Anda di halaman 1dari 9

A.

Konsep Diri
1. Pengertian Konsep diri
Konsep diri merupakan gambaran seseorang mengenai diri sendiri yang
merupakan gabungan dari keyakinan fisik, psikologis, sosial, emosional aspiratif, dan
prestasi yang mereka capai. William H. Fitts mengemukakan bahwa konsep diri
merupakan aspek penting dalam diri seseorang karena konsep diri seseorang
merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam berinteraksi dengan
lingkungan. Ia menjelaskan konsep diri secara fenomenologis dan mengatakan bahwa
ketika individu mempersepsikan dirinya bereaksi terhadap dirinya, memberikan arti,
dan penilaian, serta membentuk abstraksi tentang dirinya, berarti ia menunjukan suatu
kesadaran diri (self awareness) dan kemampuan untuk keluar dari dirinya sendiri
untuk melihat dirinya seperti yang ia lakukan di luar dirinya. Diri secara keseluruhan
(total self) seperti yang dialami individu disebut juga diri fenomenal. Diri fenomenal
ini adalah diri yang diamati, dialami, dan dinilai oleh individu sendiri, yaitu diri yang
ia sadari. Keseluruhan kesadaran atau persepsi ini merupakan gambaran tentang diri
atau konsep diri individu
.
2. Bentuk Konsep Diri
Calhoun dan Acocella membedakan konsep diri dalam dua bagian, yakni konsep diri
positif dan negatif. Menurut Calhoun dan Acocella, jika seseorang memiliki konsep
diri yang positif, maka perilaku yang muncul juga cenderung positif. Sedangkan, jika
seseorang memiliki konsep diri yang negatif, maka perilaku yang muncul juga
cenderung negatif.
Menurut William D. Brooks dan Philip Emmert adalah sebagai berikut:
a. Karakteristik konsep diri positif:
1) Ia yakin akan kemampuan mengatasi masalah.
2) Ia merasa setara dengan orang lain.
3) Ia menerima pujian tanpa rasa malu.
4) Ia menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan, dan
perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat.
5) Ia mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-
aspekkepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya.
b. Konsep diri negatif:
1) Peka terhadap kritik. Orang ini sangat tidak tahan dengan kritik yang diterimanya
dan mudah marah atau naik pitam.
2) Responsif terhadap pujian. Walaupun ia mungkin berpura-pura menghindari
pujian, ia tidak dapat menyembunyikan antusiasmenya pada waktu menerima
pujian.
3) Cenderung merasa tidak disenangi orang lain. Ia merasa tidak diperhatikan.
4) Bersikap pesimis terhadap kompetisi seperti terungkap keengganannya untuk
bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi.

3. Aspek-aspek Konsep Diri


Menurut Berzsonsky, ada empat aspek dalam konsep diri yaitu:
a. Aspek fisik (physical self)
Mencakup keseluruhan materi atau benda nyata yang dimiliki individu seperti
pakaian, tubuh, perhiasan, mobil, dan lain-lain.
b. Aspek sosial (social self)
Aspek ini terdiri dari peran yang dimainkan individu dalam kehidupan sosialnya dan
evaluasi seberapa baik atau buruk individu tersebut memerankannya.
c. Aspek moral (moral self)
Aspek moral mencakup nilai-nilai dan prinsip yang mengartikan dan mengarahkan
kehidupan seseorang.
d. Aspek psikologis (psychological self)
Merupakan kumpulan dari pikiran, perasaan, dan sikap individu terhadap diri sendiri.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri


Sedangkan Fitts mengemukakan pendapat bahwa konsep diri dipengaruhi oleh
tiga faktor, yaitu:
a. Pengalaman, terutama pengalaman interpersonal yang memunculkan
perasaan positif dan berharga.
b. Kompetensi dalam area yang dihargai oleh individu dan orang lain.
c. Aktualisasi diri atau implementasi dan realisasi dari potensi pribadi yang
sebenarnya.
5. Dimensi Konsep Diri
Fitts membagi konsep diri dalam dua dimensi pokok, yaitu sebagai berikut:
a. Dimensi internal
1) Identitas diri (Self Identity), yaitu bagian diri yang merupakan aspek mendasar dari
konsep diri dan mengacu pada pertanyaan “siapa saya?”. Pertanyaan tersebut tercakup
label-label dan simbol-simbol yang diberikan individu pada diri (self) oleh individu-
individu yang bersangkutan untuk menggambarkan dirinya dan membangun identitas
diri.
2) Diri pelaku (behavioral self), yang berarti persepsi individu tentang tingkah
lakunya yang mencakup segala kesadaran mengenai “apa yang dilakukan oleh diri
sendiri”. Selain itu, diri pelaku sangat berkaitan dengan identitas diri. Diri yang
adekuat akan menunjukkan adanya keserasian antara diri identitas dengan diri
pelakunya sehingga ia dapat mengenali dan menerima, baik diri sebagai identitas dan
diri sebagai pelaku. Keterkaitan antara keduanya akan dapat terlihat melalui diri
sebagai penilai.
3) Diri penerimaan atau penilai (Judging Self). Diri penilai berfungsi sebagai
pengamat, penentu standart, dan evaluator. Kedudukannya sebagai perantara
(mediator) antara identitas diri dan diri pelaku. Manusia cenderung memberikan
penilaian terhadap apa yang dipersepsikannya. Jadi, label-label yang dikenakan pada
dirinya bukanlah semata-mata menggambarkan dirinya, tetapi sarat akan nilai-nilai.
Hal ini berarti penilaian lebih berperan dalam pembentukan tindakan yang akan
ditampilkan seseorang. Ketiga dimensi internal ini mempunyai peran yang berbeda
namun saling melengkapi dan berinteraksi dalam membentuk diri yang utuh dan
menyeluruh.
b. Dimensi eksternal
Dimensi eksternal adalah individu menilai dirinya melalui hubungan dan aktivitas
sosialnya, nilai-nilai yang dianut oleh orang tersebut, serta hal-hal lain di luar individu
tersebut. Dimensi sosial, menurut Fitts, merupakan dimensi eksternal yang bersifat
umum bagi semua orang dan dibedakan atas enam bentuk, yaitu:
1) Diri fisik (physical self), yaitu mencakup persepsi individu terhadap keadaan fisik
individu tersebut. Dalam hal ini, akan tampak persepsi individu mengenai kesehatan,
tampilan dirinya, dan keadaan tubuhnya.
2) Diri etik-moral (moral-ethical self), yang merupakan persepsi individu dilihat dari
standar pertimbangan nilai moral dan etika. Hal ini menyangkut persepi individu
mengenai hubungan dengan Tuhan, kepuasan individu akan kehidupan
keagamaannya, dan nilai moral yang ia pegang meliputi batasan baik dan buruk.
3) Diri pribadi (personal self), yang merupakan perasaan atau persepsi individu
tentang keadaan pribadinya. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi fisik atau hubungan
dengan orang lain, tetapi dipengaruhi oleh sejauhmana ia merasa dirinya sebagai
pribadi yang tepat.
4) Diri keluarga (family self), yang menunjukkan perasaan dan harga diri sebagai
individu dalam kedudukannya sebagai anggota keluarga. Bagian ini menunjukkan
seberapa jauh individu merasa adekuat terhadap dirinya sebagai anggota keluarga,
serta terhadap peran maupun fungsi yang dijadikan sebagai anggota dari suatu
keluarga.
5) Diri sosial (social self), yang merupakan penilaian individu terhadap interaksi
dirinya dengan orang lain atau lingkungan sekitarnya.
6) Diri akademik (academic self) adalah persepsi tentang diri yang berkaitan dengan
kegiatan sekolah maupun bekerja secara adekuat. Berzonsky mengungkapkan bahwa
konsep diri sebagai personal theory mencakup seluruh konsep, asumsi, dan prinsip
yang dipercayai individu tentang dirinya sepanjang kehidupan. Berzonsky juga
menyebutkan bahwa konsep diri merupakan gabungan dari aspek fisik, psikis, sosial,
dan moral mengenai diri seseorang, baik persepsi nyata maupun penilaian
berdasarkan harapan.

