Sastra Anak: Lisan dan Tulis. Perlu ditegaskan di sini bahwa analogi
dengan pemahaman terhadap sastra secara umum, sastra anak sebenarnya
tidak terbatas pada buku-buku bacaan, pada segala sesuatu yang dicetak
secara verbal. Dalam dunia kesastraan dikenal adanya sastra lisan dan sastra
tulis. Sastra lisan adalah sastra yang diceritakan dan diwariskan secara
turuntemurun secara lisan. Sastra jenis ini kemudian dikenal sebagai
folklore, cerita rakyat yang telah mentradisi yang hidup dan dipertahankan
oleh masyarakat pemiliknya. Oleh karena itu, folklore kini ditandai sebagai
salah satu jenis sastra tradisional. Sastra anak pun pada kenyataannya
mengenal jenis sastra lisan yang salah satunya adalah berbagai cerita yang
dikenal sebagai sastra tradisional tersebut. Dewasa ini berbagai cerita lisan-
tradisional sudah dihimpun dan dibukukan untuk menjaga kelestariannya.
Misalnya, ceritacerita tradisional yang terhimpun dalam buku Cerita Rakyat
dari Yogyakarta dan Cerita Rakyat dari Surakarta (Bakdi Soemanto, 1998),
serta cerita dari berbagai daerah dari seluruh Indonesia yang kini sudah
tersedia banyak di toko-toko buku.
Namun, sebenarnya anak-anak yang belum dapat membaca pun
sudah mengenal, memperoleh, dan menikmati sastra lisan, yaitu cerita
yang dikisahkan oleh orang tua, guru, atau pencerita lain. Hal ini telah
Siapakah yang Discbut Anak Itu? Sejauh ini telah berkali-kali disebut
sastra anak, tetapi siapakah sebenarnya yang dapat dikategorikan sebagai anak?
Apakah cukup jika hanya dikatakan bahwa anak adalah orang yang belum
dewasa sehingga dapat dipahami dalam pengcrtian bertentangan, dalam arti ada
perbedaan karakter antara keduanya sehingga bacaan disediakan untuk mereka
juga berbeda? Dalam berbagai literatur tentang sastra anak tidak ditemukan
batasan yang secara jelas menunjuk siapa saja anak itu dalam batasan usía,
melainkan lebih banyak disebut usia prasekolah dan sekolah atau usia awal dan
usia lebih besar, dan lain-lain yang sejenis. Untuk membatasi masalah "siapa
anak" tersebut pendapat-pendapat di bawah ini perlu dipakai sebagai bahan
pertimbangan.
Siapakah Penulis Sastra Anali? Sastra anak adalah karya sastra yang
menempatkan sudut pandang anak sebagai pusat penceritaan.
Persoalannya kini adalah siapakah penulis dan/atau pengarang bükü sastra
anak itu? Sebenarnya, siapa pun penulis sastra anak bukan masalah, asal
secara sadar bükü yang ditulisnya memang dimaksudkan untuk
dikonsumsikan kepada anako Dengan demikian, bükü itü mesti memenuhj
persyaratan kriteria sebagai bacaan anak. Yang disebut sebagai anak itü
sendiri juga membentang dalam jarak usia yang relatif jauh, dan ada
perbedaan yang jelas antara anak usia prasekolah misalnya, dengan anak
usia 11—12 tahun yang masih juga disebut anak. Jadi, siapa pun penulis
bükü bacaan itü mesti juga sadar pada kelompok usia yang mana, atau
pada kelas-kelas sekolah berapa, bükü yang ditulis itü dimaksudkan.
Menulis bacaan cerita untuk anak usia prasekolah dan kelas 1 tentü
berbeda dengan bacaan cerita untuk anak kelas 5—6 sekolah dasar.
Oleh karena itu, para penuljs bükü sastra anak perlu memiliki bekal
pengetahuan perihal kebocahan. Misalnya, terhadap hal-hal yang
menyangkut tingkat perkembangan emosional, intelektual, bahasa, dan
Dipindai dengan CamScanner
lain-lain, serta bagaimana sifat tanggapan anak pada tahap tertentu pada
bacaan sastra (lihat
Bab III). Bükü sastra anak pada umumnya ditulis oleh dewasa. Para
pengarang itü untuk menyebut beberapa orang saja, misalnya, adalah
Arswendo
(10) Repetisi: sastra anak menghadirkan sesuatu yang bersifat repetitif. Hal
itu dapat menyangkut tokoh, karakter tokoh, peristiwa, aksi,
pengalaman, alur, moral, bahkan juga aspek stile seperti diksi,
struktur, dan ungkapan. Tujuan repetitif antara lain untuk
(11) Penulis: penulis sastra boleh siapa saja, anak atau dewasa. Tetapi,
siapa pun yang menulis sastra anak harus tunduk pada berbagai
"ketentuan" yang antara lain mesti menempatkan anak sebagai sudut
pandang semua pengisahan dan keterjangkauan pengalaman. Jadi,
segala sesuatu itu seolah-olah berasal dari, oleh, dan untuk anak.