Anda di halaman 1dari 17

NAMA : AGRA PRIANU PATTIRAJA

NIM : 041080088
MATA KULIAH : PSIKOLOGI SOSIAL

1. Konsep Sikap
Sikap merupakan salah satu konsep psikologis yang paling akrab dengan kehidupan kita sehari-
hari. Khalayak umum biasanya menggunakan istilah sikap untuk menunjukkan banyak sisi dari
personalitas seseorang. Misalnya dalam pergaulan sosial, seorang teman yang menunjukkan
perilaku baik, sopan dan lembut biasanya disebut ‘bersikap baik’. Pemimpin yang memiliki
prinsip
dalam mengambil keputusan dan teguh dengan pendiriannya disebut ‘bersikap tegas’. Orang
yang
memiliki pandangan hidup positif, selalu berprasangka baik kepada orang lain dan selalu optimis
tentang masa depan sering diistilahkan memiliki ‘sikap hidup positif’. Di dalam konteks politik,
orang yang suka mengikuti aturan dan melestarikan tradisi sering disebut memiliki sikap
‘konservatif’, dan sebaliknya mereka yang menyukai hal-hal baru, inovasi dan perubahan
diistilahkan memiliki sikap ‘progresif’. Kita juga mungkin sering ditanya oleh orang lain tentang
sikap kita terkait dengan isu atau peristiwa tertentu, misalnya tentang pemenuhan hak-hak para
penyandang disabilitas, kebijakan impor, penerapan kurikulum baru, dan lain sebagainya.
Pertanyaannya adalah, apakah berbagai penggunaan istilah sikap tersebut merujuk pada konsep
psikologis yang sama? Apakah konsep sikap yang sering menjadi obyek kajian psikolog sosial
memiliki makna yang sama dengan penggunaan istilah sikap dalam kehidupan sehari-hari?
Kemudian apa yang membedakan sikap dengan konsep-konsep psikologis lainnya yang sama-
sama menggambarkan aspek personalitas seseorang, seperti kepribadian dan keyakinan?
Bab ini akan mengajak Anda untuk memahami seluk-beluk sikap sebagai sebuah konsep penting
di dalam literature psikologi sosial. Selain membahas pengertian sikap, ada beberapa pertanyaan
menarik lainnya yang selalu menjadi titik perdebatan dan kajian para ilmuwan dan praktisi
psikologi sosial. Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain, bagaimana proses munculnya sikap?
Seberapa jauh sikap dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosio-kultural, seperti latar budaya,
sejarah, dan keanggotaan kelompok? Apakah sikap dapat diubah? Apakah perubahan sikap juga
otomatis diikuti oleh perubahan perilaku? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini Anda akan
dibawa untuk menjelajahi perkembangan teori dan penelitian empiris tentang sikap yang sudah
dimulai sejak hampir satu abad yang lalu (misalnya H. M. Clark mempublikasikan artikel
berjudul Conscious Attitudes pada tahun 1911). Selain itu, bab ini juga akan memaparkan
berbagai teori kontemporer tentang sikap yang berkembang pesat berkat kecanggihan teknologi
dan metode penelitian. Terakhir, bab ini akan memaparkan bagaimana prinsip-prinsip perubahan
sikap dapat digunakan sebagai dasar intervensi untuk memecahkan persoalan di masyarakat.

Pengertian Sikap
Di dalam Bahasa Indonesia kata sikap memiliki empat arti yang berbeda-beda, diantaranya yang
secara psikologis paling relevan adalah “...perbuatan dan sebagainya yang berdasarkan pada
pendirian, keyakinan”. Pengertian ini memiliki beberapa sisi kesamaan dengan konsep sikap di
dalam literatur psikologi sosial. Ilmuwan mengajukan definisi sikap yang berbeda-beda
tergantung pendekatan yang mereka gunakan (misal behavioral, kognitif, emosional)
maupun kerangka teoritisnya (misal Kurt Lewin dengan Teori Medan, Fritz Heider dengan
Teori Atribusi, dll). Terkadang terdapat perbedaan dan pertentangan di antara berbagai
definisi tersebut. Namun demikian di dalam literatur psikologi sosial, setidaknya terdapat dua
pengertian sikap yang paling banyak digunakan sampai saat ini, yaitu definisi klasik yang
diajukan oleh Gordon W. Allport (1935) dan definisi yang lebih baru yang diajukan oleh Alice
H. Eagly dan Shelly Chaiken (1993).

1. Pengertian klasik
Sikap mulai dikaji secara sistematis sebagai sebuah konsep psikologis untuk menggantikan
konsep insting dari Sigmund Freud yang sulit untuk dibuktikan secara empiris (Fazio & Petty,
2008, hal. 2). Merangkum literatur yang sudah ada sebelumnya, dalam salah satu naskah
akademik yang diterbitkan pada tahun 1935, Gordon W. Allport mengajukan definisi
pertama tentang sikap sebagai “...... a mental and neural state of readiness, organized through
experience, exerting a directive or dynamic influence upon the individual’s response to all
objects and situations which with it is related.” (...kesiapan sistem saraf dan mental, yang
terorganisasi melalui pengalaman, yang menentukan dan mempengaruhi cara seseorang
merespon semua obyek atau situasi yang berkaitan dengannya). Meskipun definisi klasik ini
tidak lagi diterima secara luas, namun penjelasannya dapat menjadi pijakan awal untuk
memahami konsep sikap. Definisi sikap yang diajukan oleh Allport di atas setidaknya
mengandung empat pengertian pokok. Pertama, sikap sebagai kesiapan mental dan sistem saraf.
Konsep kesiapan ini berangkat dari penelitian-penelitian awal psikologi dengan menggunakan
ukuran waktu-reaksi (time-reaction), bahwa seseorang yang memiliki kesiapan mental dan neural
untuk menghadapi suatu obyek atau peristiwa tertentu akan mampu bereaksi secara lebih cepat
saat menghadapi obyek atau peristiwa tersebut, dan mengambil keputusan apakah akan
mendekati atau menjauhinya. Di dalam studi-studi tentang kewirausahaan misalnya,
seseorang yang memiliki sikap kewirausahaan (enterpreneurship) cenderung memiliki
kesiapan mental tertentu (inovasi, prestasi, harga diri, dan kontrol diri) yang membantunya
untuk lebih cepat memanfaatkan peluang usaha (Robinson, Stimpson, Huefner, & Hunt,
1991). Kedua, sikap sebagai bentuk organisasi mental. Pengertian ini berangkat dari konsepsi
bahwa sikap tersusun dari tiga komponen A-B-C, yaitu (1). Affective (perasaan), yaitu
emosi atau perasaan yang dimiliki seseorang terhadap suatu obyek, (2). Behavioral (perilaku),
tindakan yang muncul dari reaksi suka (atau tidak suka) terhadap sebuah obyek, dan (3).
Cognitive (kognitif), keyakinan seseorang tentang suatu obyek. Namun dalam
perkembangannya pengertian sikap sebagai bentuk organisasi mental mendapat banyak kritik
dari banyak peneliti sesudah Allport. Mereka berpendapat bahwa definisi sikap tersebut tidak
dapat menjelaskan mengapa seseorang bisa memiliki perbedaan reaksi emosional, kognitif dan
behavioral terhadap obyek yang sama. Sebagai contoh, penelitian Ali Mashuri, Esti Zaduqisti
dan Daphne Alroy-Thiberge (2017) tentang hubungan antar kelompok di Indonesia
menyimpulkan bahwa seseorang dari kelompok mayoritas yang memiliki pemahaman positif
tentang kelompok minoritas (aspek kognitif) belum tentu secara otomatis memiliki rasa empati
(aspek emosional) terhadap kelompok minoritas tersebut. Perspektif baru tentang sikap
berargumen bahwa sikap dapat muncul dari hasil evaluasi berdasarkan salah satu atau beberapa
komponen dari emosi, kognisi dan perilaku.
Ketiga, sikap sebagai pengarah perilaku. Pengertian ketiga ini cukup populer di kalangan
masyarakat umum, dan dalam beberapa hal cukup masuk akal. Logikanya, seseorang yang
memiliki pandangan positif mengenai salah satu kandidat presiden tentu akan memilihnya saat
berada di bilik suara. Faktanya adalah bahwa hubungan antara sikap dan perilaku tidak sekuat
itu. Ada banyak faktor individual (misal kepribadian, ekspektasi pribadi, keyakinan agama) dan
faktor situasional (misal pengaruh orang dekat, keanggotaan kelompok, budaya) yang dapat
mempengaruhi apakah sikap tertentu akan memunculkan perilaku yang selaras dengannya atau
tidak. Misalnya studi yang dilakukan oleh Saut Sagala, Norio Okada dan Douglas Paton (2009)
terhadap penduduk lereng Gunung Merapi di Yogyakarta menemukan bahwa sikap positif
terhadap kesiap siagaan bencana (disaster preparedness) di antara masyarakat lereng Gunung
Merapi di Yogyakarta tidak secara otomatis terwujud dalam tindakan-tindakan untuk
mengantisipasi bencana. Keempat, sikap sebagai pendorong perilaku. Pengertian ini merujuk
pada fungsi sikap sebagai motivator atau pembangkit perilaku, sebagaimana rasa lapar
mendorong seseorang untuk makan. Namun dalam kenyataannya tidak semua sikap kemudian
menghasilkan perilaku yang sesuai dengannya. Meskipun dengan memiliki sikap tertentu
terhadap suatu obyek membuat seseorang lebih peka terhadap keberadaan obyek tersebut
(prinsip kesiapan), namun hal ini tidak serta merta mendorong seseorang untuk bertindak. Para
psikolog kesehatan sangat familier dengan fenomena ini. Sebagian besar orang memiliki sikap
positif terhadap olahraga, apakah kemudian hal ini mendorong mereka untuk benar-benar
berolahraga?

