Anda di halaman 1dari 7

kosakata serta kalimat yang kompleks.

Oleh karena itu, secara umum dapat


dikatakan bahwa bahasa sastra anak berkarakteristik sederhana, sederhana
dalam kosakata, struktur, dan ungkapan. Anak belum dapat memahami
ungkapan-ungkapan kompleks, apalagi ungkapan yang baru, orisinal, dan
tidak lazim sebagaimana dalam sastra dewasa. Bahasa sastra anak masih lebih
lugas, apa adanya, dan tidak berbelit. Demikian pula halnya dalam teknik
penceritaan. Alur cerita haruslah yang juga sederhana, mudah dipahami dan
diimajinasikan, tidak berbelit dan tidak kompleks. Karakter tokoh tentulah
lebih menunjuk pada karakter yang sederhana dan familier sehingga anak
juga merasa dekat dan sudah mengenali. Hubungan antara alur dan karakter,
karakter dengan berbagai aksi dan peristiwa, terlihat langsung dan jelas serta
mudah dikenali hubungan sebab-akibatnya. Namun, tentu saja terdapat
gradasi tentang kesederhanaan dan/atau kompleksitas sastra anak berdasarkan
usia dan tingkat perkembangan jiwa,

Sastra Anak: Lisan dan Tulis. Perlu ditegaskan di sini bahwa analogi
dengan pemahaman terhadap sastra secara umum, sastra anak sebenarnya
tidak terbatas pada buku-buku bacaan, pada segala sesuatu yang dicetak
secara verbal. Dalam dunia kesastraan dikenal adanya sastra lisan dan sastra
tulis. Sastra lisan adalah sastra yang diceritakan dan diwariskan secara
turuntemurun secara lisan. Sastra jenis ini kemudian dikenal sebagai
folklore, cerita rakyat yang telah mentradisi yang hidup dan dipertahankan
oleh masyarakat pemiliknya. Oleh karena itu, folklore kini ditandai sebagai
salah satu jenis sastra tradisional. Sastra anak pun pada kenyataannya
mengenal jenis sastra lisan yang salah satunya adalah berbagai cerita yang
dikenal sebagai sastra tradisional tersebut. Dewasa ini berbagai cerita lisan-
tradisional sudah dihimpun dan dibukukan untuk menjaga kelestariannya.
Misalnya, ceritacerita tradisional yang terhimpun dalam buku Cerita Rakyat
dari Yogyakarta dan Cerita Rakyat dari Surakarta (Bakdi Soemanto, 1998),
serta cerita dari berbagai daerah dari seluruh Indonesia yang kini sudah
tersedia banyak di toko-toko buku.
Namun, sebenarnya anak-anak yang belum dapat membaca pun
sudah mengenal, memperoleh, dan menikmati sastra lisan, yaitu cerita
yang dikisahkan oleh orang tua, guru, atau pencerita lain. Hal ini telah

Dipindai dengan CamScanner


terjadi ketika anak berusia 2—3 tahun sebelum mengenal tulisan dan
sebelum mampu membaca. Cerita yang dikisahkan oleh ibu pada
umumnya tidak terbatas pada
sastra tradisional, tetapi juga cerita yang berlatar kini, dan bahkan cerita yang
sengaja "diciptakan" olch orang tua. Berawal dari kcbiasaan memperoleh
cerita lisan inilah anak mulai tertarik dan memcrlukan cerita-cerita lain yang
kelak dapat (liperolehnya sendiri lewat buku-buku bacaan sastra.
Selain itu, berbagai nyanyian yang biasa dinyanyikan ibu,
nyanyiannyanyian ninabobo, kata secara Vilna dan irama, dan
lain-lain juga dapat (likategorikan sebagai puisi anak tradisional, puisi
dolanan, atau tembang-telllbang dolanan (nursery rhynes). Nyanyian-
nyanyian tcrsebut sering dinyanyikan (lengan (lisertai aktivitas fisik seperti
tepuk tangan dan gerakan kepala ke kanan kiri yang (lililaksudkan untuk
menggcmbirakan anak, atau lagu-lagu ninabobo yang climaksudkan untuk
mcmbtljuk, Inenyenangkan, atau menidurkan anak. Nyanyian-nyanyian dan
pcrmainan kata tersebut jika dituliskan pastilah ber«tljucl puisi. Jadi, sastra
anak membentang dari nyanyian-nyanyian ninabobo, puisi lagu dolanan,
cerita si ibu menjelang anak tidur, buku-buku gambar untuk mengenal dan
membelajarkan huruf dan angka, cerita bergambar dengan sedikit tulisan,
sampai dengan cerita-cerita petualangan anak, termasuk cerita horor dan
misteri, atau cerita-cerita lain yang dikisahkan dengan sudut pandang anak.

