CLASSICAL CONDITIONING
Acuan:
Schunk, D. H.(2012) Teori-Teori Pembelajaran: Perspektif Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Teman-teman mulai minggu ini kita akan membahas satu per satu masing-masing
pendekatan atau teori utama pembentukan perilaku. Sebagaimana telah disampaikan di kuliah
ke-3, kita akan memulai dengan membahas perspektif atau teori behavioristik atas
pembentukan perilaku. Secara kronologis, teori ini merupakan teori yang lebih ‘tua’ dibanding
ketiga teori yang lain, maka kita memulai pembahasannya dari teori tersebut.
Handout ini ditujukan untuk memberi pemahaman umum tentang asumsi dasar dan
konsep utama teori behavioristik. Pembahasan yang lebih detail atas konsep-konsep tersebut
akan kita lakukan dalam perkuliahan sycnchronous berikutnya. Bagi teman-teman mahasiswa
psikologi, kemungkinan besar anda sudah berkenalan dengan konsep-konsep utama teori
behavioristik sejak mengambil matakuliah Pengantar Psikologi. Maka, informasi yang
disampaikan dalam handout ini, lebih ditujukan untuk me-review ulang dan mengelaborasi
pemahaman teman-teman atas konsep tersebut.
Teori atau pendekatan behavioristik sendiri lebih menyerupai sebuah ‘rumah besar’
yang di dalamnya terdapat kamar-kamar yang lebih khusus yang membahas teori-teori yang
lebih spesifik. Setidaknya ada dua teori behavioristik yang paling dikenal dan banyak dibahas di
psikologi yaitu teori classical conditioning (dengan salah satu tokoh yang paling terkenal adalah
Ivan Pavlov) dan teori operant conditioning (dengan salah satu tokoh yang paling terkenal
adalah B.F. Skinner). Meskipun ada sejumlah perbedaan konsep atau penekanan antara teori
classical conditioning dan operant conditioning, namun ada benang merah diantara keduanya.
Benang merah tersebut mencerminkan persamaan antara kedua teori ini sebagai teori yang
sama-sama berakar pada atau dipengaruhi oleh paradigma behavioristik. Maka, sebelum lebih
detail membahas masing-masing teori tersebut, di bagian awal handout ini, kita akan sekilas
membahas karakteristik umum paradigma behavioristik.
Sebagaimana tercermin dalam namanya ‘behavioristik’ (dari kata dasar behavior yang
artinya perilaku), paradigma behavioristik merupakan aliran pemikiran dalam disiplin psikologi
yang memfokuskan perhatiannya pada perilaku yang tampak (perilaku yang bisa diamati secara
langsung) sebagai obyek utama ilmu psikologi. Cara pandang seperti ini, tentu saja sangat
berkebalikan dengan aliran pemikiran di psikologi yang lebih menekankan peran pikiran atau
alam bawah sadar (hal-hal yang tidak diobservasi secara langsung), sebagai fokus utama ilmu
psikologi. Kekhasan cara pandang behavioristik bisa dilihat dari ilustrasi berikut
Randy seorang anak kecil berusia 5 tahun yang memiliki kebiasaan menghisap ibu
jarinya. Kebiasaan tersebut tidak hanya dilakukan ketika di rumah, tetapi juga ketika
Randy berada di sekolah. Meskipun sudah dinasehati berkali-kali supaya tidak
melakukan hal tersebut, Randy tetap saja tidak berubah. Ibu Randy mengamati bahwa
Randy akan melakukan kebiasaan tersebut tertutama ketika ia merasakan emosi yang
intens, entah itu emosi positif (sedang merasa sangat senang, sangat bersemangat)
ataupun emosi negatif (sedang merasa sangat sedih, marah atau cemas).
Apabila para pemikir atau ahli behavioristik dihadapkan pada kasus tersebut, maka
fokus utama mereka adalah pada perilaku yang tampak dan bisa diobservasi secara langsung,
yaitu perilaku menghisap ibu jari. Para pemikir atau ahli behavioristik akan cenderung
menomorduakan peran emosi Randy. Apabila para pemikir atau ahli behavioristik hendak
merubah perilaku Randy, mereka akan berfokus menggunakan cara-cara yang langsung bisa
ditargetkan atau diarahkan pada perilaku yang ingin dirubah tersebut, misalnya mengoleskan
sesuatu yang rasanya pahit di ibu jari Randy atau memberikan ‘hukuman’ tertentu setiap kali
Randy melakukan kebiasaan tersebut dan sebaliknya memberikan ‘hadiah’ tertentu apabila
Randy berhasil menghentikan kebiasaannya. Para pemikir atau ahli behavioristik menyakini
bahwa apabila perilakunya dirubah, emosi yang mendasari akan ikut berubah dengan
sendirinya tanpa perlu dilakukan sesuatu secara khusus untuk menyasar emosi tersebut.
