Anda di halaman 1dari 130

AKTIVITAS ANTIDEPRESAN EKSTRAK ETANOL BIJI

KOPI ROBUSTA (Coffea canephora Pierre ex A. Froehner):


PENINGKATAN AKTIVITAS LOKOMOTOR DAN
PENURUNAN IMMOBILITY TIME TERHADAP MENCIT

SKRIPSI

OLEH :
AYUNDA SAFIRA
NIM 171501037

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2021
AKTIVITAS ANTIDEPRESAN EKSTRAK ETANOL BIJI
KOPI ROBUSTA (Coffea canephora Pierre ex A. Froehner):
PENINGKATAN AKTIVITAS LOKOMOTOR DAN
PENURUNAN IMMOBILITY TIME TERHADAP MENCIT

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

OLEH :
AYUNDA SAFIRA
NIM 171501037

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2021
.
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan

rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menjalani penelitian hingga

akhirnya menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Aktivitas

Antidepresan Ekstrak Etanol Biji Kopi Robusta (Coffea canephora Pierre ex A.

Froehner): Peningkatan Aktivitas Lokomotor dan Penurunan Immobility Time

terhadap Mencit”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera

Utara.

Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada Ibu Marianne, S.Si.,

M.Si., Apt. selaku dosen pembibing I dan Ibu Dr. Poppy A. Z. Hasibuan S.Si.,

M.Si., Apt. selaku dosen pembimbing II , yang telah membimbing dengan penuh

kesabaran, tulus dan ikhlas selama penelitian dan penulisan skripsi ini

berlangsung. Penulis juga berterimaksih kepada Bapak Prof. Dr. Urip Harahap

Apt. dan Ibu Yuandani, S.Farm., M.Si., Ph.D., Apt. selaku dosen penguji yang

telah memberikan kritik dan saran yang membangun demi kelengkapan skripsi

ini. Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dekan

Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Masfria, M.Si., Apt., yang

telah memberikan fasilitas selama masa pendidikan.

Penulis menyampaikan rasa terimakasih dan penghargaan yang tulus

kepada kedua orang tua, Ayahanda Syarwadi M.Ali dan Ibunda Suryati serta

kedua adik Sharul Ardian dan Aqilla Ulayya atas doa, dukungan dan pengorbanan

baik moril maupun materil selama perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini.

Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada rekan penelitian, sahabat dan

iv
teman-teman yang telah memberikan dukungan selama masa perkuliahan,

penelitian dan penulisan skripsi ini berlangsung.

Skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu penulis meminta

maaf atas kesalahan dan kekhilafan dalam penulisan skripsi. Penulis bersedia

menerima kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Semoga skripsi inii

bisa memberikan sumbangsih untuk menambah pengetahuan para pembaca dan

berguna untuk ilmu pengetahuan.

Medan, 03 Mei 2021

Ayunda Safira
NIM 171501037

v
AKTIVITAS ANTIDEPRESAN EKSTRAK ETANOL BIJI KOPI
ROBUSTA (Coffea canephora Pierre ex A. Froehner): PENINGKATAN
AKTIVITAS LOKOMOTOR DAN PENURUNAN IMMOBILITY TIME
TERHADAP MENCIT
ABSTRAK

Latar Belakang: depresi merupakan penyakit mental yang patut diperhatikan,


karena dampak yang ditimbulkan sungguh besar, seperti penurunan
produktivitas kerja hingga bunuh diri. Kopi (Coffea canephora) adalah
tumbuhan dari famili Rubiaceae. Tumbuhan ini berpotensi mempunyai aktivitas
antidepresan seperti peningkatan aktivitas lokomotor.
Tujuan: untuk mengetahui efektivitas ekstrak etanol biji Coffea canephora
(EECC) sebagai antidepresan.
Metode: penelitian ini diawali dengan pembuatan ekstrak etanol Coffea
canephora (EECC), selanjutnya karakterisasi dan skrining fitokimia serbuk dan
ekstraknya. Metode yang digunakan untuk memicu depresi yaitu metode
chronic mild stress (CMS) selama 14 hari. Kemudian diberikan EECC dosis
50, 100, 200 mg/kgBB dan sertralin 6,5 mg/kgBB sebagai pembanding dengan
pemberiaan selama 10 hari. Metode uji antidepresan menggunakan tail
suspension test (TST) dan forced swimming test (FST) untuk mengukur durasi
immobility time, sedangkan open field test (OFT) untuk mengukur durasi
aktivitas lokomotor yang ditinjau dari durasi central square (CS), cross dan
grooming. Pengamatan meliputi peningkatan aktivitas lokomotor, penurunan
immobility time, pengukuran kadar glukosa darah, dan iritasi lambung. Data
dianalisis secara statistika menggunakan progam Statistical Product and
Service Solution (SPSS) dilanjutkan uji analysis of variance (ANOVA)
kemudian uji Post Hoc LSD dengan tingkat kepercayaan 95%.
Hasil: menunjukkan perolehan durasi immobility time (IT) menggunakan
metode TST untuk EECC dosis 50 mg/kgBB signifikan mengurangi durasi IT
(p<0,05) dengan rerata 113,75±18,35, untuk EECC dosis 100 mg/kgBB
signifikan mengurangi durasi IT (p<0,05) dengan rerata 100,75±16,13, untuk
EECC dosis 200 mg/kgBB signifikan mengurangi durasi IT (p<0,05) dengan
rerata 77,50±22,44. Sedangkan perolehan durasi IT menggunakan metode FST
untuk EECC dosis 50 mg/kgBB signifikan mengurangi durasi IT (p<0,005)
dengan rerata 151,75±18,98, untuk EECC dosis 100 mg/kgBB signifikan
mengurangi durasi IT (p<0,05) dengan rerata 132,50±18,67, untuk EECC dosis
200 mg/kgBB signifikan mengurangi durasi IT (p<0,05) dengan rerata
130,50±12,70. Untuk perolehan durasi aktivitas lokomotor menggunakan
metode OFT yang ditinjau dari central square (CS) untuk EECC dosis 50
mg/kgBB signifikan meningkatkan durasi CS (p<0,05) dengan rerata
28,00±3,34, untuk EECC dosis 100 mg/kgBB signifikan meningkatkan durasi
CS (p<0,05) dengan rerata 29,75±4,31, untuk EECC dosis 200 mg/kgBB
signifikan meningkatkan durasi CS (p<0,05) dengan rerata 33,50±3,97.
Sedangkan yang ditinjau dari jumlah Cross untuk EECC dosis 50 mg/kgBB
signifikan meningkatkan jumlah cross (p<0,05) dengan rerata 133,75±13,12,
untuk EECC dosis 100 mg/kgBB signifikan meningkatkan jumlah cross

vi
(p<0,05) dengan rerata 139,50±24,09, untuk EECC dosis 200 mg/kgBB
signifikan meningkatkan jumlah cross (p<0,05) dengan rerata 142,75±17,97.
Untuk perolehan durasi grooming EECC dosis 50 mg/kgBB signifikan
mengurangi durasi grooming (p<0,05) dengan rerata 21,33±8,09, untuk EECC
dosis 100 mg/kgBB signifikan mengurangi durasi grooming (p<0,05) dengan
rerata 17,33±2,96, untuk EECC dosis 200 mg/kgBB signifikan mengurangi
durasi grooming (p<0,05) dengan rerata 15,67±4,70.
Kesimpulan: ekstrak etanol biji coffea canephora dosis 50, 100, dan 200
mg/kgBB efektif sebagai antidepresan dalam meningkatkan aktivitas lokomotor
dan menurunkan immobility time mencit.
Kata kunci : Coffea canephora, depresi, aktivitas antidepresan, aktivitas
lokomotor, immobility time

vii
ANTIDEPRESSANT ACTIVITY OF ETHANOL EXTRACT OF Coffea
canephora Pierre ex A. Froehner: INCREASING LOCOMOTOR
ACTIVITY AND DECREASING IMMOBILITY TIME ON MICE
ABSTRACT

Background: depression is a mental illness worth noting, because the impacts


are huge, such as decreasing of work productivity and suicide. Coffee (Coffea
canephora) is a plant of the family Rubiaceae. This plant has the potential to
have antidepressant activity such as increasing psychomotor activity.
Objective: to know the effectiveness of ethanol extract of Coffea canephora
(EECC) as an antidepressant.
Method: this was research consist of preparation ethanol extract of Coffea
canephora (EECC) , furthermore characterization and phytochemical screening
was carried out on simplicia and ethanolic extracts. The chronic mild stress
(CMS) model was used in this research to cause depression for 14 days. EECC
at doses of 50, 100, 200 mg/kgbw was given to the mice for 10 days,
meanwhile the control positive group received sertraline at doses 0f 6,5
mg/kgbw. Antidepressant activity was identified by using the tail suspension
test (TST), forced swimming test (FST), and open field test (OFT). increased
locomotor activity, decreased immobility time, blood glucose levels, and ulcer
score were evaluated throughout the study. Data were analyzed using one-way
analysis of variance (ANOVA) method using the SPSS programme followed by
Post Hoc LSD test with a confidence level of 95%.
Result: the result showed that immobility time (IT) was identified by TST
method for EECC at doses 50 mg/kgbw significantly reduced IT duration
(p<0,05) at average of 113,75±18,35, doses 100 mg/kgbw significantly
decreased IT duration (p<0,05) at average of 100,75±16,13, and doses at 200
mg/kgbw significanlyt decreased IT duration (p<0,05) at average of
77,50±22,44. Meanwhile IT was identified by FST method for EECC at doses
50 mg/kgbw significantly decreased IT duration (p<0,05) at average of
151,75±18,98, doses 100 mg/kgbw significant decreased IT duration (p<0,05)
at average of 132,50±18,67, and doses at 200 mg/kgbw significantly decreased
IT duration (p<0,05) at average of 130,50±12,70. Furthermore the result of
locomotor activity was identified by OFT method was evaluated by duration
central square (CS) for EECC at doses 50 mg/kgbw significantly increased
(p<0,05) at average of 28,00±3,34, doses 100 mg/kgbw significantly increased
(p<0,05) at average of 29,75±4,31, and doses at 200 mg/kgbw significantly
increased (p<0,05) at average of 33,50±3,97. Meanwhile the result was
evaluated by number of cross for EECC at doses 50 mg/kgbw significantly
increased (p<0,05) at average of 133,75±13,12, doses 100 mg/kgbw
significantly increased (p<0,05) at average of 139,50±24,09, and doses at 200
mg/kgbw significantly increased (p<0,05) at average of 142,75±17,97. The
resulst was evaluated by duration of grooming for EECC at doses 50 mg/kgbw
significantly decreased (p<0,05) at average of 21,33±8,09, doses 100 mg/kgbw
significantly decreased (p<0,05) at average of 17,33±2,96, and doses at 200
mg/kgbw significantly decreased (p<0,05) at average of 15,67±4,70.

viii
Conclusion: ethanol extract of coffea canephora at doses of 50, 100, and 200
mg/kg bw are effective as antidepressants to increasing locomotor activity and
decreasing immobility time of mice.
Keywords: Coffea canephora, depression, antidepressant activity, locomotor
activity, immobility time

ix
DAFTAR ISI

JUDUL ............................................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... ii
KATA PENGANTAR...................................................................................... iii
SURAT PERNYATAAN ORISINILITAS...................................................... v
ABSTRAK........................................................................................................ vi
ABSTRACT....................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xv
BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ................................................................................... 4
1.3 Hipotesis .................................................................................................... 4
1.4 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 4
1.5 Manfaat Penelitian ..................................................................................... 4
1.6 Kerangka Pikir Penelitian .......................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 7
2.1 Depresi ....................................................................................................... 7
2.1.1 Pengertian Depresi .................................................................................. 7
2.1.2 Penyebab Depresi ................................................................................... 7
2.1.3 Patofisiologi Depresi .............................................................................. 8
2.1.4 Jenis-Jenis Depresi .................................................................................. 10
2.1.5 Depresi pada Mencit................................................................................ 11
2.2 Uraian Tumbuhan....................................................................................... 14
2.2.1 Kopi Robusta (Coffea canephora) ......................................................... 14
2.2.2 Taksonomi Tumbuhan ............................................................................ 15
2.2.3 Morfologi Tumbuhan............................................................................... 16
2.2.4 Kandungan Kimia.................................................................................... 16
2.2.5 Kafein...................................................................................................... 17
2.2.6 Penelitian Terkait dan Khasiat................................................................. 18
2.3 Ekstraksi..................................................................................................... 19
2.4 Antidepresan............................................................................................... 20
2.4.1 Klasifikasi Antidepresan.......................................................................... 21
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................. 23
3.1 Alat dan Bahan .......................................................................................... 23
3.1.1 Alat ......................................................................................................... 23
3.1.2 Bahan ...................................................................................................... 23
3.2 Hewan Percobaan ...................................................................................... 24

x
3.3 Prosedur ..................................................................................................... 24
3.3.1 Pembuatan Simplisia .............................................................................. 24
3.3.1.1 Pengumpulan Bahan ............................................................................ 24
3.3.1.2 Identifikasi Tumbuhan.......................................................................... 24
3.3.1.3 Pengolahan Sampel............................................................................... 24
3.3.2 Pemeriksaan Karakteristik....................................................................... 25
3.3.2.1 Pemeriksaan Makroskopik Biji Coffea canephora............................... 25
3.3.2.2 Penetapan Kadar Air ............................................................................ 25
3.3.2.3 Penetapan Kadar Sari Larut Dalam Air................................................ 26
3.3.2.4 Penetapan Kadar Sari Larut Dalam Etanol .......................................... 26
3.3.2.5 Penetapan Kadar Abu Total ................................................................. 26
3.3.2.6 Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Dalam Asam ................................ 27
3.3.3 Skrining Fitokimia Biji Coffea canephora ............................................. 27
3.3.3.1 Pemeriksaan Alkaloid ........................................................................ 27
3.3.3.2 Pemeriksaan Flavonoid ........................................................................ 28
3.3.3.3 Pemeriksaan Glikosida......................................................................... 28
3.3.3.4 Pemeriksaan Saponin ........................................................................... 29
3.3.3.5 Pemeriksaan Tanin ............................................................................... 29
3.3.3.6 Pemeriksaan Steroid/Terpenoid............................................................ 39
3.3.4 Pembuatan Ekstrak Etanol Biji Kopi Robusta......................................... 30
3.3.5 Uji Kadar Kafein Menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT)........ 30
3.3.6 Uji Aktivitas Antidepresan...................................................................... 31
3.3.6.1 Penyiapan Hewan Uji........................................................................... 31
3.3.6.2 Penyiapan Bahan UJi, Kontrol, dan Obat Pembanding........................ 31
3.3.6.3 Pembuatan Suspensi Na-CMC 0,5%.................................................... 31
3.3.6.4 Pembuatan Suspensi Ekstrak Etanol Biji Kopi Robusta....................... 31
3.3.6.5 Pembuatan Suspensi Sertralin............................................................... 31
3.3.7 Induksi Stres Kronik Ringan................................................................... 32
3.3.8 Pengujian Efek Antidepresi..................................................................... 33
3.3.8.1 Uji Tail Suspension Test....................................................................... 34
3.3.8.2 Uji Fored swimming Test...................................................................... 34
3.3.8.3 Uji Open Field Test.............................................................................. 34
3.3.9 Analisis Data............................................................................................ 35
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 36
4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan...................................................................... 36
4.2 Hasil Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak Coffea canephora.................... 36
4.3 Hasil Skrining Simplisia dan Ekstrak Coffea canephora........................... 37
4.4 Ekstraksi Simplisia..................................................................................... 38
4.5 Kadar Kafein............................................................................................... 38
4.6 Hasil Pengamatan Subjektif Perilaku dan Profil Berat Badan pada Uji
Antidepresan...............................................................................................
.......................................................................................................................... 39

xi
4.7 Uji Antidepresan dengan Metode tail suspension test, forced swimming test,
open field test.............................................................................................. 42
4.8 Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah............................................................ 50
4.9 Histologi Lambung..................................................................................... 52
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN........................................................... 59
5.1 Kesimpulan................................................................................................. 59
5.2 Saran........................................................................................................... 59
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 60

xii
DAFTAR TABEL
3.1 Rancangan Paparan Stres............................................................................ 34
4.1 Hasil Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak Coffea canephora ................... 36
4.2 Hasil Skrining Fitokomia Simplisia dan Ekstrak Coffea canephora.......... 37
4.3 Hasil Pengamatan Perilaku pada Hari ke-7 Terapi Terhadap 6 Kelompok pada
Uji Antidepresan........................................................................................ 39
4.4 Data Rata-Rata Berat Badan....................................................................... 41
4.5 Data Rata-Rata Immobility Time (IT) dengan Metode TST....................... 42
4.6 Data Rata-Rata Immobility Time (IT) dengan Metode FST....................... 43
4.7 Data Rata-Rata Durasi Central Square dengan Metode OFT.................... 45
4.8 Data Rata-Rata Durasi Cross dengan Metode OFT................................... 47
4.9 Data Rata-Rata Durasi Grooming dengan Metode OFT............................ 48
4.10 Data Rata-Rata Glukosa Darah pada Hari ke-24 ..................................... 51
4.11 Skor dan Kriteria Kerusakan Mukosa Lambung Secara Makroskopik.... 53
4.12 Hasil Penilaian Kerusakan Mukosa Lambung.......................................... 54

xiii
DAFTAR GAMBAR
1.1 Kerangka Pikir Penelitian ........................................................................ 6
2.1 Mencit dengan Perlakuan FST.................................................................... 12
2.2 Mencit dengan Perlakuan TST................................................................... 13
2.3 Open Field Test........................................................................................... 14
2.4 Tingkah Laku Hewan Uji........................................................................... 14
2.5 Biji Coffea canephora................................................................................. 15
2.6 Struktur Kimia Kafein................................................................................ 18
3.1 Waktu Pengukuran Aktivitas Antidepresan................................................ 34
4.1 Grafik Perubahan Berat Badan .................................................................. 40
4.2 Hasil Makroskopik Lambung Mencit ........................................................ 54
4.3 Hasil Mikroskopik Lambung Mencit.......................................................... 56

xiv
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat hasil identifikasi tumbuhan ............................................................... 66
2. Surat rekomendasi persetujuan etik penelitian kesehatan............................. 67
3. Bagan kerja penelitian.................................................................................. 68
4. Bagan pembuatan ekstrak etanol Coffea cenaphora..................................... 69
5. Bagan uji aktivitas antidepresan ekstrak etanol Coffea cenaphora ............. 70
6. Gambar Makroskopik Coffea canephora..................................................... 71
7. Perhitungan penetapan kadar air .................................................................. 72
8. Perhitungan penetapan abu total................................................................... 73
9. Perhitungan penetapan kadar abu tidak larut asam....................................... 74
10. Perhitungan penetapan sari larut dalam air................................................. 75
11. Perhitungan penetapan sari larut dalam etanol........................................... 76
12. Gambar hasil karakterisas fitokimia serbuk simplisia Coffea canephora. . 77
13. Gambar hasil karaketrisasi fitokimia ekstrakCoffea canephora................. 79
14. Hasil pembuatan ekstrak dan perhitungan randemen................................. 80
15. Gambar alat dan bahan............................................................................... 81
16. Gambar hewan............................................................................................ 84
17. Tabel konversi dosis antara jenis hewan dengan manusia.......................... 85
18. Contoh perhitungan dosis........................................................................... 86
19. Perhitungan Konversi Dosis....................................................................... 88
20. Data hasil pengamatan mencit.................................................................... 90
21. Gambar analisa data berat badan mencit.................................................... 95
22. Gambar analisa data uji tail suspension test (TST).................................... 98
23. Gambar analisa data uji forced swimming test (FST)................................. 101
24. Gambar analisa data uji open field test (OFT)............................................ 104
25. Gambar analisa data pengukuran kadar glukosa darah............................... 113

xv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Kesehatan mental merupakan hal yang penting bagi manusia sama halnya

seperti kesehatan fisik pada umumnya. Jika kesehatan mental seseorang itu baik

maka aspek kehidupan yang lain dalam dirinya akan bekerja secara lebih

maksimal. Kondisi kesehatan fisik yang baik tidak terlepas dari kondisi mental

yang baik. Salah satu gangguan mental yang banyak terjadi adalah depresi (Putri

dkk., 2014).

