di Kabupaten Gresik


pada tahun 2016- 2019 berdasarkan kriteria kesehatannya:

Tabel 4.9 Kriteria Kondisi Mangrove Tahun 2016-2019


(Sumber: Hasil Olahan 2020)

Luas Luas
Kriteria
Mangrove Mangrove
Tahun Kecamatan Kondisi
Kondisi Kondisi
Mangrove
Baik (ha) Baik (%)
Ujung
1357,033 99,209 Baik (padat)
Pangkah
Sidayu 65,438 91,548 Baik (padat)
2016 Bungah 327,851 71,359 Baik (sedang)
Manyar 161,652 77,661 Baik (padat)
Kebomas 1,630 34,235 Rusak (jarang)
Gresik 0,017 8,000 Rusak (jarang)
82

Luas Luas
Kriteria
Mangrove Mangrove
Tahun Kecamatan Kondisi
Kondisi Kondisi
Mangrove
Baik (ha) Baik (%)
Ujung
1548,249 91,324 Baik (padat)
Pangkah
Sidayu 54,063 83,391 Baik (padat)
2017 Bungah 475,631 90,282 Baik (padat)
Manyar 252,566 92,507 Baik (padat)
Kebomas 15,673 92,316 Baik (padat)
Gresik 0,925 65,497 Baik (sedang)
Ujung
1482,604 90,892 Baik (padat)
Pangkah
Sidayu 58,030 78,697 Baik (padat)
2018 Bungah 464,012 83,576 Baik (padat)
Manyar 211,577 79,367 Baik (padat)
Kebomas 3,780 68,794 Baik (sedang)
Gresik 0,806 62,258 Baik (sedang)
Ujung
1469,106 91,953 Baik (padat)
Pangkah
Sidayu 45,321 85,214 Baik (padat)
2019 Bungah 427,100 91,780 Baik (padat)
Manyar 164,543 84,390 Baik (padat)
Kebomas 7,912 71,827 Baik (sedang)
Gresik 0,830 63,578 Baik (sedang)

Pada Tabel 4.9, dapat dilihat bahwa pada tahun 2016 kondisi
mangrove di Kecamatan Bungah dalam kondisi baik namun
memiliki kerapatan mangrove yang sedang. Kemudian, kondisi
mangrove di Kecamatan Kebomas dan Gresik dalam kondisi
rusak. Sedangkan, kondisi mangrove di Kecamatan Ujung
Pangkah, Sidayu dan Manyar dalam kondisi baik. Selanjutnya,
pada tahun 2017 kondisi mangrove di Kecamatan Bungah dan
Kebomas adalah dalam kondisi baik. Begitu pula dengan
83

kondisi mangrove di Kecamatan Gresik, namun dengan


kerapatan mangrove yang sedang. Pada tahun 2018, mangrove
di Kabupaten Kebomas masih dalam kondisi baik, namun
memiliki kerapatan yang sedang. Kemudian, pada tahun 2019
kondisi mangrove masih sama seperti pada tahun 2018, yaitu di
Kecamatan Ujung Pangkah, Sidayu, Bungah, Manyar,
Kebomas dan Gresik memiliki mangrove dalam kondisi baik.
Namun, mangrove di Kecamatan Kebomas dan Gresik
memiliki kerapatan yang sedang. Hal ini sesuai dengan grafik
luas mangrove total pada Gambar 4.9.
Secara keseluruhan, kondisi mangrove di Kabupaten Gresik
dalam kondisi baik. Namun, kondisi mangrove yang baik tidak
berbanding lurus dengan grafik penurunan luasan mangrove
pada tahun 2018 dan 2019. Penurunan luasan mangrove
disebabkan oleh adanya konversi hutan mangrove menjadi
lahan tambak oleh masyarakat sekitar. Menurut Hidayah
(2018), banyak masyarakat yang beralih profesi dari nelayan
menjadi petani tambak. Peralihan profesi ini berdampak pada
penurunan luasan mangrove di Kabupaten Gresik. Selain itu,
menurut Badan Lingkungan hidup (2010), menyatakan bahwa
sebagian besar mangrove di Kabupaten Gresik telah
direklamasi menjadi kawasan pergudangan dan industri.
Selain itu, menurut Prasetyo, Nyoto, dan Prasetyo (2017),
telah terjadi abrasi dan akresi di Kecamatan Ujung Pangkah
yang menyebabkan perubahan pada garis pantainya. Salah satu
faktor utama yang menyebabkan terjadinya abrasi pantai adalah
pengurangan mangrove di sempadan pantai karena aktivitas
konversi hutan mangrove menjadi lahan tambak. Sementara itu,
akresi disebabkan oleh akumulasi sedimentasi yang dibawa
oleh aliran Sungai Bengawan Solo yang membentuk daratan.
Daratan yang terbentuk ini nantinya akan menjadi tempat
tumbuhnya mangrove. Perubahan garis pantai juga terlihat
84

cukup jelas pada citra Sentinel 2A Level 1C tahun 2016 hingga


2019.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa selain adanya abrasi dan
deforestasi yang menyebabkan penurunan mangrove, dalam
kurun waktu yang sama juga terjadi akresi yang menyebabkan
penambahan luasan mangrove. Selain itu, penambahan luasan
mangrove juga disebabkan oleh kondisi hutan mangrove yang
baik. Hal ini menyebabkan laju pertumbuhan mangrove cepat.
Meskipun demikian, perlu adanya kerjasama antara masyarakat
dan pemerintah terkait pengawasan dan perlindungan ekosistem
mangrove di Kabupaten Gresik. Hal ini bertujuan agar
ekosistem mangrove tidak rusak dan tidak mengalami
penurunan luasan secara terus-menerus. Salah satu
rekomendasi yang dapat dilakukan adalah dengan menjaga
kualitas lahan tambak yang sudah ada. Hal ini dikarenakan luas
lahan tambak di Kecamatan Ujung Pangkah sudah dominan.
4.2 Hubungan NDVI Citra dengan NDVI Foto Udara
4.2.1 Data Foto Udara di Lapangan
Data foto udara di lapangan diambil menggunakan kamera
inframerah yang dipasang pada drone dengan tinggi terbang
100 meter pada titik lokasi 1, 2, 3 dan 5 serta 50 meter pada titik
lokasi 4. Kemudian nilai Ground Sampling Distance (GSD)
pada saat akuisisi data adalah 2,73 cm/px pada titik lokasi 1, 2,
3 dan 5 serta 1,36 cm/px pada titik lokasi 4.
Lokasi pengambilan data foto udara dapat dilihat pada tabel
berikut ini:
85

Tabel 4.10 Lokasi Akuisisi Data Foto Udara di Lapangan

Koordinat WGS 1984


Titik UTM 49 S
Alamat
Lokasi
Timur (m) Utara (m)

Karang Kering,
Sidorukun, Kabupaten
1 683643,081 9205135,290
Gresik, Jawa Timur
61124
Jalan PT Petrokimia
Gresik, Pojok,
Tlogopojok,
2 682727,217 9209796,597
Kecamatan Gresik,
Kabupaten Gresik,
Jawa Timur
Jalan Tuban-Gresik,
Area sawah/kebun,
3 675133,355 9215813,632 Banyuwangi, Kec.
Manyar, Kab. gresik,
Jawa Timur 61151
Jalan Suaka Burung,
Kalinpuri, Tambak,
4 671783,442 9236765,381 Ujung Pangkah,
Kabupaten Gresik,
Jawa Timur 61154
Banyulegi, Banyuurip,
Ujung Pangkah,
5 668724,317 9236355,930
Kabupaten Gresik,
Jawa Timur 61154

Setelah dilakukan akuisisi data, kemudian dilakukan


pengolahan data foto udara inframerah. Berikut merupakan
86

hasil olahan orthomosaic foto udara inframerah yang telah


dikalibrasi:

Gambar 4.10 Orthomosaic Foto Udara Inframerah di Titik


Lokasi 1 Skala 1:500 (Sumber: Hasil Olahan 2020)
87

Gambar 4.11 Orthomosaic Foto Udara Inframerah di Titik


Lokasi 2 Skala 1:500 (Sumber: Hasil Olahan 2020)
88

Gambar 4.12 Orthomosaic Foto Udara Inframerah di Titik


Lokasi 3 Skala 1:500 (Sumber: Hasil Olahan 2020)
89

Gambar 4.13 Orthomosaic Foto Udara Inframerah di Titik


Lokasi 4 dan 7 Skala 1:500 (Sumber: Hasil Olahan 2020)
90

Gambar 4.14 Orthomosaic Foto Udara Inframerah di Titik


Lokasi 5 Skala 1:500 (Sumber: Hasil Olahan 2020)
91

Gambar 4.15 Orthomosaic Foto Udara Inframerah di Titik


Lokasi 6 Skala 1:500 (Sumber: Hasil Olahan 2020)
92

4.2.2 Korelasi NDVI Citra dengan NDVI Foto Udara di


Lapangan
Setelah didapatkan hasil olahan orthomosaic foto udara
inframerah yang telah dikalibrasi, kemudian dilakukan
perhitungan nilai NDVI. Perhitungan nilai NDVI pada foto
udara ini digunakan untuk melakukan validasi terhadap nilai
NDVI pada citra satelit Sentinel 2A Level 1C tahun 2019.
Berikut merupakan hasil perhitungan nilai indeks vegetasi
NDVI pada foto udara inframerah:
Tabel 4.11 Nilai NDVI pada Citra dan Foto Udara Inframerah
(Sumber: Hasil Olahan 2020)

Koordinat WGS 1984


Nilai Nilai NDVI
Titik UTM 49 S
NDVI Foto Udara
Sampel
Timur (m) Utara (m) Citra Inframerah

1 683644,724 9205135,302 0,503741 0,447619

2 682724,879 9209795,290 0,323818 0,260116

3 675134,878 9215814,520 0,332083 0,325967

4 671783,442 9236765,381 0,577560 0,411215

5 668727,358 9236352,538 0,204901 0,215190

6 668865,230 9236396,084 0,771685 0,612245

7 671764,970 9236715,740 0,817753 0,535484

Untuk mengetahui signifikansi hubungan antara nilai indeks


vegetasi NDVI pada citra dan foto udara inframerah, maka
dilakukan analisis data statistik. Proses analisis data statistik
93

dilakukan secara otomatis menggunakan program analisis data


statistik. Sebelumnya, ditentukan terlebih dahulu taraf
signifikansi sebesar 5% atau 0,05, artinya resiko kesalahan
dalam pengambilan keputusan untuk menolak hipotesis yang
benar sebanyak-banyaknya adalah 5%, dan benar dalam
pengambilan keputusan sedikitnya 95% atau dengan kata lain
tingkat kepercayaannya sebesar 95%. Berikut merupakan hasil
perhitungan pada masing-masing metode analisis data yang
dilakukan:

a. Uji Normalitas
Berikut merupakan hasil uji normalitas menggunakan
metode uji Lilliefors:
Tabel 4.12 Uji Normalitas Antara NDVI Citra dan NDVI
Foto Udara (Sumber: Hasil Olahan 2020)

Uji Normalitas
Kolmogorov-Smirnov
Variabel
statistik df Sig.
NDVI Citra 0,198 7 0,200
NDVI Foto
0,127 7 0,200
Udara

Tabel 4.12 merupakan hasil uji normalitas


menggunakan metode Lilliefors dengan Kolmogorov
Smirnov. Apabila nilai signifikansi (Sig.) lebih kecil
daripada 0,05, maka data tidak terdistribusi normal.
Sebaliknya, apabila nilai signifikansi lebih besar daripada
0,05, maka data terdistribusi normal (Purnomo 2016).
Dapat dilihat bahwa nilai signifikansi untuk data NDVI
citra dan NDVI foto udara masing-masing sebesar 0,200.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa data pada variabel
NDVI citra dan NDVI foto udara terdistribusi normal
(0,200 > 0,05).
94

b. Analisis Korelasi Sederhana


Berikut merupakan hasil perhitungan koefisien korelasi
antara NDVI citra dan NDVI foto udara:

Korelasi Nilai NDVI Citra dan Foto Udara


Inframerah
1,0
0,9
y = 1,5468x - 0,116
0,8
R² = 0,9146
Nilai NDVI Citra

0,7
0,6
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0,0
0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1,0
Nilai NDVI Foto Udara

Gambar 4.16 Korelasi Nilai NDVI Citra dan NDVI Foto


Udara (Sumber: Hasil Olahan 2020)