Pandangan semacam ini tentu sangat berkebalikan dengan aliran pemikiran di psikologi
yang lebih memfokuskan perhatiannya pada faktor-faktor yang tak tampak (seperti misalnya,
cara berpikir, alam bawah sadar), dalam proses pembentukan perilaku. Ketika dihadapkan pada
kasus di atas misalnya, para pemikir atau ahli psikoanalisa akan cenderung menekankan
perhatiannya pada peran emosi Randy.
Penekanan behavioristik pada peran perilaku yang tampak sangat dipengaruhi oleh
sejarah kemunculannya dan peran latarbelakang tokoh-tokoh utamanya. Dilatarbelakangi oleh
profesi mereka sebagai dokter, kemunculan teori behavioristik banyak didasari oleh
eksperimen-eksperimen yang menggunakan hewan percobaan, seperti misalnya anjing (pada
eksperimen Pavlov) atau merpati (pada eksperimen Skinner). Melalui eksperimen-ekperimen ini
para tokoh tersebut sampai pada kesimpulan bahwa perilaku bisa terbentuk tanpa melibatkan
peran signifikan proses internal organisme (proses berpikir, merasa, melogika). Eksperimen-
eksperimen tersebut menghantarkan para tokoh behavioristik pada kesimpulan bahwa
perlakuan lingkunganlah yang memegang peran penting terjadinya pembentukan perilaku.
Peran dari organisme (manusia/individu) adalah sebatas merespon atau menanggapi perlakuan
lingkungan. Dengan kata lain, perilaku terbentuk karena organisme merespon stimulus
(perlakuan atau pancingan) dari lingkungan.
Peran minimal individu dan peran dominan lingkungan, inilah dua hal yang menjadi ciri
utama pendekatan behavioristik dan tercermin dalam teori-teori yang berkembang di dalamnya
seperti classical conditioning dan operant conditioning.
Pada pembelajaran minggu ke-empat ini, bahasan akan difokuskan pada teori classical
conditioning.
Kita akan menggunakan alur ini untuk mulai membahas teori classical conditioning.
Setiap kali mendengar orangtua anda memanggil nama anda dengan nada suara yang
tinggi, anda secara spontan merasakan munculnya kecemasan (‘wah, kenapa nih kok aku
dipanggil dengan nada suara melengking begitu, jangan-jangan ada hal yang salah yang aku
lakukan yang membuat orangtuaku jengkel). Respon emosi yang muncul secara otomatis ini,
bukanlah sesuatu yang kita peroleh sejak lahir. Respon tersebut (atau dengan kata lain perilaku
tersebut) muncul karena ada proses pembiasaan (pengkondisian/conditioning) berulang,
dimana setiap kali anda dipanggil dengan nada suara yang tinggi, hal berikutnya yang mengikuti
adalah anda dimarahi oleh orangtua anda. Dengan kata lain, nada suara orangtua anda yang
tinggi merupakan stimulus pertama, yang (selalu) akan diikuti dengan munculnya stimulus
kedua yaitu orangtua anda memarahi anda, yang mengakibatkan munculnya respon ketakutan
pada anda. Karena hal semacam ini terjadi berulang-ulang (dikondisikan/dibiasakan secara
berulang-ulang), maka sudah menjadi semacam kebiasaan otomatis, bahwa setiap kali anda
mendapat stimulus berupa ‘orangtua memanggil nama dengan nada suara melengking’
otomatis muncul respon emosional kecemasan dalam diri anda, karena nada suara melengking
menjadi semacam ‘warning’ atau penanda, akan segera datangnya kemarahan orangtua.
Bayangkan kalau anda belum pernah sama sekali mengalami orangtua anda memanggil
nama anda dengan suara melengking lalu diikuti dengan munculnya kemarahan orangtua anda.
