Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH HASIL DARI PENDIDIKAN NILAI DAN KARAKTER

Tugas ini diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata kuliah Pendidkan Nilai
Karakter

Disusun Oleh Kelompok 14 :

Muhammad Sandiya Purba(0301172365)

Ahmad Nur Hananfi(0301172366)

Siti NurHanani .F (0301172368)

PAI-1 SMT VII

Dosen Pengampu:

Muhammad Rapono, M.Pd.I

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA MEDAN

2021
KATA PENGANTAR

‫الر ْحمٰ ِن ِ ه‬
‫الر حِ ي ِْم‬ ‫ّللا ِ ه‬
ِ ‫س ِم ه‬
ْ ِ‫ب‬

Puji dan syukur kita ucapkan kepada Allah SWT. Sang pencipta alam semesta mengatur
rotasi kawakib, menata transisi kehidupan manusia serta mencurahkan kebutuhan makhluk
dalam berbagai lini kehidupan untuk dinikmati yang karena izin-Nya lah tugas makalah ini
dapat terselesaikan dengan semestinya, shalawat bermahkotakan salam kepada penguat
pengetahuan, pencerah kegelapan, penyempurna akhlak dan pembuka cakrawala paradigma
berpikir ummat manusia baginda Muhammad SAW. Adapun maksud dan tujuan dari Makalah
ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen pada mata kuliah
Pendidikan Nilai Karakter
Dan yang telah memberikan dukungan moral dan materi dan juga yang telah rela
membantu menyumbangkan waktu dan aspirasinya dalam pembuatan Mini riset ini, penulis
ucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Muhamamd Rapono,M.Pd.I Selaku dosen pengampu mata kuliah
Pendidikan Nilai Karakter yang telah memberikan pengetahuan, arahan, informasi
dan petunjuk serta yang menjadi inspirasi dalam penyelesaian Tugas makalah ini
2. Teman-teman PAI-1/VII yang telah memberikan masukan yang membangun
dalam proses pembuatan laporan makalah ini baik berupa materil ataupun moril.
Penulis menyadari bahwasanya kesempurnaan hanya lah milik Allah semata, dan sama
halnya dengan makalah ini, begitu banyak terdapat kekurangan dan masih jauh dari kata
kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritik yang bernilai positif sangat dibutuhkan untuk
penyempurnaan Tugas Makalah ini.
Medan, Januari 2021
Penulis

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di antara isu penting yang sedang mencuat ke permukaan dalam dunia pendidikan saat
ini, khususnya di Indonesia adalah pendidikan karakter. Program ini adalah bentuk respon
terhadap dekadensi moral dalam bangunan realitas sosial yang berkonsekuensi pada
keterpurukan bangsa di berbagai lini. Bahkan keruntuhan moral telah memaksa bangsa ini untuk
bertekuk lutut kepada nilai-nalai dehumanisasi dalam lingkaran struktural maupun kultural.
Abuddin Nata menggambarkan bahwa gejala keruntuhan moral dewasa ini sudah benar-benar
mengkhawatirkan. Kejujuran, kebenaran, keadilan, tolong menolong, dan kasih sayang sudah
tertutup oleh penyelewengan, penipuan, penindasan, saling menjegal, dan saling merugikan.
Banyak terjadi adu domba dan fitnah, menjilat, menipu, mengambil hak orang lain sesuka hati,
dan perbuatanperbuatan maksiat lainnya. 1

Semua itu menjadi alasan mengapa pendidikan karakter penting diterapkan dalam dunia
pendidikan. Sebenarnya, wacana pengembangan pendidikan karakter dalam sejarah pendidikan
Indonesia bukanlah hal yang baru. Ideologi pancasila telah berusaha keras mengusung misi
mulia untuk pembentukan karakter seperti tercermin dalam sila demi silanya. Dalam
perkembangannya, di sekolah-sekolah telah diajarkan pelajaran Pendidikan Moral Pancasila
(PMP), pendidikan budi pekerti, pendidikan agama dan pendidikan akhlak (pada lembaga
pendidikan Islam). Semua pelajaran tersebut merupakan penjelmaan dari pendidikan karakter.

Dalam Islam, pembangunan karakter merupakan masalah fundamental untuk membentuk


umat yang berkarakter. Pembangunan karakter dibentuk melalui pembinaan akhlakul karimah
(akhlak mulia); yakni upaya transformasi nilai-nilai qur‟ani kepada anak yang lebih menekankan

1
Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Cet. Ke-III
( Jakarta: Prenada Media Group, 2003), 197.

