Anda di halaman 1dari 15

1.

Konsep Faktor Produksi


Keseimbangan perusahaan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi produksi dan sisi
penggunaan faktor produksi. Dalam upaya mencapai laba maksimum atau kerugian minimum,
jumlah output yang diproduksi dan tingkat harga yang ditetapkan tergantung pada posisi
perusahaan dalam pasar. Tetapi perusahaan hanya akan mencapai kondisi optimum bila alokasi
penggunaan faktor produksi (input) juga efisien. Untuk memproduksi barang dan jasa
perusahaan membutuhkan beberapa faktor produksi pokok, yaitu: 1) Tenaga kerja, dengan balas
jasa berupa upah atau gaji (wage/ salary), 2) Barang modal (mesin dan tanah), dengan balas jasa
berupa sewa (rent), dan 3) Uang, dengan balas jasa berupa bunga (interest).
Jika dalam pasar output keseimbangan tercapai bila permintaan sama dengan penawaran,
demikian halnya dalam pasar faktor produksi. Perekonomian dapat dikatakan sudah efisien bila
keseimbangan terjadi pada pasar output dan pasar faktor produksi. Karenanya pemahaman
tentang mekanisme keseimbangan dalam pasar faktor produksi amat diperlukan untuk
mengevaluasi kinerja perekonomian. Beberapa konsep dasar yang harus diketahui untuk analisis
faktor produksi adalah:
1) Faktor produksi sebagai permintaan turunan (derived demand)
Permintaan terhadap suatu barang dikatakan sebagai permintaan turunan (derived demand)
bila permintaan terhadap barang tersebut sangat tergantung pada permintaan terhadap barang
lain. Bahan bakar minyak (BBM) dikatakan permintaan turunan, karena permintaan terhadapnya
sangat tergantung ada permintaan terhadap mobil. Secara umum, permintaan terhadap BBM
meningkat bila permintaan terhadap mobil meningkat. Permintaan terhadap gedung perkantoran
dikatakan permintaan turunan, karena permintaannya sangat tergantung pada kegiatan dunia
usaha. Makin baik kegiatan usaha, makin besar permintaan terhadap gedung perkantoran.
Demikian halnya dengan tenaga kerja dan tanah. Permintaan terhadap tenaga kerja sangat
tergantung pada permintaan terhadap barang dan jasa. Makin besar permintaan terhadap barang
dan jasa, makin besar permintaan terhadap tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi.
Permintaan terhadap tanah juga sangat tergantung pada permintaan barang dan jasa, misalnya
jasa gedung perkantoran. Makin besar permintaan terhadap jasa gedung perkantoran dan
perdagangan, permintaan terhadap tanah makin besar.
2) Hubungan antar faktor produksi (substitusi atau komplemen)
Hubungan antar faktor produksi diktakan bersifat substitusi bila penambahan penggunaan
faktor produksi yang satu mengurangi penggunaan faktor produksi yang lain. Mesin merupakan
substitusi tenaga kerja bila penambahan penggunaan mesin mengurangi penggunaan tenaga kerja
(manusia). Sebaliknya mesin dan tenaga kerja dapat memiliki hubungan yang bersifat
komplemen, bila penambahan penggunaan mesin menambah penggunaan tenaga kerja.
3) Hukum pertambahan hasil yang makin menurun (the law of diminishing return)
Sama halnya dengan konsumsi, penambahan penggunaan faktor produksi pada awalnya
juga memberikan tambahan hasil yang besar, namun makin lama dengan tingkat pertambahan
yang makin menurun. Misalnya dalam proses pengolahan lahan untuk penanaman palawijaya.
Untuk satu hektar lama, umumnya diselesaikan dalam 150 hari kerja orang (HKO). Jika lahan
satu hektar dikerjakan seorang diri, waktu yang dibutuhkan adalah 150 hari kerja. Bila dua orang
75 hari kerja. Tiga orang 50 hari kerja dan seterusnya. Semakin banyak tenaga kerja yang
digunakan, pengolahan lahan semakin cepat selesai.
Apakah benar demikian? Belum tentu! Sebab hubungan antara jumlah tenaga kerja dengan
waktu yang digunakan untuk pengolahan lahan tidak berbentuk garis lurus. Bila jumlah tenaga
kerja yang digunakan lebih sedikit atau sama dengan 3 orang, kita tidak dapat mengatakan
bahwa pengolahan lahan akan selesai sekurang-kurangnya 50 hari. Sebab pertumbuhan ilalang
yang begitu cepat, menyebabkan lahan yang sudah diolah sebulan yang lalu sudah ditumbuhi
ilalang atau rumput lagi. Jika tenaga kerja lebih sedikit dari 3 orang, kemungkinan besar lahan
sulit diolah. Jumlah tenaga kerja yang memungkinkan lahan selesai diolah mungkin saja antara
10-15 orang. Jika tenaga kerja 15 orang, lahan mungkin saja dapat diselesaikan dalam tempo
lebih cepat dari 10 hari. Tetapi jika ingin mempercepat proses pengolahan lahan kita
menggunakan tenaga kerja 150 orang, dapat dipastikan lahan tidak terselesaikan dalam tempo
satu hari. Sebab mencari tenaga kerja lebih dari 100 orang membutuhkan waktu berhari-hari.
Setelah tenaga kerja diperoleh, kerjanya tidak produktif, baik karena sulitnya pengawasan
maupun penyediaan peralatan.
4) Efek substitusi dan efek output (substitution and output effect)
Analisis efek substitusi (substitution effect) dalam pasar faktor produksi, analogis dengan
efek substitusi pada teori perilaku konsumen. Jika terjadi kenaikan harga sebuah faktor produksi,
maka penggunaan input tersebut dikurangi. Untuk menjaga tingkat output (pada isokuan yang
sama), perusahaan menggunakan lebih banyak faktor produksi lain yang harganya relatif lebih
murah.
Analisis efek output atau efek skala produksi (output effect), analogis dengan efek
pendapatan (income effect). Suatu faktor produksi dikatakan normal (normal input), jika
penambahan skala produksi menambah penggunaan faktor produksi tersebut. Sebaliknya faktor
produksi dikatakan inferior, bila penambahan skala produksi justru mengurangi penggunaan
faktor produksi (negative output effect analogis dengan negative income effect).

