NIM : 041080088
MATA KULIAH : PSIKOLOGI SOSIAL
1. Konsep Sikap
Sikap merupakan salah satu konsep psikologis yang paling akrab dengan kehidupan kita sehari-
hari. Khalayak umum biasanya menggunakan istilah sikap untuk menunjukkan banyak sisi dari
personalitas seseorang. Misalnya dalam pergaulan sosial, seorang teman yang menunjukkan
perilaku baik, sopan dan lembut biasanya disebut ‘bersikap baik’. Pemimpin yang memiliki
prinsip
dalam mengambil keputusan dan teguh dengan pendiriannya disebut ‘bersikap tegas’. Orang
yang
memiliki pandangan hidup positif, selalu berprasangka baik kepada orang lain dan selalu optimis
tentang masa depan sering diistilahkan memiliki ‘sikap hidup positif’. Di dalam konteks politik,
orang yang suka mengikuti aturan dan melestarikan tradisi sering disebut memiliki sikap
‘konservatif’, dan sebaliknya mereka yang menyukai hal-hal baru, inovasi dan perubahan
diistilahkan memiliki sikap ‘progresif’. Kita juga mungkin sering ditanya oleh orang lain tentang
sikap kita terkait dengan isu atau peristiwa tertentu, misalnya tentang pemenuhan hak-hak para
penyandang disabilitas, kebijakan impor, penerapan kurikulum baru, dan lain sebagainya.
Pertanyaannya adalah, apakah berbagai penggunaan istilah sikap tersebut merujuk pada konsep
psikologis yang sama? Apakah konsep sikap yang sering menjadi obyek kajian psikolog sosial
memiliki makna yang sama dengan penggunaan istilah sikap dalam kehidupan sehari-hari?
Kemudian apa yang membedakan sikap dengan konsep-konsep psikologis lainnya yang sama-
sama menggambarkan aspek personalitas seseorang, seperti kepribadian dan keyakinan?
Bab ini akan mengajak Anda untuk memahami seluk-beluk sikap sebagai sebuah konsep penting
di dalam literature psikologi sosial. Selain membahas pengertian sikap, ada beberapa pertanyaan
menarik lainnya yang selalu menjadi titik perdebatan dan kajian para ilmuwan dan praktisi
psikologi sosial. Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain, bagaimana proses munculnya sikap?
Seberapa jauh sikap dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosio-kultural, seperti latar budaya,
sejarah, dan keanggotaan kelompok? Apakah sikap dapat diubah? Apakah perubahan sikap juga
otomatis diikuti oleh perubahan perilaku? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini Anda akan
dibawa untuk menjelajahi perkembangan teori dan penelitian empiris tentang sikap yang sudah
dimulai sejak hampir satu abad yang lalu (misalnya H. M. Clark mempublikasikan artikel
berjudul Conscious Attitudes pada tahun 1911). Selain itu, bab ini juga akan memaparkan
berbagai teori kontemporer tentang sikap yang berkembang pesat berkat kecanggihan teknologi
dan metode penelitian. Terakhir, bab ini akan memaparkan bagaimana prinsip-prinsip perubahan
sikap dapat digunakan sebagai dasar intervensi untuk memecahkan persoalan di masyarakat.
Pengertian Sikap
Di dalam Bahasa Indonesia kata sikap memiliki empat arti yang berbeda-beda, diantaranya yang
secara psikologis paling relevan adalah “...perbuatan dan sebagainya yang berdasarkan pada
pendirian, keyakinan”. Pengertian ini memiliki beberapa sisi kesamaan dengan konsep sikap di
dalam literatur psikologi sosial. Ilmuwan mengajukan definisi sikap yang berbeda-beda
tergantung pendekatan yang mereka gunakan (misal behavioral, kognitif, emosional)
maupun kerangka teoritisnya (misal Kurt Lewin dengan Teori Medan, Fritz Heider dengan
Teori Atribusi, dll). Terkadang terdapat perbedaan dan pertentangan di antara berbagai
definisi tersebut. Namun demikian di dalam literatur psikologi sosial, setidaknya terdapat dua
pengertian sikap yang paling banyak digunakan sampai saat ini, yaitu definisi klasik yang
diajukan oleh Gordon W. Allport (1935) dan definisi yang lebih baru yang diajukan oleh Alice
H. Eagly dan Shelly Chaiken (1993).
1. Pengertian klasik
Sikap mulai dikaji secara sistematis sebagai sebuah konsep psikologis untuk menggantikan
konsep insting dari Sigmund Freud yang sulit untuk dibuktikan secara empiris (Fazio & Petty,
2008, hal. 2). Merangkum literatur yang sudah ada sebelumnya, dalam salah satu naskah
akademik yang diterbitkan pada tahun 1935, Gordon W. Allport mengajukan definisi
pertama tentang sikap sebagai “...... a mental and neural state of readiness, organized through
experience, exerting a directive or dynamic influence upon the individual’s response to all
objects and situations which with it is related.” (...kesiapan sistem saraf dan mental, yang
terorganisasi melalui pengalaman, yang menentukan dan mempengaruhi cara seseorang
merespon semua obyek atau situasi yang berkaitan dengannya). Meskipun definisi klasik ini
tidak lagi diterima secara luas, namun penjelasannya dapat menjadi pijakan awal untuk
memahami konsep sikap. Definisi sikap yang diajukan oleh Allport di atas setidaknya
mengandung empat pengertian pokok. Pertama, sikap sebagai kesiapan mental dan sistem saraf.