Menurut World Health Organization, WHO (2012) estimasi prevalensi

gangguan jiwa di seluruh dunia adalah 350 juta, dimana pada 17 negara

ditemukan bahwa 1 dari 20 orang tercatat mengalami depresi selama hidup

mereka. Berdasarkan laporan dari hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun

2018, di Indonesia penyakit depresi menjadi jenis gangguan jiwa yang menduduki

peringkat pertama selama tiga dekade (1990-2017), dimana depresi sudah mulai

terjadi sejak usia remaja dengan prevalensi 6,2%. Pola prevalensi meningkat

seiring dengan bertambahnya usia dimana prevalensi tertinggi terjadi pada usia 75

tahun sebesar 8,9%.

Gangguan depresi mayor adalah perjalanan klinis yang ditandai oleh satu

atau lebih episode depresi mayor tanpa riwayat episode manik atau hipomanik,

biasanya ditandai dengan perubahan emosional yaitu berkurangnya kemampuan

untuk mengalami kesenangan (anhedonia), tidak lagi tertarik pada aktivitas sehari-

hari, kesedihan, pesimisme, kecemasan (90% terjadi pada penderita depresi)

keputusasaan, rasa bersalah, halusinansi pendengaran dan delusi. Adapun tanda

fisiknya berupa kelelahan, nyeri (terutama sakit kepala), perubahan pola tidur,

1
penurunan atau peningkatan nafsu makan, kehilangan minat seksual, keluhan

gastrointestinal (GI) dan kardiovaskular (terutama palpitasi), menurunnya

kemampuan berpikir, serta gerakan fisik melambat (Wells dkk., 2012).

Lumongga (2016) menyatakan bahwa dampak yang ditimbulkan oleh

depresi sangat berpengaruh bagi kehidupan penderitanya, mulai dari penurunan

produkivitas kerja, gangguan bersosial, gangguan tidur dan makan serta rentan

terhadap berbagai penyakit hingga terjadinya peningkatan kasus bunuh diri.

Sehingga depresi bukan hanya sekedar suatu keadaan sedih yang dapat

diremehkan, namun merupakan suatu kondisi medis psikiatri, diduga

penyebabnya adalah faktor biologi (ketidakseimbangan neurotransmitter), faktor

psikologis serta faktor sosio-lingkungan atau dampak situasi kehidupan sehari-

hari.

Pengobatan depresi menggunakan obat-obat sintesis pada nyatanya dapat

membuat pasien depresi tidak berespon terhadap penggunaanya atau disebut

dengan Treatment-Resistant-Depression (TRD), dilaporkan lebih dari 30% pasien

depresi mengalami kondisi ini setelah mencoba 4 kali pengobatan antidepresan

yang berbeda (Olchanski dkk., 2013). Selain itu banyaknya efek samping yang

ditimbulkan oleh obat antidepresan membuat banyak orang mencari alternatif lain

yang lebih aman. Penggunaan bahan alami sebagai obat tradisional telah lama

diterima hampir diseluruh negara di dunia. Penggunaan obat tradisional dianggap

lebih ekonomis dan aman, karena memiliki efek samping yang relatif rendah

(WHO, 2013). Salah satu tumbuhan yang berpotensi memiliki aktivitas sebagai

antidepresan adalah kopi. Hall (2016) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang

positif antara mengonsumsi kopi dengan pengurangan gejala episode depresi.

2
Kopi mengandung banyak unsur aktif biologis yang sebagian besar dapat

berkontribusi sebagai antidepresan seperti alkaloid dan polifenol. Senyawa

alkaloid yang banyak dijumpai pada kopi adalah kafein, sedangkan senyawa

polifenol yang ditemukan dalam kopi adalah tanin, flavanol, flavon, anthosianin,

proanthosianidin, asam fenolik dan asam hidroksikinnamin (Hall, 2016).

Kandungan senyawa pada kopi dapat bekerja sebagai antidepresan yaitu

dengan menghambat kerja dari enzim monoamine oksidase-A (MAO-A) sehingga

terjadi peningkatan kadar serotonin (5-HT) pada hipokampus (Grzelczyk dkk.,

2021). Selain itu menurut penelitian dari Loria dkk. 2014 menyatakan bahwa

kandungan alkaloid dalam tumbuhan mempunyai efek sebagai antidepresan

dengan menghambat reuptake 5-HT.

Kopi yang dipakai pada penelitian ini adalah kopi robusta (Coffea

canephora), karena kopi lokal Indonesia dengan jenis java robusta memiliki kadar

kafein paling tinggi (1,6-2,5%) dibanding kopi lokal Indonesia lainnya seperti

arabika (0,8-1,5%) . Selain itu, umumnya penduduk Indonesia lebih banyak

menanam kopi jenis robusta, sehingga harga kopi robusta lebih murah di pasaran

dibandingkan dengan kopi arabika (Asti, 2015).

Berdasarkan latar belakang di atas, depresi merupakan masalah yang

sangat penting dan sudah sebaiknya diteliti serta diikuti perkembangannya agar

penanganan dan pengatasan terkait masalah depresi dapat lebih baik kedepannya.

Diharapkan dengan adanya penelitian ini penggunaan antidepresan kimia dapat

berkurang. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengetahui aktivitas efek

Coffea canephora sebagai antidepresan pada hewan uji, depresi ditinjau dari

penurunan immobility time dan peningkatan aktivitas lokomotor.

3
1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka perumusan masalah

penelitian ini adalah:

a. Apakah ekstrak etanol biji Coffea canephora dapat memberikan efek

antidepresan dengan menurunkan durasi immobility time pada mencit?

b.Apakah ekstrak etanol biji Coffea canephora dapat memberikan efek

antidepresan dengan meningkatkan durasi lokomotor pada mencit?

1.3 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka yang menjadi hipotesa

dalam penelitian ini adalah :

a. Ekstrak etanol biji Coffea canephora dapat memberikan efek antidepresan

dengan menurunkan durasi immobility time pada mencit.

b. Ekstrak etanol biji Coffea canephora dapat memberikan efek antidepresan

dengan meningkatkan durasi lokomotor pada mencit.

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui ekstrak etanol biji Coffea canephora dapat memberikan

efek antidepresan dengan menurunkan durasi immobility time pada mencit.

b. Untuk mengetahui ekstrak etanol biji Coffea canephora dapat memberikan

efek antidepresan dengan meningkatkan durasi lokomotor pada mencit.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dalam penelitian ini adalah:

a. Pengembangan biji Coffea canephora menjadi salah satu sediaan herbal

terstandar dengan aktivitas antidepresan.

4
b. Menambah inventaris tanaman obat yang berkhasiat sebagai antidepresan.

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah mencit. Untuk menginduksi stres kronis

ringan atau chronic mild stress (CMS) selama 14 hari diberikan paparan:

mengguncangkan kandang selama 15 menit, mengotorkan kandang, mengurangi

sekam, pergantian siklus gelap terang, mempuasakan mencit selama 12 jam, dan

memberikan suara predator. Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu ekstrak

etanol Coffea canephora (EECC) dosis 50; 100; 200 mg/kgBB. Sebagai

pembanding atau kontrol positif digunakan sertralin dosis 6,5 mg/kgBB. Natrium

karboksilmetil selulosa (Na-CMC) 0,5% sebagai kontrol negatif dan kontrol

normal hanya diberikan makanan dan minuman ad libitum. Variabel terikat dalam

penelitian ini adalah efek antidepresan yaitu: durasi immobility time dengan

metode tail suspension test (TST) dan forced swimming test (FST), aktivitas

lokomotor dengan metode open field test (OFT): durasi central square,

cross,grooming, kadar glukosa darah dan iritasi lambung pada mencit. Kerangka

pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.1.

5
Penelitian ini dilakukan dengan kerangka pikir sebagai berikut:

Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter

Ekstrak durasi
etanol immobility penuru
Coffea Efek
Mencit time: nan
canephora Antidep
jantan metode tail immob
(EECC) resan
suspension ility
Dosis 50 test (TST) time
mg/kgBB, (detik) dan
100 forced
mg/kgBB, swimming
test (FST)
200
Diinduksi CMS (detik)
mg/kgBB
selama 14 hari
aktivitas
- Tanpa makan lokomotor:
Na-
selama 12 jam metode open
CMC
- Suara predator field test pening
0,5%
- Guncangan pada (OFT) berupa katan
kandang selama durasi central aktivit
15 menit square as
Sertrali - Mengotorkan (detik), cross
n 6,5 kandang (jumlah),
mg/kg - Pergantian siklus grooming
BB gelap terang (detik)
- Mengurangi
sekam Pengu
Kadar kuran
glukosa
kadar
darah (mg/
dl) glukos
a
darah
Iritasi
Lambung Penguran
(jumlah gan
tukak) Iritasi
lambung

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Depresi

2.1.1. Pengertian Depresi

Gangguan depresi mayor adalah perjalanan klinis yang ditandai oleh satu

atau lebih episode depresi mayor tanpa riwayat episode manik atau hipomanik,

biasanya ditandai dengan perubahan emosional yaitu berkurang kemampuan

untuk mengalami kesenangan (anhedonia), tidak lagi tertarik pada aktivitas

sehari-hari, kesedihan, pesimisme, sering murung, keputusasaan, merasa bersalah,

pendengaran dan delusi berhalusinasi. Adapun tanda fisiknya berupa kelelahan,

nyeri (terutama sakit kepala), gangguan tidur, penurunan atau peningkatan nafsu

makan, kehilangan minat seksual, keluhan gastrointestinal (GI) dan

kardiovaskular (terutama palpitasi), menurunnya kemampuan berpikir, juga

gerakan fisik melambat dan agitasi psikomotorik (Wells dkk, 2012).

Depresi bersifat gangguan heterogen pada pasien dimana depresi akan

menimbulkan gejala yang menandakan adanya perubahan neurotransmiter

monoamin otak, khususnya norepinefrin, serotonin, dan dopamin (Brar dkk.,

2015).

2.1.2. Penyebab Depresi

Para ilmuwan melakukan penelitian pada jaringan saraf pasien depresi

yang telah meninggal, hasil menunjukkan bahwa depresi berperan dalam

pembentukan gen MKP-1 (mitogen-1 mengaktifkan protein kinase fosfatase),

peningkatan ekspresi MKP-1 terjadi di hippocampus, mengakibatkan stres dan

memulai perilaku depresi. Di sisi lain, tujuan terapi depresi kronis adalah

menormalkan ekspresi MKP-1 (Bembnowska dan Jadwiga 2015).

7
Depresi juga bisa disebabkan dengan gangguan pada neurotransmisi di

otak seperti serotonin, norepinefrin, dopamin dan GABA, serta faktor

pertumbuhan saraf otak atau brain-derived-neutrophic factor (BDNF).

Diperkirakan penurunan produksi neurotransmitter menyebabkan gejala depresi

bahkan tindakan bunuh diri. Selain itu, berkembangnya depresi sangat

berpengaruh pada berkurangnya kadar serotonin (Bembnowska dan Jadwiga,

2015).

Selain itu, hiperaktifitas aksis hipotalamus-pituitari-adrenal relevan

dengan terjadinya depresi. Aksis HPA berperan penting dalam adaptasi terhadap

stres. Peningkatan aktivitas aksis HPA terjadi ketika tubuh berespons terhadap

hal-hal yang tidak menyenangkan seperti marah, ketakutan, dan cemas (Keeney

dkk., 2006).

Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara kelainan

neuroimun dengan kejadian depresi. Sitokin mengatur respon imun dan

berinteraksi dengan sistem saraf pusat menyebabkan efek sentral dan perifer yang

memengaruhi perubahan psikologis dan fisiologis (Miller dkk., 2009).

2.1.3. Patofisiologi Depresi

Hipotesis biogenik amin menyatakan bahwa penurunan kadar

neurotransmitter dari norefinefrin, serotonin, dan dopamin diduga merupakan

penyebab dari depresi (Wells dkk., 2012). Berdasarkan hipotesis neurotofik,

depresi berkaitan dengan hilangnya dukungan neurotrofik BDNF yang dapat

memengaruhi kelangsungan hidup dan pertumbuhan neuron. Stres dan nyeri

berkaitan dengan penurunan kadar BDNF yang menyebabkan perubahan

struktural atrofik di hipokampus, seperti yang diketahui hipokampus berperan

8
penting dalam ingatan kontekstual dan regulasi sumbu hipotalamus-pituitari-

adrenal (HPA) (Katzung dkk., 2012).

Ketika stres terjadi, tubuh akan mengaktifkan sistem HPA aksis, yang

diawali dengan pelepasan corticotropin releasing hormone (CRH) dari

hipotalamus, akibatnya terjadi peningkatan rangsangan terhadap kelenjar pituitari

untuk mensekresikan adrenocorticotropic hormone (ACTH) dan vasopressin-

arginin (AVP) yang akan bekerja secara sentral untuk mekanisme respon terhadap

stress yaitu fight-or-flight. Selanjutnya ACTH akan bersirkulasi menuju kelenjar

adrenal bagian korteks untuk merangsang pelepasan hormon glukokortikoid yang

akan menghasilkan hormon kortisol. Kortisol akan memberikan umpan balik

negatif untuk mengurangi produksi dari CRH dan ACTH sehingga tubuh dapat

bertahan dari stressor (Keeney dkk., 2006).

Namun durasi stres yang berlangsung lama mengakibatkan hiperaktivitas

CRH yang merupakan gambaran adanya gangguan pada HPA aksis. Stres kronis

akan menyebabkan kadar glukokortikoid (kortisol) meningkat, karena terjadi

resistensi glukokortikoid dan menyebabkan gangguan umpan balik dari

glukokortikoid. Oleh karena itu peningkatan kadar kortisol akan memengaruhi

neuroplastisitas seperti terjadinya ketidakseimbangan neurotransmiter serotonin,

norepineprin, dopamin dan penurunan dukungan neurotropik pertumbuhan saraf

otak atau yang disebut dengan BDNF (Van ast dkk., 2011).

Stres dapat memicu terjadinya inflamasi baik pada sistem saraf pusat

maupun perifer yang dapat digambarkan dengan gangguan neuroplastisitas,

peningkatan stres oksidatif, serta penurunan kadar serotonin (Febyan dkk., 2009).

9
Rosyanti dkk. (2018), menjelaskan bahwa melalui jalur sitokin dapat

memengaruhi neurotrasnmiter melalui mekanisme monoaminergik yang

mendasari depresi melalui transkripsi dan aktivasi dari indoleamin 2,3-

dioksigenase (IDO) yaitu enzim yang menyebabkan rendahnya kadar triptofan,

sehingga terjadi defisiensi serotonin.

Sitokin seperti interleukin (IL) IL-1β, IL-18, dan tumor necrosis factor

(TNF) akan menurunkan kadar monoamine serotonin, dopamine, dan noradrenalin

dengan cara meningkatkan reuptake transporter untuk serotonin, dopamin dan

noardrenalin dengan jalur aktivasi mitogen-activated protein kinase (MAPK), dan

penurunan sintesis monoamin dengan cara penurunan aktivitas

tetrahydrobiopterin (BH4) (Febyan dkk., 2009).

2.1.4. Jenis-Jenis Depresi

Menurut Bhowmik dkk. (2012) jenis-jenis depresi dapat dibagi menjadi

tiga jenis yaitu:

1. Depresi Mayor

Depresi mayor ditandai dengan kombinasi gejala yang berlangsung

minimal selama dua minggu berturut-turut, adapaun gejalanya suasana hati yang

sedih dan mudah tersinggung, yang dapat mengganggu kemampuan untuk

bekerja, kesulitan tidur dan makan serta tidak dapat menikmati kegiatan, bahkan

memiliki pemikiran untuk bunuh diri.

2. Distimia

Distimia adalah jenis depresi yang tidak terlalu parah tetapi biasanya

melibatkan gejala jangka panjang (kronik) yang lebih tahan lama dibandingkan

dengan depresi mayor minimal dua tahun. Karakteristik dari gangguan distimik

10
mirip dengan gangguan depresif mayor, hanya saja bersifat lebih ringan. ”terpuruk

dalam tekanan perasaan”. Penderita distimia juga bisa mengalami episode depresi

mayor. Kombinasi dari dua jenis depresi ini disebut sebagai depresi ganda.

3. Gangguan Bipolar

gangguan bipolar meliputi berbagai gangguan suasana hati yang

sebelumnya disebut penyakit manik-depresi. Kondisi ini menunjukkan pola

pewarisan tertentu, tidak seperti jenis gangguan depresi lainnya, gangguan bipolar

melibatkan perubahan siklus suasana hati yang drastis mencakup setidaknya satu

episode mania ke hipomania.

2.1.5 Depresi pada Mencit

Penggunaan model hewan tidak mampu menggambarkan psikopatologi

manusia secara detail, mereka harus dipahami dengan baik sebagai sistem

eksperimental di mana pertanyaan-pertanyaan tertentu dapat diselidiki dengan

cara yang tidak mungkin dilakukan pada manusia. Perlu untuk memahami apa

yang terjadi pada hewan depresi yang dapat disamakan dengan depresi pada

manusia. Gejala kurangnya antusiasme, anhedonia, dan pergerakan yang lebih

lambat, dapat dengan mudah direplikasi pada hewan pengerat (Fuchs, 2006).

Tes yang diberikan pada mencit adalah model chronic mild stress (CMS).

CMS telah lama digunakan sebagai metode validasi untuk memberikan hewan

efek depresi, dengan cara memberikan stressor atau perlakuan-perlakuan yang tak

terduga. Sehingga mengakibatkan perkembangan sejumlah besar perubahan

perilaku seperti anhedonia, neurotransmiter, neuroendokrin dan neuroimun yang

dapat menyerupai disfungsi pada manusia yang depresi (Schweizer dkk., 2009).

11
Pemberian stressor puasa dapat memicu terjadinya stres negatif karena

dapat menyebabkan gangguan fisik dan mental pada hewan. Pada kondisi stres

yang diakibatkan puasa akan terjadi peningkatan jumlah peroksisom sehingga

terjadi peningkatan oksidasi dalam peroksisom dan menyebabkan jumlah radikal

bebas akan semakin meningkat. Ketika pengembangan radikal bebas tidak

terkontrol, akan terjadi oksidatif stres dan dapat menimbulkan kerusakan sel,

jaringan, hingga organ tubuh. Radikal bebass juga dapat menyebabkan penurunan

fungsi kognitif (Wresdiyanti dkk., 2007).

