Anda di halaman 1dari 57

KUMPULAN ARTIKEL

Disusun sebagai tugas terstruktur Ujian Akhir Semester (UAS) mata kuliah Pendidikan
Agama Islam

Dosen Pengampu:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:

Nama : Larasati Andriana

NIM : L1B021049

Prodi/Kelas : Ilmu Komunikasi/B

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS MATARAM

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan Tugas Ujian Akhir Semester (UAS) ini tepat pada waktunya

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
dosen mata kuliah Pendidikan Agama Islam yang telah memberikan tugas kepada penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
pembuatan tugas ini.

Penulis jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat berguna bagi
penyusunan dan penyempurnaan selanjutnya. Semoga tugas ini dapat bermanfaat dan
mendapat nilai yang baik. Amin yaa Rabbal Alamin.

Mataram, 2 Desember 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

BAB I ISTIDROJ
A. Pengertian Istidraj...............................................................................................1
B. Konsep Istidraj....................................................................................................2
C. Dalil-dalil Istidraj................................................................................................6
BAB II HUKUMAN YANG DISEGERAKAN SEBAGAI BENTUK KASIH
SAYANG ALLAH TERHADAP HAMBANYA
1. Dalil-dalil yang Mendasarinya.........................................................................10
2. Penjelasannya...................................................................................................12
3. Contoh Kasus...................................................................................................17
BAB III DOSA DAN KRITERIA RIBA BESERTA DALIL-DALILNYA
A. Pengertian Riba......................................................................................................18
B. Kriteria Riba...........................................................................................................22
C. Dosa Riba...............................................................................................................30
D. Dalil-dalil Riba.......................................................................................................33
BAB IV KEUTAMAAN SHODAQOH BESERTA DALIL-DALILNYA
1. Pengertian Sedekah................................................................................................37
2. Bentuk-bentuk Sedekah.........................................................................................37
3. Dalil-dalil Sedekah.................................................................................................38
4. Keutamaan Sedekah...............................................................................................39
BAB V SIFAT TAKDIR KEMATIAN BESERTA DALIL-DALILNYA
Sifat Takdir Kematian............................................................................................41
Mengingat Kematian..............................................................................................42
Dalil-dalil Takdir Kematian...................................................................................44
BAB VI KEWAJIBAN AMAR MAKRUF – NAHI MUNKAR BESERTA DALIL-
DALILNYA................................................................................................................ 45-53

REFERENSI.....................................................................................................................54

ii
BAB I
ISTIDRAJ

A. Pengertian Istidraj
َ‫ْطي ْال َع ْب> َد ِمن‬ ِ ‫ “إِ َذا َرأَيْتَ هَّللا َ تَ َع>الى يُع‬:‫ص>لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي> ِه َو َس>لَّ َم قَ>ا َل‬
َ ‫ َع ِن النَّبِ ِّي‬،ُ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنه‬
ِ ‫ع َْن ُع ْقبَةَ ْب ِن عَا ِم ٍر َر‬
‫ (فَلَ َّما‬:‫ص>لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي> ِه َو َس>لَّ َم‬
َ ِ ‫ ثُ َّم تَاَل َر ُس>و ُل هَّللا‬،”ٌ‫اس>تِ ْد َراج‬ْ ُ‫اصي ِه فَإِنَّ َما َذلِكَ ِم ْنه‬
ِ ‫ال ُّد ْنيَا َما يُ ِحبُّ َوه َُو ُمقِي ٌم َعلَى َم َع‬
ْ >‫اب ُكلِّ َش ْي ٍء َحتَّى إِ َذا فَ ِرحُوا بِ َما أُوتُوا أَ َخ‬
‫>ذنَاهُ ْم بَ ْغتَ>ةً فَ>إ ِ َذا هُ ْم ُم ْبلِ ُس>ونَ ( (رواه‬ َ ‫نَسُوا َما ُذ ِّكرُوا بِ ِه فَتَحْ نَا َعلَ ْي ِه ْم أَ ْب َو‬
)‫أحمد‬
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir ra, Rasulullah saw bersabda: “Bila kamu melihat Allah
memberi pada hamba (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada
dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj
(jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.” Kemudian Rasulullah saw
membaca ayat yang berbunyi, “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang
telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintupintu
kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang
telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong,
maka ketika itu mereka terdiam berputus asa (Qs Al-An’am: 44).” (HR. Ahmad).
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad (28/547) dan Al-Tabrani
dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (17/330) dan Al-Mu’jam Al-Ausath (9/110). Hadits ini
juga di-hasan-kan oleh al-‘Iraqi dalam Takhrij Al-Ihya’ (4/162). Dua kritikus Hadits
modern, Syu’aib Al-Arnauth menilai Hadits ini hasan dilihat dari jalur lain (hasan
li-ghairihi) dan al-Albani dalam Shahih al-Jami’ (nomor Hadits 561) menilainya
shahih.
Istidraj secara bahasa bermakna naik dari satu tingkat ke tingkat selanjutnya.
Sedang istidraj dari Allah kepada hamba dapat dipahami sebagai ‘hukuman’ yang
diberikan sedikit demi sedikit, tidak secara langsung. Allah membiarkan hamba ini
dan tidak disegerakan hukumannya sebagaimana firman Allah:
ُ ‫َسنَ ْستَ ْد ِر ُجهُ ْم ِم ْن َحي‬
َ‫ْث الَ يَ ْعلَ ُمون‬
Artinya: “Nanti Kami akan menghukum mereka dengan berangsurangsur (ke arah
kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui.” (Qs Al-Qalam: 44).

1
Mengutip dari jurnal berjudul Istidraj dalam Al-Quran Perspektif Imam Al-
Qurthubi karya Diana Fitri Febriani, Istidraj adalah nikmat yang diberikan Allah
kepada orang-orang yang membangkang terhadap-Nya. Ini merupakan hukuman
dari Allah agar orang tersebut terus terjerumus dalam kesesatan.
Nikmat yang diberikan bukanlah bentuk kasih sayang Allah, melainkan murka
Allah terhadap mereka. Nikmat tersebut hanyalah alat untuk menghukum mereka,
baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Banyak ayat Alquran yang menyebutkan istilah istidraj. Istilah tersebut
diterjemahkan oleh ahli tafsir dengan beberapa pengertian. Salah satunya Surat Al-
A’raf ayat 182.
۟ ‫َوٱلَّ ِذينَ َك َّذب‬
ُ ‫ُوا بِٔـََٔ>ا ٰيَتِنَا َسنَ ْستَ ْد ِر ُجهُم ِّم ْن َحي‬
َ‫ْث اَل يَ ْعلَ ُمون‬
Artinya:
Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik
mereka dengan berangaur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak
mereka ketahui.
Ayat ini ditafsirkan oleh Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir Al-Jami’ Li’ Ahkami
sebagai pesan tersirat bahwa Allah akan menghukum hamba-Nya yang durhaka dan
maksiat dengan cara istidraj. Ia mengatakan bahwa saat orang melakukan
kemaksiatan, seketika itu pula Allah memberikan mereka nikmat sebagai hukuman.
Allah SWT berfirman bahwa orang yang mendustakan ayat-ayat-Nya akan
dibinasakan, yaitu dibinasakan dengan cara istidraj.
B. Konsep Istidraj
Mengenai pembahasan istidraj masih banyak masyarakat yang awam, istidraj
merupakan hal yang masih ambigu yang membuat seseorang tidak sadar terhadap
kesesatan yang ditimpakan kepadanya, berupa rezeki yang berlimpah, nikmat yang
banyak, tahap demi tahap yang diberikan kepada mereka. nikmat tersebut
tidak hanya berupa nikmat harta, tetapi juga nikmat kesehatan, ada orang yang
jarang diuji dengan sakit, padahal sering melakukan maksiat. Misalnya orang
tersebut gemar meminum khamar, tetapi ia tidak pernah sakit. Hal tersebut
adalah bentuk istidraj Allah kepadanya.

2
Apalagi realitas masyarakat saat ini, mereka sangat berambisi mendapatkan segala
kenikmatan dan kesenangan dunia dengan segala cara. Mereka tidak peduli apakah
cara tersebut dibolehkan atau tidak dalam Islam, yang penting hal yang mereka
inginkan tercapai.
Di dalam tafsir al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an Imam al-Qurthubi menjelaskan bahwa
nikmat yang diberikan Allah kepada orang yang diberi istidraj, adalah ketika orang
tersebut melakukan satu kemaksiatan, maka Allah beri langsung nikmat kepadanya.
Sementara ulama lain tidak menjelaskan kapan Allah akan memberi nikmat
kepada orang tersebut, apakah ketika mereka melakukan satu maksiat atau ketika
melakukan banyak maksiat.
Al-Munawi dalam Faidh Al-Qadir Syarh Al-Jami Al-Shaghir mengatakan, perkara
dunia yang diinginkan hamba dalam Hadits ini berupa harta, anak, dan kedudukan.
Dengan kenikmatan itu justru hamba tersebut semakin gencar dalam berbuat
maksiat. Akhirnya Allah berikan hamba tersebut istidraj (jebakan) berupa
dibukanya pintu kenikmatan lain dan hamba tersebut merasa senang dan nyaman
dengan kemaksiatannya disertai dengan hilangnya keinginan untuk bertaubat,
apalagi menyesali perbuatannya. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menggambarkan
bentuk kehidupan hamba dalam istidraj ini adalah dibukanya berbagai pintu rezeki
dan sumber penghidupan (kedudukan, jabatan, kehormatan) hingga terperdaya dan
beranggapan bahwa diri mereka di atas segala-galanya.

Ciri-ciri Istidraj
a) Diberikan kenikmatan walaupun tidak pernah beribadah
Kenikmatan duniawi yang dirasakan oleh seseorang yang beriman dengan
yang tidak beriman rasanya akan berbeda. Seseorang yang beriman akan
senantiasa bersyukur dan mendapati ketenangan yang sangat menentramkan
dalam hidupnya akan tetapi hal tersebut tidak akan dirasakan oleh orang
yang tidak beriman, mereka hanya akan merasa kurang dan gelisah
walaupun tengah menikmati semua kemudahan dan kebahagiaan yang Allah
berikan.

3
b) Rejeki lancar, ibadah diabaikan
Tidak semua orang terlahir dalam keadaan yang serba berkecukupan.
Sebagian orang harus berusaha keras untuk mendapatkan penghasilan dan
mendekatkan diri kepada Allah agar Allah membantu melancarkan pintu
rejekinya. Namun ketika seseorang yang selalu meninggalkan ibadahnya
secara sengaja namun rejekinya terus mengalir lancar maka hal tersebut
termasuk ke dalam ciri-ciri dari istidraj. Dimana kelancaran rejeki yang
didapat tentunya disertai dengan tanggung jawab yang besar semakin
banyak rejeki yang didapat, semakin kita mengabaikan ibadah dan perintah
Allah maka akan semakin berat juga dosa yang kita tanggung. Ibnu
Athaillah berkata: “Hendaklah engkau takut jika selalu mendapat karunia
Allah, sementara engkau tetap dalam perbuatan maksiat kepada-Nya, jangan
sampai karunia itu semata-mata istidraj oleh Allah”.
c) Hidupnya sukses padahal selalu bermaksiat
Ali Bin Abi Thalib rhadiyallahu'anhu berkata : “Hai anak Adam ingat dan
waspadalah bila kau lihat Tuhanmu terus menerus melimpahkan nikmat atas
dirimu sementara engkau terus-menerus melakukan maksiat kepadaNya”
Istidraj sangat jelas dalam perkara ini karena perbuatan maksiat pangkalnya
adalah kehancuran dan penderitaan. Namun ketika maksiat terus dilakukan
sedangkan kehidupan di dunianya semakin sukses dan sejahtera maka hal
tersebut adalah kemurahan hati yang Allah berikan dalam bentuk istidraj
d) Harta terus melimpah padahal kikir dan pelit
Kebanyakan orang berpikir bahwa harta yang ia dapatkan adalah miliknya
seorang saja sehingga ia merasa terlalu sayang jika hartanya harus dibagi
dengan orang lain walaupun dalam bentuk sedekah atau zakat sekalipun.
Maka jika Allah masih bermurah hati menjaga harta untuknya, itu adalah
salah satu ciri ujian dalam bentuk istidraj.

Terdapat lima tahapan yang akan dialami oleh hamba yang tidak
mengindahkan ajaran Islam sebagai sebuah istidraj.

4
- Pertama, Falamma nasuu maa dzukkiru (ketika hamba melupakan peringatan-
peringatan agama). Al Thabari dalam tafsirnya berkomentar melupakan perintah
agama adalah meninggalkan perintah Allah yang disampaikan Rasulnya.
AlRaghib al-Asfahani menjelaskan, melupakan itu timbul ada kalanya
disebabkan oleh hati yang lemah disertai dengan kelalaian yang disengaja.
Artinya, melupakan itu bukan berarti tidak tahu, tidak ingat atau tidak sadar, tapi
juga dalam bentuk kesengajaan, mungkin karena dianggap ajaran Islam itu tidak
sesuai dengan konteks masyarakat modern atau alasan-alasan sejenisnya.
- Kedua, Fatahna ‘alaihim abwaba kulli syai’ (Kami pun membuka semua pintu
kesenangan untuk mereka hamba). Diantara bentuk-bentuk kesenangan duniawi
yang hamba dapatkan adalah dimudahkan mendapatkan rezeki melimpah di
dunia. Hamba tersebut akan dimudahkan mendapatkan kesenangan duniawi apa
saja yang diinginkannya. Dengan kesenangan-kesenanga tersebut, si hamba
selalu berbuat maksiat, tidak memiliki keinginan bertaubat dan kembali ke jalan
yang benar.
- Ketiga, Hatta idza farihu bima utu (Hingga bila mereka gembira dengan apa
yang diberikan). Ketika hamba sedang dalam puncak kebahagiaan menikmati
kesenangan duniawinya berupa harta benda, anak banyak, dan kedudukan tinggi
di kalangan manusia, namun hidupnya masih jauh dari ketaatan, jauh dari rasa
empati pada orang lain, jauh dari masjid dan jauh dari majelis ilmu.
- Keempat, Akhadznahum baghtatan (Kami siksa mereka dengan sekonyong-
konyong). Artinya Allah akan menyiksa hamba tersebut di saat lalai. Qatadah
berkomentar, bahwa siksaan yang menimpa suatu kaum secara tiba-tiba adalah
urusan Allah. Dan tidak sekali-kali Allah menyiksa suatu kaum, melainkan di
saat mereka tidak menyadarinya dan dalam keadaan lalai serta tenggelam dalam
kesenangan.
- Kelima, Fa idza hum mublisun (ketika itu mereka terdiam putus asa).
Maksudnya, mereka akan putus harapan dari semua kebaikan. Hamba tersebut
telah terperdaya dengan kesenangan duniawi dimana Hasan al-Basri
mengatakan, siapa yang diberi keluasan oleh Allah, lalu ia tidak menyadari hal