Pada Gambar 4.16, dapat dilihat bahwa nilai koefisien


determinasi (R2) sebesar 0,9146 atau koefisien korelasi (r)
sebesar 0,956. Untuk menentukan tingkat hubungan antara
NDVI citra dan NDVI foto udara dapat mengacu pada
Tabel 2.5. Nilai koefisien korelasi (r) 0,956 menunjukkan
bahwa NDVI citra dan NDVI foto udara memiliki tingkat
hubungan yang sangat kuat (0,800 < r < 1,000). Koefisien
korelasi bertanda positif menunjukkan hubungan yang
positif, yaitu apabila nilai NDVI foto udara meningkat,
maka nilai NDVI citra juga akan meningkat. Dan
sebaliknya, apabila nilai NDVI foto udara menurun, maka
nilai NDVI citra juga akan menurun.
95

c. Analisis Regresi Linier


Model regresi yang baik adalah yang memiliki nilai
residual yang terdistribusi normal, tidak terjadi
autokorelasi pada model regresi dan tidak terjadi
heterokedastisitas dalam model regresi. Oleh karena itu,
sebelum dilakukan perhitungan regresi linier, dilakukan uji
asumsi klasik regresi terlebih dahulu, yaitu uji normalitas
residual, uji autokorelasi dan uji heteroskedastisitas. Hasil
pengujian menyatakan bahwa data variabel yang
digunakan terdistribusi normal, tidak terjadi autokorelasi
dan tidak terjadi heteroskedastisitas. Sehingga, data dapat
digunakan untuk perhitungan regresi linier. Berikut
merupakan persamaan regresi linier sederhana dari
variabel NDVI citra dan NDVI foto udara:

𝑌 ′ = −0,116 + 1,5468𝑋

Keterangan:
i. Apabila NDVI foto udara nilainya nol, maka
NDVI citra nilainya -0,116.
ii. Nilai koefisien regresi variabel NDVI foto udara
bernilai positif, yaitu 1,5468. Artinya bahwa setiap
peningkatan NDVI foto udara sebesar 1, maka
NDVI citra juga akan meningkat sebesar 1,5468.

d. Uji t
Uji t digunakan untuk mengetahui apakah NDVI foto
udara berpengaruh secara signifikan atau tidak terhadap
NDVI citra. Pengujian menggunakan taraf signifikansi
0,05 dan dua sisi. Berikut merupakan langkah-langkah
pengujiannya:
96

1. Merumuskan hipotesis
H0 = NDVI foto udara tidak berpengaruh terhadap
NDVI citra
Ha = NDVI foto udara berpengaruh terhadap
NDVI citra

2. Menentukan t hitung dan signifikansi


Dari hasil perhitungan menggunakan program
analisis data statistik, didapat nilai t hitung sebesar
7,318 dan signifikansi sebesar 0,001.

3. Menentukan t tabel
t tabel dapat dilihat pada tabel statistik pada
signifikansi 0,05/2 = 0,025 dengan derajat
kebebasan df = n – 2 atau df = 7 – 2 = 5. Hasil nilai
t tabel yang diperoleh adalah 2,57058.

4. Kriteria pengujian
i. Jika -t tabel > t hitung < t tabel, maka H0
diterima.
ii. Jika -t hitung < -t tabel atau t hitung > t
tabel, maka H0 ditolak.

5. Berdasarkan signifikansi
i. Jika signifikansi > 0,05, maka H0
diterima.
ii. Jika signifikansi < 0,05, maka H0 ditolak.
6. Membuat kesimpulan
Nilai t hitung > t tabel (7,318 > 2,57058) dan
signifikansi < 0,05 (0,001 < 0,05), maka H0
ditolak. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa
NDVI foto udara berpengaruh secara signifikan
terhadap NDVI citra.
97

e. RMSE (Root Mean Square Error)


Untuk mengetahui tingkat akurasi antara NDVI citra
dan NDVI foto udara dapat menghitung nilai RMSE.
Semakin kecil nilai RMSE, maka nilai NDVI citra
memiliki tingkat kesalahan yang semakin kecil dan tingkat
akurasi yang semakin tinggi terhadap nilai NDVI foto
udara. Hasil perhitungan RMSE antara nilai NDVI citra
dan NDVI foto udara meghasilkan nilai RMSE mendekati
nol yaitu sebesar 0,096. Hal ini menunjukkan bahwa nilai
NDVI citra dan NDVI foto udara memiliki tingkat
kesalahan yang kecil, sehingga tingkat akurasinya tinggi.
Berdasarkan hasil validasi ini dapat disimpulkan bahwa
penggunaaan NDVI pada citra satelit Sentinel 2A Level 1C
cukup optimal untuk digunakan dalam analisis kerapatan
mangrove.
4.3 Hubungan Sampel Parameter di Lapangan dengan NDVI Citra
4.3.1 Data Sampel Parameter Air dan Tanah di Lapangan
Data sampel parameter air dan tanah di lapangan digunakan
untuk mengetahui nilai pH air, salinitas air, kadar air tanah,
nitrogen (N) tanah, jenis tanah pasir, jenis tanah lanau dan jenis
tanah lempung dari mangrove di lokasi penelitian. Untuk
mendapatkan nilai dari masing-masing sampel parameter air
dan tanah, dilakukan pengujian di Laboratorium Manajemen
Kualitas Lingkungan dan Laboratorium Mekanika Tanah.
Pengujian di Laboratorium Manajemen Kualitas Lingkungan
dilakukan untuk mendapatkan nilai pH air, salinitas air,
nitrogen (N) dan kadar air tanah. Sedangkan, pengujian di
Laboratorium Mekanika Tanah dilakukan untuk mendapatkan
nilai jenis tanah. Jenis tanah yang dimaksud adalah kerikil,
pasir, lanau dan lempung.
98

Berikut merupakan hasil uji laboratorium sampel parameter air


dan tanah di lapangan:
Tabel 4.13 Data Hasil Analisis pH Air dan Salinitas Air
(Sumber: Hasil Uji Laboratorium 2020)

Hasil Hasil Analisis


Nilai NDVI
Titik Analisis Salinitas Air
Citra
pH Air (‰)
1 0,503741 8,80 2,08
2 0,323818 7,70 27,60
3 0,332083 8,80 47,50
4 0,577560 8,40 4,63
5 0,204901 8,50 29,50
6 0,771685 7,10 18,60
7 0,817753 6,20 8,51

Tabel 4.14 Data Hasil Analisis Kadar Air Tanah dan Nitrogen
(N) Tanah (Sumber: Hasil Uji Laboratorium 2020)

Hasil Analisis Hasil Analisis


Nilai NDVI
Titik Kadar Air Nitrogen Tanah
Citra
Tanah (%) (% NH3-N)
1 0,503741 80,53 1,775
2 0,323818 31,59 0,356
3 0,332083 17,42 0,997
4 0,577560 46,27 0,917
5 0,204901 47,27 0,803
6 0,771685 44,27 0,698
7 0,817753 59,13 0,699
99

Tabel 4.15 Data Hasil Analisis Jenis Tanah (Sumber: Hasil Uji
Laboratorium 2020)

Nilai Jenis Tanah


Titik NDVI Kerikil Pasir Lanau Lempung
Citra (%) (%) (%) (%)
1 0,503741 0 40,66 53,34 6,00

2 0,323818 0 77,00 20,93 2,07

3 0,332083 0 34,85 36,11 29,04

4 0,577560 0 1,62 45,95 52,42

5 0,204901 0 22,03 58,14 19,83

6 0,771685 0 29,29 32,89 37,82

7 0,817753 0 38,88 26,96 34,15

Dari Tabel 4.15 di atas, dapat disimpulkan bahwa titik 1


memiliki jenis tanah lanau berpasir, titik 2 memiliki jenis tanah
pasir berlanau dan berlempung, titik 3 memiliki jenis tanah
lanau berpasir dan berlempung, titik 4 memiliki jenis tanah
lempung berlanau, titik 5 memiliki jenis lanau berpasir dan
berlempung, titik 6 memiliki jenis tanah lempung berlanau dan
berpasir dan titik 7 memiliki jenis tanah pasir berlempung dan
berlanau.
Kemudian, untuk titik lokasi pengambilan sampel parameter air
dan tanah dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
100

Gambar 4.17 Peta Kerja (Sumber: Hasil Olahan 2020)

Pemilihan lokasi titik sampel parameter air dan tanah di


lapangan tersebut berdasarkan pada tujuan untuk mengetahui
kondisi mangrove di beberapa wilayah, yaitu sebagai berikut:
101

Tabel 4.16 Deskripsi Kondisi Titik Sampel di Lapangan

Titik
Deskripsi Kondisi di Lapangan
Lokasi
Mangrove terletak di dekat wilayah pemukiman.
Mangrove tumbuh di tanah yang bau (pembuangan air
kotor dari penduduk setempat/got) dan banyak
1 terdapat cacing.
Mangrove terletak tidak jauh dari Pantai Karang
Kering.
Mangrove yang tumbuh di lokasi ini tergolong jarang.
Mangrove terletak di dekat wilayah industri (PT.
Petrokimia Gresik).
Mangrove tumbuh di tanah yang dipenuhi sampah
2
plastik.
Mangrove yang tumbuh di lokasi ini tergolong jarang.
Mangrove terletak di pinggir jalan raya dan dekat
dengan wilayah industri (PT. Citra Abadi Bosco, PT.
Sukses Pratama Lestari, JIIPE, dll).
3
Mangrove terletak di dekat wilayah pertambakan.

Mangrove yang tumbuh di lokasi ini tergolong jarang.

Mangrove terletak di dekat wilayah pertambakan.

Mangrove terletak di dekat rumah warga


4
Mangrove yang tumbuh di lokasi ini tergolong jarang.
Mangrove terletak di lokasi yang dekat dengan
mangrove di titik 7, namun memiliki kondisi yang
berbeda.
102

Titik
Deskripsi Kondisi di Lapangan
Lokasi
Mangrove terletak di dekat wilayah pertambakan,
dimana pada tambak tersebut terdapat cukup banyak
5 bangkai ular dan ikan.
Mangrove yang tumbuh di lokasi ini tergolong jarang.
Mangrove terletak di lokasi yang dekat dengan
mangrove di titik 5, namun memiliki kondisi
mangrove yang berbeda.
6
Mangrove yang tumbuh di lokasi ini tergolong lebat,
sehingga pada lokasi ini terdapat banyak sekali
nyamuk.
Mangrove terletak di lokasi yang dekat dengan
mangrove di titik 4, namun memiliki kondisi yang
7 berbeda.
Mangrove yang tumbuh di lokasi ini tergolong lebat
serta memiliki batang yang besar dan sangat tinggi.

4.3.2 Korelasi NDVI Citra dengan Data Sampel Parameter Air


dan Tanah di Lapangan
Untuk mengetahui signifikansi hubungan antara sampel
parameter air dan tanah dengan kerapatan mangrove, maka
dilakukan analisis data statistik. Proses analisis data statistik
dilakukan secara otomatis menggunakan program analisis data
statistik. Sama seperti perhitungan korelasi antara NDVI citra
dan NDVI foto udara, sebelumnya ditentukan terlebih dahulu
taraf signifikansi sebesar 10% atau 0,1, artinya peluang
memperoleh kesalahan adalah maksimal 10%, dengan kata lain
dapat dipercaya bahwa 90% keputusan adalah benar. Berikut
merupakan analisis data statistik antara sampel parameter air
dan tanah dengan NDVI citra:
103

i. Uji Normalitas
Berikut merupakan hasil uji normalitas menggunakan
metode Lilliefors dengan Kolmogorov Smirnov:
Tabel 4.17 Uji Normalitas antara Sampel Parameter Air
dan Tanah dengan NDVI citra (Sumber: Hasil Olahan
2020)

Uji Normalitas antara Sampel Parameter Air dan


Tanah dengan NDVI citra
Kolmogorov-Smirnov
Variabel
statistik df Sig.
NDVI Citra 0,198 7 0,200
pH Air 0,256 7 0,185
Salinitas Air 0,184 7 0,200
Kadar Air Tanah 0,202 7 0,200
Nitrogen Tanah 0,263 7 0,154
Jenis Tanah Pasir 0,258 7 0,177
Jenis Tanah Lanau 0,160 7 0,200
Jenis Tanah Lempung 0,153 7 0,200

Dari Tabel 4.17 di atas, dapat diketahui bahwa nilai


signifikansi untuk data NDVI citra sebesar 0,200.
Kemudian, nilai signifikansi untuk pH air, salinitas air,
kadar air tanah, nitrogen tanah, jenis tanah pasir, jenis
tanah lanau dan jenis tanah lempung berturut-turut adalah
0,185; 0,200; 0,200; 0,154; 0,177; 0,200 dan 0,200.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa data pada variabel
NDVI citra, pH air salinitas air, kadar air tanah, nitrogen
tanah, jenis tanah pasir, jenis tanah lanau dan jenis tanah
lempung terdistribusi normal (nilai signifikansi lebih besar
dari 0,1) (Purnomo 2016).
104

ii. Analisis Korelasi Sederhana


Berikut merupakan hasil perhitungan koefisien korelasi
antara nilai sampel parameter air dan tanah dengan nilai
NDVI citra:

Korelasi Nilai NDVI Citra dan pH Air


0,9
0,8
0,7
0,6
NDVI Citra

0,5
0,4 y = -0,1742x + 1,8855
0,3 R² = 0,5376
0,2
0,1
0,0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
pH Air

Gambar 4.18 Korelasi Nilai NDVI Citra dan pH Air


(Sumber: Hasil Olahan 2020)