Definisi sikap yang diajukan oleh Allport memiliki pengaruh besar dalam studi-studi
sikap sepanjang paruh pertama abad ke-20. Pada saat itu definisi tersebut dianggap jelas
(parsimonious), logis, dan dapat diuji secara empiris (rigorous). Namun sekarang ini definisi
tersebut tidak lagi populer. Perkembangan teknologi dan metodologi yang pesat pada tahun
1990-an memungkinkan peneliti untuk mengajukan dan menguji konsep sikap dengan
pendekatan-pendekatan baru. Salah satunya adalah teori tentang sikap implisit dan eksplisit.
Sikap eksplisit merupakan sikap yang muncul melalui proses kognitif dan dikendalikan secara
sadar. Sebaliknya sikap implisit muncul secara otomatis, tidak selalu disadari dan seringkali
tidak mudah untuk dikendalikan. Pengertian sikap klasik belum menjangkau sikap implisit
ini. Oleh karena itu, para psikolog sosial mengajukan definisi baru yang dianggap lebih
komprehensif.

2. Pengertian kontemporer tentang sikap


Di dalam buku The Psychology of Attitudes, Alice H. Eagly dan Shelly Chaiken (1993)
mendefinisikan sikap sebagai “..kecenderungan psikologis yang diekspresikan dengan
mengevaluasi sebuah obyek berdasarkan tingkatan suka atau tidak suka.” Definisi sikap ini
terlihat
lebih umum dan lebih sederhana dibandingkan definisi dari Allport. Namun di sisi definisi yang
diajukan oleh Eagly dan Chaiken tersebut mampu mencakup aspek-aspek sikap yang sangat luas,
baik dari teori-teori sikap awal maupun perkembangannya saat ini. Terdapat tiga gagasan pokok
yang termuat di dalam definisi tersebut.
Pertama, sikap sebagai sebuah tendensi. Di dalam KBBI, kata tendensi diartikan sebagai
kecenderungan atau kecondongan pada suatu hal. Seseorang yang memiliki tendensi toleransi
yang tinggi berarti bahwa ia memiliki kecenderungan untuk terbuka terhadap berbagai
macam perbedaan. Dalam hal ini, sikap dipahami sebagai sebuah keadaan psikologis yang dapat
bertahan baik dalam waktu singkat maupun jangka panjang. Sebagai sebuah kecenderungan,
sikap dapat dipelajari atau tidak dipelajari. Sikap yang dipelajari berarti bahwa untuk memiliki
sikap terhadap suatu obyek seseorang setidaknya harus memperoleh informasi mengenai obyek
tersebut. Namun dalam kenyataannya banyak diantara sikap-sikap kita yang muncul tanpa
melalui proses belajar. Penelitian baru-baru ini mengungkapkan bahwa pengasuhan oleh
orangtua dan struktur genetik yang diperoleh dari mereka ikut menentukan sikap politik
seseorang, apakah ia cenderung konservatif ataukah progresif (Fraley, Griffin, Belsky, &
Roisman, 2012; Hatemi et al., 2009).
Kedua, sikap bersifat evaluatif. Seseorang tidak akan mampu mengembangkan sikap terhadap
suatu obyek tanpa terlebih dahulu mengevaluasinya. Secara lebih teknis, evaluasi merupakan
proses mental yang menengahi hubungan antara stimulus (obyek) dengan reaksi seseorang
terhadap stimulus tersebut. Proses evaluasi tersebut tidak selalu dilakukan secara komprehensif,
bahkan seringkali justru terjadi secara singkat dan ‘seadanya’. Saat mengevaluasi suatu obyek,
pada dasarnya seseorang mereduksi informasi kompleks mengenai obyek tersebut ke dalam
kategori-kategori sederhana, seperti setuju/tidak setuju, menyenangkan/menyakitkan, menarik
untuk didekati/ perlu dihindari, dan seterusnya. Dasar yang digunakan untuk mengevaluasi bisa
bermacam-macam tergantung obyeknya, namun secara umum dapat dikategorikan ke dalam tiga
domain afektif, kognitif atau behavioral. Keyakinan merupakan dimensi kognitif yang paling
sering disebut sebagai salah satu akar dari sikap. Dalam hal ini keyakinan diartikan sebagai
asosiasi yang dibentuk oleh seseorang dengan mengkaitkan antara sebuah obyek sikap dengan
berbagai sifat atau atributnya. Misalnya pernyataan “tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan
juni..” dalam puisi Sapardi Djoko Damono (2003) menyiratkan sebuah keyakinan berupa kaitan
antara “hujan di bulan juni” sebagai sebuah obyek sikap dan “tabah” sebagai atribut atau
sifatnya. Sikap yang muncul dari keyakinan tersebut bisa jadi “saya suka hujan di bulan juni”
atau sebaliknya. Sementara contoh sikap yang bersumber dari aspek afektif atau emosional
misalnya ketidaksukaan kita (sikap negatif) terhadap ancaman (obyek sikap) sebab ia selalu
membangkitkan rasa takut (dasar emosi). Terakhir, contoh sikap yang bersumber dari domain
perilaku adalah sikap positif terhadap sesuatu yang pernah dilakukan pada masa lalu yang
mendatangkan sesuatu yang menyenangkan, seperti dukungan kita (sikap) terhadap partai
tertentu (obyek sikap) karena pada masa lalu kita pernah memilih partai tersebut dan
kemudian mereka benar-benar bekerja sesuai dengan harapan (dasar sikap).

Ketiga, sikap memerlukan obyek. Evaluasi selalu dilakukan terhadap suatu obyek. Di dalam
istilah psikologi sosial, obyek yang menjadi target evaluasi disebut sebagai obyek sikap. Semua
bentuk obyek yang dapat dikenali dapat menjadi target evaluasi, dari yang bersifat abstrak (misal
suasana, peristiwa, dll) sampai yang memiliki bentuk konkrit (desain rumah, warna, dll).
Meskipun semua obyek sikap dapat dipelajari, namun ada beberapa jenis obyek sikap yang
mendapat banyak perhatian dari ilmuwan sosial, misalnya kebijakan pemerintah, ideologi,
kelompok-kelompok minoritas, dan sebagainya. Beberapa jenis sikap kemudian memiliki istilah
dan pengertian yang spesifik berdasarkan kekhasan obyek sikapnya, misalnya prasangka
(prejudice) untuk menyebut sikap terhadap kelompok minoritas dan harga diri (self-esteem)
untuk menyebut sikap positif terhadap diri sendiri. Syarat akan adanya obyek ini menjadi
pembeda antara sikap dengan konsep-konsep personalitas lainnya, seperti kepribadian atau
sifat. Kepribadian merupakan karakteristik seseorang yang bersifat umum. Orang yang
memiliki skor tinggi pada dimensi sifat keterbukaan (openness) memiliki kecenderungan
untuk terbuka dengan hal-hal baru dalam berbagai situasi. Sementara orang yang memiliki sikap
toleran misalnya, mungkin hanya akan menunjukkan sikap toleransi dalam suatu situasi, namun
tidak pada situasi lainnya.

Struktur hubungan antar Sikap


Seseorang dapat memiliki sikap yang sangat banyak dan beranekaragam sebagai konsekuensi
dari perbedaan dasar evaluasi (afeksi, kognisi, behavioral) terhadap bermacam-macam obyek
sikap. Sebagai ilustrasi, seorang individu dapat memiliki beberapa sikap terhadap sebuah
kebijakan pemerintah, misalnya penghapusan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Secara
kognitif mungkin ia setuju karena yakin bahwa dana subsidi BBM lebih bermanfaat jika
disalurkan ke program pembangunan infrastruktur. Namun secara emosional ia khawatir
kebijakan tersebut dapat menyebabkan harga kebutuhan hidup semakin mahal. Oleh karena itu
menarik untuk memahami cara kerja sistem mental kita dalam mengorganisasi kompleksitas
sikap yang bermacam-macam. Di dalam literatur psikologi sosial, terdapat empat teori yang
menjelaskan struktur hubungan antar sikap (inter-attitudinal structure), diantaranya yang
paling berpengaruh adalah Teori Keseimbangan (Balance Theory), Teori Ideologi, Teori
Kepentingan atau Keterlibatan, dan yang sekarang ini populer, Model Sikap Ganda (A Model of
Dual Attitudes).

