Bab II - Kriteria Perencanaan
Bab II - Kriteria Perencanaan
Detail Desain Embung Gamang dan Jaringan Irigasinya Di Kab. Lombok Tengah
BAB II
KRITERIA PERENCANAAN
2.1. Pembebanan
Analisis stabilitas merupakan perhitungan stabilitas bangunan berdasarkan pada
jenis bahan bangunan serta geologi bangunan tersebut ditempatkan. Stabilitas
suatu bangunan ditentukan oleh kondisi tanah yang menahan beban bangunan
tersebut. Kemampuan tanah dalam memikul bangunan diatasnya tergantung pada
sifat, jenis dan pengaruh terhadap gaya luar.
Analisis stabilitas pelimpah ditentukan oleh gaya-gaya yang bekerja pada bangunan
pelimpah antara lain (KP-02, 1986):
1. Tekanan air
a. Tekanan hidrostatik
Persamaan yang digunakan sebagai berikut (KP-06, 1986):
Ph 1
2 . γw . H 2
dengan :
Ph = tekanan hidrostatik (t/m)
γw = berat volume air (t/m3)
H = tinggi air (m)
Titik berat gaya pada 1 (m)
3 H
b. Tekanan hidrodinamik
Persamaan yang digunakan sebagai berikut (KP-06, 1986):
7
Pd γ w H 2 Kh
12
dengan :
Pd = tekanan hidrostatik (t/m)
γw = berat volume air (t/m3)
H = tinggi air (m)
Kh = koefisien gempa
Titik berat gaya pada
2
5 H (m)
2. Tekanan tanah
a. Tekanan tanah aktif
Persamaan yang digunakan sebagai berikut (KP-06, 1986):
1
Pa H 2 γ t Ka
2
dengan:
Pa = Tekanan tanah aktif (t/m)
γt = Berat volume tanah (t/m3)
Ka = Koefisien tekanan tanah aktif
H = kedalaman tanah untuk tekanan tanah aktif (m)
Titik berat gaya pada 13 H (m)
b. Tekanan tanah pasif
Persamaan yang digunakan sebagai berikut (KP-06, 1986):
1
Pp H 2 γ t Kp
2
dengan:
c. Tekanan sedimen/Lumpur
Tekanan sedimen ini akan terjadi setelah bendung beroperasi sehingga
didepan bendung tertutup endapan lumpur atau sedimen setinggi ambang
bendung.
Persamaan yang digunakan sebagai berikut (KP-06, 1986):
1
Ps γ s γ w Cs H 2
2
dengan:
Ps = Tekanan sedimen (t/m)
γs = Berat volume sedimen (t/m3)
Cs = Koefisien tekanan tanah
H= kedalaman air(m)
Titik berat gaya pada
1
3 H (m)
3. Beban mati
Beban mati adalah berat sendiri dari struktur termasuk material pengisinya.