Dari hasil pengolahan pada Gambar 4.18, dapat dilihat


bahwa pH air dan NDVI citra memiliki koefisien
determinasi (R2) sebesar 0,5376 atau koefisien korelasi (r)
sebesar -0,733. Mengacu pada Tabel 2.5, berarti nilai
koefisien korelasi (r) -0,733 menunjukkan bahwa pH air
dan NDVI citra memiliki tingkat hubungan yang kuat
(0,600 < r < 0,799). Koefisien korelasi bertanda negatif
menunjukkan hubungan yang negatif, yaitu apabila nilai
pH air meningkat, maka nilai NDVI citra akan menurun.
Dan sebaliknya, apabila nilai pH air menurun, maka nilai
NDVI citra akan meningkat.
105

Korelasi Nilai NDVI Citra dan Salinitas Air


0,9
0,8
0,7
0,6
NDVI Citra

0,5
0,4
0,3 y = -0,0088x + 0,6786
0,2 R² = 0,3781
0,1
0,0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
Salinitas Air (‰)

Gambar 4.19 Korelasi Nilai NDVI Citra dan Salinitas Air


(Sumber: Hasil Olahan 2020)

Pada Gambar 4.19, dapat dilihat bahwa nilai koefisien


determinasi (R2) antara salinitas air dan NDVI citra sebesar
0,3781 atau koefisien koerelasi (r) sebesar -0,615.
Mengacu pada Tabel 2.5, artinya salinitas air dan NDVI
citra memiliki tingkat hubungan yang kuat (0,600 < r <
0,799). Koefisien korelasi bertanda negatif. Hal ini
menunjukkan adanya hubungan negatif antara salinitas air
dan NDVI citra, yaitu apabila nilai salinitas air meningkat,
maka nilai NDVI citra akan menurun. Dan sebaliknya,
apabila nilai salinitas air menurun, maka nilai NDVI citra
akan meningkat.
106

Korelasi Nilai NDVI Citra dan Kadar Air


Tanah
0,9
0,8
0,7 y = 0,0045x + 0,2939
0,6 R² = 0,1491
NDVI Citra

0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0,0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Kadar Air Tanah (%)

Gambar 4.20 Korelasi Nilai NDVI Citra dan Kadar Air


Tanah (Sumber: Hasil Olahan 2020)

Pada Gambar 4.20, dapat dilihat bahwa nilai koefisien


determinasi (R2) antara kadar air tanah dan NDVI citra
sebesar 0,1491 atau nilai koefisien korelasi (r) sebesar
0,386. Mengacu pada Tabel 2.5, menunjukkan bahwa
kadar air tanah dan NDVI citra memiliki tingkat hubungan
yang rendah (0,200 < r < 0,399). Koefisien korelasi
bertanda positif menunjukkan hubungan yang positif,
artinya apabila nilai kadar air tanah meningkat, maka nilai
NDVI citra juga akan meningkat. Dan sebaliknya, apabila
nilai kadar air tanah menurun, maka nilai NDVI citra juga
akan menurun.
107

Korelasi Nilai NDVI Citra dan Nitrogen Tanah


0,9
0,8
0,7
0,6
NDVI Citra

y = -0,0049x + 0,5089
0,5
R² = 9E-05
0,4
0,3
0,2
0,1
0,0
0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 1,2 1,4 1,6 1,8 2,0
Nitrogen Tanah (%NH3-N)

Gambar 4.21 Korelasi Nilai NDVI Citra dan Nitrogen


Tanah (Sumber: Hasil Olahan 2020)

Pada hasil pengolahan pada Gambar 4.21, nilai


koefisien determinasi (R2) menunjukkan nilai sebesar
0,00009 atau koefisien korelasi (r) sebesar -0,009.
Mengacu pada Tabel 2.5, menunjukkan bahwa antara
nitrogen tanah dan NDVI citra memiliki tingkat hubungan
yang sangat rendah (0,000 < r < 0,199). Nilai koefisien
korelasi bertanda negatif. Hal ini menunjukkan adanya
hubungan negatif antara nitrogen tanah dan NDVI citra,
yaitu apabila nilai nitrogen tanah meningkat, maka nilai
NDVI citra akan menurun. Dan sebaliknya, apabila nilai
nitrogen tanah menurun, maka nilai NDVI citra akan
meningkat.
108

Korelasi Nilai NDVI Citra dan Jenis Tanah


Pasir
0,9
0,8
0,7
0,6
NDVI Citra

0,5
y = -0,0021x + 0,5763
0,4
R² = 0,0405
0,3
0,2
0,1
0,0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Jenis Tanah Pasir (%)

Gambar 4.22 Korelasi Nilai NDVI Citra dan Jenis Tanah


Pasir (Sumber: Hasil Olahan 2020)

Pada Gambar 4.22 di atas dapat dilihat bahwa antara


jenis tanah pasir dan NDVI citra memiliki nilai koefisien
determinasi (R2) sebesar 0,0405 atau koefisien korelasi (r)
sebesar -0,201. Mengacu pada Tabel 2.5, menunjukkan
bahwa jenis tanah pasir dan NDVI citra memiliki tingkat
hubungan yang rendah (0,200 < r < 0,399). Nilai koefisien
korelasi bertanda negatif menunjukkan hubungan yang
negatif, yaitu apabila nilai jenis tanah pasir meningkat,
maka nilai NDVI citra akan menurun. Dan sebaliknya,
apabila nilai jenis tanah pasir menurun, maka nilai NDVI
citra akan meningkat.
109

Korelasi Nilai NDVI Citra dan Jenis Tanah


Lanau
0,9
0,8
0,7
0,6
NDVI Citra

0,5
0,4 y = -0,006x + 0,7415
0,3
R² = 0,1272
0,2
0,1
0,0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65
Jenis Tanah Lanau (%)

Gambar 4.23 Korelasi Nilai NDVI Citra dan Jenis Tanah


Lanau (Sumber: Hasil Olahan 2020)

Dari hasil pengolahan pada Gambar 4.23, dapat dilihat


bahwa jenis tanah lanau dan NDVI citra memiliki
koefisien determinasi (R2) sebesar 0,1272 atau koefisien
korelasi (r) sebesar -0,357. Mengacu pada Tabel 2.5,
berarti nilai koefisien korelasi (r) -0,357 menunjukkan
bahwa jenis tanah lanau dan NDVI citra memiliki tingkat
hubungan yang rendah (0,200 < r < 0,399). Koefisien
korelasi bertanda negatif menunjukkan hubungan yang
negatif, yaitu apabila nilai jenis tanah lanau meningkat,
maka nilai NDVI citra akan menurun. Dan sebaliknya,
apabila nilai jenis tanah lanau menurun, maka nilai NDVI
citra akan meningkat.
110

Korelasi Nilai NDVI Citra dan Jenis Tanah


Lempung
0,9
0,8
0,7 y = 0,0069x + 0,3254
0,6 R² = 0,2814
NDVI Citra

0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0,0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
Jenis Tanah Lempung (%)

Gambar 4.24 Korelasi Nilai NDVI Citra dan Jenis Tanah


Lempung (Sumber: Hasil Olahan 2020)

Pada Gambar 4.24 dapat dilihat bahwa jenis tanah


lempung dan NDVI citra memiliki koefisien determinasi
(R2) sebesar 0,2814 atau koefisien korelasi (r) sebesar
0,530. Mengacu pada Tabel 2.5, berarti nilai koefisien
korelasi (r) sebesar 0,530 menunjukkan bahwa jenis tanah
lempung dan NDVI citra memiliki tingkat hubungan yang
sedang (0,400 < r < 0,599). Koefisien korelasi bertanda
positif menunjukkan hubungan yang positif, yaitu apabila
nilai jenis tanah lempung meningkat, maka nilai NDVI
citra juga akan meningkat. Dan sebaliknya, apabila nilai
jenis tanah lempung menurun, maka nilai NDVI citra juga
akan menurun.
111

iii. Analisis Regresi Linier


Model regresi yang baik adalah yang memiliki nilai
residual yang terdistribusi normal, tidak terjadi
autokorelasi pada model regresi dan tidak terjadi
heterokedastisitas dalam model regresi. Oleh karena itu,
sebelum dilakukan perhitungan regresi linier, dilakukan uji
asumsi klasik regresi terlebih dahulu, yaitu uji normalitas
residual, uji autokorelasi dan uji heteroskedastisitas. Hasil
pengujian menyatakan bahwa data variabel yang
digunakan terdistribusi normal, tidak terjadi autokorelasi
dan tidak terjadi heteroskedastisitas. Sehingga, data dapat
digunakan untuk perhitungan regresi linier. Di bawah ini
merupakan persamaan regresi linier sederhana dari
variabel NDVI citra dan sampel parameter air dan tanah:

Persamaan regresi linier sederhana dari variabel NDVI


citra dan pH air:
𝑌 ′ = 1,8855 − 0,1742𝑋
Keterangan:
i. Apabila pH air nilainya nol, maka NDVI citra
nilainya 1,8855.
ii. Nilai koefisien regresi variabel pH air bernilai
negatif, yaitu -0,1742. Artinya bahwa setiap
peningkatan pH air sebesar 1, maka NDVI citra
akan menurun sebesar 0,1742.

Persamaan regresi linier sederhana dari variabel NDVI


citra dan salinitas air:
𝑌 ′ = 0,6786 − 0,0088𝑋
Keterangan:
i. Apabila salinitas air nilainya nol, maka NDVI
citra nilainya 0,6786.
ii. Nilai koefisien regresi variabel salinitas air
bernilai negatif, yaitu -0,0088. Artinya bahwa
112

setiap peningkatan salinitas air sebesar 1, maka


NDVI citra akan menurun sebesar 0,0088.

Persamaan regresi linier sederhana dari variabel NDVI


citra dan kadar air tanah:
𝑌 ′ = 0,2939 + 0,0045𝑋
Keterangan:
i. Apabila kadar air tanah nilainya nol, maka NDVI
citra nilainya 0,2939.
ii. Nilai koefisien regresi variabel kadar air tanah
bernilai positif, yaitu 0,0045. Artinya bahwa setiap
peningkatan kadar air tanah sebesar 1, maka
NDVI citra juga akan meningkat sebesar 0,0045.

Persamaan regresi linier sederhana dari variabel NDVI


citra dan nitrogen tanah:
𝑌 ′ = 0,5089 − 0,0049𝑋
Keterangan:
i. Apabila nitrogen tanah nilainya nol, maka NDVI
citra nilainya 0,5089.
ii. Nilai koefisien regresi variabel nitrogen tanah
bernilai negatif, yaitu -0,0049. Artinya bahwa
setiap peningkatan nitrogen tanah sebesar 1, maka
NDVI citra akan menurun sebesar 0,0049.

Persamaan regresi linier sederhana dari variabel NDVI


citra dan jenis tanah pasir:
𝑌 ′ = 0,5763 − 0,0021𝑋
Keterangan:
i. Apabila jenis tanah pasir nilainya nol, maka NDVI
citra nilainya 0,5763.
ii. Nilai koefisien regresi variabel jenis tanah pasir
bernilai negatif, yaitu -0,0021. Artinya bahwa
113

setiap peningkatan jenis tanah pasir sebesar 1,


maka NDVI citra akan menurun sebesar 0,0021.

Persamaan regresi linier sederhana dari variabel NDVI


citra dan jenis tanah lanau:
𝑌 ′ = 0,7415 − 0,006𝑋
Keterangan:
i. Apabila jenis tanah lanau nilainya nol, maka
NDVI citra nilainya 0,7415.
ii. Nilai koefisien regresi variabel jenis tanah lanau
bernilai negatif, yaitu -0,006. Artinya bahwa
setiap peningkatan jenis tanah lanau sebesar 1,
maka NDVI citra akan menurun sebesar 0,006.

Persamaan regresi linier sederhana dari variabel NDVI


citra dan jenis tanah lempung:
𝑌 ′ = 0,3254 + 0,0069𝑋
Keterangan:
i. Apabila jenis tanah lempung nilainya nol, maka
NDVI citra nilainya 0,3254.
ii. Nilai koefisien regresi variabel jenis tanah
lempung bernilai positif, yaitu 0,0069. Artinya
bahwa setiap peningkatan jenis tanah lempung
sebesar 1, maka NDVI citra juga akan meningkat
sebesar 0,0069.

iv. Uji t
Uji t digunakan untuk mengetahui apakah sampel
parameter air dan tanah berpengaruh secara signifikan atau
tidak terhadap NDVI citra. Kemudian, signifikansi
merupakan besarnya peluang untuk memperoleh
kesalahan dalam pengambilan keputusan. Pengujian
menggunakan taraf signifikansi 0,1 dan dua sisi.
114

Penentuan taraf signifikansi didasarkan pada proses


pengujian sampel parameter air dan tanah yang tidak
dilakukan secara langsung di lapangan, melainkan pada
hari berikutnya di laboratorium. Berikut merupakan
langkah-langkah pengujiannya:
1. Merumuskan hipotesis
H0 = Sampel parameter air dan tanah tidak
berpengaruh terhadap NDVI citra
Ha = Sampel parameter air dan tanah berpengaruh
terhadap NDVI citra

2. Menentukan t hitung dan signifikansi


Dari hasil perhitungan menggunakan program
analisis data statistik, didapat nilai t hitung dan
signifikansi.