1. Teori Keseimbangan
Teori Keseimbangan pertama kali dikembangkan oleh salah seorang ilmuwan psikologi sosial
paling berpengaruh dari University of Kansas, USA, Fritz Heider pada tahun 1958. Teori
Keseimbangan awalnya diformulasikan guna menjelaskan struktur hubungan antar sikap beserta
perubahannya dalam konteks hubungan interpersonal. Dipengaruhi oleh semangat empirisme
dari ilmu-ilmu alam (natural sciences) tahun 1950-60an, Heider mengembangkan notasi-notasi
untuk menjelaskan struktur sikap dengan formulasi yang simpel dan logis. Agar dapat
memahami Teori Keseimbangan dari Heider, terdapat dua istilah penting untuk dipahami
terlebih dahulu, yaitu elemen dan relasi antar elemen. Elemen pertama adalah perceiver atau
reference person (orang yang menjadi fokus pembahasan) atau disimbolkan dengan P. Dua
elemen lainnya adalah orang lain yang disebut sebagai object atau disimbolkan dengan O, dan
entitas bukan orang (impersonal entity) atau benda yang disimbolkan dengan X
(merepresentasikan segala hal selain orang, baik yang berbentuk abstrak maupun konkrit).
Selain itu, terdapat dua jenis relasi yang menghubungkan elemen-elemen tersebut, yaitu relasi
sentimen (disimbolkan dengan L) dan relasi unit (disimbolkan dengan U). Relasi sentimen (L)
merujuk arti yang sama dengan pengertian sikap menurut Eagly dan Chaiken (1993)
sebelumnya, berupa evaluasi P terhadap O atau X (contoh, P menyukai O). Sementara relasi unit
(U) merujuk pada relasi-relasi yang muncul selain dari hasil evaluasi, seperti kepemilikan,
kedekatan, pengaruh, dan lain-lain (contoh, p memiliki x). Baik U dan L dapat memiliki nilai
positif (L+ atau U+) atau negatif (L- atau U-), contoh L- adalah jika P tidak merasa hormat
dengan O. Heider menggunakan simbol-simbol tersebut untuk menjelaskan struktur relasi yang
melibatkan dua elemen (misal hanya P dan O) atau tiga elemen (yaitu P, O, dan X) di dalam
kognisi P. Menurut Heider, relasi antar elemen tersebut dapat menciptakan dua keadaan
kognitif, yaitu keseimbangan dan ketidakseimbangan. Keseimbangan bersifat jangka
panjang sementara ketidakseimbangan bersifat sementara. Hal ini disebabkan karena
ketidakseimbangan kognitif akan menciptakan ketegangan atau disonansi dalam diri P
sehingga ia akan berusaha untuk mengembalikan kognisinya ke dalam keadaan seimbang.
Heider mendefinisikan keadaan seimbang di dalam dua postulat berikut:
a. Di dalam relasi yang melibatkan dua elemen (misal P dan O), keadaan seimbang terjadi
jika relasi di antara keduanya sama-sama positif atau saama-sama negatif, baik dalam bentuk
relasi L atau U.
b. Di dalam relasi yang melibatkan tiga elemen, keadaan seimbang terjadi jika ketiga bentuk
relasi bersifat positif atau dua diantaranya negatif dan satu positif. Di dalam postulat pertama,
kondisi seimbang terjadi jika P menyukai O, dan merasa bahwa O juga menyukai P. Atau bisa
juga sebaliknya, P tidak menyukai O, dan merasa bahwa O juga tidak menyukai P. Dua kondisi
tersebut menurut Heider tidak akan menyebabkan ketegangan atau disonansi kognitif di
dalam diri P. Relasi antara P dan O dapat dilihat pada Gambar 1, dimana garis putus-putus
menunjukkan relasi negatif (U- atau L-) sementara garis penuh menunjukkan relasi positif (U+
atau L+). Tanda panah menunjukkan arah relasi di dalam perspektif P. Sebagai contoh di dalam
hubungan interpersonal, jika Pedro menyukai Fatimah (L+) dan merasa bahwa Fatimah juga
menyukai dirinya (L+ dan L+) maka Pedro akan mengalami keseimbangan.

Konfigurasi relasi (d) misalnya dapat digambarkan sebagai berikut; Cut Sari sangat menyukai
sahabatnya, Rahma (L+). Namun ia tahu Rahma benar-benar tidak suka sinetron (L-) sementara
bagi Cut Sari sinetron adalah hiburan utama (L+). Dengan konfigurasi relasi semacam itu Cut
Sari cenderung akan mengalami disonansi (keadaan tidakseimbang). Dalam situasi tersebut
Teori Keseimbangan memprediksi bahwa Cut Sari akan berusaha untuk mengembalikan
keseimbangan kognitifnya dengan cara mengubah salah satu relasi tersebut, misalnya dengan
berusaha tidak menyukai sinetron atau dengan mulai mencari sisi-sisi buruk Rahma yang
membuatnya tidak lagi menyukai sosoknya. Sekarang, bagaimana dengan ilustrasi untuk
konfigurasi relasi (e), (f), dan (g)?
Teori Keseimbangan dari Heider mencapai puncak popularitasnya pada tahun 1960-an karena
teori ini dinilai sederhana namun dapat digunakan untuk menjelaskan banyak fenomena
sikap (parsimony), dan sekaligus dapat diuji secara empiris (rigour). Saat ini teori asli dari
Heider sudah tidak banyak digunakan oleh para ilmuwan psikologi sosial modern, namun
gagasan-gagasan pokok teori ini, terutama konsep tentang keseimbangan kognitif, terus
berpengaruh terhadap teori-teori sikap yang datang belakangan. Salah satu teori kontemporer
yang banyak mengaplikasikan Teori Keseimbangan adalah Teori Jejaring Asosiatif (Associative
Networks) yang diimpor oleh psikolog sosial dari disiplin ilmu psikologi kognitif (Anderson &
Bower, 2014) Teori Jejaring Asosiatif banyak digunakan untuk menganalisis struktur hubungan
antar sikap. Menurut teori ini, sikap seseorang terhadap suatu obyek direpresentasikan oleh label
positif atau negatif yang disematkan pada setiap obyek sikap (Judd & Krosnick, 1989). Misalnya
jika Anda menyukai bunga Mawar maka artinya Anda telah menyematkan label positif pada
bunga Mawar. Di dalam teori ini, label pada obyek sikap berfungsi seperti simpul di dalam
sebuah jejaring, dan secara otomatis memiliki implikasi relasi (implicational relation) terhadap
sikap lainnya. Relasi antar sikap dapat bersifat positif jika sikap terhadap suatu obyek
membangkitkan sikap positif terhadap obyek lainnya. Atau sebaliknya, relasi bersifat negatif bila
sikap tertentu dinilai bertolak belakang dengan sikap lainnya.
Sebagai ilustrasi, kebijakan pemerintah untuk memberikan Bantuan Tunai Langsung (BTL)
kepada keluarga miskin dapat menciptakan implikasi relasi yang berbeda; menciptakan relasi
positif dengan nilai keadilan sosial

Konsistensi sikap (atau keseimbangan dalam Teori Heider)


