Anda di halaman 1dari 33

Moralitas dan Humor dalam

Sosiopragmatik
Dina Sari Hardiyanti Lutfi Fadilla
MORALITAS
19.2 An Overview of the Moral Order and Morality
Konsep norma dan nilai
Frese (2015) Norma dan nilai berkaitan dengan praktik budaya. Norma
sebagai entitas yang mendefinisikan bagaimana orang berpikir dan
berperilaku dalam konteks atau hubungan interpersonal tertentu (Norma
mencakup praktik-praktik rutin). Sedangkan Nilai-nilai sebagai entitas
yang abstrak. Dengan demikian nilai-nilai berada di dalam diri seseorang,
sedangkan norma-norma dan praktik-praktik budaya sebagian besar
dipandang di luar diri seseorang.

Perbedaan norma dan nilai diringkas dengan menyatakan bahwa Nilai bersifat
abstrak dan tidak terikat pada perilaku, sedangkan norma lebih spesifik.
19.2.1 The Moral Order
Tatanan Moral

Garfinkel (1964) tatanan moral didasarkan pada pendekatan etnometodologisnya terhadap tatanan
sosial. Garfinkel (1964:35) tatanan moral terdiri dari “aturan yang mengatur aktivitas kehidupan sehari-
hari, rangkaian tindakan yang dianggap normal, adegan-adegan yang lazim dalam urusan sehari-hari,
dunia kehidupan sehari-hari yang dikenal sama dengan orang lain dan dengan orang lain yang dianggap
sebagai hal yang biasa diiberikan”. Etnometodologi berfokus pada keberadaan tatanan moral harus
dibuktikan melalui praktik interaksional.

Kemudian Antropolog sosial seperti Wuthnow (1989) dan Douglas (2001) mendasarkan eksplorasi
mereka pada pemahaman Goffman (1963) tentang tatanan interaksional sebagai sesuatu yang sarat
secara moral atau sakral.
Penelitian antropologi sosial berfokus pada hubungan antara tatanan interaksional dan konteks sosial.
Pendekatan ini, memandang moralitas sebagai fenomena interaksional dan ektra-interaksional. Namun
memiliki sifat ekstra-interaksional tidak berarti bahwa moralitas bersifat kaku atau “universal” dalam
penelitian antropologi sosial.
19.2.2 Moralitas
Moralitas
Moralitas dalam psikologi Turiel (1983 : 211-26) mendefinisikan moralitas sebagai penilaian
persepektif individu mengenai keadilan, hak dan kesejahteraan yang memengaruhi bagaimana
seharusnya berhubungan satu sama lain. Sedangkan Giligan (1982) berpendapat bawha moralitas tidak
berdiri sendiri dan penelitiannya harus : (1) mengakui bahwa moralitas kepedulian, yang berfokus pada
interaksi antarpribadi, merupakan perhatian utama individu; (2) menganggap konsep relasional tentang
diri dalam hubungannya dengan orang lain sebagai inti definisi diri.
Kemudian Plessner Lyons (1983) melakukan penelitian empiris, menyimpulkan bahwa bahasa
moralitas tunduk pada perjuangan diskursif; yaitu ia mengklaim bahwa bahasa moralitas dalam
percakapan sehari-hari mempunyai arti yang berada bagi orang yang berbeda dan perbedaan ini
mempunyai implikasi perlikau.
Moralitas
Moralitas
Shwender dkk (1997) mengklaim ada 3 kode pemikiran dan wacana moral yang dikembangkan oleh berbagai
budaya pada tingkat yang berbeda :
1. Etika otonomi : mengonseptualisasikan diri sebagai struktur individu dan melihat peraturan moral sebagai
cara untuk meningkatkan pilihan, otonomi, dan kendali. Etika otonomi merupakan inti dari sistem hukum dan
filosofi moral di banyak masyarakat sekuler.
2. Etika komunitas : mengkonseptualisasikan diri sebagai memegang jabatan atau peran dalam organisasi yang
lebih besar, saling bergantung dan kolektif. Hal ini memerlukan kewajiban, rasa hormat, kepatuhan terhadap
otoritas dan tindakan yang sesuai dengan jenis kelamin, status sosial, usia atau elemen lain dari peran sosial
seseorang.
3. Etika ketuhanan : mengonseptualisasikan diri sebagai entitas spiritual yang berupaya menghindari polusi dan
mencapai kemurnian dan kesucian. Dalam kode etik ini, tindakan yang merendahkan spiritualitas seseorang
akan ditolak meskipun tindakan tersebut tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain. Kode moral ini dan
penekanannya pada praktik tubuh cenderung dianggap asing oleh masyarakat urban modern
Moralitas
Moralitas
Terindpirasi oleh karya Shweder dkk (1997), Haidt dan Graham (2007) ; Haidt dan Joseph 2004, 2008)
merumuskan Teori Landasan Moral sebagai perpanjangan dari ketiga teori moral tersebut.
Teori Landasan Moral ada lima landasan yang dipersiapkan secara bawaan untuk psikologi moral yang masing-
masing merespons tantangan adaptif. Landasan tersebut dan tantangannya sebagai berikut:
1. Bahaya/Peduli – melindungi dan merawat kerabat muda, rentan atau terluka.
2. Keadilan/Timbal Balik – menuai manfaat dari kerja sama diadik dengan non-kerabat.
3. Dalam kelompok/Loyalitas – menuai manfaat dari kerja sama kelompok.
4. Otoritas/Rasa Hormat – menegosiasikan hierarki, menunda secara selektif.
5. Kemurnian/Kesucian – terhindar dari mikroba dan parasit.
(Haidt dan Joseph 2007: 382)