3. Menentukan t tabel
t tabel dapat dilihat pada tabel statistik pada
signifikansi 0,1/2 = 0,05 dengan derajat kebebasan
df = n – 2 atau df = 7 – 2 = 5. Hasil nilai t tabel
yang diperoleh adalah 2.01505.

4. Kriteria pengujian
iii. Jika -t tabel > t hitung < t tabel, maka H0
diterima.
iv. Jika -t hitung < -t tabel atau t hitung > t
tabel, maka H0 ditolak.

5. Berdasarkan signifikansi
iii. Jika signifikansi > 0,1, maka H0 diterima.
iv. Jika signifikansi < 0,1, maka H0 ditolak.
115

6. Membuat kesimpulan
Apabila nilai t hitung > t tabel dan signifikansi <
0,1, maka H0 ditolak. Sehingga, dapat disimpulkan
bahwa sampel parameter air dan tanah
berpengaruh secara signifikan terhadap NDVI
citra, dan sebaliknya.

Berikut merupakan hasil perhitungannya:


Tabel 4.18 Uji t antara Sampel Parameter Air dan Tanah
dengan NDVI Citra (Sumber: Hasil Olahan 2020)

Uji t

t Taraf
Variabel t tabel Sig. Kesimpulan
hitung Sig.
pH Air &
2,411 2,01505 0,061 0,1 H0 ditolak
NDVI citra
Salinitas Air
& NDVI 1,743 2,01505 0,142 0,1 H0 diterima
citra
Kadar Air
Tanah & 0,936 2,01505 0,392 0,1 H0 diterima
NDVI citra
Nitrogen
Tanah & 0,021 2,01505 0,984 0,1 H0 diterima
NDVI citra
Jenis Tanah
Pasir & 0,459 2,01505 0,665 0,1 H0 diterima
NDVI citra
Jenis Tanah
Lanau & 0,854 2,01505 0,432 0,1 H0 diterima
NDVI citra
Jenis Tanah
Lempung & 1,399 2,01505 0,221 0,1 H0 diterima
NDVI citra
116

Pada Tabel 4.18, disimpulkan bahwa pada pH air dan


NDVI citra H0 ditolak, hal ini berarti bahwa pH air
berpengaruh secara signifikan terhadap NDVI citra.
Sedangkan, pada salinitas air, kadar air tanah, nitrogen
tanah, jenis tanah pasir, jenis tanah lanau dan jenis tanah
lempung H0 diterima, hal ini berarti bahwa salinitas air,
kadar air tanah, nitrogen tanah, jenis tanah pasir, jenis
tanah lanau dan jenis tanah lempung tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap NDVI citra.
Berdasarkan penjabaran mengenai korelasi antara kerapatan
mangrove dengan parameter air dan tanah di atas, menunjukkan
bahwa pH air memiliki pengaruh yang kuat dan signifikan serta
negatif terhadap kerapatan mangrove. Artinya, kerapatan
mangrove yang tinggi dipengaruhi oleh pH air di
lingkungannya yang rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian
terdahulu yang dilakukan oleh Isyrini dkk. (2017), yang
menyatakan bahwa kerapatan mangrove yang tinggi
berhubungan kuat dengan rendahnya pH air. Selain itu, salinitas
air juga memiliki pengaruh yang kuat dan signifikan terhadap
kerapatan mangrove. Namun, hanya dengan tingkat
kepercayaan sebesar 85,8%.
Penyebab tidak signifikannya sampel parameter tanah
lainnya dikarenakan titik lokasi pengambilan sampel tidak
berada di tepi pantai dan jauh dari muara sungai. Daerah muara
sungai merupakan daerah yang subur, baik daratan maupun
perairannya. Sehingga, mangrove yang hidup di daerah muara
sungai akan tumbuh subur dan memiliki kerapatan yang sangat
baik. Hal ini dikarenakan daerah muara sungai merupakan
tujuan akhir dari partikel-partikel organik dan endapan lumpur
yang terbawa dari hulu sungai (Gunarto 2004). Penelitian
terdahulu yang dilakukan oleh Hutabarat dan Evans (1986),
menyatakan bahwa kerapatan tegakan mangrove sangat
117

dipengaruhi oleh susunan kondisi tanah. Kondisi tanah yang


memiliki kandungan lempung yang tinggi adalah kondisi tanah
yang baik bagi mangrove, karena dapat membantu mangrove
dalam penyerapan unsur hara di dalam tanah. Sedangkan,
komposisi lempung di lokasi penelitian tidak begitu dominan.
Sehingga, kerapatan mangrove di lokasi penelitian tidak
dipengaruhi oleh sampel parameter tanah. Namun, sampel
parameter air berpengaruh terhadap kerapatan mangrove di
lokasi penelitian (Susiana 2011).
4.4 WebGIS
4.4.1 Pembuatan WebGIS
Proses pembuatan WebGIS menggunakan dua software
utama, yaitu Software pengolah data spasial dan software
pengolah data vektor. Untuk proses implementasi program
menggunakan satu aplikasi tambahan, yaitu editor teks yang
digunakan sebagai media untuk menuliskan kode program.
Berikut merupakan penjelasan mengenai ketiganya:
a. Software Pengolah Data Spasial
Software ini digunakan untuk mengolah data raster
menjadi data vektor beserta atributnya. Data vektor beserta
atributnya tersebut berupa shapefile poligon mangrove
berdasarkan kerapatannya pada tahun 2016-2019,
shapefile garis batas administrasi dan shapefile titik sampel
lapangan.

b. Software Pengolah Data Vektor


Software pengolah data vektor digunakan untuk
melakukan konversi data vektor dengan format shapefile
menjadi GeoJSON. Hal ini dilakukan agar data vektor yang
telah diolah pada software pengolah data spasial dapat
diimplementasikan ke web.
118

c. Editor Teks
Editor teks digunakan untuk penulisan kode program
berbasis web yang kemudian memvisualisasikan peta dan
menampilkan informasi informasi terkait peta.
4.4.2 WebGIS Mangrove Kabupaten Gresik
Hasil yang didapatkan berupa sistem informasi tentang
perubahan kerapatan mangrove dan luasannya serta hubungan
kerapatan mangrove dengan sampel parameter air dan tanah.
WebGIS ini dapat diakses secara online. Dengan begitu,
diharapkan informasi mengenai kondisi mangrove di
Kabupaten Gresik dapat diakses oleh masyarakat umum dengan
lebih mudah dan praktis. Sehingga, dapat dijadikan sebagai
bahan pertimbangan dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan kerusakan ekosistem hutan mangrove.
WebGIS ini memiliki beberapa fitur seperti di bawah ini:
a. Visualisasi Peta
WebGIS ini dapat menampilkan peta menggunakan
Google Maps sebagai base map. Layer vektor yang telah
diformat dalam bentuk GeoJSON diimplementasikan ke
dalam Google Maps menggunakan kode Javascript.
Javascript juga berperan untuk membuat legenda peta,
information window pada titik sampel, filter tampilan peta
berdasarkan tahun, pewarnaan layer vektor serta pelabelan
tiap area layer vektor dan titik sampel.

b. Filter Tampilan Peta Berdasarkan Tahun


Filter tampilan peta berdasarkan tahun dapat digunakan
untuk mengubah visualisasi peta kerapatan mangrove
Kabupaten Gresik berdasarkan tahun, yaitu 2016, 2017,
2018 atau 2019. Tiap tahun memiliki kerapatan mangrove
119

yang berbeda sehingga divisualisasikan dari GeoJSON


yang berbeda-beda.
c. Pilih Mode Tampilan Peta
WebGIS ini terintegrasi dengan Google Maps sehingga
memiliki akses terhadap fitur-fitur yang dimiliki oleh
Google Maps, salah satunya yaitu dapat memilih mode
tampilan peta, yakni mode roadmap dan mode satellite.
Mode roadmap merupakan mode default yang
memvisualisasikan peta ke dalam view roadmap.
Sedangkan mode satellite merupakan mode yang
memvisualisasikan peta ke dalam view citra satelit.

d. Zoom In dan Zoom Out


Fitur lain yang dapat diakses dari Google Maps yaitu
fitur zoom in dan zoom out menggunakan tombol bertanda
(+) dan tombol bertanda (-). Peta Google Maps dipusatkan
ke lokasi Kabupaten Gresik sebagai inisialisasi awal load
peta dengan nilai zoom 11. Peta juga dapat digeser ke
kanan, ke kiri, ke atas dan ke bawah.

e. Grafik dan Tabel Informasi Mangrove


WebGIS ini juga dilengkapi grafik dan tabel informasi
mengenai mangrove Kabupaten Gresik, yaitu tabel luas
kerapatan mangrove, tabel kriteria kondisi mangrove,
grafik luas kerapatan mangrove berdasarkan tingkat
kerapatan dan grafik luas mangrove total.
WebGIS Mangrove Kabupaten Gresik memiliki beberapa
tampilan halaman web. Tampilan yang muncul saat aplikasi
pertama kali dibuka adalah halaman beranda (home page)
seperti pada Gambar 4.25 di bawah ini:
120

Gambar 4.25 Halaman Beranda pada WebGIS (Sumber: Hasil


Olahan 2020)

Halaman beranda merupakan halaman depan dari aplikasi


yang berisi judul dan deskripsi aplikasi. Tombol lihat peta juga
terdapat pada halaman beranda. Tombol menuju peta juga dapat
dilihat pada navigasi bar di bagian atas WebGIS bersama juga
tombol menuju beranda dan menuju grafik. Apabila tombol
menuju peta diklik, web akan diarahkan ke halaman peta seperti
pada Gambar 4.26 di bawah ini:
121

Gambar 4.26 Halaman Peta pada WebGIS (Sumber: Hasil


Olahan 2020)

Halaman peta berisi visualisasi peta kerapatan mangrove


Kabupaten Gresik yang terintegrasi dengan Google Maps.
Visual peta juga dapat di-filter berdasarkan tahun, yaitu 2016,
2017, 2018 atau 2019 yang memiliki kerapatan mangrove yang
berbeda-beda. Visual peta juga diatur ke mode roadmap
(default) dan mode satellite. Peta dapat digeser ke kiri, ke
kanan, ke atas, ke bawah, zoom in dan zoom out. Peta juga
dilengkapi dengan legenda peta yang menjelaskan makna tiap
warna pada visual peta mangrove. Untuk melihat informasi
lengkap dari mangrove dapat dilakukan dengan mengklik
tombol hijau dengan ikon huruf (i) yang terletak di atas legenda
peta, sehingga akan memunculkan pop up window seperti pada
Gambar 4.27, Gambar 4.28 dan Gambar 4.29.
122

Gambar 4.27 Pop Up Window Tabel Luas Kerapatan


Mangrove (Sumber: Hasil Olahan 2020)

Gambar 4.28 Pop Up Window Tabel Kriteria Kondisi


Mangrove (Sumber: Hasil Olahan 2020)
123

Gambar 4.29 Pop Up Window Grafik Luas Kerapatan


Mangrove Berdasarkan Tingkat Kerapatan (Sumber: Hasil
Olahan 2020)

Informasi yang dapat dilihat pada pop up window adalah


grafik dan tabel informasi mengenai mangrove Kabupaten
Gresik, yaitu tabel luas kerapatan mangrove, tabel kriteria
kondisi mangrove, grafik luas kerapatan mangrove berdasarkan
tingkat kerapatan dan grafik luas mangrove total. Selain tabel
dan grafik informasi tersebut, aplikasi ini juga menyediakan
tabel dan grafik tentang korelasi antara sampel parameter air
dan tanah dengan NDVI citra yang dapat dilihat dengan
mengakses halaman grafik melalui tombol “Grafik” pada
navigasi bar seperti Gambar 4.30.
124

Gambar 4.30 Tabel dan Grafik Korelasi antara Sampel


Parameter Air dan Tanah dengan NDVI Citra (Sumber: Hasil
Olahan 2020)
125

Halaman grafik berisi tabel dan grafik tentang korelasi


antara sampel parameter air dan tanah dengan NDVI citra.
4.4.3 Uji Kelayakan Sistem
Sistem diuji menggunakan metode pengujian perangkat
lunak dari ISO 9126 dengan menguji dua karakteristik, yaitu
karakteristik functionality dan usability. Teknik pengumpulan
data pada pengujian karakteristik functionality adalah dengan
melakukan observasi. Sedangkan, teknik pengumpulan data
pada pengujian karakteristik usability adalah dengan membuat
kuesioner. Perhitungan nilai persentase kelayakan
menggunakan persamaan 2.5. Apabila nilai persentase
kelayakan sudah didapat, maka dapat ditarik kesimpulan
menjadi data kualitatif dengan menggunakan tabel konversi dari
Arikunto (2009).
Berikut merupakan hasil pengujian karakteristik functionality:
Tabel 4.19 Uji Karakteristik Functionality WebGIS Mangrove
Kabupaten Gresik (Sumber: Hasil Olahan 2020)

Kebutuhan
No. Pertanyaan Nilai
Fungsional
Apakah fungsi untuk
Mode menampilan mode
1 1
roadmap roadmap berjalan dengan
baik?
Apakah fungsi untuk
2 Mode satelit menampilan mode satelit 1
berjalan dengan baik?
Apakah fungsi untuk
Filter
menampilan peta
3 Berdasarkan 1
berdasarkan tahun berjalan
Tahun
dengan baik?
126

Kebutuhan
No. Pertanyaan Nilai
Fungsional
Apakah fungsi untuk
Information menampilan informasi
4 1
Button berupa tabel berjalan
dengan baik?
Apakah fungsi untuk
5 Zoom In memperbesar tampilan peta 1
berjalan dengan baik?
Apakah fungsi untuk
6 Zoom Out memperkecil tampilan peta 1
berjalan dengan baik?
Apakah fungsi untuk
menampilan peta secara
7 Full Screen 1
satu satu layar penuh
berjalan dengan baik?
Apakah WebGIS dapat
Personal
8 ditampilkan pada layar PC 1
Compurter
dengan baik?
Apakah WebGIS dapat
9 Handphone ditampilkan pada layar HP 1
dengan baik?
Nilai Total 9
Nilai yang Diharapkan 9
Persentase Kelayakan Uji Functionality 100%
Keterangan:
1 = Ya
0 = Tidak
Pengujian functionality menghasilkan persentase kelayakan
sebesar 100%. Mengacu pada tabel konversi dari Arikunto
(2009), menunjukkan bahwa WebGIS memiliki kriteria
kelayakan yang sangat baik. Sehingga, dapat disimpulkan
127

bahwa fitur-fitur pada WebGIS berfungsi dengan sangat baik.