2. Permintaan terhadap faktor produksi (Input Demand Factors)


1) Faktor yang mempengaruhi permintaan terhadap faktor produksi
Beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan terhadap faktor produksi, yaitu sebagai
berikut:
(1) Harga faktor produksi
Yang dimaksud dengan harga faktor produksi adalah upah dan gaji untuk tenaga kerja atau
sewa untuk barang modal dan tanah. Jika faktor produksi bersifat normal, makin murah
harganya, makin besar jumlah yang diminta. Dalam kasus khusus, turunnya harga faktor
produksi justru menurunkan jumlah yang diminta (inferior). Atau pada saat harganya naik,
permintaannya justru meningkat (analogis barang Giffen)
(2) Permintaan terhadap output
Makin besar skala produksi, makin besar permintaan terhadap input. Kecuali input tersebut
telah bersifat inferior.
(3) Permintaan terhadap faktor produksi lain
Misalnya, permintaan terhadap faktor produksi substitutif (mesin) meningkat, maka
permintaan terhadap tenaga kerja menurun. Bila tenaga kerja dan mesin mempunyai
hubungan komplemen, meningkatnya permintaan terhadap mesin meningkatkan
permintaan terhadap tenaga kerja.
(4) Harga faktor produksi yang lain
Pengaruh perubahan harga suatu faktor produksi terhadap permintaan faktor produksi
lainnya sangat
(5) Kemajuan teknologi
Kemajuan teknologi mempunyai dampak yang mendua terhadap permintaan faktor
produksi. Dalam arti kemajuan teknologi dapat menambah atau mengurangi permintaan
terhadap faktor produksi. Jika kemajuan teknologi meningkatkan produktivitas maka
permintaan terhadap faktor produksi meningkat. Kemajuan teknologi yang bersifat padat
modal meningkatkan produktivitas barang modal, sehingga permintaan terhadapnya
meningkat. Sebaliknya kemajuan tersebut menurunkan permintaan terhadap tenaga kerja,
bila hubungan keduanya substitutif. Kemajuan teknologi dapat meningkatkan permintaan
terhadap tenaga kerja, bila kemajuan tersebut meningkatkan produktivitas tenaga kerja.
2) Permintaan Tenaga Kerja Dalam Model Satu Macam Faktor Produksi Variabel (One
Variabel Input Model)
Model permintaan tenaga kerja dalam satu macam faktor produksi variabel (one variable
input model) mengasumsikan hanya tenaga kerja yang dapat diubah-ubah jumlah
penggunaannya. Keputusan penggunaan tenaga kerja oleh perusahaan ditentukan dengan
membandingkan biaya marginal dan penerimaan marginal dari penambahan satu tenaga kerja.
Biaya marginal dari penambahan penggunaan satu tenaga kerja adalah upah tenaga kerja (W)
karena posisi perusahaan adalah penerima harga. Penerimaan marginal tenaga kerja (marginal
revenue product atau MRPL) adalah produksi marginal dikalikan harga jual uotput (MP × P).
Gambar 1.1 menunjukan bahwa kurva MRPL (Gambar 1.1 b) adalah kurva MP (Gambar 1.1 a)
dikali harga jual (P).

MP (Unit Output) MRPL (Rupiah)

MP MRPL(= MPXP)
0 Tenaga Kerja 0 Tenaga Kerja
Gambar 1.1 Kurva MP dan MRP Tenaga Kerja

Dalam pasar tenaga kerja persaingan sempurna kurva MRP L merupakan kurva permintaan
perusahaan terhadap tenaga kerja (firm’s labour demand curve). Perusahaan akan mencapai
keseimbangan bila MRPL sama dengan upah tenaga kerja (Gambar 1.2 a). Jika harga tenaga kerja
(W) naik, perusahaan lebih selektif dalam menggunakan tenaga kerja. Hanya yang
produktivitasnya lebih tinggi dari kondisi awal yang dipekerjakan. Akibatnya kesempatan kerja
berkurang dari I* ke I1. Jika upah turun di bawah W*, perusahaan mau menggunakan pekerja
yang produktivitasnya lebih rendah, sehingga kesempatan kerja meningkat dari I* ke I2.
Permintaan industri terhadap tenaga kerja (industries labour demand) adalah total
permintaan perusahaan-perusahaan yang ada dalam industri. Ini juga analogis dengan permintaan
output dalam analisis perilaku konsumen. Jika yang berubah hanyalah harga, permintaan
bergerak di sepanjang kurva (ingat kembali movement along demand curve). Jika yang berubah
adalah faktor bukan harga (permintaan terhadap output berubah), kurva akan bergeser (shifting)
ke kanan atau ke kiri bilapermintaan terhadap output bertambah atau berkurang (Gambar 1.2 b)