Forced Swim Test (FST) diperkenalkan pada 1977 sebagai tes perilaku

yang digunakan untuk meneliti efek antidepresan. Metode ini didasarkan melalui

observasi pada mencit, ketika mencit dipaksa berenang, yang diamati adalah

periode awal hewan berhenti bergerak dari aktivitas intens seperti berenang dan

memanjat serta hanya melakukan gerakan yang diperlukan untuk menjaga kepala

di atas air (gerakan tubuh bawah pasif). Keadaan imobilitas perilaku hewan

mudah diidentifikasi karena dapat dianalogikan sebagai keadaan "putus asa"

ketika hewan menyadari bahwa pelarian itu mustahil dan menyerah (keputusasaan

perilaku) (Belovicova dkk., 2017).

Gambar 2.1 Mencit dengan Perlakuan FST Menurut N. Psyhiatric &

Neurological (Valvassori dkk., 2017).

12
Tail Suspension Test (TST), metode pengamatan perilaku yang serupa

dengan FST. Ekor mencit dikaitkan di tiang penjepit dan tubuhnya menggantung

di udara. Tes ini memakan waktu sekitar 6 menit. Tes TST dilakukan berdasarkan

anggapan bahwa hewan akan mencoba melarikan diri dari situasi yang penuh

tekanan. Setelah waktu tertentu, hewan akan berhenti berjuang pada saat inilah

imobilitas terjadi dan dihitung durasinya, durasi imobilitas yang lebih lama adalah

tanda perilaku depresi (Belovicova dkk., 2017).

Gambar 2.2 Mencit dengan Perlakuan TST Menurut N. Psyhiatric &

Neurological (Valvassori dkk., 2017).

Open field test (OFT) dikembangkan oleh Calvin S. Hall untuk mengamati

lokomotor mencit. Open field test terbuat dari arena dengan tembok untuk

mencegah hewan uji melarikan diri. Biasanya, bidang ditandai dengan kisi dan

persimpangan persegi. Pada sesi pengujian, yang dilihat adalah jumlah hewan

melewati kotak (crossing), rearing, dan durasi mencit berada pada daerah tengah

kotak (central square) (Olanrewaju, 2015).

13
Gambar 2.3 Open Field Test (Olanrewaju, 2015).

Gambar 2.4 Tingkah Laku Hewan Uji (Cassarubea dkk., 2015).

2.2 Uraian Tumbuhan

2.2.1 Kopi Robusta (Coffea canephora)

Kongo adalah asal dari kopi robusta dan masuk ke Indonesia pada tahun

1900. Robusta mempunyai sifat lebih unggul dan perkembangannya sangat cepat,

oleh karena itu kopi robusta lebih banyak dibudidayakan oleh petani kopi di

Indonesia. Adapun sifat penting kopi robusta yaitu: (1) tumbuh sangat baik pada

ketinggian 400-700 meter dpl (diatas permukaan laut), tetapi masih toleran pada

ketinggian kurang dari 400 meter dpl, dengan temperatur 21-240 C; (2) produksi

lebih tinggi daripada kopi arabika dan liberika dengan rata-rata ± 9-13 ku/ha/th);

14
(3) kualitas buah lebih tinggi daripada kopi liberika; (4) harga di pasaran lebih

murah dibandingkan kopi arabika; (5) kadar kafein lebih tinggi dibandingkan jenis

arabika dan liberika (Asti, 2015).

2.2.2 Taksonomi Tumbuhan

Gambar 2.5 Biji Coffea canephora (Panggabean, 2011).

Klasifikasi tumbuhan biji kopi robusta menurut Rahardjo (2012) adalah

sebagai berikut:

Regnum : Plantae

Divisio : Magnoliophyta

Sub Divisio : Spermatophyta

Class : Magnoliopsida

Order : Rubiales

Family : Rubiaceae

Genus : Coffea

Species : Coffea canephora

2.2.3 Morfologi Tumbuhan

Biji kopi berbentuk seperti telur atau elips, dimana pada permukaan

bidangnya mempunyai alur membujur. Sedangkan pada penutup luar benih

ditutupi oleh endokarp keras berwarna coklat pucat yang menjadi pembungkus

setelah biji dikeringkan. Endokarp berisi benih tertutup, memiliki testa tipis

15
berwarna hijau dikenal sebagai spermoderm yang merupakan sisa perisperm (Eira

dkk., 2006).

2.2.4 Kandungan Kimia

Kopi mengandung banyak unsur aktif biologis seperti alkaloid dan

polifenol. Senyawa alkaloid yang banyak dijumpai di kopi adalah kafein,

sedangkan senyawa polifenol yang ditemukan dalam kopi adalah tanin, flavonoid,

antosianin. asam kafeat dan asam klorogenat (Hall, 2016).

Seyawa kimia pada biji kopi dapat dibedakan atas senyawa volatil dan non

volatil. Senyawa volatil merupakan senyawa yang mudah menguap, terutama jika

terjadi kenaikan suhu. Senyawa volatil yang berpengaruh terhadap aroma kopi

antara lain golongan aldehid, keton dan alkohol. Sedangkan senyawa non volatil

yaitu senyawa yang tidak mudah menguap, memberikan pengaruh terhadap mutu

kopi antara lain kafein, asam klorogenat, hidrokarbonalifatik, furan, piro, piridin,

quinon, fenol (asam alifatik) dan amin aromatik (Asti, 2015).

Sejumlah senyawa yang ditemukan dalam kopi seperti kelas polifenol

merupakan senyawa alami yang secara luas dikategorikan sebagai senyawa yang

terdiri dari tanin, flavanol, flavonal, flavon, anthosianin, proanthosianidin, asam

fenolik, asam hidroksibenzoat dan asam hidroksikinnamin (Hall, 2016).

Kandungan kafein pada kopi Arabika 0,8–1,5% sedangkan kopi robusta

1,6–2,5% (kopi mentah). Kopi arabika memiliki pH lebih rendah (asam)

dibandingkan kopi robusta dimana pH kopi arabika sekitar 4,85–5,15 dan pH kopi

robusta 5,25–5,40 (Chismirina dkk., 2014).

16
2.2.5 Kafein

Kafein adalah jenis alkaloid terpenting dari spesies kopi, kafein disintesis

dalam daun muda dan buah yang belum matang yang nantinya kafein tersebut

akan terakumulasi dalam daun dewasa. Biosintesis kafein aktif dilakukan di daun

atas dan bagian atas batang, tetapi tidak terdapat pada bagian daun kedua, ketiga,

kotiledon, batang bawah, dan akar. Jenis kopi robusta mengandung lebih banyak

kafein dan asam klorogenat (Patay dkk., 2016). Menurut penelitian dari Loria

dkk., 2014 menyatakan bahwa alkaloid dapat berperan sebagai antidepresan

dengan cara menghambat reuptake dari neurotransimitter serotonin.

Kafein memberikan pengaruh peningkatan kewaspadaan, dan

kemungkinan kafein dapat bermanfaat dalam mengatasi kurangnya gairah

(misalnya penunda kantuk). Efek tersebut sebagian besar mencerminkan

peningkatan omset noradrenalin pada sistem saraf pusat. Kafein bukan sejenis

obat yang berketergantungan dan tidak terbukti dapat memberikan efek amnesia.

Secara menyeluruh, bukti menunjukkan bahwa kadar kafein yang dikonsumsi oleh

kebanyakan orang sebagian besar memiliki efek tingkah laku yang positif

(Richard dan Andrew, 2015).

Kandungan kafein pada kopi bekerja sebagai inhibitor kompetitif pada

monoamine oksidase A (MAO-A). MAO-A adalah enzim utama yang

bertanggung jawab dalam mendegradasi neurotransimiter seperti serotonin pada

sistem saraf pusat. Sebuah studi in vivo dilaporkan pemberian kafein 8 mg/kg/hari

pada mencit yang telah diinduksi stres menunjukkan peningkatan kadar serotonin

(5-HT) pada hipokampus (Grzelczyk dkk., 2021).

17
Kafein adalah jenis metilxantin dimana senyawa yang paling umum

digunakan untuk memberikan efek farmakologis pada sistem saraf pusat. Kafein

juga dikenal sebagai antagonis reseptor adenosine (A2A) yang dapat memberikan

efek antidepresan secara in vivo. Menurut data sugestif, dengan bekerja sebagai

antagonis reseptor adenosine kafein dapat memberikan efek antidepresan (Hall,

2016).

Gambar 2.6 Struktur Kimia Kafein (Hall, 2016).


2.2.6 P enelitian Terkait dan Khasiat
Menurut penelitian, ekstrak biji kopi memiliki potensi sebagai antioksidan,

dimana telah dilakukan pengukuran kadar antioksidan yang memberikan total

kapasitas antioksidan pada kopi setara dengan dengan sumber makanan penghasil

antioksidan seperti cokelat hitam dan rempah-rempah (Gebeyehu dan Bikila,

2015).

Pada fase metabolik, kafein dimetilasi dan didegradasi menjadi teobromin,

teofilin, dan paraxantin sehingga kafein memiliki efek diuretik dan dapat

memberikan efek antihipertensi sementara. Asam klorogenat dapat menghambat

enzim glukosa-6-fosfatase sehingga bisa menurunkan produksi glukosa di hati,

sedangkan kafein dapat merangsang produksi insulin sel-b di pancreas (Patay

dkk., 2016).

Studi terbaru menunjukkan bahwa buah kopi Bengal memiliki sifat

sebagai antibakteri terhadap bakteri Proteus vulgaris, Escherichia coli, Klebsiella

18
pneumonia, Vibrio cholerae, Salmonella typhimurium, Salmonella typhi, dan

Streptococcus faecalis (Almeida dkk., 2006).

2.3 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Depkes

RI, 2000).

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat

aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang

sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau

serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah

ditetapkan (Depkes RI, 1995).

Ada beberapa cara metode ekstraksi menurut (Depkes RI, 2000) yaitu:

a. Cara dingin

1. Maserasi, adalah proses penyarian simplisia dengan cara perendaman

menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengadukan pada temperatur kamar.

2. Perkolasi, adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu baru

sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur

kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap

perendaman antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak)

terus-menerus sampai diperoleh perkolat yang jumlahnya 1-5 kali bahan.

b. Cara panas

1. Refluks, adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat pada

temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang

relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

19
2. Sokletasi, adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut yang selalu

baru, dilakukan dengan menggunakan alat soklet sehingga menjadi ekstraksi

secara terus menerus dengan pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin

balik.

3. Digesti, adalah proses penyarian dengan pengadukan secara terus menerus pada

temperatur yang lebih tinggi dari pada temperatur ruangan, umumnya dilakukan

pada suhu 40-50oC.

4. Infudasi, adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada

temperatur 90oC selama 15 menit.

5. Dekoktasi, adalah proses penyarian pada suhu 90oC menggunakan pelarut air

selama 30 menit.

2.4 Antidepresan

Antidepresan adalah obat-obatan yang membantu mengurangi gejala

gangguan depresi dengan mengubah ketidakseimbangan kimia neurotransmiter di

otak. Perubahan mood dan perilaku disebabkan oleh ketidakseimbangan

neurotransmiter. Neurotransmiter seperti serotonin, dopamin dan noradrenalin

atau norepinefrin dilepaskan oleh ujung eksonik dari satu saraf dan diterima oleh

yang lain fenomena ini disebut sebagai reuptake. Antidepresan menghambat

pengambilan kembali neurotransmitter melalui reseptor selektif dengan demikian

diharapkan dapat meningkatkan konsentrasi neurotransmitter spesifik di sekitar

saraf di otak (Khusboo, 2017).

20
2.4.1 Klasifikasi Antidepresan

a. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI)

Mekanisme SSRI bekerja sebagai antidepresan adalah dengan cara

menghambat reuptake dari serotonin atau (5-HT) menuju neuron presinaps. Obat

golongan ini secara umum dipilih menjadi lini pertama dalam pengobatan depresi

(Wells dkk., 2012).

SSRI memiliki efek paling ringan dengan antidepresan lain. SSRI juga

tidak berikatan secara agresif dengan reseptor histamin, muskarinik, atau yang

lain. Saat ini SSRI yang umum digunakan secara klinis serta mudah ditemukan di

pasaran yaitu fluoksetin, sertralin, dan sitalopram. Kelebihan SSRI berasal dari

kemudahan pemakaiannya, keamannya pada kelebihan dosis, tolerabilitasnya

yang relatif, biaya, dan spektrum pemakaian yang luas (Katzung dkk., 2012).

b. Serotonine Norepinephrine Reuptake Inhibitor (SNRI)

Serotonine norepinephrine reuptake inhibitors (SNRI) berikatan baik

dengan pengangkut serotonin maupun pengangkut norepineprine (NE) dimana

secara struktur mirip dengan pengangkut 5-HT. SNRI mungkin menimbulkan efek

samping seperti meningkatnya tekanan darah, meningkatnya kecepatan jantung,

insomnia, kecemasan dan agitasi (Katzung dkk., 2012).

SNRI relatif memiliki waktu paruh pendek secara umum, SNRI berbeda

dengan antidepresan trisiklik (TCA) secara struktur kimianya, kemudian SNRI

tidak memiliki efek antihistamin, menghambat adrenergik, dan antikolinergik

poten yang dimiliki oleh TCA, oleh karena itu SNRI lebih cenderung disukai

daripada TCA dalam mengobati depresi (Shelton, 2009).

21
c. Antidepresan trisiklik (TCA)

Menurut Katzung dkk. (2012) antidepresan TCA fungsinya mirip seperti

SNRI dan aktivitas antidepresan mereka diperkirakan berkaitan terutama terhadap

inhibisi reuptake norepineprine dan 5-HT. Efek samping umum TCA yaitu mulut

kering, konstipasi serta sebagian besar antidepresan golongan ini berkaitan dengan

efek muskarinik kuat. TCA juga cenderung merupakan antagonis kuat reseptor

histamin H1. Menurut Battaglia (2011) menyatakan bahwa antidepresan trisiklik

tidak dianjurkan diberikan kepada pasien usia lanjut yaitu 65 tahun ke atas karena

obat antidepresan ini dapat menginduksi keracunan dan kebingungan.

d. Inhibitor Monoamin Oksidase (MAOI)

Menurut Khusboo (2017) menyatakan bahwa MAOI umumnya diresepkan

pada kasus depresi atipikal atau resistan terhadap obat antidepresan yang lain.

MAOI memblokir metabolisme neurotransmiter seperti norepineprine (NE), DA

(dopamin) dan 5-HT sehingga menyebabkan peningkatan konsentrasi pemancar

monoamine. MAOI meningkatkan kadar neurotransmiter dengan menghambat

kerja enzim monoamine oksidase (MAO) yaitu enzim yang bekerja

menghancurkan monoamina. Dengan demikian, MAOI dapat meningkatkan

jumlah ketiga neurotransmitter yang dianggap penting dalam depresi, ini adalah

keunggulan MAOI dibandingkan yang lain (Konduru dkk., 2014).

Namun, efek samping tersering MAOI yang menyebabkan penghentian

terapi adalah hipotensi ortostatik dan penambahan berat badan. Selain itu juga

memiliki angka efek samping seksual paling tinggi di antara semua antidepresan

(Katzung dkk., 2012).

22
BAB III
METODE PENELITIAN

Metode penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan tahapan

penelitian yaitu: pembuatan simplisia, pembuatan ekstrak etanol biji Coffea

canephora, karakterisasi simplisia biji Coffea canephora, analisis komponen

senyawa kimia dari ekstrak etanol biji Coffea canephora menggunakan skrining

fitokimia dan pengujian aktivitas antidepresan ekstrak etanol biji Coffea

canephora: peningkatan aktivitas lokomotor dan penurunan immobility time

terhadap mencit jantan yang diinduksi chronic mild stress (CMS) selama 14 hari,

kemudian diamati tingkat stres hewan uji menggunakan metode tail suspention

test, forced swimming test, open field test. Data yang diperoleh dianalisis secara

statistik dengan analysis of variance (ANOVA) satu arah dan dilanjutkan dengan

uji Post Hoc LSD menggunakan program statistical product and service solution

(SPSS).

3.1. Alat dan bahan

3.1.1 Alat

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi alat-alat gelas,

akuarium, aluminium foil, box, cawan penguap, kamera digital, kandang, kapas,

kertas perkamen, kertas saring, mortir dan stamfer, neraca hewan (Presica

Geniweigher GW-1500), neraca listrik (Mettler Toledo), oral sonde, penangas air,

rotary evaporator, tiang penjepit, spatula, spuit 1 ml (Onemed), stopwatch.

3.1.2 Bahan

Bahan tumbuhan yang digunakan adalah ekstrak etanol biji Coffea

canephora, etanol 96%, natrium- Carboxymethyle Cellulose (Na-CMC), mencit

jantan dan sertralin tablet (PT. Guardian Pharmatama).

23
3.2 Hewan Pecobaan

Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit berjenis kelamin jantan

dengan usia 2–3 bulan dengan berat badan 20-30 gram. Hewan diperoleh dari

Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi, Departemen Farmakologi Farmasi

Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Sebelum pengujian hewan

dikondisikan terlebih dahulu selama 1 minggu dengan kondisi lingkungan,

makanan, suhu, dan minuman yang sama.

3.3 Prosedur

3.3.1 Pembuatan Simplisia

Pembuatan simplisia meliputi pengumpulan bahan, identifikasi tumbuhan dan

pengolahan sampel.

3.3.1.1 Pengumpulan Bahan

Pengumpulan bahan dilakukan secara purposif, yaitu tanpa membandingkan

dengan daerah lain. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji Coffea

canephora yang diambil dari daerah Gayo, Kecamatan Blang Kejeren, Kabupaten

Gayo Lues, Provinsi Aceh yang dipanen pada bulan Mei 2020.

3.3.1.2 Identifikasi Tumbuhan

Identifikasi tumbuhan biji Coffea canephora dilakukan oleh Herbarium

Medanense (MEDA) Universitas Sumatera Utara.

3.3.1.3 Pengolahan Sampel

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah biji Coffea canephora. Biji

Coffea canephora dipisahkan dari kulitnya dan ditimbang (berat basah) yang

sudah kering. Kemudian dilakukan penyangraian dengan mesin roasting suhu

200oC selama kurang lebih 25 menit untuk level penyangraian medium dark dan

24
ditimbang (berat kering). Selanjutnya biji Coffea canephora digiling dengan

tingkat kehalusan 2 pada mesin penggiling. Kemudian ditimbang dan dimasukkan

ke dalam wadah plastik bertutup dan di simpan pada suhu kamar.

3.3.2 Pemeriksaan Karakteristik Coffea canephora

3.3.2.1 Pemeriksaan Makroskopik

Pemeriksaan makroskopik dilakukan terhadap serbuk simplisia biji Coffea

canephora dengan mengamati bentuk, bau, rasa, dan warna.

3.3.2.2 Penetapan Kadar Air

Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi (destilasi toluena).

a. Penjenuhan toluen

Sebanyak 200 ml toluen dan 2 ml air suling dimasukkan ke dalam labu alas

bulat, dipasang alat penampung dan pendingin, kemudian didestilasi selama 2

jam. Destilasi dihentikan dingin selama 30 menit, kemudian volume air dalam

tabung penerima dibaca dengan ketelitian 0,05 mL.

b. Penetepan kadar air simplisia

Sebanyak 5 gram simplisia yang telah ditimbang seksama, dimasukkan ke

dalam labu yang berisi toluen jenuh tersebut. Lalu dipanaskan hati-hati selama 15

menit. Setelah toluene mendidih, kecepatan tetesan diatur 2 tetes untuk tiap detik

sampai sebagian besar air terdestilasi, kemudian kecepatan destilasi dinaikkan

sampai 4 tetes tiap detik. Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin

dibilas dengan toluen. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung

penerima dibiarkan mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan toluen memisah

sempurna, volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat

dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (WHO, 1992).