5
itu merupakan ujian baginya, maka dia terperdaya. Sama halnya seorang yang
disempitkan oleh Allah, lalu ia tidak menyadari dirinya sedang diperhatikan
oleh Allah, maka dia juga terperdaya.
Ketika Allah membiarkan seorang hamba sengaja meninggalkan shalat,
meninggalkan puasa, tidak ada perasaan berdosa ketika bermaksiat seperti saat
membuka aurat, berat untuk bersedekah, merasa bangga dengan apa yang dimiliki
dan mengabaikan semua atau mungkin sebagian perintah Allah, benci terhadap
aturan Allah, merasa umurnya panjang dan menunda-nunda taubat, enggan
menuntut dan menambah pengetahuan (khususnya agama) serta lupa akan kematian,
tapi Allah tetap memberikan hamba tersebut rezeki melimpah, kesenangan terus
menerus, dikagumi dan dipuja puji banyak orang, tidak pernah diberikan sakit, tidak
pernah diberikan musibah, prestasi akademiknya tambah sukses, hidupnya aman-
aman saja, maka hamba tersebut harus berhati-hati karena semuanya itu adalah
istidraj. Keadaan tersebut adalah bentuk kesengajaan dan pembiaran oleh Allah
pada hamba yang sengaja berpaling dari perintah-Nya dan Allah menunda segala
bentuk azab-Nya. Allah membiarkan hamba tersebut semakin lalai dan diperbudak
dunia. Semoga kita dihindarkan dari jenis hamba seperti ini dan digolongkan oleh
Allah sebagai hamba yang bisa menggunakan kenikmatan duniawi dalam ketaatan.
C. Dalil-dalil Tentang Istidraj
Di Al Quran, Allah memberikan penjelasan tentang istidraj. Berikut ini ayat tentang
istidraj yang perlu kita pahami.
1. Peringatan untuk Orang Kafir
“Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa pemberian
tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami
memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka;
dan bagi mereka azab yang menghinakan.” (QS.Ali ‘Imran: 178)
2. Siksaan Setelah Kesenangan
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka,
Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga
apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami

6
siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus
asa.” (QS.Al An’am: 44).
3. Harta dan Kesenangan Tidak Selalu Berarti Kebaikan
“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada
mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada
mereka tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (QS. Al Mu’minun: 55-56).
4. Ayat Tentang Istidraj Ditimpakan kepada Kaum Nabi yang Ingkar
“Kemudian Kami ganti kesusahan itu dengan kesenangan hingga keturunan dan
harta mereka bertambah banyak, dan mereka berkata: “Sesungguhnya nenek
moyang kamipun telah merasai penderitaan dan kesenangan“, maka Kami timpakan
siksaan atas mereka dengan sekonyong-konyong sedang mereka tidak
menyadarinya.”
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang
telah mereka kerjakan.”(QS.Al A’raf: 95-96).
5. Istidraj Mengantarkan pada Kebinasaan
“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik
mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak
mereka ketahui. Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya
rencana-Ku amat teguh.” (QS.Al A’raf: 182-183).
6. Setan Membuai Manusia, Lalu Berlepas Tangan
“Dan ketika setan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka dan
mengatakan: “Tidak ada seorang manusia pun yang dapat menang terhadapmu pada
hari ini, dan sesungguhnya saya ini adalah pelindungmu“. Maka tatkala kedua
pasukan itu telah dapat saling melihat (berhadapan), setan itu balik ke belakang
seraya berkata: “Sesungguhnya saya berlepas diri daripada kamu, sesungguhnya
saya dapat melihat apa yang kamu sekalian tidak dapat melihat; sesungguhnya saya
takut kepada Allah“. Dan Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS.Al Anfal: 48).
7. Ayat Tentang Istidraj Ditimpakan pada Orang yang Tidak Beriman

7
“Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada negeri akhirat, Kami
jadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka, maka mereka
bergelimang (dalam kesesatan).” (QS.An Naml: 4)
“Dan (juga) kaum ´Aad dan Tsamud, dan sungguh telah nyata bagi kamu
(kehancuran mereka) dari (puing-puing) tempat tinggal mereka. Dan syaitan
menjadikan mereka memandang baik perbuatan-perbuatan mereka, lalu ia
menghalangi mereka dari jalan (Allah), sedangkan mereka adalah orang-orang
berpandangan tajam.” (QS.Al Ankabut: 38)
8. Azab Dunia bagi Orang yang Terbuai dengan Kejayaan
Ayat tentang istidraj ini berkisah tentang orang musyrik yang enggan menyisihkan
hak fakir miskin, walaupun mereka memiliki kebun yang sangat menghasilkan.
Allah kemudian menurunkan azab pada mereka.
“Sungguh, Kami telah menguji mereka (orang musyrik Mekah) sebagaimana Kami
telah mencobai pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka
sungguh-sungguh akan memetik (hasil)-nya di pagi hari, dan mereka tidak
menyisihkan (hak fakir miskin), lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang)
dari Rabbmu ketika mereka sedang tidur, maka jadilah kebun itu hitam seperti
malam yang gelap gulita. lalu mereka panggil memanggil di pagi hari: “Pergilah di
waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya.” Maka pergilah
mereka saling berbisik-bisik. “Pada hari ini janganlah ada seorang miskin pun
masuk ke dalam kebunmu.” Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat
menghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka (menolongnya). Tatkala mereka
melihat kebun itu, mereka berkata: “Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang
yang sesat (jalan), bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya) Berkatalah
seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka: “Bukankah aku telah
mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu). Mereka
mengucapkan: “Maha Suci Rabb kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang
yang zalim.” Lalu sebagian mereka menghadapi sebagian yang lain seraya cela
mencela. Mereka berkata: “Aduhai celakalah kita; sesungguhnya kita ini adalah
orang-orang yang melampaui batas.” Mudah-mudahan Rabb kita memberikan ganti

8
kepada kita dengan (kebun) yang lebih baik daripada itu; sesungguhnya kita
mengharapkan ampunan dari Rabb kita. Seperti itulah azab (dunia). Dan
sesungguhnya azab akhirat lebih besar jika mereka mengetahui. (QS.Al Qalam: 17-
33).
9. Allah Memberikan Kuasa pada Orang yang Mendustakan Al Quran, untuk
Kemudian Membinasakan Mereka
“Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang
mendustakan Perkataan ini (Al Quran). Nanti Kami akan menarik mereka dengan
berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka
ketahui,” (QS.Al Qalam: 44)
10. Sesungguhnya Nikmat adalah Ujian
“Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami
berikan kepadanya nikmat dari Kami ia berkata, “Sesungguhnya aku diberi nikmat
itu hanyalah karena kepintaranku”. Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan
mereka itu tidak mengetahui.” (QS.Az Zumar: 49)

9
BAB II
DALIL-DALIL HADITS QUDSI TENTANG HUKUMAN YANG DISEGERAKAN
SEBAGAI BENTUK KASIH SAYANG ALLAH TERHADAP HAMBANYA

1. Dalil-dalil yang Mendasarinya


Terdapat 3 dosa yang balasannya akan disegerakan Allah SWT di dunia.
‫هنع ال َل يضر ةركب يبأ نع‬، ‫ ك الق ملسو هيلع هللا ىلص يبنال نع‬: ‫موي ىإل ءاش ام اهنم هللا رخؤي بونذ ل‬
‫يغبال الإ ةمايقال‬، ‫نيدالوال َقوقعو‬، ‫محرال ةعيطق وأ‬، ‫تومال لبق ايندال يف اهبحاصل لجعي‬
Hal ini sesuai dalam hadist dari Abu Bakrh RA, Rasulullah SAW bersabda,”
Setiap dosa akan di akhirkan (ditunda) balasannya oleh Allah SWT hingga hari
kiamat, kecuali al-baghy (zalim), durhaka kepada orang tua dan memutuskan
silaturahim, Allah akan menyegerakan di dunia sebelum kematian menjemput.”
(HR Al Hakim, Al Mustadrak No 7345).
Pertama, dosa orang yang berbuat zalim balasannya akan disegerakan. Zalim
adalah perbuatan melampaui batas dalam melakukan keburukan. Perbuatan zalim
dapat mengotori hati, seperti sombong, dengki, ghibah, fitnah, dusta, dan lain
sebagainya. Karena itu zalim termasuk dari dosa besar.
Manusia yang zalim akan mendapatkan balasan di dunia dan siksa pedih di akhirat.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam Alquran:

‫ميأل باذع مهل كئلوأ ۚق حال ريغب ضراْل يف نوغبيو سانال نوملظي نيذال ىلع ليبسال امنإ‬
Artinya: “Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada
manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab
yang pedih.” (QS Asy-Syura: 42)
Kedua, orang yang durhaka kepada orang tua. Sikap buruk dan tidak
menghormati serta tidak menyayangi kedua orang tua, adalah sikap yang sangat
tercela, karena merekalah penyebab keberadaan kita di dunia ini.

10
Jika sikap ini dilakukan, maka akan mengundang kemurkaan dari Allah SWT di
dunia ini, antara lain dalam bentuk pembangkangan sikap yang dilakukan anak-anak
mereka.

Karena itu, sikap ihsan baik dalam ucapan maupun perbuatan merupakan
suatu kewajiban agama sekaligus merupakan suatu kebutuhan. Seperti yang
dijelaskan dalam firman Allah SWT:

‫الو فأ امهل لقت لَف امهلَك وأ امهدحأ ربكال كدنع نغلبي امإ ۚا ناسحإ نيدالوالبو> هايإ الإ اودبعت الأ كبر ىضقو‬
‫رك الوق امهل لقو امهرهنت‬

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika
salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada
mereka ucapan yang mulia.” (QS Al-Isra: 23).
Ketiga, dosa orang yang memutuskan silaturahim. Islam tidak menyukai
orang-orang yang memutuskan tali persaudaraan.
Islam mengancam dan mengecam secara tegas orang-orang yang memutuskan tali
persaudaraan. Dalam hal ini, Rasulullah SAW bersabda dari Abu Muhammad Jubiar
bin Muth’im RA:

‫الل لوسر نأ هنع هللا يضر معطم نب ريبج دمحم يبأ نع‬
َ ‫ ال الق ﷺ‬: ‫عطاق ةنجال لخدي‬

Artinya: “Tidak akan masuk surga orang yang memutus (silaturahim)." (HR
Bukhari dan Muslim).

Islam begitu tegas terhadap hubungan baik sesama manusia. Oleh karena itu, orang
yang tidak mau berbuat baik dan justru memutus persaudaraan, Islam pun
memberikan ancaman yang keras, yakni tidak akan masuk surga sebagai
balasannya. Sungguh mengerikan.

11
2. Penjelasannya:

Dari Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫موي هب ىفوي ىتح هبنذب هنع كسمأ رشال هدبعب ال َّل دارأ اذإو ايندال ىف ةبوقعال هل لجع ريخال هدبعب ال َّل‬
‫دارأ اذإ ةمايقال‬

Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan hukumannya di
dunia. Jika Allah menghendaki kejelekan padanya, Dia akan mengakhirkan balasan
atas dosa yang ia perbuat hingga akan ditunaikan pada hari kiamat kelak.” (HR

Tirmidzi no. 2396, hasan shahih kata Syaikh Al Albani Juga dari hadits Anas bin
Malik, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫طخسال هلف طخس نمو اضرال هلف ىضر نمف مهالتبا اموق بحأ اذإ ال َّل نإو ءالبال مظع عم ءازجال مظع نإ‬

Sesungguhnya pahala besar karena balasan untuk ujian yang berat. Sungguh, jika
Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menimpakan ujian untuk mereka
Barangsiapa yang ridho, maka ia yang akan meraih ridho Allah. Barangsiapa siapa
yang tidak suka, maka Allah pun akan murka.” (HR. Ibnu Majah no. 4031, hasan
kata Syaikh Al Albani)

Penjelasan dari dua hadits di atas:

1. Musibah yang berat (dari segi kualitas dan kuantitas) akan mendapat balasan
pahala yang besar.

2. Tanda Allah cinta, Allah akan menguji hamba-Nya. Dan Allah yang lebih
mengetahui keadaan hamba-Nya. Kata Lukman -seorang sholih- pada anaknya,

‫ءالبالب ربتخي نمؤمالو رانالب ناربتخي ةضفالو بهذال ينب اي‬

Wahai anakku, ketahuilah bahwa emas dan perak diuji keampuhannya dengan
api sedangkan seorang mukmin diuji dengan ditimpakan musibah

12
3. Siapa yang ridho dengan ketetapan Allah, ia akan meraih ridho Allah dengan
mendapat pahala yang besar.

4. Siapa yang tidak suka dengan ketetapan Allah, ia akan mendapat siksa yang
pedih.

5. Cobaan dan musibah dinilai sebagai ujian bagi wali Allah yang beriman.

6. Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan


hukumannya di dunia dengan diberikan musibah yang ia tidak suka sehingga ia
keluar dari dunia dalam keadaan bersih dari dosa.

7. Jika Allah menghendaki kejelekan padanya, Dia akan mengakhirkan balasan


atas dosa yang ia perbuat hingga akan ditunaikan pada hari kiamat kelak. Ath
Thibiy berkata, “Hamba yang tidak dikehendaki baik, maka kelak dosanya akan
dibalas hingga ia datang di akhirat penuh dosa sehingga ia pun akan disiksa
karenanya.” (Lihat Faidhul Qodir, 2: 583, Mirqotul Mafatih, 5: 287, Tuhfatul
Ahwadzi, 7: 65)

8. Dalam Tuhfatul Ahwadzi disebutkan, “Hadits di atas adalah dorongan untuk


bersikap sabar dalam menghadapi musibah setelah terjadi dan bukan maksudnya
untuk meminta musibah datang karena ada larangan meminta semacam ini.”

3. Contoh Kasus

Kasus 1:

Saya mengambil contoh dari seseorang yang pernah mengalami masalah hidup yang
sangat berat,terlilit hutang, sakit yang sangat langka dengan kwmungkinan hidup
yang sangat tipis,namun Allah begitu mencintainya. Entah dia pernah berbuat dosa
atau apa pun sebelumnya ,hanya Allah yang tahu namun setelah semua kejadian
yang sulit itu dia menjadi sangat dekat dengan Allah SWT. Begitu hebatnya
kepiawaian Dewa Eka Prayoga dalam bidang pemasaran digital hingga ia mendapat

13
julukan 'Dewa Selling'. Namun, pria yang juga akrab disapa Kang Dewa ini
mengalami serentetan ujian yang mungkin membuat banyak orang menyerah.

Keterpurukan pertama sudah dirasakan saat usia muda, tepatnya ketika ia masih
menjalani semester tujuh perkuliahan. Nilai utang yang harus ditanggung pun tidak
sepele, yakni mencapai Rp7,7 miliar.