Upah Upah
Pergeseran kurva
permintaan Pergeseran kurva
permintaan

Pergerakan sepanjang
kurva permintaan
W1

W* SL
W2 D2
Pergerakan
MRPL2 sepanjang kurva D1
permintaan
MRPL1

I1 I* I3 Tenaga Kerja Tenaga Kerja


(a) (b)
Permintaan Tenaga Kerja Perusahaan Permintaan Tenaga Kerja Industri

Gambar 1.2 Permintaan Terhadap Tenaga Kerja Sebagai Faktor Produksi Variabel

3) Permintaan Tenaga Kerja Dalam Model Beberapa Macam Faktor Produksi Variabel (Multi
Variables Input Model)
Model ini melonggarkan asumsi model di atas. Dengan demikian penambahan penggunaan
tenaga kerja dapat diimbangi dengan penambahan faktor produksi lainnya (mesin). Andaikan
kondisi awal keseimbangan pasar tenaga kerja adalah seperti pada (Gambar 1.3 a) dimana total
kesempatan kerja adalah L1 pada tingkat upah keseimbangan W1. Kondisi keseimbangan
perusahaan seperti pada (Gambar 1.3 b) (titik A) di mana jumlah tenaga kerja yang digunakan I 1.
MPRL1 adalah MRP dengan jumlah barang modal (mesin) K1.
Akibat mengalirnya tenaga kerja asing ke Indonesia, penawaran tenaga kerja bergeser ke
SL2. Harga keseimbangan industri menurun menjadi W2 dan kesempatan kerja yang tersedia di
industri adalah L2. Jika jumlah mesin tidak dapat diubah, keseimbangan perusahaan bergeser ke
titik B di mana kesempatan kerja bertambah menjadi I2. Tetapi karena jumlah mesin dapat
diubah, dan produktivitas meningkat, permintaan perusahaan terhadap tenaga kerja bergeser ke
MRPL2. Keseimbangan baru di titik C dengan jumlah kesempatan kerja I 3. Kurva permintaan
tenaga kerja yang relevan adalah kurva DL, garis lurus yang melintas titik A dan C.

Upah SL1 Upah

SL2
MRP
L1

W1 W A
B C
W2 W
1

D
L
DL1 MR
PL2
L1 L2 I1 I2 I3
Tenaga kerja Tenaga
(a) (b) kerja
Keseimbangan Pasar Keseimbangan Perusahaan

Gambar 1.3 Permintaan Terhadap Tenaga Kerja Jika Tenaga Kerja dan Barang
Modal Variabel

3. Penawaran faktor produksi


Ada perbedaan yang mencolok antara penawaran tenaga kerja dan penawaran tanah.
Penawaran tahan bersifat inelastis sempurna, karena jumlah tanah terbatas. Aoalagi bila
dikaitkan dengan kriteria kesuburan dan lokasi tanah. Karena itu kurva penawaran tanah tegak
lurus sejajar sumbu harga. Penawaran tenaga kerja adalah total jumlah keinginan kerja (jam
kerja) yang diberikan oleh seluruh individu yang ingin bekerja (angkatan kerja) yang ada dalam
pasar. Hal ini analogis dengan penjumlahan output yag ingin ditawarkan perusahaan dalam
industri. Keputusan seseorang individu untuk bekerja berkaitan dengan sejauh mana dia ingin
mengalokasikan waktu untuk bekerja dan tidak bekerja. Biaya ekonomi (opportunity cost) dari
bekerja adalah kehilangan waktu untuk tidak bekerja (leisure time) yang dapat digunakan untuk
berbagai kegiatan yang menambah utilitas hidup. Sebaliknya biaya kesempatan dari tidak bekerja
adalah kehilangan pendapatan. Makin besar upah, makin besar biaya ekonomi untuk tidak
bekerja.
Pada awalnya, peningkatan upah akan menambah alokasi waktu untuk bekerja, karena
biaya kesempatan dari tidak bekerja makin mahal. Penawaran tenaga kerja pun meningkat.
Tetapi sampai tingkat upat tertentu (W*), seseorang merasakan waktu nilai hidupnya (utilitas
hidupnya) telah menurun karena hampir seluruh waktu digunakan untuk bekerja. Akhirnya dia
merasa biaya kesempatan dari bekerja amat mahal. Lalu dia pun memutuskan untuk mengurangi
jam kerja. Keadaan ini digambarkan dalam Gambar 2.1 tentang kurva penawaran tenaga kerja
yang melengkung membalik (backward bending labour supply curve). Penawaran total tenaga
kerja adalah total penawaran individu (Gambar 2.1).
Dalam masyarakat yang miskin, kurva penawaran tenaga kerja dapat bersudut kemiringan
(slope) negatif. Jika upah makin rendah, penawaran tenaga kerja makin meningkat (Gambar 2.2).
penjelasan terhadap fenomena ini adalah pada tingkat upah W1, penghasilan yang diterima
seseorang anggota keluarga miskin (misalnya sang ayah) tidak mencukupi untuk membiayai
hidup keluarga. Pada tingkat upah tersebut, ia bekerja selama 0I 1, sehingga jumlah upah yang
diterima sang ayah adalah 0W1AI1. Akibatnya anggota keluarga yang lain (ibu) harus ikut
bekerja. Tetapi karena produktivitas ibu lebih rendah dari ayah, maka upah yang diperoleh lebih
rendah (W2); jumlah jam kerja yang ditawarkan I 1I2, dengan jumlah upah sebanyak I1BCI2. Bila
julah upah yang dikumpulkan ayah dan ibu tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga, maka
anak-anak, bahkan yang masih di bahwa usia kerja (<10 tahun ), terpaksa bekerja. Upah yang

Upah (W)
W*
0

diterima anak-anak jauh lebih kecil dari ayah dan ibunya (yaitu W3), karena produktivitasnya
lebih rendah dari mereka, jumlah jam kerjanya I2I3, dengan jumlah upah yang diterima si anak
LS

I2DEI3. Total upah yang diterma keluarga itu adalah luas 0W1ABCDEI3.