25
3.3.2.3 Penetapan Kadar Sari Larut dalam Air

Sebanyak 5 gram simplisia di maserasi selama 24 jam dalam 100 ml air-

kloroform (2,5 ml klroform dalam akuades sampai 1 L) dengan menggunakan

botol bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama, dibiarkan selama

18 jam dan disaring. Sebanyak 20 ml filtrat diuapkan hingga kering dalam cawan

yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Residu dipanaskan dalam

oven pada suhu 105oC sampai diperoleh bobot tetap. Kadar sari yang larut dalam

air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1989).

3.3.2.4 Penetapan Kadar Sari Larut dalam Etanol

Sebanyak 5 gram simplisia dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol

96% dengan menggunakan labu bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam

pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam, lalu disaring. Sebanyak 20 ml filtrat

diuapkan hingga kering dalam cawan yang berdasar rata yang telah dipanaskan

dan ditara. Residu dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC sampai diperoleh

bobot tetap. Kadar sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah

dikeringkan (Depkes RI, 1989).

3.3.2.5 Penetapan Kadar Abu Total

Sebanyak 2 gram simplisia yang telah digerus dan ditimbang seksama ,

dimasukkan ke dalam kurs porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian

diratakan. Kurs porselin bersama isinya dipijarkan perlahan hingga arang habis,

pijararan dilakukan pada suhu 60oC selama 3 jam kemudian didinginkan,

ditimbang sampai diperoleh bobot yang tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan

yang telah dikeringkan di udara (Depkes RI, 1989).

26
3.3.2.6 Penetapan Kadar Abu Tidak Larut dalam Asam

Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu total didihkan dengan 25 ml

asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut asam dikumpulkan.,

disaring dengan kertas saring, lalu dicuci dengan air panas. Residu dan kertas

saring dipijar sampai diperoleh bobot yang tetap, dinginkan dan ditimbang

beratnya. Kadar abu yang tidak larut asam dihitung bahan yang telah dikeringkan

di udara (Depkes RI, 1989).

3.3.3 Skrining Fitokimia Coffea canephora

Skrining fitokimia serbuk simplisia biji Coffea canephora meliputi

pemeriksaan senyawa golongan alkaloid, flavonoid, glikosida, saponin, tanin, dan

steroid/triterpenoid.

3.3.3.1 Pemeriksaan Alkaloid

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia biji Coffea canephora ditimbang kemudian

ditambahkan 1 ml HCl 2N dan 9 ml air suling, dipanaskan diatas penangas air

selama 2 menit, kemudian didinginkan dan disaring. Dimasukkan 0,5 ml filtrat,

kedalam 3 tabung reaksi. Pada masing-masing tabung reaksi Ditambahkan 2 tetes

periaksi Mayer, akan terbentuk endapan menggumpal berwarna putih atau kuning.

Ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat, akan terbentuk endapan berwarna

coklat sampai kehitaman. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendroff, akan

terbentuk endapan berwarna coklat atau jingga kecoklatan. Alkoloid positif jika

terjadi endapan atau kekeruhan pada dua dari 3 percobaan diatas (Depkes RI,

1995).

27
3.3.3.2 Pemeriksaan Flavonoid

Ditimbang simplisia biji Coffea canephora sebanyak 0,5 gram, kemudian

disari dengan 10 ml etanol, lalu direfluks selama 10 menit. Disaring ketika masih

panas melalui kertas saring berlipat. Filtrat diencerkan dengan 10 ml air. Setelah

dingin ditambahkan 5 ml eter, dikocok hati-hati dan didiamkan. Lapisan metanol

diambil, lalu diuapkan pada suhu 40°C, sisanya dilarutkan dalam 5 ml etil asetat,

dan disaring. Filtrat digunakan untuk uji flavonoida dengan cara sebagai berikut :

Sebanyak 1 ml larutan percobaan diuapkan hingga kering, sisa dilarutkan dalam 1

sampai 2 ml etanol 96%, lalu ditambahkan 0,5 gram serbuk seng dan 2 ml asam

klorida 2 N, didiamkan selama 1 menit. Ditambahkan 10 ml asam klorida pekat,

dalam waktu 2 sampai 5 menit terjadi warna merah intensif, menunjukkan adanya

flavonoida. Sebanyak 1 ml larutan percobaan diuapkan hingga kering, sisa

dilarutkan dalam 1 ml etanol 96%, lalu ditambahkan 0,1 gram serbuk magnesium

dan 10 ml asam klorida pekat, terjadi warna merah jingga, menunjukkan adanya

flavonoida (Depkes RI,1995).

3.3.3.3 Pemeriksaan Glikosida

Ditimbang 3 gram simplisia biji Coffea canephora, kemudian disari

dengan 30 ml campuran etanol 96 % garis air (7: 3) dan 10 ml asam klorida 2N, di

refluks selama 2 jam, didinginkan dan disaring. Diambil 20 ml filtrat,

ditambahkan 20 ml air suling dan 20 ml timbal (II) aseatat 0,4 M, dikocok, dan

didiamkan selama 5 menit lalu disaring. Filtrat disari dengan 20 ml campuran

kloforoform-isopropanol (3:2) sebanyak 3 kali pada kumpulan sari lapisan

isopropanol diuapkan pada suhu tidak lebih dari 50˚C sisanya dilarutkan dengan 2

ml metanol untuk larutan percobaan. 0,1 ml larutan percobaan diuapkan diatas

28
penangas air pada sisa ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes Molish, kemudian

ditambahkan hati-hati 2 ml hati-hati asam sulfat, terbentuk cincin berwarna ungu

pada batas cairan, menunjukkan adanya ikatan gula (Depkes, 1995).

3.3.3.4 Pemeriksaan Saponin

Ditimbang 0,5 gram simplisia biji Coffea canephora dan dimasukkan

kedalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan, kemudian

dikocok kuat- kuat selama 10 menit jika terbentuk busa setinggi 1 – 10 cm yang

stabil tidak kurang dari 10 menit dan buih tidak hilang dengan penambahan 1 tetes

asam klorida 2N menunjukkan adanya saponin (Depkes, 1995).

3.3.3.5 Pemeriksaan Tanin

Ditimbang 1 gram simplisia biji Coffea canephora, kemudian didihkan

selama 3 menit dalam air suling lalu didinginkan dan disaring. Pada filtrat

ditambahkan 1 – 2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1% b/v. Jika terjadi warna biru

kehitaman atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin atau (Farnsworth,

1966).

3.3.3.6 Pemeriksaan Steroid/Triterpenoid

Dimaserasi 1gram simplisia biji Coffea canephora dengan eter 20 ml

selama 2 jam, dan disaring, lalu filtrat diuapkan dalam cawan penguap. Pada sisa

ditambahkan 20 tetes asam asetat anhidrida dan 1 tetes asam sulfat pekat (pereaksi

Lieberman Bourchard), diteteskan pada saat akan mereaksikan sampel uji.

Apabila terbentuk warna biru atau biru hijau menunjukkan adanya steroida

sedangkan warna merah, merah muda atau ungu menunjukkan adanya triterpenoid

(Harborne, 1996).

29
3.3.4 Pembuatan Ekstrak Etanol Biji Coffea canephora

Pembuatan ekstrak dilakukan secara maserasi dengan menggunakan

pelarut etanol 96%. Dimasukkan 10 bagian serbuk simplisia Coffea canephora ke

dalam wadah, selanjutnya ditambahkan etanol 96% sebanyak 75 bagian hingga

seluruh sampel terendam dalam etanol. Perendaman ini dilakukan selama 5 hari

sambil sesekali diaduk. Hasil rendaman ini kemudian disaring dengan

menggunakan kertas saring hingga diperoleh filtrat. Residu/ampas yang ada

kemudian direndam kembali (remaserasi) dalam 25 bagian etanol selama 2 hari

kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring hingga diperoleh filtrat

(Depkes RI, 1979). Semua ekstrak etanol yang telah dihasilkan kemudian

dikumpulkan dan dipekatkan dengan rotary evaporator dengan tujuan agar

pelarut menguap, kemudian diuapkan di atas waterbath sehingga diperoleh

ekstrak etanol pekat.

3.3.5 Uji Kadar Kafein Menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Larutan sampel dtotolkan 2 µL pada plat KLT yang telah diaktivasi dan

dilakukan replikasi totolan sebanyak 6 kali autosampler. Totolan dilakukan pada

jarak 2 cm dari batas bawah plat, 2 cm dari samping kanan dan kiri plat. Jarak

antar totolan adalah 1,5 cm dari titik tengah totolan. Kemudian plat KLT tersebut

dielusi pada chamber yang telah dijenuhkan hingga jarak 7,5 cm. plat diangin-

anginkan kemudian dideteksi dengan densitometer pada panjang gelombang

maksimal yang diperoleh.

30
3.3.6 Uji Aktivitas Antidepresan

Pengujian efek antidepresan ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu

penyiapan hewan percobaan, penyiapan bahan uji, induksi stres kronis ringan ,

dan pengujian efek antidepresan.

3.3.6.1 Penyiapan Hewan Uji

Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan komite etik No.

00515/KEPH-FMIPA/2020. Hewan uji yang digunakan adalah mencit jantan,

umur 2-3 bulan, berat 20 – 30 gram.

3.3.6.2 Penyiapan Bahan Uji, Kontrol dan Obat Pembanding

Ekstrak etanol biji Coffea canephora dosis 50 mg/KgBB, 100 mg/KgBB,

200 mg/KgBB (bahan uji), sertralin dosis 6,5 mg/kg bb (pembanding), suspensi

Na-CMC 0,5 % (kontrol negatif).

3.3.6.3 Pembuatan Suspensi Na-CMC 0,5 %

Sebanyak 0,5 gram Na-CMC ditaburkan dalam lumpang yang berisi air

suling panas. Didiamkan selama 15 menit lalu digerus hingga diperoleh masa

yang transparan, lalu digerus sampai homogen, diencerkan dengan air

suling,dihomogenkan dan dimasukkan ke labu tentukur 100 ml, dicukupkan

volumenya dengan air suling hingga 100 ml (Anief, 1999).

3.3.6.4 Pembuatan Suspensi Ekstrak Etanol Biji Coffea canephor

Ditimbang 0,1 gram ekstrak etanol biji Coffea canephora kemudian

dimasukkan ke dalam lumpang, ditambahkan sedikit demi sedikit suspensi Na

CMC 0,5% digerus sampai homogen. Dimasukkan ke dalam labu tentukur 10 mL,

dicukupkan sampai garis tanda.

31
3.3.6.5 Pembuatan Suspensi Sertalin

Digerus tablet sertralin di dalam lumpang, kemudian ditimbang sesuai

dosis 6,5 mg/kgBB. Kemudian serbuk dimasukkan ke dalam lumpang dan

ditambahkan sedikit demi sedikit serbuk CMC-Na 0,5% digerus hingga homogen.

Dimasukkan ke dalam labu tentukur 10 ml, dicukupkan sampai garis tanda.

3.3.7 Induksi Stres Kronis Ringan

Induksi stres dilakukan sesuai metode Pamilutsih (2017) dengan beberapa

modifikasi. Setiap kelompok hewan uji diberikan paparan stres selama 14 hari (2

minggu) dengan 1-2 macam stressor. Paparan stres sesuai pada tabel 3.1.

Tabel 3.1 Rancangan paparan stres.

Hari ke-
Perlakuan Stres
1 2 3 4 5 6 7
Tanpa makan 12 jam
Suara predator
Guncangan pada kandang 15 menit
Mengotorkan kandang
Pergantian siklus gelap terang
Mengurangi sekam

Masing-masing kelompok hewan uji diberikan paparan stres selama 14

hari. Pemberiaan stressor dilakukan dengan

1. Mencit tidak diberi makan selama 12 jam namun tetap diberikan minuman.

2. Diberikan suara predator: Pemberiaan suara predator (anjing dan kucing)

selama 4 jam melalui aplikasi youtube.

3. Guncangan pada kandang: Kandang diguncang selama 15 menit.

4. Mengotorkan kandang: Kandang diberi pengotor seperti taburan

tanah/pasir, taburan kerikil, daun kering yang dipotong kecil-kecil dan

lumpur.

32
5. Pergantian siklus gelap terang: Setiap kelompok mencit berada pada

kandang berisi sekam bersih. Pagi harinya kandang ditutup dengan kain

berwarna hitam yang diberi lubang udara selama 11 jam. Sore harinya

mencit ditempatkan di ruangan yang terang hingga pagi hari.

6. Mengurangi sekam: Setiap kelompok mencit ditempatkan pada kandang

yang berisi sedikit sekam.

3.3.8 Pengujian Efek Antidepresan

Mencit dikelompokkan menjadi 6 kelompok, yaitu kelompok kontrol

negatif (suspensi Na-CMC 0,5 %), ekstrak etanol Coffea canephora (EECC)

(dosis 50; 100; 200 mg/KgBB), kontrol positif (sertralin dosis 6,5 mg/kgBB) dan

kontrol normal (makanan dan minuman ad libitum).

Kelompok I (kontrol negatif ) : Suspensi Na-CMC 0,5%

Kelompok II : EECC dosis 50 mg/KgBB

Kelompok III : EECC dosis 100 mg/KgBB

Kelompok IV : EECC dosis 200 mg/KgBB

Kelompok V (kontrol positif) : Sertralin dosis 6,5 mg/kgBB

Kelompok VI (kontrol normal) : Makanan dan minuman ad libtum

Sediaan diberikan secara oral mulai hari ke-15, 1x sehari selama 10 hari.

Uji antidepresan dilakukan pada hari ke-10 setelah pemberiaan ekstrak dengan

jeda antara pemberiaan ekstrak dengan pengujian adalah 1 jam.

33
Induksi stres (14 hari) Pemberian sediaan (10 hari)

Hari ke-0 Hari ke-24 pengukuran


Hari ke-14
pengukuran immobility time dan
pengukuran
immobility time aktivitas lokomotor,
immobility time dan
dan aktivitas berat badan, perilaku,
aktivitas lokomotor,
lokomotor, berat kadar gula darah,
berat badan, perilaku
badan, perilaku histologi lambung

Gambar 3.1 Waktu Pengukuran Aktivitas Antidepresan

3.3.8.1 Uji Tail Suspension Test

Batang panjang (30 cm) diletakkan secara horizontal diantara 2 kayu.

Kemudian, ekor mencit digantung menggunakan alat perekat ke batang kayu. Uji

ini dilakukan 60 menit setelah pemberian dosis terakhir. Pengawasan dilakukan

menggunakan handycam selama 6 menit (Buccafusco, 2009).

3.3.8.2 Uji Forced Swimming Test

Mencit dimasukkan kedalam kotak uji yang berisi air. Uji dilakukan

setelah 1 jam pemberian perlakuan dosis terakhir dengan durasi 7 menit. Mencit

dikatakan mengalami immobility jika mencit hanya melakukan gerakan kepalanya

tetap diatas air dan dikatakan mobility jika mencit aktif berenang dan memanjat

(climbing) (Buccafusco, 2009).

3.3.8.3 Uji Open Field Test

Mencit dimasukkan ke dalam sebuah kotak tanpa dengan durasi

pengamatan 5 menit. Perlakuan ini di lakukan 45 menit setelah pemberian dosis

34
terakhir. Data yang diperoleh adalah lama waktu central square (CS), grooming,

dan jumlah cross (Anas dkk., 2013).

3.3.9 Analisis Data

Data hasil penelitian dianalisis menggunakan progam Statistical Product

and Service Solution (SPSS). Jenis data yang diperoleh berupa data interval

dengan pengamatan immobility time, climbing, grooming, rearing, dan central

square. Data dianalisis dengan menggunakan metode Shapiro-wilk untuk

melihat normalitas data. Jika data terdistribusi normal, dilanjutkan menggunakan

metode analysis of variance (ANOVA) satu arah dengan tingkat kepercayaan

95% untuk menentukan perbedaan rata-rata di antara kelompok. Jika terdapat

perbedaan, dilanjutkan dengan uji Post Hoc LSD untuk melihat perbedaan nyata

antar perlakuan.

35
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan


Hasil identifikasi tumbuhan yang dilakukan di Herbarium Medanense

(MEDA) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera

Utara menunjukkan bahwa tumbuhan yang digunakan adalah Coffea canephora

Pierre ex A. Froehner suku Coffea. Hasil identifikasi sampel dapat dilihat pada

Lampiran 1.

4.2 Hasil Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak Coffea canephora

Berdasarkan pemeriksaan makroskopik terhadap biji Coffea canephora

adalah biji berbentuk hampir setengah bulat atau jorong, bagian punggung

cembung, bagian perut datar, pada bagian perut terdapat sebuah alur yang dalam

dan membujur, di dalam alur terdapat sisa kulit biji, berwarna coklat tua sampai

coklat tua kehitaman. Selain itu biji Coffea canephora memiliki wangi yang khas

saat diolah.

Berikut hasil dari karakterisasi Simplisia dan Ekstrak Biji Coffea

canephora.

Tabel 4.1 Hasil Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak Coffea canephora.

Hasil Syarat
Simplisia Ekstrak Materia Medika
No. Parameter
Indonesia (MMI
JILID VI, 1995)
1. Kadar air 4,63% 8,62% ≤12,5%
2. Kadar sari yang larut 36,92% - ≥23,5%
dalam air
3. Kadar sari yang larut 13,23% - ≥13%
dalam etanol
4. Kadar abu total 3,9% 2,89% ≤4%
5. Kadar abu tidak larut 0,71% 0,85% ≤1%
asam

36
Hasil yang diperoleh dari karakterisasi simplisia dan ekstrak biji Coffea

canephora yaitu kadar air simplisia 4,63% dan ekstrak 8,62%, dimana hasil ini

memenuhi persyaratan yaitu tidak lebih dari 12,5% (MMI, 1995). Kadar sari larut

air dari simplisia adalah 36,92% dengan syarat tidak kurang dari 23,5%, maka

hasil tersebut memenuhi syarat. Kadar sari larut dalam etanol juga memenuhi

syarat yakni 13,23% . Kadar abu total simplisia didapatkan hasil sebesar 3,9%

sedangkan untuk ekstrak 2,89% , hasil ini telah memenuhi persyaratan kadar abu

total yaitu tidak lebih dari 4%. Kadar abu tidak larut asam dari simplisia diperoleh

sebesar 0,71% sedangkan ekstrak diperoleh 0,85%, dan hasil ini telah memenuhi

syarat kadar abu tidak larut asam yaitu tidak lebih dari 1% (MMI, 1995).

4.3 Hasil Skrining Fitokimia Simplisia dan Ekstrak Coffea canephora

Tabel 4.2 Hasil Skrining Fitokimia Simplisia dan Ekstrak Coffea canephora

Hasil
No. Parameter
Simplisia Ekstrak
1. Alkaloid + +
2. Glikosida - -
3. Saponin - -
4. Flavonoid + +
5. Tanin + +
6. Triterpenoid/steroid - -
Keterangan : + = Mengandung golongan senyawa
- = Tidak mengandung golongan senyawa
-
Berdasarkan hasil skrining fitokimia simplisia dan ekstrak biji Coffea

canephora menunjukkan bahwa biji Coffea canephora mengandung golongan

senyawa alkaloid, flavonoid, serta tanin. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang

dilakukan oleh Wigati dkk., (2018). Menurut Hall (2016), senyawa aktif yang

berpotensi memiliki aktivitas sebagai antidepresan adalah senyawa kafein. Patay

dkk., (2016) menyatakan bahwa kafein termasuk kedalam golongan senyawa

alkaloid jenis metilxanthin.