3. Fungsi Konsep Diri


Menurut Pudjijogyanti, terdapat tiga alasan yang menjelaskan peranan penting konsep
diri dalam menentukan perilaku, yaitu:
a. Konsep diri mempunyai peran dalam mempertahankan keselarasan batin (inner
consistency). Alasan ini karena sebenarnya manusia berusaha mempertahankan
keselarasan batinnya. Apabila muncul perasaan, pikiran, atau persepsi yang tidak
seimbang, maka akan terjadi situasi psikologis yang tidak menyenangkan.
b. Seluruh sikap dan pandangan individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi
individu tersebut dalam menafsirkan pengalamannya. Setiap kejadian akan ditafsirkan
berbeda antara individu yang satu dengan yang lainnya karena masing-masing
individu mempunyai sikap dan pandangan yang berbeda terhadap diri mereka.
c. Konsep diri menentukan pengharapan individu. Beberapa ahli mengatakan bahwa
pengharapan ini merupakan inti dari konsep diri.
B. Stres dan Adaptasi

STRESS
1. Pengertian Stres
Ada beberapa istilah psikologis populer yang sering dikaburkan sebagai
“stres”. Pada hakikatnya, tentunya kata ini merujuk pada sebuah kondisi seseorang
yang mengalami tuntutan emosi berlebihan dan atau waktu yang membuatnya sulit
memfungsikan secara efektif semua wilayah kehidupan. Keadaan ini dapat
mengakibatkan munculnya cukup banyak gejala, seperti depresi, kelelahan kronis,
mudah marah, gelisah, impotensi, dan kualitas kerja yang rendah (Richards, 2010).
Sarafino (1994) mendefinisikan stres adalah kondisi yang disebabkan oleh
interaksi antara individu dengan lingkungan, menimbulkan persepsi jarak antara
tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi yang bersumber pada sistem biologis,
psikologis dan sosial dari seseorang. Stres adalah tekanan internal maupun eksternal
serta kondisi bermasalah lainnya dalam kehidupan (an internal and eksternal pressure
and other troublesome condition in life).

2. Aspek-Aspek Stres
Pada saat seseorang mengalami stres ada dua aspek utama dari dampak yang
ditimbulkan akibat stres yang terjadi, yaitu aspek fisik dan aspek psikologis (Sarafino,
1998) yaitu :
a. Aspek fisik
Berdampak pada menurunnya kondisi seseorang pada saat stres sehingga orang
tersebut mengalami sakit pada organ tubuhnya, seperti sakit kepala, gangguan
pencernaan.
b. Aspek psikologis
Terdiri dari gejala kognisi, gejala emosi, dan gejala tingkah laku. Masing-masing
gejala tersebut mempengaruhi kondisi psikologis seseorang dan membuat kondisi
psikologisnya menjadi negatif, seperti menurunnya daya ingat, merasa sedih dan
menunda pekerjaan. Hal ini dipengaruhi oleh berat atau ringannya stres. Berat atau
ringannya stres yang dialami seseorang dapat dilihat dari dalam dan luar diri mereka
yang menjalani kegiatan akademik di kampus.