3
aspek afektif atau wujud nyata dalam amaliyah seseorang. Selain itu, Islam melihat bahwa
identitas dari manusia pada hakikatnya adalah akhlak yang merupakan potret dari kondisi batin
seseorang yang sebenarnya. Makanya dalam hal ini Allah Swt, begitu tegas mengatakan bahwa
manusia mulia itu adalah manusia yang bertakwa (tunduk atas segala perintah-Nya). Kemuliaan
manusia di sisi-Nya bukan diukur dengan nasab, harta maupun fisik, melainkan kemuliaan yang
secara batin memiliki kualitas keimanan dan mampu memancarkannya dalam bentuk sikap,
perkataan dan perbuatan.

Oleh karena itu, didalam makalah ini aakn dibahas mengeni pendidikan nilia dan karakter
versi islam dan vesrsi barat dimana di dalam makalah ini aakan di paparkan mengenai perbedaan
pendidikan nilai dan karakter versi Islam dan barat, dan apa sajaa keunggulan dari pendidikan
nilai dan karakter versi islam dan versi barat.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah di paparkan oleh penulis berikut ini adalah
rumusan masalah yang ingin diketahui:

1. Apa definisi Pendidikana Nilai dan karakter?


2. Bagaimana Hasil Pendidikan Nilai dan Karakter Versi Barat ?
3. Bagaimana hadil Pendidikan Nilai dan karakter Versi Islam?
4. Bagaimana keunggulan pendidikan nilai dan karakter versi Islam dan Barat ?

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Pendidikan Nilai dan Karakter

Pendidikan karakter mulai ramai dibicarakan sejak tahun 1990-an. Thomas Lickona
dengan bukunya "The Return of Character Education" menjadi awal kebangkitan pendidikan
karakter. Definisi karakter menurut Ryan dan Bohlin mengandung tiga unsur pokok yaitu
mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan
kebaikan (doing the good). Pendidikan karakter adalah sebuah upaya untuk membimbing
perilaku manusia menuju standar-standar baku. Upaya ini juga memberi jalan untuk menghargai
persepsi dan nilai-nilai pribadi yang ditampilkan di sekolah. Fokus pendidikan karakter adalah
pada tujuan-tujuan etika, tetapi praktiknya meliputi penguatan kecakapankecakapan yang penting
yang mencakup perkembangan sosial siswa. Dengan mengetahui adanya karakter (watak, sifat,
tabiat ataupun perangai), seseorang dapat memperkirakan rekasi-reaksi dirinya terhadap berbagai
fenomena yang muncul dalam diri ataupun hubungannya dengan orang lain, dalam berbagai
keadaan dan bagaimana cara mengendalikannya. Karakter dan akhlak memiliki definisi yang
hampir sama dimana keduanya merupakan suatu tindakan yang terjadi tanpa adanya pemikiran
dalam melakukannya/spontan karena sudah tertanam kuat dalam pikirannya dan menjadi sebuah
kebiasaan seseorang.

Selanjutnya, definisi tentang budi pekerti. Esensi makna budi pekerti sama dengan
pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Dalam konteks di Indonesia, pendidikan budi pekerti
adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai yang luhur yang bersumber dari budaya bangsa
Indonesia, dalam rangka membina kepribadian generasi muda. Dalam kamus bahasa Indonesia,
kata budi artinya alat batin yang merupakan paduan akal dan perasaan untuk menimbang baik
buruk. Budi bermakna juga tabiat, akhlak, watak, orang yang baik. Sedangkan pekerti berarti
perangai, tabiat, akhlak watak/perbuatan. Secara operasional, budi pekerti merupakan perilaku

5
yang tercermin dalam kata, perbuatan, pikiran, sikap, perasaan, keinginan, dan hasil karya.
Pendidikan karakter memiliki makna lebih tinggi daripada pendidikan moral, karena pendidikan
karakter bukan hanya mengajarkan benar salah, tetapi sekaligus menanamkan kebiasaan
(habituation) tentang yang baik sehingga siswa menjadi paham, mampu merasakan, dan mau
melakukan apa yang baik. Moral adalah pengetahuan seseorang terhadap hal baik dan buruk.
Sedangkan karakter adalah tabiat seseorang yang langsung di-drive oleh otak.

Sebagaimana dijelaskan diatas, bahwa karakter identik dengan akhlak, moral, dan etika.
Maka dalam persfektif Islam, karakter atau akhlak mulia merupakan suatu hasil dari proses
penerapan syariat (ibadah dan muamalah) yang dilandasi oleh kondisi akidah yang kokoh dan
bersandar pada alQur‟an dan al-Sunah (Hadits).

