Anda di halaman 1dari 3

Perbedaan Pelaporan dan Pengaduan

Sementara itu, perkara penggelapan yang teman Anda lakukan merupakan suatu delik atau
tindak pidana biasa dan bukan delik aduan. Menurut R. Tresna dalam buku Azas-azas Hukum
Pidana Disertai Pembahasan Beberapa Perbuatan Pidana yang Penting, istilah pengaduan
(klacht) tidak sama artinya dengan pelaporan (aangfte), bedanya adalah:

1. Pelaporan dapat diajukan terhadap segala perbuatan pidana, sedangkan pengaduan hanya
mengenai kejahatan-kejahatan, di mana adanya pengaduan itu menjadi syarat.
2. Setiap orang dapat melaporkan sesuatu kejadian, sedangkan pengaduan hanya dapat
diajukan oleh orang-orang yang berhak mengajukannya.
3. Pelaporan tidak menjadi syarat untuk mengadakan tuntutan pidana, pengaduan di dalam
hal-hal kejahatan tertentu sebaiknya merupakan syarat untuk mengadakan penuntutan.

 
Dalam artikel Apakah Tetap Dipidana Jika Barang Curian Dikembalikan? dijelaskan bahwa
salah satu sifat khusus dari delik aduan (klacht delict) adalah orang yang mengajukan pengaduan
berhak menarik kembali pengaduan dalam waktu 3 bulan setelah pengaduan diajukan.
Sebaliknya, dalam perkara-perkara yang tergolong dalam delik biasa (gewone delict), laporan
polisi atas perkara tersebut tidak dapat ditarik kembali ataupun dicabut meski telah ada
perdamaian dengan korban/adanya pengembalian kerugian kepada korban.
 
Mengingat pada dasarnya penggelapan bukan termasuk dalam delik aduan, maka walaupun
barang yang digelapkan telah dikembalikan dan sekalipun jika telah terjadi perdamaian dengan
korban, hal tersebut tidak menjadi alasan penghapusan kewenangan untuk menuntut terhadap
delik tersebut, karena laporan polisi atas perkara tersebut tidak ditarik kembali.
 
Hal ini sebagaimana diatur dalam Bab VIII Buku I (Pasal 76 s/d Pasal 85) KUHP tentang
Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan Menjalankan Pidana. Sehingga, walaupun
barang yang digelapkan telah dikembalikan oleh pelaku, proses penuntutan penggelapan tidak
dapat diberhentikan.
 
Namun, dengan adanya iktikad baik dari si pelaku, apabila ada perjanjian perdamaian, hal itu
dapat menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan putusan saat perkara tersebut diperiksa di
pengadilan.
 
Batas Waktu Penyidikan dan Daluwarsanya
Mengenai lamanya tindak pidana tersebut diproses pihak Kepolisian, hal pertama yang dapat
dilakukan yaitu mengajukan permintaan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan
(“SP2HP”) yang ditujukan kepada penyidik. Dengan adanya SP2HP, teman Anda dapat
mengetahui perkembangan proses penyidikan.
 
Penjelasan lebih lanjut mengenai SP2HP ini Anda simak dalam Prosedur Bila Polisi Tidak
Menindaklanjuti Laporan Perkara.
 
Sedangkan terkait jangka waktu penyidikan pada tingkat Kepolisian, hal ini tidak diatur
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”),
namun apabila teman Anda ditahan, maka waktu penahanan oleh penyidik paling lama adalah
20 hari dan apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat
diperpanjang penuntut umum paling lama 40 hari.[1]
 
Selanjutnya, berkaitan dengan jangka waktu penyidikan, pada prinsipnya penyidikan dilakukan
dengan dasar laporan polisi dan surat perintah penyidikan yang di dalamnya memuat waktu
dimulainya penyidikan, untuk selanjutnya diterbitkan Surat Pemberitahuan Dimulainya
Penyidikan (“SPDP”).[2]
 
Sebelumnya, penyidik wajib membuat rencana penyidikan yang diajukan kepada atasan penyidik
secara berjenjang yang harus memuat salah satunya waktu yang diperlukan dalam pelaksanaan
kegiatan penyidikan.[3]
 
Namun, sayangnya dalam Perkapolri 6/2019 maupun KUHAP tidak diatur lebih lanjut mengenai
batas waktu pelaksanaan penyidikan. Hal serupa juga pernah diberitakan dalam Ketidakjelasan
Batas Waktu Proses Penyidikan Kembali Dipersoalkan, di mana Majelis Mahkamah
Konstitusi (“MK”) menggelar sidang perdana uji materi terkait ketidakjelasan batas waktu proses
penyidikan di kepolisian (hal. 1).
 
Adapun yang diatur adalah SPDP dikirimkan kepada penuntut umum, pelapor/korban, dan
terlapor dalam waktu paling lambat 7 hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan. Jika
penyidik belum menyerahkan berkas perkara dalam waktu 30 hari kepada Jaksa Penuntut
Umum, penyidik wajib memberitahukan perkembangan perkara dengan melampirkan SPDP.[4]
 
SPDP tersebut memuat:[5]

a. dasar penyidikan berupa laporan polisi dan Surat Perintah Penyidikan;


b. waktu dimulainya penyidikan;
c. jenis perkara, pasal yang dipersangkakan dan uraian singkat tindak pidana yang disidik;
d. identitas tersangka; dan
e. identitas pejabat yang menandatangani SPDP.

 
Namun khusus untuk identitas tersangka, hal ini tidak perlu dicantumkan bila penyidik belum
dapat menetapkannya. Kemudian jika tersangka ditetapkan setelah lebih dari 7 hari diterbitkan
Surat Perintah Penyidikan, dikirimkan surat pemberitahuan penetapan tersangka dengan
melampirkan SPDP sebelumnya.[6]
 
Di sisi lain, yang perlu diperhatikan adalah daluwarsa penuntutan pidana untuk kasus
penggelapan berdasarkan Pasal 372 KUHP, sebagaimana dijelaskan dalam Masa Daluwarsa
Penuntutan Pidana, adalah sesudah 12 tahun.[7]
 
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk
tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk
mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung
dengan Konsultan Mitra Justika.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;


2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
3. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak
Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP;
4. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang
Penyidikan Tindak Pidana.

 
Referensi:
R. Tresna. Azas-azas Hukum Pidana Disertai Pembahasan Beberapa Perbuatan Pidana yang
Penting, (Jakarta: Tiara Limited), 1959.
 

[1] Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP


[2] Pasal 13 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019
tentang Penyidikan Tindak Pidana (“Perkapolri 6/2019”)
[3] Pasal 15 Perkapolri 6/2019
[4] Pasal 14 ayat (1) dan (5) Perkapolri 6/2019
[5] Pasal 14 ayat (2) Perkapolri 6/2019
[6] Pasal 14 ayat (3) dan (4) Perkapolri 6/2019
[7] Pasal 78 ayat (1) butir 3 KUHP

Anda mungkin juga menyukai