Ya, nilai uang yang besar memang sudah didapatkannya sejak kuliah karena saat itu
sudah bisa membentuk personal branding yang cukup terkenal. "Waktu itu saya
bawa uang banyak karena saya sudah punya personal branding lantaran sering
diundang seminar di luar kampus. Sampai sampai ada teman yang nawarin saya
proyek pengadaan laptop dan lain-lain untuk keperluan kantor," papar Dewa yang
kala itu berhasil mengumpulkan puluhan investor.

Nahas, teman yang dipercaya nyatanya hanya penipu yang menjual proyek bodong.
Saat mengetahui sang teman kabur, Dewa yang saat itu merupakan mahasiswa
Universitas Pendidikan Indonesia segera melapor ke polisi. Meski dengan kasus itu
pada awalnya masih ada 40 investor bertahan, kemudian hanya tersisa dua orang.

Untuk membayar utang, Dewa yang kala itu baru beberapa hari menikah pun
mencoba berjualan jajanan dari berkeliling menjual ceker pedas, krupuk, hingga
seblak. Ia beruntung karena sang istri, Wiwin Supiyah, rela membanting tulang
bersama meski masih menjadi pengantin baru.

Kemudian jalan mulai membaik saat ia ditawari menulis buku oleh seorang teman.
Berbekal laptop jadul, Dewa berhasil menulis kisahnya hanya dalam tujuh hari ke
dalam buku berjudul 7 Kesalahan Pengusaha Pemula. Buku itu tidak disangka laris
hingga Dewa bisa berpendapatan Rp120 juta per bulan. Namun, di tengah masa
perbaikan dalam melunasi utangnya, ujian baru datang lagi. Dewa terdiagnosis
menderita GBS (guillain barre syndrome), yaitu sebuah gangguan saraf yang
mengakibatkan seluruh badanya lumpuh total. Ia pun terpaksa harus dirawat secara

14
intensif selama dua bulan akibat penyakit tersebut hingga menelan biaya perawatan
sebesar Rp700 juta.

Meski terpuruk, Dewa tetap bersyukur karena dapat sembuh dalam waktu empat
bulan. Penulis buku Melawan Kemustahilan itu juga merasa ujian yang ia alami
telah menjadikannya sebagai pribadi yang lebih baik.

Kini, pada usia 30 tahun, Dewa tidak hanya tetap gencar berbisnis dan menjadi
motivator, tetapi juga berbagi kepada sesama dengan mendirikan pesantren bagi
kalangan tidak mampu. "Saat ini saya sedang membangun sebuah pondok Qur'an
Digitalpreneur di Cirebon. Semoga tahun depan selesai dan sedang berkampanye
mengajak teman-teman di Indonesia berwakaf dan bersedekah secara gila-gilaan,
sesering mungkin, sesempat mungkin, dengan hashtag #SedekahBrutal," pungkas
Dewa.

Kasus 2 :

KITA masih ingat dengan materi hari kemarin yaitu “Musibah Antara Ujian Dan
Adzab dari Allah SWT”. Bagi orang beriman setelah memahami begitu yakinnya
bahwa Musibah adalah ujian dan takdir Allah. Hal ini perlu kita tanamkan dalam
keyakinan kita bahwa ujian dan cobaan adalah tanda kasih sayang Allah pada
hamba-Nya yang beriman.

Jadi, semakin Allah cinta pada seseorang, maka ujian yang diberikan padanya bisa
semakin berat. Karena ujian tersebut akan semakin menaikkan derajat dan
kemuliaannya di hadapan Allah, dan ini sekaligus menjadi takdir Allah yang
diberikan kepada hambanya. Suatu contoh orang yang paling dicintai Allah adalah
para Nabi dan Rasul. Mereka adalah orang yang paling berat menerima ujian
semasa hidupnya. Ujian mereka sangat berat melebihi ujian yang diberikan kepada
manusia lainnya. Contohnya Nabi Ayub AS. Allah SWT mengujinya dengan
kemiskinan dan penyakit yang sangat berat selama berpuluh-puluh tahun, tapi ia
tetap sabar.

15
Setelah para Nabi dan Rasul, orang yang ujiannya sangat berat adalah para shalihin
dan para ulama. Demikianlah secara berurutan, hingga Allah SWT menimpakan
ujian yang ringan kepada orang-orang awam, termasuk kita di dalamnya. Yang
pasti, ketika setelah seseorang mengikrarkan diri beriman, maka Allah akan
menyiapkan ujian baginya.

Dalam Alquran tertulis janji Allah, ”Apakah manusia itu mengira bahwa mereka
akan dibiarkan (saja) mengatakan: Kami telah beriman, lantas tidak diuji lagi?
Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya
Allah mengetahui orang-orang yang benar dan mengetahui orang-orang yang dusta”
(QS Al Ankabut: 2-3).

Suatu ketika seorang laki-laki bertemu dengan seorang wanita yang disangkanya
pelacur. Dengan usil, lelaki itu menggoda si wanita sampai-sampai tangannya
menyentuh tubuhnya. Atas perlakuan itu, si wanita-pun marah. Lantaran terkejut,
lelaki itu menoleh ke belakang, hingga mukanya terbentur tembok dan ia pun
terluka. Pasca kejadian, lelaki usil itu pergi menemui Rasulullah dan menceritakan
pengalaman yang baru saja dialaminya. Rasulullah SAW berkomentar, ”Engkau
seorang yang masih dikehendaki oleh Allah menjadi baik”. Setelah itu, Rasul
mengucapkan hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mughaffal.

SADARILAH bahwa masing-masing kita akan ada ujiannya, ujian juga merupakan
takdir Allah yang wajib diterima minimal dengan kesabaran. Dan ini tentunya harus
mengucapkan Alhamdulillah jika mampu diterima dengan ridha bahkan rasa syukur.
Tidak ada manusia yang tidak pernah tidak mendapat ujian dengan mengalami
kesusahan dan kesedihan. Setiap ujian pasti Allah timpakan sesuai dengan kadar
kemampuan hamba-Nya, dan ini berarti justru wujud cintanya Allah Kepada kita.

“Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan hukumannya
di dunia. Jika Allah menghendaki kejelekan padanya, Dia akan mengakhirkan
balasan atas dosa yang ia perbuat hingga akan ditunaikan pada hari kiamat kelak.”
(HR. Tirmidzi, shahih).

16
Mari renungkan hadist ini. Apakah kita tidak ingin Allah menghendaki kebaikan
kepada kita? Allah segerakan hukuman kita di dunia agar Allah tidak menghukum
kita lagi diakhirat. Tentunya hukuman di akhirat jauh lebih dahsyat dan berlipat-
lipat ganda. Maka tentu orang yang berakal dan beriman kepada hari akhirat, akan
lebih memilih hukuman disegerakan di dunia daripada ditunda di hari kiamat kelak.

Apakah kita ridha atau murka dengan takdir Allah, Kemudian apabila kita murka
dan tidak terima, apakah bisa merubah takdir dan keadaan kita saat ini. Untuk itu
mari kita ridha dan bahagia dengan takdir Allah. Kita harus berprasangka baik
kepada Allah karena Allah sesuai prasangka hamba-Nya. Apabila kita murka dan
tidak ridha, berarti itulah kenyataannya bahwa musibah ini turun sebagai adzab bagi
kita.

Apabila kita ridha dan berusaha memperbaiki diri, semoga ini adalah ujian yang
mengangkat derajat kita. Sebagaimana kata Allah, “Dan sungguh akan Kami
berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta,
jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang
sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila aditimpa musibah, mereka mengucapkan:
“Innaa Lillahi wa innaa ilaihi raji’uun”. Mereka itulah yang mendapatkan
keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-
orang yang mendapat petunjuk.” (Qs. Al-Baqarah: 155-157).

BAB III

17
DOSA DAN KRITERIA RIBA BESERTA DALIL-DALILNYA

A. Pengertia Riba

Riba (‫ )ربا يربو‬secara bahasa artinya bertambah/tambahan, bisa juga diartikan


mengembang atau lebih banyak. Menurut syariat, pengertian riba lebih luas,
yaitu penambahan atau penundaan (meskipun tidak ada penambahan).

Hukum riba adalah haram, berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah serta ijma’
umat Islam. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

ٍ ْ‫) فَإ ِ ْن لَ ْم تَ ْف َعلُوا فَأْ َذنُوا بِ َحر‬278( ‫ين‬


‫ب‬ >َ ِ‫ء يا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اتَّقُوا هَّللا َ َو َذرُوا َما بَقِ َي ِمنَ ال ِّربَا إِ ْن ُك ْنتُ ْم ُم ْؤ ِمن‬
279 ‫) فَإ ِ ْن لَ ْم‬279( َ‫ظلَ ُمون‬ ْ ُ‫َظلِ ُمونَ َواَل ت‬ ْ ‫ِمنَ هَّللا ِ َو َرسُولِ ِه َوإِ ْن تُ ْبتُ ْم فَلَ ُك ْم ُر ُءوسُ أَ ْم َوالِ ُك ْم اَل ت‬

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan


sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang benar benar
beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya (Q.S. Al Baqarah: 278-279).

Dosanya adalah mendapat ancaman peperangan dari Allah dan


Rasul-Nya. Hanya ini (riba, pen) yang mendapat ancaman dari dua itu
(Allah dan Rasul-Nya). Hal lain yang mendapat ancaman peperangan dari
Allah, yaitu seperti yang tercantum di Hadits Arba’in: “Barang siapa
memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan perang kepadanya…”

Riba itu aniaya/zalim (dzolim) secara realitasnya, meskipun yang


terzalimi merasa terbantu dan merasa terbantu ini dalah subjektif.
Bagaimanapun juga, mengambil tambahan (dalam perutangan, red) itu

18
adalah zalim, meskipun sukarela. Riba memang sukarela, kalau tidak
sukarela, maka itu perampokan/perampasan.

Sungguh suatu kemurahan dan kasih sayang dari Allah, jika


bertaubat dari riba, boleh mengambil pokok tanpa peranakannya/bunganya.
Kita tidak diwajibkan memutihkan utang tersebut. Kita tidak perlu
membuang semua dari perutangan yang mengandung riba, masih
diperbolehkan mengambil harta yang pokok/asli.

Allah Subhanahu Wata’ala juga berfirman:

‫طانُ ِمنَ ْال َمسِّ َذلِكَ بِأَنَّهُ ْم قَالُوا إِنَّ َما ْالبَ ْي ُع‬َ ‫الَّ ِذينَ يَأْ ُكلُونَ ال ِّربَا ال يَقُو ُمونَ إِال َك َما يَقُو ُم الَّ ِذي يَتَ َخبَّطُهُ ال َّش ْي‬
ِ ‫ِم ْث ُل ال ِّربَا َوأَ َح َّل هَّللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّربَا فَ َم ْن َجا َءهُ َموْ ِعظَةٌ ِم ْن َربِّ ِه فَا ْنتَهَى فَلَهُ َما َسلَفَ َوأَ ْم ُرهُ ِإلَى هَّللا‬
َ ِ‫َو َم ْن عَا َد فَأُولَئ‬
ِ َّ‫ك أَصْ َحابُ الن‬
)275‫) (االؤسش‬275( َ‫ار هُ ْم فِيهَا خَالِ ُدون‬

Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri


melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu
terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah:
275).

‫ار أَثِ ٍيم‬


ٍ َّ‫ت ۗ َوهَّللا ُ اَل يُ ِحبُّ ُك َّل َكف‬ َّ ‫ق هَّللا ُ ال ِّربَا َويُرْ بِي ال‬
ِ ‫ص َدقَا‬ ُ ‫يَ ْم َح‬

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak


menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.”
(Q.S. Al-Baqarah: 276).

19
Memakan riba maksudnya adalah mengambil dan menerima riba, tidak
hanya terbatas pada menggunakannya untuk makan, tetapi juga untuk membeli
pakaian dan lainnya. Ulama mengatakan bahwa pemakan riba nanti ketika bangkit
dari kubur, jalannya sempoyongan.

Allah berkata berkebalikan dengan pikiran manusia. Allah memusnahkan/


menghancurkan keuntungan riba, padahal dianggap baik oleh manusia. Pikiran
manusia, jika meribakan uangnya, maka akan mendapat tambahan, akan tetapi
Allah mengatakan akan menghancurkannya. Pikiran manusia, jika menyedekahkan
hartanya maka akan membuat berkurang, akan tetapi Allah mengatakan akan
menyuburkan sedekah.

ِ ‫ال « اجْ تَنِبُوا ال َّس ْب َع ْال ُموبِقَا‬


‫ت‬ َ َ‫ع َْن أَبِى هُ َر ْي َرةَ – رضى هللا عنه – َع ِن النَّبِ ِّى – صلى هللا عليه وسلم – ق‬
ِّ ‫س الَّتِى َح َّر َم هَّللا ُ إِالَّ بِ ْال َح‬
،‫ق‬ ِ ‫ َوقَ ْت ُل النَّ ْف‬، ‫ َوالسِّحْ ُر‬، ِ ‫ك بِاهَّلل‬
ُ ْ‫ َو َما ه َُّن قَا َل « ال ِّشر‬، ِ ‫ُول هَّللا‬
َ ‫ قَالُوا يَا َرس‬. »
ِ َ‫ت ْالغَافِال‬
‫ت‬ ِ ‫ت ْال ُم ْؤ ِمنَا‬ َ ْ‫ َوقَ ْذفُ ْال ُمح‬، ‫ف‬
ِ ‫صنَا‬ ِ ْ‫ َوالتَّ َولِّى يَوْ َم ال َّزح‬، ‫ َوأَ ْك ُل َما ِل ْاليَتِ ِيم‬، ‫ » َوأَ ْك ُل الرِّ بَا‬.

Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Jauhilah tujuh dosa yang membinasakan!”.
Para shahabat bertanya, “Apa saja tujuh dosa itu wahai rasulullah?”Jawaban Nabi,
“Menyekutukan Allah, sihir, menghabisi nyawa yang Allah haramkan tanpa alasan
yang dibenarkan, memakan riba, memakan harta anak yatim, meninggalkan medan
perang setelah perang berkecamuk dan menuduh berzina wanita baik baik(yang
menjaga dirinya)” [Muttafaq ‘alaih].

Menjauhi itu lebih dari sekadar meninggalkan, yakni juga meninggalkan


setiap sarana yang mengantarkan ke hal itu.

Memakan riba larangannya adalah mutlak. Memakan harta anak yatim


terlarang jika zalim. Misalkan orang tuanya miskin, maka hal ini boleh terutama
bagi ibu, jika suaminya meninggal, lalu pembagian warisnya tidak tepat (ibu

20
mendapat warisan berlebih, red), ibu itu berarti (berpotensi) memakan harta anak
yatim. Hal ini juga menunjukkan pentingnya pembagian waris dengan tepat.

‫ آ ِك َل الرِّ بَا َو ُمو ِكلَهُ َو َكاتِبَهُ َو َشا ِه َد ْي ِه َوقَا َل هُ ْم َس َوا ٌء‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ع َْن َجابِ ٍر قَا َل لَ َعنَ َرسُو ُل هَّللا‬

Dari Jabir, Rasulullah melaknat orang yang memakan riba, nasabah riba,
juru tulis dan dua saksi transaksi riba. Nabi bersabda, “Mereka itu sama[1]”
[H.R. Muslim].