Pendidikan karakter merupakan hal utama dan paling utama yang harus dimiliki setiap
individu. Karakter esensial yang dimiliki oleh individu akan membawa implikasi positif bagi
terbangunnya karakter Yang lain. Karakter esensial dalam Islam mengacu Pada Sifat Nabi
Muhammad Saw yang meliputi siddiq, amanah, fathanah, dan tabligh. Dari karakter esensial ini,
diharapkan terbentuk insan profetik. Insan profetik adalah insan atau manusia yang menjadikan
Nabi Muhammad sebagai suri tauladan. Insan dengan watak profetik tidak memikirkan dirinya
sendiri, tetapi berpikir bagaimana dapat memberikan sebanyak-banyaknya bagi lingkungan
(altruistik). Altruistik diartikan sebagai kewajiban yang ditujukan pada kebaikan orang lain.
Altruisme pada dasarnya dianjurkan oleh semua agama. Dalam lslam, ada ajaran yang
menyatakan bahwa sebaikbaiknya manusia adalah yang berguna bagi orang lain.

Thomas Lickona dalam bukunya menyatakan bahwa pengertian pendidikan karakter


adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami,
memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti. Dan lebih luas lagi ia menyebutkan
pendidikan karakter adalah usaha sengaja (sadar) untuk mewujudkan kebajikan, yaitu kualitas
kemanusiaan yang baik secara objektif, bukan hanya baik untuk individu perseorangan, tetapi
juga baik untuk masyarakat secara keseluruhan.2

2
Thomas Lickona, Character Matters; Persoalan Karakter, Bagaimana Membantu Anak Mengembangkan
Penilaian Yang Baik, Integritas dan Kebajikan Penting Lainnya, (Jakarta: PT BumiAksara, 2012),h. 6.90

6
Thomas Lickona mengutip pandangan seorang filusuf Yunani bernama Aristoteles bahwa
karakter yang baik didefinisikan dengan melakukan tindakan-tindakan yang benar sehubungan
dengan diri seseorang dan orang lain. Aristoteles bahkan mengingatkan kepada kita tentang apa
yang cenderung dilupakan di masa sekarang ini: kehidupan yang berbudi luhur termasuk
kebaikan yang berorientasi pada diri sendiri (seperti kontrol diri dan moderasi) sebagaimana
halnya dengan kebaikan yang berorientasi pada hal lainnya (seperti kemurahan hati dan belas
kasihan), dan kedua jenis kebaikan ini berhubungan. Artinya kita perlu untuk mengendalikan diri
kita sendiri-keinginan kita, hasrat kita- untuk melakukan hal yang baik bagi orang lain. 3

Berdasarkan pemahaman klasik ini, Thomas Lickona bermaksud untuk memberikan


suatu cara berpikir tentang karakter yang tepat bagi pendidikan nilai: karakter terdiri dari nilai
operatif, nilai dalam tindakan. Menurut beliau, karakter yang baik adalah terdiri dari mengetahui
hal yang baik, menginginkan hal yang baik, dan melakukan hal yang baik kebiasaan dalam cara
berpikir, kebiasaan dalam hati, dan kebiasaan dalam tindakan.

B. Hasil Pendidikan Nilai dan Karakter Versi Barat

Istilah karakter, berasal dari bahasa Yunani ”charassein” yang berarti mengukir. Karakter
diibaratkan mengukir batu permata atau permukaan besi yang keras. Selanjutnya berkembang
pengertian karakter yang diartikan sebagai tanda khusus atau pola perilaku. 4 Donni Koesoema A,
menyebut karakter sama dengan kepribadian.5 Sementara menurut Masnur Muslich, karakter
berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi positif, bukan netral. Orang yang berkarakter
adalah orang yang mempunyai kualitas moral (tertentu).6 Menurut Berkowitz, dalam Damond
sebagaimana dikutip oleh Al Musanna bahwa karakter merupakan ciri atau tanda yang melekat
pada suatu benda atau seseorang. Karakter menjadi penanda identifikasi.

3
Thomas Lickona, Educating for Character, Mendidik Untuk Membentuk Karakter, Bagaimana Sekolah
Dapat Memberikan Pendidikan tentang Sikap Hormat dan Tanggung Jawab, (Jakarta:PT Bumi Aksara, 2012),
h.8190
4
Sri Judiani, Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar Melalui Pengamatan Pelaksaan
Kurikulum, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Volume 16 Edisi khusus III, Oktober 2010, Balitbang Kementerian
Pendidikan Nasional.
5
Donni Koesoema A, Pendidikan Karakter di Zaman Keblinger, Mengembangkan Visi Guru Sebagai
Pelaku Perubahan dan Pendidikan Karakter ( Jakarta: Grasindo, 2009),h.80.
6
Masnur Muslich, Pendidikan Karakter, Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional ( Jakarta: Bumi
Aksara, 2011),h. 71.