(a) (b)
I*

Penawaran Tenaga Kerja Individu Penawaran Total Tenaga Kerja Industri


labour supply curve
Backward bending
Jam Kerja

Upah (W)
0

S1
S2
S3

Gambar 2.1
Kurva Penawaran Tenaga Kerja Individu dan Pasar
Sp = S 1 + S 2 + S 3
Jam Kerja

Upah Jam Kerja


(W) Ayah

W A
Jam Kerja
1
Ibu

W B C Jam Kerja
Anak
2
E
W D
3
Penawaran
Tenaga
Kerja
0
I1 I2 I3 Jam Kerja
Gambar 2.2
Kurva Penawaran Tenaga Kerja Keluarga Miskin

4. Keseimbangan Pasar Faktor Produksi

(a) Pasar Output Kompetitif (b) Pasar Output Monopolistik

Upah Upah

SL SL

VM

WC A WM B

P.MPL

DL= MRPL DL= MRPL

LC Jumlah Tenaga LM Jumlah Tenaga Kerja

Gambar 3.1 Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja

Pasar faktor produksi kompetitif berada pada ekuilibrium ketika harga input sama
menyetimbangkan kuantitas permintaan dan kuantitas penawaran. Gambar 3.1 (a) menunjukkan
ekuilibrium untuk pasar tenaga kerja. Pada titik A, tingkat upah ekuilibriumnya adalah wc dan
ekuilibrium kuantitas penawarannya adalah Lc. Karena pekerja memiliki informasi sempurna,
mereka menerima upah yang identik dimana pun mereka dipekerjakan. Apabila ada pekerja yang
menerima upah lebih rendah daripada produk marginalnya, memberikan upah yang lebih tinggi
kepada pekerja tersebut akan menguntungkan perusahaan.
Apabila pasar output juga bersifat persaingan sempurna, kurva permintaan atas suatu input
mengukur manfaat yang dinilai oleh konsumen produk tersebut pada penggunaan tambahan
input tersebut dalam proses produksi. Tingkat upah juga mencerminkan biaya bagi perusahaan
dan bagi masyarakat dari penggunaan satu unit tambahan vM DL=MRPL LM Jumlah tenaga
kerja wM Upah SL B P . MPL 20 input tersebut. Dengan demikian, titik A pada gambar 3.1 (a)
manfaat marginal dari satu jam kerja (produk pendapatan marginal, MRPL) sama dengan biaya
marginalnya (tingkat upah w).
Ketika pasar input dan output sama-sama bersifat persaingan sempurna, sumber daya
digunakan secara efisien karena selisih antara manfaat total dan biaya total mencapai maksimum.
Efisiensi mensyaratkan bahwa tambahan pendapatan yang berasal dari penggunaan satu unit
tenaga kerja tambahan (produk pendapatan marginal tenaga kerja, MRPL) sama dengan manfaat
yang diberikan bagi konsumen atas tambahan output tersebut, yang ditunjukkan oleh harga dari
produk tersebut dikalikan dengan produk marginal tenaga kerja, (P) (MPL).
Ketika pasar output tidak berbentuk persaingan sempurna, syarat MRPL = (P).(MPL) tidak
lagi berlaku. Perhatikan gambar 3.1 (b) bahwa kurva yang mencerminkan harga produk dikalikan
dengan produk marginal tenaga kerja [(P)(MPL)] berada diatas kurva produk pendapatan
marginal [(MR)(MPL)]. Titik B adalah upah ekuilibrium wM dan ekuilibrium penawaran tenaga
kerja LM. Tetapi karena harga produk tersebut adalah ukuran nilai yang diberikan konsumen dari
setiap unit tambahan output yang mereka beli, (P).(MPL) adalah nilai yang diberikan konsumen
unit tambahan tenaga kerja. Oleh karena itu, ketika LM tenaga kerja dipekerjakan, biaya
marginal wM bagi perusahaan lebih rendah ketimbang manfaat marginal bagi konsumen vM.
Meskipun 21 perusahaan memaksimalkan labanya, ouputnya berada dibawah tingkat
efisiensinya. Efisiensi ekonomi akan meningkat apabila lebih banyak tenaga kerja digunakan
pada gilirannya, lebih banyak output yang diproduksi.
5. Terapan Pada Upah Minimum, Proteksi Impor dan Pengaruhnya Terhadap
Kesejahteraan
1) Penerapan pada upah minimum
Upah merupakan uang dan sebagainya yang dibayarkan sebagai pembalas jasa atau sebagai
pembayar tenaga yang sudah dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu, gaji, imbalan, hasil akibat
(dari suatu perbuatan), resiko. Upah minimum adalah upah terendah yang akan dijadikan standar,
oleh pengusaha untuk menentukan upah yang sebenarnya dari pekerja/buruh yang bekerja di
perusahaannya. Upah minimum ini umumnya ditentukan oleh pemerintah (cq. Gubernur dengan
memerhatikan rekomendasi dari dewan pengupahan provinsi dan/atau bupati/walikota), dan
setiap tahun kadang kala berubah sesuai dengan tujuan ditetapkannya upah minimum, yaitu:
(1) Untuk menonjolkan arti dan peranan pekerja/buruh sebagai subsistem dalam suatu
hubungan kerja
(2) Untuk melindungi kelompok kerja dari adanya sistem pengupahan yang sangat rendah dan
yang secara materiil kurang memuaskan
(3) Untuk mendorong kemungkinan diberikannya upah yang sesuai dengan nilai pekerjaan
yang dilakukan
(4) Untuk mengusahakan terjaminnya ketenangan dan kedamaian kerja dalam perusahaan
(5) Mengusahakan adanya dorongan peningkatan dalam standar hidup secara normal.
Upah minimum diarahkan kepada pencapaian KHL yaitu setiap penetapan upah minimum