Konsep kesiapan ini berangkat dari penelitian-penelitian awal psikologi dengan menggunakan
ukuran waktu-reaksi (time-reaction), bahwa seseorang yang memiliki kesiapan mental dan neural
untuk menghadapi suatu obyek atau peristiwa tertentu akan mampu bereaksi secara lebih cepat
saat menghadapi obyek atau peristiwa tersebut, dan mengambil keputusan apakah akan
mendekati atau menjauhinya. Di dalam studi-studi tentang kewirausahaan misalnya,
seseorang yang memiliki sikap kewirausahaan (enterpreneurship) cenderung memiliki
kesiapan mental tertentu (inovasi, prestasi, harga diri, dan kontrol diri) yang membantunya
untuk lebih cepat memanfaatkan peluang usaha (Robinson, Stimpson, Huefner, & Hunt,
1991). Kedua, sikap sebagai bentuk organisasi mental. Pengertian ini berangkat dari konsepsi
bahwa sikap tersusun dari tiga komponen A-B-C, yaitu (1). Affective (perasaan), yaitu
emosi atau perasaan yang dimiliki seseorang terhadap suatu obyek, (2). Behavioral (perilaku),
tindakan yang muncul dari reaksi suka (atau tidak suka) terhadap sebuah obyek, dan (3).
Cognitive (kognitif), keyakinan seseorang tentang suatu obyek. Namun dalam
perkembangannya pengertian sikap sebagai bentuk organisasi mental mendapat banyak kritik
dari banyak peneliti sesudah Allport. Mereka berpendapat bahwa definisi sikap tersebut tidak
dapat menjelaskan mengapa seseorang bisa memiliki perbedaan reaksi emosional, kognitif dan
behavioral terhadap obyek yang sama. Sebagai contoh, penelitian Ali Mashuri, Esti Zaduqisti
dan Daphne Alroy-Thiberge (2017) tentang hubungan antar kelompok di Indonesia
menyimpulkan bahwa seseorang dari kelompok mayoritas yang memiliki pemahaman positif
tentang kelompok minoritas (aspek kognitif) belum tentu secara otomatis memiliki rasa empati
(aspek emosional) terhadap kelompok minoritas tersebut. Perspektif baru tentang sikap
berargumen bahwa sikap dapat muncul dari hasil evaluasi berdasarkan salah satu atau beberapa
komponen dari emosi, kognisi dan perilaku.
Ketiga, sikap sebagai pengarah perilaku. Pengertian ketiga ini cukup populer di kalangan
masyarakat umum, dan dalam beberapa hal cukup masuk akal. Logikanya, seseorang yang
memiliki pandangan positif mengenai salah satu kandidat presiden tentu akan memilihnya saat
berada di bilik suara. Faktanya adalah bahwa hubungan antara sikap dan perilaku tidak sekuat
itu. Ada banyak faktor individual (misal kepribadian, ekspektasi pribadi, keyakinan agama) dan
faktor situasional (misal pengaruh orang dekat, keanggotaan kelompok, budaya) yang dapat
mempengaruhi apakah sikap tertentu akan memunculkan perilaku yang selaras dengannya atau
tidak. Misalnya studi yang dilakukan oleh Saut Sagala, Norio Okada dan Douglas Paton (2009)
terhadap penduduk lereng Gunung Merapi di Yogyakarta menemukan bahwa sikap positif
terhadap kesiap siagaan bencana (disaster preparedness) di antara masyarakat lereng Gunung
Merapi di Yogyakarta tidak secara otomatis terwujud dalam tindakan-tindakan untuk
mengantisipasi bencana. Keempat, sikap sebagai pendorong perilaku. Pengertian ini merujuk
pada fungsi sikap sebagai motivator atau pembangkit perilaku, sebagaimana rasa lapar
mendorong seseorang untuk makan. Namun dalam kenyataannya tidak semua sikap kemudian
menghasilkan perilaku yang sesuai dengannya. Meskipun dengan memiliki sikap tertentu
terhadap suatu obyek membuat seseorang lebih peka terhadap keberadaan obyek tersebut
(prinsip kesiapan), namun hal ini tidak serta merta mendorong seseorang untuk bertindak. Para
psikolog kesehatan sangat familier dengan fenomena ini. Sebagian besar orang memiliki sikap
positif terhadap olahraga, apakah kemudian hal ini mendorong mereka untuk benar-benar
berolahraga?
Definisi sikap yang diajukan oleh Allport memiliki pengaruh besar dalam studi-studi
sikap sepanjang paruh pertama abad ke-20. Pada saat itu definisi tersebut dianggap jelas
(parsimonious), logis, dan dapat diuji secara empiris (rigorous). Namun sekarang ini definisi
tersebut tidak lagi populer. Perkembangan teknologi dan metodologi yang pesat pada tahun
1990-an memungkinkan peneliti untuk mengajukan dan menguji konsep sikap dengan
pendekatan-pendekatan baru. Salah satunya adalah teori tentang sikap implisit dan eksplisit.