tercapai jika nilai label (+ atau -) masing-masing obyek sikap dikalikan label relasi antar sikap
bernilai positif. Dalam contoh tersebut, konsistensi sikap terjadi bila seseorang memiliki sikap
positif terhadap kebijakan BTL dan keadilan sosial, sementara relasi diantara keduanya juga
bersifat positif (nilai obyek x nilai relasi = positif). Sebaliknya sikap disebut tidak konsisten jika
seseorang memiliki sikap positif terhadap kebijakan BTL dan meritokrasi, sementara relasi
diantara keduanya bersifat negatif. Selain menjelaskan konsistensi antar sikap, Teori Jejaring
Asosiatif juga memberikan sumbangan penting tentang gagasan kekuatan (strength) dan
arah/nilai (valence) simpul sikap (nodes). Meminjam teori ingatan, menurut teori ini
kekuatan simpul dipengaruhi oleh seberapa sering mereka diaktivasi pada masa lalu. Oleh
karena itu semakin sering seseorang menerima stimulasi yang mengaktifkan beberapa sikap
secara bersamaan, maka relasi diantara sikap tersebut semakin konsisten dan menguat.
2. Teori Ideologi
Para ilmuwan politik dan psikolog politik terkadang memandang struktur hubungan antar sikap
dengan cara yang berbeda dengan psikolog sosial pada umumnya, khususnya terkait sikap-sikap
politik. Mereka percaya bahwa sikap yang bermacam-macam terorganisasi berdasarkan tema-
tema besar tertentu, yang diistilakan sebagai ideologi. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
istilah ideologi memiliki tiga makna, yaitu (1) kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas
pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup; (2) cara
berpikir seseorang atau suatu golongan; (3)paham, teori, dan tujuan yang merupakan satu
program sosial politik. Hampir mirip dengan pengertian tersebut, di dalam ilmu politik dan
psikologi politik ideologi seringkali ditafsirkan sebagai kumpulan atau konfigurasi sikap dan
keyakinan yang independen atau diorganisasikan berdasarkan gagasan-gagasan kemasyarakatan
(societal ideas) tertentu.
Sebagian sarjana politik berpendapat bahwa sikap-sikap sosial dan politik dapat dikategorikan ke
dalam dua ideologi besar, yaitu konservatisme dan liberalisme. Sementara sebagian sarjana
lainnya memiliki pendapat yang berbeda, bahwa sikap-sikap diorganisasikan ke dalam tema-
tema yang lebih spesifik, misalnya nasionalisme, sosialisme, sekularisme, rasisme dan lain
sebagainya. Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, hampir semua sarjana politik meyakini
bahwa sikap spesifik seseorang terhadap kebijakan, peristiwa atau obyek tertentu diturunkan dari
ideologi yang paling dominan di dalam dirinya. Namun persoalannya pengetahuan politik
masyarakat awam tentu tidak sekompleks yang dikuasai oleh aktor-aktor politik. Hanya sedikit
orang awam yang dapat mengidentifikasi ideologi politiknya secara jelas. Oleh karena itu
muncul pertanyaan apakah perbedaan pengetahuan politik mempengaruhi fungsi ideologi dalam
membentuk sikap politik seseorang?
Penelitian dari Lusk dan Judd (1988) memberikan jawaban yang menarik atas pertanyaan di atas.
Mereka melakukan survei terhadap mahasiswa dan masyarakat awam. Kelompok mahasiswa
mewakili ahli politik karena mereka dianggap menguasai lebih banyak hal tentang politik
dibanding masyarakat awam. Kemudian setiap partisipan diminta untuk mendeskripsikan
keyakinan-keyakinan mereka tentang kandidat-kandidat politik tertentu. Seperti yang bisa kita
tebak, kelompok ahli mampu menggambarkan keyakinan mereka secara lebih detail
dibandingkan kelompok non-ahli. Tetapi yang menarik, keyakinan-keyakinan yang disampaikan
oleh kelompok ahli banyak berkorelasi dan saling tumpang tindih dengan keyakinan-keyakinan
dari kelompok non-ahli. Sebagai ilustrasi, kelompok ahli mungkin mampu mendiskripsikan
20 hal tentang seorang kandidat sementara kelompok non-ahli hanya mampu menceritakan 10
hal. Namun setelah jawaban-jawaban tersebut dikategorisasi berdasarkan kesamaan isinya pada
akhirnya dari masing-masing kelompok tersebut muncul tema-tema yang hampir sama.
Penelitian ini menjadi petunjuk tentang cara kerja sistem kognitif dalam mengorganisasikan
sikap-sikap politik berdasarkan tema besar yang mendasarinya (ideologi).
Akan tetapi perlu dicatat bahwa sebagian besar konsep ideologi yang sekarang ada di literatur
politik lebih banyak dikembangkan di negara-negara dengan batas ideologis yang jelas, terutama
di Amerika Serikat dan Inggris (Bartle & Bellucci, 2014). Di kedua kedua negara ini, misalnya,
perbedaan ideologi politik lebih mudah diidentifikasi ke dalam garis kontinum liberalisme-
konservatisme dengan variasi di antara keduanya (misalnya Konservatif-moderat dan Liberal-
moderat), dimana masing-masing kutub ideologi terwakili dengan baik oleh dua partai utamanya
(Partai Republik dan Demokrat di AS serta Partai Konservatif dan Partai Buruh di Inggris).
Lebih dari itu, penelitian Graham, Haidt dan Nosek (2009) juga menunjukkan bahwa secara
psikologis ideologi konservatisme dan liberalisme memiliki akar moralitas yang berbeda di
Amerika Serikat. Situasi politik bisa sangat berbeda di masyarakat lain, terutama di negara-
negara demokrasi baru (misal Indonesia, Malaysia, dan Filipina) dimana batas ideologi
cenderung kabur (Hakim, Liu, & Gil de Zuniga, under review). Oleh karena itu, dikotomi
ideologi konservatisme-liberalisme mungkin tidak terlalu relevan untuk memahami sikap
politik orang-orang di negara tersebut.
Namun hal ini tidak berarti bahwa gagasan tentang ideologi sebagai sebuah organisasi sikap
politik tidak berlaku sama sekali. Sebagaimana yang dapat diamati di berbagai media massa dan
media sosial, isu-isu politik dan non-politik di Indonesia (misalnya kunjungan Raja Arab Saudi
pada awal 2017, Pilkada Jakarta 2017, impor beras dan daging sapi, dan lain-lain) kerap
membangkitkan polarisasi sikap politik di tengah-tengah masyarakat. Hal ini mungkin
mengindikasikan adanya polarisasi ideologi yang mendasari perbedaan sikap tersebut. Atau
sebaliknya, bisa jadi polarisasi sikap politik tersebut hanya didasari oleh isu-isu spesifik saja.
Dengan kata lain tidak ada kesamaan tema besar yang mendasari sikap seseorang terhadap suatu
isu dengan sikapnya terhadap isu yang lain. Tentu perlu penelitian-penelitian lebih lanjut untuk
membuktikan hal ini.

3. Teori Kepentingan atau Keterlibatan


Pendekatan ketiga untuk memahami struktur relasi antar sikap adalah teori kepentingan atau
keterlibatan sikap (the importance or involvingness of attitudes). Menurut pendekatan ini,
kepentingan atau keterlibatan suatu sikap diukur berdasarkan seberapa kuat ia menyatu dengan
struktur sikap yang sudah menancap kuat sebelumnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa sikap-sikap
akan dianggap penting dan memiliki keterlibatan tinggi bila ia berkaitan langsung dengan ego
atau konsep diri. Sebagai contoh, nasionalisme merupakan hal penting bagi seseorang karena ia
ikut mendefinisikan siapa dirinya. Sementara bagi orang lain, nasionalisme bukan hal yang
penting karena ia merasa asal negara atau tanah air bukan bagian dari konsep dirinya. Berbeda
dengan teori ideologi, menurut pendekatan kepentingan dan keterlibatan, sikap-sikap yang
tidak memiliki kesamaan tema dapat terhubung dan bertahan sejauh ia melibatkan konsep diri
seseorang. Sebagai contoh, sikap pro lingkungan dan sikap nasionalisme mungkin terlihat tidak
memiliki kesamaan tema. Namun kedua sikap ini dapat dipertahankan oleh seseorang bila
dianggap sebagai bagian penting dari nilai-nilai pribadinya. Konsep keterlibatan juga berbeda
dengan teori keseimbangan yang menjelaskan secara spesifik relasi antara satu sikap dengan
sikap lainnya.

Dalam perkembangannya, Thomas M. Ostrom dan Timothy C. Brock (1968) berpendapat bahwa
yang menjadi sentral di dalam struktur sikap seperti di atas adalah nilai-nilai pribadi dan sosial
(personal and social values). Bagi setiap orang, nilai-nilai tertentu menempati posisi yang sangat
penting di dalam struktur kognitifnya karena mereka mendefinisikan siapa dirinya. Lebih lanjut
Ostrom dan Brock berargumen bahwa tingkat keterlibatan suatu sikap semakin tinggi jika (i)
berkaitan dengan nilai-nilai yang paling penting atau sentral, (ii) berkaitan dengan banyak nilai,
dan (iii) sikap tersebut relevan dengan nilai-nilai tersebut. Sebagai contoh, untuk seorang pecinta
alam, prinsip-prinsip seperti kelestarian lingkungan, ekonomi hijau, dan keselarasan manusia
dengan alam merupakan nilai-nilai yang sentral. Oleh karena itu, sikap pro lingkungan
cenderung memiliki keterlibatan yang tinggi karena ia berkaitan langsung dengan ketiga nilai
tersebut.