Teori landasan moral adalah moralitas sebagian besar dipandang beroperasi dalam prinsip-prinsip atau landasan
menyeluruh yang berbasih budaya dan universal.
Moralitas
Moralitas
Moralitas
Moralitas dalam arti apapun bersifat universal hal ini ditentang oleh pendekatan sosio-relational (Rai dan FIske
2011, 2012, 2016. Relationship Regulation Theory (RRT)/Teori Regulasi Hubungan.
• Menurut Rai dan Fiske, intuisi moral ditentukan oleh jenis hubungan sosial tertentu di mana intuisi tersebut
muncul. Pendekatan sosial-relasional terhadap psikologi moral menyatakan bahwa status moral suatu
tindakan tidakdapat ditentukan secara independen dari konteks sosio-relational di mana tindakan tersebut
terjadi.
• Sebaliknya, tindakan apapun akan dinilai benar, adil, terhormat,murni, berbudi luhur atau benar secara moral
bila tindakan tersebut terjadi dalam konteks relational sosial tertentu dan akan dinilai salah bila tindakan
tersebut terjadi dalam konteks relasi sosial lainnya ( Rai dan Fsike 2011:2017).
Moralitas
Moralitas
Rai dan Fiske melalui Relationship Regulation Theory (RRT)/Teori Regulasi Hubungan mengemukakan empat
motif moral utama yang mendorong individu untuk menghasilkan dan memelihara hubungan sosial.
• Persatuan: diarahkan untuk mendukung keutuhan kelompok sosial yang berpedoman pada rasa tanggung
jawab dan kesamaan nasib.
• Hierarki: dipandu untuk menciptakan dan mempertahankan peringkat linier dalam kelompok sosial. Bawahan
termotivasi untuk menghormati, menaati dan menaruh rasa hormat kepada atasan, sedangkan atasan
merasakan tanggung jawab pastoral terhadap bawahannya dan termotivasi untuk memimpin, membimbing,
mengarahkan dan melindungi mereka.
• Kesetaraan, diarahkan untuk menegakkan keseimbangan dan timbal balik dalam hubungan sosial.
• Proporsionalitas: “diarahkan pada penghitungan sesuai dengan rasio atau tarif untuk barang-barang yang
berbeda untuk memastikan bahwa imbalan atau hukuman bagi masing-masing pihak sebanding dengan biaya,
kontribusi, usaha, manfaat atau kesalahan mereka”
19.3 The interface of im/morality and im politeness
Moralitas dalam Kesopanan