37
4.4 Ekstraksi Simplisia Biji Coffea canephora

Hasil ekstraksi dari 1999,64 gram simplisia biji Coffea canephora dengan

pelarut etanol 96% dipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator diperoleh

ekstrak kental 215,52 gram (rendemen 10,77%).

4.5 Hasil Penetapan Kadar Kafein

Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan di Laboratorium Penelitian

dan Pengujian Terpadu (LPPT) Universitas Gadjah Mada pada biji Coffea

canephora dengan menggunakan metode kromatografi lapis tipis (KLT) diperoleh

kadar kafein sebesar 11,02%.

38
4.6 Hasil Pengamatan Subjektif Perilaku dan Profil Berat Badan pada Uji Antidepresan
Pengamatan subjektif perilaku terhadap hewan uji dilakukan selama 3 waktu pengamatan. Pertama saat hewan uji belum

diberikan paparan CMS (H-0), kemudiaan saat hewan telah diberi paparan CMS (H-14), dan terakhir saat hewan telah diberikan

perlakuan EECC dan pembanding (H-24).

Tabel 4.3 Hasil Pengamatan Perilaku pada hari ke-7 terapi terhadap 6 kelompok pada uji antidepresan
Persentase Respon persen (%) tiap kelompok
pengamatan
Subjektif Kontrol EECC dosis 50 EECC dosis 100 EECC dosis 200
Pada Hewan Negatif mg/kgBB mg/kgBB mg/kgBB Kontrol Positif Kontrol Normal
Uji N=4 H- H- H- H- H- H- H- H- H- H- H- H- H- H- H- H- H- H-
(perilaku) 0 14 24 0 14 24 0 14 24 0 14 24 0 14 24 0 14 24
Pasif 25 100 100 0 100 0 0 75 0 0 100 0 0 100 0 0 0 0

Normal 75 0 0 75 0 50 100 25 75 75 0 75 75 0 75 75 100 100

Agresif 0 0 0 25 0 50 0 0 25 25 0 25 25 0 25 25 0 0

Pada Tabel 4.3 semua kelompok kecuali kelompok kontrol normal setelah 14 hari diberi paparan CMS sudah mengalami
depresi yang ditandai dengan sebagian besar mencit pada setiap kelompok mengalami perilaku pasif yaitu pada kelompok kontrol
negatif, kontrol positif, EECC dosis 50 dan 200 mg/kgBB 100% jumlah mencit sudah berperilaku pasif. Sedangkan pada EECC dosis
100 mg/kgBB 75% mencit berperilaku pasif. Pemberian EECC dosis 100 mg/kgBB dan 200 mg/kgBB selama 10 hari memperoleh
hasil 75% mencit berperilaku normal. Sedangkan pemberian EECC dosis 50 mg/kgBB selama 10 hari didapatkan 50% mencit sudah
berperilaku normal. Terapi setralin selama 10 hari mampu menormalkan perilaku pada 75% mencit
Perilaku hewan adalah ekspresi untuk menyesuaikan diri dengan kondisi

internal dan eksternal yang berbeda. Perilaku dapat digambarkan sebagai respon

hewan terhadap stimulus. Pengamatan perilaku hewan di laboratorium adalah

melihat perilakunya yang muncul di kandang yang dibuat. Pengamatan perilaku

tersebut berfungsi untuk membandingkan perilaku hewan yang muncul pada

kondisi yang berbeda (Smolinsky dkk., 2009).

Perilaku pasif pada mencit ditandai dengan turunnya nafsu makan, kurang

bergerak, dan cenderung berada di sudut. Perilaku ini menandakan bahwa mencit

berada dalam keadaan anhedonia, yang mana keadaan ini merupakan salah satu

dari tanda depresi (Sentari, 2020).

Perilaku normal mencit dapat dilihat dari rutinitas sehari-harinya yaitu

mengeksplor dan penasaran dengan tempat baru, berjalan, berdiri (rearing) serta

mencari makanan. Sedangkan perilaku mencit yang agresif ditandai dengan

hewan sering melakukan pertarungan dengan teman sekandangnya, sampai

berpotensi cedera (Garner, 2008).

40
Berat Badan Mencit (g)

35
Negatif
30
25 EECC dosis
50mg/kgBB
20 EECC dosis
100mg/kgBB
15 EECC dosis
10 200mg/kgBB
Positif
5
Normal
0
H-0 H-14 H-24
Hari ke-

Gambar 4.1 Grafik perubahan berat badan sebelum diberi perlakuan CMS,
setelah diberi perlakuan CMS, dan dengan sesudah pemberian ekstrak pada hari
ke-24 uji antidepresan

40
Tabel 4.4 Data rata-rata berat badan Mencit

Rata-rata ± SE (detik)
H-0 H-14 H-24
(Sebelum (Sesudah stres) (Pemberiaan
Kelompok stres) ekstrak)
Kontrol (-) 26,75 ± 3,04 24,75 ± 1,03 bf 22,50 ± 2,47 bcdef
EECC 50
mg/kgBB 26,75 ± 2,59 20,75 ± 1,75 af 31,00 ± 2,40 a
EECC 100
mg/kgBB 25,50 ± 2,75 21,25 ± 2,02 f 31,50 ± 2,12 a
EECC 200
mg/kgBB 27,50 ± 3,20 21,25 ± 2,39 f 31,75 ± 0,95 a
Kontrol (+) 26,75 ± 1,80 23,25 ± 0,75 f 33,25 ± 0,63 a
Normal 25,25 ± 2,39 29,25 ± 0,75 abcde 34,50 ± 0,65 a

ap<0,05
dibadingkan dengan kontrol negatif, bp<0,05 dibandingkan dengan EECC
50mg/kgBB, cp<0,05 dibandingkan dengan EECC 100mg/kgBB, dp<0,05 dibandingkan
dengan EECC 200 mg/kgBB , ep<0,05 dibandingkan dengan kontrol positif, fp<0,05
dibandingkan dengan kontrol normal

Pemberian paparan stres selama 14 hari mampu mengurangi berat badan


pada kelompok kontrol positif, kontrol negatif, EECC dosis 50 mg/kgBB, dosis
100 mg/kgBB dan dosis 200 mg/kgBB. Dimana terlihat terdapat perbedaan yang
signifikan (p=0,013) antara kelompok normal dengan seluruh kelompok.
Sedangkan pada kelompok normal yang tidak diberikan paparan CMS berat
badannya terlihat bertambah. Pemberian EECC dosis 50 mg/kgBB, 100 mg/kgBB,
dan 200 mg/kgBB dan sertralin selama 10 hari menunjukkan peningkatan berat
badan yang signifikan (p= 0,002) di bandingkan dengan kelompok kontrol negatif
pada hari ke-24.
Neurotransmiter yang dapat menurunkan nafsu makan adalah
corticotrophin releasing factor (CRF). Ketika stres terjadi CRF akan diaktifkan di
hipotalamus, mekanisme CRF dapat menurunkan nafsu makan diperkirakan
karena pengurangan ekspresi dari orexigenic-protein neuropeptide Y (NPY) di
hipotalamus. Selain itu ketika stres, otak akan meningkatkan proses reuptake
serotonin dan juga akan melepaskan sitokin. Seperti yang diketahui, CRF dan
sitokin dapat menurunkan nafsu makan, sehingga hal inilah yang mungkin

41
menjadi mediator penyebab hipofagia pada hewan yang mengalami stres (Harris,
1998).
4.7 Uji Antidepresan dengan Metode Uji Tail Suspension, Forced Swimming,
dan Open Field
Tabel 4.5 Data rata-rata immobility time (IT) dengan metode TST
Rata-rata ± SE (detik)
H-0 H-14 H-24
(Sebelum (Sesudah stres) (Pemberiaan
Kelompok stres) ekstrak)
Kontrol (-) 56,75 ± 5,07 177,25 ± 21,52 f 239,50 ± 9,67 bcdef
EECC 50
mg/kgBB 44,50 ± 10,90 103,75 ± 15,53 f 113,75 ± 18,35 af
EECC 100
mg/kgBB 43,25 ± 9,90 133,00 ± 19,46 f 100,75 ± 16,13 af
EECC 200
mg/kgBB 58,75 ± 19,45 157,25 ± 17,28 f 77,50 ± 22,44 a
Kontrol (+) 53,50 ± 14,19 144,25 ± 16,83 f 77,25 ± 10,57 a
Normal 50,75 ± 9,45 51,25 ± 8,77 abcde 51,75 ± 8,97 abc
ap<0,05 dibadingkan dengan kontrol negatif, bp<0,05 dibandingkan dengan EECC
50mg/kgBB, cp<0,05 dibandingkan dengan EECC 100mg/kgBB, dp<0,05 dibandingkan
dengan EECC 200 mg/kgBB , ep<0,05 dibandingkan dengan kontrol positif, fp<0,05
dibandingkan dengan kontrol normal

Perolehan data pada Tabel 4.5 menunjukkan bahwa sebelum hewan

diinduksi paparan stres tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada seluruh

kelompok (P=0,926) dengan rerata immobility time (IT) metode Tail Suspension

Test (TST) berkisar antara 50,75 ± 9,45 detik sampai dengan 58,75 ± 19,45 detik.

Selanjutnya setelah diberikan paparan stres selama 14 hari, terdapat perbedaan

yang signifikan (P=0,007) antara kelompok normal yang tidak diberi induksi stres

dengan seluruh kelompok, yaitu terjadi peningkatan IT pada seluruh kelompok

kecuali pada kelompok normal. Hal ini menandakan bahwa model hewan yang

diinginkan telah terbentuk. Pada proses ini hewan uji mengalami peningkatan IT,

terjadinya depresi pada hewan uji dapat diukur dari lamanya durasi IT karena

Immobility time pada mencit dapat diartikan sebagai keadaan putus asa dimana

42
pada manusia putus asa merupakan salah satu penyebab dari terjadinya depresi

(Kurama dkk., 2013).

Setelah pemberiaan EECC 50 mg/kgBB, 100 mg/kgBB, dan 200 mg/kgBB

menunjukkan adanya penurunan durasi IT (P= 0,000) yang signifikan

dibandingkan dengan kontrol negatif. Terdapat perbedaan rerata durasi IT antara

dosis ekstrak, dimana penurunan rerata durasi IT terbesar terdapat pada kelompok

EECC dosis 200 mg/kgBB, diikuti dosis 100 mg/kgBB, dan terakhir pada dosis

50mg/kgBB. Setelah pemberiaan sertralin pada kelompok kontrol positif selama

10 hari diperoleh perbedaan yang signifikan (P=0,000) dengan kontrol negatif,

pemberiaan sertralin mampu menurunkan durasi IT dibandingkan dengan IT pada

kelompok kontrol negatif. Dari hasil analisis data di atas dapat dikatakan bahwa

hewan yang semulanya stres dapat kembali normal setelah pemberiaan EECC

dosis 200 mg/kgBB dan obat sertralin.

Tabel 4.6 Data rata-rata immobility time (IT) dengan metode FST
Rata-rata ± SE (detik)
H-0 H-14 H-24
(Sebelum (Sesudah stres) (Pemberiaan
Kelompok stres) ekstrak)
Kontrol (-) 82,50 ± 20,84 192,75 ± 10,14 f 225,50 ± 16,95 bcdef
EECC 50
mg/kgBB 84,00 ± 19,88 205,00 ±27,69 f 151,75 ± 18,98 af
EECC 100
mg/kgBB 82,50 ± 26,50 213,75 ± 34,7 f 132,50 ± 18,67 af
EECC 200
mg/kgBB 85,25 ± 19,80 190,50 ± 11,98 f 130,50 ± 12,70 af
Kontrol (+) 51,75 ± 5,63 212,75 ± 27,42 f 130,00 ± 20,03 af
Normal 59,25 ± 17,08 49,00 ± 5,10 abcde 50,50 ± 6,30 abcde
ap<0,05 dibadingkan dengan kontrol negatif, bp<0,05 dibandingkan dengan EECC
50mg/kgBB, cp<0,05 dibandingkan dengan EECC 100mg/kgBB, dp<0,05 dibandingkan
dengan EECC 200 mg/kgBB , ep<0,05 dibandingkan dengan kontrol positif, fp<0,05
dibandingkan dengan kontrol normal

43
Forced swimming test (FST) adalah salah satu metode yang biasa

digunakan untuk mengukur efek suatu obat antidepresan pada hewan uji. Khasiat

dari suatu obat antidepresan diukur melalui lama immobility time yang lebih

singkat dibandingkan dengan kelompok uji yang tidak diberikan obat antidepresan

atau ekstrak yang berfungsi sebagai antidepresan (Kurama dkk., 2013).

Serotonin juga berperan penting terhadap menghilangkan rasa takut saat

mencit direnangkan dan modulasi lokomotor untuk bergerak berpindah tempat.

Norepinefrin merupakan molekul yang berperan terhadap respon stres saat mencit

berenang agar tetap fokus dan emosi terkontrol (Sentari, 2020).

Pada Tabel 4.6 menunjukkan bahwa sebelum hewan diberi paparan stres

selama 14 hari tidak terlihat adanya perbedaan yang signifikan pada seluruh

kelompok (P=0,832) dengan rerata durasi immobility time (IT) pada metode FST

berkisar antara 51,75 ± 5,63 detik sampai dengan 85,25 ± 19,80 detik. Selanjutnya

hewan selama 14 hari diberikan paparan stres, pada kondisi ini diperoleh

perbedaan yang signifikan (P=0,010) antara kelompok normal yang tidak diberi

induksi stres dengan seluruh kelompok, yaitu terjadi peningkatan durasi IT pada

seluruh kelompok kecuali pada kelompok normal.

Pada proses ini, peningkatan imobilitas di FST sering kali dianggap

sebagai ekspresi keputusasaan. Paparan stres yang telah diberikan pada hewan uji

selama 14 hari dapat menyebabkan peningkatan kadar kortikosteroid pada plasma

yang menunjukkan bahwa stres kronis dapat menyebabkan anhedonia (Abelaira

dkk., 2013).

Pada pemberiaan EECC 50 mg/kgBB, 100 mg/kgBB, dan 200 mg/kgBB

menunjukkan adanya perbedaan (P=0,000) yang signifikan dibandingkan dengan

44
kontrol negatif yaitu terjadinya penurunan durasi IT pada seluruh kelompok

ekstrak jika dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Untuk keefektifan

masing-masing dosis ekstrak dapat dilihat dari perbedaan rerata durasi IT, dimana

penurunan rerata durasi IT terbesar terdapat pada kelompok kopi dosis 200

mg/kgBB (130,00 ± 12,70) , diikuti kopi dosis 100 mg/kgBB (135,50 ± 18,67),

dan terakhir pada kopi dosis 50 mg/kgBB (148,75 ± 18,98). Setelah pemberiaan

sertralin pada kelompok kontrol positif selama 10 hari terdapat perbedaan yang

signifikan (P=0,000) dengan kontrol negatif, dimana dengan pemberiaan sertralin

mampu menurunkan durasi IT pada metode FST dibandingkan dengan IT pada

kelompok kontrol negatif.

Tabel 4.7 Data rata-rata durasi central square dengan metode OFT
Rata-rata ± SE (detik)

H-0 H-24
H-14
Kelompok (Sebelum stres) (Pemberiaan ekstrak)
(Sesudah stres)
Kontrol (-) 44,75 ± 13,39 9,25 ± 3,54 f 7 ,00 ± 1,91bcdef
EECC 50
mg/kgBB 20,25 ± 5,85 14,00 ± 1,73 f 28,00 ± 3,34 af
EECC 100
mg/kgBB 41,25 ± 11,43 12,00 ± 3,34 f 29,75 ± 4,31 af
EECC 200
mg/kgBB 26,50 ± 11,69 9,50 ± 1,32 f 33,50 ± 3,97 af
Kontrol (+) 43,00 ± 18,84 10,00 ± 2,45 f 34,50 ± 10,93 af
Normal 27,25 ± 2,78 27,50 ± 2,60 abcde 32,50 ± 1,94 a
ap<0,05
dibadingkan dengan kontrol negatif, bp<0,05 dibandingkan dengan EECC
50mg/kgBB, cp<0,05 dibandingkan dengan EECC 100mg/kgBB, dp<0,05 dibandingkan
dengan EECC 200 mg/kgBB , ep<0,05 dibandingkan dengan kontrol positif, fp<0,05
dibandingkan dengan kontrol normal

Pada Tabel 4.7 diperoleh bahwa sebelum diberi paparan stres selama 14

hari tidak terlihat adanya perbedaan yang signifikan pada seluruh kelompok

45
(P=0,585) dengan rerata durasi central square pada metode OFT (Open Field

Test) berkisar antara 20,25 ± 5,85 detik sampai dengan 44,75 ± 13,39 detik.

Kemudian hewan diberikan paparan stres selama 14 hari, hasilnya menunjukkan

adanya perbedaan yang signifikan (P=0,001) antara kelompok normal yang tidak

diberi induksi stres dengan seluruh kelompok, dimana terjadi penurunan durasi

central square seluruh kelompok kecuali pada kelompok normal.

Hewan yang menghabiskan sebagian waktunya di central square tidak

menunjukkan rasa takut dan kegelisahan, sehingga parameter ini dapat digunakan

untuk menilai perubahan psikomotorik hewan uji (Stanford, 2007).

Selanjutnya selama 10 hari hewan diberikan EECC 50 mg/kgBB, 100

mg/kgBB, dan 200 mg/kgBB menunjukkan adanya perbedaan durasi central

square pada metode OFT (P=0,017) yang signifikan dibandingkan dengan kontrol

negatif. Pada pemberiaan masing-masing dosis ektrak dapat terlihat adanya

kenaikan rerata durasi central square, dimana kenaikan rerata terbesar terdapat

pada kelompok kopi dosis 200 mg/kgBB (33,50 ± 3,97) , diikuti kopi dosis 100

mg/kgBB (29,75 ± 4,31) , dan terakhir pada kopi dosis 50 mg/kgBB (28,00 ±

3,34). Pemberiaan sertralin pada kelompok kontrol positif terlihat adanya

perbedaan yang signifikan (P=0,017) dengan kontrol negatif, pemberiaan sertralin

mampu meningkatkan durasi hewan pada central square dengan metode OFT

dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif.

46
Tabel 4.8 Data rata-rata durasi cross dengan metode OFT
Rata-rata ± SE (jumlah)
H-0 H-14 (sesudah H-24 (pemberiaan
Kelompok (Sebelum stres) stres) ekstrak)
f
Kontrol (-) 95,00 ± 14,94 78,25 ± 9,00 35,75 ± 5,54 bcdef
EECC 50
mg/kgBB 130,50 ± 7,72 75,25 ± 13,72 f 133,75 ± 13,12 a
EECC 100
mg/kgBB 134,00 ± 8,97 58,00 ± 12,66 f 139,50 ± 24,09 a
EECC 200
mg/kgBB 91,25 ± 13,27 63,25 ± 15,91 f 142,75 ± 17,97 a
Kontrol (+) 103,50 ± 25,41 65,50 ± 9,77 f 140,50 ± 18,75 a
Normal 126,25 ± 11,30 128,00 ± 7,42 abcde 128,75 ± 7,76 a
ap<0,05
dibadingkan dengan kontrol negatif, bp<0,05 dibandingkan dengan EECC
50mg/kgBB, cp<0,05 dibandingkan dengan EECC 100mg/kgBB, dp<0,05 dibandingkan
dengan EECC 200 mg/kgBB , ep<0,05 dibandingkan dengan kontrol positif, fp<0,05
dibandingkan dengan kontrol normal

Dari Tabel 4.7 menunjukkan bahwa sebelum hewan diberikan paparan

stres selama 14 hari tidak terlihat adanya perbedaan yang signifikan pada seluruh

kelompok (P=0,197) dengan rerata durasi cross pada metode OFT (Open Field

Test) yaitu berkisar antara 91,25 ± 13,27 detik sampai dengan 134,00 ± 8,97 detik.

