Anda di halaman 1dari 61

Transformasi Struktural

dan Implikasinya pada


Inflasi dan Kebijakan
Moneter
1. Mahasiswa memiliki pemahaman mengenai
pengukuran transformasi struktural.
2. Mahasiswa memiliki pemahaman mengenai
perkembangan transformasi struktural di
berbagai negara di dunia.
3. Mahasiswa memiliki pemahaman mengenai
Tujuan
perkembangan transformasi struktural di Pembelajaran
Indonesia.
4. Mahasiswa memahami konsep dasar keterkaitan
antara transformasi struktural dan inflasi dan
kebijakan moneter dan memiliki pemahaman
atas implikasi transformasi struktural pada inflasi
dan kebijakan moneter.
OUTLINE PENGAJARAN

01 02 03
Pendahuluan Pengukuran Perkembangan Transformasi
Transformasi Struktural Struktural di Sejumlah
Negara

04 05
Perkembangan Landasan Teori
Transformasi Struktural dan Implikasi Transformasi
di Indonesia Struktural pada Inflasi dan
Kebijakan Moneter
1 PENDAHULUAN
Pendahuluan
• Transformasi struktural mengacu pada realokasi kegiatan ekonomi lintas
sektor pertanian, manufaktur, dan jasa yang menyertai pertumbuhan ekonomi
(Herrendorf dkk., 2013).
• Kuznets (1971) membagi transformasi struktural menjadi dua fase:

Fase Pertama Fase Kedua

Sumber daya manusia Sumber daya manusia


mengalami realokasi dari berpindah dari kedua
sektor pertanian menjadi sector pertanian dan
sektor industri dan jasa industri menjadi jasa.
Pendahuluan
• Realokasi faktor-faktor produksi (kapital dan tenaga kerja) dalam satu kegiatan
ekonomi ke kegiatan ekonomi lainnya dianggap sebagai sumber pembangunan
(ILO, 2019).
• Felipe, dkk. (2014) menemukan adanya hubungan yang signifikan antara
meningkatnya pekerja di bidang manufaktur dengan pendapatan per kapita.
• Selain itu, produktivitas tenaga kerja juga meningkat dalam bidang jasa (Ghani
dan O’Connel, 2014).
• Transformasi struktural juga dianggap dapat melonggarkan pertumbuhan
inflasi. Akan tetapi, bagi negara-negara yang sedang berkembang, transformasi
struktural meningkatkan volatilitas inflasi (Portillo dkk., 2014).
PENGUKURAN TRANSFORMASI
2
STRUKTURAL
Ukuran Transformasi Struktural (Herrendorf dkk., 2013)
• Dalam mengukur Transformasi Struktural di suatu negara, terdapat 3 ukuran
yang paling sering digunakan;
• Pengukuran berdasarkan produksi:
1. Persentase Tenaga Kerja, berupa jumlah tenaga kerja atau waktu kerja sebuah
sektor.
2. Value Added Shares/Nilai Tambah sebuah sektor terhadap PDB di negara tersebut.
• Pengukuran berdasarkan konsumsi:
3. Final Consumption Expenditure Shares berupa total pengeluaran terhadap sektor
kerja di negara. Indeks ini berbeda dengan Value Added Shares dikarenakan adanya
perhitungan investasi, ekspor dan impor.
Limitasi (Herrendorf dkk., 2013)
• Persentase Tenaga Kerja: jumlah tenaga kerja tidak dapat merefleksikan
perubahan yang sebenarnya pada peningkatan atau pengurangan
pemasukan pekerja. Sebagai contoh, dengan adanya perbedaan waktu
bekerja atau kapital yang dikeluarkan untuk setiap pekerja.
• Value Added Shares: tidak adanya pengukuran terhadap adanya
perubahan yang terjadi pada kuantitas dan harga di pasaran dalam hal
produksi.
• Final Consumption Expenditures Shares: dengan indeks ini pun
diperlukannya adanya pengukuran terhadap perubahan nilai kuantitas
dalam hal konsumsi.
10

Ukuran Transformasi Struktural berdasarkan Produksi (Herrendorf


dkk., 2013)

• Berdasarkan pengukuran melalui faktor produksi ditemukan bahwa pada 10


negara maju—Belgium, Finlandia, Prancis, Jepang, Korea, Belanda, Spanyol,
Swedia, Inggris dan Amerika Serikat—bahwa:
– Meningkatnya PDB per kapita memiliki korelasi dengan berkurangnya
Persentase Tenaga Kerja dan Nominal Value Added Shares pada sektor
pertanian dan meningkatnya kedua unit tersebut dalam sektor jasa.
– Selain itu, pada sektor manufaktur ditemukannya bahwa dua ukuran
tersebut meningkat pada saat PDB lebih rendah dan mengalami penurunan
pada saat PDB lebih tinggi.
11