harus disesuaikan dengan tahapan pencapaian perbandingan upah minimum dengan kebutuhan
hidup layak yang besarnya ditetapkan Menaker (Menteri Tenaga Kerja). Pencapaian KHL perlu
dilakukan secara bertahap karena kebutuhan hidup minimum yang sangat ditentukan oleh
kemampuan dunia usah. Upah minimum dapat terdiri atas:
(1) Upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota
(2) Upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.
Upah minimum sektoral dapat ditetapkan untuk kelompok lapangan usaha beserta
pembagiannya menurut klasifikasi lapangan usaha Indonesia untuk kabupaten/kota, provinsi,
beberapa provinsi atau nasional, dan tidak boleh rendah dari upah minimum regional daerah
yang bersangkutan. Penetapan upah minimum perlu mempertimbangkan beberapa hal secara
komprehensif. Dasar pertimbangan menurut Pasal 6 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik
Indonesia Nomor PER01/MEN/1999 sebagai berikut:
(1) Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK)
dengan mempertimbangkan:
a. Kebutuhan Hidup Minimum (KHM)
b. Indeks Harga Konsumen (IHK)
c. Kemampuan, perkembangan, dan kelangsungan perusahaan
d. Upah pada umumnya yang berlaku di daerah tertentu dan antar daerah
e. Kondisi pasar kerja
f. Tingkat perkembangan perekonomian dan pendapatan perkapita.
(2) Untuk penetapan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) dan Upah Minimum Sektoral
Kabupaten/Kota (UMSK)
Di samping mempertimbangkan butir 1 di atas juga mempertimbangkan kemampuan
perusahaan secara sektoral. Terhadap perusahaan yang tidak mampu melaksanakan ketetapan
Upah Minimum, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor.
KEP-226/MEN/2000 juga mengaturnya di dalam Pasal 19 ayat (2) yang menentukan
“Permohonan penangguhan pelaksanaan Upah Minimum diajukan kepada Gubernur melalui
Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja/Instansi Pemerintah yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan di Propinsi.
Permohonan penangguhan pelaksanaan Upah Minimum dimaksud di atas tidaklah serta
merta dapat disetujui oleh Gubernur. Di dalam Pasal 20 ayat (2) Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor. KEP-226/MEN/2000 dinyatakan bahwa
“Berdasarkan permohonan penangguhan pelaksanaan Upah Minimum, Gubernur dapat meminta
Akuntan Publik untuk memeriksa keadaan keuangan guna pembuktian ketidakmampuan
perusahaan atas biaya perusahaan yang memohon penangguhan.” Selanjutnya Gubernur
menetapkan penolakan atau persetujuan penangguhan pelaksanaan Upah Minimum berdasarkan
audit dari Akuntan Publik.
Apabila permohonan penangguhan pelaksanaan Upah Minimum disetujui oleh Gubernur,
maka persetujuan tersebut berlaku untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun. Atau dengan kata
lain, bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum dapat melakukan
penangguhan yang tata caranya diatur dengan keputusan Menaker. Penangguhan pelaksanaan
upah minimum bagi perusahaan yang tidak mampu dimaksudkan untuk membebaskan
perusahaan yang bersangkutan melaksanakan upah minimum yang berlaku dalam kurun waktu
tertentu. Bila penangguhan tersebut berakhir, maka perusahaan yang bersangkutan wajib
melaksanakan upah minimum yang berlaku pada saat itu, tetapi tidak wajib membayar
pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan
2) Penerapan pada proteksi impor
Proteksi perdagangan (trade protection) adalah kebijakan pemerintah untuk membatasi arus
ekspor dan impor barang dan jasa. Proteksi mengambil berbagai bentuk seperti tarif impor,
subsidi, kuota, pelabelan, persyaratan keamanan dan kesehatan produk. Tujuannya adalah untuk
melindungi kepentingan perekonomian domestik, misalnya melindungi produsen lokal dari
persaingan impor. Proteksionisme adalah adalah musuh perdagangan bebas. Pengkritik
mengatakan kebijakan semacam itu hanya akan menghasilkan alokasi sumber daya yang tidak
efisien pada tingkat global. Itu mungkin memberi manfaat bagi satu pihak, tapi merugikan pihak
lainnya.
Alih-alih mendukung perkembangan perekonomian domestik, proteksi menghasilkan
industri yang kurang kompetitif dalam perdagangan internasional karena terlalu
menggantungkan pada kekuatan pemerintah. Alasan Pemerintah melaksanakan proteksi
perdagangan, yaitu:
(1) Mencegah kompetisi yang tidak adil
Proteksi perdagangan bisa jadi merupakan bentuk pembalasan kepada negara mitra.
Produsen di negara mitra mungkin menerapkan praktek anti persaingan seperti dumping. 
Dumping adalah praktik di mana produsen mereka mengekspor pada harga lebih murah
dibandingkan dengan harga pasar dalam negeri mereka. Karena lebih murah dari yang
seharusnya, perusahaan domestik harus menghadapi persaingan yang tidak wajar dari barang