Laknat artinya adalah dijauhkan dari kasih sayang Allah subhanahu wata’ala
(tidak Allah sayangi). Kaidah dalam masalah ini yaitu setiap perbuatan yang
ditakut-takuti/diancam dengan laknat adalah dosa besar.

‫ الربا ثالثة و سبعون بابا أيسرها مثل أن ينكح‬: ‫ عن النبي صلى هللا عليه و سلم قال‬: ‫عن عبد هللا‬
‫الرجل أمه‬

Dari Abdullah bin Mas’ud, Nabi bersabda, “Riba itu memiliki 73 pintu.
Dosa riba yang paling ringan itu semisal dosa menzinai/menyetubuhi ibu
sendiri” [H.R. Hakim].

ُ‫ « ِدرْ هَ ُم ِربا ً يَأْ ُكلُه‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬
َ َ‫ع َْن َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن َح ْنظَلَةَ َغ ِسي ِل ْال َمالَئِ َك ِة قَا َل ق‬
ً‫ال َّر ُج ُل َوهُ َو يَ ْعلَ ُم أَ َش ُّد ِم ْن ِستَّ ٍة َوثَالَثِينَ َز ْنيَة‬

Dari Abdullah bin Hanzholah[2], Rasulullah bersabda, “Satu dirham uang


riba yang dinikmati seseorang dalam keadaan tahu bahwa itu riba dosanya
lebih jelek dari pada berzina 36 kali” [HR Ahmad].

21
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل َما أَ َح ٌد أَ ْكثَ َر ِم ْن ال ِّربَا إِاَّل َكانَ عَاقِبَةُ أَ ْم ِر ِه إِلَى قِلَّ ٍة‬
َ ‫ع َْن اب ِْن َم ْسعُو ٍد ع َْن النَّبِ ِّي‬

Dari Ibnu Mas’ud, Nabi bersabda, “Tidaklah seorang itu memperbanyak


harta dari riba kecuali kondisi akhirnya adalah kekurangan/kemiskinan”
[H.R. Ibnu Majah].

B. Karakteristik Riba

Pada dasarnya, riba terbagi menjadi dua macam: riba karena penundaan dan
riba karena selisih/kelebihan.

Riba karena penundaan atau nasi’ah (‫ )النّس>>>يئه‬dapat diartikan dengan


tambahan yang disyaratkan yang diambil/diterima dari orang yang diutangi
sebagai kompensasi dari penundaan pelunasan (termasuk di dalamnya riba
jahiliyah). Riba ini bisa terjadi karena penundaan saja atau penundaan sekaligus
dengan tambahan.

Riba jahiliyah adalah salah satu model riba, yaitu ketika jatuh tempo, tidak
bisa melunasi, lalu jatuh tempo ini diundur, dengan syarat ada penambahan
pembayaran. Namun, jika dapat dilunasi pada saat jatuh tempo yang pertama,
maka tidak ada penambahan. Ini model rentenir jahiliyah.

Riba modern lebih kejam daripada riba jahiliyahnya orang jahiliyah.


Riba modern, dari jatuh tempo pertama sudah diwajibkan membayar tambahan.
Kalau riba jahiliyah, jatuh tempo pertama gratis dari uang administrasi dan
semacamnya. Riba modern, belum terima uang sudah harus bayar. Misal,
pinjam lima juta rupiah, dapatnya empat juta lima ratus ribu. Baru menerima,
sudah langsung terkena ribanya, dianggapnya utang lima juta rupiah. Riba jenis
ini haram berdasarkan Quran, Sunnah, dan ijma’ umat Islam.

22
Riba karena selisih atau riba fadhl ((‫)الفضل‬, ini terdapat dalam dunia
perdagangan, tepatnya pada barter, akan tetapi tidak semua barter, hanya barter
pada barang-barang tertentu saja (komoditas ribawi). Yakni barter uang dengan
uang atau bahan makanan dengan bahan makanan, dengan ada penambahan.

Riba ini haram berdasarkan hadits dan ijma’. Pada awalnya ada ikhtilaf,
yakni Ibnu Abbas membolehkannya, tetapi akhirnya beliau rujuk dan meralat
pendapatnya, dan hasilnya ulama sepakat bahwa ini tidak boleh, riba ini dinilai
menjadi sarana menuju riba nasi’ah.

Tidak terjadi riba dalam dunia barter kecuali dengan enam benda ribawi.
Dalam hadits hanya ada enam benda ribawi. Ada perselisihan apakah riba hanya
pada enam benda tersebut atau bisa dilebarkan ke benda yang lainnya. Pendapat
yang lebih kuat adalah enam benda tersebut bisa dilebarkan kepada benda yang
sejenis dan semisal.

Enam jenis benda ribawi tersebut adalah emas, perak, gandum bur,
gandum sa’ir, kurma, dan garam. Hal ini sebagaimana hadits:

‫ض ِة‬َّ ِ‫ضةُ بِ ْالف‬


َّ ِ‫ب َو ْالف‬ ِ َ‫الذه‬َّ ِ‫الذهَبُ ب‬ َّ « -‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ت قَا َل قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬ ِ ‫ع َْن ُعبَا َدةَ ب ِْن الصَّا ِم‬
‫ت‬ ْ ‫ح ِم ْثالً بِ ِم ْث ٍل َس َوا ًء بِ َس َوا ٍء يَدًا بِيَ ٍد فَإ ِ َذا‬
ْ َ‫اختَلَف‬ ِ ‫ير َوالتَّ ْم ُر بِالتَّ ْم ِر َو ْال ِم ْل ُح بِ ْال ِم ْل‬
ِ ‫َو ْالبُرُّ بِ ْالبُ ِّر َوال َّش ِعي ُر بِال َّش ِع‬
‫هَ ِذ ِه األَصْ نَافُ فَبِيعُوا َك ْيفَ ِش ْئتُ ْم إِ َذا َكانَ يَدًا بِيَ ٍد‬

Dari Ubadah bin Shamit, Rasulullah bersabda, “Jika emas dibarter dengan emas,
perak dibarter dengan perak, gandum burr dibarter dengan gandum burr, gandum
sya’ir dibarter dengan gandum sya’ir, kurma dibarter dengan kurma, garam dibarter
dengan garam maka takarannya harus sama dan tunai. Jika benda yang dibarterkan
berbeda maka takarannya sesuka hati kalian asalkan tunai.” [H.R. Muslim].

Maka emas jika dibarter dengan emas, tidak boleh melihat karat, tidak boleh
melihat kualitas, yang dilihat hanya takaran/timbangan, dan menurut pendapat yang
paling kuat, tidak juga melihat bentuk, entah berbentuk batangan ataupun perhiasan.
Kalau ingin dibarter, menurut aturan syariat, harus rela seperti itu. Lima gram emas

23
dibarter dengan lima gram emas, meskipun kualitas berbeda. Jika tidak rela,
mungkin karena harganya berbeda, maka jangan dibarter. Silakan jual emas
tersebut, lalu uang yang didapat gunakan untuk membeli seperti apa yang
diinginkan.

Demikian juga perak dengan perak. Namun jika emas dengan perak, maka
boleh berbeda takaran/timbangannya, tetapi keduanya tetap harus diserahkan pada
saat itu juga. Maka jika terdapat barter, bendanya sejenis, maka ada dua yang
dilarang, yaitu haram adanya selisih dan haram adanya penundaan. Maka tidak
boleh tidak, harus ada kesamaan dalam timbangan dan waktu penyerahan dengan
menutup mata terhadap kualitas. Meskipun beda karat itu dianggap beda dalam
pandangan manusia, akan tetapi hal itu tidak dianggap dalam pandangan syariat.

َّ – ‫ع َْن أَبِى َس ِعيد ال ُخدري – رضى هللا عنه‬


‫أن َرسُو ُل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – قَا َل الَ تَبِيعُوا‬
‫ َوالَ تُ ِشفُّوا‬،‫ق ِإاَّل ِم ْثاًل بِ ِم ْث ٍل‬ ٍ ‫ضهَا َعلَى بَع‬
َ ‫ َوالَ تَبِيعُوا ال َو ِر‬،‫ْض‬
ِ ‫ق بِال َو ِر‬ َ ‫ َوالَ تُ ِشفُّوا بَ ْع‬،‫ب إِاَّل ِم ْثاًل بِ ِم ْث ٍل‬
ِ َ‫َب بِال َّذه‬
َ ‫ال َّذه‬
‫ َوالَ تَبِيعُوا ِم ْنهَا غَائِبًا بِنَا ِج ٍز‬،‫ْض‬ ٍ ‫ْضهَا َعلَى بَع‬ َ ‫بَع‬

Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi


wasallam bersabda: “Janganlah kalian menjual emas dengan emas, kecuali beratnya
sama (semisal dengan semisal). Jangan melebihkan berat yang satu melebihi berat
lainnya. Janganlah kalian menjual perak dengan perak, kecuali beratnya sama.
Jangan melebihkan berat yang satu melebihi berat lainnya. Dan janganlah menukar
emas-perak yang satu tunai sementara yang satu terutang/tertunda.” [HR. Bukhari].

ُّ‫ب ِربًا إِاَّل هَا َء َوهَا َء ْالبُر‬


ِ َ‫الذه‬ َّ ِ‫الذهَبُ ب‬ َّ :‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل‬َ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َما ع َْن النَّبِ ِّي‬
ِ ‫ع َْن ُع َم َر َر‬
‫ير ِربًا إِاَّل هَا َء َوهَا َء َوالتَّ ْم ُر بِالتَّ ْم ِر ِربًا إِاَّل هَا َء َوهَا َء‬ ِ ‫بِ ْالبُ ِّر ِربًا إِاَّل هَا َء َوهَا َء َوال َّش ِعي ُر بِال َّش ِع‬
Dari ‘Umar radhiyallaahu ‘anhumaa, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Emas ditukar dengan emas adalah riba kecuali dengan kontan, gandum
bur ditukar dengan gandum bur adalah riba kecuali secara kontan, gandum
sya’iir/jewawut ditukar dengan gandum sya’iir adalah riba kecuali secara kontan,

24
dan kurma ditukar dengan krma adalah riba kecuali secara kontan” [Muttafaq
‘alaih].

Dari Abu Sa’id, ia berkata, “Pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
kami pernah diberi kurma jama’ (yaitu) kurma campuran (antara yang bagus dengan
yang jelek), maka kami menjualnya dua sha’ dengan satu sha’. Berita tersebut
sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau bersabda:

‫اع َوالَ ِدرْ هَ َم بِ ِدرْ هَ َم ْي ِن‬


ٍ ‫ص‬َ ِ‫َي ِح ْنطَ ٍة ب‬ َ َ‫اع َوال‬
ْ ‫صاع‬ ٍ ‫ص‬َ ِ‫َي تَ ْم ٍر ب‬ َ َ‫ال‬.
ْ ‫صاع‬

“Janganlah menjual dua sha’ kurma dengan satu sha’ dan jangan pula menjual dua
sha’ gandum dengan satu sha’ dan jangan pula satu dirham dengan dua dirham.”
[Muttafaq ‘alaih].

Namun jika jenis dari enam benda ribawi ini dibarter dengan yang tidak
sejenis, misalnya emas dengan perak, gandum bur dengan gandum sya’iir, maka
boleh ada selisih takaran/timbangan dengan syarat semuanya harus diserahkan
dalam majelis/kontan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
pada hadits ‘Ubadah yang telah lewat: “Jika benda yang dibarterkan berbeda maka
takarannya sesuka hati kalian asalkan tunai. ”Hal ini juga karena sabda beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Ubadah yang terdapat dalam riwayat
Abu Dawud dan yang lainnya:

َ ْ‫ َوالَ بَأ‬,َ‫ أَ َّما نَ ِس ْيئَةُ فَال‬,‫ يَدًا بِيَ ٍد‬,‫ضةُ أَ ْكثَ ُرهُ َما‬
‫ َوال َّش ِع ْي ُر‬،‫س بِبَي ِْع ْالبُ ِّر بِال َّش ِعي ِْر‬ َّ ِ‫ َو ْالف‬،‫ض ِة‬
َّ ِ‫ب بِ ْالف‬ َ ْ‫َوالَ بَأ‬
َّ ‫س بِبَي ِْع‬
ِ َ‫الذه‬
َ‫ َوأَ َّما نَ ِس ْيئَةُ فَال‬،‫أَ ْكثَ ُرهُ َما يَدًا بِيَ ٍد‬.

“Tidak mengapa menjual emas dengan perak dengan jumlah perak lebih banyak
(apabila) langsung serah terima/kontan, adapun dengan cara nasi’ah (ditangguhkan

25
serah terimanya), maka tidak boleh. Dan tidak mengapa menjual gandum bur
dengan sya’ir dengan jumlah sya’ir lebih banyak (apabila) langsung serah terima,
adapun dengan cara nasi’ah maka tidak boleh.” [H.R. Abu Dawud]

Dari enam benda ribawi tadi dapat dikelompokkan menjadi dua. Kelompok
pertama terdiri dari emas dan perak. Kelompok kedua terdiri dari bahan makanan.
Beda kelompok dalam istilah fiqih dikenal dengan beda illat.

Kelompok 1: Emas dan Perak

Kelompok 2: Gandum bur, Gandum sya’ir, Kurma, dan Garam

Jika barter beda kelompok, maka dua aturan tadi tidak berlaku.
Timbangannya boleh berbeda dan tidak harus semuanya saat itu juga, boleh salah
satu diserahkan belakangan.namun tidak boleh dua-duanya tidak ada, dan ini adalah
aturan jual beli secara umum, baik benda ribawi maupun bukan benda ribawi. Jika
keduanya diserahkan tertunda maka jual belinya batal/tidak sah, dengan sepakat
para ulama. Hal ini disebut bai’ dain bid dain (jual beli tertunda dengan tertunda),
jual beli ini haram dan transaksi tidak sah.

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma :

ُ‫ي ِإلَى أَ َج ٍل َو َرهَنَهُ ِدرْ َعه‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم اِ ْشتَ َرى‬
ٍّ ‫ط َعا ًما ِم ْن يَهُو ِد‬ َّ ِ‫أَ َّن النَّب‬.
َ ‫ي‬

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli makanan (yakni gandum) dari
seorang Yahudi dengan (pembayaran) tempo, dan beliau menggadaikan baju
perangnya kepadanya.” [H.R. Bukhari]

Maka, benda ribawi yang ada dalilnya hanya enam. Menurut pendapat yang
kuat, enam benda ini bisa kita lebarkan kepada yang lain. Untuk kelompok pertama
kita lebarkan kepada mata uang dan masing-masing mata uang itu jenis sendiri,
rupiah sendiri, dolar sendiri. Untuk kelompok yang kedua, kita lebarkan kepada

26
semua yang dimakan dan cara transaksinya ditakar atau ditimbang. Maka ponsel,
motor, dan sebagainya itu bukan benda ribawi.