Namun, fungsi fitur yang sangat baik tidak diimbangi dengan
proses pemuatan halaman yang cepat. Hal ini dikarenakan data
yang ditampilkan berukuran besar.
Selanjutnya, dilakukan pengujian karakteristik usability
dengan menyebarkan kuesioner kepada 30 responden
(Mulyatiningsih 2011) yang terdiri dari 19 pertanyaan dengan 5
skala untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi pengguna
terhadap WebGIS yang telah dibuat. Skala pengukuran yang
digunakan dalam penelitian ini adalah skala Likert. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 4.20 Skala Likert (Sumber: Sugiyono 2011)

Kategori Skor
Sangat Setuju 5
Setuju 4
Cukup Setuju 3
Tidak Setuju 2
Sangat Tidak Setuju 1

Untuk pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan pada pengguna


adalah sebagai berikut:

Tabel 4.21 Pertanyaan Terkait Uji Karakteristik Usability


WebGIS Mangrove Kabupaten Gresik

No. Pertanyaan
1 Tampilan web tidak mencolok mata
2 Tampilan web mudah dipahami
3 Informasi pada legenda mudah dipahami
128

No. Pertanyaan
4 Saya dapat memilih tampilan peta/satelit
Saya dapat menampilkan peta berdasarkan tahun
5
yang Saya pilih
Saya dapat memunculkan informasi berupa tabel
6
pada tombol informasi (i)
7 Saya dapat mengoperasikan fitur Full Screen
Saya dapat mengoperasikan fitur Zoom In/Zoom
8
Out
Saya dapat memunculkan informasi (pop up) pada
9 titik lokasi berwarna merah di peta dengan cara
meng-klik titik tersebut
10 Fitur-fitur pada web mudah dipahami
11 Saya tidak menemukan error pada fitur-fitur web
Informasi (seperti tabel dan grafik) disediakan
12
dengan jelas
Web dapat dibuka pada perangkat PC (Personal
13
Computer)
14 Web dapat dibuka pada perangkat HP (Handphone)
15 Informasi pada web mudah dimengerti
16 Informasi pada web terorganisir dengan jelas
17 Tampilan web tidak rumit
18 Saya dapat mengoperasikan web dengan mudah
19 Saya puas dengan web ini

Hasil penilaian oleh responden dapat dilihat pada tabel dan


grafik di bawah ini:
129

Tabel 4.22 Hasil Penilaian Oleh Responden (Sumber: Hasil


Olahan 2020)
A/
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
B
1 5 5 4 5 4 4 4 4 4 4 4 5 4 5 4 5 5 5 5
2 1 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
3 5 5 4 5 5 4 5 5 4 5 4 5 5 5 5 5 5 5 5
4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 3 3 3 4 4 4 3 3 4 4
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
6 4 4 4 4 4 4 4 4 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
7 5 5 5 5 5 5 5 4 4 4 3 2 3 3 4 4 4 4 3
8 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 4 5 5 5 5 5 4
9 1 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
10 4 3 5 4 4 5 5 3 4 4 5 4 5 4 5 5 5 5 4
11 5 5 4 5 5 4 5 5 4 5 4 5 4 5 5 5 5 5 5
12 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
13 5 4 3 5 5 5 5 4 4 5 3 5 5 2 4 4 5 5 5
14 4 4 3 5 5 5 5 5 5 4 4 3 5 5 4 4 4 4 4
15 4 4 5 4 4 4 3 4 3 3 4 4 5 5 4 5 4 4 4
16 2 4 5 4 4 5 5 5 5 4 4 4 5 1 4 4 4 4 4
17 4 5 5 5 5 5 4 5 5 5 5 5 5 5 5 4 4 4 4
18 4 5 5 5 4 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
19 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
20 4 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
21 3 5 4 3 5 5 5 5 5 4 5 5 5 5 5 5 5 5 5
22 4 4 5 5 5 4 5 5 5 4 5 4 5 5 4 4 4 5 5
23 4 4 4 4 5 5 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
24 2 4 5 5 4 5 3 5 4 5 4 4 3 5 5 5 5 4 4
25 5 4 3 5 5 5 5 5 5 4 5 3 5 2 4 5 4 5 4
26 4 3 3 5 4 4 5 5 5 5 5 5 4 5 3 4 5 5 4
27 4 3 4 4 4 5 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3
28 5 4 4 5 5 4 4 5 4 4 4 5 5 3 4 4 5 5 4
29 4 5 5 5 4 5 5 5 5 5 5 5 5 4 5 5 5 5 5
30 4 4 4 4 4 4 4 4 3 3 3 3 4 4 4 4 4 4 4
A = Nomor Responden
B = Nomor Soal
130
131
132
133

Gambar 4.31 Persentase Skor dari Pertanyaan yang Diajukan


Kepada Responden (Sumber: Hasil Olahan 2002)

Dari Gambar 4.31 di atas, dapat dilihat bahwa pada grafik


“Persentase Skor dari Soal Nomor 1” menunjukkan bahwa 14%
dari 30 responden beranggapan bahwa tampilan WebGIS
mencolok mata. Kemudian, pada grafik “Persentase Skor dari
Soal Nomor 12” menunjukkan bahwa 3% dari 30 responden
beranggapan bahwa informasi (seperti tabel dan grafik) belum
disediakan dengan jelas. Dari penilaian yang diberikan oleh
responden ini, akan dijadikan sebagai masukkan pada desain
dan tampilan WebGIS. Kemudian, pada grafik “Persentase Skor
dari Soal Nomor 14” menunjukkan bahwa 10% dari 30
responden beranggapan bahwa web tidak dapat dibuka pada
perangkat handphone, hal ini dikarenakan proses pemuatan
halaman WebGIS lambat. Lambatnya proses pemuatan halaman
WebGIS tersebut disebabkan oleh besarnya ukuran data yang
ditampilkan.
Sedangkan, pada grafik “Persentase Skor dari Soal Nomor
5” menunjukkan bahwa pengguna dapat dengan mudah
menampilkan peta berdasarkan tahun yang dipilih. Kemudian,
pada grafik “Persentase Skor dari Soal Nomor 6” menunjukkan
134

bahwa pengguna dapat memunculkan informasi berupa tabel


pada tombol informasi. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa
fitur “Filter Berdasarkan Tahun” dan “Information Button”
berfungsi dengan baik. Selain itu, pada grafik “Persentase Skor
dari Soal Nomor 18” menunjukkan bahwa pengguna dapat
mengoperasikan WebGIS dengan mudah.
Berikut merupakan hasil perhitungan nilai persentase kelayakan
WebGIS:
Tabel 4.23 Hasil Persentase Pengujian Usability (Sumber:
Hasil Olahan 2020)

No. Nilai Nilai yang Persentase


Soal Total Diharapkan Kelayakan (%)
1 118 150 78,67
2 129 150 86,00
3 129 150 86,00
4 137 150 91,33
5 135 150 90,00
6 137 150 91,33
7 136 150 90,67
8 136 150 90,67
9 131 150 87,33
10 129 150 86,00
11 128 150 85,33
12 128 150 85,33
13 134 150 89,33
14 126 150 84,00
15 131 150 87,33
16 133 150 88,67
17 134 150 89,33
18 136 150 90,67
19 129 150 86,00
Rata-rata 87,58
135

Dari hasil perhitungan nilai persentase kelayakan pada


pengujian karakteristik usability, didapatkan hasil sebesar
87,58%. Mengacu pada tabel konversi dari Arikunto (2009),
menunjukkan bahwa WebGIS memiliki kriteria kelayakan yang
sangat baik.
136

“Halaman Ini Sengaja Dikosongkan”


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini, dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil klasifikasi NDVI pada citra satelit
Sentinel 2A Level 1C, didapatkan tingkat kerapatan
mangrove yang dominan di Kabupaten Gresik pada tahun
2016-2019 adalah mangrove dengan kerapatan baik, yaitu
seluas 1238,857 hektar atau 58,661% pada tahun 2016,
seluas 1371,974 hektar atau 53,210% pada tahun 2017,
seluas 1145,729 hektar atau 45,224% pada tahun 2018 dan
seluas 1087,667 hektar atau 46,811% pada tahun 2019.
Mangrove paling luas terletak di Kecamatan Ujung
Pangkah, yaitu seluas 1367,859 hektar pada tahun 2016,
seluas 1695,342 hektar pada tahun 2017, seluas 1631,168
hektar pada tahun 2018 dan seluas 1597,678 hektar pada
tahun 2019. Sedangkan, mangrove paling sempit terletak
di Kecamatan Gresik, yaitu seluas 0,209 hektar pada tahun
2016, seluas 1,413 hektar pada tahun 2017, seluas 1,295
hektar pada tahun 2018 dan seluas 1,306 hektar pada tahun
2019. Luasan mangrove di Kabupaten Gresik pada tahun
2016-2019 mengalami kenaikan pada tahun 2017 seluas
466,521 hektar atau 22,090%, kemudian mengalami
penurunan pada tahun 2018 seluas 44,939 hektar atau
1,743% dan tetap menurun pada tahun 2019 seluas
209,962 hektar atau 8,288%.

2. Hasil validasi antara NDVI citra satelit Sentinel 2A Level


1C dengan NDVI foto udara inframerah menyimpulkan
bahwa penggunaaan NDVI pada citra satelit Sentinel 2A

137
138

Level 1C cukup optimal untuk digunakan dalam analisis


kerapatan mangrove, karena NDVI citra satelit Sentinel
2A Level 1C dan NDVI foto udara inframerah memiliki
hubungan yang sangat kuat dan signifikan, yaitu dengan
nilai koefisien korelasi sebesar 0,956. Hubungan yang
positif menunjukkan apabila nilai NDVI citra satelit
Sentinel 2A Level 1C meningkat, maka nilai NDVI foto
udara inframerah juga meningkat. Sebaliknya, apabila
nilai NDVI citra satelit Sentinel 2A Level 1C menurun,
maka nilai NDVI foto udara inframerah juga menurun.

3. pH air memiliki pengaruh yang kuat dan signifikan


terhadap kerapatan mangrove, yaitu dengan nilai koefisien
korelasi sebesar -0,733. pH air memiliki hubungan yang
negatif terhadap kerapatan mangrove, artinya apabila nilai
pH air meningkat, maka kerapatan mangrove akan
menurun. Sebaliknya, apabila nilai pH air menurun, maka
kerapatan mangrove akan meningkat.

4. Dari hasil akhir perancangan sistem informasi geografis


berbasis web, dihasilkan WebGIS Mangrove Kabupaten
Gresik dengan nama domain
http://mangrovekabupatengresik.com/. Hasil uji
functionality dan usability pada WebGIS menunjukkan
bahwa WebGIS tergolong dalam kriteria kelayakan yang
sangat baik.
5.2 Saran
Adapun saran yang diberikan untuk penelitian selanjutnya pada
bidang terkait adalah sebagai berikut:
1. Sebaiknya tambahkan kriteria tutupan awan kurang dari
10% pada saat mengunduh citra, dikarenakan hal ini dapat
memengaruhi hasil perhitungan luas.
139

2. Sebaiknya akuisisi data foto udara di lapangan dilakukan


pada tanggal, bulan dan tahun yang sama dengan akuisisi
data citra, agar terhindar dari perbedaan kondisi yang
ekstrem.

3. Sebaiknya pengambilan sampel parameter air dan tanah di


lapangan dilakukan pada tanggal, bulan dan tahun yang
sama dengan akuisisi data citra, agar terhindar dari
perbedaan kondisi yang ektrem. Selain itu, sampel tanah
diambil pada kedalaman minimal 30 cm dari permukaan
tanah, karena tanah permukaan bukan merupakan jenis
tanah asli.