impor. Untuk mencegah efek buruknya, pemerintah menerapkan proteksi dengan
memberlakukan tarif antidumping. Dalam kasus ini, proteksi merupakan bentuk pertahanan diri
alih-alih menyerang negara mitra.
(2) Menyelamatkan lapangan kerja domestik
Peningkatan impor mengurangi peluang penciptaan lapangan kerja domestik. Lonjakan
impor meningkatkan pasokan di pasar domestik. Itu menciptakan tekanan terhadap produsen
domestik. Pembeli domestik mungkin lebih menyukai produk impor daripada produk lokal.
Produk impor berharga lebih murah karena skala ekonomi produsennya. Selain itu, mereka
mungkin menawarkan fitur yang lebih menarik. Sebagai hasilnya, produsen domestik kalah
bersaing dan posisi mereka terancam. Beberapa mungkin tutup, sementara yang lain masih
beroperasi tapi di bawah tekanan. Itu pada akhirnya mengurangi penyerapan tenaga kerja.
Sebaliknya, impor yang rendah seharusnya menciptakan lebih banyak pekerjaan bagi pekerja
domestik. Ketika impor rendah, produsen domestik meningkatkan outputnya untuk memenuhi
kenaikan permintaan dari konsumen. Mereka berinvestasi di barang modal dan merekrut tenaga
kerja baru. 
(3) Menyelamatkan lingkungan dan konsumen
Produk impor mungkin gagal memenuhi persyaratan keamanan produk. Itu mengakibatkan
bahaya serius, baik terhadap lingkungan maupun kesehatan konsumen. Dalam hal ini, proteksi
membantu untuk membatasi kerusakan yang ditimbulkan akibat tingginya impor. Produsen
domestik mungkin menuntut perlakuan yang adil antara produk domestik dengan produk impor.
Jika mereka harus mengikuti standar tersebut, maka produsen asing juga harus memenuhinya.
Mereka kemudian melobi pemerintah untuk menerapkan standar yang sama. 
(4) Melindungi industri yang baru tumbuh
Ini sering kita sebut sebagai argumen industri bayi (infant industry argument). Industri
bayi (infant industry) adalah industri yang baru tumbuh dan membutuhkan lingkungan yang
ramah untuk berkembang. Pemerintah melindungi industri tersebut karena beberapa alasan.
Mereka strategis bagi kepentingan nasional karena menciptakan banyak lapangan kerja. Atau,
mereka berkontribusi besar terhadap keamanan nasional seperti industri teknologi. Atau, mereka
memiliki rantai produksi yang panjang, sehingga menumbuhkannya akan menumbuhkan industri
lainnya.
Infant industry rentan terhadap tekanan persaingan produk impor. Untuk itu, pemerintah
berusaha melindunginya melalui proteksi. Pemerintah mungkin akan mengurangi proteksi ketika
industri menjadi kompetitif secara global.
(5) Melindungi industri yang telah matang dan strategis
Proteksi tidak hanya untuk industri baru, tetapi juga yang telah mencapai tahap matang.
Mereka strategis karena menyerap banyak sekali tenaga kerja dan memiliki rantai produksi yang
panjang. Proteksi semacam itu pernah diberlakukan Amerika Serikat. Pada tahun 1980-an,
Amerika Serikat memberlakukan pembatasan impor terhadap produk mobil Jepang untuk
melindungi industri dalam negerinya. Pemerintah mungkin memberlakukan proteksi secara ketat.
Tujuannya adalah untuk menjamin industri tersebut tetap hidup. Atau, pemerintah
memberlakukan proteksi secara longgar, yang mana memungkinkan industri menurun secara
perlahan demi menghindari efek kejutan pada tingkat pengangguran. Jenis-jenis proteksi
perdagangan
Proteksi perdagangan mengambil beragam bentuk. Berikut ini adalah daftarnya:
a. Tarif impor
Tarif impor adalah pajak atas barang impor. Pemerintah mungkin mengenakan tarif
sebagai persentase dari harga barang impor (ad-valorem tariff). Atau, itu sebagai nominal
tetap (tarif spesifik), misalnya $100 per ton. Tarif secara langsung menaikkan harga barang
impor ketika memasuki wilayah domestik. Karena harga naik, itu kurang menarik bagi
pembeli domestik. Harapannya, mereka beralih ke produk domestik.
b. Kuota
Kuota impor membatasi kuantitas produk impor yang masuk ke pasar domestik.
Penurunan kuota impor secara langsung mengurangi pasokan di pasar domestik. Sebagai
hasilnya, harga di pasar domestik cenderung naik. Efek kenaikan harga mungkin akan
lebih minimal jika produsen domestik dapat meningkatkan output sebesar kuantitas yang
hilang akibat kuota. Berkurangnya pasokan impor mengurangi tekanan kompetitif di pasar
domestik. Produsen domestik seharusnya mengambil kesempatan itu untuk meningkatkan
produksi dan penjualan.
c. Subsidi
Subsidi membantu mengurangi biaya produksi dan harga jual. Sehingga, ketika
mereka menjual produk ke luar negeri, harganya akan lebih kompetitif. Subsidi dapat
mengambil bentuk seperti keringanan pajak, pinjaman lunak, subsidi harga jual atau
pembayaran langsung. Subsidi penting bagi negara-negara yang mengandalkan ekspor.
