Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN KEGIATAN

PENDOKUMENTASIAN BUDAYA DAN KEARIFAN LOKAL


DI DESA BUANO UTARA DAN DESA BUANO SELATAN

Oleh DR. Saidin Ernas, M.Si

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page i


Kata Pengantar

Syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, pada akhirnya penulisan laporan
pendokumentasian data lapangan tentang budaya dan kearifan lokal yang dilakukan oleh
Tim LPPM di Pulau Buano Kabupaten Seram Bagian Barat Propinsi Maluku, dapat
diselesaikan. Bagi seluruh anggota tim yang terlibat dalam kegiatan, hal ini merupakan
karuniah dan anugrah yang tiada terbilang.
Secara formal, kegiatan pendokumentasian data yang terkait dengan budaya dan
kearifan lokal dalam tulisan ini merupakan bagian dari program “Revitalisasi Kearifan
Lokal untuk Pengelolalan Sumber Daya Alam Secara Berkelanjutan”, yang didukung oleh
Yayasan Burung Indonesia dan Critical Ecosystem Partnership Fund. Melalaui kegiatan ini,
LPPM bermaksud memberdayakan lembaga-lembaga adat beserta pranata kearifan lokal di
Pulau Buano dalam upaya sistematis pembangunan masyarakat secara mandiri dan
partisipatoris. Secara jujur harus diakui bahwa masyarakat Buano bukanlah objek
pembangunan yang diam, yang hanya menerima dengan pasrah hegemoni kekuasaan dan
penetrasi berbagai pengaruh dari luar. Dalam kesederhanannya mereka adalah masyarakat
yang dinamis dan memiliki kearifan-kearifan kultural sebagai modal social, yang bila
dimanfaatkan secara bijaksana akan sangat berguna bagi pemberdayaan masyarakat. Tim
LPPM berharap hasil-hasil yang tercatat dalam laporan ini, bisa menjadi upaya
pendahuluan yang dapat mendukung proses pembangunan dan pemberdayaan masyarakat
di Pulau Buano.
Proses penyempurnaan laporan ini telah dilakukan melalui seminar bersama tokoh-
tokoh Buano Utara dan Selatan di Baeleo Negeri Buano. Oleh karenanya, laporan ini tidak
akan pernah bisa dirampungkan sepenuhnya, tanpa bantuan dan jasa baik dari berbagai
pihak, terutama masyarakat di Pulau Buano yang mungkin tidak akan dapat disebutkan
satu persatu. Namun demikian, Tim LPPM ingin menyebut beberapa pihak dan nama yang
telah memberi atensi dan bantuan yang sangat besar sehingga kegiatan
pendokumentasian data dapat dilakukan dengan lancar dan sukses.
Terimakasih yang utama harus disampaikan kepada Bapa Raja Buano Utara dan
Bapa Pejabat Raja Buano Selatan yang telah memberi izin kepada Tim LPPM dalam
menjalankan berbagai Program di Buano, termasuk menyediakan waktu untuk wawancara
LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page ii
setiap saat dengan penuh keramahan. Terimakasih kepada Bapak Guru Mahu, Bapak-bapak
Kepala Soa, Kepala Dati, Marinyo, Kewang dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya yang telah
bersedia untuk diwawancarai dan memberikan informasi-informasi yang sangat penting
guna penulisan laporan ini. Ucapan terimakasih juga kami sampaikan kepada dua rekan
pemuda dari Pulau Buano, Pak Bakri dan Pak Ajun yang telah menjadi pendamping
penelitian lapangan dan penterjemah yang setia selama proses pengumpulan data.
Akhirnya kami menyampaikan terimakasih kepada Yayasan Burung Indonesia dan
Critical Ecosystem Partnership Fund yang telah berkerjasama dengan LPPM, dan membiayai
program penelitian dan pengumpulan data lapangan ini. Kami tentu berharap agar
kerjasama ini dapat terus ditingkatkan untuk menghasilkan berbagai program kerja yang
bermanfaat bagi pengembangan masyarakat lokal seperti di Pulau Buano. Ucapan
terimakasih yang terakhir tentu kami sampaikan kepada Direktur LPPM yang selalu
mensuport tim pendokumentasian data lapangan hingga penyusunan laporan ini.
Semoga penyusunan laporan ini dapat bermanfaat bagi masyarakat Buano, juga bagi
para pengambil kebijakan dalam merumuskan program-program pembangunan yang tepat
bagi masyarakat di Pulau Buano. Sebagai sebuah produk ilmiah, Tim LPPM menyadari
bahwa laporan ini bukanlah sebuah produk yang sempurna, sehingga memerlukan krtik
dan masukan dari berbagai pihak terutama masyarakat Buano sendiri untuk perbaikan dan
penyempurnaan lebih lanjut.

Ambon, Oktober 2017

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page iii
Daftar Isi

Halaman Judul i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi Iii
BAB I PENDAHULUAN
1 Latar Belakang 1
2 Tujuan Kegiatan 4
3 Metode Pengumpulan Data 4
BAB II MENGENAL ADAT DAN BUDAYA MASYARAKAT BUANO
1 Gambaran Singkat tentang Buano 6
2 Institusi-institusi Adat dan Perannya dalam Masyarkat 9
3 Institusi Adat dan Hubungannya dengan Institusi Negara 18
4 Artefak Budaya Masyarakat Buano 20
BAB III KEARIFAN LOKAL DAN KONSERVASI LINGKUNGAN
1 Potensi Kearifan Lokal di Pulau Buano 23
2 Bentuk-bentuk Kearifan Lokal yang memiliki Fungsi Ekologis 25
3 Revitalisasi Kearifan Lokal di Buano; Peluang dan Tantangan 31
BAB IV PENUTUP
1 Kesimpulan 35
2 Saran dan Rekomendasi 36
Daftar Pustaka 37

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page iv


BAB. I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Kepulauan Maluku adalah wilayah yang sangat kaya dengan tradisi dan
budaya pesisir yang unik dan beranekaragam. Kondisi ini merupakan konsekwensi
langsung dari peta geografis Propinsi Maluku yang terdiri dari ribuan pulau yang
tersebar dalam sebuah wilayah lautan yang luas, hingga mencapai 92,7%. Meskipun
begitu, menurut berbagai hasil penelitian yang ada, budaya masyarakat Maluku di
setiap tempat dan pulau cenderung memiliki karakteristik dan corak yang hampir
serupa, yakni bersifat komunal, kosmopoloti, mementingkan harmoni dan
persaudaraan serta menjaga interaksi manusia dengan lingkungan alam tempat
tinggalnya
Hal ini misalnya bisa dilihat secara nyata pada berbagai tradisi dan adat
istiadat yang masih terus dilestarikan oleh masyarakat di berbagai daerah dan pulau.
Mengikuti kategorisasi klasik kebudayaan seperti yang diciptakan J.J. Honingmen
(1990), maka tradisi dan adat istiadat pada masyarakat Maluku dapat dilihat pada
tiga kategori kebudayaan, yakni sistem nilai dan norma, praktik-praktik sosial yang
menjadi kebiasaan dan tradisi, serta berbagai artefak atau benda-benda pusaka
purbakala yang memiliki nilai budaya tinggi.
Nilai-nilai dan norma merupakan wujud ideal kebudayaan yang berbentuk
kumpulan ide-ide, gagasan, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak
dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam sistem ide
(pengetahuan), gagasan, imajinasi atau di alam pemikiran warga masyarakat. Sistem
nilai dapat dilihat dari keyakinan yang dianut, ilmu pengetahuan lokal, prinsip-
prinsip persaudaraan, kesetiakawanan, keberanian, kejujuran, etos kerja dan lain-
lain. Demikian juga institusi-institusi sosial bisa direpresentasi oleh organisasi sosial,
lembaga-lembaga adat yang berfungsi sebagai penjaga nilai-nilai, pengatur dan
pengambil keputusan.

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page 1


Sedangkan praktik-praktik sosial adalah wujud kebudayaan sebagai suatu
tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud ini sering pula disebut
dengan sistem sosial. Praktik sosial terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang
saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya
menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan yang diterima
secara umum oleh masyarakat. Praktik sosial sifatnya konkret, terjadi dalam
kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan. Misalnya pada
bahasa, kebiasaan-kebiasaan, ritual, tarian, nyanyian-nyayian rakyat, kapata-kapata
lokal dan adat istiadat yang mengandung nilai dan spirit tertentu.
Adapun artefak (karya) adalah wujud kebudayaan fisik yang merupakan hasil
dari pengetahuan, aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat
tertentu dari waktu ke waktu, berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba,
dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya kebudayaan artefak adalah yang paling
konkret diantara ketiga wujud kebudayaan. Misalnya struktur rumah-rumah adat,
masjid dan gereja tua, serta berbagai benda peninggalan leluhur yang
menggambarkan pengetahuan, seni dan peradaban masyarakat.
Ketiga kategori kebudayaan tersebut secara jelas bisa ditemukan dalam
berbagai aspek kehidupan masyarakat Maluku. Salah satu diantaranya yang diangkat
dalam laporan ini adalah budaya dan adat yang masih terus dipraktikkan oleh
masyarakat di Pulau Buano Kecamatan Waisala Kabupaten Seram Bagian Barat.
Sebagai masyarakat adat (indeginius people) yang mendiami dua negeri utama di
Pulau Buano, yakni Negeri Buano Utara dan Negeri Selatan, mereka masih tetap setia
menjalankan berbagai tradisi dan adat istiadat yang diwariskan oleh para leluhur
mereka sejak dahulu kala. Budaya dan tradisi tersebut ada yang berbentuk nilai-nilai,
institusi sosial, praktik-praktik sosial maupun berbagai artefak yang masih dapat
disaksikan hingga saat ini. Misalnya pengetahuan tentang pengaturan masyarakat
melalui institusi Soa, sistem persaudaraan dalam bentuk Gandong, atau rumah-
rumah adat yang berjumlah 30 buah sesuai jumlah Marga di Buano Utara, Baileo,
tempat-tempat keramat yang dipercaya memiliki sakralitas, Masjid Tua atau
Alqur’an Tua yang dikoleksi oleh masyarakat.