4. Informasi pada WebGIS dapat dikembangkan lebih luas


lagi.
140

“Halaman Ini Sengaja Dikosongkan”


141

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, D., Rizal, M., & Erliana, C. (2015). Aplikasi Database


Masjid Berbasis Web GIS Menggunakan Algoritma Brute
Force. Aceh Utara: Program Studi Teknik Informatika,
Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh.
Aksornkoae, S. (1993). Ecology and Management of Mangrove.
Bangkok: IUCN.
Altman, D. G. (1991). Practical Statistics for Medical Research.
London: Chapman and Hall/CRC Press.
Aminudin. (2015). Cara Efektif Belajar Framework Laravel.
Yogyakarta: Lokomedia.
Anggraini, E. (2009). Pemanfaatan Mikoriza untuk Meningkatkan
Pertumbuhan dan Produksi Tembakau Deli (Nicotiana
Tabacum L.) pada Kondisi Cekaman Kekeringan. Tesis.
Medan: Fakultas Pertanian USU.
Anjasmara, I. M. (2019). Korelasi dan Kovarians. Surabaya:
Departemen Teknik Geomatika ITS.
Anjasmara, I. M. (2019). Regresi Linier. Surabaya: Departemen
Teknik Geomatika ITS.
Arikunto, S. (2009). Manajemen Penelitian. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Badan Informasi Geospasial. (2014). Peraturan Kepala BIG No. 3
Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Pengumpulan dan
Pengolahan Data Geospasial Mangrove. Jakarta: Badan
Informasi Geospasial.
Badan Lingkungan hidup. (2010). Buku Laporan Status
Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jawa Timur.
Surabaya: Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
142

Bappeda Provinsi Jawa Timur. (1998). Rencana Strategis


Pengelolaan Pesisir dan Laut. Surabaya: Bappeda
Provinsi Jawa Timur.
Bengen, D. G. (2001). Pedoman Teknis Pengenalan dan
Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Bogor: Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan- Institut Pertanian Bogor.
Bengen, D.G. (2004). Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam
Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Bogor:
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL) IPB.
BPS Kabupaten Gresik. (2020). Kabupaten Gresik dalam Angka
2020. Gresik: BPS Kabupaten Gresik.
Cao, S. (2013). Studies on WebGIS Water Environment Integrated
Management System Based on Different Kinds of Pond
Aquaculture Models. Sciencedirect.
Chapman, V. J. (1977). Wet Coastal Formations of Indo Malesia
and Papua New Guinea. Amsterdam-Oxford-New York:
Elsevier.
Charloq, & Setiado, H. (2005). Analisis Stres Air Terhadap
Pertumbuhan Bibit Karet Unggul (Hevea brasilliensis
Muell. Arg.). Komunikasi Penelitian 17(6), 52-56.
Chrisyariati, I., Hendrarto, B., & Suryanti. (2014). Kandungan
Nitrogen Total dan Fosfat Sedimen Mangrove pada Umur
yang Berbeda di Lingkungan Pertambakan Mangunharjo,
Semarang. Diponegoro Journal of Maquares Volume 3
Nomor 3, 65-72.
Coluzzi, R., Imbrenda, V., Lanfredi, M., & Tizi. (2018). A first
assessment of the Sentinel-2 Level 1-C cloud mask
product to support informed surface analyses. Remote
Sensing of Environment 217, 426–443.
143

Crist, E. P., & Richard, C. C. (1984). Application of Tassele-cap


Concept to Simulated Thematic Mapper Data".
Photogrammetric Engineering and Remote Sensing, 50:
343-352.
Curran, P. J. (1985). Principle of Remote Sensing. New York: John
Willy & Son.
Dahuri, R., Rasi, J., Ginting, S. P., & Sitepu, M. J. (2008).
Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan
secara Terpadu, Cetakan keempat. Jakarta: Pradnya
Paramita.
Danoedoro, P. (1996). Pengolahan Citra Digital Teori dan
Aplikasinya dalam Bidang Penginderaan Jauh.
Yogyakarta: Fakultas Geografi, Universitas Gajah Mada.
Edy, H., & Tampubolon, V. R. (2007). Aplikasi Sistem Informasi
Geografis Dalam Pemetaan Batas Administrasi, Tanah,
Geologi, Penggunaan Lahan, Lereng, Daerah Istimewa
Yogjakarta Dan Daerah Aliran Sungai Di Jawa Tengah
Menggunakan Software Arcview GIS. Jurnal UKRIM,
Edisi 1.
Emiyati, & Syarif Budhiman. (2015). Analisis Indeks Vegetasi
Mangrove Teluk Gerupuk dan Teluk Ratai Menggunakan
Landsat-8. In W. Asriningrum, & E. Parwati, Mangrove
Citra Penginderaan Jauh dan Identifikasinya (p. 32).
Bogor: IPB Press.
Emma. (2017, Desember 4). Sentinel-2. Diakses pada 29 Oktober
2019 dari Bentang Alam Hutan Tropis:
https://bentangalam-
hutantropis.fkt.ugm.ac.id/2017/12/04/sentinel-2/
ENDELEO. (2019, Desember 18). NDVI-Vegetation health &
density. Diakses pada 22 November 2019 dari
http://endeleo.vgt.vito.be/dataproducts.html
144

ESA. (2012). ESA's Optical High-Resolution Mission for GMES


Operation Service. ESA Communication: ESA/ESTEC
(Frascati, Italy) and ESA/ESRIN (Noordwijk, The
Netherlands ). ESA SP-1322/2 March 2012, ISBN: 978-
92-92221-419-7, ISSN: 0379-6566).
ESA. (2015). SENTINEL-2 User Handbook. ESA Standard
Document, 44-45.
Fahmy, S. (2012). Evaluating the Quality of Software in E-Book
Using the ISO 9126 Model. International Journal of
Control and Automation, Vol. 5, No. 2.
Faizal, A., & Amran, M. A. (2005). Model Transformasi Indeks
Vegetasi Yang Efektif Untuk Prediksi Kerapatan
Mangrove Rhizophora Mucronata. Pertemuan Ilmiah
Tahunan MAPIN XIV, 14–15.
Feller, I. C., Whigham, D. F., McKee, K. L., & Lovelock, C. E.
(2002). Nitrogen limitation of growth and nutrient
dynamics in a disturbed mangrove forest, Indian River
Lagoon, Florida. Oecologia 134, 405-414.
Gardner, F. P., Perace, R. B., & Mitchell, R. L. (1991). Fisiologi
Tanaman Budidaya. Terjemahan Herawati Susilo. Jakarta:
UI Press.
Ghozali, I. (2011). Aplikasi Analisis Multivariat dengan Program
IBM SPSS 19. Semarang: BP Universitas Diponegoro.
Gularso, H., Subiyanto, S., & Sabri, L. M. (2013). Tinjauan
Pemotretan Udara Format Kecil Menggunakan Pesawat
ModelSkywalker 1680 (Studi Kasus :Area Sekitar
Kampus UNDIP). Jurnal Geodesi Undip Volume 2, Nomor
2, 80.
145

Gunarto. (2004). Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung


Sumber Hayati Perikanan Pantai. Balai Riset Perikanan
Budidaya Air Payau: Maros.
Hartoko, A. (2001). PEMETAAN DIGITAL DAN SUMBERDAYA
HAYATI WILAYAH PESISIR KABUPATEN REMBANG.
Semarang: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Diponegoro.
Hasbi. (2004). Studi Laju Dekomposisi Serasah Mangrove di
Pantai Larea-Rea Kabupaten Sinjai. Makassar: UNHAS.
Hendrawan, Gaol, J. L., & Susilo, B. S. (2018). Studi Kerapatan
Dan Perubahan Tutupan Mangrove Menggunakan Citra
Satelit Di Pulau Sebatik Kalimantan Utara. Jurnal Ilmu
dan Teknologi Kelautan Tropis, 99.
Hidayah, N. (2018). Studi Penurunan Luasan Lahan Mangrove di
Kecamatan Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik. Swara
Bhumi Vol. 5 No. 61, 162-169.
Hidayati, A. N. (2014). Analisis Perancangan Sistem Informasi
Tracer Study Berbasis Web dengan Menggunakan
Codeigniter. Yogyakarta: Fakultas Teknik Universitas
Negeri Yogyakarta.
Howard, J. (1996). Penginderaan Jauh Untuk sumberdaya Hutan
:Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Hutabarat, S., & Evans, S. M. (1986). Pengantar Oseanografi.
Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Isyrini, R., Werorilangi, S., Mashoreng, S., Faizal, A., Tahir, A., &
Rachim, R. (2017). Karakteristik Kondisi Kimia-Fisika
Lingkungan pada Tingkatan Densitas Mangrove yang
berbeda di Ampalas, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat.
Spermonde, 43-49.
146

Jaelani, L. M. (2016). [Slide] Teori Dasar Koreksi Atmosfer.


Diakses pada 20 April 2020 dari LMJaelani.com:
http://lmjaelani.com/2016/04/slide-teori-dasar-koreksi-
atmosfer/
Jia, K., Wu, B., Tian, Y., Zeng, Y., & Li, Q. (2011). Vegetation
classification method with biochemical composition
estimated from remote sensing data. International Journal
of Remote Sensing, 32(24), 9307-9325.
Kawamuna, A., Suprayogi, A., & Wijaya, A. P. (2017). Analisis
Kesehatan Hutan Mangrove Berdasarkan Metode
Klasifikasi NDVI pada Citra Sentinel-2. Jurnal Geodesi
Undip, 277-284.
Kominfo Jatim. (2009). Kerusakan Mangrove di Pantura Gresik
Harus Dikonservasi. Diakses pada 20 November 2019 dari
http://kominfo.jatimprov.go.id/
Kristianingsih, L., Wijaya, A. P., & Sukmono, A. (2016). Analisis
Pengaruh Koreksi Atmosfer Terhadap Estimasi
Kandungan Klorofil-A Menggunakan Citra Landsat 8.
Jurnal Geodesi Undip Volume 5, Nomor 4, 58-59.
Kushardono, D. (1999). Klasifikasi penutupan/penggunaan lahan.
Jakarta: LAPAN.
Kushardono, D. (2017). Klasifikasi Digital pada Penginderaan
Jauh. Jakarta: PT Penerbit IPB Press.
Kusmana, C. (1995). Manajemen Hutan Mangrove di Indonesia.
Prosiding Simposium Penerapan Ekolabel di Hutan
Produksi. Jakarta.
Kusumowidagdo, M. e. (2007). Penginderaan Jauh dan
Interpretasi Citra. Semarang: LAPAN dan UNNES.
Kuswayatno, L. (2004). Mahir dan Terampil Berkomputer.
Bandung: Grafindo.
147

Landgrebe, D. (2003). Signal Theory Methods In Multispectral


Remote Sensing. New Jersey: John Willey & Sons Inc.
Lillesand, & Kiefer, R. W. (1990). Penginderaan Jauh dan
Interpretasi Citra. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Lillesand, T. M., Kiefer, R. W., & Chipman, J. W. (2004). Remote
Sensing and Image Interpretation. Fifth Edition. New
York: John Wiley & Sons.
Luthfina, M. W., Sudarsono, B., & Suprayogi, A. (2019). Analisis
Kesesuaian Penggunaan Lahan Terhadap Rencana Tata
Ruang Wilayah Tahun 2010-2030 Menggunakan Sistem
Informasi Geografis di Kecamatan Pati. Jurnal Geodesi
Undip, VOL 8 NO 1.
Ma'shum, M., Soedarsono, J., & Susilowati, L. E. (2003). Biologi
Tanah. CPIU Pasca IAEUP. Jakarta: Ditjen Pendidikan
Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
Menteri Lingkungan Hidup. (2004). Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004 tentang Kriteria
Baku Dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove.
Jakarta: Kementrian Lingkungan Hidup.
Muhsoni, F. F. (2015). Penginderaan Jauh (Remote Sensing).
Bangkalan: UTMPRESS .
Mulyatiningsih, E. (2011). Riset Terapan Bidang Pendidikan
Teknik. Yogyakarta: UNY Press.
Noor, Y. R., M, K., & Suryadiputra, I. N. (1999). Panduan
Pengenalan Mangrove di Indonesia. Bogor: PKA-
Wetland International Indonesia Program.
Nurry, A., & Anjasmara, I. M. (2014). Kajian Perubahan Tutupan
Lahan Daerah Aliran Sungai Brantas Bagian Hilir
Menggunakan Citra Satelit Multi Temporal (Studi Kasus:
148

Kali Porong, Kabupaten Sidoarjo). GEOID Vol. 10, No.