Contoh subsidi yang paling umum adalah subsidi pertanian. Subsidi bekerja lebih baik
daripada tarif. Produsen dapat meningkatkan ekspor dan produksi mereka. Itu pada
akhirnya akan menciptakan lebih banyak pekerjaan dan pendapatan bagi perekonomian
domestik. Selama penerapan kebijakan, pemerintah seharusnya mendorong produsen untuk
meningkatkan efisiensi misalnya melalui skala ekonomi atau otomatisasi. Dengan begitu,
biaya unit perlahan turun. Ketika mereka lebih kompetitif, pemerintah dapat mengurangi
subsidi. Tapi, tidak seperti tarif, pemberian subsidi meningkatkan pengeluaran pemerintah.
Karena pendapatan pemerintah sebagian besar berasal dari pajak, maka secara tidak
langsung, pembayar pajaklah yang menyumbang subsidi, bukan pemerintah.
d. Devaluasi mata uang
Devaluasi adalah upaya yang disengaja oleh suatu negara untuk menurunkan nilai
tukar mata uangnya terhadap mata uang lain. Dengan kata lain, itu adalah depresiasi yang
disengaja. Biasanya, negara yang melakukannya adalah negara-negara yang mengadopsi
sistem nilai tukar tetap atau mengambang terkendali. Jika nilai tukar mengambang bebas,
devaluasi adalah sia-sia karena nilai tukar bergerak sesuai dengan permintaan dan
penawaran di pasar. Devaluasi menjadi cara ampuh untuk mendongkrak ekspor sekaligus
menurunkan impor. Devaluasi mata uang membuat barang impor menjadi lebih mahal bagi
pembeli domestik. Sebaliknya, itu membuat harga barang domestik menjadi lebih murah
ketika memasuki pasar internasional. Oleh karena itu, barang domestik menjadi lebih
kompetitif, mendorong permintaan oleh pembeli luar negeri. Sebagai hasilnya, ekspor
meningkat. Tapi, devaluasi rentan terhadap pembalasan dari negara yang dirugikan. Jika
pembalasan semakin intens, itu mengarah pada perang mata uang. 
e. Lisensi
Untuk mengirimkan barang dari luar negeri, pemerintah menerbitkan lisensi impor.
Untuk mengurangi impor, pemerintah dapat memperketat pemberian lisensi. Selanjutnya,
lisensi juga berlaku untuk ekspor. Ketika memperketat penerbitannya, pemerintah berusaha
membatasi pergerakan keluar barang domestik. Tujuannya adalah menghindari kelangkaan
dan lonjakan harga di pasar domestik.
f. Pengekangan ekspor sukarela
Pengekangan ekspor sukarela (voluntary export restraints atau VERs) bekerja secara
terbalik dengan kuota impor. Di bawah kuota konvensional, negara pengimpor adalah yang
menerbitkan kebijakan. Sebaliknya, di bawah VERs, negara pengekspor adalah yang
mengambil kebijakan kebijakan. Negara pengekspor bersedia membatasi barang yang
keluar dari negara mereka karena sejumlah alasan. Mereka mungkin menghindari
pembalasan dari negara mitra. Atau, itu sebagai kesepakatan untuk perjanjian perdagangan
yang menguntungkan lainnya. Misalnya, negara mitra menurunkan tarif jika negara
pengekspor bersedia memberlakukan VERs.
Secara umum, keuntungan dari proteksi perdagangan terefleksi dari motif-motif yang telah
di bahas di atas. Ketika sebuah negara berusaha untuk tumbuh kuat di industri baru, proteksi
akan mengurangi tekanan persaingan. Itu memberi kesempatan bagi perusahaan-perusahaan di
industri baru untuk membangun keunggulan kompetitif. Proteksi perdagangan menawarkan lebih
banyak peluang pertumbuhan, pekerjaan dan pendapatan bagi perekonomian domestik. Impor
mengurangi manfaat semacam itu karena produksi berada di luar negeri. Ketika tekanan impor
lebih rendah, produsen domestik seharusnya meningkatkan produksi dan daya saing mereka. Itu
pada akhirnya akan menciptakan lebih banyak pekerjaan dan pendapatan bagi rumah tangga
domestik. Peningkatan pendapatan mendorong konsumsi dan mendorong pertumbuhan ekonomi
yang lebih tinggi.
Tapi pengkritik berargumen, proteksi perdagangan hanya akan membawa manfaat bagi
satu pihak tetapi merugikan pihak lainnya. Itu mengarah pada inefisiensi alokasi sumber daya.
Proteksi merugikan konsumen domestik. Mereka harus menanggung harga yang lebih tinggi.
Selain itu, pilihan mereka juga menjadi lebih sedikit. Beberapa produk impor mungkin
menawarkan fitur-fitur yang tidak dapat mereka peroleh dari produk domestik. Selain itu,
proteksi membuat produsen domestik malas. Mereka menjadi sangat tergantung pada kebijakan
pemerintah untuk mendukung daya saing mereka di pasar internasional. Penurunan intensitas
persaingan juga berpotensi untuk melemahkan industri dalam negeri. Tanpa persaingan, tidak
ada insentif untuk lebih inovatif dan lebih efisien. Terakhir, proteksionisme memicu pembalasan
kuat dari negara mitra. Itu dapat memunculkan perang dagang, yang mana dapat merusak
perekonomian. Tidak hanya negara yang terlibat, perang dagang juga merugikan negara lain.