3. Faktor-Faktor Stres
Setiap teori yang berbeda memiliki konsepsi atau sudut pandang yang berbeda dalam
melihat penyebab dari berbagai gangguan fisik yang berkaitan dengan stres. Di bawah
ini akan dijelaskan beberapa sudut pandang tersebut.
a. Sudut pandang psikodinamika
Sudut pandang psikodinamik mendasarkan diri mereka pada asumsi bahwa gangguan
tersebut muncul sebagai akibat dari emosi yang direpres. Hal-hal yang direpres akan
menentukan organ tubuh mana yang terkena penyakit. Sebagai contoh, apabila
seseorang merepres kemarahan, maka berdasarkan pandangan ini kondisi tersebut
dapat memunculkan essensial hypertension.
b. Sudut pandang biologis
Salah satu sudut pandang biologis adalah somatic weakness model. Model ini
memiliki asumsi bahwa hubungan antara stres dan gangguan psikofisiologis terkait
dengan lemahnya organ tubuh individu. Faktor biologis seperti misalnya genetik
ataupun penyakit yang sebelumnya pernah diderita membuat suatu organ tertentu
menjadi lebih lemah daripada organ lainnya, hingga akhirnya rentan dan mudah
mengalami kerusakan ketika individu tersebut dalam kondisi tertekan dan tidak fit.
c. Sudut pandang kognitif dan perilaku
Sudut pandang kognitif menekankan pada bagaimana individu mempersepsi dan
bereaksi terhadap ancaman dari luar. Seluruh persepsi individu dapat menstimulasi
aktivitas sistem simpatetik dan pengeluaran hormon stres. Munculnya emosi yang
negatif seperti perasaan cemas, kecewa dan sebagainya dapat membuat sistem ini
tidak berjalan dengan berjalan lancar dan pada suatu titik tertentu akhirnya
memunculkan penyakit. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa bagaimana
seseorang mengatasi kemarahannya ternyata berhubungan dengan penyakit tekanan
darah tinggi.
Stres bersumber dari frustasi dan konflik yang dialami individu dapat berasal
dari berbagai bidang kehidupan manusia. Dalam hal hambatan, ada beberapa macam
hambatan yang biasanya dihadapi oleh individu seperti :
a. Stressor fisik-biologik, seperti : penyakit yang sulit disembuhkan, cacat fisik atau
kurang berfungsinya salah satu anggota tubuh, wajah yang tidak cantik atau ganteng,
dan postur tubuh yang dipersepsi tidak ideal (seperti : terlalu kecil, kurus, pendek,
atau gemuk).
b. Stressor psikologik, seperti : negative thinking atau berburuk sangka, frustrasi
(kekecewaan karena gagal memperoleh sesuatu yang diinginkan), hasud (iri hati atau
dendam), sikap permusuhan, perasaan cemburu, konflik pribadi, dan keinginan yang
di luar kemampuan.
c. Stressor Sosial, seperti iklim kehidupan keluarga : hubungan antar anggota keluarga
yang tidak harmonis (broken home), perceraian, suami atau istri selingkuh, suami atau
istri meninggal, anak yang nakal (suka melawan kepada orang tua, sering membolos
dari sekolah, mengkonsumsi minuman keras, dan menyalahgunakan obat-obatan
terlarang) sikap dan perlakuan orang tua yang keras, salah seorang anggota mengidap
gangguan jiwa dan tingkat ekonomi keluarga yang rendah, lalu ada faktor pekerjaan :
kesulitan mencari pekerjaan, pengangguran, kena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja),
perselisihan dengan atasan, jenis pekerjaan yang tidak sesuai dengan minat
dankemampuan dan penghasilan tidak sesuai dengan tuntutan kebutuhan sehari-hari,
kemudian yang terakhir ada iklim lingkungan : maraknya kriminalitas
(pencurian,perampokan dan pembunuhan), tawuran antar kelompok (pelajar,
mahasiswa, atau warga masyarakat), harga kebutuhan pokok yang mahal, kurang
tersedia fasilitas air bersih yang memadai, kemarau panjang, udara yang sangat panas
atau dingin, suara bising, polusi udara, lingkungan yang kotor (bau sampah dimana-
mana), atau kondisi perumahan yang buruk, kemacetan lalu lintas bertempat tinggal di
daerah banjir atau rentan longsor, dan kehidupan politik dan ekonomi yang tidak
stabil.
Ada dua macam stres yang dihadapi oleh individu yaitu :
a. Stres yang ego-envolved : stres yang tidak sampai mengancam kebutuhan dasar
atau dengan kata lain disebut dengan stres kecil-kecilan.
b. Stres yang ego-involved : stres yang mengancam kebutuhan dasar serta integritas
kepribadian seseorang. Stres semacam ego involved membutuhkan penanganan yang
benar dan tepat dengan melakukan reaksi penyesuaian agar tidak hancur karenanya.
Kemampuan individu dalam bertahan terhadap stres sehingga tidak membuat
kepribadiannya “berantakan” disebut dengan tingkat toleransi terhadap stres. Setiap
individu memiliki tingkat toleransi yang berbeda antara satu individu dengan individu
lainnya. Individu dengan kepribadian yang lemah bila dihadapkan pada stres yang
kecil-kecil sekalipun akan menimbulkan perilaku abnormal. Berbeda dengan individu
yang berkepribadian kuat, meskipun dihadapkan pada stres yang ego envolved
kemungkinan besar akan mampu mengatasi kondisinya
Stres tersebut dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu : distress dan eustress. Distress
merupakan jenis stres negatif yang sifatnya mengganggu individu yang
mengalaminya, sedangkan eustress adalah jenis stres yang sifatnya positif atau
membangun. Individu yang mengalami stres memiliki beberapa gejala atau gambaran
yang dapat diamati secara subjektif maupun objektif. Hardjana ( dalam Sukoco, 2014)
menjelaskan bahwa individu yang mengalami stres memiliki gejala sebagai berikut :
1. Gejala Fisikal, gejala stres yang berkaitan dengan kondisi dan fungsi fisik atau
tubuh dari seseorang.
2. Gejala Emosional, gejala stres yang berkaitan dengan keadaan psikis dan mental
seseorang.
3. Gejala Intelektual, gejala stres yang berkaitan dengan pola pikir seseorang.
4. Gejala Interpersonal, gejala stres yang mempengaruhi hubungan dengan orang lain,
baik di dalam maupun di luar rumah.