01, 70-74.
Nybakken, J.W. (1992). Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Prahasta, E. (2006). Membangun Web Based GIS dengan
Mapserver. Bandung: CV. Informatika.
Prahasta, E. (2009). Sistem Informasi Geografis: Konsep-Konsep
Dasar (Perspektif Geodesi dan Geomatika). Bandung.
Prasetyo, A., Nyoto, S., & Prasetyo, L. B. (2017). Kerusakan
Ekosistem Mangrove di Kecamatan Ujung Pangkah
Kabupaten Gresik Provinsi Jawa Timur. Jurnal Silvikultur
Tropika Vol. 8 No. 2, 130-133.
Purnomo, R. A. (2016). Analisis Statistik Ekonomi dan Bisnis
dengan SPSS. Ponorogo: CV. WADE GROUP.
Purwanto, A. D., & Harsanugraha, W. K. (2015). Kondisi Hutan
Mangrove di Pesisir Timur Banyuasin Sumatera Selatan
Periode Tahun 2002-2014. In W. Asriningrum, & E.
Parwati, Mangrove-Citra Penginderaan Jauh dan
Identifikasinya (p. 177). Bogor: IPB Press.
Ratnasari, D., & Sukojo, B. M. (2017). Analisa Kondisi Ekosistem
Mangrove Menggunakan Data Citra Satelit Multitemporal
dan Multilevel (Studi Kasus : Pesisir Utara Surabaya).
Surabaya: Departemen Teknik Geomatika, ITS.
Rudianto. (2014). Analisis Restorasi Ekosistem Wilayah Pesisir
Terpadu Berbasis Co-Management: Studi Kasus di
Kecamatan Ujung Pangkah dan Kecamatan Bungah,
Kabupaten Gresik. Research Journal Of Life Science, 54-
67.
149

Sholichin, M. (2012). Aplikasi GIS : Remote Sensing untuk


Cathment Area. Malang: Jurusan Teknik Pengairan,
Universitas Brawijaya.
Soeroyo. (1993). “Sumbangan Mangrove Terhadap Kesuburan
Pantai di Handeuleun, Ujung Kulon, Jawa Barat”.
Prosiding Simposium Perikanan Indonesia 1, (pp. 25-27).
Subakti, B. (2017). Pemanfaatan Foto Udara UAV untuk
Pemodelan Bangunan 3D dengan Metode Otomatis.
Spectra, 15 - 30.
Sudiana, D., & Elfa, D. (2008). Analisis Indeks Vegetasi
Menggunakan Data Satelit NOAA/AVHRR dan
TERRA/AQUA-MODIS. Jakarta.
Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan
R&D. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono, P. D. (2011). Metode Penelitian Kombinasi (Mixed
Methods). Bandung: Alfabeta.
Susiana. (2011). Diversitas Dan Kerapatan Mangrove,
Gastropoda Dan Bivalvia Di Estuari Perancak, Bali.
Makassar: Jurusan Perikanan, Universitas Hasanuddin.
Sutanto. (1986). Penginderaan Jauh I. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Sutanto, R. (2005). Dasar-dasar Ilmu Tanah, Konsep dan
Kenyataan. Yogyakarta: Kanisius.
Suwargana, N. (2013). Resolusi Spasial, Temporal dan Spektral
pada Citra Satelit Landsat, Spot dan Ikonos. Jurnal Ilmiah
Widya Vol. 1 No. 2, 167-174.
Syah, A. F. (2010). Penginderaan Jauh dan Aplikasinya di Wilayah
Pesisir dan Lautan. Jurnal Kelautan Vol. 3 No. 1, 18-28.
150

Utomo, R., Nugraha, A., & Suprayogi, A. (2020). Aplikasi


Persebaran Lokasi Penelitian Mahasiswa Teknik Geodesi
Undip Berbasis WebGIS. Jurnal Geodesi Undip, 276.
Vaiphasa, C. (2006). Remote Sensing Techniques for Mangrove
Mapping. Enschede. ITC. The Netherlands: International
Institute for Geo-information Science & Earth
Observation.
Wicaksono, F. Y. (2009). Foto Udara. Yogyakarta: Badan
Perpusakaan dan Arsip Daerah Provinsi DIY.
Wikantika, K. (2009). Unmanned Mapping Technology:
Development and Applications. Workshop Sehari
“Unmanned Mapping Technology: Development and
Applications” (UnMapTech2008). Bandung.
Wolf, P. R. (1993). Elemen Fotogrametri dengan Interpretasi Foto
Udara dan Penginderaan Jauh, Penerjemah: Gunadi,
Gunawan, T., Zuharnen, Edisi kedua. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
WWF. (2015). Manfaat Hutan Mangrove Untuk Manusia. Diakses
pada 13 November 2019 dari http://earthhour.wwf.or.id/5-
manfaat-hutan-mangrove-untuk-manusia/
Yuwono, N. W. (2004). Nilai Kesuburan Tanah Mangrove di
Kepulauan Seribu. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia.
151

LAMPIRAN

Lampiran 1. Dokumen Validasi Citra Hasil Klasifikasi Supervised


(Sumber: Hasil Olahan 2020)
WGS 1984 UTM 49 S
ID Klasifikasi Citra Lapangan
Timur (m) Utara (m)
0 Daerah Bervegetasi 681545 9209005 Daerah Bervegetasi
1 Daerah Bervegetasi 683465 9207026 Daerah Bervegetasi
2 Daerah Bervegetasi 679106 9208724 Daerah Bervegetasi
3 Daerah Bervegetasi 676956 9208155 Daerah Bervegetasi
4 Daerah Bervegetasi 683729 9205152 Daerah Bervegetasi
5 Daerah Bervegetasi 680955 9206229 Daerah Bervegetasi
6 Daerah Bervegetasi 677456 9206665 Daerah Bervegetasi
7 Daerah Bervegetasi 678696 9205016 Daerah Bervegetasi
8 Daerah Bervegetasi 679185 9207437 Daerah Bervegetasi
9 Daerah Bervegetasi 680921 9205288 Daerah Bervegetasi
10 Daerah Bervegetasi 676513 9210000 Daerah Bervegetasi
11 Daerah Bervegetasi 679578 9214715 Daerah Bervegetasi
12 Daerah Bervegetasi 677013 9215156 Mangrove
13 Daerah Bervegetasi 671935 9218227 Daerah Bervegetasi
14 Daerah Bervegetasi 672295 9215385 Daerah Bervegetasi
15 Daerah Bervegetasi 679609 9216829 Mangrove
16 Daerah Bervegetasi 680342 9209837 Daerah Bervegetasi
17 Daerah Bervegetasi 675647 9211776 Daerah Bervegetasi
18 Daerah Bervegetasi 677990 9210717 Daerah Bervegetasi
19 Daerah Bervegetasi 675994 9218250 Daerah Bervegetasi
20 Daerah Bervegetasi 680905 9222103 Daerah Bervegetasi
21 Daerah Bervegetasi 681929 9220207 Daerah Bervegetasi
22 Daerah Bervegetasi 675952 9220469 Daerah Bervegetasi
23 Daerah Bervegetasi 672520 9220658 Daerah Bervegetasi
24 Daerah Bervegetasi 669967 9221484 Daerah Bervegetasi
25 Daerah Bervegetasi 667584 9222872 Daerah Bervegetasi
26 Daerah Bervegetasi 675860 9223191 Mangrove
27 Daerah Bervegetasi 674321 9224314 Daerah Bervegetasi
28 Daerah Bervegetasi 671223 9224113 Daerah Bervegetasi
29 Daerah Bervegetasi 672496 9222260 Daerah Bervegetasi
30 Daerah Bervegetasi 673225 9226444 Daerah Bervegetasi
31 Daerah Bervegetasi 672388 9227265 Daerah Bervegetasi
32 Daerah Bervegetasi 667507 9227861 Daerah Bervegetasi
152

WGS 1984 UTM 49 S


ID Klasifikasi Citra Lapangan
Timur (m) Utara (m)
33 Daerah Bervegetasi 675352 9229269 Daerah Bervegetasi
34 Daerah Bervegetasi 667253 9230087 Daerah Bervegetasi
35 Daerah Bervegetasi 665468 9227926 Daerah Bervegetasi
36 Daerah Bervegetasi 671390 9228901 Daerah Bervegetasi
37 Daerah Bervegetasi 669917 9231011 Daerah Bervegetasi
38 Daerah Bervegetasi 671430 9232848 Daerah Bervegetasi
39 Daerah Bervegetasi 666711 9231757 Daerah Bervegetasi
40 Daerah Bervegetasi 664978 9236191 Daerah Bervegetasi
41 Daerah Bervegetasi 671640 9235314 Daerah Bervegetasi
42 Daerah Bervegetasi 668869 9233822 Daerah Bervegetasi
43 Daerah Bervegetasi 665369 9233972 Daerah Bervegetasi
44 Daerah Bervegetasi 674646 9233628 Daerah Bervegetasi
45 Daerah Bervegetasi 672080 9240352 Mangrove
46 Daerah Bervegetasi 668694 9236027 Daerah Bervegetasi
47 Daerah Bervegetasi 666830 9235041 Daerah Bervegetasi
48 Daerah Bervegetasi 672027 9230286 Daerah Bervegetasi
49 Daerah Bervegetasi 677490 9236471 Mangrove
0 Daerah Non Vegetasi 682114 9208907 Daerah Non Vegetasi
1 Daerah Non Vegetasi 682907 9207919 Daerah Non Vegetasi
2 Daerah Non Vegetasi 682534 9206377 Daerah Non Vegetasi
3 Daerah Non Vegetasi 679976 9207129 Daerah Non Vegetasi
4 Daerah Non Vegetasi 679145 9208315 Daerah Non Vegetasi
5 Daerah Non Vegetasi 676162 9208406 Daerah Non Vegetasi
6 Daerah Non Vegetasi 676958 9206835 Daerah Non Vegetasi
7 Daerah Non Vegetasi 677779 9205662 Daerah Non Vegetasi
8 Daerah Non Vegetasi 679637 9205952 Daerah Non Vegetasi
9 Daerah Non Vegetasi 682240 9204535 Daerah Non Vegetasi
10 Daerah Non Vegetasi 677757 9209908 Daerah Non Vegetasi
11 Daerah Non Vegetasi 677101 9213129 Daerah Non Vegetasi
12 Daerah Non Vegetasi 675699 9212630 Daerah Non Vegetasi
13 Daerah Non Vegetasi 671129 9219758 Daerah Non Vegetasi
14 Daerah Non Vegetasi 671999 9219353 Daerah Non Vegetasi
15 Daerah Non Vegetasi 671658 9218060 Daerah Non Vegetasi
16 Daerah Non Vegetasi 670176 9216625 Daerah Non Vegetasi
17 Daerah Non Vegetasi 675449 9216419 Daerah Non Vegetasi
18 Daerah Non Vegetasi 673915 9218856 Daerah Non Vegetasi
19 Daerah Non Vegetasi 680692 9217683 Perairan
20 Daerah Non Vegetasi 681395 9221291 Daerah Non Vegetasi
21 Daerah Non Vegetasi 680854 9221087 Daerah Non Vegetasi
153

WGS 1984 UTM 49 S


ID Klasifikasi Citra Lapangan
Timur (m) Utara (m)
22 Daerah Non Vegetasi 675555 9221472 Perairan
23 Daerah Non Vegetasi 673817 9220337 Daerah Non Vegetasi
24 Daerah Non Vegetasi 670958 9222464 Daerah Non Vegetasi
25 Daerah Non Vegetasi 669478 9222747 Perairan
26 Daerah Non Vegetasi 665629 9222646 Daerah Non Vegetasi
27 Daerah Non Vegetasi 668675 9221966 Daerah Non Vegetasi
28 Daerah Non Vegetasi 672457 9224005 Daerah Non Vegetasi
29 Daerah Non Vegetasi 673955 9224533 Perairan
30 Daerah Non Vegetasi 675738 9226031 Daerah Non Vegetasi
31 Daerah Non Vegetasi 673141 9226880 Daerah Non Vegetasi
32 Daerah Non Vegetasi 670019 9228374 Daerah Non Vegetasi
33 Daerah Non Vegetasi 666486 9227278 Daerah Non Vegetasi
34 Daerah Non Vegetasi 665666 9228074 Daerah Non Vegetasi
35 Daerah Non Vegetasi 666632 9229480 Daerah Non Vegetasi
36 Daerah Non Vegetasi 669988 9229199 Daerah Non Vegetasi
37 Daerah Non Vegetasi 671655 9231259 Daerah Non Vegetasi
38 Daerah Non Vegetasi 666311 9231126 Daerah Non Vegetasi
39 Daerah Non Vegetasi 668269 9230153 Daerah Non Vegetasi
40 Daerah Non Vegetasi 666656 9232812 Daerah Non Vegetasi
41 Daerah Non Vegetasi 665973 9234635 Daerah Non Vegetasi
42 Daerah Non Vegetasi 664724 9236475 Daerah Non Vegetasi
43 Daerah Non Vegetasi 666135 9236237 Daerah Non Vegetasi
44 Daerah Non Vegetasi 669442 9235729 Daerah Non Vegetasi
45 Daerah Non Vegetasi 672096 9235366 Daerah Non Vegetasi
46 Daerah Non Vegetasi 671779 9236583 Daerah Non Vegetasi
47 Daerah Non Vegetasi 670156 9241857 Perairan
48 Daerah Non Vegetasi 678450 9236320 Perairan
49 Daerah Non Vegetasi 669349 9232260 Daerah Non Vegetasi
0 Mangrove 683910 9207156 Mangrove
1 Mangrove 683780 9207134 Mangrove
2 Mangrove 681870 9204401 Mangrove
3 Mangrove 678950 9203681 Mangrove
4 Mangrove 682378 9210021 Mangrove
5 Mangrove 679685 9211431 Mangrove
6 Mangrove 679630 9214915 Mangrove
7 Mangrove 680271 9218294 Mangrove
8 Mangrove 680810 9219240 Mangrove
9 Mangrove 673400 9215032 Mangrove
10 Mangrove 681701 9222822 Mangrove
154

