Anda di halaman 1dari 5

Nama : Sinta Nuria

NBI : 1221900068
No Absen : 24
Mata Kuliah: Etika Profesi dan Bisnis
Kelas :G

Cari pendapat dari peneliti terdahulu, yang bisa diambil dari teori atau dari jurnal penelitian dan buat kesimpulannya
tentang Prinsip Integritas Moral.

Jawaban :
Olson (1998a: 22-23) mendefinisikan integritas moral berdasarkan definisi yang dibuat oleh Stephen L.Carter. Kemudian
konsep tersebut disatukan dengan domain moral psikologis yang dibangun oleh beberapa ahli psikologi, seperti konsep Colby dan
Damon (moral eksemplar didefisikan sebagai individu yang memiliki kesatuan moral) dan Blasi (teori integritas antara personal
afektif, kognitif dan perilaku dengan keyakinan moralnya). Berdasarkan sumber-sumber tersebut, Olson (1998a: 2) mendefinisikan
bahwa integritas moral merupakan kesatuan moral yang dibangun oleh dua komponen utama, yaitu komponen filosofis dan psikologis.
Integritas moral merupakan konstruk yang sangat kompleks, yang ditampilkan melalui koherensi atau hubungan antar komponen
filosofis dan psikologis. Integritas moral terjadi ketika seseorang merasakan kesatuan dan keseimbangan antara perasaan dengan apa
yang diyakininya; menampilkan perilaku yang konsisten dengan keyakinannya di setiap situasi; mengetahui banyak batasan atau
aturan dan dapat memertimbangkan berbagai konsekuensi dan perilakunya itu; tidak malu untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan
mengenai moral kepada orang; berusaha memberi saran dan mengingatkan orang lain dalam bermoral, bahkan menampilkan sikap
bermoral agar diikuti oleh orang-orang disekitarnya. Pada akhirnya, seseorang tersebut dapat memiliki rasa tanggung jawab dalam
bermoral. Integritas moral merupakan moral yang paling menyeluruh dan melibatkan kejujuran, kesadaran dan penalaran mengenai
motif dan keyakinan moral pada seseorang (Olson, 1998a: 3-4).
Agus Abdul Rahman (2013) juga berpendapat bahwa salah satu keutamaan moral yang dianggap penting adalah integritas
moral. Integritas moral merupakan salah satu ciri dari orang yang paripurna (Damon, 1996) dan merupakan nilai yang sangat
mendasar untuk diteliti secara empiris (Collier, 1997).
Olson (1998a: 11) menyimpulkan bahwa integritas moral dihasilkan berkat kecenderungan psikologis yang membantu individu
dalam memahami perilaku yang baik dan salah. Perkembangan tersebut diimbangi dengan pengalaman sosial yang ikut menguatkan
identitas moral tersebut. Sosial di sini adalah orang-orang di sekelilingnya seperti keluarga, teman bahkan budaya yang melibatkan
lebih banyak orang.
Power (dalam Olson, 1998a: 33) menjelaskan bahwa integritas moral merupakan kesatuan antara domain moral (secara
filosofis) dengan domain personal yang ada dalam diri individu (secara psikologis). Misalnya, moral yang berkembang di masyarakat
diyakini oleh individu sebagai sesuatu yang benar, maka perasaan dan tingkah laku individu mengikuti apa yang diyakininya sebagai
kebenaran moral tersebut.
Power (dalam Olson, 1998a: 34) mengemukakan bahwa integritas moral sama sekali tidak berhubungan dengan penalaran moral
Kohlberg. Sama halnya dengan Erikson, Kohlberg melibatkan perkembangan dalam penalaran moral. Pada tahapan penalaran moral
keenam, seseorang dapat berpikir rasional membedakan mana yang benar dan salah sesuai dengan komitmen individu. Komitmen
individu juga terdapat dalam pembahasan integritas moral, namun komitmen Kohlberg berbeda dengan komitmen dalam integritas
moral. Dalam perspektif psikologis, integritas moral dihasilkan dari moral agency, yakni kombinasi antara moral feelings, moral
behavior dan moral reasoning dengan conviction (komitmen atau penegasan). Conviction merupakan kunci dalam integritas moral.
Dalam integritas moral, Individu mampu menyelaraskan perasaan, pikiran dan tingkah lakunya sesuai dengan komitmennya, bukan
hanya pikiran saja yang diselaraskan dengan komitmen seperti yang diteliti oleh Kohlberg.
Jimmy Effan (2001) dalam bukunya yang berjudul “a. Mind Set Free” mengemukakan bahwa ada empat pilar Integritas Moral
yaitu : (1) Accountability (Bertanggung jawab), setiap orang membutuhkan pertanggungjawaban atas tindakannya dan masukan dari
orang lain. Karena, bertanggung jawab akan melindungi diri seseorang dari godaan dan berbuat buruk, (2) Righteous Fellowship
( Berkawan dengan orang yang membawa kita ke jalan yang benar), hal tersebut agar kita tidak terjerumus atau dijerumuskan ke jalan