Persentase Tenaga Kerja dan Value Added di 10 Negara Maju,


1800-2000 (Time Series Data)
12

Ukuran Transformasi Struktural berdasarkan Produksi (Herrendorf


dkk., 2013) (cont’d)
• Dalam menganalisa tranformasi struktural pada suatu negara juga dilakukan dengan
membandingkan hasil dari nominal Value Added Shares dan riil Value Added Shares–
dengan menggunakan data EU KLEMS (kompilasi dari Groningen Growth and
Development Center).
• Dengan nominal Value Added Shares maupun riil Value Added Shares, pola kualitatif
antara kedua ukuran menunjukan hal yang serupa.
• Namun, terdapat perbedaan dalam segi sektor manufaktur di Korea yang memiliki riil
Value Added Shares lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain.
• Berdasarkan nominal Value Added Shares, sektor manufaktur menunjukkan nilai yang
terus menerus tetap pada titik maksimum negara lain.
13

Ukuran Transformasi Struktural berdasarkan Produksi (Herrendorf


dkk., 2013) (cont’d)
• Selain itu, nilai riil dari sektor servis negara Korea tetap dibawah negara lain.
Sedangkan, nilai nominal dari sektor servis menunjukkan nilai yang rata terus-menerus
naik.
• Berdasarkan observasi ini, dapat disimpulkan bahwa harga manufaktur terhadap jumlah
Value Added di negara Korea menurun dibandingkan negara lain.
– Hal ini konsisten dengan fakta bahwa disaat Korea mengalami liberalisasi terhadap
perdagangan internasional, harga relatif dari barang manufaktur mengalami
penurunan seiring tingkat pertumbuhan sektor manufaktur meningkat.
14

Perbandingan Nominal Value Added dan Riil Value Added (EU


KLEMS), 1970-2007 (Panel Data)
Real

Nominal
15

Ukuran Transformasi Struktural berdasarkan Sisi Produksi


(Herrendorf dkk., 2013)

• Untuk merangkum pola-pola pada pergerakan data, dilakukan regresi untuk


nominal Value Added setiap sektor kerja terhadap fixed effect di negara
tersebut juga level PDB per pekerja. Dengan menggunakan data dari World
Development Indicators dan National Accounts United Nation,
– Garis fitted menunjukkan bahwa dari pergerakan data dalam segi kualitatif
memiliki kesimpulan yang sama dengan Analisa sebelumnya.
– Untuk sektor jasa, laju value added meningkat seiring log PDB per kapita
suatu negara pada menempati nilai 9.
16

Actual & Fitted Values Nominal Value Added, 1975-2005 (Cross


Section Data)

Actual Values Predicted Values


17

Ukuran Transformasi Struktural berdasarkan Sisi Konsumsi


(Herrendorf dkk., 2013)

• Perbedaan pengukuran berdasarkan sisi produksi dan sisi konsumsi ialah


bahwa sisi konsumsi memperhitungkan keberadaan nilai investasi dan
ekspor-impor.
• Antara sektor pertanian dan jasa, tidak ada perbedaan yang signifikan
antara pengukuran melului sisi produksi dan sisi konsumsi. Namun,
implikasi penting ada pada sektor manufaktur.
18

Ukuran Transformasi Struktural berdasarkan Sisi Konsumsi


(Herrendorf dkk., 2013) (cont’d)
Berdasarkan analisa pada long time series data di negara Amerika Serikat dan Inggris,
1. Ditemukan bahwa, pengukuran transformasi struktural berdasarkan produksi dan
konsumsi tidak memiliki perbedaan yang signifikan secara kuantitaif dan kualitatif.
Konsumsi nominal terhadap sektor pertanian dan jasa menurun dan meningkat seiring
waktu.
2. Selain itu, data konsumsi terhadap sektor manufaktur memiliki bentuk yang sama
dengan nominal value added share.
3. Perbedaan yang ada berupa konsumsi terhadap sektor manufaktur cenderung lebih
tinggi beberapa persen dibandingkan value added shares. Hal ini dikarenakan
perhitungan berdasarkan konsumsi memasukkan keberadaan distribusi merchandise
dalam perdagangan.
19