Sikap eksplisit merupakan sikap yang muncul melalui proses kognitif dan dikendalikan secara
sadar. Sebaliknya sikap implisit muncul secara otomatis, tidak selalu disadari dan seringkali
tidak mudah untuk dikendalikan. Pengertian sikap klasik belum menjangkau sikap implisit
ini. Oleh karena itu, para psikolog sosial mengajukan definisi baru yang dianggap lebih
komprehensif.
Ketiga, sikap memerlukan obyek. Evaluasi selalu dilakukan terhadap suatu obyek. Di dalam
istilah psikologi sosial, obyek yang menjadi target evaluasi disebut sebagai obyek sikap. Semua
bentuk obyek yang dapat dikenali dapat menjadi target evaluasi, dari yang bersifat abstrak (misal
suasana, peristiwa, dll) sampai yang memiliki bentuk konkrit (desain rumah, warna, dll).
Meskipun semua obyek sikap dapat dipelajari, namun ada beberapa jenis obyek sikap yang
mendapat banyak perhatian dari ilmuwan sosial, misalnya kebijakan pemerintah, ideologi,
kelompok-kelompok minoritas, dan sebagainya. Beberapa jenis sikap kemudian memiliki istilah
dan pengertian yang spesifik berdasarkan kekhasan obyek sikapnya, misalnya prasangka
(prejudice) untuk menyebut sikap terhadap kelompok minoritas dan harga diri (self-esteem)
untuk menyebut sikap positif terhadap diri sendiri. Syarat akan adanya obyek ini menjadi
pembeda antara sikap dengan konsep-konsep personalitas lainnya, seperti kepribadian atau
sifat. Kepribadian merupakan karakteristik seseorang yang bersifat umum. Orang yang
memiliki skor tinggi pada dimensi sifat keterbukaan (openness) memiliki kecenderungan
untuk terbuka dengan hal-hal baru dalam berbagai situasi. Sementara orang yang memiliki sikap
toleran misalnya, mungkin hanya akan menunjukkan sikap toleransi dalam suatu situasi, namun
tidak pada situasi lainnya.
1. Teori Keseimbangan
Teori Keseimbangan pertama kali dikembangkan oleh salah seorang ilmuwan psikologi sosial
paling berpengaruh dari University of Kansas, USA, Fritz Heider pada tahun 1958. Teori
Keseimbangan awalnya diformulasikan guna menjelaskan struktur hubungan antar sikap beserta
perubahannya dalam konteks hubungan interpersonal. Dipengaruhi oleh semangat empirisme
dari ilmu-ilmu alam (natural sciences) tahun 1950-60an, Heider mengembangkan notasi-notasi
untuk menjelaskan struktur sikap dengan formulasi yang simpel dan logis. Agar dapat
memahami Teori Keseimbangan dari Heider, terdapat dua istilah penting untuk dipahami
terlebih dahulu, yaitu elemen dan relasi antar elemen. Elemen pertama adalah perceiver atau
reference person (orang yang menjadi fokus pembahasan) atau disimbolkan dengan P. Dua
elemen lainnya adalah orang lain yang disebut sebagai object atau disimbolkan dengan O, dan
entitas bukan orang (impersonal entity) atau benda yang disimbolkan dengan X
(merepresentasikan segala hal selain orang, baik yang berbentuk abstrak maupun konkrit).
Selain itu, terdapat dua jenis relasi yang menghubungkan elemen-elemen tersebut, yaitu relasi
sentimen (disimbolkan dengan L) dan relasi unit (disimbolkan dengan U). Relasi sentimen (L)
merujuk arti yang sama dengan pengertian sikap menurut Eagly dan Chaiken (1993)
sebelumnya, berupa evaluasi P terhadap O atau X (contoh, P menyukai O). Sementara relasi unit
(U) merujuk pada relasi-relasi yang muncul selain dari hasil evaluasi, seperti kepemilikan,
kedekatan, pengaruh, dan lain-lain (contoh, p memiliki x). Baik U dan L dapat memiliki nilai
positif (L+ atau U+) atau negatif (L- atau U-), contoh L- adalah jika P tidak merasa hormat
dengan O. Heider menggunakan simbol-simbol tersebut untuk menjelaskan struktur relasi yang
melibatkan dua elemen (misal hanya P dan O) atau tiga elemen (yaitu P, O, dan X) di dalam
kognisi P. Menurut Heider, relasi antar elemen tersebut dapat menciptakan dua keadaan
kognitif, yaitu keseimbangan dan ketidakseimbangan. Keseimbangan bersifat jangka
panjang sementara ketidakseimbangan bersifat sementara. Hal ini disebabkan karena
ketidakseimbangan kognitif akan menciptakan ketegangan atau disonansi dalam diri P
sehingga ia akan berusaha untuk mengembalikan kognisinya ke dalam keadaan seimbang.