4. Model Sikap Ganda (A Model of Dual Attitudes)


Salah satu kritik utama yang dilontarkan oleh para psikolog sosial saat ini terhadap teori-teori
sikap klasik adalah bahwa mereka lebih banyak menekankan perhatiannya kepada sikap-sikap
eksplisit (sikap yang disadari dan terkontrol). Sejak riset-riset psikologi kognitif
menunjukkan adanya sistem kerja berganda di dalam memori (sistem implisit dan eksplisit),
para psikologi sosial modern mulai tertarik untuk menguji kemungkinan adanya aspek-aspek
implisit dari sikap. Sejak tahun 1990-an sampai sekarang, riset-riset tentang sikap implisit
terlihat cukup menonjol dalam berbagai jurnal-jurnal dan buku-buku akademik psikologi sosial.
Berbeda dengan sikap eksplisit, para ilmuwan menggambarkan sikap implisit sebagai hasil dari
proses evaluasi terhadap sebuah obyek sikap yang dilakukan secara otomatis, cepat, dan di
bawah ambang kesadaran seseorang (Greenwald & Banaji, 1995).
Contoh yang mendeskripsikan karakteristik sikap implisit adalah sebagai berikut: Sejak kecil
Andi telah menginternalisasi prasangka negatif terhadap kelompok agama lain karena kebiasaan
di keluarga dan lingkungan sosialnya. Sekarang ini Andi sedang kuliah di kota yang berbeda
dengan tempat kelahirannya. Selama kuliah Andi mulai berhadapan lingkungan sosial yang lebih
beragam, dan mulai belajar untuk bersikap toleran. Saat berinteraksi dengan orang dari kelompok
agama lain di lingkungan kuliah, Andi menunjukkan sikap positif. Namun saat ia berada di
lingkungan keluarganya, prasangka lamanya kembali muncul. Mekanisme psikologis
semacam apa yang melatarbelakangi perubahan sikap Andi tersebut? Menurut penelitian-
penelitian sikap terbaru, sikap lama yang terinternalisasi sejak lama tidak dapat terhapus
semuanya melainkan mengendap menjadi sikap implisit (Betsch, Plessner, Schwieren, & Gütig,
2001; Wilson, Lindsey, & Schooler, 2000). Timothy D. Wilson, Samuel Lindsay, dan Tony Y.
Schooler (2000) mengembangkan Model Sikap Ganda yang menjelaskan mekanisme kognitif
yang mendasari hubungan antara sikap implisit dan eksplisit. Gagasan pokok Model Sikap
Ganda adalah bahwa seseorang dapat memiliki sikap ganda terhadap satu obyek sikap, misalnya
memiliki sikap eksplisit yang positif dan sekaligus sikap implisit yang negatif terhadap
seorang kandidat. Model Sikap Ganda berbeda dengan Teori Keseimbangan, Teori Ideologi,
dan Teori Keterlibatan yang mengasumsikan bahwa sikap seseorang terhadap suatu obyek
selalu tunggal demi untuk menghindari disonansi atau inkonsistensi. Wilson, Lindsay dan
Schooler mengembangkan Model Sikap Ganda berdasarkan teori bahwa sikap merupakan sebuah
skema kognitif yang tersimpan di dalam memori. Mereka menjelaskan bahwa ketika seorang
mengubah sikapnya dari Sikap 1 ke Sikap 2, maka mekanisme kognitif yang terjadi adalah
memori Sikap 2 menimpa memori Sikap 2 (lapisan memori baru menimpa lapisan memori
lama). Namun karena Sikap 2 merupakan memori baru dan belum dapat bekerja secara
otomatis, maka dibutuhkan kesadaran, perhatian, motivasi, dan usaha untuk
mengaktifkannya (sikap eksplisit). Hal ini mirip seperti ketika kita baru saja menghafalkan
sebuah peta, perlu usaha dan fokus setiap kita ingin mengingatnya kembali (recall). Berbeda
dengan Sikap 1 yang sudah tersimpan lama di dalam memori, ia dapat teraktivasi secara cepat,
otomatis, dan seringkali tak disadari dalam situasi-situasi yang dibutuhkan (sikap implisit).
Dalam situasi wajar, seseorang dapat secara sengaja (intensional) membangkitkan Sikap 2 guna
mengevaluasi sebuah obyek sikap. Akan tetapi jika ia berada di dalam situasi yang tidak
terantisipasi sebelumnya (mendadak) atau situasi yang membuatnya tidak dapat mengakses
Sikap 2 (misalnya di bawah tekanan kelompok), maka secara otomatis Sikap 1 yang akan
teraktivasi. Kembali ke contoh kasus Andi, dalam situasi ketika ia memiliki cukup waktu untuk
berfikir, Andi mungkin mampu menampilkan sikap toleran. Namun dalam situasi terdesak atau
ketika ia berada di tengah lingkungan sosial dengan norma yang cenderung tidak toleran
(misalnya saat berada di tengah konflik antar kelompok agama), maka Andi tidak memiliki
kesempatan untuk mengaktifkan sikap tolerannya itu, dan kembali menunjukkan sikap lamanya
(tidak toleran).

Pengaruh faktor kontekstual terhadap sikap

Teori sikap ganda di atas mengindikasikan pengaruh faktor-faktor kontekstual (faktor-faktor


eksternal yang melingkupi individu) dalam mengaktifkan sikap tertentu. Dalam studi-studi
tentang sikap antar kelompok, faktor kontekstual seperti kelompok sosial, budaya, dan sejarah
bahkan dianggap memiliki peran penting dalam membentuk sikap, dan menentukan hubungan
antar sikap. Salah satu teori yang mendalami peran faktor kontekstual tersebut adalah teori
representasi sosial sejarah (the social representations of history) yang dikembangkan oleh James
H. Liu dan Denis Hilton (2005; Hilton & Liu, 2017). Menurut teori ini, ingatan sekelompok
orang tentang sejarah kolektif mereka pada masa lalu akan menentukan sikap-sikap politik
mereka saat ini. Ingatan sejarah ini menjadi piagam bersama (charter) yang terus menerus
digunakan oleh para elite dan masyarakat untuk menjustifikasi sebuah tindakan politik, atau
melegitimasi kekuasaan. Studi dari Hakim, Liu, Woodward, dan Isler (2015) menunjukkan
kuatnya pengaruh representasi sosial sejarah terhadap sikap politik masyarakat di Indonesia,
khususnya di Yogyakarta dan Surakarta. Sebagai sebuah entitas politik, Yogyakarta dan
Surakarta memiliki banyak irisan sosio-kultural-historis. Mereka sama-sama berdiri di atas
bekas wilayah Kesultanan Mataram Islam, yang akhirnya dipecah menjadi dua kesultanan
tersebut. Secara kultural, mereka sama-sama mengusung nilai-nilai budaya Jawa, hanya
sedikit berbeda dalam tataran praktiknya. Namun orang-orang di kedua daerah tersebut
memiliki sikap yang sangat berbeda dalam hal apakah kesultanan yang bersifat monarkis masih
perlu dipertahankan di era Indonesia modern sekarang ini atau tidak. Orang-orang di Yogyakarta
cenderung menerima dan mendukung kesultanan, sementara sebaliknya, orang-orang di
Surakarta cenderung bersikap negatif terhadap kesultanan. Penelusuran lebih lanjut menunjukkan
bahwa perbedaan sikap ini dilatarbelakangi oleh ingatan kolektif sejarah tentang kesultanan yang
sangat berbeda; masyarakat Yogyakarta masih mengingat peran dan jasa Kesultanan Yogyakarta
dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, dan sebaliknya, masyarakat Surakarta menganggap
Kasunanan Surakarta tidak memiliki peran signifikan dalam usaha kemerdekaan itu. Ingatan
kolektif sejarah sebuah kelompok juga menentukan hubungan antar berbagai sikap politik
mereka. Kembali ke studi Hakim, dkk (2015), secara teoritis sikap monarkis kedaerahan
seharusnya berkorelasi negatif dengan identitas nasional. Namun dalam penelitian tersebut, sikap
monarkis orang-orang di Yogyakarta justru berkorelasi positif dengan identitas nasional mereka
sebagai orang Indonesia. Hubungan positif ini ternyata tak lepas dari ingatan kolektif tentang
dukungan Kesultanan Yogyakarta terhadap pendirian Republik Indonesia pada masa perjuangan
kemerdekaan. Oleh karena itu, dalam memori kolektif orang-orang Yogyakarta, ada
kesinambungan historis (historical continuity) antara sikap monarkis kedaerahan mereka sebagai
kawula Sultan dan identitas nasional mereka sebagai orang Indonesia.
Selain ingatan sejarah, banyak faktor-faktor kontekstual lainnya yang turut menentukan sikap
individu atau sekelompok orang, antara lain keanggotaan individu di dalam kelompok sosial
(teori identitas sosial, Tajfel & Turner, 1979), nilai-nilai budaya (teori nilai dasar manusia,
Schwartz, 1992), latar belakang sosio-ekologi (teori modernisasi dan perubahan nilai budaya,
Inglehart & Baker, 2000), dan lain sebagainya.
Hubungan antara sikap dan perilaku