7
Adapun pendidikan karakter, menurut Thomas Licona adalah pendidikan untuk
membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam
tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati
hak orang lain, kerja keras, dan sebagainya.7 Terkait dengan makna pendidikan karakter, Raharjo
secara holistik yang menghubungkan dimensi moral dengan ranah sosial dalam kehidupan
peserta didik sebagai pondasi bagi terbentuknya generasi yang berkualitas yang mampu hidup
mandiri dan memiliki prinsip kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Pendidikan
karakter merupakan suatu proses pembentukan perilaku atau watak seseorang, sehingga dapat
membedakan hal-hal yang baik dengan yang buruk dan mampu menerapkannya dalam
kehidupan. Pendidikan karakter pada hakikatnya merupaan konsekuensi tanggung jawab
seseorang untuk memenuhi suatu kewajiban.8

C. Hasil Pendidikan Nilai dan karakter versi Islam

Karakter dalam Islam lebih akrab disapa dengan akhlak, kepribadian serta watak sesorang
yang dapat di lihat dari sikap, cara bicara dan berbuatnya yang kesemuanya melekat dalam
dirinya menjadi sebuah identitas dan karakter sehingga sulit bagi seseorang untuk
memanipulasinya. Manusia akan tampil sebagaimana kebiasaan, budaya dan adat istiadat
kesehariannya, sebab manusia merupakan anak kandung budaya, baik keluarga maupun
masyarakatnya di samping anak kandung dari agama yang dipeluknya.

Untuk lebih mengenal istilah karakter dalam Islam, maka perlu disajikan aspek ontologis
akhlak sehingga dapat memberi khazanah pemahaman yang lebih jelas. M. Amin Syukur
mengutip beberapa pendapat tokoh filsafat akhlak, di antaranya; menurut Moh. Abdul Aziz
Kully, akhlak adalah sifat jiwa yang sudah terlatih sedemikian kuat sehingga memudahkan bagi
yang melakukan suatu tindakan tanpa pikir dan direnungkan lagi. Menurut Ibn Maskawaih,
akhlak adalah „khuluk (akhlak adalah keadaan jiwa yang mendorong (mengajak) untuk
melakukan perbuatan-perbuatan tanpa pikir dan dipertimbangkan lebih dahulu. Menurut Ibn
Qayyim, akhlak adalah perangai atau tabi‟at yaitu ibarat dari suatu sifat batin dan perangai jiwa
yang dimiliki oleh semua manusia. Sedangkan menurut al-Ghazali, akhlak adalah sifat atau

7
Bambang Q-Annes & Adang Hambali, Pendidikan Karakter Berbasis Qur’ani (Bandung: Simbiosa
Rekatama Media, 2008),h.99.
8
Nurchaili, Membangun Karakter Siswa Melalui Keteladanan Guru, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan
Volume 16 Edisi khusus III, Oktober 2010, Balitbang Kementerian Pendidikan Nasional.

8
bentuk keadaan yang tertanam dalam jiwa, yang dari padanya lahir perbuatan-perbuatan dengan
mudah dan gampang tanpa perlu dipikirkan dan dipertimbangkan lagi.

Mohammad Daud Ali menuturkan bahwa akhlak mengandung makna yang ideal,
tergantung pada pelaksanaan dan penerapan melalui tingkah laku yang mungkin positif dan
mungkin negatif, mungkin baik dan mungkin buruk, yang temasuk dalam pengertian positif
(baik) adalah segala tingkah laku, tabiat, watak dan perangai yang sifatnya benar,amanah, sabar,
pemaaf, pemurah rendah hati dan lain-lain. Sedang yang termasuk ke dalam pengertian akhlak
negatif (buruk) adalah semua tingkah laku, tabiat, watak, perangai sombong, dendam, dengki,
khianat dan lain-lain yang merupakan sifat buruk.9

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat dipahami bahwa karakter merupakan


bentuk lain dari akhlak yang secara teoritis merupakan akumulasi pengetahuan dan pengalaman
langsung yang membentuk watak dan sifat seseorang yang bersifat melekat dan secara praktis
berimplikasi pada perilaku nyata seseorang yang menjadi kebiasaan. Watak manusia dan
perbuatannya merupakan identitas yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya,
dan terdapat jalinan yang sangat erat. Jika watak seseorang dibentuk oleh pengalaman dan
pengetahuan buruk, maka perbuatannya juga akan cenderung mengarah ke sana. Demikian
sebaliknya jika baik, maka perbuatannya akan baik. Orang yang watak dan perbuatannya terbiasa
dengan hal-hal yang baik maka akan tidak nyaman jika diperintahkan untuk melakukan
kejahatan, dia akan merasa bersalah, gelisah dan terus diliputi suasana hati yang tidak tenteram.
Penyebabnya adalah karena kebiasaan yang sudah terbentuk menjadi wataknya.