Aturan mainnya ada tiga kaidah:

- Jika satu jenis, maka harus tutup mata dari kualitas, harus sama takaran dan
timbangannya, dan harus saling menyerahkan saat transaksi dilakukan (tunai).
Contoh: beras menthik wangi dengan raja lele, rupiah dengan rupiah.

- Lain jenis tapi satu kelompok, maka berbeda takaran tidak mengapa, tetapi
semuanya harus diserahkan saat transaksi berlangsung. Contoh: rupiah dengan
real, rupiah dengan emas, beras dengan jagung.

- Beda jenis dan antar kelompok, maka tidak harus sama takaran, dan boleh kredit
atau salah satunya tertunda. Contoh: rupiah dengan beras.

- Tidak diperbolehkan membarter kurma basah (ruthob) dengan kurma kering


(tamr), kecuali untuk suatu transaksi yang bernama ‘aroya (‫)العرايا‬. ‘Aroya
adalah orang-orang miskin yang tidak punya pohon kurma. Maka boleh saja
mereka membeli kurma dari pemilik kebun kurma dalam kondisi basah dengan
cara mereka menukarnya dengan kurma kering dengan taksiran. Pada asalnya,
kurma adalah benda ribawi, barternya harus dengan takaran sama dan
penyerahannya tunai, namun pada masalah ini ada pengecualian.

Kurma basah biasanya dijadikan sebagai makanan pencuci mulut,


sedangkan kurma kering dijadikan sebagai makanan pokok. Orang miskin yang
hanya mempunyai kurma kering, tidak punya pohon kurma, tidak punya uang,
dan ingin membeli kurma basah maka diperbolehkan membarterkan kurma
keringnya dengan kurma basah dengan taksiran. Kurma basah, kalau nanti
kering, ditaksir jadi berapa. Misalkan kurma basah lima kilogram jika kering
menjadi tiga kilogram, maka boleh membarter kurma basah lima kilogram
dengan kurma kering tiga kilogram pada kasus ini.

27
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma :

ِ ‫ َو ْال ُم َزابَنَةُ بَ ْي ُع الثَّ َم ِر بِالتَّ ْم ِر َك ْيالً َوبَ ْي ُع ْالكَرْ ِم بِال َّزبِي‬،‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم نَهَى َع ِن ْال ُمزَابَنَ ِة‬
ً‫ب َك ْيال‬ َ ِ‫أَ َّن َرسُوْ َل هللا‬.

“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang muzabanah (yaitu)


menjual kurma basah dengan tamr (kurma kering) dengan takaran dan menjual
anggur basah dengan anggur kering dengan takaran.” [Muttafaq ‘alaih]

Muzabanah adalah barter kurma basah dengan kurma kering, demikian juga
barter anggur dengan kismis, dengan memakai takaran. Maka pada dasarnya, barter
kurma basah dengan kurma kering adalah dilarang, tetapi ada keringanan untuk
kasus ‘aroya.

Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu :

ِ ْ‫ب ْال َع ِريَّ ِة أَ ْن يَبِي َعهَا بِ َخر‬


‫صهَا ِم ْن التَّ ْم ِر‬ ِ ‫صا ِح‬
َ ِ‫ص ل‬ َ ِ‫أَ َّن َرسُوْ َل هللا‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َر َّخ‬

“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan bagi shohibul


ariyah untuk membeli kurma basah dengan memperkirakan (takarannya) dengan
tamr (kurma kering).” [Muttafaq ‘alaih]

Dari Sa’id bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu :

َّ ِ‫ نَ َع ْم فَنَهَى ع َْن ذلِكَ أَ َّن النَّب‬:‫س؟ قَالُوْ ا‬


‫ي‬ َ ِ‫ب بِالتَّ ْم ِر فَقَا َل أَيَ ْنقُصُ الرُّ طَبُ إِ َذا يَب‬
ِ َ‫ ُسئِ َل ع َْن بَي ِْع الرُّ ط‬.

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang menjual ruthab dengan
tamr, maka beliau menjawab, ‘Bukankah ruthab akan menyusut apabila
mengering?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Maka beliau melarangnya.” [H.R. Abu
Dawud, Ibnu Majah, an-Nasai, at-Tirmidzi]

28
Transaksi ‘aroya diperbolehkan dengan besaran yang dibatasi. Maksimal
lima wasaq. Tidak diperbolehkan barter benda ribawi dengan benda ribawi namun
bersama keduanya atau salah satunya terdapat jenis atau benda yang lain.

ُ ‫ْت يَوْ َم خَ ْيبَ َر قِاَل َدةً بِ ْاثن َْي َع َش َر ِدينَارًا فِيهَا َذهَبٌ َو َخ َر ٌز فَفَص َّْلتُهَا فَ َو َج ْد‬
‫ت‬ ُ ‫ضالَةَ ْب ِن ُعبَ ْي ٍد قَا َل ا ْشتَ َري‬
َ َ‫ع َْن ف‬
َّ َ‫ع َحتَّى تُف‬
‫ص َل‬ ُ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَقَا َل اَل تُبَا‬ ُ ْ‫فِيهَا أَ ْكثَ َر ِم ْن ْاثن َْي َع َش َر ِدينَارًا فَ َذكَر‬
َ ‫ت َذلِكَ لِلنَّبِ ِّي‬

Dari Fadhaalah bin ‘Ubaid, ia berkata : “Aku pernah membeli sebuah kalung di hari
(penaklukan) Khaibar seharga 12 dinar. Pada kalung tersebut terdapat emas dan
permata. Lalu aku pisahkan ia (emas dan permata dari kalung), dan ternyata aku
dapatkan nilainya lebih dari 12 dinar. Kemudian aku ceritakan hal itu kepada Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau pun bersabda: “Janganlah kamu
menjualnya sehingga kamu memisahkannya (emas dari kalungnya)” [H.R. Muslim].

Ringkasnya, riba itu ada riba dalam utang piutang dan riba dalam
perdagangan. Riba dalam utang piutang adalah dengan bentuk riba jahiliyah atau
yang lebih jelek dari riba jahiliyah, seperti yang tadi didefiniskan dengan tambahan
yang disyaratkan yang diambil/diterima dari orang yang diutangi sebagai
kompensasi dari penundaan.

Berkaitan dengan definisi “tambahan yang disyaratkan”, artinya jika tidak


disyaratkan atau tambahan itu sukarela (inisiatif yang diutangi, red), maka tidak
mengapa. Sama saja antara disyaratkan secara lisan maupun secara kebiasaan.
Tambahan tersebut diperbolehkan jika diserahkan di hari pelunasan atau setelah hari
pelunasan. Tambahan tersebut tidak boleh saat belum lunas. Jika belum lunas, tetapi
memberi tambahan, maka itu riba.

Ada riba investasi, tanam saham, penyertaan modal. Investasi itu menjadi
riba manakala orangnya mempersyaratkan uang diinvestasikan harus aman. Kata
“harus aman” menjadikan itu bukan investasi, melainkan mengutangi. Mengutangi

29
itu harus aman. Riba dalam perdagangan, menggunakan kaidah-kaidah seprti yang
telah dijelaskan sebelumnya.

C. Dosa Riba

Pemakan Harta Riba Diadzab Allah di Dunia Maupun di Akhirat

Pemakan harta riba akan mendapatkan adzab Allah SWT di dunia maupun
di akhirat. Karena ini termasuk dosa besar yang dilakukan manusia. Banyak
dalil di dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi yang menerangkan tentang bahaya
dosa riba. Hal ini meyakinkan betapa besarnya dosa yang terdapat dari
melakukan riba dan manusia disuruh untuk menjauhinya. Berikut paparan
mengenai adzab Allah di dunia maupun di akhirat mengenai pemakan harta riba.

1. Mendapat Dosa Besar

Pemakan harta riba akan mendapat dosa yang besar. Dari Abu Hurairah
Radliallahu‘anhu, dari Nabi Shalallahu’alaihi wassalam bersabda; “Satu dirham
uang riba yang dimakan oleh seseorang dalam keadaan mengetahui bahwa itu
adalah uang riba dosanya lebih besar dari pada berzina sebanyak 36 kali.” (HR.
Ahmad dari Abdulloh bin Hanzholah). Betapa besar dosa riba sampai Rasulullah
SAW menyuruh kita untuk menjauhi perkara tersebut. Dan beliau juga mengatakan
bahwa riba termasuk perkara yang akan membinasakan.

2. Dibangkitkan Pada Hari Kiamat Dalam Keadaan Gila

Pada hari kiamat nanti seluruh umat manusia dari zaman Nabi Adam sampai akhir
zaman akan dibangkitkan kembali. Tentu saja dengan keadaan yang berbeda-beda
menurut amal ibadah semasa di dunia. Di hari kiamat, pemakan harta riba akan
dibangkitkan dari kuburnya dalam keadaan gila. Allah SWT menghinakannya di
hari pembangkitan dengan keadaan seperti berdirinya orang yang kerasukan dan
dikuasai setan. Na’udzubillahimin dzalik.

3. Disiksa Didalam Api Neraka

30
Neraka adalah tempat peristirahatan terburuk yang pernah ada. Ia akan disiksa oleh
para Malaikat Allah SWT yang selalu patuh terhadap Perintah-Nya. Terkecuali
ketika telah bertaubat dan memohon ampun kepada Allah SWT. Dan sesungguhnya
Dia adalah Dzat Yang Maha Pengampun. Allah SWT Berfirman; “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah SWT supaya kamu mendapat keberuntungan.”
(QS. Ali Imran: 130)

4. Do’a Tidak Dikabulkan

Selain adzab di akhirat, Allah SWT juga memberikan adzab di dunia bagi pemakan
harta riba. Salah satunya adalah do’a pelaku riba tidak akan dikabulkan oleh Allah
SWT. Betapa merugi ketika setiap hari sholat menjalankan Perintah-Nya justru do’a
tidak akan diterima dan dikabulkan Allah SWT. Dimana lagi kita akan meminta?
Sedangkan sesungguhnya hanya Allah SWT tempat kita memohon dan berserah
diri.

5. Hilangnya Keberkahan Pada Harta

Tidak akan berkah harta yang diperoleh dari jalan riba. Itulah kenapa Rasul
mengingatkan kita untuk mencari rezeki dari cara yang baik. Bayangkan ketika
harta hasil riba dibelikan makanan, pakaian,beli rumah dan keperluan lainnya dan
semua itu tiada keberkahan. Allah SWT Berfirman; “Allah memusnahkan riba dan
menyuburkan sedekah.” (QS. Al Baqarah: 276). Ini jelas larangan Allah SWT untuk
melakukan riba dan harus memperbanyak sedekah.

6. Allah SWT Menutup Hati Pemakan Harta Riba

Hal ini diterangkan oleh Allah SWT melalui Firman-Nya; “Sekali-kali tidak
(demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati
mereka.” (QS. Al Muthaffifin: 14). Hati akan tertutup sehingga pelaku riba tidak
lagi memikirkan mana yang baik dan mana yang tidak.

7. Sedekah, Infaq dan Zakat dari Harta Riba Tidak Diterima Allah SWT

31
Tidak akan diterima di Sisi Allah SWT harta yang disedekahkan yang didapatkan
dari hasil riba. Nabi kita Muhammad SAW bersabda; “Wahai manusia,
sesungguhnya Allah itu Maha Baik dan tidak akan menerima sesuatu kecuali yang
baik.” (HR. Muslim II/703 nomor 1015, dari Abu Hurairah Radliallahu’anhu).
Hadist tersebut menjelaskan bahwa kita disuruh untuk bersedekah dengan harta
yang kita dapat dari jalan yang baik dan diridhoi Allah SWT. Dan menjauhi cara
yang haram agar sedekah, infaq dan zakat kita diterima. Hal ini akan sangat ironi
lagi ketika kita membangun sesuatu yang bertujuan untuk amal jariah seperti
pondok pesantren, masjid, atau rumah untuk muslim lainnya. Begitu banyaknya
amal yang terbuang sia-sia karena tidak diterima oleh Allah SWT.

8. Riba Bisa Menyebabkan Krisis Ekonomi

Juga akan menjadi penyebab krisis ekonomi dikarenakan merugikan pihak-pihak


korban riba. Seperti contoh seorang rentenir yang meminjamkan uang dan
memberikan bunga yang sangat tinggi untuk dikembalikan. Ini akan merugikan
peminjam. Karena ketika uang yang dihasilkan dari jerih payah untuk keperluan
sehari-hari justru harus dibayarkan bunga pinjaman.Karena banyak sekali rentenir
yang meminjamkan uang dengan syarat mengembalikan dengan bunga tinggi.
Apalagi jika melakukan pinjaman untuk beli rumah mewah dan mahal. Berapa
banyak bunga yang akan kita bayar? Alangkah baiknya kita kondisikan dengan
ekonomi yang ada. Seperti halnya beli rumah murah dan properti sederhana sesuai
kebutuhan.

9. Karena Riba Hubungan Persaudaraan Menjadi Retak

Jika riba marak dilakukan, hubungan persaudaraan antar manusia menjadi retak.
Hubungan menjadi renggang dikarenakan ada pihak yang dirugikan. Bukankah
baiknya jika hubungan persaudaraan dilandasi dengan sifat saling tolong-menolong?
Alangkah mulianya jika sebuah negeri tertentu membudayakan sesuatu dengan cara
syariah. Ini akan menjadi salah satu negeri yang damai dan tenteram. Dikarenakan

32
hubungan antar manusia yang erat persaudaraannya. Saling tolong-menolong dan
bergotong-royong demi membangun negeri yang harmonis.

10. Tidak Termasuk Golongan Orang yang Beriman

Allah SWT Berfirman didalam kitab suci Al-Qur’an bahwa orang-orang pelaku riba
dianggap orang-oang yang tidak beriman. Dalil tersebut menerangkan sampai-
sampai pelaku riba diperangi oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Tentu saja terkecuali
bagi Hamba-Nya yang bertaubat nasuha dan bersungguh-sungguh tidak akan
mengulanginya lagi.

Begitu banyak adzab yang Allah SWT berikan bagi pelaku riba. Mari kita
sama-sama berdo’a dan hanya meminta kepada-Nya agar dijauhi dari sifat tercela
tersebut. dan apabila kita sudah terjebak dalam riba maka inilah cara terbebas dari
riba. Semoga kita selalu diberikan kelimpahan Rahmat-Nya. Diberikan jalan untuk
mencari rezeki dari cara yang baik dan diberkahi Allah SWT. Alangkah baiknya
jika kita sama-sama memerangi sifat tersebut dan menjadikan aib untuk kita semua.
Mari budayakan masyarakat tanpa riba dengan selalu menjunjung tinggi
kehormatan dalam hal pinjam-meminjam maupun jual-beli. Dengan begitu Allah
SWT akan membukakan hati kita menuju jalan yang Ia ridhoi. Amin.