Salah satu topik yang paling banyak mendapat sorotan para psikolog sosial di dalam studi sikap
adalah tentang hubungan antara sikap dan perilaku. Secara umum, orang sering berfikir bahwa
setiap perubahan sikap secara otomatis akan diikuti oleh perubahan perilaku. Individu yang
menunjukkan perubahan sikap dari yang awalnya bersikap negatif terhadap X menjadi bersikap
positif, dianggap secara otomatis akan menunjukkan perubahan perilaku yang sejalan (awalnya
menolak X berubah menjadi menerimanya). Pandangan semacam ini seringkali dijadikan sebagai
pijakan untuk menyusun program-program perubahan perilaku. Sebagai contoh, pemerintah telah
berulangkali mencoba meningkatkan perilaku menabung masyarakat dengan cara membangun
sikap positif mereka terhadap kegiatan menabung dan lembaga perbankan melalui berbagai iklan
layanan masyarakat. Apakah pandangan ini tepat?
Sejak awal perkembangan teori tentang sikap, sebagian ilmuwan, terutama sosiolog,
menyampaikan kritik tentang lemahnya hubungan antara sikap dan perilaku. Salah satu
penelitian klasik yang mendukung kritik ini adalah studi yang dilakukan oleh R. T. LaPiere
(1934) tentang diskriminasi rasial. LaPier menyebarkan angket kepada 250 orang pemilik
restauran dan hotel di Amerika untuk menanyakan apakah mereka bersedia menerima tamu
pasangan dari kelompok ras Cina. Dari data yang diperoleh, ia menemukan bahwa 92 persen
pemilik restauran dan hotel menyatakan tidak mau menerima pasangan Cina. Namun, dalam
kenyataannya hanya 1 dari 250 responden tersebut yang benar-benar tidak mau menerima
tamu pasangan Cina. Studi ini menunjukkan bahwa perilaku tidak dapat diprediksi hanya
berdasarkan sikap saja. Norma-norma sosial yang diyakini oleh individu turut menentukan
apakah sebuah sikap akan diekspresikan menjadi perilaku atau tidak. Seperti dalam penelitian
LaPiere di atas, sikap negatif pemilik restoran dan hotel terhadap tamu pasangan Cina pada
akhirnya terdesak oleh nilai moral yang ia yakini untuk bersikap sopan terhadap para tamunya.
Selain faktor-faktor kontekstual seperti norma sosial, Martin Fishbein dan Icek Ajzen (1975)
berpendapat bahwa kemampuan sikap untuk memprediksi perilaku juga tergantung pada
kompatibilitas antara sikap dan perilaku, atau yang disebut sebagai hukum kompatibilitas (the
law of compatibility). Kompatibilitas yang dimaksud di sini adalah bahwa sikap spesifik hanya
dapat memprediksi perilaku spesifik, dan sebaliknya, sikap umum juga hanya mampu
memprediksi perilaku umum. Sikap negatif pemilik restaurant terhadap tamu Cina (sikap
umum), misalnya, cenderung tidak dapat memprediksi perilaku mereka saat bertemu langsung
dengan sepasang tamu Cina tertentu, pada hari tertentu (perilaku spesifik). Namun, sikap umum
tersebut cenderung dapat memprediksi perlakuan pemilik restauran secara umum terhadap para
tamu Cina di berbagai waktu dan situasi.
Prinsip kedua dari hukum kompatibilitas adalah bahwa perilaku dapat diprediksi secara lebih
akurat jika didasarkan pada sikap terhadap perilaku itu sendiri, bukan sikap terhadap target
perilaku. Contoh dari sikap terhadap perilaku adalah keyakinan si pemilik hotel bahwa menolak
tamu merupakan perbuatan buruk. Sementara contoh sikap terhadap target perilaku adalah
pandangan si pemilik hotel terhadap sosok sang tamu, apakah ia menyukai atau tidak
menyukainya. Dengan mempertimbangkan faktor norma subyektif dan prinsip-prinsip
kompatibilitas tersebut, Martin Fishbein dan Icek Ajzen (1975) mengembangkan teori perilaku
beralasan (the theory of reasoned action), yang 10 tahun kemudian disempurnakan oleh Icek
Ajzen (1985) menjadi teori perilaku terencana (the theory of planned behavior). Meskipun
berbeda dalam beberapa hal, kedua teori ini memiliki tujuan sama, yaitu memprediksi perilaku
yang disadari (voluntary behavior) berdasarkan sikap terhadap perilaku dan variabel-variabel
penting lainnya.

1. Teori perilaku beralasan (TPB)

Fishbein dan Ajzen (1975) mengajukan teori bahwa setiap perilaku yang disadari (volitional
behavior) dipengaruhi oleh intensi atau niat, yang didefinisikan sebagai keputusan untuk
melakukan tindakan dengan cara tertentu. Sementara muncul atau tidaknya intensi dipengaruhi
oleh dua faktor utama, yaitu (i) sikap terhadap perilaku dan (ii) norma subyektif. Dalam hal ini
norma subyektif diartikan sebagai keyakinan pelaku tentang pandangan orang-orang penting
disekitarnya (significant others) terhadap tindakan yang akan ia lakukan. Di sisi lain, menurut
teori ini sikap terhadap perilaku juga dipengaruhi oleh dua faktor lain, yaitu (i) keyakinan
bahwa perilaku tersebut mengarah pada hasil atau luaran tertentu dan (ii) evaluasi tentang
seberapa bernilai luaran tersebut. Selanjutnya, norma subyektif juga dipengaruhi oleh dua hal,
yaitu (i) keyakinan tentang pandangan orang-orang yang dianggap penting terhadap tindakan itu
dan (ii) motivasi si pelaku untuk mengikuti pandangan orang-orang tersebut.

Teori tindakan beralasan cukup populer di era 1970-an sebelum kemudian ditinggalkan karena
ketidakmampuannya menjawab berbagai kritik. Meskipun teori ini cukup masuk akal, namun
para peneliti ragu akan kegunaannya untuk menjelaskan banyak perilaku sadar, misalnya
tindakan kriminal. Bila merujuk pada teori ini, seseorang melakukan tindakan kriminal karena ia
memang memiliki niat sebelumnya. Niat itu muncul karena orang tersebut menganggap bahwa
tindakan itu menguntungkan dirinya dan dipandang positif oleh orang-orang di sekitarnya.
Penjelasan ini cenderung tidak sesuai dengan keyakinan sebagian besar ilmuwan sosial bahwa
tindakan kriminal lebih banyak didorong oleh faktor lingkungan (misal, kemiskinan, rendahnya
pendidikan, sistem yang tidak berfungsi) dan identitas atau kepribadian individu yang
menyimpang. Selain itu, salah satu kelemahan utama teori tindakan beralasan adalah karena ia
tidak mempertimbangkan faktor kontrol. Sebagai contoh, seorang mahasiswa mungkin
memiliki niat kuat untuk masuk kuliah statistik jam pertama pada hari senin. Namun, beberapa
jam sebelum berangkat ia mengalami kram di perut yang membuatnya harus membatalkan
niatnya itu. Dalam kasus ini, intensi tidak serta merta terwujud menjadi sebuah tindakan.

2. Teori Perilaku Terencana (TPT)


Menanggapi kritik di atas, Icek Ajzen (1985) memodifikasi teori perilaku beralasan dengan
memasukkan faktor kontrol. Model baru ini ia sebut sebagai teori perilaku terencana. Menurut
teori ini, seberapa jauh sebuah niat akan termanifestasi menjadi sebuah tindakan akan tergantung
pada kontrol individu terhadap perilaku tersebut. Meskipun seorang mahasiswa memiliki niat
tinggi untuk mengikuti kuliah statistika, gangguan kram perut akan membuat tingkat kontrol
terhadap perilaku berangkat kuliah menjadi rendah, sehingga ia tidak dapat melaksanakan
tindakan tersebut. Persoalannya, terlalu sulit bagi peneliti untuk memasukkan variabel kontrol
obyektif terhadap berbagai faktor situasional ke dalam model perilaku terencana (misalnya,
kondisi fisik, jumlah uang, lama waktu, dll). Oleh karena itu, Ajzen memilih untuk
menggunakan variabel kontrol perilaku subyektif sebagai representasi ukuran faktor kontrol
obyektif (proxy measure). Kontrol perilaku subyektif diartikan sebagai persepsi si pelaku tentang
seberapa besar kontrol yang ia miliki untuk melaksanakan sebuah tindakan.

Menurut teori perilaku terencana, faktor kontrol perilaku dapat mempengaruhi perilaku secara
langsung atau secara tidak langsung melalui intensi (lihat Gambar 7). Saat seseorang merasa
bahwa sebuah tindakan hampir mustahil untuk dilaksanakan (kontrol subyektif), maka hal ini
secara otomatis menurunkan niatnya melaksanakan tindakan itu. Di sisi lain, faktor kontrol
obyektif secara langsung dapat memperngaruhi perilaku dengan cara menghalangi atau
memfasilitasi perilaku tersebut. Faktor kontrol obyektif biasanya berupa hal-hal yang dibutuhkan
untuk melaksanakan sebuah tindakan (misal, dana, kekuatan fisik dan peralatan). Namun
demikian, di dalam teori perilaku terencana faktor kontrol obyektif ini tidak pernah benar-benar
diukur secara langsung.