Dengan demikian, jika dikaitkan dengan pengertian tentang pendidikan karakter atau
akhlak, maka pendidikan ini merupakan upaya proses pelatihan, pembudayaan, bimbingan serta
pelibatan langsung secara terus menerus bagi peserta didik berdasarkan muatan nilai-nilai yang
dipandang baik menurut agama, adat istiadat atau konsep-konsep pengetahuan tentang akhlak
baik lainnya dari berbagai sumber muatan nilai.

Pemikiran Imam Ghozali dalam pendidikan akhlak dapat dilihat dari rumusannya "induk
akhlak dan pondasinya. Induk dan fondasi akhlak terdiri dari empat konsep pokok berikut ini.
Pertama, al-hikmah, yaitu kondisi jiwa, batin, nafs yang tercerahkan sehingga mampu

9
Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam ( Jakarta: Raja Grafindo, 1998),h.347

9
memahami yang benar dari yang salah, yang hak dari yang bathil, yang baik dan yang buruk
dalam semua tindakan bebas. Kedua, al-adlu, yakni kondisi jiwa, batin, nafs, yang mampu
memimpin dan membawa amarah dan syahwat dalam naungan al-hikmah. Ketiga, al-syaja>·ah,
yakni kekuatan amarah yang dituntun oleh akal. Keempat, al-iffah, kekuatan syahwat yang
terdidik dengan pendidikan akal dan syariah. Akhlakul karimah yang komprehensif hanya akan
tumbuh dari manusia yang dalam dirinya tegak-lurus dan tawassuth keempatnya.10

Untuk mengerti konsep pendidikan akhlak (karakter) tersebut dibutuhkan pemahaman


terhadap asumsi dasar konsep manusia yang dibangun oleh imam Ghozali. Manusia (dalam
asumsi imam Ghozali) merupakan makhluk monopluralistik, dalam arti satu pribadi yang terdiri
dari jasmani, hati, ruh dan akal. Jika disederhanakan, dapat diringkas sebagai makhluk yang
memiliki dua dimensi: lahiriyah (tubuh jasadiyah) dan batiniyah (hati, ruh, nafs), yang
masingmasing memiliki pengertian yang berbeda namun bertalian. Keempatnya dapat dibedakan
namun memiliki keterkaitan. Hati, misalnya, memiliki dua instrumen ekspresi, yaitu dibahasakan
iman Ghozali dengan istilah junud yakni instrumen lahir atau material (tubuh, panca indra) dan
instrumen batin yakni amarah dan syahwat yang merupakan dua elemen pokok dari nafsu.
Instrumen lahir di butuhkan sebagai alat ekspresi atau materialisasi pergerakan kehendak yang
berpusat di hati. Mata misalnya, akan membuka diri dan melihat jika diperintahkan oleh hati
untuk melakukannya. Jika tidak, maka mata akan tetap menutup diri dengan kelopak matanya.
Membuka atau menutup yang dilakukan oleh mata sepenuhnya berpusat dan digerakkan oleh
gerak hati.

Oleh karenanya, nilai-perbuatan yang dihasilkan oleh instrumen lahiriyahjasadiyah


seorang ditentukan oleh pergulatan amarah dan nafsu dalam diri seseorang (dimensi batiniyah).
Pergulatan antara amarah dan nafsu akan melahirkan prilaku yang baik ataupun buruk dipandang
oleh manusia yang akan menjadi kebiasaan dalam pribadinya. Kebiasaan baik atau karakter yang
baik memproses seseorang untuk berbuat baik pula, terlepas hal itu dari kebiasaan ataupun secara
paksaan. Selanjutnya karakter menurut Umar Baradja yang harus ditanamkan pada anakanak usia
dini dan remaja diantaranya adalah sifat-sifat yang akan menjadikan seseorang dapat dipandang

10
…. , Pesantren dan Pendidikan Karakter Bangsa (Mengurai Pendidikan Karakter Bangsa, Solusi
Sekaligus Problem), Jurnal Mlangi, Vol. 1 No. 1, 2013, 47-48.

10
berbudi pekerti yang baik (Akhlak Mahmudah) bila mengamalkannya. Di sisi lain Umar juga
mengemukakan (Akhlak Mazmumah) yang akan kami uraikan di bawah ini.