Menurut Standar nasional Indonesia, berat satuan dari berbagai material
diuraikan sebagai berikut:
Tabel 2.1 Berat Satuan Material
Berat Satuan
No Jenis Material
(t/m3)
1 Baja 7.85
2 Batu galian, batu kali (tidak dipadatkan) 1.50
3 Batu koral 7.25
4 Besi tuang 0.70
5 Beton 2.20
6 Beton bertulang 2.40
7 Kayu kelas I 1.00
8 Kayu kelas II 0.80
9 Kerikil 1.65
10 Mortal/adukan 2.15
11 Pasangan Bata 1.70
12 Pasangan batu 2.20
13 Pasir (kering udara sampai lengas) 1.60
14 Pasir (basah) 1.80
15 Air 1.00
16 Tanah lempung dan lanau (kering udara sampai lengas) 1.70
17 Tanah lempung dan lanau (basah) 2.00
Sumber : KP – 06
a. Berat bangunan
Persamaan yang digunakan sebagai berikut (KP-06, 1986):
Wt W1 W2 . . . Wn
W V γp
dengan:
Wt = Berat bangunan total (t)
W1, W2, . . . ,Wn= Berat bagian-bagian bangunan (t)
V = Volume bangunan (m3)
γp = Berat volume bangunan (t/m3)
b. Berat air
Persamaan yang digunakan sebagai berikut (KP-06, 1986):
Ww V γ w
dengan:
Ww = Berat air (t)
V = Volume air (m3)
γw = Berat volume air (t/m3)
4. Beban gempa
Persamaan yang digunakan sebagai berikut (KP-06, 1986):
kw kh . W
dengan:
kw = Gaya gempa (t)
kh = Koefisien gempa
W = Berat bangunan (t)
Berdasarkan peta Zona Gempa Indonesia, Pulau Lombok tergolong dalam Zona
C. Perhitungan koefisien gempa dijelaskan sebagai berikut:
Z = 0.75 (Zona C =0.60 – 0.90)
Ac = 0.196 (periode ulang 50 tahun)
b1 = 1.1 (jenis tanah Alluvial)
Ad = 0.75 x 196 x 1.1 = 161.7
K = 161.7/981 = 0.165
Berdasarkan data teknis, koefisien gempa direncanakan adalah Kh = 0,165.
Akibat adanya rembesan di bawah tubuh embung, maka setiap titik pada konstruksi
akan menerima tekanan baik ke atas maupun ke samping yang disebut dengan
daya angkat (uplift pressure). Pada lantai hulu, karena di atasnya selalu ada air
minimal setinggi mercu yang akan mengimbangi tekanan ke atas, disamping
tekanan pada daerah ini masih relatif kecil, maka secara praktis tekanan pada
daerah ini tidak berbahaya dan dapat diabaikan. Dengan demikian lantai hulu ini
tidak perlu terlalu tebal. Yang penting lantai ini haruslah kedap air dan tidak mudah
pecah, sehingga fungsinya untuk memperpanjang jalur rembesan tetap terpenuhi.
Pada lantai hilir (kolam olakan) kondisinya lebih berbahaya terutama karena
tekanan rembesan pada daerah ini relatif lebih besar dan di atas lantainya sering
kosong (tidak ada air) atau lapisan airnya relatif tipis. Dengan demikian maka tebal
lantai kolam ini harus diperhitungkan agar jangan sampai terdorong ke atas, yang
harus diimbangi oleh berat lantai itu sendiri. Besarnya tekanan tersebut ditentukan
dengan persamaan (KP-02, 1986) :
Ix
Px H x . ΔH
L
dimana :
Px = daya angkat pada titik X, (t/m)
Hx = tinggi energi di hulu bendung sampai titik X (m)
Ix = panjang jalur rembesan sampai dengan titik X (m)
L = panjang jalur rembesan total (m)
H = beda tinggi energi total (m)
Untuk mengetahui apakah tebal lantai kolam olakan aman atau tidak, maka ditinjau
pada titik yang paling kritis yakni dengan tebal kolam olak paling tipis. Pada saat air
normal, di atas lantai dianggap tidak ada air. Maka tekanan ke atas adalah Px,
sedangkan tekanan ke bawah adalah berat lantai pada titik yang bersangkutan. Tiap
bagian bangunan diandaikan berdiri sendiri dan tidak mungkin ada distribusi gaya-
gaya melalui momen lentur. Oleh sebab itu, tebal lantai kolam olak dihitung dengan
rumus sebagai berikut (KP-02, 1986):
Px Wx
dx S
γ
dimana:
dx = tebal lantai pada titik X, m
Px = gaya angkat pada titik X, kg/m2
Wx = kedalaman air pada titik X, m
γ = berat jenis bahan, kg/m3
S = faktor keamanan
e
M L
V 2
max
V 1 6e
L L
dengan:
σmax = daya dukung maksimum (t/m2),
ΣM = Σ Mh – ΣMv (tm),
ΣV = jumlah gaya-gaya vertikal (ton),
σ = daya dukung yang diijinkan (t/m2),
e = eksentrisitas akibat beban yang bekerja (m).