3. Teori konsistensi sikap dan perilaku

Meskipun hukum kompatibilitas diterima secara luas di kalangan psikolog sosial, namun tidak
semua teoritikus sepakat bahwa perilaku hanya dapat diprediksi oleh sikap terhadap perilaku.
Russel Fazio dan Mark Zanna (1978) berpendapat bahwa sikap terhadap target perilaku dapat
mempengaruhi perilaku jika ia terbentuk berdasarkan pengalaman langsung (ingat perbedaan
antara sikap terhadap perilaku dan sikap terhadap target perilaku). Menurut teori ini, seseorang
yang sebelumnya memiliki pengalaman menyenangkan menerima tamu pasangan Cina
cenderung akan membentuk sikap positif terhadap tamu Cina, dan dalam kesempatan
berikutnya akan menjelaskan bahwa pengalaman langsung membentuk tiga aspek kualitas sikap,
yaitu jelas, dapat dipercaya, dan pasti. Sikap yang memenuhi tiga kualitas ini dipercaya
memiliki korelasi yang kuat dengan perilaku.
Dalam studi lainnya Fazio dan Zanna (1981) menjelaskan bahwa sikap yang terbentuk
dari pengalaman langsung lebih mudah diakses dan diaktifkan saat berhadapan dengan obyek
sikap. Dengan kata lain, pengalaman langsung membuat asosiasi antara sikap dan obyek sikap
menjadi semakin kuat, yang selanjutnya mereka istilahkan sebagai kekuatan sikap (attitude
strength). Semakin tinggi kekuatan sebuah sikap, semakin kuat pengaruhnya terhadap perilaku.
Penelitian-penelitian berikutnya menjelaskan bahwa sikap yang dibentuk dari pengalaman
langsung dan diekspresikan secara berulang-ulang akan membuat sikap menjadi lebih stabil,
tidak mudah berubah oleh informasi-informasi baru, sehingga pengaruhnya terhadap perilaku
semakin kuat. Aplikasi teori sikap Sikap merupakan salah satu konsep yang paling berkembang
dan populer di bidang psikologi sosial, salah satunya berkat kegunaannya dalam berbagai kerja
terapan. Di area kajian politik, misalnya, sikap-sikap politik seperti konservatisme-liberalisme,
persepsi terhadap kandidat, dan sikap terhadap partai seringkali diukur dalam berbagai survei
guna memprediksi preferensi dan pilihan pemilih dalam pemilihan umum. Sementara di bidang
kesehatan, teori perilaku beralasan dan teori perilaku terencana telah banyak digunakan untuk
menjelaskan berbagai perilaku sehat, seperti diet, kepatuhan terhadap resep dokter, olahraga, dan
lain sebagainya. Selain itu, prinsip-prinsip di dalam teori-teori sikap juga banyak digunakan
sebagai dasar untuk menyusun program-program intervensi.
Penelitian tindakan (action research) yang dilakukan oleh Johana Endang Prawitasari Hadiyono
dan kolega-koleganya dari Universitas Gadjah Mada (1996) menunjukkan bagaimana prinsip-
prinsip perubahan sikap dapat digunakan sebagai dasar untuk menanggulangi masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia. Studi ini berangkat dari persoalan adanya penggunaan obat suntik yang
berlebihan di puskesmas-puskesmas di daerah Gunung Kidul, D. I. Yogyakarta pada waktu itu.
Lebih dari 60% pasien yang datang ke puskesmas mendapatkan suntikan, sehingga
meningkatkan resiko klinis serta menambah beban ekonomi (subsidi kesehatan dari pemerinta
dan ongkos yang dibayar oleh pasien semakin tinggi). Dari penelusuran lebih lanjut, mereka
menemukan bahwa tingginya penggunaan obat suntik itu dilatarbelakangi oleh sikap yang keliru
di antara dokter dan pasien. Dari sisi dokter, mereka mengaku memilih untuk memberikan
obat suntik atas dasar permintaan pasien yang percaya bahwa obat suntik lebih manjur
dibandingkan obat telan. Sementara dari sisi pasien, mereka mengaku menerima obat suntik
atas dasar saran dokter. Kedua pihak cenderung memiliki sikap positif terhadap penggunaan obat
suntik atas dasar keyakinan yang kurang tepat. Guna mengatasi persoalan di atas, Hadiyono, dkk
mengembangkan program diskusi kelompok interaksional (interactional group discussion,
IGD) yang melibatkan dokter dan pasien dan seorang fasilitator. Tujuan IGD ini adalah untuk
memberikan kesempatan bagi dokter dan pasien untuk bertemu dan saling berbagi informasi dan
pendapat dari sudut pandang masing-masing tentang penggunaan obat suntik, sehingga mereka
dapat membentuk sikap yang lebih tepat. Untuk menguji efektifitas IGD, peneliti merancang
penelitian tindakan dengan melibatkan sebanyak 24 puskesmas, yang dibagi menjadi kelompok
intervensi (12 puskesmas) dan kelompok kontrol (12 puskesmas). Sementara untuk mengukur
dampak program, peneliti mencatat jumlah penggunaan obat suntik selama tiga bulan sebelum
dan pasca pelaksanaan IGD di seluruh puskesmas yang masuk ke dalam kelompok intervensi dan
kelompok kontrol. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa IGD mampu menurunkan tingkat
penggunaan obat suntik pada kelompok intervensi dari 69.5% menjadi 42.3%, jauh lebih
signifikan dibandingkan penurunan pada kelompok kontrol, yaitu dari 75.6% menjadi 67.1%.
Studi ini menggambarkan bagaimana perilaku pasien dan dokter dapat diubah dengan cara
mengubah sikap dasarnya.
Kesimpulan
1. Sikap didefinisikan sebagai kecenderungan psikologis yang diekspresikan dengan
mengevaluasi sebuah obyek berdasarkan tingkatan suka atau tidak suka. Syarat akan adanya
obyek tersebut membedakan sikap dengan aspek-aspek personalitas lainnya, seperti
kepribadian.
2. Sikap dapat memiliki salah satu atau keseluruhan komponen kognitif, afektif, dan perilaku.
3. Seseorang dapat memiliki lebih dari satu sikap terhadap satu atau beberapa obyek.
Hubungan antar sikap ini dapat dijelaskan melalui teori keseimbangan, teori ideologi, teori
kepentingan dan keterlibatan, model sikap ganda, atau dengan melihat konteks sosio-kultural-
kesejarahan yang mengkaitkan antara beberapa sikap.
4. Hubungan antara sikap dan perilaku cenderung kompleks, dengan melibatkan variable-
variabel penting lainnya. Beberapa teori yang menjelaskan hubungan ini diantaranya adalah
teori perilaku beralasan, teori perilaku terencana, dan teori konsistensi sikap dan perilaku.
5. Prinsip-prinsip dalam teori sikap dapat digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan
program-program intervensi untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
1. A. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBENTUKAN SIKAP
MANUSIA

Pengaruh sosial sering membentuk sikap kita jauh sebelum kita pernah berjumpa dengan objek sikap
tersebut (Calhoun, J, F., & Acocella, J, R., 1990:317). Pengaruh sosial yang dimaksud menurut Azwar
(1995:30) adalah faktor-faktor yang akan membentuk sikap manusia, yaitu pengalaman pribadi,
kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan
agama, serta faktor emosi dalam diri individu.
1. PENGALAMAN PRIBADI
Penelitian yang dilakukan oleh Fabrigar, et al (dalam Ramdhani, 2009) menyatakan bahwa
jumlah informasi atau luasnya knowledge yang dimiliki individu sebelumnya mengenai objek
sikap menentukan kekuatan perubahan sikap yang dialami individu. Oskamp (dalam Ramdhani,
2009) mengungkapkan dua aspek yang secara khusus memberi sumbangan dalam membentuk
sikap; pertama adalah peristiwa yang memberikan kesan kuat pada individu (salient incident),
yaitu peristiwa traumatik yang merubah secara drastis kehidupan individu, misalnya kehilangan
anggota tubuh karena kecelakaan. Kedua yaitu munculnya objek secara berulang-ulang (repeated
exposure).

2. PENGARUH ORANG LAIN YANG DIANGGAP PENTING


Menurut Ali (2000:36), seseorang tumbuh dan berkembang sesuai dengan rangkaian interaksi
antar perorangan dalam kehidupannya di dalam keluarga, dengan teman sebaya, teman akrab
atau pernikahan, melalui contoh-contoh yang bersifat formal dan informal yang berlangsung
relatif cukup lama. Interaksi antar perorangan ataupun kelompok akan berpengaruh besar
terhadap komponen kognitif, afektif, dan konatif seseorang. Begitu juga dengan sikap. Pada
umumnya, individu cenderung untuk memilih sikap yang konformis atau searah dengan sikap
orang yang dianggapnya penting (Azwar, 1995:32).

Sikap dapat dipelajari melalui imitasi. Orang meniru orang lain, terutama jika orang lain itu
merupakan orang yang kuat dan penting (Sears, D, O,. Freedman, J, L., & Peplau, L, A.,
1985:143). Salah satu sumber penting yang jelas-jelas membentuk sikap kita adalah kita
mengadopsi sikap tersebut dari orang lain melalui proses pembelajaran sosial (social learning).
Pembelajaran sosial merupakan suatu proses dimana kita mengadopsi informasi baru, tingkah
laku atau sikap dari orang lain (Baron, R, A., & Byrne., 2004:123). Dengan kata lain, banyak
pandangan kita dibentuk saat kita berinteraksi dengan orang lain atau hanya dengan
mengobservasi tingkah laku mereka (Baron, R, A,. & Byrne., 2004:123).