Setelah hewan menjalani paparan stres selama 14 hari, hasilnya menunjukkan

adanya perbedaan yang signifikan (P=0,006) antara kelompok normal dengan

seluruh kelompok, dimana terjadi penurunan durasi cross pada seluruh kelompok

kecuali pada kelompok normal.

Crossing (penyeberangan) pada hewan uji digunakan untuk mengukur

aktivitas lokomotor. Kebanyakan hewan pengerat cenderung menghabiskan waktu

untuk melewati dan menjelajahi area lapangan, peristiwa ini disebut dengan

tigmotaxis. Oleh karena itu hewan yang stres akan mengalami ketakutan terhadap

tempat yang tidak dikenal dan anhedonia sehingga cenderung mencari daerah

yang gelap seperti sudut lapangan serta enggan untuk melakukan crossing

menyebabkan turunnya aktivitas lokomotor (Valvassori dkk., 2017).

47
Selanjutnya selama 10 hari hewan diberikan EECC 50 mg/kgBB, 100

mg/kgBB, dan 200 mg/kgBB menunjukkan adanya perbedaan durasi cross pada

metode OFT (P=0,001) yang signifikan dibandingkan dengan kontrol negatif.

Pada pemberiaan masing-masing dosis ekstrak dapat terlihat adanya peningkatan

rerata durasi cross, dimana kenaikan rerata terbesar terdapat pada kelompok kopi

dosis 200 mg/kgBB (142,75 ± 17,97) , diikuti kopi dosis 100 mg/kgBB (139,50 ±

24,09), dan terakhir pada kopi dosis 50 mg/kgBB (133,75 ± 13,12). Pada

pemberiaan sertralin untuk kelompok kontrol positif terlihat adanya perbedaan

yang signifikan (P=0,001) dengan kontrol negatif, pemberiaan sertralin mampu

meningkatkan durasi lokomotor hewan saat cross dengan metode OFT

dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Setelah hewan diberikan

sertralin dan ekstrak EECC rerata nilai cross sudah meningkat lagi seperti pada

kontrol normal.

Tabel 4.9 Data rata-rata durasi grooming dengan metode OFT


Rata-rata ± SE (detik)
H-0 H-14 (sesudah H-24 (pemberiaan
Kelompok (Sebelum stres) stres) ekstrak)
Kontrol (-) 8,00 ± 2,08 67,00 ± 14,43 f 73,67 ± 8,37 bcdef
EECC 50
mg/kgBB 8,00 ± 4,58 34,67 ± 6,39 f 21,33 ± 8,09 af
EECC 100
mg/kgBB 4,67 ± 3,28 12,00 ± 9,81 f 17,33 ± 2,96 af
EECC 200
mg/kgBB 4,67 ± 2,73 18,33 ± 9,45 f 15,67 ± 4,70 af
Kontrol (+) 12,00 ± 8,33 19,00 ± 10,90 f 17,00 ± 1,73 af
Normal 4,33 ± 1,45 3,67 ± 0,88 abcde 3,00 ± 0,55 a
ap<0,05 dibadingkan dengan kontrol negatif, bp<0,05 dibandingkan dengan EECC
50mg/kgBB, cp<0,05 dibandingkan dengan EECC 100mg/kgBB, dp<0,05 dibandingkan
dengan EECC 200 mg/kgBB , ep<0,05 dibandingkan dengan kontrol positif, fp<0,05
dibandingkan dengan kontrol normal
Pada Tabel 4.9 menunjukkan bahwa sebelum hewan diberikan paparan

stres selama 14 hari tidak terlihat adanya perbedaan yang signifikan pada seluruh

48
kelompok (P=0,792) dengan rerata durasi grooming pada metode OFT (Open

Field Test) yaitu berkisar antara 4,33 ± 1,45 detik sampai dengan 8,00 ± 2,08

detik. Setelah hewan menjalani paparan stres selama 14 hari, terlihat adanya

perbedaan yang signifikan (P=0,011) antara kelompok normal dengan seluruh

kelompok, dimana terjadi kenaikan durasi grooming pada seluruh kelompok

kecuali kelompok normal.

Penilaian grooming mengacu pada gerakan berulang hewan, terutama pada

hewan yang mengalami perubahan pada otak. Grooming merujuk pada aktivitas

motorik dan grroming yang berlebihan bisa berfungsi untuk menandakan adanya

kecemasan dalam kondisi stres. (Valvassori dkk., 2017).

Setelah pemberiaan EECC dosis 50 mg/kgBB, 100 mg/kgBB, dan 200

mg/kgBB menunjukkan adanya perbedaan durasi grooming pada metode OFT

(P=0,000) yang signifikan dibandingkan dengan kontrol negatif. Pada pemberiaan

masing-masing dosis ektrak dapat terlihat adanya penurunan rerata durasi

grooming, dimana penurunan rerata terbesar terdapat pada kelompok kopi dosis

200 mg/kgBB (15,67 ± 4,70) , diikuti kopi dosis 100 mg/kgBB (17,33 ±2,96) , dan

terakhir pada kopi dosis 50 mg/kgBB (21,33 ± 8,09). Pada pemberiaan sertralin

kelompok kontrol positif juga diperoleh perbedaan yang signifikan (P=0,000)

dengan kontrol negatif, dimana pemberiaan sertralin dapat menurunkan durasi

hewan saat grooming dengan metode OFT dibandingkan dengan kelompok

kontrol negatif.

Pemberian ekstrak kopi mampu menurunkan durasi ketidakmampuan

hewan uji untuk bergerak lagi atau disebut immobility time, hal ini terjadi karena

banyak kandungan konstituen bioaktif kopi yang berkontribusi pada aktivitas

49
psikomotorik. Salah satunya yang berkaitan dengan depresi adalah senyawa

kafein. Menurut penelitian Grzelczyk dkk. (2021) menyatakan bahwa kafein dan

asam ferulat memperlihatkan dapat menghambat aktivitas dari enzim monoamin

oksidase-A (MAO-A).

Gangguan jangka panjang dari metabolisme monoamin akibat depresi

menyebabkan degradasi neurotransmiter dan hormon seperti serotonin (5-HT),

noradrenalin, adrenalin, dan dopamin. Ketika MAO dihambat, maka

bioavailabilitas serotonin, noradrenalin, adrenalin dan dopamin akan meningkat

karena inaktivasi neurotrasnmiter tidak terjadi sehingga neurotrasmiter bisa

berdifusi kembali ke celah sinaps (Grzelczyk dkk., 2021). Kafein merupakan jenis

alkaloid yang terpenting pada kopi. Menurut penelitian dari Loria dkk., 2014

menyatakan bahwa alkaloid dapat berperan sebagai antidepresan dengan cara

menghambat reuptake dari neurotransmiter serotonin.

Selain itu, senyawa flavonoid yang terkandung dalam kopi juga diketahui

dapat bekerja sebagai antidepresan. Beberapa kemungkinan mekanisme flavonoid

bekerja sebagai antidepresan adalah dengan berinteraksi dengan reseptor 5-HT1A,

noraderenergik α2 dan dopaminergik D1, D2, dan D3, kemudian juga dapat

meningkatkan jumlah dari BDNF di hipokampus (Hritcu dkk., 2017).

Kafein bekerja pada sistem saraf pusat baik langsung maupun tidak

langsung. Dalam dosis wajar, kafein dapat mengontrol rangsangan saraf dan

pelepasan beberapa neurotransmiter, termasuk asetilkolin (Ach), dopamin (DA),

noradrenalin (NA), dan serotonin (5-HT). Kafein diyakini dapat berkontribusi

untuk meningkatkan perilisan serotonin (5-HT) di daerah limbik dan pelepasan

dopamin (DA) di korteks prefrontal (Szopa dkk., 2015).

50
4.8 Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah

Tabel 4.10 Data rata-rata kadar glukosa darah pada hari ke-24
Rata-rata ± SE (mg/dL)
Kelompok Hari ke-24
Kontrol (-) 229,50 ± 24,47 bcdef
EECC 50 mg/kgBB 164,50 ± 4,97 a
EECC 100 mg/kgBB 158,25 ± 8,06 a
EECC 200 mg/kgBB 155,75 ± 6,38 a
Kontrol (+) 151,25 ± 9,25 a
Kontrol normal 144,50 ± 12,80 a
ap<0,05
dibadingkan dengan kontrol negatif, bp<0,05 dibandingkan dengan EECC
50mg/kgBB, cp<0,05 dibandingkan dengan EECC 100mg/kgBB, dp<0,05 dibandingkan
dengan EECC 200 mg/kgBB , ep<0,05 dibandingkan dengan kontrol positif, fp<0,05
dibandingkan dengan kontrol normal
Pemeriksaan kadar gula darah (KGD) pada mencit yang menggunakan

glukometer dilakukan pada hari ke-24 setelah diberi perlakuan, yaitu setelah

diberi EECC dosis 50 mg/kgBB, 100 mg/kgBB, 200 mg/kgBB dan sertralin

selama 10 hari.

Pada Tabel 4.10 diatas, didapatkan hasil KGD mencit setelah diberi

perlakuan, berbeda signifikan (P=0,001) dibandingkan dengan KGD pada

kelompok kontrol negatif yang diberi CMC Na 0,5%. KGD kelompok kontrol

negatif adalah 229,50 ± 24,47 mg/dL sedangkan KGD kelompok kontrol normal

adalah 144,50 ± 12,80 mg/dL. Hasil KGD yang paling mendekati kelompok

normal adalah kontrol positif dengan hasil 151,25 ± 9,25 mg/dL, diikuti kelompok

EECC dosis 200 mg/kgBB sebesar 155,75 ± 6,38 mg/dL, lalu diikuti oleh dosis

100mg/kgBB sebesar 158,25 ± 8,06 mg/dL, dan kelompok dosis 50 mg/kgBB

sebesar 164,50 ± 4,97 mg/dL.

Meningkatnya kadar glukosa darah saat kondisi stres terjadi karena

aktivasi hypothalamic-pituitary-adrenal-axis (HPA-axis). Penaktifan HPA aksis

membuat cortisol releasing factor (CRF) aktif di hipotalamus, senyawa ini

51
membuat hormon adrenocorticotropic (ACTH) diaktifkan di pituitari dan

menstimulasi kelenjar adrenal untuk membentuk kortisol. Kortisol dapat

menstimulasi pemecahan glukosa atau glukoneogenesis dengan cara

meningkatkan transkripsi dari gen phosphoenolpyruvat carboxykinase (PEPCK)

yang merupakan kunci enzim glukoneogenesis sehingga glukosa akan terbentuk

dari pemecahan substrat non-karbohidrat seperti asam amino dan gliserol.

Peningkatan sekresi glukokortikoid dalam darah menyebabkan penurunan fungsi

dari persignalan reseptor insulin pada jaringan perifer sehingga mengakibatkan

resistensi insulin (Kajbaf dkk.,, 2007).

Selanjutnya stres juga dapat meningkatkan perilisan alanin dan laktat (2

substrat utama untuk glukoneogenesis) dari otot rangka. Keberadaan kortisol

membuat sel otot untuk mengurangi uptake glukosa dan meningkatkan degradasi

protein untuk membentuk glukosa. Pada saat terjadinya hiperglikemia

menyebabkan hilangnya fungsi pada mitokondria dan meningkatnya radikal

bebas. Glukosa yang dihasilkan akan mendorong terjadinya resistensi insulin.

Selain pusat pengaturan hormon dan sitokin, senyawa lain seperti free fatty acid

(FFA) dan trigliserida dapat menginduksi terjadinya resistensi insulin dan

menghambat reuptake glukosa melalui mekanisme yang berbeda (Kajbaf dkk.,

2007).

Kopi memiliki kemampuan untuk meningkatkan toleransi glukosa.

Berbagai penelitian para ahli membuktikan bahwa mengonsumsi kopi mampu

menurunkan risiko diabetes hingga 50% dengan cara membantu mempertahankan

toleransi glukosa normal serta meningkatkan sensitivitas insulin. Beberapa

komponen pada kopi berpotensi memperbaiki gejala diabetes tipe 2 seperti asam

52
klorogenat pada proses penghambatan glukosa-6-fosfatase dalam pembentukan

glukosa. Selain itu kopi juga dapat mengaktivasi glucose tranporter 4 (GLUT4)

sebagai regulator transfer glukosa ke dalam sel melalui pengikatan dengan insulin.

Sehingga dapat diharapkan pemberiaan ekstrak kopi dapat menurunkan glukosa

dalam plasma serta meningkatkan sensitivitas insulin pada kondisi hiperglikemia

(Akash dkk., 2013).

4.9 Histologi Lambung

Pengamatan kerusakan mukosa lambung dapat diamati secara

makroskopis dan mikroskopis. Untuk pengamatan secara makroskopis, organ

lambung yang telah bersih kemudian difiksasi dengan cara dibentangkan di atas

parafin padat dan dilakukan pengamatan kerusakan mukosa secara makroskopis.

Penilaian Kerusakan mukosa lambung secara makroskopis dinilai dengan metode

Prusty dkk. (2012) yang dimodifikasi. Pengamatan terhadap tukak yang terbentuk

dengan pemberian skor berdasarkan jumlah gambaran noda ulkus dan perdarahan.

Perdarahan adalah butir-butir darah keluar dari pembuluh darah dan tersebar

diantara jaringan (Szabo dkk, 1985). Penilaian menggunakan sistem skor dengan

skala 0-2. Pengamatan dilakukan oleh 2 orang pengamat secara blinded observer.

Skor dengan kriteria penilaian dapat dilihat pada Tabel 4.11. Hasil pengamatan

makroskopis lambung setelah perlakuan dapat dilihat pada gambar 4.2.

Tabel 4.11 Skor dan kriteria kerusakan mukosa lambung secara makroskopis

(Prusty dkk., 2012).

Kriteria Skor
Normal 0
Noda Ulkus 1
Perdarahan 2

53
A B

C D

E F

Gambar 4.2 Hasil makroskopis lambung mencit


Keterangan
: Perdarahan
: Noda ulkus
A : Kelompok kontrol negatif
B : Kelompok EECC dosis 50 mg/kgBB
C : Kelompok EECC dosis 100 mg/kgBB
D : Kelompok EECC dosis 200 mg/kgBB
E : Kelompok kontrol positif
F : Kelompok kontrol normal

54
Tabel 4.12 Hasil penilaian kerusakan mukosa lambung
Kelompok Skor
Kontrol Negatif 14
EECC Dosis 50mg/kgBB 7
EECC Dosis 100mg/kgBB 5
EECC Dosis 200mg/kgBB 3
Kontrol Positif 2
Kontrol Normal 0

Pada Tabel 4.12 diperoleh hasil bahwa pada lambung kelompok normal

tidak ditemukan tukak pada lambung hewan uji. Hal ini terjadi karena pada

kelompok normal hewan tidak diberi paparan stres, sehingga tidak terjadi tukak

pada lambungnya.

Kemudian pada seluruh kelompok terjadi tukak, namun yang paling parah

tukaknya bisa dilihat pada kelompok kontrol negatif dengan jumlah tukak adalah

14 hal ini terjadi karena pada kelompok ini hanya diberikan larutan Na-CMC

dimana larutan ini tidak dapat mengurangi tukak yang telah terjadi. Kemudian

pada pemberiaan kelompok EECC, tukak yang paling sedikit terdapat pada dosis

200 mg/kgBB dengan jumlah tukak 3, diikuti dosis 100 mg/kgBB dimana jumlah

tukaknya adalah 5, dan terakhir pada dosis 50 mg/kgBB jumlah tukak adalah 7.

pada kelompok kontrol positif tukak yang terlihat tidak separah kelompok kontrol

negatif dimana jumlah tukaknya adalah 2.

Pengamatan histologi lambung mencit secara mikroskopis dilakukan untuk

melihat gambaran jaringan lambung dari kerusakan oleh induksi chronic mild

stress (CMS) dan untuk melihat perbaikan jaringan setelah diberikan perlakuan.

Hasil pengamatan mikroskopis lambung setelah perlakuan dapat dilihat pada

Gambar 4.3.

55
A B

C D

E F

Gambar 4.3 Hasil mikroskopis lambung mencit


Keterangan
A : Kelompok kontrol negatif
B : Kelompok EECC dosis 50 mg/kgBB
C : Kelompok EECC dosis 100 mg/kgBB
D : Kelompok EECC dosis 200 mg/kgBB
E : Kelompok kontrol positif
F : Kelompok kontrol normal

Berdasarkan pengamatan secara visual terhadap hasil mikroskopik

lambung pada Gambar 4.3 diatas dapat dilihat bahwa pada mencit kelompok

kontrol normal tidak terdapat adanya ciri yang menunjukkan tukak lambung

seperti erosi maupun ulkus. Erosi merupakan kondisi terputusnya lapisan epitel

56
mukosa lambung sedangkan ulkus adalah keadaan terputusnya kontuinitas

mukosa lambung (epitel, lamina propia dan muskularis mukosa) yang terkadang

dapat mencapai lapisan muskularis.

Sedangkan pada kelompok kontrol negatif, terjadi erosi dan ulkus yang

paling lebar serta dalam. Erosi dan ulkus pada kelompok negatif masih lebih berat

bila dibandingkan dengan kelompok yang diberi EECC. Pada kelompok EECC,

erosi yang paling parah terdapat pada kelompok EECC dosis 50 mg/kgBB,

kemudian dosis 100 mg/kgBB, dan dosis 200 mg/kgBB. Pada kelompok EECC

dosis 50 mg/kgBB terdapat erosi yang cukup lebar pada bagian sel epitel

lambung, dan pada kelompok EECC dosis 100 mg/kgBB lebar erosi lebih kecil

namun cukup dalam. Sedangkan pada kelompok EECC dosis 200 mg/kgBB erosi

yang terjadi tidak lebar dan dalam serta hanya terdapat pada permukaan sel epitel

mukosa. Pada kelompok kontrol positif juga hal serupa terjadi, yaitu erosi hanya

terdapat pada permukaan sel epitel mukosa lambung saja.

Ketika stres, terjadi gangguan sekresi pada lambung melalui sistem HPA

aksis. Pada kondisi ini kadar kortisol dalam darah akan meningkat. Peningkatan

kortisol akan merangsang produksi asam lambung melalui interaksi langsung

dengan sel sekresi lambung yaitu G-cell untuk menghasilkan hormon gastrin serta

menghasilkan histamine yang akan berinteraksi dengan sel parietal untuk

menginduksi asam lambung dan dapat menghambat prostaglandin E pada sel

parietal lambung yang berfungsi untuk melindungi mukosa (Murni, 2020).

Oleh karena itu akan terjadi ketidakseimbangan faktor agresif dan faktor

defensif sehingga akan mendukung pengembangan tukak dan mensintesis radikal

bebas (Reactive Oxygen Species), yaitu molekul sitotoksik yang menyebabkan

57
stres oksidatif dan meningkatnya peroksidasi lipid, dimana selanjutnya akan

terjadi kerusakan sel hingga akhirnya sel menjadi lisis (Souza dkk., 2017).