Siapakah yang Discbut Anak Itu? Sejauh ini telah berkali-kali disebut
sastra anak, tetapi siapakah sebenarnya yang dapat dikategorikan sebagai anak?
Apakah cukup jika hanya dikatakan bahwa anak adalah orang yang belum
dewasa sehingga dapat dipahami dalam pengcrtian bertentangan, dalam arti ada
perbedaan karakter antara keduanya sehingga bacaan disediakan untuk mereka
juga berbeda? Dalam berbagai literatur tentang sastra anak tidak ditemukan
batasan yang secara jelas menunjuk siapa saja anak itu dalam batasan usía,
melainkan lebih banyak disebut usia prasekolah dan sekolah atau usia awal dan
usia lebih besar, dan lain-lain yang sejenis. Untuk membatasi masalah "siapa
anak" tersebut pendapat-pendapat di bawah ini perlu dipakai sebagai bahan
pertimbangan.

Huck dkk. (1987:64—72) membagi buku-buku yang cocok untuk


bacaan anak yang sesuai dengan tiap tahapan usia anak, dan tahapan usia

Dipindai dengan CamScanner


anak itu sendiri dibedakan ke dalam tahap-tahap: (1) sebelum sekolah—
masa pertumbuhan, usia 1—2 tahun, (2) prasekolah dan taman kanak-
kanak, usia 3, 4, dan 5 tahun, (3) masa awal sekolah, usia 6 dan 7 tahun,
(4) elementari tengah, usia 8 dan 9 tahun, dan (5) elementari akhir, usia
10, 11, dan 12 tahun, Jadi, berdasarkan pembagian Huck dkk., yang dapat
dikategorjkan sebagai anak adalah anak-anak usia 1 hingga kurang lebih
12 tabun.
Piaget (Brady, 1991:28—30) membagi perkembangan intelektual
anak ke dalam empat tahapan, dan tiap tahapan memunyai karakteristik
yang berbeda yang memunyai konsekuensi pada respons anak terhadap
bacaan. Keempat perkembangan intelektııal itü adalah: (1) tahap sensori-
motor (the sensory-motorpcriod, 0—2 tabun); (2) tahap praoperasional
(thepreoperational period, 2—7 tahun); (3) tahap operasional konkret (the
concrete operational, 7—11 tahun); dan (4) tahap operasi formal (the
forma/ operational, 11 atau 12 tahun ke ataş). Dengan demikian, orang
yang dapat dikategorikan sebagai anak itü adalah orang yang berusia 0
tahun sampai dengan sekjtar 12 tahun. Jadi, anak yang dimaksudkan
dalam sastra anak itü adalah orang yang berusia 0 tabun sampai sekitar 12
atau 13 tahun, atau anak yang sudah maşuk dalam masa remaja awal.

Siapakah Penulis Sastra Anali? Sastra anak adalah karya sastra yang
menempatkan sudut pandang anak sebagai pusat penceritaan.
Persoalannya kini adalah siapakah penulis dan/atau pengarang bükü sastra
anak itu? Sebenarnya, siapa pun penulis sastra anak bukan masalah, asal
secara sadar bükü yang ditulisnya memang dimaksudkan untuk
dikonsumsikan kepada anako Dengan demikian, bükü itü mesti memenuhj
persyaratan kriteria sebagai bacaan anak. Yang disebut sebagai anak itü
sendiri juga membentang dalam jarak usia yang relatif jauh, dan ada
perbedaan yang jelas antara anak usia prasekolah misalnya, dengan anak
usia 11—12 tahun yang masih juga disebut anak. Jadi, siapa pun penulis
bükü bacaan itü mesti juga sadar pada kelompok usia yang mana, atau
pada kelas-kelas sekolah berapa, bükü yang ditulis itü dimaksudkan.
Menulis bacaan cerita untuk anak usia prasekolah dan kelas 1 tentü
berbeda dengan bacaan cerita untuk anak kelas 5—6 sekolah dasar.