Nominal Consumption Expenditure pada Amerika Serikat dan


Inggris, 1990-2008

Amerika Serikat Inggris


20

Ukuran Transformasi Struktural berdasarkan Sisi Konsumsi


(Herrendorf dkk., 2013) (cont’d)
• Dilakukan juga Analisa pada data dengan sampel yang lebih bervariasi dengan sumber
OECD dan Penn World Data (PWT) pada tahun 1980, 1985, dan 1996. Data yang
terkompilasi menunjukkan hal yang kurang lebih serupa pada sektor pertanian dan jasa.
• Sedangkan, bentuk yang dihasilkan pada sektor manufaktur berbeda dengan
pengukuran berdasarkan sisi produksi (Value Added Shares) yang berbentuk seperti
punuk. Hal ini menunjukkan bahwa pada data dengan sampel yang lebih banyak
terdapat perbedaan yang lebih dalam pengukuran melalui dua sisi tersebut
• Apabila ada perbedaan dalam pengukuran sisi konsumsi dan produksi untuk negara
yang berkembang dibanding untuk negara yang sudah maju, maka implikasinya
terdapat pada laju perkembangan negara-negara tersebut.
21

Nominal Consumption Expenditure in OECD Countries, 1980, 1985


& 1996

1980 1985 1996


PERKEMBANGAN TRANSFORMASI
3 STRUKTURAL DI SEJUMLAH NEGARA
Transformasi Struktural di Berbagai Negara

• Seperti disebutkan sebelumnya, transformasi struktural merupakan situasi yang


dianggap sebagai salah satu indikator negara untuk berkembang atau menjadi
salah satu kunci pertumbuhan ekonomi.
• Dabla-Norris dkk., (2013) menyatakan bahwa nilai fundamental (populasi,
dependency ratio) dari sebuah negara menjadi penentu signifikan dari
bergeraknya sektor tenaga kerja—pertanian, jasa maupun manufaktur.
• Laju dari transformasi struktural menentukan apabila implementasi pada
ekonomi tersebut sukses atau tidak (Felipe, dkk., 2014).
Employment Share (Agriculture) in 2010
• Menurut Bah (2009) dan
Herrendorf dkk. (2013), banyak
dari negara maju—Australia,
Kanada, Itali, Jerman, Sweden,
Jepang, Inggris, dan Amerika
Serikat telah berhasil
mengimplementasikan
transformasi struktural.
• Sedangkan, negara berkembang
seperti Afrika, Asia dan Amerika
Latin mengalami transformasi
yang lebih lambat dibandingkan
negara maju.

Sumber : World Banks. World Development Indicators.


Perbedaan Path Transformasi Struktural di Negara Maju dan
Negara Berkembang (Bah, 2011)
• Walaupun ada perbedaan dalam laju kecepatan transformasi, negara maju—
Australia, Kanada, Itali, Jepang, Sweden, Inggris dan Amerika Serikat memiliki
jalur perubahan yang sama yakni;
1. Disaat PDB meningkat, kontribusi oleh sektor pertanian menurun,
2. kontribusi dari sektor industri awalnya meningkat lalu menurun dan,
3. kontribusi dari sektor jasa terhadap PDB meningkat terus menerus.
• Negara di Asia dianggap memiliki pergerakan transformasi struktural yang
paling dekat dengan negara berkembang, sedangkan negara di Afrika dan
Amerika Latin disimpulkan memiliki masalah dengan tingkat produktivitas per
tenaga kerja yang rendah.
Path of Structural Transformation in Developed Countries

Sumber: Bah (2011)


Path of Structural Transformation in Developing Countries
Afrika Amerika Latin Asia

Sumber: Bah (2011)


Transformasi Struktural di negara maju (berdasarkan %Tenaga
Kerja sektor Jasa)
Employment in services (% of total employment) in Developed Countries
85
2019, 81.08%

80
2019, 78.85%

75 2019, 77.47%
2019, 72.3%

70
2019, 70.44%
65

60

55
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
United States United Kingdom France Italy Japan
Sumber : World Banks. World Development Indicators.
Transformasi Struktural di negara berkembang (berdasarkan
%Tenaga Kerja sektor Jasa)
Employment in services (% of total employment) in Developing Countries
50

2019, 48.95
45

40 2019, 38.01

35

30 2019, 32.03

25

20
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
Pakistan Ghana India
Sumber : World Banks. World Development Indicators.
Perkembangan Transformasi Struktural di ASEAN (Bathla, D’souza,
Joshi, 2019)

Sumber: FAO dan World Bank. World Development Indicators, diolah oleh sumber
Perkembangan Transformasi Struktural di ASEAN (Bathla,
D’Souza, Joshi, 2019)

Berdasarkan perbedaan antara persentase tenaga kerja di sektor pertanian


dan value added (VA) yang ditampilkan pada grafik, Malaysia dan Kamboja
mengalami perkembangan lebih pesat dibandingkan dengan negara
Indonesia, Laos, Myanmar, Filipina dan Vietnam.