Berdasarkan hasil penelitian dari Souza dkk. (2017), melalui analisis

makroskopis mereka, menunjukkan bahwa adanya efek gastroprotektif tinggi

pada kelompok yang diberikan kafein dengan dosis 300 mg / kgBB, dimana

hasilnya bahkan lebih tinggi daripada kelompok kontrol positif. Kandungan dalam

kopi seperti kafein dan asam klorogenat namun ketika disangrai menjadi asam

kafeat diketahui mempunyai aktivitas antioksidan yang tinggi. Salah satu faktor

antioksidan terpenting dalam tubuh adalah glutathione (GSH). GSH dapat

melindungi sel terhadap cedera yang disebabkan oleh radikal bebas. Hasil

penelitian menunjukkan peningkatan GSH terdapat pada kelompok yang diberi

asam kafeat dan kafein.

Asam klorogenat dalam kopi dapat melindungi sel lambung dari radikal

bebas menjadikan asam krogenat ini berpotensi sebagai antioksidan. Berdasarkan

penelitian dari Shimoyama dkk. (2013), pemberiaan asam klorogenat pada tikus

memberikan efek yang positif dengan mengurangi area lesi dan asam lambung

tidak lagi dirangsang.

58
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa:

a. Ekstrak etanol biji Coffea canephora dosis 50, 100 dan 200 mg/kgBB

dapat memberikan efek antidepresan dengan menurunkan durasi

immobility time.

b. Ekstrak etanol biji Coffea canephora dosis 50, 100 dan 200 mg/kgBB

dapat memberikan efek antidepresan dengan meningkatkan aktivitas

lokomotor.

5.2 Saran

a. Diharapkan pada peneliti selanjutnya untuk mengukur kadar hormon

mencit yang berhubungan dengan depresi seperti kadar kortisol.

b. Penelitian ini mempunyai keterbatasan dalam meneliti beberapa variabel

lainnya, yang mungkin bisa dijadikan sebagai penanda depresi, seperti

kerontokan rambut mencit.

59
DAFTAR PUSTAKA

Abelaira, H. M., Gislaine, Z. R., Joao, Q. 2013. Animal Models as Tools to Study
the Patophysiology of Depression. Revista Brasileira de Psiquiatria. 35
(suppl 2): S117-S118.
Akash, M. S. H., Kanwal, R., Shuqing, C. 2013. Effects of Coffee on Type 2
Diabetes Mellitus. Nutrition. 30 (7-8): 7-8.
Almeida, A. A. P., Farah, A., Silva, D. A. M., Nunan, E. A., Glória, M. B. A.
2006. Antibacterial Activity of Coffee Extracts and Selected Coffee
Chemical Compounds against Enterobacteria. Journal of Agricultural and
Food Chemistry, 54(23): 8739-8742.
Anas, Y., Puspitasari, N., Nuria, M. C. 2015. Aktivitas Stimulansia Ekstrak Etanol
Bungaa dan Daun Cengkeh (Syzygium aromaticum (L) Merr. & Perry)
pada Mencit Jantan Galur Swiss Beserta Identifkasi Golongan Senyawa
Aktifnya. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Wahid Hasyim Semarang.
Halaman: 15.
Anief. 1999. Ilmu Meracik Obat. Cetakan ke-7, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta. Halaman 71-73.
Asti, S. I. P. 2015. Pengaruh Ekstrak Biji Kopi Robusta (Coffea robusta)
Terhadap Aktivitas Fagositosis Sel Monosit . Skripsi. Fakultas Kedokteran
Gigi. Universitas Jember. Hal: 14.
Battaglia, G. 2011. Pharmacology of Antidepressant Drugs. Materi Kuliah:
Pharmacology/Therapeutics Semester IV. Halaman: 3.
Belovicova, K., Eszter, B., Kristina, C., Michal, D. 2017. Animal Test For
Anxiety-Like And depression-Like Behavior In Rats. Interdisciplinary
Toxicology. 10 (1): 40- 42.
Bembnowska, M., Jadwiga, G., O. (2015). What Cause Depression In Adults. Pol
J Public Health. 125 (2): 116-117.
Bhowmik, D., Sampath, K., Shweta, S., Sharavan, P., Amit, S. D. 2012.
Depressions-Symptoms, Causes, Medications and Therapies. The
Pharma Journal. Vol. 1 (3): 38-43.
Brar, B., Joginder, S. D., Pankaj, R. 2015. Antidepressant Activity of Various
Extracts From Seeds of Ocimum basilicum Linn.International Journal of
Scientific Researh. 4 (3): 41.
Buccafusco J., 2009, Methods of Behavior Analysis in Neuroscience, 2nd ed.,
Taylor & Francis Group, LLC, London, pp. 169-329.
Cassarubea, M., Caitlin, D., Fabiana, F., Massimo, P., Roberto, C., Lucy, P., dkk.
2015. Acute Nicotine Induces Anxiety and Disrupts Temporal Pattern
Organization of Rat Exploratory Behavior in Hole-Board: A Potential Role
for the Lateral Habenula. Fronties in Cellular NeuroscienceI. 9 (197): 4.

60
Chismirina, S., Ridha, A., Rosdiana, G. 2014. Pengaruh Kopi Arabika (Coffea
arabica) dan Kopi Robusta (Coffea canephora) Terhadap Viskositas
Saliva Secara In Vitro. Cakradonya Dent J. 6 (2): 688.
Departemen Kesehatan RI. 1979. Farmakope Indonesia, Edisi III Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan RI. 1989. Materia Medika Indonesia, Jilid V. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia, Edisi IV Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan RI. 1995. Materia Medika, Jilid. VI. Jakarta: Diktorat
Jendral POM-Depkes RI.
Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan
Obat. Jakarta: Diktorat Jendral POM-Depkes RI.
Eira, M., T., S., dkk. 2006. Coffee Seed Physiology. Braz. J. Plant Physio. 18 (1):
149-150.
Farnsworth, N., R. 1966. Biological and Phytochemical Screening of Plants,
J.Pharm. Sci. 55(3): 225-276.
Febyan, Sri, H.W., Ayudhea, T., Johannes, H. 2019. Peranan Sitokin pada
Keadaan Stres Sebagai Pencetus Depresi. Jurnal Penyakit Dalam
Indonesia. 6 (4): 211-213.
Fujioka, K., dan Shibamoto, T. 2008. Chlorogenic Acid and Caffeine Contents in
Various Commercial Brewed Coffees. Food Chemistry. 106 (3): 217-
218.
Fuchs, E., Gabriele, F. 2006. Experimental Animal Models for Simulation of
Depression an Anxiety. Dialouges and Clinical NeuroscienceI. 8 (3):
324-325.
Garner, J. 2008. Normal Mouse Behaviour: What it is, and Why Should We
Care.Charles River Europe. Department of Animal Sciences. Purdue
University.
Gebeyehu, B. T., Solomon, L. B. 2015. Determination og Caffeine Content and
Antioxidant Activity of Coffee. Science Publishing Group. 3 (2): 70-71.
Grzelczyk, J., Grazyna, B., Jorge, P., Dominik, S., Ilona, G., Joanna, O., dkk.
2021. Evaluation of The Inhibition of Monoamine Oxidase A by Bioactive
Coffee Compounds Protecting Serotonin Degradation. Food Chemistry.
348 (1): 7-8.
Hall, S. 2016. Protective Effects of Caffein and Coffee Constituents In
Inflamatory Models of Depression. Thesis. School of Pharmacy. Griffith
University. Hal: 53-61.
Harborne, J. 1996. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Cetakan Kedua. Penerjemah: Padmawinata, K. dan I. Soediro.
Bandung: Penerbit ITB.

61
Harris, R. B. S., Jun, Z., Bradley, D. Y., Igor, I. R., Gennady, N. S., Donna, H., R.
1998. Effect of repeated stress on body weight and body composition of
rats fed low- and high-fat diets. The American Physiological Society. 275
(6): R1934.
Hritcu, L., Radu, I., Paula, A. P., Girish, K. G., Hasan, T., Tamires, C. L.,
Caroline, U. S. C., dkk. 2017. Antidepresant Flavonoids and Their
Relationship with Oxidative Stress. Review Article.
https://doi.org/10.1155/2017/5762172.
Kajbaf, F., Mojtaba, M., Mohammad, A. 2007. Mechanism Underlying Stress-
Induced Hyperglycemia in Critically Ill Patients. Therapy. 4 (1) : 102.
Katzung, B. G., Masters, S. B., Trevor, A. J. 2012. Basic & Clinical
Pharmacology 12th Edition. USA: The Mc Graw Hill. Hal: 590-604.
Keeney A., Jessop D. S., Harbuz M. S., Marsden C. A., Hogg S., Blackburn-
Munro R. E., 2006. Differential Effects of Acute and Chronic Social
Defeat Stress on Hypothalamic-Pituitary-Adrenal Axis Function and
Hippocampal Serotonin Release in Mice. J Neuroendocrinol. 18(5): 330-8.
Khusboo, S. B. 2017. Antidepressants: mechanism of action, toxicity, and
possible amelioration. Journal og Applied Biothecnology &
Bioengineering. 3 (5): 437-438.
Konduru, J., Vanita, P., Lavanya, S., Satya, F. M. 2014. A Review on
Antidepressant Drug. Advances in Pharmacoepidemiology & Drug Safety.
Vol. 3 (1): 1-2.
Kurama, N, P., Widdhi, B., Weny, W. 2013. Uji Efek Antidepresan Ekstrak
Metanol Jamur Tlethong (Psilocybe cubensis) Pada Tikus Putih Jantan
(Rattus norvegicus): ditinjau dari Immobility Time Dengan Metode Forced
Swim Test. Jurnal Ilmiah Farmasi. 2 (3): 31.
Loria, M. J., Zulfiqar, A., Naohito, A., Kenneth, J., S., Ikhlas, A., K. 2014. Effects
of Sceletium tortuasum in Rats. Journal of Ethnopharmacology. 155
(2014): 734-735.
Lumongga, N. 2016. Depresi Tinjauan Psikologis. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Miller, A. H., Maletic, V., Raison, C. L. 2009. Inflamation and Its Discontents:
The Role of Cytokines In The Patophysiology of Major Depresi. Bio
Psychiatry. 65 (9): 732-741.
Murni, A. W. 2020. Kadar Kortisol Plasma pada Dispepsia Fugsional dengan
Gangguan Psikosomatik. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia. 7 (1): 16-20.
Olanrewaju, A., T. (2015). The Open Field and Animal Behaviour. Tesis. Ladoke
Akintola University of Technology.
Olchanski, N., Myers, M. M., Halseth, M., Cyr, P. L., Bockstedt, L., Goss, T. F.,
Howland, R. H. 2013. The Economic Burden of Treatment-Resistant
Depression. Clinical Therapeutics. 35(4), 512.
Pamilutsih, P. M. 2017. Antideprsan Kombinasi Ekstrak Etanol Bungan Cengkeh
(Syzygium aromaticum) dan Estrak Aseton Kulit Pisang (Musa

62
paradisiaca) Terhadap Peningkatan Aktivitas Lokomotor dan Penurunan
Immobility Time pada Mencit. Publikasi Ilmiah. Fakultas Farmasi.
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Halaman: 3-5.
Panggabean, E. 2011. Buku Pintar Kopi. Jakarta: AgroMedia Pustaka.
Patat, A., dkk. 2000. Effects of a New Slow Release Formulation of Caffeine on
EEG, Pshycomotor and Cognitive Fungtions in Sleep-Deprived Subjects.
Human Pshychopharmacology. Vol. 15 :153-170.
Patay, E., B., Timea, B., dan Nora, P. 2016. Pyhtochemical Overview and
Medicinal Importance of Coffea Species From The Past Until Now. Asian
Pacific Journal of Tropical Medicine. 9 (12): 1127-1129.
Petzer, A., Anke, P., Jacobus, P. P. 2013. The interactions of caffeine with
monoamine oxidase. Life Sciences. 93 (7): 283–287.
Prusty, B.K., Kiran, B., Bhargavi, V., Subudhi, S. K. 2012. Anti-Ulcer
Investigation of the Different Extract of Bark of Bauhinia Variegata Linn
(Caesalpiniaceae) by Pyloric Ligation & Aspirin Plus Pyloric Ligation
Model. Int J Pharm Biol Sci. 2 (1): 248-262
Putri, A., W., Budhi, W., dan Arie, S., G. 2014. Kesehatan Mental Masyarakat
Indonesia (Pengetahuan, dan Keterbukaan Masyarakat Terhadap
Gangguan Kesehatan Mental). Prosiding KS: Riset & PKM. 2 (2): 252.
Rahardjo, P. 2012. Kopi Penebar Swadaya. Jakarta. Halaman 4-186.
Richard, J., Andrew, S. Caffeine consumption and self-assessed stress, anxiety,
and depression in secondary school children. Journal of
psychopharmacology. 29 (12): 1243-1244.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian RI tahun 2018.
http://www.depkes.go.id/resources/download/infoterkini/materi_rakorpop_2
0 18/Hasil%20Riskesdas%202018.
Rosyanti, L., Indriono, H., dan Fitriwijayati. 2018. Memahami Gangguan Depresi
Mayor (Major Depressive Disorder): Pendekatan Psikoneuroimunologi;
Kajian Sitokin, Tryptopan dan HPA-Aksis. Kendari: Jurusan
Keperawatan Poltekkes Kendari. Hal: 8-12.
Schweizer, M.C., Markus, S. H. H., Inge, S. 2009. Chronic Mild Stress (CMS) in
Mice: Of Anhedonia, ‘Anomalous Anxiolysis’ and Activity. PLoS ONE.
4 (1): 1.
Sentari, M. 2020. Perbandingan Efek Minyak Atsiri Daun Kemangi dan
Fluoxetine Sebagai Antidepresan pada Mencit Depresi Ditinjau dari Kadar
Kortisol dan Serotonin Darah. Ringkasan Dissertasi. Fakultas Kedokteran.
Universitas Sumatera Utara. Hal: 3-6; 28-29.
Shelton, R. C. 2009. Serotonine Norepinephrine Reuptake Inhibitors: Similarities
and Differences. Primary Psychiatry. 16 (5): 25-27.
Shimoya, A. T., Jose, R. S., Isabel, D. M., Ana, M. de O. e S., Illana. L. P., Jorge,
M., dkk. 2013. Antiulcerogenic Activity of Chlorogenic Acid in Different

63
Models of Gastric Ulcer. Naunyn-Schimiedeberg’s Archives of
Pharmacology. 386 (1): 5-12.
Smolinsky, A. N., Carisa, L. B., Justin, L. L., Allan, V. K. 2009. Analysis of
Grooming Behavior and Its Utility in Studying Animal Stress, Anxiety,
and Depression. Neuromethods. 42 (1): 21-36.
Souza, M. O., Lucas, F. S. G., Fernando, P. B., Claudia, H.P. 2017. Evaluation of
the Gastroprotective and Antioxidant Effects of Caffeine and Caffeic Acid
on Ethanol-Induced Gastric Ulcer. JSM Hepatitis. 2(1): 4.
Stanford, S., C. 2007. The Open Field Test: reinventing the wheel. Journal of
Psychopharmacology. 21 (2): 134-135.
Suhardjono, D. 1995. Percobaan Hewan Laboratorium. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press. Hal. 207.
Szabo, S., Trier, J. S., Brown, A., Schnoor, J., Homan, H. D., Bradford, J. C.
1985. A Quantitative Method for Assesing The Extent of Experimental
Gastric Erosions and Ulcers. Journal of Pharmacology and Toxicological
Methods. 13: 59-66
Szopa, A., Ewa, P., Elżbieta, W., Anna, S., Sylwia, W., Aleksandra, W., dkk. 2015.
Caffeine Enhances the Antidepressant-like Ativity of Common
Antidepressant Drug in the Forced Swim Test in Mice. Naunyn-
Schmiedeberg’s Arch Pharmacol. Doi: 10.1007/s00210-015-1189-z.
Tuomilehto J., Hu G., Bidel, S., Lindström, J., Jousilaht,i P. 2004. Coffee
consumption and risk of type 2 diabetes mellitus among middle-aged
Finnish men and women. JAMA. 291 (10) :1217-1218.
Valvassori, S. S., Varela, R. B., Quevedo, J. 2017. Animal Models of Mood
Disorders: Focus on Bipolar Disorder and Depression. Animal Models for
the Study of Human Disease. 995–1000. doi:10.1016/b978-0-12-809468-
6.00038-3.
Van Ast, V. A., Cornelisse, S., Marin, M. F., Ackermann, S., Garfinkel, S. N., &
Abercrombie, H. C. 2013. Modulatory mechanisms of cortisol effects on
emotional learning and memory: Novel perspectives.
Psychoneuroendocrinology. 38(9). 1874–1882.
Wells, B. G., Dipiro, J. T., Schwinghammer, T. L., Dipiro, C. V. 2012.
Pharmacotherapy Handbook Seventh Edition.New York: The McGraw-
Hill Companies. Hal: 712.
Wigati, E. I., Esti, P., Trisni, F. N., Novi, F. U. 2018. Uji Karakterisasi Fitokimia
dan Aktivitas Antioksidan Biji Kopi Robusta (Coffea canephora pierre)
dari Bogor, Bandung dan Garut dengan Metode DPPH (1,1-dyphenyl-2-
picryhydrazyl). Fitofarmaka Jurnal Ilmiah Farmasi. 8 (1): (59-64.
World Health Organization. 1992. Quality control methods for medicinal plant
materials. World Health Organization. Switherland: WHO. Halaman: 19-
25.

64
World Health Organization. 2012. Depression a Global Public Health Concern.
http://www.who.int/mediacentre/events/2012/wha65/journal/en/index4.ht
ml Accessed 16.6.20120.
World Health Organization. 2013. WHO-Traditional Medicine Strategy 2014-
2023. www.who.int/about/licensing/ copyright_form/en/index.html.
Wresdiyanti, T. M., Astwan, D., Fithriani, I. K., Adnyane, S., Novelina, Aryani,
S. 2007. Pengaruh α-Tokoferol Terhadap Profil Superoksida Dismutase
dan Malondialdehida pada Jaringan Hati Tikus di Bawah Kondisi Stres.
Jurnal Veterina. 202 (9).

65
LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat hasil identifikasi tumbuhan

66
Lampiran 2. Surat rekomendasi persetujuan etik penelitian kesehatan

67
Lampiran 3. Bagan kerja penelitian

Biji kopi robusta

Dipisahkan dari kulit hingga


bersih

Ditimbang

Berat basah = 6,5 kg

Disangrai biji kopi dengan cara


roasting pada suhu 2000C
Ditimbang
Berat kering = 2001 gram

Digiling dengan mesin


penggiling tingkat kehalusan 2
Ditimbang
Disimpan pada wadah tertutup
rapat

Berat serbuk simplisia = 1999,64 gram

Karakterisasi meliputi Skrining fitokimia Pembuatan ekstrak

meliputi Dimaserasi
dengan
etanol 96%

 kadar air  Alkaloid Ekstrak


 kadar sari larut air etanol
 Flavonoid
 kadar sari larut  Glikosida
etanol  Saponin Uji pada
 kadar abu total  Tanin mencit
 kadar abu tidak larut  Triterpen/
asam steroid
Hasil

68
Lampiran 4. Bagan pembuatan ekstrak etanol Coffea canephora

1999,64 gram serbuk simplisia

Dimasukkan ke dalam bejana


tertutup
Ditambahkan etanol 96% sampai
serbuk terendam sempurna
Direndam selama 5 hari terlindung
dari cahaya, sampai sesekali diaduk
Disaring

Maserat Ampas

Dimaserasi kembali
selama 2 hari dengan
pelarut etanol 96%

Maserat Ampas

Dipekatkan dengan rotary evaporator


Diuapkan di atas waterbath

Ekstrak kental = 265, 59


gram

69
Lampiran 5. Bagan uji aktivitas antidepresan ekstrak etanol coffea canephora.

Mencit

Kontrol EECC Kontrol Kontrol


normal: tanpa - Dosis 50 positif: negatif : CMC
induksi stres mg/kg BB Setralin 6,5 Na 0,5 %
- Dosis 100
dan perlakuan mg/kg BB
mg/kg BB
- Dosis 200
mg/kg BB

Diberikan paparan stres pada


hewan uji 14 hari dengan 2
macam stressor setiap hari
Diberikan sediaan secara oral
mulai hari ke-15 satu kali
sehari selama 10 hari.