Heider mendefinisikan keadaan seimbang di dalam dua postulat berikut:
a. Di dalam relasi yang melibatkan dua elemen (misal P dan O), keadaan seimbang terjadi
jika relasi di antara keduanya sama-sama positif atau saama-sama negatif, baik dalam bentuk
relasi L atau U.
b. Di dalam relasi yang melibatkan tiga elemen, keadaan seimbang terjadi jika ketiga bentuk
relasi bersifat positif atau dua diantaranya negatif dan satu positif. Di dalam postulat pertama,
kondisi seimbang terjadi jika P menyukai O, dan merasa bahwa O juga menyukai P. Atau bisa
juga sebaliknya, P tidak menyukai O, dan merasa bahwa O juga tidak menyukai P. Dua kondisi
tersebut menurut Heider tidak akan menyebabkan ketegangan atau disonansi kognitif di
dalam diri P. Relasi antara P dan O dapat dilihat pada Gambar 1, dimana garis putus-putus
menunjukkan relasi negatif (U- atau L-) sementara garis penuh menunjukkan relasi positif (U+
atau L+). Tanda panah menunjukkan arah relasi di dalam perspektif P. Sebagai contoh di dalam
hubungan interpersonal, jika Pedro menyukai Fatimah (L+) dan merasa bahwa Fatimah juga
menyukai dirinya (L+ dan L+) maka Pedro akan mengalami keseimbangan.
Konfigurasi relasi (d) misalnya dapat digambarkan sebagai berikut; Cut Sari sangat menyukai
sahabatnya, Rahma (L+). Namun ia tahu Rahma benar-benar tidak suka sinetron (L-) sementara
bagi Cut Sari sinetron adalah hiburan utama (L+). Dengan konfigurasi relasi semacam itu Cut
Sari cenderung akan mengalami disonansi (keadaan tidakseimbang). Dalam situasi tersebut
Teori Keseimbangan memprediksi bahwa Cut Sari akan berusaha untuk mengembalikan
keseimbangan kognitifnya dengan cara mengubah salah satu relasi tersebut, misalnya dengan
berusaha tidak menyukai sinetron atau dengan mulai mencari sisi-sisi buruk Rahma yang
membuatnya tidak lagi menyukai sosoknya. Sekarang, bagaimana dengan ilustrasi untuk
konfigurasi relasi (e), (f), dan (g)?
Teori Keseimbangan dari Heider mencapai puncak popularitasnya pada tahun 1960-an karena
teori ini dinilai sederhana namun dapat digunakan untuk menjelaskan banyak fenomena
sikap (parsimony), dan sekaligus dapat diuji secara empiris (rigour). Saat ini teori asli dari
Heider sudah tidak banyak digunakan oleh para ilmuwan psikologi sosial modern, namun
gagasan-gagasan pokok teori ini, terutama konsep tentang keseimbangan kognitif, terus
berpengaruh terhadap teori-teori sikap yang datang belakangan. Salah satu teori kontemporer
yang banyak mengaplikasikan Teori Keseimbangan adalah Teori Jejaring Asosiatif (Associative
Networks) yang diimpor oleh psikolog sosial dari disiplin ilmu psikologi kognitif (Anderson &
Bower, 2014) Teori Jejaring Asosiatif banyak digunakan untuk menganalisis struktur hubungan
antar sikap. Menurut teori ini, sikap seseorang terhadap suatu obyek direpresentasikan oleh label
positif atau negatif yang disematkan pada setiap obyek sikap (Judd & Krosnick, 1989). Misalnya
jika Anda menyukai bunga Mawar maka artinya Anda telah menyematkan label positif pada
bunga Mawar. Di dalam teori ini, label pada obyek sikap berfungsi seperti simpul di dalam
sebuah jejaring, dan secara otomatis memiliki implikasi relasi (implicational relation) terhadap
sikap lainnya. Relasi antar sikap dapat bersifat positif jika sikap terhadap suatu obyek
membangkitkan sikap positif terhadap obyek lainnya. Atau sebaliknya, relasi bersifat negatif bila
sikap tertentu dinilai bertolak belakang dengan sikap lainnya.
Sebagai ilustrasi, kebijakan pemerintah untuk memberikan Bantuan Tunai Langsung (BTL)
kepada keluarga miskin dapat menciptakan implikasi relasi yang berbeda; menciptakan relasi
positif dengan nilai keadilan sosial
Dalam perkembangannya, Thomas M. Ostrom dan Timothy C. Brock (1968) berpendapat bahwa
yang menjadi sentral di dalam struktur sikap seperti di atas adalah nilai-nilai pribadi dan sosial
(personal and social values). Bagi setiap orang, nilai-nilai tertentu menempati posisi yang sangat
penting di dalam struktur kognitifnya karena mereka mendefinisikan siapa dirinya. Lebih lanjut
Ostrom dan Brock berargumen bahwa tingkat keterlibatan suatu sikap semakin tinggi jika (i)
berkaitan dengan nilai-nilai yang paling penting atau sentral, (ii) berkaitan dengan banyak nilai,
dan (iii) sikap tersebut relevan dengan nilai-nilai tersebut. Sebagai contoh, untuk seorang pecinta
alam, prinsip-prinsip seperti kelestarian lingkungan, ekonomi hijau, dan keselarasan manusia
dengan alam merupakan nilai-nilai yang sentral. Oleh karena itu, sikap pro lingkungan
cenderung memiliki keterlibatan yang tinggi karena ia berkaitan langsung dengan ketiga nilai
tersebut.