Oleh karena itu, para penuljs bükü sastra anak perlu memiliki bekal
pengetahuan perihal kebocahan. Misalnya, terhadap hal-hal yang
menyangkut tingkat perkembangan emosional, intelektual, bahasa, dan
Dipindai dengan CamScanner
lain-lain, serta bagaimana sifat tanggapan anak pada tahap tertentu pada
bacaan sastra (lihat

Bab III). Bükü sastra anak pada umumnya ditulis oleh dewasa. Para
pengarang itü untuk menyebut beberapa orang saja, misalnya, adalah
Arswendo

Atmowiloto, Pavan Kapoor, Bakdi Soemanto, Edi Sigar, MB. Rahimsyah, AR

(tiga orang yang disebut belakangan banyak mengumpulkan cerita


tradisional yang baik untuk bacaan anak), Edhi Arianto (penulis fabel
modern), dan Leon Agusta, Sherly Malinton, serta Taufik Ismail untuk
genre puisi. Buku-buku cerita anak karangan Pavan Kapoor (yang kelahiran
India itu) bahkan ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Inggris dan bahasa
Indonesia, misalnya The Queen's Necklace, Kalung Sang Ratu (Grasindo,
1997) dan The Quail's Revenge, Balasan si Burung Puyuh (Grasindo,
1999).
Tetapi, penulis yang terkategorikan sebagai anak pun tidak sedikit.
Contoh yang mudah diperoleh adalah para penulis anak yang karangannya
dimuat dalam berbagai surat kabar harian atau majalah-majalah anak.
Misalnya, pada terbitan hari Minggu Kedaulatan Rakyat (atau Kompas dan
juga beberapa surat kabar harian yang Iain) sering memuat tulisan anak-anak
dalam lembar "Kawanku, Ka-eR Kecil", baik yang bergenre fiksi (cerpen),
puisi, maupun tulisan yang termasuk buku informasi (informational books),
dengan para penulis anak-anak SD, SLTP, dan orang dewasa; atau
majalahmajalah seperti Bobo, Aku Anak Sholeh, TK Islam, Fun, Majalah
Aktivitas Anak Ori, dan Iain-Iain yang juga menampilkan karya anak-anak.
Bahkan, tidak sedikit anak yang sudah dapat menulis novel. Misalnya,
dalam KecilKecil Punya Karya, Aini (lengkapnya Qurrota Aini, 7 tahun)
menulis Nasi untuk Kakek (2004) dan Caca (lengkapnya Eva Maria Putri
Salsabila, 8 tahun) menulis Dunia Caca (2004).

Karakteristik Sastra Anak. Bagaimanakah karakteristik sastra anak?


Berdasarkan pembicaraan sebelumnya, sebenarnya sudah dapat dipahami

Dipindai dengan CamScanner


perihal karakteristik sastra anak. Di bawah dicoba dirangkum karakteristik
sastra anak Yang dimaksud.
(1) Sudut pandang anak: sastra anak mesti menempatkan sudut
pandang anak sebagai fokus utama dalam menceritakan segala
hal. Tokoh, peristiwa, kegiatan, dan bahkan pengalaman hidup
sah-sah saja menghadirkan sesuatu yang di luar anak, tetapi semua
itu harus dikisahkan dari kaca mata anak sehingga pembaca
anak-anak dapat nyambung. Dalam hal tersebut mungkin sekali
terjadi bahwa sesuatu yang bagi orang dewasa hanya main-main,
tetapi bagi anak jusu•u dianggap sungguhan; demikian
sebaliknya.
(2) Pengalaman anak: sastra anak berisi segala sesuatu yang sesuai
dengan tingkat perkembangan kejiwaan anak, baik menyangkut unsur
intelektual, emosional, saraf sensoris, cara berpikir, bersikap,
berperilaku, sampai bahasa yang dipergunakan baik yang berupa
diksi, struktur, maupun berbagai ungkapan metaforis. Kesemua hal
tersebut haruslah berada dalam jangkauan anak.
(3) Sederhana dan lurus: berbagai hal yang dikisahkan dan cara
mengisahkan haruslah sederhana dan lurus ke pokok masalah
sehingga mudah dijangkau oleh anak. Syarat sederhana itu mencakup
muatan (apa yang dikisahkan) dan bentuk (cara mengisahkan). Andai
terdapat sesuatu yang mendekati kompleks, hal itu pun mesti
dikisahkan secara sederhana.
(4) Hiburan dan didaktis: sastra anak hadir sebagai bacaan anak dengan
tujuan pokok untuk memberikan hiburan, kesenangan, dan sekaligus
kemanfaatan. Hal ini terkait dengan fungsi pragmatik karya sastra
yang bersifat "nikmat yang bermanfaat" (sweet and useful). Lazimnya
sastra anak bermuatan berbagai nilai karakter yang sengaja ingin
"dibelajarkan" kepada anak lewat berbagai rupa pemodelan, baik yang
terkait hubungan manusia dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan
masyarakat, maupun dengan lingkungan alam.
(5) Optimistis: sastra anak mesti mengandung sesuatu yang bersifat
optimis, memberi harapan, semangat, motivasi, cita-cita yang baik,
dan lain-lain yang senada, Setelah membaca suatu karya, diharapkan