Pengujian aktivitas antidepresan

Uji tail suspension Uji forced Uji open field test


test swimming test

Hasil Hasil Hasil

70
Lampiran 6. Gambar makroskopik Coffea canephora.

pohon kopi robusta

biji kopi robusta dan serbuk biji kopi robusta

71
Lampiran 7. Perhitungan penetapan kadar air

Simplisia Ekstrak
No Berat sampel Kadar air Berat sampel Kadar air
(gram) (ml) (gram) (ml)
1. 5,0410 0,2 5,0310 0,3
2. 5,0011 0,2 5,0021 0,5
3. 5,0313 0,3 5,0140 0,5

a. Simplisia

𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 (𝑚𝑙) 0,2 𝑚𝑙


1. % Kadar air I = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑔) x 100% = 5,0410 𝑔𝑟𝑎𝑚 x 100% = 3,96 %

𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 (𝑚𝑙) 0,2 𝑚𝑙


2. % Kadar air II = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑔) x 100% = 5,0011 𝑔𝑟𝑎𝑚 x 100% = 3,99 %

𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 (𝑚𝑙) 0,3 𝑚𝑙


3. % Kadar air III = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑔) x 100% = 5,0313 𝑔𝑟𝑎𝑚 x 100% = 5,96 %

(3,96+3,99+5,96)%
% Kadar air rata-rata simplisia = = 4,63 %
3

b. Ekstrak

𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 (𝑚𝑙) 0,3 𝑚𝑙


1. % Kadar air I = x 100% = x 100% = 5,96 %
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑔) 5,0310 𝑔𝑟𝑎𝑚

𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 (𝑚𝑙) 0,5 𝑚𝑙


2. % Kadar air II = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑔) x 100% = 5,0021 𝑔𝑟𝑎𝑚 x 100% = 9,99 %

𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 (𝑚𝑙) 0,5 𝑚𝑙


3. % Kadar air III = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑔) x 100% = 5,0140 𝑔𝑟𝑎𝑚 x 100% = 9,97 %

(5,96+9,99+9,97)%
% Kadar air rata-rata ekstrak = = 8,62 %
3

72
Lampiran 8. Perhitungan penetapan kadar abu total

Simplisia Ekstrak
No Berat sampel Berat abu Berat sampel Berat abu
(gram) (gram) (gram) (gram)
1. 2,0304 0,0810 2,4377 0,0611
2. 2,0100 0,0799 2,1459 0,0652
3. 2,0069 0,0753 2,2875 0,0721

a. Simplisia
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 0,0810
1. % Kadar abu total I = x 100% = 2,0304 x100%= 3,98 %
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 0,0799


2. % Kadar abu total II = x 100% = x100% = 3,97 %
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 2,0100

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 0,0753


3. % Kadar abu total III = x 100% = 2,0069 x 100%= 3,75 %
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

(3,98+3,97+3,75)%
% Kadar rata-rata abu total = = 3,90 %
3

b. Ekstrak
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 0,0611
1. % Kadar abu total I = x 100% = 2,4377 x 100%= 2,50 %
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 0,0652


2. % Kadar abu total II = x 100% = 2,1459 x 100% = 3,03 %
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 0,0721


3. % Kadar abu total III = x 100% = 2,2875 x 100% = 3,15 %
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

(2,50+3,03+3,15)%
% Kadar rata-rata abu total = = 2,89 %
3

73
Lampiran 9. Perhitungan penetapan kadar abu tidak larut asam.

Simplisia Ekstrak
No Berat sampel Berat abu Berat sampel Berat abu
(gram) (gram) (gram) (gram)
1. 0,0810 0,0006 0,0611 0,0004
2. 0,0799 0,0005 0,0652 0,0007
3. 0,0753 0,0006 0,0721 0,0006

a. Simplisia
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
1. % Kadar abu tidak larut asam I = x 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

0,0006
= x 100% = 0,74 %
0,0810

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙


2. % Kadar abu tidak larut asam II = x 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

0,0005
= x 100% = 0,62 %
0,0799

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙


3. % Kadar abu tidak larut asam III = x 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

0,0006
= x 100% = 0,79 %
0,0753

0,74+0,62+0,79
% Kadar rata-rata abu tidak larut asam = = 0,71 %
3

b. Ekstrak
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
1. % Kadar abu tidak larut asam I = x 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

0,000
= x 100% = 0,65 %
0,0611

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙


2. % Kadar abu tidak larut asam II = x 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

0,0007
= x 100% = 1,07 %
0,0652

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙


3. % Kadar abu tidak larut asam III = x 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

0,0006
= x 100% = 0,83%
0,0721

0,65+1,07+0,83
% Kadar rata-rata abu tidak larut asam = = 0,85 %
3

74
Lampiran 10. Perhitungan penetapan kadar sari larut dalam air

No Berat sampel (gram) Berat sari (gram)


1. 5,0030 0,3350
2. 5,0423 0,3305
3. 5,0010 0,4454

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑟𝑖 (𝑔) 100


1. % Kadar sari larut air I = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑔) x x 100%
20

0,3350 𝑔𝑟𝑎𝑚 100


= 5,0030 𝑔𝑟𝑎𝑚 x x 100%
20

= 33,47 %

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑟𝑖 (𝑔) 100


2. % Kadar sari larut air II = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑔) x x 100%
20

0,3305 𝑔𝑟𝑎𝑚 100


= 5,0423 𝑔𝑟𝑎𝑚 x x 100%
20

= 32,77 %

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑟𝑖 (𝑔) 100


3. % Kadar sari larut air III = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑔) x x 100%
20

0,4454 𝑔𝑟𝑎𝑚 100


= 5,0010 𝑔𝑟𝑎𝑚 x x 100%
20

= 44,53 %

(33,47+32,77+44,53)%
% Kadar rata-rata sari larut air = = 36,92 %
3

75
Lampiran 11. Perhitungan penetapan kadar sari larut dalam etanol

No Berat sampel (gram) Berat sari (gram)


1. 5,0611 0,1537
2. 5,0200 0,1116
3. 5,0010 0,1341

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑟𝑖 100


1. % Kadar sari larut etanol I = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 x x 100%
20

0,1537 100
= 5,0611 x x 100%
20

= 15,18 %

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑟𝑖 100


2. % Kadar sari larut etanol II = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 x x 100%
20

0,1116 100
= 5,0200 x x 100%
20

= 11,11 %

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑟𝑖 100


3. % Kadar sari larut etanol III = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 x x 100%
20

0,1341 100
= 5,0010 x x 100%
20

= 13,23 %

(17,87+17,01+17,69) %
% Kadar rata-rata sari larut etanol = = 17,52%
3

76
Lampiran 12. Gambar hasil karakterisasi fitokimia serbuk simplisia Coffea

canephora.

Alkaloid

Triterpen/steroid

Flavonoid Tanin

77
Lampiran 12. Gambar hasil karakterisasi fitokimia serbuk simplisia biji kopi

robusta (lanjutan)

Saponin

Glikosida

78
Lampiran 13. Gambar hasil karakterisasi fitokimia ekstrak Coffea canephora.

Alkaloid

Saponin

Flavonoid Streoid/triterpen

Glikosida Tanin

79
Lampiran 14. Hasil pembuatan ekstrak dan perhitungan randemen.

Ekstrak etanol biji kopi robusta

Perhitungan Redemen:

Berat ekstrak kental


Rendemen = x 100%
Bobot simplisia

265,59 gram
= 1999,64 gram x 100%

= 13,28 %

80
Lampiran 15. Gambar alat dan bahan.

Rotary evaporator Heidolph

Centrifuge

Mikroskop Boeco

81
Lampiran 15. Gambar alat dan bahan (lanjutan).

Timbangan analitik

Oral sunde+ spuit 1 ml

Alat bedah

Akuarium

82
Tiang Penjepit

Box

83
Lampiran 16. Gambar hewan

Mencit jantan

Mencit setelah dibedah

84
Lampiran 17. Tabel konversi dosis antara jenis hewan dengan manusia

(Suhardjono, 1995).

85
Lampiran 18. Perhitungan volume pemberian EECC dosis 50 mg/kgBB, EECC
dosis 100 mg/kgBB, EECC dosis 200 mg/KgBB, Sertralin 6,5 mg/KgBB, dan
CMC Na-0,5%
1. CMC Na 0,5 %
- Berat badan mencit = 30 gram
1
- Volume pemberian = 100 x 30 = 0,3 ml

- Skala = 0,3 ml x 100 skala = 30 skala


2. EECC dosis 50 mg/kg BB
- Berat badan mencit = 30 gram
1 gram
- Konsentrasi 1 % = = 10 mg/ml
100 ml
50 mg
- Dosis = x 30 gram = 1,5 mg
1000
1,5 mg
- Volume pemberian = 10 mg/ml = 0,15 ml

- Skala = 0,15 ml x 100 skala = 15 skala


3. EECC dosis 100 mg/kg BB
- Berat badan mencit = 30 gram
1 gram
- Konsentrasi 1 % = = 10 mg/ml
100 ml
100 mg
- Dosis = x 30 gram = 3 mg
1000
3 mg
- Volume pemberian = 10 mg/ml = 0,3 ml

- Skala = 0,3 ml x 100 skala = 30 skala


4. EECC dosis 200 mg/kg BB
- Berat badan mencit = 30 gram
1 gram
- Konsentrasi 1 % = = 10 mg/ml
100 ml
200 mg
- Dosis = x 30 gram = 6 mg
1000
6 mg
- Volume pemberian = 10 mg/ml = 0,6 ml

- Skala = 0,6 ml x 100 skala = 60 skala


5. Sertralin 6,5 mg/kg BB
- Berat badan mencit = 30 gram
0,5 gram
- Konsentrasi 0,5 % = = 5 mg/ml
100 ml
6,5 mg
- Dosis = x 30 gram = 0,195 mg
1000

86
Lampiran 18. Perhitungan volume pemberian EECC dosis 50 mg/kgBB, EECC
dosis 100 mg/kgBB, EECC dosis 200 mg/KgBB, Sertralin 6,5 mg/KgBB, dan
CMC Na-0,5% (lanjutan).
0,195 mg
- Volume pemberian = = 0,039 ml
5 mg/ml

- Skala = 0,039 ml x 100 skala = 3,9 skala

87
Lampiran 19. Perhitungan Konversi Dosis

1. EECC dosis 50 mg/kgbb

- Berat badan mencit = 20 gram

- Faktor konversi dari tabel manusia ke mencit = 387,9

- Dosis absolute = dosis mencit (mg/kgbb) x bb mencit (kg)

= 50 mg/kgbb x 0,02 kg

= 1,5 mg/kgbb

- Dosis untuk manusia = Dosis absolute x faktor konversi

= 1 mg/kgbb x 387,9

= 387,9 mg/ 70 kgbb manusia

= 5,54 mg/kgbb manusia

2. EECC dosis 100 mg/kgbb

- Berat badan mencit = 20 gram

- Faktor konversi dari tabel manusia ke mencit = 387,9

- Dosis absolute = dosis mencit (mg/kgbb) x bb mencit (kg)

= 100 mg/kgbb x 0,02 kg

= 2 mg/kgbb

- Dosis untuk manusia = Dosis absolute x faktor konversi

= 2 mg/kgbb x 387,9

= 775,8 mg/ 70 kgbb manusia

= 11,08 mg/kgbb manusia

3. EECC dosis 200 mg/kgbb

- Berat badan mencit = 20 gram

- Faktor konversi dari tabel manusia ke mencit = 387,9

88
- Dosis absolute = dosis mencit (mg/kgbb) x bb mencit (kg)

= 200 mg/kgbb x 0,02 kg

Lampiran 19. Perhitungan Konversi Dosis (lanjutan).

= 4 mg/kgbb

- Dosis untuk manusia = Dosis absolute x faktor konversi

= 4 mg/kgbb x 387,9

= 1551,6 mg/ 70 kgbb manusia

= 22,16 mg/kgbb manusia

89
Lampiran 20. Data hasil pengamatan mencit.

Immobility TST
Kelompok H-0 H-14 H-24
Negatif 55 137 211
Negatif 54 206 252
Negatif 47 222 251
Negatif 71 144 244
Kopi 52 106 100
50mg/kgbb
Kopi 28 61 161
50mg/kgbb
Kopi 72 113 74
50mg/kgbb
Kopi 26 135 120
50mg/kgbb
Kopi 52 149 141
100mg/kgbb
Kopi 29 79 62
100mg/kgbb
Kopi 25 134 100
100mg/kgbb
Kopi 67 170 100
100mg/kgbb
Kopi 45 191 32
200mg/kgbb
Kopi 45 125 129
200mg/kgbb
Kopi 116 130 49
200mg/kgbb
Kopi 29 183 100
200mg/kgbb
Positif 85 187 71
Positif 57 106 100
Positif 56 135 51
Positif 16 149 87
Normal 38 38 40
Normal 77 75 77
Normal 52 54 52
Normal 36 38 38

Tabel data Immobility time TST

90
Lampiran 20. Data hasil pengamatan mencit (lanjutan).

Immobility FST
Kelompok H-0 H-14 H-24
Negatif 21 171 229
Negatif 113 189 197
Negatif 101 191 204
Negatif 95 220 272
Kopi 30 254 159
50mg/kgbb
Kopi 105 248 184
50mg/kgbb
Kopi 80 140 167
50mg/kgbb
Kopi 121 178 97
50mg/kgbb
Kopi 32 132 186
100mg/kgbb
Kopi 135 184 122
100mg/kgbb
Kopi 121 251 123
100mg/kgbb
Kopi 42 288 99
100mg/kgbb
Kopi 129 214 127
200mg/kgbb
Kopi 86 201 98
200mg/kgbb
Kopi 33 158 159
200mg/kgbb
Kopi 93 189 138
200mg/kgbb
Positif 38 160 73
Positif 48 180 134
Positif 57 228 148
Positif 64 283 165
Normal 27 35 37
Normal 107 49 52
Normal 57 59 67
Normal 46 53 46

Tabel data immobility time FST

91
Lampiran 20. Data hasil pengamatan mencit (lanjutan).

CENTRAL SQUARE OFT


Kelompok H-0 H-24 Central Square
Ekstrak
Negatif 36 9 6
Negatif 16 3 2
Negatif 80 18 10
Negatif 47 17 10
Kopi 33 17 28
50mg/kgbb
Kopi 27 9 37
50mg/kgbb
Kopi 8 15 21
50mg/kgbb
Kopi 13 15 26
50mg/kgbb
Kopi 65 8 35
100mg/kgbb
Kopi 45 13 24
100mg/kgbb
Kopi 45 6 21
100mg/kgbb
Kopi 10 21 39
100mg/kgbb
Kopi 61 10 23
200mg/kgbb
Kopi 18 13 36
200mg/kgbb
Kopi 18 8 33
200mg/kgbb
Kopi 9 7 42
200mg/kgbb
Positif 21 12 57
Positif 93 6 12
Positif 50 6 49
Positif 8 16 20
Normal 31 31 33
Normal 33 31 34
Normal 23 28 36
Normal 22 20 27

Tabel data lokomotor OFT secara central square

92
Lampiran 20. Data hasil pengamatan mencit (lanjutan).

CROSS OFT
Kelompok H-0 H-14 H-24
Negatif 97 84 50
Negatif 87 54 24
Negatif 62 97 31
Negatif 134 78 38
Kopi 137 100 103
50mg/kgbb
Kopi 121 62 135
50mg/kgbb
Kopi 149 43 167
50mg/kgbb
Kopi 115 96 130
50mg/kgbb
Kopi 159 31 140
100mg/kgbb
Kopi 135 57 140
100mg/kgbb
Kopi 120 92 80
100mg/kgbb
Kopi 122 52 198
100mg/kgbb
Kopi 61 34 138
200mg/kgbb
Kopi 77 38 128
200mg/kgbb
Kopi 115 85 111
200mg/kgbb
Kopi 112 96 194
200mg/kgbb
Positif 124 91 134
Positif 165 44 168
Positif 72 60 90
Positif 53 67 170
Normal 124 131 128
Normal 124 127 124
Normal 156 145 150
Normal 101 109 113

Tabel data lokomotor OFT secara crossing

93
Lampiran 20. Data hasil pengamatan mencit (lanjutan).

GROOMING OFT
Kelompok Grooming Grooming Grooming
Normal Stres Ekstrak
Negatif 12 42 88
Negatif 5 92 59
Negatif 7 67 74
Kopi 2 35 10
50mg/kgbb
Kopi 17 44 17
50mg/kgbb
Kopi 5 57 37
50mg/kgbb
Kopi 3 30 23
100mg/kgbb
Kopi 0 47 16
100mg/kgbb
Kopi 11 64 13
100mg/kgbb
Kopi 1 26 25
200mg/kgbb
Kopi 10 48 12
200mg/kgbb
Kopi 3 58 10
200mg/kgbb
Positif 8 28 20
Positif 28 65 17
Positif 0 53 14
Normal 4 2 3
Normal 2 1 2
Normal 7 4 4

Tabel data lokomotor OFT secara grooming

94
Lampiran 21. Gambar analisa data berat badan mencit.

95
Lampiran 21. Gambar analisa data berat badan mencit (lanjutan).

96
Lampiran 21. Gambar analisa data berat badan mencit (lanjutan).

97
Lampiran 22. Gambar analisa data uji tail suspension test (TST).

98
Lampiran 22. Gambar analisa data uji tail suspension test (TST) (lanjutan).

99
Lampiran 22. Gambar analisa data uji tail suspension test (TST) (lanjutan).

100
Lampiran 23. Gambar analisa data uji forced swimm test (FST).

101
Lampiran 23. Gambar analisa data uji forced swimm test (FST) (lanjutan).

102
Lampiran 23. Gambar analisa data uji forced swimm test (FST) (lanjutan).

103
Lampiran 24. Gambar analisa data uji open field test (OFT).

a. Central square

104
Lampiran 24. Gambar analisa data uji open field test (OFT) (lanjutan).

105
Lampiran 24. Gambar analisa data uji open field test (OFT) (lanjutan).

106
Lampiran 24. Gambar analisa data uji open field test (OFT) (lanjutan).

b. Crossing

107
Lampiran 24. Gambar analisa data uji open field test (OFT) (lanjutan).

108
Lampiran 24. Gambar analisa data uji open field test (OFT) (lanjutan).

109
Lampiran 24. Gambar analisa data uji open field test (OFT) (lanjutan).

c. Grooming

110
Lampiran 24. Gambar analisa data uji open field test (OFT) (lanjutan).

111
Lampiran 24. Gambar analisa data uji open field test (OFT) (lanjutan).

112
Lampiran 25. Gambar analisa data pengukuran kadar glukosa darah.

113
Lampiran 25. Gambar analisa data pengukuran kadar glukosa darah (lanjutan).

114

Anda mungkin juga menyukai