Salah satu topik yang paling banyak mendapat sorotan para psikolog sosial di dalam studi sikap
adalah tentang hubungan antara sikap dan perilaku. Secara umum, orang sering berfikir bahwa
setiap perubahan sikap secara otomatis akan diikuti oleh perubahan perilaku. Individu yang
menunjukkan perubahan sikap dari yang awalnya bersikap negatif terhadap X menjadi bersikap
positif, dianggap secara otomatis akan menunjukkan perubahan perilaku yang sejalan (awalnya
menolak X berubah menjadi menerimanya). Pandangan semacam ini seringkali dijadikan sebagai
pijakan untuk menyusun program-program perubahan perilaku. Sebagai contoh, pemerintah telah
berulangkali mencoba meningkatkan perilaku menabung masyarakat dengan cara membangun
sikap positif mereka terhadap kegiatan menabung dan lembaga perbankan melalui berbagai iklan
layanan masyarakat. Apakah pandangan ini tepat?
Sejak awal perkembangan teori tentang sikap, sebagian ilmuwan, terutama sosiolog,
menyampaikan kritik tentang lemahnya hubungan antara sikap dan perilaku. Salah satu
penelitian klasik yang mendukung kritik ini adalah studi yang dilakukan oleh R. T. LaPiere
(1934) tentang diskriminasi rasial. LaPier menyebarkan angket kepada 250 orang pemilik
restauran dan hotel di Amerika untuk menanyakan apakah mereka bersedia menerima tamu
pasangan dari kelompok ras Cina. Dari data yang diperoleh, ia menemukan bahwa 92 persen
pemilik restauran dan hotel menyatakan tidak mau menerima pasangan Cina. Namun, dalam
kenyataannya hanya 1 dari 250 responden tersebut yang benar-benar tidak mau menerima
tamu pasangan Cina. Studi ini menunjukkan bahwa perilaku tidak dapat diprediksi hanya
berdasarkan sikap saja. Norma-norma sosial yang diyakini oleh individu turut menentukan
apakah sebuah sikap akan diekspresikan menjadi perilaku atau tidak. Seperti dalam penelitian
LaPiere di atas, sikap negatif pemilik restoran dan hotel terhadap tamu pasangan Cina pada
akhirnya terdesak oleh nilai moral yang ia yakini untuk bersikap sopan terhadap para tamunya.
Selain faktor-faktor kontekstual seperti norma sosial, Martin Fishbein dan Icek Ajzen (1975)
berpendapat bahwa kemampuan sikap untuk memprediksi perilaku juga tergantung pada
kompatibilitas antara sikap dan perilaku, atau yang disebut sebagai hukum kompatibilitas (the
law of compatibility). Kompatibilitas yang dimaksud di sini adalah bahwa sikap spesifik hanya
dapat memprediksi perilaku spesifik, dan sebaliknya, sikap umum juga hanya mampu
memprediksi perilaku umum. Sikap negatif pemilik restaurant terhadap tamu Cina (sikap
umum), misalnya, cenderung tidak dapat memprediksi perilaku mereka saat bertemu langsung
dengan sepasang tamu Cina tertentu, pada hari tertentu (perilaku spesifik). Namun, sikap umum
tersebut cenderung dapat memprediksi perlakuan pemilik restauran secara umum terhadap para
tamu Cina di berbagai waktu dan situasi.
Prinsip kedua dari hukum kompatibilitas adalah bahwa perilaku dapat diprediksi secara lebih
akurat jika didasarkan pada sikap terhadap perilaku itu sendiri, bukan sikap terhadap target
perilaku. Contoh dari sikap terhadap perilaku adalah keyakinan si pemilik hotel bahwa menolak
tamu merupakan perbuatan buruk. Sementara contoh sikap terhadap target perilaku adalah
pandangan si pemilik hotel terhadap sosok sang tamu, apakah ia menyukai atau tidak
menyukainya. Dengan mempertimbangkan faktor norma subyektif dan prinsip-prinsip
kompatibilitas tersebut, Martin Fishbein dan Icek Ajzen (1975) mengembangkan teori perilaku
beralasan (the theory of reasoned action), yang 10 tahun kemudian disempurnakan oleh Icek
Ajzen (1985) menjadi teori perilaku terencana (the theory of planned behavior). Meskipun
berbeda dalam beberapa hal, kedua teori ini memiliki tujuan sama, yaitu memprediksi perilaku
yang disadari (voluntary behavior) berdasarkan sikap terhadap perilaku dan variabel-variabel
penting lainnya.
Fishbein dan Ajzen (1975) mengajukan teori bahwa setiap perilaku yang disadari (volitional
behavior) dipengaruhi oleh intensi atau niat, yang didefinisikan sebagai keputusan untuk
melakukan tindakan dengan cara tertentu. Sementara muncul atau tidaknya intensi dipengaruhi
oleh dua faktor utama, yaitu (i) sikap terhadap perilaku dan (ii) norma subyektif. Dalam hal ini
norma subyektif diartikan sebagai keyakinan pelaku tentang pandangan orang-orang penting
disekitarnya (significant others) terhadap tindakan yang akan ia lakukan. Di sisi lain, menurut
teori ini sikap terhadap perilaku juga dipengaruhi oleh dua faktor lain, yaitu (i) keyakinan
bahwa perilaku tersebut mengarah pada hasil atau luaran tertentu dan (ii) evaluasi tentang
seberapa bernilai luaran tersebut. Selanjutnya, norma subyektif juga dipengaruhi oleh dua hal,
yaitu (i) keyakinan tentang pandangan orang-orang yang dianggap penting terhadap tindakan itu
dan (ii) motivasi si pelaku untuk mengikuti pandangan orang-orang tersebut.