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page 2


Dalam struktur tradisional di desa atau negeri Buano, kebudayaan tersebut
sebagian masih tetap terjaga dan melahirkan berbagai bentuk kearifan lokal yang
mempersatukan masyarakat. Namum demikian, tidak dapat disangkal pula bahwa
bersamaan dengan berjalannya waktu, perubahan regulasi dan kebijakan-kebijakan
pemerintah yang terkadang tidak pro kepentingan adat dan budaya, serta proses-
proses modernisasi yang menyapu masyarakat desa, secara perlahan mulai
terjadinya pergeseran orentasi nilai budaya dan kearifan lokal di Pulau Buano.
Sebagian hanya menjadi sekedar simbolis semata, terutama di kalangan anak-anak
muda yang tidak memiliki rasa kebanggan akan budaya lokal. Selain itu
kepemimpinan desa atau negeri yang cenderung masih bersifat tradisional,
berorintasi ke masa lalu, lemah kapasitas, dan mulai memperlihatkan hasrat politik
yang kental juga turut menyebabkan terjadinya pergeseran nilai budaya dan kearifan
lokal tersebut.
Oleh sebab itu, upaya-upaya sistematis untuk menggali dan menghidupkan
kembali berbagai khasanah budaya lokal di Pulau Buano agar tetap relevan dengan
perkembangan zaman dan dinamika sosial kemasyarakatan, merupakan sebuah
kerja yang mesti disegerakan. Hal ini yang menjadi dasar pertimbangan dari kegiatan
pengumpulan data lapangan yang dilakukan oleh Lembaga Partisipasi Pembangunan
Masyarakat Maluku atau biasa disingkat LPPM. Kegiatan ini merupakan upaya kecil
untuk menggali dan mempromosikan kearifan lokal di Buano serta meningkatkan
peran dan fungsinya dalam pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.
Dengan kata lain kegiatan pendokumentasian data tentang budaya dan
kearifan lokal di Pulau Buano, memiliki nilai-nilai subtansial sebab berupaya
merekonstruksi berbagai bentuk tradisi dan budaya lokal yang membentuk kearifan
lokal dalam masyarakat dan mencoba melihat fungsi dan peranannya dalam
dinamika masyarakat kontemporer dan program-program pengelolaan sumberdaya
alam yang ada di Pulau Buano. Hal ini untuk memastikan bahwa kekayaan budaya
yang dimiliki oleh masyarakat Buano bukan saja sebuah simbol romantisme budaya
yang beroriantasi ke kejayaan masa lalu, tetapi juga untuk menciptakan peluang-
peluang kemajuan dan kesejahteraan bagi masyarakat Buano di masa depan.

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page 3


2. Tujuan Kegiatan
Secara sistematis kegiatan pendokumentasian budaya dan kearifan lokal
masyarakat Buano dilakukan oleh Tim LPPM dengan tujuan:
2.1. Untuk menggali data informasi terkait nilai-nilai budaya dari praktik-
praktik kearifan lokal yang dilakukan oleh masyarakat dalam
pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.
2.2. Untuk mengetahui struktur, fungsi dan peranan kelembagaan adat yang
ada di Pulau Buano terhadap kehidupan masyarakat.

3. Metode Pengumpulan Data


Bahan-bahan dalam tulisan ini diperoleh melalaui serangkaian hasil
penelitian lapangan yang dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan metode
etnografi sederhana. Metode tersebut dipilih untuk membantu memahami secara
lebih dekat dan lebih dalam, bentuk-bentuk kearifan lokal yang pernah ada atau
masih terus dipraktikkan oleh masyarakat. Melalui metode etnografi diharapkan Tim
Peneliti bisa menggali struktur dan makna budaya di Buano.
Pengumpulan data menggunakan cara-cara yang lazim digunakan dalam
penelitain kualitatif, seperti pengamatan terhadap berbagai ritual dan aktifitas
masyarakat langsung di lapangan (observation), wawancara mendalam (indepth
interview) dengan sejumlah narasumber atau informan kunci Negeri Buano Utara
dan Buano Selatan, sepert; Raja, Guru Mahu, Kepala Soa, Kepala Dati, Mahasiswa dan
Tokoh Pemuda, serta Perwakilan Perempuan. Sebagian data diperoleh melalui
wawancara informal bersama penduduk setempat selama periode pengumpulan
data lapangan di Pulau Buano sejak 15-18 Agustus 2017. Untuk memperluas
informasi, tim LPPM juga menambah data dan informasi dari hasil studi pustaka
terhadap sejumlah buku, dokumen, dan catatan penelitian lain yang telah ditulis oleh
sejumlah peneliti yang pernah mengkaji tentang Buano. Hasil awal dari penelitian ini
telah diseminarkan dihadapan tokoh-tokoh masyarakat Buano Utara dan Selatan.
Seminar yang dipusakan di Baeleo Adat, berhasil menjaring berbagai permasalahan

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page 4


baru, terutama terkait dengan hubungan yang kompleks dinatara struktur adat dan
struktur pemerintah.
Harus diakui bahwa waktu pengumpulan data lapangan yang tersedia, tidak
cukup memadai untuk sebuah penelitian budaya dan kemasyarakatan (etnografi)
yang menuntut standar-standar akademis tertentu. Namun demikian, Tim LPPM
mengharapkan agar laporan penelitian yang masih sederhanaini, bisa menjadi data
permulaan untuk kajian-kajian lebih lanjut dan lebih lengkap tentang Masyarakat
Buano dan berbagai bentuk kebudayaan yang mereka miliki. Dengan demikian
upaya-upaya sistematis untuk merumuskan konsep dan kebijakan yang tepat untuk
mendorong percepatan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di Pulau
Buano berdasarkan nilai-nilai dan potensi lokal yang mereka miliki, dapat dilakukan
dengan lebih baik di masa-masa yang akan datang.

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page 5


BAB II
MENGENAL ADAT DAN BUDAYA MASYARAKAT DI BUANO

1. Gambaran Singkat tentang Buano


Buano adalah sebuah pulau karas (batu karang) yang terletak di bagian Barat
Pulau Seram. Letaknya berada tepat pada koordinat 127⁰-50.00 “E - 128⁰ 00,00" E
and 2⁰ 55.00 "- 3 ⁰ 05, 00". Pulau Buano terbagi menjadi beberapa pulau kecil yakni
Nusa Te’a, Nusa Esuna, Nusa Mananaut, Nusa Pua, Pulau Kasuari, dan Pulau Sarani
(Nirwansyah dan Nursakti Adhi, 2014). Pulau-pulau ini berada dalam gugusan pulau
besar dan kecil, terutama dua pulau besar lainnya yakni Pulau Manipa dan Pualu
Kelang. Ketiga pulau ini sering dikenal dengan sebutan Makebo (Manipa, Kelang dan
Buano), dan masuk kedalam wilayah adminsitratif Kecamatan Huamual Belakang,
wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat.
Pulau Buano ditingali sekitar 15.463 populasi penduduk yang terdiri dari
13.672 orang tinggal di Negeri Buano Utara dan 1.791 orang penduduk tinggal di
Negeri Buano Selatan (LPPM, 2017). Belum ada catatan sejarah yang akurat tentang
kapan manusia pertama menghuni pulau Buano. Namun berdasarkan sejarah lisan
(oral history) yang dituturkan oleh masyarakat setempat dari generasi ke generasi,
leluhur masyarakat Buano dikisahkan berasal dari Negeri Malaka (mungkin negeri
semenanjung Malaysia saat ini). Konon terdapat tiga orang kakak beradik yang
datang dari Malaka, kakak tertua memilih tinggal di Buano dan kedua adiknya
melanjutkan perjalanan ke arah dua Pulau di Maluku Tengah, yakni Pulau Saparua
dan Haruku. Adik kedua menempati Negeri Oma di Haruku dan si bungsu menempati
Negeri Ullath di Pulau Saparua. Di kemudian hari, konsepsi sejarah ini berhasil
mengikat persaudaraan ketiga Negeri; Buano (Utara dan Selatan), Oma dan Ullath
dalam hubungan Saudara Gandong yang sangat kuat.
Sebagaimana halnya sejarah lisan yang memiliki banyak versi, tentu sejarah
yang diturkan oleh masyarakat Buano juga memiliki beberapa versi lain yang
memerlukan kajian sejarah yang lebih dalam. Hal ini bisa bermanfaat untuk

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page 6


mengetahui bagaimana manusia Buano, membangun kehidupan masyarakan di masa
lalu hingga saat ini.
Negeri Buano Utara dan Buano Selatan terletak berdekatan dan sejajar di
tepian pantai yang landai, keduanya hanya dipisahkan oleh Masjid dan Gereja yang
letaknya berdekatan dan menjadi penanda dari dua negeri. Bahasa lokal yang
digunakan di Buano masuk dalam rumpun bahasa Austronesia (biasa disebut
bahasa-bahasa kepulauan) yang oleh masyarakat setempat disebut Souw Puane.
Secara umum masyarakat Buano masih tetap mempertahankan bahasa daerah,
meskipun pada masyarakat Buano Selatan yang beragama Kristen sebagian hanya
bisa mengerti bahasa Buano, dan tidak lancar lagi berbicara bahasa ibunya, mereka
lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi dan pergaulan
sehari-hari. Penetrasi agama Kristen di Buaono Selatan, diperkirakan sebagai salah
satu penyebab menghilangnya kebudayaan bahasa tersebut.
Dikisahkan bahwa jauh sebelum agama-agama Abrahamik (Islam dan
Kristen) datang dan mempengaruhi kehidupan masyarakat Buano, ketika sebagian
besar leluhur masyarakat Buano masih menetap di pedalaman atau di hutan-hutan
Pulau Buano, mereka menganut kepercayaan leluhur yang disebut Hua Nana.
Kepercayaan-kepercayaan leluhur tersebut yang membentuk kebudayaan
masyarakat Buano di masa lalu, sehingga meskipun saat ini masyarakat telah lama
meninggalkan kepercayaan nenek moyang dan memeluk agama Islam dan Kristen,
namun sejumlah aturan adat masih tetap dipraktikkan dan dilestarikan. Terutama
yang paling kental adalah masyarakat di Buano Selatan yang beragama Islam.
Penetrasi agama Islam tidak lantas menghilangkan tardisi dan kebudayaan
masyarakat, justru muncul berbagai bentuk akulturasi antara Islam dan traidisi
sebagaimana dapat disaksikan dalam berbagai bentuk ritual adat hingga artefak-
artefak budaya.
Adat adalah identitas komunitas dan sesuatu yang sangat penting bagi
kehidupan masyarakat Buano. Adat membentuk nilai-nilai dan pandangan hidup,
institusi sosial, sistem ritual hingga interaksi antara manusia di Buano. Meminjam
istilah antropologi, adat telah menjelma menjadi cultural determinisme yang

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page 7


memiliki fungsi-fungsi tertentu dan mempengaruhi segenap kehidupan masyarakat
(Koentjaraningrat, 2004). Terutama di Buano Utara, adat menempati posisi teratas
dalam praktik-praktik sosial kemasyarakatan, bahkan melebihi agama Islam itu
sendiri. Proses akulturasi yang intens antara adat dan agama telah membentuk
berbagai praktik ritual dan adat yang menggabungkan ajaran agama Islam dan
tradisi lokal dalam satu khazanah kebudayaan yang unik dan menarik. Sebut saja
misalnya tradisi Aroha di Buano Utara yang dirayakan dengan penuh antusias dalam
bingkai semangat keagamaan dan adat.
Masyarakat Buano moderen menempati dua negeri Utama di wilayah pesisir
pantai Pulau Buano, yang sekarang terbagi menjadi Buano Utara dan Buano Selatan.
Masyarakat Buano Utara seluruhnya memeluk agama Islam sedangkan masyarakat
di Negeri Buano Selatan ada yang memeluk agama Kristen (terutama yang tinggal di
Negeri adat) dan yang tinggal di Petuanan (Kampung Satelit dari Negeri Adat)
semuanya memeluk agama Islam. Meskipun berbeda agama, namun masyarakat di
kedua negeri tersebut tetap menjaga harmoni dan persaudaraan di antara mereka.
Jarang terjadi konflik di antara kedua negeri, namun menurut sejumlah informasi
dan tulisan, pernah terjadi dua konflik besar diantara kedua negeri tersebut yakni
sekiatar tahun 1983 akibat perselisihan dan pada tahun 1999-2002 ketika konflik
antar agama merebak di seluruh wailayah Maluku dan Buano Utara dan Selata juga
terkena imbasnya (Ellen, 2008). Sejauh ini kesadaran persaudaraan yang kuat antara
kedua negeri berhasilkan memulihkan hubungan keduanya dalam satau kerukunan
adat yang disebut Hena Puan.
Selain masyarakat asli yang menempati dua negeri adat tersebut juga
terdapat masyarakat pendatang yang berasal dari Suku Buton di Sulawesi Tenggara
yang diperkirakan telah bermigrasi ke pulau ini sejak 300 tahun sebelum
kemerdekaan Indonesia. Kehadiran etnis pendatang ini (biasa disebut “orang
dagang”) memiliki sejarah yang panjang, sebagian terkait dengan sejarah
peperangan dan juga tentang ekspansi ekonomi. Umumnya masyarakat pendatang
diterima dengan baik dan dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat
Buano saat ini. Mereka menempati beberapa perkampungan yang disebut Petuanan