kejahatan. Karena tidak jarang seseorang yang mengikuti kelompok yang salah, mereka menjadi menghilangkan dan merusak
kebiasaan baik, (3) Honesty ( Kejujuran), kejujuran akan membuat kita bebas. Maksud bebas disini kita tidak perlu membenarkan hal
yang pada dasarnya salah dan jujur pada diri kita sendiri agar ketika melakukan sesuatu sesuai dengan norma yang berlaku. Jimmy
Effan sering menemukan banyak orang yang tetap membenarkan perzinahan padahal sudah jelas hal tersebut adalah dosa. Mereka
seringkali membawa tuhan dalam mengemukakan alasan palsunya. Disini, Jimmy Effan merasa miris dan semakin yakin bahwa
kejujuran adalah kunci agar kita terbebas dari kemadharatan, (4) Humility (rendah hati). Kerendahan hati dilakukan oleh Jimmy Effan
ketika dia tetap menjalin hubungan baik dengan kawannya yang telah berbuat dosa. (Effan, 2001).
Halfon (1989 dalam Olson, 1998a: 20) menjelaskan bahwa orang yang memiliki integritas moral berarti individu bertanggung
jawab terhadap dirinya dan hidup sesuai dengan keyakinannya. Individu harus dapat mengidentifikasi moral, menelitinya dan
bertindak secara sadar berdasarkan keyakinannya.
Menurut Miller & Schlencker (dalam Dunn, 2009) terdapat tiga dimensi dalam integritas moral diantaranya adalah: (1)
mengutamakan pentingnya keberadaan prinsip sebagai bagian dari konsep dirinya; (2) menggambarkan diri sendiri berperilaku lebih
konsisten dengan prinsipprinsip mereka; (3) secara lebih kuat akan lebih memilih karakter yang berprinsip melampaui segalanya.
Socrates (dalam Olson 1998a: 28-30) menjelaskan beberapa karakter kepribadian yang mencerminkan kegagalan atau
ketidakseimbangan moral integrity. Karakterkarakter tersebut diantaranya adalah:
1) Self-righteous. Karakter ini mengklaim bahwa dia memiliki moral integrity, tapi sebenarnya tidak. Individu
berkomitmen untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, namun hal ini bukan dihasilkan dari konsistensi antar elemen moral
integrity, tetapi dihasilkan dari image isu moral itu. Kata lainnya, ia hanya ikut-ikutan dalam melaksanakan moral yang sedang
berkembang di sekitarnya. Sedangkan orang yang memiliki moral integrity berkonsentrasi bahwa keyakinan itu merupakan kunci
untuk melakukan atau menolak suatu tingkah laku. Jadi karakter self-righteous ini merupakan orang yang tidak konsisten karena
keyakinannya hanya berdasarkan isu yang sedang hangat saja.
2) Weak-willed. Karakter ini adalah individu yang memiliki niat moral yang baik, namun mereka gagal dalam tingkah
lakunya. Hal ini dikarenakan mereka kurang berani dan konsisten untuk menghadapi kesulitan. Mereka juga kurang terbuka untuk
menampilkan keputusan melaksanakan tingkah laku yang sesuai dengan keyakinannya. Pada orang dengan integritas moral, mereka
akan selalu menyesuaikan tingkah laku dan keyakinannya serta berani menghadapi konsekuensi demi terwujudnya kekonsistenan
perilaku.
3) Self-deceptive. Karakter ini adalah individu yang gagal menilai dirinya sendiri, gagal menilai keinginan dan tujuan
hidupnya. Kegagalan ini juga disertai dengan tingkah laku yang tidak sesuai dengan keyakinannya. Mereka hanya memiliki integritas
internal, meyakini bahwa dirinya adalah orang yang memiliki moral integrity, padahal tingkah lakunya tidak mencerminkan moral
integrity tersebut. Sehingga karakter ini dianggap menipu identitas moralnya sendiri karena ia gagal menilai dirinya sendiri atau
menyangkal bahwa sebenarnya keyakinan dengan perilaku moralnya itu berbeda. Orang yang memiliki moral integrity mampu
menilai dirinya sendiri dan memiliki perilaku yang konsisten dengan keyakinannya.
4) Hypocritical. Karakter ini berusaha menampilkan kepada orang lain sebagai orang yang memiliki integritas moral,
padahal ia menyadari bahwa sebenarnya ia tidak seperti itu. Karakter ini hanya memiliki integritas eksternal karena berusaha untuk
menampilkan citra yang baik itu kepada orang lain. Sedangkan orang yang memiliki moral integrity selalu menyesuaikan antara
keyakinan dengan apa yang ditampilkan di hadapan orang lain.
Beberapa teoritikus lain juga menjelaskan mengenai karakteristik individu yang memiliki integritas moral rendah, diantaranya
adalah:
1) Menurut Halfon: inkonsisten dalam dirinya, tidak tulus, munafik, mementingkan diri sendiri dan menipu diri sendiri
(gagal menilai integritas moral dirinya sendiri).