Teori tindakan beralasan cukup populer di era 1970-an sebelum kemudian ditinggalkan karena
ketidakmampuannya menjawab berbagai kritik. Meskipun teori ini cukup masuk akal, namun
para peneliti ragu akan kegunaannya untuk menjelaskan banyak perilaku sadar, misalnya
tindakan kriminal. Bila merujuk pada teori ini, seseorang melakukan tindakan kriminal karena ia
memang memiliki niat sebelumnya. Niat itu muncul karena orang tersebut menganggap bahwa
tindakan itu menguntungkan dirinya dan dipandang positif oleh orang-orang di sekitarnya.
Penjelasan ini cenderung tidak sesuai dengan keyakinan sebagian besar ilmuwan sosial bahwa
tindakan kriminal lebih banyak didorong oleh faktor lingkungan (misal, kemiskinan, rendahnya
pendidikan, sistem yang tidak berfungsi) dan identitas atau kepribadian individu yang
menyimpang. Selain itu, salah satu kelemahan utama teori tindakan beralasan adalah karena ia
tidak mempertimbangkan faktor kontrol. Sebagai contoh, seorang mahasiswa mungkin
memiliki niat kuat untuk masuk kuliah statistik jam pertama pada hari senin. Namun, beberapa
jam sebelum berangkat ia mengalami kram di perut yang membuatnya harus membatalkan
niatnya itu. Dalam kasus ini, intensi tidak serta merta terwujud menjadi sebuah tindakan.
Menurut teori perilaku terencana, faktor kontrol perilaku dapat mempengaruhi perilaku secara
langsung atau secara tidak langsung melalui intensi (lihat Gambar 7). Saat seseorang merasa
bahwa sebuah tindakan hampir mustahil untuk dilaksanakan (kontrol subyektif), maka hal ini
secara otomatis menurunkan niatnya melaksanakan tindakan itu. Di sisi lain, faktor kontrol
obyektif secara langsung dapat memperngaruhi perilaku dengan cara menghalangi atau
memfasilitasi perilaku tersebut. Faktor kontrol obyektif biasanya berupa hal-hal yang dibutuhkan
untuk melaksanakan sebuah tindakan (misal, dana, kekuatan fisik dan peralatan). Namun
demikian, di dalam teori perilaku terencana faktor kontrol obyektif ini tidak pernah benar-benar
diukur secara langsung.
Meskipun hukum kompatibilitas diterima secara luas di kalangan psikolog sosial, namun tidak
semua teoritikus sepakat bahwa perilaku hanya dapat diprediksi oleh sikap terhadap perilaku.
Russel Fazio dan Mark Zanna (1978) berpendapat bahwa sikap terhadap target perilaku dapat
mempengaruhi perilaku jika ia terbentuk berdasarkan pengalaman langsung (ingat perbedaan
antara sikap terhadap perilaku dan sikap terhadap target perilaku). Menurut teori ini, seseorang
yang sebelumnya memiliki pengalaman menyenangkan menerima tamu pasangan Cina
cenderung akan membentuk sikap positif terhadap tamu Cina, dan dalam kesempatan
berikutnya akan menjelaskan bahwa pengalaman langsung membentuk tiga aspek kualitas sikap,
yaitu jelas, dapat dipercaya, dan pasti. Sikap yang memenuhi tiga kualitas ini dipercaya
memiliki korelasi yang kuat dengan perilaku.
Dalam studi lainnya Fazio dan Zanna (1981) menjelaskan bahwa sikap yang terbentuk
dari pengalaman langsung lebih mudah diakses dan diaktifkan saat berhadapan dengan obyek
sikap. Dengan kata lain, pengalaman langsung membuat asosiasi antara sikap dan obyek sikap
menjadi semakin kuat, yang selanjutnya mereka istilahkan sebagai kekuatan sikap (attitude
strength). Semakin tinggi kekuatan sebuah sikap, semakin kuat pengaruhnya terhadap perilaku.
Penelitian-penelitian berikutnya menjelaskan bahwa sikap yang dibentuk dari pengalaman
langsung dan diekspresikan secara berulang-ulang akan membuat sikap menjadi lebih stabil,
tidak mudah berubah oleh informasi-informasi baru, sehingga pengaruhnya terhadap perilaku
semakin kuat. Aplikasi teori sikap Sikap merupakan salah satu konsep yang paling berkembang
dan populer di bidang psikologi sosial, salah satunya berkat kegunaannya dalam berbagai kerja
terapan. Di area kajian politik, misalnya, sikap-sikap politik seperti konservatisme-liberalisme,
persepsi terhadap kandidat, dan sikap terhadap partai seringkali diukur dalam berbagai survei
guna memprediksi preferensi dan pilihan pemilih dalam pemilihan umum. Sementara di bidang
kesehatan, teori perilaku beralasan dan teori perilaku terencana telah banyak digunakan untuk
menjelaskan berbagai perilaku sehat, seperti diet, kepatuhan terhadap resep dokter, olahraga, dan
lain sebagainya. Selain itu, prinsip-prinsip di dalam teori-teori sikap juga banyak digunakan
sebagai dasar untuk menyusun program-program intervensi.