Bisa jadi, kalau situasinya seperti itu, ketika anda mendengar orangtua anda memanggil nama
anda dengan suara melengking, anda akan bereaksi biasa saja atau mungkin bingung karena
tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Dengan kata lain, nada suara orangtua anda yang
melengking itu belum atau tidak memiliki makna khusus, masih bersifat netral. Tetapi karena
kemudian ada kejadian berulang (pemasangan berulang alias pengkondisian berulang) antara
nada suara tinggi dan munculnya kemarahan orangtua, stimulus yang semula netral tersebut
berubah menjadi stimulus yang mempunyai makna khusus, yaitu penanda akan segera
datangnya kemarahan orangtua.
Dengan demikian ‘dipanggil nama dengan nada suara tinggi’ yang semula merupakan
stimulus netral, menjadi mempunyai ‘kekuatan’ untuk memunculkan respon otomatis tertentu
dalam diri anda (langsung otomatis memunculkan rasa cemas), karena nada suara tinggi
tersebut secara berulangkali dipasangkan dengan sesuatu yang secara alamiah (kita tidak harus
diajari dulu) bisa memunculkan respon atau perilaku tertentu yaitu menerima kemarahan orang
lain. Sehingga bisa disimpulkan bahwa perilaku anda terbentuk melalui pola berikut:
Pertama kali orang tua memanggil dengan nada suara tinggi (stimulus netral) → tidak ada
respon spesifik dari anda, karena anda sama sekali belum pernah menerima stimulus tersebut
sehingga tidak tahu harus merespon bagaimana
Ternyata setelah dipanggil dengan nada suara tinggi, hal tersebut lalu segera diikuti
dengan orangtua anda memarahi anda (membentak, mengancam, memaki) → pengalaman
tidak menyenangkan dibentak, diancam, dimaki, otomatis memunculkan respon alamiah
berupa emosi negatif (takut, jengkel, benci).
Ketika pola ini terjadi berulang-ulang (setiap kali dipanggil dengan nada tinggi, selalu
segera diikuti dengan munculnya kemarahan orangtua), maka baru mendengar dipanggil
dengan nada suara tinggi saja (meski kemarahan orangtua belum terjadi), anda sudah otomatis
merasa cemas.
Ilustrasi ini menggambarkan prinsip umum pembentukan perilaku menurut teori classical
conditioning. Teori ini berpandangan bahwa pembentukan perilaku terjadi melalui pemasangan
berulang antara stimulus yang semula bersifat netral dengan stimulus yang secara alamiah
punya kekuatan untuk memunculkan respon tertentu. Dengan kata lain, dalam perspektif
classical conditioning, kalau kita ingin membentuk respon (perilaku) tertentu, kita harus
mencari stimulus apa yang bisa secara alamiah memunculkan respon (perilaku) tersebut, dan
kemudian stimulus itu kita pasangkan secara berulang dengan stimulus lain yang semula
bersifat netral (tidak memiliki makna khusus atau tidak memiliki kekuatan khusus untuk
memunculkan perilaku). Berikut adalah salah satu contohnya
Pada awalnya, simbol angka nomer urut calon kepala daerah tersebut merupakan
stimulus yang netral bagi warga. Nomer urut tersebut tidak memiliki makna tertentu dan
tidak mempunyai kekuatan tertentu untuk memunculkan respon atau emosi khusus.
Apabila si calon kepala daerah tersebut ingin membuat simbol angka nomer urutnya itu
mampu menggerakkan orang untuk memberikan suaranya, maka secara berulang si calon
kepala daerah tersebut, harus memasangkan simbol angka nomer urut tersebut dengan
sesuatu yang bisa secara alamiah memunculkan emosi positif (misalnya, perasaan
senang). Apabila pemasangan ini berhasil, maka begitu melihat nomer urut si calon kepala
daerah tersebut, simbol yang semula bersifat netral ini bisa secara otomatis
memunculkan emosi positif (perasaan senang) dan kemudian menggerakkan orang untuk
mencoblos nomer urut tersebut.
Maka, si calon kepala daerah ini pun melakukan berbagai strategi yang bertujuan
memasangkan simbol angka nomer urutnya dengan hal-hal yang secara alamiah akan
memunculkan emosi positif (perasaan senang), misalnya memberikan paket sembako
dalam goody bag yang ada tulisan simbol angka nomer urut si calon tersebut, menggelar
pentas musik gratis dengan bintang tamu terkenal yang selama membawakan lagu-lagu si
penyanyi selalu menunjukkan simbol jari yang melambangkan nomer urut si calon
tersebut, atau si calon ini membagi-bagikan kaos gratis di mana di bagian dada atau
punggung kaos itu tercetak nomer urut si calon dalam warna dan ukuran yang mencolok.