WGS 1984 UTM 49 S


ID Klasifikasi Citra Lapangan
Timur (m) Utara (m)
11 Mangrove 681640 9224107 Mangrove
12 Mangrove 678910 9226215 Mangrove
13 Mangrove 677417 9229860 Mangrove
14 Mangrove 676280 9223711 Mangrove
15 Mangrove 676999 9220356 Mangrove
16 Mangrove 674019 9228130 Mangrove
17 Mangrove 676959 9230733 Mangrove
18 Mangrove 668659 9236828 Mangrove
19 Mangrove 670090 9236510 Mangrove
20 Mangrove 669208 9237825 Mangrove
21 Mangrove 671350 9237718 Mangrove
22 Mangrove 670319 9239021 Mangrove
23 Mangrove 671229 9239521 Mangrove
24 Mangrove 670549 9239823 Mangrove
25 Mangrove 669461 9239949 Mangrove
26 Mangrove 669232 9240659 Mangrove
27 Mangrove 668165 9240280 Mangrove
28 Mangrove 668282 9240815 Mangrove
29 Mangrove 669042 9241276 Mangrove
30 Mangrove 669347 9241662 Mangrove
31 Mangrove 669630 9241247 Mangrove
32 Mangrove 670138 9241635 Mangrove
33 Mangrove 670809 9240900 Mangrove
34 Mangrove 671323 9242055 Mangrove
35 Mangrove 671290 9242811 Mangrove
36 Mangrove 672026 9242846 Mangrove
37 Mangrove 672280 9242233 Mangrove
38 Mangrove 674074 9241651 Mangrove
39 Mangrove 673608 9240667 Mangrove
40 Mangrove 672768 9239181 Mangrove
41 Mangrove 673056 9238281 Mangrove
42 Mangrove 674346 9237775 Mangrove
43 Mangrove 675607 9238246 Mangrove
44 Mangrove 676900 9237511 Mangrove
45 Mangrove 677435 9239447 Mangrove
46 Mangrove 678507 9237187 Mangrove
47 Mangrove 678269 9237917 Mangrove
48 Mangrove 676404 9231927 Mangrove
49 Mangrove 674986 9234757 Mangrove
155

WGS 1984 UTM 49 S


ID Klasifikasi Citra Lapangan
Timur (m) Utara (m)
0 Perairan 683874 9207269 Perairan
1 Perairan 682224 9209634 Perairan
2 Perairan 681468 9206610 Perairan
3 Perairan 682996 9205335 Perairan
4 Perairan 675975 9207605 Perairan
5 Perairan 677536 9204987 Perairan
6 Perairan 678395 9211640 Perairan
7 Perairan 673905 9209674 Perairan
8 Perairan 673455 9213022 Perairan
9 Perairan 671239 9215029 Perairan
10 Perairan 670457 9217483 Daerah Bervegetasi
11 Perairan 671179 9219366 Perairan
12 Perairan 674059 9217011 Perairan
13 Perairan 677639 9218070 Perairan
14 Perairan 680266 9216031 Perairan
15 Perairan 679515 9220187 Perairan
16 Perairan 681619 9222573 Perairan
17 Perairan 678699 9225497 Perairan
18 Perairan 677474 9227874 Perairan
19 Perairan 673707 9222693 Perairan
20 Perairan 668971 9223827 Perairan
21 Perairan 666287 9223383 Perairan
22 Perairan 667353 9221618 Perairan
23 Perairan 672106 9224495 Perairan
24 Perairan 677829 9223391 Mangrove
25 Perairan 676178 9220908 Mangrove
26 Perairan 676371 9230376 Perairan
27 Perairan 674799 9226754 Perairan
28 Perairan 674237 9229363 Perairan
29 Perairan 670019 9225476 Perairan
30 Perairan 671286 9227619 Perairan
31 Perairan 669104 9227282 Perairan
32 Perairan 666320 9235746 Perairan
33 Perairan 666734 9233284 Perairan
34 Perairan 671818 9229069 Perairan
35 Perairan 670671 9233314 Perairan
36 Perairan 672471 9235089 Perairan
37 Perairan 674949 9232220 Perairan
38 Perairan 676163 9235474 Perairan
156

WGS 1984 UTM 49 S


ID Klasifikasi Citra Lapangan
Timur (m) Utara (m)
39 Perairan 678048 9235459 Perairan
40 Perairan 678424 9238125 Perairan
41 Perairan 675610 9237599 Perairan
42 Perairan 673460 9237509 Mangrove
43 Perairan 670187 9237428 Mangrove
44 Perairan 671673 9238750 Perairan
45 Perairan 673610 9239584 Perairan
46 Perairan 672553 9240787 Perairan
47 Perairan 671791 9242415 Perairan
48 Perairan 670798 9241621 Perairan
49 Perairan 670139 9240452 Mangrove
157

Lampiran 2. Data Hasil Analisis Kadar Air Tanah dan Nitrogen (N)
Tanah (Sumber: Hasil Uji Laboratorium)
158
159

Lampiran 3. Data Hasil Analisis pH Air dan Salinitas Air (Sumber:


Hasil Olahan 2020)
160
161

Lampiran 4. Dokumentasi Mangrove di Titik Sampel Lapangan


(Sumber: Dokumen Pribadi 2020)

Kondisi Mangrove di Titik Sampel 1 dengan Koordinat WGS


1984 UTM 49 S (683643,081 E ; 9205135,290 N)

Kondisi Mangrove di Titik Sampel 2 dengan Koordinat WGS


1984 UTM 49 S (682727,217 E ; 9209796,597 N)
162

Kondisi Mangrove di Titik Sampel 3 dengan Koordinat WGS


1984 UTM 49 S (675133,355 E ; 9215813,632 N)

Kondisi Mangrove di Titik Sampel 4 dengan Koordinat WGS


1984 UTM 49 S (671783,442 E ; 9236765,381 N)
163

Kondisi Mangrove di Titik Sampel 5 dengan Koordinat WGS


1984 UTM 49 S (668724,317 E ; 9236355,930 N)

Kondisi Mangrove di Titik Sampel 6 dengan Koordinat WGS


1984 UTM 49 S (668724,317 E ; 9236355,930 N)
164

Kondisi Mangrove di Titik Sampel 7 dengan Koordinat WGS


1984 UTM 49 S (671783,442 E ; 9236765,381 N)
165

Lampiran 5. Peta Kerapatan Mangrove Tahun 2016-2019 Skala


1:150.000 (Sumber: Hasil Olahan 2020)

Peta Kerapatan Mangrove Tahun 2016


166

Peta Kerapatan Mangrove Tahun 2017


167

Peta Kerapatan Mangrove Tahun 2018


168

Peta Kerapatan Mangrove Tahun 2019


169

Lampiran 6. Peta Kerapatan Mangrove Tahun 2016 Skala 1:10.000


(Sumber: Hasil Olahan 2020)

Peta Kerapatan Mangrove di Titik Lokasi 1 Tahun 2016 dengan


Koordinat WGS 1984 UTM 49 S (683643,081 E ; 9205135,290
N)
170

Peta Kerapatan Mangrove di Titik Lokasi 2 Tahun 2016 dengan


Koordinat WGS 1984 UTM 49 S (682727,217 E ; 9209796,597
N)
171

Peta Kerapatan Mangrove di Titik Lokasi 3 Tahun 2016 dengan


Koordinat WGS 1984 UTM 49 S (675133,355 E ; 9215813,632
N)
172

Peta Kerapatan Mangrove di Titik Lokasi 4 dan 7 Tahun 2016


dengan Koordinat WGS 1984 UTM 49 S (671783,442 E ;
9236765,381 N)
173

Peta Kerapatan Mangrove di Titik Lokasi 5 dan 6 Tahun 2016


dengan Koordinat WGS 1984 UTM 49 S (668724,317 E ;
9236355,930 N)
174

Lampiran 7. Peta Kerapatan Mangrove Tahun 2017 Skala 1:10.000


(Sumber: Hasil Olahan 2020)

Peta Kerapatan Mangrove di Titik Lokasi 1 Tahun 2017 dengan


Koordinat WGS 1984 UTM 49 S (683643,081 E ; 9205135,290
N)
175

Peta Kerapatan Mangrove di Titik Lokasi 2 Tahun 2017 dengan


Koordinat WGS 1984 UTM 49 S (682727,217 E ; 9209796,597
N)
176

Peta Kerapatan Mangrove di Titik Lokasi 3 Tahun 2017 dengan


Koordinat WGS 1984 UTM 49 S (675133,355 E ; 9215813,632
N)
177

Peta Kerapatan Mangrove di Titik Lokasi 4 dan 7 2017 dengan


Koordinat WGS 1984 UTM 49 S (671783,442 E ; 9236765,381
N)
178

Peta Kerapatan Mangrove di Titik Lokasi 5 dan 6 Tahun 2017


dengan Koordinat WGS 1984 UTM 49 S (668724,317 E ;
9236355,930 N)
179

Lampiran 8. Peta Kerapatan Mangrove Tahun 2018 Skala 1:10.000


(Sumber: Hasil Olahan 2020)

Peta Kerapatan Mangrove di Titik Lokasi 1 Tahun 2018 dengan


Koordinat WGS 1984 UTM 49 S (683643,081 E ; 9205135,290
N)
180

Peta Kerapatan Mangrove di Titik Lokasi 2 Tahun 2018 dengan


Koordinat WGS 1984 UTM 49 S (682727,217 E ; 9209796,597
N)
181

Peta Kerapatan Mangrove di Titik Lokasi 3 Tahun 2018 dengan


Koordinat WGS 1984 UTM 49 S (675133,355 E ; 9215813,632
N)
182

Peta Kerapatan Mangrove di Titik Lokasi 4 dan 7 Tahun 2018


dengan Koordinat WGS 1984 UTM 49 S (671783,442 E ;
9236765,381 N)
183

Peta Kerapatan Mangrove di Titik Lokasi 5 dan 6 Tahun 2018


dengan Koordinat WGS 1984 UTM 49 S (668724,317 E ;
9236355,930 N)
184

Lampiran 9. Peta Kerapatan Mangrove Tahun 2019 Skala 1:10.000


(Sumber: Hasil Olahan 2020)

Peta Kerapatan Mangrove di Titik Lokasi 1 Tahun 2019 dengan


Koordinat WGS 1984 UTM 49 S (683643,081 E ; 9205135,290
N)
185

Peta Kerapatan Mangrove di Titik Lokasi 2 Tahun 2019 dengan


Koordinat WGS 1984 UTM 49 S (682727,217 E ; 9209796,597
N)
186

Peta Kerapatan Mangrove di Titik Lokasi 3 Tahun 2019 dengan


Koordinat WGS 1984 UTM 49 S (675133,355 E ; 9215813,632
N)
187

Peta Kerapatan Mangrove di Titik Lokasi 4 dan 7 Tahun 2019


dengan Koordinat WGS 1984 UTM 49 S (671783,442 E ;
9236765,381 N)
188

Peta Kerapatan Mangrove di Titik Lokasi 5 dan 6 Tahun 2019


dengan Koordinat WGS 1984 UTM 49 S (668724,317 E ;
9236355,930 N)
189

BIODATA PENULIS

Penulis lahir di Surabaya pada tanggal 14


September 1997 dan telah menempuh
pendidikan formal di TK Nurul Islam,
SDN Klakahrejo I/578, SMPN 26
Surabaya, SMAN 21 Surabaya dan
kemudian melanjutkan pendidikan di
perguruan tinggi negeri di Surabaya,
diterima di Departemen Teknik
Geomatika, Fakultas Teknik Sipil,
Perencanaan dan Kebumian, ITS pada
tahun 2016 melalui jalur SBMPTN
dengan NRP 03311640000050. Selama menjadi mahasiswa,
penulis cukup aktif mengikuti kegiatan kemahasiswaan sebagai
pengurus Himpunan Mahasiswa Geomatika (HIMAGE), yaitu
sebagai staff di Departemen Kesejahteraan Mahasiswa HIMAGE-
ITS periode 2017/2018 dan sebagai Kepala Biro Akademik di
Departemen Keprofesian dan Akademik HIMAGE-ITS periode
2018/2019. Penulis juga tergabung dalam komunitas PVIA ITS
sebagai bendahara periode 2019/2020. Selain itu, penulis juga
cukup aktif mengikuti LKMM PRA-TD FTSP pada tahun 2016
serta berbagai kegiatan organisasi kepanitiaan. Sebagai bentuk
ketertarikannya pada bidang penginderaan jauh, penulis
melakukan penelitian tugas akhir dengan judul “Analisis
Perubahan Kerapatan Mangrove Menggunakan Algoritma
Normalized Difference Vegetation Index pada Citra Satelit
Multitemporal Berbasis WebGIS (Studi Kasus: Kabupaten
Gresik)” sebagai syarat dalam penyelesaian studi di jenjang S1.

Anda mungkin juga menyukai