D. Keunggulan versi Islam dan barat

Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif,
berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang
dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan
takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila. Pendidikan karakter berfungsi:
1. mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku
baik;
2. memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur;
3. meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.
Pendapat Sri Judiani mengatakan bahwa pentingnya pendidikan karakter dapat juga di
lihat dari fungsinya yaitu:
1. pengembangan,
2. perbaikan; dan
3. penyaring.
Pengembangan yakni pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi
berperilaku baik terutama bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang
mencerminkan karakter bangsa. Perbaikan yakni memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk
bertanggung jawab dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat.
Penyaring, yaitu untuk menyeleksi budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak
sesuai dengan nilai-nilai karakter yang bermartabat.11
Dalam Islam, pentingnya pendidikan karakter dapat di lihat dari penekanan pendidikan
akhlak yang secara teoritis berpedoman kepada Alquran dan secara praktis mengacu kepada
kepribadian Nabi Muhammad saw. Profil beliau tidak mungkin diragukan lagi bagi setiap
muslim, bahwa beliau merupakan role model (tauladan) sepanjang zaman. Keteladanannya telah
diakui oleh Alquran yang mengatakan; “Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti
yang agung”. (QS al Qalam [68]: 4)12

11
Sri Judiani, Implementasi Pendidikan Karakter…, 282.
12
Imam Ahmad bin Hambal, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, Jilid II (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), 381.

11
Dalam dunia barat, Thomas Lickona menyebutkan tujuh unsur-unsur karakter esensial
dan utama yang harus ditanamkan kepada peserta didik yang meliputi:
1. Ketulusan hati atau kejujuran (honesty).
2. Belas kasih (compassion);
3. Kegagah beranian (courage);
4. Kasih sayang (kindness);
5. Kontrol diri (self-control);
6. Kerja sama (cooperation);
Pendidikan karakter menurut Thomas Lickona ada tiga unsur pokok, yaitu mengenai
kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (desiring the good), dan melakukan kebaikan
(doing the good). Pendidikan karakter menanamkan kebiasaan yang baik sehingga anak-anak
mengerti, paham, merasakan, dan melakukan yang baik.

Pada dasarnya Pendidikan nilai dan karakter dari segi versi Islam dan Barat memiliki
beberapa keunggulan masing-masing diantaranya dalam segi tujuan. Pendidikan karakter dari
segi versi islam menurut Yusuf Qardhawi adalah menanamkan dan mengajarkan nilai-nilai
Agama Islam yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah. Menurutnya jika sejak dini anak
sudah dipahamkan dan ditanamkan dalam diri, kemudian dia tumbuh dan berkembang dengan
berpijak kepada landasan iman kepada Allah Swt dan terdidik untuk selalu takut, ingat, meminta
pertolongan dan berserah diri hanya kepada Allah Swt dan mencontoh akhlak yang mulia karena
mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah Saw. Sedangkan tujuan Pendidikan karakter versi barat
menurut Thomas Lickona lebih ke menanamkan pengetahuan moral, perasaan moral, dan
tindakan moral. Pendidikan karakter menanamkan kebiasaan yang baik sehingga anak-anak
mengerti, paham, merasakan, dan melakukan yang baik.

E. Perpaduan Pendidikan Nilai dan karakter dalam versi Islam dan Barat

Pola pendidikan yang tidak tepat akan berimbas buruk kepada pembangunan karakter
anak di masa yang akan datang. Hal ini patut kita waspadai sebelum segalanya terlambat.
Metode pendidikan ala barat yang dalam hal ini di contohkan dengan metode pendidikan
Montessori akan menjadi lebih sempurna apabila kita padukan dengan metode pendidikan
berbasis Islam. Dalam tinjauan pustaka telah dijelaskan mengenai Pendidikan Karakter,
Pendidikan Berbasis Islam dan juga Metode Pendidikan Montessori. Pola pendidikan Montessori

12
sesungguhnya telah jauh-jauh disebutkan di dalam al-Quran, yakni yang prinsip yang paling
utama ialah mendidik sebaik-baiknya. Persamaan-persamaan aspek lainnya bisa dilihat melalui
beberapa tahapan.

Dalam pendidikan Montessori, kebebasan merupakan hal yang paling utama. Mendidik
anak tidak boleh memaksakan anak ketika ingin belajar sesuatu. Kebebasan bisa diartikan
sebagai pemberian ruang kepada anak untuk dapat memilih aktivitas belajar yang mereka
inginkan tanpa adanya tekanan dan paksaan dari siapapun. Anak akan belajar sesuai dengan
tahapan dan perkembangan mereka sendiri. Mereka juga senantiasa diberi pilihan untuk
melakukan hal yang mereka sukai ataupun tidak. 13