Dipindai dengan CamScanner


ada dampak positif dalam diri anak yang memengaruhi semangat
hidupnya untuk mau dan mampu berbuat lebih baik.
(6) Pengembangan jati diri: sastra anak mesti juga membantu anak untuk
menemukan jati dirinya sebagai manusia, sebagai pribadi, makhluk
sosial, dan bagian dari alam. Lewat bacaan sastra itu, anak dapat
belajar mengembangkan jati dirinya ke arah yang baik secara
harmonis baik yang melibatkan kebutuhan intelektual, emosional,
sosial, religius, maupun lain-lain yang terkait.
(7) Pengembangan daya imajinasi: sastra anak berisi berbagai hal baik
yang berupa tokoh, peristiwa, aksi, dialog, dan berbagai pengalaman
lain yang semuanya juga berfungsi untuk mengembangkan
daya imajinasi, daya berpikir kreatif, bukan sekadar berkhayal.
Hal itu penting karena berbagai tantangan kehidupan kelak
sebenarnya berawal dari dan/atau membutuhkan kekuatan imajinasi.

(8) Kontras putih-hitam: cerita anak lazimnya menghadirkan sesuatu


yang terbelah secara dikotomis di dua Sisi yang berseberangan: putih
hitam, tokoh baik versus jahat, baik buruk, benar salah, dan lain-lain.
Hal itu terkait dengan tujuan pendidikan karakter lewat tokoh dan
kisah yang dapat diteladani. Selain itu, ia juga terkait dengan tuntutan
kesesuaian dengan perkembangan jiwa anak yang masih sederhana
sehingga segala sesuatu juga dibuat secara sederhana agar mudah
dipahamia
(9) Fantasi dan aksi: sastra anak banyak yang terkait dengan unsur fantasi
dan aksi. Sesuai dengan tingkat perkembangan jiwanya, anak dapat
menerima secara logis berbagai peristiwa yang sebenarnya tidak
masuk akal. Bahkan, anak masih belum dapat membedakan antara
fantasi dan realitas. Oleh karena itu, muatan cerita fantasi dan aksi
harus sesuatu yang menunjang tujuan pendidikan karakter.

(10) Repetisi: sastra anak menghadirkan sesuatu yang bersifat repetitif. Hal
itu dapat menyangkut tokoh, karakter tokoh, peristiwa, aksi,
pengalaman, alur, moral, bahkan juga aspek stile seperti diksi,
struktur, dan ungkapan. Tujuan repetitif antara lain untuk

Dipindai dengan CamScanner


memudahkan anak memahami dan menginternalisasikan muatan
makna lewat bentuk-bentuk keterulangan dan kesejajaran.

(11) Penulis: penulis sastra boleh siapa saja, anak atau dewasa. Tetapi,
siapa pun yang menulis sastra anak harus tunduk pada berbagai
"ketentuan" yang antara lain mesti menempatkan anak sebagai sudut
pandang semua pengisahan dan keterjangkauan pengalaman. Jadi,
segala sesuatu itu seolah-olah berasal dari, oleh, dan untuk anak.

B. GENRE SASTRA ANAK


Sebagaimana halnya dalam sastra dewasa, sastra anak juga mengenal
apa yang disebut genre, maka pembicaraan tentang genre sastra anak juga
perlu dilakukan. Genre dapat dipahami sebagai suatu macam atau tipe
kesastraan yang memiliki seperangkat karakteristik umum (Lukens,
2003:13). Di pihak lain, Mitchell (2003:5—6) mengemukakan bahwa
genre menunjulc pada

Dipindai dengan CamScanner

Anda mungkin juga menyukai