Penelitian tindakan (action research) yang dilakukan oleh Johana Endang Prawitasari Hadiyono
dan kolega-koleganya dari Universitas Gadjah Mada (1996) menunjukkan bagaimana prinsip-
prinsip perubahan sikap dapat digunakan sebagai dasar untuk menanggulangi masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia. Studi ini berangkat dari persoalan adanya penggunaan obat suntik yang
berlebihan di puskesmas-puskesmas di daerah Gunung Kidul, D. I. Yogyakarta pada waktu itu.
Lebih dari 60% pasien yang datang ke puskesmas mendapatkan suntikan, sehingga
meningkatkan resiko klinis serta menambah beban ekonomi (subsidi kesehatan dari pemerinta
dan ongkos yang dibayar oleh pasien semakin tinggi). Dari penelusuran lebih lanjut, mereka
menemukan bahwa tingginya penggunaan obat suntik itu dilatarbelakangi oleh sikap yang keliru
di antara dokter dan pasien. Dari sisi dokter, mereka mengaku memilih untuk memberikan
obat suntik atas dasar permintaan pasien yang percaya bahwa obat suntik lebih manjur
dibandingkan obat telan. Sementara dari sisi pasien, mereka mengaku menerima obat suntik
atas dasar saran dokter. Kedua pihak cenderung memiliki sikap positif terhadap penggunaan obat
suntik atas dasar keyakinan yang kurang tepat. Guna mengatasi persoalan di atas, Hadiyono, dkk
mengembangkan program diskusi kelompok interaksional (interactional group discussion,
IGD) yang melibatkan dokter dan pasien dan seorang fasilitator. Tujuan IGD ini adalah untuk
memberikan kesempatan bagi dokter dan pasien untuk bertemu dan saling berbagi informasi dan
pendapat dari sudut pandang masing-masing tentang penggunaan obat suntik, sehingga mereka
dapat membentuk sikap yang lebih tepat. Untuk menguji efektifitas IGD, peneliti merancang
penelitian tindakan dengan melibatkan sebanyak 24 puskesmas, yang dibagi menjadi kelompok
intervensi (12 puskesmas) dan kelompok kontrol (12 puskesmas). Sementara untuk mengukur
dampak program, peneliti mencatat jumlah penggunaan obat suntik selama tiga bulan sebelum
dan pasca pelaksanaan IGD di seluruh puskesmas yang masuk ke dalam kelompok intervensi dan
kelompok kontrol. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa IGD mampu menurunkan tingkat
penggunaan obat suntik pada kelompok intervensi dari 69.5% menjadi 42.3%, jauh lebih
signifikan dibandingkan penurunan pada kelompok kontrol, yaitu dari 75.6% menjadi 67.1%.
Studi ini menggambarkan bagaimana perilaku pasien dan dokter dapat diubah dengan cara
mengubah sikap dasarnya.
Kesimpulan
1. Sikap didefinisikan sebagai kecenderungan psikologis yang diekspresikan dengan
mengevaluasi sebuah obyek berdasarkan tingkatan suka atau tidak suka. Syarat akan adanya
obyek tersebut membedakan sikap dengan aspek-aspek personalitas lainnya, seperti
kepribadian.
2. Sikap dapat memiliki salah satu atau keseluruhan komponen kognitif, afektif, dan perilaku.
3. Seseorang dapat memiliki lebih dari satu sikap terhadap satu atau beberapa obyek.
Hubungan antar sikap ini dapat dijelaskan melalui teori keseimbangan, teori ideologi, teori
kepentingan dan keterlibatan, model sikap ganda, atau dengan melihat konteks sosio-kultural-
kesejarahan yang mengkaitkan antara beberapa sikap.
4. Hubungan antara sikap dan perilaku cenderung kompleks, dengan melibatkan variable-
variabel penting lainnya. Beberapa teori yang menjelaskan hubungan ini diantaranya adalah
teori perilaku beralasan, teori perilaku terencana, dan teori konsistensi sikap dan perilaku.
5. Prinsip-prinsip dalam teori sikap dapat digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan
program-program intervensi untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
1. A. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBENTUKAN SIKAP
MANUSIA
Pengaruh sosial sering membentuk sikap kita jauh sebelum kita pernah berjumpa dengan objek sikap
tersebut (Calhoun, J, F., & Acocella, J, R., 1990:317). Pengaruh sosial yang dimaksud menurut Azwar
(1995:30) adalah faktor-faktor yang akan membentuk sikap manusia, yaitu pengalaman pribadi,
kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan
agama, serta faktor emosi dalam diri individu.
1. PENGALAMAN PRIBADI
Penelitian yang dilakukan oleh Fabrigar, et al (dalam Ramdhani, 2009) menyatakan bahwa
jumlah informasi atau luasnya knowledge yang dimiliki individu sebelumnya mengenai objek
sikap menentukan kekuatan perubahan sikap yang dialami individu. Oskamp (dalam Ramdhani,
2009) mengungkapkan dua aspek yang secara khusus memberi sumbangan dalam membentuk
sikap; pertama adalah peristiwa yang memberikan kesan kuat pada individu (salient incident),
yaitu peristiwa traumatik yang merubah secara drastis kehidupan individu, misalnya kehilangan
anggota tubuh karena kecelakaan. Kedua yaitu munculnya objek secara berulang-ulang (repeated
exposure).