Contoh terbaru adalah perang dagang antara China dan Amerika Serikat, yang mana membawa
perekonomian global menuju ketidakpastian.
3) Pengaruh upah minimum terhadap kesejahteraan
Menurut Undang-undang No 11 Tahun 2009, tentang Kesejahteraan Masyarakat,
kesejahteraan masyarakat adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial
warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat
melaksanakan fungsi sosialnya. Dari Undang– Undang di atas dapat kita cermati bahwa ukuran
tingkat kesejahteraan dapat dinilai dari kemampuan seorang individu atau kelompok dalam usaha
nya memenuhi kebutuhan material dan spiritual nya. Kebutuhan material dapat kita hubungkan
dengan pendapatan yang nanti akan mewujudkan kebutuhan akan pangan, sandang, papan dan
kesehatan. Kemudian kebutuhan spiritual kita hubungkan dengan pendidikan, kemudian
keamanan dan ketentaraman hidup.
Badan Pusat Statistik Indonesia (2018) menerangkan bahwa guna melihat tingkat
kesejahteraan rumah tangga suatu wilayah ada beberapa indikator yang dapat dijadikan ukuran,
antara lain adalah: Tingkat pendapatan keluarga (komposisi pengeluaran rumah tangga dengan
membandingkan pengeluaran untuk pangan dengan non-pangan), tingkat pendidikan keluarga,
tingkat kesehatan keluarga. Upaya yang telah diambil pemerintah untuk mengatasi permasalahan
upah ialah Kebijakan Upah Minimum yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 pasal 89 yang
menyebutkan kebijakan Upah Minimum Kota (UMK). Kebijakan ini bertujuan untuk melindungi
pekerja dan meningkatkan kesejahteraan pekerja.
Unit-unit sosial yang terkena dampak sebagai akibat dilaksanakannya kebijakan”. Unit
sosial pedampak tersebut salah satunya adalah dampak individual yang meliputi kondisi ekonomi
seseorang. Seorang pekerja yang memiliki kondisi ekonomi yang cukup baik biasanya dapat
dikatakan tingkat kesejahteraannya juga baik, Apabila dikaitkan dengan kebijakan UMK, maka
pekerja yang dapat memenuhi Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang meliputi kebutuhan dasar
yaitu pangan (makanan dan minuman), papan, sandang, pendidikan, kesehatan, transportasi,
rekreasi dan tabungan, serta pekerja pun juga merasa aman dan tentram maka pekerja tersebut
dapat dikatakan tingkat kesejahteraannya sudah cukup baik.
Kesejahteraan masyarakat akan terjadi apabila terjadi peningkatan di dalam perekonomian
yang terus meningkat sehingga menciptakan lapangan kerja yang yang dapat merekrut tenaga
kerja yang lebih banyak dengan upah yang layak. Upah yang layak diterima oleh masyarakat
juga harus disesuaikan dengan kinerja yang diberikan oleh tenaga kerja tersebut. Sebelum tenaga
kerja tersebut akan direkrut, sebaiknya ia diberikan pelatihan/training sehingga dapat dihasilkan
tenaga kerja yang berkompeten dalam bidangnya.
4) Pengaruh proteksi impor terhadap kesejahteraan
kebijakan tarif impor telah berdampak terhadap distribusi pendapatan di antara pelaku
pasar. Berkurangnya surplus konsumen, meningkatkan surplus produsen, serta adanya kerugian
sosial (akibat terjadinya efisiensi produksi dan efisiensi ekonomi) seiring dengan besarnya
tingkat tarif yang diberlakukan. Akan tetapi penerimaan pemerintah akan meningkat seiring
dengan meningkatnya tarif yang diberlakukan, dan setelah mencapai equilibrium akan
mengalami penurunan dan berlawanan arah dengan kenaikan tarif. Secara umum dapat dilihat,
kebijakan tarif impor telah mengurangi kesejahteraan masyarakat. Agar komoditas beras tetap
mempunyai daya saing maka efisiensi biaya produksi perlu ditingkatkan sehingga besarnya tarif
impor berangsur-angsur bisa dikurangi sampai titik nol, dengan demikian tingkat kesejahteraan
masyarakat yang optimal bisa tercapai.
DAFTAR RUJUKAN

Prathama Rahardja dan Mandala Manurung. 2010. Teori Ekonomi Mikro. Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Edisi Keempat.

Geraldo Teneh, Endrico; Kumenaung, Anderson G; dan Naukoko, Amran T. 2019. Dampak
Upah Minimum Provinsi Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja dan Kesejahteraan
Masyarakat di Pulau Sulawesi. Jurnal Berkala Ilimiah Efisiensi. Vol 19, No. 04. Hal 72-
83.

Cerdasco. 2021. Proteksi Perdagangan: Alasan, Jenis, Keuntungan dan Kerugian. Diakses pada
26 September 2021. https://cerdasco.com/proteksi-perdagangan/

Ketut Kariasa. 2003. Dampak Tarif Impor dan Kinerja Kebijakan Harga Dasar Serta
Implikasinya Terhadap Daya Saing Beras Indonesia di Pasar Dunia. Analisis Kebijakan
Pertanian, Vol 1, No. 4. Hal 315-330.

Nata Mahendra, Kade Bagus Siwa dan Arka, Sudarsana. 2021. Pengaruh Upah Minimum,
Tingkat Pendidikan Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat. E-
Jurnal EP. Vol. 10, No. 1. Hal 60-89.

Anda mungkin juga menyukai