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page 8


di sisi lain Pulau Buano dan sejumlah pulau kecil yang terletak di sekitar Pulau
Buano. Secara kultural mereka berada dibawah otoritas adat Negeri Buano Utara dan
Negeri Buano Selatan, karena menempati wilayah atau daerah yang menjadi hak
ulayat dari Soa dan Marga tertentu di Buano Utara dan Selatan.
Masyarakat pendatang tinggal di wilayah yang disebut Petuanan, mereka
berhak untuk memanfaatkan sumber daya di wilayahnya. Namun dilarang untuk
melakukan eksploitasi tanpa izin terhadap wilayah-wilayah yang menjadi hak Soa
tertentu dari Negeri Buano Utara dan Selatan. Selama ini pengaturan yang tidak jelas,
telah menyebabkan beberapa ketegangan dan konflik antara Negeri Buano Utara dan
Selatan dan masyarakat yang mendiami kampung-kampung yang menjadi Petuanan
kedua negeri tersebut.

2. Institusi-institusi Adat dan Perannya dalam Masyarakat


Sistem sosial masyarakat Buano Utara maupun Selatan dibangun dan
diperkuat oleh suatu institusi adat yang kuat dan terus dipertahankan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Institusi adat tersebut berperan sebagai media
pengorganisasian masyarakat, menciptakan ketertiban social dan menjadi institusi
yang mengendalikan sistem nilai dan norma dalam masyarakat Buano. Secara adat
masing-masing institusi memiliki karakteristik dan fungsinya sendiri-sendiri sesuai
dengan tradisi dan kebisaan yang diyakini. Dalam laporan ini, institusi adat di Buano
dapat dilihat dari tiga bentuk, institusi adat itu sendiri, jabatan-jabatan adat yang
menopang institusi tersebut dan marga-marga..
2.1. Institusi Adat
Institusi adat atau tepatnya lembaga adat adalah organisasi sosial yang
digunakan oleh masyarakat Buano untuk mengatur kehidupan social, budaya,
ekonomi dan agama di Buano. Setidaknya ada dua intitusi adat yang utama,
yakni Negeri dan Soa
2.1.1. Negeri
Negeri adalah sebutan adat untuk pemerintahan desa di Buano Utara.
Pada zaman dahulu masyarakat di Maluku Tengah dan sekitarnya

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page 9


(termasuk Seram Bagian Barat) lebih mengenal istilah Hena, yang pada
saat itu terletak di wilayah pegunungan. Namun sejak migrasi penduduk
dari Hena ke Pantai dan perjumpaan dengan tradisi wilayah Melayu
Pesisir, istilah Hena digantikan oleh sebuah nama baru yakni Negeri.
Setiap Negeri di Buano dipimpin oleh seorang Raja atau setingkat dengan
raja.
Pemerintahan Negeri menurut Peraturan Daerah Kabupaten Maluku
Tengah Nomor 01 Tahun 2006 Tentang Negeri merupakan
penyelenggara urusan Pemerintahan bersama Saniri Negeri dalam
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
hak asal usul dan adat istiadat setempat dan diakui dan dihormati dalam
sistem Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di setiap negeri ada Saniri Negeri, yakni sebuah forum adat untuk
pertemuan berbagai institusi social dan adat di Buano, seperti raja,
kepala soa dan pimpinan formal seperti anggota Dewan Perwakilan Desa
(DPD) di Buano. Forum Saniri dilakukan secara tentative sesuai
kebutuhan pengorganisasian masyarakat.
2.1.2. Soa
Di bawah Negeri terdapat Soa , yaitu unit kekerabatan, sekaligus sebagai
institusi sosial. Istilah Soa dikenal di hampir semua daerah di Maluku
Tengah. Beberapa literatur menyebut istilah Soa, merupakan bahasa
serapan dari Maluku Utara (Dieter Bartels, 2017). Soa merupakan sebuah
unit sosial kekerabatan yang terdiri dari beberapa marga atau fam.
Persekutuan Soa terbentuk berdasarkan sejarah masa lampau marga-
marga yang tergabung dalam sebuah Soa. Ada Soa yang terbentuk karena
kesaman garis keturunan atau peristiwa historis tertentu seperti perang,
bencana alam, perjanjian dan lainnya yang melahirkan Soa. Dalam
struktur adat di Buano Utara maupun Selatan, Soa merupakan bagian
dari negeri, namun tampaknya eksistensi Soa bersifat independen. Raja
sebagai pimpinan di atasnya tidak dapat mengatur Soa, atau bahkan

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page 10


menentukan seorang kepala Soa. Kepala Soa dipilih dan ditentukan
sendiri oleh marga-marga di dalam Soa berdasarkan kebiasaan-
kebiasaan yang mereka anut dan praktikkan.
Pendapatan setiap Soa biasanya diperoleh dari pengelolaan sumberdaya
hutan dan laut yang menjadi hak ulayat mereka. Hasil-hasil yang
diperoleh secara temporer tersebut dikumpulkan oleh kepala soa
berdasarkan kesepakatan warga dan digunakan bagi masyarakat yang
bernaung di Soa. Umumnya untuk renovasi rumah adat, atau untuk
berbagai ritual adat yang dilakukan oleh warga Soa.
2.2. Jabatan Adat
Dalam isntitusi adat terdapat berbagai jabatan adat dengan fungsi dan
tanggungjawabnya masing-masing. Ada jabatan yang berkaitan dengan urusan
spiritual, ritual, social, atau ketiga-ketiganya. Beberapa jabatan adat masih cukup
kuat dan berpengaruh hingga saat ini, namun sebagian yang lain telah memudar dan
kehilangan pengaruhnya dalam masyarakat. Berikut akan dideskripsikan secara
singkat tentang sejumlah jabatan adat dalam masyarakat Buano dan bagaimana
fungsinya dalam masyarakat.
1.2.1 Guru Mahu
Guru Mahu adalah sebuah jabatan spiritual tertinggi yang sangat
dihormati dalam masyarakat. Seorang Guru Mahu menjadi penjaga nilai
dan norma agama dan adat dalam masyarakat. Guru Mahudi Buano Utara
berasal dari Soa Ola dari mata rumah Palirone. Pemilihan Guru Mahu
dilakukan secara adat, dan berfungsi sebagai penjaga adat dan agama
dalam masyarakat di Buano Utara. Masyarakat percaya bahwa seorang
Guru Mahu memiliki ciri-ciri sakralitas tertentu yang melekat pada
seorang figure yang akan mengemban jabatan Guru Mahu. Seorang Guru
Mahu memiliki peran penting dalam inisiasi berbagai ritual adat seperti
Aroha, Maulud, Patimah dan Oul. Ritual-ritual adat tersebut berfungsi
sebagai media solidaritas sosial yang mengikat masyarakat di Buano
Utara dalam hubungan-hubungan social yang kompleks. Sebagai tokoh

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page 11


agama, Guru Mahu juga berperan sebagai guru mengaji Al-Qur’an dan
pengajar ilmu-ilmu agama Islam di Negeri Buano.
1.2.2. Raja
Raja atau Bapa Raja adalah pemimpin tertingi dalam pemerintahan adat
di Negeri Buano Utara dan Selatan. Konon dahulu raja ditetapkan oleh
sebuah musyawarah adat yang melibatkan tokoh-tokoh adat setempat.
Namun dalam praktik demokrasi kontemporer yang dianut pada saat ini,
Figur Raja dipilih oleh seluruh masyarakat Buano dari matarumah
parentah. Fungsi Raja adalah sebagai pemimpin eksekutif yang
menjalankan pemerintahan di desa/negeri. Raja dibantu oleh sebuah
struktur yang biasanya terdiri dari tokoh-tokoh adat di desa termasuk
para Kepala Soa.
Dalam kegiatan pengumpulan data, banyak warga masyarakat yang
menginginkan agar proses pemilihan Raja dapat dikembalikan ke proses
msuyawarah sebagaimana dahulu dipraktekkan oleh para leluhur orang
Buano. Hal ini tentu menjadi pertimbangan bagi pemerintah daerah yang
diberitakan akan segera mengatur masalah tersebut melalui sebuah
regulasi daerah (perda) yang kuat.
1.2.3. Kepala Soa
Kepala Soa adalah sebuah jabatan adat lainnya. Kepala Soa memimpin
unit masyarakat yang tergabung dalam soa yang secara kultural terdiri
dari sejumlah fam (marga) atau mata rumah. Kepala Soa ditetapkan
secara musyawarah mufakat, namun terkadang dipilih oleh suara
terbanyak. Secara struktural Kepala Soa berada dibawah Pemerintahan
Negeri yang dipimpin oleh seorang Raja. Namun menurut keterangan
yang diperoleh oleh Tim LPPM, jabatan Kepala Soa bersifat independen
dan secara kultural bukan merupakan bawahan langsung dari Raja,
sebagaimana yang jamak ditemukan di negeri-negeri lainnya di Maluku.
Kepala Soa berkewajiban memimpin, mengatur dan mengayomi warga di

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page 12


Soa-nya, sekaligus mengelola berbagai sumber daya ekonomi yang
menjadi hak ulayat di Soa tersebut.
Saat ini diketahui, terdapat dua jenis Kepala Soa pada setiap Soa di
Buano. Kepala Soa yang membantu Bapa Raja dalam menjalankan tugas
pemerintahan umum di Soa disebut Soa Akating atau Soa Parentah.
Sedangkan Kepala Soa yang menjalankan fungsi adat, ritual dan tradisi
dalam kehidupan masyarakat di sebut Soa Tanah.
1.2.4. Kepala Dati
Kepala Dati adalah pimpinan dari mata rumah atau marga. Secara
kultural Kepala Dati merupakan jabatan yang “dipikul” oleh seorang
tokoh adat dari Marga tertentu, yang dituakan dan dihormati. Di Desa
Buano Utara, Kepala Dati berperan dalam menjaga dan mengurus Rumah
Adat/Pusaka milik marga-marga tertentu. Bahkan Kepala Dati berhak
untuk tinggal bersama keluarganya di dalam rumah adat tersebut. Di
Buano Utara yang terdiri dari lima Soa, maka Soa Sulipatan memiliki 11
kepala Dati, Soa Hatuputi memiliki 2 kepala Dati dari 4 Marga. Di Negeri
Buano Selatan jabatan Kepala Dati, sudah semakin memudar. Hanya
terdapat satu rumah tua/pusaka bersama, yang didalamnya terdapat
tempat untuk masing-masing dati.
1.2.5. Kapitan
Kapitan adalah sebuah jabatan adat yang bersifat simbolik semata. Di
masa kolonial Belanda jabatan ini memang sangat penting, ia adalah
panglima perang yang bertanggungjawab pada keamanan Negeri. Saat ini
wewenang Kapitan hanya bersifat simbolik, dan terkadang hanya penting
bila terjadi perang atau konflik antar kampung. Sejalan dengan
perubahan-perubahan dalam masyarakat, maka secara umum peran
Kapitan dibatasi pada bidang ritual saja, seperti memimpin Cakalele.
Namun demikian posisi seorang Kapitan di Negeri Buano Utara maupun
Buano Selatan masih tetap dipertahakan. Tokoh adat yang memegang
jabatan Kapitan tetap dihormati oleh masyarakat.

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page 13


1.2.6. Marinyo
Marinyo adalah figur kampung yang bertugas menjalankan fungsi-fungsi
penerangan atau penyebaran informasi di desa. Marinyo di angkat oleh
Raja dengan pertimbangan tertentu, dan di masa lalu seorang Marinyo
biasanya menjalankan tugas menyebarkan informasi kepada masyarakat
negeri dengan berteriak lantang mengumumkan informasi tersebut ke
segenap penjuru negeri. Praktik ini sering disebut sebagai ‘Tabaos”, yakni
berteriak menyampaikan informasi dari rumah ke rumah.
Di Buano Utara jabatan Marinyo tidak lagi ditemukan dalam struktur adat
setempat, namun di Buano Selatan jabatan tersebut masih tetap
dipertahankan. Dalam perkmebangan terkini, jabatan Marinyo,
tampaknya semakin tergantikan oleh perkembangan komunikasi literal
(surat) ataupun perkembangan telekomunikasi seperti telepon yang
mulai berkembang semarak di Buano dalam satu dekade terakhir.
1.2.7. Kewang
Kewang adalah jabatan adat bagi seorang tokoh adat yang bertugas
mengawasi sumber daya alam desa yang ada di lingkungan daratan
(hutan) maupun pantai dan lautan. Di Desa Buano terdapat dua Orang
Kewang yang melekat pada setiap Soa, yakni Kewang Hutan dan Kewang
lautan. Mereka bekerja sebagaimana layaknya polisi hutan yang menjaga,
merawat, mengawasi, menegur di tempat atau melaporkan kepada Raja,
kepala soa dan Saniri Negeri bila terdapat pelanggaran dan pengrusakan
ulayat pada lingkungan hutan dan lautan.
Menurut sejumlah informan, posisi Kewang di Buano Utara biasanya
diangkat oleh Kepala Soa dan ditetapkan oleh Raja melalui sebuah Surat
Keputusan. Surat Keputusan ini menjadi legalitas bagi Kewang untuk
menindak pelaku pelanggaran dikawasan Ulayat Desa Buano Utara.
Dalam periode 10 tahun terakhir terjadi perubahan yang cukup
menghawatirkan, sejumlah Kewang diangkat oleh Soa, namun tidak lagi
ditetapkan oleh Raja bahkan Kepala Soa pun tidak lagi menetapkan

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page 14


Kewang dalam sebuah surat keputusan. Kondisi ini membuat Kewang
‘tidak percaya diri’ dalam menjalankan tugasnya, sebab lemahnya
legitimasi yang mereka miliki. Oleh sebab itu, hingga saat ini hanya ada
tiga Soa dari lima Soa di Buano Utara yang memiliki Kewang, yakni: Soa
Tamalene, Soa Tuhuteru, dan Soa Ola.
1.2.8. Hakim Sara
Hakim Sara adalah jabatan adat di Buano Utara yang lahir dari akulturasi
antar agama dan budaya lokal. Hakim Sara juga sering disebut penghulu
Masjid yang biasanya terdiri dari Imam, Khatib Mojim, dan Marbot. Imam
bertugas memimpin sholat berjama’ah di Masjid, memimpin doa dalam
ritual adat maupun agama. Khatib bertugas sebagai pemberi Khutbah
pada saat sholat Jumat atau pada sholat Hari Raya. Di tempat lain di
Maluku Khatib juga biasanya bertugas untuk memimpin akad Nikah
(petugas penghulu nikah). Mojim biasanya bertugas untuk memanggil
orang untuk sholat berjamaah di Masjid (Muazin), ia juga dipercaya
mengurus pemakaman warga yang meninggal dunia. Sedangkan Marbot
adalah petugas yang berfungsi menjaga perlengkapan dan kebersihan
Masjid agar selalu siap digunakan oleh warga yang hendak melakukan
sholat di Masjid.
1.2.9. Pendeta
Pendeta adalah jabatan keagamaan Kristen di Buano Selatan, namun
dalam praktik kemasyarakatan juga sering menjalankan fungsi-fungsi
adat dan budaya. Misalnya turut berperan dalam menetapkan Hukum
Sasi, yang pada masyarakat Buano Selatan sering disebut Sasi Geraja.
Oleh sebab itu, beberapa tokoh masyarakat menyebut peran pendeta
dalam praktik Sasi sebagai Kewang Agama, sehingga dalam tulisan ini
pendeta dimasukkan kedalam jabatan adat setempat, karena fungsi-
fungsi adat yang demikian penting.
1.2.10. Tukang, Kakiyai dan Alfaris

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page 15


Di Buano Utara juga terdapat beberapa jabatan adat yang lebih spesifik,
seperti Tukang yang bertugas menghitan (sunat) anak laki yang
beranjak remaja, serta membantu mereka kegiatan dalam keagamaan.
Ada juga jabatan Kakiyai yang bertugas menghubungkan pemuda
pumudi dengan pemerintah negeri dan masyarat umum lainya. Serta
jabatan Alfiris yang bertugas ketika pemugaran mesjid dan balai desa
serta rumah pusaka. Seorang Alfaris ditugaskan untuk membicarakan
sejarah dalam bentuk nyanyian sejarah perjuangan Hena Puan Negeri
Buano dalam bentuk bahasa tanah dan diiringi dengan musik tipa adat.
2.3. Marga dan Perannnya dalam Masyarakat
Secara antropologis masyarakat Buano merupakan masyarakat komunal yang
dicirikan oleh pola hubungan kekerabatan, marga, dan saudara yang sangat erat.
Marga atau Fam merupakan nama keluarga yang dipakai sebagai identitas keluarga,
atau penanda cultural lainnya. Melalui marga kita dengan mudah mengetahui asal
usul sesorang (berasal dari keluarga atau soa tertentu). Marga juga memiliki
struktur dan fungsi tertentu yang menciptakan sistem sosial di dalam masyarakat. Di
Buano Utara terdapat 30 marga yang digabungkan dalam lima kelompok
nuru(kekerabatan) yang membentuk 5 Soa. Marga-marga berikut ini tergabung
kedalam lima nuru tersebut;
2.3.1 Nuru Na’ani yang meliputi marga: 1. Marga Tamalene (numa rinjani) 2. Marga
Tamalene (numa aroha), 3. Marga Tipaheuw, 4. Marga Husemahu, 5. Marga
Poipessy, 6. Marga Sombalatu, 7. Marga Loupatan, 8. Marga Salasela, 9. Marga
Tambipessy, 10 Marga Mulihatu.
2.3.2 Nuru Etti terdapat meliputi tiga marga; 1. Marga Tuhuteru (Tumbilangan), 2.
Marga Tuhuteru (Surikamba), 3. Marga Tuhuteru (Salayure)
2.3.3 Nuru Ola terdapat beberapa marga yakni: 1. Marga Nanilette, 2. Marga
Palirone, 3. Marga Sahitumbi, 4. Marga Salekota, 5. Marga Titalouw, 6. Marga
Tohalisa.
2.3.4 Nuru Naini yang meliputi marga; 1. Marga Hitimala (, 2. Marga Mahilatu, 3.
Marga Lukaraja, 4. Marga Tombalisa, 5. Marga Tuheitu, 6. Marga Tamarele.

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page 16


2.3.5 Nuru Huhuni terdapat marga, 1. Marga Nurlette, 2. Marga Sombalatu, 3. Marga
Nanilouw, 4. Marga Loupari, 5. Marga Toramahu.
Hampir serupa dengan pola kekerabatan di Buano Utara, masyarakat di Negeri
Buano Selatan juga mempertahankan identitas marga. Sebagian memiliki sebuatan
yang hampir serupa atau mirip dengan nama-nama marga di Buano Utara. Marga
bergabung dalam Soa sebagai pranata social yang mengikat persaudaraan di antara
marga. Kelima Soa tersebut adalah:
2.3.6 Soa Sea yang terdiri dari: 1. Marga Hutuweli, 2. Marga Hutueli, 3. Marga
Tehutera, dan 4. MargaHehalisa.
2.3.7 Soa Senohi terdiri dari: 1. Marga Nusaaly, 2. Marga Nusaly, 3. Marga
Musapelalan, 4. Marga Pisarahu, 5. Marga Limawael, 6. Marga Tulapia, 7. Marga
Sekatihel, 8. Marga Tehumahu, 9. Marga Sulipatan, 10. Marga Luoissa, 11.
Marga Titalouw (Sunset)
2.3.8 Soa Sulpatan (Sulipatan) terdiri dari: 1. Marga Kuhulenusi (Nusi), 2. Marga
Kuhuela (Salawaru), 3. Marga Latulette, 4. Marga Tipaheuw, 5. Marga Launela
2.3.9 Soa Hattuputi terdiri dari: 1. MargaTitalouw, 2. Marga Salarone, 3. Marga
Tetahuka, 4. Marga Kolpesy.
Struktur Soa dan Marga di Buano membentuk semacam jaringan
kekeluargaan yang acak tetapi saling terhubungkan satu sama lain. Hubungan
kekerabatan tersebut lalu diikat oleh kehadiran rumah adat/pusaka yang
merepresentasikan marga-marga dalam masyarakat. Kehidupan kekeluargaan
menjadi suatu jaminan bahwa masyarakat di Buano saling terhubungkan satu sama
lain dan mereka hidup sebagai suatu kolektifitas dengan nilai-nilai yang berkembang
di dalamnya. Dalam pandangan antropologis, melalui asosiasi-asosiasi keluarga yang
direpresentasi oleh marga maka orang-orang tua di Buano mewariskan nilai-nilai
social budaya kepada anak-anak dan generasi muda Buano dan mereka belajar
menyerapnya, karena mengalami secara langsung situasi tersebut dalam keluarga.
Sehingga dari waktu ke waktu masyarakat Buano terus merawat dan melestarikan
eksistensi budaya mereka.

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page 17


3. Institusi Adat dan Hubungannya dengan Institusi Negara
Sistem sosial dengan institusi dan jabatan adat yang digambar di atas, telah
eksis di Buano Utara maupun Buano Selatan sejak zaman dahulu. Namun seiring
perkembangan zaman, beberapa jabatan adat mulai punah atau setidak kehilangan
pengaruh dalam masyarakat. Perubahan-perubahan institusi social tersebut telah
dimulai sejak era colonial yang menerapkan system administrasi colonial untuk
mengontrol dan menaklukkan rakyat. Demikian juga pengadministrasian oleh
pemerintah dengan pendekatan yang sentralistis tanpa memperhatikan
kelembagaan adat di desa, juga menyumbang kepada melemahnya institusi adat.
Misalnya berbagai regulasi tentang desa yang dikeluarkan pemerintah pusat sejak
masa Orde Lama, Orde Baru hingga era reformasi.
Harus diakui sistem pengadministrasian desa yang dilakukan pemerintah,
belum memberi kesempatan yang luas kepada masyarakat adat seperti di Buano
untuk mengatur pemerintahan negeri berdasarkan adat dan kebiasaan setempat.
Terutama yang cukup luas dikritik adalah UU No. 5 Tahun 1975 tentang Desa.
Bahkan hingga pembaharuan undang-undang hingga diberlakukannya UU No. 6
Tahun 2014 tentang Desa, banyak Negeri di Maluku belum sepenuhnya
mendapatkan kesempatan untuk mengatur sistem pemerintahan di desa
berdasarkan struktur tradisional yang selama ini dipraktikkan.
Pemerintah Propinsi Maluku, sebenarnya telah menyediakan peraturan
daerah yang mengatur tentang negeri-negeri adat. Peraturan Daerah yang dimaksud
adalah Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 14 Tahun 2005 Tentang
Penetapan Kembali Negeri Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam
Wilayah Pemerintahan Provinsi Maluku yang pada prinsipnya menetapkan negeri
sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Maluku dan Peraturan Daerah
Kabupaten Maluku Tengah Nomor 01 Tahun 2006 Tentang Negeri. Namun regulasi
payung yang masing bersifat umum tersebut belum diterjemahkan secara terperinci
pada level yang lebih rendah, misalnya pada tingkat Kabupaten, kecematan, ataupun
desa. Kendala terbesar yang dihadapi adalah mengidentifikasi berbagai bentuk
pemerintahan adat dan kekhususan lainnya.

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page 18


Dalam rangka kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan
ekonomi, demokrasi dan kemasyarakatan negeri-negeri adat di Maluku, maka
adanya Pemerintah Negeri menjadi faktor penting. Untuk itu semua pemerintah
daerah di level kabupaten sudah sepatutnya segera mendesain peraturan daerah
yang selanjutnya diterjemahkan melalui peraturan negeri atau semacamnya, yang
mengatur secara spesifik struktur-struktur adat dan kearifan lokal di masing-
masing negeri. Dalam konteks masyarakat Buano, ketiadaan regulasi yang jelas,
telah menimbulkan beragam ketegangan yang sering berujung konflik. Misalnya
yang terkait dengan pemilihan raja karena harus dipilih oleh semua masyarakat,
sementara sebagian masyarakat setempat meyakini bahwa rekrutmen raja hanya
berasal dari marga tertentu, dan dipilih secara musyawarah mufakat oleh tokoh-
tokoh masyarakat setempat yang telah diatur dalam norma adat (Usnadin
Tombalisa, 2017).
Pengaturan yang jelas juga dibutuhkan untuk menggerakkan dan
memfungsikan lembaga-lembaga adat beserta perangkat jabatan yang ada di
dalamnya, terutama dalam hubungannya dengan struktur yang dibentuk
pemerintah. Dualisme pemerintah desa dan negeri/adat terkadang menimbulkan
ketegangan, karena masing-masing ingin menonjolkan pengaruh dan kekuasaannya.
Sementara itu, institusi dan jabatan adat yang dahulu berperan penting dalam
menciptakan harmoni sosial di desa menjadi tidak berfungsi secara maksimal.
Karena tidak memiliki legitimasi struktural yang kuat dari pemerintah. Misalnya
jabatan seperti Kewang, Marinyo, Kapitan, Kepala Dati dan lainnya lambat laun
semakin terpinggirkan. Maka diperlukan kajian lebih lanjut untuk menempatkan
berbagai institusi adat dalam struktur pemerintahan negara, sehingga dapat
berfungsi secara makasimal. Hal ini harus menjadi catatan bagi pemerintah
Kabupaten Seram Bagian Barat, yang diberitakan hendak mengatur negeri-negeri
adat di Maluku kedalam regulasi yang lebih melindungi institusi adat setempat.

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page 19


4. Artefak Budaya Masyarakat Buano
Selain institusi sosial dan jabatan-jabatan adat, masyarakat Buano juga
memiliki berbagai bentuk artefak budaya yang menunjukkan peradaban
masyarakatnya. Sebagaimana yang telah dijelaskan di muka, artefak adalah benda-
benda budaya yang memiliki nilai sejarah, seni dan pengetahuan yang tetap dijaga
dan dilestarikan oleh masyarakat. Artefak-artefak tersebut terdiri dari rumah-rumah
adat (rumah pusaka), kuburan-kuburan tua dan tempat-tempat keramat yang
disakralkan, serta berbagai peninggalan masa lampau seperti mushaf Alquran kuno,
maupun koleksi benda-benda budaya seperti lampu tua, keris atau pisau pusaka
yang terus dipelihara hingga saat ini.
Di Buano Utara terdapat 30 rumah adat yang dimiliki oleh 30 Marga. Rumah-
rumah adat tersebut dijaga oleh seorang kepala Dati bersama keluarganya dan
difungsikan untuk berbagai kegiatan adat dan ritual serta pertemuan dan rapat
keluarga. Sedangkan di Buano Selatan hanya terdapat 1 rumah adat untuk semua
marga yang ada di Buano. Sedangkan untuk arena pertemuan adat di antara dua
negeri Buano yang bersaudara(Buano Utara dan Selatan), terdapat satu bangunan
Baeleo Tua yang saat ini masih dapat disaksikan di wilayah Buano Utara. Di gedung
Baeleo yang sederhana ini, masyarakat Buano Utara dan Selatan merawat
persaudaraan dan kebersamaan dalam berbagai kegiatan bersama yang
dimusyawarahkan dan diputuskan secara kekeluargaan. Mengingat fungsi-fungsi
sosial yang strategis tersebut, maka sangat disayangkan bila saat ini bangunan
tersebut mengalami kerusakan yang parah dan kurang terawat.
Sebagai masyarakat beragama, masyarakat di Buano Utara memiliki Mushaf
Alquran kuno yang dirawat dan disimpan di rumah adat marga Husemahu. Mushaf
tersebut difungsikan dan dibawah ke Masjid hanya pada hari-hari di bulan suci
Ramadhan. Menurut Tim Peneliti dari Balai Arkeologi Maluku (2014:106-107),
mushaf Al-Quran tua tersebut terbuat dari sejenis kertas dengan tingkat kekerasan
serat kertas yang tinggi. Di beberapa bagian kertas yang rusak, menunjukkan adanya
serat kertas yang cukup kuat. Kemuingkinan kertas ini merupakan produk luar,
hanya saja, tidak ada tanda- tanda logo tertentu yang tertera pada kertas ketika

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page 20


diterawang di sinar matahari secara langsung. Dari gaya tulisannya, tampak sekali
mushaf Al-Qur’an ini dihasilkan dari tulisan tangan oleh seorang ulama yang
menguasai penulisan Arab yang indah. Keberadaan Alquran kuno bisa menjadi bukti
pendahuluan bahwa Islam sudah mulai berkembang sejak lama di Buano, dan
mengalami akulturasi yang kaya dengan kebudayaan lokal. Alquran kuno
kemungkinan berfungsi sebagai medium untuk sosialisasi ajaran Islam di daerah
itu, baik masa awal maupun masa perkembangan Islam di wilayah itu.
Selain Alquran Kuno, jugaterdapat makam kuno. Situs makam kuno ini terdiri
dari 6 (enam) buah makam yang terletak ditengah-tengah atau diantara
pemukiman penduduk. Kompleks makam kuno ini terletak di bagian selatan masjid
desa Buano Utara. Makam pada umumnya terdiri dari jirat yang dibuat dari susunan
batu karang berwarna hitam. Sedangkan nisan menunjukkan teknologi yang lebih
maju, karena terbuat dari batu karang berwarna hitam yang telah dipahat atau
dihaluskan membentuk prisma, di bagian atasnya meruncing atau membentuk
segitiga sedangkan bagian badan dan pangkalnya membentuk persegi panjang.
Ukuran tinggi nisan antara 50-70 cm, lebar pangkal antara 20-30cm, lebar bagian
atas 30-40 cm. Dengan demikian bentuk nisan menunjukkan semakin ke atas
semakin melebar. Nisan tersebut juga diberi motif hias sulur-sulur dan bentuk motif
hias trisula yang dibentuk dari motif sulur. Menurut Nuri Handoko (2014:99-112) dari
Balae Arkeologi Maluku, makam kuno di Buano pada umumnya menunjukkan
tipologi hiasan yang sama dengan tipe makam yang berasal dari Maluku Utara
(Ternate), sedangkan bentuknya lebih identik dengan Makam tipe Demak di Jawa.
Situs makam lain yang tidak kalah menarik adalah makam-makam keramat
yang tersebar secara acak di beberapa tempat di Buano. Makam-makam tersebut
banyak yang dihubungkan dengan sejarah masyarakat Buano di masa lalu, seperti
Makam Nene Luhu yang dikeramatkan atau makam tokoh-tokoh leluhur orang Buano
seperti Guru Mahu yang pertama atau penyiar agama yang pertama datang dan wafat
di Buano. Masing-masing situs makam memiliki karakteristik, cerita dan legenda
yang menarik untuk dipelajari. Keberadaan situs-situs keramat tersebut sangat
disakralkan dan dirawat dengan baik oleh masyarakat. Pada waktu-waktu tertentu

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page 21


dilakukan ritual adat untuk membersihkan atau merestorasi keramat. Situs-situs
kearamat memiliki peran penting sebagai wilayah konservasi, sebab hutan, pantai
dan laut yang menjadi lokasi keramat, mendapatkan perlindungan adat dan terdapat
berbagai pamali (larangan) untuk merusak ekosistem di situs-situs keramat
tersebut.
Beberapa situs keramat yang terdapat di Buano Utara adalah: 1) Keramat
Taesuli yang berada dalam wulayah adat Soa Tamalene Dan Soa Tuhuteru. Pada
lokasi ini berdiri gedung Baileo Tua yang menjadi tempat pertemuan dari tokoh-
tokoh adat dari kedua soa. Pada lokasi ini tidak ada aktifitas apapun bahkan setiap
orang yang masuk di lokasi ini dilarang untuk memotong tanaman bahkan rumput
liar sekalipun. Kayu Pamali untuk rumah adat dari Soa Tamalene dan Soa Tuhuteru
juga diambil pada kawasan ini. 2). Keramat Air Tou-Tua merupakan keramat dari Soa
Tuhuteru yang terletak di kawasan hutan. Menurut kepercayaan masyarakat lokasi
ini merupakan sumber mata air keramat dari leluluhur (tete nenek moyang) dimana
lokasi ini adalah bekas lokasi negeri lama dari Soa Tuhuteru. 3). Keramat Eliopit,
Esuna, dan Opoula. 4) Keramat Tanjung Pamali, yang terletak diujung pulau dan
berada dalam ulayat Soa Hitimala, tempat ini dipercaya sebagai tempat pertama
leluhur marga Hitimala dan bermukim.
Adapun tempat-tempat Keramat yang ada di Buano Selatan, sebagian terlatk
di hutan dan gunung, seperti Baeleo Hatu Hapalan dan Gunung Sabantare. Serta
sebagian lagi berada di Laut seperti yang terletaak di Tanjung Hatualan dan Labuhan
Sinohi. Menurut beberapa sumber di Buano Selatan, keberadaan gereja yang cukap
kuat dan menolak praktik-praktik keramat dan tahayul, ikut mendesakraliasi
keberadaan situs-situs kearamat yang selama ini dilindungi. Kondisi ini tentu perlu
didialogkan secara konstruktif untuk menjamin bahwa agama dan adat dapat saling
mengisi dan menguatkan, terutama dalam menjaga praktik-praktik kearifan lokal
yang memiliki fungsi penting dalam menjaga harmoni manusia dengan alam.

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page 22


BAB III
KEARIFAN LOKAL DAN KONSERVASI LINGKUNGAN

1. Potensi Kearifan Lokal di Pulau Buano


Eksistensi adat dan tradisi yang masih terus dilaksanakan dan memiliki
fungsi-fungsi tertentu dalam masyarakat merupakan modal sosial yang sangat
berharga dalam proses pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Para ahli
kebudayaan seperti Cliffort Geertz (1986) menyebut adat dan tradisi yang telah
menjelma menjadi kearifan lokal, merupakan suatu sintesis budaya yang diciptakan
secara jenius oleh aktor-aktor lokal melalui proses yang dinamis dan berulang-ulang,
melalui internalisasi dan interpretasi terhadap budaya dan ajaran-ajaran agama
yang berkembang dari waktu ke waktu. Adat dan tradisi tersebut melembaga sebagai
kearifan bagi sebuah masyarakat, sebab dapat diinternalisasi serta dijadikan
pedoman dalam kehidupan sehari-hari dan diwariskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya.
Kearifan lokal di Buano adalah sistem sosial yang dibangun di atas nilai-nilai
yang dipraktikkan oleh sebuah masyarakat untuk menjaga eksistensi kehidupan
masyarakat itu sendiri. Dalam praktiknya kearifan lokal menjadi alat untuk
menghubungkan manusia dengan Tuhan, merawat hubungan manusia dengan
manusia yang lain, atau mengatur hubungan manusia dengan lingkungan alam
dimana manusia tinggal dan menetap. Secara konseptual terdapat tiga kategori
kearifan local dan fungsinya dalam masyarakat di Buano. Pertama, relasi manusia
dengan Tuhannya, atau kekuatan supranatural yang dianggap berkuasa atas
kehidupan. Kedua, relasi manusia dengan manusia lainnya dan berfungsi sebagai alat
solidaritas, kohesivitas dan persaudaraan. Ketiga, yang berhubungan dengan
lingkungan alam yang berfungsi sebagai upaya melindungi manusia dan alam agar
dapat hidup berdampingan secara harmonis dan lestari.
Secara faktual, kajian terhadap kearifan lokal masyarakat di Pulau Buano
menunjukkan tiga bentuk dan fungsi. Pertama, kearifan lokal yang membentuk
institusi sosial seperti Negeri, Soa dan jabatan-jabatan adat seperti Raja, Guru Mahu,

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page 23


Soa, Kepala Dati, Kapitan, Marinyo, Kewang dan lainnya. yang berfungsi sebagai
penyokong sistem sosial dalam masyarakat. Lembaga dan jabatan adat tersebut
berfungsi sebagai alat untuk mengorganisasi masyarakat dalam berbagai bidang
kehidupan; agama, sosial budaya, politik, ekonomi dan hukum. Melalui lembaga-
lembaga tersebut berbagai keputusan dan kebijakan negeri/desa yang terkait
dengan kehidupan masyarakat diatur dan diputuskan. Sulit membayangkan bila
institusi-institusi social tersebut punah dari masyarakat Buano, maka kemungkinan
akan tercipta instabilitas, konflik dan kekerasan di antara masyarakat.
Kedua, kearifan lokal tentang praktik-praktik ritual adat, seperti Aroha, Oul,
Patima dan lainnya yang berfungsi mendekatkan manusia dengan Tuhan atau
dengan ruh-ruh leluhur. Demikian juga kearifan lokal yang berkaitan dengan bentuk-
bentuk persaudaraan lintas kelompok agama, etnis dan budaya, seperti terekam dari
istilah-istilah persaudaraan lokal seperti Gandong, Kaka, Ade, Bongso yang secara
kultural mengikat hubungan antar masyarakat, hubungan antara Negeri Buano Utara
dan Negeri Buano Selatan yang berbeda agama, serta hubungan persaudaraan antara
masyarakat di Pulau Buano dengan dua Negeri Lainnya yakni Negeri Oma di Pulau
Saparua dan Ullath di Pulau Haruku. Masyarakat di ketiga negeri tersebut percaya
mereka berasal dari satu garis keturunan yang sama sehingga terdapat kewajiban
untuk saling menolong dalam berbagai hal. Misalnya dalam pembangunan rumah-
rumah ibadah (Masjid dan Gereja) dan rumah adat, serta bantuan pada saat adanya
bencana. Meskipun masyarakat Buano Utara dan Selatan pernah terlibat konflik
pada momentum konflik Maluku beberapa tahun lalu, namun kuatnya semangat
persaudaraan di antara mereka telah memulihkan kembali hubungan antara kedua
negeri bersaudara tersebut (Roy Ellen, 2007).
Ketiga, adanya kearifan lokal yang berhubungan dengan upaya-upaya orang
Buano dalam melindungi dan mengelola sumber daya alam dan lingkungan, baik di
darat maupun di laut agar tetap produktif dan lestari. Tradisi-tradisi tersebut juga
bisa dilihat pada praktik sakralitas hutan dan laut yang tidak boleh diganggu
(keramat), atau pada tradisi Sasi yang menjadi media untuk mengelola sumber daya
ekonomi dan lingkungan di laut dan hutan. Demikian juga jabatan Kewang, polisi

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page 24


hutan yang menjaga dan mengawasi pelaksanaan hukum Sasi. Bentuk-bentuk
kearifan lokal yang memiliki fungsi ekologis tersebut merupakan modal sosial yang
dapat didayagunakan dalam mengelola sumber daya alam dan merawat kelestaraian
lingkungan.

2. Bentuk-bentuk Kearifan Lokal yang memiliki Fungsi Ekologis


Lingkungan alam sebagai penyokong kehidupan masyarakat desa, dari waktu
terus mengalami degradasi dan kehancuran. Sebagian disebabkan oleh faktor-faktor
alam, seperti bencana alama (gunung meletus, gempa bumi dan sunami). Namun
faktor perusak yang lebih besar justru akibat ulah manusia itu sendiri. Bahkan
kehidupan masyarakat desa yang terpencil sekalipun, tidak lagi bebas dari aktifitas
eksploitasi dan pengrusakan lingkungan yang dipicu oleh ekspasi ekonomi manusia.
Maka di berbagai tempat dan desa terjadi kelangkaan sumber daya alam hayati,
akibat eksploitasi yang berlebihan hingga pengrusakan yang disengaja.
Keseimbangan alam terganggu hingga mengakibatkan berbagai bencana dan
malapetaka.
Fenomena ini juga terjadi di Pulau Buano, kualitas lingkungan yang menurun
telah mengakibatkan berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat. Mulai dari
semakin langkanya sumber-sumber air bersih akibat eksploitasi hutan secara
berlebihan, hingga ancaman pada musim penghujan. Ledakan populasi penduduk
yang tidak terkendali, mengakibatkan kondisi Pulau Buano semakin sesak, dengan
sistem pemukiman yang juga semakin padat. Sedangkan di laut, pantai dan pesisir
juga terjadi eksploitasi yang berlebihan. Penangkapan ikan dengan menggunakan
metode destruktif seperti pengeboman dan pembiusan, secara tidak terlekakkan
telah merusak keseimbangan ekosistem di Buano. Tanpa disadari masyarakat mulai
sering mengeluhkan sulitnya penangkapan ikan pa saat ini, dibandingkan di masa
lalu. Aktifitas penangkapan ikan harus dilakukan jauh ke tengah laut dengan hasil
yang tidak memuaskan. Kondisi ini menuntut adanya upaya-upaya sistematis untuk
mendorong inisiatif masyarakat dalam upaya perlindungan dan pengelolaan sumber
daya alam secara selektif dan bijaksana.

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page 25


Pada dasarnya kebudayaan masyarakat Buano menyediakan berbagai pranata
budaya dan kearifan lokal, yang bila dimanfaatkan secara tepat bisa menjadi modal
sosial yang penting dalam pengelolaaan sumber daya alam secara
bertanggungjawab. Sebagian terkait dengan penghormatan pada lingkungan alam
yang dipercaya menjadi tempat-tempat keramat dan sakral. Misalnya wilayah hutan
yang menjadi tempat keramat terdapat larangan (pamali) untuk merusak atau
mengeksploitasi pohon dan tumbuhan yang tumbuh diatasnya, atau wilayah pantai
yang menjadi tempat keramat juga ada pamali untuk mengeksploitasi batu dan pasir
yang terdapat di atasnya.
Ada puluhan situs keramat yang sebagian di antaranya masih tetap dijaga,
misalnya Keramat Taesuli dari marga Tamalene dan Tuhuteru yang dipercaya
sebagai tempat dimana leluhur (tete nene moyang) dari Soa Tamalene dan Tuhuteru
bersepakat untuk turun dari daerah Gunung (Negeri Lama) ke negeri Buano di
kawasan pesisir (Negeri yang ada sekarang). Pada lokasi ini berdiri Baileo tua yang
menjadi tempat pertemuan dari tokoh-tokoh adat dari kedua soa. Masyarakat
dilarang untuk merubuhkan pohon, memotong tanaman bahkan menebas rumput
liar sekalipun. Tempat ini selalu dijaga karena menjadi sumber utama Kayu Pamali
untuk membangun rumah adat dari Soa Tamalene dan Soa Tuhuteru.
Keramat lainnya adalah Air Tou-tua, suatu tempat dari Soa Tuhuteru yang
terletak di kawasan hutan yang dipercaya merupakan sumber mata air keramat dari
leluhur (tete nene moyang). Lokasi ini dipercaya sebagai bekas lokasi negeri lama
dari Soa Tuhuteru. Tempat keramat dan pemali lainnya adalah Tanjung Pamali yang
berada dalam ulayat Soa Hitimala. Tanjung Pemali disakralkan sebab dipercaya
sebagai tempat pertama dan asal leluhur (tete nene moyang). Di tanjung ini sebagian
telah dilakukan Sasi untuk menjaga lingkungan sekitarnya. Demikian juga maka Nene
Luhu yang terletak disebuah hutan yang masih terawatt, karena masyarakat
meyakini bahwa di hutan tersebut terdapat leluhur mereka yang bernama Nene Luhu
itu.
Selain kosmologi yang berkaitan dengan keramat dan sakralitas lingkungan
alam, masyarakat Buano juga memiliki dua tradisi lokal lainnya yang sangat penting

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page 26


dan berhubungan secara langsung dengan pengelolaan sumber daya alam (hutan
dan laut), yakni Tradisi Sasi dan Jabatan Kewang. Kedua praktik lokal tersebut
sepatutnya diangkat sebagai modal sosial yang penting dalam membantu
masyarakat mengelola sumberdaya alam yang mereka miliki. Berikut akan
dijelaskan secara lengkap tentang kedua tradisi ekologis tersebut dan bagaimana
pelaksanaannya dalam masyarakat Buano.
2.1. Tradisi Sasi
Sasi adalah adalah tradisi kearifan lokal yang diciptakan secara jenius oleh
leluhur masyarakat Buano. Sasi mengatur tentang bagaimana masyarakat
mengelola sumber daya hutan dan laut, serta bagaimana menerapkan hukuman
adat terhadap mereka yang melanggar hukum Sasi. Melalui Sasi diatur tentang
kapan masyarakat boleh mengambil atau memanen sumber daya alam lokal
yang tersedia secara alami, seperti pohon-pohon minyak kayu putih yang
tumbuh subur di hutan ulayat masyarakat Buano, atau pohon-pohon sagu yang
jumlahnya terbatas. Sasi juga sering diterapkan untuk mengelola sumber daya
alam laut seperti Ikan, Teripang atau Kerang Lola yang memiliki nilai ekonomi
tinggi. Ada juga sasi yang diberlakukan untuk melindungi produk tanaman yang
ditanam secara mandiri oleh masyarakat Buano. Misalnya Sasi yang diterapkan
terhadap Pohon Kelapa, atau pohon buah-buahan lainnya agar dapat dipanen
secara maksimal.
Tradisi Sasi di Buano mirip dengan tradisi Sasi yang dapat kita jumpai pada
hampir sebagian besar masyarakat wilayah di Kepulauan Maluku. Pada masa
lalu Sasi menjadi modal sosial dalam memelihara keseimbangan manusia
dengan alamnya. Bila sasi dilaksanakan, maka masyarakat dilarang untuk
memetik buah-buah tertentu di darat dan mengambil hasil tertentu dari lautan,
selama jangka waktu yang di tetapkan oleh pemerintah negeri (Frank L. Cooley,
1987). Peranan Sasi memungkinkan sumber daya alam yang semakin terbatas
dapat tumbuh dan berkembang. Dengan kata lain, sumber daya alam hayati dan
nabati dapat terus dilestarikan dalam suatu periode tertentu dan memberikan

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page 27


kesempatan kepada alam untuk memulihkan pertumbuhan dan perkembangan
dirinya demi tercapainya hasil yang memuaskan.
Selama ini penyelenggara Sasi adalah Negeri, Soa atau Marga tertentu yang
memiliki hak ulayat. Prosesi Sasi biasanya diawali dengan pertemuan di Baeleo
atau Rumah Pusaka yang melibatkan pemimpin adat di Buano. Setelah Sasi
diputuskan maka dilakukan pembacaan do’a dan mantra-mantra untuk
memohon keberkahan dari Tuhan dan leluhur, sehingga mereka yang
melanggar hukum Sasi akan terkena kutukan dan musibah. Pada hari
berikutnya dilakukan pemasangan tanda adanya Sasi yang biasanya
menggunakan media Dulang Pamali (Dulang yang berisi siri, pinang, tembaku)
Janur (daun kelapa muda), atau pemasangan kayu palang yang menandakan
adanya larangan mengeksploitasi objek yang telah disasi.
Bagi oknum yang melanggar hukum Sasi secara tidak sengaja atau karena
belum mengetahui adanya pemberlakukan Sasi, maka mendapat teguran dari
Kewang atau anggota masyarakat yang mengetahui pelanggaran tersebut.
Namun, bila pelanggaran tersebut disengaja dan dianggap sebagai pelanggaran
yang berat, maka Kewang akan melaporkan kepada Bapa Raja atau Kepala Soa
untuk mendapatkan hukuman yang lebih setimpal. Selain soal sanksi hukum
tersebut masyarakat Buano juga percaya bahwa seseorang yang menentang
Sasi Adat, bisa mendapat hukuman dari leluhur melalui berbagai musibah yang
akan menimpanya.
Dalam waktu yang cukup lama, tradisi Sasi di Buano utara sudah tidak intens
diterapkan. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya sumber daya Kewang dan
lemahnya pengawasan terhadap wilayah Sasi yang mencakup kawasan yang
sangat luas. Hal ini mengakibatkan aksi-aksi pengeboman dan pembiusan ikan
dilakukan secara luas oleh oknum nelayan yang tidak bertanggungjawab.
Demikian juga penebangan hutan yang mengakibatkan kerusakan. Padahal
pengalaman LPPM mengelola Sasi pada sejumlah hutan mangrove yang
terbatas, ternyata bisa mengendalikan kehancuran Mangrove.

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page 28


Di Negeri Buano Bagian Selatan yang beragama Kristen, peran Gereja cukup
signifikan dalam menghidupkan kembali hukum Sasi. Hanya saja
pelaksanaannya terbatas pada individu atau pada kelompok-kelompok kecil.
Biasanya masyarakat yang ingin membuat Sasi pada hasil kebun atau tanaman
seperti pada pohon kelapa atau pohon buah-buahan lainnya dapat menghadap
Pendeta untuk meminta pemberlakuan (pendaftaran) Sasi Gereja. Setelah Sasi
didaftrakan di gereja maka akan diumumkan di dalam ibadah minggu sebelum
dilakukan proses Sasi. Pendeta akan membacakan do’a dan pada pohon yang
di-sasi ditancapkan lambang Salib sebagai tanda pemberlakukan Sasi dan
larangan untuk dikonsumsi. Beberapa anggota masyarakat menyebut
keterlibatan Pendeta, dianggap sebagai praktik penaklukan agama terhadap
adat, namun sebagian masyarakat meyakini bahwa Sasi Gereja adalah bentuk
kreatif akulturasi agama Kristen dan budaya lokal di Buano Selatan. Fenomena
ini bisa menjadi penanda penting bahwa agama dan budaya bisa saling
menghidupkan dalam upaya-upaya pemberdayaan masyarakat.
2.2. Kewang
Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tradisi dan pemberlakukan hukum
Sasi adalah keberadaam Kewang. Sebagaimana telah dibahas di muka, Kewang
adalah sebuah jabatan tradisional yang diemban oleh tokoh adat tertentu di
negeri, desa atau kampung dalam upaya menjaga ekosistem hutan dan laut.
Kewang ditunjuk/diangkat oleh Raja atau Kepala Soa, berdasarkan usulan
warga atau berdasarkan hak-hak adat dari suatu marga tertentu di Negeri. Di
masa lalu jabatan sebagai Kewang menyerupai polisi hutan saat ini, Kewang
mendapat mandat untuk mengawasi pelaksanaan hukum Sasi di hutan dan di
laut. Bila menemukan pelanggaran terhadap Sasi, maka Kewang memiliki
otoritas untuk menegur langsung di tempat, atau melaporkan pihak-pihak yang
melanggar hukum Sasi kepada pimpinan negeri, dalam hal ini Raja atau Kepala
Soa. Dalam menjalankan tugasnya Kewang dibantu oleh masyarakat umum
untuk mengawasi berjalannya hukum sasi.

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page 29


Persyaratan yang harus dimiliki seseorang untuk ditujuk sebagai Kewang, yaitu
harus memiliki pengetahuan tentang sumber daya alam yang ada di dalam
wilayah petuanan Soa, memiliki kondisi fisik yang masih bugar serta syarat
yang paling penting adalah dikenar jujur dan mampu untuk berbicara kepada
khalayak umum. Proses pengangkatan Kewang pada setiap Soa berbeda-beda
mengikuti tradisi pada Soa tersebut. Ada Kewang yang dipilih secara khusus
oleh kepala Soa, ada juga yang merupakan hak keturunan, atau usulan dari
marga-marga tertentu, kemudian dimusyawarahkan di dalam rapat soa (Saniri
Soa). Orang-orang yang dilihat pantas menjadi Kewang akan diusulkan dan
diundang dalam rapat Soa. Jika calon yang diusulkan disetujui maka Soa akan
mengusulkan nama-nama orang tersebut kepada Raja untuk nantinya di
buatkan sebuah ketetapan (surat keputusan). Orang-orang yang sudah ditunjuk
sebagai Kewang nantinya akan di umumkan di dalam Saniri Negeri untuk
diketahui oleh masyarakat maupun Soa lainnya.
Dalam kehidupan kontemporer di Pulau Buano, tampaknya posisi Kewang tidak
lagi menjadi jabatan yang penting di desa, hal ini terbukti dengan hilangnya
jabatan tersebut dalam struktur institusi tradisional masyarakat Buano.
Beberapa Soa tidak lagi memiliki Kewang, kalaupun masih dipertahankan maka
jabatan tersebut biasanya bersifat simbolik semata. Artinya Kewang tidak
menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Padahal peran Kewang masih sangat
diperlukan dalam menjaga ekosistem alam yang dari waktu ke waktu semakin
rusak akibat eksploitasi yang berlebihan. Tampaknya diperlukan kesadaran
dan kerja keras untuk merevitalisasi peran Kewang, untuk membuat eksistensi
jabatan adat ini bisa lebih berperan dan berfungsi dalam kehidupan masyarakat
Buano saat ini.
Beberapa pihak menyebut Peran pendeta yang cukup aktif dalam mendorong
Sasi Gereja bisa disebut sebagai Kewang Agama. Pendeta dan gereja bisa
memperkuat tradisi Sasi sehingga semakin berperan dalam kehidupan
masyarakat. Pendeta menjalankan Sasi yang terbatas pada hak milik individu,
sedangkan Soa dan Negeri menjalankan Sasi untuk segenap masyarakat negeri.

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page 30


3. Revitalisasi Kearifan Lokal di Buano; Peluang dan Tantangan
Dalam struktur sosial di Negeri Buano, keberadaan institusi tradisional dan
tradisi yang diidentifikasi sebagai kearifan lokal sebagaimana dibahas di atas masih
tetap terjaga. Namun bersamaan dengan proses modernisasi yang menyapu
kehidupan masyarakat desa di berbagai tempat di Maluku, terjadi pergeseran
oriantasi nilai budaya dan kearifan lokal yang bersifat kultural religius, melemah
menjadi bersifat simbolik semata. Hal ini terutama di kalangan anak-anak muda yang
tidak memiliki pengetahuan dan kesadaran (cultural sense) terhadap kebudayaannya
sendiri. Selain itu kepemimpinan di desa yang lemah kapasitas, pragmatis dan
cenderung terseret kepentingan politik praktis telah ikut mempercepat proses
pelunturan bentuk-bentuk kearifan lokal dan nilai-nilainya dalam masyarakat
Buano.
Hal yang perlu direnungkan adalah meskipun budaya dan kearifan lokal
berbasis pada tradisi masa lampau, namun sebagian nilai-nilainya masih bisa
bermanfaat untuk kehidupan masa kini. Reproduksi budaya yang beroriantasi pada
kehidupan masyarakat masa kini diperlukan untuk menjawab berbagai tantangan
pembangunan dan perubahan sosial dalam masyarakat yang terus terjadi sesuai
perkembangan zaman. Urgensi budaya dan kearifan lokal itu terutama dalam dua
hal yang penting, yakni menjaga soliditas dan kohesifitas masyarakat desa, serta
bermanfaat bagi pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan agar tetap lestari
dan dinikmati dari generasi ke generasi. Pertanyaan yang cukup penting saat ini
adalah bagaimana menghidupkan kembali kearifan lokal masyarakat Buano, dan
memastikan bahwa perangkat kearifan lokal tersebut dapat memberi manfaat bagi
proses pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.
Suatu hal yang positif dan patut disyukuri adalah sebagian dari kearifan lokal
di Buano masih menjadi sumberdaya kultural yang kuat, dan sebagian masih terus
dipraktikkan dan dirawat hingga saat ini. Hal ini menjadi potensi dan peluang yang
harus dimanfaatkan secara kreatif di masa depan. Berdasarkan kajian Tim LPPM
terhadap bentuk-bentuk kearifan lokal di Buano, maka upaya untuk merevitalisasi
kearifan lokal harus dilakukan secara simultan melalui tiga pendekatan.

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page 31


Pertama, pemaknaan baru atas nilai-nilai yang terkandung dalam berbagai
bentuk kearifan lokal. Hal ini penting untuk dilakukan sebab setiap zaman memiliki
dinamikanya sendiri, dan masyarakat dituntut untuk menyesuaikan diri dengan
dinamika tersebut tanpa kehilangan nilai-nilai dan jati dirinya. Misalnya nilai-nilai
dalam Sasi yang pada awalnya hanya bersifat terbatas pada pengelolaan sumberdaya
lokal seperti hasil kebun atau hasil laut, dewasa ini perlu diperluas pada dimensi
yang lebih luas misalnya dalam konservasi lingkungan, seperti Sasi Hutan, Sasi
Karang, Sasi Mangrove, atau Sasi pada aliran sungai dan ekosistem lainnya yang
semakin hancur akibat eksploitasi yang berlebihan atau dengan cara-cara yang
merusak lingkungan.
Kedua, diperlukan pelembagaan nilai (institutionalization value) kedalam
perangkat hukum negara. Artinya hukum Sasi yang selama ini menjadi hukum adat,
dan hidup dalam bentuk norma-norma tidak tertulis, perlu mendapatkan legalitas
sebagai hukum tertulis yang memperoleh pengakuan (recognize) dalam sistem
hukum negara, baik dalam bentuk Peraturan Desa atau Negeri, Peraturan Daerah
atau legalitas lainnya. Hal ini dirasa mendesak, sebab pada level nasional
pemerintah telah meneguhkan pengakuan terhadap masyarakat adat beserta
segenap hukum adat yang mereka miliki. Beberapa pihak mengkritik model
pelembagaan nilai, sebab dianggap mereduksi nilai-nilai filosofis dari budaya, namun
tampaknya hal ini diperlukan untuk memastikan bahwa nilai-nilai budaya memiliki
fungsi legalitas dalam kehidupan masyarakat yang semakin plural dan dinamis. Maka
pelembagaan nilai menjadi kebijakan yang patut untuk dipertimbangkan di masa
depan. Negeri Buano sudah saatnya mengangkat berbagai kearifan lokal kedalam
regulasi (peraturan-peraturan negeri) yang mengikat dan diakui oleh semua
kalangan, termasuk juga negara (pemerintah).
Ketiga, penguatan kapasitas pada lembaga-lembaga adat atau jabatan adat
yang selama ini mungkin telah mati suri, atau kurang berdaya karena lemahnya
kapasitas. Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, serta regulasi dan
kebijakan pemerintah telah mengakibatkan perubahan yang sangat pesat dalam
masyarakat desa yang hidup dalam harmoni dan keteraturan. Implikasinya adalah

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page 32


terdapat kebutuhan terhadap pola-pola pengorganisasian masyarakat yang
menuntut kecepatan, kecermatan dan akuntabilitas. Maka kapasitas tokoh-tokoh
adat terutama yang memiliki peran dalam pengorganisasian masyarakat dan
pengawasan terhadap lingkungan juga perlu ditingkatkan. Misalnya peran Bapa Raja
dalam mengatur negeri dengan managemen dan prinsip-prinsi kerja yang akuntabel
dan transparan. Besarnya anggaran negara yang masuk ke desa melalui berbagai
skema keuangan seperti Dana Desa (DD) atau Anggaran Dana Desa (ADD) menuntut
kemampuan management yang lebih baik. Bila berbagai dana tersebut dikelola
secara tidak transparan, maka secara otomatis menurunkan legitimasi adat dan
politik seorang raja di depan masyarakat. Demikian juga dengan jabatan lainnya
seperti Kewang, yang harus dibekali dengan pengetahuan hukum adat,
perlengakapan komunikasi dan transportasi yang memadai untuk mengawasi
lingkungan desa yang menjadi tanggungjawabnya.
Bersamaan dengan itu, harus ada upaya-upaya sistematis untuk merawat dan
menjaga berbagai artefak budaya yang dimiliki. Rumah-rumah pusaka yang ada di
Buano harus dan segala struktur tradisionalnya harus tetap terjaga orisinalitasnya,
namun perlu juga diperhatikan estetika dan kebersihan lingkungannya. Di masa
depan, bangunan-bangunan adat tersebut bukan saja sebagai tempat ritual,
musyawarah adat atau tradisi lainnya, tetapi juga bisa menjadi objek wisata kultural
yang menarik bagi para wisatawan yang ingin menyaksikannya secara dekat. Hal ini
tentu akan memberikan nilai tambah ekonomi yang sangat bermanfaat bagi
kehidupan masyarakat.
Dengan kata lain, revitalisasi budaya dan kearifan lokal bukan saja untuk
menjaga eksistensi kebudayaan sebagai bagian integral dari kehidupan masyarakat
Buano, tetapi juga untuk memastikan bahwa pranata sosial tersebut menjadi modal
sosial yang bermanfaat bagi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Tentu
proses-proses penguatan budaya dan kearifan lokal harus dilakukan dengan cermat
dan partisipatif, dengan menjadikan masyarakat lokal sebagai faktor penentu
(determinan) dari keseluruhan proses yang hendak dilakukan. Hal ini untuk
menghindarkan dari praktik-praktik politisasi dan komodifikasi terhadap budaya,

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page 33


yang justru menghilangkan nilai-nilai filosofis yang selama ini menjadi kekayaan
dalam kearifan lokal.

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page 34


BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

1. Kesimpulan
Pembahasan di dalam laporan ini menunjukkan bahwa masyarakat di Pulau
Buano memiliki budaya dan kearifan lokal yang sangat kaya, yang secara teknis
dapat difungsikan sebagai modal sosial yang sangat penting dalam pembangunan
dan pemberdayaan masyarakat. Ada budaya dan kearifan lokal yang berhubungan
dengan institusi sosial, ritual dan praktik sosial, hingga artefak-artefak budaya yang
terdiri dari berbagai jenis peninggalan masa lalu. Beberapa hal tersebut dapat dicatat
sebagai kesimpulan dalam laporan ini:
1.1. Nilai-nilai budaya dan kearifan seperti persaudaraan antar marga (fam), Negeri,
atau Soa, bahkan antar agama yang terefleksikan dari tradisi Gandong, Kaka,
dan Bongso memiliki fungsi kultural yang penting dalam merawat
persaudaraan, kohesifitas dan harmoni dalam kehidupan sosial di desa.
1.2. Institusi sosial tradisional seperti jabatan Guru Mahu, Raja, Soa, Dati, Saniri
Negeri, Hakim Sara dan lainnya merupakan modal sosial yang dapat
didayagunakan sebagai instrumen pengorganisasian masyarakat dan motor
penggerak dalam pembangunan.
1.3. Dalam konteks pengelolaan lingkungan, hutan, laut dan ekosistem lainnya
dapat memanfaatkan kearifan lokal yang ada, terutama tradisi Keramat, Hukum
Sasi, dan jabatan tradisional Kewang yang memiliki fungsi-fungsi ekologis
dalam pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.
1.4. Hal yang perlu dilakukan adalah memastikan bahwa nilai-nilai kearifan lokal
yang tersebut masih tetap relevan dengan kehidupan masa kini dan para elit
lokal yang memangku jabatan adat memiliki cukup kapasitas untuk
mendayagunakan kearifan lokal bagi kehidupan masyarakat yang terus
berubah dari waktu ke waktu.

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page 35


2. Rekomendasi
Sebagai catatan tambahan dalam laporan ini, maka Tim LPPM bermaksud
menyampaikan beberapa catatan dan masukan sebagai rekomendasi konseptual
terhadap upaya-upaya sistematis untuk menghidupkan kembali kearifan lokal pada
masyarakat Buano.
2.1. Upaya untuk menghidupkan budaya dan kearifan lokal di Negeri Buano harus
dilakukan dengan penuh hati-hati dan cermat, untuk memastikan bahwa nilai-
nilai filosofis dari kebudayaan setempat tetap terjaga dan lestari. Dala hal ini
terbuka peluang untuk melakukan penguatan norma adat (hukum adat)
kedalam sistem hukum negara (Perneg, Perda).
2.2. Proses revitalisasi budaya dan kearifan lokal harus dilakukan sebagai sebuah
proses dari dalam. Artinya masyarakat Buano sendiri yang secara partisipatoris
mengidentifikasi dan merumuskan jalan perubahan berdasarkan potensi yang
mereka miliki. Hal ini untuk memastikan bahwa masyarakat bukan sekedar
objek tetapi subjek dalam perubahan.
2.3. LPPM perlu menfasilitasi pelatihan penguatan kapasitas untuk meningkatkan
wawasan dan keterampilan para pemangku adat dalam memperkuat kearifan
lokal dan menghidupkan kembali dalam pengelolaan masyarakat dan
lingkungan. Kehadiran fasilitator dari luar seperti LPPM, hanya untuk
menfasilitasi pengembangan ‘massa kritis (critical mass) sebagai pendorong
mobilisasi sosial. Massa kritis adalah jumlah orang dalam masyarakat yang
terberdayakan sehingga mampu menjadi pemberi pengaruh positif (positive
influencer) dan pendorong (endorser) bagi warga masyarakat lain sehingga
proses perubahan menjadi proses internal yang berlangsung sistematis dan
memberi efek perubahan secara subtansial.

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page 36


Daftar Pustaka

Cooley, Frank L . 1987. Mimbar dan Tahta. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan).
Ellen, Roy. 2007. Modern Crisis and Traditional Startegies, Local Ecological
Knowledge in Island Southeast Asia. (New York: Berghahn Books).
Geertz, Cleffort. 1983. Local Knowledge; Further Essays in Interpretive
Anthropology. (Basis books. Ink)
Handoko, Wuri, 2014. Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan Hoamoal di Seram
Bagian Barat.(Kapata Arkeologi, Vol. 10, No. 2 Desember 2014: 99-112)
Judge, Zulfikar dan Marissa Nurizka. 2008. Pelajaran Hukum Adat Sasi dalam
Melindungi Kelestarian Lingkungan di Desa Eti Kecamatan Seram Barat
Kabupaten Seram Bagian Barat. (Le Jurnalica Vol. 6 No. 1 desember
2008)
Koentjaraninrat. 2004. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama)
LPPM. 2017. Revitalization of Local Wisdom for Sustainable Management of
Natural Resources in Buano Island (Project Proposal)
Nirwansyah, Anang Widhi dan Nursakti Adhi. 2014. Model Pengembangan
Kawasan Konservasi Laut untuk Pulau-pulau Kecil, Studi di Pulau Buano
Kabupaten Seram Bagian Barat. (Geoedukasi Vol. 3 No. 1 Maret 2014:
55-67)
Tombalisa, Usnadin. 2017. Kontestasi Sistem Sosial Usat Tean, Studi tentang
Persaingan Soa di Negeri Buano Utara Kecamatan Huamual Belakang
Kabupaten Seram Bagian Barat. (Skripsi Sarjana di Jurusan Sosiologi
Agama IAIN Ambon, tidak diterbitkan)

LPPM 2017: Laporan Pendokumentasian Kearifan Lokal di Pulau Buano Page 37

Anda mungkin juga menyukai