Sikap dapat dipelajari melalui imitasi. Orang meniru orang lain, terutama jika orang lain itu
merupakan orang yang kuat dan penting (Sears, D, O,. Freedman, J, L., & Peplau, L, A.,
1985:143). Salah satu sumber penting yang jelas-jelas membentuk sikap kita adalah kita
mengadopsi sikap tersebut dari orang lain melalui proses pembelajaran sosial (social learning).
Pembelajaran sosial merupakan suatu proses dimana kita mengadopsi informasi baru, tingkah
laku atau sikap dari orang lain (Baron, R, A., & Byrne., 2004:123). Dengan kata lain, banyak
pandangan kita dibentuk saat kita berinteraksi dengan orang lain atau hanya dengan
mengobservasi tingkah laku mereka (Baron, R, A,. & Byrne., 2004:123).
Sikap dapat terbentuk bahkan ketika orang tua tidak bermaksud untuk mewariskan pandangan
tertentu pada anak mereka. Proses ini disebut pembelajaran melalui observasi (observational
learning) yang terjadi ketika individu mempelajari bentuk tingkah laku atau pemikiran baru
hanya dengan mengobservasi tingkah laku orang lain (Baron, R, A,. & Byrne., 2004:125).
Sikap anak cenderung cocok dengan sikap orang tua mereka (Calhoun, J, F., & Acocella, J, R,
1990:317). Senada dengan Calhoun, Ali (2000:39) mengatakan bahwa sikap dan perilaku anak
relatif lebih dominan diwarnai oleh sikap dan perilaku orangtuanya. Sikap orang tua akan
dijadikan role model bagi anak-anaknya (Ramdhani, 2009). Peran orang tua sebagai orang yang
paling dekat dengan anak-anaknya terutama yang berkenaan dengan sikap, perhatian, dorongan,
dan reaksi dalam mendidik dan membesarkan anaknya dapat membentuk dan mempengaruhi
sikap dan perilaku anak-anaknya (Ali, 2000:39). Dari orangtualah anak atau para remaja belajar
tentang nilai dan norma-norma yang dapat membentuk dan menentukan sikap dan perilaku
anaknya dalam kehidupan sehari-hari.
Anak-anak cenderung mewarisi sikap orang tua mereka, tetapi anak remaja dan menjelang
dewasa lebih dipengaruhi teman sebaya mereka (Calhoun, J, F., & Acocella, J, R, 1990:319).
Dalam masa remaja, kelompok teman sebaya cenderung mengganti keluarga sebagai kelompok
acuan individu?yaitu, kelompok yang normanya kita jadikan alat untuk menilai diri sendiri
(Calhoun, J, F., & Acocella, J, R, 1990:319). Bahkan Ramdhani (2009) mengungkapkan bahwa
ada kecenderungan bahwa seorang individu berusaha untuk sama dengan teman sekelompoknya.
Dapat disimpulkan bahwa orang tua dan teman sebaya berpengaruh besar dalam membentuk dan
merubah sikap seseorang.
3. PENGARUH KEBUDAYAAN
Pembentukan sikap tergantung pada kebudayaan tempat individu tersebut dibesarkan. Seperti
yang diungkapkan Azwar (1995:33) kebudayaan tempat kita hidup dan dibesarkan mempunyai
pengaruh besar terhadap pembentukan sikap. Contoh pada sikap orang kota dan orang desa
terhadap kebebasan dalam pergaulan. Contoh lain apabila kita hidup dalam budaya sosial yang
sangat mengutamakan kehidupan berkelompok, maka sangat mungkin mempunyai sikap negatif
terhadap kehidupan individualisme yang mengutamakan kepentingan pribadi.
4. MEDIA MASSA
Menurut Azwar (1995:34) berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar,
majalah, dan lain-lain mempunyai pengaruh dalam pembentukan opini dan kepercayaan
seseorang. Adanya informasi mengenai sesuatu hal yang dimuat oleh media memberikan
landasan bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Rahayuningsih (2008) mengatakan
bahwa pesan sugestif yang dibawa oleh media, apabila cukup kuat akan memberikan dasar
afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu. Televisi khususnya
dianggap memiliki pengaruh sangat besar terhadap sikap (Calhoun, J, F., & Acocella, J, R.,
1990:319). Berbagai riset menunjukkan bahwa foto model yang tampil di media masa
membangun sikap masyarakat bahwa tubuh langsing tinggi adalah yang terbaik bagi seorang
wanita (Ramdhani, 2009).
Berbeda dengan Azwar, Garrett (dalam Abror, 1993:110) mengungkapkan ada dua faktor utama
yang menentukan pembentukan dan perubahan sikap yaitu faktor psikologis dan faktor kultural.
Faktor psikologis seperti motivasi, emosi, kebutuhan, pemikiran, kekuasaan dan kepatuhan,
kesemuanya merupakan faktor yang memainkan peranan dalam menimbulkan atau mengubah
sikap seseorang; sedangkan faktor kultural atau kebudayaan seperti: status sosial, lingkungan
keluarga dan pendidikan juga merupakan faktor yang berarti yang menentukan sikap manusia.
Teori serupa diungkapkan oleh Chaiken (dalam Ramdhani, 2009), ia mengemukakan bahwa
sikap terbentuk dan berubah dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang memungkinkan masuknya
berbagai proses subjektif dalam rangka memelihara hubungan interpersonal.
Dengan demikian variabel psikologis dan kultural selalu saling mempengaruhi dalam rangka
menimbulkan, memelihara atau mengubah sikap.