• Sifianou (2019:59) “kesopanan adalah konsep yang lebih luah dari pada ketidak sopanan karena hal ini tidak
hanya mencakup perilaku verbal, yang merupakan wilayah utama ketidaksopanan tetapi juga banyak hal lainnya
yaitu non verbal. Moralitas dipandang inti dari konsep kesopanan.
• Biliante dan Saunders (2004: 33-4) berpendapat bahwa kesopanan mengahruskan kita menunjukkan rasa hormat
terhadap orang yang tidak kita kenal adalah hal yang membuat kita memiliki kualitas moral yang kuat. Mereka
mencirikan Kesopnan sebagai nilai moral: secara moral lebih baik bersikap beradap daripada bersikap beradab.
• Carter (1998) mereka menggambarkan kesopanan sebagai cara kita menampilkan kemanusiaan kita.
• Calhoun (2000:225) fungsi kesopanan adalah untuk mengomunikasikan sikap moral dasar tentang tentang rasa
hormat, toleransi, dan perhatian.
Moralitas dalam Ketidaksopanan
Moralitas dalam Ketidaksopanan
• Perspektif tatanan moral situasi mengekspresikan kemarahan atau kemarahan moral melalui ketidaksopanan atau jenis bahasa konfliktual. (Kadar
• Misalnya dalam kasus, melalui panggilan telepon untuk menyampaikan keluhan, tatanan moral dalam tatanan moral dalam interaksi mungkin sopan
namun disertai ancaman. Hal ini berkaitan dengan pendekatan ketidaksopanan yang melihat fenomena yang muncul dalam kaitannya dengan momen
evaluatif interaksional (Eelen 2001)
• Hubungan antara ketidaksopanan dan moralitas juga sesuai dengan fenomena sosiopragmatik agensi moral (Kádár et al. 2019); yaitu pengguna bahasa
cenderung membingkai perilaku interaksional mereka sendiri dan orang lain dalam kaitannya dengan keputusan/tanggung jawab moral (walaupun orang
yang dinilai tidak bermoral mungkin belum benar-benar membuat keputusan moral dalam contoh penggunaan bahasa tertentu yang sedang dievaluasi.
• Hubungan antara ketidaksopanan dan moralitas sesuai dengan fenomena sosiopragmatik agensi moral (Kadar et al, 2019) yaitu pengguna bahasa
cenderung membingkai perilaku interaksional mereka sendiri dan orang lain dalam kaitannya dengan keputusan atau tanggung jawab moral (walaupun
orang yang dinilai tidak bermoral mungkin belum membuat keputusan moral)
• Ketidaksopanan/kesopanan pada dasarnya berkaitan dengan presentasi diri (Goffman 1956). Perbedaan antara keilmuan moralitas dan ketidaksantunan
adalah bahwa dalam uraian tentang diri yang dianut oleh para sarjana moralitas, terdapat kesan bahwa diri adalah satu kesatuan. Namun, ketidaksopanan
seperti di atas telah mengalami perubahan diskursif dan praktik (Eelen 2001; Garcés-Conejos Blitvich 2013; Haugh 2013; Locher dan Watts 2005).
HUMORITAS
20.2.1 Categories of Conversational Humour
20.2.1 Kategori Humor Percakapan
1. Salah satu jenis Humor yaitu Humor Disaffiliatif
• (Keltner dkk. 2001; Dynel 2011) Humor Disaffiliatif, yaitu jenis percakapan dari humor yang meremehkan yang merupakan istilah umum untuk
humor apa pun yang mengolok-olok lelucon dan juga mencakup bentuk-bentuk lain yang tidak sesuai dengan humor percakapan.
Humor disaffiliatif (yaitu humor percakapan yang meremehkan),
contoh-contoh yang bersifat menggoda pada dasarnya harus bersifat baik hati meskipun pesan yang serius dan berpotensi agresif juga ingin
dikomunikasikan (misalnya Holmes dan Schnurr 2005; Sinkeviciute 2013).
1. Bentuk praktik verbal dari Humor Disaffiliatif yang disebabkan oleh fungsi adalah :
• “Menggoda” (lihat Keltner dkk. 2001). Menggoda secara tradisional dianggap melibatkan pura-pura permusuhan/agresi yang sebenarnya
menunjukkan keramahan yang nyata .
• Mengolok-olok menunjukkankategori humor dan atau ketidaksopanan yang pura-puta, yaitu kesopanan yang dipura-pura secara terang-terangan
yang mungkinb membawa refek lucu (Dynel 2018).
1. Bentuk humor percakapan berdasarkan bentuk ekspresi.
• Ironi Humor. “ironi” juga telah digunakan sebagai label untuk berbagai praktik percakapan yang melibatkan kelucuan dan “tidak bermaksud apa-
apa” (misalnya Goddard 2006; Gibbs dkk. 2014), yang secara teoritis dapat dikonseptualisasikan sebagai bentuk pernyataan terbuka. ketidakjujuran
(lihat Dynel 2018b). Sebaliknya, sosok ironi cenderung diberi label sarkasme, yang mungkin juga bersifat humor. Meskipun beberapa penulis
memberi label “sarkasme” pada figur retorika ironi, penulis lain berpendapat untuk membedakan kedua konsep tersebut.
20.2.2 Concepts and Approaches