Sikap dapat terbentuk bahkan ketika orang tua tidak bermaksud untuk mewariskan pandangan
tertentu pada anak mereka. Proses ini disebut pembelajaran melalui observasi (observational
learning) yang terjadi ketika individu mempelajari bentuk tingkah laku atau pemikiran baru
hanya dengan mengobservasi tingkah laku orang lain (Baron, R, A,. & Byrne., 2004:125).

Sikap anak cenderung cocok dengan sikap orang tua mereka (Calhoun, J, F., & Acocella, J, R,
1990:317). Senada dengan Calhoun, Ali (2000:39) mengatakan bahwa sikap dan perilaku anak
relatif lebih dominan diwarnai oleh sikap dan perilaku orangtuanya. Sikap orang tua akan
dijadikan role model bagi anak-anaknya (Ramdhani, 2009). Peran orang tua sebagai orang yang
paling dekat dengan anak-anaknya terutama yang berkenaan dengan sikap, perhatian, dorongan,
dan reaksi dalam mendidik dan membesarkan anaknya dapat membentuk dan mempengaruhi
sikap dan perilaku anak-anaknya (Ali, 2000:39). Dari orangtualah anak atau para remaja belajar
tentang nilai dan norma-norma yang dapat membentuk dan menentukan sikap dan perilaku
anaknya dalam kehidupan sehari-hari.
Anak-anak cenderung mewarisi sikap orang tua mereka, tetapi anak remaja dan menjelang
dewasa lebih dipengaruhi teman sebaya mereka (Calhoun, J, F., & Acocella, J, R, 1990:319).
Dalam masa remaja, kelompok teman sebaya cenderung mengganti keluarga sebagai kelompok
acuan individu?yaitu, kelompok yang normanya kita jadikan alat untuk menilai diri sendiri
(Calhoun, J, F., & Acocella, J, R, 1990:319). Bahkan Ramdhani (2009) mengungkapkan bahwa
ada kecenderungan bahwa seorang individu berusaha untuk sama dengan teman sekelompoknya.

Dapat disimpulkan bahwa orang tua dan teman sebaya berpengaruh besar dalam membentuk dan
merubah sikap seseorang.

3. PENGARUH KEBUDAYAAN
Pembentukan sikap tergantung pada kebudayaan tempat individu tersebut dibesarkan. Seperti
yang diungkapkan Azwar (1995:33) kebudayaan tempat kita hidup dan dibesarkan mempunyai
pengaruh besar terhadap pembentukan sikap. Contoh pada sikap orang kota dan orang desa
terhadap kebebasan dalam pergaulan. Contoh lain apabila kita hidup dalam budaya sosial yang
sangat mengutamakan kehidupan berkelompok, maka sangat mungkin mempunyai sikap negatif
terhadap kehidupan individualisme yang mengutamakan kepentingan pribadi.

4. MEDIA MASSA
Menurut Azwar (1995:34) berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar,
majalah, dan lain-lain mempunyai pengaruh dalam pembentukan opini dan kepercayaan
seseorang. Adanya informasi mengenai sesuatu hal yang dimuat oleh media memberikan
landasan bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Rahayuningsih (2008) mengatakan
bahwa pesan sugestif yang dibawa oleh media, apabila cukup kuat akan memberikan dasar
afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu. Televisi khususnya
dianggap memiliki pengaruh sangat besar terhadap sikap (Calhoun, J, F., & Acocella, J, R.,
1990:319). Berbagai riset menunjukkan bahwa foto model yang tampil di media masa
membangun sikap masyarakat bahwa tubuh langsing tinggi adalah yang terbaik bagi seorang
wanita (Ramdhani, 2009).

5. LEMBAGA PENDIDIKAN DAN LEMBAGA AGAMA


Institusi berfungsi meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu.
Pemahaman baik dan buruk, salah atau benar, yang menentukan sistem kepercayaan seseorang
hingga ikut berperan dalam menentukan sikap seseorang (Rahayuningsih, 2008). Menurut Azwar
(1995:35) apabila terdapat sesuatu hal yang bersifat kontroversial, pada umumnya orang akan
mencari informasi lain untuk memperkuat posisi sikapnya atau mungkin juga orang tersebut
tidak mengambil sikap memihak. Dalam keadaan seperti itu, ajaran moral yang diperoleh dari
lembaga pendidikan atau dari agama seringkali menjadi faktor yang menentukan sikap.

6. PENGARUH FAKTOR EMOSIONAL


Suatu sikap yang dilandasi oleh emosi yang fungsinya sebagai semacam penyaluran frustrasi
atau pengalihan bentuk mekanisime pertahanan ego, dapat bersifat sementara ataupun menetap
(persisten/tahan lama) (Rahayuningsih, 2008). Azwar (1995:37) mencontohkan bentuk sikap
yang didasari emosi adalah prasangka.

Berbeda dengan Azwar, Garrett (dalam Abror, 1993:110) mengungkapkan ada dua faktor utama
yang menentukan pembentukan dan perubahan sikap yaitu faktor psikologis dan faktor kultural.
Faktor psikologis seperti motivasi, emosi, kebutuhan, pemikiran, kekuasaan dan kepatuhan,
kesemuanya merupakan faktor yang memainkan peranan dalam menimbulkan atau mengubah
sikap seseorang; sedangkan faktor kultural atau kebudayaan seperti: status sosial, lingkungan
keluarga dan pendidikan juga merupakan faktor yang berarti yang menentukan sikap manusia.
Teori serupa diungkapkan oleh Chaiken (dalam Ramdhani, 2009), ia mengemukakan bahwa
sikap terbentuk dan berubah dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang memungkinkan masuknya
berbagai proses subjektif dalam rangka memelihara hubungan interpersonal.

Dengan demikian variabel psikologis dan kultural selalu saling mempengaruhi dalam rangka
menimbulkan, memelihara atau mengubah sikap.

B. Dalam studi media , komunikasi massa , psikologi media , teori komunikasi ,


dan sosiologi , pengaruh media dan efek media adalah topik yang berkaitan
dengan media massa dan pengaruh budaya media terhadap pemikiran, sikap, dan
perilaku individu atau khalayak. Baik itu tertulis, televisi, atau lisan, media massa
menjangkau khalayak yang besar. Peran dan pengaruh media massa dalam
membentuk budaya modern merupakan isu sentral kajian budaya. [1]
Pengaruh media massa berpengaruh pada banyak aspek kehidupan manusia, yang
dapat berupa voting dengan cara tertentu, pandangan dan keyakinan individu, atau
pengetahuan seseorang yang miring terhadap topik tertentu karena diberikan
informasi yang salah. Pengaruh keseluruhan dari media massa telah meningkat
secara drastis selama bertahun-tahun, dan akan terus berlanjut seiring dengan
peningkatan media itu sendiri. [2] Seiring berkembangnya media massa, kritik media
juga sering berkembang - dan semakin kuat - selama masa perubahan media dengan
bentuk jurnalisme baru, format media baru, pasar media baru, cara baru menangani
pasar media dan teknologi media baru. [3]Pengaruh media adalah kekuatan aktual
yang diberikan oleh pesan media, yang menghasilkan perubahan atau penguatan
pada penonton atau keyakinan individu. Efek media adalah efek terukur yang
dihasilkan dari pengaruh media atau pesan media. Apakah sebuah pesan media
berdampak pada salah satu penontonnya bergantung pada banyak faktor, termasuk
demografi penonton dan karakteristik psikologis. Efek ini bisa positif atau negatif,
tiba-tiba atau bertahap, jangka pendek atau tahan lama. Tidak semua efek
menghasilkan perubahan; beberapa pesan media memperkuat keyakinan yang ada.
Peneliti memeriksa audiens setelah pemaparan media untuk perubahan dalam
kognisi, sistem kepercayaan, dan sikap, serta efek emosional, fisiologis, dan
perilaku. [4]
Ada beberapa studi ilmiah yang membahas media dan efeknya. Bryant dan Zillmann
mendefinisikan efek media sebagai "dampak sosial, budaya, dan psikologis dari
komunikasi melalui media massa". [5] Perse menyatakan bahwa peneliti efek media
mempelajari "bagaimana mengontrol, meningkatkan, atau mengurangi dampak
media massa pada individu dan masyarakat". [6] Lang menyatakan bahwa peneliti
efek media mempelajari "jenis konten apa, dalam jenis media apa, mempengaruhi
orang yang mana, dalam situasi apa". [7] McLuhan menunjukkan dalam teori ekologi
media bahwa "Media adalah pesannya.

Anda mungkin juga menyukai