Melalui pemasangan yang berulang-ulang semacam ini, simbol angka yang semula netral
menjadi memiliki kekuatan tertentu. Diharapkan pada hari pemungutan suara, begitu
membuka kertas suara, hanya dengan melihat nomer urut si calon tadi, pemilih sudah
otomatis merasa senang atau teringat akan hal-hal menyenangkan yang dia terima dari si
calon dan kemudian menjadi mau memberikan suaranya untuk si calon tersebut.
Keseluruhan proses inilah yang disebut sebagai proses conditioning atau pengkondisian atau
pembiasaan. Dengan demikian, kalau kita ingin membentuk perilaku seseorang, tugas utama
kita adalah menemukan komponen atau elemen pengkondisian ini. Dengan kata lain, kita harus
bisa mengidentifikasi stimulus apa yang bisa dipasangkan yang akan memunculkan perilaku
tertentu yang ingin kita bentuk tersebut.
Berikut adalah istilah-istilah khusus yang digunakan dalam teori CC untuk menamai komponen-
komponen pengkondisian di atas:
Contoh sederhana tentang hal ini, adalah bagaimana produksi air liur kita bisa otomatis
meningkat hanya dengan mendengar theme song penjaja es krim yang sedang lewat depan
rumah kita.
Dalam contoh sederhana tersebut, proses conditioning terjadi melalui mekanisme:
1. Es krim merupakan UCS yang bisa otomatis mendorong munculnya UCR berupa
peningkatan produksi air liur
2. Musik khas yang jadi theme song dari es krim merk X merupakan CS karena pada
awalnya theme song tersebut bersifat netral dan tidak mempunyai makna khusus atau
kekuatan untuk mendorong munculnya respon atau perilaku tertentu (bayangkan
momen awal ketika anda sama sekali belum pernah mengetahui keberadaan es krim
merk X tersebut)
Atas dasar apa teori classical conditioning membangun proposisi semacam ini tentang
pembentukan perilaku?
Teori ini dibangun atas dasar serangkaian proses eksperimen yang teman-teman bisa dengan
mudah mendapatkan informasi visual dan interaktif tentang eksperimen-eksperimen ini di
youtube, karenanya hal tersebut tidak akan dijelaskan secara khusus dalam handout ini, dan
akan kita singgung sekilas dalam perkuliahan synchronous berikutnya.
Diantara berbagai video tentang eksperimen classical conditioning, berikut adalah salah satu
yang menyajikan paparan yang informatif tentang eksperimen yang mendasari teori classical
conditioning.
https://www.youtube.com/watch?v=asmXyJaXBC8
Judul video: pavlovs dogs.
Kalau pemasangan CS dan UCS menjadi mekanisme utama pembentukan perilaku, maka
bagaimana classical conditioning menjelaskan proses mempertahankan perilaku dan proses
menghilangkan atau menghentikan perilaku?
2. Perilaku akan hilang, kalau proses conditioning yang mendasari terbentuknya perilaku
tersebut dihilangkan atau dihentikan (kemunculan CS tidak lagi diikuti dengan hadirnya
UCS)
Contoh:
Tiba-tiba suatu hari orangtua anda memanggil nama anda dengan nada tinggi, dan anda
mulai merasakan munculnya respon spontan kecemasan. Namun ternyata sesudah itu
tidak terjadi apa-apa, kemarahan orangtua anda sama sekali tidak muncul. Ternyata
orangtua anda iseng saja memanggil anda dengan nada suara tinggi untuk memberikan
‘prank mental’ pada anda. Hal ini terjadi berulang-ulang, sampai akhirnya terbentuk
dalam mindset anda bahwa dipanggil dengan nada suara tinggi belum tentu berarti
dimarahi. Akibatnya ketika anda dipanggil dengan nada suara tinggi, anda juga belum
tentu secara otomatis merasakan munculnya kecemasan.
Karena kunci pembentukan perilaku terletak pada pemasangan berulang antara CS dan UCS,
maka, keberhasilan atau kegagalan pembentukan perilaku, akan ditentukan oleh konsistensi
conditioning. Ketika koneksi yang mendasari conditioning terus diulang atau digunakan,
perilaku atau respon akan menguat. Sebaliknya, ketika koneksi yang mendasari conditioning
berhenti dilakukan, perilaku atau respon akan melemah