20.2.2 Konsep dan Pendekatan
• Menurut pandangan yang mengakar sejak filsafat tradisional, humor dikaitkan dengan ketidakseriusan karena
disandingkan dengan keseriusan, sehingga dianggap sebagai aktivitas autotelik, yaitu aktivitas yang dilakukan
untuk kepentingannya sendiri.
• Humor mungkin dianggap sebagai kesopanan, karena membantu menyelamatkan muka atau mencegah
kerusakan muka.
• Humor sering dikaitkan dengan efek (tidak)sopan. Sejumlah penelitian membahas manifestasi spesifik dari
humor percakapan dengan menggunakan gagasan dan asumsi dasar yang berasal dari studi ketidaksopanan,
seperti ancaman wajah atau kesopanan solidaritas (misalnya Antonopoulou dan Sifianou 2003; Holmes 2000;
Haugh 2010)..
20.3 Sources of Data
20.3 Sumber Data
Studi sosiopragmatik tentang humor percakapan mencakup diskusi analitik percakapan atau studi kualitatif
lainnya dan, yang lebih jarang, penyelidikan kuantitatif, serta penelitian teoretis mengenai mekanisme humor
percakapan yang diselingi dengan data ilustratif.
• Beberapa penelitian klasik tentang humor percakapan yang sering dikutip menyajikan contoh-contoh acak
(yang didengar atau dibuat oleh penulisnya sendiri), penelitian terbaru didasarkan pada kumpulan interaksi
yang terjadi secara alami.
• Humor percakapan ditemukan dalam berbagai jenis wacana media tradisional dan media baru. Baik lisan
maupun tulisan, interaksi manusia yang mengandung humor mungkin bersifat pribadi atau publik, dan dapat
diakses oleh khalayak luas. Humor percakapan juga hadir dalam (sebagian) genre bernaskah seperti
dokumenter TV (Chovanec 2017) atau wawancara atau debat di televisi (Dynel 2011).
20.4 Variabel Sosiopragmatik
20.4 Variabel Sosiopragmatik
penelitian tentang humor percakapan terkadang juga mempertimbangkan variabel sosiopragmatik tertentu,
seperti usia, jenis kelamin, dan budaya.
Di antara ketiga faktor tersebut,
• Faktor usia menjadi pembahasan yang paling sedikit, walaupun dalam beberapa penelitian telah dilakukan
mengenai humor orang lanjut usia dan ejekan anak-anak dikaitkan dengan intimidasi.
• Faktor Gender menjadi topik pembahasan yang lebih produktif atau menarik, dengan kekhususan humor yang
digunakan pada kelompok gender laki-laki, perempuan, dan campuran. Namun saat ini terdapat penelitian terbaru
yang berorientasi pada melemahkan pembagian gaya humor laki-laki versus perempuan yang sudah mengakar kuat
(misalnya Ferreira 2012; Reichenbach 2015).
• Faktor Budaya, tampak dari beberapa penulis memang menggunakan data dalam bahasa lain, baik berfokus pada
kekhasan budaya humor yang terlibat atau tidak. Fokusnya adalah pada cara kerja humor yang tampaknya
universal.
20.5 Functions of Humour
20.5 Fungsi Humor
1. Attardo (1994) menyajikan fungsi-fungsi utama sebagai berikut:
• manajemen sosial (misalnya memfasilitasi ikatan dalam kelompok dan penolakan kelompok luar),
• mediasi (komunikasi pesan-pesan “serius” dan mencapai tujuan-tujuan serius,.
1. Fungsi utama humor adalah kapasitasnya untuk mengikat. Telah banyak terbukti bahwa humor membantu membangun dan memperkuat
solidaritas dan kohesi kelompok di antara orang-orang yang berinteraksi dalam semua konteks percakapan (misalnya Apte 1985; Holmes
2000; Lennox dkk. 2002; Demjén 2016
2. Humor dapat digunakan sebagai alat untuk membuktikan kekuatan pembicara dan mempertahankan struktur hierarki (Coser 1960;
Holmes 2000; Hay 2001; Rogerson-Revell 2007), untuk menegakkan tatanan sosial (Gradin Franzén dan Aronsson 2013) atau untuk
menumbangkan status quo, dan dengan demikian membangun kekuasaan atas lawan bicaranya (Collinson 1988; Rodrigues dan Collinson
1995; Holmes 2000
3. Pengguna bahasa, Humor merupakan sarana konstruksi identitas isu yang paling menonjol dalam konteks bagaimana identitas sosial
(misalnya profesional atau gender) diklaim dan dinegosiasikan. Dalam kaitannya dengan identitas profesional, humor dapat membantu
menegosiasikan kepemimpinan dan hubungan kekuasaan di tempat kerja (Holmes dan Marra 2002b; Schnurr dan Chan 2011). Humor
juga dapat menandai batasan gender, misalnya dengan memperkuat gagasan gaya humor laki-laki (misalnya Schnurr dan Holmes 2009)
atau ketika perempuan menantang identitas dan menampilkan perilaku stereotip maskulin dalam mengendalikan dan membungkam
bawahan (Schnurr 2008).
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai