Anda di halaman 1dari 8

Tugas Pengembangan dan Pengorganisasian Masyarakat

Nama : Putri Nabilla


NIM : 2011212037
Kelas : IKM A3
Dosen Pengampu : Ayudia Fardila Sari. Z.A., S.K.M., M.K.M.,
Materi : Metode Rapid Rural Appraisal (RRA)
Sumber : Darmawi, A. Perencanaan dan Evaluasi Program Penyuluhan
Pembangungan Menilai Diri Dengan Metoda Rapid Rural Appraisal (RRA).
https://www.academia.edu/download/59165069/PAPER_RRA20190507-106024-waib6t.pdf
diakses pada Kamis, 11 November pukul 08.00

Ringkasan Paper
Rapid Rural Appraisal (RRA) merupakan teknik memahami desa dengan cepat yang
dimana berkembang pad atahun 1980-an. Ada lima hal yang menjadi landasan pokok dan
sejalan dengan RRA yaitu penelitian partisipatif, analisis agroekosistem, antropologi terapan,
penelitian lapangan tentang system usaha tani dan memahami desa secara cepat (RRA).
Menurut Chambers pada tahun 1992, ada tiga hal yang menjadi latar belakang
munculnya metode RRA ini. Pertama, adanya ketidakpuasan terhadap bias terutama bias anti
kemiskinan yang diakibatkan wisata pembangunan pedesaan. Kedua, adanya kekecewaan
terhadapa survey-survei konvensional. Ketiga, mencari metode pemahaman yang lebih efektif.
RRA mencari cara untuk memudahkan orang luar memperoleh data mengenai pandangan
masyarakat desa tentang berbagai hal, dan melakukannya dengan dana minim dan waktu yang
relative singkat.
Prinsip-prinsip metode RRA adalah:
1. Proses pembalikan pemahaman.
2. Belajar dengan cepat dan progresif melalui eksplorasi yang terencana, penggunaan
metode yang luwes, improvisasi, penanggulangan, cek silang, tidak mengikuti blue
print.
3. Menyeimbangkan bias
4. Optimalisasi pertukaran.
5. Membuat network mengenai pengukuran metode, jenis informasi, peneliti atau re-
check.
6. Mencari keanekaragaman informasi dengan mencari dan meneliti hal-hal yang
kontradiktif, anomaly, serta perbedaan.
Beberapa kelemahan yang dimiliki oleh metode RRA ini adalah yang pertama,
kemungkinan fadisme. Jika terjadi penyalahgunaan serta adopsi yang terlalu cepat dan
memberi label tanpa makna yang jelas, akan terjadi discredit. Kedua, terlalu cepat mengambil
kesimpulan. Kata rapid dalam RRA sering disalahgunakan sebagai alasan untuk
menyimpulkan sesuatu dengan cepat tanpa mempertimbangkan berbagai factor. Ketiga,
termolisme. Dorongan untuk melakukan dan menyusun strategi dalam RRA membuat orang
mencari dan menyusun buku pedoman atau manual. Bahanya adalah jika pelatihan hanya
dilakukan berdasarkan teks tanpa adanya praktik lapangan. Keempat, kebiasaan. Praktisi dan
pelatih akan menjadi jenuh karena rutinitas dan kebiasaan. Kelima adalah penolakan. RRA
pada masa kini merupakan sebuah pendekatan partisipatif terbuka, saling berbagi rasa dan
memiliki kekuatan akan suatu isu yang dihadapi menuju perbaikan yang dikehendaki. RRA
belum banyak memasukkan aspek partisipasi dalam pelaksanaannya.
Para ahli memiliki peran untuk membantu masyarakat local untuk menganalisis situasi
untuk selanjutnya dipelajari oleh masyarakat dan para ahli sehingga menghasilkan suatu
manfaat tertentu. Para ahli yang memfasilitasi masyarakat local bisa disebut juga sebagai
stakeholder.

Kaitan dengan Pemberdayaan Masyarakat


Metode RRA pada dasarnya merupakan suatu kegiatan proses belajar intensif untuk
memahami kondisi masyarakat, dilakukan berulang-ulang dengan cepat, menggunakan metode,
cara dan pemilihan teknik tertentu untuk meningkatkan pemahaman terhadap kondisi
masyarakat. Dengan menggunakan metode ini, informasi mengenai program-program yang
akan dilakukan akan sampai kepada daerah sasaran. Dengan begitu, program pembangunan
tersebut dapat diterima oleh kelompok masyarakat di daerah sasaran dan program dapat
berjalan dengan baik.
Selain itu, salah satu prinsip dari RRA ini yaitu belajar dari dan bersama masyarakat
membuat proses pemberdayaan masyarakat berjalan dengan baik. Masyarakat local akan
menjadi mampu menganalisis situasi yang akan dipelajari dan nantinya akan mendapatkan
output berupa manfaat bagi para ahli atau stakeholder dan juga masyarakat bersama.
Langkah-langkah dalam metode RRA ini mengacu pada aksi. Proses belajar mengarah
kepada diskusi tentang perubahan dan juga persepsi orang-orang yang terlibat mengenai
perubahan serta kesiapan untuk aksi perubahan yang berkesinambungan. Setelahnya, akan
tercipta tindakan ataupun aksi dari masyarakat local yang mengalami perubahan kearah yang
lebih baik serta berkesinambungan.
Contoh Pemberdayaan Masyarakat
a. Metode RRA
Metode RRA ini digunakan untuk menyusun rencana tindak kesiapan
masyarakat Kelurahan Sukahurip Kecamatan Tamansari Kota Tasikmalaya dalam
memyongsong dan mengembangkan desa tersebut sebagai Kawasan tujuan berbelanja,
terutama rencana tindak yang berkaitan dengan bagaimana kelompok UMKM
mengatasi masalah penentuan harga penjualan, pengelolaan keuangan, dan akuntansi.
Kegiatannya meliputi pelatihan dan pendampingan pengelolaan keuangan berbagai
UMKM di Kelurahan Sukahurip sejak produksi, menjual barang sampai konsumen
meninggalkan Kelurahan Sukarhurip.
RRA akan dihasilkan rencana tindak pemberdayaan UMKM yang dilanjutkan
dalam pendampingan sebagai berikut:
1. Melakukan pendampingan dan pembinaan dalam pengelolaan keuangan
UMKM
2. Melakukan pendampingan dalam penyusunan modal kerja yang likuid
dalam bisnis UMKM
3. Melakukan pendampingan dan pembinaan dalam proses penyusunan
laporan perencanaan keuangan dan modal kerja UMKM Usulan program
pelatihan, pembinaan dan pendampingan proses pengelolaan. UMKM
Kelurahan Sukahurip berbasis IT akan digunakan sebagai dasar pelaksanaan
pengelolaan keuangan UMKM. Adapun hasil dari proses tersebut adalah
terciptanya pengelolaan keuangan yang akuntabel.

b. Metode PRA
Sebagai instrumen pemberdayaan masyarakat yang diharapkan dapat
memecahkan masalah melalui CAP (Community Action Plan), PRA yang diaplikasikan
pada program pengembangan desa wisata di Pedukuhan Pucung, Desa Wukirsari,
Bantul ini harus memiliki relevansi dengan permasalahan dari desa wisata selama ini.
Permasalahannya bukan hanya berkaitan dengan kekurangan para praktisi kebudayaan
dalam menyusun CAP secara partisipatoris, melainkan juga masih miskinnya elemen-
elemen kebudayaan lokal dalam pengembangan desa wisata. Akibatnya, desa wisata
tidak menghadirkan paket wisata yang bernuansa kultural, tetapi sekadar bernuansa
desa atau tradisional sehingga banyak desa wisata melahirkan paket-paket wisata yang
seragam (homogen), miskin keunikan, dan keaslian. Selain didorong untuk mampu
memetakan potensi budaya lokalnya, masyarakat juga didorong untuk mampu
mereproduksinya untuk kepentingan pengembangan desa wisata. Tidak semua potensi
budaya itu dapat dikembangkan karena desa wisata yang bernuansa budaya bukan
sekadar untuk pelestarian budaya yang ada, melainkan juga dapat menjadi daya tarik
wisata dan memberikan keuntungan secara ekonomis bagi masyarakat desa. Oleh
karena itu, dalam penyusunan CAP secara partsipatoris, warga diajak untuk memetakan
potensi budayanya dan memetakan rencana bisnis yang masuk akal serta dapat
dilaksanakan sesuai dengan kekuatan modal sosial dan materialnya.
Berpijak dari berbagai masalah pembangunan desa wisata di Pucung, para
fasilitator kemudian mendorong forum pelatihan dan workshop untuk menyimak
pentingnya program pembangunan pariwisata di Pucung dan Wukirsari yang pada
umumnya dilaksanakan secara partisipatoris. Fasilitator menyiapkan materi tentang isi
dan arah pelaksanaan PRA sebagai salah satu metode partisipatoris. Secara konseptual,
metode PRA diartikan sebagai sekumpulan pendekatan dan metode yang mendorong
masyarakat pedesaan untuk ikut serta meningkatkan dan menganalisis pengetahuan
mereka mengenai hidup dalam konteks kondisi mereka sendiri agar mereka dapat
membuat rencana dan tindakan (Chambers,1994).
Dengan menggunakan konsep PRA itu, peserta workshop didorong untuk
mengetahui manfaat PRA bagi pembangunan sosial yang visinya adalah pada
terwujudnya kemandirian masyarakat dan sejumlah prinsip, misalnya mendorong
program pembangunan dilaksanakan secara swadaya dan gotiong royong. Karena
lebih menekankan praktik daripada pengetahuan, pelatihan mengarahkan peran
narasumber dan khususnya fasilitator untuk memfasilitasi warga mempraktikkan PRA.
Narasumber juga bukan orang yang banyak menceritakan tentang dirinya dan
pengalamannya, melainkan membantu warga untuk memetakan kembali
pengalamannya dari beberapa pengetahuan dan pengalaman narasumber dalam
mempromosikan PRA serta memfasilitasi warga dalam membuat CAP. Dengan
demikian, mereka bukan menggurui, melainkan memudahkan warga untuk memiliki
motivasi yang tinggi dan mengaplikasikan PRA serta menyusun CAP yang partisipatif.
Target pelatihan dapat menyasar sebanyak 30 orang yang berasal dari
Pedukuhan Pucung. Mereka diharapkan dapat memahami pentingnya PRA untuk
penghasilkan CAP secara pratisipatoris di bidang pengembangan desa wisata berbasis
pada budaya lokal. Terdapat enam kegiatan yang dilakukan tim peneliti untuk
menyelenggarakan pengenalan PRA kepada pegiat kebudayaan, yakni sebagai berikut:
1. penyusunan materi pelatihan dan pelibatan pendamping local
2. pengenalan metode PRA untuk CAP desa wisata
3. pemetaan masalah dan kebutuhan untuk CAP desa wisata
4. penentuan prioritas progam CAP desa eisata
5. pelibatan warga dalam proses perbaikan CAP desa wisata
6. rencana keikutsertaan tim peneliti pada implementasi CAP desa wisata
Aplikasi PRA dan penyusunan CAP desa wisata di Pucung telah berhasil
membangun kesadaran yang kuat pada warga bahwa PRA menjadi alat bagi mereka
untuk mewujudkan keberdayaan. Dengan menggunakan PRA, warga dapat lebih
cermat dalam memetakan potensi budaya untuk program pariwisata. Selain itu, dengan
PRA, mereka dapat membangun program yang lebih aspiratif dan menggerakkan
partisipasi masyarakat yang tinggi. Dengan PRA, mereka sadar bahwa banyak program
pembangunan yang masuk ke desa tetapi miskin partisipasi dan warga tidak dapat
mewujudkannya karena tidak memiliki model yang disusun dari pengalaman yang
memadai. CAP yang dibuat oleh orang Pucung yang dihasilkan dengan memakai
metode PRA telah meningkatkan semangat warga untuk membangun desa wisata
berbasis pada potensi budayanya.

c. Metode Action Research


Penelitian dilakukan di Kelurahan Sendang Mulyo, Kecamatan Tembalang,
Kota Semarang, Jawa Tengah. Lokasi penelitian merupakan salah satu wilayah endemis
DBD di Kota Semarang. Penerapan metode PMPV-DBD dilakukan di 5 (lima) wilayah
RW dengan 40 RT. Mengingat jumlah RW di Kelurahan Sendang Mulyo sebanyak 30
RW dengan 256 RT, maka wilayah penelitian ditentukan 5 (lima) RW dengan 40 RT.
Penelitian dibagi dalam dua tahap, yaitu tahap pertama pelaksanaan metode PMPV-
DBD (Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengendalian Vektor – DBD) dan tahap kedua
adalah evaluasi pengetahuan, sikap dan praktik /tindakan (PSP) masyarakat tentang
DBD dan evaluasi indicator entomologi. Tahap pertama, adalah penerapan metode
PMPV-DBD.
Persiapan I merupakan tahapan pemberdayaan yang dilakukan pada tingkatan
tokoh masyarakat baik pemerintah maupun non pemerintah, yang dalam hal ini
bertindak sebagai pembina dan fasilitator setempat. Tokoh masyarakat dari
pemerintahan adalah petugas puskesmas, lurah dan stafnya, Ketua PKK dan pengurus,
petugas SKD (sistem kewaspadaan dini) tingkat kelurahan dan kader DBD tingkat RW.
Persiapan II merupakan tahapan pemberdayaan yang dilakukan pada tingkatan
pelaksana, dalam hal ini adalah Kader DBD di tingkat RT. Pelaksanaan pemberdayaan
pada tahapan perencanaan kegiatan, implementasi dan monitoring/evaluasi dilakukan
secara berkelanjutan setiap bulan. Permasalahan yang ditemukan pada bulan
sebelumnya akan dibahas pada bulan berjalan sekaligus merencanakan kegiatan dalam
pemecahan masalah yang akan dilakukan pada bulan selanjutnya. Hal tersebut
merupakan prinsip pelaksanaan metode penelitian dengan rancangan participatory
action research (PAR), yang berproses secara berkelanjutan. Upaya berkelanjutan yang
dilakukan dalam metode PMPV-DBD melalui pemberian modal untuk kegiatan
produktif perkelompok RW. Masing-masing RW melakukan kesepakatan untuk
menentukan kegiatan produktif, antara lain katering yang sifatnya kecil, usaha bahan
pokok, simpan pinjam, dan pinjaman modal lunak untuk Kader DBD yang memiliki
usaha.
Tahap kedua adalah evaluasi pengetahuan, sikap dan praktik/tindakan (PSP)
masyarakat mengenai DBD dan evaluasi entomologi setelah penerapan metode PMPV-
DBD. Pada evaluasi PSP masyarakat mengenai DBD, populasinya adalah seluruh
kepala keluarga (KK) yang tinggal di Kelurahan Sendang Mulyo. Besar sampel
sebanyak 350 responden/keluarga, kelompok intervensi 175 sampel dan kelompok
kontrol 175 sampel. Kriteria inklusi dalam pemilihan sampel adalah keluarga yang
tinggal dalam satu rumah pada suatu kelompok komunitas. Kriteria eksklusi adalah
keluarga yang tinggal dalam satu rumah, akan tetapi mereka menolak untuk
berpartisipasi, bepergian atau rumah yang tidak berpenghuni.
Pada tahap kedua juga dilakukan evaluasi entomologi. Pengumpulan data
dilakukan dengan pemantauan jentik dari rumah ke rumah di semua RT yang berada di
5 (lima) wilayah RW perlakuan. Pemantauan dilakukan dan dievaluasi dalam forum
pertemuan setiap bulan, selama 6 (enam) bulan.
Hasilnya adalah Penerapan metode pemberdayaan masyarakat dalam
pengendalian vektor DBD (PMPV-DBD) di wilayah intervensi dapat memberikan
perbedaan yang positif dan signifikan dengan meningkatnya pengetahuan dan sikap
masyarakat mengenai DBD, akan tetapi praktik/tindakan masyarakat meskipun ada
peningkatan namun tidak signifikan. Evaluasi entomologi di wilayah intervensi dengan
indikator ABJ mengalami kecenderungan meningkat, sedangkan indikator HI, CI dan
BI mengalami kecenderungan menurun, dan wilayah tersebut masih berpotensi terjadi
penularan DBD.
Referensi
Hudayana, B., made Kutanegara, P., Setiadi, S., Indiyanto, A., Fauzanafi, Z., Nugraheni, M. D.
F., ... & Yusuf, M. (2019). Participatory Rural Appraisal (PRA) untuk Pengembangan
Desa Wisata di Pedukuhan Pucung, Desa Wukirsari, Bantul. Bakti Budaya: Jurnal
Pengabdian kepada Masyarakat, 2(2), 3-16.

Noor, M. (2011). Pemberdayaan masyarakat. CIVIS, 1(2).

Rahwana, K. A., & Aristi, G. (2020). Implementasi IT Dalam Mengelola Keuangan UMKM
untuk Mengalokasikan Aset Perusahaan di Kelurahan Sukahurip Kecamatan Tamansari
Kota Tasikmalaya. J-Dinamika: Jurnal Pengabdian Masyarakat, 5(2), 101-106.

Trapsilowati, W., Mardihusodo, S. J., Prabandari, Y. S., & Mardikanto, T. (2015).


Pengembangan Metode Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengendalian Vektor Demam
Berdarah Dengue Di Kota Semarang Provinsi Jawa Tengah (Developing Community
Empowerment for Dengue Hemorrhagic Fever Vector Control in Semarang City, Central
Java Province). Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 18(1), 20932

Trihandoyo, A., Wahyudin, Y., Arkham, M. N., Mawardi, W., Rikardi, N., & Ramli, A. (2019).
KAJIAN SINGKAT IMPLEMENTASI PROGRAM PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN JASA EKOSISTEM TRANSPLANTASI
KARANG DI PERAIRAN KEPULAUAN BIAWAK (Rapid Assessment of Community
Based Empowerment Program Implementation on Coral Transplantation Ecosystem
Services Management in the Water of Biawak Archipelago). Jurnal Cendekia Ihya, 2.

Anda mungkin juga menyukai