Perpaduan konsep Pendidikan Karakter dalam versi barat yang dijelaskan oleh
Montessori dan versi Islam bisa dalam konsep ini bisa dijabarkan dengan mendidik anak tanpa
adanya paksaan dari siapapun, sesuai dengan tahapan perkembangan anak akan membentuk
karakter anak menjadi mandiri, disiplin, dan bertanggung jawab terhadap keputusan yang ia
ambil. Allah SWT berfirman “Allah tidak mewajibkanmu membentuk anak-anakmu mahir
dalam segala hal, tetapi Allah mewajibkanmu membentuk anak-anak yang shalih/ah.” (Qs.
Thaha: 205). Tentu saja konsep kebebasan di dalam pola pendidikan Montessori telah sesuai
dengan konsep pendidikan Islam dalam membangun karakter anak agar tumbuh sesuai dengan
perkembangannya. Tanggung jawab sebagai orang tua ialah membentuk anak untuk menjadi
pribadi yang sholih/sholihah, bukan semata-mata menjadikan anaknya mahir dalam segala hal
yang terkadang belum sesuai dengan usia perkembangan mereka.

Salah satu ciri dari pendidikan Montessori ialah adanya struktur dan keteraturan. Melalui
keteraturan, anak akan tahu bagaimana mencari mainan yang mereka inginkan. Oleh sebab itu
penempatan dalam alat-alat edukasi dan permainan mereka harus disesuaikan dengan keadaan
dan kondisi mereka. Misalnya penempatannya ditempat yang mudah diakses anak-anak sehingga
ketika mereka membutuhkan alat-alat tersebut, mereka akan dengan mudah meraihnya. Hal ini
terlihat simple namun memiliki makna yang berarti yakni melatih anak-anak untuk memiliki
sikap tanggung jawab dan mandiri ketika sedang belajar.

13
Montessori, The Montessori Controversy, (New York: Delmar Publisher, 2009) hal 24

13
Dalam al-Quran surat al-Insyiqaq ayat 19-20 Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya
kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan), maka mengapa mereka tidak beriman?"
Dari firman Allah SWT tersebut bisa kita artikan bahwasanya proses belajar hendaknya
dilakukan secara bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaranyang mudah (konkret)
terlebih dahulu menuju pada pelajaran yang sukar (abstrak). Hal ini tentu saja sesuai dengan
prinsip dari pendidikan Montessori yaitu mengajarkan anak untuk belajar sesuai dengan
urutannya, dari yang mudah menuju yang sukar. Allah juga berfirman di dalam al-Quran surat al-
Insyirah ayat 7 yaitu, “Maka jika engkau sudah bebas, tetaplah tabah bekerja keras!” Ayat ini
bisa diartikan bahwa dalam belajar ilmu hendaklah sampai tuntas baru beralih pada ilmu yang
lainnya, sehingga anak memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam. Hal ini tentu
saja sesuai dengan konsep Pendidikan Montessori yakni mengajarkan anak untuk bereksperimen
dalam belajar dan melatih kemandirian bagi anak ketika mempelajari sesuatu hal.

Perpaduan antara metode pendidikan Islam dengan metode Pendidikan barat membangun
karakter dan jiwa anak. Melalui kedua perpaduan tersebut, nilai-nilai mata pelajaran tertentu
bukan lagi menjadi patokan dan tolak ukur keberhasilan anak dalam mencapai tujuan
pembelajaran, namun perpaduan kedua metode ini akan menciptakan anak memiliki karakter
yang religius, mandiri, tangguh, pemberani, tidak mudah putus asa, mencintai sesama, cinta
kebersihan dan keindahan, serta berpikir realistis untuk masa depannya kelak. Penanaman
karakter anak yang selalu berpedoman dan bersumber kepada ajaran al-Quran, dan al-Hadis,
yang tentu saja senantiasa diiringi dengan keteladanan sifat dan akhlak dari Rasulullah, ditambah
dengan perpaduan pendidikan berbasis Islam dan metode pendidikan Montessori merupakan
salah satu bentuk ikhtiar terbaik dari seorang guru maupun orang tua untuk membangun jiwa dan
karakter anak yang unggul dan berakhlak mulia. 14

Dalam versi barat karakter dapat di umpamakan sebagai mengukir batu permata atau
permukaan besi yang keras dimana dapat di artikan dengan pembentukan dan pendapat lain
mengartikan sebagai tanda khusus atau pola prilaku atau disebut kepribadian dan bahkan ada
yang mengartikan sebagai sesuatu kekuatan moral yang berkonotasi atau cenderung mengarah ke
positif bukan netral

14
Aprilian Ria Adisti, Perpaduan Konsep Islam dengan Metode Montessori dalam Membangun Karakter
Anak, (Universitas Slamet Riyadi Surakarta,2016) hal. 83-84

14
Dan menurut thomas licona pendidikan karakter diartikan sebagai pendidikan untuk
membentuk kepribadian seseorang melalui pemdidikan budi pekerti Versi barat mengatakan
bahwa karakter itu adalah sesuatu dorongan tingkah laku yang mana lebih condong pada hal -hal
yang positih dan bukan ber sifat netral

Sedangkan dalam islam menurut muhammad daud ali karakter atau akhlak memiliki
makna yang ideal yang mana itu semua tergantung dari penerapan dan pelaksanaan nya melalui
tingkah laku. Dan perpaduan dari keduanya adalah dimana krakter versi barat dan karater versi
islam tertuju pada tingkah laku dari seseorang yang mana bila di versi barat bisanya
pembentukan dari karakter itu berasal dari pendidikan budi pekerti yang hasil nya dapat dilihat
dari tingkah laku seseorang .

Dan dalam versi islam karakter atau akhalak dalam pembentukan nya melalui proses
pelatihan ,pembudayaan ,bimbingan dan pelibatan langsung secara terus menerus bagi seseorang
yang berdasarkan dari muatan nilai-nilai yang di pandang baik oleh agama ,adat istiadat atau
konsep-konsep pengetahuan tentang akhlak baik lainnya dari nerbagai sumber bermuatan nilai.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dapat dipahami bahwa karakter merupakan bentuk lain dari akhlak yang secara teoritis
merupakan akumulasi pengetahuan dan pengalaman langsung yang membentuk watak dan sifat
seseorang yang bersifat melekat dan secara praktis berimplikasi pada perilaku nyata seseorang
yang menjadi kebiasaan. Watak manusia dan perbuatannya merupakan identitas yang tidak dapat
dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, dan terdapat jalinan yang sangat erat. Jika watak
seseorang dibentuk oleh pengalaman dan pengetahuan buruk, maka perbuatannya juga akan
cenderung mengarah ke sana. Pendidikan karakter merupakan suatu proses pembentukan
perilaku atau watak seseorang, sehingga dapat membedakan hal-hal yang baik dengan yang
buruk dan mampu menerapkannya dalam kehidupan. Pendidikan karakter pada hakikatnya
merupaan konsekuensi tanggung jawab seseorang untuk memenuhi suatu kewajiban.

Sedangkan dalam islam menurut muhammad daud ali karakter atau akhlak memiliki
makna yang ideal yang mana itu semua tergantung dari penerapan dan pelaksanaan nya melalui
tingkah laku. Dan perpaduan dari keduanya adalah dimana krakter versi barat dan karater versi
islam tertuju pada tingkah laku dari seseorang yang mana bila di versi barat bisanya
pembentukan dari karakter itu berasal dari pendidikan budi pekerti yang hasil nya dapat dilihat
dari tingkah laku seseorang .

B. Saran

Semoga makalah ini bermanfaat untuk memperkaya dan memperluas wawasan keilmuan
kita sebagai pembaca yang haus akan ilmu pendidikan. Marilah kita menjadikan diri yang kaya
akan pendidikan agar menjadi insan-insan yang terdidik,berbudi pekerti yang baik serta dan
bermoral yang berpegang teguh pada agama masing-masing.

16
DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di


Indonesia, Cet. Ke-III Jakarta: Prenada Media Group, 2003.
Aprilian Ria Adisti, Perpaduan Konsep Islam dengan Metode Montessori dalam
Membangun Karakter Anak, Universitas Slamet Riyadi Surakarta,2016
Thomas Lickona, Character Matters; Persoalan Karakter, Bagaimana Membantu Anak
Mengembangkan Penilaian Yang Baik, Integritas dan Kebajikan Penting Lainnya, Jakarta: PT
BumiAksara, 2012.
Thomas Lickona, Educating for Character, Mendidik Untuk Membentuk Karakter,
Bagaimana Sekolah Dapat Memberikan Pendidikan tentang Sikap Hormat dan Tanggung
Jawab, Jakarta:PT Bumi Aksara, 2012.
Sri Judiani, Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar Melalui Pengamatan
Pelaksaan Kurikulum, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Volume 16 Edisi khusus III, Oktober
2010, Balitbang Kementerian Pendidikan Nasional.
Donni Koesoema A, Pendidikan Karakter di Zaman Keblinger, Mengembangkan Visi
Guru Sebagai Pelaku Perubahan dan Pendidikan Karakter .Jakarta: Grasindo, 2009.
Masnur Muslich, Pendidikan Karakter, Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional
Jakarta: Bumi Aksara, 2011.
Bambang Q-Annes & Adang Hambali, Pendidikan Karakter Berbasis Qur’ani (Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2008.
Nurchaili, Membangun Karakter Siswa Melalui Keteladanan Guru, Jurnal Pendidikan
dan Kebudayaan Volume 16 Edisi khusus III, Oktober 2010, Balitbang Kementerian Pendidikan
Nasional.
Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam Jakarta: Raja Grafindo, 1998.

17

Anda mungkin juga menyukai