D. Dalil-dalil Riba

Dikutip dari buku Harta Haram Muamalat Kontemporer karya Erwandi


Tarmizi, berikut ini sejumlah dalil haramnya riba:

1. Allah SWT mengharamkan secara tegar praktik riba. Allah SWT berfirman:

‫َواَ َح َّل هّٰللا ُ ۡالبَ ۡي َع َو َح َّر َم ال ِّر ٰبوا‬


"Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (Al Baqarah:
275).
2. Kemudian Allah juga memerintahkan orang-orang beriman untuk
menghentikan praktik riba. Allah berfirman:

33
َ‫ٰۤيـاَيُّهَا الَّ ِذ ۡينَ ٰا َمنُوا اتَّقُوا هّٰللا َ َو َذر ُۡوا َما بَقِ َى ِمنَ ال ِّر ٰبٓوا اِ ۡن ُك ۡنتُمۡ ُّم ۡؤ ِمنِ ۡين‬
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan
sisa riba (yang beIum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman" (Al
Baqarah 278).

3. Allah SWT mengancam akan memerangi orang-orang yang tidak menuruti


perintah-Nya untuk meninggalkan riba. Allah berfirman:

‌‫ب ِّمنَ هّٰللا ِ َو َرس ُۡولِ ٖ ۚه‬


ٍ ‫فَا ِ ۡن لَّمۡ ت َۡف َعلُ ۡوا فَ ۡا َذنُ ۡوا بِ َح ۡر‬
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
ketahuilah, bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu." (QS Al
Baqarah 279).

Atas ayat ini, Imam Al Qurthubi menjelaskan, ketika Imam Malik


ditanya seseorang yang mengatakan, "Istri saya tertalak jika ada yang masuk
ke dalam rongga anak Adam lebih buruk daripada khamr." Dia berkata,"
Pulanglah, aku cari dulu jawaban pertanyaanmu! Keesokan harinya orang
tersebut datang dan Imam Malik mengatakan hal serupa. Setelah beberapa
hari orang itu datang kembali dan imam Malik berkata, "Istrimu tertalak.
Aku telah mencari dalam seluruh ayat Alquran dan hadits Nabi tidak aku
temukan yang paling buruk yang masuk ke rongga anak Adam selain riba,
karena Allah memberikan sanksi pelakunya dengan berperang
melawanNya." (Lihat Tafsir Al Qurthubi).

4. Dan Allah berjanji akan memasukkan pelaku riba ke dalam neraka kekal
selamanya. Allah berfirman:

‫َواَ َح َّل هّٰللا ُ ۡالبَ ۡي َع َو َح َّر َم ال ِّر ٰبوا‌ ؕ فَ َم ۡن َجٓا َء ٗه َم ۡو ِعظَةٌ ِّم ۡن َّرب ِّٖه فَ ۡانتَ ٰهى فَلَهٗ َما َسلَفَ ؕ َواَمۡ ر ُٗۤه اِلَى هّٰللا ِ‌ؕ َو َم ۡن‬
َ‫ار هُمۡ فِ ۡيهَا ٰخلِد ُۡون‬‌ِۚ َّ‫ص ٰحبُ الن‬ ۡ َ‫ك ا‬ َ >ِ‫ولٓ ِٕٕٮ‬
ٰ ُ ‫عَا َد فَا‬

34
"Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang
yang telah sampai kepadanya Iarangan dari Tuhannya, laIu terus berhenti
(dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang Iarangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang
yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka mereka kekaI di dalamnya (QS Al Baqarah 275).

Teks hadits
Dalam hadits, Nabi ‫ ﷺ‬juga memerintahkan agar seorang
muslim menjauhi riba.
1. Riba termasuk salah satu dari tujuh dosa besar. Nabi SAW bersabda:

ِ ‫ َوقَ ْت ُل النَّ ْف‬،ُ‫ َوالسِّحْ ر‬،ِ ‫ك بِاهَّلل‬


‫س‬ ُ ْ‫ َو َما ه َُّن قَا َل " ال ِّشر‬،ِ ‫ قَالُوا يَا َرسُو َل هَّللا‬." ‫ت‬ ِ ‫اجْ تَنِبُوا ال َّس ْب َع ْال ُموبِقَا‬
‫ت‬
ِ ‫صنَا‬ َ ْ‫ َوقَ ْذفُ ْال ُمح‬،‫ف‬ ِ ْ‫ َوالتَّ َولِّي يَوْ َم ال َّزح‬،‫ َوأَ ْك ُل َما ِل ْاليَتِ ِيم‬،‫ َوأَ ْك ُل ال ِّربَا‬،ِّ‫الَّتِي َح َّر َم هَّللا ُ إِالَّ بِ ْال َحق‬
ِ َ‫ت ْالغَافِال‬
"‫ت‬ ِ ‫ْال ُم ْؤ ِمنَا‬

"Jauhi tujuh hal yang membinasakan! Para sahabat berkata, "Wahai,


Rasulullah! apakah itu? Beliau bersabda, "Syirik kepada Allah, sihir,
membunuh jiwa yang diharamkan Allah tanpa haq, memakan harta riba,
memakan harta anak yatim, lari dari medan perang dan menuduh wanita
beriman yang Ialai berzina" (Muttafaq 'alaih).

2. Dosa riba setara dengan perbuatan dosa seseorang menzinahi ibundanya.


Diriwayatkan dari Baraa' bin 'Azib RA bersabda:

‫َّجل أ َّمه‬
ِ ‫الرِّ با اثنان وسبعون بابًا أدناها مث ُل إتيا ِن الر‬
"Dosa riba terdiri dari 72 pintu. Dosa riba yang paling ringan adalah
bagaikan seorang Iaki-Iaki yang menzinai ibu kandungnya." (HR
Thabrani).

35
Salah seorang perawi hadits ini bernama Umar bin Rashid. Dia dhukumi
lemah oleh mayoritas ulama hadits.

3. Lebih besar dari zina. Diriwayatkan dari Anas bin Malik RA bahwa Nabi
‫ ﷺ‬bersabda:
‫إن الدرهم يصيبه الرجل من الربا أعظم عند اللهفي الخطيئة من ست وثالثين زنية يزنيها‬
‫الرجل‬
"Sesungguhnya satu dirham yang didapatkan seorang Iaki-laki dari hasil
riba Iebih besar dosanya di sisi Allah daripada berzina 36 kali." (HR
Ibnu Abi Dunya).

4. Laknat untuk para pelaku riba. Begitu besarnya dosa riba, pantas
Rasulullah melaknat pelakunya sebagaimana diriwayatkan Jabir RA,

َ َ‫لَ َعنَ َرسُو ُل هَّللا ِ صلى هللا عليه وسلم آ ِك َل ال ِّربَا َو ُمو ِكلَهُ َو َكاتِبَهُ َو َشا ِه َد ْي ِه َوق‬
‫ال هُ ْم َس َوا ٌء‬
"Rasulullah ‫ ﷺ‬mengutuk orang yang makan harta riba, yang
memberikan riba, penulis transaksi riba dan kedua saksi transaksi riba.
Mereka semuanya sama (berdosa)." (HR Muslim).
BAB IV
KEUTAMAAN SHODAQOH BERSERTA DALIL-DALILNYA

1. Pengertian Sedekah
Bersedekah adalah suatu ibadah yang dapat kita lakukan kapan saja.
Bersedekah sangat dianjurkan dalam Islam. Dengan bersedekah, hubungan bersosial
bisa menjadi lebih baik. Bersedekah juga menjauhkan diri dari sikap sombong dan
angkuh. Memberikan sesuatu dengan ikhlas kepada oang lain dapat meringankan
beban mereka.

36
Sedekah berasal dari bahasa Arab "shadaqoh" yang artinya adalah suatu
pemberian dari seorang muslim kepada orang lain secara sukarela tanpa adanya
batasan waktu dan jumlah tertentu.
Allah berfirman dalam surat An-Nisa ayat 114 yang menyuruh umat muslim
untuk senantiasa berbuat kebaikan salah satunya dengan bersedekah.
Laa khaira fii kasiirim min najwaahum illaa man amara bisadaqatin au ma'rufin au
islaahim bainan-naas, wa may yaf'al zaalikabtigaa'a mardaatillaahi fa saufa nu'tiihi
ajran 'aziimaa
Artinya: "Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali
bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau
berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa
yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi
kepadanya pahala yang besar."

2. Bentuk-bentuk sedekah
Bersedekah tak hanya berupa harta, tapi bisa dengan apapun seperti
menolong orang lain dengan tenaga dan pikirannya, senyum, memberi nafkah
keluarga, mengajarkan ilmu, berdzikir, dan lain sebagainya.
Cakupan bersedekah dalam Islam itu sangat luas. Namun, agar lebih utama,
harta benda yang kita miliki juga harus disedekahkan kepada orang-orang yang
membutuhkan.

3. Dalil-dalil tentang bersedekah


Allah telah menjelaskan dalam beberapa ayat mengenai sedekah. Di
antaranya sebagai berikut:
- Surat Al Baqarah ayat 177.
Laisal-birra an tuwallu wujuhakum qibalal-masyriqi wal magribi wa laakinnal
birra man aamana billaahi wal yaumil aakhiri wal malaa'ikati wal kitaabi wan
nabiyyiin, wa aatal maala 'alaa hubbihii zawil qurbaa wal yataamaa wal
masaakiina wabnas sabiili was saa'iliina wa fir riqaab, wa aqaamas-salaata wa

37
aatazczakaah, wal-mufuna bi'ahdihim izaa 'aahadu, was-saabiriina fil ba'saa'i
wad-darraa'i wa hiinal-ba's, ulaa'ikallaziina sadaqu, wa ulaa'ika humul muttaqun

Artinya:"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu


kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah,
hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta
yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta;
dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat;
dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang
yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah
orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang
bertakwa."

- Surat Al Baqarah ayat 254.


Yaa ayyuhallaziina aamanuu anfiqu mimmaa razaqnaakum ming qabli ay ya'tiya
yaumul laa bai'un fiihi wa laa khullatuw wa laa syafaa'ah, wal-kaafiruna humuz-
zaalimun
Artinya:"Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian
dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada
hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa'at. Dan orang-orang kafir
itulah orang-orang yang zalim."
- Surat Al Baqarah ayat 274.
Allaziina yunfiquna amwaalahum bil-laili wan-nahaari sirraw wa 'alaaniyatan fa
lahum ajruhum 'inda rabbihim, wa laa khaufun 'alaihim wa laa hum yahzanun
Artinya: "Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari
secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi
Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati."

38
- Keutamaan Sedekah diriwayatkan dalam hadits riwayat Muslim, bahwa
Rasulullah SAW bersabda memberi atau bersedekah lebih baik daripada yang
meminta.
"Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Tangan di atas adalah
yang memberi dan tangan di bawah adalah yang meminta."
Selain itu, dalam hadits riwayat Ibnu Khuzaimah dan Al Hakim dalam buku
'Dikerjar Rezeki dari Sedekah' karya Fahrur Muls ketika amal manusia saling
membanggakan diri, sedekah berkata "Aku adalah amal kalian yang paling
utama. Ini sebagian perkataan Umar bin Khatab, "Sesungguhnya, amal-amal itu
saling membanggakan diri, maka sedekah pun berkata, 'Aku adalah amal kalian
yang paling utama."

4. Keutamaan sedekah.
 Bersedekah tidak akan mengurangi rezeki.
Jika kita melakukan sedekah, hal tersebut tidak akan mengurangi harta atau
rezeki kita. Justru Allah akan menggantinya dengan rezeki yang sebaik-
baiknya. Seperti dalam firman Allah pada Alquran surat Saba ayat 39 yang
berbunyi:
Qul inna rabbii yabsutur-rizqa limay yasyaa'u min 'ibaadihii wa yaqdiru lah,
wa maa anfaqtum min syai'in fa huwa yukhlifuh, wa huwa khairur raaziqiin
Artinya: Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi
siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan
menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)". Dan barang apa saja
yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi
rezeki yang sebaik-baiknya."
 Membuka pintu rezeki.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasanny Rosulullah Shallallahu’
alaihi wasallam bersabda: "Tidak ada suatu hari pun ketika seorang hamba
melewati paginya kecuali akan turun dua malaikat. Lalu salah satunya
berkata, "Ya Allah berikanlah pengganti bagi siapa yang menafkahkan

39
hartanya", sedangkan yang satunya lagi berkata, "Ya Allah berikanlah
kehancuran (kebinasaan) kepada orang yang menahan hartanya (bakhil)."
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dari hadits tersebut dijelaskan bahwa bersedekah justru akan membuka
pintu rezeki yang baru.
 Dapat menghapus dosa-dosa.
Rasulullah bersabda, "Sedekah dapat menghapus dosa sebagaimana air
memadamkan api." (HR. Tirmidzi)
Allah hanya akan mengampuni dosa-dosa seseorang yang telah bersedekah
dengan syarat orang tersebut mengikutinya dengan taubat. Dan jika
seseorang melakukan sedekah dengan niat agar dosa-dosanya dianggap
impas, maka sesungguhnya hal ini tidaklah dibenarkan.
 Dijauhkan dari api neraka.
Rasulullah Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda, "Jauhilah neraka walupun
hanya dengan (sedekah) sebiji kurma, kalau kamu tidak menemukan
sesuatu, maka dengan omongan yang baik." (HR. Ahmad, Bukhari dan
Muslim)
 Merupakan amal jariyah.
Sedekah merupakan salah satu amal jariyah yang pahalanya tidak akan
pernah putus, bahkan saat kita sudah meninggal. Rasulullah bersabda,
"Jauhilah neraka walupun hanya dengan (sedekah) sebiji kurma, kalau kamu
tidak menemukan sesuatu, maka dengan omongan yang baik." (HR. Ahmad,
Bukhari dan Muslim.)
BAB V
SIFAT TAKDIR KEMATIAN BESERTA DALIL-DALILNYA

Kematian pasti terjadi pada setiap makhluk hidup. Bahkan, ada beberapa
hadits tentang kematian guna mengingatkan umat Islam mengenai proses kehidupan
yang normal.