2) Menurut Plato: kurang memiliki kebijaksanaan (kurang mengakui kesalahan), kurang berani dan kurang memiliki
pengendalian diri. Orang dengan moral yang pecah adalah orang yang memiliki kesulitan untuk mengevaluasi seluruh alternatif
tindakan moral, menolak dalam mengambil pertimbangan-pertimbangan yang relevan, gagal menilai motif moral mereka sendiri dan
keinginan yang tidak terbendung. Mereka juga gagal memertahankan komitmen moral ketika menghadapi kesulitan atau godaan.

3) Menurut Ustein: individu yang tidak memiliki integritas moral adalah individu yang memanjakan dirinya sendiri (self-
indulgent), orang yang lemah menunjukan moralnya di depan orang lain (weak-willed), menipu diri (self-deceptive) dan munafik
(hypocrytical) yang ditunjukan dengan perasaan bersalah, malu, iri hati, kedengkian, kesombongan, kemarahan atau kebencian.(dalam
Olson, 1998a: 126)

Schöttl (2015) menjelaskan perbedaan umum dari istilah integritas sering kali ditarik antara integritas pribadi dan moral.
Integritas pribadi mengacu pada individu yang berkomitmen terhadap nilai dan prinsip pribadi, sedangkan integritas moral
menggambarkan kepatuhan terhadap nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip.Jelas kedua pengertian dapat tumpang tindih karena nilai
pribadi seseorang juga bisa bersifat moral. Tetapi untuk integritas moral, integritas pribadi dianggap sebagai prasyarat.

Jadi dapat disimpulkan bahwa integritas moral dihasilkan berkat kecenderungan psikologis yang membantu individu dalam memahami
perilaku yang baik dan salah. Perkembangan tersebut diimbangi dengan pengalaman sosial yang ikut menguatkan identitas moral tersebut. Sosial
di sini adalah orang-orang di sekelilingnya seperti keluarga, teman bahkan budaya yang melibatkan lebih banyak orang. Selain itu,
tindakan berintegritas moral harus mengacu kepada prinsip dan nilai moral yang objektif, terlepas dari kerangka individu, sosial,
maupun organisasi. Obyektivitas prinsip dan nilai moral itu mengandaikan bahwa prinsip dan nilai moral itu berada terlepas dari
kesadaran manusia sehingga eksistensinya berdiri secara otonom dari eksistensi manusia. Pada prinsip integritas moral menekankan
untuk tidak merugikan orang lain dalam segala tindakan yang diambil. Prinsip ini menekankan bahwa setiap orang memiliki harkat
dan martabat yang harus dihormati. Jadi menurut penulis prinsip integritas moral telah menjadi salah satu istilah penting dalam etika
bisnis yang terus dibahas dan digunakan penerapannya dalam organisasi karna tidak sedikit organisasi yang memasukkan pengertian
tersebut di dalam kode etiknya yang menjadi acuan bagi anggotanya dari tingkat manajemen puncak hingga pelaksana lapangan dalam
berperilaku. Prinsip integritas moral itu sendiri haruslah dibangun di atas nilai moral universal sehingga tindakan yang dilakukan
seturut prinsip moral itu benarbenar bernilai etis. Itulah sebabnya tidak mudah mengatakan suatu tindakan seseorang sebagai
berintegritas. Integritas bukan sekadar istilah yang merujuk pada perilaku etis, tetapi lebih jauh dalam lagi, integritas mengandaikan
tingkat pemahaman moral yang universal yang secara rasional dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini membawa implikasi bahwa tidak
setiap perilaku etis dapat dinilai sebagai tindakan berintegritas dan hanya perilaku etis yang dilakukan atas dasar prinsip dan nilai
moral universal yang dapat dikatakan berintegritas moral.

Daftar Pustaka
Anggara Wisesa,(2011),”Integritas Moral dalam Konteks Pengambilan Keputusan Etis”, Jurnal Manajemen Teknologi”, 10(1), 82-
92 Artikel ini tersedia di :
https://media.neliti.com/media/publications/119651-ID-integritas-moral-dalam-konteks-pengambil.pdf .
Ramalia, R. 2018. “Hubungan Integritas Moral dengan Perilaku Seksual Pra-nikah pada mahasiswa di Kota dan Kabupaten
Bandung”. Diploma thesis. Bandung : UIN Sunan Gunung Djati. Artikel ini tersedia di : http://digilib.uinsgd.ac.id/9984/

Anda mungkin juga menyukai