4. Tahapan Stres
stres terjadi melalui beberapa tahapan :
1. Tahap 1 : stres pada tahap ini justru dapat membuat seseorang lebih bersemangat,
penglihatan lebih tajam, peningkatan energi, rasa puas dan senang, muncul rasa gugup
tapi mudah diatasi.
2. Tahap 2 : menunjukkan keletihan, otot tegang, gangguan pencernaan.
3. Tahap 3 : menunjukkan gejala seperti tegang, sulit tidur, badan terasa lesu dan
lemas.
4. Tahap 4 dan 5 : pada tahap ini seseorang akan tidak mampu menanggapi situasi dan
konsentrasi menurun dan mengalami insomnia.
5. Tahap 6 : gejala yang muncul detak jantung meningkat, gemetar sehingga dapat
pula mengakibatkan pingsan.

PENYESUAIAN DIRI

1. Pengertian Penyesuaian Diri


Penyesuaian diri merupakan sebuah konsep mengenai proses seseorang
berinteraksi dengan lingkungannya yang terjadi secara berkelanjutan dengan diri
individu, dengan orang lain, dan dengan lingkungan yang ada disekitar individu
tersebut (Calhoun & Acocella, 2003). Menurut Kartono (2015) penyesuaian diri
adalah sebagai usaha manusia untuk mencapai sebuah keharmonisan pada diri sendiri
dan lingkungannya, sehingga emosi dan perasaan negatif seperti rasa permusuhan, iri
hati, dengki, dan prasangka sebagai respon pribadi yang tidak sesuai dan kurang
efisien dapat diminimalisir bahkan dihapuskan.
Schneider (1999) mengemukakan bahwa penyesuaian diri adalah sebuah
proses yang mencakup respon-respon mental dan tingkah laku individu untuk mampu
mengatasi kebutuhan, ketegangan, konflik, dan rasa frustasi, dimana usaha tersebut
bertujuan untuk memperoleh keselarasan dan keharmonian antara tuntutan dalam diri
dan tuntutan lingkungan. Schneider (1999) meninjau penyesuaian diri dari tiga
pandangan yaitu peneysuaian diri sebagai adaptasi (adaption), peneysuaian diri
sebagai bentuk konformitas (conformity), penyesuaian diri sebagai usaha penguasaan
(mastery).
2. Aspek-Aspek Penyesuaian Diri
Schneiders (1999) mengungkapkan bahwa penyesuaian diri memiliki enam aspek
antara lain :
a. Kontrol terhadap emosi yang berlebihan Aspek pertama dari kontrol diri yaitu
penekanan terhadap kontrol dan ketenangan emosi inidvidu yang memungkinkan
seseorang dalam menghadapi permasalahan secara inteligen dan dapat menentukan
berbagai kemungkinan pemecahan masalah ketika dihadapakan pada sebuah
hambatan. Aspek ini tidak berarti meniadakan emosi sama sekali, tetapi lebih
menekankan kepada kontrol emosi dalam menghadapi situasi tertentu.
b. Mekanisme pertahanan diri yang minimal Pada aspek kedua ini menjelaskan
tentang pendekatan terhadap permasalahan yang lebih mengindikasikan respon yang
normal dari pada penyelesaian masalah yang memutar melalui serangkaian
mekanisme pertahanan diri yang disertai tindakan nyata untuk mengubah suatu
kondisi. Seseorang dikategorikan normal apabila bersedia mengakui kegagalan yang
dialami dan berusaha kembali untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Seseorang
akan dikatakan mengalami gangguan penyesuaian jika individu mengalami kegagalan
dan menyatakan bahwa tujuan tersebut tidak berharga untuk dicapai.
c. Frustasi personal yang minimal
Seseorang dikatakan frustasi apabila mengalami perasaan tidak berdaya dan tanpa
harapan, sehingga akan sulit bagi seseorang untuk mengorganisir kemapuan berfikir,
perasaa, motivasi dan tingkah laku dalam menghadapi situasi yang menuntut
penyelesaian.
d. Pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri Seseorang memiliki
kemampuan dalam berfikir dan melakukan sebuah pertimbangan terhadap
masalahatau konflik serta kemampuan dalam mengorganisasikan fikiran, tingkah laku
dan perasaan untuk memecahkan masalah, dalam kondisi sulit sekalipun menunjukan
penyesuaian yang normal. Seseorang tidak akan mampu melakukan penyesuaian diri
yang baik apabila dia dikuasai oleh emosi yang berlebihan ketika dihadapkan pada
sebuah konflik atau situasi yang buruk.
e. Kemampuan untuk belajar
Penyesuaian diri yang normal ditunjukan seseorang dengan proses belajar yang
berkesinambungan dari perkembangannya sebagai hasil dari kemampuannya dalam
mengatasi situasi konflik dan stres.
f. memanfaatkan pengalaman masa lalu
Seseorang dapat menggunakan pengalamannya maupun pengalaman orang lain
melalui proses belajar. Seseorang dapat melakukan analisis mengenai faktor-faktor
apa saja yang membantu dan mengganggu penyesuaiannya.
g. Sikap realistik dan objektif
Sikap yang realistik dan objektif bersumber pada sebuah pemikiran yang
rasional,mampu menilai situasi, masalah dan keterbatasan seseorang yang sesuai
dengan kenyataan yang sebenarnya.
STRESS DAN PENYESUAIAN DIRI