Faktor yang mendukung transformasi struktural di Malaysia adalah


pemerintah yang memberikan investasi yang besar terhadap non-
agricultural infrastructure.
Transformasi Struktural di berbagai negara (berdasarkan % value
added of GDP)
Korea
65.00 27.01 27.23 30.00

% GDP dari Sektor Pertanian dan Manufaktur


% GDP dari Sektor Jasa

53.56
55.00 20.00

16.48

45.00 10.00

1.98
41.55

35.00 0.00
1970
1972
1974
1976
1978
1980
1982
1984
1986
1988
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
2008
2010
2012
2014
2016
Services, value added (% of GDP)
Manufacturing, value added (% of GDP)
Agriculture, forestry, and fishing, value added (% of GDP)
Sumber: World Banks. World Development Indicators.
Transformasi Struktural di berbagai negara (berdasarkan % value
added of GDP) India
50 48.45 45
39.92

% GDP dari Sektor Pertanian dan Manufaktur


40

45
% GDP dari Sektor Jasa

35

30
40
25
35
20
35
14.9
15
14.5 15.6
30 10
1970
1972
1974
1976
1978
1980
1982
1984
1986
1988
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
2008
2010
2012
2014
2016
2018
Services, value added (% of GDP)
Agriculture, forestry, and fishing, value added (% of GDP)
Manufacturing, value added (% of GDP)
Sumber : World Banks. World Development Indicators.
Transformasi Struktural di berbagai negara (berdasarkan % value
added of GDP)
● Kedua negara yang berupa negara maju (Korea Selatan) dan India sebagai
negara berkembang menunjukkan adanya penurunan dalam sektor pertanian
dan peningkatan dengan pesat dalam sektor jasa.
● Perpindahan yang terjadi menunjukkan adanya bahwa dua negara tersebut
sudah mulai memasuki fase kedua dari transformasi struktural yakni disaat
atensi pada sektor pertanian, industri dan manufaktur berpindah terhadap
sektor jasa.
PERKEMBANGAN TRANSFORMASI
4
STRUKTURAL DI INDONESIA
• Indonesia menjadi salah satu
negara di dunia yang
mengalami periode
pertumbuhan ekonomi yang
pesat diiringi dengan
keberhasilan transformasi
struktural (ADB, 2017).
• Berdasarkan data tenaga
kerja, ada peningkatan dalam
sektor jasa dan penurunan di
sektor agrikultur dari tahun Sumber: World Development Indicators dan Badan Pusat Statistik (BPS), diolah
1985 hingga 2015.
Timeline Transformasi Struktural di Indonesia (Kim, dkk. 2018)

1960s 1970s 1980s


• Ekonomi di Indonesia masih • Terjadi oil boom dan pada tahun 1973 • Di tahun 1985, sektor manufaktur
bergantung terhadap sumber daya sekitar 34% PDB Indonesia berasal mulai berkembang, dari 11.6% di
alam. dari sektor pertambangan. tahun 1975 menjadi 20.5%.
• Sektor pertanian menyumbang kurang • Transformasi structural dimulai saat • Pemerintah mengadaptasi beberapa
lebih 35% dari PDB Indonesia. nilai dari sektor pertanian terhadap kebijakan berupa reskturisasi dan
PDB berkurang. meniadakan pembatasan investasi
asing (Aswicahyono, dkk., 1996; Fane,
1999)

1990s 2000s 2010s


• Sektor manufaktur meningkat dalam • Krisis finansial menjadikan salah satu • Pada tahun 2012, tenaga kerja pada
bentuk ekspor merchandise. penyebab turunnya produktivitas sektor sektor jasa di Indonesia meningkat cukup
• Menurut Jacob (2005), peningkatan ini manufaktur di periode ini. pesat dari 34.8% di tahun 2000 menjadi
disebabkan oleh investasi yang intensif • Pemasukan oleh FDI menurun, hal ini 43.8%.
terhadap sumber daya dan tenaga kerja. dialami juga oleh beberapa negara di Asia • Hal tersebut didukung oleh
seperti Korea, Malaysia dan Thailand. perkembangan dalam sektor
telekomunikasi yang menarik investasi
dan juga meningkatnya penetrasi
terhadap internet di Indonesia.
Transformasi Struktural di Indonesia 1. Selama lima dekade terakhir,
45 35
ekonomi Indonesia mengalami
% GDP dari Sektor Jasa dan Manufaktur

43.41 30 perubahan; yakni perpindahan

% GDP dari Sektor Pertanian


39.27
dependency dari sektor pertanian
40
25 dan pertambangan mejadi sektor
19.8 manufatkur dan jasa.
24.10
20 2. Sektor manufaktur di Indonesia
35
13.43 meningkat dengan pesat pada
15 periode 1970s dan 1990s.
12.8 10
3. Sektor jasa menjadi salah satu kunci
30
sektor yang berkontribusi terbesar
1983
1985
1987
1989
1991
1993
1995
1997
1999
2001
2003
2005
2007
2009
2011
2013
2015
2017
Services (% of GDP)
terhadap pertumbuhan ekonomi di
Agriculture, forestry, and fishing, (% of GDP)
Manufacturing (% of GDP)
Indonesia.

Sumber: World Development Indicators dan Badan Pusat Statistik (BPS), diolah
Sektor Prioritas di Indonesia (Negara dan Ramayandi,
2020)
• Pada pemerintahahan Presiden Jokowi, sektor manufaktur dijadikan sebagai
prioritas yang lebih karena dianggap output dari manufaktur lebih kompetitif
dibandingkan output yang dikeluarkan oleh sektor pertanian dan jasa.
• Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah, diperlukannya investasi yang
tinggi terhadap sektor manufaktur. Selain itu, pemerintah juga diharapkan
dapat mengatasi permasalahan dalam tenaga kerja yang berpindah ke sektor
dengan produktivitas rendah—sektor informal.
Tantangan Utama dalam Transformasi Struktural di
Indonesia
• Permasalahan utama yang dialami oleh negara berkembang dalam
mengimplementasikan transformasi struktural adalah meningkatnya
ketidaksamarataan.
• Salah satu penyebab meningkatnya ketidaksamarataan di Indonesia adalah
berpindahnya tenaga kerja dari sektor pertanian menjadi sektor industri
maupun sektor jasa, juga berpindahnya tenaga kerja dari desa ke kota, dan
dari sektor informal menjadi formal (Dartanto, dkk., 2017).
• Oleh karena itu, berkembangnya transformasi struktural di Indonesia harus
diikuti dengan regulasi yang meningkatkan atensi terhadap edukasi di daerah
dengan tingkat edukasi rendah.
Transformasi Struktural, Tingkat Kemiskinan, dan Gini Index
di Indonesia, 1985 -2014

Sumber: World Banks. World Development Indicators dan Badan Pusat Statisik Indonesia
LANDASAN TEORI DAN IMPLIKASI
5 TRANSFORMASI STRUKTURAL PADA
INFLASI DAN KEBIJAKAN MONETER
Model Pertumbuhan Ekonomi 2 Sektor
• Herrendorf dkk., (2013) mengembangkan model pertumbuhan ekonomi dua sektor—
sektor konsumsi dan sektor investasi.
• Barang konsumsi (dan barang investasi) merupakan agregasi dari tiga jenis barang
konsumsi: (1) pertanian, (2) manufaktur, dan (3) jasa.
𝜖
1 𝜖−1 1 𝜖−1 1 𝜖−1 𝜖−1
𝜖
𝐶𝑡 = 𝜔𝑎 𝑐𝑎𝑡 − 𝑐𝑎ҧ 𝜖 𝜖
+ 𝜔𝑚 𝑐𝑚𝑡 − 𝑐𝑚
ҧ 𝜖 𝜖
+ 𝜔𝑠 𝑐𝑠𝑡 − 𝑐𝑠ҧ 𝜖 .

Maka, indeks harga konsumen


1
𝑃𝑡 ≡ 𝜔𝑎 𝑝𝑎𝑡 1−𝜖 + 𝜔𝑚 𝑝𝑚𝑡 1−𝜖 + 𝜔𝑠 𝑝𝑠𝑡 1−𝜖 1−𝜖 ,

dimana 𝑐ҧ adalah subsistence term, 𝜔 adalah bobot setiap jenis barang pada barang
konsumsi agregat, dan 𝜖 adalah elastisitas substitusi antar jenis barang.
Model Pertumbuhan Ekonomi 2 Sektor
• Harga relatif dua barang:
𝑝𝑎𝑡 𝜖 𝑐𝑎𝑡 −𝑐𝑎ҧ 𝜔𝑎 𝑝𝑠𝑡 𝜖 𝑐𝑠𝑡 −𝑐𝑠ҧ 𝜔
𝑝𝑚𝑡 𝑐𝑚𝑡
= ,
𝜔𝑚 𝑝𝑚𝑡 𝑐𝑚𝑡
= 𝜔𝑠.
𝑚

• Rasio barang konsumsi agregat terhadap barang manufaktur


𝑃𝑡 𝐶𝑡 𝜔𝑎 𝐴𝑚𝑡 (1−𝜃)(1−𝜖) 𝜔𝑠 𝐴𝑚𝑡 (1−𝜃)(1−𝜖)
= +1+ ,
𝑝𝑚𝑡 𝑐𝑚𝑡 𝜔𝑚 𝐴𝑎𝑡 𝜔𝑚 𝐴𝑠𝑡

dimana, 𝐴 adalah teknologi di masing-masing sektor pertanian, manufaktur, dan jasa


dan 𝜃 adalah besarnya proporsi teknologi dalam fungsi produksi—yang dianggap sama
untuk semua jenis barang.
Penyebab Terjadinya Transformasi Struktural
• Kongsamut dkk., (2001) dan Ngai dan Pisarides (2007) menyebutkan ada
beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya transformasi struktural, yaitu:
1. Pendapatan: transformasi struktural terjadi saat pendapatan masyarakat
berubah, tetapi harga relatif barang jasa dan manufaktur tetap—yang
mengakibatkan proporsi nilai tambah (value added) akan berubah.
2. Harga relatif: transformasi struktural diakibatkan oleh perubahan harga
relatif, yang membutuhkan suatu kondisi dimana terdapat perbedaan
tingkat kemajuan teknologi untuk ketiga jenis barang.
Model New Keynesian 2 Sektor
• Galesi dan Rachedi (2018) menggunakan model New-Keynesian dua sektor
(manufaktur dan jasa) untuk menunjukkan bahwa transformasi struktural dan
pendalaman sektor jasa, memegang peranan penting dalam transmisi
kebijakan moneter.
• Mekanisme transmisi yang ditemukan oleh Galesi dan Rachedi: (1) jalur
komposisi, dan (2) jalur biaya marjinal.
Realokasi Sektoral di Amerika Serikat, 1947-2010
Pendalaman Sektor Jasa di Amerika Serikat, 1947-2010
Komponen Barang dan Harga Agregat dalam Perekonomian

• Barang setengah jadi dalam perekonomian diproduksi menggunakan input jasa dan
manufaktur:
𝜇
1 𝜇−1 1 𝜇−1 𝜇−1
𝑆
𝐼𝑖,𝑡 𝑆
= 𝜔𝑆 𝑆𝑖,𝑡 𝜇
+ 𝑠𝑆ҧ 𝜇 + 1 − 𝜔𝑆 𝜇 𝑆
𝑀𝑖,𝑡 𝜇 ,
𝜇
1 𝜇−1 1 𝜇−1 𝜇−1
𝑀
𝐼𝑖,𝑡 𝑀 𝜇
= 𝜔𝑀 𝑆𝑖,𝑡 + 𝑠𝑀
ҧ 𝜇 + 1 − 𝜔𝑀 𝜇 𝑀
𝑀𝑖,𝑡 𝜇 .

• Maka, harga agregat di sektor jasa dan manufaktur juga mencerminkan adanya
kontribusi kedua barang tersebut:
1
𝑆
𝑃𝑡𝐼 = 𝜔𝑆 𝑃𝑡𝑆 1−𝜇 + (1 − 𝜔𝑆 ) 𝑃𝑡𝑀 1−𝜇 1−𝜇 ,
1
𝑀
𝑃𝑡𝐼 = 𝜔𝑀 𝑃𝑡𝑆 1−𝜇 + (1 − 𝜔𝑀 ) 𝑃𝑡𝑀 1−𝜇 1−𝜇 .
Model New Keynesian 2 Sektor
• Secara umum, harga-harga di sektor
jasa lebih kaku daripada harga-harga di
sektor manufaktur.
• Transformasi struktural mengurangi
sensitivitas inflasi terhadap kebijakan
moneter melalui beberapa jalur
transmisi:
1. Jalur komposisi—yang membuat aktivitas
perekonomian untuk condong ke sektor
jasa.
2. Jalur biaya marjinal—yang mempengaruhi
perilaku perusahaan di kedua sektor.
Mengapa Harga-harga di Sektor Jasa Lebih Kaku?
1. Proporsi tenaga kerja dalam output jasa hampir dua kali lebih besar dari
pangsa tenaga kerja di bidang manufaktur. Karena upah sangat kaku,
menyebabkan penyesuaian harga di sektor jasa lebih jarang dilakukan;
2. Sebagian besar layanan tidak dapat diperdagangkan. Sementara di sektor
manufaktur, sebagian besar barang secara mudah dapat diperdagangkan.
Maka, tingkat persaingan harga di sektor jasa menjadi lebih rendah. Mark-up
yang lebih tinggi memungkinkan perusahaan jasa untuk menyesuaikan harga
mereka lebih jarang;
3. Terjadi pergantian produk-produk barang manufaktur yang sering terjadi, yang
kemudian akan menambah frekuensi penyesuaian harga.
Model New Keynesian 2 Sektor
• Dalam kondisi steady-state, proporsi input jasa dan manufaktur sama dengan

𝑃𝑆 𝑆 𝑆 𝜔𝑍 1−𝜇 𝑠ҧ 1−𝜔 𝑃𝑆 𝑆 𝑀 𝜔𝑍 1−𝜇 𝑠ҧ 1−𝜔


𝑆 = − 𝐴𝑆𝑆 𝜔+ , 𝑀 = 𝑀 𝜔 + 𝑍 1−𝜇 ,
− 𝐴𝑀
𝑃𝐼 𝐼𝑆 𝜔𝑍 1−𝜇 +(1−𝜔) 𝑍 1−𝜇 𝑃 𝐼 𝐼𝑀 𝜔𝑍 1−𝜇 +(1−𝜔)

dimana 𝑍 = 𝐴𝑀 /𝐴𝑆 adalah rasio produktivitas di sektor manufaktur terhadap jasa, 𝜔


adalah bobot sektor manufaktur dan jasa dalam barang agregat, dan 𝜇 adalah elastisitas
substitusi antara input jasa dan manufaktur dalam barang final.
• Persamaan diatas menunjukkan bahwa proporsi input jasa pada barang final
(manufaktur dan jasa) tergantung pada dua komponen:
1. Bobot input jasa pada produksi barang final, dan
2. Komponen non-homothetic 𝑠𝑆ҧ dan 𝑠𝑀 ҧ
Model New Keynesian 2 Sektor
• Saat 𝑠𝑆ҧ = 𝑠𝑀ҧ = 0, bobot input jasa pada sektor manufaktur dan jasa adalah sama, dan
tergantung pada 𝑍, 𝜔, 𝜇.
• Jika elastisitas substitusi pada barang setengah jadi cukup rendah (𝜇 < 1), maka
kenaikan produktivitas pada sektor manufaktur meningkatkan proporsi input jasa pada
produksi barang tersebut

𝑃𝑆 𝑆𝑆 𝑃𝑆 𝑆𝑀 𝜔𝑍1−𝜇
𝜕 𝑆 𝜕 𝑀 𝜕
𝑃𝐼 𝐼𝑆 𝑃𝐼 𝐼𝑀 𝜔𝑍1−𝜇 +(1−𝜔)
= = > 0.
𝜕𝑍 𝜕𝑍 𝜕𝑍
Model New Keynesian 2 Sektor
• Di sisi lain, saat 𝑍 = 1 dan 𝐴𝑀 = 𝐴𝑆 = 𝐴, bobot input jasa pada sektor manufaktur dan
jasa,
𝑃𝑆 𝑆 𝑀 ҧ
𝑠𝑀 𝑃𝑆 𝑆 𝑆 ҧ
𝑠𝑆
𝐼 𝑀 𝑀 = 𝜔 − , 𝐼 𝑆 𝑆 = 𝜔 − .
𝑃 𝐼 𝐴 𝑃 𝐼 𝐴

Maka, bobot input jasa pada kedua sektor bergantung pada 𝑠𝑀 ҧ dan 𝑠𝐴ҧ yaitu besarnya
input jasa yang diproduksi sendiri oleh perusahaan manufaktur dan jasa.
• Jika produktivitas di sektor jasa dan manufaktur meningkat, maka kontribusi negatif 𝑠𝑀
ҧ
dan 𝑠𝐴ҧ pada bobot input jasa pada kedua sektor akan berkurang seiring dengan
berjalannya waktu.
• Dengan kata lain, kenaikan produksi akan mengakibatkan peralihan ke input jasa jika
tidak ada perubahan produktivitas relatif di kedua sektor.
Implikasi pada Inflasi dan Kebijakan Moneter
Transformasi struktural mengurangi sensitivitas inflasi pada kebijakan
moneter melalui 2 jalur:
1. Jalur komposisi: Sektor jasa, yang harganya lebih kaku, menjadi lebih penting relatif
terhadap sektor manufaktur. Maka, secara agregat, inflasi menjadi lebih kaku dan
tidak reaktif terhadap kebijakan moneter.
2. Jalur biaya marjinal: Saat input produksi yang berupa jasa semakin mendominasi
produksi di sektor manufaktur dan sektor jasa itu sendiri, maka biaya marjinal akan
menjadi semakin kaku. Pada akhirnya, harga barang di kedua sektor tersebut akan
menjadi semakin kaku pula.
Respon Inflasi terhadap Kebijakan Moneter
Respon Inflasi terhadap Kebijakan Moneter
Transformasi struktural mengurangi reaksi inflasi agregat terutama melalui efek komposisi.
Sedangkan pendalaman sektor jasa mempengaruhi tingkat inflasi sektoral melalui jalur
biaya marjinal
• Proses transformasi struktural juga mengurangi
respons kontemporer dari tingkat inflasi
sektoral—reaksi inflasi jasa menyusut sebesar 7%
dan reaksi inflasi manufaktur menurun sebesar
10%.
• Penurunan reaksi harga sektor dicerminkan oleh
penurunan reaksi biaya marginal sektoral, yang
menurun sekitar 7% di sektor jasa dan 11% di
sektor manufaktur.
• Tanpa pendalaman sektor jasa, respons inflasi
sektoral nyaris tidak berubah.
Respon Output terhadap Kebijakan Moneter
• Guncangan kebijakan moneter memiliki efek riil yang sedikit lebih besar.
– Reaksi dari output agregat naik sebesar 10%, sedangkan reaksi dari output layanan
dan manufaktur meningkat masing-masing sebesar 3% dan 8%.
• Mengapa guncangan kebijakan moneter meningkat?
– Realokasi sektoral meningkatkan aktivitas perekonomian pada sektor jasa. Maka,
harga-harga jasa akan menaikkan kekakuan harga agregat dalam perekonomian.
– Jika harga-harga secara umum lebih kaku, reaksi inflasi terhadap kejutan-kejutan
dalam perekonomian akan berkurang.
– Perubahan pada suku bunga nominal menjadi lebih tidak netral—perubahan suku
bunga nominal akan mengakibatkan perubahan output yang lebih besar
dibandingkan saat harga-harga secara umum lebih fleksibel.
Implikasi pada Peran Bank Sentral
• Banyak bank sentral di dunia yang memiliki tujuan tunggal—yaitu kestabilan
harga.
• Pada negara-negara dengan tingkat inflasi tinggi, maka diperlukan respons
yang agresif pada fluktuasi inflasi.
• Akan tetapi, respons agresif ini akan mengakibatkan ketidakstabilan pada
output.
• Dengan kata lain, transformasi struktural menimbulkan trade-off yang lebih
besar antara stabilitas harga dan output.
Bah, El-hadj. (2009). “Structural Transformation in Developed and Developing
Countries.” Proceedings of the German Development Economics Conference,
Frankfurt a.M, Germany.
Bah, E. M. (2011). Structural Transformation Paths Across Countries. Emerging
Markets Finance and Trade, 47(Sup2), 5-19. doi:10.2753/ree1540-
496x4703s201
Bathla, D’Souza, and Joshi. (2019). Structural transformation in Southeast Asian
DAFTAR countries and key drivers. doi:10.2499/p15738coll2.133346
Dabla-Norris, E., Thomas, A. H., Garcia-Verdu, R., & Chen, Y. (2013).
PUSTAKA Benchmarking Structural Transformation Across the World. IMF Working
Papers, 13(176), 1. doi:10.5089/9781484359662.001
Dartanto, T., Yuan, E., & Sofiyandi, Y. (2017). Two Decades of Structural
Transformation and Dynamics of Income Inequality in Indonesia. Asian
Development Bank Institute Working Paper Series, 783.
Felipe, J., A. Mehta, and C. Rhee. 2014. Manufacturing matters, but it’s the jobs
that count, ADB Economics Working Paper Series No. 420. Manila: Asian
Development Bank
Ghani, E., and S. D. O’Connell. 2014. Can services be a growth escalator in low-
income Countries?, Policy Research Working Paper; No. WPS 6971
(Washington, DC, World Bank).
Herrendorf, B., Rogerson, R., and Valentinyi, A. (2013). “Growth and Structural
Transformation.” NBER Working Paper series, No. 18996. Cambridge, MA,
US: National Bureau of Economic Research (NBER).
International Labor Organization. 2019. Structural transformation for inclusive
growth and productive employment. Retrieved from
https://www.ilo.org/emppolicy/projects/sida/18-19/WCMS_735162/lang--
en/index.htm
DAFTAR Kim, K., Sumner, A., & Yusuf, A. A. (2019). Is Structural Transformation-led
Economic Growth Immiserizing or Inclusive? The Case of Indonesia.
PUSTAKA Immiserizing Growth, 226-249. doi:10.1093/oso/9780198832317.003.0010
Kuznets, S. 1971. Economic Growth of Nations. Cambridge: Harvard University
Press.
Negara, S. D., & Ramayandi, A. (2020). Laying the Foundations for Future Growth
Acceleration? Bulletin of Indonesian Economic Studies, 56(1), 1-21.
doi:10.1080/00074918.2020.1743014
Portillo, R., Zanna, L., O’Connell, S., & Peck, R. (2014). On the Implications of
Structural Transformation for Inflation and Monetary Policy (Work in
Progress). International Monetary Fund.

Anda mungkin juga menyukai