40
Mengingat kematian memiliki banyak manfaat, misalnya hikmah mengingat
mati adalah mengurangi hasrat duniawi. Sebab, dikutip dari buku 'Etika Islam:
Menuju Evolusi Diri' karya Faidh Kasyani kebanyakan manusia jarang ingat
kematian sehingga memengaruhi kegembiraan dan kesenangan terhadap dunia.
Dalam Quran surat An Nisa ayat 78, Allah SWT bersabda mengenai
kematian pasti datang kepada setiap orang

‫هّٰللا‬ ُ ْ‫اَ ْينَ َما تَ ُكوْ نُوْ ا يُ ْد ِر ْك ُّك ُم ْال َمو‬


ِ ُ‫ص ْبهُ ْم َح َسنَةٌ يَّقُوْ لُوْ ا ٰه ِذ ٖه ِم ْن ِع ْن ِد ِ ۚ َواِ ْن ت‬
‫ص ْبهُ ْم‬ ٍ ْ‫ت َولَوْ ُك ْنتُ ْم فِ ْي بُرُو‬
ِ ُ‫ج ُّم َشيَّ َد ٍة ۗ َواِ ْن ت‬
‫ال ٰهٓؤُاَل ۤ ِء ْالقَوْ ِم اَل يَ َكا ُدوْ نَ يَ ْفقَهُوْ نَ َح ِد ْيثًا‬ ‫هّٰللا‬
ِ ‫َسيِّئَةٌ يَّقُوْ لُوْ ا ٰه ِذ ٖه ِم ْن ِع ْن ِدكَ ۗ قُلْ ُكلٌّ ِّم ْن ِع ْن ِد ِ ۗ فَ َم‬

Latin: aina mā takụnụ yudrikkumul-mautu walau kuntum fī burụjim musyayyadah,


wa in tuṣib-hum ḥasanatuy yaqụlụ hāżihī min 'indillāh, wa in tuṣib-hum sayyi`atuy
yaqụlụ hāżihī min 'indik, qul kullum min 'indillāh, fa māli hā`ulā`il-qaumi lā
yakādụna yafqahụna ḥadīṡā

Artinya: Di manapun kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun


kamu berada di dalam benteng yang tinggi dan kukuh. Jika mereka memperoleh
kebaikan, mereka mengatakan, "Ini dari sisi Allah," dan jika mereka ditimpa suatu
keburukan, mereka mengatakan, "Ini dari engkau (Muham-mad)." Katakanlah,
"Semuanya (datang) dari sisi Allah." Maka mengapa orang-orang itu (orang-orang
munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan (sedikit pun)?"

Manusia merupakan salah satu makhluk sosial yang diciptakan oleh Allah . Manusia
diberikan hati dan naluri sebagai pangkal perbedaan dari makhluk-makhluk yang lainnya.
Pada dasarnya semua ciptaan Allah  itu akan binasa. Misalnya, alam semesta ini. Dia akan
mengalami kebinasaan pada waktu yang telah ditetapkan oleh Allah dan itu menjadi rahasia
besar Ilahi. Sama halnya dengan kita.

41
Kita sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah pada hakikatnya juga akan
menemui masa perpisahan kita dengan alam dunia ini. Memang ini menjadi teka-teki dan
misteri besar yang sampai peran teknologi di era revolusi industri 4.0 dan modernisasi abad
ke 21 semakin pesat berkembang tidak mampu mengetahui kapan waktu kita untuk
berpisah dengan alam dunia yang hanya sebentar saja ini. Oleh karena itu, kita sebagai
salah satu makhluk ciptaan Allah yang paling tinggi derajatnya diwajibkan untuk selalu
bersiap-siap untuk menyongsong hari berpisahnya dengan alam dunia ini. Karena semua
manusia di bumi ini tidak ada yang tahu persis kapan dan dimana kita akan mengalami
perpisahan dengan alam dunia ini.

Mengingat Kematian
Syari’at ajaran agama Islam telah mengajarkan bagaimana caranya agar kita selalu
mengingat kematian. Dengan kita mengingat akan adanya kematian, maka kita juga akan
lebih mendekatkan diri atau berserah diri kepada Allah I. Berikut ini penulis akan paparkan
beberapa cara praktis untuk dapat mengingatkan kepada kita akan kematian. Antara lain
sebagai berikut:
1. Bimbinglah Orang Yang Akan Menghadapi Waktu Kematian.
Ketika menghadapi orang yang sakaratul maut, seyogianya yang hadir ke tempat
orang tersebut selalu mengingat Allah dan berdoa. Kalua berbicara, bicarakanlah
hal-hal yang berbau positif jangan negatif. Ajarkan orang yang akan menghadapi
sakaratul maut dengan menyebutkan kalimat La Ilaha Illallah. Karena dalam hadits
dikatakan: “barangsiapa yang akhir perkataanya adalah kalimat Laa Ilaha Illallah,
maka dia akan masuk surga”. (HR. Abu Dawud).
2. Mengunjungi Orang Yang Sakit.
Menurut Rasulullah, orang-orang yang beriman itu ibarat satu batang tubuh, apabila
salah satu anggota tubuh sakit, maka yang lain ikut prihatin. Salah satu cara untuk
mengaplikasikan hadits di atas adalah dengan meluangkan waktu mengunjungi
saudara seagama yang sakit. Kunjungan teman, saudara, adalah ‘obat yang mujarab’
bagi si sakit. Dia merasa senang karena masih ada sahabat untuk berbagi duka.
Pribahasa mengatakan, ‘teman ketawa banyak, teman menangis sedikit’.

42
Betapa pentingnya mengunjungi orang sakit itu dapat terlihat dalam hadits qudsi
berikut ini. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah berfirman pada hari kiamat:
“Hai anak Adam, Aku sakit, kenapa kamu tidak datang mengunjungi-Ku?” Anak
Adam menjawab: “Ya Tuhan, bagaimana aku akan mengunjungi-Mu sedangkan
Engkau adalah Tuhan Semesta Alam?” Allah berfirman: “Tidaklah kamu tahu
bahwa si Fulan hamba-Ku sakit, kenapa kamu tidak mengunjunginya? Tahukah
kamu, jika kamu mengunjunginya niscaya kamu akan menemui-Ku di
sisinya…” (HR. Muslim). .
3. Mengiringkan Jenazah.
Apabila seorang meninggal dunia, masyarakat secara kifayah wajib memandikan,
mengkafani, menshalatkan dan mengkuburkannya. Rasulullah sangat menganjurkan
kepada masyarakat untuk dapat menshalatkan dan mengantarkan jenazah ke
kuburan bersama-sama. Beliau bersabda: “Barangsiapa yang menyaksikan jenazah
lalu ikut menshalatkannya, baginya satu qirath. Dan barangsiapa yang
menyaksikannya sampai dikuburkan, baginya dua qirath”. Ditanyakan orang:
“Apa itu dua qirath? Beliau bersabda: “Seperti dua gunung yang besar
(pahalanya)”.(H. Muttafaqun ‘Alaihi). (Dr. Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak).
4. Berziarah Kubur.
Dalam melakukan ziarah kubur, anaknya medoakan ahlinya. Jangan sampai kita
yang minta doa dari yang wafat, memuja-muja, bahkan kuburan dijadikan tempat
sesembahan. Ziarah kubur juga dapat mengingatkan diri kita akan kehidupan
akhirat. “Aku sudah melarang kamu menziarahi kubur, sekarang ziarahillah,
karena ziarah kubur mengingatkan kamu akan akhirat”.(HR. Ahmad dan Muslim).
(Dr. Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak).
Dalil-dalil tentang Takdir Kematian
1. Berdasarkan hadits riwayat Ahmad, Rasulullah SAW bersabda, "Mati mendadak
suatu kesenangan bagi seorang mukmin dan penyesalan bagi orang durhaka."
Hadist tentang kematian bisa datang kapan saja tanpa diduga ini mengartikan
seorang mukmin sudah mempunyai bekal dan persiapan dalam menghadapi maut
setiap saat, sedangkan orang durhaka tidak.

43
2. Berdasarkan hadits riwayat Muslim, Nabi Muhammad SAW bersabda, "Jangan lah
seorang mati kecuali dia dalam keadaan berbaik sangka terhadap Allah."

3. Nabi Muhammad SAW juga menyampaikan agar manusia tidak meminta suatu
kematian, berdasarkan hadits riwayat Bukhar, "Janganlah ada orang yang
menginginkan mati karena kesusahan yang dideritanya. Apabila harus
melakukannya hendaklah dia cukup berkata, "Ya Allah, tetap hidupkan aku selama
kehidupan itu baik bagiku dan wafatkanlah aku jika kematian baik untukku."

4. Dalam hadits riwayat Muslim, Rasulullah SAW bersabda "Tuntunlah orang yang
menjelang wafat dengan ucapan laailaaha illalah (maksudnya, agar dia mau meniru
ucapannya).

5. Rasulullah SAW bersabda bahwa ada tiga hal yang mengikuti mayit setelah
kematiannya. Hal itu diriwayatkan dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim
"Ada tiga perkara yang mengikuti mayit sesudah wafatnya, yaitu keluarganya,
hartanya, dan amalnya. Yang dua kembali dan yang satu tinggal bersamanya. Yang
pulang kembali adalah keluarga dan hartanya, sedangkan yang tinggal bersamanya
adalah amalnya.

BAB VI
KEWAJIBAN AMAR MAKRUF – NAHI MUNKAR BESERTA DALIL-
DALILNYA

44
Amar ma'ruf nahi mungkar merupakan kekhususan dan keistimewaan umat Islam yang
akan mempengaruhi kemulian umat Islam. Sehingga Allah kedepankan penyebutannya dari
iman dalam firman-Nya,

َ‫ب لَ َكانَ ا لَّهُ ْم ْال ُم ْؤ ِمنُونَ ْالفَا ِسقُون‬


ِ ‫ُوف ْال ُمن َك ِر هللاِ لَوْ َءا َمنَ ُل ْال ِكتَا‬
ِ ‫اس ْال َم ْعر‬
ِ َّ‫لِلن‬

“ Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan percaya kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang percaya dan
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik ”. [Ali Imron : 110]

Demikian pula, Allah membedakan kaum mukminin dari kaum munafikin dengan hal ini.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

َّ ‫ُوف ْال ُمن َك ِر ال‬


َ ِ‫صالَةَ ال َّز َكاةَ هللاَ لَهُ الَئ‬
َ‫ك هللاُ هللا‬ ِ ‫َات لِيَآ ُء ْال َم ْعر‬
ُ ‫ْال ُم ْؤ ِمنُونَ ْال ُم ْؤ ِمن‬

“ Dan orang-orang yang percaya, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi
penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari
yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta'at kepada Allah dan
Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana “.[At-Taubah:71]

Ketika membawakan kedua ayat diatas, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Dalam
ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan, umat Islam adalah umat terbaik bagi
mewujudkan umat manusia. Umat yang paling memberi manfaat dan baik untuk manusia.
Karena mereka telah menyempurnakan seluruh urusan dan kemanfaatan dengan amar
ma'ruf nahi mungkar. Mereka menegakkan hal itu dengan jihad di jalan Allah dengan jiwa
dan harta mereka. Inilah anugerah yang sempurna bagi manusia. Umat lain tidak
memerintahkan setiap orang untuk semua perkara yang ma'ruf (kebaikan) dan semua
kemungkaran. Merekapun tidak berjihad untuk itu. Bahkan sebagian mereka sama sekali
tidak berjihad. Adapun yang berjihad -seperti Bani Israil- kebanyakan jihad mereka untuk
mengusir musuh dari negerinya. Menurut orang yang jahat dan dzalim bukan karena
menyeru kepada petunjuk dan kebaikan, tidak pula untuk amar ma'ruf nahi mungkar. Hal
ini digambarkan dalam ucapan Nabi Musa Alaihissallam.

45
‫ياقوم ادخلوا األرض المقدسة التي كتب هللا لكم وال ترتدوا على أدباركم فتنقلبوا خاسرين قالوا ياموسى إن فيها قوما‬
‫جبارين وإنا لن ندخلها حتى يخرجوا منها فإن يخرجوا منها فإنا داخلون قال رجالن من الذين يخافون أنعم هللا عليهما‬
ِ ‫ادخلوا عليهم الباب فإذا دخلتموه فإنكم غالبون وعلى هللا فتوكلوا إن الُوا ا ُمو َسى ا لَن لَهَآ ا ا ا ُموا ا ْاذهَبْ اتِآلَ ا اا‬
َ‫اع ُدون‬

Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan
janganlah kamu lari ke belakang (karena kamu takut kepada musuh), maka kamu menjadi
orang-orang yang merugi. Mereka berkata, “Hai Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada
orang-orang yang gagah perkasa. Sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya
sebelum mereka keluar darinya. Jika mereka keluar darinya, pasti kami akan
memasukinya”. Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang
Allah telah memberi nikmat atas keduanya,”Serbulah mereka melalui pintu gerbang (kota)
itu. Maka bila kamu memasukkannya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah
kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”. Mereka berkata, “Hai
Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya,”. [Al-Maidah : 21-24]
Demikian pula firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

‫ألم تر إلى المإل من بنى إسراءيل من بعد موسى إذ قالوا لنبي لهم ابعث لنا ملكا نقاتل في سبيل هللا قال هل عسيتم إن‬
‫كتب عليكم القتال أال تقاتلوا قالوا ومالنآ أال نقاتل في سبيل هللا وقد أخرجنا من ديارنا وأبنآئنا فلما كتب عليهم القتال تولوا‬
َ‫إال قليال منهم هللاُ لِي ُُم الظَّالِ ِمين‬

“ Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil (sesudah Nabi Musa
wafat) ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka, “Angkatlah untuk kami seorang
raja kami bangun (di bawah pimpinannya) di jalan Allah”. Nabi mereka menjawab,”
Mungkin sekali jika kamu nanti diminta, kamu tidak akan bingung”. Mereka
menjawab,”Mengapa kami tidak mencari di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah
diusir dari kampung halaman kami dan anak-anak kami”. Maka tatkala perang itu
diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling, kecuali beberapa orang saja diantara
mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang dzalim ”. [Al-Baqarah:246]

Mereka didorong keluar dari tanah air beserta anak-anak mereka. Sudah demikian ini,
mereka pun masih melanggar perintah. Sehingga tidak dihalalkan harta rampasan perang.
Demikan juga tidak boleh mengambil budak-budak tawanan perang. [1] Demikianlah
anugerah Allah Subhanahu wa Ta'ala bagi umat Islam. Dia menjadikan amar ma'ruf nahi

46
mungkar sebagai salah satu tugas penting Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan
beliau diutus untuk itu, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

‫ث ْال اا‬
َ ِ‫ت لَ ْي ِه ُم ْالخَ بَائ‬ ِ ْ‫ي األُ ِّمي ال ِذيْ ا التَّوْ َرا ِة ْا ِإل ْن ِج ْي ِل ْال َم ْعرُو‬
ِ ‫ف اهُ ْم ْال ُم ْن َك ِر لُّ لَهُ ُم الطَّيِّبَا‬ َّ ِ‫ال ال َّرسُوْ َل النَّب‬

“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka
dapat menulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang memerintahkan
mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka mengerjakan yang mungkar dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang
buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan terikat-belenggu yang ada pada
mereka. Maka orang-orang yang percaya kepadanya, memuliakannya, membantunya dan
mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur'an), mereka itulah orang-
orang yang beruntung “. [Al-A'raaf : 157).

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan orang-orang yang selalu meletakkan


tugas utama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini, bahkan memerintahkan umat ini
untuk mewujudkannya, dalam firman-Nya.