Penyesuaian diri merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi stress.


Penyesuaian diri tidak hanya sebatas beradaptasi dengan lingkunganyang baru namun
juga beradaptasi dengan cara belajar baru, lingkungan sosial yang baru, tugas-tugas
yang baru serta tuntutan baru yang lebih dari sebelumnya. Bertahan dalam kesulitan
merupakan sebuah kemampuan naluriah yang dimiliki manusia. Sistem pertahanan
diri setiap orang akan berbeda- beda sesuai dengan kepribadian masing-masing.
Seseorang dengan kemampuan pertahanan diri yan baik akan lebih mudah dalam
menghadapi tekanan yang diterima, sebaliknya pertahanan diri yang minim akan
membuat seseorang mudah menyerah menghadapi tantangan di hidupnya.
Kemampuan bertahan dan beradaptasi denga lingkungan akan mempengaruhi
seseorang siswa dalam memghadapi tuntutan hidup. Ketika seseorang tidak mampu
menghadapi tuntutan belajar maka akan menimbulkan perasaan cemas, stress dan
takut. seseorang yang mempunyai pemikiran rasional akan dapat menilai segala hal
dari luar diri maupun dari dalam dirinya dengan penilaian yang baik. Hal ini akan
mengarahan mereka agar lebih mempertimbangkan segala sesuatu agar dapat
dijalankan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Tekanan maupun tugas yang
dijalankan dengan pertimbangkan dan penilaian yang baik, akan lebih menyenangkan
untuk dikerjakan, sehingga tidak akan menimbulkan perasaan tertekan.
Pengalaman dimasa lalu juga dapat membuat seseorang lebih berhati-hati
dalam melakukan sesuatu. Belajar dari kesalahan dimasa lalu seperti kegagalan,
keterlambatan mengumpulkan tugas, serta permasalahan sosial dengan teman sebaya
merupakan hal yang dapat membantu seseorang agar dapat menjadi seseorang yang
lebih siap terhadap tuntutan dilingkungan barunya. Kesiapan mental dalam
menghadapi lingkungan baru akan membuat siswa lebih dapat menghadapi tuntutan
apa saja yang ada dihadapan mereka, karena mereka sudah belajar kejadian dimasa
sebelumnya. seseorang akan menjadi lebih tangguh dan tidak mudah putus asa karena
sudah pernah merasakan masa-masa sulit sebelumnya.

Anda mungkin juga menyukai