َ‫ُوف ْال ُمن َك ِر الَئِكَ ْال ُم ْفلِحُون‬


ِ ‫ْلتَ ُكن لَى ْالخَ ي ِْر ْال َم ْعر‬

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang
beruntung ”. [Al-Imron:104]

Tugas penting ini sangat luas jangkauannya, baik zaman atau tempat. Meliputi seluruh umat
dan bangsa dan terus bergerak dengan jihad dan menyebarkan ke seluruh dunia. Tugas ini
telah diemban umat Islam sejak masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai
sekarang hingga hari nanti.

HUKUM AMAR MA'RUF NAHI MUNGKAR

Amar ma'ruf nahi mungkar merupakan kewajiban yang dibebankan kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala kepada umat Islam sesuai kemampuannya. Ditegaskan oleh dalil Al
Qur'an dan As-Sunnah serta Ijma' para Ulama.

Dalil Al Qur'an Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

47
َ‫ك ْال ُم ْفلِحُون‬
َ ِ‫ُوف ْال ُمن َك ِر الَئ‬
ِ ‫ْلتَ ُكن لَى ْالخَ ي ِْر ْال َم ْعر‬

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang
beruntung “.[Al-Imran:104].

Ibnu Katsir berkata dalam menghadapi ayat ini,” Maksud dari ayat ini, hendaklah ada
sebagian besar umat ini yang menentukan perkata ini”.

Dan firman-Nya.

ِ‫اس ال ْال ُمن َك ِر هللا‬


ِ َّ‫لِلن‬

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan percaya kepada Allah ”. [Al-Imran:110].
Umar bin Khathab mengatakan ketika memahami ayat ini,” Wahai semua termasuk
manusia, barang siapa yang inginlah umat tersebut, hendaklah menunaikan syarat-syarat
Allah darinya”.

Dalil Sunnah Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

َ ِ‫ا ْليُ َغيِّرْ هُ لَ ْم لِ َسانِ ِه لَ ْم ْلبِ ِه ل‬


‫ك ا ِإلي َما‬

“Barang siapa yang melihat satu kemungkaran, maka rubahlah dengan tangani, jika tidak
mampu maka lisannya dan jika tidak mampu maka dengan hati, dan itu selemah-lemahnya
iman ”. [HR Muslim].

Sedangkan Ijma' kaum muslimin, telah dijelaskan oleh para ulama, diantaranya: Ibnu Hazm
Adz Dzahiriy, beliau berkata, “Seluruh umat telah bersepakat mengenai kewajiban amar
ma'ruf nahi mungkar, tidak ada diantara mereka mengajarkan”.

Abu Bakr al- Jashshash, beliau berkata, “Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memenuhi
kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar melalui beberapa ayat dalam Al Qur'an, lalu
dijelaskan Rasulullah n dalam hadits yang mutawatir. Dan para salaf serta ahli fiqih Islam
telah berkonsensus atas kewajibannya”.

An-Nawawi berkata,”telah banyak dalil-dalil Al Qur'an dan Sunnah serta Ijma yang
menunjukkan kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar”

48
Asy-Syaukaniy berkata,”Amar ma'ruf nahi mungkar termasuk kewajiban, pokok serta
rukun syari'at terbesar dalam syariat. Dengannya sempurna aturan Islam dan tegak
kejayaannya”. Jelaslah kewajiban ini untuk beramar ma'ruf nahi mungkar.

DERAJAT KEWAJIBAN AMAR MA'RUF NAHI MUNGKAR

Amar ma'ruf nahi mungkar sebagai satu kewajiban atas umat Islam, bagaimanakah derajat
kewajibannya? Apakah fardhu 'ain ataukah fardhu kifayah? Para ulama berselisih tentang
hal ini. Pendapat pertama menganggap kewajiban tersebut adalah fardhu 'Ain. Ini
merupakan pendapat sejumlah ulama, diantaranya Ibnu Katsir, Az Zujaaj, Ibnu Hazm.
Mereka berhujjah dengan dalil-dalil syar'i, diantaranya:

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

َ‫ك ْال ُم ْفلِحُون‬


َ ِ‫ُوف ْال ُمن َك ِر الَئ‬
ِ ‫ْلتَ ُكن لَى ْالخَ ي ِْر ْال َم ْعر‬

“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka adalah
orang-orang yang beruntung ”. [Ali Imran:104]

Mereka mengatakan bahwa kata ‫ من‬hearts ayat ‫ منكم‬untuk review penjelas Dan
Bukan Untuk menunjukkan sebagian. Sehingga makna ayat, jadilah kalian semua
yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari
َ ِ‫ لَئ‬Menegaskan
yang munkar. Demikian juga akhir dari ayat tersebut yaitu: َ‫ك اللِحُون‬
bahwaْ‫ ُم ْفا‬khusus bagi mereka yang melakukan amal tersebut. pencapaian tersebut
hukumnya fardhu'ain. Oleh karena itu memiliki sifat-sifat hukumnya wajib 'ain
ِ َّ‫ ا الَ ْال َوا ِجبُ ال‬Satu kewajiban yang tidak
juga. Karena dalam kaedah disebutkan: ٌ‫اجب‬
sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib.

2. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

َ‫ب لَ َكانَ ا لَّهُ ْم ْال ُم ْؤ ِمنُونَ ْالفَا ِسقُون‬


ِ ‫ُوف ْال ُمن َك ِر هللاِ لَوْ َءا َمنَ ُل ْال ِكتَا‬
ِ ‫اس ْال َم ْعر‬
ِ َّ‫لِلن‬

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan percaya kepada Allah.

49
Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka
ada yang percaya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik ”. [Ali
Imran: 110]

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan syarat bergabung dengan
umat Islam yang terbaik, yaitu dengan amar ma'ruf nahi mungkar dan iman. Padahal
bergabung dengan umat ini, hukumnya fardu 'ain. Sebagaimana firman-Nya:

َ ‫الً لَى هللاِ َل الِحًا‬


َ‫ال اللِ ِمين‬

“Memiliki yang lebih baik kutipannya daripada orang yang menyeru kepada Allah,
mengerjakan amal yang shaleh dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-
orang yang berserah diri. ” [Fushilat:33]

Sehingga memiliki sifat-sifat tersebut menjadi fardhu 'ain. Sebagaimana Umar bin
Al Khathab menganggapnya sebagai syarat Allah bagi orang yang bergabung ke
dalam barisan umat Islam. Beliau berkata setelah membaca surat Ali Imran:110,
“Wahai semua manusia, barang siapa yang ingin mengetahui hal tersebut,
hendaklah menunaikan syarat-syarat Allah darinya” Sedangkan pendapat kedua
memandang amar ma'ruf nahi mungkar fardhu kifayah. Ini merupakan pendapat
jumhur ulama. Diantara mereka yang dinyatakan secara tegas adalah Abu Bakar Al-
Jashash [12] , Al-Mawardiy, Abu Ya'la Al-Hambaliy, Al Ghozaliy, Ibnul Arabi, Al
Qurthubiy [13], Ibnu Qudamah [14], An-Nawawiy [ 15] , Ibnu Taimiyah [16] , Asy-
Syathibiy [17] dan Asy-Syaukaniy [18].

Mereka berhujjah dengan dalil-dalil berikut ini:

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

َ‫ك ْال ُم ْفلِحُون‬


َ ِ‫ُوف ْال ُمن َك ِر الَئ‬
ِ ‫ْلتَ ُكن لَى ْالخَ ي ِْر ْال َم ْعر‬

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka
adalah orang-orang yang beruntung ”. [Ali Imran:104] Mereka mengatakan
bahwa kata dalam ayat untuk menunjukkan sebagian. Sehingga
menunjukkan hukumnya fardhu kifayah. Imam Al Jashash menyatakan,

50
“Ayat ini mengandung dua makna. Pertama, kewajiban amar ma'ruf nahi
mungkar. Kedua, yaitu fardu kifayah. Jika telah dilaksanakan oleh sebagian,
maka yang lain tidak terkena kewajiban”.[19] Ibnu Qudamah
berkata,”Dalam ayat ini terdapat penjelasan hukum amar ma'ruf nahi
mungkar yaitu fardhu kifayah, bukan fardhu 'ain”..[20]

2. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

ِ ‫ا َكانَ ْال ُم ْؤ ِمنُونَ لِيَ ْنفِرُوا لَوْ الَ ِّل لِيَتَفَقَّهُوا الد‬
‫ِّين لِيُن ِذرُوا ا ا لَ ْي ِه ْم لَ َعلَّهُ ْم‬

“ Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke
medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka kembali kepadanya, agar
mereka dapat menjaga dirinya ”. [At-Taubah : 122]

Hukum tafaquh fiddin (memperdalam ilmu agama) adalah fardhu kifayah.


Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan sekelompok kaum
mukminin dan tidak semuanya untuk menuntut ilmu. Oleh karena itu orang
yang belajar dan menuntut ilmu tersebut yang bertanggung jawab memberi
peringatan, bukan seluruh kaum muslimin. Demikian juga jihad, hukumnya
fardhu kifayah. Syeikh Abdurrahman As Sa'diy menyatakan, “Sepatutnya
kaum muslimin mempersiapkan orang yang menjamin setiap kemaslahatan
umum mereka. Orang yang berhati-hati sepanjang waktunya dan
bersungguh-sungguh serta tidak bercabang, untuk mewujudkan
kemaslahatan dan kemanfatan mereka. Hendaklah arah dan tujuan mereka
semuanya satu, yaitu menyatakan kemaslahatan agama dan dunianya”[21]

3. Tidak semua orang dapat dijamin amar ma'ruf nahi mungkar. Karena orang
yang mensyaratkannya harus memiliki syarat-syarat tertentu. Seperti
mengetahui hukum-hukum syari'at, tingkat amar makruf nahi mungkar, cara
memastikannya, kemampuan melaksanakannya. Demikian juga
dikhawatirkan bagi orang yang beramar ma'ruf nahi mungkar bila tanpa ilmu

51
akan berbuat salah. Mereka memerintahkan kemungkaran dan mencegah
kema'rufan atau melakukan keras pada saat harus lembut dan sebaliknya. 4.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala

‫ف ا ْال ُم ْن َك ِر هلِل ِ اقِبَةُ ْاألُ ُموْ ِر‬


ِ ْ‫صالَةَ اتَ ُوا ال َّز َكاةَ ا ْال َم ْعرُو‬ ِ ْ‫ال ِّذ ْينَ اهُ ْم األَر‬
َّ ‫ض ا ُموْ ا ال‬

“(yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka


bumi, mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh yang ma'ruf
dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allahlah kembali
segala urusan ”. [QS. 22:41]

Imam Al Qurthubiy berkata, "Tidak semua orang diteguhkan kedudukannya


dimuka bumi, sehingga hal tersebut diwajibkan secara kifayah kepada
mereka yang diberi kemampuan untuknya"[22]

Oleh karena itu Syeikh Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, “Demikian


kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar. Hal ini tidak diwajibkan kepada setiap
orang, tetapi merupakan fardhu kifayah” [23]

Akan tetapi hukum ini bukan berarti menunjukkan kepadanya seseorang


untuk tidak berdakwah, atau beramar makruf nahi mungkar. karena
terlaksananya fardhu kifayah ini dengan terwujudnya pelaksanaan kewajiban
tersebut. Sehingga apabila kewajiban tersebut belum terwujud seluruh
pelaksanaannya oleh sebagian orang, maka kaum muslimin terbebani
kewajiban tersebut. Pelaku amar makruf nahi mungkar adalah orang yang
menunaikan dan melaksanakan fardhu kifayah. Mereka memiliki
keistimewaan lebih dari orang yang melaksanakan fardhu 'ain. Karena
pelaku fardhu 'ain hanya menghilangkan dosa dari dirinya sendiri,
sedangkan pelaku fardhu kifayah menghilangkan dosa dari dirinya dan kaum
muslimin secara keseluruhan. Demikian juga fardhu 'ain jika ditinggalkan,
maka hanya dia saja yang berdosa, sedangkan fardhu jika ditinggalkan akan
berdosa seluruhnya. Pendapat ini Insya Allah pendapat yang rajih. Wallahu

52
a'lam. Amar makruf nahi mungkar dapat menjadi fardhu 'ain, menurut
pendapat kedua diatas, apabila :

- Pertama: Ditugaskan oleh pemerintah. Al Mawardi menyatakan,”Sesungguhnya


hukum amar makruf nahi mungkar fardhu 'ain dengan perintah penguasa”.[24]

- Kedua: Hanya dia yang mengetahui kema'rufan dan kemungkaran yang terjadi.
An Nawawiy berkata,”Sesungguhnya amar makruf nahi mungkar fardhu
kifayah. Kemudian menjadi fardhu 'ain, jika dia berada ditempat yang tidak
mengetahuinya kecuali dia”.[25]

- Ketiga: Kemampuan amar makruf nahi mungkar hanya dimiliki oleh orang
tertentu. Jika kemampuan memastikan amar makruf nahi mungkar terbatas pada
beberapa orang tertentu saja, maka amar makruf nahi mungkar menjadi fardhu
'ain bagi mereka. An Nawawi berkata,”Terkadang amar makruf nahi mungkar
menjadi fardhu 'ain, jika berada di tempat yang tidak mungkin
menghilangkannya kecuali dia. Seperti seorang yang melihat istri atau anak atau
budaknya melakukan kemungkaran atau tidak melakukan kema'rufan”.[26]

- Keempat: Perubahan keadaan dan kondisi. Syeikh Abdul Aziz bin Baaz
memandang amar makruf nahi mungkar menjadi fardhu 'ain dengan sebab
perubahan kondisi dan keadaan, ketika beliau berkata, “Ketika sedikitnya para
da'i. Banyaknya kemungkaran dan kecurigaan yang merata, seperti keadaan kita
sekarang ini, maka dakwah menjadi fardhu 'ain atas setiap orangsesuai dengan
kemampuannya”..[27]

53
REFERENSI

http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?
article=1689263&val=18392&title=ISTIDRAJ%20DALAM%20AL-QURAN
%20PERSPEKTIF%20IMAM%20AL-QURTHUBI
https://www.suaramuhammadiyah.id/2019/05/20/terjebak-istidraj-dalam-kenikmatan/
https://suaramuhammadiyah.id/2019/05/20/terjebak-istidraj-dalam-kenikmatan/
https://umroh.com/blog/perhatikan-ayat-tentang-istidraj-jangan-sampai-terbuai/
https://issuu.com/dannilroikhan/docs/artikel_agama_islam/s/12452859
https://www.krjogja.com/angkringan/opini/musibah-adalah-ujian-dan-takdir-allah/
https://sef.feb.ugm.ac.id/mengenal-riba-dan-bahayanya/
https://shariagreenland.co.id/blog/10-macam-bahaya-dosa-riba/
https://www.brilio.net/wow/keutamaan-bersedekah-beserta-jenis-dan-dalilnya-sesuai-
ajaran-islam-200604.html
https://dppai.uii.ac.id/siapkan-bekal-untuk-menjemput-ajal/
https://almanhaj.or.id/2708-amar-maruf-nahi-mungkar-menurut-hukum-islam.html

54

Anda mungkin juga menyukai